BAB I Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) Sebagai Alternatif Kebijakan Pembangunan di Indonesia
1. Latar Belakang Studi ini mengkaji pengembangan kewenangan pemerintah dalam penyediaan air bersih melalui kerjasama pemerintah-swasta. Dalam tradisi pembuatan kebijakan yang mainstream terdapat adanya pembedaan peran aktor, yakni peran aktor publik (pemerintah) dengan aktor private (masyarakat dan bisnis) melalui logika division of labor.1 Pembedaan peran aktor tersebut lebih menitikberatkan kepada fokus tugas yang dihasilkan. Artinya, tugas dari pemerintah adalah menyediakan barang publik, sedangkan tugas dari sektor swasta lebih kepada menyediakan barang privat. Dalam pemisahan konsentrasi peran aktor tersebut, diharapkan tercipta kerja yang optimal dan efisien karena masing-masing aktor fokus terhadap perannya. Hal tersebut dikarenakan terdapat kelebihan yang menganggap pemerintah sebagai aktor yang dapat menyediakan anggaran yang besar dalam penyediaan infrastruktur dan barang publik, terlebih jika melihat pada fungsi pemerintah sebagai provider. Dengan demikian, pemerintah fokus terhadap jenis pekerjaan yang menghasilkan barang publik, sedangkan sektor swasta berfokus pada jenis pekerjaan yang menghasilkan barang privat. Pembedaan peran aktor tersebut dalam fokus tugas yang dihasilkan sering disebut dengan logic of complementary.2 Pada perkembangannya, pola pemisahan peran masing-masing aktor memiliki konsekuensinya. Hal itu dikarenakan peran aktor, terutama pemerintah, tidak dapat diharapkan dalam memenuhi fokus tugas yang dihasilkan dari masing-masing aktor tersebut.
1
Nanang Pamuji Mugasejati, Bab 5 Basis Kerjasama dalam Modul Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah (Yogyakarta: S2 PLOD UGM, 2004). Hal. 95 2 Ibid.
Sebagaimana yang terjadi pada pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya air demi kesejahteraan masyarakat tentu memiliki hambatan dan konsekuensi dalam pelaksanaannya. Pada audit BPKP tahun 2013 terhadap laporan BPPSPAM tahun 2012 menunjukkan hampir dari 50% PDAM yang ada kurang sehat, meskipun pemerintah memiliki program untuk mewujudkan 100 persen akses air minum di seluruh wilayah Indonesia pada akhir tahun 2019. Hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan PDAM, sebagai penyelenggara teknis dari pemerintah, dalam penyediaan air bersih. Lebih lanjut, muncul juga hambatan yang dihadapi oleh PDAM di daerah. Pertama, tidak ada dukungan dari kepala daerah sehingga tarif yang diterapkan tidak full cost recovery. Artinya, tarif yang diterapkan dibawah biaya produksi. Kedua, sumber pendanaan bagi PDAM tidak mencukupi. Hal tersebut dikarenakan internal generating PDAM kurang. Oleh karena itu, tinggal bagaimana PDAM memanfaatkan sumber pendanaan lainnya seperti APBD, APBN, swasta, serta perbankan. Ketiga, tantangan laju urbanisasi yang cukup cepat. Ketiga hal tersebut yang selama ini menyebabkan kapasitas pelayanan PDAM lambat, diskriminasi pelayanan, dan laju pertambahan pelanggan lambat. Tentunya tanggungjawab besar dan ketidaksiapan dalam penyediaan air bersih yang menjadi kebutuhan masyarakat dapat membawa konsekuensi membesarnya anggaran pengeluaran yang kemudian mengakibatkan defisitnya anggaran pemerintah. Dengan demikian, perlu adanya transformasi agar kapasitas dan laju kebutuhan pelanggan dapat teratasi. Terdapat asumsi bahwa setiap pekerjaan bisa dikategorikan secara murni sebagai pekerjaan publik dan pekerjaan private, namun ada juga beberapa jenis pekerjaan yang merupakan campuran antara public goods dan private goods. 3 Jenis pekerjaan yang merupakan campuran antara public goods dan private goods dapat membuka ruang kerjasama bagi antar aktor yang kemudian berupaya menciptakan sinergi dalam penyediaan jenis
3
Ibid. Hal. 96
pekerjaan tersebut. Adanya sinergi atau kerjasama dalam fokus tugas yang dihasilkan sering disebut dengan logic of embededness. 4 Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan keterlibatan bersama antara sektor swasta dan pemerintah dalam jenis pekerjaan campuran tersebut. Selanjutnya, sebagaimana yang telah dijelaskan, dalam penyediaan air bersih tersebut tidak dapat diharapkan bahwa penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan sempurna oleh pemerintah. Dengan demikian, diperlukan kerjasama dan sinergi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih. Kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih dapat dilakukan melalui 2 skema, yakni Business to Business (B to B) dan juga Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS). Kedua cara tersebut merupakan bagian transformasi yang juga diterapkan dalam penyediaan pelayanan air bersih dengan melibatkan peran pihak swasta. Skema B to B merupakan skema dimana PDAM langsung bekerjasama dengan pihak swasta, pemerintah hanya sebagai fasilitator, sebagaimana PP 15 tahun 2005. Pada skema kerjasama