KONVERGENSI INFLASI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI: STUDI EMPIRIS DI NEGARA-NEGARA ASEAN+6
OLEH SOLIHIN H14070078
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
SOLIHIN. Konvergensi Inflasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi: Studi Empiris di Negara-Negara ASEAN+6 (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI).
ASEAN (Association of South East Asia Nations) merupakan organisasi regional kawasan Asia tenggara yang memantapkan perannya dalam mewujudkan integrasi ekonomi Asia. Hal ini ditandai oleh banyaknya kerjasama ekonomi dan politik yang tidak hanya melibatkan negara-negara anggota ASEAN saja, namun telah memperluas kerjasama dengan negara-negara besar di Asia timur seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, pada East Asia Summit (EAS) kedua yang diselenggarakan pada 15 Januari 2007 di Cebu dengan partisipasi negaranegara ASEAN, termasuk Cina, Jepang, Korea, Australia, India, dan New Zealand, telah sepakat untuk memperkuat kerjasama ekonomi yang terbentuk dalam ASEAN+6 (Kawai, 2007). Keseriusan ASEAN untuk membentuk integrasi ekonomi di kawasan Asia juga diwujudkan dalam percepatan pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) yang semula dijadwalkan tahun 2020 menjadi tahun 2015. Namun, untuk mencapai integrasi secara menyeluruh yang berakhir dengan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area), terdapat kriteria konvergensi (Convergence Criteria) yang terdiri atas berbagai indikator perekonomian yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara. Indikator-indikator perekonomian tersebut antara lain tingkat inflasi, tingkat fluktuasi nilai tukar, dan nilai suku bunga. Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang dapat dijadikan landasan oleh suatu negara dalam membuat suatu kebijakan ekonomi. Indikator ini memiliki dampak yang luas terhadap variabel makroekonomi agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga, dan distribusi pendapatan. Beberapa negara dalam membuat kebijakan moneter di era globalisasi sekarang ini, lebih cenderung mengorientasikan kebijakan moneternya pada pencapaian kestabilan harga. Kebijakan tersebut diambil dengan alasan agar negara mampu mencapai tingkat inflasi yang rendah dan mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi. Terkait dengan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Union) di kawasan ASEAN+6, maka negara-negara yang akan bergabung harus memenuhi beberapa kriteria konvergensi. Salah satu diantaranya adalah pencapaian konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba mengidentifikasi apakah telah terjadi konvergensi inflasi di negaranegara ASEAN+6 dan menganalisis faktor yang mendukung dan berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negaranegara ASEAN+6. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel dengan time series 2000-2009 dan cross section sebelas negara ASEAN+6, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Cina, Jepang, Korea Selatan,
Australia, India, dan New Zealand. Adapun data diperoleh dari badan statistik dunia International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Funds (IMF), World Bank, CEIC, UN Data Explorer. Untuk mengetahui tingkat konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6, penelitian ini mengikuti metodologi yang digunakan oleh Kocenda dan Papell (1997). Untuk model penelitian faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi secara umum mengacu pada model penelitian Andersson et al. (2009) dan Honohan et al. (2003). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dinamis (dynamic panel data) melalui pendekatan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil pengujian diantaranya sebagai berikut. Pertama, dengan menggunakan analisis System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM) dalam estimasi twostep noconstant, ternyata didapatkan hasil estimasi nilai koefisien yang lebih kecil dari pada satu, sehingga terjadi konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 atau dengan kata lain inflasi di negara-negara ASEAN+6 adalah konvergen pada periode 2000-2009. Selain itu, variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung dan berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6. Kedua, hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di kawasan ASEAN+6 dilakukan dengan menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM) dalam estimasi twostep noconstant. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa signifikansi pengaruh variabel makroekonomi, seperti lag dependent (inflasi), output gap, nilai tukar efektif nominal, dan suku bunga nominal menunjukkan berpengaruh terhadap pergerakan tingkat inflasi di negaranegara ASEAN+6. Selain itu variabel pengeluaran konsumsi pemerintah (General Government Final Consumption Expenditure) tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan dalam memengaruhi pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Semua pengujian juga didukung oleh pemenuhan asumsi yang ditunjukkan oleh konsistensi (estimasi Arellano-Bond) dan validitas (estimasi sargan) pada model penelitian. Namun, pada penelitian ini masih ditemukan biased pada sampel penelitian sehingga menyebabkan instrumen yang digunakan masih bersifat lemah (Verbeek, 2004) Pentingnya konvergensi inflasi sebagai salah satu syarat bagi negaranegara yang akan berpartisipasi dalam monetary union, membuat negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+6 harus mampu menjaga dan mengendalikan pergerakan inflasi. Efektivitas pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter dengan sasaran tunggal stabilitas harga akan sangat bergantung pada sejauhmana komitmen (kredibilitas) bank sentral di negara-negara ASEAN+6 dalam mengupayakan perkembangan inflasi yang rendah dan stabil dalam kurun waktu tertentu. Kredibilitas kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi memerlukan koordinasi yang kuat antara otoritas moneter (Bank Sentral) dan pemerintah agar target inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai, serta pergerakan laju inflasi yang seragam di negara-negara ASEAN+6. Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan data bulanan atau kuartalan, serta memasukkan variabel-variabel makroekonomi lain yang terkait dengan inflasi, sehingga hasil yang akan diperoleh lebih informatif. Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat mengikutsertakan negara-negara anggota ASEAN lainnya, sehingga hasil estimasi dapat menghasilkan informasi secara menyeluruh.
KONVERGENSI INFLASI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI: STUDI EMPIRIS DI NEGARA-NEGARA ASEAN+6
OLEH SOLIHIN H14070078
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Konvergensi
Inflasi
dan
Faktor-Faktor
yang
Memengaruhi: Studi Empiris di Negara-Negara ASEAN+6 Nama
: Solihin
NIM
: H14070078
Menyetujui, Dosen Pembimbing.
Noer Azam Achsani, Ph.D NIP. 19681229 199203 1 016
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Juni 2011
Solihin H14070078
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Solihin lahir pada tanggal 18 Juli 1989 di Bogor. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan H. Sugandi dan Hj. Aas. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Bendungan 01, kemudian melanjutkan ke SLTP PGRI 1 Ciawi dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 1 Ciawi dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir yang jauh lebih baik. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa IAAS (International Association of Student in Agricultural and Related Sciences) Local Committee IPB sebagai wakil ketua dan aktif dalam organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) sebagai staf divisi Discussion and Analysis (DnA). Penulis mendapatkan beberapa penghargaan prestasi akademik, diantaranya yaitu Juara I Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Young Economist Icon IPB 2010, Finalis Presentasi Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional (PIMNAS) XXIII di Universitas Mahasaraswati Denpasar Bali tahun 2010, Peserta PKM bidang Gagasan Tertulis yang didanai oleh DIKTI tahun 2010, Delegasi IPB dalam the 2nd International Agriculture Student Symposium Universiti Putra Malaysia tahun 2010, dan Juara II Lomba Essay Tingkat Nasional UNS tahun 2009. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk responsi Mata Kuliah Sosiologi Umum (2010-2011).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul yang dipilih pada skripsi ini adalah “Konvergensi Inflasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi: Studi Empiris di Negara-Negara ASEAN+6”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Berbagai pihak telah memberikan kontribusi secara langsung maupun tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Noer Azam Achsani, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang telah dengan sabar serta ikhlas menuntun penulis menyelesaikan skripsi ini dari segi ide, saran, dan kritik yang membangun. 2. Muhammad Firdaus, Ph.D sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Ranti Wilasih, M.Si selaku komisi pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik. 4. Indra, M.Si yang telah memberikan kemudahan dalam mengakses dan membantu dalam proses pengolahan data. 5. Ibunda Hj. Aas dan Ayahanda H. Sugandi yang selalu mencurahkan kasih sayang, mendoakan, dan memberikan dukungan penuh setiap waktu. 6. Semua dosen departemen Ilmu Ekonomi IPB yang senantiasa ikhlas memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis. 7. Sahabat-sahabat satu bimbingan Retni Cristina dan Riska Dewi Permata yang selalu mendukung, menyemangati, memberikan bantuan teknis, dan menjadi teman diskusi dalam proses penyelesaian skripsi ini. 8. Seluruh keluarga penulis yang senantiasa memberikan doa dan semangat untuk segera menyelesaikan studi tepat waktu.
9. Kakak-kakak kelas penulis Mutiara, Ratna, dan Fitria yang telah bersedia membantu dan menjadi teman diskusi penulis. 10. Teman-teman IAAS LC IPB yang banyak memberikan pengalaman, motivasi, serta kenangan indah selama penulis kuliah di IPB. 11. Keluarga Besar Ilmu Ekonomi 44 yang memberikan dukungan, canda serta tawa selama kuliah. Khususnya Marissa, Sri Retno, dan Reyland yang selalu bersedia untuk membantu selama penulis masuk di Departemen Ilmu Ekonomi. 12. Teman-teman wisma Alma yang selalu memberikan keramaian dengan tawa bahagia di tengah kumpul bersama. Teman-teman asrama TPB, Ferry, Rizki, Ganjar atas canda dan tawa selama menjalani tingkat persiapan. Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu namun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberikan balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
Solihin H14070078
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................
i
DAFTAR TABEL .....................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
v
DAFTAR ISTILAH ..................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................
5
1.3. Tujuan Penulisan .........................................................................
6
1.4. Manfaat Penulisan .......................................................................
6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
8
2.1. Konsep Integrasi Ekonomi ..........................................................
8
2.2. Teori Optimum Currency Area (OCA) .........................................
10
2.3. Pasar Tunggal ASEAN ................................................................
12
2.4. Inflasi ..........................................................................................
13
2.4.1. Konsep Inflasi ....................................................................
13
2.4.2. Consumer Price Index (CPI) ..............................................
14
2.4.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar ......................................
15
2.4.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output ................................
16
2.4.5. Kaitan Inflasi dengan Suku Bunga .....................................
17
2.4.6. Kaitan Inflasi dengan Aggregate Demand ..........................
18
2.5. Konvergensi Inflasi .....................................................................
19
2.6. Metode Data Panel Dinamis ........................................................
20
2.6.1. First-differences GMM (AB-GMM) ..................................
23
2.6.2. System-GMM (SYS-GMM) ...............................................
30
2.7. Penelitian Terdahulu ....................................................................
32
2.8. Kerangka Pemikiran ....................................................................
36
ii
III. METODE PENULISAN .....................................................................
38
3.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................
38
3.2. Model Penelitian .........................................................................
39
3.2.1. Model Konvergensi Inflasi ..................................................
39
3.2.2. Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi .................
41
3.3. Metode Analisis Data ..................................................................
44
3.3.1. Metode Hodrick-Prescott Filter ..........................................
44
3.3.2. Granger Causality Test pada Data Panel .............................
45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................
47
4.1. Kondisi Umum Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ....................
47
4.2. Hubungan Inflasi dengan Output Gap dan Suku Bunga Nominal .
52
4.3. Hasil Estimasi Penelitian .............................................................
58
4.3.1. Hasil Granger Causality Test pada Data Panel ....................
58
4.3.2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi .....................................
61
4.3.3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi .....
65
4.3.3.1. Variabel Lag Dependent (Inflasi) ...........................
67
4.3.3.2. Variabel Output Gap ..............................................
69
4.3.3.3. Variabel Nominal Effective Exchange Rate ............
72
4.3.3.4. Variabel Suku Bunga Nominal ...............................
73
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
76
5.1. Kesimpulan .................................................................................
76
5.2. Saran ...........................................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
78
LAMPIRAN .............................................................................................
81
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa ...........................................
9
2.2. Penelitian Empiris Terkait ..................................................................
36
3.1. Variabel-Variabel Ekonomi dalam Penelitian .....................................
39
4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 dan Periode 2005-2009 .......................................
47
4.2. Hasil Granger Causality Test .............................................................
59
4.3. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi dengan SYS-GMM ......................
63
4.4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi ....................
66
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Perkembangan Inflasi ASEAN+6 .......................................................
3
2.1. Tingkatan Integrasi Ekonomi .............................................................
10
2.2. Kurva Aggregate Demand ..................................................................
18
2.3. Kerangka Pemikiran ...........................................................................
37
4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 .............................................................................
48
4.2. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 ...........................................................
50
4.3. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2005-2009 ...........................................................
51
4.4a. Hubungan Output Gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ......
53
4.4b. Hubungan Output Gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ......
54
4.5a. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 .......................................................................................
56
4.5b. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 .......................................................................................
‘
57
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil Granger Causality Test ................................................................
82
2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 .........
91
3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 .............................................................................................
94
vi
DAFTAR ISTILAH
No.
1.
Istilah
AB GMM
Keterangan
Arellano-Bond
Generalized
Method
of
Moments 2.
AEC
ASEAN Economic Community
3.
ASEAN
Association of Southeast Asian Nations
4.
CEPEA
Comprehensive Economic Partnership in East Asia
5.
6.
Consumer Price Index
Suatu ukuran harga rata-rata berbagai komoditi
(CPI)
yang biasanya dibeli rumah tangga.
Currency union
Penyatuan mata uang menjadi mata uang tunggal.
7.
Gap
Senjang
8.
GGFCE
General
Government
Final
Consumption
Expenditure (Pengeluaran Pemerintah) 9.
GMM
Generalized Method of Moments
10.
Hodrick-Prescott Filter Suatu metode untuk memisahkan komponen trend dan siklikal
11.
Monetary union
Bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan/persamaan mata uang.
12.
NEER
Nominal Effective Exchange Rate (Nilai Tukar)
13.
Optimum Currency Area
Suatu kawasan yang terdiri dari negara-negara
.
yang berintegrasi dan mempunyai mata uang sama.
14.
Single Currency
Mata uang tunggal yang digunakan oleh negara-negara yang berintegrasi.
15.
