wawancara: Sanitasi Buruk, rp57 triliun hilang
Kerjasama Pemerintah dan Swasta
KPS edisi 6 - Agustus 2009
laporan khusus:
PD Pal banjarmasin l tpst bantar gebang l TPST Ciangir l
mengelola sampah secara terpadu Susah-susah Gampang 1
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
dari redaksi Inovasi Pengolahan Sampah
S
ampah sudah merupakan bagian kehidupan. Jumlah orang semakin meningkat, berarti jumlah sampah semakin ba nyak. Timbunannya semakin membubung. Kehidupan yang semakin dinamis, berarti variasi sampah semakin beragam. Karakter pengolahannya semakin rumit. Prediksi ahli menunjukkan bahwa dari 380 kota di Indonesia, pengelola sampah kota hanya mampu maksimal melayani 50% dari penduduk kota (Damanhuri, 2009). Inilah esensi tantangan penanganan sampah. Pelaksanaan pengolahan sampah masih sangat terbatas pada open dumping walaupun katanya ada TPA yang dirancang untuk sanitary landfill. Pembakaran sampah masih menjadi opsi utama untuk mengurangi timbun an. Timbunan menghasilkan gas Metan (CH4), padahal Metan merupakan salah satu bahan penyebab efek rumah kaca. Pengkomposan (composting) untungnya sudah mulai berjalan. Tak diragukan lagi diperlukan inovasi teknik pengolahan sampah, termasuk salah satu yang potensial adalah memanfaatkan sampah untuk energi (waste to energy). Banyak orang tersentak untuk menyediakan alternatif tempat pembuangan akhir (TPA) yang memadai saat terjadinya bencana longsor TPA Leuwigajah Februari 2005. Begitu banyak korban jiwa saat itu. Setelah bencana tersebut, tumpukan sampah di kota Bandung dan sekitarnya langsung menggunung tak terangkut. Walaupun sebenarnya TPA lainnya tersedia, tetapi ternyata tidak dapat menggantikan peran Leuwigajah. Keterbatasan lahan menyebabkan TPA harus berada diluar wilayah yurisdiksi kota-kota besar. Inovasi baru tak pelak lagi diperlukan untuk mendorong kerjasama antardaerah dalam penyediaan TPA, biasanya lahannya sangat luas, dan pengolahan sampah. Konsep yang dipopulerkan saat ini adalah reduce, reuse, recycle (3 R). Secara sederhana barangkali jumlah sampah dikurangi, barang-barang apapun digunakan berkali-kali sebelum dibuang, dan sampah didaur ulang. Penerapannya sayangnya masih terbatas pada skala kecil. Teman-teman pemulung contohnya mengumpulkan plastik untuk diolah kembali di pabrik plastik. Untuk beberapa pihak, kini 3R dijadikan 4R dengan ditambah reco very (pengambilan lebih lanjut). Sampah mengandung banyak material yang berharga atau justru berbahaya yang harus diproses lebih lanjut. Inovasi untuk menyediakan sistem modern berskala besar, dari pengumpulan sampah sampai fasilitas pengolahannya, untuk menerapkan konsep tersebut. Peran kerjasama pemerintah daerah dan swasta akan semakin besar dalam pengelolaan sampah. Ada urgensi penyediaan pelayanan publik di dalamnya, ada peluang bisnis dalam kesinambungan pengolahan sampah yang modern. Peluang kemitraan ini dibuka oleh pasal 27 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Mari kita berharap tumbuh kembangnya dan diterapkannya inovasi baru tentang pengolaan sampah. Selamat melaksanakan ibadah puasa, dan Selamat Hari Raya Idul Fithri 1430 H. Mohon maaf lahir dan bathin.
2
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
Kerjasama Pemerintah dan Swasta
KPS PENASIHAT/PELINDUNG
daftar isi Agustus 2009
4
LAPORAN UTAMA
Mengelola Sampah Terpadu Susah-susah Gampang
24
KOlom kemitraan
10
Catatan KPS Dalam Pengelolaan Limbah Padat
LAPORAN KHUSUS
Ramah Lingkungan dan Berteknologi Tinggi
Deputi Bidang Sarana & Prasarana, Bappenas PENANGGUNG JAWAB
Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah & Swasta Bappenas PEMIMPIN REDAKSI
Yudo Dwinanda Priaadi DEWAN REDAKSI
Jusuf Arbi, Rachmat Mardiana Sunandar, Eko Wiji Purwanto
22
DINAMIKA
REDAKTUR PELAKSANA
Asia-Pacifik Ministeral Conference in PPP for Infrastucture Development 2010 Resmi dibuka
Ahmed Kurnia Gusti Andry REPORTER/RISET
Fauzi Djamal, Bambang Mustaqim, Lies Pandan Wangi FOTOGRAFER
R Langit M DESIGN GRAFIS
2 DARI REDAKSI LAPORAN UTAMA
4 Mengelola Sampah Terpadu Susah-Susah Gampang
F Imelda L
7 Geliat Jawa Barat Bangun 3 TPST
ALAMAT REDAKSI
Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana membangun tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di tiga lokasi, yaitu Leuwigajah, Legoknangka dan Nambo.
Infrastucture Reform Sector Development Program (IRSDP) BAPPENAS Jl. Tanjung No.47 Jakarta 10310 Tel. (62-21) 3925392 Fax. (62-21) 3925290
9 Nambo Siap Ditenderkan Pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Nambo di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat segera terealisasi. Tender pada akhir tahun 2009.
LAPORAN KHUSUS
SOROT
Ramah Lingkungan dan Berteknologi Tinggi
20 Pengelolaan Limbah Domestik
12
21
10
‘Pengaturan Sampah Perlu PP’
13 TPST CIANGIR Antisipasi di Masa Mendatang Tidak cukup mengandalkan Bantar Gebang, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kabupaten Tangerang akan membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Ciangir. 15 Banjarmasin Menuju Kota Sungai Bebas Tinja 18
IR BUDI HIDAYAT Akibat Sanitasi Buruk Rp57 Triliun Hilang Tiap Tahun
dan Pabrik di Malaysia
Air dan Sanitasi di Afrika Selatan
DINAMIKA
22 Asia-Pacifik Ministeral Conference in PPP for Infrastucture Development 2010 Resmi Dibuka 23 Launching Public Private Partnership (PPP) Book dan Fungsionalisasi Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta (PKPS) KOLOM
24 Simpul KPS Dalam Pengelolaan Limbah Padat INFO KPS
3
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
LAPORAN utama
LAPORAN utama
Mengelola Sampah Terpadu
Susah-Susah Gampang Sampah adalah masalah paling memusingkan bagi pemerintah. Sejak berabad lalu, sampah sudah menjadi suatu isu yang memerlukan penanganan tersendiri. Hakikatnya, teknologi pengelolaan sampah tergolong gampang. Namun, karena seolah tak memberikan hasil nyata, masalah ini nyaris tak tergubris.
Ketika ilmu teknologi berkembang dengan pesat dan
Sampah di saat sekarang tidak lagi ditimbun begitu saja 4
berbagai mesin pengolah sampah ditemukan, masih saja berbagai kendala menghadang pengelolaan nya. Memang tidak gampang men gurus sampah, apalagi bila harus mengolahnya secara terpadu. Sampah di saat sekarang tidak lagi ditimbun begitu saja lalu dibi arkan membusuk atau, ditanam di tanah agar menjadi subur. Berba gai metode baru telah diciptakan untuk mengolah sampah, yang pada kenyataannya adalah lim bah tak terpakai, menjadi produk berdaya guna, menghasilkan dan
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
ramah lingkungan. Lantas, siapa yang akan mengelolanya? Jawabnya bisa gampang. Seperti yang diungkapkan Bapak Dedy Priadi Priatna, Deputi Sa rana dan Prasarana Badan Peren canaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Setiap pemerintah daerah bisa saja mengalokasikan tipping fee kepada pihak penge lola. Logikanya, Pemda memba yar dan mempersilakan kepada swasta untuk mengelola sampah atau sanitasi secara keseluruhan. “Tapi harus lebih baik, lebih ber sih,” ujar Pak Dedy kepada Majalah KPS, pertengahan Agustus 2009 di Kantor Bappenas.
Ia mencontohkan Pemda DKI tiap tahun mengalokasi kan dari APBD Rp110 ribu per ton untuk dikelola oleh Dinas Kebersihan, mulai pengangkutan sampai pengolahan. “Nah, sekarang dikasihkan ke swasta, ditenderkan seperti di Bantar Gebang. Pemenangnya itu sebesar Rp103 ribu per ton sampah,” jelasnya. Namun, lanjut Pak Dedy, alangkah eloknya jika tanpa mengeluarkan tipping fee pemerin tah bisa mengolah sampah. Dari alokasi tipping fee itu sendiri pe merintah bisa mengolah sampah untuk memperoleh dana Clean
Development Mechanism (CDM) dari gas metan yang dihasilkan. Selain itu, sampah juga bisa diolah menjadi energi listrik. “Atau, sampahnya diolah menjadi pupuk atau fertilizer. Terus yang lainnya di-recycle. Nah, ke depan idenya seperti itu,” harapnya. Sebagai percontohan, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bandung Raya dan Nambo di Kecamatan Klapanunggal, Kabu paten Bogor, adalah proyek-proyek prioritas sanitasi dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang dibesut bersama oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Pemprov Jawa Barat. Sam pai saat ini, proyek-proyek itu masih dalam proses pengambilan tes gas metan sebagai produk berdaya guna yang ramah lingkungan (CDM). Sedangkan pemerintah setempat, se mentara ini, sudah menjalankan proyek sanitary landfill-nya. ”Sampai saai ini, investasi di kedua tem pat masih oleh pemerintah saja dalam arti Pe merintah Provinsi Jawa Barat. Investasi itu un tuk sanitary landfill. Sedangkan pengambilan tes gas metannya, ke depan nanti, bisa diker jasamakan dengan swasta,” ujar Budi Yuwono, Direktur Jendral Cipta Karya, kepada Majalah KPS, awal Agustus, di Kantor Departemen Pe kerjaan Umum, Jakarta. Salah satu bentuk kerjasama pengelolaan CDM yang sudah mulai ditawarkan ke inves tor asing, yaitu di TPST Legok Nangka. ”Saat ini sudah ada investor dari Korea yang kita
tawarkan untuk pengelolaan CDM yaitu di Legok Nangka,” ungkap Budi. Sementara itu, dari informasi yang dida pat dari Departemen Pekerjaan Umum, proyek pembangunan TPST Bandung Raya dan Nambo ini masih cukup alot. Mengenai tender yang akan ditawarkan, sebenarnya sudah banyak pihak swasta yang berminat. Namun, siapa saja calon investor itu masih belum di munculkan ke permukaan. Hal tersebut dika renakan masih terdapat persoalan-persoalan internal di sekitar lokasi TPST. Sebenarnya, metode terbaru yang akan segera dikembangkan di Indonesia, terutama di daerah Jawa Barat adalah pengelolaan sampah yang dilakukan secara berkesinambungan dan ramah lingkungan. Sedapat mungkin protes masyarakat dan dampak buruk sampah pada lingkungan diminimalisasi. Paling penting untuk diingat adalah ke beradaan tempat pengelolaan sampah harus dapat memberikan hasil nyata, bermanfaat dan memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat, seperti misalnya dengan memberdayakan pen duduk sekitar untuk bekerja di tempat pengelolaan sampah, sehingga terciptalah hubungan yang baik antara penduduk dan pemerintah yang berwenang di TPS.
Tiga Pengelolaan Ada tiga pengelolaan sampah yaitu pemilihan sampah, pengolahan sampah dengan menggu nakan teknologi seperti composting (Pengkom
Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy Priadi Priatna dalam pembukaan Asia-Pacifik Ministeral Conference in PPP for Infrastucture Development 2010. Berita terkait hal 22.
posan) ataupun pengambilan gas metan untuk bahan bakar biomassa dan pengelolaan akhir berupa penimbunan atau sanitary landfill. Nana Priatna, Kepala Pusat Pengolahan Persampahan Jawa Barat (P3JB) Dinas Per mukiman Jawa Barat, menjelaskan bahwa yang ditimbun adalah sisa terkecil dari volume sampah yang sudah tidak berguna lagi atau yang dikenal dengan istilah the less residue. Setelah tidak bisa diolah menjadi kompos atau tak bisa lagi diambil gas metannya, maka sampah baru boleh dibuang. Penanganan sampah cara baru ini meng gunakan metode dan teknologi canggih yang akan segera diterapkan di tiga lokasi di Jawa Barat yaitu Nambo di Bogor, Leuwigajah dan Legoknangka di Bandung. Pemilihan dua lokasi di Bandung didasar kan pada jumlah penduduk dan luas wilayah Bandung. Lokasi di Leuwigajah diperuntuk kan bagi Bandung bagian barat, kota Cimahi, kabupaten Bandung Barat, dan sebagian kabu paten Bandung. Legoknangka untuk Bandung Bagian timur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang dan sebagian kota Cimahi. Pemilihan ketiga lokasi TPST bukanlah tanpa alasan. Berdasarkan penjelasan Nana Priatna, tiga lokasi itu telah memenuhi berba gai syarat yang ditentukan untuk bisa menjadi TPST yang ideal, diantaranya jarak tempuh, kondisi tanah dan pertimbangan sosial. Meski demikian, berbagai kekhawatiran masih kerap muncul terkait dengan musibah longsor di Leuwigajah. Proyek TPST di daerah itu dicemaskan akan memicu berulangnya musibah yang sama. Untuk hal ini, Nana yakin Leuwigajah merupakan tempat yang aman untuk membangun proyek TPST. Pasalnya, musibah longsor yang terjadi bukan karena kondisi geologis tanah di Leuwigajah, melainkan karena penimbunan sampah yang sudah jauh melebihi kapasitas. Selain itu, masyarakat Leuwigajah tetap positif dalam menyambut kehadiran TPST dalam waktu dekat ini. Walau begitu, mereka tetap mengajukan syarat yang kemudian ditanggapi pemerintah dengan memberikan penjelasan tentang metode baru yang di pastikan aman dan akan memberikan man
5
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
LAPORAN utama faat bagi masyarakat sekitar dan lingkungan sekeliling Leuwigajah. Di Bogor, keberadaan TPST di Nambo, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat adalah untuk memenuhi keperluan penampungan sampah yang berasal dari warga kota Depok, kota Bogor, dan Kabupaten Bogor. Bila pembangunan sesuai dengan rencana, maka TPST Nambo akan berdiri di atas lahan seluas 100 hektar dengan akses jalan masuk sepanjang dua kilometer. Lokasi ini nantinya juga akan dilengkapi dengan buffer zone atau zona penyangga berupa pepohonan yang di harapkan mampu memberikan suasana hijau dan sejuk di lingkungan sekitar TPST.
