INTEGRASI EKONOMI NUSANTARA Pokok Pembahasan Kredit Usaha Rakyat & Manajamen Pelabuhan
KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) KUR adalah skema kredit/pembiayaan modal kerja dan atau investasi yang khusus diperuntukkan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi (UMKMK) di bidang usaha produktif dan layak (feasible), namun mempunyai keterbatasan dalam pemenuhan persyaratan yang ditetapkan Perbankan (belum bankable). KUR merupakan program pemberian kredit/pembiayaan dengan nilai dibawah Rp 500.000.000 dengan pola penjaminan oleh Pemerintah dengan besarnya coverage penjaminan maksimal 80% dari plafon kredit untuk sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, dan industri kecil, dan 70% dari plafon kredit untuk sektor lainnya. Lembaga penjaminnya yang terlibat adalah 2 lembaga penjamin nasional, yaitu PT Jamkrindo dan PT Askrindo; dan 2 lembaga penjamin daerah, yaitu PT Penjaminan Kredit Daerah Jawa Timur (Jamkrida Jatim) dan PT. Jamkrida Bali MandaraTerdapat tiga skema KUR yaitu; (1) KUR Mikro dengan plafon sampai dengan Rp 20 Juta dikenakan suku bunga kredit maksimal 22% per tahun, (2) KUR Ritel dengan plafon dari Rp 20 Juta sampai dengan Rp 500 Juta dikenakan suku bunga kredit maksimal 13% per tahun, (3) KUR Linkage dengan plafon sampai dengan Rp 2 milyar. KUR Linkage biasanya menggunakan lembaga lain, seperti Koperasi, BPR, dan Lembaga Keuangan Non-bank, untuk menerus-pinjamkan KUR dari Bank Pelaksana kepada UMKMK. Yang dimaksud dengan UMKMK: a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usahaperorangan yang memenuhi kriteria: memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasilpenjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar. Kriterianya adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memilikihasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- s/d Rp. 2.500.000.000,c. Usaha Menengah adalah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Besar. Kriterianya adalah: memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,-s/d Rp. 10.000.000.000,- ( tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,- s/d Rp. 50.000.000.000,d. Koperasi adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Tujuan program KUR adalah mengakselerasi pengembangan kegiatan perekonomian di sektor riil dalam rangka penanggulangan dan pengentasan kemiskinan serta perluasan kesempatan kerja. Secara lebih rinci, tujuan program KUR adalah sebagai berikut: • • •
Mempercepat pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) Meningkatkan akses pembiayaan dan mengembangkan UMKM & Koperasi kepada Lembaga Keuangan Sebagai upaya penanggulangan / pengentasan kemiskinandan perluasan kesempatan kerja
Apakah yang dimaksud dengan usaha produktif, usaha layak dan belum bankable? 1. Usaha Produktif adalah usaha untuk menghasilkan barang atau jasa untukmemberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi pelaku usaha. 2. Usaha Layak adalah usaha calon debitur yang menguntungkan/memberikan labasehingga mampu membayar bunga/marjin dan mengembalikan seluruh hutang/kewajiban pokok Kredit/Pembiayaan dalam jangka waktu yang disepakati antara Bank Pelaksana dengan Debitur KUR. 3. Belum Bankable adalah UMKMK yang belum dapat memenuhi persyaratanperkreditan/ pembiayaan dari Bank, seperti dalam penyediaan agunan. Ada tiga (3) pilar penting dalam pelaksanaan program ini. Pertama adalah pemerintah, yaitu Bank Indonesia (BI) dan Departemen Teknis (Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perindustrian, dan Kementerian Koperasi dan UKM). Pemerintah berfungsi membantu dan mendukung pelaksanaan pemberian berikut penjaminan kredit. Kedua, lembaga penjaminan yang berfungsi sebagai penjamin atas kredit dan pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan.Ketiga, perbankan sebagai penerima jaminan berfungsi menyalurkan kredit kepada UMKM dan Koperasi. Bertindak sebagai lembaga penjaminan dalam program ini adalah PT. (Persero) Asuransi Kredit Indonesia (PT. Askrindo) dan Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo), Jamkrida Jatim dan Jamkrida Bali Mandara. Sedangkan pihak ketiga yaitu