KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI Oleh: Abdul Hakim* ABSTRACT There should be a common understanding that corruption is a disgraceful deed which harms community, no matter what form of corruption and level of implementer is. Any forms of bureaucratic actions which tend to lead and/or strengthen the attitude and behavior of corruption may not happen. Bureaucratic corruption must be abolished using multi-discipline and comprehensive approaches comprising the approaches of economy, culture, ethic or moral, and law. All state components must be involved in the efforts to abolish corruption in accordance with their own capacities. The accountability of corruption abolishing must be shared responsibility, it should be neither the responsibility of an individual nor a certain institute or agency.
PENDAHULUAN Secara historis, Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang mengeluarkan suatu peraturan khusus tentang pemberantasan korupsi. Hal ini dapat dibaca dari Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No.Prt/Peperpu/C13/1958, dan kemudian diikuti oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/1/7 tanggal 17 April 1958. Peraturan tersebut dikeluarkan karena Kepala Staf Angkatan Darat saat itu sudah melihat adanya gejala korupsi di lingkungan pemerintahan. Dalam peraturan tersebut terdapat sistem pendaftaran harta benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda dan peraturan tentang pengajuan gugutan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana. Menurut
Hamzah
(2005),
substansi
peraturan
tersebut
memiliki
keistimewaan karena gugutan perdata terhadap orang yang diduga memiliki kekayaan jauh di atas pendapatannya itu dapat diajukan langsung ke pengadilan tinggi, tanpa harus melewati pengadilan negeri terlebih dahulu. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut secara substansial lebih lengkap dalam hal pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidana maupun gugatan perdata, *
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi dan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
1
dan juga disertai dengan sistem preventif, yaitu pendaftaran harta benda pejabat. Hal ini tidak dijumpai dalam undang-undang yang keluar berikutnya, yaitu: UU No.24 (Prp) Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi; dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini
pendaftaran harta kekayaan hanya berlaku bagi seseorang yang akan
menduduki jabatan tertentu pada level tertentu pula. Padahal pendaftaran harta kekayaan itu dipandang sebagai salah satu jalur preventif yang efektif dalam upaya pemberantasan korupsi, yang seharusnya diberlakukan untuk semua pejabat pada tingkatan terendah sekalipun, apalagi jika dalam jabatan tersebut terbuka kemungkinan untuk melakukan korupsi. Sejarah telah membuktikan bahwa hilangnya jalur preventif dan gugutan perdata dalam UU No.24 (Prp) Tahun 1960 dan UU No.3 Tahun 1971, telah menyebabkan implementasi undang-undang tersebut dalam pemberantasan korupsi tidak efektif, baik pada pasa Orde Lama (1960-1966) maupun Orde Baru (1966-1998). Karena itu, menyadari hal ini, dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dalam Pasal 5 (angka 3), disebutkan sebagai berikut: “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat”. Namun demikian, undang-undang saja tentu tidak cukup, karena implementasi isi undang-undang amatlah tergantung
pada
kemauan
politik
(political
will)
yang
kuat
dari
para
implementatornya, khususnya mereka yang sedang memegang kekuasaan dalam pemerintahan. Sebagaimana yang dikatakan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki sebagai berikut: “Tak perlu revolusi untuk memberantas korupsi … dalam konteks kepemimpinan, pemberantasan korupsi di Indonessia bergantung kepada dua orang, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan (Jawa Pos, 22/04/07, h.16, “Kunci di Tangan Presiden dan MA”). Jika Jenderal Nasution sudah “mencium aroma” korupsi sejak tahun 1958, dan kita asumsikan bahwa hal itu terjadi terus selama pemerintahan Orde Baru (1966-1998), yang dipimpin Jenderal Soeharto, maka negara kita (Indonesia) telah terbenam dalam pemerintahan korup kurang lebih 50 tahun, atau satu generasi. Jika kita gunakan kategorisasi tahap korupsi dari Alatas (1982), maka 2
Indonesia dapat digolongkan pada tahap kedua, atau bahkan tahap ketiga. Alatas, membedakan korupsi dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap dimana korupsi relatif terbatas, tanpa mempengaruhi wilayah kehidupan sosial yang luas; (2) tahap dimana korupsi telah merajalela dan menembus segala segi kehidupan, sehingga hampir tidak ada yang dapat dilakukan seseorang tanpa memberi suap; dan (3) korupsi yang terjadi telah sedemikian rupa sehingga menghancurkan kehidupan masyarakat, termasuk koruptornya. Pada tahapan ketiga ini, korupsi yang terjadi menjadi faktor pendorong bagi terjadinya korupsi yang lebih besar, sehingga sampai pada tahap yang membinasakan kehidupan bermasyarakat. Saat ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) dipandang memiliki komitmen dan kemauan politik yang sangat tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Karena itu banyak kalangan menilai bahwa upaya pemberantasan korupsi di era pemerintahan SBY-JK menuai hasil yang sangat signifikan dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya. Menurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana saat ini. Konkrit dalam arti benar-benar diadili dan dipenjarakan tanpa pandang bulu. Intensif dalam arti hampir setiap hari ada saja tersangka baru” (Jawa Pos, 10/03/08, h.1, ”Paradoks Semangat Pemberantasan Korupsi”).
Walaupun
demikian, kita akui bahwa keberhasilan ini juga karena ditopang oleh adanya dorongan publik dan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi yang sangat kuat, serta peran lembaga Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat signifikan. Secara statistik, keberhasilan upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat dari posisi Indonesia sebagai negara korup terus membaik, dalam arti tidak lagi menjadi negara paling korup. Menurut hasil survei lembaga pemeringkat yang berbasis di Hongkong, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), dalam persepsi pengusaha ekspatriat di Asia, Indonesia tidak lagi dianggap sebagai negara terkorup di Asia. Survei tersebut dilakukan terhadap 1.500 pengusaha ekspatriat, dan menempatkan Indonesia di urutan kedua bersama Thailand. Sedangkan predikat negara terkorup di Asia, menurut responden survei, adalah Filipina. Bagi Indonesia, posisi ini lebih baik dari hasil survei sebelumnya (2006) yang berada di urutan pertama atau sebagai negara paling korup di Asia (Jawa Pos, 14/03/07, h.1., ”Indonesia Tak Lagi Terkorup di Asia”). Menurut PERC, Indonesia mencatat kemajuan yang berarti dalam penindakan terhadap pelaku 3
korupsi. Ada niat kuat dari pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi, meskipun hasilnya masih belum maksimal. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dalam pandangan PERC, dinilai lebih baik oleh responden survei, dibandingkan dengan yang dilakukan oleh pemerintah Filipina dan Thailand. Dalam publikasi yang dirilis PERC tahun 2008, peringkat Indonesia lebih baik dari tahun 2007. Nilai Indonesia menyamai Tiongkok dan berada di posisi 10, walaupun masih berada di bawah Vietnam, dan masih jauh di bawah Malaysia dan Singapura. Penilaian ini didasarkan atas hasil survei terhadap 1.400 pengusaha asing di 13 negara Asia yang dipilih. Responden diminta memberikan pandangan atas korupsi yang terjadi di negara tempat mereka menamkan modal. Bandingannya adalah negara asal masing-masing responden tersebut. Adapun ranking pemberantasan korupsi pada 13 negara Asia yang dipilih adalah sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Ranking Pemberantasan Korupsi Hasil Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) No. Negara Nilai 2008 2007 1. Singapura 1,13 1,20 2. Hongkong 1,80 1,87 3. Jepang 2,25 2,10 4. Makau 3,30 5,18 5. Korea Selatan 5,65 6,30 6. Malaysia 6,37 6,25 7. Taiwan 6,55 6,23 8. India 7,25 6,67 9. Vietnam 7,75 7,54 10. Tiongkok 7,98 6,29 11. Indonesia 7,98 8,03 12. Thailand 8,00 8,03 13. Filipina 9,00 9,40 Keterangan: Nilai 1-10, mulai dari paling bersih sampai paling korup. Sumber: PERC, dikutip dari Jawa Pos, 11/03/08, h.16. “Berantas Korupsi, RI Selevel Tiongkok”. Dalam rilisnya, PERC menyebutkan bahwa Indonesia mencapai banyak kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan SBY-JK. Namun demikian, menurut konsultan PERC, korupsi tetap menjadi masalah serius di Indonesia. Hal ini juga diakui oleh Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menyatakan 4