Proposal KPS Sekali lagi, masalah sampah ini memang su sah-susah gampang. Pun, terkait bagaimana mengawali itikad untuk melaksanakannya. Masih banyak pengelola air bersih di daerah atau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) --yang sementara ini menjadi penanggungja wab sebagain besar sanitasi di daerah-- belum berhasil menjalankan skema KPS. Hal terse but ternyata dipicu oleh belum mengertinya mereka dalam membuat proposal skema KPS dengan baik. Menurut Rachmat Karnadi, Kepala Badan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penye diaan Air Minum (BPPSPAM), kebanyakan dae rah masih belum mengerti benar dalam mem buat proposal skema air bersih. ”Mereka belum sepenuhnya mengerti dalam membuat konsep proposal kerjasama. Belum memahami aturan hukumnya. Padahal, di dalam undang-undang sudah dijelaskan bagaimana untuk menjalankan proses kerjasama,” ungkapnya ketika ditemui di ruang kerjanya, pertengahan bulan lalu. Berdasarkan Peraturaan Pemerintah No mor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, dalam pasal 37 sudah dijelaskan bahwa dalam wilayah BUMD, apabila tidak dapat meningkatkan ki nerja, maka dapat bekerjasama dengan swasta. Lalu dalam pasal 64, di luar wilayah pemerin tah daerah, kerjasama dapat dilakukan secara terbuka dengan sistem tender. Masih menurut Rachmat, persoalan KPS air di daerah sejauh ini masih banyak keku
6
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
rangan dalam Petunjuk Teknis Penyiapan Proyek KPS yang meliputi Tahap Penyusunan Identifikasi Kegiatan, Tahap Penyusunan Pra Studi Kelayakan, Tahap Penyiapan Ke lembagaan, Tahap Penyiapan Aspek Penga turan dan Sosialisasi. ”Biasanya pada tahap penyusunan studi kelayakan (feasibility study) di daerah itu masih banyak yang asalasalan,” ungkapnya. Jika itu yang terjadi, tambah dia lagi, sudah pasti skema KPS di daerah tidak akan berjalan. Rachmat lantas memberikan gambaran skema pembiayaan yang benar untuk men jalankan Petunjuk Teknis Penyiapan Kegiatan KPS dalam proyek-proyek air bersih dan sanitasi. PDAM dapat melakukan beberapa tahapan. Pertama, sumber pendanaan bisa dari pinjaman atau modal sendiri. Kedua, khusus dalam tahapan skema KPS, feasibility study bisa dilakukan oleh inisiatif swasta atau dibuat oleh pemerintah daerah, dalam hal ini oleh PDAM. Guna mengatasi hal ini, BPPSPAM tengah menyosialisasikan kesulitan-kesulitan daerah
LAPORAN utama investor swasta, PT Aetra Air Tangerang dalam mengerjakan instalasi Pengolahan Air (IPA) di Kecamatan Sepatan di atas lahan seluas 1,7 hektar --dilengkapi dengan reservoir (penam pungan air). Biaya investasi IPA mencapai Rp520 miliar. PT Aetra Air Tangerang meru pakan pemasok air bersih. Mulai Juni 2010 atau 12 bulan setelah dimulainya pembangu nan instalasi Juni lalu, masyarakat Tangerang sudah dapat menikmati air bersih yang lang sung dapat diminum. Saham PT Aetra Air Tangerang 75 persen dikuasai Acuatico Pte Ltd, 25 persen sisanya milik Capitalinc Investment Tbk. Aetra Air Tangerang memegang konsesi 25 tahun untuk melayani kebutuhan air bersih di Kabupaten Tangerang. Accuatico juga pemegang saham 95 persen atas PT Aetra Air Jakarta yang me layani kebutuhan air bersih masyarakat Jakar ta bagian timur dan utara yang masuk dalam kategori brown field atau mengolah air minum pada jaringan yang sudah terpasang. Ke depan, BPPSPAM sudah menyiapkan skema KPS di enam daerah, masing-masing di
Geliat Jawa Barat
Bangun 3 TPST Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana membangun tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di tiga lokasi, yaitu Leuwigajah, Legok Nangka dan Nambo. Upaya ini sebagai bentuk antisipasi atas meningkatnya produksi sampah masyarakat Jawa Barat.
Seharusnya sudah tidak ada lagi kebingungan dalam pembuatan kegiatan kps dalam menjalankan Petunjuk Teknis Penyia pan Kegiatan KPS dalam proyek air bersih dan sanitasi. ”Dalam masalah payung hukumnya saja, daerah masih banyak yang bingung un tuk menggunakan peraturan pemerintah yang sudah ada. Padahal jelas di sini telah disebut kan. Jadi seharusnya sudah tidak ada lagi ke bingungan dalam pembuatan Petunjuk Teknis Penyiapan Kegiatan KPS dalam proyek-proyek air bersih dan sanitasi,” kata Rachmat. Walaupun masih cukup banyak daerah yang mengalami kesulitan dalam melaksana kan Petunjuk Teknis Penyiapan Kegiatan KPS, namun banyak juga yang berhasil menjalan kannya. Semisal di Tangerang dimana peme rintah setempat telah berhasil menggandeng
Cikarang, Bekasi, Bandar Lampung, Loh Be ner Kabupaten Indramayu, Kabupaten Intan Banjar, Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Bandung Barat dan Selatan. Selain skema KPS yang sudah disiapkan untuk enam daerah itu, BPPSPAM juga tengah menyelesaikan proses kerjasamanya di tiga daerah, yaitu di Jambi, Semarang dan Kabupaten Pati. Melihat kenyataan yang ada, sebagian be sar investasi memang lebih terkonsentrasi pada pengolahan air bersih. Bukan pada bagaimana mengelola air limbah. Padahal, pengolahan air bersih ataupun air limbah termasuk da lam pengelolaan sanitasi secara terpadu. Ini lah yang disebut mengelola sampah menjadi susah-susah gampang.
Pertumbuhan kota serta laju pertumbuhan penduduk
Di kota besar sampah menjadi persoalan pelik dan harus ditangani serius
menjadi faktor utama diperlukannya tempat peng olah sampah terpadu. Hal itu berakibat pada meningkatnya volume sampah yang diproduksi masyarakat. Di sisi lain, lahan untuk penampung an sampah juga makin terbatas. Menurut Nana Priatna, Kepala Pusat Pengolahan Persampahan Jawa Barat (P3JB) Dinas Pemukiman Jawa Barat, sampah yang tidak tertampung memerlukan tem pat khusus pengolahan sampah. Pertumbuhan jumlah penduduk berakibat pada tingginya volume sampah. Di kota kecil kon disi ini tidak terlalu mengkhawatirkan, karena vo lume sampah masih sedikit, sehingga penanganan nya relatif lebih mudah. Tapi, kota besar semacam Bandung, Cimahi, ataupun Bogor, sampah jadi permasalahan pelik dan harus ditangani serius. Sejak 2004, Pemprov Jabar bersama lembaga swadaya masyarakat melakukan kajian tentang penanganan sampah. Hasilnya merekomendasikan
agar pemprov membentuk tempat khusus pengo lahan sampah terpadu yang bersifat regional dan membentuk kelembagaan khusus yang menan gani dan mengelola sampah regional. “Upaya ini telah dilakukan jauh sebelum ter jadinya musibah longsor di tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah pada 21 Februari 2005. Setelah peristiwa itu, kami makin intensif melaku kan kajian masalah persampahan khususnya ten tang cara menangani sampah. Memang momen tumnya bertepatan dengan musibah longsor Leu wigajah,” tandas pria berkacamata ini. Kajian pun terus dilakukan dan akhirnya Pemprov Jabar memutuskan membangun tem pat pengolahan sampah terpadu di dua wilayah yaitu Bandung dan Bogor. Untuk Bandung terbagi dua, yaitu Leuwigajah yang meliputi wilayah Bandung bagian barat dan Legok Nangka yang meliputi wilayah Bandung bagian timur. Sedang kan di Bogor, terpilihlah Nambo. Daerah Leuwigajah meliputi Kota Bandung bagian barat, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan sebagian Kabupaten Bandung. Legoknangka terdiri dari Kota Bandung bagian timur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang dan sebagian Kota Cimahi.
7
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
LAPORAN utama Atas dipilihnya tiga lokasi itu, Nana punya alasan khusus. Menurutnya, ketiga lokasi itu sudah memenuhi berbagai ketentuan yang telah disyaratkan, seperti jarak lokasi, kondisi tanah dan per timbangan sosial. “Jarak tempuh ideal dari kota menuju lokasi pengolahan sampah maksimal 40 kilometer. Jika makin panjang jarak tempuh maka biaya transportasi makin mahal. Faktor struktur tanah dan unsur geologis juga turut menentukan. Kajian atas ketiga daerah itu menunjukkan ta nahnya tergolong aman, tidak mudah erosi, dan stabil,” ungkap Nana.
Model baru Terkait munculnya kekhawatiran terulangnya musibah longsor di Leuwigajah, Nana menegaskan kondisi dan struktur tanah Leuwiga jah tergolong aman dan telah memenuhi persyaratan. Longsor yang terjadi disebabkan timbunan sampah yang sudah berlebihan bukan pada struktur geologis tanahnya. “Masyarakat Leuwigajah juga tidak menolak keberadaan tem pat pengolahan sampah di lingkungannya tapi mereka mengajukan Nana Priatna
syarat yang harus dipenuhi. Kami pun berhasil meyakinkan mereka bahwa cara pengolahan sampah yang dilakukan berbeda dibanding kan sebelumnya,” tuturnya. Saat ini pengelolaan sampah, urai dia, tidak lagi dibuang dan ditimbukan di suatu kawasan melainkan harus diolah hingga aspek terkecil dan sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Singkatnya, pengelo laan sampah dilakukan secara berkesinambungan dan ramah ling kungan. Yang terpenting, keberadaan tempat pengolahan sampah harus mampu memberdayakan masyarakat sekitar dan memberikan manfaat serta bernilai ekonomis. Ada tiga kriteria pengelolaan sampah yaitu pemilihan sampah, pengolahan sampah dengan menggunakan teknologi seperti composting ataupun pengambilan gas metan untuk bahan bakar biomassa dan pengelolaan akhir berupa penimbunan atau sanitary landfill.
8
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
“Jadi yang ditimbun adalah sisa terkecil dari volume sampah yang sudah tidak berguna lagi atau the less residue. Sampah baru dapat dibuang setelah tidak bisa diolah menjadi compost ataupun diambil gas metannya. Penanganan ini menggunakan metode dan teknologi canggih. Hal inilah yang akan dilakukan di ketiga lokasi itu,” jelas Nana.
Gandeng swasta Penanganan sampah model baru ini jelas memakan biaya yang tak sedikit. Karenanya Pemprov Jabar mengundang pihak swasta turut berpartisipasi dalam membangun tempat pengolahan sampah ter padu. Pola yang ditawarkan adalah build, operate, transfer (BOT). Swasta diperkenankan membangun tempat pengolahan sampah lalu dioperasikan hingga jangka waktu tertentu. Setelah itu pengelolaan diserahkan ke pemprov dan menjadi hak milik pemprov. Swasta akan memperoleh keuntungan dari tipping fee yang diba yarkan oleh unit kerja/lembaga yang membuang sampah ke tempat itu. Setiap sampah yang diolah juga dikenakan biaya. Hasil pengolah an sampah dapat dijual swasta kepada pihak lain dalam bentuk kompos ataupun gas metan yang bermanfaatkan untuk tenaga listrik. Masyarakat juga diuntungkan karena lingkungannya menjadi bersih dan terbebas dari sampah. Hingga saat ini, Nana mencatat sekitar 34 perusa haan baik asing maupun domestik yang berminat untuk berinvestasi dalam bidang pengolahan sampah. Bentuk penawaran berupa pengolahan yang diambil gasnya, biomassa, composting plan dan landfill gas. Pihaknya pun terus melakukan langkah persiapan yang meliputi ketersedian infrastruktur dasar seperti jalan akses menuju lokasi tempat pengolahan sampah, studi kelayakan, dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). “Untuk Leuwigajah, sekarang memasuki tahap per siapan lelang untuk pengadaan investor karena studi ke layakan sudah selesai, penentuan detail engineering design (DED) sudah ada, dan AMDAL sedang dalam proses pengerjaan dengan total lahan mencapai sekitar 85 hektar. Kami op timis proses tender selesai tahun 2009 dan sudah terpilih investornya. Tahun 2012 ditargetkan sudah bisa beroperasi,” ujar Nana. Diharapkan, Legoknangka dan Nambo dapat segera menyusul. Proses kajian sosial dan masterplan Legok Nangka seluas 60 hek tar sudah selesai dan memasuki tahap penyusunan AMDAL dan DED. Sedangkan Nambo dengan luas areal hampir 100 hektar telah memiliki kajian sosial, DED dan AMDAL, sehingga akan dipersiap kan untuk proses tender investor. Nana berharap pembangunan tempat pengolahan sampah di tiga lokasi itu dapat terwujud. Tujuannya agar masyarakat dapat merasakan langsung dan membuktikan bahwa tempat pengolahan sampah bukan lagi tempat yang menjijikkan, tapi bisa berfungsi se bagai sarana ecoeducation dan ecotourism.
