KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS
OLEH AMALIA AYUNINGTYAS H14051325
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
AMALIA AYUNINGTYAS, Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI). Integrasi ekonomi dan keuangan regional dalam beberapa tahun ini telah menjadi kecenderungan dan pembicaraan oleh para ahli ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 di banyak forum. Negaranegara ASEAN+3 merasa perlu untuk membentuk mega-region atau suatu kawasan kerjasama yang disebut dengan Asian Single Market (ASM). Dewasa ini, Asia telah memantapkan diri sebagai sebuah mesin pertumbuhan perekonomian dunia dengan menghasilkan 30 persen lebih dari PDB dunia (De Rato dalam Hanie, 2006). Dengan terbentuknya MEA ini diyakini akan terhimpun porsi PDB Asia terhadap PDB dunia yang lebih besar lagi. Melalui ASM ini pula lalu lintas barang, jasa, modal, dan investasi akan bergerak bebas melewati batas negara anggota ASM. Mobilitas faktor produksi dan ukuran pasar yang besar ini akan menjanjikan harga bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktivitas, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi negara-negara anggota ASM. Besar harapan dengan terbentuknya integrasi ekonomi dan keuangan ini akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil. Namun integrasi ekonomi ini juga memberikan peluang sekaligus ancaman bagi negara-negara ASEAN. Peluang terkait dengan kesempatan untuk memetik manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Seiring dengan peluang tersebut, ancaman dan tantangan pun muncul dengan semakin terbukanya perekonomian terhadap persaingan. Akan tetapi, diyakini bahwa manfaat yang diperoleh dari proses integrasi ini lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang akan dihadapi oleh negara-negara dalam kawasan tersebut (Rose, 2000). Salah satu wujud integrasi ekonomi ini adalah dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di kawasan ASEAN+3 yang direalisasikan dengan pembentukan Asian Currency Unit (ACU) yang bertujuan untuk menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota. Pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia pada tahun 1997-1998 yang diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC). Kedua, keterbukaan dan volume perdagangan intra-regional akan menjadi lebih besar di bawah sebuah common currency sehingga dapat memfasilitasi perdagangan internasional yang dapat mengurangi biaya transaksi. Ketiga, keberhasilan Euro yang dapat melindungi mata uang mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar
keuangan telah membuat negara-negara di kawasan ASEAN+3 berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap mata uang mereka Faktor-faktor tersebut telah mencuri banyak perhatian pemerintah dan ahli ekonomi negara-negara Asia Timur. Mereka telah melakukan beberapa langkah untuk mendorong kerjasama moneternya, termasuk melakukan persetujuan yang disebut Chiang Mai Initiative (CMI) pada bulan Mei 2000 yang ditandatangani di Chiang Mai, Thailand. Persetujuan ini diawali dengan sebuah proposal untuk membentuk ACU oleh Asian Development Bank (ADB). Persetujuan ini merupakan inisiatif kerangka kerja negara ASEAN+3 dengan tujuan menjalin hubungan Bilateral Swap Arrangement (BSA) di antara negaranegara ASEAN+3. Perjanjian swap ini dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan kerjasama dalam rangka menghadapi krisis keuangan di masa datang. Setelah krisis keuangan Asia di tahun 1997, negara-negara di kawasan ini mulai membentuk inisiatif ini untuk mengatur dan mengatasi masalah likuiditas jangka pendek dan menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar menukar guna membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis. Kesamaan perekonomian dan pola perdagangan menjadi syarat penting bagi negara-negara yang ingin melakukan integrasi ekonomi ini (Bayoumi dan Mauro, 2001). Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang fenomena integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi dengan base country Singapura dan Jepang (Partisiwi, 2008) dan konvergensi kurs di ASEAN+3 dengan menggunakan G-PPP Test. GPPP Test yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Singapura dan Amerika Serikat sebagai base country. Negara-negara yang akan diamati adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Hasil empiris menunjukkan bahwa melalui analisis pertumbuhan ekonomi ditemukan bahwa Singapura lebih layak dijadikan sebagai negara acuan (peg) bagi negara ASEAN+3 lainnya daripada Jepang. Hasil ini diperoleh dari hasil IRF dan FEVD yang mencerminkan kondisi optimal negara ASEAN+3. Sedangkan dari analisis konvergensi kurs dihasilkan bahwa Indonesia lebih cocok dengan mendasarkan kursnya terhadap Dollar Singapura daripada terhadap Dollar AS. Dengan hasil ini maka sangat perlu dilakukan kebijakan yang mendorong terjadinya integrasi ekonomi di antara negara ASEAN+3 sehingga dapat membentuk OCA. Terlebih lagi bagi Indonesia yang harus mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan keunggulan komparatif industri-industri di Indonesia agar lebih mampu bersaing nantinya dan mempersiapkan tenaga kerja yang lebih terampil. Perlu juga dilakukan upaya menjaga kestabilan kurs masing-masing negara terhadap guncangan yang terjadi, khususnya rupiah yang masih rentan dan lemah. Masih harus pula ditingkatkan keterbukaan perekonomian di antara negaranegarar tersebut agar OCA yang terbentuk adalah sebuah kondisi yang benarbenar siap untuk menjadi kutub ekonomi dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa. Pada penelitian ini belum dilakukan pemecahan periode penelitian (penggunaan dummy krisis Asia), karenanya untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memecah periode penelitian berkaitan dengan adanya krisis Asia.
KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS
OLEH AMALIA AYUNINGTYAS H14051325
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Amalia Ayuningtyas
Nomor Registrasi Pokok
: H14051325
Departemen
: Ilmu Ekonomi
Judul
: Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis
Pertumbuhan
Ekonomi
dan
Konvergensi Kurs
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembibmbing
Noer Azam Achsani, Ph.D NIP : 19681229 199203 1 016
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP : 19641023 198903 2 002
Tanggal disetujui :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Amalia Ayuningtyas H14051325
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Amalia Ayuningtyas lahir pada tanggal 16 Agustus 1987 di Bogor yang merupakan kota hujan sekaligus kota satelit dari Ibu Kota Indonesia ini. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Djufronny Zakaria dan Titie Sri Suprapti. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Panaragan 2 Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Penulis tidak pernah meninggalkan kota Bogor tercinta dari pertama lahir hingga saat ini. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa kepanitiaan dan organisasi seperti UKM Lises Gentra Kaheman dan HIPOTESA.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs” ini dengan baik. Integrasi Asia Timur merupakan topik yang sangat menarik dan sedang menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan ahliahli ekonomi dunia, khususnya Asia. Proses integrasi ini diharapkan akan membawa dampak positif terhadap kesejahteraan negara-negara di kawasan tersebut. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini, antara lain : 1. Noer Azam Achsani, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Bapak juga telah membuka wawasan penulis mengenai integrasi ekonomi. Terlebih lagi, Bapak bukan hanya menjadi dosen pembimbing, melainkan juga orang tua. 2. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji skripsi yang telah memberi banyak saran yang membangun demi kebaikan karya ini. 3. Jaenal Effendi, MA selaku komisi pendidikan yang telah memberi saran mengenai tata cara penulisan yang baik. 4. Tony Irawan, M.App.Ec selaku dosen yang senantiasa membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Ade Holis, SE dan Heni Hasanah, SE atas ilmu dan diskusi yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini. 6. Kedua orang tua penulis, Djufronny Zakaria dan Titie Sri Suprapti (Alm.), serta kedua adik tersayang, Ghita Dwi Kartika dan Mahardian Tamma, yang selalu setia memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Kepada
almarhumah Ibunda tersayang, penulis akan selalu cinta, sayang, dan mendoakan agar senantiasa menjadi ahli surga di akhirat. 7. Sahabat-sahabat penulis dari masa kecil hingga saat ini, Mba Iie, Mba Pipit, Mba Dila, dan Ulya yang sudah seperti keluarga sendiri bagi penulis dan selalu memberikan doa dan dukungan serta selalu menjadi semangat hidup penulis. 8. Inna, Riri, Ginna, Renny, Dian, dan Anggi, sahabat-sahabat penulis yang selalu menemani hari-hari penulis selama di IE 42 dan senantiasa berbagi kesenangan, keceriaan, juga kesedihan bersama. 9. Gerry, Dewinta, Inna, dan Arisa, yang telah setia menjadi keluarga dan mengisi hari-hari dengan mengerjakan tugas minor bersama di LSI. 10. Sahabat-sahabat sepermainan penulis yang lain, Adit, Lukman, Gerry, Riza, Vagha, Adrian, dan Made, yang selalu senantiasa menghabiskan waktu bersama untuk melepaskan penat dan mengisi hari-hari penulis dengan penuh keceriaan. 11. Sahabat-sahabat penulis di Gentra Kaheman dan HIPOTESA yang telah memberikan warna baru dalam kehidupan penulis. 12. Teman-teman satu bimbingan, Putri, Tia, dan Suryarisman, yang selalu menjadi tempat bertukar pikiran dan berdiskusi dalam proses penyusunan skripsi ini. 13. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulisan skripsi ini tidak akan sempurna tanpa kritik dan saran dari para peserta seminar dan dosen penguji. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Amalia Ayuningtyas H14051325
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... xv I.
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2.
Perumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3.
Tujuan Penelitian ............................................................................. 11
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 12 1.5. II.
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 12
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................... 14 2.1. Integrasi Ekonomi ........................................................................... 14 2.1.1. Optimum Currency Areas (OCA) ......................................... 17 2.1.2. Asian Currency Unit (ACU) ................................................. 19 2.2. Konvergensi Kurs ............................................................................ 20 2.3. Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) Theory ................... 21 ............................................................................................................. 2.4. Sistem Kurs ..................................................................................... 22 2.5. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 24 2.6. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 29
III.
METODE PENELITIAN ......................................................................... 31 3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 31 3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 32 3.3. Analisis Vector Autoregression (VAR) ........................................... 33 3.4. Analisis Vector Error Correction Model (VECM) .......................... 36 3.5. Analisis Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) ................. 37 3.6. Pengujian Pra-Estimasi ................................................................... 40 3.6.1. Metode Moving Average ..................................................... 40
3.6.2. Uji Stasioneritas Data .......................................................... 41 3.6.3. Penentuan Lag Optimal ....................................................... 43 3.6.4. Uji Kointegrasi .................................................................... 44 3.6.5. Uji Kausalitas Granger ....................................................... 45 3.6.6. Uji Matriks Korelasi ............................................................ 45 3.7. Analisis Impulse Response Function (IRF) ....................................... 46 3.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) ......... 47
3.9. Model Penelitian .............................................................................. 48 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN I .............................................................. 52 4.1. Uji Stasioneritas Variabel GDP ........................................................ 52 4.2. Penentuan Lag Optimal Variabel GDP ............................................. 53 4.3. Uji Stabilitas VAR Variabel GDP .................................................... 55 4.4. Uji Kointegrasi Variabel GDP ......................................................... 56 4.5. Uji Kausalitas Granger Variabel GDP ............................................. 57 4.6. Uji Matriks Korelasi Variabel GDP ................................................. 58 4.7. Analisis Impulse response Function Perekonomian Negara ASEAN+3 ....................................................................................... 59 4.7.1. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Singapura ................................... 60 4.7.2. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Jepang ........................................ 62 4.7.3. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Indonesia .................................... 65 4.7.4. Respon Perekonomian Indonesia terhadap Guncangan Perekonomian Negara ASEAN+3 ...................... 67 4.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Perekonomian Negara ASEAN+3 .................................................... 70 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN II ............................................................. 76 5.1. Uji Stasioneritas Variabel Kurs ........................................................ 76 5.2. Penentuan Lag Optimal Variabel Kurs ............................................. 77 5.3. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs .................................................... 80 5.4. Uji Kointegrasi Variabel Kurs .......................................................... 80
5.5. Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs ............................................. 81 5.6. Uji Matriks Korelasi Variabel Kurs ................................................. 82 5.7. Analisis Impulse response Function Kurs Negara ASEAN+3 .......... 83 5.7.1. Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 ............................................................................ 84 5.7.2. Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah ............................................................................... 90 5.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Kurs Negara ASEAN+3 ........................................... 9 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 103 6.1. Kesimpulan ................................................................................... 103 6.2. Saran
.......................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 107 LAMPIRAN ................................................................................................... 111
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Sistem Kurs Negara ASEAN+3 (Tahun 2007) ......................................... 3
2.1.
Tahapan Integrasi Ekonomi Salvatore .................................................... 15
2.2.
Manfaat dan Biaya Ekonomi Pembentukan Asian Currency Unit .......... 20
3.1.
Data dan Sumber Data ........................................................................... 31
4.1.
Uji Stasioneritas Variabel GDP ............................................................. 53
4.2.
Uji Lag Optimal Variabel GDP ............................................................. 54
4.3.
Johansen Cointegration Test Variabel GDP .......................................... 57
4.4.
Uji Kausalitas Granger Variabel GDP ................................................... 58
4.5.
Matriks Korelasi Variabel GDP ............................................................. 59
5.1.
Uji Stasioneritas Data Kurs .................................................................... 76
5.2.
Uji Lag Optimal Variabel Kurs .............................................................. 77
5.3.
Johansen Cointegration Test Variabel Kurs ........................................... 81
5.4.
Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs dengan Base Country Singapura 81
5.5.
Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs dengan Base Country Amerika Serikat ................................................................................................... 82
5.6.
Matriks Korelasi Kurs dengan Base Country Singapura ......................... 83
5.7.
Matriks Korelasi Kurs dengan Base Country Amerika Serikat ............... 83
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1.
Kerangka Pemikiran ............................................................................. 30
4.1.
Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Singapura ....................................................................... 61
4.2.
Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Jepang ............................................................................ 63
4.3.
Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Indonesia ........................................................................ 66
4.4.
Respon Perekonomian Indonesia terhadap Guncangan Perekonomian Negara ASEAN+3 ................................................................................ 68
4.5.
Variance Decomposition Perekonomian Negara ASEAN+3 .................. 71
5.1.
Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Singapura ........................................................................ 85
5.2
Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Amerika Serikat .............................................................. 88
5.3
Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah dengan Base Country Singapura ........................................................................ 92
5.4.
Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah dengan Base Country Amerika Serikat .............................................................. 93
5.5.
Variance Decomposition Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Singapura ............................................................................................. 96
5.6.
Variance Decomposition Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Amerika Serikat .................................................................................... 99
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Uji Stabilitas VAR Variabel GDP ............................................................. 112 2. Impulse Response Function GDP Indonesia ............................................. 112 3. Impulse Response Function GDP Malaysia ............................................... 113 4. Impulse Response Function GDP Singapura ............................................. 113 5. Impulse Response Function GDP Filipina ................................................. 114 6. Impulse Response Function GDP Thailand ............................................... 114 7. Impulse Response Function GDP Jepang ................................................... 115 8. Impulse Response Function GDP Korea Selatan ........................................ 115
BASE COUNTRY SINGAPURA 9. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs .............................................................. 116 10. Impulse Response Function Rupiah ........................................................... 117 11. Impulse Response Function Ringgit .......................................................... 117 12. Impulse Response Function Peso ............................................................... 118 13. Impulse Response Function Baht ............................................................... 118 14. Impulse Response Function Yen ................................................................ 119 15. Impulse Response Function Won ............................................................... 119
BASE COUNTRY AMERIKA SERIKAT 16. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs .............................................................. 120 17. Impulse Response Function Rupiah ........................................................... 121 18. Impulse Response Function Ringgit .......................................................... 121 19. Impulse Response Function SDollar .......................................................... 122 20. Impulse Response Function Peso ............................................................... 122 21. Impulse Response Function Baht ............................................................... 123 22. Impulse Response Function Yen ................................................................ 123 23. Impulse Response Function Won ............................................................... 124
DAFTAR ISTILAH
1. Optimum Currency Area (OCA) Sebuah kawasan yang terdiri dari negara-negara yang berintegrasi dengan menggunakan mata uang yang sama.
2. Contagion effect Efek penularan yang diberikan oleh suatu negara yang terkena guncangan kepada negara lainnya.
3. Purely flexible rates Sistem kurs yang membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain.
4. Hard peg Sistem mata uang dimana satu negara menetapkan nilai mata uangnya terhadap mata uang negara lain yang dijadikan sebagai ”peg” atau patokan. 5. Common Currency / Single Currency Mata uang tunggal yang digunakan oleh negara-negara yang berintegrasi.
6. Base Country / Peg Country Negara yang dijadikan sebagai acuan bagi negara-negara lainny dalam integrasi ekonomi. Biasanya negara yang kuat dan stabil yang dijadikan sebagai acuan.
7. Common trend Tren bersama yang diperlihatkan oleh negara-negara yang optimal membentuk suatu integrasi ekonomi.
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Integrasi ekonomi dan keuangan regional dalam beberapa tahun ini telah
menjadi kecenderungan dan pembicaraan oleh para ahli ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 di banyak forum (Girardin dan Steinherr, 2008). Negara-negara ASEAN+3 merasa perlu untuk membentuk mega-region atau suatu kawasan kerjasama yang disebut dengan Asian Single Market atau Pasar Tunggal Asia. Besar harapan dengan terbentuknya integrasi ekonomi dan keuangan ini akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil. Namun integrasi ekonomi ini juga memberikan peluang sekaligus ancaman bagi negara-negara ASEAN. Peluang terkait dengan kesempatan untuk memetik manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Seiring dengan peluang tersebut, ancaman dan tantangan pun muncul dengan semakin terbukanya perekonomian terhadap persaingan. Akan tetapi, peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan ini pada dasarnya dilandasi oleh alasan bahwa manfaat yang diperoleh dari proses integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang akan dihadapi oleh negara-negara dalam kawasan tersebut (Rose, 2000). Salah satu wujud integrasi ekonomi ini adalah dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di kawasan ASEAN+3 yang direalisasikan
dengan pembentukan Asian Currency Unit (ACU) yang bertujuan untuk menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota. Pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia pada tahun 1997. Krisis ini diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC). Peristiwa ini menimbulkan kesadaran dari berbagai pihak mengenai pentingnya memperkuat kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan Asia sehingga diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi krisis pada waktu yang akan datang serta untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Krisis Finansial Asia tahun 1997 silam telah membuat para ahli ekonomi negara-negara ASEAN+3 berpikir untuk membentuk suatu integrasi ekonomi di kawasan ini guna menjaga kestabilan kurs jika terjadi guncangan pada negara luar. Krisis ini menyebabkan penurunan output dan standar hidup secara signifikan di negara-negara Asia. Krisis Asia ini menunjukkan bahwa softly peg regime yang rentan krisis tidak sesuai seiring dengan tingginya mobilitas modal sekarang ini. Sistem yang dianggap sesuai pada kondisi saat ini adalah purely flexible rates dan hard peg (Eichengreen dalam Ahn et al, 2005). Berdasarkan pandangan tersebut, setiap negara harus memilih salah satu dari dua sistem kurs (two corner bipolar solutions), yaitu sistem kurs mengambang bebas dengan independensi kebijakan moneter dan sistem kurs tetap dengan tidak adanya
independensi kebijakan moneter. Purely flexible rates adalah sistem kurs yang membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain. Sedangkan hard peg diartikan sebagai suatu sistem mata uang dimana satu negara menetapkan nilai mata uangnya terhadap mata uang negara lain yang dijadikan sebagai “peg” atau patokan. Negara yang dijadikan sebagai patokan adalah negara maju atau negara industri besar, seperti Amerika Serikat. Berikut disajikan tabel tentang sistem kurs negara ASEAN+3 secara lengkap. Tabel 1.1. Sistem Kurs Negara ASEAN+3 (Tahun 2007) Negara
Mata Uang
Sistem Kurs
Indonesia
Rupiah
Mengambang Bebas
Jepang
Yen
Mengambang Bebas
Filipina
Peso
Mengambang Bebas
Kamboja
Riel
Mengambang Terkendali
China
Yuan
Mengambang Terkendali
Korea Selatan
Won
Mengambang Terkendali
Laos
Kip
Mengambang Terkendali
Myanmar
Kyat
Mengambang Terkendali
Singapura
Dollar Singapura
Mengambang Terkendali
Thailand
Baht
Mengambang Terkendali
Vietnam
Dong
Mengambang Terkendali
Malaysia
Ringgit
Tetap/peg
Brunai
Dollar (BRD)
Currency
Board/pegged
Dollar Singapura Sumber : IMF, Annual Report 2006
terhadap
Faktor kedua yang melatarbelakangi ide pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan Asia adalah kecenderungan bertumbuhnya perdagangan atau arus investasi dan integrasi ekonomi di kawasan ini. Pertumbuhan tersebut telah memicu berkembangnya ide bahwa Asia Timur memerlukan suatu mata uang bersama (common currency). Seiring dengan globalisasi di pasar uang dan modal dunia, hampir di semua negara ASEAN aliran masuk dan keluar modal menjadi semakin terbuka. Mundell (1961) berpendapat bahwa currency union dapat memfasilitasi perdagangan internasional dan single medium dari kurs mengurangi biaya transaksi dalam perdagangan regional. Rezim baru ini akan mendorong arus modal dan investasi, meningkatkan pertumbuhan dan kesempatan kerja, dan mengembangkan performa balance of payment (BOP). Madhur (2002) berpendapat bahwa single currency meningkatkan perdagangan diantara negaranegara yang termasuk dalam kawasan, oleh karena itu, keterbukaan dan volume perdagangan intra-regional akan menjadi lebih besar di bawah sebuah single currency. Ketiga, keberhasilan Euro. Pengalaman Eropa dalam membangun European Unit of Account (EUA) di awal tahun 1970, kemudian dapat membentuk European Monetary System (EMS) dan European Currency Unit (ECU) pada tahun 1979, dan membentuk European Monetary Union (EMU) dengan lahirnya mata uang Euro sebagai mata uang regional baru di tahun 1999, memberikan pelajaran dan pengalaman yang relevan untuk membentuk OCA. Peluncuran Euro di 12 negara European Union yang dapat melindungi mata uang mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar keuangan telah membuat
negara-negara di kawasan ASEAN+3 berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap mata uang mereka. Faktor-faktor tersebut telah mencuri banyak perhatian pemerintah dan ahli ekonomi negara-negara ASEAN+3. Mereka telah melakukan beberapa langkah untuk mendorong kerjasama moneternya, termasuk melakukan persetujuan yang disebut Chiang Mai Initiative (CMI) pada bulan Mei 2000 yang ditandatangani di Chiang Mai, Thailand. Persetujuan ini diawali dengan sebuah proposal untuk membentuk ACU oleh Asian Development Bank (ADB). Persetujuan ini merupakan inisiatif kerangka kerja negara ASEAN+3 dengan tujuan menjalin hubungan Bilateral Swap Arrangement (BSA) di antara negara-negara ASEAN+3. Perjanjian swap ini dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan kerjasama dalam rangka menghadapi krisis keuangan di masa datang. Setelah krisis keuangan Asia di tahun 1997, negara-negara di kawasan ASEAN+3 mulai membentuk inisiatif ini untuk mengatur dan mengatasi masalah likuiditas jangka pendek dan menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar-menukar guna membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis. Akan tetapi, proses integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA mengalami banyak kendala karena besarnya perbedaan struktur ekonomi serta tahapan liberalisasi perdagangan dan keuangan yang menyebabkan tingkat disparitas yang tinggi dalam kemajuan ekonomi dan sistem keuangan antar negara di kawasan ASEAN+3. Perbedaan struktur ekonomi di antara negara-negara ASEAN+3 dicerminkan dari perbedaan pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Dalam kawasan ASEAN+3 masih terdapat kesenjangan antara negara
maju dan berkembang. Selain itu, negara ASEAN+3 menerapkan rezim kurs yang berbeda-beda yang menjadi tantangan tersendiri dalam proses penyatuan mata uang ini (Kurniati, 2007). Keragaman rezim kurs ini dapat menyebabkan kegagalan kerjasama dalam memilih rezim kurs itu sendiri (Ogawa dan Ito, 2002). Otoritas moneter harus menetapkan sebuah kebijakan kurs untuk mengatasi kegagalan ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan kurs bersama. Kebijakan ini harus dapat menciptakan stabilitas kurs intra-regional di antara mata uang negara-negara ASEAN+3 (Ogawa dan Kawasaki, 2006). Agar kebijakan kurs bersama ini berhasil diterapkan, maka negara-negara ASEAN+3 harus menjadi OCA. Penelitian ini akan mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi melalui pembentukan OCA di negara-negara ASEAN+3 dengan segala potensi dan kendala yang ada melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi (economic growth analysis) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis). Negara-negara yang akan diamati adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan.