bahwa sebagian koruptor memang sudah diadili tetapi pungutan liar (pungli) masih tetap terjadi dan hal itu telah membuat investor merasa tidak nyaman. Dalam bahasa yang lain, Kwik Kian Gie, menyatakan bahwa jika pungutan liar (pungli) dianggap sebagai korupsi, maka korupsi masih belum berkurang, karena pelayanan apa pun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi. Mengapa korupsi masih tetap terjadi, walaupun kegiatan pemberantasan korupsi sangat giat dilakukan? Ini bukanlah pertanyaan sederhana, dan karena itu penulis tidak punya pretensi untuk memberikan jawaban tuntas. Tulisan ini mencoba
mendekati
dari
faktro-faktor
penyebabnya,
dan
kemudian
mengaitkannya dengan reformasi birokrasi sebagai upaya alternatif untuk meminimalisir praktek korupsi. Tulisan ini membatasi diri pada praktek korupsi birokrasi atau korupsi birokratis (bureaucratic corruption), yang dalam definisi Alatas (1982), dinyatakan sebagai berikut: jika seorang pegawai negeri menerima pemberian, apa pun bentuknya, yang diberikan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa (privileges) pada kepentingan si pemberi, maka tindakan itu disebut korupsi. Singkatnya, korupsi biroratis adalah korupsi yang dilakukan oleh aparatur pelaksana pelayanan publik. Menurut UU No.20/2001, beberapa bentuk tindakan pegawai negeri yang tergolong korupsi, antara lain adalah: (1) menerima suap (Ps.5, ayat 2); (2) menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya (Ps.11); (3) menggelapkan uang atau membiarkan terjadinya penggelapan (Ps.8); (5) memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (Ps.9); (6) merusak barang bukti (Ps.10 huruf a); (7) membiarkan orang lain merusak barang bukti (Ps.10 huruf b); (8) membantu orang lain merusak barang bukti (Ps.10 huruf c); (9) melakukan pemerasan (Ps.12 huruf e); (10) menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain (Ps.12 huruf h); (11) turut serta dalam pengadaan barang dan jasa yang diurusnya (Ps.12 huruf i); dan (12) menerima gratifikasi dan tidak melaporkan kepada KPK (Ps.12 B). DINAMIKA KORUPSI Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia telah terbenam selama lima puluh tahun dalam korupsi, dan hampir tidak terdengar upaya pemberantasan yang memadai untuk memberantasnya. Kecenderungan 5
yang terjadi adalah membiarkan hal tersebut sehingga menjadi sebuah gunung es yang hanya terlihat puncaknya, dan upaya pemberantasan hanya mengikis puncak dari gunung es tersebut. Hasilnya adalah tampilnya pemimpin Orde Baru, Jenderal HM Soeharto sebagai salah satu dari sepuluh besar pemimpin dunia paling korup, dengan dugaan dana yang digelapkan antara 15-35 milliar dollar AS. Dalam konferensi Kelompok Negara bagi Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC, United Nations Convention Against Corruption) yang diselenggarakan di Bali, dirilis nama sepuluh besar pemimpin dunia yang paling korup, dan HM Soeharto menempati posisi nomor wahid sebagai pemimpin dunia terkorup. Tabel 2. Sepuluh Besar Pemimpin Terkorup di Dunia Dugaan dana yang No. Presiden Negara Tahun digelapkan (dollar AS) Berkuasa 1. HM Soeharto Indonesia 1967-1998 15-35 milliar 2. Ferdinand E.Marcos Filipina 1972-1986 5-10 milliar 3. Mobutu Sese Seko RD Kongo 1965-1997 5 milliar 4. Sani Abacha Nigeria 1993-1998 2-5 milliar 5. Slobodan Milosevic Serbia 1993-1998 1 milliar Jean-Claude Duvalier 6. Haiti 1971-1986 300-800 juta 7. Alberto Fujimori Peru 1990-2000 600 juta 8. Pavlo Lazarenko Ukraina 1996-1997 144-200 juta 9. Arnoldo Aleman Nikaragua 1997-2002 100 juta 10. Joseph Estrada Filipina 1998-2001 78-80 juta Sumber: Kompas, 30/01/08, h.8., ”Bank Dunia Sediakan Tenaga: Negara Berkembang Dibantu Mengembalikan Dana-dana Hasil Korupsi”. Walaupun
konferensi
UNCAC
melahirkan
inisiatif
yang
disebut
Mengembalikan Aset yang Dicuri (StAR Initiative: The Stolen Asset Recovery Initiative), namun HM Soeharto tidak pernah benar-benar tampil di persidangan apalagi dipenjara, sampai akhirnya meninggal. Sampai saat ini, belum ada tindakan konkret apa pun sehubungan dengan implementasi inisiatif tersebut, dan entah dimana uang negara tersebut berada. Nigeria memerlukan waktu selama 4-5 tahun untuk menarik aset yang dilarikan ke luar negeri. Filipina bahkan memerlukan waktu 18 tahun untuk mengembalikan aset mantan Presiden Ferdinand Marcos yang ada di luar negeri. Kendala pengembalian aset yang dilarikan ke luar negeri karena korupsi banyak terkendala oleh biaya yang sangat mahal. Indonesia mengeluarkan dana milliaran rupiah hanya untuk menarik dana jutaan dollar AS yang dilarikan ke bank di Guernsey, Inggris. 6
Temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) yang dirilis pada bulan Januari
2007
memperlihatkan
(Jawa
Pos,
25/01/07,
kecenderungan
h.2.,
kerugian
”Tren
negara
Korupsi
yang
2004-2006”)
terus meningkat
jumlahnya selama periode 2004-2006. Jika tahun 2004, kerugian negara diperkirakan mencapai 4,3 triliun rupiah (dari 153 kasus yang terungkap), maka pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 14,4 triliun rupiah (dari 161 kasus yang terungkap), atau terjadi peningkatan sebanyak 10,1 triliun atau hampir 235 persen selama dua tahun berjalan. Jika dilihat dari sektor, menunjukkan bahwa sektor pemerintahan menduduki peringkat pertama, disusul sektor perhubungan, transportasi, dan perumahan atau pertanahan. Korupsi birokrasi terutama terjadi pada pengelolaan anggaran pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa birokrasi pemerintahan di Indonesia sangat rawan akan praktek korupsi, terutama pada pemerintah pusat. Temuan ICW menunjukkan bahwa pemerintah pusat berada pada ranking teratas, kemudian disusul oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Aceh. Dalam periode tahun 2005-2006, angka yang mengejutkan diungkapkan oleh Ketua BPK Anwar Nasution, yang menyatakan bahwa dalam periode tahun tersebut negara mengalami kerugian akibat korupsi sebanyak lebih dari 30 triliun, dengan rincian tahun 2005 sebanyak 13,8 triliun rupiah (dari 3.054 kasus yang terungkap), dan tahun 2006 sebanyak 19 triliun rupiah (dari 1.721 kasus yang terungkap). Dari keseluruhan kerugian tersebut hanya sekitar 3 triliun rupiah saja yang berhasil dikembalikan (Jawa Pos Radar Malang, 15/03/07, h.37., ”Rp30 Triliun Uang Negara Raib”). Fakta ini menunjukkan kenaikan yang sangat fantastik dibandingkan dengan temuan ICW dua tahun sebelumnya. Tahun 2007, kepala daerah merupakan aktor paling banyak sebagai pelaku korupsi. Dari sebanyak 143 kasus korupsi yang dicatat oleh Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), sebanyak 69 kepala daerah terkait dengan kasus korupsi, baik dalam status saksi, tersangka, terdakwa, atau terpidana (Jawa Pos, 29/12/2007, h.3., ”Kepala Daerah Aktor Korupsi Terbanyak”). Mayoritas korupsi kepada daerah menggunakan dua modus, yaitu penggelembungan
(mark-up)
dan
penyalahgunaan
dana
APBD
dalam
pengadaan barang dan jasa serta pengerjaan proyek APBD.