Nambo Siap Ditenderkan Pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Nambo di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat segera terealisasi. Pemprov Jawa Barat berencana menggelar proses tender pembangunan pada akhir tahun 2009. Masyarakat Bogor dan Depok tak lama lagi bisa bernapas lega. Pembangunan TPST Nambo ditargetkan rampung dan siap dioperasikan pada tahun 2011. Menurut Kepala Unit Pengolahan Operasional Nambo Ateng S Sas mita, terdapat dua tahapan pem bangunan TPST Nambo. Pertama, pembangunan fasilitas sanitary landfill. Dan kedua, unit pengolahan sampah. Saat ini pihaknya tengah mempersiapkan bangunan fisik sanitary landfill yang akan digunakan untuk penampungan sampah. “Pembangunan sanitary landfill memang menjadi tanggung jawab pemda, termasuk juga pembebasan lahan dan pembangunan jalan akses menuju TPST Nambo. Sedangkan pihak investor swasta akan dili batkan dalam pembangunan unit pengolahan sampah. Proses tender diharapkan bisa dimulai pada akhir tahun 2009,” kata Ateng. Ateng S Sasmita
Direncanakan, TPST Nambo berdiri di atas lahan seluas 100 hek tar dengan akses jalan masuk sepan jang dua kilometer. Lokasi itu juga dilengkapi dengan zona penyangga (buffer zone) berupa pepohonan, sehingga mampu memberikan sua sana hijau dan sejuk di lingkungan sekitar TPST. Keberadaan TPST Nambo, ungkap Ateng, dirancang untuk me nampung sampah dari warga kota Depok, kota Bogor dan kabupaten Bogor karenanya sumber dana pembangunan tidak hanya berasal dari Pemprov Jabar, melainkan juga dari Pemkot Depok dan Bogor serta Pemkab Bogor. Volume produksi sampah ke tiga daerah itu terus meningkat, sehingga sangat diperlukan TPST yang bersifat regional. Ditambah lagi tempat pembuangan akhir sampah (TPA) yang berada di Ka bupaten Bogor tidak layak pakai
dikarenakan sudah melebihi masa umur teknis dan daya tampung. Kini hanya tersisa satu tempat, yaitu TPA Galuga setelah TPA Pondokrajeng ditutup sejak tahun 2008. “Kondisi itu tidak boleh dibiarkan karenanya proses pembangunan Nambo harus dipercepat. Bentuk yang digunakan juga berbeda, sampah tidak lagi hanya ditam pung dan ditimbun melainkan diproses dan diolah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk beragam kegiatan,” ujar pria yang juga merangkap sebagai Kepala UPT Kebersihan dan Sanitasi I Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor. Skema pengolahan sampah di Nambo terdiri dari beberapa tahapan. Ketika sampah masuk ke TPST, maka diharuskan melewati tahap material recycling facility (MRF) yaitu pemilihan sampah. Setelah itu, proses intermediate treatment facility (ITF) dilakukan yaitu sampah diolah, sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Proses ini menggu nakan teknologi tinggi yang ramah lingkungan. Hasil yang diperoleh berupa gas metan yang dapat digunakan untuk tenaga listrik maupun kompos. “Proses inilah yang akan melibatkan sektor swasta melalui mekanisme kerja sama pemerintah swasta. Untuk Nambo, nilai investasi yang ditawarkan sekitar Rp350 miliar,” tuturnya. Ateng menjamin keberadaan TPST Nambo tidak akan menimbulkan masalah lingkungan seperti pencemaran limbah aki bat pembuangan sampah. Sebab pengolahan sampah yang diterapkan TPST Nambo ber beda dengan tempat lain. Lokasinya pun ber jarak dua kilometer dari pemukiman sehing ga sangat aman dan tidak akan mengganggu aktivitas warga. “Sampah tidak ditumpuk dan ditimbun tetapi diolah dengan menggunakan teknolo gi tinggi sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Sisa sampah baru ditimbun tapi jumlahnya sangat kecil yaitu hanya 5% set elah sampah sudah tidak lagi termanfaatkan,” tegas Ateng.
9
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
LAPORAN khusus TPST Bantar Gebang
Ramah Lingkungan dan Berteknologi Tinggi Pengembangan TPA Bantar Gebang menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) layak diapresiasi. Pasalnya, dengan menjadi TPST, pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan akan segera terwujud. Nama Bantar Gebang sudah tak asing lagi. Siapapun di negeri ini bisa dipastikan
Aktivitas pemulung di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantar Gebang
10
mengenal nama ini, paling tidak pernah mendengarnya. Apalagi, bagi warga DKI Jakarta dan kota-kota di sekitar nya, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Sejak Agustus 1989, kawasan seluas 108 hektar yang be rada di tiga desa, yakni Desa Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumur Batu, Kabupaten Bekasi ini, ditetapkan sebagai TPA (Tempat Pemusnahan Akhir) sampah. Sayangnya, meski sudah beroperasi selama 20 tahun, keberadaan TPA Bantar Gebang sepertinya belum bisa menyelesaikan persoalan sampah di DKI Jakarta dan kotakota di sekitarnya secara optimal. Berdasarkan studi yang dilakukan SAPROF tahun 2007, volume timbunan sampah padat di DKI Jakarta mencapai 27.966 m3 per hari (setara 6.000 ton). Volume sampah ini meningkat rata-rata 5% per tahun. Karenanya, pada 2010, Jakarta akan tertimbun sampah sebanyak 6.894 ton per hari. Pada 2025, timbunan sampah diprediksi mencapai 8.210 ton per hari. Sementara itu, jumlah sampah yang bisa diangkut ke TPA Bantar Gebang pada 2007, hanya 85% dari total timbunan sampah. Ini semua karena jumlah armada pengangkut yang dimiliki Dinas Kebersihan DKI Jakarta masih kurang. Apalagi dari armada yang ada,
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
40% kondisinya tidak laik jalan. Sedangkan TPA Bantar Gebang sendiri, juga belum memiliki sistem pengolahan sampah padat (solid waste management) berbasis teknologi tinggi yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kondisi sosialnya. Yang bisa dilakukan hanya menimbun dan mengolah sampah organik menjadi kompos. Padahal, sampah juga bisa menghasilkan sumber energi listrik dan gas yang bermanfaat bagi kehidupan. Selain persoalan utama di atas, permasalahan sampah di Jabodetabek juga disebabkan beberapa faktor. Pertama, minimnya instalasi ITF berbasis teknologi di dalam kota yang mampu mengolah sampah menjadi kompos, energi listrik, dan gas (dari empat instalasi yang direncanakan baru satu yang beroperasi). Kedua, minimnya peran serta swasta dalam pengelolaan sampah dan pembangunan serta pengoperasian ITF. Ketiga, belum optimalnya kerjasama antar pemerintah daerah di kawasan Jabodetabek dalam mengelola sampah secara bersama-sama (regional). Keempat, rendahnya peran serta masyarakat dalam Program 3R. Program yang dirancang untuk skala Rumah Tangga (RT), Rukun Warga (RW), dan kawasan ini, bertujuan mereduksi volume sampah dari sumbernya menjadi kompos. Hingga 2007, program ini hanya bisa mereduksi sampah sekitar 10% dari volume sampah di DKI Jakarta. Bahkan, sesuai RPJMD 2007–2012, sampai tahun 2010, program ini ditargetkan hanya bisa mereduksi sampah hingga 20%. Artinya, produksi sampah di DKI Jakarta masih sangat tinggi. Akibatnya, sampah dari berbagai jenis di TPA Bantar Gebang terus menggunung dan menimbulkan pencemaan lingkungan. Para pemulung liar pun terus berdatangan mengais rezeki. Akibatnya, timbullah permasalahan sosial seperti, kependudukan, kemiskinan, kriminalitas, dan lainnya. Dari data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, jumlah pemulung saat ini mencapai lebih dari 1.500 orang.
Dinas Kebersihan DKI Jakarta bekerjasama dengan pemerintah daerah terkait, berupaya memecahkan permasalahan sampah secara komprehensif dan berkesinambungan. Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bahruna mengatakan salah satu upaya yang dilakukan adalah memisahkan fungsi regulator dengan operator. “Secara bertahap, Dinas Kebersihan DKI Jakarta akan melepas fungsinya sebagai operator kepada swasta. Dengan cara ini, pemerintah bisa menghemat anggaran, karena yang melakukan investasi sebagian besar adalah swasta,” ujarnya kepada Majalah KPS, di ruang kerjanya, awal Agustus 2009. Pihaknya akan mengembangkan TPA Bantar Gebang menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Pengembangannya meliputi: Pertama, pengoperasian TPA Sanitary Landfill. Kedua, pembebasan tanah (enclave) 2,3 hektar. Ketiga, optimalisasi TPA (peninggian dan penggabungan zona). Keempat, penerapan teknologi tinggi ramah lingkungan untuk proses pemilahan, pengomposan, dan daur ulang sampah. Kelima, ekstraksi (pemanfaatan) gas (CDM) pada zona non aktif. Keenam, landfill mining pada zona non aktif. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan PT Godang Tua Jaya yang melakukan joint operation dengan PT Navigate Ponda Mixing. Selanjutnya, investor harus melaksanakan kewajibannya seperti, melakukan studi kelayakan, studi Amdal, investasi dan pengoperasian TPST, pengelolaan lingkungan, menjalankan sistem bagi hasil usaha dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemda Bekasi, serta memantau multiplier effect bagi Bekasi, DKI Jakarta, bahkan nasional. Sedangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkewajiban menyediakan tanah siap pakai, membantu pengurusan izin dan studi Amdal, serta membayar tipping fee kepada investor berdasarkan proposal bisnis. Menurut Eko Bahruna, pembangunan yang saat ini berjalan adalah pemasangan instalasi pengolahan sampah untuk menghasilkan energi listrik berkekuatan 26 megawatt dan gas CDM. Proses pembangunannya memakan waktu sekitar dua tahun dan saat ini memasuki bulan ke-6. “Yang sedang berjalan adalah pembangunan sarana fisik seperti, menyiapkan dan penggalian lahan, pelapisan lahan pembuangan sampah dengan plastik gilmembran untuk mencegah pencemaran, serta pemasangan pipa untuk pengambilan gas,” jelasnya. Jangka waktu konsesi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan investor ini berjalan paling lama 15 tahun dengan nilai investasi sebesar Rp700 miliar. Masa konstruksi dan pengembangan TPST disesuaikan dengan jadwal yang telah ditetapkan. Selanjutnya, kontrak akan ditinjau lagi kelayakannya setiap lima tahun sekali. Selain itu, tipping fee yang diusulkan investor harus sesuai dengan kemampuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yakni, berkisar Rp 103.000 per ton. “Sebenarnya, Bantar Gebang sudah over capacity, tapi kita tak ada pilihan lain. Sementara lahan 98 hektar yang ada, juga belum bisa dimanfaatkan. Selain itu, karena belum ada contoh bagus, pemda di sekitarnya juga belum berpartisipasi. Memang, mengelola Bantar Gebang itu seperti merawat orang sakit, dari pada sakitnya makin parah kita lakukan upaya penyembuhan. Tapi di Ciangir, Tangerang, karena lahan kosong, sistemnya menggunakan bendapro (bunker bawah tanah).
Tapi saya yakin, jika Bantar Gebang atau Ciangir sudah bagus, pemda di sekitarnya pasti akan tergerak ikut terlibat,” terang Eko. Yang jelas, berdasarkan jadwal pelaksanaan proyek, pada 2009 ini beberapa instalasi siap dioperasikan. Di antaranya, optimalisasi TPA berupa peninggian dan penggabungan zona penimbunan. Sedangkan yang siap beroperasi pada akhir 2009 adalah penerapan teknologi tinggi untuk pemilahan, daur ulang dan composting sampah Tahap I dengan kapasitas 1000 ton/hari, pemanfaatan (ekstraksi) gas (CDM), dan pelaksanaan landfill mining. Selanjutnya, pada tahun 2010 dan 2011 akan dioperasikan penerapan teknologi tinggi untuk pemilahan, daur ulang dan komposing sampah Tahap II dan Tahap III. Masing-masing berkapasitas 1000 ton/hari.