1.2.
Perumusan Masalah Negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+3, seperti Indonesia
termasuk dalam perekonomian terbuka kecil yang perekonomian dan pola perdagangannya tidak terlepas dari pengaruh negara lain dalam perekonomian global dan perdagangan internasional, khususnya perekonomian negara yang besar dan kuat seperti Amerika Serikat dan Jepang, dimana kedua negara tersebut
tergolong ke dalam negara industri maju yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, perekonomian yang kuat dan mantap serta didukung oleh teknologi dan sumberdaya manusia yang produktif. Selain itu, nrgara-negara tersebut pun memiliki kestabilan kurs yang mantap. Oleh karena itu, jika terjadi gejolak dalam perekonomian negara yang besar dan kuat, negara dengan perekonomian terbuka kecil seperti Indonesia akan terpengaruh. Masing-masing negara mempunyai karakteristik kebijakan yang berbeda, baik itu kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang dicita-citakan di Asia adalah diadopsinya kebijakan moneter dan fiskal yang serupa oleh negara-negara anggota. Membentuk sebuah OCA diperlukan beberapa syarat. Menurut Bayoumi dan Mauro (2001), teori OCA menyebutkan ada tiga kriteria utama yang menjadi syarat pembentukan currency union, yaitu : 1. Pola perdagangan negara-negara dalam kawasan yang hampir sama. 2. Ukuran guncangan,
baik guncangan permintaan maupun guncangan
penawaran yang kecil dan korelasi guncangan makroekonomi yang tinggi di antara negara-negara dalam kawasan. 3. Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negaranegara dalam kawasan. Ketika faktor-faktor fundamental dalam ekonomi di antara negara-negara ASEAN+3 sudah cukup saling berhubungan dan terintegrasi satu sama lain, maka mereka dapat memperlihatkan share common trend dan memiliki hubungan kointegrasi jangka panjang yang memungkinkan membentuk sebuah OCA
(Enders dan Hurn, 1994). Kondisi ini dikenal dengan teori Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP). Negara-negara anggota ASEAN berkomitmen akan tetap melanjutkan proses integrasi ekonomi regional meski krisis global tengah membayangi perekonomian dunia. Dewasa ini, Asia telah memantapkan diri sebagai sebuah mesin pertumbuhan perekonomian dunia dengan menghasilkan 30 persen lebih dari PDB dunia dan memberi kontribusi besar pada pertumbuhan global (De Rato dalam Hanie, 2006). Dengan terbentuknya MEA ini diyakini akan terhimpun porsi PDB Asia terhadap PDB dunia yang lebih besar lagi. Melalui MEA ini pula lalu lintas barang, jasa, modal, dan investasi akan bergerak bebas melewati batas negara anggota MEA. Mobilitas faktor produksi dan ukuran pasar yang besar ini akan menjanjikan harga bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktivitas, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi negaranegara anggota MEA. Selain negara-negara ASEAN, ikut serta pula tiga negara Asia Timur dalam usaha pembentukan integrasi ekonomi ini, yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan sebagai penyandang dananya, sehingga kawasan ini lebih dikenal sebagai ASEAN+3. Rencana penyatuan kawasan ini menjadi single market pada 2015 ini akan menjadikan kawasan ini sebagai salah satu kutub utama ekonomi dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa. Dalam literatur-literatur ekonomi, kajian tentang integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA dengan analisis pertumbuhan ekonomi sudah cukup banyak dilakukan, misalnya Xu, et al (2006), Ogawa dan Kawasaki (2006), Ahn, et al (2005) dan Bayoumi dan Eichengreen (1994). Akan tetapi, semua penelitian
tersebut tidak membahas secara lebih rinci bagaimana mengenai respon dan peran perekonomian masing-masing negara dalam kawasan ASEAN+3 tersebut dapat saling mempengaruhi dan negara mana yang pantas dijadikan sebagai negara dasar (peg) bagi negara-negara lainnya. Oleh karena itu, dirasa sangat perlu dilakukan penelitian tentang topik sejenis yang menganalisis tentang hal tersebut. Begitu pun kajian tentang pembentukan OCA dengan menggunakan analisis konvergensi kurs melalui pendekatan Generalized Purchasing Power Parity Test (G-PPP Test) sudah cukup banyak dilakukan dalam literatur-literatur ekonomi,, misalnya Nevez, et al (2008), Lee (2003), Bernstein (2000), serta Enders dan Hurn (1997). Akan tetapi, untuk kajian tentang pembentukan OCA dengan menggunakan G-PPP Test ini sebagian besar terfokus pada negara-negara maju, khususnya negara-negara Uni Eropa, New Zealand, Australia, Amerika Serikat, dan Amerika Selatan. Mayoritas dari penelitian tersebut menggunakan Jepang dan Amerika Serikat sebagai base country. Oleh karena itu, dirasa masih sangat perlu dilakukan penelitian sejenis yang menggunakan G-PPP Test di negara berkembang, khususnya ASEAN+3 dengan base country yang berbeda. Kesamaan perekonomian dan pola perdagangan menjadi syarat penting bagi negara-negara yang ingin melakukan integrasi ekonomi. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang fenomena pembentukan OCA melalui dua analisis. Pertama, analisis pertumbuhan ekonomi (economic growth analysis) dengan base country
Singapura dan Jepang. Pemilihan dua negara ini
berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Partisiwi (2008). Dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa dengan asumsi negara anggota ASEAN
sebagai leader, maka Singapura yang paling layak untuk menjadi acuan (peg) bagi negara ASEAN+3 dan dengan asumsi negara di luar ASEAN sebagai leader, maka Jepang yang paling layak. Kedua, analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis) di ASEAN+3 dengan menggunakan G-PPP Test. G-PPP Test yang dilakukan dalam analisis ini menggunakan Singapura dan Amerika Serikat sebagai base country. Dasar pemilihan dua negara ini adalah karena Amerika Serikat merupakan negara besar dan kuat, dimana semua negara ASEAN+3 saat ini masih menjadikan Dollar AS sebagai kurs acuan mereka. Singapura dipilih karena berdasarkan hasil penelitian Partisiwi (2008), negara ini paling layak untuk menjadi acuan (peg) bagi negara ASEAN+3 dengan asumsi negara anggota ASEAN sebagai leader. Selain itu juga saat ini dalam melakukan hubungan perdagangan internasional, Dollar Singapura pun sudah cukup banyak digunakan sebagai standar oleh negaranegara ASEAN+3 lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Dari analisis pertumbuhan ekonomi : 1. Bagaimana respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian Indonesia terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3? 2. Bagaimana peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran
perekonomian
negara
ASEAN+3
dalam
menjelaskan
variabilitas
perekonomian Indonesia? Sedangkan dari analisis konvergensi kurs : 1. Bagaimana respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat? 2. Bagaimana peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas Rupiah dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat? Dari kedua analisis ini akan terlihat negara mana yang lebih cocok dijadikan base country oleh Indonesia agar memiliki kondisi optimal dalam membentuk OCA.
1.3.
Tujuan Penelitian Terkait dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian Indonesia terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3. 2. Menganalisis peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran perekonomian
negara
ASEAN+3
dalam
menjelaskan
variabilitas
perekonomian Indonesia. 3. Menganalisis respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.
4. Menganalisis peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas Rupiah dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.
1.4.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :
1. Memberikan wawasan kepada kalangan akademisi lain dan masyarakat luas mengenai fenomena pembentukan Optimum Cuirrency Areas (OCA) atau integrasi ekonomi di kawasan ASEAN+3 2. Manambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi untuk membuat penelitian-penelitian selanjutnya. 3. Sebagai bahan referensi kepada para pembuat kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi
melalui pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di negara-negara ASEAN+3 melaui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi (economic growth analysis) dengan menggunakan variabel Real Gross Domestik Product (GDP Riil) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis) dengan menggunakan variabel Real Exchange Rate (RER) dan Consumer Price Index (CPI). Fokus penelitian adalah pada tujuh negara yang terdiri dari lima negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand) dan dua negara Asia Timur (Jepang dan Korea Selatan). China tidak diikutsertakan pada
penelitian ini karena keterbatasan data yang tersedia sehingga sulit untuk melakukan penelitian jika menyertakan China sebagai negara yang diteliti. Dari analisis pertumbuhan ekonomi, penelitian ini hanya terfokus pada respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia saja serta respon perekonomian Indonesia secara khusus terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3. Fokus berikutnya pada peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia terhadap variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran perekonomian negara ASEAN+3 terhadap variabilitas perekoinomian Indonesia secara khusus. Sedangkan dari analisis konvergensi kurs, fokus penelitian ini hanya pada respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya serta peran kurs negara ASEAN+3 terhadap variabilitas Rupiah dan sebaliknya.
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka beberapa teori yang mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi melalui pembentukan Optimum Currency Area (OCA) di negara-negara ASEAN+3 adalah sebagai berikut : 2.1.
Integrasi Ekonomi Kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai penggabungan.
Menurut Tinbergen dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasan-pembatasan (barriers) yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dan dengan jalan mengintroduksi semua bentuk-bentuk kerjasama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih besar, menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional. Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi mengacu kepada suatu kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya di antara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi terbatas. Maksudnya, di lingkungan negara-negara yang menjadi anggota, berbagai bentuk hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif sengaja diturunkan atau bahkan dihapuskan sama sekali, sedangkan terhadap negaranegara luar yang bukan merupakan anggota, masing-masing negara anggota masih
berhak untuk menerapkan kebijakan tersendiri, apakah mereka hendak memberlakukan hambatan perdagangan (tarif atau non-tarif) atau tidak. Salvatore menyebutkan bahwa tingkatan integrasi ekonomi bervariasi mulai
dari
pengaturan
perdagangan
preferensial
(preferential
trade
arrangements), yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan kawasan/area perdagangan bebas (free trade area), kemudian menjadi persekutuan pabean (customs union), pasaran bersama (common market), dan pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan ekonomi secara menyeluruh (economic union). Tabel 2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Salvatore Tahapan Preferential Arangements
Keterangan Trade Dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan hambatan-hambatan perdagangan yang berlaku di antara mereka, dan membedakannya dengan yang diberlakukan terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang paling longgar.
Free (FTA)
Trade
Area Bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif di antara
negara-negara
anggota
telah
dihilangkan
sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah
mereka
hendak
mempertahankan
atau
menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-negara luar yang bukan anggota.
Customs Union
Mewajibkan semua anggota
untuk tidak hanya
menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Jadi, masing-masing negara anggota tidak lagi bebas menentukan kebijakan komersilnya dengan negara-negara lain. Common Market
Pada bentuk integrasi ini, bukan hanya perdagangan barang saja yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal. Uni Eropa telah mencapai status common market pada akhir tahun 1992.
Economic Union
Pada
tahap
ini,
harmonisasi
atau
penyelarasan
dilakukan lebih jauh, bahkan dengan menyeragamkan kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal dari masingmasing negara anggota. Ini merupakan tipe kerja sama yang paling tinggi. Sumber : Salvatore, 1997
Perkembangan terbaru yang menarik untuk dianalisis berdasarkan konsepkonsep di atas adalah kecenderungan dibentuknya zona bebas pajak (duty-free zones) atau zona ekonomi bebas (free economic zones). Ini merupakan sebuah wilayah kecil yang menjadi bagian dari suatu negara yang sengaja dibebaskan dari berbagai macam pajak untuk memikat investasi asing (di Indonesia contohnya adalah Pulau Batam). Setiap barang modal atau bahan-bahan mentah yang memasuki wilayah tersebut dibebaskan sama sekali dari berbagai tarif atau pungutan. Tujuannya jelas adalah agar perusahaan-perusahaan internasional mau menempatkan fasilitas produksinya di wilayah tersebut yang selanjutnya akan
menciptakan banyak lapangan kerja baru dan memunculkan dampak-dampak positif yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah sekitarnya. Berikut ini dijabarkan teori-teori yang termasuk dalam integrasi ekonomi yang menjadi landasan tentang pembentukan Optimum Currency Areas (OCA). Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut : 2.1.1. Teori Optimum Currency Areas (OCA) Teori tentang Optimum Currency Areas pertama kali dikemukakan oleh Robert A. Mundell dengan papernya yang berjudul A Theory of Optimum Currency Areas. Menurut Mundell (1961), Optimum Currency Areas (OCA) mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply dan demand yanng simetrik dan memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi : 1. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan derajat external factor mobility yang rendah. 2. Memiliki upah dan harga yang stabil. 3. Mobilitas tenaga kerja yang mudah dalam batasan-batasan nasional (budaya, bahasa, perundang-undangan, kemakmuran, dll) namun mobilitas tersebut tidak mudah apabila melewati/di luar batasan-batasan nasional (national borders). Spesialisasi dan keterampilan suatu negara juga menjadi faktor pendukung. Selain Mundell, Kenen dan McKinnon juga merupakan pelopor teori Optimum Currency Areas. Kenen dalam Bergman (2000) mengemukakan bahwa sebuah currency area dibentuk dari negara-negara yang memproduksi dan
mengekspor barang-barang yang mempunyai diversifikasi yang luas dan struktur yang sama. Kenen menyebutkan bahwa kriteria-kriteria untuk membentuk sebuah currency area adalah : 1. Mempunyai sedikit guncangan asimetrik. 2. Mempunyai tingkat diversifikasi ekonomi yang tinggi. Hal ini dapat melawan guncangan asimetrik. Sedangkan McKinnon (1963) mengemukakan bahwa sebuah optimum currency area dibentuk dari negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan yang tinggi. Menurut Bayoumi dan Mauro (2001), teori OCA menyebutkan ada tiga kriteria utama yang menjadi syarat pembentukan currency union, yaitu : 1. Pola perdagangan negara-negara dalam kawasan yang hampir sama. 2. Ukuran guncangan,
baik guncangan permintaan maupun guncangan
penawaran kecil dan korelasi guncangan makroekonomi yang tinggi di antara negara-negara dalam kawasan. 3. Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negaranegara dalam kawasan. Kelompok negara yang memiliki guncangan simetrik cenderung akan memiliki respon kebijakan yang sama pula, sehingga besar peluangnya untuk dapat membentuk common currency area. Selain itu, jika negara-negara yang berada dalam kawasan memiliki guncangan makroekonomi yang kecil maka negara tersebut tidak akan terbebani dengan biaya yang besar untuk melepaskan otonomi kebijakannya untuk membentuk common currency area. Kemudian, jika
keseimbangan awal dari permintaan dan penawaran dapat diperbaiki dengan cepat maka guncangan makroekonomi yang terjadi tidak akan membebani negara tersebut dengan biaya yang besar.
2.1.2. Asian Currency Unit (ACU) Asian Currency Unit (ACU) merupakan mata uang paralel yang dibentuk dari sekeranjang mata uang (basket currency) negara anggota di kawasan Asia Timur untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam kawasan (Girardin dan Steinherr, 2008). ACU dijadikan sebagai mata uang untuk transaksi perdagangan dan keuangan di kawasan, sementara transaksi di luar negeri tetap menggunakan mata uang domestik. Dalam hal ini, masing-masing negara anggota tetap memiliki kendali atas mata uang domestik dan kebijakan moneternya. Eichengreen (2005) berpendapat bahwa pembentukan ACU dapat memelihara integrasi finansial dan moneter di Asia, mempercepat Asian bond markets, dan menerapkan sistem nilai tukar Asia seperti sistem nilai tukar Eropa. Proses pembentukan ACU memiliki manfaat dan biaya. Para ahli ekonomi berpandangan bahwa manfaat yang diperoleh dari proses ini lebih besar dibandingkan dengan biayanya. Adapun manfaat dan biaya dari mata uang tunggal atau ACU secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.2. berikut ini.
Tabel 2.2. Manfaat dan Biaya Ekonomi Pembentukan Asian Currency Unit Manfaat 1.
Biaya
Mengurangi
biaya 1.
Setiap negara yang tergabung
pertukaran/transaksi dan cadangan
harus
menyerahkan
kekuasaan
devisa serta koordinasi kebijakan
dan
kewenangan
kebijakan
yang lebih efektif antara negara
moneternya
anggota.
kepada Bank Sentral bersama
2.
Mencegah persaingan devaluasi.
untuk merespon masalah ekonomi
3.
Mengurangi
dalam negerinya.
serangan
yang
bersifat spekulatif. 4.
Meningkatkan
2.
efisiensi
mikro
5.
6.
7.
8.
individual
Beberapa kelemahan di tingkat mikro, terutama pada tahap awal
karena penggunaan uang yang lebih luas.
secara
integrasi. 3.
Terbatasnya
pilihan
instrumen
Perbaikan stabilisasi makro dan
kebijakan
untuk
stabilitas
pertumbuhan
ekonomi makro.
karena
stabilitas
harga dan akses dana yang lebih 4.
Permasalahan disiplin, yaitu ada
besar daari integrasi finansial.
insentif
Memperkecil
volatilitas
dan
bagi
negara
anggota
untuk melakukan deviasi dari
ketidakpastian nilai tukar.
traktat ekonomi bersama.
