Kredit dan Usaha Melanjutkan ‘Pembangunan’ Pergulatan ‘Kuasa’ dalam Pertanian Kontrak Teh di Paninggaran
Nur Rosyid
Abstraksi Perkebunan di Indonesia telah menunjukkan perkembangannya yang cukup signifikan. Berbagai wilayah di dataran tinggi dan dataran rendah sudah banyak yang ‘disulap’ menjadi ‘lahan-lahan’ produksi komersial berupa perkebunan sawit, tebu, teh, karet dan sebagainya. Usaha ini merupakan serangkaian program yang dijalankan pada masa Orde Baru di tahun 1980-an sebagai upaya ‘pembangunan’ daerah tertinggal, sebab wilayah-wilayah yang dijadikan sasaran progran ini kebanyakan di wilayah yang secara geografis jauh dari pusat kota. Tidak dapat dipungkiri, usaha ini telah menyebabkan banyak sekali perubahan secara ekonomi, politik, dan sosial yang sedemikian luas (Li. 202:xiii). Namun, sejauh ini penelitian-penelitian yang dilakukan terhadapnya masih minim sekali, terutama di daerah dataran tinggi. Seperti yang dikatakan Poffenberger (1990; xxi dalam Li.2002:xv) “karena alasan praktis dan politis, penduduk di dataran tinggi di Asia Tenggara masih tidak banyak mendapatkan perhatian”. Studi kecil ini memusatkan pada perkembangan perkebunan agroproduksi komersial teh di dua wilayah di kecamatan Paninggaran, Pekalongan. Di sini saya ingin mencoba mengulas bagaimana upaya pabrik, sebagai representasi ‘negara’, melaksanakan ‘pembangunan’nya di wilayah tersebut dan mencoba memaknai setiap program yang dijalankan sebagai upaya praktik pertukaran untuk melanggengkan ‘kuasa’, serta bagaimana dampaknya terhadap kehidupan masyarakat petani teh Paninggaran. Keyword: pembangunan, pertukaran, kuasa
A. Pendahuluan Studi lapangan ini merupakan bagian dari program Teknik Penelitian Lapangan Paninggaran (TPL Paninggaran) tahun 2011 jurusan Antropologi Budaya, FIB UGM. Di dalam kegiatan tersebut, penulis kebetulan mendapatkan topik ‘Ketegangan-Ketegangan Agraria’. Sebelumnya penulis mempunyai tujuan awal dalam penelitian yang diajukan melalui abstraksi sebelum terjun ke sana. Tujuan awal itu adalah mencoba memahami bagaimana proses transformasi yang terjadi pada kelompok masyarakat peisan (peasant) Paninggaran, khususnya petani yang awalnya subsisten, punya lahan dan mengolah sendiri, kemudian menjadi petani ‘buruh’ yang bekerja pada perusahaan teh setempat. Menjadi ‘buruh’ di sini yang penulis duga tidak lain karena maraknya penjualan tanah atau menyewakannya ke pihak tertentu lantaran hasil dari mengolah tanah tak lagi mencukupi apa yang mereka butuhkan. Sayangnya, setelah
penulis
terjun ke lapangan,
gejala-gejala
yang
menunjukkan adanya proses transformasi masyarakat di sana, lantaran penjualan aset
1
tanah, tidak penulis jumpai. Akhirnya penulis mau tidak mau harus mengubah arah penelitian. Pengubahan arah haluan ini juga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atas beberapa keterangan dari informan-informan yang penulis jumpai. Sehingga topik yang akan dikaji dalam tulisan ini berganti menjadi sistem pertanian kontrak yang dilakukan oleh pemerintah melalui program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dengan komoditas berupa tanaman teh jenis TRI (Teh Rakyat Indonesia). Perlu penulis tekankan di sini bahwa wilayah kajian yang dilakukan tidak mencakup seluruh desa di kecamatan Paninggaran. Penulis hanya memilih satu desa yang secara geografis berdekatan dengan pabrik teh, yakni desa Kaliombo yang letaknya di sebelah utara pabrik. Namun untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih luas, penulis menambah satu wilayah di sebelah barat pabrik, yakni desa Kaliboja. Ini artinya, kajian di Kaliboja tidak akan seintensif di desa Kaliombo.
