KORUPSI, BUKAN TAK BISA DILAWAN
Oleh : Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si
KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA UNIVERSITAS TIDAR MAGELANG APRIL 2015
“Korupsi, Bukan Tak Bisa Dilawan” Oleh : Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si1
[email protected]
A. Pengantar Tak seperti kebanyakan perbincangan mengenai korupsi, yang biasanya dilontarkan dengan nada pesimis, subtansi dan gaya bahasa yang dipilih dalam makalah ini dimaksudkan untuk membangun optimisme dalam ikhtiar pemberantasan korupsi. Substansi dan gaya bahasa optimistik seperti ini perlu mulai ditradisikan untuk membangun “sugesti positif” masyarakat yang (ruparupanya) sudah “tersugesti secara negatif” dengan berbagai cerita muram dan gagalnya penanganan kasus korupsi di beberapa tempat. Padahal dalam kenyataannya ditemukan kisah-kisah gemilang penanganan kasus korupsi yang advokasinya notabene digawangi oleh masyarakat. Sepuluh tahun sudah bangsa Indonesia hidup dalam masa transisi demokrasi. Perlahan namun pasti, angin reformasi malah berbalik arah. Bukan perbaikan yang kita temukan, tapi ketambahbobrokan semakin melilit di hampir segala sendi kehidupan. Hasrat untuk melihat Indonesia baru menjadi mimpi di siang bolong. Bangsa Indonesia masih saja bergulat dengan aneka problem yang makin kompleks dan krusial. Kesenjangan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dan keagamaan semakin tajam. Keadilan terasa semakin jauh. Kondisi seperti ini sebenarnya telah diramalkan oleh Raja Kediri, Prabu Joyoboyo (1135-1157). Joyoboyo dikenal sebagai pujangga Jawa yang memiliki pandangan visioner dan mampu melampaui zaman. Konon, Presiden Soekarno juga menyerap visi Joyoboyo ketika ia menghadapi penjajahan Jepang, yang menurut Joyoboyo hanya seumur jagung. Salah satu visi penting Joyoboyo yang bisa dibaca dan dikaji hari ini adalah pandangannya tentang jungkir baliknya nilai-nilai dalam masyarakat. Di katakannya “wong bener thenger-thenger” (orang yang berpegang pada kebenaran justru terpuruk), “wong salah bungah” (orang yang salah justru 1
Dosen Tetap Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Tidar Magelang
1
gembira), “wong apik ditampik-tampik” (orang yang baik justru dihardik atau disingkirkan) dan “wong jahat munggah pangkat” (orang jahat justru naik pangkat). Seluruh pernyataan Joyoboyo di atas kini menemukan kebenarannya. Kekuasaan yang kotor dan busuk telah membuat keruh kehidupan masyarakat. Di antara sekian karut marut permasalahan bangsa Indonesia yang tak pernah bisa teratasi dengan baik adalah masalah penuntasan korupsi. Meski belum bisa teratasi dengan baik, pesan moral dalam makalah ini jelas, bahwa korupsi bukan tak bisa dilawan, di beberapa tempat para koruptor menjadi pesakitan oleh inisiatif advokasi masyarakat, karenanya tidak perlu berkecil hati dalam perjuangan melawan korupsi. Membangun sugesti positif adalah hal yang paling penting saat ini dalam memerangi korupsi. Mengutip bahasa
Bambang
Widjajanto
(Indrayana,
2008),
dengan
ungkapan
“mengupayakan perubahan imagi menjadi dalam bukti” maksudnya adalah, melakukan perlawanan kultural secara sistematis dengan menciptakan berbagai istilah dan peribahasa anti korupsi yang membawa efek dramatis di masyarakat.