7
Temuan Pukat UGM, tidak berbeda jauh dengan temuan ICW. Sepanjang tahun 1998-2007, menurut ICW, kasus korupsi lebih banyak terjadi di daerah. Di antara 82 kasus yang telah ditangani penegak hukum dan tersangkanya telah ditetapkan, sebanyak 68,3 persen dilakukan oleh instansi di daerah, yaitu pada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, DPRD, dan BUMD. Total kerugian negara sebagai akibat korupsi di daerah mencapai 548,53 milliar rupiah, dengan modus: mark-up, mark-down, kegiatan fiktif, penggelapan, pemerasan, penyalahgunaan izin atau kewenangan, penyalahgunaan kredit, dan penyuapan. Dua modus dengan kerugian terbesar adalah mark-up dan penyalahgunaan anggaran (Jawa Pos, 11/02/08, h.10., ”Korupsi, Kampanye Hitam Otda”). Andaikan KPK memiliki ”cabang” di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, mungkin kasus korupsi di daerah akan lebih banyak yang dapat diungkap, tidak hanya menyangkut eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif di daerah. Mitra kerja KPK di daerah (kepolisian daerah dan kejaksaan daerah) dinilai masih lemah dalam penanganan kasus korupsi di daerah, karena itu sering terjadi unjuk rasa akibat kelemahan tersebut. Oleh karena itu, beberapa kasus dugaan korupsi yang menjadi perhatian publik di daerah diambil-alih oleh KPK. Beberapa contoh kasus yang diambil-alih dan melibatkan kepala daerah adalah: Bupati Kutai Kertanegara, Kaltim; Bupati Garut, Jabar; Bupati Palalawan, Riau; Bupati Kendal, Jateng; dan Bupati Sleman, DIJ. Memasuki tahun 2008, terdapat dua kasus korupsi besar yang menyita perhatian bagian terbesar rakyat Indonesia, dan menjadi berita besar di berbagai media, baik elektronik maupun majalah dan surat khabar. Kedua kasus ini justru tidak terjadi di sektor pemerintahan, tetapi di sektor legislatif dan yudikatif. Kasus pertama, adalah terbongkarnya kasus suap yang melibatkan seorang anggota DPR, Al Amin Nur Nasution, saat bertransaksi dengan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Bintan Kepulauan Riau, Azirwan, di kawasan Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan Jakarta. Al Amin diduga menerima suap sebesar 3 milliar rupiah, sebagai kompensasi telah mempermulus pengalihan fungsi hutan lindung menjadi kawasan industri dan ibukota Kabupaten Bintan (Jawa Pos, 10/04/08, h.1., ”KPK Bongkar Suap Rp 3 M”). Kasus kedua, adalah terbongkarnya kasus suap yang dilakukan oleh Artalyta Suryani alias Ayin terhadap jaksa yang menanangani penyelesaian kasus BLBI (khususnya yang melibatkan Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI), Urip Tri Gunawan, yang menerima suap sebesar 6 8
milliar rupiah (Jawa Pos, 18/03/08, h.1. ”Pejabat Gedung Bundar Disapu”). Sampai saat ini kasus yang terakhir terus menjadi berita hangat, karena beberapa pejabat kejaksaan yang diduga tersangkut kasus tersebut ikut diperiksa oleh KPK, di samping pemeriksaan internal yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Mengapa korupsi terus terjadi dan bahkan dalam skala yang lebih besar? Pertanyaan ini menjadi menarik karena upaya pemberantasan korupsi sudah menuai hasil signifikan, dengan banyaknya kasus yang terungkap dan relatif banyak pejabat maupun bukan pejabat yang terpenjara karena kasus korupsi. Apakah sanksi yang diberikan tidak efektif menimbulkan efek jera? Banyak analisis yang dilakukan berkenaan dengan hal itu. Salah satunya yang menarik penulis adalah tulisan Emerson Yuntho (2007) yang mengingatkan kita agar jangan pernah kalah melawan koruptor. Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW, mencatat fenomena menurunnya political will pemerintahan SBY, yang diindikasikan dengan semakin kurangnya intensitas pernyataan SBY tentang pemberantasan korupsi, yang dicatat oleh ICW selama periode tiga tahun terakhir (20 Oktober 2004–20 Oktober 2007). Pada tahun I (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2005), tercatat 35 pernyataan SBY mengenai pemberantasan korupsi. Berdasarkan catatan tersebut, rata-rata sebanyak tiga kali sebulan SBY mengeluarkan pernyataan atau berkomentar tentang pemberantasan korupsi. Tahun II (20 Oktober 2005-20 Oktober 2006), terjadi penurunan menjadi hanya 19 kali. Bahkan ada tiga bulan (Juli, September, dan Oktober) SBY tidak memberikan komentar apa pun yang berkenaan dengan korupsi. Pada tahun III (20 Oktober 2006-20 Oktober 2007), tercatat hanya 14 kali SBY mengeluarkan pernyataan yang dilansir media massa soal isu korupsi. ICW mencatat, ada enam bulan dimana SBY tidak memberikan komnetar apa pun tentang isu korupsi (Oktober 2006, Januari, Maret, Juni, Juli, dan September 2007). Dinamika ini menurut Yuntho, menunjukkan melemahnya semangat pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Akibatnya, menurut hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan SBY terus menurun, dari lebih dari 80 persen pada tahun 2004, turun menjadi 35,3 persen pada September 2007. Walaupun, faktor di atas bukan satu-satunya penyebab terjadinya degradasi kepuasan publik,
9
namun tidak dapat disangkal bahwa selama ini program pemberantasan korupsi telah menjadi daya tarik utama pemerintahan SBY. KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI Dari beberapa referensi yang menulis tentang sebab-sebab terjadinya korupsi , penulis memetakan ke dalam beberapa perspekstif untuk memudahkan pembahasan. Perspektif tersebut adalah: ekonomi, budaya, moral atau etika, dan hukum. Kalaupun ada kategorisasi perspektif lain, hal itu tidak menjadi lingkup pembahasan dalam tulisan ini. Jadi, kita mulai dengan melihat sebab-sebab korupsi dari berbagai perspektif, dan kemudian reformasi birokrasi macam apa yang ditawarkan sebagai solusi pemecahannya. Perspektif Ekonomi. Menurut penganut perspektif ini, korupsi terjadi disebabkan oleh ketidakmampuan relatif seseorang dalam bidang ekonomi. Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendapatan menjadi pendorong utama terjadinya korupsi. Tingkat pendapatan sekarang dirasakan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan yang diharapkan. Mungkin kebutuhan primer tercukupi, tetapi belum cukup untuk kebutuhan sekunder dan/atau tersier. Karena itu setiap peluang yang ada untuk memperoleh tambahan pendapatan akan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Pada mulanya, peluang itu terbuka karena adanya pemberian uang dan atau barang secara sukarela dari pengguna jasa layanan kepada pejabat publik yang melayani, sebagai bentuk ”ucapan terima kasih” atas layanan yang telah diberikan. Penerimaan seperti ini karena terjadi sewaktu-waktu, dan bahkan mungkin setiap hari, tidaklah dianggap sebagai korupsi, tetapi dimaknai sebagai suatu
bentuk
hubungan
saling
membutuhkan
atau
bahkan
hubungan ”persahabatan” antara pengguna jasa layanan dengan pemberi layanan (pejabat publik atau pagawai negeri). Pengguna jasa layanan membutuhkan ”urusan cepat selesai”, dan merasa sudah sepantasnya memberikan imbalan jasa, sedangkan pemberi layanan juga merasa sudah seharusnya
menerima
imbalan
karena
jasa
yang
diberikan.