pemerintahswasta, pemerintah daerah yang bekerjasama dengan pihak swasta. Meskipun kedua skema tersebut berbeda, pihak swasta yang diajak kerjasama dalam kedua skema tersebut haruslah membentuk badan khusus untuk pengelolaan spam. Pihak swasta bisa berasal dari luar negeri maupun dalam negeri, hanya saja jika pihak swasta tersebut berasal dari luar negeri haruslah menggandeng pihak swasta dalam negeri dan kepemilikannya maksimal hanya 95 persen dalam badan khusus yang dibentuk untuk pengelolaan spam. Terdapat tiga manfaat penting dalam pelaksanaan kerjasama pemerintah-swasta dalam perekonomian.5 Pertama, memperbesar mobilisasi kapital privat dalam mendukung kepentingan publik. Kedua, mendorong efisiensi pengelolaan pelayanan publik. Ketiga, pelaksanaan kerjasama mendorong deregulasi pengelolaan ekonomi yang semakin luas. 4
Ibid. Asian Development Bank (2008) dalam Agus Eko Nugroho, Bab 2 Kerja Sama Pemerintah dan Swasta dalam Mendukung Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dalam Analisis Model Kebijakan Kerja Sama PemerintahSwasta dalam Pembangunan Infrastruktur (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2014). Hal. 18-20 5
Artinya, skema kerjasama dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan sumber pembiayaan, inovasi yang diciptakan oleh sektor swasta, serta peningkatan kualitas pembangunan proyek dan juga pemeliharaan oleh swasta. Dalam penelitian ini, menunjukkan skema kerjasama yang terjadi adalah skema kerjasama pemerintah-swasta. Kerjasama tersebut terdapat pada penyediaan suplai air bersih. Skema kerjasama yang dilakukan menggunakan skema Build-Own-Transfer (BOT) selama 27 tahun. Menariknya, ada pembagian pelanggan dan sumber mata air yang digunakan antara PT. STU dengan PDAM Kabupaten Semarang. Pelanggan PT. STU merupakan pelanggan non-domestik yang menggunakan sumber air yang terdapat di Sungai Tuntang, sedangkan pelanggan domestik tetap menjadi kewenangan dari PDAM Kabupaten Semarang yang menggunakan sumber mata air Ngembat. Kerjasama pemerintah-swasta yang terjadi di Kabupaten Semarang masih tetap berlangsung. Hal yang membuat tetap berlangsungnya kerjasama tersebut adalah adanya pembagian pelanggan dan sumber mata air. Selain itu, juga terdapat adanya jaminan keuntungan dan jaminan pembagian wewenang dari masing-masing aktor. Artinya, masingmasing sektor dapat fokus melaksanakan tugasnya masing-masing, sebagaimana PDAM tetap memberikan pelayanan dan juga sektor swasta dapat tetap fokus terhadap profitabilitas. Adanya pembagian keuntungan dan wewenang yang diakibatkan dari adanya pembagian pelanggan dan sumber mata air dan menjadi kunci keberhasilan dalam pola kerjasama pemerintah-swasta tersebut, membuat pola kerjasama ini dapat dikatakan mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pola kerjasama pemerintah-swasta yang telah ada sebelumnya. Pertama, jika dibandingkan dengan kerjasama yang dilakukan oleh PDAM Kota Makasar dan pihak swasta. Dalam kerjasama yang dilakukan oleh PDAM Kota Makasar dengan pihak swasta tersebut tidak terdapat adanya pembagian pelanggan dan juga pembagian kewenangan. Hal tersebut kemudian menjadikan terbatasnya aksestabilitas
masyarakat terhadap sumber daya air. Idris beranggapan bahwa telah terjadi komodifikasi air minum yang diakibatkan proses investasi dari pihak swasta tersebut.6 Masuknya peran swasta kemudian mengurangi campur tangan pemerintah dalam mekanisme kerja PDAM. Kedua, hal tersebut yang juga terjadi pada klausul pola kerjasama antara Pamjaya dengan PT. Thames Pam Jaya dan PT. Pam Lyonnaise Jaya. Dalam kerjasama tersebut, pay off yang diberikan begitu banyak kepada mitra asing, antara lain di dalam menggantikan peran pamjaya sebagai operator tunggal sektor air di wilayah DKI Jakarta dan juga mengeksploitasi seluruh aset pamjaya tanpa memberikan kompensasi. 7 Ketiga, jika dibandingkan dengan kerjasama yang dilakukan pada Terminal Giwangan. Dalam kerjasama Pemerintah dan PT. Perwita Karya Pembangun tersebut, perhitungan yang dilakukan sesuai dengan pendapatan rupiah yang diterima oleh kedua belah pihak, bukan dilakukan dengan secara prosentase. Hal tersebut menjadikan proyek tersebut tidak layak dikerjasamakan karena jika melihat perimbangan resiko antara pihak swasta dan pemerintah. 8 Meskipun demikian, pola kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang tersebut bukannya tanpa mengalami beberapa kendala. Sebagaimana proses kerjasama pemerintah dengan swasta yang terjadi di daerah lain, kerjasama pemerintah-swasta di Kabupaten Semarang juga merupakan produk dari kompromi antar pihak yang bertujuan untuk bagaimana memenangkan permainan dalam pembuatan aturan kerjasama tersebut. Hal tersebut yang kemudian dapat menimbulkan pertentangan dan juga konsensus dalam aturan kerjasama yang dibuat. Tentunya, hal ini terkait dengan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya air.