B. Definisi, Jenis dan Penyebab Korupsi Dalam arti luas, korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan, kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atas kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa saja lembaga swasta, lembaga pemerintah atau lembaga nirlaba (Demartoto, 2007). Korupsi berarti memungut uang dari layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja. Korupsi bisa mencakup yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi dalam tubuh organisasi (misalnya pemerasan). Korupsi kadang-kadang dapat membawa dampak positif di bidang sosial, meski pada umumnya menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan dan ketimpangan (Klitgaard, Abaroa dan Paris, 2002). Korupsi pada hakekatnya merupakan penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Menurut Soewartojo (1998), korupsi merupakan tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui 2
proses pengadaan, penetapan pungutan, penerima atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpangan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan atau keuangan atau kekayaan negara atau masyarakat. Sedangkan menurut Kartono (2005), korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah urus dari kekuasaan demi keuntungan pribadi. Salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya, dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi juga dipahami sebagai the misuse of public power for private benefit (Hustead, 2002) dan juga dalam pengertian the use of public office for private gain, baik untuk kepentingan yang bersifat finansial maupun non finansial (Balkaran, 2002). Dalam hal ini, yang termasuk dalam kategori korupsi adalah berupa sogokan (bribery), pemerasan (extortion), memperjualbelikan pengaruh (influence pedding), nepotisme (nepotism) dan segala tindakan yang terkait dengannya (Alatas, 1981). Korupsi bisa dimasukkan ke dalam kategori perbuatan kejahatan atau kriminal. Dari segi tipologi, konsep korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis yang berlainan (Alatas, 1981), yaitu: 1. Korupsi transaktif, yaitu menunjuk kepada adanya kesempatan timbal balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh keduanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah. 2. Korupsi yang memeras, yaitu jenis korupsi di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
3
3. Korupsi defensif, yaitu perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri. 4. Korupsi invensif, adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. 5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme, yaitu penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku. 6. Korupsi otogenik, yaitu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang saja. 7. Korupsi dukungan, yaitu korupsi yang tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Selanjutnya, faktor penyebab suburnya korupsi bukan saja faktor tunggal melainkan multi faktor yang kompleks dan saling bertautan. Alatas (1981) mencoba mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan suburnya praktek korupsi sebagai berikut: 1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu
memberikan
ilham
dan
mempengaruhi
tindakan
laku
yang
menjinakkan korupsi. 2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika. 3. Kolonialisme suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. 4. Kurangnya pendidikan. 5. Tiadanya tindak hukuman yang keras. 6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi. Selanjutnya menurut Albrecht dan Albrecht (dalam Suradi, 2006), faktor pendorong seseorang melakukan korupsi atau kecurangan di organisasi publik dan
4
swasta dapat dilihat dari formula Segi tiga kecurangan (Fraud Triangle) sebagai berikut: Kesempatan (Opportunity)
Tekanan (Pressure)
Rasionalisasi (Razionalize)
Keterangan: a. Faktor Tekanan (Pressure), antara lain disebabkan oleh: 1.
Adanya beban tanggung jawab setelah menikah. Kehidupan dapat menciptakan tekanan situasional yang signifikan, pada suatu saat seseorang akan diuji tentang etika dan kejujurannya. Kecurangan adalah melakukan tindakan curang untuk keuntungan diri sendiri atau keuntungan bagi suatu organisasi atau untuk keduanya.
2.
Jenis-jenis tekan yang mendorong seseorang melakukan kecurangan adalah: (1) tekanan keuangan/financial pressure; (2) Sifat buruk/vices; (3) tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan/work related pressure dan; (4) tekanan yang lain/other pressure.
b.
Faktor Kesempatan (Opportunity) Kesempatan dapat didefinisikan sebagai otoritas atau kewenangan untuk mengendalikan suatu aset atau melakukan akses terhadap aset. Pengendalian dan akses adalah elemen penting dari kesempatan. Adanya kesempatan menyebabkan
seseorang
melakukan
kecurangan
atau
korupsi,
menyembunyikannya, menghindari hukuman merupakan unsur dari segi tiga kecurangan. Paling tidak terdapat lima faktor yang dapat memberikan kesempatan bagi para individu untuk berbuat kecurangan, antara lain: 1. 2.
Kurangnya pengendalian yang dapat mencegah atau mendeteksi perilaku curang Ketidakmampuan menilai kualitas kinerja
3.
Terbatasnya akses terhadap informasi
4.
Ketidaktahuan, apatis dan ketidakmampuan
5.
Tidak adanya jejak audit 5
c.