Meningkatkan perdagangan dan 5.
Kehilangan
investasi karena biaya transaksi
(penciptaan uang) untuk negara-
yang rendah.
negara dengan inflasi tinggi.
Memberikan
suatu
seignorage
jangkar
(anchor) nominal untuk kebijakan moneter. Sumber : Eudey, 1998 ; Warjiyo dalam Ariefianto, 2006 ; Lee dan Barro, 1992
2.2.
2006 ; dan Bean,
Konvergensi Kurs Konvergensi (convergence) dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan
dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik yang sama.
Konvergensi kurs adalah pergerakan searah atau menuju ke suatu titik yang sama pada kurs suatu negara. Dengan tercapainya konvergensi kurs berarti apa yang terjadi pada kurs suatu negara akan berdampak pada kurs negara lainnya demikian pula sebaliknya (Angeloni et al, 2005).
2.3.
Teori Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) Theory sangat erat
kaitannya dengan teori Purchasing Power Parity (PPP). Menurut Batiz (1994), teori PPP atau paritas daya beli menggambarkan hubungan antara tingkat harga umum dan kurs pada waktu tertentu. Versi dasar dari PPP dapat dipandang sebagai generalisasi dari Hukum Satu Harga (The Law of One Price). Implikasinya adalah bahwa harga komoditi yang diperdagangkan antar negara haruslah sama walaupun didenominasikan dalam mata uang negara yang berlaku. Teori tentang Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) pertama kali dikemukakan oleh Walter Enders dan Stan Hurn pada tahun 1994 dalam karya mereka yang berjudul Theory and Tests of Generalized Purchasing Power Parity : Common Trends and Real Exchange Rates in the Pacific Rim. Ide ini diajukan kepada negara-negara Pacific Rim dimana G-PPP ditolak pada saat itu dan negara-negara Pacific Rim tidak membentuk sebuah optimum currency area (OCA). Teori ini melihat bagaimana kurs bilateral di antara negara-negara didasarkan pada sebuah mata uang yang dijadikan sebagai peg dapat memperlihatkan share common trend yang ditunjukkan oleh hubungan kointegrasi
di antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila di antara negara-negara tersebut dapat memperlihatkan share common trend maka mereka dapat membentuk sebuah optimum currency area (OCA).
2.4.
Sistem Kurs Sistem Kurs mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam
meminimalisasi risiko dari fluktuasi kurs yang akan mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara tersebut. Saat ini sistem kurs yang dapat diandalkan dalam era keuangan global hanya berkisar pada dua pola, karena itu disebut sebagai bipolar system. Dua sistem pengelolaan kurs tersebut adalah sistem kurs tetap (fixed exchange rate system) dan sistem kurs mengambang bebas ( floating exchange rate system). Pada sistem kurs tetap, besarnya nilai mata uang suatu negara ditentukan nilainya secara tetap terhadap alat tukar lain yang dianggap kuat. Sistem nilai yang disepakati di dalam perjanjian, yang kemudian dikenal menjadi sistem Bretton Woods, adalah penentuan kurs mata uang negara secara tetap kepada mata uang kuat (Dollar AS) dengan suatu mekanisme penyesuaian. Sistem kurs Bretton Woods disusun untuk dua tujuan. Di satu sisi untuk meghindarkan diri dari kemungkinan terlalu berfluktuasinya kurs mata uang negara yang menganut sistem mengambang bebas. Di lain sisi, sistem ini juga disusun untuk menghindarkan diri dari kemungkinan negara-negara melakukan devaluasi nilai mata
uangnya
guna
menyelesaikan
pembayaran yang dihadapinya.
masalah
ketidakseimbangan
neraca
Dalam sistem ini, suatu negara mengumumkan suatu tingkat kurs tertentu mata uangnya. Dalam menjaga kurs ini, bank sentral dapat menyetujui untuk membeli atau menjual valuta asing dalam jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sempit. Pada
sistem
ini,
otoritas
moneter
tidak
memiliki
keleluasaan
dalam
mengendalikan kondisi moneter domestik. Bank sentral dalam upayanya mempertahankan kurs, akan melakukan intervensi di pasar valuta asing dan mengurangi jumlah cadangan devisa yang berarti akan mengurangi jumlah uang beredar dan mendorong kenaikan suku bunga domestik, masing-masing mendekati tingkat semula. Setiap individu bebas melakukan jual beli valuta asing yang diinginkan dan untuk mempertahankan kursnya maka bank sentral juga melakukan jual beli valuta asing. Oleh karena itu, bank sentral harus memegang sejumlah
cadangan
devisa
untuk
membiayai
ketidakseimbangan neraca
pembayaran sehingga kurs dapat dipertahankan. Walaupun demikian, kebaikan dari sistem kurs tetap ini adalah adanya kepastian akan kurs mata uang domestik dengan negara lain, sehingga para eksportir dan importir dapat memperhitungkan transaski perdagangan dengan pihak luar negeri. Sedangkan sistem kurs mengambang bebas adalah sistem yang membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain. Dengan kata lain, bank sentral tidak menargetkan besarnya kurs dan tidak melakukan intervensi langsung ke pasar valuta asing. Di Indonesia, kurs Rupiah akan tergantung kepada permintaan dan penawaran Dollar AS. Jika
permintaan terhadap Dollar AS lebih besar dari penawarannya, maka harga Dollar AS yang diukur dengan Rupiah menjadi meningkat, atau sebaliknya nilai Rupiah menurun. Jika penawaran Dollar AS lebih besar dibandingkan permintaan terhadapnya, maka harga Dollar AS yang diukur dengan Rupiah menjadi menurun, atau sebaliknya nilai Rupiah meningkat. Sistem kurs mengambang bebas banyak dianut oleh negara-negara di dunia. Hal tersebut dikarenakan sistem ini memiliki beberapa kekuatan, yaitu : 1. Sistem ini memungkinkan suatu negara mengisolasikan kebijakan makronya dari dampak kebijakan dari luar sehingga suatu negara mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan kebijakan yang independen. Kebijakan yang dapat dilakukan misalnya adalah penyesuaian yang lebih baik apabila terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran. 2. Dalam penetapan sistem kurs ini bank sentral tidak perlu memegang cadangan devisa yang banyak untuk menjaga likuiditas agar kurs dapat dipertahankan. Akan tetapi sistem ini juga mempunyai kelemahan, yaitu penetapan kurs berdasarkan pasar dapat mengakibatkan kurs berfluktuasi. Depresiasi nilai tukar dapat meningkatkan harga barang-barang impor dan pada akhirnya akan memicu inflasi di dalam negeri (Simorangkir dan Suseno dalam Partisiwi, 2008).
2.5.
Penelitian Terdahulu Partisiwi (2008) menganalisis kemungkinan penyatuan mata uang
(currency unification) di ASEAN+3 (Indonesia, Singapura, Malaysia, Flipina, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan) dengan menggunakan pendekatan
keragaman exchange rate. Peneliti menghitung OCA indeks dari delapan negara yang diteliti dengan Amerika Serikat sebagai negara peg. Semakin rendah nilai OCA indeks, maka semakin meningkat keuntungan untuk membentuk currency union dibanding dengan biaya yang harus ditanggung, dan sebaliknya. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh negara dengan nilai OCA indeks yang terkecil yang akan menjadi negara peg selanjutnya adalah Singapura (asumsi negara ASEAN sebagai leader) dan Jepang (asumsi negara di luar negara ASEAN sebagai leader). Kemudian, penyatuan mata uang diawali dengan Jepang, Singapura, dan Malaysia (Tahap I). Hal ini akan dilanjutkan dengan penyatuan mata uang negara Korea, China, Thailand, dan Filipina (Tahap II). Xu, et al (2006) menganalisis kemungkinan pembentukan single currency untuk negara-negara ASEAN-5 (Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Thailand) dengan menjadikan konvergensi ekonomi dan guncangan simetri pada permintaan dan penawaran sebagai pra syarat dari OCA menggunakan metode SVAR (data tahunan dari 1970-2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan konvergensi inflasi dan nilai tukar di Singapura, Malaysia, dan Thailand dan guncangan permintaan dan penawaran di Singapura, Malaysia, dan Thailand bersifat simetrik yang menjadikan ketiga negara ini memiliki kemungkinan membentuk currency union. Ahn, et al (2005) menganalisis kemungkinan pembentukan Optimum Currency Area (OCA) di Asia Timur dengan menggunakan metode SVAR dan GPPP (data tahunan). Dalam penelitian ini yang dijadikan base country adalah Jepang. Hasil penelitian dengan metode SVAR menunjukkan bahwa tujuh negara
(Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Korea, dan Taiwan) memenuhi syarat untuk menjadi anggota OCA. Kemudian, hasil dari metode GPPP menunjukkan bahwa delapan negara (Indonesia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Jepang, Korea, dan Taiwan) yang memenuhi syarat untuk membentuk OCA. Falianty (2006) dalam disertasinya meneliti kemungkinan currency area di wilayah ASEAN-5 dengan menggunakan pendekatan endogenitas upah, OCA, indeks, dan asymmetric shock. Dengan menggunakan model OLS dan SVAR (data tahunan) ditemukan bahwa hanya negara Thailand, Malaysia, dan Singapura saja yang mempunyai kemungkinan membentuk currency area. Bayoumi
dan
Eichengreen
(1994)
menganalisis
kemungkinan
pembentukan monetary unification pada berbagai belahan dunia. Mereka menganalisis wilayah Eropa Barat, Asia Timur dengan metode SVAR (data tahunan) dan menjadikan ukuran guncangan, cross correlation antara negara anggota, dan kecepatan penyesuaian terhadap guncangan yang terjadi sebagai syarat pembentukan OCA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk wilayah Eropa Barat, negara-negara yang memenuhi syarat adalah Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, dan Belanda; wilayah Asia Timur adalah Jepang, Korea, dan Taiwan serta Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand; dan wilayah Amerika adalah Kanada-Meksiko dan Kanada-Amerika Serikat saja yang memenuhi syarat. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa monetary unification lebih kondusif di Asia Timur daripada di Amerika.
Nevez, et al (2008) menganalisis pembentukan Optimum Currency Area pada negara-negara Mercosur (kelompok dagang Amerika Selatan), yang terdiri dari Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, Venezuela, Bolivia, dan Chile dengan Amerika Serikat sebagai benchnark country dengan metode Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP). Penelitian ini menggunakan data consumer price index (CPI) dan exchange rate kuartalan dari tahun 1973:Q3 sampai 2006:Q3. Data-data ini diperoleh dari IMF’s International Financial Statistics. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan negara-negara Mercosur menunjukkan parameter vektor kointegrasi yang signifikan untuk membentuk OCA pada taraf satu persen. Hal ini mengindikasikan bahwa Amerika Serikat harus dilibatkan dalam pembentukan potential currency area ini dan negara-negara Mercosur sangat tergantung pada kebijakan fundamental Amerika Serikat. Akan tetapi, hasil ini tidak dapat disimpulkan lebih jauh bahwa Mercosur benar-benar siap untuk pembentukan mata uang tunggal karena dalam penelitian ini pun ditemukan perbedaan-perbedaan yang besar di antara negara-negara Mercosur ini. Ogawa dan Kawasaki (2006) melakukan analisis G-PPP untuk negaranegara ASEAN+3 dengan menggunakan common currency basket sebagai mata uang dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dan China dapat membentuk sebuah common currency basket area. Lee (2003) menganalisis tentang eksistensi common trend diantara nilai tukar bilateral Australia dan Selandia Baru dengan dua negara mitra dagang
terbesar mereka, yaitu Jepang dan Amerika Serikat sebagai base country. Penelitian ini juga menggunakan metode G-PPP dengan data time series kuartalan untuk nominal spot exchange rates dan consumer price index (CPI) dari tahun 1975:Q1 sampai 2000:Q3. Data diperoleh dari IFS CD-ROM (International Monetary Fund, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurs bilateral Australia dan Selandia Baru dengan Jepang sebagai base country memiliki share common trend yang dapat diinterpretasikan mampu membentuk optimum currency area, tetapi tidak untuk Amerika Serikat sebagai base country. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter Australia dan Selandia Baru lebih mirip dengan Jepang daripada dengan Amerika Serikat. Dengan begitu, akan ada keuntungan komparatif dalam perdagangan antara Australia, Selandia Baru, dan Jepang dalam lingkungan liberal. Bernstein (2000) melakukan G-PPP test untuk negara-negara Euro dan ditemukan bahwa tidak terdapat kointegrasi diantara negara-negara tersebut. Hong (1999) juga menganalisis pembentukan OCA dengan menggunakan metode GPPP untuk China, Hong Kong, Jepang, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara tersebut dapat membentuk sebuah optimum currency area. Enders dan Hurn (1997) juga melakukan G-PPP test kepada negaranegara yang tergabung dalam kelompok G7 pada tahun 1997. Penelitian ini menemukan vektor kointegrasi signifikan pada taraf lima persen, yang berarti kurs riil negara-negara kelompok G7 menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang yang optimal dalam membentuk sebuah optimum currency area. Dan
guncangan terhadap satu kurs akan mempengaruhi kurs yang lain pada jangka panjang.
2.6.
Kerangka Pemikiran Skema alur berpikir pada Gambar 2.1. digunakan untuk menganalisis
permasalahan dalam penelitian ini. Guncangan makroekonomi negara dalam kawasan yang simetrik dan berkorelasi tinggi, pola perdagangan yang sama di antara negara-negara dalam kawasan yang dicerminkan oleh share common trend, dan kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negaranegara dalam kawasan, merupakan kriteria utama pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) (Bayoumi dan Mauro, 2001 dan Lee, 2003). Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menganalisis kriteria pertama dan kedua melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi (economic growth analysis) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis).
ASEAN+3 Kriteria utama pembentukan Optimum Currency Area (OCA)
Pola perdagangan yang sama di antara negaranegara dalam kawasan yang dicerminkan oleh share common trend
Guncangan makroekonomi negara dalam kawasan yang simetrik dan berkorelasi tinggi
GDP Perekonomian
Kurs Base Country Base Country Jepang
Singapura
Singapura Kesamaan Ekonomi
Amerika
Konvergensi Kurs Share Common Trend
Optimal membentuk OCA
Keterangan : :
fokus
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara dalam kawasan
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tujuh
negara ASEAN+3, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, dan Korea Selatan dalam bentuk data deret waktu kuartalan (quarterly time series) untuk variabel GDP Riil dari Q1:1993 sampai Q3:2008 serta data deret waktu bulanan (monthly time series) untuk variabel Consumer Price Index (CPI) dan Real Exchange Rate dari bulan Januari 1996 sampai bulan Oktober 2008. Negaranegara ASEAN lainnya dan China tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena tidak tersedianya data secara lengkap. Semua data diolah dalam bentuk logaritma natural. Dalam penelitian ini negara yang dijadikan negara dasar (base country) pada analisis pertumbuhan ekonomi adalah Singapura dan Jepang (Partisiwi, 2008) dan pada analisis konvergensi kurs adalah Singapura dan Amerika Serikat. Penulis pun melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Adapun data yang digunakan pada penelitian ini tersaji dalam Tabel 3.1 di bawah ini. Tabel 3.1 Data dan Sumber Data No.
Variabel
Sumber
1.
Real Gross Domestic Product (GDP Riil)
CEIC
2.
Consumer Price Index (CPI)
CEIC
3.
Real Eexchange Rate (RER)
Sauder School of Business PACIFIC Exchange Rate Service
3.2.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Integrasi ekonomi dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA)
di negara-negara ASEAN+3 melalui analisis pertumbuhan ekonomi akan dianalisis dengan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) untuk mengidentifikasi besarnya respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian Indonesia khususnya terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3 dan peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam menjelaskan
variabilitas
perekonomian
negara
ASEAN+3
serta
peran
perekonomian negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas perekonomian Indonesia khususnya. Kemudian jika data yang digunakan stasioner pada first difference, maka model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (error correction model) menjadi Cointegrated VAR atau biasa dikenal dengan istilah Vector Error Correction Model (VECM). Selain itu, penelitian ini juga akan mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di negara-negara ASEAN+3 melalui analisis konvergensi kurs yang akan dianalisis dengan menggunakan metode Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) untuk mengidentifikasi besarnya respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat serta peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas Rupiah dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.
Untuk mempermudah pengolahan data dalam penelitian ini maka data dikelompokkan untuk dapat dilakukan perhitungan, kemudian untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten maka semua data diubah ke dalam bentuk logaritma natural (ln). Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.1.
3.3.
Analisis Vector Autoregression (VAR) Penelitian ini akan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR),
yaitu suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag yang lain dari peubah lain yang ada dalam sistem itu sendiri. Jika data yang digunakan stasioner di level atau I(0), maka metode VAR yang digunakan. Jika data yang digunakan tidak stasioner/stasioner di first difference atau I(1) dan tidak terkointegrasi, maka metode VAR first difference yang digunakan. Akan tetapi, jika data yang digunakan tidak stasioner/stasioner di first difference atau I(1) namun terkointegrasi, maka metode yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Menurut Arsana (2005), VAR tidak berbeda dengan tahapan persamaan simultan. VAR juga perlu melakukan identifikasi persamaan sebelum melakukan estimasi model. Kondisi overidentified akan diperoleh jika jumlah informasi yang dimilki melebihi jumlah parameter yang ingin diestimasi. Jika jumlah informasi yang dimiliki sama dengan jumlah parameter, akan diperoleh kondisi exactly identified atau just identified. Sementara jika jumlah informasi kurang dari jumlah
parameter yang diestimasi akan tercipta kondisi underidentified. Hasil identifikasi pada sebuah sistem persamaan simultan menjadi penting karena pengaruhnya pada proses estimasi. Proses estimasi hanya dapat dilakukan pada kondisi overidentified dan just identified. Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk multivariate time series. Model VAR pertama kali dikembangkan oleh Cristopher A. Sims pada tahun 1980 terutama sebagai solusi atas kritiknya terhadap model persamaan simultan (Amisano dan Giannini, 1997), yaitu : 1. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasarkan agregasi dari model keseimbangan parsial tanpa adanya fokus untuk menghasilkan hubungan yang hilang (omitted interrelations). 2. Struktur dinamis dari model seringkali dispesifikasikan dengan tujuan untuk memberikan restriksi yang perlu dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural. Oleh karena itu untuk mengatasi kritik di atas, berikut dijelaskan beberapa kelebihan metode VAR menurut Nachrowi dan Usman (2006), yaitu : 1. Model VAR adalah model yang sederhana dan tidak perlu membedakan mana variabel yang bersifat endogen dan mana yang bersifat eksogen. Semua variabel pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel endogen. 2. Cara estimasi model VAR sangat mudah, yaitu dengan menggunakan OLS pada setiap persamaan secara terpisah. 3. Peramalan menggunakan model VAR pada beberapa hal lebih baik dibanding menggunakan model dalam persamaan simultan yang lebih kompleks.
4. Metode VAR dapat menangkap hubungan-hubungan yang mungkin terjadi di antara variabel-variabel yang dianalisis karena VAR mengembangkan model secara bersamaan dalam suatu sistem yang multivariat. Sekalipun memiliki banyak kelebihan, model VAR tetap memiliki sisi lemah. Adapun beberapa kelemahan yang dimiliki model VAR antara lain : 1. Model VAR lebih bersifat a-theory karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu. Oleh karena itu, model tersebut sering disebut sebagai model yang tidak struktural. 2. Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan, maka model VAR kurang cocok untuk analisis kebijakan. 3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat menimbulkan permasalahan. Misalnya kita memiliki tiga variabel bebas yang masing-masing memiliki lag sebanyak delapan, maka parameter yang harus diestimasi sebanyak 24 buah. Untuk kepentingan tersebut maka data atau pengamatan yang harus dimiliki relatif lebih banyak. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang (lag) yang digunakan dalam model. Sesuai dengan metodologi Sims (1980), variabel yang digunakan di dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan model ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal kemudian akan memanfaatkan kriteria informasi seperti Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion (SC) maupun Hannan-Quinn Criterion (HQ). Dalam penelitian ini kriteria informasi yang digunakan adalah Akaike Info Criterion (AIC).
Model umum VAR dengan n buah variabel tak bebas pada waktu ke-t dan dengan ordo i dalam penelitian ini dapat dituliskan dalam model persamaan berikut : ܻ௧ ൌ ܣ௧ ଵ ܻ௧ିଵ ଶ ܻ௧ିଶ ǥ ܻ௧ି ߝ௧
(1)
dimana : Yt
= vektor variabel endogen berukuran n x 1
At
= vektor intersep masing-masing variabel endogen berukuran n x 1
µi
= matriks parameter berukuran n x n, untuk setiap i = 1, 2, ...
Yt-i
= vektor autoregressive dengan lag operator t-i
ઽt
= vektor white noise
3.4.
