MODEL PENGEMBANGAN PARIWISATA ·BERKELANJUTAN SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN NEW LEADING ECONOMY DI ERA INDONESIA BARU: STUDI KASUS DESA WISATA DI PROVINSI DIY Oleh: Dr. Joko Tri Haryanto •
* Winner ofASC Paper Competition 2012 27
Kattl kunciz pariwisata, ekowisata, pariwisata berkelanjutan,
PENDAHULUAN Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu negara, tidak terkecuali di Indonesia. Namun demikian, pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara. Pembangunan kepariwisataan pada dasarnya ditujukan untuk persatuan dan kesatuan bangsa, penghapusan kemiskinan (poverty alleviation), pembangunan berkesinambungan (sustainable development),. pelestarian budaya (cultural preservation), pemenuhan kebutuhan hidup dan HAM, peningkatan ekonomi dan industri, sekaligus pengembangan teknologi (Ardiwijaya, 2008: 7677). Pariwisata diposisikan sebagai salah satu sektor andalan dalam pembangunan nasional Indonesia. Saat ini dan pada masa-masa mendatang, pariwisata diharapkan dapat memberikan kontribusi terbesarterhadap peningkatan devisa negara dalam upaya pemerintah mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Salah satu upaya yang dilakukan sektor pariwisata adalah terus meningkatkan kinerjanya dengan memperkuat jejaring yang telah ada dan meningkatkan daya saing usaha pariwisata Indonesia. Penguatan jejaring untuk mendukung peningkatan kinerja kepariwisataan akan tercapai jika hubungan dapat terjalin dengan harmonis di antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (Astuti, 2008: 89). Meskipun memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat di dunia, pembangunan pariwisata juga sering disebut sebagai salah satu sumberkerusakan lingkungan utama, ketika pembangunan pariwisata tersebut membutuhkan penyediaan 28
,
infrastruktur yang hams merusak lingkungan alam sebagaimana yang disebutkan dalam laporan World Tourism Organization tahun 1996. Banyak kasus di beberapa negara, pembangunan resort dan hotel harus menghancurkan pantai, laut, hutan, dan berbagai ekosistem lainnya yang sudah ada dan tumbuh sebelumnya. Selain masalah perubahan nilai-nilai budaya lokal akibat masuknya budaya asing, munculnya kawasan kurnuh di masyarakat juga merupakan dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata (putra,2009). Dilihat dari berbagai laporan, makin berkembangnya pariwisata di Indonesia juga menyisakan banyak kekhawatiran, ketika dirasakan pengembangan pariwisata saat ini lebih didominasi oleh nilai-nilai ekonomi dan estetika terkait dengan pengembangan industri, dibandingkan pengembangan nilai-nilai etika budaya, sosial, dan kearifan lingkungan dari masyarakat (Teguh, 2008: 479). Jika kita merujuk semua indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan pengembangan industri pariwisata, apakah indikator yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) atau Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, semuanya merujuk kepada indikator-indikator yang sifatnya kuantitatif ekonomi semata, seperti dampak pendapatan pariwisata kepada produksi, dampak pendapatan pariwisata terhadap PDB, tenaga kerja, upah dan gaji, pengembangan sektoral, dan penciptaan pajak. Jika merujuk kepada data BPS, indikator keberhasilan pengembangan pariwisata dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan, tingkat hunian hotel serta jumlah uang yang dibelanjakan dengan keseluruhan analisis menempatkan kepuasan wisatawan sebagai parameter utama. Sebaliknya pemerintah belum menempatkan tolok ukur keberhasilan pariwisata dari sisi kesejahteraan, partisipasi dan kepuasan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan wisatawan. Masyarakat lokal yang seharusnya menjadi subyek utama di dalam pengelolaan pariwisata, justru menjadi obyek penderita yang diatur dengan berbagai bentuk pengekangan atas nama kepuasan 29
,
pengunjung. Bagaimana cara menjadi sopan, senyum, sapa, dan ramah kepada pengunjung menjadi bahan diskusi dan pelatihan yang akan diberikan kepada masyarakat, meskipun sebetulnya masyarakat lokal memiliki bentuk kearifan budaya, sosial, dan lingkungannya sendiri. Semua pihak kemudian menjadi terpesona ketika ada investor masuk menawarkan konsep pengembangan pariwisata. Mereka dianggap pahlawan yang akan memajukan pariwisata, meskipun mungkin bentuk pariwisata yang ditawarkan justru merusak lingkungan dan tetap menjadikan masyarakat lokal sekedar obyek pariwisata. Praktek pariwisata yang dominan dan eksesif oleh aspek ekonomi ini nantinya cenderung mereduksi hakekat kepariwisataan yang multidimensi, multifacets, dan multisektor yang memiliki tujuan yang lebih luas yaitu searching for meaningfitllife (Cooper, 1993 dalam Teguh, 2008:481-482). Berbagai upaya untuk menemukan kembali roh dan spiritualitas pariwisata tersebut selaras dengan berkembangnya kesadaran akan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan serta kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan, dalam bingkai gerakan pariwisata berkelanjutan. World Tourism Organization (WTO) mendefinisikan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan semua sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi esensial, keanakeragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan. Produk pariwisata berkelanjutan dioperasikan secara harmonis dengan lingkungan lokal, masyarakat, dan budaya, sehingga mereka menjadi penerima keuntungan yang permanen dan bukan korban pembangunan pariwisata. Dalam hal ini kebijakan pembangunan pariwisata berkelanjutan terarah pada penggunaan sumber daya alam dan penggunaan sumber daya manusia untuk jangka waktu panjang (Sharpley, 2000: 10 dalam Nurhidayati, 2008).