SYS GMM
System Generalized Method of Moments
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Krisis keuangan Asia yang terjadi pada tahun 1997-1998, telah
mengajarkan sebuah pelajaran penting bagi negara-negara di Benua Asia untuk perlu memperkuat kerjasama moneter dan keuangan dalam rangka menjaga stabilitas keuangan regional. Gejolak nilai tukar merupakan efek penularan (contagion effect) dari krisis yang terjadi di Thailand sehingga menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang mengkhawatirkan (Darussalam, 2010). Penguatan kerjasama moneter dan keuangan dirasa perlu dilakukan untuk mengupayakan kestabilan ekonomi akibat belum kuatnya pondasi keuangan global. Upaya penguatan tersebut hanya dapat dilakukan dengan membentuk suatu integrasi ekonomi yang diarahkan kepada pola penyeragaman kebijakan untuk menghadapi arus globalisasi dan persaingan perdagangan bebas. ASEAN (Association of South East Asia Nations) merupakan organisasi regional kawasan Asia tenggara yang memantapkan perannya dalam mewujudkan integrasi ekonomi Asia. Hal ini ditandai oleh banyaknya kerjasama ekonomi dan politik yang tidak hanya melibatkan negara-negara anggota ASEAN saja, namun telah memperluas kerjasama dengan negara-negara besar di Asia timur seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, pada East Asia Summit (EAS) kedua yang diselenggarakan pada 15 Januari 2007 di Cebu dengan partisipasi negaranegara ASEAN, termasuk Cina, Jepang, Korea, Australia, India, dan New Zealand, telah sepakat untuk memperkuat kerjasama ekonomi yang terbentuk dalam ASEAN+6 (Kawai, 2007). Pertemuan EAS juga menghasilkan dukungan
2
kepada ASEAN sebagai pendorong integrasi ekonomi di kawasan Asia dan memutuskan untuk memulai studi Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA). Lingkup CEPEA itu sendiri mencakup kerjasama ekonomi, fasilitasi perdagangan dan investasi, serta liberalisasi perdagangan dan investasi (Toh, 2009). Keseriusan ASEAN untuk membentuk integrasi ekonomi di kawasan Asia juga diwujudkan dalam percepatan pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) yang semula dijadwalkan tahun 2020 menjadi tahun 2015. Apabila AEC ini dapat terwujud, maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara anggota ASEAN. Namun, untuk mencapai integrasi secara menyeluruh yang berakhir dengan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area), terdapat kriteria konvergensi (convergence criteria) yang terdiri atas berbagai indikator perekonomian yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara. Indikatorindikator perekonomian tersebut antara lain tingkat inflasi, tingkat fluktuasi nilai tukar, dan nilai suku bunga. Werdaningtyas (2000) mengemukakan bahwa kriteria tersebut dibuat untuk memastikan negara-negara yang akan bergabung berada dalam kondisi ekonomi dan keuangan yang stabil, serta terciptanya harmonisasi antara negara satu dan lainnya sebelum langkah penggabungan diambil. Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang dapat dijadikan landasan oleh suatu negara dalam membuat suatu kebijakan ekonomi. Indikator ini memiliki dampak yang luas terhadap variabel makroekonomi agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing,
3
tingkat bunga, dan distribusi pendapatan. Beberapa negara dalam membuat kebijakan
moneter
di
era
globalisasi
sekarang
ini,
lebih
cenderung
mengorientasikan kebijakan moneternya pada pencapaian kestabilan harga. Kebijakan tersebut diambil dengan alasan agar negara mampu mencapai tingkat inflasi yang rendah dan mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi. Persentase 40 30 20 10 12 0 8
-10
4 0 -4 2004
Tahun 2005 BRUNEI LAOS FILIPINA VIETNAM KOREA NEW
2006
2007
KAMBOJA MALAYSIA SINGAPURA CINA AUSTRALIA
2008
2009
INDONESIA MYANMAR THAILAND JEPANG INDIA
Sumber: World Bank 2011, diolah
Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi ASEAN+6 (persentase) Pada Gambar 1.1. sumbu vertikal adalah tingkat inflasi (dalam persen) dan sumbu horizontal menunjukkan tahun. Gambar tersebut memberikan informasi bahwa perkembangan inflasi di negara-negara ASEAN+6 umumnya mengalami penurunan di akhir tahun 2009. Selain itu, penurunan laju perkembangan inflasi di negara-negara ASEAN+6 cenderung bergerak kearah yang sama, sehingga kemiripan tingkat inflasi antar negara anggota ini dapat dijadikan sebagai patokan
4
negara-negara ASEAN+6 untuk menuju tingkatan integrasi ekonomi yang lebih tinggi. Berdasarkan kajian yang dilakukan Ningsih (2010), tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 (Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, New Zealand) pada periode 1997 hingga 2008 adalah semakin konvergen. Namun, dari penelitian Ningsih tersebut belum diketahui secara pasti apakah faktor-faktor yang mendukung dalam pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara tersebut. Holmes (2008) menemukan bahwa konvergensi tingkat inflasi di Uni Eropa dalam jangka panjang didorong oleh suatu trend umum yang stokastik (single common stochastic trend). Kocenda dan Papell (1997), Exchange Rate Mechanism (ERM) atau mekanisme nilai tukar telah terbukti mendukung terjadinya konvergensi inflasi di negara-negara Uni Eropa. Untuk menilai prospek pencapaian konvergensi inflasi di kawasan ASEAN+6 dan menentukan respon yang tepat dari kebijakan moneter, sangat penting untuk menentukan sejauh mana inflasi di negara-negara ASEAN+6 didorong oleh tekanan dari penawaran dan permintaan. Selain itu juga, sejauh mana tekanan yang disebabkan oleh pihak asing terhadap sumber domestik. Secara teori, perubahan laju inflasi dapat disebabkan oleh banyak faktor yang tidak seluruhnya dalam kendali bank sentral suatu negara. Penentuan seberapa besar inflasi yang terjadi akan dilihat dari sisi permintaan dan penawaran agregat perekonomian. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan inflasi suatu negara berasal dari variabel domestik dan variabel eksternal. Variabel-variabel tersebut diantaranya
5
adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar mata uang, suku bunga, jumlah uang beredar, dan perubahan atau guncangan ekonomi negara lain. Mengingat konvergensi inflasi menjadi salah satu kriteria pembentukan mata uang tunggal, kajian mengenai konvergensi inflasi dan faktor yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi di Asia menjadi sangat penting dan menarik untuk diteliti. Untuk itu, penelitian ini akan secara fokus menganalisis konvergensi inflasi dan faktor yang mendukung dan berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi. Selain itu, penelitian ini juga akan mencoba menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di kawasan Asia dengan mengambil studi kasus negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+6, yaitu negara anggota ASEAN itu sendiri ditambah dengan enam negara lainnya seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan New Zealand. Kajian mengenai konvergensi inflasi serta faktor yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi ini diharapkan akan memberikan informasi kepada negara-negara ASEAN+6, sehingga dapat mengarahkan kebijakan moneternya untuk mencapai pembentukan mata uang tunggal sesuai dengan apa yang dicita-citakan dari integrasi ekonomi.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan keseluruhan latar belakang di atas, terlihat bahwa harapan
besar akan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area) di kawasan ASEAN+6, namun harus memenuhi beberapa kriteria konvergensi. Salah satu diantaranya adalah pencapaian konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti konvergensi inflasi, namun
6
penelitian
mengenai
konvergensi
inflasi
dan
faktor
yang
mendukung
pembentukan konvergensi inflasi di kawasan Asia sendiri masih relatif terbatas. Oleh sebab itu, secara umum pokok permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah konvergensi inflasi telah terjadi diantara negara-negara ASEAN+6 dan faktor apakah yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut? 2. Apa faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2009?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki
tujuan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi terjadinya konvergensi inflasi diantara negara-negara ASEAN+6 dan mengetahui faktor
yang mendukung pembentukan
konvergensi inflasi di kawasan tersebut. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2009.
1.4.
Manfaat Penulisan Manfaat penulisan penelitian ini dapat berguna bagi beberapa pihak, yaitu
sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah negara-negara ASEAN+6, sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengambilan kebijakan moneter di masing-masing negara.
7
2. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai kondisi perkembangan kerjasama negara-negara ASEAN+6 menuju integrasi ekonomi yang menyeluruh. 3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai konvergensi inflasi di ASEAN+6, serta dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis konvergensi inflasi dan faktor-faktor
memengaruhi di negara-negara ASEAN+6 sebagai salah satu kriteria yang harus dipenuhi dalam membentuk suatu unit moneter regional di kawasan tersebut. Adapun ruang lingkup penelitian yaitu dengan mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Terkait dengan Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA), maka penelitian ini akan melibatkan negara-negara yang tergabung didalamnya, seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, serta New Zealand. Adanya keterbatasan data menyebabkan penelitian ini tidak memasukkan negara-negara anggota ASEAN lainnya.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Integrasi Ekonomi Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi adalah kebijakan komersial
perdagangan
yang secara diskriminatif mengurangi atau
menghapuskan
hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara pihak-pihak tertentu saja, yakni di antara negara-negara yang memutuskan untuk bersatu membentuk integrasi ekonomi tersebut. Integrasi ekonomi juga merupakan sebuah bentuk proses kerjasama antar negara untuk mencapai tingkat kemakmuran dan stabilitas yang tinggi diantara masing-masing negara anggota. Darussalam (2010) proses integrasi yang terjadi di kawasan Eropa serta di belahan bumi lainnya menunjukkan bahwa perekonomian antar negara maupun antar kawasan saling terbuka. Adanya kecenderungan peningkatan kerjasama dan ketergantungan ekonomi suatu negara ke negara lainnya membuat konsep dasar integrasi ekonomi di dunia menjadi satu konsep yang menawarkan manfaat lebih dari suatu kerjasama ekonomi maupun politik. Tingkatan integrasi ekonomi itu sendiri bervariasi mulai dari pengaturan perdagangan preferensial, yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan kawasan atau area perdagangan bebas, kemudian menjadi persekutuan pabean, pasaran bersama dan pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan (uni) ekonomi secara menyeluruh. Secara lebih ringkas tahapan integrasi ekonomi Bela Balassa dapat dilihat pada Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa Tahapan
Keterangan
Preferential
Negara-negara
Trading Area
hambatan perdagangan yang berlangsung diantara mereka,
(PTA)
dan memberikan keistimewaan untuk produk tertentu dari
yang
sepakat
menurunkan
hambatan-
negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif. Free Trade Area Semua hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif (FTA)
diantara
negara-negara
anggota
telah
dihilangkan
sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota. Customs Union
Semua negara anggota mereka hendak mempertahankan atau menghilangkan semua hambatan pergerakan komoditi antar negara, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan negara terhadap negara-negara luar yang bukan anggota.
Common Market Bentuk kerja sama bukan hanya perdagangan barang saja yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan aliran modal. Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien. Economic Union
Bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan
atau
persamaan
peraturan
dalam
bidang
perpajakan, tenaga kerja, jaminan sosial, dan lain-lain.
Monetary Union
Bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan/ persamaan mata uang (penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial).
Sumber: Hamdy (2004)
Teori selanjutnya, tahapan integrasi yang hampir mirip dengan Bela Balassa yaitu teori yang dikemukakan oleh Griffin dan Pustay. Integrasi ekonomi
10
tersusun dalam lima tingkatan, yaitu kawasan perdagangan bebas, persekutuan pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni politik yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. TINGGI Uni Politik
Meliputi integrasi politik dan ekonomi
Uni Ekonomi
Pasaran pabean + mengkoordinasikan kebijakan ekonomi diantara negaranegara anggota
Pasaran Bersama
Persekutuan pabean + menghapuskan hambatan pergerakan faktor produksi di antara negara-negara anggota
Persekutuan Pabean
Kawasan perdagangan bebas + menyeragamkan kebijakan perdagangan untuk negara-negara bukan anggota
Kawasan Perdagangan Bebas
Menurunkan hambatan tarif dan non tarif terhadap sesama negara anggota, namun masing-masing negara berhak menentukan sendiri kebijakan perdagangannya terhadap negara bukan anggota
RENDAH Sumber: Griffin dan Pustay (2002) dalam Hanie (2006). Gambar 2.1. Tingkatan Integrasi Ekonomi
2.2.
Teori Optimum Currency Area (OCA) Darussalam (2010) pada dasarnya teori Optimum Currency Area terkait
dengan bagaimana perekonomian suatu negara dengan wilayahnya diberikan
11
independensi atau kebebasan dengan tujuan membentuk integrasi moneter untuk berbagi satu mata uang bersama. Menurut Mongelli (2008), Optimum Currency Area mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang optimal untuk mata uang tunggal dan mempunyai guncangan supply dan demand yang simetrik serta memenuhi beberapa kriteria atau kondisi tertentu. Kriteria tersebut meliputi: 1. Fleksibilitas harga dan upah 2. Mobilitas faktor produksi termasuk tenaga kerja 3. Integrasi pasar keuangan 4. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan eksternal factor mobility yang rendah 5. Diversifikasi produksi dan konsumsi 6. Kesamaan tingkat inflasi 7. Mencapai integrasi fiskal dan politik Hanie (2006) single currency berarti penyatuan kebijakan moneter dan tidak ada oportunitas dari suatu bagian pada area mata uang bersama untuk mengubah nilai tukar dengan bagian lain. Pembentukan Single currency akan menjadi masalah yang besar jika negara atau wilayah tersebut mengalami guncangan yang asimetris. Namun, hal ini tidak akan menjadi masalah jika tenaga kerja dalam negara yang terpengaruh dapat berpindah secara bebas ke negara lain. Jika upah dan tingkat harga adalah fleksibel dan dapat menyesuaikan terhadap guncangan atau jika kebijakan fiskal dapat menggeser sumber daya untuk area yang terkena guncangan dari area yang tidak terkena guncangan. Gagasan mengenai OCA yang akan membuat nilai mata uang menjadi optimal inilah yang
12
kemudian mendasari adanya integrasi ekonomi yang dilakukan oleh banyak negara di belahan dunia dengan tingkatan yang berbeda-beda.
2.3.
Pasar Tunggal ASEAN Menurut Achsani (2008), Pasar Tunggal ASEAN dapat digambarkan
sebagai satu kawasan ekonomi tanpa memperhatikan batas antar negara, dimana setiap penduduk maupun sumber daya dari setiap negara anggota bisa bergerak bebas sebagaimana dalam negeri sendiri. Kerjasama ekonomi ASEAN dimulai dengan disahkannya deklarasi Bangkok tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan budaya. Dalam
perkembangannya,
kerjasama
ekonomi ASEAN
diarahkan pada
pembentukan komunitas ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yang pelaksanaannya berjalan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerjasama dibidang politik keamanan dan sosial budaya. Pasar tunggal ASEAN didasari oleh empat pilar utama, yaitu: 1. Pergerakan bebas barang dan jasa, dalam hal ini tidak ada lagi hambatan seperti pajak, bea masuk, tarif, quota, dan lain-lain. Sehingga konsumen masyarakat dapat memperoleh harga yang terbaik dan termurah. 2. Kebebasan dalam perpindahan tenaga kerja, konsep ini mendorong terjadinya mobilitas tenaga kerja yang memungkinkan para pekerja untuk memperoleh pekerjaan yang terbaik sesuai dengan kualitas yang dimilikinya. Dalam hal ini setiap pekerja dari suatu negara bebas untuk mencari pekerjaan di negaranegara lain dalam kawasan ASEAN.
13
3. Kebebasan mendirikan dan menetapkan layanan dan penyetaraan ijazah secara timbal balik. Konsep ini memberi jaminan kebebasan bagi para profesional seperti dokter, akuntan, dan pengacara dari suatu negara untuk berusaha di negara-negara ASEAN lainnya tanpa ada diskriminasi kewarganegaraan. 4. Pergerakan bebas modal. Konsep ini memungkinkan untuk terjadinya perpindahan modal dengan bebas dari suatu negara anggota ASEAN ke negara anggota lainnya demi mencapai efisiensi.
2.4.
Inflasi
2.4.1. Konsep Inflasi Mishkin (2004) mendefinisikan inflasi sebagai kenaikan tingkat harga yang kontinu dan terus menerus memengaruhi individu-individu, bisnis, dan pemerintah. Hal tersebut mengakibatkan semakin lemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Inflasi diakibatkan oleh dua faktor, yaitu sisi permintaan (demand pull inflation) dan sisi penawaran (cost push inflation). a. Demand-pull inflation Jenis inflasi ini biasa dikenal sebagai Philips Curve inflation, yaitu merupakan inflasi yang dipicu oleh interaksi permintaan dan penawaran domestik jangka panjang. Inflasi dari sisi permintaan ini terjadi apabila secara agregrat terjadi peningkatan terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang mendorong produsen untuk menambah dana produksi yang menyebabkan pergeseran
kurva
demand.
Dalam
konteks makroekonomi,
kondisi
ini
digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan
14
total (aggregate demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian sehingga mengakibatkan permintaan hanyalah akan meningkatkan harga saja. b. Cost-push inflation Inflasi dari sisi penawaran juga bisa disebut supply-shock inflation merupakan inflasi penawaran yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya pengadaan barang dan jasa. Peningkatan biaya produksi itu sendiri dapat disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, tuntutan kenaikan upah oleh buruh, peningkatan harga bahan baku impor akibat depresiasi nilai tukar domestik dan lain sebagainya. Pergeseran kurva penawaran yang secara potensial akan mengakibatkan inflasi disertai kelesuan usaha dalam perekonomian yang ditunjukkan dengan menurunnya sejumlah output. 2.4.2. Consumer Price Index (CPI) Mankiw (2003) Consumer Price Index (CPI) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. CPI berupa data yang mengukur rata-rata perubahan harga yang dibayarkan oleh konsumen (dalam ratarata) untuk sekelompok barang dan jasa tertentu. CPI disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK), yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh rata-rata konsumen di suatu negara, termasuk Indonesia. IHK dapat digunakan untuk mengukur inflasi bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan. Perhitungan laju inflasi dengan proksi IHK dapat dirumuskan sebagai berikut: =
−
100% … … … … … … … … … … … … … … … . (2.1)
LIt
: Laju inflasi periode t,
IHKt
: Indeks Harga Konsumen periode t,
IHKt-1 : Indeks Harga Konsumen periode t-1.