Analisis Vector Error Correction Model (VECM) Ketika dua atau lebih variabel yang terlibat dalam suatu persamaan pada
data level tidak stasioner, maka kemungkinan terdapat kointegrasi pada persamaan tersebut (Verbeek, 2000). Jika setelah dilakukan uji kointegrasi terdapat persamaan kointegrasi dalam model yang kita gunakan maka dianjurkan untuk memasukkan persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan. Kebanyakan data time series memiliki I(1) atau stasioner pada first difference. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hilangnya informasi jangka panjang dalam penelitian ini akan digunakan model VECM jika ternyata data yang digunakan I(1). VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itulah VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non-stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi.
Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. Adapun persamaan VECM secara matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut (Verbeek, 2000) : ିଵ
οܻ௧ ൌ Ƚ୧ οܻ௧ି െ ߛߚܻ௧ିଵ ߝ௧ ሺʹሻ ୀଵ
dimana : ʒ = koefisien hubungan jangka pendek ߚ= koefisien hubungan jangka panjang ߛ= kecepatan menuju keseimbangan (speed adjustment)
3.5.
Analisis Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) Menurut teori Purchasing Power Parity (PPP), kurs riil yang didefinisikan
sebagai rasio dari tingkat harga antara dua negara, harus sama untuk semua negara pada setiap waktu. Bagaimana menjelaskan perbedaan antara PPP dengan nilai tukar? Salah satu penjelasan teoritik yang penting dalam menjelaskan perilaku kurs riil adalah teori Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) yang dibangun oleh Walter Enders dan Stan Hurn pada tahun 1994. Ide dari teori ini adalah PPP jangka panjang mengimplikasikan bahwa kurs riil itu stasioner. Akan tetapi, beberapa studi teoritikal dan empirikal seperti Adler dan Lehman, 1983;
Corbae dan Ouliaris, 1988; Enders, 1988; Patel, 1990; serta Kim dan Enders, 1991 menyatakan bahwa kurs riil itu non-stasioner. Hal ini terjadi karena variabelvariabel fundamental makroekonomi yang menentukan kurs riil seperti pendapatan, terms of trade, konsumsi pemerintah dan yang lainnya biasanya nonstasioner dan kurs itu sendiri pun non-stasioner. Walaupun kurs bilateral secara umum biasanya non-stasioner, hipotesis G-PPP menyatakan bahwa negara-negara dapat memperlihatkan share common trend jika faktor-faktor fundamental dalam ekonomi di antara negara-negara tersebut saling berhubungan. Oleh karena itu, pentingnya analisis G-PPP ini adalah karena metode ini dapat menghubungkan variabel makroekonomi, kurs riil, dan konsep PPP. Analisis G-PPP dapat menunjukkan hubungan kointegrasi di antara kurs riil negara-negara dalam kawasan yang mengindikasikan common trend dalam fundamental makroekonomi mereka. Apabila di antara negara-negara tersebut dapat memperlihatkan share common trend, maka mereka dapat membentuk sebuah OCA. Enders dan Hurn (1994) pertama kali menggunakan pendekatan G-PPP untuk menganalisis kemungkinan penyatuan mata uang. Negara-negara yang berpotensi membentuk mata uang tunggal adalah negara-negara yang memiliki guncangan simetrik terhadap variabel-variabel makroekonominya. Faktor-faktor fundamentalnya pun secara rata-rata harus bergerak bersama-sama. G-PPP pun menyebutkan bahwa kurs riil antara kedua negara harus terkointegrasi. Kemudian, Enders dan Hurn (1997, p. 437) telah menyarankan bahwa multivariate cointegration test seharusnya menjelaskan eksistensi dari common trend di antara
kurs riil yang non-stasioner ini
jika variabel tersebut dibawa oleh “variabel
stokastik trend yang sama”. Berdasarkan PPP jangka panjang menurut Enders dan Hurn (1994), kurs riil bilateral dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
ݍ௧ ൌ ݁௧ +௧ כെ ௧
(3)
dimana :
ݍ௧
= kurs riil bilateral masing-masing negara
݁௧
= logaritma natural dari kurs nominal masing-masing negara
௧כ
= logaritma natural dari tingkat harga/CPI base country
௧
= logaritma natural dari tingkat harga/CPI domestik
Perlu diperhatikan di sini bahwa naiknya kurs bilateral mengindikasikan terdepresiasinya nilai mata uang domestik. Model umum G-PPP dengan n buah variabel tak bebas pada waktu ke-t dan dengan ordo i dalam penelitian ini dapat dituliskan dalam model persamaan berikut :
ݍଵǡ௧ ൌ ܣ௧ ߙଵ ݍଵǡ௧ିଵ ߙଶݍଵǡ௧ିଶ ڮ ߙ ݍଵǡ௧ି ߝ௧
(4)
dimana :
ݍଵǡ௧ = kurs bilateral pada waktu t antara negara 1 (base country) dan negara i At
= vektor intersep masing-masing variabel endogen berukuran n x 1
ߙ
= matriks parameter berukuran n x n, untuk setiap i = 1, 2, ...
ݍଵǡ௧ି = vektor autoregressive dengan lag operator t-i ߝ௧
= vektor white noise
Tahap-tahap pengujian pra-estimasi seperti uji stasioneritas data, penentuan lag optimal, pengujian kointegrasi, uji Granger Causality, dan uji matriks korelasi, termasuk metode moving average yang dilakukan pada G-PPP Test ini sama seperti yang dilakukan pada metode VAR pada analisis pertumbuhan ekonomi pada bagian sebelumnya.
3.6.
Pengujian Pra-Estimasi Sebelum melakukan estimasi VAR/VECM, maka ada beberapa tahapan
yang harus dilakukan, yaitu pengujian pra-estimasi. Pengujian-pengujian tersebut antara lain uji stasioneritas data, penentuan lag optimal, uji kointegrasi, uji Granger Causality, dan uji matriks korelasi. Akan tetapi, sebelum masuk ke pengujian pra-estimasi ini, dilakukan terlebih dahulu metode moving average. Adapun penjelasannya sebagai berikut : 3.6.1. Metode Moving Average Hal pertama yang dilakukan sebelum masuk ke analisis VAR adalah membersihkan data dengan mengisolir pengaruh musiman sehingga tidak menyebabkan misleading dan indeks yang diperoleh tidak volatile. Di banyak negara faktor musim biasanya bersifat fix (tetap), seperti Natal dan Tahun Baru, musim hujan dan kemarau, musim dingin dan panas. Namun untuk kasus Indonesia, selain faktor musim yang tetap, terdapat juga faktor musim yang bergerak, seperti Idul Fitri dan Chinese New Year. Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengisolir pengaruh musiman adalah metode Moving Average. Sebenarnya untuk kasus negara
Indonesia lebih baik digunakan metode X12-ARIMA. Akan tetapi, dengan metode tersebut kita harus mengetahui bagaimana karakter tiap negara yang diteliti dan sistem penanggalannya. Hal tersebut sangat sulit digunakan untuk negara-negara selain Indonesia. Oleh karena itu, agar perlakuan terhadap semua negara yang diteliti sama, maka dipilih Moving Average Methods. Metode ini juga sudah sangat baik untuk mengisolir faktor musiman di setiap data.
3.6.2. Uji Stasioneritas Data Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang menggunakan data time series adalah stasioneritas. Pengujian ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi regresi yang semu (spurious regression) apabila data tersebut tidak stasioner. Data time series dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu, dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Data ekonomi time series pada umumnya bersifat stokhastik atau memiliki trend yang tidak stasioner, artinya data tersebut mengandung unit root. Untuk dapat mengestimasi suatu model maka langkah utama yang harus dilakukan adalah uji stasioneritas data atau dikenal dengan nama unit root test Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menguji unit root, seperti Augmented DickeyFuller (ADF), Philips Perron (PP), Dickey-Fuller GLS (ERS), Ng-Perron, dan sebagainya. Namun pada penelitian ini metode yang digunakan adalah ADF Test. Apabila data yang kita gunakan mengandung unit root maka akan sulit bagi kita untuk mengestimasi suatu model karena trend dari data tersebut cenderung
berfluktuasi tidak di sekitar nilai rata-ratanya (mean). Maka dapat disimpulkan bahwa data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan mendekati nilai rataratanya dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Gujarati, 2003). Misalkan kita menggunakan variabel X yang jika variabel tersebut memiliki mean dan varian yang konstan dengan kovarian sama dengan nol, maka nilai variabel tersebut dapat disebut white noise. Kondisi ini dapat ditulis sebagai berikut (Lubis, 2005) : ܺ௧ ൌ ݑ௧ , dimana ݑ௧ terdistribusi normal
(5)
namun jika variabel tersebut ternyata tidak independen dan merupakan fungsi dari ܺ௧ ൌ ߩܺ௧ିଵ ݑ௧ , dimana ݑ௧ = white niose error
(6)
maka kondisi di atas disebut dengan random walk, dimana nilai variabel ܺ௧ ditentukan oleh nilai variabel itu sebelumnya (ܺ௧ିଵ ). Dengan demikian jika nilai ߩ ൌ ͳmaka persamaan (6) tidak stasioner atau mengandung unit root. Metode
pengujian
Dickey-Fuller
(DF)
dapat
dilakukan
dengan
memodifikasi persamaan (6) dengan menggunakan ܺ௧ିଵ di kedua sisi persamaan tersebut sehingga diperoleh (Gujarati, 2003) ܺ௧ െ ܺ௧ିଵ ൌ ߩܺ௧ିଵ െ ܺ௧ିଵ ݑ௧
(7)
ൌ ሺߩ െ ͳሻܺ௧ିଵ ݑ௧
(8)
maka persamaan di atas dapat ditulis : οܺ௧ ൌ ߜܺ௧ିଵ ݑ௧
(9)
dimana ߜ = ሺߩ െ ͳሻ dan ο (delta) menunjukkan first difference. Maka hipotesis untuk persamaan (7) adalah : H0 : ߜ = 0 (tidak stasioner)
H1 : ߜ < 0 (stasioner) Artinya jika H0 ditolak maka data kita stasioner dan begitu juga sebaliknya. Uji yang digunakan untuk mengetahui apakah sebuah data time series bersifat stasioner adalah dengan melakukan uji ordinary least square (OLS) dan melihat t-statistik dari estimasi ߜ. Adapun persamaan matematisnya adalah : ݐ௧ ൌ ߜȀܵఋ
(10)
dimana : ߜ
: koefisien estimasi
ܵఋ
: standard error dari koefisien estimasi
Jika nilai t-statistik ADF lebih kecil daripada t-statistik kritis McKinnon maka H0 ditolak atau dengan kata lain data kita bersifat stasioner dan begitu juga sebaliknya.
3.6.3. Penentuan Lag Optimal Terdapat beberapa tahap pengujian yang dilakukan untuk memperoleh panjang lag optimal. Pada tahap pertama, akan dilihat panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh rootsnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak pada unit circle. Penentuan lag optimal dapat diidentifikasi melalui Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Untuk dapat menentukan lag ini maka dalam penelitian ini digunakan kriteria AIC yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Syabran dalam Hanie, 2006) :
AIC = log ȁσ ߝ௧ଶ Ȁܰȁ+ 2k / N
(11)
dimana : σ ߝ௧ଶ
= jumlah residual kuadrat
N
= jumlah sampel yang beroperasi pada persamaan tersebut
k
= jumlah variabel yang beroperasi pada persamaan tersebut
Besarnya lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki nilai kriteria AIC yang terkecil.
3.6.4. Uji Kointegrasi Kointegrasi merupakan suatu hubungan jangka panjang antara variabelvariabel yang stasioner pada derajat integrasi yang sama. Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner mengalami kointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger pada tahun 1987 sebagai fenomena dimana kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Untuk menguji apakah kombinasi variabel yang tidak stasioner mengalami kointegrasi dapat diuji dengan menggunakan uji kointegrasi Engle-Granger, uji kointegrasi
Johansen
maupun
uji
kointegrasi
regresi
Durbin-Watson
(Cointegrating Regression Durbin-Watson/CRDW). Pengujian kointegrasi ini dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan dalam proses integrasi, yaitu dimana semua
variabel telah stasioner pada first difference atau I(1) (Enders, 2004). Salah satu uji kointegrasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji kointegrasi Johansen. Dengan H0 : non-kointegrasi dan H1 : kointegrasi. Jika t-trace statistic > t-McKinnon maka tolak H0 atau terima H1 yang artinya terjadi kointegrasi.
3.6.5. Uji Kausalitas Granger Uji Kausalitas Granger dilakukan untuk melihat hubungan sebab-akibat di antara variabel-variabel yang digunakan dalam analisis. Terjadi kausalitas secara nyata atau tidak diketahui dengan membandingkan probabilitas dengan nilai kritis yang digunakan. Pada penelitian ini bila probabilitas lebih kecil dari 0,1 maka dikatakan terjadi kausalitas yang signifikan.
3.6.6. Uji Matriks Korelasi Uji matriks korelasi dilakukan untuk melihat keeratan hubungan yang terjadi antara variabel dependen dengan variabel-variabel independennya. Untuk menentukan signifikan atau tidak korelasi yang terjadi, dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan nilai t-statistik pada taraf nyata yang telah ditentukan. Mencari nilai t-hitung dapat menggunakan rumus menurut Walpole (1995) berikut : ݐൌ dimana : ݐ
= nilai t-hitung
ݎ
= koefisien korelasi
ݎξ݊ െ ʹ ξͳ െ ݎଶ
ሺͳʹሻ
݊
= jumlah observasi
3.7.
Analisis Impulse Response Function (IRF) Analisis IRF adalah metode yang digunakan untuk menentukan respon
suatu variabel endogen terhadap guncangan (shock) variabel tertentu (Amisano dan Gianinni, 1997). IRF juga digunakan untuk melihat guncangan dari suatu variabel yang lain dan berapa lama (periode) pengaruh tersebut. Sims dalam Nugraha menyatakan bahwa cara yang paling baik dalam mencirikan struktur dinamis pada model adalah dengan menganalisa respon dari model terhadap guncangan. IRF dapat melakukan ini dengan menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen itu sendiri dan variabel lainnya. Brooks (2002) berpendapat bahwa IRF melacak respon dari variabel dependen dalam VAR terhadap guncangan dari variabel-variabel lain. Jadi, untuk setiap variabel dari masing-masing persamaan yang terpisah, suatu guncangan diaplikasikan kepada error dan efeknya terhadap sistem VAR untuk beberapa waktu tercatat. Oleh karena itu, apabila terdapat g variabel dalam sistem, total dari g2 Impuls Response dapat diketahui. IRF dalam analisis pertumbuhan ekonomi dilakukan untuk menganalisis respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian Indonesia khususnya terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3. Dengan demikian hasil analisis ini akan menjawab permasalahan pertama dalam penelitian ini. Sedangkan IRF dalam analisis konvergensi kurs ini dilakukan untuk menganalisis
respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.
3.8.
Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Analisis FEVD digunakan untuk menghitung dan menganalisis seberapa
besar pengaruh acak guncangan (random shock) dari variabel tertentu terhadap variabel endogen (Amisano dan Gianinni, 1997). Brooks (2002) menyatakan bahwa FEVD merupakan metode yang sedikit berbeda untuk menganalisis dinamika sistem VAR. FEVD memberi proporsi pergerakan dalam variabel-variabel dependen yang terkait dengan guncangan dari variabel itu sendiri, di samping terhadap guncangan dari variabel-variabel lainnya. Suatu guncangan terhadap variabel kesatu tentunya akan berpengaruh langsung terhadap variabel tersebut, namun juga akan ditransmisikan kepada semua variabel lainnya dalam sistem melalui struktur dinamis dari VAR. FEVD menentukan berapa banyak s langkah ke depan mampu meramalkan error variance dari variabel yang dijelaskan terhadap guncangan dari variabel-variabel lain, pada s = 1,2,... Dalam praktiknya, biasanya guncangan dari variabel itu sendiri dijelaskan sebagian besar (peramalan) error variance dari sistem VAR. Peramalan dekomposisi varian dalam analisis pertumbuhan ekonomi dilakukan untuk melihat seberapa besar peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran perekonomian negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas perekonomian Indonesia khususnya. Sedangkan peramalan dekomposisi varian
dalam analisis konvergensi kurs dilakukan untuk melihat seberapa besar peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas Rupiah dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.
3.9.