30
,
Sebagai salah satu tujuan wisata utama di Indonesia, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak faktor yang mampu menarik datangnya wisatawan baik domestik maupun manea negara. Faktor keanekaragaman atraksi dan daerah tujuan wisata, dimana terdapat lebih dari lima puluh tempat tujuan wisata, kemudian faktor atribut budaya, sejarah dan alam yang menjadi em khas utama wisata di Yogyakarta dan memberikan identitas yang unik terhadap pariwisata Yogyakarta. Berbagai atribut tersebut dapat menggambarkan pariwisata Yogyakarta seeara keseluruhan (Rahajeng, 2008; 33). Sayangnya, seiring dengan modemisasi dan globalisasi ekonomi yang menyebabkan makin meningkatnya tekanan hidup masyarakat, serta tekanan dari peningkatan industri pariwisata yang sudah ada, beberapa kondisi negatif mulai dirasakan di Yogyakarta, baik dari sisi perubahan nilai-nilai budaya, masyarakat maupun penurunan kualitas lingkungan hidupnya. Jika sebelumnya pariwisata dijalankan dengan kesadaran sebagai gaya hidup masyarakat, belakangan ini masyarakat sebagai faktor pendukung utama kegiatan pariwisata justru menempatkan orientasi ekonomi semata untuk menjalankan profesinya di sektor pariwisata. Akibatnya muneul berbagai kondisi sosial budaya yang kurang menyenangkan misalnya maraknya unsur pemaksaan, ketidakjujuran, pungutan yang tidak sesuai dengan kualitas pelayanan, yangsejujumya hal yang sifatnya sederhana dan remeh namun sangat mengganggu wisatawan (Abimanyu, 2010). Berbagai gejala perubahan tersebut pada akhimya dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang eukup signifikan di dalam upaya meningkatkan pertumbuhan pariwisata di Yogyakarta khususnya terkait dengan isu pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Masyarakat yang mengalami pergeseran nilai-nilai budaya, sosial serta memburuknya kualitas lingkungan tentu saja bukan prasyarat yang mendukung upaya pengembangan pariwisata berkelanjutan di Yogyakarta.
31
,
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa terdapat munculnya gejala pengembangan pariwisata yang tidak berkelanjutan di Yogyakarta akibat adanya penurunan kualitas lingkungan serta pergeseran nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat. Gejala pengembangan pariwisata yang tidak berkelanjutan di Yogyakarta tersebut dikhawatirkan juga akan menghasilkan konsep pembangunan daerah yang tidak berkelanjutan di Yogyakarta. Berdasarkan uraian masalah tersebut, maka tulisan ini akan menjawab beberapa permasalahan di atas seperti: 1. Bentuk pariwisata seperti apa yang dapat menjadi model pengembangan pariwisata berkelanjutan di Yogyakarta? 2. Nilai-nilai budaya, sosial, dan kearifan lingkungan apa yang mendukung terciptanya pariwisata berkelanjutan di Yogyakarta? 3. Berdasarkan model pengembangan pariwisata berkelanjutan di Yogyakarta tersebut apakah dapat diterapkan secara nasional?
KERANGKA TEORI Kerangka teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan di atas diawali dari adanya masyarakat yang memiliki unsur kebudayaan baik fisik maupun non-fisik serta kearifan sosial sebagai mahkluk yang akan selalu berinteraksi dengan sesamanya di samping kearifan lingkungan. Masyarakat dengan segala bentuk kebudayaan serta kearifan sosial dan lingkungannya tersebut akan dapat menjadi input yang sangat berarti di dalam pengembangan pariwisata. Namun demikian sejatinya masyarakat sebagai pemilik kebudayaan dan sistem sosial tentu saja hams menjadi subyek utama di dalam pelaksanaan pariwisata tersebut, jangan hanya menjadi obyek untuk dilihat para wisatawan. Berdasarkan input yang dihasilkan oleh sebuah masyarakat beserta dengan keseluruhan sistem nilia-nilai budaya, kearifan sosial, dan ,
32
lingkungannya, kemudian dikembangkan produk-produk pariwisata antara lain wisata alam, wisata minat khusus, wisata belanja, dan ekowisata. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pariwisata berkelanjutan, salah satu produk pariwisata yang mendukung upaya penciptaan pariwisata berkelanjutan adalah ekowisata. Ekowisata adalah salah satu jenis pariwisata berkelanjutan yang menjadikan masyarakat sebagai subyek utama, sekaligus melestarikan nilai-nilai budaya, sosialdan kearifan lingkungannya. Jadi, secara keseluruhan dengan adanya ekowisata sebagai implementasi pembangunan pariwisata berkelanjutan, pada akhirnya akan kembali lagi ke masyarakat dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. Secara ringkas gambaran hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1. Kerangka Teori Model Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan
( 1I..,r~...
• •r&d.
Jenis Produk PariwiSllla
Wisatll MinIIt Khusus
WiSllla AIEl
Wisata Lainnya
, , , _ ... ---- ..... , , lsu
I
\.