Kondisi geografis Paninggaran merupakan satu dari sekian kecamatan di Pekalongan, Jawa Tengah. Luas wilayah Kecamatan Paninggaran 92,99 km2 atau 11,12 % dari luas Wilayah Kabupaten Pekalongan, secara administratif terbagi menjadi 15 desa, 72 dusun, 75 RW dan 213 RT1. Jarak antara pusat kecamatan dengan ibukota Pekalongan, yakni Kota Madya Kajen, sekitar 35 kilometer yang dihubungkan dengan sebuah jalan raya rute Pekalongan-Banjaregara. Paninggaran berupa perbukitan yang menjulang dari arah barat ke timur dan utara dengan ketinggian ± 1000-1400 dpl, yang sebenarnya masih dalam kompleks pegunungan Dieng, di barat ada gunung Slamet, di selatan ada gunung Langit, di sebelah timur ada gunung Sari, dan di utara sana tampak sebuah lembah yang luas, tempat dimana kota Pekalongan berada. Perbukitan di sana rata-rata merupakan wilayah hutan negara berupa hutan pinus yang dikelola oleh Perhutani. Selain itu, di lembah-lembah bukit, kebanyakan merupakan kebun teh, kebun cengkeh, kopi, sengon, dan areal persawahan. Komoditas tanaman ini sangat dominan karena strktur tanah di sana berupa latosol coklat2.
Gambaran umum masyarakat peisan Paninggaran 1
Diambil dari www.pekalongankab.go.id/web/index.php? option.content&task&id=255 pada tanggal 3 maret 2011 pukul 13.50 2
Diambil dari Laporan Pendampingan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) Kabupaten Pekalongan Tahun 2007-2008. Oleh Cipto Sumarno. Tim Komuniti Forestri kabupaten Pekalongan. 2008
2
Wilayah yang menjadi unit analisis penelitian ini hanya satu desa dari sekian desa yang ada, yakni desa Kaliombo, ditambah satu desa yakni Kaliboja sebagai pembanding. Kedua desa ini secara geografis letaknya paling selatan dari kecamatan Paninggaran yang berbatasan langsung dengan kabupaten Banjarnegara. Desa kaliombo secara administratif di bagi menjadi 4 dusun yang dikepalai langsung oleh seorang bahu (bahurekso) yang masa jabatannya dipilih hingga berumur 56 tahun. Dusun-dusun itu antara lain: Kaliombo, Donosari (Si Maling), Jaladara, dan Simpar. Desa tersebut dihuni oleh 451 KK dengan jumlah 1.518 jiwa yang terdiri dari 792 laki-laki dan 726 perempuan. Secara geografis desa Kaliombo berbatasan langsung dengan desa Sawangan di sebelah barat, di sebelah utara berbatasan dengan Botosari, kecamatan Kalibening, dan Hutan Negara, di sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Kalibening, dan di sebelah selatan berbatasan dengan desa Kaliboja dan Tanggeran3. Sedangkan desa Kaliboja juga dibagi menjadi 4 dusun, yaitu: Semboja Barat, Semboja Timur, Kali Genting, dan Silemut. Desa ini dihuni oleh 367 KK dengan jumlah 1762 jiwa, yang terdiri dari 875 laki-laki dan 887 perempuan. Secara geografis, desa ini berbatasan langsung dengan desa Kaliombo di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Banjarnegara, di sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Kandang Serang, dan di sebelah barat berbatasan dengan desa Tanggeran4. Jarak antara dua dusun ini sekitar 3-4 kilometer. Masyarakat di sana sebelum dikenalkan tanaman teh oleh pemerintah, ratarata menanam jagung yang hasilnya untuk di konsumsi sendiri dan sisanya dijual untuk membeli kebutuhan lain dan pupuk (subsistensi) 5. Selain itu, bagi daerahdaerah yang mempunyai sawah, rata-rata menanam jenis beras merah. Ada juga yang mengembangkannya untuk perikanan air tawar, seperti bawal, nila, mujair, tombro, dan ikan mas. Selain itu, mereka juga beternak kambing atau sapi yang pakannya kadang diambilkan langsung dari alas, hutan.