Dalam
perkembangan berikutnya, hubungan yang tadinya ”bersahabat” berubah bentuk menjadi hubungan ”dagang”, antara pembeli dan penjual. Masyarakat pengguna jasa yang membutuhkan pelayanan harus ”membeli” kepada pejabat pemberi layanan yang berubah fungsi menjadi ”penjual” jasa layanan. Dalam hubungan 10
seperti ini, mereka yang memiliki uang dan penawaran lebih tinggi akan memperoleh privileges dari pejabat publik. Sebaliknya yang tidak punya uang harus rela antri agar memperoleh pelayanan, atau, menurut Kwik Kian Gie, kalau ngotot tidak mau membayar akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-buat. Korupsi dalam bentuk transaksi ekonomi seperti ini sudah mendarah-daging (internalized) di dalam tubuh dan jiwa pejabat publik, dan ironisnya masyarakat akan merasa aneh dan heran jika transaksi yang demikian itu tidak ada. Korupsi telah meningkat menjadi suatu bentuk kleptokrasi (cleptocracy), dimana masyarakat sudah tidak berdaya lagi menanggulangi korupsi, bahkan mendukung korupsi melalui perilaku sehari-hari yang penuh dengan
kegiatan
suap-menyuap,
ketidakjujuran,
penyembunyian
fakta,
pemalsuan, dan penyelewengan dalam berbagai bentuknya. Menurut Rose-Ackerman (1999), korupsi terjadi di perbatasan antara sektor pemerintah dan sektor swasta. Apabila seorang pejabat pemerintah memiliki kekuasaan penuh terhadap pendistribusian keuntungan atau biaya kepada sektor swasta, maka terciptalah suatu insentif untuk penyuapan. Jadi korupsi itu tergantung pada besarnya keuntungan dan biaya yang berada di bawah pengendalian pejabat pemerintah. Pemerintah membeli dan menjual barang dan jasa, membagi-bagikan bantuan, mengatur swastanisasi badan usaha milik negara, dan memberikan konsesi. Para pejabat seringkali memonopoli informasi yang penting. Pribadi atau perusahaan ingin membayar sejumlah uang untuk mendapatkan keuntungan dari pemerintah dan menghindari biaya. Seluruh kegiatan ini menciptakan peluang terjadinya korupsi. Banyak proyek dalam berbagai sektor dikuasai oleh pemerintah, dan swasta yang menginginkan proyek-proyek tersebut harus membayar sejumlah uang suap untuk mendapatkannya, dan sekaligus menghindari biaya tinggi yang harus dikeluarkan jika pribadi atau perusahaan tersebut harus mengikuti prosedur administratif yang melelahkan. Sebuah studi tentang korupsi di Thailand menunjukkan beberapa contoh dari korupsi birokrat dalam proyek infrastruktur, konstruktruksi, dan bidang lainnya, dengan tingkat kebocoran mencapai 20 sampai 40 persen dari biaya total proyek. Begitu pula di Brasil, di bawah Presiden Fernando Collor de Mello, kebocoran bahkan mencapai 50 persen. Di Indonesia, korupsi di jawatan pabean (bea cukai) telah sedemikian meluas sehingga Presiden telah menandatangani sebuah kontrak dengan sebuah 11
perusahaan swasta di Swiss yang akan mengambil alih beberapa tugas kepabeanan di Indonesia (Rose-Ackerman, 1999:47). Dalam bulan Juni 2008, dalam penyelidikan mendadak, KPK menemukan suap lebih dari 500 juta rupiah yang tersebar dalam ratusan amplop di kantor bea cukai. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi penganut perspekstif ekonomi tentang penyebab korupsi, semua itu terjadi karena rendahnya tingkat upah atau gaji. Oleh karena itu kebijakan reformasi birokrasi yang disarankan adalah melakukan remunerasi atau penyesuaian pendapatan bagi pegawai pemerintah (remuneration policy). Asumsinya, gaji yang tinggi akan mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Perspektif ekonomi melihat bahwa pendapatan berkorelasi signifikan dengan perilaku koruptif. Kebijakan penyesuaian struktur penggajian dalam bentuk remunerasi menjadi salah satu tuntutan para pejabat publik akhir-akhir ini, dan beberapa di antaranya telah diimplementasikan, misalnya
untuk
jajaran Departemen
Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan, yang mengalami kenaikan gaji signifikan. Struktur gaji menjadi salah satu masalah pelik dalam birokrasi di Indonesia, dan telah menyentuh rasa ketidak-adilan dalam waktu yang lama. Kerja tidak kerja gaji sama, asal golongan dan masa kerja sama. Tidak ada pembedaan antara mereka yang bekerja giat dan berprestasi dengan mereka yang malas. Gaji dan tunjangan seorang Presiden di negeri ini lebih kecil dari Ketua DPR, dan gaji seorang Ketua DPR lebih kecil dari gaji Direksi BUMN, sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 3. Gaji Beberapa Pejabat Negara dan Direksi BUMN di Indonesia No. Nama Pejabat Gaji Pokok dan Tunjangan (Rp) 1. Presiden 62.497.800,oo 2. Wakil Presiden 42.548.670,oo 3. Ketua DPR 89.200.000,oo 4. Anggota DPR 49.400.000,oo 5. Ketua Mahkamah Agung 55.400.000,oo Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 6. 23.900.000,oo 7. Jaksa Agung 19.000.000,oo 8. Jaksa Agung Muda 7.000.000,oo 9. Direktur Utama Pertamina 150.000.000,oo 10. Direktur Pertamina 140.000.000,oo 11. Direktur Utama Bank Mandiri 118.000.000,oo Sumber: Jawa Pos, 05/04/2008, h.1., “Gaji Para Petinggi Negeri Ini”. 12
Lembaga negara ketiga tahun ini yang memperoleh tunjangan kinerja di luar gaji dalam kerangka kebijakan remunerasi adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Kebijakan ini diatur melalui Perpres No.19 Tahun 2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Dalam Perpres tersebut, diatur 15 tingkatan besaran tunjangan khusus, mulai Rp4,2 juta (terendah untuk hakim PT kelas II), sampai Rp31,1 juta untuk Ketua Mahkamah Agung. Kebijakan ini mulai berlaku mundur sejak 1 September 2007, namun baru dibayarkan bulan Juli 2008 (Jawa Pos, 15/06/08, h.1., kolom, “Tunjangan MA“). Kritik dan penentangan terhadap kebijakan remunerasi bukan tidak ada. Wakil Presiden, Jusuf Kalla, saat membuka seminar Pencegahan Korupsi Melalui Reformasi Birokrasi, di Hotel Four Seasons, 1 November 2007, menyatakan bahwa proyeksi kenaikan gaji pegawai negeri dalam beberapa tahun mendatang sangat membebani keuangan negara. Wapres menyatakan bahwa jika gaji pegawai negeri terus naik tanpa diikuti pertumbuhan ekonomi, maka pada tahun 2011 akan terjadi stagnasi pembangunan, karena jumlah pengeluaran anggaran belanja rutin jauh lebih besar daripada anggaran pembangunan (Jawa Pos, 02/11/07, h.3., “Kenaikan Gaji PNS Bikin Negara Kolaps”). Kritikus lain, yang menentang kebijakan remunerasi, mempertanyakan efektivitas kebijakan tersebut dalam upaya pemberantasan korupsi. Soedarno (2008) menyatakan bahwa jumlah gaji yang tinggi tidak menjamin seseorang untuk tidak melakukan perbuatan korup. Dia menunjukkan kasus-kasus korupsi yang terjadi di Bulog, Pertamina, Bank Mandiri, dan Bank Indonesia, bukan disebabkan karena rendahnya gaji, dan dengan demikian menurutnya, tidak terdapat korelasi antara gaji yang tinggi dengan perbuatan korupsi. Hal yang sama tersirat juga dari tulisan Taufiq (2008), bahwa kebijakan remunerasi tidak menjamin suatu institusi bebas dari korupsi. Kumorotomo ( 2006), menunjukkan bukti-bukti kasus, dimana gaji yang tinggi tidak selalu berpengaruh siginifikan terhadap perilaku koruptif. Menurut Kumorotomo, ketika Disky Iskandar Dinata dinyatakan sebagai otak korupsi sebesar US$419,6 juta di Bank Duta pada tahun 1990, yang bersangkutan sudah menduduki jabatan sebagai Direktur Bank Duta, dan dari segi materi sudah sangat kaya. Begitu pula ketika Perdana Menteri Tanaka dari Jepang terbukti 13