IcebeTlanjutan
.... ,,-
-----'*"
' l" -';
I
Mendukunu Paliwisatllllertu!fanjutan (LingkUQlllln, Eltonami dan Sosial)
33
,
•
KERANGKA BERPIKIR Adapun untuk kerangka berpikir tulisan kali ini akan berawal dari adanya tren perkembangan pariwisatanasionalyang lebih didominasi oleh kebutuhan ekonomi semata serta bersifat merusak alam dan lingkungan sosial sebuah masyarakat sehingga pariwisata yang dikembangkan tidak akan berkelanjutan. Disinilah perlunya sebuah intervensi untuk mengubah bentuk tren perkembangan pariwisata tersebut menjadi lebih berkelanjutan melalui perkembangan produk-produk pariwisata yang lebih bersahabat dengan pelestarian alam, budaya, dan sosial. Konsep pariwisata berkelanjutan tersebut nantinya yang akan menjadikan masyarakat sebagai subyek utama dengan pengembangan sifatnya lintas generasi. Terkait dengan penyediaan produk jasa pariwisata itu sendiri, dapat dibedakan jenis pengembangan pariwisata apakah wisata alam, wisata belanja, ekowisata, dan jenis wisata lainnya. Dilihat dari berbagai bentuk produk penyediaan pariwisata, ekowisata adalah salah satu bentuk pengembangan pariwisata yang memenuhi kriteria berkelanjutan. Dalam kasus pengembangan pariwisata di Yogyakarta, pengembangan ekowisata salah satunya dapat dijumpai dalam bentuk pengelolaan Desa Wisata. Dalam pengembangan Desa Wisata inilah nantinya akan diimplementasikan pilar-pilar ekowisata dalam bentuk pelestarian alam dan lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, pelestarian budaya, dan serta penganekaragaman jenis atraksi kepada wisatawan. Sesuai karakteristik dari pengelolaan di tiga Desa Wisata sampel, dimana pariwisata ~ijalimkan sebagai sebuah media aktualisasi diri, sarana pemersatu masyarakat, bukan sebagai satu-satunya alat untuk penghidupan, membuat pariwisata tersebut menjadi salah satu media dan sarana bagi masyarakat untuk mencapai status kesejahteraannya secara berkelanjutan. Pencapaian status kesejahteraan secara berkelanjutan ini nantinya lebih didasarkan kepada indikatorindikator non ekonomi, dengan tetap menggunakan media pariwisata
,
34
itu sendiri atau nantinya akan menjadi masyarakat lainnya nonpariwisata. Secara ringkas kerangka berpikir dalam penelitian ini diuraikan dalam Gambar 2.
Gambar2. Kerangka Berpikir Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan
-------------,, o
G ,r •
o !
ekoroni
:
sernata
,,
m
IL
1
Konsep PlIr1_ _
_'''_n
PlIriwlsatll Iidilk
I--t
berIoeIaiUtIm
-"'"
------------______1______--
Merusak
alamdln linpunpn serta rdasl sooi.1
~_I~
willi
:
!-r:~:::.:.:-~~-~~~ ~~f~~~~8~;;;
i: LR'd - -.... --I _ _
,L
,
~
PENELITIAN PENDUKUNG Untuk mendukung tulisan ini sekaligus menjawab permasalahan yang ada, maka dilakukan penelitian yang akan mengumpulkan data yang diperlukan. Secara ringkas keterkaitan antara pertanyaan penelitian dengan pendekatan penelitian, metode analisis, instrumen penelitian dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1:
35
,
Tabell. Hubungan Antara Pertanyaan Penelitian Dengan Pendekatan Penelitian
en panwisata seperti apa yang dapat menjadi model pengembangan pariwisata berkelanjutan di
en e tan kualitatif dengan instrumen penelitian interview guide terhadap beberapa stakeholders terkait.
enggiiiiaKiiii metode content analysis dari jawaban informan penelitian
awancara mendalam (FGD)
Yogyakarta? ya, sosial dan kearifan lingkungan apa yang mendukung pengembangan pariwisata berkelanjutan di Yogyakarta? 1I1-
1I1
en tan kualitatif dengan instrumen penelitian interview guide terhadap beberapa stakeholders yang terkait.
e metode content analysis dari jawaban informan penelitian
awancara mendalam (FGD)
Surnber: data diolah, 2011
Adapun tempat yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Provinsi DIY dengan responden berbagai pelaku budaya, tokoh masyarakat, wisatawan serta pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pengembangan pariwisata berkelanjutan, untuk mendapatkan gambaran mengenai nilai-nilai budaya, sosial dan kearifan lingkungan yang mendukung pengembangan pariwisata berkelanjutan di Yogyakarta. Hasil dari wawancara tersebut digunakan sebagai salah satu dasar penilaian untuk mengevaluasi dan mengkaji pelaksanaan wisata berkelanjutan di Yogyakarta sekaligus konfirmasi kepada wisatawan melalui instrumen kuesioner terstruktur untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi mereka terkait dengan pelaksanaan ekowisata di Yogyakarta sekaligus kesediaan berpartisipasi di dalam pengembangan ekowisata tersebut.