3
Diambil dari Daftar Potensi Desa dan Tingkat Perkembangan Desa. Desa Kaliombo. Pemerintah Daerah (Pemda) Pekalongan. Kantor Pemberdayaan Masyarakat. Tahun 2010 4
Diambil dari Daftar Potensi Desa dan Tingkat Perkembangan Desa. Desa Kaliboja. Pemerintah Daerah (Pemda) Pekalongan. Kantor Pemberdayaan Masyarakat. Tahun 2010 5
Istilah susbsistensi menurut Wharton (19.. dalam Sairin et. al. 2002) ada dua, yaitu sebagai tingkat hidup dan sebagai suatu bentuk perekonomian. Pengertian pertama menggambarkan suatu kondisi ekonomi yang berfungsi sekedar untuk dapat bertahan hidup, sedangkan yang kedua merupakan suatu sistem produksi yang hasilnya untuk kebutuhan sendiri, tidak dipasarkan, kalau pun ada, hal itu tidak dimaksudkan untuk keuntungan komersial.
3
Fasilitas-fasilitas umum di sana cukup memadai, seperti pengairan, masjid, dan transportasi yang umum digunakan adalah Doplak6. Selain itu tempat-tempat sekolah di kedua desa seperti TK dan SD sudah ada bahkan sedang dalam tahap renovasi, namun SMPnya ada di desa Kaliombo. Sedangkan untuk SMAnya, mereka harus ke kecamatan Paninggaran.
B. Perkebunan Teh dan Perkembangannya PIR sebagai ‘pembangunan’ daerah tertinggal Pembangunan, menurut Koentjaraningrat ( 1993: 33), diartikan sebagai upaya untuk mencapai suatu keadaan yang lebih makmur daripada sekarang. Pembangunan ini terutama diarahkan ke daerah-daerah yang ‘terisolir’ maupun di dataran tinggi. Pekebunan teh ini merupakan salah satu dari sekian program ‘pembangunan’ pemerintah orde baru tersebut. Pendirian Perkebunan teh di kabupaten Pekalongan didasarkan pada Inpres RI Nomor 1 tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi. Pelaksanaan program ini melibatkan banyak instansi terkait, termasuk Bappenas yang bertugas
menyusun,
mengkoordinasikan,
dan
menyerasikan
rencana-rencana
pembangunan yang terkait dengan rencana pelaksanaan proyek PIR. ‘Pembangunan’ yang dilakukan “untuk membangun dan membina perkebunan rakyat di wilayah baru dengan teknologi maju agar mampu memperoleh pendapatan yang layak” (Inpres, pasal 2). Wilayah di sini, dapatlah kita pahami sebagai wilayah yang belum mengenal teknologi, dimana orang-orangnya masih berpenghasilan rendah, hidup di bawah garis kelayakan, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, wilayah yang ‘tertinggal’. Salah satu wilayah yang hendak ‘dibangun’ itu adalah Paninggaran dan Kalibening. Bentuk nyata dari ‘pembangunan’ daerah tertinggal ini adalah dengan dibukanya akses jalan raya Pekalongan-Banjarnegara. Daerah sana memang cukup terisolasi, sehingga perlu ‘dibuka’. Pengembangan program ini dilaksanakan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan, selanjutnya disingkat Pola PIR, yakni pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai ‘inti’7 yang membantu
6
Doplak adalah semacam mobil bak terbuka yang pinggirannya diberi pagar besi dan kadang ada beberapa blabak untuk tempat duduk. Doplak ini beroperasi menurut hari pasaran tertentu.