Faktor Rasionalisasi (Razionale) Rasionalisasi memberikan kontribusi terhadap kecurangan karena rasionalisasi akan memberikan suatu pembenaran tentang apa saja yang kita lakukan dengan tujuan untuk memuaskan diri sendiri, meskipun tidak memiliki alasan yang kuat dan pembenaran tersebut juga tidak dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi moral maupun etika. Misalnya orang yang melakukan kegiatan korupsi dan uang hasil korupsi tersebut digunakan untuk menyantuni fakir miskin atau kegiatan keagamaan. Selain itu, Klitgaard, Abaroa dan Parris (2002) telah menyusun suatu
formula mengenai korupsi yakni C = M+D-A, di mana C (Corruption/korupsi), sama dengan monopoly power (M/kekuasaan monopoli) + discretion by officials (D/wewenang pejabat) - accountability (A/akuntabilitas). Artinya, Jika seseorang memegang monopoli atas barang/jasa dan memiliki wewenang yang tidak terbatas untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang/jasa itu dan berapa banyak tanpa akuntabilitas, maka kemungkinan akan kita temukan korupsi di situ. Ini berlaku bagi sektor pemerintah, swasta, bagi negara miskin dan negara kaya. Untuk konteks negara Indonesia, ada tiga kemungkinan yang memacu tindakan korupsi, antara lain sistem pemerintahan yang memungkinkan, moralitas orang yang rencah dan kontrol masyarakat yang kurang. Berbagai kasus korupsi di lingkaran kekuasaan yang terungkap akhir-akhir ini, kian menegaskan bahwa moralitas bangsa kita masih rapuh, bobrok, korup dan sejenisnya. Orang akan mudah berargumentasi bahwa kebobrokan moral bangsa ditentukan oleh moralitas para politisinya.
C. Dinamika Perilaku Korupsi di Indonesia Masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan multi dimensional. Sistem politik kita mulai berubah dari sistem yang otoriter dan paternalistik ke arah sistem politik yang lebih demokratik dan egalitarian. Sistem perekonomian juga berubah dari sistem yang mengandalkan proteksi dan oligopolistik menjadi sistem yang lebih terbuka dan perdagangan bebas. Pendek kata, semua bidang kehidupan mulai berubah, akan tetapi tidak semua perubahan berjalan dengan lancar. Praktek-praktek lama sudah mulai ditinggalkan tetapi penggantinya belum 6
lagi ditemukan, akibatnya terjadi kekacauan dalam masyarakat, peraturan perundang-undangan banyak yang saling bertentangan sehingga menjadi tidak efektif (Kasim, 2004). Hal ini mendorong semakin banyak orang yang hanya mematuhi peraturan perundang-undangan
tersebut
secara
formal
dalam
realitas
melakukan
penyimpangan melalui perbuatan kolusi dan pemberian uang suap. Tak heran kalau sebagian masyarakat kini menjadi disoriented dan cenderung menjadi apatis atau bahkan menjadi agresif. Kondisi ini menjadi lebih parah karena diberbagai bidang kehidupan, kita mengalami krisis kepemimpinan. Sistem sosial politik kita juga belum mampu menghasilkan pemimpin masyarakat yang kredibel, memiliki integritas tinggi dan memiliki kepemimpinan yang kuat dengan visi yang benar tentang kepemerintahan yang baik dan masyarakat madani yang adil dan makmur. Masalah kepemimpinan tentu menjadi sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh budaya paternalistik, di mana kebanyakan orang masih mengharapkan tuntunan dan petunjuk dari pemimpin dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kalau ada pemimpin formal yang kharismatik dan mempunyai ciri-ciri tersebut di atas maka perubahan masyarakat dapat terjadi dengan cepat, sebaliknya kalau yang ada hanya pemimpin yang tidak mempunyai visi yang jelas atau pemimpin yang korup, maka dampaknya terhadap masyarakat sangat negatif sehingga memperparah keadaan yang sudah parah ini. Korupsi, yang dituding oleh banyak pihak sebagai pemicu kronis bangsa sampai kini belum juga ditemukan obat penangkalnya. Dia bagaikan lingkaran setan. Alih-alih berkurang, dari waktu ke waktu korupsi malah semakin parah. Korupsi juga sumber dari segala bencana dan kejahatan, the root of all evils. Seorang koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang triliunan rupiah yang dijarah seorang koruptor, misalnya adalah biaya hidup mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itulah, koruptor adalah the real terrorist.