Modernisasi
Selain mengembangkan Bantar Gebang menjadi TPST, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga memodernisasi sistem pengelolaan sampah di dalam kota. Bentuknya adalah, swastanisasi program sanitasi lingkungan di 28 kelurahan. Program ini dijalankan sejak 2008. Mulai dari tukang sapu, tukang angkut, dan kendaraan sampah dikelola oleh swasta. Khusus untuk kendaraan dan truk sampah, sejak 2009, Dinas Kebersihan DKI hanya menyewa 56 kendaraan milik swasta. “Jadi ada program swastanisasi dari hulu ke hilir. Hulunya itu 28 kelurahan, pengambilan sampah dari masyarakat dan tukang-tukang sapu di jalanan. Sedangkan hilirnya adalah TPST Bantar Gebang sebagai pengolahan sampah terakhir,” jelas Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bahruna. Selain itu, kerjasama dengan PT Wira Gulfindo Sarana, Dinas Kebersihan DKI Jakarta meningkatkan fungsi Stasiun Peralihan Antara (SPA) Cakung–Cilincing menjadi Pusat Daur Ulang dan Kompos (PDUK) Cakung. Dengan sistem baru ini, pengelolaan sampah jadi berkesinambungan dan ramah lingkungan. PDUK Cakung berfungsi mengurangi kapasitas sampah yang diangkut ke Bantar Gebang. Menurut Eko Bahruna, sejak sistem pengelolaan sampah dijalankan dengan profesional, juga memberikan dampak positif bagi permasalahan sosial, khususnya di Bantar Gebang. Jika sebelumnya, di Bantar Gebang terjadi banyak benturan kepentingan antara pemerintah terkait, mulai dari masalah bisnis, sosial, dan lingkungan. Saat ini masalah-masalah itu sudah bisa diatasi. Misalnya, para pemulung yang jumlahnya sekitar 1.500 orang itu, saat ini sudah tidak liar lagi. Dinas Kebersihan DKI Jakarta bekerjasama dengan Pemda Bekasi, camat, dan kepala desa, membangun pondokpondok untuk para pemulung yang sudah terdata. “Selanjutnya, Pemprov DKI nanti akan membangun mes untuk pemulung. Para pemulung itu juga akan kita didik agar menjadi wirausaha yang sukses,” tandas Eko. Eko menambahkan, dalam dua tahun terakhir, hubungan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemda, DPRD, dan masyarakat Bekasi cukup baik dan kondusif. Apalagi, antara kedua pemerintah daerah ini sudah diikat oleh perjanjian selama 20 tahun untuk mengelola sampah di Bantar Gebang. Mudah-mudahan, dengan sistem baru ini, permasalahan sampah dan dampak ikutannya seperti, masalah lingkungan dan sosial di Jabodetabek bisa diatasi, semoga.
11
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
LAPORAN khusus Tidak cukup mengandalkan Bantar Gebang, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kabupaten Tangerang akan membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Ciangir. Antisipasi permasalahan sampah di masa mendatang dengan memanfaatkan sebuah kawasan bernilai ekonomis.
Managing Director PT Godang TuaJaya
Douglas J Manurung
‘Pengaturan Sampah Perlu PP’ Awal mula keterlibatan di TPA Bantar gebang? Sebelumnya TPA Bantargebang dikelola perusahaan pihak ketiga PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB), tapi kontraknya tidak dilanjutkan dan sempat dikelola sendiri oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Setelah itu, Pemprov DKI Jakarta melakukan lelang investasi TPA Ban tar Gebang yang diikuti 23 perusahaan. Dari beberapa tahap lelang akhirnya PT Godang TuaJaya bersama PT Navigat Organic Energi Indonesia dinyatakan sebagai pemenang untuk mengelola TPA Ban targebang per tanggal 15 Desember 2008 untuk 15 tahun ke depan. Nilai investasi lelang sebesar Rp700 miliar selama 15 tahun. Sejak tahun 1989 kami sudah terlibat di Bantar Gebang terutama dalam hal penyediaan tanah untuk cover soil, penyediaan alat berat. Di tahun 2004, kami mulai mengelola kompos. Pengalaman itulah yang menjadi nilai tambah. Untuk pembangkit listrik, kami join dengan PT Navigate Organic Energi Indonesia yang sudah punya pengala man. Mereka anak perusahaan dari Argo Manunggal Grup. Jadi, masing-masing perusahaan punya kekuatan dan saling berkolaborasi. Apa saja bentuk pengelolaan? Setelah kami dinyatakan pemenang lelang maka ada beberapa fasili tas instalasi pengelolaan sampah yang ditawarkan. Di antaranya, memperbaiki fasilitas existing di Bantargebang yang ditinggalkan pengelola lama seperti jalan, penerangan umum, landfill, kantor, ser ta pagar sekeliling. Kami tawarkan mendirikan fasilitas baru seperti pengomposan, pusat daur ulang plastik, memperbaiki lahan sekitar 23 hektar untuk direkonstruksi dan dijadikan titik buang baru. Se lain itu, kami melakukan optimalisasi zona untuk menambah titik buang baru dan membangun pusat pembangkit listrik tenaga sampah dengan kapasistas 26 megawatt yang terdiri 19 megawatt structure landfill cells dan 7 megawatt dari gasification (pyrolysis). Untuk tahap awal, di akhir tahun 2009 sudah memproduksi 2 megawatt. Untuk composting, kami sudah terlibat sejak 2004. Saat ini ka pasitas produksi kompos 200-300 ton per hari dan ditingkatkan menjadi 1.000 ton per hari. Kami juga mengelola rutin titik buang, menutup dengan tanah merah (cover soil), penghijauan, perbaikan instalasi pengelolaan air sampah (IPAS), sistem drainase diperbaiki juga, saluran kali yang melewati kali diperbaiki. Bagaimana mekanisme pembangkit listrik? Teknologinya diadaptasi dari Inggris. Listrik tenaga sampah dihasil kan dari dua sistem, yaitu structure landfill cells, sampah setelah disortir akan terpisah antara organik dan anorganik. Sampah organik dimasukkan dalam satu sel/bangunan dan ditutup setelah penuh
12
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
selama empat bulan. Nanti gas yang dihasilkan akan menggerakkan turbin. Gas metan yang diambil untuk menggerakkan. Kapasitasnya 19 megawatt. Kedua, pyrolysis yaitu sistem sampah akan dilakukan proses pembakaran dalam hampa udara, sehingga tidak menghasil kan emisi. Kapasitasnya 7 megawatt. Kami telah menyiapkan lahan sekitar 13 hektar untuk pembangkit listrik. Listrik yang dihasilkan akan dijual ke PLN dan masuk ke jalur sistem transmisi Jawa Bali. Kerja sama ini sudah disepakati kedua belah pihak. Apa saja kendala dalam pengelolaan? Karakteristik sampah di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Kalau di kita semua sampah tercampur dan di sini dipilih. Di luar negeri sudah terpisah. Masalah lain, yakni untuk membuatkan masyarakat jinak tidak gampang. Harapan terhadap proyek Bantargebang? Saat ini sudah ada UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelo laan Sampah tapi masih perlu aturan tambahan berupa PP agar pelaksanannya lebih jelas. Sampah jangan hanya dibuang, karena bisa menyebabkan polusi udara, air dan tanah. Memang sampah bisa menjadi biang kerok dan sumber bencana, tapi sampah juga memiliki potensi ekonomi. Misalnya dapat dijadikan kompos dan petani sudah mulai beralih menggunakan pupuk organik. Sampah plastik juga bisa diolah menjadi biji plastik dan gasnya menjadi lis trik. Khusus Bantar Gebang, kami ingin menunjukkan sampah dio lah dengan baik bahkan bisa menjadi pusat wisata dan pendidikan. Di sekitar Bantar Gebang, kami telah membuat pembibitan, kebun bunga, perikanan dan pertanian.
TPST Ciangir
Antisipasi di Masa Mendatang Dalam waktu dekat, Pemkab Tangerang dan Pemprov DKI Jakarta dijad walkan akan menandatangi nota kesepaha man (MoU) kerja sama pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Ciangir, Tangerang. Kesepakatan di dalam MoU itu juga mencakup pembangunan kawasan in dustri sampah terpadu di atas lahan seluas 25 hektar, dari total 98 hektar rencana luas lahan yang digunakan. Pembangunan kawasan terse but dijadwalkan pada 2010. Kepala Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Tangerang Heri Heri yanto menyatakan, nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) pem bangunan TPST Ciangir akan ditandatangani sebelum masuk puasa. Penandatanganan terse but dilakukan oleh Bupati Tangerang Ismet Is kandar dan Gubernur DKI Bapak Fauzi Bowo. “Sekarang, biro hukum masing-masing pemda tengah menyempurnakan butir-butir MoU itu,” ujarnya. Setelah MoU ditandatangani, kata Heri, akan dibentuk tim untuk melakukan kajian penggunaan teknologi TPST Ciangir. Tim
tersebut akan membahas secara lebih detail apa saja hal yang akan dikembangkan dalam fasilitas tersebut. TPST itu akan memakai teknologi penguraian (anaerobic composting) dan produksi energi (landfill gas to energy/LF GTE). Teknologi ini sudah digunakan di be berapa negara seperti Jerman dan Jepang. Teknologi anaerobic composting mengolah sampah sebanyak 1.250 ton sehari. Caranya, tum pukan sampah dimasukkan ke dalam mesin, dan secara otomatis akan memilah sampah organik dan non-organik. Sampah non-organik diolah menjadi briket atau refuse derivied fuel. Semen tara untuk sampah organik akan didistribusikan ke tabung reaktor biogas yang memiliki kapasitas 4.000 m3, lalu diolah menghasilkan metan. Penerapan teknologi LFGTE dengan cara menggali lahan sedalam 15 meter. Di mana di dasar tanah tersebut dipasangi beton. Kemu dian dipasang alat kedap air untuk menghin dari pencemaran tanah. Pemakaian teknologi ini kompatibel dengan investasi lahan selama 15 tahun. Dia memperkirakan, dengan masa investasi itu, nilai investasnya akan mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sebe lumnya menyatakan Pemprov DKI dan Pem kab Tangerang sudah mencapai kesepakatan prinsip guna membangun dan mengoperasi kan TPST Ciangir. Kesepakatan itu akan segera diwujudkan dengan penandatanganan kontrak bersama. “Setelah itu kami akan le lang Ciangir ke swasta, sama seperti di Bantar Gebang, dengan konsep pengelolaan yang juga tidak berbeda jauh,” katanya.
Warga Setuju Pemilihan Desa Ciangir, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang sebagai TPST telah melalui proses studi Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) pada tahun 1999. Lahan seluas 98 hektar milik Pemprov DKI Jakarta ini merupakan lahan kosong dan tidak berfungsi. Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Eko Bahruna mengatakan, analisa mengenai dampak lingkungan TPST Ciangir sudah ada. “Dan saat ini tinggal membangun jalan menu ju TPST. Pak Gubernur sudah menyetujui dan menyanggupi untuk membantu Tangerang melakukan pelebaran jalan menuju lokasi pengolahan sampah tersebut,” kata Eko. Menurutnya, TPST Ciangir bukan han ya menjadi tempat pembuangan akhir, tapi sampah diolah sehingga memberikan sesuatu yang positif. Karena pengelolaannya meng gunakan teknologi ramah lingkungan dengan
13
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
LAPORAN khusus kemampuan mengolah sampah sampai 2.500 ton per hari. “1.500 ton sampah Jakarta dan 1.000 ton dari Tangerang. Di tempat itu juga akan melibatkan masyarakat sekitar untuk pemilihan, pencucian, pencacahan dan penyaringan,” jelasnya. Sementara itu, Kepala Dinas Kebersihan Kabupaten Tangerang Heri Haryanto menga takan, TPST tersebut dapat mengolah sampah dari Tangerang sebanyak 1.200 ton. “Pengo lahan itu dapat menghemat anggaran sampai Rp100 miliar,” ujarnya. Latar belakang pemilihan Desa Ciangir sebagai TPST adalah berlakunya UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksa naan Kerja Sama Antar Daerah, Inpres No 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Peman faatan Bahan Bakar Nabati (biofuel), Peraturan Menteri ESDM No 002 tahun 2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga En ergi Terbarukan (Renewable Energy). Konsep TPST Ciangir Tangerang akan dikembangkan dengan konsep teknologi, melalui pemilahan, daur ulang, pengomposan, refuse derived fuel (RDF) untuk pembuatan briket, sanitary landfill untuk residu, landfill Gas energy collection/LFG-TE untuk pem bangkit listrik 15 MW.
Masalah teknologi pengolahan sampah memang menjadi batu sandungan. Pemkab Tangerang mengajukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi Pemprov DKI. Terutama terkait pengolahan sampah hingga benar-benar habis (zero waste). ”Yang paling utama, Pem rov DKI harus menggunakan teknologi yang mampu mengolah sampah hingga benar-benar habis. Tidak ada lagi residu tertinggal atau tersisa dari sampah tersebut,” tegas Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang Hermansyah. Dia menegaskan, pihaknya tidak mau ka sus TPST Bantar Gebang terulang di Ciangir. Hermansyah sangat setuju jika Pemprov DKI Jakarta memberlakukan teknologi pengolahan sampah yang sudah diterapkan di Provinsi Bali yakni, teknik terpadu pengolahan sampah yang melibatkan gasifikasi (gasification), gas timbunan sampah (landfill), dan pengolahan anaerobik (anaerobic digestion). Sebelumnya, Bupati Tangerang Ismet Is kandar menolak tegas teknologi pengolahan sampah yang ditawarkan Pemerintah DKI Ja karta dengan menggunakan sistem sanitary landfiil dan bunker. Ismet menilai, cara terse but tidak mengolah sampah hingga habis seperti yang diinginkan sejak awal. ”Pokoknya kami hanya ingin Incenerator System mengolah sampah sampai zero waste,” tegas Ismet. DKI juga harus menjamin proses pengangkutan sampah dari Jakarta hingga ke TPST Ciangir yang me lewati jalan raya di Karawaci dan Le gok harus bersih. Tidak ada sampah dan lindi (air dari sampah) yang berceceran di sepanjang jalan. ”Sampah yang diangkut harus berada dalam kemasan atau tertutup sehingga sampah dan air sampah tak jatuh di jalan. Selain kotor, sampah itu membuat bau tak sedap,” ujarnya. Hal ketiga yang mendasar adalah, Pem prov DKI harus membangun kembali jalan di sekitar kawasan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang dan memperlebar jalan-jalan di sekitar kawasan menuju TPTS Ciangir.
pola kemitraan akan muncul antara pemerintah, masyarakat dan swasta Proyek TPST Ciangir ini sempat tertunda karena belum ditemukan kesepakatan antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemkab Tangerang. Beberapa uji analisis dan kajian dampak ling kungan terus-menerus dilakukan. Sebelumnya, warga sekitar sempat menolak. Namun, mela lui pendekatan terus-menerus dan berkelanju tan, akhirnya warga pun setuju dengan proyek pengolahan sampah yang diyakini lebih modern dari TPST Bantar Gebang.