,
36
Berdasarkan kese1uruhan wilayah administrasi di Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta yang terdiri dari Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta, lokasi penelitian kemudian difokuskan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul karena di wilayah administrasi lainnya baik Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogya be1um dijumpai bentuk tipe pengelolaan pariwisata yang diharapkan dapat dikembangkan menjadi mdoel pengembangan pariwisata berkelanjutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan analisis sampel di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, fokus penelitian lebih diarahkan lagi kepada penelitian di 3 Desa Wisata terpilih dari sekitar 50 Desa Wisata yang sedang dikembangkan saat ini, yaitu Desa Wisata Brayut dan Desa Wisata Sambi di Kabupaten Sleman serta Desa Wisata Kebonagung di Kabupaten Bantul.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Implementasi Pilar Ekowisata dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan di Desa Wisata Untuk menjalankan kegiatannya, masing-masing Desa Wisata tersebut menawarkan berbagai jenis pertunjukan yang eukup menarik kepada wisatawan. Secara garis besar jenis-jenis pertunjukan yang ditawarkan kepada seluruh wisatawan dari masing-masing Desa Wisata dapat memenuhi kriteria dari aspek pembangunan berkelanjutan dengan eiri utama mekanisme sharing antara pengelola dengan masyarakat Desa Wisata: Tabell. Matrik Implementasi Pilar Ekowisata dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan di Desa Wisata
,
37
Ekonomi , Sosial dan Lingkungan 1
Homestay (menginap 1 Malam dengan makan 3x dan snack)
a. Local eco vitality b. Experiental richness c. Cultural sensitivity d. Environmental responsibility
Rp 75,000 diserahkan kepada pemilik nunah, Rp 25,000
W1tuk kas desa
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan 2
_Gerabah putar
a. Environmental responsibility b. Cultural sensitivity c. Local eco vitality , d. Experiental richness
Rp 25,000 untuk panitia Rp 10,000 untuk kas desa
Ekonomi, Sosial dan LingIamgan 3
Karawitan/gamelan
4
Ngenger (tingga1 bersama maysrakat dan aktivitas sehari-hari)
a. b. c. d.
Environmental responsibility Cultural sensitivity Local eco vitality Experiental richness
Rp 10,000 untuk panitia dan pemilik Rp 10,000 untuk kas desa
Rp 20,000 untuk pemilik homestay Rp 5,000 untuk kas desa
a. b. c. Ekonomi , Sosial dan LingIamgan
5
Petmainan tradisional
a. b. c. d.
Cultural sensitivity Local eco vitality Experiental richness Environmental responsibility
Rp 5,000 untuk panitia Rp 2,500 untuk kas doss
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
6
Hiking, rafting, outbond
a. b. c. d.
Cultural sensitivity Local eco vitality Experiental richness Environmental responsibility
Rp 10,000 untuk panitia Rp 5,000 untuk kas desa
Ekonomi, Lingkungan dan Sosial 7
Wiwit
a. .Environmental responsibility b. Cultural sensitivity c. Local eco vitality d. Experiental richness Ekonomi, Ling!
8
9
,
WlSata petlanian
Metnbatik
a. b. c. d.
Environmental responsibility Cultural sensitivity Local eco vitality
Rp 50,000 /org
Rp 20,000 untuk pemilik
Iahan Rp 10,000 untuk kas desa
Experiental richness
Ekonomi, Lingkungan dan Sosial Environmental responsibility Cultural sensitivity Local eco vitality Experiental richness
a. b. c. d.
38
Rp 30,000 untuk panitia Rp 10,000 untuk kas desa
.,
10
11
12
13
14
IS
16
17
18
Wisala perahu naga
Ekonomi, Lingkungan dan Sosial a. Environmental responsibility b. Cultural sensitivity c. Local eco vitality d. Experiental richness
Wisala sepeda onthel
Ekonomi, Lingkungan dan Sosial a. Environmental responsibility b. Cultural sensitivity c. Local eco vitality d. Experiental richness
Riasjanur
Ekonomi dan Sosial a. Cultural sensitivity b. Local eco vitality c. Experiental richness
Rp 20,000 untuk pelatih Rp 5,000 untuk kas desa
Menari
Ekonomi dan Sosial a. Cultural sensitivity b. Local eco vitality c. Experiental richness
Rp 25,000 untuk panitia Rp 10,000 untuk kas desa
Api unggun
Ekonomi dan Sosial a. Cultural sensitivity b. Local eco vitality c. Experiental richness
Rp Rp
Tarian gejog lesung
Ekonomi dan Sosial a. Cultural sensitivity b. Local eco vitality c. Experiental richness
Rp 1,000,000 untuk panitia Rp 200,000 untuk kas desa
Jatilan
Ekonomi dan Sosial a. Cultural sensitivity b. Local eco vitality c. Experiental richness
Rp 1,250,000 untuk panitia Rp 250,000 untuk kas desa
Organ tunggal
Ekonomi dan Sosial a. Cultural sensitivity b. Local eco vitality c. Experiental richness
Rp 1,250,000 untuk panitia Rp 250,000 untuk kas desa
Kenduri massal
Ekonomi dan Sosial a. Cultural sensitivity b. Local eco vitality c. Experiental richness
Rp 2,000,000 untuk panitia Rp 500,000 untuk kas desa
Sumber: Pengelola Desa Wisata, 2011
,
39
Rp 10,000 untuk panitia dan pemilik perahu Rp 5,000 untuk kas desa
Rp 15,000 untuk pemilik sepeda Rp 5,000 untuk kas desa
7,500 untuk panitia 2,500 untuk kas desa