15
2.4.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Fauzi (2007), nilai tukar merupakan salah satu faktor penentu inflasi yang berasal dari sisi penawaran. Dengan demikian, terjadinya perubahan nilai tukar dapat memengaruhi laju inflasi. Hal ini dikarenakan apabila terjadi penurunan nilai tukar atau depresiasi maka biaya impor untuk barang-barang impor baik berupa bahan baku impor ataupun barang setengah jadi impor meningkat. Akibat dari peningkatan biaya impor ini adalah kenaikan biaya produksi. Selanjutnya kenaikan biaya produksi ini akan mendorong terjadinya peningkatan harga di dalam negeri sehingga menimbulkan inflasi. Pada penelitian ini akan digunakan nilai tukar efektif nominal atau Nominal Effective Exchange Rate, dimana nilai tukar ini merupakan indeks (diukur relatif terhadap periode dasar) dari rata-rata tertimbang kurs nominal terhadap mata uang dari mitra dagang utama (major trading partners). Nugraha (2006) kurs efektif nominal mengukur harga dari mata uang dalam negeri terhadap beberapa negara (multilateral) mitra dagang utama. Kurs efektif nominal pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari kurs relatif dan dapat dirumuskan sebagai berikut (Moosa, 2004): =
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.2) +
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.3)
wi = +
=
, ,
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.4)
16
dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke t, m adalah jumlah mata uang negara mitra dagang utama, wi adalah rata-rata perdagangan yang didenominasikan dalam mata uang negara i pada waktu t, Vit adalah kurs relatif dari mata uang negara i pada waktu t, Si adalah kurs pada spot market saat ini, S0 adalah kurs pada periode dasar, Xi adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan Mi adalah nilai impor dari negara i. 2.4.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output (GDP Gap) Menurut Mankiw (2003) Gross Domestic Product (GDP) merupakan nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. GDP potensial adalah GDP riil yang dapat diproduksi perekonomian jika sumberdaya produktif dipergunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. Selain itu, GDP potensial dapat juga diartikan sebagai sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka menengah perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu keseimbangan internal dan eksternal (Lipsey, 1995). Senjang GDP atau senjang output adalah perbedaan antara output potensial dengan output aktual atau output sebenarnya. Perhitungan senjang GDP ini dapat dirumuskan sebagai berikut: =
−
dimana, Y
: GDP aktual riil
Y*
: GDP potensial
∗
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.5)
17
Dalam jangka pendek, perkiraan antara gap antara output riil dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi. Senjang GDP dan tingkat inflasi berhubungan positif yaitu ketika senjang GDP bernilai positif, maka hal ini akan berdampak positif terhadap tingkat inflasi. Dengan kata lain, perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung akan menekan laju inflasi. Ketika perekonomian sedang dalam kondisi booming, permintaan faktor produksi akan meningkat dan hal ini pada akhirnya akan mendorong kenaikan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika perekonomian sedang dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Hal ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya output gap dalam suatu periode. 2.4.5. Kaitan Inflasi dengan Suku Bunga Para ekonom menyebutkan tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan dalam daya beli masyarakat sebagai tingkat bunga riil (real interest rate). Jika i menyatakan tingkat bunga nominal, r tingkat bunga riil, dan π laju inflasi, maka hubungan diantara ketiga variabel ini dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2003): r = i − π … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.6) Persamaan di atas dapat diatur kembali menjadi: i = r + π … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.7) maka dapat dilihat bahwa tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil dan tingkat inflasi. Pada persamaan di atas terlihat bahwa tingkat bunga nominal merupakan penjumlahan di antara tingkat bunga riil dan laju inflasi yang menunjukkan bahwa
18
tingkat bunga dapat berubah karena dua alasan, yaitu tingkat bunga riil yang berubah atau inflasi yang berubah. Sehingga terdapat hubungan positif antara tingkat bunga nominal dengan inflasi dimana kenaikan satu persen dalam laju inflasi akan menyebabkan kenaikan satu persen dalam tingkat bunga nominal (Fauzi, 2007). 2.4.6. Kaitan Inflasi dengan Aggregate Demand Trihadmini (2004) permintaan agregat atau aggregate demand adalah kuantitas output total atau agregat yang ingin dibeli pada tingkat harga tertentu, dimana hal lain dianggap konstan (ceteris paribus). Samuelson dan Nordhaus (1992) dalam Trihadmini (2004), permintaan agregat merupakan pengeluaran yang diinginkan di seluruh sektor, yang meliputi konsumsi, investasi domestik swasta, pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa, dan ekspor. (a) P
P
(b)
P1 AD1
P0 AD
AD 0
Y
0 Y1
0
Y
Y0
Sumber: Miskhin (2004)
Gambar 2.2. Kurva Aggregate Demand Kurva aggregate demand menunjukkan hubungan antara tingkat harga dengan kuantitas barang dan jasa yang diminta (tingkat output), dimana hal-hal lain dianggap konstan. Kurva permintaan agregat mempunyai kemiringan yang
19
negatif (downward sloping), dimana hal tersebut menunjukkan bahwa apabila tingkat harga mengalami kenaikan, maka permintaan agregat yang diinginkan mengalami penurunan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2. (bagian a). Selain itu, kemiringan negatif dari kurva AD juga disebabkan oleh efek penawaran uang, apabila penawaran uang konstan sementara tingkat harga mengalami kenaikan, maka penawaran uang riil akan mengalami penurunan, sehingga memengaruhi permintaan riil terhadap barang dan jasa juga akan menurun. Sementara itu, pada Gambar 2.2. (bagian b) menunjukkan pergeseran kurva AD secara keseluruhan, dimana pergeseran tersebut menunjukkan peningkatan permintaan agregat sebagai akibat adanya perubahan variabelvariabel yang semula diasumsikan konstan, seperti variabel kebijakan (fiskal dan moneter) dan variabel eksternal (seperti output luar negeri, nilai modal). Untuk melihat kaitan permintaan agregat terhadap pembentukan inflasi, maka proxy yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah General Government Final Consumption Expenditure (GGFCE).
2.5.
Konvergensi Inflasi Hanie (2006) konvergensi (convergence) dapat diartikan sebagai suatu
kecenderungan dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik yang sama. Untuk mencapai integrasi ekonomi, kriteria konvergensi menjadi salah satu syarat pembentukan mata uang tunggal, baik konvergensi nominal (tingkat inflasi dan suku bunga) maupun konvergensi riil (pendapatan per kapita, produktivitas pekerja, dan tingkat harga komparatif) (Angeloni et al. 2005). Penelitian ini akan fokus membahas konvergensi inflasi, dimana jika tingkat
20
inflasinya serupa, atau bergerak kearah yang sama maka akan lebih mudah menentukan target inflasi bersama dan kebijakan yang cocok bagi seluruh negara anggota.
2.6.
Metode Data Panel Dinamis Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi
ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama di observasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut unbalanced panel. Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni. Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak kelebihan. Kelebihan dari penggunaan data panel adalah: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section. 2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien.
21
3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics of adjustment. 4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series. 5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models) yang lebih kompleks. Indra (2009) relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen diantara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, perhatikan model data panel dinamis sebagai berikut: = dengan
+ ′
,
+
; i = 1, … , N ; t = 1, … . T
… … … (2.8)
menyatakan suatu skalar, ′ menyatakan matriks berukuran 1 x K dan
matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini,
diasumsikan mengikuti model one
way error component sebagai berikut = dengan
~
+ 0,
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.9) menyatakan pengaruh individu dan
(0,
~
)
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model (REM) terkait perlakuan terhadap
. Dalam model dinamis, situasi ini secara
substansi sangat berbeda, karena
merupakan fungsi dari
maka
,
juga
22
merupakan fungsi dari
. Karena
korelasi antara variabel regresor
adalah fungsi dari dan
,
maka akan terjadi
, hal ini akan menyebabkan penduga
least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkosisten, bahkan bila
tidak berkorelasi serial sekalipun.
Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen =
,
=
dengan
;| | < 1 ;
+
+
= 1, … . .
~
di mana
0,
bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi =
∑
∑ ∑
( ∑
− (
= 1/ ∑
dengan
)
− , )
,
−
,
dan
,
,
dan
~
(0,
) saling
diberikan oleh
… … … … … … … … … … … … . . (2.11)
= 1/ ∑
Untuk menganalisis sifat dari
… … … … … … … … . (2.10)
.
,
, dapat disubstitusi persamaan (2.10) ke
(2.11) untuk memperoleh persamaan di bawah ini: =
+
1/(
) ∑ ∑ 1/( ) ∑
( ∑
− ̅) , ( , −
,
− )
,
… … … … … … . (2.12)
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N ⟶ ∞ dan T tetap, bentuk pembagian pada persamaan di atas (2.12) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila N⟶ ∞. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (Nickel (1981) dan Hsiao (1986) dalam Verbeek (2004)) bahwa plim →
1
(
− ̅)
,
−
,
=−
( − 1) − + (1 − )
≠ 0 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.13) sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.
23
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) menyarankan suatu pendekatan Generalized Method of Moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite), dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM (Indra, 2009). Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: 1. First-differences GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM) 2.6.1. First-differences GMM (AB-GMM) Untuk mendapatkan estimasi tertentu,
yang konsisten di mana N → ∞ dengan T
akan dilakukan first-difference pada
Persamaan
(2.10) untuk
mengeliminasi pengaruh individual ( ) sebagai berikut: −
,
=
(
,
−
,
)+(
−
,
) ; t = 2, … , T … (2.14)
24
namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga inkonsisten karena
dan
,
yang
berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila
,
T → ∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, digunakan sebagai instrumen. Di sini,
berkorelasi dengan (
,
tetapi tidak berkorelasi dengan
,
penduga variabel instrumen bagi
disajikan sebagai
=
∑ ∑ ∑ ∑
, ,
,
− −
, dan
,
,
,
akan
−
,
)
tidak berkorelasi serial. Di sini,
… … … … … … … … … … … … … … … (2.15) ,
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah plim → →
1 ( − 1)
(
−
)
,
= 0 … … … … … … … … … (2.16)
,
Penduga (2.15) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981) dalam Verbeek (2004). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana
−
,
digunakan sebagai instrumen.
,
Penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai:
( )
=
∑ ∑ ∑ ∑
, ,
− −
, ,
,
− −
,
… … … … … … … … (2.17) ,
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah plim → →
1 ( − 2)
−
,
,
−
,
= 0 … … … … (2.18)
Perhatikan bahwa penduga variabel instrumen yang kedua (IV (2)) memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat
25
menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa plim → →
1 ( − 1)
−
,
=
,
−
,
,
= 0 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.19) yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh plim → →
1 ( − 2)
−
=
−
,
,
−
,
−
,
,
= 0 … … … … … … … … (2.20)
,
yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV (2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004), menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh
[(
−
)
] = 0, untuk t = 2
[(
−
)
] = 0 dan
[(
−
)
] = 0,
[(
−
)
] = 0, untuk t =4
[(
[( −
− )
)
] = 0, untuk t = 3
] = 0, dan
26
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan ∆
− … −
= ,
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.21) ,
sebagai vektor transformasi error, dan [
] [
0 ⋮ 0
=
0 , ⋮ 0
0 0 ⋮ ,…,
… … ⋮⋱ …
]
… … … … … … … . (2.22) ,
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Zi berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai [ ′ ∆ ] = 0 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.23) yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, tuliskan persamaan sebagai ′ ∆
−∆
= 0 … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.24)
,
karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui,
akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel
yang bersesuaian, yakni min
1 N
dengan WN
Z′ ∆
−∆
,
W
1 N
Z′ ∆
−∆
,
… … … … . . (2.25)
adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris.
Dengan mendifrensiasikan terhadap
akan diperoleh penduga GMM sebagai
27
=
∆ ′,
x
W
∆ ′,
Z′ ∆
W
,
Z′ ∆
… … … … … … … … … … . . (2.26)
Sifat dari penduga GMM (2.26) bergantung pada pemilihan WN yang konsisten selama WN definit positif, sebagai contoh WN = I yang merupakan matriks identitas. Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi
. Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek,
2004), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi plim
=
[ ′∆ ]
=
[ ′∆ ∆
]
… … … … … … … … . (2.27)
⟶
dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian vi , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi
dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata
sampel, yakni (two step estimator)
= dengan ∆ estimator.
1
′∆ ∆
… … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.28)
menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent
28
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa
~
pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan
bagi
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
autokorelasi pada vit dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi sebagai berikut:
[∆ ∆
]=
2 −1 0 ⋮
=
−1 2 ⋱ 0
0 ⋱ ⋱ −1
… 0 −1 … … … … … … … … … (2.29) 2
matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator).
=
1
′
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.30)
Sebagai catatan bahwa (2.30) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error vit diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi. Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka Persamaan (2.10) dapat dituliskan kembali menjadi = ′
+
,
+
+
… … … … … … … … … … … … … … . . (2.31)
Parameter persamaan (2.31) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap xit , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila xit strictly exogenous dalam artian bahwa xit tidak berkorelasi dengan sembarang error vis, akan diperoleh
29
[
] = 0 ; untuk setiap s dan t … … … … … … … … … … … . . (2.32)
,∆
sehingga x1, …, xiT dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada Zi menjadi besar. Selanjutnya dengan menggunakan kondisi momen [∆
,∆
] = 0 ; untuk setiap t … … … … … … … … … … … … … . . (2.33)
matriks instrumen dapat dituliskan sebagai ,∆
′
0 ⋮ 0
=
,
0 ,∆ ′ …
… ⋱ 0
0 0 0 ,….,
… … (2.34) ,
,∆
bila variabel xit tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di mana xit dan lag xit tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh [
,
] untuk s ≥ t . Dalam kasus dimana hanya xi,t-1,…, xi1 instrumen yang
valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai ,
,∆
=0
; = 1, … . . , − 1, ∀
… … … … … … … … … . . (2.35)
Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks Zi kemudian dapat disesuaikan. Baltagi (1995), menyajikan contoh dan diskusi tambahan untuk kasus ini. Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal ini terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998). Dalam model AR (1) di Persamaan (2.10), fenomena ini terjadi karena parameter autoregresif ( ) mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu ( i) meningkat relatif terhadap varian transient error (vit).
30
Blundell dan Bond (1998) menunjukkan bahwa penduga AB-GMM dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang tersedia relatif kecil. Hal ini menekankan perlunya perhatian sebelum menerapkan metode ini untuk mengestimasi model autoregresif dengan jumlah deret waktu yang relatif kecil. Keberadaan bias sampel terbatas dapat dideteksi dengan mengkomparasi hasil AB-GMM dengan penduga alternatif dari parameter autoregresif. Sebagaimana diketahui dalam model AR (1), least square akan memberikan suatu estimasi dengan bias yang ke atas (biased upward) dengan keberadaan pengaruh spesifik individu (individual-spesific effect) dan fixed effect akan memberikan dugaan
dengan bias yang ke bawah (biased downward). Selanjutnya penduga
konsisten dapat diekspektasi di antara penduga least square atau fixed effect. Bila penduga AB-GMM dekat atau di bawah penduga penduga fixed effect, maka kemungkinan penduga AB-GMM akan biased downward, yang kemungkinan disebabkan oleh lemahnya instrumen. 2.6.2. System GMM (SYS-GMM) Indra (2009) ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Salah satunya dengan membuat model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut: =
,
+
+
… … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.36)
31
dengan ( ) = 0,
(
) = 0, dan
(
) = 0 untuk i= 1, 2, …. , N; t = 1, 2,
…, T. Dalam hal ini, Blundell dan Bond (1998) memfokuskan pada T=3 oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh ,∆
= 0 sedemikian sehingga
tepat teridentifikasi (just Indentified).
Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan ∆
dan yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari
persamaan (2.36) yang dievaluasi pada saat t=2 dengan mengurangi kedua ruas persamaan tersebut, yakni = ( − 1)
∆
,
+
+
… … … … … … … … … … … … … … … (2.37)
(
) > 0, maka ( − 1) akan bias ke atas
Dikarenakan eskpektasi (upward biased) dengan plim
− 1 = ( − 1)
+
/
… … … … … … … … … … . . (2.38)
= (1 − )/ (1 + ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari
dengan
variabel instrumen yi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke
dengan parameter non-
centrality = karena
⟶ 0, dengan
→1
→ 0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell
dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi
(Baltagi, 2005).