Model Penelitian Dalam analisis pertumbuhan ekonomi (economic growth analysis) dapat
dibangun model VAR yang mengacu pada model Ahn, et al (2005). Adapun modelnya adalah sebagai berikut : Model VAR ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ ې ܻܮܯ̴ܴܻܮ ۍ ௧ ێ ۑ ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ ێ ۑ ܲܮܨ̴ܴܻܮ ێ௧ ۑൌ ܣܪ̴ܴܻܶܮێ௧ ۑ ܰܲܬ̴ܴܻܮ ێ௧ ۑ ܴܱܭ̴ܴܻܮۏ௧ ے
Yt
ܥூே ߙ ۍ ې ܥۍଵଵ ߙ ெ ێ ێ ۑଶଵ ܥௌீ ߙ ێ ێ ۑଷଵ ܥ ி ێ ߙێ ۑସଵ ்ܥێு ߙێ ۑହଵ ܥ ێே ߙێ ۑଵ ܥۏைோ ߙۏ ےଵ
A0
ߙଵଶ ߙଶଶ ߙଷଶ ߙସଶ ߙହଶ ߙଶ ߙଶ
ߙଵଷ ߙଶଷ ߙଷଷ ߙସଷ ߙହଷ ߙଷ ߙଷ
ߙଵସ ߙଶସ ߙଷସ ߙସସ ߙହସ ߙସ ߙସ
ߙଵହ ߙଶହ ߙଷହ ߙସହ ߙହହ ߙହ ߙହ
ߙଵ ߙଶ ߙଷ ߙସ ߙହ ߙ ߙ
ߙଵ ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ି ߝ௧ ߙଶ ܻܮܯ̴ܴܻܮ ۍ ې௧ି ߝۍ ې௧ ې ߙଷ ܲܩ̴ܴܻܵܮ ێ ۑ௧ି ߝێ ۑ௧ ۑ ۑ ێ ۑ ێۑ ߙସ ܲܮܨ̴ܴܻܮ ێ ۑ௧ି ۑ ߝێ௧ ۑ ߙହ ܣܪ̴ܴܻܶܮ ێ ۑ௧ି ߝێ ۑ௧ ۑ ߙ ܰܲܬ̴ܴܻܮ ێ ۑ௧ି ߝێ ۑ௧ ۑ ߙ ܴܱܭ̴ܴܻܮ ۏ ے௧ି ߝۏ ے௧ ے
ì
dimana : LYR_INAt
= logaritma natural GDP Riil Indonesia
LYR_MLYt
= logaritma natural GDP Riil Malaysia
LYR_SGPt
= logaritma natural GDP Riil Singapura
LYR_FLPt
= logaritma natural GDP Riil Filipina
LYR_THAt
= logaritma natural GDP Riil Thailand
LYR_JPNt
= logaritma natural GDP Riil Jepang
LYR_KORt
= logaritma natural GDP Riil Korea Selatan
Yt-i
åt
(13)
Cn
= intersep, dimana n=I, M, S, F, T, J, dan K
á
= parameter yang bisa diestimasi untuk variabel GDP Riil
i
= lag ke-i
å
= guncangan acak / error Sedangkan dalam analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence
analysis) dapat dibangun dua model G-PPP yang mengacu pada model Gao (2007) dan Lee (2003). Adapun modelnya adalah sebagai berikut : Model G-PPP dengan base country Singapura ݄ܽ݅ݑܴܮ
ܥ
ͳې ݐ ۍ ͳͳߙ ۍ ې ܫ ۍ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮ ߙʹͳ ێ ۑ ܯܥێ ͳۑݐ ͳ͵ߙ ێ ۑ ܨ ܥ ێ ۑ ݐͳݏ݁ܲܮ ێ ێ ۑൌ ۑ ܶ ܥ ێ ߙ ێێͶͳ ߙ ێ ۑ ێ ۑ ݐͳݐ݄ܽܤܮ ێ ͷͳ ۑ ܬ ܥ ێ ۑ ݐͳܻ݊݁ܮ ێ ߙ ۏͳ ے ܭܥ ۏ ے ݐͳ ܹ݊ܮ ۏ
Yt
ߙͳʹ ߙʹʹ ߙ͵ʹ ߙͶʹ ߙͷʹ ߙʹ
ߙͳ͵ ߙʹ͵ ߙ͵͵ ߙͶ͵ ߙͷ͵ ߙ͵
A0
ߙͳͶ ߙʹͶ ߙ͵Ͷ ߙͶͶ ߙͷͶ ߙͶ
ߙͳͷ ߙʹͷ ߙ͵ͷ ߙͶͷ ߙͷͷ ߙͷ
ߙͳ ݐͳ݄ܽ݅ݑܴܮ ۍെ݅ ݐ݅ߝ ې ߙʹ ݐͳݐܴ݅݃݃݊݅ܮێ ېെ݅ ې ݐ݅ߝۍ ۑ ߙ͵ ݐͳݏ݁ܲܮ ێ ۑെ݅ ۑ ݐ݅ߝێ ۑ ۑ ۑ ۑ ߝێ ߙͳͶ ݐ݄ܽܤܮ ێ ۑ ͳݐെ݅ ۑ ݐ݅ ێ ۑ ێ ߙͷ ܻ݊݁ܮ ۑ ۑ ݐ݅ߝێ ͳݐെ݅ ۑ ے ݐ݅ߝۏ ߙ ۏێ ے ݐͳ ܹ݊ܮെ݅ ے
ì
dimana : ݄ܽ݅ݑܴܮଵ௧
= logaritma natural Rupiah
ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଵ௧
= logaritma natural Ringgit
ݏ݁ܲܮଵ௧
= logaritma natural Peso
ݐ݄ܽܤܮଵ௧
= logaritma natural Baht
ܻ݊݁ܮଵ௧
= logaritma natural Yen
ܹ݊ܮଵ௧
= logaritma natural Won
1
= base country pertama, yaitu Singapura
Yt-i
åt
(14)
Cn
= intersep, dimana n=I (Rupiah), M (Ringgit), S (Dollar Singapura), F (Peso), T (Baht), J (Yen), dan K (Won)
á
= parameter yang bisa diestimasi untuk variabel GDP Riil
i
= lag ke-i
å
= guncangan acak / error
Model G-PPP dengan base country Amerika Serikat ܥூ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ ߙ ۍ ߙۍ ې ܥۍ ېଵଵ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ ێ ێ ۑெ ێ ۑଶଵ ܥ ߙ ݎ݈݈ܽܦܵܮ ێଶ௧ ێ ۑௌ ێ ۑଷଵ ݏ݁ܲܮ ێଶ௧ ۑൌ ܥ ێி ۑ ߙێସଵ ݐ݄ܽܤܮ ێଶ௧ ߙێ ۑ ்ܥ ێ ۑହଵ ܻ݊݁ܮ ێଶ௧ ܥ ێ ۑ ߙێ ۑଵ ܹ݊ܮ ۏଶ௧ ܥ ۏ ے ߙۏ ےଵ
Yt
ߙଵଶ ߙଶଶ ߙଷଶ ߙସଶ ߙହଶ ߙଶ ߙଶ
ߙଵଷ ߙଶଷ ߙଷଷ ߙସଷ ߙହଷ ߙଷ ߙଷ
ߙଵସ ߙଶସ ߙଷସ ߙସସ ߙହସ ߙସ ߙସ
A0
ߙଵହ ߙଶହ ߙଷହ ߙସହ ߙହହ ߙହ ߙହ
ߙଵ ߙଶ ߙଷ ߙସ ߙହ ߙ ߙ
ߙଵ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ି ߝ௧ ߙଶ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮۍ ېଶ௧ି ߝۍ ې௧ ې ێ ۑ ێ ۑ ߙଷ ݎ݈݈ܽܦܵܮ ۑଶ௧ି ߝ ێ ۑ௧ ۑ ێۑ ߙସ ݏ݁ܲܮ ێ ۑଶ௧ି ۑ ߝێ௧ ( ۑ15) ߙହ ݐ݄ܽܤܮ ێ ۑଶ௧ି ߝێ ۑ௧ ۑ ߙ ܻ݊݁ܮ ێ ۑଶ௧ି ߝێ ۑ௧ ۑ ߙ ܹ݊ܮ ۏ ےଶ௧ି ߝۏ ے௧ ے
ì
Yt-i
dimana : ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧
= logaritma natural Rupiah
ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧
= logaritma natural Ringgit
ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧
= logaritma natural Dollar Singapura
ݏ݁ܲܮଶ௧
= logaritma natural Peso
ݐ݄ܽܤܮଶ௧
= logaritma natural Baht
ܻ݊݁ܮଶ௧
= logaritma natural Yen
ܹ݊ܮଶ௧
= logaritma natural Won
2
= base country kedua, yaitu Amerika Serikat
Cn
= intersep, dimana n=I (Rupiah), M (Ringgit), S (Dollar Singapura), F (Peso), T (Baht), J (Yen), dan K (Won)
åt
á
= parameter yang bisa diestimasi untuk variabel GDP Riil
i
= lag ke-i
å
= guncangan acak / error
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN I
Pada bagian ini akan dibahas hasil analisis pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan Vector Autoregression (VAR) untuk melihat secara empiris fenomena integrasi ekonomi dengan pembentukan
Optimum Currency Area
(OCA) di negara-negara ASEAN+3. Akan tetapi sebelum memasuki tahapan analisis tersebut, terlebih dahulu dilakukan pengujian-pengujian pra-estimasi sebagai berikut : 4.1.
Uji Stasioneritas Data GDP Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, data time series sering kali
mempunyai permasalahan pada stasioneritas, karenanya pertama-tama harus dilakukan terlebih dahulu uji stasioneritas untuk setiap variabel yang akan digunakan dalam analisis. Pengujian dilakukan dengan uji Augmented DickeyFuller dan lag length criteria satu. Lag length criteria yang dipilih adalah satu karena pada lag ini data menunjukkan hasil yang paling baik. Jika nilai statistik ADF-nya lebih kecil dari nilai kritis McKinnon maka dapat disimpulkan data yang kita gunakan tidak mengandung akar unit (stasioner). Pengujian kestasioneran dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference dengan taraf nyata 10 persen. Hasil pengujian stasioneritas data untuk masing-masing negara dalam tingkat level dapat dilihat pada Tabel 4.1. Pada Tabel 4.1. terlihat bahwa hampir semua data GDP Riil untuk negaranegara yang diuji tidak stasioner dalam level, kecuali GDP Rill Korea Selatan. Hal ini disebabkan nilai statistik ADF-nya lebih besar dari nilai kritis McKinnon.
Belum stasionernya hampir semua data yang akan dianalisis membuat kita harus melakukan uji akar unit pada tingkat first difference. Tabel 4.1. Uji Stasioneritas Data GDP Variabel LYR_INA LYR_MLY LYR_SGP LYR_FLP LYR_THA LYR_JPN LYR_KOR
Nilai ADF Level -2.201 -2.674 -2.903 -1.632 -2.221 -2.477 -4.332
First Difference -2.682** -6.187 -5.886 -3.037* -2.638** -3.032* -3.933
Cetak tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 1%, 5%, dan 10% Tanda asterik (*) menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 5% dan 10% Tanda double asterik (**) menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 10%
Pada uji di first difference terlihat bahwa semua data yang akan digunakan dalam analisis telah stasioner pada suatu tingkat kritis tertentu yang dipilih. Penelitian ini menggunakan taraf nyata 10 persen. Penggunaan data first difference
sebagaimana
dikatakan
Sims
dalam
Nugraha
(2006)
tidak
direkomendasikan sebab akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (error correction model) menjadi VECM.
4.2.
Penentuan Lag Optimal GDP Sebelum melakukan uji VAR, penentuan lag optimal sangat penting demi
mendapatkan hasil yang baik. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan
digunakannya lag optimal diharapkan tidak lagi muncul masalah autokorelasi. Kriteria penentuan lag optimal ditentukan berdasarkan lag terpendek dan standar Akaike Information Criterion (AIC) terkecil. Hasil pengujian penentuan lag optimal terlampir pada Tabel 4.2. di bawah ini : Tabel 4.2. Uji Lag Optimal GDP Lag (Kuartal) 0 1
AIC -38.37489 -39.45520*
Tanda asterik (*) menunjukkan angka AIC terkecil
Perhitungan nilai AIC untuk masing-masing lag mengindikasikan bahwa nilai AIC yang terkecil yaitu -39.45520 terdapat pada lag satu. Oleh karena itu, pada analisis VAR akan digunakan lag satu sebagai lag optimalnya. Penentuan lag satu ini didasarkan pada hasil olahan yang diperoleh dengan menggunakan lag satu menunjukkan hasil yang terbaik. Dengan demikian sesuai dengan ordo VAR yang diperoleh, maka dapat dibentuk persamaan VAR sebagai berikut : ଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ ൌ Ȟ ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܻܮܯ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ି Ȟ ܲܮܨ̴ܴܻܮ௧ି ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܣܪ̴ܴܻܶܮ௧ି Ȟ ܰܲܬ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܴܱܭ̴ܴܻܮ௧ି ɂ௧
ଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ܻܮܯ̴ܴܻܮ௧ ൌ Ȟ ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܻܮܯ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ି Ȟ ܲܮܨ̴ܴܻܮ௧ି ଵ
ଵ
ଵ
Ȟ ܣܪ̴ܴܻܶܮ௧ି Ȟ ܰܲܬ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܴܱܭ̴ܴܻܮ௧ି ɂ௧ ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ ൌ Ȟ ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܻܮܯ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ି Ȟ ܲܮܨ̴ܴܻܮ௧ି ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܣܪ̴ܴܻܶܮ௧ି Ȟ ܰܲܬ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܴܱܭ̴ܴܻܮ௧ି ɂ௧
ଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ܲܮܨ̴ܴܻܮ௧ ൌ Ȟ ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܻܮܯ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ି Ȟ ܲܮܨ̴ܴܻܮ௧ି ଵ
ଵ
ଵ
Ȟ ܣܪ̴ܴܻܶܮ௧ି Ȟ ܰܲܬ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܴܱܭ̴ܴܻܮ௧ି ɂ௧ ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ܣܪ̴ܴܻܶܮ௧ ൌ Ȟ ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܻܮܯ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ି Ȟ ܲܮܨ̴ܴܻܮ௧ି ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܣܪ̴ܴܻܶܮ௧ି Ȟ ܰܲܬ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܴܱܭ̴ܴܻܮ௧ି ɂ௧ ଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ܰܲܬ̴ܴܻܮ௧ ൌ Ȟ ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܻܮܯ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ି Ȟ ܲܮܨ̴ܴܻܮ௧ି ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܣܪ̴ܴܻܶܮ௧ି Ȟ ܰܲܬ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܴܱܭ̴ܴܻܮ௧ି ɂ௧ ଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ܴܱܭ̴ܴܻܮ௧ ൌ Ȟ ܣܰܫ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܻܮܯ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܲܩ̴ܴܻܵܮ௧ି Ȟ ܲܮܨ̴ܴܻܮ௧ି ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ଵ
ଵ
ଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܣܪ̴ܴܻܶܮ௧ି Ȟ ܰܲܬ̴ܴܻܮ௧ି Ȟ ܴܱܭ̴ܴܻܮ௧ି ɂ௧
dimana : LYRt = GDP Riil masing-masing negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan Ã
= parameter dalam bentuk matriks polinomial (finite order matrix) dengan Lag operator i
ઽit
= vector white noise
i
= panjang lag (ordo) VAR, dengan i = 1
4.3.
Uji Stabilitas VAR Variabel GDP Sebelum dilakukan analisis lebih jauh, maka stabilitas VAR perlu diuji
karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan ECM tidak
stabil akan menyebabkan analisis IRF dan FEVD menjadi tidak valid. Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan VAR Stability Condition Check berupa Roots of Characteristic Polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu (Lutkepohl, 2005). Berdasarkan uji stabilitas VAR dapat disimpulkan bahwa estimasi VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan FEVD stabil karena nilai modulus berkisar antara 0.133925 sampai 0.370600 (Lampiran 1).
4.4.
Uji Kointegrasi Variabel GDP Konsep kointegrasi ini ditemukan oleh Engle dan Granger pada tahun
1987 sebagai fenomena kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan
kointegrasi
dan
dapat
diinterpretasikan
sebagai
hubungan
keseimbangan jangka panjang di antara variabel (Verbeek, 2000). Metode pengujian kointegrasi didasarkan pada metode Johansen. Uji kointegrasi dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan dalam proses integrasi, yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama, yaitu first difference atau I(1). Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu rank kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan dari keseluruhan sistem yang ada. Kriteria pengujian kointegrasi pada penelitian ini didasarkan pada trace statistics. Apabila nilai trace statistics lebih besar dari nilai kritis 10 persen, maka hipotesa alternatif yang
menyatakan jumlah rank kointegrasi dapat diterima. Uji kointegrasi ini dilakukan pada lag dua, yaitu lag optimal VAR ditambah satu. Hasil uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen Cointegration Test dapat dilihat pada Tabel 4.3. di bawah ini. Tabel 4.3. Johansen Cointegration Test Variabel GDP Trace Statistic Model
LYR
H0
R=0
R<=1
R<=2
R<=3
R<=4
R<=5
R<=6
H1
R>=1
R>=2
R>=3
R>=4
R>=5
R>=6
R>=7
161.942
109.503
64.512
36.555
16.915
7.279
0.093
10% critical 120.367 91.110 65.819 44.493 27.067 13.429 2.705 value Cetak tebal menunjukkan bahwa trace statistic > 10% critical value dan terjadi kointegrasi
Dari Tabel 4.3. dapat diketahui bahwa terdapat minimal dua rank kointegrasi pada taraf nyata 10 persen. Informasi jumlah rank ini akan digunakan sebagai model koreksi kesalahan (ECM) yang akan dimasukkan ke dalam model VAR menjadi VECM.
4.5.
Uji Kausalitas Granger Variabel GDP Uji kausalitas Granger dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas yang
mungkin terjadi di antara variabel-variabel dalam model. Pada penelitian ini uji kausalitas dilakukan dengan menggunakan Granger Causality yang hasilnya terlampir pada Tabel 4.4. di bawah ini.
Tabel 4.4. Uji Kausalitas Granger Variabel GDP Variabel Bebas Variabel Terikat
LYR_INA
LYR_INA LYR_MLY LYR_SGP LYR_FLP LYR_THA LYR_JPN LYR_KOR
0.57 0.05 3.4 3.08 1.68 1.71
LYR_MLY
LYR_SGP
LYR_FLP
LYR_THA
LYR_JPN
LYR_KOR
5.88
3.83 3.31
2.46 4.93 3.64
40.3 12.19 1.58 4.20
1.12 6.13 0.31 16.65 1.99
8.84 4.00 1.17 16.12 0.63 3.35
2.05 17.08 0.14 7.23 0.98
2.75 0.45 7.83 2.44
1.56 5.56 0.79
13.82 15.59
2.10
Angka-angka pada Tabel 4.4. adalah nilai F-statistik untuk masing-masing hipotesis kausalitas Granger. Pada uji kausalitas bivariat, H0 yang diuji adalah tidak adanya hubungan kausalitas di antara kedua variabel, sementara H1 adalah adanya hubungan kausalitas di antara kedua variabel. Untuk menerima atau menolak H0 digunakan nilai probabilitas yang dibandingkan dengan nilai kritis yang digunakan. Bila nilai probabilitas lebih kecil dari nilai kritis yang telah digunakan maka H0 ditolak atau dengan kata lain terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel yang diuji. Pada Tabel 4.4. angka-angka yang dicetak tebal menunjukkan signifikansi pada taraf nyata 10 persen. Dari uji Granger Bivariat diketahui terdapat hubungan kausalitas dua arah antara Indonesia-Filipina, Singapura-Filipina, Filipina-Malaysia, Jepang-Malaysia, dan Filipina-Jepang.
4.6.
Uji Matriks Korelasi Variabel GDP Matriks korelasi digunakan untuk menguji ukuran keeratan hubungan
antara nilai Y dengan nilai peubah bebas X1, X2, X3, …, Xn dalam persamaan
regresi. Hasil uji matriks korelasi antar negara-negara ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan terlampir pada Tabel 4.5. di bawah ini. Tabel 4.5. Matriks Korelasi Variabel GDP LYR_INA
LYR_MLY
LYR_SGP
LYR_FLP
LYR_THA
LYR_JPN
LYR_KOR
LYR_INA
1.000000
0.959497
0.937218
0.951292
0.983931
0.963019
0.941202
LYR_MLY
0.959497
1.000000
0.993023
0.989988
0.959427
0.968071
0.993176
LYR_SGP
0.937218
0.993023
1.000000
0.989740
0.939955
0.961752
0.987554
LYR_FLP
0.951292
0.989988
0.989740
1.000000
0.955435
0.969925
0.987037
LYR_THA
0.983931
0.959427
0.939955
0.955435
1.000000
0.954581
0.949819
LYR_JPN
0.963019
0.968071
0.961752
0.969925
0.954581
1.000000
0.954334
LYR_KOR
0.941202
0.993176
0.987554
0.987037
0.949819
0.954334
1.000000
Angka-angka pada matriks korelasi ini kemudian diuji signifikansinya dengan membandingkan nilai sebaran t dengan nilai kritis yang digunakan. Pada matriks korelasi di atas, angka-angka yang dicetak tebal adalah signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hasil uji matriks korelasi menunjukkan adanya korelasi yang nyata di antara semua perekonomian negara ASEAN+3.
4.7.
Analisis Impulse Response Function (IRF) Perekonomian Negara ASEAN+3 Impulse Response adalah respon sebuah variabel dependen jika mendapat
guncangan atau inovasi variabel independen sebesar satu standar deviasi. IRF dalam analisis pertumbuhan ekonomi ini dilakukan untuk menganalisis respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian Indonesia khususnya terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3. Dengan demikian hasil analisis ini
akan menjawab permasalahan pertama dalam penelitian ini. Pengurutan variabel dalam analisis IRF didasarkan pada faktorisasi Cholesky. Pada uji kausalitas Granger, diketahui bahwa GDP Riil Filipina memiliki probabilitas signifikan yang paling banyak, dimana secara signifikan mampu mempengaruhi GDP Riil empat negara lainnya dan dipengaruhi GDP Riil lima negara lainnya. Oleh karena itu, pada ordering IRF GDP Riil Filipina (LYR_FLP) diletakkan paling depan, dan urutan selanjutnya ditentukan berdasarkan probabilitas signifikan terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai urutan ketujuh. Variabel selanjutnya secara berturut-turut adalah GDP Riil Malaysia (LYR_MLY), GDP Riil Singapura (LYR_SGP), GDP Riil Jepang (LYR_JPN), GDP Riil Indonesia (LYR_INA), GDP Riil Thailand (LYR_THA), dan GDP Riil Korea Selatan (LYR_KOR). 4.7.1.
Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Singapura Dalam analisis Impulse Response Function (IRF) ini akan dilihat respon
dinamik perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Singapura selama 32 kuartal. Analisis ini ditunjukkan oleh Gambar 4.1. berikut ini.
Indonesia 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0% -0.4%
1
5
9 13 17 21 25 29
Malaysia 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9
13 17 21 25 29
Singapura 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
Filipina 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
Thailand 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
Jepang 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0% -0.4%
1
5
9 13 17 21 25 29
9 13 17 21 25 29
5
9 13 17 21 25 29
Korea Selatan 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
Gambar 4.1. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 Terhadap Guncangan Perekonomian Singapura Terlihat pada gambar di atas bahwa perekonomian semua negara ASEAN+3 merespon positif guncangan yang terjadi pada perekonomian
Singapura. Hal ini sejalan dengan respon perekonomian Singapura itu sendiri terhadap guncangan dirinya. Hasil ini mengindikasikan bahwa ternyata perekonomian negara ASEAN+3 memiliki kesamaan pola dengan perekonomian Singapura. Selain itu, terjadi juga guncangan simetrik antara Singapura dengan Malaysia, Filipina, Thailand, dan Jepang, dimana apabila perekonomian keempat negara tersebut diguncang maka perekonomian Singapura pun akan merespon guncangan tersebut secara positif (Lampiran 4). Negara yang merespon guncangan perekonomian Singapura paling tinggi adalah Korea Selatan dengan nilai sebesar 0.8 persen pada kuartal kedua. Lebih jauh lagi dapat kita lihat bahwa masing-masing negara dalam mencapai kestabilan terhadap guncangan yang terjadi membutuhkan waktu yang relatif cepat. Indonesia dapat stabil pada kuartal ke-17, Malaysia pada kuartal ke-15, Singapura itu sendiri pada kuartal ketujuh, Filipina pada kuartal ke-12, Thailand pada kuartal ke-14, Jepang pada kuartal ke-16, dan Korea Selatan pada kuartal ke-16.
4.7.2.
Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Jepang Dalam analisis Impulse Response Function (IRF) ini akan dilihat respon
dinamik perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian Jepang selama 32 kuartal. Analisis ini ditunjukkan oleh Gambar 4.2. berikut ini.