Bentuk Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Provinsi Yogyakarta Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Yogyakarta, yang menerangkan bahwa visi Yogyakarta adalah Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa yang Berwawasan Lingkungan. Definisi dari pariwisata berbasis budaya dalam RPJMD tersebut adalah kegiatan pariwisata harus dikembangkan dengan dasar dan berpusat pada budaya Jawa yang selaras dengan sejarah dan budaya Kraton NgaYogyakarta Hadiningrat, kearifan lokal dan nilainilai luhur budaya bangsa serta peningkatan kegiatan pariwisata dilaksanakan dengan menciptakan inovasi-inovasi yang tetap berlandaskan pada wisata budaya, wisata bangunan bersejarah, wisata pendidikan, wisata konveksi, dan wisata belanja. Berdasarkan berbagai hasil analisis mendalam dan kunjungan lapangan langsung ke beberapa Desa Wisata yang ada dan tumbuh di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Desa Wisata yang benar-benar memenuhi aspek dan kriteria ekowisata yang akan menghasilkan konsep pariwisata berkelanjutan di Yogyakarta adalah Desa Wisata Kebonagung di Kabupaten Bantul, Desa Wisata Brayut . di Kabupaten SlemandanDesa Wisata Sambi di Kabupaten Sleman. Kesimpulan tersebut berdasarkan hasil analisis teori ekowisata serta . hasil diskusi mendalam dengan seluruh pengelola serta masyarakat di tiga Desa Wisata yang menjadi sampel penelitian baik di Desa Wisata Kebonagung, Sambi, dan Brayut. Hasil dari analisis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Masing-masing Desa Wisata tersebut memiliki tujuan mengembangkan jenis pariwisata altematif dari berbagai jenis pariwisata yang sudah ada di Yogyakarta. Desa Wisata tersebut menawarkan konsep berwisata tinggal dan menetap sementara waktu (live in) dengan masyarakat desa secara langsung. Periode menetap sementara waktu
40
sangat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan dari wisatawan, dimana biasanya kisaran waktu tinggal sementara wisatawan antara tiga hingga enam hari. Adanya konsep tinggal sementara waktubersama dengan masyarakat ini merupakan bentuk implementasi dari upaya penguatan ekonomi lokal secara mandiri sesuai dengan pilar local economic vitality; 2. Selama menetap bersama dengan masyarakat, wisatawan akan hidup berdampingan secara normal dengan aktivitas masyarakat desa, sehingga diharapkan wisatawan akan dapat merasakan secara langsung bagaimana aktivitas masyarakat desa berjalan setiap harinya sekaligus mempelajari konsep kekerabatan sosial, kekayaan budaya serta kearifan lingkungan yang dimiliki oleh masyarakat di masingmasing Desa Wisata tersebut sebagai impelementasi dari pilar environmental responsibility serta cultural sensitivity; 3. Masing-masing Desa Wisata juga menawarkan berbagai bentukpertunjukan kepada wisatawan yang menggambarkan kekayaan budaya, kearifansosial, dan kearifan lingkungan Desa Wisata. Kegiatan pertunjukan tersebut selain memberikan aspek pendapatan income bagi masyarakat sekaligus sebagai upaya pelestarian nilai-nilai budaya, sosial dan kearifan lingkungan yang menggambarkan berjalannya pilar environmental reponsibility, cultural sensitivity, local economic vitality serta experiental richness; 4. Pada masing-masing Desa Wisata tersebut, kegiatan pariwisata bukan menjadi pekerjaan utama mereka. Pada dasamya masyarakat di masing-masing Desa Wisata tersebut sudah memiliki status pekerjaan utama, mayoritas sebagai petani, sebagian menjadi pedagang, sebagian lagi berstatus wiraswasta, ada pula yang menjadi guide wisata di kota, tukang bangunan, tukang tambal ban dan segala ,
41
jenis pekerjaan lainnya. Meskipun jika dilihat dari sisi kesejahteraan nominal, hampir semua status pekerjaan masyarakat tersebut masih jauh dari standar masyarakat kaya, namun hampir semua masyarakat di Desa Wisata tersebut merasa kaya dan sejahtera karena desanya aman, harmonis, tidak ada persaingan, tidak ada konflik. 5. Kesejahteraan non-ekonomi itulah yang pada gilirannya akan menjadikan masyarakat merasa senang, gembira menjalankan pariwisata di Desa Wisata masing-masing, karena mereka justru berharap dengan adanya Desa Wisata tersebut, keeratan masyarakat, sikap tolong menolong, saling menghargai dan membantu serta berbagai sikap positif lainnya akan semakin kuat terbangun di kalangan masyarakat desa. Sama sekali tidak terbersit adanya orientasi kepada perhitungan profit ekonomi semata, karena yang ada di benak masyarakat dan pengelola adalah bagaimana cara mereka maju bersama-sama dengan adanya Desa Wisata ini. Jika nantinya Desa Wisata mereka menjadi tidak laku, atau kalah bersaing dengan Desa Wisata lainnya, mereka akan bertransformasi kembali menjadi masyarakat desa biasa dengan status pekerjaan utama mereka,atau justru menjadi masyarakat dengan status baru mereka non-pariwisata; 6. Jadi disinilah sebetulnya letak kekuatan utama dari 3 (tiga) Desa Wisata yang dijadikan sampel dimana mereka memandang kegiatan wisata di Desa mereka sebagai sebuah kegairahan, sebuah upaya bersama untuk memberikan berbagai benefit non- ekonomi bagi perkembangan Desa. Masyarakat lebih erat, lebih saling menghargai, lebih saling menghormati, sejahtera bersama-sama adalah indikatorindikator yang menurut mereka lebih penting dibandingkan sekedar indikator-indikator ekonomi semata dalam bentuk tingkat keuntungan, tingginya tingkat hunian, tingginya daya saing Desa mereka, karena berdasarkan fakta di lapangan,
42
jika terjadi kelebihan pengunjung di 3 (tiga) Desa Wisata sampel tersebut, kelebihan pengunjung yang menginap tersebut dengan sukarela akan diberikan kepada Desa Wisata tetangganya, atau misalnya dengan mudah rombongan pengunjung dapat melakukan negosiasi kesepakatan harga menginap di rumah masyarakat jika memang rombongan pengunjung tersebut memiliki keterbatasan anggaran. Berdasarkan input tipe pengelolaan wisata berbasis komunitas dalam bentuk Desa Wisata yang terpilih, rekomendasi kebijakan pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya dan nasional pada umumnya dapat disusun dalam sebuah Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan seseuai Gambar 1. sebagai berikut: Gambar 1. Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan
........ ...........