32
2.7.
Penelitian Terdahulu Evzen Kocenda & David H. Papell (1997) dalam Inflation Convergence
Within the European Union: A Panel Data Analysis meneliti apakah terdapat bukti yang mendukung konvergensi inflasi dalam Uni Eropa. Penelitian ini menggunakan metode panel data. Analisis juga berfokus pada apakah Exchange Rate Mecanism (ERM) membantu mempercepat konvergensi inflasi diantara negara-negara anggotanya. Hasilnya adalah ERM mendukung konvergensi diantara negara-negara anggota Uni Eropa. Negara yang terus berpartisipasi dalam kelompok ERM menunjukkan tingkat konvergensi yang lebih tinggi secara dramatis selama periode pembentukan mekanisme nilai tukar tersebut. Busetti et al. (2006) dalam Inflation Convergence and Divergence Within The European Monetary Union. Penelitian ini menganalisis mengenai sifat konvergensi tingkat inflasi diantara negara-negara Uni Eropa selama periode 1980-2004. Analisis yang digunakan dibagi menjadi dua bagian, sebelum dan sesudah kelahiran mata uang euro. Analisis konvergensi pertama menggunakan uji akar unit univariat dan multivariat pada perbedaan inflasi, dengan alasan bahwa kekuatan dari pengujian ini meningkat jauh jika regresi Dickey-Fuller tanpa intercept term. Analisis selanjutnya menyelidiki apakah kedua sub sampel dicirikan oleh tingkat inflasi yang stabil di negara-negara Eropa. Pada saat menggunakan tes stationeritas pada tingkat diferensial untuk inflasi, ditemukan bukti perilaku yang menyimpang. Secara statistik penelitian ini dapat mendeteksi dua kelompok terpisah atau convergence clubs. Kelompok inflasi yang lebih rendah, terdiri dari Jerman, Perancis, Belgia, Austria, Finlandia. Sedangkan kelompok inflasi yang lebih tinggi adalah Spanyol, Belanda, Yunani, Portugal,
33
dan Irlandia. Italia muncul untuk membentuk kelompok sendiri, berada diantara dua kelompok lainnya. Hanie (2006) dalam Analisis Konvergensi Nominal dan Riil Diantara Negara-Negara ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini mengkaji apakah konvergensi nominal dan konvergensi riil telah terjadi di negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand), Jepang, dan Korea Selatan. Konvergensi nominal dianalisis dengan menggunakan variabel Consumer Price Index (CPI), sedangkan analisis konvergensi riil menggunakan variabel Industrial Production Index (IPX). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan VECM melalui simulasi Decomposition of Forecasting Error Varians dan simulasi Impulse Response Function. Selain itu, konvergensi juga dianalisis dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan matriks korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvergensi nominal terjadi di negaranegara ASEAN-5 kecuali Indonesia, namun konvergensi ini belum begitu terlihat diantara Korea Selatan dengan ASEAN-5. Selain itu, konvergensi riil terjadi di antara negara-negara ASEAN-5, dan antara Korea Selatan dengan ASEAN-5 kecuali Indonesia. Penelitian berikutnya Andersson et al. (2009) dalam Determinants of Inflation and Price Level Differentials Across the Euro Area Countries. Penelitian ini menganalisa faktor-faktor penentu perbedaan inflasi dan tingkat harga di negara-negara kawasan euro. Estimasi panel dinamis untuk periode 1999-2006 menunjukkan bahwa perbedaan dalam inflasi terutama ditentukan oleh perkembangan yang berbeda dalam PDB per kapita atau tingkat produktivitas, posisi siklus dan untuk beberapa tingkat pertumbuhan upah serta perubahan dalam
34
peraturan pasar produk. Penelitian ini juga menemukan kekuatan penting dalam perbedaan tingkat inflasi, dapat terlihat dari sebagian hubungan terkait dengan harga yang ditentukan dan peraturan pasar produk. Dalam rangka kointegrasi, penelitian ini menemukan bahwa tingkat harga masing-masing negara kawasan euro diatur oleh tingkat GDP per kapita, pada gilirannya ditentukan oleh tingkat produktivitas dan konsumsi. Kekuatan dalam perbedaan tingkat inflasi tampaknya sebagian dijelaskan oleh administered prices dan sampai batas tertentu oleh peraturan pasar produk. Ningsih (2010) dalam kajian Analisis Keterkaitan Dinamis Inflasi Di Negara-Negara ASEAN+6. Penelitian ini menganalisis tingkat inflasi diantara negara-negara ASEAN+6 yang semakin konvergen atau semakin tidak konvergen, menganalisis respon inflasi negara-negara ASEAN+6 akibat adanya guncangan inflasi yang terjadi di Indonesia, RRC, Jepang, dan Singapura, serta menganalisis respon inflasi di Indonesia akibat adanya shock dari variabel yang sama di seluruh negara anggota ASEAN+6. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah VAR-VECM. Hasil penelitian Ningsih (2010) menyatakan bahwa tingkat inflasi diantara negara-negara ASEAN+6 pada periode 1997-2008, jika dianalisis dengan Johansen Test for Cointegration, koefisien keragaman maupun FEVD hasilnya adalah semakin konvergen. Adanya shock inflasi Indonesia tidak terlalu berpengaruh banyak terhadap inflasi di negara-negara ASEAN+6 lainnya. Hanya Cina dan Vietnam yang mengalami peningkatan inflasi akibat adanya guncangan inflasi Indonesia. Berdasarkan analisis IRF, terjadinya guncangan inflasi di Cina akan mendorong peningkatan inflasi di Indonesia, Australia, Korea, Myanmar,
35
New Zealand, Singapura, Vietnam. Guncangan inflasi yang terjadi di Jepang paling banyak memengaruhi inflasi negara-negara anggota ASEAN +6 lainnya. Negara-negara yang inflasinya meningkat akibat guncangan inflasi di Jepang adalah Indonesia, Australia, Filipina, India, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, New Zealand, Singapura. Guncangan inflasi yang terjadi di Singapura cukup banyak memengaruhi negara-negara lain. Negara-negara yang mengalami peningkatan inflasi akibat guncangan Singapura adalah, Indonesia, Australia, India, Jepang, Kamboja, Myanmar, Cina, dan Vietnam. Respon dinamis inflasi di Indonesia terhadap guncangan inflasi ASEAN+6 paling besar adalah jika terjadi guncangan pada inflasi Filipina dan Singapura.
36
Tabel 2.2. Penelitian Empiris Terkait Penulis
Judul
Variabel Ekonomi
Kocenda dan Inflation Convergence CPI Papell (1997) Within the European Union: A Panel Data Analysis Honohan dan Divergent Inflation CPI, Output Gap, Lane (2003) Rates in EMU NEER, Fiskal Busetti et al. Inflation Convergence CPI (2006) and Divergence Within The European Monetary Union. Hanie (2006) Analisis Konvergensi CPI, IPX Nominal dan Riil Diantara NegaraNegara ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan Andersson Determinants of Output Gap, et al. (2009) Inflation and Price NEER, HICP, Level Differentials Tingkat Harga Across the Euro Area Komparatif, Countries. Product Market Regulation Ningsih Analisis Keterkaitan CPI (2010) Dinamis Inflasi Di Negara-Negara ASEAN+6.
2.8.
Observasi European Union
European Union European Union
Rentang Waktu 1959:21994:4
1999-2001 1980:11997:12
ASEAN-5, 1995:1Jepang dan 2005:11 Korea Selatan
European Union
1999-2006
ASEAN+6 (kecuali Brunei)
1997-2008
Kerangka Pemikiran Untuk membentuk suatu mata uang tunggal (Optimum Currency Area)
salah satu faktor yang harus dipenuhi oleh ASEAN+6 adalah tercapainya konvergensi inflasi. Dalam hal ini, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+6 harus mengetahui faktor yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi dikawasan tersebut. Berikut ini adalah gambaran dari kerangka pemikiran penelitian ini:
37
Lingkup Penelitian ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand)
Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, New Zealand
ASEAN+6
Konvergensi Inflasi di NegaraNegara ASEAN+6
Suku Bunga Nominal dan Nilai Tukar Efektif Nominal
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi ASEAN+6
1. 2. 3. 4. 5.
Lag Inflasi Nilai Tukar Efektif Nominal Output Gap Suku Bunga Nominal Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
Metode Data Panel Dinamis (Pendekatan Generalized Method of Moment) Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ini akan mengidentifikasi konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 serta mencoba menganalisis apakah variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di negara-negara ASEAN+6. Variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti nilai tukar, output gap, suku bunga nominal, pengeluaran konsumsi pemerintah, dan Lag inflasi. Selanjutnya variabel-variabel tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode data panel dinamis (dynamic panel data) melalui pendekatan Generalized Method of Moment (GMM).
38
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber. Adapun data diperoleh dari badan statistik dunia International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Funds (IMF), World Bank, CEIC, UN Data Explorer, serta beberapa jurnal dan literatur mengenai konvergensi inflasi yang relevan dengan penelitian ini. Adapun data-data yang diperlukan dalam permodelan penelitian ini yaitu tingkat inflasi dengan menggunakan proxy CPI (Consumer Price Index), output gap (Senjang output), Nominal Effective Exchange Rate (NEER) atau nilai tukar efektif nominal, General Government Final Consumption Expenditure (GGFCE), dan Suku Bunga Nominal. Data yang yang dikumpulkan merupakan data panel dengan time series 2000-2009 dan cross section sebelas negara ASEAN+6, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, Cina, Korea Selatan, Australia, India, dan New Zealand. Untuk lebih jelasnya keseluruhan dan keterangan data yang digunakan dalam penelitian ini di rangkum dalam Tabel 3.1. sebagai berikut:
39
Tabel 3.1. Variabel-variabel Ekonomi dalam Penelitian
No
Variabel
1.
YGAP
Keterangan
Satuan
Output Gap dihitung berdasarkan selisih Persentase
output
antara output aktual dan output Potensial. gap terhadap GDP. Output
potensial
menggunakan
diestimasi
metode
dengan Output aktual adalah
Hodrick-Prescott GDP US$ Konstan
Filter. 2.
D
2000
General Government Final Consumption Persentase. (GGFCE Expenditure (GGFCE)
3.
IR
Suku Bunga Nominal,
of GDP) didapatkan
dari
Persentase
perhitungan tingkat inflasi ditambah dengan suku bunga riil 4.
Inflasi
Persentase (CPI 2005=100)
5.
NEER
Nominal Effective Exchange Rate atau nilai
Indeks 2005=100
tukar efektif nominal. (Peningkatan Mengindikasikan Apresiasi)
3.2.
Model Penelitian
3.2.1. Model Konvergensi Inflasi Metode yang digunakan untuk melihat tingkat konvergensi antar negara di kawasan ASEAN+6 adalah dengan test unit root menggunakan Dickey Fuller atau Augmented Dickey Fuller (ADF) terhadap persamaan diferensial inflasi. Mengikuti metodologi yang digunakan oleh Kocenda dan Papell (1997), tahapan perumusan model dimulai dari model inflasi sederhana dan dari observasi sekelompok individu i pada periode waktu t sebagai berikut: ,
=
+
,
+
,
… … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.1)
40
Bila diformulasikan dalam rata-rata inflasi: =
+
+
=
dimana:
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.2)
,
Selanjutnya, bila persamaan (3.1) dikurangi dengan persamaan (3.2) akan menghasilkan: −
,
=
,
−
+
,
… … … … … … … … … … … … … (3.3)
Persamaan (3.3) menggambarkan diferensial inflasi yang didefinisikan sebagai perbedaan antara inflasi individual dengan rata-rata inflasi kelompok negara pada saat t.
merupakan koefisien konvergensi. Konvergensi dikatakan
dapat tercapai apabila diferensial inflasi semakin lama menjadi semakin kecil (Ben-David, 1996). Dalam hal ini, nilai tetha harus lebih kecil dari pada satu. Sebaliknya nilai tetha yang lebih besar dari pada satu mengindikasikan divergensi diferensial inflasi. Untuk memperoleh koefisien konvergensi, dilakukan estimasi persamaan (3.3) atau dikenal dengan Dickey and Fuller Test. Diferensial inflasi diasumsikan menurun secara kontinyu sejalan dengan waktu sesuai dengan besaran: d, = d e r adalah tingkat konvergensi, dapat dihitung dengan menggunakan koefisien konvergensi (tetha) yang merupakan hasil estimasi dari persamaan (3.3). = ln (ϕ) Untuk mengatasi masalah serial korelasi data, Augmented Dickey Fuller test dapat dilakukan. ∆
,
= ( − 1)
,
–
∆
,
+
,
… … … … … … … … … … . . (3.4)
41
dimana: d , = π , − π dan ∆d , = d , − d , Untuk melihat terjadinya konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6, maka model yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: ∗
= ϕ
∗
+
∆
+
+
… … … … … … … … … … … . (3.5)
∗
= Inflasi suatu negara dikurangi inflasi kawasan pada tahun t
∗
= Lag Inflasi suatu negara dikurangi inflasi kawasan pada tahun t
∆
= Lag Perubahan Nominal Effective Exchange Rate (NEER) (Peningkatan Mengindikasikan Apresiasi). = Suku Bunga Nominal = Error term
ϕ
= Koefisien konvergensi
konvergensi inflasi dapat terjadi apabila nilai koefisien dari tetha kurang dari satu. Model penelitian (3.5) juga akan memberikan informasi apakah variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal dapat membantu dan berpengaruh nyata dalam pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6. 3.2.2. Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi Salah satu langkah dalam penelitian ini adalah menentukan model atau persamaan untuk mengestimasi faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Andersson, Masuch, dan Schiffbauer (2009) telah membuat model persamaan untuk mengetahui perbedaan inflasi dan tingkat harga di Uni Eropa, model yang digunakan sebagai berikut: = = λ
+
( +
)+ d ∆
− (
−
)+
(
+ − ̅
+ )+
… … … . (3.6) … … … … (3.7)
42
dimana, = Output Riil = Output Potensial ∆
= Lag Perubahan Nominal Effective Exchange Rate (NEER) = Respon Faktor Permintaan = Tingkat Inflasi
λ
= Derajat Persistensi Inflasi = Tingkat Harga Komparatif ̅
= Tingkat Harga Komparatif Jangka Panjang = Shock Permintaan = Shock Penawaran Andersson et al. (2009) mendapat suatu persamaan bentuk penurunan
inflasi dengan mengkombinasikan (3.6) dan (3.7) =
+ ̅
)+
(
)+
−
+
∆
(
+
−
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (3.8)
∝ adalah fungsi dari parameter vektor d dan b, dimana λ ,
−
adalah
fungsi dari d dan b. adalah kombinasi dari guncangan penawaran dan permintaan. Dengan asumsi lebih lanjut bahwa tingkat harga jangka panjang adalah sama di negaranegara dalam suatu kawasan ( ̅it = ̅ ). Maka diperoleh persamaan bentuk pengurangan sebagai berikut: =
+
+ +
+
(
−
)+
+
∆
+
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.9)
43
Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6, maka model penelitian ini akan mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu yang penulis gunakan sebagai acuan. Model penelitian secara umum mengacu pada model penelitian Andersson et al. (2009) dan Honohan et al. (2003). Dalam penelitian ini, penulis akan menambahkan variabel suku bunga sebagai salah satu faktor yang memengaruhi inflasi di kawasan ASEAN+6. Gul dan Ekinci (2006) terdapat hubungan positif antara suku bunga nominal dan tingkat inflasi dan peningkatan suku bunga nominal dapat memengaruhi biaya pinjaman yang pada akhirnya akan meningkatkan inflasi. Selain itu, penelitian yang dilakukan Sasana (2004) dengan menggunakan kasus negara Filipina, didapatkan bahwa dalam jangka panjang tingkat suku bunga berkorelasi positif dan berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi. Berikut ini adalah model penelitian dengan memasukkan variabel suku bunga nominal, yang selanjutnya akan digunakan dalam penelitian ini: =
+
(
−
)+
+
∆
+
+
… … (3.10)
dimana, = Tingkat Inflasi (
−
)
= Output gap = General Government Final Consumption Expenditure
∆
= Lag perubahan Nominal Effective Exchange Rate (NEER), (Peningkatan Mengindikasikan Apresiasi). = Suku Bunga Nominal = Error term
44
Adanya keterbatasan data menyebabkan persamaan atau model penelitian (3.10) tidak memasukkan variabel tingkat harga komparatif. Selanjutnya dari hasil estimasi akan dianalisis variabel-variabel mana saja yang memengaruhi inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2009. Metode analisis data yang digunakan untuk mengestimasi model penelitian ini secara umum akan menggunakan metode data panel dinamis (dynamic panel data) melalui pendekatan Generalized Method of Moment (GMM) yang mengacu pada metodologi Verbeek 2004 dan Baltagi 2005.