melakukan skandal korupsi yang melibatkan perusahaan Lockheed, kekayaan dan kekuasaannya sudah lebih dari cukup. Tetapi orang-orang ini tetap saja melakukan korupsi. Kenaikan gaji, tampaknya memang telah membuat korupsi birokratis dapat sedikit dikendalikan, tetapi untuk jenjang birokrasi tertentu pemberian kenaikan gaji tidak selalu efektif untuk meredam nafsu birokrat untuk melakukan korupsi. Secara teoretis, hubungan antara gaji pegawai negeri dengan tingkat korupsi birokratis masih bersifat mendua (ambiguous). Perspektif Budaya. Korupsi disebabkan oleh kebiasaan yang telah mentradisi, yang kemudian menjelma menjadi sikap dan perilaku korup. Dalam perspektif ini, terdapat kebiasaan seseorang atau kelompok tertentu, atau bahkan masyarakat yang kemudian menjadi dasar dari budaya korup. Di zaman kerajaan ada kebiasaan untuk memberi upeti kepada raja, sebagai bentuk ungkapan kesetiaan atau loyalitas. Salah satu strategi politik yang digunakan Raja Mataram untuk mencegah para bupati melepaskan diri dari kekuasaan raja adalah dengan mengharuskan para bupati agar menghadap raja minimal tiga kali dalam setahun, yaitu pada hari besar kerajaan (Garebeg Maulud, Garebeg Syawal, dan Garebeg Besar). Pada saat menghadap raja inilah para bupati mempersembahkan upeti kepada raja sebagai bukti kesetiaan daerahnya (Dwiyanto, et al., 2006:12). M.T.Zen (2007), menyatakan bahwa sifat permisif merupakan dasar terbentuknya budaya korup. Sikap seseorang atau masyarakat yang membiarkan orang lain melakukan hal-hal yang tidak baik, maka akan menjadikan hal-hal yang semula “tidak baik” tadi berubah menjadi sesuatu yang dipandang “baik”. Pada masa revolusi, semua yang berbau Belanda, atau bahkan yang berbau Barat dianggap jelek sehingga harus dibuang jauh-jauh. Hal yang terjadi selanjutnya adalah, apa saja yang ditinggalkan Belanda, seperti perilaku rapi, bersih, tepat waktu, taat aturan, menghormati sesama, dan menghormati orang tua atau atasan, dianggap tidak penting lagi. Sebab, semua itu adalah aturan Belanda. Jika seorang bawahan ditegur atasannya karena datang terlambat, dia akan marah dan mengatakan: “kolonial”. Dalam contoh ini, sikap dan perilaku “baik”, malah dianggap “buruk”, hanya karena berasosiasi dengan sesuatu yang tidak disukai sebelumnya.
14
Menurut
Kumorotomo
(2006:110),
permasalahan
pokok
dalam
mengendalikan korupsi di suatu negara adalah apabila korupsi telah menjadi bagian dari sejarah masyarakat yang bersangkutan. Di dalam sistem sosial yang masih terpengaruh feodalisme, upeti menjadi sumber utama korupsi yang sangat sulit diubah. Para penguasa feodal, zaman kerajaan, mempunyai hak istimewa untuk menarik pajak tertentu dari penduduk. Pada zaman modern sekarang ini, para pejabat publik, dengan pola tindakan tertentu yang disesuaikan dengan situasi dan kondisinya, berusaha memperoleh berbagai keuntungan dengan memanfaatkan kedudukan dan posisinya. Mereka, pada intinya, berusaha mempertahankan sistem upeti untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Perdana Menteri Thailand, Sarif Thanarat, setelah kematiannya diketahui bahwa dia telah menggunakan uang kas negara sebesar US$29 juta serta menguasai saham pada 15 perusahaan besar yang diurus oleh keluarganya dengan komisi istimewa dari pemerintah. Soeharto, sebagai penguasa rezim Orde Baru, sebagaimana dilansir oleh majalah Time tahun 1997, diduga menguasai aset yang sangat besar dan dikelola dengan nepotisme yang sangat kuat. Perbuatan korup seperti ini, terjadi karena para pemimpin tersebut merasa dirinya telah berjasa besar terhadap negara dan karena itu sudah sewajarnya memperoleh hak-hak istimewa. Sedangkan masyarakat bersikap permisif terhadap perilaku rezim tersebut, yang sebenarnya merupakan bentuk perilaku korup. Kebiasaan dalam tubuh birokrasi yang cenderung berorientasi ke atas, oleh
Kumorotomo (2006),
juga dianggap sebagai
penyebab
terjadinya
penyelewengan dan tendensi ke arah korupsi. Seorang pemimpin instansi tidak berani menindak bawahannya sebelum ada perintah atau izin dari pejabat yang lebih tinggi. Pada saat izin diberikan, tindakan disiplin biasanya sudah terlambat karena penyelewengan tersebut sudah menular atau berganti rupa. Orientasi birokrasi ke atas, juga tampak dalam kebiasaan pejabat yang melapor kepada atasan dengan bertandang ke rumahnya, meminta petunjuk, dan menganggap bahwa apa pun yang direncanakan atasan adalah baik bagi bawahan. Kebiasankebiasan seperti ini tanpa disadari telah melemahkan disiplin personal, dan menganggap perilaku negatif tersebut sebagai sesuatu yang sudah biasa, dan seharusnya seperti itu. Kebiasaan melakukan penerimaan pegawai dengan menerima uang suap atau imbalan jasa dalam bentuk lain, juga dipercaya akan menghasilkan pegawai 15
yang korup. Memperoleh promosi jabatan ke tingkat yang lebih tinggi melalui pemberian sogokan juga dapat membentuk budaya korup di lingkungan kerja. Demikian pula penggunaan money politics dalam proses pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) dapat menjadi dasar melakukan korupsi setelah menjabat kelak. Semua bentuk kegiatan tersebut dapat menyuburkan sikap dan perilaku korup di masyarakat. Banyak orang tua mencari orang-orang yang dapat membantu memasukkan anaknya menjadi pegawai di suatu instansi. Tidak sedikit orang yang menjadi korban penipuan dengan cara ini. Pegawai yang diterima atau pegawai yang dipromosikan dan pejabat yang dipilih melalui korupsi
akan
berupaya
untuk
mengembalikan
”modal”-nya,
yang