14
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
Pada tahap awal, lahan yang akan dijadi kan penampungan sampah dan pabrik pengo lahan sampah seluas 50 hektar. Sisanya, akan dijadikan tempat penghijauan sambil menung gu perkembangan selanjutnya. TPST Ciangir memiliki daya tampung sebanyak 2.500 ton sampah tiap hari. Sebanyak 1.500 ton dida tangkan dari Jakbar dan sebagian Jaksel serta 1.000 ton dari Kabupaten Tangerang. Selain memproduksi gas untuk mem bangkitkan listrik sebesar 25 megawatt, TPST Ciangir juga didesain menghasilkan kompos dan briket. Briket dijual sebagai bahan bakar, sedangkan kompos untuk keperluan perta nian. Dengan demikian, semua sampah akan habis diproses dan tidak menjadi timbunan.
Nilai Ekonomis Sampah yang masuk ke TPST Ciangir akan diproses menyeluruh sehingga tidak ada yang terbuang percuma. Begitu sampah datang, akan dimasukkan mesin pemilahan yang memisah kan antara sampah organik dan non-organik. Sampah organik akan dicacah dalam mesin pencacahan, sedangkan yang non-organik seperti plastik, karet, dan lainnya akan dicuci dan digiling kemudian didaur ulang. Sampah organik akan keluar sebagai bahan kompos dan RDF. Bahan inilah yang kemudian dikirim ke masyarakat sekitar sebagai pupuk. Pola kemitraan akan muncul antara pe merintah, masyarakat dan swasta. Dari TPST ini akan muncul pemahaman yang sama serta kerjasama yang berkelanjutan. TPST Ciangir sebagai pusat pengolahan sampah akan mem produksi RDF dengan melibatkan 20 kelom pok masyarakat. Sedangkan unit produksi kompos akan melibatkan 36 kelompok. Saat ini, pola kemitraan telah dilakukan dengan kelompok masyarakat tersebut dengan memberikan pelatihan. Pelatihan ini meliputi ketrampilan pengolahan kompos dan briket, bimbingan teknis pengendalian mutu, pelati han manajemen pengelolaan unit produksi kompos dan briket, serta bantuan dana bergu lir untuk pengadaan mesin produksi dan mod al kerja. Ternyata, jika sampah yang dikelola secara profesional berbasis teknologi tinggi, akan ramah lingkungan dan menghasilkan ke untungan ekonomi yang tidak sedikit.
Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah (PD PAL) Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menargetkan mampu mengolah 25% air limbah permukiman. Butuh sosialisasi lebih optimal guna mewujudkan target tersebut di kota seribu sungai ini.
Banjarmasin Menuju Kota Sungai Bebas Tinja Sungai menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat di Ka limantan Selatan. Namun, ketika masyarakat juga membuang tinja dan sampah di sungai, maka sungai menjadi sumber petaka bagi kesehatan mereka. Di sepanjang aliran sungai banyak ditemukan jamban terapung, yang juga sekaligus tempat untuk keper luan mandi dan cuci. Kondisi itu semakin diperparah dengan bu ruknya pengelolaan sanitasi di rumah-rumah yang bukan berada di dekat sungai. Sistem pembuangan limbah domestik rumahtangga (tinja) dibangun seadanya. Septic tank dibuat dari papan yang hanya berfungsi mengurung limbah padat. Padahal, limbah cair dengan bebas merembes keluar dari septic tank mencemari air sekitar. Ciri geografis Kota Banjarma sin adalah daerah berawa. Akibatnya, setiap tahun, pemerintah kota itu mengalokasikan dana miliaran rupiah untuk mem beli obat-obatan. Tahun 2009 ini, Rp42 miliar dari APBN disisihkan. Besarnya biaya pengobatan itu dis ebabkan kurang baiknya kesehatan masyarakat akibat sanitasi buruk. Menurut Direktur PD PAL Muh Muhidin, min imnya pengelolaan air limbah domestik dikarenakan besarnya investasi. Padahal, usaha tersebut tidak memberikan keuntungan secara riil dari sisi bisnis, sehingga pengusaha kurang memperhatikan untuk
meliriknya. Dampaknya, sanitasi buruk di Kota Ban jarmasin akibat air sungai tercemar tinja, sehingga mengandung bakteri coli. “Bakteri coli di sungaisungai sudah tercatat 16.000 ppm, sementara batas baku mutu hanya 30 ppm,” terang Muhidin kepada Majalah KPS yang berkesempatan berkunjung ke Banjarmasin, bulan lalu.
Revolusi Sistem Sanitasi Kehadiran PD PAL Kota Banjarmasin berawal dari digagasnya Kalimantan Urban Development Project (KUDP) pada tahun 2000. Beberapa proyek infrastruktur dibangun, termasuk memperbaiki sa luran air limbah. Perkembangan berikutnya, pada 2004, disponsori Departemen Kementerian Peker jaan Umum, yang juga didukung oleh Bank Dunia, dibangunlah sarana sa-nitasi percontohan dengan memilih lokasi di permukiman penduduk miskin. Sesuai dengan visi Kota Banjarmasin sebagai kota industri, jasa dan perdagangan serta dalam mewujud kan Kota Banjarmasin yang BUNGAS (bersih, un ggul, nyaman, gagah dan asri), diperlukan adanya lembaga khusus yang mengelola air limbah. Ber dasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006, dibentuklah PD PAL yang bertujuan membantu dan menunjang kebijakan umum pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
minimnya pengelolaan air limbah domestik dikarenakan besarnya investasi 15
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
LAPORAN khusus
Muh Muhidin
Pada umumnya, sanitasi masyarakat Banjarmasin menerapkan sistem se-tempat (on site system) yang terdiri dari jamban keluarga atau ber sama. PD PAL, yang bertugas men ciptakan lingkungan dan derajat kes ehatan menjadi lebih baik, mencoba mengawal revolusi sistem sanitasi. Mulailah diterapkan sistem sanitasi terpusat (off site system), dimana air limbah dialirkan melalui sistem jarin gan pipa penyalur (sewers) dari sumber (WC, septic tank, kamar mandi dan dapur) menuju instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Pengolahan di IPAL menggu nakan sistem biologis, yakni me manfaatkan mikro organism untuk menguraikan bahan organik dan racun berbahaya dengan teknologi rotat-
ing biological contactor (RBC). Alat tersebut berfungsi mengikat bahan berbahaya, sehingga hasilnya tersisa air yang sudah memenuhi standar baku mutu. “Kita menga dopsi teknologi dari Kanada dan Jepang. Tapi komponen teknologi yang kita adopsi sudah 90% produk lokal,” jelas Muhidin. Soal standar baku mutu yang terpenuhi dari hasil pengolahan, Muhidin berani menjamin itu layak untuk di manfaatkan kembali oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dengan kata lain, PDAM bisa cukup berhemat dalam biaya produksi, karena air baku hasil olahan PD PAL sudah menjalani proses produksi sekitar sepertiga dari proses pengolahan air bersih. “Tapi itu tidak kita lakukan. Air bersih yang kami hasilkan kembali dialirkan ke sungai. Tujuan utama kami adalah memoles sungai-sungai agar Banjarmasin tetap layak menjadi tujuan pariwisata. Kita telah membuat master plan pada 2030 minilai 70% air limbah masyarakat Banjarma sin terkelola dengan baik,” papar Muhidin.
Tarif Jasa Pelayanan Air Limbah Tarif jasa pelayanan air limbah sesuai dengan peraturan Walkota Banjarmasin Nomor 16 Tahun 2006 : 1. Tarif jasa pelayanan air bagi pelanggan air bersih PDAM Bandarmasih sebesar 25 % dari rekening air bersih PDAM Banjarmasin. 2. Non pelanggan air bersih PDAM Bandarmasih besarnya tariff jasa pelayanan air limbah adalah sebagai berikut : TARIF JASA PELAYANAN AIR LIMBAH NON PELANGGAN AIR BERSIH PDAM BANJARMASIN No
16
PELANGGAN
TARIF (Rp./BULAN)
A
Kegiatan sosial 1. Sosial Umum 2. Sosial Khusus
5.000 10.000
B
Non Niaga 1. Rumah Tanggan A 1 2. Rumah Tanggan A 2 3. Rumah Tanggan A 3 4. Rumah Tanggan B
5.000 10.000 25.000 25.000
C
Kegiatan Niaga 1. Niaga Kecil - Niaga Kecil I - Niaga Kecil II - Niaga Kecil III 2. Niaga Menengah 3. Niaga Besar
5.000 20.000 30.000 50.000 100.000
D
Industri 1. Industri Rumah Tangga 2. Industri Menengah 3. Industri Besar / Khusus
20.000 50.000 100.000
E
Jenis Usaha di Areal Pasar 1. Pedagang Emper 2. Pedagang Meja 3. Pedagang Kios 4. Pedagang Toko 5. Pedagang Grosir
5.000 5.000 10.000 15.000 20.000
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
Forkalim dan Investor Target 70% air limbah terkelola dengan baik pada tahun 2030 me mang bukan target yang terlalu muluk. Apalagi jika berkaca pada Millennium Development Goals (MDGs) yang menetapkan akses masyarakat menuju sanitasi mencapai 78,8%. PD PAL menyadari hal tersebut mengingat bukan perkara gampang dalam merealisasikan usaha pengelolaan air limbah. Berharap kehadiran langsung dari investor, ujar Muhidin, sangat su lit. Satu uapaya yang bisa dilakukan sekarang adalah terus menggedor pe merintah agar lebih serius dalam masalah ini. Lantas dibentuklah Forum Komunikasi Pengelola Air Limbah (Forkalim) pada 29 September 2003 dalam rapat Persatuan Persatuan Air Minum Indonesia (Perpamsi). Salah satu program Forkalim adalah menjalin kerjasama dengan negara donor untuk mengembangkan teknologi dan percepatan dalam peningkatan cakupan pelayanan sanitasi di Indonesia. Diakui Muhidin, saat ini investasi di PD PAL sangat dominan berasal dari APBN dan APBD. Kemampuan yang ada baru melayani sekitar 2.000 pelanggan. Hingga akhir 2009, PD PAL menargetkan 5.000 dan terus ditingkat kan mencapai 15.000 pelanggan pada 2015. Bandingkan dengan jum lah penduduk kota yang mencapai lebih dari 600.000 jiwa. Tentu ini PR besar bagi kota seribu sungai. “Saat ini kita sedang me nyusun pola investasi yang nanti disepakati oleh tiga komponen, yakni pemerintah kota, pemerintah provinsi dan Departemen PU. Keterlibatan swasta dalam investasi nanti akan dilihat dari kepedulian pengusaha per hotelan dan restoran serta properti,” jelas Muhidin. Komitmen PD PAL sendiri saat ini memang masih memanfaat kan dana yang ada. Namun, ungkap Muhidin, beberapa negara seperti Belanda, Australia dan Jepang sudah mulai melirik Banjarmasin untuk berinvestasi dalam pengelohan air limbah ini. Terlepas dari ada tidaknya investasi, persoalan yang lebih penting adalah bagaimana menyadarkan masyarakat tentang betapa pentingnya
masalah ini. Selama ini, Bappenas terlibat aktif dalam membantu sosialisasi. Media dan lembaga swadaya masyarakat juga ikut ber peran. “Pak Walikota juga sering bicara dalam berbagai wadah yang digagas Kelompok Kerja Sanitasi, yang terdiri dari beberapa dinas terkait. Keinginan Walikota adalah agar sungai kita menjadi sungai wisata,” papar Muhidin.
PERSENTASE PELANGGAN PD PAL TERHADAP JUMLAH PENDUDUK KOTA BANJARMASIN 4773
1973 510 2004
528 2005
564 2006
919
2007
2008
2009
*TARGET SAMBUNGAN PELANGGAN TAHUN 2009 SEBANYAK 5.000 SR
17
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
LAPORAN khusus DIREKTUR PERMUKIMAN & PERUMAHAN BAPPENAS
IR BUDI HIDAYAT
Akibat Sanitasi Buruk Rp57 Triliun Hilang Tiap Tahun Meski belum mencapai target dalam Millennium
Development Goals (MDG’s), namun akses masyarakat terhadap sanitasi yang baik dianggap cukup baik. Tahun 2012, semua pembiayaan un tuk sektor sanitasi sudah harus dibayarkan. Target tiga tahun ke depan itu sangat penting mengingat pemerintah selama ini dirugikan Rp57 triliun per tahun akibat sanitasi yang buruk. Berikut petikan wawan cara Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas Ir Budi Hidayat kepada Majalah KPS, pertengahan Agustus 2009.