3.3.
Metode Analisis Data
3.3.1. Metode Hodrick-Prescott Filter Untuk memperkirakan output potensial, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah metode Hodrick-Prescott (HP) Filter. Metode ini digunakan untuk melihat kecenderungan (trend) dari output dalam jangka panjang (Fauzi, 2007). Trend output (s) yang diperoleh dengan menggunakan HP filter dihasilkan dengan meminimkan kombinasi gap antara aktual output (y) dan trend output. Tingkat perubahan output diperoleh dengan: ( −
) +
(
−
)− (
−
)
… … … … (3.11)
dimana λ adalah tingkat smoothness dari trend. Kesulitan metode ini adalah dalam mengidentifikasi besarnya parameter λ. Namun dengan menggunakan Eviews 6 trend output ini dapat diperkirakan. Trend dari PDB riil diasumsikan sebagai PDB potensial. Dalam penelitian ini, untuk memperkirakan PDB potensial maka digunakan pendekatan HP filter.
45
3.3.2. Granger Causality Test pada data panel Hubungan kausalitas (causality) adalah hubungan jangka pendek antara kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum, khususnya hubungan penuh antar spektrum dan hubungan partial antar spektrum. Dari pandangan ekonometrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut. Pertama, jika X memengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas (explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu dalam memprediksikan X karena jika X dapat membantu dalam memprediksikan Y, dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar terdapat variabel lain, katakan Z, yang memengaruhi X dan Y (Fauzi, 2007). Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara dua variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah dan hubungan timbal balik. Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari Granger Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan sebagai berikut: Persamaan (3.12) =
+
(
)
+ …+
(
)
+
(
)
+ …+
(
)
+
(
)
+ …+
(
)
+
(
)
+ …+
(
)
+
Persamaan (3.13) =
+
46
Pada persamaan regresi model pooled pertama (3.12), X memengaruhi Y atau hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien βl tidak sama dengan nol (0). Hal yang sama juga untuk persamaan regresi model pooled kedua (3.13), Y memengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X jika koefisien βl tidak sama dengan nol. Sementara apabila keduanya terjadi maka dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship) antara X dan Y atau terdapat hubungan kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan Y. Dalam
penelitian
ini,
Granger Causality Test dilakukan untuk
menganalisis hubungan inflasi dengan variabel-variabel lain pada penelitian. Dengan menggunakan software eviews 6, hipotesis nol yang digunakan untuk hubungan dua variabel adalah X tidak memengaruhi Y dan Y tidak memengaruhi X. Dasar penolakan hipotesis nol dengan menggunakan kriteria probabilitas < 0.1 atau 10%. Seluruh pengolahan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan bantuan program komputer STATA v10.0 dan Eviews 6. Pemilihan program ini dikarenakan ketersediaan tools untuk pengolahan data sekaligus pengujian asumsi dalam model data panel dinamis.
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kondisi Umum Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Pada penelitian ini dilakukan eksplorasi data yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran umum yang disajikan secara sistematis mengenai faktafakta dan hubungan antar fenomena atau variabel yang akan diamati. Pembahasan dimulai dengan memberikan gambaran kondisi perkembangan inflasi di negaranegara ASEAN+6. Tabel 4.1. di bawah ini menyajikan rata-rata perkembangan inflasi di kawasan ASEAN+6 pada periode 2000-2004 dan periode 2005-2009. Tabel 4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 dan Periode 2005-2009
Negara
Rata-Rata Inflasi 2000-2004
Rata-Rata Inflasi 2005-2009
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Korea Australia India New Zealand
7.99* 1.45 4.64* 0.83 1.70 1.05 -0.52 3.24* 3.39* 3.93* 2.39
9.27* 2.92 5.85* 2.13 3.21 2.64 0.01 3.00 2.94 7.13* 2.97
Rata-Rata Inflasi ASEAN+6
2.73
3.82
Keterangan: *tingkat rata-rata inflasi negara di atas rata-rata inflasi ASEAN+6. Sumber: World Bank 2011, diolah.
Tabel 4.1. menjelaskan bahwa rata-rata tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 berbeda-beda selama periode 2000-2004 dan periode 2005-2009. Jika
48
data pada Tabel 4.1. disajikan dalam bentuk gambar, maka didapatkan hasil seperti gambar di bawah ini. Berdasarkan Gambar 4.1. dan Tabel 4.1., diperoleh informasi bahwa pada periode 2000-2004 Negara Indonesia, Filipina, Korea, Australia, dan India memiliki rata-rata inflasi di atas rata-rata inflasi ASEAN+6. Sedangkan negara Malaysia, Singapura, Thailand, Cina, Jepang, dan New Zealand memiliki rata-rata tingkat inflasi di bawah rata-rata inflasi ASEAN+6 pada periode 2000-2004. 10
IDN
8
IND PHL
6 4
THA
MYS
KOR
AUS
CHN
NZL
SGP 2 JPN 0
Negara -2 rata-rata Inflasi 2000-2004
Keterangan:
rata-rata Inflasi 2005-2009
Rata-Rata Inflasi ASEAN+6 Periode 2000-2004 Rata-Rata Inflasi ASEAN+6 Periode 2005-2009
Sumber: World Bank 2011, diolah.
Gambar 4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 dan 2005-2009 (dalam Persentase) Pada periode 2005-2009, negara-negara yang memiliki rata-rata tingkat inflasi di atas rata-rata inflasi ASEAN+6 cenderung sama seperti periode 20002004 yaitu, Indonesia, Filipina, dan India. Negara Australia dan Korea mengalami
49
perubahan, dimana tingkat rata-rata inflasi kedua negara tersebut pada periode 2005-2009 berada di bawah rata-rata inflasi ASEAN+6 bersama dengan negara lainnya, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Cina, Jepang, dan New Zealand. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan negara-negara yang memiliki rata-rata tingkat inflasi di atas rata-rata inflasi ASEAN+6 cenderung memiliki tingkat inflasi yang tinggi pada tahun 2000-2009. Seperti halnya negara Indonesia, Filipina, dan India memiliki rata-rata tingkat inflasi di atas rata-rata inflasi ASEAN+6 selama dua periode (2000-2004 dan 2005-2009). Begitu juga sebaliknya, negara-negara yang memiliki rata-rata inflasi di bawah rata-rata inflasi ASEAN+6 cenderung memiliki inflasi yang rendah pada tahun 2000-2009. Inflasi yang tinggi di suatu negara jelas akan menyebabkan dampak negatif bagi perekonomian negara tersebut. Hal itu dikarenakan variabel makroekonomi ini memiliki kekuatan dalam menurunkan kesejahteraan masyarakat dan juga mampu memengaruhi distribusi pendapatan, serta alokasi faktor produksi suatu negara. Semua negara di dunia, termasuk negara-negara ASEAN+6 akan berusaha untuk menekan tingkat inflasi serendah mungkin dan mencapai tenaga kerja penuh. Sehingga kebijakan-kebijakan yang diterapkan diarahkan kepada pencapaian inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Inflasi yang rendah biasanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, sedangkan inflasi yang tinggi atau hiperinflasi dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi. Gambar 4.2. merupakan perbandingan perkembangan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata inflasi di negara-negara ASEAN+6. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada periode 2000-2004 pertumbuhan ekonomi di
50
Negara Malaysia, Singapura, Thailand, Cina, Jepang, Korea, New Zealand, dan India tidak diikuti oleh tingginya tingkat inflasi. Hal tersebut dapat terlihat dari nilai rata-rata tingkat inflasi negara-negara tersebut lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode 2000-2004. Lain halnya dengan Negara Indonesia, Filipina, dan Australia, dimana pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut diikuti oleh tingginya tingkat inflasi atau dengan kata lain nilai rata-rata inflasi negara lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi Periode 2000-2004 Variable INF INA * Growth INA INF MAL * Growth MAL INF FIL * Growth FIL INF SING * Growth SING INF THAI * Growth THAI INF CINA * Growth CINA INF JPN * Growth JPN INF KOR * Growth KOR INF AUS * Growth AUS INF IND * Growth IND INF NEW * Growth NEW
8 7 6
Inflasi
5 4 3 2 1 0 -1 1
2 3 4 5 6 7 8 Pertumbuhan Ekonomi GDP Perkapita
9
Sumber: World Bank 2011, diolah.
Gambar 4.2. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 (dalam Persentase) Pada Gambar 4.3. menampilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan ratarata tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2005-2009. Pertumbuhan ekonomi Negara Indonesia, Filipina, Australia, Thailand, Malaysia, dan New Zealand diikuti dengan tingkat inflasi yang tinggi. Untuk Negara
51
Singapura dan Cina pertumbuhan ekonomi negara tersebut tidak diikuti oleh tingginya inflasi, dimana nilai rata-rata inflasi lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi. Negara lainnya seperti Jepang, Korea, dan India cenderung memiliki rata-rata inflasi dan pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat yang relatif sama atau tidak berbeda jauh pada periode 2005-2009. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi Periode 2005-2009 Variable INF INA * Growth INA INF MAL * Growth MAL INF FIL * Growth FIL INF SING * Growth SING INF THAI * Growth THAI INF CINA * Growth CINA INF JPN * Growth JPN INF KOR * Growth KOR INF AUS * Growth AUS INF IND * Growth IND INF NEW * Growth NEW
9 8 7
Inflasi
6 5 4 3 2 1 0 0
2 4 6 8 10 Pertumbuhan Ekonomi GDP Perkapita
12
Sumber: World Bank 2011, diolah.
Gambar 4.3. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2005-2009 (dalam Persentase) Penjelasan di atas telah memberikan informasi bahwa kondisi inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6 masih relatif beragam. Terkait dengan kerjasama moneter dan keuangan yang diarahkan kepada integrasi ekonomi, jelas saja negara-negara ASEAN+6 masih belum cukup untuk mencapai tahapan tertinggi penyatuan mata uang tunggal akibat belum seragamnya kondisi perekonomian diantara masing-masing anggota. Namun, peluang kawasan ASEAN+6 untuk dapat memenuhi konvergensi makroekonomi (dalam hal ini
52
inflasi) sangatlah terbuka. Tingkat inflasi yang rendah dan stabil akan menjadi kunci kesuksesan ASEAN+6 untuk dapat memenuhi salah satu kriteria konvergensi dalam Optimum Currency Area (OCA). Dalam jangka panjang, diharapkan perkembangan kerjasama yang terjadi di kawasan saat ini, dengan cakupan yang lebih luas, serta didukung oleh konsistensi dari pertumbuhan ekonomi anggota dan seluruh elemen ekonomi dapat memberikan harapan besar untuk menjadikan kawasan ini sebagai suatu uni moneter regional dan pendorong perekonomian di kawasan Asia.
4.2
Hubungan Inflasi dengan Output Gap dan Suku Bunga Nominal Tujuan pengendalian inflasi pada posisi yang rendah dan stabil adalah
untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial. Perkembangan inflasi akan sangat ditentukan oleh kestabilan kegiatan ekonomi, nilai tukar, atau bahkan dapat ditentukan oleh seberapa besar perkembangan nilai suku bunga di negara tersebut. Kompleksitas hubungan inflasi dengan variabel makroekonomi lainnya membuat sulitnya mengidentifikasi atau memprediksi sumber-sumber yang memicu terjadinya tekanan pada inflasi. Pengidentifikasian sumber-sumber guncangan pada inflasi akan memberikan gambaran bagaimana perumusan kebijakan moneter yang tepat sasaran sehingga fluktuasi laju inflasi dapat terukur serta kebijakan tersebut akan lebih efektif diimplementasikan ketika terjadi guncangan pada suatu variabel makroekonomi. Kondisi kegiatan ekonomi yang tidak stabil akan membuat tingkat inflasi berada pada tingkat yang tidak bisa ditentukan. Pada Gambar 4.4a. dan Gambar 4.4b. menampilkan bagaimana hubungan output gap dan inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada tahun 2000 hingga 2009.
53
Indonesia
Malaysia
14
4
6
12 10 8 6 4 2 0
3 2 1 0 -1 -2 -3
5 4 3 2 1 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Inflasi (%)
Output Gap (%)
Singapura
Filipina 10
4 3 2 1 0 -1 -2 -3
8 6 4 2 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0
Output Gap (%)
Inflasi (%)
7 6 5 4 3 2 1 0 -1
10 5 0 -5 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Output Gap (%)
5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4
Output Gap (%)
Inflasi (%)
Thailand
-10
Inflasi (%)
Cina 3
7
15
5
2
4
1
6 5
10
3
0
2
-1
1
-2
2 1
0
0
-3
0
-5
-4
-1
-5
-2
-2 Output Gap (%)
Inflasi (%)
4
5
3
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
-1
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
6
Output Gap (%)
-10
Inflasi (%)
Gambar 4.4a. Hubungan Output gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
54
Jepang
Korea Selatan
2
4
1.5
2
1
3
4
2 1
3
0
0
0.5
2
-1 -1.5
-1
-2
1
-2
-4
0
-3 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0 -0.5
5
-6 Output Gap (%)
Inflasi (%)
Output Gap (%)
Australia
Inflasi (%)
India
5
1.5
12
8
4
1
10
6
3
0.5
4
8
2
6
0
2
0
1
-0.5
2
-4
0
-1
0
-6
4
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Output Gap (%)
-2
Output Gap (%)
Inflasi (%)
Inflasi (%)
New Zealand 5
3 2 1 0 -1 -2 -3
4 3 2 1
Output Gap (%)
Inflasi (%)
Gambar 4.4b. Hubungan Output gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 (lanjutan)
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
55
Gambar di atas telah memberikan informasi bagaimana perkembangan output gap di negara-negara ASEAN+6 mampu memengaruhi perkembangan tingkat inflasi. Hal tersebut mengakibatkan perkembangan output yang merupakan salah satu indikator perekonomian di kawasan ASEAN+6 menjadi faktor yang sangat penting dalam mengelola perekembangan inflasi di kawasan tersebut. Perkembangan inflasi di negara-negara ASEAN+6 juga dapat disebabkan meningkatnya hubungan kerjasama perdagangan (siklus bisnis) antara negara satu dengan negara lainnya. Perkembangan inflasi juga tidak hanya dapat disebabkan oleh variabel output, tetapi juga dapat diakibatkan oleh pergerakan nilai suku bunga nominal di suatu negara. Suku bunga merupakan indikator dari keadaan bisnis, karena biaya pinjaman merupakan termasuk di antara pertimbangan penting dalam keputusan investasi. Pergerakan suku bunga menjadi salah satu faktor yang penting untuk diamati dalam menganalisis laju pergerakan inflasi. Gambar 4.5a. dan Gambar 4.5b. menampilkan bagaimana hubungan inflasi dengan suku bunga nominal. Dari gambar tersebut terlihat bahwa secara umum pergerakan inflasi di kawasan ASEAN+6 memiliki kecendurungan yang sama, dimana pergerakan suku bunga diikuti oleh tingginya inflasi (dalam artian peningkatan suku bunga juga akan diikuti oleh tingkat inflasi atau sebaliknya). Hubungan positif antara suku bunga nominal terlihat jelas di Negara Filipina, Thailand, Cina, Jepang dan Korea, dimana pada tahun 2000 hingga tahun 2009 pergerakan suku bunga nominal dengan tingkat inflasi di negara tersebut cenderung sejalan atau beriringan. Pembahasan selanjutnya secara fokus akan membahas dan menganalisis hasil estimasi penelitian.