4
dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma8 dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Perusahaan inti ini mempunyai kewajiban-kewajiban, antara lain: (1) membangun perkebunan inti lengkap dengan fasilitas pengolahan yang dapat menampung hasil perkebunan inti dan kebun plasma, (2) membina secara teknis para petani peserta agar mampu mengusahakan kebunnya dengan baik, (3) menampung (membeli) hasil kebun plasma dengan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian, dan (4) membantu proses pelaksanaan pengembalian kredit petani peserta (Bab II, pasal 5 poin b ayat 1-6). Sedangkan petani peserta berkewajiban untuk: (1) membayar pengganti biaya pembangunan kebun plasma, yang untuk hal tersebut kepada mereka diberikan kredit lunak jangka panjang oleh Bank Pemerintah, (2) melaksanakan pengusahaan kebunnya sesuai bimbingan dari perusahaan inti, menyerahkan (menjual) hasil kebun plasmanya kepada perusahaan dengan syarat dan harga wajar yang saling menguntungkan (Bab II, pasal 8 poin a-c). Penjelasan sekilas mengenai PIR tadi, dapat kita pahami bahwa masyarakat akan ‘dipaksa’ dengan dalih ‘pembangunan’, untuk mengubah sistem pertanian subsisten mereka manjadi pertanian monokultur atas dasar kontrak. Menurut seorang informan yang ikut bekerja sejak mulai sosialisasi hingga sekarang, tujuan program ini bukan untuk transmigrasi seperti yang tertuang di dalam Inpres di atas, tetapi untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi angka urbanisasi. Memang angka urbanisasi di sana cukup besar, terlihat dari jumlah pemuda yang sebagian besar merantau ke luar kota. Ironisnya, di dusun Donosari hanya ada 3 pemuda. Kasus yang sama juga dijumpai di dusun-dusun lainnya, seperti di Kaliombo, Jaladara, dan dusun-dusun di desa Kaliboja. Hal ini patut kita pertanyakan apakah di desa masingmasing, ‘nasib’ masa depan mereka begitu ‘suram’ jika bekerja di rumah.
7
Perusahaan perkebunan besar adalah perusahaan baik milik swasta maupun milik Negara yang ditetapkan sebagai pelaksana proyek PIR ini, yang berdasarkan Inpres disebut Perusahaan inti. Perusahaan ini ditetapkan sebagai pemilik perkebunan inti yang sudah lengkap dengan fasilitas pengolahannya yang dibangun oleh perusahaan itu sendiri dalam rangka pelaksanaan proyek PIR. 8
Yang dimaksud plasma dalam Inpres tersebut terdiri dari wilayah plasma dan kebun plasma. Wilayah plasma adalah wilayah pemukiman dan usaha tani yang dikembangkan oleh petani peserta (petani yang ditetapkan sebagai penerima pemilikan kebun plasma dan bedomisili di wilayah plasma) dalam rangka pelaksanaan PIR yang meliputi pekarangan, perumahan, dan kebun plasma (pasal 2 ayat 5). Sedangkan kebun plasma adalah areal Wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan (pasal 2 ayat 6).