Bank Penyalur terdiri dari tujuh (7) Bank Umum dan duapuluh enam (26) Bank Pembangunan Daerah (BPD). Keenam Bank Umum penyalur KUR sampai saat ini adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri dan Bank Bukopin. Adapun 13 BPD penyalur KUR diantaranya adalah: Bank Nagari, Bank DKI, Bank Jatim, Bank Jateng, BPD DIY, Bank Jabar Banten, Bank NTB, Bank Kalbar, Bank Kalteng, Bank Kalsel, Bank Sulut, Bank Maluku dan Bank Papua. Pihak-pihak yang terkait dengan penyaluran KUR di tingkat daerah disesuaikan dengan keberadaan masingmasing bank di daerahnya.Tujuh bank umum selaku penyalur secara umum berlaku di seluruh wilayah Indonesia.Untuk bank pembangunan daerah selaku bank penyalur tergantung daerah masing-masing sesuai dengan tugas penyaluran KUR sebagaimana disebutkan sebelumnya. Koordinasi program KUR secara umum dilakukan oleh TKPK Daerah melalui kelompok program Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil. Di beberapa daerah, keberadaan TKPK Daerah ini didukung oleh Tim Percepatan Penyalur KUR dibawah koordinasi Biro Ekonomi Pemerintah Tingkat I dan II. Sumber dana penyaluran KUR 100% bersumber dari dana Bank Pelaksana. Pemerintah, melalui perusahaan penjamin hanya memberikan sebagian penjaminan terhadap Bank Pelaksana atas KUR yang diberikan kepada UMKMK. Perusahaa penjaminan mendapat Imbal Jasa Penjaminan (IJP) yang dibayar pemerintah. Karena itu, UMKMK wajib melunasi KUR yang diterima dari Bank Pelaksana. Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki potensi dan keunggulan kreativitas dalam menghasilkan produk-produk ekspor yang juga merupakan upaya untuk penganekaragaman produk ekspor Indonesia. Upaya untuk mengekspor produk UMKM masih terkendala, terutama masalah pembiayaan, serta masalah dalam kapasitas UMKM yang menyangkut Sumber Daya Manusia, pemasaran,dan pemenuhan standar perdagangan internasional yang ketat. Hal tersebut memiliki tujuan yaitu 1) Memberikan stimulus kepada UMKM untuk meningkatkan ekspor nasional. 2) Meningkatkan daya saing produk ekspor UMKM berbasis kerakyatan. 3) Meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk ekspor.
Pokok-pokok Kebijakan: 1. Menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja (Kredit Modal Kerja Ekspor/KMKE) dan investasi (Kredit Investasi Ekspor/KIE) bagi UMKM. 2. Penyaluran pembiayaan kepada UMKM yang berorientasi ekspor (UMKM Ekspor), yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Exim Bank). 3. Menetapkan tingkat suku bunga sebesar 9% p.a efektif (tanpa subsidi). 4. Menetapkan batas maksimal pembiayaan yang dapat diberikan: • KURBE Mikro : maksimal plafond sebesar Rp 5 Miliar. • KURBE Kecil : maksimal plafond sebesar Rp 25 Miliar (dengan ketentuan maksimal KMKE sebesar Rp 15 Miliar). • KURBE Menengah : maksimal plafond sebesar Rp 50 Miliar (dengan ketentuan maksimal KMKE sebesar Rp 25 Miliar). 5. Jangka Waktu KURBE paling lama 3 tahun untuk KMKE atau 5 tahun untuk KIE. 6. Sasaran utama adalah supplier/plasma yang menjadi penunjang industri dan industri/usaha dengan melibatkan tenaga kerja yang cukup banyak sesuai dengan skala usahanya. KURBE lebih besar dibandingkan KUR yang selama ini sudah dilakukan. Kredit tidak hanya kepada perusahaan yang melakukan ekspor, melainkan juga perusahaan pendukung ekspor. Meliputi KUR mikro, KUR ritel, dan KUR untuk penempatan TKI. Pada tahun 2016, ditargetkan mencapai Rp 100 triliun Realisasi KUR sesuai data Kementrian Koperasi dan UKM, total penyaluran KUR dari 4 Januari hingga 8 April 2016 mencapai Rp 31,143 triliun. Total debitor tercatat 1.290.816 orang. Persentase pencapaian serapan 31,14 persen. Total plafon dan debitor KUR Mikro masing-masing Rp 18,878 triliun dan 19.199.019 orang. KUR ritel sudah disalurkan senilai Rp 12,243 triliun kepada 90.407 orang. Adapun KUR TKI yang telah didistribusikan Rp 22,188 miliar dan 1.390 orang. Kelemahan dan kekurangan yang terjadi pada pelaksanaan penyaluran KUR Pertama, yang paling menonjol dan kasat mata adalah masih sering terjadi penyaluran yang kurang tepat sasaran. KUR sistemnya sudah bagus, hanya sasarannya saja yang salah 1. Hal tersebut, karena bantuan untuk