Pendldlun
43
•
Model inilah nantinya yang diharapkan dapat diterapkan sebagai sebuah kebijakan bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan bukan hanya di Yogyakarta, melainkan di seluruh wilayah di Indonesia khususnya di daerah-daerah tujuan utama wisata. Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan tersebut nantinya akan disusun berdasarkan penggolongan Empat Elemen yaitu: I. Menjadikan isu Pembangunan Berkelanjutan sebagai visi dan tujuan utama dari pola pengembangan dan pengelolaan wisata, disebut sebagai Elemen Utama; 2. Berbentuk wisata yang berbasis masyarakat sebagai Elemen Produk Pariwisata; .
3. Memiliki pilar pelestarian lingkungan, pelestarian budaya, pengayaan atraksi, pendidikan berbasis partisipasi, keeratan masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal sebagai Elemen Kriteria; 4. Didukung sepenuhnya oleh seluruh stakeholders dan shareholder baik masyarakat, pengunjung, pengelola, perguruan tinggi, pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pengusaha pariwisata sebagai Elemen Pendukung.
NiIai-NiIai Budaya, Sosial Dan Kearifan Lingkungan Yang Mendukung Pariwisata Berkelanjutan Di Yogyakarta 1)
NiIai-niIai budaya yang mencerminkan keagungan budaya Jawa baik secara fisik maupun non fisik Sebagai kesimpulan dari diskusi mendalam dengan Bapak Priya Hariyanta sebagai pengelola dari Desa Wisata Kebonagung, Bapak Haryono sebagai pengelola dari Desa Wisata Sambi, Bapak Darmadi sebagai pengelola Desa Wisata Brayut, Bapak Agus Wintarto sebagai penggiat budaya dan lingkungan di lereng Merapi sekaligus bekas ketua DPRD Kabupaten Bantul periode 1999-2004, Bapak Bambang selaku Kepala Seksi Promosi Wisata di Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul serta Mas Thole selaku Sekretaris Himpunan Tani 44
,
Yogyakarta sekaligus penggiat LSM di Yogyakarta. Secara keseluruhan, nilai-nilai budaya tersebut dapat digolongkan lagi menjadi:
a. Nilai-nilai budaya fisik Jawa Keraton sebagai pusat budaya fisik Jawa beserta dengan beberapa bentuk fisik bangunan kuno dan bersejarah lainnya seperti Pasar Beringharjo, Benteng Vastemburg, Taman Sari, serta beberapa bentuk bangunan bersejarah lainnya di Yogyakarta. Beberapa bentuk runiah-rumah penduduk yang masih mengadopsi arsitektur kuno juga dapat digolongkan daya tarik budaya di Yogyakarta. Sementara di Desa Wisata yang menjadi sampel penelitian, indentitas budaya utama muncullewat rumah-rumah asli penduduk yang masih menggambarkan arsitektur kuno masyarakat Jawa seperti bentuk rumah-rumah Joglo di Desa Wisata Brayut dan beberapa di Kebonagung. b. Nilai-nilai budaya Jawa non-fisik Berupa tari-tarian, kesenian karawitan, jathilan, gejog lesung, cokekan, busana khas Jawa serta berbagai jenis makanan dan kuliner khas Jawa seperti apem, gethuk, onde-onde, jadah, cemplon, bakpia, mendoan serta kenduri. Kebiasaan bersepeda onthel juga merupakan salah satu nilai kebudayaan Jawa yang cukup menarik untuk dilestarian. 2)
Nilai-nilai kearifan Iingkungan yang bersumber dari falsafah hidup masyarakat Jawa "Pranoto Mongso adalah sebuah aturan waktu musim yang digunakan petani sebagai patokan mengolah pertanian dengan mendasarkan kepada tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, sehingga alam dapat menjaga keseimbangannya";
45
"Nyabuk gunung adalah sebuah pola bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur sebagai wujud dari upaya konservasi lahan dan menjaga dari bahaya longsor";
"Upacara Merti Desa biasanya dilakukan dengan tujuan bersih-bersih desa dari segala hal yang sifatnya negatif, sekaligus memohon kepada penguasa alam sekitar untuk diberikan keberkahan dan kelimpahan hasil bumi serta alam yang damai sejahtera tanpa ada bencana";
"Upacara Wiwit biasanya dilakukan untuk memulai masa panen padi para petani dengan tujuanmemohon supaya diberikan hasil tani yang melimpah, dijauhkan dari bencana alam serta hasil panen dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat desa seluruhnya";
"Upacara Nyadran, Ruwahan dan Kenduri sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kelimpahan yang telah diberikan baik dalam bentuk kesehatan, kelimpahan hasil bumi, dan segalanya"
3)
Nilai-nilai kearffan sosial yang bersumber kepada falsafah hidup masyarakat Jawa Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penelitian, pada dasarnya masyarakat Jawa secara turun temurun sudah diatur dan dibekali hidup dengan berbagai bentuk ajaran budi pekerti yang nantinya akan menjadi bekal hidup ke1ak kemudian hari. Berbagai bentuk pe1ajaran budi pekerti tersebut dapat dinikmati dari tembang-tembang Macapat yang akan selau dinyanyikan sebagai bentuk pengingat. Secara garis besar dari hasil kesimpulan wawancara dengan beberapa tokoh, nilai-nilai dasar masyarakat Jawa adalah selalu mengutamakan kepentingan bersama, jujur, gotong