56
Indonesia
Malaysia
40
15
30
10
20 5
10
2008 2009
2006 2007
2005
2003 2004
2000 2001
2008 2009
2007
2005 2006
2004
2002 2003
2001
2000
2002
0
0
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Filipina
Singapura
25
20
20
15
15
2007 2008 2009
-5
2003 2004 2005 2006
2007 2008 2009
0 2004 2005 2006
0 2001 2002 2003
5
2000
5
2000 2001 2002
10
10
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Cina
Thailand 10
15
8 10
6 4
5
2 0
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Gambar 4.5a. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
2009
2007 2008
2005 2006
2004
2002 2003
-2
2000 2001
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
-5
0
57
Jepang
Korea Selatan
6
16 14 12 10 8 6 4 2 0
5 4 3 2 1
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
-2
2001
-1
2000
0
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Australia
India
20
35 30 25 20 15 10 5 0
15 10 5
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
New Zealand 20 15 10 5
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Gambar 4.5b. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 (lanjutan)
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
58
4.3.
Hasil Estimasi Penelitian Pembahasan hasil estimasi pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama akan menganalisis Granger Causality Test pada variabel-variabel penelitian. Bagian kedua akan membahas konvergensi tingkat inflasi dan faktor yang mendukung serta memengaruhi pembentukan konvergensi inflasi di kawasan ASEAN+6. Bagian ketiga membahas faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. 4.3.1. Hasil Granger Causality Test pada Data Panel Konsep dasar uji kausalitas Granger yaitu menguji hubungan diantara dua variabel tanpa melakukan pendugaan terhadap model. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara dua variabel yang diuji. Pengujian ini dilakukan terhadap beberapa variabel yang terkait dengan model umum pada penelitian ini. Selain itu, pengujian juga akan memberikan informasi bagaimana hubungan kausalitas diantara variabel penelitian, apakah variabel yang dianalisis memiliki hubungan kausalitas satu arah atau dua arah. Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari Granger Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan pada persamaan (3.12) dan persamaan (3.13). Pengujian Granger Causality penelitian ini dibagi menjadi tiga kawasan, yang terdiri dari kawasan negaranegara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand), kawasan negara-negara ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea), dan kawasan negara-negara ASEAN+6 (Cina, Jepang, Korea, Australia, India, dan New Zealand). Pembagian kawasan tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan inflasi dengan variabelvariabel penelitian di masing-masing kawasan. Variabel-variabel yang diuji yaitu,
59
output gap, nilai tukar efektif nominal, GGFCE (pengeluaran pemerintah), dan suku bunga nominal. Hasil Granger Causality Test yang diterapkan terhadap data panel dapat dilihat ada pada Tabel 4.2. di bawah ini: Tabel 4.2. Hasil Granger Causality Test ASEAN Hipotesis Nol
ASEAN+3
ASEAN+6
2 lag 4 lag 6 lag 2 lag 4 lag 6 lag 2 lag 4 lag 6 lag
YGAP ↛ INF
√
INF ↛ YGAP
√
GGFCE ↛INF
√
√
INF ↛GGFCE
√
√
DNEER ↛ INF
√
√
INF ↛ DNEER
√
√
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√
IR ↛ INF INF ↛ IR Keterangan:
√
√
√
Periode sample 2000-2009, INF = Tingkat Inflasi, YGAP = Output Gap yang di presentasekan terhadap GDP Constant 2000, GGFCE = General Government Final Consumption Expenditure (% of GDP), DNEER = Perubahan Nominal Effective Exchange Rate (2005=100), IR = Suku Bunga Nominal, dan ↛ = tidak memengaruhi.
Tanda “√” menandakan bahwa hipotesis nol ditolak, dengan menggunakan kriteria probabilitas < tingkat kritis
= 10% (hasil Granger Causality Test untuk
data seluruh kawasan dan tiap-tiap kawasan dapat dilihat pada Lampiran 1.). Hipotesis nol untuk baris pertama dan kedua adalah YGAP tidak memengaruhi INF dan INF tidak memengaruhi YGAP. Hasil estimasi di atas terlihat bahwa untuk kasus kawasan ASEAN dan ASEAN+3 tidak terdapat hubungan kausalitas didalam hubungan variabel YGAP dan INF, dimana YGAP tidak signifikan dalam
60
memengaruhi pergerakan INF dan sebaliknya, INF tidak siginifikan dalam memengaruhi pergerakan YGAP. Sedangkan untuk kawasan ASEAN+6, terdapat hubungan kausalitas satu arah di dalam hubungan variabel YGAP dan INF (2 lag), dimana YGAP secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan INF dan tidak sebaliknya, INF tidak signifikan dalam memengaruhi pergerakan YGAP. Namun, untuk kawasan tersebut pada 4 lag, terdapat hubungan kausalitas satu arah, dimana INF dapat memengaruhi pergerakan YGAP. Hipotesis nol untuk baris ketiga dan keempat adalah GGFCE tidak memengaruhi INF dan INF tidak memengaruhi GGFCE. Tabel 4.2. secara umum menunjukkan untuk kasus seluruh kawasan (ASEAN, ASEAN+3, dan ASEAN+6), terdapat hubungan kausalitas dua arah di dalam hubungan variabel GGFCE dan INF, dimana GGFCE secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan INF dan sebaliknya, INF secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan GGFCE. Hal senada pun terjadi pada baris kelima dan keenam, dimana hipotesis nol untuk kedua baris tersebut adalah DNEER tidak memengaruhi INF dan INF tidak memengaruhi DNEER. Hasil uji kausalitas secara umum menampilkan untuk kasus seluruh kawasan, terdapat hubungan kausalitas dua arah dalam hubungan variabel DNEER dan INF, dimana DNEER secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan INF dan sebaliknya, INF secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan DNEER. Hipotesis nol untuk dua baris terakhir adalah IR tidak memengaruhi INF dan INF tidak memengaruhi IR. Secara umum untuk kasus seluruh kawasan (ASEAN, ASEAN+3, dan ASEAN+6), hanya terdapat hubungan kausalitas satu arah di dalam hubungan variabel IR dan INF, dimana INF secara signifikan
61
memiliki pengaruh terhadap pergerakan IR dan tidak sebaliknya, IR tidak signifikan dalam memengaruhi pergerakan INF. Berdasarkan hasil pengujian dan penjelasan di atas didapatkan informasi bagaimana hubungan variabel-variabel penelitian dengan tingkat inflasi di kawasan ASEAN, ASEAN+3, dan ASEAN+6. Hasil Granger Causality Test yang dilakukan dapat diketahui bagaimana hubungan kausalitas diantara variabelvariabel yang akan diuji pada penelitian ini, baik satu arah maupun dua arah dari masing-masing variabel sebelum masuk ke dalam pembahasan hasil estimasi. Estimasi selanjutnya yang dilakukan pada penelitian ini akan didasarkan pada metodologi terdahulu yang penulis gunakan sebagai acuan penelitian. 4.3.2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi Estimasi kedua dalam penelitian ini adalah mengestimasi apakah konvergensi tingkat inflasi terjadi di negara-negara ASEAN+6 serta apakah suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung dan berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Dalam rangka menciptakan integrasi keuangan moneter di kawasan ASEAN+6, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah konvergensi kebijakan makroekonomi diantara negara-negara yang akan berpartisipasi dalam monetary union (Krugman dan Obstfeld, 2000). Menurut Kocenda dan Papell (1997) bahwa konvergensi tingkat inflasi merupakan bagian dari Kriteria Konvergensi Maastricth (Maastricth Treaty Convergence) dan menjadi syarat dalam membentuk mata uang tunggal dalam suatu kawasan regional. Konvergensi inflasi yang terbentuk di negara-negara ASEAN+6 akan memberikan sebuah peluang bagi negara-negara anggota yang tergabung untuk mewujudkan integrasi ekonomi di kawasan Asia. Sehingga jika integrasi ekonomi
62
di kawasan Asia terwujud, maka akan tercipta pembangunan dan pertumbuhan yang simetrik di masing-masing negara anggota. Selain itu, transaksi perdagangan dan keuangan diantara negara-negara yang bergabung akan semakin mendalam dan mampu bersaing dengan negara diluar kawasan. Tabel 4.3. menyajikan hasil estimasi koefisien tingkat konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6. Dengan menggunakan System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM) dalam estimasi twostep noconstant dari Stata 10.0, diperoleh koefisien sebesar 0.303 dan siginifikan pada taraf nyata 1 persen. Kemudian untuk variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal juga signifikan pada taraf nyata 1 persen. Konsistensi dan validitas estimasi juga ditunjukkan oleh hasil estimasi Arellano-Bond (AB) dan estimasi sargan. Hasil estimasi AB ditunjukkan oleh nilai statistik m1 (-2.6393) yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dan nilai statistik m2 (-1.596) yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen. Tidak signifikansi nya statistik m2 mengindikasikan kurangnya second order serial correlation di dalam residual dari pembedaan spesifikasi, sehingga penduga dikatakan konsisten. Sedangkan nilai statistik dari uji sargan sebesar 10.12008 dengan probabilitas 1.000 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen. Hasil estimasi sargan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identifying restrictions mendeteksi tidak ada masalah dengan validitas instrumen. Kesempurnaan hasil estimasi dari panel dinamis juga harus bersifat tidak bias (unbiased), dimana hal tersebut dapat terlihat dari koefisien hasil estimasi berada di atas efek (fixed effect) dan di bawah estimasi OLS (ordinary least square). Namun, pada penelitian ini asumsi tersebut tidak terpenuhi, dimana nilai
63
estimasi dari koefisien fixed effect tidak signifikan, sehingga dapat dikatakan instrumen yang digunakan pada model panel dinamis ini adalah bias (biased) atau instrumen bersifat lemah. Verbeek (2004) menyatakan bahwa penduga yang bias dapat terjadi jika instrumen hanya memerlihatkan hubungan atau korelasi yang lemah dengan regresi endogen. Tabel 4.3. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi dengan System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM)
Parameter
Estimated Coefficients
Standard Error
P>|z|
L.inf* L.dneer ir
.3030889 -.1190496 .2507348
.0817897 .0116217 .0597086
0.000 0.000 0.000
Pooled Least Square L.inf*
.5100634
.0800902
0.000
Fixed Effect L.inf*
-.0240941
.1052813
0.820
SYS-GMM
AB Test Arellano-Bond m 1 Arellano-Bond m 2
z -2.6393 -1.596
Prob > z 0.0083 0.1105
chi2(43) = 10.12008 Prob > chi2 = 1.0000
Sargan Test
Berdasarkan hasil estimasi dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai koefisien yang lebih kecil dari pada satu terjadi konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 atau dengan kata lain inflasi di negara-negara
ASEAN+6
adalah
konvergen
pada
periode
2000-2009.
64
Konvergensi inflasi yang terjadi di kawasan ASEAN+6 menunjukkan bahwa selisih inflasi antara inflasi suatu negara dengan rata-rata inflasi kawasan tersebut semakin kecil dari waktu ke waktu. Selain itu, konvergensi inflasi di kawasan tersebut dapat memberikan gambaran apakah kebijakan moneter yang diterapkan oleh masing-masing negara berperan dalam membawa tingkat inflasi menjadi konvergen dan berpengaruh pula terhadap kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh negara-negara yang bersangkutan. Lebih lanjut lagi, konvergensi inflasi yang terjadi di kawasan ASEAN+6 dapat mengarahkan tujuan kebijakan moneter di masing-masing negara menjadi seragam (Hyvonen, 2004). Apabila tidak ada konvergensi dalam kebijakan ekonomi seperti halnya konvergensi inflasi, maka negara-negara yang tergabung ASEAN+6 akan menghasilkan respon kebijakan yang mungkin saling bertolak belakang dan pada akhirnya akan mengganggu stabilitas keuangan regional. Konvergensi inflasi yang terjadi di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2009 juga didukung oleh variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal
yang
berpengaruh
nyata
dan
signifikan
dalam
memengaruhi
pembentukan konvergensi inflasi di kawasan ASEAN+6. Hal tersebut menjelaskan bahwa pergerakan dan perkembangan kedua variabel tersebut mampu mendorong inflasi di negara-negara ASEAN+6 kearah yang lebih konvergen pada periode estimasi. Pengaruh suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal terhadap konvergensi inflasi di ASEAN+6 membuat semakin penting pula pengendalian kebijakan moneter untuk kedua variabel tersebut agar pergerakan keduanya tidak memberikan dampak atau guncangan negatif terhadap pergerakan inflasi di negara-negara ASEAN+6.
65
4.3.3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi Berdasarkan hasil estimasi pada bagian dua menyatakan bahwa konvergensi inflasi telah terbentuk di negara-negara ASEAN+6 serta diketahui variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung serta memengaruhi pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Pada pembahasan ketiga, penelitian ini melakukan estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Sejalan dengan kompleksitas hubungan inflasi dengan variabel makroekonomi lainnya yang telah diuraikan sebelumnya, maka sangat penting untuk mengidentifikasi perilaku inflasi, khususnya di negara-negara ASEAN+6. Pengujian variabel untuk estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi dilakukan dengan menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM) dalam estimasi twostep noconstant. Hasil estimasi disajikan dalam bentuk Tabel 4.4.. Secara umum, metode estimasi dalam model data panel dinamis menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik, hal ini terlihat dari tingkat signifikansi dan tanda koefisien estimasi hampir seluruhnya sesuai dengan harapan teoritis. Variabel lag dependen, output gap, nilai tukar efektif nominal, dan suku bunga nominal memiliki tingkat signifikansi pada taraf nyata 1 persen, sedangkan variabel pengeluaran konsumsi pemerintah (General Government Final Consumption Expenditure) tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan dalam memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6.