telah ”diinvestasikan” dalam bentuk uang suap, pada saat dia bekerja atau menduduki jabatan tertentu. Hal seperti ini dipandang sebagai suatu tindakan yang absah saja dilakukannya, tanpa menyadari bahwa hal itu merupakan perbuatan korup. Oleh karena itu, mereformasi birokrasi bagi penganut perspektif budaya, adalah mereformasi perilaku birokrasi. Mengubah budaya kerja yang feodalistik menjadi budaya kerja berorientasi kinerja. Mengubah budaya kerja dari “dilayani” menjadi “pelayan” masyarakat, bukan “abdi-dalem” atau “abdi-raja”, tetapi “abdimasyarakat”. Menurut perspektif budaya, pola pikir feodal yang masih mewarnai perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan terjadinya konflik loyalitas, harus diubah. Para birokrat harus dapat mengidentifikasikan kedudukannya sendiri sehingga dapat membedakan antara loyalitas kepada keluarga, golongan, partai, dengan loyalitas kepada negara dan bangsa. Prinsip the right man on the right place sebagai ciri birokrasi modern, harus diterapkan dalam setiap proses penerimaan dan promosi pegawai. Budaya birokrasi yang cenderung paternalistik dengan karakteristik hubungan atasan-bawahan yang sangat pribadi, harus diubah menjadi hubungan yang impersonal, dengan mengubah orientasi loyalitas dari “kepada atasan” menjadi “kepada organisasi”. Orientasi kerja yang semula karena “taat pada atasan” diubah menjadi karena “taat pada tujuan organisasi”. Hal ini bukanlah berarti hubungan manusiawi antara atasan dengan bawahan dan antara sesama rekan sekerja dihilangkan sama sekali, sehingga suasana kerja kehilangan makna kemanusiaannya, tetapi hubungan kerja harus dibangun dalam suatu kebersamaan untuk mencapai tujuan organisasi dan dengan demikian juga 16
sekaligus pencapaian tujuan pribadi. Perasaan hormat terhadap atasan dan juga menghormati sesama rekan sekerja harus tetap ada dan dikembangkan dalam konteks yang lebih profesional. Artinya, yang berlaku adalah aturan organisasi, dan oleh karena itu sikap permisif atas segala bentuk perilaku menyimpang tidak boleh dibiarkan. Para pengkritik teori budaya selalu beranggapan bahwa mengubah budaya itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan ada yang menyatakan bahwa untuk suatu perubahan perilaku yang sudah internalized dibutuhkan waktu satu atau bahkan dua generasi. Kesulitannya terletak pada ketiadaan kemauan semua pihak untuk memulai menerapkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, dan profesionalitas dalam melaksanakan pekerjaan. Menurut Kumorotomo (1999), apabila gejala-gejala administratif --- uang semir, salam tempel, uang pelicin, uang rokok, dan berbagai macam istilah lain untuk menunjukkan pungutan liar atas pelayanan publik --- meluas di dalam masyarakat dan membudaya dalam pola-pola kegiatan adminsitrasi publik, maka korupsi menjelma menjadi suatu sistem yang sulit diubah. Sistem uang rokok (bakshish system) berubah menjadi pola umum dan bisa menjalar ke satuan kegiatan administratif lain yang sebelumnya tidak tersentuh korupsi. Jika demikian, maka upaya perubahan akan membutuhkan waktu yang lama dan lebih sulit dilakukan. Budaya paternalitistik dalam pelayanan publik yang menjadi dasar tumbuh suburnya budaya korup, sulit diubah karena posisi tawar pengguna jasa layanan dalam pola peternalisme sangat lemah. Sebagaimana dikatakan Dwiyanto, et.al, (2006), dalam pola paternalisme, masyarakat pengguna jasa tidak dapat berbuat banyak saat berhadapan dengan pelayanan yang tidak memuaskan mereka. Keluhan yang disampaikan kepada aparatur birokrasi seringkali tidak mendapat respon yang positif. Hal ini dikarenakan masyarakat pengguna jasa tidak memahami mekanisme pengaduan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah adanya perasaan takut dari pengguna jasa layanan untuk mengadukan aparatur birokrasi yang meminta imbalan, atau melakukan perbuatan tercela lainnya. Kondisi seperti ini, menurut pengkritik perspektif budaya, kurang diperhatikan oleh penganut perspektif budaya. Perspektif Etika atau Moral. Menurut perspektif ini, korupsi terjadi bukan karena faktor ekonomi, tetapi karena mentalitas pelakunya. Korupsi birokratis 17
bersumber dari unsur manusia atau nilai-nilai moral yang dianut masyarakatnya. Walaupun sistem pemerintahan sudah relatif baik, tetapi jika individu pelaksana dari sistem tersebut tidak dijiwai oleh nilai-nilai integritas, kejujuran, dan harkat kemanusiaan, maka sistem yang baik tersebut tidak akan efektif mencegah perilaku korup. Pelaku dan penyebar korupsi menurut perspektif ini adalah homo venalis, yaitu orang-orang yang berjiwa korup dan lebih sering menggunakan cara-cara korup dalam kehidupannya. Dalam konteks perspektif ini, Kumorotomo (1999) mendefiniskan korupsi sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan menyembunyikan suatu kenyataan (concealment). Korupsi merupakan sisi buruk dari perilaku manusia. Setia orang memiliki kesadaran moral, betapun rendahnya, dan setiap orang pasti tahu bahwa pola perilaku yang mengarah pada korupsi adalah bertentangan dengan kesadaran moral tersebut. Namun demikian, masih cukup banyak orang yang lebih suka menggunakan cara-cara korup daripada cara-cara yang lebih bermoral. Menurut Kumorotomo (1999), akar dari tindakan korup adalah pada sifat appetitus divitiarum infinitus, suatu keserakahan yang tidak pernah terpuaskan untuk memperoleh kekayaan, kedudukan, atau kekuasaan. Karena faktor penyebab korupsi menurut perspektif ini adalah berpusat pada masalah moral, maka pendekatan yang disarankan dalam reformasi birokrasi adalah sosialisasi nilai-nilai moral kepada para pejabat di seluruh jenjang administrasi publik, terutama yang menyangkut pengendalian diri. Nilainilai pengendalian diri ini menyangkut kesadaran bahwa setiap manusia harus terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik bagi orang lain dan masyarakatnya. Pembentukan sikap dasar yang demikian ini sangat penting untuk
mewujudkan
keselarasan,
keserasian,
dan
keseimbangan
dalam
hubungan sosial antara manusia pribadi dengan masyarakatnya. Dalam konteks ini, pengendalian diri amat diperlukan, sehingga manusia terhindar dari sikap egois, sikap mementingkan diri sendiri, sikap merendahkan orang lain, dan sebagainya. Sasaran akhir dari sikap hidup yang mampu mengendalikan diri adalah lahirnya individu yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mampu meletakkan kepentingan pribadinya dalam kerangka kesadaran kewajibannya sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; dan (2)
18
kewajiban terjadap bangsa dan negara dirasakan lebih utama dibandingkan dengan kepentingan pribadinya. Korupsi biasanya dimulai dari hal-hal kecil dan suap tersembunyi. Jika pejabat tidak mampu mengendalikan diri dan imannya lemah maka dia akan cenderung menerima berbabagi macam bentuk suap, dan secara tidak sadar terperangkap dalam perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Konsep pengendalian diri bukanlah konsep yang absurd dan utopis, karena konsep ini didasari oleh kenyataan bahwa setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup berkelompok. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia harus melakukan interaksi dengan manusia lain,
harus mau dan bisa bekerja sama dengan
manusia lain. Agar interaksi dan kerjasama tersebut dapat berjalan dengan baik maka pengendalian diri sangat dibutuhkan. Penganut perspektif ini juga menyarankan agar pembinaan agama di lingkungan kerja terus diintensifkan dengan memperbanyak kegiatan ritual sesuai dengan
ajaran
agama
masing-masing.