7
Berikut adalah data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menurut survei Transparency International selama lima tahun terakhir dari Tahun 2007-2011. Tabel 1. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2007-2011 No Tahun Indeks Persepsi Korupsi 1 2007 2,3 2 2008 2,6 3 2009 2,8 4 2010 2,8 5 2011 3,0 Sumber: Kompas, 2 Desember 2011
Peringkat Negara yang disurvei 144 180 130 180 111 180 110 178 100 183
Transparency International Indonesia melakukan survei dengan skala 010 (0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih). Metode pengukuran indeks persepsi korupsi mensyaratkan kriteria yang juga menunjukkan indikasi perubahan persepsi korupsi antar tahun adalah perubahan skor minimal 0,3. Berdasarkan indeks persepsi korupsi, Indonesia masih masuk ke dalam jajaran negara-negara terkorup. Menurut survei Transparency International, skor IPK Indonesia tahun 2011 adalah 3, hanya beranjak 0,2 dari skor tahun 2010. Perubahan skor 0,2 antara tahun 2010 dan 2011 tidak berarti apa-apa secara metodologi atau dapat dikatakan tidak ada perubahan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Indonesia menempati peringkat ke 100 dari total 183 negara yang disurvei. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sama dengan Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome and Principe, Suriname dan Tanzania. Skor Indonesia masih di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand (Kompas, 2 Desember 2011). Sementara itu berdasarkan laporan dari Kepolisian Republik Indonesia, jumlah perkara yang masuk selama tahun 2011 sebanyak 1.323 perkara korupsi mengalami peningkatan dari pada tahun 2010 yakni sebanyak 585 perkara. Selama kurun waktu dua tahun tersebut kerugian negara pada tahun 2010 sebesar Rp 560.348.259.862,00 dan di tahun 2011 kerugian negara sebesar Rp 2.007.342.317.820,00. Dengan demikian dalam waktu dua tahun kerugian negara mengalami kenaikan sebesar 258,39% (www.mediaindonesia.com diakses tanggal 7 Januari 2012). Selanjutnya, Senin 16 Maret 2015, Indonesian Corruption Watch juga merilis hasil kajian trend vonis korupsi pada tahun 2014. Secara garis besar trend 8
vonis pada 2014, menggambarkan bahwa kerja institusi pengadilan tindak pidana korupsi tidak maksimal dalam menghukum terdakwa korupsi. Tidak maksimalnya kinerja pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tampak dalam bobot penghukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi. Dengan demikian, tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan
telah
masuk
sampai
ke
seluruh
lapisan
kehidupan
masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
D. Beberapa Upaya Pemberantasan Korupsi Hal penting yang perlu diperhatikan ketika merumuskan strategi anti korupsi, adalah korupsi merupakan kejahatan kalkulasi, bukan kejahatan karena dorongan nafsu. Orang cenderung melakukan korupsi bila resikonya rendah, sanksi ringan dan hasilnya besar. Kesimpulan ini sama dengan rumus Klitgaard, Abaroa dan Parris yang disebut di atas, karena hasil yang diperoleh akan lebih besar lagi bila kekuasaan monopoli bertambah besar. Tetapi, ada tambahan ide dari kesimpulan ini, yaitu insentif marginallah yang menentukan kalkulasi yang dilakukan oleh pejabat korup, pejabat yang berpotensi korup dan warga masyarakat. Ubahlah informasi dan insentif, maka korupsi juga akan berubah. World Bank merekomendasikan tiga komponen penting dalam strategi pemberantasan korupsi, diantaranya adalah: 1. Membangun birokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekruitmen
berdasarkan
prestasi
dan
sistem
promosi
haruslah
diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrasi. 2. Menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakantindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan. 9
3. Menegakkan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman, lembaga-lembaga publik hendaknya juga memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan publik (Ilyas dan Umar, 2004). Selanjutnya menurut Ilyas dan Umar (2004), pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan juga memerlukan strategi, sehingga pemberantasan korupsi dapat berlangsung secara komprehensif dan berkelanjutan. Terdapat tiga strategi dalam pemberdayaan fungsi kontrol dan pengawasan ini, diantaranya adalah: 1. Memperkuat kelembagaan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor pegawai, pejabat dan politisi. 