6
Syaharuddin Idris, Tesis, Kasus Privatisasi Pengelolaan Air Minum di PDAM Kota Makasar; dari Investasi ke komodifikasi (Yogyakarta : UGM, 2013). Hal. xiii 7 Isnan Rahmanto, Tesis, Ekonomi Politik Kebijakan Publik Sektor Air Minum : Studi Kasus Privatisasi Pamjaya (Yogyakarta : UGM, 2009). Hal. 269 8 Irvan Amirullah, Tesis, Penyediaan Infrastruktur Perkotaan Melalui Kerjasama Pemerintah dan Swasta pada Terminal Tipe A Giwangan Yogyakarta (Yogyakarta : UGM, 2009). Hal. 135
Pihak pemerintah daerah Kabupaten Semarang yang menjadi penguasa atas sumberdaya air di Kabupaten Semarang dihadapkan pada permasalahan kebutuhan air untuk industri yang belum bisa dilayani oleh jaringan PDAM, sehingga kebutuhan air untuk industri tersebut dipenuhi oleh air bawah tanah yang diusahakan oleh masing-masing industri. Selain permasalahan kondisi kebutuhan Industri akan air bersih dan juga permasalahan yang dikhawatirkan akibat dari pengambilan air bawah tanah, kegagalan proyek P3KT terkait dengan pengembangan air bersih, sebagaimana dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Semarang No.050/01451/1996 tanggal 25 Maret 1996 tentang pemberian pekerjaan, juga menjadi kendala bagi penyediaan dan pengembangan air bersih. Permasalahan macetnya proyek P3KT menjadikan tanggungan pengembalian pinjaman dari proyek tersebut cukup berat. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kabupaten Semarang berupaya mengatasi permasalahan tersebut dengan cara mengadakan kerjasama dengan PT. Sarana Tirta Ungaran. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kepentingan dari pemerintah daerah Kabupaten Semarang berupa terpenuhinya suplai air bersih terhadap industri dan juga permasalahan tanggungan dari pengembalian pinjaman dari proyek P3KT, dengan memaksimalkan sumberdaya air yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kabupaten Semarang. Di sisi lain, PT. Sarana Tirta Ungaran yang memiliki sumberdaya berupa modal yang besar berupaya untuk mendapatkan keuntungan dalam proses kerjasama tersebut. Hal tersebut dikarenakan PT. Sarana Tirta Ungaran bersifat profit oriented. Namun demikian, kerjasama yang dilakukan oleh PT. Sarana Tirta Ungaran di Kabupaten Semarang merupakan kerjasama dalam penyediaan air bersih yang baru pertama kali dilakukan oleh PT. Sarana Tirta Ungaran. Dalam kerjasama tersebut, PT. Sarana Tirta Ungaran merupakan perusahaan yang sengaja dibentuk oleh perusahaan PT. Apac Inti Corpora, selaku perusahaan paling besar pada saat itu di Kabupaten Semarang, yang bertujuan untuk membantu pemerintah
daerah Kabupaten Semarang dalam penyediaan air bersih. 9 Oleh karena itu, masih terdapat kendala terkait dengan perjanjian kerjasama yang telah disepakati. Kendala tersebut terkait dengan masih diperbolehkannya industri menggunakan air bawah tanah melalui sumur artetis, sebagaiamana di dalam aturan kerjasama tersebut tidak adanya aturan yang melarang indutri untuk menggunakan air bawah tanah. Oleh karenanya, masih terdapat industri yang belum menjadi pelanggan dari PT. Sarana Tirta Ungaran dan juga dalam kuota yang diberikan kepada PT. Sarana Tirta Ungaran dalam kerjasama tersebut tidak habis. 10 Hal tersebut dapat menjadi penghambat bagi keberhasilan kerjasama pemerintah-swasta yang terjadi di Kabupaten Semarang. Namun, aturan pelarangan pengambilan air bawah tanah oleh industri tidak dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Semarang. Lebih lanjut, proses masih diperbolehkannya penggunaan air bawah tanah melalui sumur artetis oleh industri dimana merupakan bagian dari kewenangan pemerintah daerah merupakan fenomena yang menarik untuk diketahui. Tentunya, hal ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam kerjasama ini. Selain itu, proses bagaimana pembagian keuntungan yang didapatkan oleh masing pihak-pihak yang kemudian menjadi insentif dalam kerjasama ini juga menjadi fenomena yang menarik untuk diketahui. Hal
tersebut
dimaksudkan
untuk
mengetahui
kepentingan
(interest
goal)
yang
memungkinkan dapat didapatkan PT. Sarana Tirta Ungaran dan juga pemerintah daerah Kabupaten Semarang dari keterlibatannya dalam kerjasama tersebut.
9
Hasil diskusi dengan Asisten Manager Administrasi Pers, Umum dan Purchase PT. Sarana Tirta Ungaran, November 2014. 10 Hasil diskusi dengan Direktur Utama PT. Sarana Tirta Ungaran, November 2015.
2. Rumusan Masalah Berangkat dari permasalahan yang telah dipaparkan dalam latar belakang, peneliti membangun dua pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pembagian peran / wewenang dan juga pembagian keuntungan yang didapat dari masing-masing pihak dalam kerjasama tersebut ? 2. Bagaimana implikasi kerjasama pemerintah-swasta terhadap penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang ?
3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui dinamika penyelengaraan penyediaan air bersih di Indonesia. 2. Mengetahui kewenangan Pemerintah Kabupaten Semarang dalam kerjasama pemerintah-swasta. 3. Mengetahui implikasi kerjasama pemerintah-swasta terhadap penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang. 4. Menyusun rekomendasi tentang kebijakan kerjasama pemerintah-swasta.