5
C. Program-program Kelompok tani Perkembangan proses pengembangan produksi komoditas itu dibarengi dengan, meminjam istilah White9, ‘pengenalan secara resmi’ (dalam berbagai hal timbul secara spontan) bentuk organisasi-organisasi baru dalam produksi, pengolahan, dan pemasaran. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sebagian besar produksi tersebut tidak lagi diatur dalam bentuk perkebunan besar, tetapi melalui melalui program yang mengaitkan petani lewat kontrak dengan agribisnis inti (pabrik inti) yang melaksanakan berbagai bentuk pengendalian (dalam berbagai tingkat pemaksaan) terhadap proses kerja. Jadi, pembentukan kelompok tani teh merupakan hal yang tak bisa dihindari dan ia bisa mengaitkan petani lewat kontrak. Menurut beberapa keterangan, pembentukan kelompok tani teh ini diprakarsai oleh pabrik sebagai media sosialisasi dan pencairan bantuan. Tetapi dalam praktiknya,
pabrik
menjadikannya
sebagai
media
untuk
melaksanakan
kepentingannya. Maka dalam hal ini, Pembentukan kelompok tani teh tidak terlepas dari nilai sosial yang netral. Hal ini bisa kita lihat lewat beberapa kasus, antara lain: Orang-orang yang manjadi kaki tangan perusahaan dipilih adalah yang ‘loyal’ kepada pabrik dan kasus seorang mandor lapangan bisa merangkap menjadi ketua kelompok tani teh (kasus Kaliombo). Arisan dan Usaha Menambah Pemasokan Setiap pabrik yang ingin agar produksinya berjalan terus, maka ia harus membuat suatu cara agar pemasokan bahan-bahan baku produksinya tetap berjalan. Setiap industri manapun jika hal ini tidak dilakukan, maka produksinya jelas akan terhenti. Mesin-mesin pabrik, sebagaimana manusia, jika tidak ‘diberi makan’, maka akan mati. Hal ini saya kira bisa dianggap sebagai suatu ‘keterpaksaan’ pabrik –sebab ini harus dilakukan--, untuk ‘memberi makan’ tadi, membuat ia harus bentindak untuk memenuhinya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah cara yang seperti apa yang bisa dijalankan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Bolehlah sebelumnya kita beranggapan bahwa cara yang terbaik ,yang pernah diusulkan oleh ahli ekonomi, adalah dengan memperluas lahan produksi. Dengan bertambahnya jumlah lahan, maka hampir dapat dipastikan pemasokan bahan baku akan akan berjalan lancar. Begitu juga dengan PT 9
Ben White dalam Tania Murray Li, ‘Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002, hl.294
6
Pagilaran Kaliboja, jika ingin agar pemasokan pucuk teh tetap berjalan, bahkan bertambah, maka lahan-lahan perkebunan teh harus diperluas. Pertambahan jumlah lahan perkebunan teh di Paninggaran sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Berdasarkan data yang berhasil saya himpun, untuk wilayah Kaliombo ada pertambahan seluas ±30 hektar sejak PIR dimulai, sedangkan untuk wilayah Kaliboja sekarang ada ±111, 476 hektar. Hal ini bisa kita pahami bahwa ‘pembangunan’ lewat perkebunan di sana cukup berhasil. Perlu dicatat bahwa lahan-lahan perkebunan tersebut merupakan milik petani, lepas dari kepemilikan perusahaan. Sesuatu yang akan memicu konflik jika hal tersebut memang benar-benar terjadi, artinya jika pabrik sampai menguasai lahanlahan teh. Kalau demikian, maka pabrik tidak bisa menambah pemasokan dengan memperluas lahan teh agar produksi pucuk semakin besar, sebab pabrik sedikitpun tidak mempunyai kepemilikan dengan membeli atau menyewanya. Namun saya memahami pabrik melakukan berbagai upaya dengan cara ‘menggantungkan’ petani, agar tetap masuk ke dalam lingkaran ekonomi kapitalis. Artinya, bagaimana caranya agar produksi pucuk teh petani itu kemudian disetorkan ke pabrik, dalam hal ini PT Pagilaran, sebab banyak sekali kasus petani menjual teh ke tengkulak-tengkulak. Maka strategi yang dilakukan dewasa ini, menurut saya, harus dipahami sebagai cara untuk memperdalam ‘ikatan’ yang sudah terbentuk sejak pendirian PIR. Dari sinilah kemudian kita akan memahami bagaimana praktik-praktik politiknya untuk ‘menguasai’ petani akan dijalankan. Perluasan praktik-praktik sistem kontrak ini, sekarang terus dilakukan setelah krisis yang melanda Indonesia. Dahulu, pengembangan PIR dilakukan dengan menggunakan sistem kredit. Waktu itu, Para petani dimodali peralatan perkebunan, pupuk, bibit, dan biaya pengembangan. Sistem permodalan ini dilakukan dengan jaminan berupa sertifikat tanah petani yang ikut program PIR. Menurut keterangan salah seorang petani Donosari, sertifikat ini dibawa pemerintah daerah di Semarang. Kemudian para petani diminta untuk mengembalikan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan dan bunga 0%10. Bentuk pengembaliannya berupa pucuk teh yang besarnya potongan sesuai kesepakatan. 10
Dalam Inpres No. 1 tahun 1986 mengenai Ketentuan Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi Direksi Bank Indonesia pasal 3 ayat 2 berbunyi: “Suku bunga kredit investasi bagi petani peserta akan ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan perkreditan untuk golongan ekonomi lemah.”