Indonesia 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
Malaysia 0.8%
Singapura 0.8%
0.4%
0.4%
0.0%
-0.4% 1
5
9 13 17 21 25 29
0.0%
-0.8%
1
5
9 13 17 21 25 29
Filipina 0.8%
0.8%
0.4%
0.4% 0.0%
Thailand
0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
-0.4% 1
Korea Selatan
0.8%
0.8%
0.0%
0.0%
-0.4% 1 -0.8%
9 13 17 21 25 29
-0.8%
Jepang
0.4%
5
0.4% 5
9 13 17 21 25 29
-0.4% 1
5
9 13 17 21 25 29
-0.8%
Gambar 4.2. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 Terhadap Guncangan Perekonomian Jepang
Terlihat pada gambar di atas bahwa perekonomian masing-masing negara ASEAN+3 merespon secara berbeda guncangan yang terjadi pada perekonomian Jepang. Perekonomian Indonesia, Singapura, Filipina, dan Jepang itu sendiri merespon positif guncangan ini. Sedangkan perekonomian Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan merespon negatif guncangan ini. Dengan demikian dapat disimpulkan banhwa hanya Indonesia, Singapura, dan Filipina yang perekonomiannya sejalan atau memiliki kesamaan pola perekonomian dengan perekonomian Jepang. Selain itu, guncangan simetrik pun terjadi antara Jepang dengan Indonesia, Singapura, Filipina, dan Korea Selatan (Lampiran 7). Negara yang merespon guncangan perekonomian Jepang paling tinggi adalah Malaysia dengan nilai sebesar 0.61 persen pada kuartal kedua. Lebih jauh lagi dapat kita lihat bahwa masing-masing negara dalam mencapai kestabilan terhadap guncangan yang terjadi membutuhkan waktu yang lebih lambat. Indonesia dapat stabil pada kuartal ke-21, Malaysia pada kuartal ke-20, Singapura pada kuartal ke-14, Filipina pada kuartal ke-23, Thailand pada kuartal ke-19, Jepang itu sendiri pada kuartal ke-22, dan Korea Selatan pada kuartal ke-19. Dari hasil analisis IRF antara guncangan Singapura dan Jepang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Singapura lebih layak untuk menjadi negara acuan (peg) bagi negara-negara ASEAN+3 agar optimal membentuk OCA daripada Jepang. Hal ini disebabkan Singapura merupakan negara yang berada dalam kawasan ASEAN, di mana negara-negara lain yang ada dalam penelitian
ini pun sebagian besar adalah negara-negara ASEAN, sehingga jelas terlihat bahwa hubungan regional ini memang sangat erat.
4.7.3.
Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Indonesia Dalam analisis IRF ini akan dilihat respon dinamik perekonomian negara
ASEAN+3 lainnya, yaitu Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan terhadap guncangan perekonomian Indonesia selama 32 kuartal. Analisis ini ditunjukkan oleh Gambar 4.3. berikut ini. Pada Gambar 4.3. di bawah ini terlihat bahwa perekonomian Indonesia tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan masing-masing akan merespon guncangan perekonomian Indonesia dengan berbeda-beda. Hasil IRF ini memperlihatkan bahwa guncangan perekonomian Indonesia akan mengakibatkan perekonomian Thailand dan Jepang naik selama periode peramalan. Perekonomian Thailand merespon guncangan perekonomian Indonesia lebih tinggi daripada perekonomian Jepang pada awal kuartal, yaitu sebesar 0.34 persen. Respon positif juga diberikan oleh perekonomian Korea Selatan, akan tetapi hanya pada kuartal pertama saja, karena pada kuartal kedua hingga kuartal terakhir respon yang diberikan negatif. Sedangkan perekonomian Malaysia, Singapura, dan Filipina merespon negatif guncangan perekonomian Indonesia selama periode peramalan, dimana respon terbesar diberikan oleh perekonomian Singapura pada awal kuartal, yaitu sebesar 0.28 persen.
Indonesia 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
Malaysia 1.6%
Singapura 0.0%
1.2%
-0.4% 1
0.8%
5
-0.8%
0.4% 0.0%
-0.4% 1
5
9 13 17 21 25 29
-1.2% -1.6%
Filipina 0.4%
Thailand 1.6%
0.0%
-0.4% 1 -0.8%
5
9 13 17 21 25 29
1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
-1.2% -1.6%
1
Jepang 1.6%
0.8%
0.8%
1.2%
5
9
13 17 21 25 29
Korea Selatan
1.6%
1.2%
0.4% 0.0%
9 13 17 21 25 29
0.4% 1
5
9 13 17 21 25 29
0.0%
-0.4% 1
5
9 13 17 21 25 29
Gambar 4.3. Respon perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan perekonomian Indonesia
Dari seluruh penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa guncangan perekonomian Indonesia lebih memberikan pengaruh kepada perekonomian Thailand. Hal ini ditandai dengan paling besarnya respon yang diberikan oleh perekonomian Thailand secara positif terhadap guncangan perekonomian Indonesia. Hal ini juga mengindikasikan bahwa antara Indonesia dengan Thailand terdapat guncangan simetrik dalam perekonomian mereka. Guncangan simetrik juga terjadi antara Indonesia dengan Jepang.
4.7.4.
Respon Perekonomian Indonesia Perekonomian Negara ASEAN+3
terhadap
Guncangan
Dalam analisis Impulse Response Function (IRF) ini akan dilihat respon dinamik perekonomian Indonesia terhadap guncangan perekonomian enam negara lainnya, yaitu Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan selama 32 kuartal. Analisis ini ditunjukkan oleh Gambar 4.4. berikut ini. Perekonomian Indonesia secara umum merespon positif semua guncangan dari awal periode sampai akhir periode. Hanya pada kuartal pertama untuk guncangan perekonomian Singapura serta kuartal pertama dan kedua untuk guncangan perekonomian Filipina yang direspon negatif oleh perekonomian Indonesia. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia mulai stabil dalam merespon guncangan perekonomian enam negara lain setelah kuartal ke-13.
Guncangan Indonesia 2.8% 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
Guncangan Malaysia 2.8% 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
Guncangan Singapura 2.8% 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0% -0.4%
1
Guncangan Filipina 2.8% 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0% -0.4%
1
5
9 13 17 21 25 29
Guncangan Jepang 2.8% 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
5
9 13 17 21 25 29
Guncangan Thailand 2.8% 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0% -0.4%
1
5
9 13 17 21 25 29
Guncangan Korea selatan 2.8% 2.4% 2.0% 1.6% 1.2% 0.8% 0.4% 0.0%
1
5
9 13 17 21 25 29
Gambar 4.4. Respon Perekonomian Indonesia terhadap Guncangan Perekonomian Negara ASEAN+3
Respon tercepat diberikan perekonomian Indonesia terhadap guncangan perekonomian Singapura dan Jepang. Akan tetapi, respon terbesar jangka panjang diberikan kepada guncangan perekonomian Thailand dengan besar respon sekitar 2.77 persen. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa respon tertinggi di awal kuartal
juga
diberikan
perekonomian
Indonesia
terhadap
guncangan
perekonomian Thailand, yaitu sebesar 2.83 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap guncangan yang terjadi pada perekonomian Thailand. Secara hipotesis hal ini disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997 yang diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN, termasuk Indonesia yang tertular paling parah oleh peristiwa tersebut. Respon tertinggi kedua diberikan perekonomian Indonesia terhadap guncangan perekonomian Malaysia. Hal ini mengindikasikan bahwa selain sangat rentan terhadap guncangan perekonomian Thailand, perekonomian Indonesia juga cukup rentan terhadap guncangan yang terjadi pada perekonomian Malaysia. Hal ini disebabkan Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan yang sangat erat, baik dari sisi ekonomi maupun sisi non ekonominnya. Ditambah lagi perekonomian Malaysia jauh lebih stabil daripada Indonesia, sehingga apa yang terjadi pada perekonomian Malaysia akan berpengaruh kepada perekonomian Indonesia.
4.8.
Analisis Forecasting Error Variance Perekonomian Negara ASEAN+3 Tahap
selanjutnya
adalah
Decomposition
menganalisis
persentase
(FEVD)
kontribusi
perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 lainnya serta peran perekonomian negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas perekonomian Indonesia. Dengan demikian hasil analisis ini akan menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini. Hasil analisis ini disajikan pada Gambar 4.5. berikut ini. Secara umum dalam jangka pendek dan panjang persentase kontribusi perekonomian Singapura dalam menjelaskan variabiltas perekonomian negara ASEAN+3 lainnya hanya terlihat pada Singapura itu sendiri dan Jepang. Sedangkan pada variasi perekonomian lima negara lainnya tidak begitu terlihat. Perekonomian Singapura dapat menjelaskan variabilitas dirinya sendiri dengan dominan dengan nilai rata-rata 53 persen dan pada variasi perekonomian Jepang berperan dengan nilai sekitar 18 persen. Secara kasat mata terlihat bahwa perekonomian Jepang tidak memberikan perekonomian
kontribusi
yang
keenam
negara
signifikan ASEAN+3
dalam
menjelaskan
lainnya.
Dalam
variabilitas menjelaskan
variabilitasnya sendiri pun perekonomian Jepang hanya berkontribusi sekitar 9.75 persen dalam jangka panjang. Kontribusinya terhadap diri sendiri hanya dominan di kuartal pertama dengan nilai sebesar 82 persen dan di kuartal kedua sebesar 51 persen.
Indonesia 100% 50% 0%
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Malaysia
Singapura
100%
100%
50%
50%
0%
0%
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Filipina
Thailand
100%
100%
50%
50%
0%
0%
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Jepang
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Korea Selatan
100%
100%
50%
50%
0%
0%
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31
Keterangan : 1.
= Korea Selatan
3.
= Thailand
2.
= Jepang
4.
= Filipina
5. 6.
= Singapura
7.
= Indonesia
= Malaysia
Gambar 4.5. Variance Decomposition Perekonomian Negara ASEAN+3
Dari hasil analisis FEVD antara kontribusi perekonomian Singapura dan Jepang terhadap perekonomian negara ASEAN+3 di atas, dapat disimpulkan bahwa perekonomian Singapura lebih berpengaruh terhadap perekonomian negara ASEAN+3 lainnya. Dengan demikian hasil ini sejalan dengan hasil analisis IRF sebelumnya bahwa Singapura lebih layak menjadi negara acuan (peg) bagi perekonomian negara ASEAN+3 lainnya agar kawasan ini optimal dalam membentuk OCA. Secara umum dalam jangka pendek dan jangka panjang persentase kontribusi perekonomian Indonesia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian enam negara lainnya sangat kecil. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa perekonomian Indonesia hanya memberikan peran yang sangat kecil pada awal kuartal terhadap variabilitas perekonomian Filipina, Thailand, dan Korea Selatan. Sedangkan dalam menjelaskan variabilitas perekonomian Jepang, perekonomian Indonesia memberikan kontribusi mulai dari kuartal keempat hingga kuartal terakhir tetapi dengan persentase yang sangat kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek maupun jangka panjang perekonomian Indonesia tidak memiliki kontribusi yang sangat kuat dalam mempengaruhi variabilitas perekonomian enam negara lainnya dalam kawasan ASEAN+3. Artimya, perekonomian negara kita memang masih yang paling lemah dan tidak stabil jika dibandingkan dengan dengan negara-negara ASEAN+3 lainnya. Peristiwa krisis finansial Asia tahun 1997 silam masih menyumbang peranan terbesar dalam hal ini. Pada peristiwa tersebut memang Indonesialah negara yang terkena dampak paling
buruk
dan
termasuk
negara
yang
lambat
dalam
memulihkan
perekonomiannya. Terlebih lagi dengan terjadinya krisis finansial global barubaru ini, tepatnya sejak Juli 2007. Walaupun Indonesia tidak terkena dampak secara langsung akibat perisriwa ini, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ini berpengaruh pada kestabilan perekonomian kita juga. Hal ini disebabkan karena krisis finansial global ini menghantam perekonomian negara-negara maju yang mayoritas adalah negara mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, dan negara-negara Eropa, sehingga kegiatan perekonomian seperti ekspor-impor dan kinerja sektor keuangan pun menjadi terganggu. Persentase
kontribusi perekonomian
Indonesia
dapat menjelaskan
variabilitas dirinya sendiri secara dominan hanya pada kuartal pertama (tiga bulan pertama) saja. Mulai kuartal kedua sampai kuartal ke-32 kontribusinya menjadi sangat kecil. Justru perekonomian Thailand yang memiliki peresentase kontribusi terbesar dalam menjelaskan variabilitas perekonomian Indonesia mulai dari kuartal keempat sampai kuartal terkahir dengan besar kontribusi di atas 50 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh perekonomian Thailand. Hasil ini sejalan dengan hasil analisis IRF sebelumnnya yang menyatakan bahwa jika terjadi guncangan pada perekonomian Thailand, maka perekonomian Indonesia akan merespon sangat tinggi dengan nilai yang positif. Fenomena ini tentu saja dipengaruhi oleh peristiwa krisis finansial Asia tahun 1997 silam. Walaupun krisis tersebut sudah terjadi sekitar satu dekade yang lalu, akan tetapi dampaknya masih terasa hingga saat ini karena tidak mudah dan tidak bisa begitu saja Indonesia dapat memulihkan keadaaan perekonomiannya menjadi seperti semula sebelum
terjadinya krisis ini. Hal ini sangat membutuhkan waktu dan tentu saja kerja keras negara Indonesia untuk memperbaiki perekonomiannya. Hal ini dapat ditempuh dengan memperkuat sistem ekonomi kita, yaitu dengan menurunkan suku bunga acuan (policy rate) kita yang mencapai angka tertinggi diantara negara-negara ASEAN+3 lainnya, yaitu sebesar 6.95 persen pada bulan Juni lalu (Bank Indonesia). Suku bunga murah dapat menggairahkan kembali sektor riil kita yang diharapkan akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia nantinya. Persentase kontribusi terbesar kedua diberikan oleh perekonomian Malaysia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian Indonesia. Hasil ini pun sejalan dengan hasil analisis IRF sebelumnya bahwa guncangan yang terjadi pada perekonomian Malaysia pun akan berpengaruh kepada perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan pula dengan hasil analisis FEVD yang menunjukkan persentase kontribusi perekonomian Malaysia terhadap perekonomian Indonesia juga besar. Secara hipotesis dapat dijelaskan bahwa antara Indonesia dengan Malaysia memang memiliki hubungan yang erat, baik dari sisi ekonomi maupun non ekonomi. Dari sisi ekonomi sangat jelas bahwa hubungan perdagangan dan keuangan antara Indonesia dengan Malaysia sangat erat. Kedua negara ini pun memiliki kedekatan geografis dan budaya yang erat pula. Hanya saja perekonomian Malaysia lebih stabil daripada Indonesia, sehingga perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh perekonomian Malaysia, tetapi tidak sebaliknya. Secara ringkas, perekonomian negara yang dominan dalam menjelaskan variabilitas perekonomian lainnya, yaitu :
a. Perekonomian Indonesia, didominasi oleh perekonomian Thailand dan Malaysia. b. Perekonomian Malaysia, didominasi oleh Perekonomian Malaysia itu sendiri dan Thailand. c. Perekonomian Singapura, didominasi oleh perekonomian Singapura dan Malaysia. d. Perekonomian Filipina, didominasi oleh perekonomian Filipina itu sendiri, Thailand, dan Malaysia. e. Perekonomian Thailand, didominasi oleh perekonomian Thailand itu sendiri. f. Perekonomian Jepang, didominasi oleh perekonomian Thailand, Malaysia, dan Singapura. g. Perekonomian Korea Selatan, didominasi oleh perekonomian Thailand dan Malaysia, walaupun sebenarnya perekonomian Korea Selatan itu sendiri pun memiliki kontribusi yang cukup dapat menjelaskan variabilitasnya.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN II
Pada bagian ini akan dibahas hasil analisis konvergensi kurs dengan menggunakan metode Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) untuk melihat secara empiris fenomena integrasi ekonomi dengan pembentukan Optimum Currency Area (OCA) di negara-negara ASEAN+3. Akan tetapi sebelum memasuki tahapan analisis tersebut, terlebih dahulu dilakukan pengujianpengujian pra-estimasi sebagai berikut : 5.1.
Uji Stasioneritas Variabel Kurs Pengujian dilakukan dengan uji Augmented Dickey-Fuller dan lag length
criteria tiga. Lag length criteria dipilih tiga mengingat data yang digunakan adalah data bulanan dan pada lag ini hasil olahan menunjukkan hasil yang terbaik. Hasil uji stasioneritas variabel kurs dengan base country Singapura dan Amerika Serikat adalah sebagai berikut : Tabel 5.1. Uji Stasioneritas Variabel Kurs Variabel LRUPIAH LRINGGIT LSDOLLAR LPESO LBAHT LYEN
Nilai ADF (Base Country Singapura) Level 1st Difference -3.033* -4.129 -3.323* -4.659 -1.891 -9.647 -2.593** -4.982 -1.659 -9.498 -1.542 -7.671
Nilai ADF (Base Country AS) Level -3.322* -1.95 -0.853 -1.322 -1.98 -3.502* -2.687
1st Difference -4.225 -9.753 -9.709 -10.883 -10.127 -6.724 -7.905
LWON Cetak tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 1%, 5%, dan 10% Tanda asterik (*) menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 5% dan 10% Tanda double asterik (**) menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 10%
Pada Tabel 5.1. terlihat bahwa mayoritas data kurs riil dengan base country Singapura maupun AS yang diuji tidak stasioner dalam level, kecuali Rupiah, Ringgit, dan Baht dengan base country Singapura serta Rupiah dan Yen dengan base country AS. Hal ini disebabkan nilai statistik ADF-nya lebih besar dari nilai kritis McKinnon. Belum stasionernya hampir semua data yang akan dianalisis membuat kita harus melakukan uji akar unit pada tingkat first difference. Pada uji di first difference terlihat bahwa semua data yang akan digunakan dalam analisis telah stasioner pada suatu tingkat kritis tertentu yang dipilih. Penelitian ini menggunakan taraf nyata 10 persen.
5.2.
Penentuan Lag Optimal Variabel Kurs Hasil uji lag optimal dengan menggunakan AIC dapat dilihat pada Tabel
5.2. di bawah ini. Tabel 5.2. Uji Lag Optimal Variabel Kurs Lag (Bulan) 0 1 2 3
AIC Base country Singapura -26.59157 -26.99382 -27.44847 -27.59905*
Base country AS -30.4205 -30.76222 -30.99831 -31.07326*
Tanda asterik (*) menunjukkan angka AIC terkecil
Berdasarkan hasil uji di atas, diketahui bahwa nilai AIC terkecil terdapat pada lag tiga, yaitu sebesar -27.59905 dengan base country Singapura dan 31.07326 dengan base country AS. Oleh karena itu, lag tiga ditetapkan sebagai lag optimal dan digunakan untuk analisis VAR berikutnya. Dengan demikian
sesuai dengan ordo VAR yang diperoleh, maka dapat dibentuk persamaan VAR sebagai berikut : Base Country Singapura ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
݄ܽ݅ݑܴܮଵ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଵ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଵ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଵ௧ି Ȟ ݐ݄ܽܤܮଵ௧ି ୀଵ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܻ݊݁ܮଵ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଵ௧ି ɂ௧
ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଵ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଵ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଵ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଵ௧ି Ȟ ݐ݄ܽܤܮଵ௧ି ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܻ݊݁ܮଵ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଵ௧ି ɂ௧ ଷ
ݏ݁ܲܮଵ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଵ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଵ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଵ௧ି Ȟ ݐ݄ܽܤܮଵ௧ି ୀଵ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܻ݊݁ܮଵ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଵ௧ି ɂ௧ ଷ
ݐ݄ܽܤܮଵ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଵ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଵ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଵ௧ି Ȟ ݐ݄ܽܤܮଵ௧ି ୀଵ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܻ݊݁ܮଵ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଵ௧ି ɂ௧ ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ܻ݊݁ܮଵ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଵ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଵ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଵ௧ି Ȟ ݐ݄ܽܤܮଵ௧ି ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܻ݊݁ܮଵ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଵ௧ି ɂ௧ ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ܹ݊ܮଵ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଵ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଵ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଵ௧ି Ȟ ݐ݄ܽܤܮଵ௧ି ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ܻ݊݁ܮଵ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଵ௧ି ɂ௧
Base Country Amerika Serikat ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ି Ȟ ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଶ௧ି ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ݐ݄ܽܤܮଶ௧ି Ȟ ܻ݊݁ܮଶ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଶ௧ି ɂ௧ ୀଵ
ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ି Ȟ ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଶ௧ି ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ݐ݄ܽܤܮଶ௧ି Ȟ ܻ݊݁ܮଶ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଶ௧ି ɂ௧ ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ି Ȟ ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଶ௧ି ୀଵ
ୀଵ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ݐ݄ܽܤܮଶ௧ି Ȟ ܻ݊݁ܮଶ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଶ௧ି ɂ௧ ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ݏ݁ܲܮଶ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ି Ȟ ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଶ௧ି ୀଵ
ୀଵ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ݐ݄ܽܤܮଶ௧ି Ȟ ܻ݊݁ܮଶ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଶ௧ି ɂ௧ ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ݐ݄ܽܤܮଶ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ି Ȟ ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଶ௧ି ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ݐ݄ܽܤܮଶ௧ି Ȟ ܻ݊݁ܮଶ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଶ௧ି ɂ௧ ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
ܻ݊݁ܮଶ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ି Ȟ ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଶ௧ି ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ݐ݄ܽܤܮଶ௧ି Ȟ ܻ݊݁ܮଶ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଶ௧ି ɂ௧ ଷ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ܹ݊ܮଶ௧ ൌ Ȟ ݄ܽ݅ݑܴܮଶ௧ି Ȟ ݐܴ݅݃݃݊݅ܮଶ௧ି Ȟ ݎ݈݈ܽܦܵܮଶ௧ି Ȟ ݏ݁ܲܮଶ௧ି ୀଵ
ୀଵ
ଷ
ଷ
ଷ
ୀଵ
ୀଵ
ୀଵ
Ȟ ݐ݄ܽܤܮଶ௧ି Ȟ ܻ݊݁ܮଶ௧ି Ȟ ܹ݊ܮଶ௧ି ɂ௧
5.3.
Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs Sebelum dilakukan analisis lebih jauh, maka stabilitas VAR perlu diuji
karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan ECM tidak stabil akan menyebabkan analisis IRF dan FEVD menjadi tidak valid. Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan VAR Stability Condition Check berupa Roots of Characteristic Polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu (Lutkepohl dalam Eviews 4 User’s Guide, 2002). Berdasarkan uji stabilitas VAR dapat disimpulkan bahwa estimasi VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan FEVD stabil karena nilai modulus berkisar antara 0.438893 sampai 0.799490 untuk kurs dengan base country Singapura dan 0.269002 sampai 0.806065 untuk kurs dengan base country Amerika Serikat (Lampiran 9 dan 16).
5.4.
Uji Kointegrasi Variabel Kurs Uji kointegrasi ini dilakukan pada lag empat, yaitu lag optimal VAR
ditambah satu. Hasil uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen Cointegration Test dapat dilihat pada Tabel 5.3. Sebuah persamaan dikatakan terkointegrasi apabila nilai trace statistic-nya lebih besar dari nilai kritis yang digunakan. Dari Tabel 5.3. dapat diketahui bahwa dengan base country Singapura terdapat minimal empat rank kointegrasi dan dengan base country AS terdapat minimal lima rank kointegrasi pada taraf nyata 10 persen.
Tabel 5.3. Johansen Cointegration Test Variabel Kurs Trace Statistic Model Kurs Base country Singapura 10% critical value Base country AS 10% critical value
H0
R=0
R<=1
R<=2
R<=3
R<=4
R<=5
H1
R>=1
R>=2
R>=3
R>=4
R>=5
R>=6
120.664
82.783
47.600
23.119
9.141
3.498
91.110
65.820
44.494
27.067
13.429
2.706
171.941
121.642
78.677
48.633
23.059
7.735
3.688
120.367
91.110
65.820
44.494
27.067
13.429
2.706
Cetak tebal menunjukkan bahwa trace statistic > 10% critical value dan terjadi kointegrasi
5.5.
Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs Untuk melihat hubungan kausalitas yang mungkin terjadi di antara kurs
negara-negara ASEAN+3 dalam analisis ini, maka dilakukan uji Granger Causality. Hasil dari uji kausalitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.4. dan Tabel 5.5. di bawah ini. Tabel 5.4. Uji Kausalitas Granger Kurs dengan Base Country Singapura Variabel Bebas Variabel Terikat
LRUPIAH_1
LRUPIAH_1 LRINGGIT_1 LPESO_1 LBAHT_1 LYEN_1 LWON_1
0.522 1.58 4.211 4.487 3.794
LRINGGIT_1
LPESO_1
LBAHT_1
LYEN_1
LWON_1
3.165
2.206 0.793
2.551 1.452 2.907
0.544 0.94 0..871 0.445
31.521 7.782 2.643 11.302 6.943
1.376 3.72 0.982 3.974
0.78 3.455 4.894
2.146 2.961
2.828
Pada uji kausalitas ini, H0 yang diuji adalah tidak adanya hubungan kausalitas di antara kurs dua negara, sementara H1 adalah adanya hubungan kausalitas di antara kurs dua negara. Untuk menerima atau menolak H0 digunakan nilai probabilitas yang dibandingkan dengan tingkat kritis yang digunakan. Bila
nilai probabilitas lebih kecil dari nilai kritis, maka H0 ditolak atau dengan kata lain terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel yang diuji. Tabel 5.5. Uji Kausalitas Granger Kurs dengan Base Country Amerika Serikat Variabel Bebas Variabel Terikat
LRUPIAH_2
LRUPIAH_2 LRINGGIT_2 LSDOLLAR_2 LPESO_2 LBAHT_2 LYEN_2 LWON_2
2.237 0.515 0.828 5.333 1.269 4.546
LRINGGIT_2
LSDOLLAR_2
LPESO_2
LBAHT_2
LYEN_2
3.371
1.556 0.538
0.66 0.439 2.053
0.34 0.585 3.491 0.448
1.961 28.373 1.819 14.696 2.02 7.79 0.657 3.775 0.406 14.706 2.181 1.343
2.161 0.875 1.15 0.055 5.885
0.896 0.469 0.861 3.49
1.357 0.245 0.517
1.248 0.777
LWON_2
Pada Tabel 5.4. dan Tabel 5.5. angka-angka yang dicetak tebal menunjukkan signifikansi pada taraf nyata 10 persen. Dari uji Granger Causality diketahui terdapat hubungan kausalitas dua arah antara Rupiah-Baht, RupiahWon, Ringgit-Won, Peso-Won, Baht-Won, dan Yen-Won dengan base country Singapura. Sedangkan dengan base country Amerika Serikat diketahui terdapat hubungan kausalitas dua arah antara Rupiah-Ringgit, Rupiah-Won, Ringgit-Won, dan SDollar-Won.
5.6.
Uji Matriks Korelasi Variabel Kurs Untuk melihat keeratan hubungan antar variabel dilakukan uji matriks
korelasi seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 5.6. dan Tabel 5.7. berikut ini :
Tabel 5.6. Matriks Korelasi Kurs dengan Base Country Singapura LRUPIAH_1
LRINGGIT_1
LPESO_1
LBAHT_1
LYEN_1
LWON_1
LRUPIAH_1
1.00000
0.70993
0.39397
0.70417
-0.25660
0.74839
LRINGGIT_1
0.70993
1.00000
0.36876
0.51549
-0.20305
0.42842
LPESO_1
0.39397
0.36876
1.00000
0.73843
-0.58400
0.16148
LBAHT_1
0.70417
0.51549
0.73843
1.00000
-0.50124
0.59592
LYEN_1
-0.25660
-0.20305
-0.58400
-0.50124
1.00000
-0.13564
LWON_1
0.74839
0.42842
0.16148
0.59592
-0.13564
1.00000
Tabel 5.7. Matriks Korelasi Kurs dengan Base Country Amerika Serikat LRUPIAH_2
LRINGGIT_2
LSDOLLAR_2
LPESO_2
LBAHT_2
LRINGGIT_2
1.0000 0.7234
LSDOLLAR_2
0.5231
1.0000 0.9119
LPESO_2
0.5915
0.4754
1.0000 0.4629
LBAHT_2
0.5574
0.8279
0.8196
LYEN_2
0.1546
0.4996
0.5825
1.0000 0.6295 0.6295 1.0000 -0.2000 0.1575
LWON_2
0.8702
0.6163
0.4548
0.7274 0.5550
LRUPIAH_2
LYEN_2
LWON_2
0.7234
0.5231
0.5915 0.5574
0.1546 0.8702
0.9119
0.4754 0.8279
0.4996 0.6163
0.4629 0.8196
0.5825 0.4548 -0.2000 0.7274 0.1575 0.5550 1.0000 0.0468 0.0468 1.0000
Pada matriks korelasi di atas, angka-angka yang dicetak tebal adalah signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hasil uji matriks korelasi menunjukkan adanya korelasi yang nyata di antara semua kurs negara ASEAN+3, baik dengan base country Singapura maupun Amerika Serikat.
5.7.
Analisis Impulse Response Function (IRF) Kurs Negara ASEAN+3 Pengurutan variabel dalam analisis IRF pada analisis konvergensi kurs ini
juga didasarkan pada faktorisasi Cholesky. Pada uji kausalitas Granger, diketahui bahwa dengan base country Singapura Won memiliki probabilitas signifikan yang paling banyak, dimana secara signifikan mampu mempengaruhi kurs lima negara lainnya dan dipengaruhi
kurs lima negara lainnya. Oleh karena itu, pada ordering IRF Won (LWON_1) diletakkan paling depan, dan urutan selanjutnya ditentukan berdasarkan probabilitas signifikan terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai urutan ketujuh. Variabel selanjutnya secara berturut-turut adalah Rupiah (LRUPIAH_1), Baht (LBAHT_1), Peso (LPESO_1), Ringgit (LRINGGIT_1), dan Yen (LYEN_1). Sedangkan dengan base country Amerika Serikat Won juga memiliki probabilitas signifikan yang paling banyak, dimana secara signifikan mampu mempengaruhi kurs enam negara lainnya dan dipengaruhi kurs tiga negara lainnya. Oleh karena itu, pada ordering IRF Won (LWON_1) diletakkan paling depan, dan urutan selanjutnya ditentukan berdasarkan probabilitas signifikan terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai urutan ketujuh. Variabel selanjutnya secara berturut-turut adalah SDollar (LSDOLLAR_2), Ringgit (LRINGGIT_2), Rupiah (LRUPIAH_2), Baht (LBAHT_2), Peso (LPESO_1), dan Yen (LYEN_2). 5.7.1. Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 Dalam analisis Impulse Response Function (IRF) ini akan dilihat respon dinamik Rupiah terhadap guncangan kurs enam negara lainnya, yaitu Ringgit, Dollar Singapura, Peso, Baht, Yen, dan Won selama 48 horizon waktu. Gambar 5.1. menunjukkan respon Rupiah jika terdapat guncangan pada kurs enam negara lainnya dengan base country Singapura dan Gambar 5.2. menunjukkan respon Rupiah jika terdapat guncangan pada kurs enam negara lainnya dengan base country Amerika Serikat.
Guncangan Rupiah
Guncangan Ringgit
7%
7%
3%
3%
5%
5%
1%
-1%
1%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-1%
1
Guncangan Peso 7% 5%
3% 1% -1% -3%
Guncangan Baht 7% 5% 3% 1%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-1%
1
Guncangan Yen 7% 5%
3% 1% -1% -3%
6 11 16 21 26 31 36 41 46
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Guncangan Won 7% 5%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
3% 1% -1% -3%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Gambar 5.1. Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Singapura Terlihat pada Gambar 5.1. di atas bahwa Rupiah secara umum terapresiasi pada saat terjadimya guncangan dari awal periode sampai akhir periode. Hanya guncangan Peso dan Yen yang menyebabkan Rupiah terdepresiasi secara keseluruhan hingga periode akhir peramalan. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa respon tertinggi diberikan Rupiah terhadap guncangan Baht, yaitu sebesar
7.33 persen pada bulan ke-15. Hal ini mengindikasikan bahwa Rupiah sangat rentan terhadap guncangan yang terjadi pada Baht. Secara hipotesis hal ini kembali disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997 yang diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand akibat keputusan pemerintah Thailand untuk mendevaluasi mata uang Baht pada tanggal 2 Juli 1997 yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN, termasuk Indonesia yang tertular paling parah oleh peristiwa tersebut. Apresiasi tertinggi kedua diberikan Rupiah terhadap guncangan Ringgit. Hal ini mengindikasikan bahwa selain sangat rentan terhadap guncangan Baht, Rupiah juga cukup rentan terhadap guncangan yang terjadi pada Ringgit. Hal ini disebabkan Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan yang sangat erat dalam perdagangan (ekspor-impor). Respon Rupiah terhadap guncangan yang terjadi pada kurs enam negara lainnya secara keseluruhan dapat dikatakan menuju kestabilan mulai bulan ke-17. Guncangan yang terjadi ini hampir seluruhnya membuat Rupiah terapresiasi, kecuali guncangan pada Peso dan Yen yang menyebabkan Rupiah terdepresiasi. Terlihat pula pada Gambar 5.2. di bawah ini bahwa Rupiah secara umum terapresiasi pada saat terjadinya guncangan dari awal periode sampai akhir periode. Hanya guncangan Dollar Singapura yang menyebabkan Rupiah terdepresiasi secara keseluruhan
hingga periode akhir peramalan, walaupun
sebenarnya sempat mengalami apresiasi juga pada delapan bulan pertama. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa respon tertinggi diberikan Rupiah terhadap
guncangan Ringgit, yaitu sebesar 8.9 persen mulai bulan ke-30 sampai bulan ke48. Hal ini mengindikasikan bahwa Rupiah sangat rentan terhadap guncangan yang terjadi pada Ringgit. Secara hipotesis hal ini kembali disebabkan Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan yang sangat erat dalam perdagangan (eksporimpor). Apresiasi tertinggi kedua diberikan Rupiah terhadap guncangan Baht. Hasil ini merupakan kebalikan dari hasil pada base country Singapura. Hal ini mengindikasikan bahwa selain sangat rentan terhadap guncangan Ringgit, Rupiah juga cukup rentan terhadap guncangan yang terjadi pada Baht. Hal ini disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997 yang diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand akibat keputusan pemerintah Thailand untuk mendevaluasi mata uang Baht pada tanggal 2 Juli 1997 yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN, termasuk Indonesia yang tertular paling parah oleh peristiwa tersebut. Respon Rupiah terhadap guncangan yang terjadi pada kurs enam negara lainnya secara keseluruhan dapat dikatakan menuju kestabilan mulai bulan ke-23. Guncangan yang terjadi ini hampir seluruhnya membuat Rupiah terapresiasi, kecuali guncangan pada Dollar Singapura yang menyebabkan Rupiah terdepresiasi.
Guncangan Rupiah 10% 8% 6% 4% 2% 0%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Guncangan Ringgit 10% 8% 6% 4% 2% 0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Guncangan SDollar 10% 8% 6% 4% 2% 0% -2% 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Guncangan Peso 10% 7% 5% 2%
-1%
10% 8% 6% 4% 2% 0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Guncangan Yen
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Guncangan Baht 10% 8% 6% 4% 2% 0% -2% 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
10% 8% 6% 4% 2% 0%
Guncangan Won
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Gambar 5.2. Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Amerika Serikat Fenomena terapresiasinya Rupiah terhadap guncangan Baht dan Ringgit ini disebut pricing to market. Dalam kondisi ini, ketika kurs riil domestik
(Rupiah) terapresiasi terhadap kurs riil asing (Baht dan Ringgit), maka eksportir (ke Thailand dan Malaysia) akan melakukan intervensi harga, yaitu dengan menurunkan harga jualnya. Secara teoritis, stuktur pasar yang tidak sempurna memungkinkan dilakukannya konsep pricing to market ini. Dengan kegiatan tersebut, maka agen yang terlibat dalam kegiatan impor maupun produsen di luar negeri dapat mengatur margin keuntungan. sehingga pada saat terjadi depresiasi atau apresiasi maka besarnya perubahan kus riil tersebut tidak semuanya ditransmisikan ke harga jual, akan tetapi diantisipasi dengan pengaturan margin keuntungan sehingga kenaikan harga tidak sebesar depresiasi yang terjadi (Batiz, 1994). Jika melihat penelitian yang dilakukan oleh Nugraha dan Achsani (2008) yang berjudul Efek Perubahan (Pass-Trough Effect) Kurs terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan, bahwa dalam penelitian tersebut dijelaskan fenomena pricing to market ini adalah indikasi dari kondisi inclomplete pass-through. Disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki derajat pass-through paling besar dibanding negara ASEAN+3 lainnya. Besarnya derajat pass-through terhadap IHK ini memberikan arti bahwa di antara negara ASEAN+3 yang mengalami krisis, Indonesia adalah negara yang paling sensitif terhadap perubahan kurs riil jika dibandingkan dengan negara ASEAN+3 lainnya. Hal ini juga memperlihatkan adanya hubungan dengan besarnya passthrough terhadap producer price index (PPI) di Indonesia yang mengindikasikan besarnya ketergantungan penggunaan bahan baku impor.
Dari kedua hasil analisis IRF di atas dapat disimpulkan bahwa Rupiah akan mencapai kondisi kestabilan jika terjadi guncangan pada kurs enam negara lainnya dengan waktu yang lebih cepat bila Rupiah di peg ke Dollar Singapura daripada bila di peg ke Dollar AS. Hal ini mengindikasikan bahwa antara Indonesia dan Singapura menunjukkan pola perdagangan dan struktur perekonomian yang hampir sama (common trend). Jadi, kurs negara-negara ASEAN+3 akan lebih stabil dan tahan terhadap guncangan bila kurs masingmasing negara tidak lagi bersandar pada Dollar AS. Dengan menjadikan Singapura sebagai base country, maka akan terlihat keunggulan komparatif di antara negara-negara tersebut yang mengindikasikan perdagangan regional yang dominan di kawasan itu.
Fenomena ini sesuai dengan teori OCA yang
dikemukakan oleh Bayoumi dan Mauro (2001) yang juga menjadi acuan penelitian ini. Berarti terbukti bahwa apabila negara-negara ASEAN+3 mengintegrasikan kurs mereka masing-masing, maka akan tercipta struktur perekonomian yang lebih kuat.
5.7.2. Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah Dalam analisis Impulse Response Function (IRF) ini akan dilihat respon dinamik kurs enam negara lainnya, yaitu Ringgit, Dollar Singapura, Peso, Baht, Yen, dan Won terhadap guncangan Rupiah selama 48 horizon waktu. Gambar 5.3. menunjukkan respon kurs enam negara lainnya jika terdapat guncangan pada Rupiah dengan base country Singapura dan Gambar 5.4. menunjukkan respon
pada kurs enam negara lainnya jika terdapat guncangan pada Rupiah dengan base country Amerika Serikat. Pada Gambar 5.3. di bawah ini dapat dilihat bahwa kurs enam negara lainnya terapresiasi dengan adanya guncangan yang terjadi pada Rupiah. Apresiasi terbesar ditunjukkan oleh Baht pada bulan keenam dengan nilai 1.25 persen. Hal ini sejalan dengan respon Rupiah jika terjadi guncangan pada Baht dimana Rupiah pun akan merespon paling tinggi guncangan tersebut. Artinya, antara Indonesia dengan Thailand benar-benar memiliki hubungan yang erat dalam perdagangan dan menuju pola yang searah. Tidak hanya dengan Thailand saja, apabila dilihat lebih jauh lagi maka terdapat guncangan simetrik antara semua negara ASEAN+3 dengan Indonesia dalam menghadapi guncangan kurs ini. Hal ini dapat dilihat dari respon yang sama yang diberikan oleh masingmasing negara. Jika Rupiah yang diguncang, maka kurs negara lain akan terapresiasi, begitu pula sebaliknya jika kurs negara lain yang diguncang, maka Rupiah yang akan terapresiasi, kecuali Peso. Dapat dilihat pula respon enam negara lainnya dalam merespon guncangan Rupiah yang secara keseluruhan dapat dikatakan stabil mulai pada bulan ke-13. Ini merupakan jangka waktu yang sangat cepat bagi suatu negara mencapai kondisi kestabilannya. Artinya dengan terkonvergensinya kurs di antara negara-negara kawasan ASEAN+3, yaitu dengan mendasarkan kurs masingmasing terhadap Dollar Singapura, maka negara-negara tersebut akan jauh lebih stabil dalam menghadapi guncangan.
Rupiah
Ringgit
6%
6%
4%
4%
2%
2%
0%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Peso
6% 4%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Baht
6% 4%
2% 0%
0%
2% 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
0%
1
Yen
Won
6%
6%
4%
4%
2%
2%
0%
0%
-2% 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-2% 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Gambar 5.3. Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah dengan Base Country Singapura
Dengan mendasarkan kurs pada Dollar AS, ternyata respon yang diberikan oleh keenam negara lainnya terhadap guncangan Rupiah berbeda-beda. Terlihat pada Gambar 5.4. di bawah ini respon terbesar tetap ditunjukkan oleh Baht, tetapi kali ini Baht merespon guncangan Rupiah secara negatif atau terdepresiasi. Bahkan tidak hanya Baht saja yang terdepesiasi, hampir semua negara mengalami depresiasi nilai kurs jika terjadi guncangan pada Rupiah, kecuali Yen.