Lalu bagaimana dengan di daerah-daerah lainnya? Seperti di Jakarta? Poinnya itu kerjasama. Yang di Banjarmasin itu punya perusahaan dae rah. Nah, jika ini dikembangkan ke daerah lain, maka yang dibutuhkan dukungan swasta. Dukungan itulah yang paling penting. Di Banjarma sin memang dukungan dari pemda setempat sangat besar. bagaimana dengan KPS, Apakah sudah ada? Sementara ini KPS/PPP air limbah belum ada. Masih dikelola oleh perusahaan daerah yang merupakan pecahan dari PDAM. Meski be gitu, soal rekeningnya masih sama-sama dengan PDAM. Tapi, semua jelas di situ. Air limbah berapa? Air minum berapa? Kemudian disera hkan ke perusahaan daerah air limbahnya. Itu berjalan dengan baik. apakah sanitasi air limbah tidak begitu penting, Faktanya pengolahan itu tidak menghasilkan keuntungan? Bukan tidak begitu penting. Ketika kita bicara KPS, banyak hal yang harus diketahui. Pertama soal payung hukumnya. Kemudian dukungan dari pemerintah itu sendiri seperti apa? Namanya bisnis pasti melihat peluangnya itu cepat.
Bagaimana pandangan pemerintah dengan proyek-proyek sanitasi dalam skema KPS? Asumsi pemerintah saat ini memang ingin tetap membangun, tetapi biaya terbatas. Atau, biayanya ada, tapi digunakan ke objek lain yang lebih publik. Artinya tidak cost recovery. Air limbah itu bisa cost recovery. Di beberapa negara sudah dilakukan dengan mencapai cost recovery. Artinya, limbah-limbah yang ada bisa diolah. Pengolahan tersebut kan butuh biaya. Mereka yang membuang limbah terse but (terutama rumah dan hotel, red) membayar kepada badan yang mengurus ini. Contohnya, yang sudah berjalan itu di Banjarmasin dan Denpasar. Di Banjarmasin seluruh limbah masuk ke satu tem pat, kemudian diolah, keluar lagi dalam bentuk yang sudah bersih. Pengolahan inilah yang butuh biaya. Hotel-hotel itu dikenai tarif. Swasta bisa melakukan ini. Bisa dikatakan sebagai proyek percontohan untuk daerah lain yang di Banjarmasin itu? Betul. Tapi itu, sekarang ini, yang mengelolanya perusahaan daerah bukan swasta penuh.
18
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
Seberapa besar sebenarnya tingkat urgensi dari proyek-proyek sanitasi air limbah itu? Urgent sekali. Sekarang ini kan sudah dipisahkan antara sanitasi dan air minum. Dulu itu sanitasi dan air minum digabung, sehingga banyak yang dipakai itu air minum daripada sanitasi. Sekarang tidak bisa lagi. Kita melihat sanitasi itu penting sekali. Kemarin Pak Presi den mengatakan tingkatkan sanitasi! Nah, Pemda sekarang ini juga sudah melihat kalau sanitasi itu cukup penting, makanya mereka banyak mengalokasikan bantuan. Yang tadinya kita punya 6 City Summit sekarang sudah 30. Bagaimana dengan skema KPS untuk proyek air limbah? Ya sama saja. Artinya mereka membangun dari tempat-tempat ter tentu kemudian masuk satu tempat. Katakanlah ini sebagai pen golahannya. Nah, untuk pengolahan itu butuh biaya. Itulah yang diambil dari hotel-hotel. Contohnya itu yang di Banjarmasin. Isti lahnya itu komunal. Masalah iuran pembayarannya memang belum ada aturan baku. Tapi, mungkin tarifnya bisa dihitung dari seberapa besar bangunan dan seberapa banyak kamar mandinya.
Mengapa baru diterapkan di Banjarmasin. Bagaimana dengan kota-kota lain? Sementara ini memang baru di Banjarmasin, karena mungkin pro-yek ini belum menariklah. Bisa dikatakan mungkin investor belum berminat. Itu yang harus diberi penjelasan, karena memang pertama proyek ini tidak mudah. Banyak objek lain yang harus dibongkar untuk membuat proyek ini. Hal ini tidak seperti yang sudah dilakukan di Kota Medan misalnya. Di sana itu ada peru mahan mewah sebanyak 2.000 unit. Perumahan mewah itu sudah membuat sistem komunal. Untuk pengolahan limbah sementara ini hanya pemerintah saja yang menangani? Iya masih pemerintah. Tapi kalau ada swasta yang mau, ya ditawar kan, tidak masalah. Tapi kan persoalannya juga menyentuh sistem tata kota yang sudah ada. Ini biayanya tidak sedikit. Apakah investor berpikir dua kali, jika kita melihat ruwetnya proyek ini? Bisa jadi iya. Apapun juga, kalau kita bicara swasta. Swasta tidak akan mungkin kalau tidak menguntungkan. Atau mungkin swasta belum berpikir ke arah situ. Iya, memang berbeda sekali dengan proyek sampah padat. Soal sampah swasta sudah tertarik karena ada keuntungan dari sampah itu sendiri yaitu gas metan yang dihasilkan oleh sampah sebagai tenaga listrik. Sebenarnya air limbah itu mun gkin kalau dibuatkan formulanya yang tepat dan menguntungkan seperti halnya sampah. Swasta akan ada tentunya. Itulah makanya peran pemerintah sangat penting untuk memfasilitasi kerjasama dengan swasta dengan mungkin cara swasta yang mengelola dan pe merintah lebih kepada pelayanannya. Kalau sistem komunal itu sebagian sudah diterapkan di rumah-rumah mewah dan hotelhotel, bagaimana di permukiman? Kalau di perumahan mewah memang sudah ada semacam peratu ran, namun sampai sekarang peraturan tersebut belum ditetapkan menjadi ketetapan. Untuk permukiman sampai saat ini sama sekali belum ada ketentuannya. poin penting apa saja yang menyangkut sanitasi terutama masalah air limbah dalam konteks kerjasama untuk pengolahannya? Pertama demand. Kedua, aturan-aturan mainnya harus jelas. Ketiga, bagaimana skema kerjasamanya antara pemerintah dan swasta itu sendiri. Skema KPS untuk sanitasi sampah memang sudah berjalan seperti yang TPS Bantar Gebang. Bagaimana dengan TPST Bandung Raya dan TPST Nambo?
Yang di Bandung memang sudah berjalan. Poinnya yang di Bandung itu banyak pihak swasta yang ingin mengambil pengolahan gas me tannya (clean development mecahnism/CDM). Seperti yang di Bali juga pengolahan sampahnya menarik. Ya itu, karena ada yang bisa dijual. Dijual itu dalam arti income. Bagaimana kerjasama pemerintah dan swasta dalam skala kecil? Dalam skala kecil kerjasama antara pemerintah dan swasta sudah ada. Seperti di kawasan Karawaci, Tangerang. Di sana pengolahan sudah berjalan. Sampah dari limbah dipisahkan, kemudian airnya itu digunakan untuk menyiram lapangan golf. Ini sudah dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Bahkan masyarakat juga ada peran di sana. Sejauh ini siapa yang mengelola proyek sanitasi air limbah? Belum ada. Sementara ini masih gabung. Ke depan perlu dibentuk organisasi yang mengurus ini. Kerjasama seperti yang sudah dijalan kan dalam proyek air bersih rupanya tidak ada untuk air limbah. Sa nitasi ini memang kendalanya. Pelan-pelan kita mulai. Di angkanya kita perbesar. Dari sanitasi buruk ternyata pemerintah kehilangan skala ekonomi sekitar Rp57 triliun per tahun. Artinya, sanitasi yang buruk akan membuat masyarakat sakit. Nah, biaya masyarakat un tuk ke rumahsakit itu mencapai Rp10 triliun pertahun. Ini secara nasional. Bagaimana kemudian mengatasi hal tersebut? Kita mulai perbaikan-perbaikan, misalnya dengan air minum bersih, cuci tangan memakai sabun. Itu sudah kita kampanyekan. Seperti program-program ke kampung-kampung. Untuk melakukan semua itu tentu melibatkan instansi pemerintah lain seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pekerjaan Umum. Sejauh ini bagaimana sebenarnya akses masyarakat terhadap sanitasi? Sampai saat ini sudah cukup baik. Secara persentase akses masyara kat menuju sanitasi dimana masyarakat dengan mudah mendapat kan tempat-tempat untuk buang air, mandi dan sebagaimana seperti itu, sudah mencapai angka 69%. Ini tentu belum mencapai target Millennium Development Goals yang mengharuskan akses ke sanitasi itu mencapai 78,8%. Sementara itu, kalau kita bicara soal undangundangnya, tahun 2012 semua pembiayaan untuk sektor sanitasi termasuk dalam hal ini sampah, sudah harus dibayarkan. Soal sa nitasi selama ini memang masih dianggap tidak penting. Sekarang sudah tidak boleh lagi ada anggapan itu. Mereka sudah harus be ranggapan kalau sanitasi itu penting. Karena dengan sanitasi buruk masyarakat akan tidak produktif dan mudah terserang penyakit. Hal inilah yang saat ini sedang disosialisasikan di berbagai daerah di Indonesia.
19
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
sorot
PENGELOLAAN LIMBAH DOMESTIK DAN PABRIK DI MALAYSIA
tergolong berhasil dalam mengelola limbah industri. Salah satunya adalah limbah kelapa sawit. Ada dua jenis limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak kelapa sawit. Limbah cair dan limbah padat. Limbah padat berupa tandan buah kosong dan cangkang sawit. Limbah cair berasal dari Tandan kosong bisa dimanfaatkan sebagai pupuk kompos, sedang cangkangnya dapat dimanfaatkan sebagai dua sumber yaitu air limbah alternatif bahan bakar (alternative fuel oil) pada boiler rumah tangga atau domestik dan power generation. dan air limbah industri. Di Indonesia, secara nasional terdapat sekitar 205 Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Sebagai ilustrasi saja, sebuah Permasalahan limbah cair PKS dengan kapasitas 200 ribu ton Tandan Buah Segar memang cukup pelik. Di samping (TBS) per tahun dapat menghasilkan 44 ribu ton Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), yang kadar airnya mencamengancam keselamatan dan pai 65%. Hal itu mampu membangkitkan energi ekuivakeseimbangan lingkungan, juga len dengan 2,3 MWe (megawatt-electric) pada tingkat mengancam kehidupan manusia, efisiensi konversi 25%. Tidak hanya itu. Potensi biogas yang dihasilkan dari karena mengandung banyak pengolahan limbah cair juga sangat menjanjikan. Dari bakteri pathogen. 600-700 kg limbah cair dapat diproduksi sekitar 20 meter kubik biogas. Sebagai ilustrasi saja, jika limbah cair yang Malaysia, di negara tetangga ini, pengelolaan air dihasilkan dri PKS yang ada mencapai 37.633 juta ton. limbah domestik (tinja dan air bekas buangan rumah Volume yang luar biasa ini dapat menghasilkan biogas tangga) sudah dipraktikkan sejak 1992. Pengelolaan mencapai 1075 juta meter kubik. Jika nilai kalor biogas tersebut melibatkan kesadaran masyarakat untuk rata-rata berkisar antara 4700-6000 kkal/m3 atau 20-24 MJ/m3, maka produksi biogas sebesar itu setara dengan ikut aktif membuat unit-unit modified septic tank. Kesadaran masyarakat dicapai melalui pembinaan 516 ribu ton gas LPG, 559 juta liter solar, 665,5 juta liter yang dilakukan Jayabumi Sarawak (PJS) Berhad, salah mintak tanah, atau 5052,5 MWh listrik. Sungguh luar satu perusahaan swasta yang menangani pengelo- biasa dan suatu solusi jika prediksi bahwa pada 2010 Pulaan limbah domestik tersebut. PJS adalah anak pe- lau Jawa akan kehabisan listrik benar adanya. Potensi yang sangat menjanjikan ini, sudah dikemrusahaan Johan Fibres Industries SDN BHD yang bergerak di bidang industri fiber. Berikut kalkulasi popula bangkan di Malaysia sejak tahun 2001. Negara jiran ini melaksanakan program yang disebut dengan Small tion equivalent (PE) yang mereka publikasikan. Malaysia cukup sukses dalam mengelola lingkun- Renewable Energy Programme (SREP). Salah satu energan dengan baik. Limba domestik bisa diubah men- gi terbarukan yang dikembangkan dalam program ini adalah mengolah limbah jadi sesuatu yang Baku mutu limbah untuk cair PKS menjadi biogas. berharga, termasuk industri di Malaysia sejak 1984 Bumibiopower (Pantai Reuntuk kepentingan mis) Sdn Bhd, adalah salah sektor pertanian dan satu perusahaan di Malaysia lainnya. Lingkungan BOD 100 mg/l yang melaksanakan proyek yang ramahpun denCOD 400 mg/l produksi biogas terebut. gan sendirinya bisa TSS 50 mg/l Biogas yang dihasilkan setercipta. Ada sekitar lanjutnya dimanfaatkan un83% pembuangan Minyak dan lemak 100 mg/l tuk generator listrik dengan limbah domestik di Amonia N 200 mg/l kapasitas 1-1,5 MW. Malaysia menggunaN total 200 mg/l Malaysia adalah negara kan mekanikal. PH 5,0-9,0 pengekspor minyak sawit Selain limbah doterbesar dunia dengan memestik. Malaysia Temperatur 450C nyumbang lebih dari 50% juga negara yang
20
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
kebutuhan. Sebanyak 130 negara telah menggunakan minyak sawit dan permintaan terus meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya populasi dunia. Limbah cair yang dihasilkan kebanyakan pabrik di Malaysia 3 3 berkisar dari 0,4-1,2 m /ton atau setara dengan 2,0-6,0 m /ton
minyak kelapa sawit yang dihasilkan. Sekadar informasi, jumlah limbah yang dihasilkan di Semenanjung Malaysia rata-rata 0,8 kg per ka-pita perhari. Limbah padat di Malaysia terdiri dari rata-rata 45,0% limbah makanan, 24,0%, plastic, 7,0% kertas, 6,0% besi, dan 3,0% kaca dan lain-lain.