4. Manfaat Penelitian 1. Secara aplikatif, dapat menjadi wacana bagi pembuat kebijakan di masing-masing pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pembangunan terkait dengan pelayanan publik. 2. Secara khusus, hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk mendesain ulang kebijakan kerjasama pemerintah-swasta yang telah pernah dilakukan dan juga memicu munculnya kerjasama tersebut di daerah-daerah lain.
5. Kerangka Pikir Pola kemitraan merupakan pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan terhadap masyarakat. Artinya, hal tesebut kemudian merubah pola pikir pemerintah dengan cara berbagi peran dengan swasta dalam penyediaan layanan publik. Pola kerjasama yang berjalan didasarkan pada pendefinisian ulang terhadap lingkup intervensi pemerintah. Pola kerjasama tersebut berupaya menciptakan sinergi dalam fokus tugas yang dihasilkan, dimana pada awalnya peran pemerintah tidak dapat diharapkan untuk dapat memenuhi fokus tugas yang dihasilkan. Dengan demikian, pelayanan terhadap masyarakat yang dihasilkan dari pola kerjasama tersebut kemudian diharapkan dapat memainkan peranan penting dalam upaya peningkatan daya saing dan pembangunan nasional. Selain terbentuk dari pergeseran cara pandang dalam pembedaan peran aktor pada tradisi pembuatan kebijakan penyedia layanan publik, kerjasama pemerintah swasta terbentuk dikarenakan kondisi-kondisi yang terdapat di daerah tersebut dimana kerjasama tersebut terbentuk. Artinya, kondisi tersebut membuat pemerintah tidak hanya melakukan apa yang mereka suka, melainkan melakukan sesuatu yang seharusnya pemerintah memang lakukan sehingga tercipta kerjasama tersebut. Hal tersebut kemudian yang dapat menjadikan terbentuknya kelembagaan dalam kerjasama tersebut. Selanjutnya, terbentuknya kelembagaan dalam kerjasama tersebut juga melahirkan adanya pembagian peran atau wewenang dan juga pembagian keuntungan yang didapat dari masing-masing pihak. Pembagian peran atau wewenang tersebut tentunya digunakan sebagai aturan permainan dalam kerjasama. Artinya, aturan tersebut menjadi rambu yang tidak boleh dilanggar sehingga kerjasama tersebut dapat berjalan efektif dan juga aturan tersebut pada gilirannya dapat mengurangi unsur ketidakpastian dalam keberlangsungan kerjasama. Dengan demikian, pembagian peran atau wewenang yang ada ditujukan kepada pemerintah
dan juga pihak swasta agar dapat mengoordinasi aktivitas ekonomi yang ada dalam kerjasama tersebut. Pada perkembangannya, kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang mengalami kendala. Hal tersebut tentunya membutuhkan peran pemerintah daerah. Oleh karena, pemerintah merupakan institusi yang dapat menentukan perilaku masyarakat. Artinya, pemerintah daerah dapat memiliki kewenangan dalam peraturan yang bersifat memaksa. Tentunya, tanpa kehadiran pemerintah daerah, maka salah satu dampaknya adalah permasalahan supply dan demand dari kerjasama penyediaan air bersih tersebut. Selanjutnya, jika rumusan pemikiran tersebut disimpulkan maka terdapat 3 ide pemikiran. Ide pemikiran tersebut adalah kelembagaan, aturan, dan juga perkembangan. Berikut adalah rumusan pemikiran terhadap skema penyediaan air bersih dalam kerjasama pemerintah-swasta di Kabupaten Semarang : Gambar 1. Kerangka pemikiran skema penyediaan air bersih dalam kerjasama pemerintah-swasta di Kabupaten Semarang -
Tanah Bangunan Jaringan Regulasi
Pemkab Semarang
Kemitraan - pembagian pelanggan - pembagian sumber mata air
- Finansial - SDM - Peralatan
PT. Sarana Tirta Ungaran
Penyediaan Air Bersih - Sosial - Ekonomi
6. Kerangka Teori 6.1. Transformasi Penyedia Layanan Publik Dalam memahami keterlibatan bersama antara sektor swasta dan pemerintah dalam layanan publik, diperlukan konstruksi teori yang memadukan pendekatan yang tepat. Hal tersebut dikarenakan logika yang terdapat pada pemerintah berbeda dengan logika pihak swasta. Logika yang terdapat pada pemerintah merupakan akibat dari kewajiban pemerintah mengembangkan peran etis, disamping memiliki fungsi rasional. 11 Artinya, terdapat suatu pemahaman bahwa tidak dibenarkan sebuah upaya apapun yang dikerjakan dengan cara menenggelamkan komunitas yang satu demi individu lainnya. Di lain pihak, logika yang terdapat pada pihak swasta adalah profitabilitas.12 Hal ini menjadi rumit karena proses ekonomi itu sendiri yang cenderung mendistribusikan kekuasaan dan kekayaan, juga bersinggungan pada politik yang umumnya menentukan dari kerangka kegiatan ekonomi tersebut.13 Namun, dari sini kemudian terjadi interaksi politik antara kedua logika tersebut. Dalam hal ini, hasil dari interaksi politik adalah keseimbangan rasional agar memuaskan berbagai kepentingan. Lebih lanjut, pada gilirannya hal ini akan menyebabkan perubahan sistem politik, dan dengan demikian memunculkan suatu struktur hubungan ekonomi baru. 14 Struktur hubungan ekonomi yang ada pada kerjasama pemerintah dan swasta merupakan struktur hubungan ekonomi baru. Oleh karena, kerjasama pemerintah dan swasta terjadi pada jenis pekerjaan campuran, yakni jenis pekerjaan yang menyediakan barang publik, maka kerjasama pemerintah dengan swasta dapat terjadi dalam penyediaan layanan publik. Perubahan pola dalam struktur hubungan ekonomi baru tersebut terdapat pada gambar berikut :
11