rakyat atau pengusaha kecil itu tidak menyentuh beberapa sasaran yang seharusnya pantas mendapatkan bantuan. Jadi ada produksi yang kadang-kadang terlupa, salah satunya petani, petani harusnya disebut UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), KUR ditujukan untuk pengusaha kecil. KUR selama ini tidak menyentuh petani, nelayan, dan industri kecil. Terdapat beberapa kasus, dimana KUR diberikan kepada pengusaha yang sebetulnya tidak terlalu membutuhkan pinjaman KUR. Justru pengusaha yang sangat membutuhkan sulit mengaksesnya lantaran tidak adanya hubungan emosional/kekerabatan dengan sang pejabat/petugas bank pelaksana (BRI, BNI, BTN, Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin) 2. Kedua, pihak bank pelaksana seringkali memberikan syarat agunan tambahan dan mematok bunga di atas 24%. Padahal KUR jelas tanpa agunan karena ia sendiri telah dijaminkan oleh pemerintah kepada PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Sarana Pengembangan Usaha (SPU) sebesar Rp 1,4 triliun.3 Contohnya adalah ada beberapa bank pelaksana yang mensyaratkan debiturnya untuk menyerahkan
1
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/589503-menkeu--kredit-usaha-rakyat-tak-sentuh-pengusaha-kecil Efektivitas (kur) dalam pengembangan usaha mikro http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/publika/article/view/6550 3 http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080902082114 2
sertifikat tanah/rumah maupun BPKB mobil/motor. Sementara bunga KUR sudah ditetapkan pemerintah maksimal 16% per tahun. 4 Ketiga, proses pencairannya lambat dan terkesan berbelit-belit administrasinya. Ada kecurigaan bahwa prinsip “kemudahan” dan “kecepatan” pada KUR diselewengkan alias tidak diindahkan oleh pihak bank pelaksana. Pihak bank masih saja terjebak pada persyaratan adminsitrasi yang berbelit dan waktu pengucuran yang sangat lama. Padahal UMKM memerlukan akses yang cepat dan tidak berbelit. Keempat, penyaluran KUR disinyalir tidak merata ke seluruh segmen penerima, alias ada segmen tertentu yang menjadi penikmat terbesar sementara segmen yang lain tidak. Segmen pengusaha menengah dan koperasi yang jumlahnya minoritas, misalnya, malah menjadi penikmat terbesar. Sedangkan segmen pengusaha mikro dan kecil yang mayoritas justru menjadi penikmat terkecil. Data Populasi UMKM di Indonesia yang kami dapat berjumlah 56.534.592, terdiri dari 55,856,176 unit usaha mikro, 629,418 unit usaha kecil, dan 48,997 unit usaha menengah. Adapun usaha besar berjumlah 4,968 unit. 5
PENGENDALIAN RESIKO UNTUK MEMPERLANCAR ARUS BARANG DI PELABUHAN Latar Belakang Indonesia masih memiliki biaya waktu tunggu barang di pelabuhan atau Dwelling Time yang tergolong tinggi dibanding negara-negara di wilayah ASEAN lain. Tingginya biaya dwelling time ini dikeluhkan oleh para pengusaha logistik yang biasa melakukan kegiatan ekspor dan impor di Indoensia. Permasalahan utamanya , bukan terkait jumlah kerugian yang mereka dapatkan, tapi service level dari jasa pelabuhan yang rendah sehingga kerap merugikan importir. Penyelesaian customs clearance dan cargo release di pelabuhan masih terkendala oleh : 1. Pelayanan atas perijinan ekspor impor oleh Kementerian/Lembaga pada kondisi tertentu yang bersifat transaksional yang memerlukan waktu lama; 2. Adanya perlakuan pelayanan yang berbeda-beda atas Pengguna Jasa yang sama di setiap Kementerian/Lembaga (K/L), sehingga menimbulkan ketidakpastian dan in-efisiensi dalam kegiatan ekspor impor; dan 3. Pengelolaan risiko pada Kementerian/Lembaga belum dilakukan secara sistematis dan belum terintegrasi. Pokok-pokok Kebijakan 1. Mewajibkan semua Kementerian/Lembaga untuk mengembangkan fasilitas pengajuan permohonan perizinan secara tunggal (single submission) melalui Portal Indonesia National Single Window (INSW) untuk pemrosesan perizinan. 2. Menetapkan penerapan Indonesia Single Risk Management dalam sistem INSW dengan melakukan penerapan identitas tunggal dan penyatuan informasi pelaku usaha dalam kegiatan ekspor impor, sebagai base profile risiko dan single treatment dalam pelayanan perizinan masing-masing Kementerian/Lembaga.