Para
pemimpin
didorong
agar
memberikan teladan perilaku moral yang baik. Tempat-tempat ibadah di lingkungan kerja harus tersedia, dengan fasilitas yang lengkap. Di samping itu harus tersedia insentif bagi pegawai yang bekerja dengan rajin dan jujur. Karena, sebagaimana dinyatakan oleh Marzoeki (2008), tinggi rendahnya moral seseorang tidak terlepas dari etika kejujuran. Karena itu tes kepribadian untuk mengetahui kecenderungan perilaku seorang calon pegawai, apakah dia adalah seorang calon yang dapat dipercaya atau tidak, penting untuk dilakukan. Bagi sebagian orang, pendekatan moral dalam upaya reformasi birokrasi dinilai sulit untuk berhasil, bahkan dalam kasus Indonesia dikatakan gagal menjadi pendekatan utama. Mereka menunjuk kasus-kasus korupsi yang terjadi di lingkungan Departemen Agama, yang seharusnya menjadi contoh bagi birokrasi pada lembaga negara yang lainnya. Penyelewengan dana umat yang dikumpulkan dari kegiatan ibadah haji, adalah salah satu contoh kegagalan dari sebuah lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Karena itu para pengkritik menganjurkan agar masalah moral dan etika dijadikan kurikulum tingkat dasar yang diwajibkan bagi siswa sekolah dasar dan menengah, selain pendidikan agama. Dengan demikian masalah korupsi sudah dipahami sejak dini, tidak menununggu seseorang menjadi pegawai atau pejabat.
19
Makmur (2007), menulis sembilan pesan moral yang dapat dijadikan kiat untuk menghindari korupsi, sebagai berikut: (1) jauhi perkara yang syubhat (meragukan), jangan berusaha mencari-cari pembenaran untuk memiliki sesuatu yang jelas-jelas bukan hak Anda; (2) catat semua transaksi dan perjanjian Anda, jelaskan akad perjanjian Anda secara tertulis, hitam di atas putih; (3) jangan biarkan diri Anda berjalan tanpa kontrol; (4) hindari lingkungan yang korup, jika Anda tidak yakin dapat mengubahnya; (5) jauhi sikap ”aji mumpung”, sabar dan yakin menerima rizki dari Allah; (6) selektif dan hati-hati dalam memenuhi tuntutan sosial, hindari gengsi dan pamer; (7) jangan berlebihan memenuhi keinginan keluarga (anak dan isteri); (8) jangan remehkan korupsi kecil, karena itu akan menjadi pintu masuk bagi Anda untuk melakukan korupsi yang lebih besar; dan (9) jangan pernah berniat untuk korupsi. Perspektif Hukum. Menurut perspektif ini, korupsi adalah tindakan melanggar norma-norma hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang berakibat pada rusaknya tatanan yang sudah disepakati, baik tatanan hukum, politik, administrasi, manajemen, sosial dan budaya serta berakibat pula terhadap terampasnya hak-hak rakyat yang semestinya didapat (Fahrojih, et.al., 2005). Dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa tindak pidana korupsi adalah ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, ...”. Dalam penjelasan pasal ini, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” adalah segala perbuatan melawan hukum, baik dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata ”dapat merugikan ...”, menunjukkan bahwa tindak pidaha korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Bagi penganut perspektif hukum, keseriusan dari keinginan suatu negara untuk
memberantas
korupsi
dapat
dinilai
dari
undang-undang
yang 20
ditetapkannya dan tindakan pemerintahnya dalam menerapkan undang-undang tersebut (McWalters, 200). Dalam konteks ini, upaya pemberantasan korupsi terdiri dari empat elemen, yaitu: (1) infrastruktur hukum antikorupsi domestik yang efektif; (2) kerjasama internasional untuk saling membantu dalam bidang hukum; (3) dukungan aktif dari rakyat; dan (4) kemauan politik untuk menjadikan strategi antikorupsi dapat berjalan dengan baik. Dilihat dari elemen infrastruktur hukum, Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup memadai, yang dapat dilihat antara lain dari beberapa produk hukum: (1) UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi j.o. UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999; (3) Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (4) UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; (5) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (6) UU No.7 Tahun 200 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003; dan (7) Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam pespektif hukum, yang sering menjadi persoalan adalah pertama, masih terdapatnya polemik yang berkaitan dengan kedudukan peradilan korupsi yang diatur dalam UU No.30 Tahun 2002, yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa pengadilan korupsi yang diatur dalam undang-undang tersebut menyalahi konstitusi (Santoso, 2007). Kedua, dalam membuat jurisprudensi, para jaksa dan hakim seringkali dianggap kurang tegas. Misalnya berkenaan dengan salah tafsir mengenai perbedaan antara hadiah (costomary gift) dan suap (bribe), yang tidak hanya dialami oleh para pejabat yang berhubungan dengan administrasi pemerintahan, tetapi juga oleh para penegak hukum (Kumorotomo, 2006). Jika salah tafsir tersebut dilakukan secara sengaja oleh para jaksa dan atau hakim maka akan banyak terjadi koruptor yang divonis bebas atau divonis dengan hukuman ringan. Ketiga, kurangnya teladan dari institusi penegak hukum dalam hal kepeloporan pemberantasan korupsi. Misalnya, ketertupan institusi Mahkamah Agung (MA) terhadap audit biaya perkara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (Diansyah, 2008). Di samping itu, aparatur penegak hukum itu 21