7
Praktik kreditisasi petani ini masih berlangsung hingga sekarang. Hanya saja mengalami sedikit inovasi. Perubahan ini terjadi secara signifikan ketika pabrik mengalami masa krisis pada tahun 2002-2004. Pada masa ini, pabrik berada dalam kondisi gonjang-ganjing (bahasa informan). Baru kemudian pada tahun 2009, PT Unilever datang membantu mengatasi krisis. Kedatangan PT Unilever ini, menurut yang saya pahami dari sana, tidak mengubah sistem perkreditan. Sebagaimana yang saya katakan tadi, perkreditan hanya mengalami sedikit inovasi. Sistem perkreditan yang sekarang dijalankan oleh pabrik, tidak sesederhana dahulu. Sistem kredit sekarang berupa kredit bergulir dan tabungan yang dipakai untuk mencairkan ‘bantuan’ pupuk dan bibit untuk sulam. Permodalan baru ini di beri oleh PT Unilever sebagai ganti atas permodalan yang habis akibat krisis. Ada satu lagi bentuk program yang dijalankan PT Pagilaran dengan PT Unilever, yakni CSR (Corporate Social Responsibility). Program semacam bentuk kepedulian sosial terhadap keluarga petani, khususnya ibu-ibu rumah tangga. Program ini, menurut keterangan salah seorang anggotanya, menggunakan dana sisa keuntungan pabrik untuk dikembalikan lagi ke petani. Meski demikian, orang-orang yang menjadi anggotanya bukan orang sembarangan. Ia harus berasal dari keluarga yang salah seorang anggota keluarganya bekerja di pabrik atau menjual hasil panen tehnya ke pabrik. Singkatnya, program ini hanya dimaksudkan untuk orang-orang yang ‘loyal’ ke pabrik.
D. Kredit sebagai Praktik Pertukaran untuk Memperdalam Ikatan
Setelah kita mendapatkan sedikit pemahaman mengenai apa yang dilakukan pabrik terhadap petani di atas, ada satu hal yang menurut saya, telah menjadikan keduanya saling terikat satu sama lain, yakni kredit. Kredit di sini menjadi penting untuk diamati karena strategi ini dianggap paling efektif dalam menggerakkan usaha usaha tani dan menciptakan suatu ‘ikatan’ yang lebih erat dengan pabrik. Dengan adanya kredit ini, petani akan dituntut untuk mengembangkan kebun tehnya dan kemudian ‘diharuskan’ menjual hasil panennya ke pabrik Pagilaran, bukan ke kakola (tengkulak-tengkulak) dari Pekalongan kota, sebab jika petani sampai menjual ke luar, maka bisa dipastikan transaksi pucuk teh akan gagal yang akan berimbas pada produksi teh kering. Dengan demikian, praktik kredit ini bisa dipahami sebagai hubungan timbal balik antara pabrik dengan petani teh. Timbal balik ini berwujud penyedian modal oleh pabrik dan persyaratan untuk mengembalikan pinjaman itu
8
dalam bentuk teh atau uang, tetapi kasus yang paling banyak saya jumpai adalah ratarata mereka mengembalikannya dalam bentuk pucuk teh ketika setor. Ketimbalbalikan atau resiprositas, sebagaimana yang dikatakan Fedrik Barth (1971:3 dalam Ahimsa-Putra. 2003:37), merupakan dasar bagi terbentuknya kombinasi peran dan status, kombinasi hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yang mengendalikan perilaku manusia. Resiprositas di sini dimaknai sebagai pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok dengan karakteristik tertentu yang menjadi syaratnya, yakni adanya hubungan personel antara mereka11. Untuk sampai ke hal itu, marilah kita mencoba melihat pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam proses pengembangan dan pelanggengan usaha tadi.