AIR DAN SANITASI DI AFRIKA SELATAN Afrika Selatan adalah salah satu negari yang tergolong ‘kering’ di dunia. Di sebagian besar wilayah dunia rata-rata curah hujan mencapai 860 mm setahun. Namun, di Afrika Selatan hanya 400 mm/tahun. Minimnya curah hujan ditambah dengan naiknya kebutuhan, karena perluasan ekonomi dan meningkatnya jumlah penduduk menjadi masalah serius di Negeri Mandela itu. Karena itulah, konservasi sumber daya air dan pengelolaan limbah menjadi prioritas utama bagi pemerintah di sana. Kini tercatat ada sekitar 30 juta rakyat Afrika Selatan (atau sekitar 66,3% dari total penduduk di sana) telah mendapatkan instalasi air secara gratis. Sementara itu, infrastruktur sanitasi telah melayani lebih dari 8,2 juta penduduk. Pemerintah Afrika Selatan memperkirakan pada 2010 pengadaan infrastruktur sanitasi akan terpenuhi untuk seluruh penduduk. Sanitasi air di Afrika Selatan diselenggarakan di tiga tingkatan yang berbeda. Pertama, Department of Water Affairs and Forestry (DWAF) yang bertanggung jawab penuh untuk kebijakan, perumusan dan pelaksanaan masalah air dan kehu-
tanan di beberapa kota-kota besar di Afrika Selatan. Kedua, Government –Owned Water Boards. Lembaga ini memainkan peran penting dalam pengelolaan air di Afrika Selatan. Ada sebanyak 15 Water Boards yang melayani lebih dari 24 juta orang di 90 kota besar, atau sekitar setengah penduduk Afrika Selatan. Kinerja Water Boards ini berada di bawah pengawasan DWAF. Ketiga, Pemerintah Kota. Di Afrika Selatan setiap Pemerintah Kota memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan air. Hal tersebut tertuang dalam undang-undang sejak tahun 1997. Secara keseluruhan ada 231 kota di seluruh negeri itu. Masing-masing Pemerintah Kota mengelola kebutuhan air sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang sudah diatur oleh DWAF. Sejak tahun 1994 Pemerintah Afrika Selatan telah melibatkan sektor swasta dalam masalah sanitasi air dan penyediaannya. Baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Pada Januari 1999, Siza Water Company (SWC) adalah salah satu perusahaan swasta yang mengelola air limbah dan utilitas di Afrika Selatan. Perusahaan ini telah teken kontrak kerjasama dengan Pemerintah untuk selama 30 tahun. SWC bertanggung jawab untuk menyediakan layanan air dan sanitasi, yang kemudian tempat penggelolaannya dikenal sebagai wilayah Dolphin Coast --sebuah tempat di Kota Ilembe dengan penduduk sekitar 34.000 yang letaknya sekitar 50 kilometer di utara Durban. SWC adalah perusahaan lokal yang dibentuk oleh Internasional Saur dari Prancis. SWC telah memegang saham sebanyak 58% dari pengelolaan sanitasi air di Afrika Selatan.
21
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
dinamika Asia-Pacifik Ministeral Conference in PPP for Infrastucture Development 2010
Resmi Dibuka
Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas H Paskah Suzetta secara resmi membuka acara peluncuran Asia-Pacific Ministeral Conference in Public Private Partnershipt for Infrastucture Development 2010 di Kantor Bappenas, Kamis, 20 Agustus 2009.
Launching Public Private Partnership (PPP) Book dan Fungsionalisasi Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta (PKPS)
M
enteri Negara PPN/Kepala Bappenas H Paskah Suzetta menyampaikan sambutan kunci pada acara Launching Public Private Partnership (PPP) Book dan Fungsionalisasi Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta (PKPS), Rabu, 25 Maret 2009), di Ruang SG1-5 Gedung Utama Bappenas. Acara dihadiri oleh Perwakilan Menteri Keuangan Kepala Pusat Investasi Pemerintah Departemen
Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta dalam acara peluncuran Asia-Pacific Ministeral Conference in PPP for Infrastructure Development 2010
A
cara dua tahunan ini sedianya akan diselenggarakan di Jakarta pada April 2010 mendatang. Para menteri dari negara-negara anggota UNESCAP akan saling bertukar informasi terkait dengan pengembangan infrastruktur melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Dalam sambutannya, Menneg PPN/Kepala Bappenas menjelaskan seputar kemampuan pendanaan pemerintah untuk pembangunan proyek infrasturktur yang sangat terbatas. Diperkirakan kebutuhan investasi infrastruktur tahun 2010-2014 mencapai Rp1.429 triliun atau sekitar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai investasi tersebut diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 5-7% per tahun. “Untuk itu pemerintah perlu mendorong peningkatan iklim investasi yang melibtkan swasta guna percepatan penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha yang sehat.” kata Menneg PPN/Kepala Bappenas dalam sambutannya.
22
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
Terkait kondisi tersebut, pemerintah akan melakukan reformasi, yaitu dengan membentuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrasturktur (KKPPI) dan Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta (PKPS). kedua lembaga masing-masing memegang tugas saling terkait. KKPI bertugas melakukan percepatan pembangunan infrastruktur. Sedangkan PKPS sebagai fasilitator transaksi kerjasama proyek-proyek infrastruktur antara pemerintah dan swasta. Dalam kesempatan itu juga dijelaskan tentang penerbitan PPP Book yang berisi rencana proyek-proyek infrastruktur pemerintah yang akan ditawarkan kepada pihak swasta. Dalam PPP Book ini ada proyek siap ditawarkan, proyek prioritas dan proyek potensial. “Dari ketiga kategori itu keseluruhannya berisi 87 proyek dengan nilai investasi 34 miliar dollar yang akan dilaksanakan di 18 provinsi seluruh Indonesia” jelas Menneg PPN/ Kepala Bappenas.
Keuangan Langgeng Subur; Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Telekomunikasi, Teknologi Informasi dan Media, Anindya N Bakrie, Suyono Dikun serta Country Manager IFC untuk Indonesia, Adam Sack. Menneg PPN/Kepala Bappenas menyampaikan percepatan pembangunan infrastruktur kini menjadi isu penting bagi hampir semua negara termasuk Indonesia. Hal inilah yang mendorong pemerintah melalui Kementerian Negara PPN/Bappenas membentuk Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(PKPS). Salah satu tujuan pembentukan PKPS adalah untuk memfasilitasi terlaksananya transaksi kerjasama proyek-proyek infrastruktur antara pemerintah dan swasta. Keberadaan PKPS akan memberi manfaat besar dalam mempercepat pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia. Melalui PKPS ini para investor yang ingin menanamkan modalnya dalam proyek-proyek infrastruktur di Indonesia dapat mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat tentang berbagai proyek yang ditawarkan termasuk prosedur investasi dan aturan hukumnya. PKPS memiliki fungsi penting dalam menyajikan informasi tentang proyek-proyek infrastruktur di Indonesia mulai dari persiapan, kajian komersial, perencanaan, pendanaan, eksekusi, dokumentasi, hingga evaluasi. Dengan cakupan data yang lengkap diharapkan para investor makin berminat mendanai proyek-proyek yang ditawarkan. Selain itu dalam melaksanakan tugasnya PKPS akan bekerjasama dengan P3 Nodes. P3 Nodes adalah simpul pendukung PKPS yang dibentuk di Kementerian/ Pemerintah Daerah. Menneg PPN/Kepala Bappenas menilai investasi swasta dalam proyek-proyek infrastruktur harus terus ditingkatkan. Hal ini dikarenakan dana pemerintah untuk pembangunan infrastruktur di tanah air sangat terbatas. Pemerintah menyadari, pendanaan proyek-proyek infrastruktur berskala besar dengan jangka waktu lama bukanlah hal yang mudah. Terlebih saat krisis global terjadi seperti sekarang. Terkait kondisi tersebut, pemerintah melakukan reformasi guna menarik minat pihak swasta dalam berinvestasi di sektor infrastruktur. Reformasi yang dimaksud adalah menyediakan pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta atau Public Private Partnership (PPP). Pola kerjasama ini membutuhkan koordinasi yang kuat di tingkat pusat agar proyek infrastruktur dengan pola PPP dapat terlaksana dengan baik. Sesuai dengan arahan Wakil Presiden Jusuf Kalla sepanjang 20092011 investor swasta diharapkan bisa membiayai proyek-proyek infrastruktur hingga mencapai Rp320 triliun. Hal ini memberikan peluang yang besar bagi swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur.
23
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
KOLOM KEMITRAAN
catatan KPS
oleh pratiwi am [Solid Waste Specialist]
Dalam Pengelolaan Limbah Padat Pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola limbah padat. Jasa ini sebenarnya bisa dilakukan oleh pihak pemerintah ataupun swasta. Kegagalan untuk menyediakan layanan ini dapat menjadi suatu ancaman bagi kesehatan masyarakat dan dapat merusak lingkungan.
P
engelolaan lim bah padat terdiri dari perencanaan dan penyediaan jasa, terutama pengumpulan, transportasi dan pembuangan yang termasuk di dalamnya recycling (daur ulang), waste-toenergy (process untuk mencip takan listrik dari limbah) dan landfill (pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah). Catatan KPS dalam limbah padat memasukkan rangku man dari sebuah referensi yang ditulis pada tahun 2000. Sejak saat itu, terdapat dua ke jadian utama yang berdampak pada limbah padat (1) Kyoto Protocol dan Mekanisme Pembangunan Yang Bersih; dan (2) Dorongan Untuk Menciptakan Listrik Dari Sumber-Sumber Yang Bukan Bahan Bakar Minyak. Impak dari poin 2 adalah untuk mempromo sikan fasilitas waste-to-energy dan perjanjian pembellian listrik dengan pihak-pihak kelistrikan. Referensi tersebut menyebutkan beberapa kota di Indonesia yang menggunakan KPS dalam pengelolaan limbah padat. Con tohnya, Jakarta, Medan, Padang, Semarang dan Surabaya. Mer upakan hal yang wajar jika Tim Limbah Padat dari Infrastruc ture Reform Development Program (IRSDP) menyelidiki status KPS dalam limbah padat di kota-kota tersebut dan di beberapa lokasi lainnya di Indonesia. Secara regional, KPS dalam limbah padat telah berhasil di Malaysia, Singapura dan Hong-Kong.