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik : Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014). Hal. vii 12 Profitabilitas disini kemampuan memperoleh keuntungan yang didapat dari keseragaman pasar sebagai mekanisme alokasi dan mekanisme distribusi terhadap tiap individu berdasarkan tarif harga. 13 Isnan Rahmanto, Op. Cit. Hal. 33 14 Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966−1971 (Jakarta : LP3ES, 1989). Hal. xvi
Gambar 2. Perubahan pola dalam struktur hubungan ekonomi Pemerintah
Masyarakat
Pemerintah
Swasta
Masyarakat
Artinya, kemunculan suatu struktur hubungan ekonomi baru membentuk konsep penyedia layanan publik pada sisi supply-side.15
6.2. Kerjasama Pemerintah-Swasta di Indonesia 6.2.1. Motif Kerjasama Pemerintah-Swasta Melaksanakan pembangunan merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar. 16 Namun, pada perkembangannya, pemerintah tidak memiliki privilage untuk berperan secara optimal dalam menyediakan dan membangun infrastruktur. Oleh karenanya, dibutuhkan sinergi kerjasama antara pemerintah dengan swasta. Terdapat tiga alasan yang mendasari dilakukannya kerjasama pemerintah-swasta.17 Pertama, kuantitas dan kualitas infrastruktur yang tersedia sudah tidak memadai untuk mendukung akselerasi pembangunan. Kedua, kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur sangat
15
Pada sisi supply-side ini, terdapat tiga aktor dalam penyedia layanan publik, yakni pemerintah, swasta, dan quasi. Quasi disini merupakan sinergi atau kerjasama antara pemerintah dan swasta. Sinergi atau kerjasama tersebut terjadi pada quasi-public goods, dimana terciptanya kondisi tertentu yang memaksa/membuat public goods tidak dapat memenuhi yang sifatnya secara absolut. 16 Eny Haryati, Disertasi, Konfigurasi Politik, Pembangunan Masyrakat Desa, dan Penanggulangan Kemiskinan : Suatu Kajian Diakronis (Yogyakarta : UGM, 2003). Hal. 1 17 Latif Adam, Bab 3 Public Private Partnership : Sebuah Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dalam Analisis Model Kebijakan Kerja Sama Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur (Jakarta : Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2014). Hal. 35-36
terbatas. Ketiga, berbeda dengan pemerintah, sektor sawasta memiliki keahlian dan profesionalisme yang lebih baik untuk membangun infrastruktur secara efektif dan efisien. Dalam konteks ini, pelibatan sektor swasta menjadi krusial sebagai komplemen untuk menambah anggaran pembangunan infrastruktur. Pada gilirannya, bertambahnya anggaran infrastruktur karena keterlibatan swasta diasumsikan akan mendorong pembangunan ekonomi ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, kebayakan infrastruktur sebenarnya merupakan barang publik yang membutuhkan investasi cukup besar dengan tingkat pengembalian investasi sangat rendah, berdurasi panjang, dan memiliki tingkat eksternalitas relatif tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya tiga poin penting yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah. 18 Pertama, proyek infrastruktur termasuk kedalam kategori high risk maka pemerintah perlu meberikan insentif kepada para investor untuk meng-offset munculnya risiko. Kedua, perlu membentuk dan memperkuat kelembagaan untuk mengawasi aliran dana infrastruktur. Ketiga, pemerintah juga perlu mensinkronisasikan beberapa peraturan yang menyebabkan ketidakpastian. 6.2.2. Model Kerjasama Pemerintah-Swasta19 Terdapat beberapa model kerjasama pemerintah-swasta yang sering digunakan di Indonesia. Berikut model kerjasama pemerintah-swasta tersebut, yakni: a) Kontrak Pelayanan 1. Kontrak Operasional / Pemeliharaan Kerjasama yang dilakukan lebih kepada penyerahan wewenang kepada pihak swasta dalam memberikan jasa pada layanan tertentu. Artinya, pihak swasta tersebut kemudian bertanggungjawab atas jasa yang diberikannya hingga jangka waktu yang telah disepakati bersama. 18
Latif Adam (2009,b) dalam Latif Adam, Bab 1 Pendahuluan dalam Analisis Model Kebijakan Kerja Sama Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur (Jakarta : Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2014). Hal. 7 19 Bagian ini diadaptasi dari Awaluddin, Bab 7 Kerjasama Pemerintah dengan Swasta dalam Modul Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah (Yogyakarta : S2 PLOD, 2004). Hal. 117-120
2. Kontrak Kelola Kontrak kelola dilakukan untuk mengelola aset yang dimiliki oleh pemerintah. Nantinya, pihak swasta berperan sebagai pihak yang menduduki jabatan tertentu sehingga bertanggungjawab atas pengelolaan aset tersebut. 3. Kontrak Sewa Kerjasama yang dilakukan yakni pihak swasta menyewakan aset yang dimiliki kepada pemerintah. Pihak swasta tetap menyediakan modal kerja untuk pengelolaan dan pemeliharaan aset tersebut. Nantinya, pemerintah tetap mengembalikan aset tersebut kepada pihak swasta setelah jangka waktu yang disepakati bersama telah habis. 4. Kontrak Konsensi Bentuk kerjasama yang terjadi dimana pihak swasta diserahkan tanggungjawab menyediakan jasa pengelolaan atas sebagian atau seluruh sistem infrastuktur yang telah disepakati. Pengoperasian, pemeliharaan, penyediaan modal kerja, dan pemberian layanan kepada masyarakat. Artinya, penyediaan layanan tersebut mulai dari pengeloaan, distribusi, sampai kepada penagihan dari pemberian layanan jasa tersebut.