66
Tabel 4.4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi dengan Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM)
inf
Estimated Coefficients
Standard Error
P>|z|
L.inf ygap d L.dneer ir
-.4238566 .2269112 -.2086316 -.0599378 .3236523
.0660577 .0797716 .2025061 .0115525 .0678454
0.000 0.004 0.303 0.000 0.000
Pooled Least Square L.inf
.1570829
.0900758
0.084
Fixed Effect L.inf
-.1404236
.0989548
0.160
AB Test Arellano-Bond m 1 Arellano-Bond m 2 Sargan Test
z -2.0553 -.91807
Prob > z 0.0399 0.3586
chi2(35) = 7.421337 Prob > chi2 = 1.0000
Jika dilihat dari konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil ArellanoBond (AB) dengan nilai statistik m1 (-2.0553) yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dan nilai statistik m2 (-.91807) yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen, maka penduga dikatakan konsisten. Selain itu, validitas instrumen model dinamis dari faktor-faktor yang memengaruhi inflasi ini dilihat dari estimasi sargan dengan nilai statistik sebesar 7.421337 dan nilai probabilitas sebesar 1.000 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identifying restrictions mendeteksi tidak ada masalah
67
dengan validitas instrumen. Kesempurnaan hasil estimasi dari panel dinamis juga harus bersifat tidak bias (unbiased), dimana hal tersebut dapat terlihat dari koefisien hasil estimasi berada di atas efek (fixed effect) dan di bawah estimasi OLS (ordinary least square). Namun, pada penelitian ini asumsi tersebut tidak terpenuhi, dimana nilai estimasi dari koefisien AB-GMM berada di bawah koefisien estimasi fixed effect, sehingga dapat dikatakan estimasi model dinamis ini adalah bias (biased) atau instrumen yang digunakan masih lemah. Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal tersebut dapat terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998). Verbeek (2004) menyatakan bahwa penduga yang bias dapat terjadi jika instrumen hanya memerlihatkan hubungan atau korelasi yang lemah dengan regresi endogen. Secara keseluruhan hasil estimasi di atas telah memberikan informasi tentang faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Pembahasan selanjutnya akan secara fokus membahas variabelvariabel yang signifikan atau berpengaruh nyata dalam memengaruhi tingkat inflasi, serta bagaimana regresor memengaruhi variabel dependen sesuai dengan hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 4.4.. Variabel-variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 4.3.3.1. Variabel Lag Dependent (Inflasi) Berdasarkan hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 4.4., diperoleh koefisien dari variabel lag dependent (inflasi) bertanda negatif, yaitu sebesar 0,424. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi
68
pada periode atau tahun sebelumnya sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh penurunan inflasi sebesar 0,424 persen, begitu juga sebaliknya. Hubungan negatif ini merupakan respon dari kebijakan moneter di negara-negara ASEAN+6 untuk dapat mengendalikan laju inflasi dan menstabilkan kondisi makroekonomi di masing-masing negara. Kebijakan moneter yang diterapkan oleh otoritas moneter di negara-negara ASEAN+6 diarahkan kepada pencapaian pentargetan inflasi, dan berusaha menurunkan atau mengendalikan pergerakan inflasi di masa mendatang untuk berada pada tingkat yang rendah dan stabil. Fleming (1971) dalam Mongelli (2008) ketika laju inflasi antar negara di dalam suatu kawasan berada pada tingkat yang rendah dan stabil dari waktu ke waktu, maka kondisi tersebut juga akan diikuti oleh kestabilan perdagangan di negaranegara tersebut. Kenaikan inflasi pada periode atau tahun sebelumnya menjadi sebuah tanggung jawab pemerintah di negara-negara ASEAN+6 untuk mampu menekan pergerakan laju inflasi agar tidak terlalu tinggi. Sebagian negara anggota ASEAN+6 memilih untuk menggunakan kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting (IT) dalam menstabilkan kondisi ekonomi di negaranya. Seperti halnya Thailand, New Zealand, Korea Selatan, Filipina, Australia, dan Indonesia memilih konsep Inflation Targeting Framework (ITF) untuk menekan dan menurunkan tingkat inflasi. Kebijakan moneter yang ditempuh oleh negara-negara tersebut sebagai langkah antisipatif untuk mencapai sasaran inflasi yang akan ditetapkan di masa yang akan datang. Selain itu, kebijakan moneter yang dilakukan berorientasi pada kondisi masa depan, karena fakta empiris menunjukkan bahwa terdapat tenggang waktu dari pengaruh perkembangan suatu variabel ekonomi terhadap
69
variabel lain (Nuryati, 2004). Kebijakan Inflation Targeting yang dilakukan memiliki tingkat fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan moneter, dan memfokuskan pada kestabilan tingkat inflasi dalam jangka panjang, sehingga ketika terjadi peningkatan inflasi pada periode sebelumnya secara langsung otoritas moneter akan berusaha menekan tingkat inflasi pada kondisi yang rendah dan stabil. Dalam jangka panjang tingkat inflasi yang rendah dan stabil akan menjadi kunci pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian dan pertumbuhan di kawasan tersebut menjadi lebih konsisten atau menuju kekonsistenan. 4.3.3.2. Variabel Output Gap Berdasarkan hasil estimasi yang telah dijelaskan sebelumnya, diperoleh koefisien dari variabel output gap bertanda positif, yaitu sebesar 0,227. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan output gap sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh peningkatan inflasi sebesar 0,227 persen, begitu juga sebaliknya. Secara teoritis, perkembangan inflasi merespon perkembangan output gap, dalam artian peningkatan output gap akan mendorong peningkatan inflasi, dan sebaliknya. Hal ini memberikan penjelasan bahwa perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung memberikan tekanan ke atas pada tingkat harga. Koefisien output gap yang bernilai positif merupakan dampak inflatoir dari perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya akan terus terjadi pada periode berikutnya (Fauzi, 2007). Hasil estimasi sejalan dengan penelitian yang dilakukan Honohan dan Lane (2003) dimana output gap dapat memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara Eropa. Selain itu, hal senada pun diungkapkan oleh Werdaningtyas (2004) dalam kondisi
70
inflationary gap, apabila pendapatan aktual mengalami kenaikan, maka output gap semakin besar, sehingga dampaknya tingkat harga juga mengalami kenaikan. Output gap
selalu menjadi faktor penting dalam memengaruhi
perkembangan tingkat inflasi (Angeloni dan Ehrmann, 2004). Hubungan positif antara output gap dan tingkat inflasi telah terbukti memengaruhi pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Respon positif inflasi terhadap output gap mengindikasikan jika perekonomian di negara-negara ASEAN+6 dalam kondisi booming akan mendorong kenaikan tingkat inflasi di kawasan tersebut. Begitupun sebaliknya, jika perekonomian dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Variabel output gap juga dapat merefleksikan siklus bisnis dalam suatu kawasan, seperti halnya di negara-negara ASEAN+6, sehingga pemilihan kebijakan moneter atau fiskal di kawasan tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi inflationary gap atau deflationary gap. Pengelolaan stabilitas makroekonomi menjadi hal yang sangat penting, karena guncangan yang terjadi cenderung akan mendorong perubahan dalam jangka waktu lebih lama. Hubungan positif antara output gap dengan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 juga dapat terlihat pada Gambar 4.4a. dan Gambar 4.4b. yang ditampilkan sebelumnya. Secara keseluruhan, perkembangan output gap dan inflasi di negara-negara ASEAN+6 memiliki pola interaksi yang variatif, dimana output gap dapat memengaruhi pergerakan tingkat inflasi. Implikasinya adalah dengan semakin kuatnya pengaruh tekanan ekonomi yang tercermin oleh perkembangan output gap pada pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6, maka semakin penting pula peranan pertumbuhan ekonomi sebagai
71
salah satu indikator sasaran akhir kebijakan makro-moneter. Sensitivitas inflasi terhadap perkembangan output gap mengharuskan negara-negara ASEAN+6 merumuskan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pencapaian sasaran tunggal stabilitas harga, baik kondisi saat kini maupun dimasa yang akan datang. Pengelolaan kebijakan moneter yang tepat dan diimbangi oleh kebijakan fiskal dari pemerintah di masing-masing negara akan mampu memberikan dampak positif dan keseimbangan ekonomi bagi perekonomian di negara-negara ASEAN+6. Penelitian Solikin (2004) menjelaskan bahwa ketidaklinieran atau asimetri hubungan antara kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi memiliki implikasi penting pada kebijakan pengelolaan sisi penawaran (supply-management policies) dan kebijakan pengelolaan sisi permintaan (demand-management policies). Jika dilihat dari sisi penawaran pemerintah negara-negara ASEAN+6 dapat membuat kebijakan dengan membatasi sebagian pengaruh shock positif pada sisi penawaran, sehingga pencapaian pertumbuhan output tidak menimbulkan inflasi. Sedangkan dari sisi permintaan dapat dilakukan dengan merespon shocks pada sisi permintaan (demand side). Agar target inflasi rendah dan stabil yang ditetapkan oleh otoritas moneter di negara-negara ASEAN+6 dapat terealisasi, maka rata-rata output riil harus diupayakan untuk berada pada kondisi di bawah tingkat potensialnya. Implikasi dari kondisi tersebut adalah dalam hal output riil berada di atas tingkat potensialnya, maka terdapatnya insentif bagi pengambil kebijakan di negara-negara ASEAN+6 (pemerintah atau otoritas moneter) untuk mempercepat respon terhadap terjadinya gejala awal inflasi, yaitu saat terjadinya shocks positif pada permintaan agregat di negara-negara tersebut.
72
4.3.3.3. Variabel Nominal Effective Exchange Rate (NEER) Variabel selanjutnya yang berpengaruh signifikan dalam memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 adalah nilai tukar efektif nominal. Koefisien dari variabel nilai tukar bertanda negatif, yaitu sebesar -0,0599. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan (apresiasi) nilai tukar efektif nominal pada periode atau tahun sebelumnya sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh penurunan inflasi sebesar 0,0599 persen, begitu juga sebaliknya. Penelitian Honohan dan Lane (2003) dengan menggunakan metode system GMM, nilai tukar efektif nominal secara signifikan berpengaruh terhadap perkembangan tingkat inflasi di negara-negara Eropa. Darussalam (2010) suatu negara yang menyerahkan nilai tukarnya kepada pasar, berarti memberikan keleluasaan kepada aliran modal dan perdagangan internasional, sehingga nilai tukar dan harga-harga akan bergerak dengan keterkaitan yang erat. Namun, pergerakan naik turunnya tingkat inflasi yang disebabkan oleh nilai tukar juga dapat terjadi karena adanya intervensi kebijakan pemerintah dalam rangka menstabilkan mata uang agar tidak terlalu kuat ataupun terlalu lemah. Nilai tukar menjadi salah satu faktor penting dalam mengelola perkembangan tingkat inflasi. Hal ini dikarenakan nilai tukar memiliki reaksi yang lebih instan, lebih volatile dan efek guncangan lebih besar dibandingakan dengan variabel ekonomi lainnya (Rahutami, 2007). Hasil estimasi pada penelitian ini juga dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi depresiasi di negara-negara ASEAN+6 akan diikuti laju inflasi yang tinggi. Secara teoritis, dampak yang paling besar dari depresiasi mata uang domestik di suatu negara dapat
73
memengaruhi tingkat harga secara langsung melalui barang-barang impor yang dibayarkan konsumen domestik. Pengaruh tidak langsung dari depresiasi mata uang dapat dilihat dari harga barang-barang modal yang diimpor oleh produsen sebagai input. Melemahnya nilai tukar akan mengakibatkan harga input yang digunakan semakin mahal, sehingga berimplikasi kepada biaya produksi semakin tinggi. Kenaikan biaya produksi akan diikuti oleh kenaikan harga output dan beban dari kenaikan harga output tersebut akan dibebankan kepada konsumen. Pada akhirnya, tingkat harga di negara yang bersangkutan secara agregat meningkat dan menimbulkan inflasi. Selain itu, mekanisme transmisi nilai tukar selalu menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat memengaruhi perkembangan penawaran dan permintaan agregat, selanjutnya berpengaruh ke output dan harga (Nuryati, 2004). Apabila terjadi guncangan pada nilai tukar, maka dampak yang akan ditimbulkan akan mampu memengaruhi seluruh elemen dan pelaku ekonomi di negara tersebut atau bahkan memberikan dampak negatif bagi negara-negara dalam sebuah kawasan regional. Depresiasi atau apresiasi
nilai tukar
yang terjadi akan menyebabkan
keseimbangan harga di negara-negara ASEAN+6 menjadi tidak stabil, sehingga kebijakan nilai tukar yang diterapkan di masing-masing negara harus bisa menjaga tingkat inflasi agar tetap berada pada tingkat yang rendah dan stabil. 4.3.3.4. Variabel Suku Bunga Nominal Variabel terakhir yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 adalah tingkat suku bunga nominal. Koefisien dari variabel suku bunga bertanda positif, yaitu sebesar 0,324. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan suku bunga nominal sebesar 1 persen, cateris
74
paribus, akan direspon oleh peningkatan inflasi sebesar 0,324 persen, begitu juga sebaliknya. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis fisher, dimana terdapat hubungan positif antara suku bunga nominal dengan tingkat inflasi. Hal tersebut mengindikasikan jika di negara-negara ASEAN+6 memiliki tingkat bunga nominal yang tinggi cenderung diikuti oleh tingkat inflasi yang tinggi pula, begitu pun sebaliknya, tingkat bunga nominal yang rendah cenderung diikuti oleh tingkat inflasi yang rendah. Fama (1975) dalam Mitchell-Innes (2006) mendukung dan membuktikan hipotesis fisher yaitu tingkat suku bunga nominal dapat memberikan informasi mengenai kondisi inflasi di masa mendatang. Tingginya suku bunga akan menyebabkan harga-harga secara keseluruhan meningkat atau mengalami kenaikan dan terjadinya inflasi. Hal tersebut dikarenakan biaya bunga akan menjadi beban atau tangung jawab produsen atau pengusaha, dimana suku bunga yang tinggi akan menyebabkan semakin besar pula biaya atas modal, seperti tenaga kerja (faktor produksi) yang selanjutnya akan meningkatkan biaya produksi. Suku bunga secara langsung memengaruhi pasar kredit (pinjaman), karena dengan tingginya suku bunga membuat pinjaman menjadi lebih mahal. Perkembangan suku bunga dan inflasi di negara-negara ASEAN+6 dapat terlihat pada Gambar 4.5a. dan Gambar 4.5b.. Secara umum laju inflasi selalu mengikuti perkembangan tingkat suku bunga nominal. Penelitian Gul dan Ekinci (2006) juga memperkuat dan mendukung hasil penelitian ini, dimana dari hasil penelitiannya ditemukan bagaimana suku bunga nominal dapat memengaruhi tingkat inflasi dalam jangka panjang. Selain itu, penelitian Gul dan Ekinci juga membuktikan bagaimana suku bunga nominal
75
memainkan peran penting dalam perkembangan inflasi di suatu negara. Implikasi dari meningkatnya suku bunga nominal yang pada akhirnya diikuti oleh peningkatan tingkat inflasi, mengharuskan negara-negara ASEAN+6 untuk dapat menyelaraskan pencapaian tingkat suku bunga dan tingkat inflasi pada kondisi optimal. Jika terjadi perubahan pada tingkat suku bunga nominal dan tidak dikelola dengan baik, maka dalam jangka panjang kondisi tersebut akan menimbulkan tekanan negatif kepada para produsen atau pengusaha sehingga kondisi tersebut dapat merugikan perekonomian secara keseluruhan.
76
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan dalam penulisan skripsi ini,
maka hasil penelitian konvergensi inflasi dan faktor-faktor yang memengaruhi di negara-negara ASEAN+6 dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dengan menggunakan analisis System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM) dalam estimasi twostep noconstant, ternyata didapatkan hasil estimasi nilai koefisien yang lebih kecil dari pada satu, sehingga terjadi konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 atau dengan kata lain inflasi di negara-negara ASEAN+6 adalah konvergen pada periode 20002009. Selain itu, variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung dan berpengaruh nyata dalam pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6. 2. Pengujian variabel pada estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di kawasan ASEAN+6 dilakukan dengan menggunakan ArellanoBond Generalized Method of Moments (AB-GMM) dalam estimasi twostep noconstant. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa signifikansi pengaruh variabel makroekonomi, seperti lag dependent (inflasi), output gap, nilai tukar efektif nominal, dan suku bunga nominal menunjukkan berpengaruh terhadap pergerakan tingkat inflasi di negaranegara ASEAN+6. Sedangkan variabel pengeluaran konsumsi pemerintah (General Government Final Consumption Expenditure) tidak berpengaruh
77
nyata atau tidak signifikan dalam memengaruhi pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6.
5.2.
Saran Pentingnya konvergensi inflasi sebagai salah satu syarat bagi negara-
negara yang akan berpartisipasi dalam monetary union, membuat negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+6 harus mampu menjaga dan mengendalikan pergerakan inflasi. Efektivitas pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter dengan sasaran tunggal stabilitas harga akan sangat bergantung pada sejauhmana komitmen (kredibilitas) bank sentral di negara-negara ASEAN+6 dalam mengupayakan perkembangan inflasi yang rendah dan stabil dalam kurun waktu tertentu. Kredibilitas kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi memerlukan koordinasi yang kuat antara otoritas moneter (Bank Sentral) dan pemerintah di negara-negara ASEAN+6 agar target inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai, serta diikuti dengan pergerakan laju inflasi yang seragam di kawasan tersebut. Selain itu, pemerintah negara-negara ASEAN+6 harus responsif dalam merespon perkembangan faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan laju inflasi di negara masing-masing. Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan data bulanan atau kuartalan dan memasukkan variabel-variabel makroekonomi lain yang terkait dengan inflasi, sehingga hasil yang akan diperoleh lebih informatif. Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat mengikutsertakan negara-negara anggota ASEAN lainnya, sehingga hasil estimasi dapat menghasilkan informasi secara menyeluruh.