2. Meningkatkan tekanan publik agar lembaga-lembaga mekanisme kontrol tersebut bisa berfungsi dengan baik dan ini memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik dan lingkungan sosial yang memungkinkan publik untuk dapat melakukan tekanan. 3. Mendidik publik untuk melakukan tekanan moral dan politik untuk pemberantasan korupsi. Selanjutnya Kartono (2005) memberikan saran untuk memberantas korupsi diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan masyarakat, antara lain: 1. Adanya kesadaran rakyat ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial dan tidak bersikap acuh tak acuh. Kontrol sosial baru bisa efektif apabila bisa dilaksanakan oleh dewandewan perwakilan yang benar-benar representatif dan otonom, pada taraf desa sampai taraf pusat dan nasional. 2. Memanfaatkan aspirasi nasional yang positif yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan negara, melalui sistem pendidikan formal, non formal dan pendidikan agama. 3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, baik dengan mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki rasa tanggung jawab susila. 4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak pidana korupsi, tanpa kekayaan riil dan berani bertindak tegas, semua undang-undang, tim, komisi dan operasi menjadi mubazir, menjadi penakut burung belaka. 10
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan-jawatan sebawahnya. Adanya koordinasi antar departemen yang lebih baik disertai sistem kontrol yang teratur terhadap administrasi pemerintah, baik dipusat maupun daerah. 6. Adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan prinsip achievement atau keterampilan teknis dan bukan berdasarkan norma ascription, sehingga memberikan keleluasaan bagi berkembangnya nepotisme. Hendaknya dilakukan pemecatan terhadap pegawai-pegawai yang jelas melakukan korupsi dan bukan hanya memindahkan atau mempromosikan mereka ke tempat lain. 7. Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri yang non politik, demi kelancaran administrasi pemerintah. Di tunjang oleh gaji yang memadai bagi para pegawai dan ada jaminan masa tua sehingga berkurang kecenderungan melakukan korupsi. 8. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur. Kompleksitas hierarkhi administrasi harus disertai disiplin keras yang tinggi, sedang jabatan dan kekuasaan didstribusikan melalui norma-norma teknis. 9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi dibarengi sistem kontrol yang efisien. Menyelenggarakan sistem pemungutan pajak dan bea cukai yang efektif dan supervisi yang ketat, baik di pusat maupun di daerah. 10. Heregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang menyolok dengan pengenaan pajak yang tinggi. Kekayaan yang statusnya tidak jelas dan diduga menjadi hasil korupsi, disita oleh negara.
E. Daftar Pustaka Albrecht, W. Steve and Chad O. Albrecht, Fraud Examination, Thomson South Westrn, 2003. Alatas, Syed Husein. 1981. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta. Balkaran, Lal. 2002. Curbing Corruption: The Internal Auditor. Altamonte Spring Feb., Vol. 59, Pg. 40-47. 11
Demartoto, Argyo. 2007. Corruption Behaviour In The Local Autonomous Era (Empirical Facts and Corruption Fighting Strategy in Indonesia), Spirit Publik, Vol 3, Nomor 2, Halaman 89-102. Hustead, Bryan W. 2002. “Culture and International Anti Corruption Agreements in Latin America”, Journal Of Business Ethics, Vol. 37, No. 4, Pg. 413422. Indrayana, Denny. 2008. Negeri Para Mafioso, Hukum Di Sarang Koruptor, Kompas Media Nusantara, Jakarta. Indrayana, Denny. 2008. Negeri Antara Ada dan Tiada, Kompas Media Nusantara, Jakarta. Kartono, Kartini. 2005. Patologi Sosial Jilid I, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kasim, Azhar. 2004. Perilaku Korupsi Di Indonesia, Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 01/Vol. XII/ Januari 2004. Klitgaard, Robert; Abaroa, Ronald Mclean dan Paris, H. Lindsey. 2002. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor, Jakarta. Kompas, “Pemberantasan Korupsi Efek Jera Saja Tak Kompak...”, 19 Desember 2011. , “Korupsi Perlu Dipetakan”, 11 November 2011. , “Disiplin Penegakan Hukum, Jaksa Diadukan Memeras Saksi Rp 500 Juta”, 22 Desember 2011. Suradi. 2006. Korupsi Dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta mengurai Pengertian Korupsi, Pendeteksian, Pencegahannya dan Etika Bisnis, Gava Media, Yogyakarta. Soewartojo, Junaidi. 1998. Korupsi (Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasannya dalam Penanggulangannya, Balai Pustaka, Jakarta. Umar, Musni dan Ilyas Sukri. 2004. Korupsi Usaha Bersama, Lembaga Pencegah Korupsi, Jakarta.
12