46
,
royong, menghargai sesama, andhap asor, tanpa pamrih, integritas, tanggungjawab dan dedikasi, loyal, perduli dengan sesama serta perduli dengan lingkungan. Implementasi Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Secara Nasional Berdasarkan Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan yang direkomendasikan berdasarkan analisis Desa Wisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, nantinya diharapkan dapat diterapkan secara nasional untuk daerah-daerah tujuan wisata lainnya di Indonesia. Tahapan implementasi model tersebut adalah : 1. Diawali dengan adanya pembentukan lokasi tujuan wisata di sebuah daerah dengan mendasarkan kepada visi pariwisata berkelanjutan. Visi pariwisata berkelanjutan artinya pariwisata tersebut harus dapat melestarikan lingkungan, mengembangan kehidupan sosial kemasyarakatan sekaligus memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat; 2. Kemudian dikembangkan model pariwisata berbasis masyarakat dimana nantinya masyarakat akan menjadi subyek utama di dalam pengembangan pariwisata, bukan hanya sekedar obyek penderita; 3. Dengan model pariwisata berbasis masyarakat nantinya akan dapat digunakan selain untuk memberdayakan masyarakat juga memberikan keberlanjutan bagi pelestarian lingkungan, budaya dan sosial; 4. Seluruh stakeholders yang terlibat nantinya diharapkan dapat berperan serta baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholders yang terkait antara lain Pemda, Pemerintah Pusat, Perguruan Tinggi, CSO, Biro/Agen Travel, Komunitas, Kelompok Hobby; 47
,
•
•
5. Dampak yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata berkelanjutan ini adalah terciptanyakemandirian masyarakat dari segala aspek sehingga peran pemerintah lebih bersifat tidak langsung.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1)
Tipe pengelolaan wisata berbasis masyarakat berbentuk Desa Wisata adalah produk pariwisata yang dapat menjadi Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Yogyakarta. Model tersebut dapat berlaku secara nasional menjadi Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di masing-masing daerah, dengan mendasarkan kepada empat elemen yaitu: a) Visi, misi, dan tujuan pembangunan berkelanjutan dari pengembangan dan pengelolaan wisata di masing-masing daerah yang menjadi Elemen Utama; b) Pengembangan wisata berbasis masyarakat sebagai Elemen Produk Pariwisata; c) Pilar pelestarian lingkungan, pelestarian budaya, pengkayaan atraksi kepada wisatawan, meningkatkan keeratan antar masyarakat, memberdayakan ekonomi lokal serta pendidikan berbasis partisipasi sebagai Elemen Kriteria dari pariwisata berbasis masyarakat tersebut; d) Didukung sepenuhnya oleh seluruh stakeholders dan shareholder baik masyarakat, pengunjung, pengelola, perguruan tinggi, pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pengusaha pariwisata sebagai Elemen Pendukung.
2)
Nilai-nilai yang dapat diterapkan untuk mendukung terciptanya Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan tersebut adalah: 48
,
•
a) Nilai-nilai budaya yang berbentuk fisik seperti rumah adat dan berbagai struktur bangunan lainnya, serta nilai-nilai budaya adat non -fisik seperti tari-tarian, kesenian busana khas adat serta berbagai jenis makanan dan kuliner khas adat masing-masing daerah; b) Nilai-nilai kearifan sosial asli masyarakat yang selalu dilestarikan di masing-masing daerah; c) Nilai-nilai kearifan lingkungan masyarakat yang mendukung pengembangan pariwisata berkelanjutan seperti sistem pertanian yang menyesuaikan alam dan lingkungan serta beberapa upacara tradisional di masing-masing daerah. 3)
Nilai-nilai budaya, sosial, dan kearifan lingkungan terbukti memiliki hubungan dengan persepsi wisatawan. Berdasarkan hasil penghitungan model persamaan struktural wisata di Yogyakarta, berdasarkan sampel 164 responden di 3 lokasi Desa Wisata, nilai-nilai sosial masyarakat terbukti memiliki peranan yang lebih dominan dibandingkan aspek budaya dan lingkungan. Hal tersebut harus menjadi dasar pertimbangan utama bagi masing-masing daerah di dalam upaya pengelolaan nilai-nilai budaya, sosial, dan kearifan lingkungan yang mendukung pengembangan industri pariwisatanya.