b) Kontrak Bangun 1. Kontrak Bangun Guna Serah Bentuk kerjasama yang terjadi adalah pihak swasta bertanggungjawab membangun proyek infrastruktur yang akan dikelola, termasuk didalamnya pembiayaan. Selanjutnya, saat infrastruktur tersebut jadi maka pengelolaannya dioperasionalkan oleh pihak swasta. Nantinya, infrastruktur tersebut akan menjadi milik pemerintah jika jangka waktu kerjasama telah habis.
2. Kontrak Bangun Serah Guna Bentuk kerjasama yang terjalin disini hanya terdapat pada pihak swasta yang bertanggungjawab membangun proyek infrastruktur, termasuk pembiayaan. Setelah terbangunnya infrastruktur tersebut, infrastruktur diserahkan kepemilikan dan penguasaannya kepada pemerintah. 3. Kontrak Bangun Sewa Serah Bentuk kerjasama yang terjalin adalah pihak swasta bertanggungjawab membangun infrastruktur. Pembiayaan berasal dari pihak swasta. Nantinya, pemerintah menyewakan infrastruktur tersebut melalui perjanjian sewa beli kepada pihak swasta selama jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu kontrak berakhir, maka fasilitas infrastruktur tersebut diserahkan penguasaan dan kepimilikannya kepada pemerintah.
c) Kontrak Rehabilitasi 1. Kontrak Rehabilitasi Kelola dan Serah Bentuk kerjasama yang terjalin yakni dengan cara aset atau infrastruktur milik pemerintah diserahkan kepada mitra swasta untuk diperbaiki, dioperasikan dan dipelihara sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Pada saat jangka waktu yang telah disepakati berakhir maka aset atau infrastruktur tersebut tentunya diserahkan kembali kepada pemerintah. 2. Kontrak Bangun Tambah Kelola dan Serah Bentuk kerjasama yang terjalin atas tujuan perluasan dan penambahan tertentu atas fasilitas infrastuktur yang sudah ada. Nantinya, juga terdapat tanggungjawab untuk melakukan rehabilitasi infrastruktur tersebut. Hal tersebut menjadi tanggungjawab pihak swasta.
d) Kontrak Patungan Bentuk kerjasama dengan membangun atau mengelola suatu aset yang dimiliki oleh perusahaan patungan. Perusahaan patungan dibentuk dengan cara pemerintah daerah bersama-sama bekerjasama dengan pihak swasta membentuk perusahaan baru. Nantinya, ada pembagian deviden terhadap masing-masing pemilik saham sesuai dengan besaran kepemilikan saham di perusahaan patungan tersebut.
6.3. Kerjasama
Pemerintah-Swasta
dalam
Pendekatan
Ekonomi
Politik
Kelembagaan20 Pendekatan ekonomi politik kelembagaan menolak anggapan yang selama ini diutarakan dalam ekonomi politik, dimana menjadi anggapan klasik, bahwa pasar adalah satu-satunya penggerak roda ekonomi. Dalam penganut pemikiran teori klasik, peranan pemerintah dianggap given sehingga tidak masuk kedalam kerangka analisa mekanisme pasar, dimana beranggapan tangan ghaib atau invisible hand sebagai faktor sentral.21 Pendekatan ekonomi politik kelembagaan beranggapan peran institusi, baik ekonomi maupun politik, merupakan peran penting dalam pembangunan. Oleh karena, perlu adanya institusi yang mendukung mekanisme pasar. Sebagaimana dalam analogi yang digunakan oleh pakarpakar kelembagaan yang menganalogikan bahwa ekonomi pasar tidak tercipta dengan sendirinya, meskipun terdapat tujuan bagaimana memenangkan permainan. Ekonomi pasar perlu memenuhi prasyarat tegaknya suatu institusi yang dapat mengatur pola interaksi beberapa aktor dalam suatu arena transaksi yang disepakati bersama. Tentunya, tanpa kehadiran institusi maka biaya transaksi menjadi tinggi. Hal tersebut karena institusi atau kelembagaan menentukan dan juga dapat mewarnai transaksi, terutama melalui aturan main 20 21
Bagian ini diadaptasi dari Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta : Erlangga, 2006). Hal. 95-100 Didik J Rachbini, Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan (Jakarta : Granit, 2004). Hal. 9
yang berlaku, sekaligus juga mengatur kelompok atau agen ekonomi untuk mewujudkan kontrol kolektif terhadap transaksi dalam ekonomi pasar. Dalam
literatur ekonomi politik kelembagaan, definisi kelembagaan yang
diungkapkan oleh Veblen yakni sebagai norma-norma yang membentuk perilaku masyarakat dalam bertindak, baik dalam perilaku mengonsumsi maupun berproduksi. Teori kelembagaan Veblen ini muncul sebagai kritik terhadap teori klasik dan neo-klasik yang menyerdehanakan fenomena-fenomena ekonomi, dan mengabaikan peran aspek non-ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap perilaku ekonomi masyarakat, sebab struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi. Adapun perilaku masyarakat bisa berubah, disesuaikan dengan lingkungan dan keadaan. Bagi Veblen, keadaan dan lingkungan inilah yang disebut “institusi”. Lain lanjut, negara dengan konsep kepentingan nasional, menyatakan negara merupakan institusi atau sekumpulan institusi yang bertanggung jawab untuk menetapkan nilai-nilai yang digunakan untuk menetukan kegunaan bagi masyarakat.22 Artinya, apabila Veblen menganggap keadaan dan lingkungan sebagai “institusi”, maka menurut Krasner bahwa “institusi” yang menentukan perilaku masyarakat adalah negara. Hal tersebut dikarenakan negara akan menentukan apa yang menjadi kepentingan nasional dari sebuah masyarakat dan memiliki kemampuan untuk mendefinisikan kepentingan nasional tersebut yang kemudian akan menentukan mana yang dapat dikatakan sebagai negara dan mana yang tidak sehingga ketika kepentingan nasional tidak ada, maka negara pun tidak ada. Dengan demikian, negara dapat mendefinisikan kepentingan nasional sedemikian rupa sehingga sesuai dengan jenis atau juga kebutuhan masyarakatnya.