Eksportir
Pemerint ah ...........
PT Pagilaran .......... Kelompok Tani Teh
PT Unilever tbk.
Tengkula k
Petani Teh
11
Dalam Syafri Sairin, et.al. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2002,hl.43-45
9
Grafik 1. Struktur Perkebunan Teh Paninggaran Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat kita pahami, setidaknya ada dua relasi yang terbentuk. Pertama relasi antara pabrik dengan eksportir dan kedua relasi pabrik dengan petani. Sedangkan hubungan antara Pagilaran dengan Unilever dan pemerintah bukan merupakan hubungan antar otonom-otonom sebagaimana kedua hubungan tadi. Hubungan antar ketiganya tersebut bisa dimaknai sebagai satuan otonom yang sama, artinya mereka menempati posisi yang sama sebagai pelaksana pembangunan, meskipun mempunyai variasi peran. Perlu saya jelaskan di sini, variasi peran itu berupa: pertama, untuk PT Unilever yang memegang beberapa saham dan mengucurkan dana 100 juta rupiah untuk kredit bergulir 12; kedua, pemerintah yang membuat kebijakan kredit bagi usaha kecil menengah maupun bagi petani; sedangkan Pagilaran sendiri yang melaksanakan program kredit tersebut. Relasi pertama terbentuk antara pabrik dengan pihak eksportir. Saya tidak memperhatikan penuh bagaimana bentuk hubungan yang terjadi antara keduanya. Yang jelas, menurut beberapa keterangan, hubungan pabrik dengan eksportir hanya bersifat langganan. Artinya pabrik tidak perlu bersusah payah membangun relasi, kecuali hanya sekedar untuk menjaga kualitas teh kering. Sedangkan hubungan yang kedua bersifat agak rumit. Setelah krisis bisa diatasi atas bantuan PT Unilever, pabrik Pagilaran dituntut untuk memproduksi pucuk teh minimal 25 ton per hari. Suatu jumlah yang tidak begitu kecil. Pasalnya, selama ini pabrik hanya mampu mengolah pucuk teh sebesar ±16-18 ton per hari. Sehingga mau atau tidak mau, pabrik akan melakukan berbagai upaya untuk menambah bahan baku produksi. Salah satu upaya itu adalah ‘memperdalam ikatan’ melalui sistem kredit. Perlu diperhatikan lebih lanjut, praktik kredit ini tidak gampang, sebab proses berjalannya harus melalui kelompok tani teh. Artinya, jika seorang petani ingin memperoleh permodalan dari pabrik, maka ia pertama kali harus menjadi anggota kelompok tani teh di dusunnya masing-masing. Begitu juga dengan pabrik, jika ingin mendapatkan pucuk tehnya, ia harus membelinya lewat kelompok tani teh yang di dalamnya sudah diangkat dua atau tiga pengepul. Sebenarnya pabrik bisa membeli langsung ke petani, tetapi dengan cara pembayaran tiap seminggu sekali. Cara 12
Menurut keterangan salah seorang mandor lapangan desa Kaliboja, uang sebesar 100 juta tersebut sebenarnya diberikan secara cuma-cuma. Tetapi oleh pabrik, uang sebesar itu digulirkan untuk kredit, agar uang tersebut tidak lekas habis.