REKOMENDASI Berdasarkan temuan lapangan di Provinsi DIY, untuk menjadi Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan secara nasional direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1)
Rekomendasi bagi Pemda: menjadikan Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan yang terdiri dari empat elemen tersebutsebagai agenda utama pengembangan pariwisata di masing-masing daerah ke depannya;
49
2)
Rekomendasi bagi Pemerintah Pusat: Model Pengembangan Parwisata Berkelanjutan ini digunakan sebagai salah satu input di dalam penyusunan master plan pengembangan pariwisata nasional. Pengalokasian pendanaan infrastruktur yang diperlukan disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3)
Rekomendasi bagi Perguruan Tinggi: lebih meningkatkan pola kerjasama antara lokasi wisata dengan Perguruan Tinggi tersebut. Wisata dapat berfungsi sebagai media pendidikan langsung berbasis partisipasi bagi mahasiswa sedangkan lokasi wisata dapat menerima manfaat berupa peningkatan kapasitas dan ketrampilan pengelolaan wisata. Dengan adanya kolaborasi ini artinya terjalin sebuah bentuk kerjasama antara institusi pendidikan dengan masyarakat sebagai salah satu unsur pembentuk keberlanjutan;
4)
Rekomendasi bagi pengusaha pariwisata: untuk lebih memahami indikator kesuksesan wisata tidak selalu hal yang sifatnya ekonomi semata, Bagaimana menjadikan masyarakat menjadi lebih sejahteramelalui pariwisata, yang ditandai dengan adanya aktivitas ekonomi yang berkelanjutan, justru menjadi hal yang lebih penting dibandingkan sekedar komersialisasi Desa Wisata itu sendiri;
,
so
DAFTAR PUSTAKA Alfa Arsyadha,Gita.2002. Kajian Prospek dan Arahan Pengembangan Atraksi Wisata Kepulauan Karimunjawa Dalam Perspektif Konservasi. Tugas Akhir Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Undip. Arianto, Agus.2004. Upaya Pemerintah Kabupaten Pacitan Dalam Upaya Pelestarian Budaya Cepotran (Studi Kasus Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pacitan). Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UMM. Afri, Listiana.2005. Pengaruh Obyek Wisata Candi Borobudur Terhadap Perilaku Sosial Ekonomi Pedagang di Kawasan Taman Wisata Candi Borobudur Kabupaten Magelang. Skripsi Sarjana Pendidikan Pacasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang. Abimanyu, Anggito.201O. Problematika Pariwisata Budaya di Yogyakarta. Sarasehan Budaya Yogyakarta Butler, R. W.1975. Tourism as An Agent ofSocial Change, Tourism as a Factor in National and Regional Development. Occasional Paper 4 Peterborough Ontario Department of Geography Trent University. Ben-Akiva, Moshe, & Steven, R. Lerman, 1985. Discrete Choice Analysis: Theory and Application to Travel Demand. The MIT Press,. Bukhari, Zahraini.2005. Strategi Pengembangan Budaya Melayu Unggulan di Kabupaten Bengkalis. Tugas Akhir Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pasca Sarjana IPB.
51
Binarwan,Robby.2008. Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Obyek Wisata Ciater Jawa Barat. Jurnal Kepariwisataan Indonesia Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, vol. 3 No 4 Desember,3-5. Baskoro, BRA & Cecep Rukendi.2008. Membangun Kota Pariwisata Berbasis Komunitas; Sebuah Kajian Teoritis. Jurnal Kepariwisataan Indonesia Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, vol. 3 No I Maret, 5-7. Bappenas,dan ADB.2006. Peningkatan Kualitas Udara Perkotaan Strategi dan Rencana Aksi Lokal Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta. Proyek Kerjasama Perbaikan Kualitas Udara. Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta.2011. Isu Lingkungan Strategis dan Rencana Program Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DIY. Rakor Regional PPEJ KLH, Yogyakarta.Baiquni, M.2009. Belajar dari Pasang Surut Borobudur dan Konsep Pengembangan Pariwisata Borobudur. Penelitian Fakultas Geografi dan Pusat Studi Pariwisata UGM. Barika.2009. Kajian Dampak Pengembangan Sektor Pariwisata di Kota Bengkulu; Studi Kasus Kawasan Wisata Pantai Panjang dan Tapak Paderi. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Creswell, John W.2003. Research Design Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Sage Publication Inc. United Kingdom. CIFOR, 2004. Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat. Laporan Studi CIFOR
, 52
Chaerun Nisa, Muliani.2008. Pengaruh Aktivitas Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Sumberdaya Wisata Pada Obyek Wisata PAl, Kabupaten Tegal. Tugas Akhir Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Undip. Doxey, G.V.l975. A Causation Theory of Visitor Resident Irritants, Methodology and Research Inferences. Sixth Annual Conference Proceedings of The Travel Research & Association. Dahles, Heidi. 1997. Urban Tourism and Image Management in Yogyakarta. National Development, Cultural Heritage and the Presentation of a Tourist Product (dalam Gunawan, Myra P., ed.,) Pariwisata Indonesia: Berbagai Aspek dan Gagasan Pembangunan. Bandung: Pusat Penelitian Kepariwisataan Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung. Direktorat Jenderal Pariwisata.1987. Pariwisata Indonesia. Jakarta Direktorat Jenderal Pariwisata.
Tanah Air
Damanik, Janianton & Helmut F. Weber.2006. Perencanaan Ekowisata; Dari Teori ke Aplikasi. Kerjasama Pusat Studi Pariwisata UGM & Penerbit Andi, Yogyakarta. Dirawan, Gurfan Darma.2006. Strategi Pengembangan Ekowisata (Studi Kasus Suaka Margasatwa Mampie Lampoko). Jurnal Kepariwisataan Indonesia Jakarta. Freeman III, A. Myrick.1993. The Measurement of Environmental and Resources Values: Theory and Methods. Washington, D.C. Greene, William H. 2000. Econometric Analysis. Fourth Edition (International Edition). Prentice Hall International, Inc.
,
53
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition (International Edition). Gidden, Anthony.2004. Teori Strukturasi Untuk analisis Sosial. Topprint Yogyakarta.
,
54