Contreau-Levine Toolkit Untuk merencanakan dan mengorganisasikan KPS, lihat: Panduan Untuk Partisipasi Pihak Swasta Dalam Pengelolaan
24
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
Limbah di Tingkat Kotamadya (lima volume), karangan Sandra Cointreau-Levine dan Adrian Coad, Swiss Centre for Develop ment Cooperation in Technology and Management, 2000. Pan duan ini juga terdapat di website Bank Dunia: Volume I Volume II Volume III Volume IV Volume V
Pendahuluan Catatan Panduan Alat Untuk Mempersiapkan Partisipasi Pihak Swasta Daftar Istilah dan Pengertian Contoh Kontrak-Kontrak dan Dokume Lainnya [merujuk kepada CD atau website]
1. Point Pokok #1 Pemerintahlah yang bertanggungjawab. tidak pandang bulu apakah jasa diberikan oleh pihak swasta ataupun pemerintah daerah, pemerintah (daerah, pusat atau nasional) bertanggungjawab untuk mengumpulkan dan membuang limbah padat. Pemerintah tetap menjadi pihak yang bertanggungjawab dalam memastikan bahwa jasa telah diberikan dan jasa yang diberikan tersebut telah memenuhi standar dalam arti ia andal, efisien, menjaga hubungan dengan pelanggan dan melindungi lingkungan. Tanggungjawab fundamental tersebut tidak dapat dihilang kan, meskipun adanya privatisasi. Peran Pemerintah Kota berubah seiring dengan tingkat keterlibatan pihak swasta. Sumber daya yang ada akan difokuskan untuk monitoring dan penegakan pelaksanaan. Namun demikian, pemerintah tetap bertanggungjawab. 2. Point Pokok #2 Agar KPS Berhasil, Harus Ada Kompetisi, Akuntabilitas dan Transparansi. Kompetisi memberikan motivasi untuk menjaga usaha dan memberikan standari sasi sebagai ukuran perbandingan atau penilaian performa kerja. Akuntabilitas dapat meningkatkan kinerja. Pelayanan jasa pihak swasta harus mengetahui bahwa mereka sangat berarti bagi individu yang limbahnya di kumpulkan dan bagi agensi pemerintah daerah yang memberikan izin atau mengadakan perjanjian dengan mereka. Dengan memper gunakan tenaga kerja dari masyarakat yang juga merasakan manfaatnya, para pekerja akan merasa harus melayani tet
angga mereka yang mengharapkan keadilan dan kepuasan dari pe layanan. Transparansi (persaingan yang adil) artinya mengadakan proses seleksi yang terbuka untuk umum. 3. Pilihan bagi PPP: Kontrak, Hak Paten, Konsesi dan Pemberian Hak Khusus. Melaksanakan survei kesadaran –untuk-- mem bayar berkaitan dengan privatisasi adalah salah satu jalan untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam terhadap keinginan masyarakat. Ukuran dari besar kecilnya investasi serta periode la manya depresiasi, merupakan perbedaan yang utama diantara kon trak yang mana pihak swasta biasa berinvestasi pada peralatan dan perlengkapan dan pemberian konsesi, yang mana pihak swasta biasa berinvestasi pada fasilitas. Kontrak Pemerintah memberikan kontrak jasa dalam jangka waktu ter batas kepada perusahaan swasta untuk menyediakan jasa pem buangan limbah dan pemerintah membayar biayanya. Alternatif lain adalah, pemerintah memberikan kontrak manajemen untuk perusahaan swasta untuk memberikan manajemen dalam pen gawasan untuk perusahaan lain yang menyediakan jasa limbah padat. Franchise Pemerintah memberikan izin ekslusif pemonopolian pada peru sahaan swasta dalam zona khusus. Perusahaan mengumpulkan pemasukan usahanya dari generator di yang terdapat dalam wilayahnya tersebut ataupun penjualan dari limbah padat yang telah dihilangkan dari wilayahnya. Franchise merupakan metode privatisasi limbah padat yang paling murah dan sering digunakan oleh negara–negara yang memiliki pendapatan pemerintah pal ing berkendala. Konsesi Pemerintah mengizinkan pihak swasta untuk mendayaguna kan salah satu sumbernya, dalam hal ini limbah padat, untuk tujuan profit. Konsesi biasanya mengikutsertakan konstruksi fasilitas jangka panjang untuk mengelompokan, memdayaguna kan, memindahkan atau membuang limbah padat. Pemerintah juga membayar ongkos iuran untuk jasa yang merupakan bagian dari biaya proses untuk pengolahan limbah padat, tetapi penda patan dari produk berlangganan (seperti pupuk kompos), atau biaya jasa yang dibayarkan dari pihak konsumen non pemerintah sangat mungkin untuk bisa menutupi biaya pengeluaran yang tersisa. Pemerintah menyediakan jaminan bagi kendali arus, se hingga jumlah limbah yang ditampung sesuai dengan rancangan jumlah kapasitas yang tersedia. Sebagian konsesi yang dioperasi kan secara ‘ambil atau bayar’ (lebih tepatnya, digunakan atau tidak, tetap membayar) dimana tip pembayaran tetap dibayar walaupun kuantitas dari limbah yang digaransikan tersebut tidak disediakan. Di bawah sistem konsesi, penggantian dan perbai
kan dari fasilitas yang tersedia harus secara hati–hati diperhi tungkan, khususnya dalam pendifinisian tanggung jawab dan aspek teknis. Private subscription (lebih dikenal sebagai persaingan bebas) Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk bersaing dalam penyediaan jasa pengelolaan limbah padat. Tidak ada perusahaan yang memonopoli zona dan harga dan regulasi pun tidak diperlukan. Tiap perusahaan mengumpulkan penda patannya sendiri langsung dari pelanggan atau subscribers. Private subscription tidak terlalu praktis untuk konsumen den gan volume kecil di area tempat tinggal karena hal tersebut tidak mendukung segi ekonomi (i.e, keuntungan dalam efisiensi di saat hanya ada satu kendaraan pengangkut yang aktif dan beroperasi secara terus-menerus dalam rute pengangkutan limbah tersebut). Akan tetapi, private subscription juga merupakan metode yang paling umum dan diminati dalam pengangkutan limbah dari pe langgan yang besar, seperti hotel berbintang, kedutaan, pabrik dan daerah komersialisasi. Secara khusus sebuah kota memerlu kan daerah komersial dan industrial yang cukup luas dan dapat menghasilkan limbah dengan jumlah tertentu tiap harinya (seba gai contoh ≥ 2 kubik meter) untuk mengurusnya sendiri dengan berlangganan secara langsung kepada pengangkut sampah swasta. Private subscription ini juga merupakan langkah yang tepat untuk mengatur pengangkutan limbah khusus non-domestik seperti peralatan medis yang berinfeksi dan limbah berbahaya lainnya. 4. Landfills. Ketika perusahaan pribadi atau perusahaan kerjasama pemerintah swasta membangun, memiliki, dan mengoperasikan sebuah fasilitas, itu dinamakan Perjanjian BOO. Ketika perusahaan membangun, memiliki (untuk sementara), mengoperasikan dan mentransfer kepemilikannya kepada pemerintah, ini dinamakan perjanjian BOT. Biasanya kepemilikan ditransfer kepada pemerin tah di akhir masa konsesi, namun dalam beberapa kasus (contoh: Hong Kong), kepemilikan ditransfer kepada pemerintah pada akhir operasi start up yang berhasil. Ketika perusahaan mendesain, mem bangun, memiliki dan mengoperasikan (dan/atau mentransfer) sebuah fasilitas, ini dinamakan DBOO (atau perjanjian DBOT). Pada umumnya pihak swasta memilih untuk mendesaihn fasilitas yang akan dia bangun dan operasikan. Terutama untuk sanitary landfill karena potensial kewajiban jangka panjang akibat dari po lusi yang timbul dari kesalahan dalam pendesainan. Perjanjian-per janjian ini pada umumnya dinamakan tipe konsesi dari perjanjian kontraktual antara pemerintah dan pihak swasta. Korporasi Keuangan Internasional (IFC) berwenang untuk membiayai konsesi design-build-transfer-operate (DBTO) sementara Bank Dunia dan Assosiasi Pembangunan Internasional (IDA) dapat membiayai kosesi Design-Build-Operate (DBO) saja. Privatisasi pengoperasian landfill di beberapa tempat dapat dicapai dengan kontrak servis. Untuk sanitary landfill yang baru,
25
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
Perusahaan gabuangan pemerintah dan swasta untuk pembakaran:
Surabaya, Indonesia; Manila, Philippines
Perusahaan gabuangan pemerintah dan swasta untuk sanitary landfill:
San Salvador, El Salvador
Kontrak jasa untuk pra-pemungutan:
Fez, Morocco
Kontrak jasa untuk pemungutan: Sao Paulo, Brazil; Rio de Janeiro, Brazil; Santiago, Chile; Guayaquil, Ecuador; Quito, Ecuador; San Miguel, El Salvador; Banjul, Gambia; Tema, Ghana; Georgetown, Guyana; Jakarta, Indonesia; Abidjan, Ivory Coast; Montego Bay, Jamaica; Kuala Lumpur, Malaysia ; Port Louis, Mauritius ; Dar es Salaam, Tanzania All cities, Trinidad and Tobago; Caracas, Venezuela Kontrak jasa untuk penyapuan jalanan:
Surabaya, Indonesia
Kontrak jasa untuk transfer:
Lahore, Pakistan; Damascus, Syria
Kontrak jasa untuk sanitary landfilling:
Guayaquil, Ecuador ; Buenos Aires, Argentina ; Bogota, Colombia ; Port Louis, Mauritius ; Casablanca, Morocco
Kontrak untuk perbaikan dan pemeliharaan kendaraan:
Padang, Indonesia; Semarang, Indonesia
Kontrak untuk memonitor jasa:
Buenos Aires, Argentina; Sao Paulo, Brazil; Bogota, Colombia
Franchise untuk pemungutan:
Accra, Ghana; Bogota, Colombia; Conakry, Guinea
Franchise untuk pemungutan sampah daur ulang:
Cairo, Egypt; Medan, Indonesia
Franchises untuk mengambil kompos dari tempat
pembuangan sampah: 26
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009
Medan, Indonesia; Mumbai, India
jika ada saldo kas cukup besar
MODAL SENDIRI
tender
Sumber: BPPSPAM
Riga, Latvia; Semarang, Indonesia
tambahan nilai 10% bagi swasta pemrakarsa
Perusahaan gabuangan pemerintah dan swasta untuk pemungutan:
INISIATIF SWASTA UNSOLICITED
Ho Chi Minh City, Vietnam
PRA FS
Komersialisasi badan pembuat kompos:
BERDASARKAN PERPRES NO.29 TAHUN 2009 MENGENAI PENJAMINAN PEMERINTAJ DAN SUBSIDI BUNGA MAX 5%
Komersialisasi badan pengelolaan limbah padat: Quito, Ecuador; Medan, Indonesia; Bandung, Indonesia; Lagos, Nigeria; Onitsha, Nigeria; Conakry, Guinea; Lima, Peru
KPS
Beberapa Contoh Siapa Yang Melakukan Privatisasi
PINJAMAN
DAERAH/PDAM
‘pembersihan jalan’ daripada mengartikan pekerjaannya dalam arti kualitatif. l Sulit untuk menghukum perusahaan swasta yang kurang baik performanya, sebagian karena perjanjiannya tidak memasukkan pasal-pasal yang efektif mengenai pelanggaran atau sanksi. l Hasil dari pengawasan pemerintah sangat tidak efisien. l Durasi perjanjiannya terlalu singkat sehingga pihak swasta tidak dapat berinvestasi dalam perlengkapan yang memadai --se bagian besar perjanjian hanya untuk durasi yang 10% sampai 30% dari waktu yang diperlukan untuk dapat mencapai pengem balian investasi. Contohnya, kontrak untuk pemungutan limbah padat seringkali hanya untuk satu tahun. Padahal waktu pengem balian investasi untuk kendaraan pengambil sampahnya saja em pat sampai sepuluh tahun.
skema pembiayaan
privatisasi penuh dari design-to-operation harus diperhitungkan. Cara privatisasi yang demikian dapat menjadi perjanjain konsesi DBOO atau DBOT. Colombo (Sri Langka) sedang mengimplementasi kan sanitary landfill yang baru dengan menggunakan konsesi dan Hong-Kong telah mengimplementasikan dua sanitary landfill yang baru dengan cara yang sama. Dalam kasus Colombo, Bank Dunia telah melakukan proyek pembiayaan yang menutup sebagian besar biaya investasi sehingga meminimalisasi tingkat risiko pihak inves tor swasta dan membuat proyek ini menarik bagi mereka. Ketika sanitary landfill telah dibangun dan dioperasikan oleh pihak swasta, segala level tanggungjawab berada pada perusahaan. 5. Permasalahan Dalam Perjanjian Pihak Swasta Untuk Jasa Limbah Padat. l Spesifikasi teknis yang didefinisikan dengan kurang baik se perti hanya mengartikannya sebagai ‘pengambilan sampah’ dan
DIBUAT OLEH PEMDA/PDAM SOLICITED
INFO KPS
27
Agustus 2009 [Kerjasama Pemerintah & Swasta] KPS
INFO KPS PROGRES IMPLEMENTATION PROYEK OLEH PDF IRSDP TECHNICAL ASSISTANCE pelaksana/mitra PIN Judul Proyek
Badan Pengusul
Nama Perusahaan
Tanggal Kontrak
Durasi (Bulan)
Durasi Saat Ini (Bulan)
1 Pre-Feasibility Study Bandung Poyry 23 10 bulan 5 dan Transaction City Environment October Advisory Services Government GmbH Ass.with 2008 Untuk Proyek (Bappeda) PT. Roraya Penyediaan Air Baku Engineering Kota Bandung 2 TA Untuk Proyek Pemda PT. Catur 28 4 4 Persiapan Fasilitas Kab. Klungkung Bina Persada November Pengelolaan Air dan PT. Nara 2008 Tukad Unda dan Sumatama Jalur-Jalur Pipa Utama Hara Lainnya Yang Terkait
Status Implementasi*) Sedang Berjalan
Sedang Berjalan
PROYEK FEASIBILITY STUDY YANG SEDANG DITENDER OLEH PDF-IRSDP TECHNICAL ASSISTANCE PIN Nama Diusulkan Metoda Tanggal Pengumuman Proyek oleh Seleksi Persetujuan Tender A1-SP-01
Terminal Feri Margagiri Ketapang
Waktu Persiapan Tender
MOT
QCBS
8/2/2008
9/1/2008
102 hr
A2-BT-03 Terminal Terpadu Gedebage
Kota Bandung
QCBS
7/10/2008
7/10/2008
77 hr
A2-WS-04
Kabupaten Maros
QCBS
8/29/2008
**) 17/02/2009
48 hr
BPJT
CQS
11/28/2007
4/28/2009
96 hr
A2-WS-01 Proyek Pengadaan Air Cimenteng
Kota Bandung
QCBS
9/21/2007
2/27/2008
56 hr
A2-WS-02
Kabupaten Klungkung
CQS
8/20/2007
5/2/2008
96 hr
Proyek Air Bersih Kabupaten Maros
A1-TL-02 Technical Advisory Kepada BPJT
FS Untuk Fasilitas Pengelolaan Air Tukadtunda
Note: *) Waktu proses tender FS dihitung sejak tender diiklankan di koran sampai dengan selesainya tender, yaitu saat ditandatanganinya kontrak Ketika tender belum selesai, waktu dihitung sejak diiklankan di koran sampai dengan tanggal laporan. **) Waktu persiapan tender dihitung sejak proyek yang dimohon disetujui sampai dengan tender diiklankan di koran. Ketika tender belum diumumkan, dihitung sejak proyek yang dimohon disetujui sampai dengan tanggal laporan.
28
KPS [Kerjasama Pemerintah & Swasta] Agustus 2009