10
pembayaran seperti ini pernah di protes oleh petani. Akhirnya pabrik mengangkat beberapa pengepul dalam kelompok tani, dimana dia bisa membeli pucuk teh dengan tunai. Begitu juga ketika pabrik ingin menyalurkan pupuk-pupuk untuk perawatan teh kepada petani, ia mempercayakan beberapa orang di kelompok-kelompok tani teh. Di dalam kelompok tani teh ini, setiap anggota akan terbebani kredit, dan rasa untuk membalas kepada pabrik dengan menjual hasil panennya ke sana. Maka bisa dipahami, jika seseorang Ikut kelompok maka ia akan ‘terjerat’ dalam hutang sehingga kehidupannya tidak akan terasa ‘bebas’. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mauss (1992:60), “orang yang tidak membayar hutang, akan kehilangan kedudukannya dalam jenjang sosial dan bahkan kedudukannya sebagai orang bebas. Hal ini bisa kita pahami bahwa orang-orang yang ikut kredit, terjerat dalam hutang yang menyebabkan ia tidak bisa bebas dari tekanan-tekanan. Lalu seperti apa petani yang ‘bebas’. Menurut keterangan dari salah seorang petani di Kaligenting, Kaliboja, cara mereka untuk menuntut rasa ‘bebas’, adalah dengan
melepaskan
ikatan
terhadap
pabrik
Pagilaran,
yakni
keluar
dari
keanggotaannya sebagai bagian dari kelompok tani setempat. Tindakan seperti ini berimplikasi pada hasil-hasil panen pucuk tehnya tidak masuk ke pabrik, tetapi dijual ke luar. Apalagi mengingat harga pucuk teh di luar, perkilonya, dua ratus rupiah lebih mahal dari harga pabrik. Ironisnya, tindakan seperti ini diikuti oleh petani-petani lain di dusunnya yang mengakibatkan bubarnya kelompok-kelompok tani di dusun Kaligenting dan Semboja barat di desa Kaliboja. Sedangkan mengenai seperti apa relasi petani dengan tengkulak-tengkulak dari Pekalongan kota, saya tidak begitu paham, sebab waktu penelitian kemarin saya tidak mengobservasinya terlalu mendalam. Apalagi hubungan antara keduanya masuk ke ranah perdagangan.
E. Penutup
11
Dalam kasus yang telah kita kaji, proyek pertanian kontrak telah menyebabkan pergeseran pertanian dari tanaman multikultur menjadi budidaya tanaman monokultur. Proyek ini dimulai atas dasar peraturan dan keputusan pemerintah yang secar umum telah tertuang dalam Inpres RI No. 1 tahun 1986, namun proses akumulasinya tidak dijalankan seluruhnya dalam kendali pemerintah. Para petani memproduksi teh basah atas dasar kontrak dalam berbagai kedudukan yang tidak bebas, sebab melalui kelompok tani dan kredit telah menyebabkan mereka semakin bergantung kepadanya. Sehingga, gagalnya upaya pembinaan kelompok tani teh, seperti yang baru saja diupayakan kembali melalai program CSR tersebut, akan berakibat putusnya hubungan dan mandegnya pemasokan pucuk teh ke pabrik Pagilaran. Kedudukan antara pabrik dan petani dalam hal tukar-menukar adalah sama. Sebab petani tidak bisa dianggap sebagai mereka yang bisa seenaknya diperintah, petani punya ‘kuasa’ sendiri dalam hal menentukan jalan mana yang lebih baik untuk dilewati, sebagaimana kasus pembubaran kelompok tani di dua dusun di Kaliboja, yaitu Kaligenting dan Semboja Timur. Meski demikian, perkebunan sistem kontrak ini tak harus dimaknai sebagai suatu ‘pengurasan’ atau ‘pemerasan’ yang dalam praktiknya tidak kentara sekali, maupun sebagai bentuk ‘penderitaan’ baru bagi petani kecil. Sistem pertanian kontrak ini sebenarnya merupakan kebutuhan bagi kebanyakan para pengelola para petani dewasa ini.
12
Daftar pustaka Ahimsa-putra, Heddy Shri, et al. 2003. Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta: Kepel Press Kartodirjo, Sartono, et. al. 1996. Dinamika Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan. Yogyakarta: Demangan Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Li, Tania Murray, (ed.). 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mauss, Marcel. 1992. Pemberian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sairin, Syafri.et.al. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sumartana. et.al.1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Inpres RI Nomor 1 tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi. Diunduh
dari
www.primaironline.com/.../2009428135129Inpres_1986_1
_Pengembangan%20perkebunan.pdf. pada tanggal 23 maret 2011 pukul 23.54 WIB. www.pekalongankab.or.id diunduh pada tanggal 17 maret 2011 pukul 02.00 WIB
13