sendiri juga menjadi bagian dari korupsi, misalnya kasus suap terhadap para jaksa yang terjadi akhir-akhir ini. Keempat, belum adanya pembuktian terbalik, yaitu beban pembuktian korupsi diserahkan kepada tersangka atau terdakwa, untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan hasil tindak pidana korupsi. Kelima, belum adanya undang-undang perlindungan saksi dan pelapor. Keenam, belum ada batsan waktu untuk penyelidikan, dan penyidikan sehingga penuntutan dan persidangan kasus korupsi sering berlarut-larut. Sasaran utama reformasi birokrasi dalam perspektif hukum adalah penegakan hukum, yaitu pemberian sanksi yang seberat-beratnya kepada koruptor sehingga menimbulkan efek jera. Hal ini dapat terjadi jika aparatur penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (kepolisian, jaksa, hakim tipikor, MA, KPK, dan aparatur dari instansi terkait lainnya) bersih dari kasus-kasus korupsi dan memeiliki kompetensi memadai dalam menangani perkara korupsi. Di lingkungan birokrasi, penegakan hukum dapat dilakukan melalui pengetatan pengawasan oleh atasan langsung. Kewenangan atasan langsung untuk memberikan hukuman kepada staf atau pegawai di bawahnya harus diperbesar, sehingga mereka dapat memberikan sanksi indisipliner secara langsung, misalnya dalam bentuk mutasi, pencabutan sertifikasi profesi, pencabutan tunjangan, penurunan pangkat, dan sebagainya. Walaupun penegakan hukum telah berjalan relatif baik, namun bagi pengkritik perspektif hukum masih menilai bahwa hukum senantiasa terlambat jika dibandingkan dengan metode dan strategi (modus operandi) yang digunakan para koruptor dalam briokrasi pemerintahan. Para koruptor selalu dapat menemukan celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menghindar dari tuntutan korupsi. Transaksi suap berlangsung secara sistematik dan dilakukan di luar lingkungan kerja, pemalsuan laporan harta kekayaan, membuka rekening atas nama anggota keluarga, dan sebagainya. Para pengkritik juga menyatakan bahwa tidak mungkin koruptor menangkap koruptor, sebuh sinyalemen untuk menunjukkan bahwa aparatur penegak hukum menjadi bagian dari korupsi itu sendiri. PENUTUP Pemebtantasan
korupsi
harus
dilakukan
secara
sistemik
dan
komprehensif. Sistemik, artinya tidak dilakukan secara parsial, sepotong22
sepotong, tetapi harus menyertakan seluruh bagian dari sistem yang ada. Komprehensif,
artinya
melibatkan
semua
stakeholders
dalam
upaya
pemberantasannya dan menyangkut semua bentuk tindakan koruptif yang dilakukan oleh semua pejabat dalam berbagai tingkatan, baik mereka yang ada di eksekutif, legislatif, maupun yudukatif. Pendekatan multi-disiplin harus digunakan dalam upaya pemberantasan korupsi. Kebijakan remunerasi harus diterapkan secara menyeluruh, tidak boleh terbatas pada instansi tertentu saja, yang dapat menimbulkan kecemburuan dari aparatur instansi pemerintah yang lain. Sistem reward and punishment bagi para aparatur birokrasi harus diterapkan secara konsisten. Kegiatan-kegiatan spesifik yang dilakukan oleh aparatur harus memperoleh imbalan yang cukup, dan mereka yang melakukan perbuatan korup harus diberi sanksi yang tegas. Menayangkan para koruptor secara reality show, mengumumkan nama mereka secara besar-besaran melalui media massa, dan juga pengumuman dalam kegiatan upacara setiap hari Senen, serta berbagai bentuk kegiatan yang sifatnya ”mempermalukan” para koruptor, harus diupayakan sebagai suatu bentuk penegakan moral dan disiplin di lingkungan birokrasi pemerintahan. Sedangkan dalam bidang hukum, selain memperberat hukum formal dan memperbesar kewenangan atasan langsung, reformasi birokrasi harus juga dilakukan
untuk
memperketat
sistem
rekrutmen
pegawai
dengan
mengoptimalkan penerimaan pegawai berdasarkan kecakapan dan referensi kejujuran. Hal ini dapat dilakukan melalui tes-tes integritas, memanfaatkan jaminan atas kejujuran dari lembaga-lembaga lain di luar pemerintahan (ICW, Masyarakat Transparansi Indonesia, dsb.). Selain upaya-upaya tersebut, reformasi birokrasi harus pula ditujukan untuk mengurangi segala bentuk monopoli kekuasaan, seleksi ketat terhadap pegawai yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa, dan menciptakan sistem pertanggung jawaban yang transparan. Pembatasan kewenangan dalam rangka mencegah monopoli kekuasaan, dapat dilakukan antara lain melalui: (1) perumusan mekanisme dan prosedur pelaksanaan pekerjaan yang lebih jelas dan tegas; (2) para pelaksana harus bekerja dalam kelompok dan diawasi menurut hierarki; (3) membatasi pengaruh pelaksana dalam keputusan penting, dengan maksud untuk membatasi wewenang dan meningkatkan akuntabilitas; (4) menggunakan instrumen teknologi informasi 23
yang dapat menangkal terjadinya korupsi; (5) pemanfaatan informasi dari masyarakat dan pers sebagai instrumen pengawasan ekstra; dan (6) menyusun kode etik yang lebih spesifik dan mudah dipahami untuk kasus-kasus praktis. DAFTAR PUSTAKA Alatas, Syed Hussein, 1982. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. Jakarta: LP3ES. Diansyah, Febri, 2008. “Korupsi di Balik Ketertutupan MA”. Dalam Jawa Pos, 10 Juni 2008, h.4. Dwiyanto, Agus, et al., 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Elliott, Kimberly Ann (ed.), 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia. Terjemahan A Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fahrojih, Ikhwan, et al., 2005. Mengerti dan Melawan Korupsi. Jakarta: YAPPIKA dan Malang Corruption Watch (MCW). Kumorotomo, Wahyudi, 1999. Etika RajaGrafindo Persada.
Administrasi
Negara.
Jakarta:
PT
---------------, 2006. ”Pelayanan yang Akuntabel dan Bebas dari Praktik KKN”. Dalam Agus Dwiyanto, et al. (ed.), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Makmur, Taufiq ST., 2007. Obat Anti Korupsi. Depok, Banten: Koekoesan. Malec, Kathryn L., 1993. ”Public Attitudes toward Corruption: Twenty-five Years of Research”. Dalam H.George Frederickson, (ed.), Ethics and Public Administration. New York: M.E.Sharpe. Marzoeki, Djohansjah, 2008. “Koruptor kok Minta Dibilang Bermoral”. Dalam Jawa Pos, 18 Maret 2008, h.4. McWalters, Ian, 2006. Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia. Surabaya: JPBooks. Nurbaya, Siti, 2008. “Perlunya Format Reformasi Birokrasi”. Dalam Jawa Pos, 5 Juni 2008, h.4. Rose-Ackerman, 1999. ”Ekonomi Politik Korupsi”. Dalam Kimberly Ann Elliott (ed.), Korupsi dan Ekonomi Dunia. Terjemahan A Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
24
Santoso, Topo, 2007. ”Polemik Peradilan Korupsi”. Dalam Jawa Pos, 13 Februari 2007, h.4. Soedarno, Ernanto, 2008. ”Kenaikan Gaji Jaksa dan Korupsi”. Dalam Jawa Pos, 9 April 2008, h.4. Taufiq, Muhammad, 2008. ”Remunerasi Hakim Agung: Tidak Menjamin Bebas Korupsi”. Dalam Jawa Pos, 10 April 2008, h.4. Wahidin, Samsul, 2008. “Modul Korupsi Wakil Rakyat”. Dalam Jawa Pos, 19 April 2008, h.4. Yuntho, Emerson, 2007. “Jangan Pernah Kalah Lawan Koruptor”. Dalam Jawa Pos, 7 November 2007, h.4. Zen, M.T., 2007. “Sifat Permisif Dasar Budaya Korup”. Dalam Jawa Pos, 5 Maret 2007, h.4.
25