22
Krasner (1978) dalam James A. Caporaso & David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008). Hal. 468-483
Selain pendapat Veblen dan Krasner, terdapat teori ekonomi politik kelembagaan yang dikemukakan oleh Douglas North. Menurut North, kelembagaan adalah aturan-aturan dan norma-norma yang tercipta dalam masyarakat yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana tugas dan kewajiban yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Lebih lanjut, North tetap beranggapan bahwa institusi tetap sebagai peluang sekaligus sebagai kendala ekternal bagi agen-agen ekonomi. Hal ini tentunya berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Veblen yang mengartikan institusi sebagai norma-norma, nilai-nilai, tradisi dan budaya, dimana North beranggapan institusi adalah peraturan perundangundangan berikut dengan sifat-sifat memaksa (enforcement) dari peraturan-peraturan tersebut. Douglas North menganalogikan institusi sebagai aturan permainan, sedangkan organisasi adalah sebagai tempat bermain bagi sekumpulan orang. Dalam sebuah permainan, setiap pemain mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana memenangkan permainan. Akan tetapi, dalam upaya memenangkan permainan tersebut ada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar dan aturan-aturan yang harus diikuti. Hal yang sama berlaku dalam dunia ekonomi dan bisnis, dimana ada aturan main yang mengoordinasi aktivitas-aktivitas ekonomi. Pasar hanya dapat bekerja dengan efektif apabila ditopang oleh institusi yang tepat, dan adanya institusi pada gilirannya akan mengurangi unsur ketidakpastian. Artinya, institusi yang dapat mengurangi unsur ketidakpastian tersebut adalah peraturan perundang-undangan berikut dengan sifat-sifat memaksa (enforcement), dimana jika dielaborasi dengan apa yang dikemukakan oleh Krasner bahwa negara merupakan institusi yang bertanggung jawab untuk menetapkan nilai-nilai yang digunakan untuk menetukan kegunaan bagi masyarakat, maka yang dapat mengurangi unsur ketidakpastian tersebut adalah negara. Meskipun terdapat ruang melalui peraturan, peran negara sebagai institusi juga terdapat pada keputusan pemerintah apabila memutuskan untuk tidak mengurus
permasalahan yang muncul. Artinya, segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan pemerintah merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. 23 Namun demikian, pemerintah memang harus bertindak dikarenakan pemerintah memiliki peran etis, dimana biasanya pemerintah melakukan tindakan protektif untuk menjaga agar masyarakat tidak tersisih dari program pembangunan, dan juga fungsi rasional dalam mengawal pembangunan ekonomi. Evans24, mengidentifikasi empat tipikal lagi jenis intervensi pemerintah untuk mewujudkan peran pragmatis dan etisnya, yakni custodian, demiurge, midwife, dan husbandry. Peran custodian mengacu pada fungsi negara untuk melindungi, mengawasi, dan mencegah terjadinya perilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan, seperti perusahaan yang antikompetisi, produksi barang yang kurang bermutu atau tidak aman, dan operasi firma yang merusak lingkungan. Peran demiurge mengharapkan negara berfungsi maksimal dalam wujud keterlibatannya memproduksi barang dan jasa. Peran seperti ini banyak dipraktikkan di negara-negara berkembang atau negara yang masih dalam tahap awal industrialisasi, dimana peran swasta belum muncul. Peran midwife adalah menjadi mitra dari sektor swasta karena dianggap sektor ini masih belum mampu mengidentifikasi kegiatankegiatan ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan, khususnya untuk perusahaanperusahaan pemula agar tidak tergelincir dan kalah bersaing berhadapan dengan kompetitor asing. Peran husbandry berkenaan dengan campur tangan negara untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Keempat peran negara dalam pembangunan ekonomi tersebut tentu saja masih menggambarkan negara sebagai institusi rasional yang bisa mengawal seluruh proses pembangunan secara tepat.