78
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N. A. 2008. “Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan Ancaman”. [Brighten Institute]. http://www.brighten.or.id/index.php?option=com_content&view=category &layout=blog&id=40&itemid=77 [21 Agustus 2008]. Alamsyah H, Josep C, Agung J, Zulverdy D. 2001. Toward Implementation of Inflation Targeting in Indonesia. Bulletin of The Indonesian Economics Studies 37: 309-324. Alvarez, Fernando., Lucas Robert E, Weber Warren E. 2001. Interest Rate and Inflation. Working Paper 609: 2-15. Angeloni, Ignazio and Michael Ehrmann. 2004. Euro Area Inflation Differentials. Working Paper No.388/September 2004. European Central Bank. Andersson, M., K. Masuch., dan M. Schiffbauer. 2009. Determinant of Inflation and Price Level Differentials Across the Euro Area Countries. Working Paper Series No. 1129. Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edition. British Library Cataloguing in Publication Data. Blundell R, Bond S. 1998. GMM Estimation with Persistent Panel Data: an application to production functions. The institute for fiscal study working papers series w99/4. Bureau of Labor Statistics. 2004. Understanding the Consumer Price Index: Answers to Some Questions. U.S. Department of Labor Bureau of Labor Statistics August 2004 (Revised). Busetti, F., L. Forni., A. Harvey., dan F. Venditti. 2006. “Inflation Convergence and Divergence Within the European Monetary Union”. Working Paper Series No. 574. Darussalam, Bayu. 2010. Analisis Penerapan Nilai Tukar ASIAN Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3 [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Depdagri. 2008. Menuju ASEAN Economic Community 2015. Blue Print. Fauzi, A. J. F. A. 2007. Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
79
Gul E, Aykut E. 2006. The Causal Relationship between Nominal Interest Rate and Inflation: The Case of Turkey. Scientific Journal od Administrative Development Vol. 4. Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal dan Riil Diantara Negara-negara ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Holmes, M. J. 2008. “Has the Euro Era Facilitated Inflation Convergence?” Journal of International and Global Economics Studies: 27-33. Honohan, P. dan P. Lane. 2003. Divergent Inflation in EMU. Economic Policy. Indra. 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan Perkapita: Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasifik [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kawai, Masahiro. 2007. ASEAN+3 or ASEAN+6: Which Way Forward?. Asian Development Bank Institute. Geneva, Switzerland. Kocenda, E. dan Papell, H. David. 1997. “Inflation Convergence within the European Union: A Panel Data Analysis”. Centre for Economic Research : 1-7. Lipsey, R. G. dan Peter D. S. 1995. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta. Mishkin, F. S. 2004. The Economics of Money, Banking, and Financial Market, Seventh Edition. Addison Wesley, New York. Mongelli, F. P. 2008. European Economic And Monetary Integration and The Optimum Currency Area Theory. Economic Paper 302. Moosa, Imad A. 2004. International Finance, An Analytical Approach. 2nd edition. La Trobe University. McGraw Hill. Australia. Ningsih, Ratna. 2010. Analisis Keterkaitan Dinamis Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nugraha, F. W. 2006. Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nugraheni, Siwi. 1997. Suku Bunga, Inflasi dan High Cost Economy. Bina Ekonomi edisi Juli 1997.
80
Nuryati, Yati. 2004. Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di Indonesia [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rabe-Hesketh S, Everitt B. 2004. A Handbook of Statistical Analyses using Stata. Third Edition. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. Rahutami, Ika Angelina. 2007. Inflation Targeting: Mengapa Diperlukan dan Bagaimana Supaya Dapat Bekerja Dengan Lebih Baik. Buletin Ekonomi Vol. 5 No. 2, Agustus 2007 hal 172-188. Sasana, Hadi. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Inflasi di Indonesia dan Filipina (Pendekatan Error Correction Model). Jurnal Bisnis dan Ekonomi, September 2004. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional (International Economic). Edisi kelima. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Schmidheiny, Kurt. 2008. A Short Guide to Stata 10 for Windows. Universitat Pompeu Fabra. Solikin. 2004. Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia: Keberadaan, Pola Pembentukan Ekspektasi, dan Linieritas. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2004. Susanto, Heri. 2005. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Toh, Mun-Heng. 2009. ASEAN+6 as a Step toward an Asian Economic Community. National University of Singapore. Trihadmini, Nuning. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia Periode 1988-2002 [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia. Verbeek, Marno. 2004. A guide to modern econometrics. 2 nd Edition. Chichester: john wiley & sons. Ltd. Werdaningtyas, G. E. 2000. Kebijaksanaan Inggris (1992-1999) Terhadap Uni Ekonomi dan Moneter: Faktor-Faktor yang Mendorong Penundaan Inggris Untuk Bergabung Dalam Mata Uang Tunggal Eropa [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
81
LAMPIRAN
82
Lampiran 1. Hasil Granger Causality Test Kasus Negara-Negara ASEAN Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:06 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
Obs
F-Statistic
Prob.
40
1.39905 0.50592
0.2603 0.6073
Obs
F-Statistic
Prob.
40
6.03351 3.03781
0.0056 0.0607
Obs
F-Statistic
Prob.
40
4.76625 5.80359
0.0148 0.0067
Obs
F-Statistic
Prob.
40
0.87135 6.89721
0.4273 0.0030
Obs
F-Statistic
Prob.
30
0.58658 1.40691
0.6759 0.2661
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:09 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:11 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:14 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:07 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
83
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:09 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
Obs
F-Statistic
Prob.
30
1.27176 1.60332
0.3125 0.2105
Obs
F-Statistic
Prob.
30
0.84212 1.30200
0.5141 0.3015
Obs
F-Statistic
Prob.
30
0.25678 1.43038
0.9022 0.2588
Obs
F-Statistic
Prob.
20
1.97102 0.72189
0.1977 0.6464
Obs
F-Statistic
Prob.
20
2.68966 0.88314
0.1108 0.5522
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:11 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:14 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:07 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:10 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
84
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:12 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Obs
F-Statistic
Prob.
20
1.51198 2.83026
0.2991 0.0998
Obs
F-Statistic
Prob.
20
1.03842 0.96975
0.4734 0.5068
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:14 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR
85
Kasus Negara-Negara ASEAN+3 Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:18 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
Obs
F-Statistic
Prob.
64
2.38111 0.92089
0.1013 0.4038
Obs
F-Statistic
Prob.
64
5.93670 5.92562
0.0045 0.0045
Obs
F-Statistic
Prob.
64
4.83365 5.71830
0.0114 0.0054
Obs
F-Statistic
Prob.
64
1.38896 8.48185
0.2574 0.0006
Obs
F-Statistic
Prob.
48
0.18480 1.44596
0.9449 0.2373
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:19 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:20 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:22 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:18 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
86
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:20 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
Obs
F-Statistic
Prob.
48
1.73731 2.37307
0.1614 0.0689
Obs
F-Statistic
Prob.
48
1.40973 1.12378
0.2488 0.3593
Obs
F-Statistic
Prob.
48
0.58336 1.27989
0.6765 0.2945
Obs
F-Statistic
Prob.
32
1.41342 0.82581
0.2606 0.5641
Obs
F-Statistic
Prob.
32
2.79091 0.82518
0.0405 0.5646
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:21 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:23 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:19 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:20 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
87
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:21 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Obs
F-Statistic
Prob.
32
1.25402 3.73493
0.3240 0.0127
Obs
F-Statistic
Prob.
32
1.86749 0.30551
0.1393 0.9263
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:23 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR
88
Kasus Negara-Negara ASEAN+6 Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:27 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
Obs
F-Statistic
Prob.
88
2.81798 0.65627
0.0655 0.5215
Obs
F-Statistic
Prob.
88
3.97605 6.10845
0.0224 0.0034
Obs
F-Statistic
Prob.
88
4.19549 4.98914
0.0184 0.0090
Obs
F-Statistic
Prob.
88
1.75153 7.40279
0.1799 0.0011
Obs
F-Statistic
Prob.
66
0.48242 2.15523
0.7485 0.0857
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:28 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:29 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:31 Sample: 2000 2009 Lags: 2 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:27 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
89
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:28 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
Obs
F-Statistic
Prob.
66
1.86205 2.32388
0.1296 0.0674
Obs
F-Statistic
Prob.
66
1.53647 2.11571
0.2039 0.0906
Obs
F-Statistic
Prob.
66
0.32069 0.83174
0.8630 0.5106
Obs
F-Statistic
Prob.
44
1.50502 1.20014
0.2092 0.3324
Obs
F-Statistic
Prob.
44
2.59873 1.05275
0.0371 0.4114
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:29 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:31 Sample: 2000 2009 Lags: 4 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:28 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: YGAP does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause YGAP
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:29 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: GGFCE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause GGFCE
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:30 Sample: 2000 2009 Lags: 6
90
Null Hypothesis: DNEER does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause DNEER
Obs
F-Statistic
Prob.
44
1.38738 1.31415
0.2508 0.2803
Obs
F-Statistic
Prob.
44
1.53654 1.24464
0.1992 0.3112
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/09/11 Time: 10:32 Sample: 2000 2009 Lags: 6 Null Hypothesis: IR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause IR
91
Lampiran 2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM) ___ ____ ____ ____ ____ tm /__ / ____/ / ____/ ___/ / /___/ / /___/ 10.0 Statistics/Data Analysis Special Edition
Copyright 1984-2007 StataCorp 4905 Lakeway Drive College Station, Texas 77845 USA 800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600
[email protected] 979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license: Serial number: 198081963 Licensed to: Lic. Santiago Adamcik UNLP Facultad de Ciencias Economicas Notes: 1. 2.
(/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. (5 vars, 110 obs pasted into editor) egen country=group(negara) . xtset country tahun,yearly panel variable: country (strongly balanced) time variable: tahun, 2000 to 2009 delta: 1 year . xtdpdsys
inf
l.dneer ir, twostep noconstant
System dynamic panel-data estimation Group variable: country Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
46
Wald chi2(3) Prob > chi2
= =
99 11
min = avg = max =
9 9 9
= =
230.89 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------inf | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------inf | L1. | .3030889 .0817897 3.71 0.000 .142784 .4633939 dneer | L1. | -.1190496 .0116217 -10.24 0.000 -.1418276 -.0962716 ir | .2507348 .0597086 4.20 0.000 .1337082 .3677614 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).inf Standard: LD.dneer D.ir Instruments for level equation GMM-type: LD.inf . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-2.6393 0.0083 | | 2 | -1.596 0.1105 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation
92
. estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(43) Prob > chi2
= =
10.12008 1.0000
Hasil Estimasi dengan Pooled Least Square (PLS) ___ ____ ____ ____ ____ tm /__ / ____/ / ____/ ___/ / /___/ / /___/ 10.0 Statistics/Data Analysis Special Edition
Copyright 1984-2007 StataCorp 4905 Lakeway Drive College Station, Texas 77845 USA 800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600
[email protected] 979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license: Serial number: 198081963 Licensed to: Lic. Santiago Adamcik UNLP Facultad de Ciencias Economicas Notes: 1. 2.
(/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. (5 vars, 110 obs pasted into editor) egen country=group(negara) . xtset country tahun, yearly panel variable: country (strongly balanced) time variable: tahun, 2000 to 2009 delta: 1 year reg inf l.inf l.dneer ir Source | SS df MS -------------+-----------------------------Model | 550.3708 3 183.456933 Residual | 215.637137 95 2.2698646 -------------+-----------------------------Total | 766.007937 98 7.81640753
Number of obs F( 3, 95) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
= = = = = =
99 80.82 0.0000 0.7185 0.7096 1.5066
-----------------------------------------------------------------------------inf | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------inf | L1. | .5100634 .0800902 6.37 0.000 .3510643 .6690624 dneer | L1. | -.1023707 .0250759 -4.08 0.000 -.1521527 -.0525887 ir | .2511285 .0504639 4.98 0.000 .150945 .351312 _cons | -1.966578 .4128624 -4.76 0.000 -2.786214 -1.146943 ------------------------------------------------------------------------------
93
Hasil Estimasi Fixed Effect (FE) . xtreg inf l.inf l.dneer ir, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: country
Number of obs Number of groups
= =
99 11
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
9 9.0 9
within = 0.2724 between = 0.8421 overall = 0.5610
corr(u_i, Xb)
= 0.5971
F(3,85) Prob > F
= =
10.61 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------inf | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------inf | L1. | -.0240941 .1052813 -0.23 0.820 -.2334215 .1852332 dneer | L1. | -.0811452 .0218859 -3.71 0.000 -.1246603 -.0376301 ir | .213247 .0527061 4.05 0.000 .108453 .3180409 _cons | -1.666923 .4214676 -3.96 0.000 -2.504914 -.8289327 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 1.8435697 sigma_e | 1.2807688 rho | .67447303 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(10, 85) = 4.65 Prob > F = 0.0000 could not restore sort order because variables were dropped
94
Lampiran 3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 Arellano Bond-Generalized Method of Moments (AB-GMM) ___ ____ ____ ____ ____ tm /__ / ____/ / ____/ ___/ / /___/ / /___/ 10.0 Statistics/Data Analysis Special Edition
Copyright 1984-2007 StataCorp 4905 Lakeway Drive College Station, Texas 77845 USA 800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600
[email protected] 979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license: Serial number: 198081963 Licensed to: Lic. Santiago Adamcik UNLP Facultad de Ciencias Economicas Notes: 1. 2.
(/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. (7 vars, 110 obs pasted into editor) egen country=group(negara) . xtset country tahun,yearly panel variable: country (strongly balanced) time variable: tahun, 2000 to 2009 delta: 1 year . xtabond inf ygap d l.dneer ir, twostep noconstant Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: country Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
40
Wald chi2(5) Prob > chi2
= =
88 11
min = avg = max =
8 8 8
= =
397.13 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------inf | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------inf | L1. | -.4238566 .0660577 -6.42 0.000 -.5533273 -.2943859 ygap | .2269112 .0797716 2.84 0.004 .0705618 .3832606 d | -.2086316 .2025061 -1.03 0.303 -.6055363 .1882732 dneer | L1. | -.0599378 .0115525 -5.19 0.000 -.0825803 -.0372953 ir | .3236523 .0678454 4.77 0.000 .1906777 .4566268 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).inf Standard: D.ygap D.d LD.dneer D.ir . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-2.0553 0.0399 | | 2 |-.91807 0.3586 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation
95
. estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(35) Prob > chi2
= =
7.421337 1.0000
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS) ___ ____ ____ ____ ____ tm /__ / ____/ / ____/ ___/ / /___/ / /___/ 10.0 Statistics/Data Analysis Special Edition
Copyright 1984-2007 StataCorp 4905 Lakeway Drive College Station, Texas 77845 USA 800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600
[email protected] 979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license: Serial number: 198081963 Licensed to: Lic. Santiago Adamcik UNLP Facultad de Ciencias Economicas Notes: 1. 2.
(/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. (7 vars, 110 obs pasted into editor) egen country=group(negara) . . xtset country tahun, yearly panel variable: country (strongly balanced) time variable: tahun, 2000 to 2009 delta: 1 year . reg inf l.inf ygap d l.dneer ir Source | SS df MS -------------+-----------------------------Model | 583.116092 5 116.623218 Residual | 295.084377 93 3.17295029 -------------+-----------------------------Total | 878.200469 98 8.96122928
Number of obs F( 5, 93) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
= = = = = =
99 36.76 0.0000 0.6640 0.6459 1.7813
-----------------------------------------------------------------------------inf | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------inf | L1. | .1570829 .0900758 1.74 0.084 -.0217899 .3359556 ygap | .2552957 .0788143 3.24 0.002 .0987861 .4118053 d | -.2688565 .0629998 -4.27 0.000 -.3939616 -.1437514 dneer | L1. | -.0815836 .0304305 -2.68 0.009 -.1420126 -.0211546 ir | .3362874 .0565925 5.94 0.000 .2239059 .4486688 _cons | 3.960746 1.052648 3.76 0.000 1.870397 6.051096 ------------------------------------------------------------------------------
96
Hasil Estimasi Fixed Effect (FE) . xtreg inf l.inf ygap d l.dneer ir, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: country
Number of obs Number of groups
= =
99 11
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
9 9.0 9
within = 0.3143 between = 0.7359 overall = 0.5836
corr(u_i, Xb)
= 0.2959
F(5,83) Prob > F
= =
7.61 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------inf | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------inf | L1. | -.1404236 .0989548 -1.42 0.160 -.3372407 .0563934 ygap | .2315877 .0751228 3.08 0.003 .0821714 .381004 d | -.3876064 .2036764 -1.90 0.061 -.7927106 .0174977 dneer | L1. | -.0726152 .0277146 -2.62 0.010 -.1277385 -.0174919 ir | .263611 .0645275 4.09 0.000 .1352683 .3919536 _cons | 7.10639 2.69511 2.64 0.010 1.745925 12.46686 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 1.3842217 sigma_e | 1.5842621 rho | .43291654 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(10, 83) = 3.46 Prob > F = 0.0008 --more—