4 5
Prospek Usaha Kredit Rakyat https://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_291 https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1322
3. Untuk tahap awal meluncurkan model single risk management dalam platform single submission antar BPOM dengan Bea dan Cukai yang diperkirakan dapat menurunkan dwelling time terhadap produk-produk bahan baku obat, makanan minuman, dan produk lain yang membutuhkan perizinan dari BPOM dari 4,7 hari menjadi sekitar 3,7 hari pada bulan Agustus 2016. 4. Mewajibkan penerapan single risk management pada Agustus 2016, dan diperluas penerapannya untuk beberapa Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, sehingga pada akhir Tahun 2016, diharapkan dapat berpengaruh pada penurunan dwelling time menjadi 3,5 hari secara nasional. 5. Menetapkan single risk management agar diterapkan secara penuh pada seluruh Kementerian/Lembaga penerbit perizinan ekspor/impor, sehingga akan mendorong tingkat kepatuhan Indonesia terhadap WTO Trade Facilitation Agreement menjadi 70% serta dapat menurunkan dwelling time menjadi kurang dari 3 Hari pada akhir Tahun 2017. Selama ini, tarif dasar parkir peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok Cuma Rp 27.500 per container ukuran 20 kaki, per hari. Dengan kenaikan 900%, itu artinya tariff penyimpanan peti kemas di pelabuhan di hari kedua menjadi sekitar Rp 247.500 per hari. Selama ini, banyak pebisnis mengeluhkan kondisi infrastruktur di sekitar pelabuhan yang belum memadai hingga menimbulkan biaya tambahan. Hingga saat ini, kendaraan yang ingin keluar-masuk pelabuhan harus melalui jalan-jalan yang macet. Lihat saja, betapa macetnya jalan dari pelabuhan hingga ke kawasan industry seperti Cikarang, Bekasi. Sekadar diketahui, per 14 Maret 2016, dwelling time sudah menurun menjadi 3,6 hari dari sebelumnya 6-7 hari pada 2015. "Saya ingin waktunya bisa ditekan lagi, bisa dipersingkat lagi," ujarnya, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Permasalahan Dwelling Time Di Pelabuhan Tanjung Priok Kasus dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok ini disebabkan oleh beberapa permasalahan, yaitu: 1. Masalah Kementerian Lembaga mengenai perizinan, yang mana terdapat 18 Kementerian Lembaga dalam proses dwelling time, mengakibatkan proses yang panjang dalam menunggu perizinan. 2. Pelaku usaha, importir, eksportir, broker, karena tidak menutup kemungkinan mereka menginginkan dwelling time berjalan lama alasannya adalah Pelabuhan Tanjung Priok adalah juga sebagai tempat penimbunan barang. Padahal pelabuhan fungsi utamanya adalah sebagai bongkar muat barang. 3. Penyedia jasanya, yaitu penyedia tempat penimbunan sementara. Ada 13 tempat penimbunan sementara di Pelabuhan Tanjung Priok yang mana jika memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain akan memakan cost bagi pengusaha. 4. Tidak sterilnya Pelabuhan Tanjung Priok. Di area pelabuhan terdapat makam mbah priuk sehingga waktu haul pada hari jumat area pelabuhan akan dipadati pengunjung. Padahal area pelabuhan seharusnya steril sehingga tidak ada yang mengganggu kegiatan di pelabuhan. 5. Penyebab lain lamanya dwelling time ini adalah zero inventory, yaitu ketika pabrik belum membutuhkan barang itu, daripada menumpuk di gudang pabrik sehingga ditempatkanlah di gudang penyimpanan di Priok selain lebih murah juga lebih aman.
6. Pada proses dwelling time terbagi menjadi tiga portal, yaitu pre clearance, custom clearance, dan post clearance. Pre clearance berkontribusi 60% dalam proses dwelling time dan menjadi sumber keresahan pada bulan juni 2015, dari 41.000 ijin, 38,7 persen dikeluarkan oleh Dirjen Daglu, custom clearance 11%, dan post clereance 24%