23 24
Riant Nugroho, Public Policy (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2008). Hal. 56 Ahmad Erani Yustika, Op. Cit. Hal. viii-x
7. Definisi Konseptual Dalam memberikan arahan pada variabel penelitian ini, maka perlu dilakukan generalisasi atas fenomena yang abstrak secara empiris yang terdapat pada variabel tersebut. Oleh karena itu, agar lebih mudah dipahami maka penulis membuat pembatasan dan penegasan definisi konsep sebagai berikut : 1. Pelayanan publik adalah penyelenggaraan pelayanan dalam penyediaan air bersih. 2. Kerjasama pemerintah-swasta adalah kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Semarang dengan PT Sarana Tirta Ungaran dalam pelayanan penyediaan air bersih. 3. Kewenangan pemerintah adalah tindakan pemerintah yang diambil dari keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
8. Definisi Operasional Dalam mempermudah proses analisa data yang diperoleh, maka definisi konsep yang ada dioperasionalkan ke dalam indikator-indikator sehingga mampu menggambarkan dan menjelaskan gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapaun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Definisi operasional penyediaan air bersih dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta
Variabel
Sub-variabel
Indikator
Pelayanan publik
Pelaku
Kerjasama
Sifat
Sosial-ekonomi
Tujuan
Sosial-ekonomi
Pembangunan
Fisik
Sifat kerjasama
Kolaboratif
Kerjasama PemerintahSwasta
Intensitas
Tinggi
Jangka waktu
Panjang / Lama
Kedudukan para pihak
Setara dan Otonom
Manfaat dan resiko
Pembagian manfaat dan resiko Penggabungan sumber daya
Sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan Kewenangan pemerintah
Tindakan pemerintah
Dilakukan atau tidak dilakukan
9. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Tahapan awal penelitian dilakukan dengan memetakan
permasalahan, teori, dan regulasi yang berkaitan dengan isu kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih. Oleh karena itu, dalam tahapan ini meliputi diskusi internal dengan pihak dari Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang, PDAM Kabupaten Semarang, dan juga PT. Sarana Tirta Ungaran. Hal tersebut bertujuan untuk mencari regulasi, dokumen kerjasama, dan referensi lain yang berkaitan. Dengan demikian, tahapan awal penelitian ini dapat menyumbangkan bagi tahapan selanjutnya berupa pengkajian secara mendalam atas yang menjadi fokus dan rumusan masalah dalam penelitian ini, tentunya terkait dalam isu kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih, khususnya yang terdapat di Kabupaten Semarang. Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode yang bersifat triangulasi data dimana peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas data lewat penyilangan berbagai sumber data yang berasal dari studi literatur, observasi dan wawancara. Selanjutnya, dilakukannya reduksi data atas data-data yang telah diperoleh dengan cara merangkum data, memilah hal-hal pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang berkaitan dan juga penting terhadap penelitian ini. Hal tersebut sebagai bagian dari proses
pengkajian terhadap isu dalam penelitian ini. Pengkajian dilakukan dengan cara bertemu Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Semarang, Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Semarang, Direktur Teknik PDAM Kabupaten Semarang, Direktur PT. Sarana Tirta Ungaran, Asisten Manager Administrasi Pers, Umum dan Purchase PT. Sarana Tirta Ungaran, dan juga Kepala Finansial dan Accounting PT. Sarana Tirta Ungaran serta pihakpihak lainnya yang berkaitan dengan isu ini.
10. Struktur Penulisan Penulisan kajian penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab Pertama, menjelaskan landasan berpikir dalam melihat isu kerjasama pemerintah-swasta dan latar belakang kajian dalam penyediaan air bersih agar dapat diketahui permasalahan dalam penelitian ini. Hal tersebut kemudian dielaborasi dengan kerangka umum kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih, yakni penyediaan air bersih sebagai bagian dari koridor pelayanan publik, kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih terkait dengan motif, mekanisme, manfaat, hambatan, model, dan juga kerjasama pemerintahswasta dalam prespektif ekonomi politik. Selain itu, pada bab ini juga terdapat tujuan dan manfaat dari penelitian ini, sebagai keluaran yang diharapkan dari penulis. Bab kedua dalam penelitian ini menyajikan tentang dinamika kerjasama pemerintahswasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan identifikasi pilihan-pilihan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih. Hal tersebut diharapkan dapat mengetahui terkait dengan sejarah penguasaan dan penyelenggaraan air bersih di Indonesia, serta pilihan skema kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih yang cocok dengan kondisi di Indonesia. Selain itu, dilakukan juga analisis tentang posisi air bersih terkait posisinya yang sebagai barang publik ataukah barang privat dan juga siapa yang dapat menyelenggarakan penyediaan air bersih tersebut.
Bab ketiga dalam penelitian ini berisi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi dan juga kondisi penyediaan air bersih dalam kerjasama pemerintah-swasta di Kabupaten Semarang. Hal tersebut diharapkan dapat dimulai dari mengetahui urgensi kerjasama dan perkembangan penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang, proses pembangunan dan pengelolaan kerjasama, pembagian wewenang dan keuntungan dari kerjasama, dan juga problematika kerjasama yang belum terpenuhi. Bab keempat dalam penelitian ini berisi tentang pencapaian kerjasama pemerintahswasta dalam mewujudkan penyediaan air bersih sebagai fungsi pelayanan publik dan fungsi komersil dalam kerjasama pemerintah-swasta di Kabupaten Semarang. Pencapaian dalam kerjasama pemerintah-swasta tersebut tentunya diharapkan dapat menjelaskan implikasi kerjasama pemerintah-swasta terhadap penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang. Bab kelima dalam penelitian ini berisi tentang kesimpulan dari proses dan temuan dalam penelitian ini serta juga rekomendasi tentang kebijakan kerjasama pemerintah-swasta.