Rupiah 6% 4% 2% 0%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Ringgit
SDollar
6%
6%
4%
4%
2%
2%
0%
-2% 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
0%
-2% 1
Peso
Baht
6%
6%
4%
4%
2%
2%
0%
0%
-2% 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-2% 1
Yen 6%
Won 4%
2% -2% 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
6%
4% 0%
6 11 16 21 26 31 36 41 46
2% 6 11 16 21 26 31 36 41 46
0%
-2% 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Gambar 5.4. Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah dengan Base Country Amerika Serikat
Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan hasil analisis respon Rupiah sebelumnya. Hasil ini tidak menunjukkan adanya guncangan simetrik yang terjadi pada kurs negara ASEAN+3 lainnya dengan Rupiah karena respon yang berbeda antara guncangan Rupiah dan guncangan kurs enam negara lainnya. Jika kurs enam negara lainnya diguncang, Rupiah akan terapresiasi pada semua guncangan, kecuali pada guncangan Dollar Singapura. Akan tetapi tidak sebaliknya, jika Rupiah yang diguncang, justru kurs semua negara terdepresiasi, kecuali Yen. Dapat dilihat pula pada respon enam negara lainnya dalam merespon guncangan Rupiah yang secara keseluruhan dapat dikatakan stabil mulai pada bulan ke-20. Ini merupakan jangka waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan base country Singapura. Artinya dengan mendasarkan kurs masing-masing terhadap Dollar AS, maka negara-negara tersebut cenderung tidak stabil dalam menghadapi guncangan. Dari hasil analisis IRF ini dapat disimpulkan bahwa pola perdagangan negara ASEAN+3 lainnya lebih cenderung sama dengan pola perdagangan Singapura. Dengan kata lain terdapat share common trend di antara kurs negara ASEAN+3 yang memungkinkan untuk membentuk OCA apabila negara ASEAN+3 menjadikan Singapura sebagai base country.
5.8.
Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Kurs Negara ASEAN+3 Tahap selanjutnya adalah menganalisis persentase peran Rupiah dalam
menjelaskan variabilitas kurs negara ASEAN+3 lainnya dan juga sebaliknya, menganalisis persentase peran kurs negara ASEAN+3 lainnya tersebut dalam
menjelaskan variabilitas Rupiah. Dari hasil analisis FEVD ini akan terlihat variasi kurs negara mana yang paling dipengaruhi oleh Rupiah dan kurs negara mana saja yang paling berperan terhadap variasi Rupiah. Gambar 5.5. menunjukkan variasi kurs di negara ASEAN+3 dengan base country Singapura dan Gambar 5.6. menunjukkan variasi kurs di negara ASEAN+3 dengan base country Amerika Serikat. Pada Gambar 5.5. dapat dilihat bahwa secara umum dalam jangka pendek dan jangka panjang persentase kontribusi Rupiah dalam menjelaskan variabilitas kurs negara lain kecil. Rupiah berperan paling besar dalam menjelaskan variabilitas Yen dan Baht, yaitu dengan nilai yang berkisar antara sembilan sampai sepuluh persen hampir secara merata di seluruh periode peramalan. Sedangkan kontribusinya terhadap Ringgit dan Yen hanya berkisar antara empat sampai lima persen saja. Terlebih lagi kontribusinya terhadap variabilitas Peso yang sangat kecil dan hampir tidak ada dalam jangka panjang. Akan tetapi, dalam menjelaskan variabilitasnya sendiri Rupiah cukup memiliki peran, apalagi pada bulan-bulan awal. Selain itu, variabilitas Rupiah juga dapat dijelaskan oleh kurs negara lainnya dengan Baht menempati persentase tertinggi, Ringgit memberikan kontribusi terbesar kedua, dan Won berperan selanjutnya. sedangkan untuk Yen dan Peso perannya tidak begitu signifikan. Dengan dipengaruhinya variabilitas Rupiah hampir oleh seluruh kurs negara-negara di ASEAN+3 ini, maka dapat dikatakan Indonesia adalah negara yang sangat terbuka perekonomiannya (open economic country). Ditambah lagi dengan berlakunya rezim kurs mengambang
bebas di Indonesia yang membuat Rupiah tentu saja sangat dipengaruhi oleh pergerakan kurs negara-negara lain, khususnya di kawasan ASEAN+3. Rupiah
Ringgit
100%
100%
50%
50%
0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
0%
1
Peso
Baht
100%
100%
50%
50%
0%
6 11 16 21 26 31 36 41 46
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
0%
1
Yen
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Won
100%
100%
50%
50%
0%
0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Keterangan : 1.
= Won
3.
= Baht
5.
= Ringgit
2.
= Yen
4.
= Peso
6.
= Rupiah
Gambar 5.5. Variance Decomposition Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Singapura
Hal menarik lainnya yang dapat dibahas di sini adalah bahwa Ringgit, Baht, Yen, dan Won memiliki kontribusi yang sangat dominan dalam menjelaskan variabilitasnya sendiri yang berkisar antara 50 sampai 80 persen dalam jangka panjang. Untuk kasus Malaysia, hal ini wajar terjadi mengingat rezim kurs yang dianutnya adalah rezim kurs tetap, sehingga jika terjadi guncangan dari negara lain, maka kebijakan moneternya akan mempertahankan kurs agar tidak berfluktuasi. Kemudian untuk kasus Jepang dan Korea Selatan hal ini pun wajar terjadi karena mengingat kedua negara ini termasuk negara industri maju, dimana daya saing produk Jepang dan Korea Selatan di perdagangan internasional sangat tinggi serta segmentasi pasar yang juga baik dalam pasar domestiknya. Walaupun Jepang memberlakukan rezim kurs mengambang bebas dan Korea Selatan memberlakukan rezim kurs mengambang terkendali, akan tetapi kurs kedua negara ini cenderung dapat stabil dalam menghadapi guncangan. Dengan kurang berperannya kurs negara lain terhadap dirinya bukan berarti negara-negara ini tidak terbuka ekonominya, hanya saja ketiga negara ini dapat lebih mempertahankan fluktuasi kursnya dengan baik. Sedangkan untuk Thailand, walaupun Thailand masih termasuk negara berkembang, akan tetapi di sini terlihat bahwa variabilitasnya sangat didominasi oleh dirinya sendiri. Hal ini disebabkan oleh faktor kewaspadaan negara-negara ASEAN+3 lainnya terhadap fluktuasi yang terjadi pada Baht. Guncangan sedikit saja pada Baht akan langsung direspon oleh negara-negara ASEAN+3 lainnya karena mereka tidak menginginkan Krisis Finansial Asia tahun 1997 silam kembali terulang. Selain itu karena Thailand pun sudah banyak belajar dari
peristiwa Krisis Asia tahun 1997 silam dan berusaha keras untuk dapat memulihkan keadaan perekonomiannya kembali seperti semula. Saat ini Thailand sudah cukup memiliki kompetensi industri substitusi impor yang baik, daya saing produk yang cukup tinggi di pasar internasional, serta komposisi penggunaan bahan baku impor yang relatif kecil (Rato dalam Nugraha dan Achsani, 2008). Secara ringkas, kurs negara yang dominan dalam menjelaskan variabilitas kurs negara lainnya, yaitu : a. Rupiah didominasi oleh Baht, Ringgit, dan Rupiah itu sendiri. b. Ringgit didominasi oleh Ringgit itu sendiri dan Baht. c. Peso didominasi oleh Baht dan Peso itu sendiri. d. Baht didominasi oleh Baht itu sendiri. e. Yen didominasi oleh Yen itu sendiri. f. Won didominasi oleh Won itu sendiri dan sebagian lagi Baht. Pada Gambar 5.6. dapat dilihat bahwa secara umum dalam jangka pendek dan jangka panjang persentase kontribusi Rupiah dalam menjelaskan variabilitas kurs negara lain sangat kecil dan hampir tidak terlihat. Bahkan dalam menjelaskan variabilitasnya sendiri pun Rupiah kurang memiliki peran, apalagi dalam jangka panjang. Benar-benar hanya pada bulan pertama saja Rupiah berperan lebih dari setengah bagian, yaitu sebesar 51 persen. Kontribusi kurs negara lain jauh lebih berkontribusi dalam menjelaskan variabilitas Rupiah, dimana yang paling berperan adalah Ringgit, kemudian diikuti oleh Won, dan selanjutnya Baht, sedangkan untuk kurs lain perannya tidak begitu signifikan.
100%
Rupiah
50% 0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Ringgit
100% 50%
50%
0%
0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Peso
100%
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Baht
100%
50%
50%
0%
0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Yen
100%
SDollar
100%
1
Won
100%
50%
50%
0%
0%
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
6 11 16 21 26 31 36 41 46
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Keterangan : 1. = Won
5. = Baht
6.
= Dollar Singapura
2. = Yen
4.
7.
= Ringgit
= Peso
8. = Rupiah
Gambar 5.6. Variance Decomposition Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Amerika Serikat
Hal menarik lainnya yang dapat dibahas di sini adalah bahwa Peso memiliki kontribusi yang sangat dominan dalam menjelaskan variabilitasnya sendiri dengan nilai 81 persen dalam jangka panjang yang artinya Peso dapat stabil dalam menghadapi guncangan kurs dari negara lain. Padahal dari sisi rezim kurs, Filipina menerapkan rezim kurs yang sama dengan Indonesia, yaitu rezim kurs mengambang bebas. Hal ini dapat terjadi karena Filipina sudah cukup memiliki kompetensi industri substitusi impor yang baik, daya saing produk yang cukup tinggi di pasar internasional, serta komposisi penggunaan bahan baku impor yang relatif kecil (Rato dalam Nugraha dan Achsani, 2008). Secara ringkas, kurs negara yang dominan dalam menjelaskan variabilitas kurs negara lainnya, yaitu : a. Rupiah didominasi oleh Ringgit dan Won. b. Ringgit didominasi oleh Ringgit itu sendiri. c. Dollar Singapura didominasi oleh Dollar Singapura itu sendiri, Baht, Yen, dan Ringgit. d. Peso didominasi oleh Peso itu sendiri. e. Baht didominasi oleh Baht itu sendiri. f. Yen didominasi oleh Yen itu sendiri dan Baht. g. Won didominasi oleh Won itu sendiri dan sebagian lagi Baht, Ringgit, dan Yen dalam persentase yang hampir sama. Dari hasil analisis FEVD ini dapat disimpulkan bahwa lebih baik bagi Indonesia untuk mendasarkan kursnya terhadap Dollar Singapura daripada Dollar AS. Dengan menjadikan Singapura sebagai base country akan lebih terlihat
kesamaan pola perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN+3 lainnya. Hubungan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN+3 lainnya lebih dapat menciptakan guncangan yang simetrik dan lebih dapat saling mempengaruhi
atau
berkontribusi
satu
sama
lain
dalam
perdagangan
internasioanalnya maupun dalam kegiatan perekonomian lainnya. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Bayoumi dan Mauro (2001) bahwa kelompok negara yang memiliki guncangan simetrik cenderung akan memiliki respon kebijakan yang sama pula, sehingga besar peluangnya untuk dapat membentuk common currency area. Selain itu, kesimpulan ini pun sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh McKinnon (1963) bahwa sebuah optimum currency area dibentuk dari negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh kurs antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN+3 lainnya yang mendasarkan kursnya terhadap Dollar Singapura bahwa diantara mereka tercipta hubungan saling mempengaruhi yang kuat satu sama lain dan bukan hanya hubungan satu arah saja, tetapi dua arah. Hubungan perdagangan regional antara negara-negara ASEAN+3 dengan Singapura lebih erat dibandingkan dengan Amerika Serikat saat ini. Fenomena ini pun memperlihatkan keunggulan komparatif dalam perdangangan regional kawasan ASEAN+3 yang semakin erat. Di samping itu, rencana penyatuan kawasan ini menjadi Asian Single Market pada 2015 mendatang yang akan menjadikan kawasan ini sebagai salah satu kutub utama ekonomi dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa pun menjadi salah satu alasan Indonesia lebih cocok menggunakan Dollar Singapura sebagai peg untuk hubungan perdagangan
internasionalnya daripada dengan menggunakan Dollar Amerika lagi sebagai peg seperti sebelumnya.
VI.
6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hasil penelitian mengenai integrasi ekonomi dan konvergensi kurs di
antara negara-negara ASEAN+3, sesuai dengan tujuan penelitian ini, diperoleh empat kesimpulan. Adapun keempat kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Singapura lebih layak untuk menjadi negara acuan (peg) bagi negara-negara ASEAN+3 agar optimal membentuk OCA daripada Jepang. Hal ini disebabkan perekonomian negara ASEAN+3 lebih memiliki kesamaan pola dengan perekonomian Singapura dan antara negara ASEAN+3 lainnya dengan Singapura memilki guncangan simetrik. Selain itu juga, masing-masing negara membutuhkan waktu yang relatif cepat dalam mencapai kestabilan terhadap guncangan yang terjadi. Melalui hasil analisis IRF ini diketahui pula bahwa perekonomian Indonesia memberikan respon tertinggi pada guncangan perekonomian Thailand dan tertinggi kedua pada guncangan perekonomian Malaysia. Sedangkan guncangan perekonomian Indonesia lebih memberikan pengaruh kepada perekonomian Thailand saja dan tidak begitu berpengaruh kepada perekonomian negara ASEAN+3 lainnya. 2. Secara umum dapat disimpulkan bahwa perekonomian Singapura lebih berpengaruh terhadap perekonomian negara ASEAN+3 lainnya daripada Jepang. Dengan demikian hasil ini sejalan dengan hasil analisis IRF sebelumnya bahwa Singapura lebih layak menjadi negara acuan (peg) bagi perekonomian negara ASEAN+3 lainnya agar kawasan ini optimal dalam membentuk OCA. Selain itu terlihat pula bahwa kontribusi perekonomian
Indonesia dalam menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 lainnya belum begitu terlihat. Justru variabiltas perekonomian Indonesialah yang didominasi oleh perekonomian negara lain, seperti Thailand dan Malaysia yang berperan sangat besar. Dari hasil analisis FEVD ini juga terlihat bahwa Thailand dan Malaysia yang mendominasi variabilitas perekonomian kelima negara lainnya dalam kawasan ASEAN+3. 3. Melalui hasil G-PPP Test respon Rupiah akan lebih cepat stabil dalam mengahadapi guncangan kurs negara ASEAN+3 lainnya bila Rupiah di peg ke Dollar Singapura. Begitu juga dengan respon kurs negara ASEAN+3 terhadap guncangan Rupiah akan lebih cepat menuju kondisi kestabilan dan terjadi konvergensi kurs antara semua negara ASEAN+3 dengan Indonesia dalam menghadapi guncangan kurs ini apabila kurs tiap negara di peg ke Dollar Singapura. 4. Kontribusi kurs negara ASEAN+3 lainnya terhadap variasi Rupiah akan lebih terlihat apabila di peg ke Dollar Singapura. Rupiah pun akan lebih terlihat kontribusinya terhadap variasi kurs negara ASEAN+3 lainnya maupun variasi dirinya sendiri apabila menggunakan peg yang sama. Melalui hasil G-PPP Test ini dihasilkan bahwa Indonesia lebih cocok mendasarkan kursnya terhadap Dollar Singapura daripada terhadap Dollar AS yang berarti memiliki pola perdagangan yang serupa yang dicerminkan dengan adanya share common trend antara Indonesia dengan Singapura.
6.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa saran yang hendaknya
dilakukan sehingga dapat mendorong terjadinya integrasi ekonomi. Adapun saransaran tersebut adalah sebagai berikut : 1. Memperkuat dasar dan pondasi perekonomian masing-masing negara. Khususnya bagi Indonesia, walaupun perekonomiannya masih rentan dan lemah, namun bukan berarti Indonesia harus menentang atau menarik diri dari rencana integrasi ekonomi di ASEAN+3 ini. Karena justru apabila Indonesia tidak ikut dalam integrasi tersebut maka Indonesia akan semakin tertinggal, terutama dalam hal perdagangan internasional. Hendaknya pemerintah Indonesia memikirkan dan berusaha meningkatkan keunggulan komparatif industri-industri, khususnya industri non-migas di Indonesia agar lebih mampu bersaing nantinya. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mempersiapkan tenaga kerja yang lebih terampil dan efisien dengan melakukan pelatihanpelatihan, baik di dalam maupun di luar negeri. 2. Menjaga stabilitas nilai tukar masing-masing negara agar dapat tahan terhadap guncangan yang terjadi, khususnya bagi Indonesia yang fluktuasi kursnya masih sangat rentan dan tidak stabil. 3. Harus ditingkatkan lagi keterbukaan perekonomian dan kerjasama bilateral di antara negara-negara dalam kawasan ASEAN+3, terutama dalam bidang ekonomi. 4. Khusus untuk Indonesia, sebaiknya segera dipertimbangkan untuk mulai mengurangi pemakaian Dollar AS dan mulai untuk menggunakan Dollar
Singapura atau local currency (kurs bilateral) untuk melakukan perdagangan internasional. Hal ini pun mungkin berlaku bagi negara-negara ASEAN+3 lainnya. 5. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode Generalized Impulse Response Function dan Generalized Forecasting Error Variance Decomposition agar urutan variabel dalam oredering tidak berpengaruh pada hasil penelitian yang diperoleh. 6. Selain itu, karena dalam penelitian ini tidak memisahkan periode krisis dan sebelum krisis atau menggunakan variabel dummy, maka penulis pun menyarankan agar pada penelitian selanjutnya dilakukan pemisahan periode ini atau menggunakan variabel dummy, sehingga hasil yang diperoleh akan lebih informatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ahn, C, H. B. Kim, dan D. Chang. 2005. Is East Asia Fit for An Optimum Currency Area? An Assessment of The Economic Feasibility of A Higher Degree of Monetary Cooperation in East Asia. Jurnal Compilation Institute of Developing Economics : 288-305. Amisano, G. dan C. Gianinni. 1997. Topics in Structural VAR Econometrics. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg, Germany. Ariefianto, M.D. 2006. Aplikasi Teori Optimum Currency Area pada Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN4 Periode 1997-2005 dengan Menggunakan Model VECM. [Tesis]. Fakultas Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta. Arsana, I G. P. 2005. Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Aliran Kredit dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Nilai Tukar Jalur Kredit. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Batiz, F. R. dan L. R. Batiz. 1994. Internacional Finance and Open Economy, Macroeconomics. Mcmillan Publishing co. New York. Bayoumi, T. dan B. Eichengreen. 1994. One Money or Many? Analyzing the Prospects for Monetary Unification in Various Parts of the World. Princeton Studies in International Finance (76). Bayoumi, T. dan P. Mauro. 2001. The Stability of ASEAN for A Regional Currency Arrangement. World Economy 24 (7) : 933-54. Bean, C. 1992. Economic and Monetary Union in Europe. The Journal of Economic Perspective 6 (4) : 31-52. Bergman, M. 2000. The Opyimum Cruteria. University of Copenhagen. International Monetary Economics. Brooks, C. 2002. Introductary Econometrics for Finance. Cambridge University Press, Cambridge. Eichengreen, B. 2005. The Parallel Currency Approach to Asian Monetary Integration. World Economy. Enders, Walter dan S. Hurn. 1994. Theory an Tests of Generalized Purchasing Power Parity : Common Trends and Real Exchange Rates in the Pacific Rim. Review of International Economics 2 (2) : 179-90.
Enders, Walter dan S. Hurn. 1997. Common Trends and Generalized Purchasing Power Parity. Mathematics and Computer in Simulation 43 (3-6) : 437-43. Eudey, Gwen. 1998. Why is Europe Forming A Monetary Union?. Business Review, Federal Reserve Bank of Philadelpia. Falianty, T. A. 2006. Feasibility of Forming Currency Union in ASEAN-5 Countries [Disertasi]. Fakultas Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta. Gao, H. 2007. Monetary Cooperation in East Asia: How Far Can East Asian Countries Go?. East Asian Monetary Cooperation and China’s Perspective. Conference Paper, Beijing. Girardin, E. dan A. Steinherr. 2008. Regional Monetary Units for East Asia: Lessons from Europe. ADB Institute Discussion Paper 116. Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah] Erlangga, Jakarta. Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal dan Riil diantara Negara-Negara ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasanah, H., Ascarya, dan N. A. Achsani. 2008. Perilaku Agregat Moneter dalam Sistem Keuangan/Perbankan Ganda di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 23 (2) : 143-163. Hong, L. 1999. Do Hong Kong SAR and China Constitute An Optimal Currency Area? An Empirical Test of The Generalized Purchasing Power Parity Hypothesis. IMF Working Paper (99). Jayanthi, A. 2007. Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dan Nilai Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurniati, Y. 2007. Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia dalam S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. (Eds). Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta. Kenen, P. B. 1969. The Theory of Optimum Currency Areas: An Electic View, in Robert A. Mundell and Alexander K. Swoboda, eds. Monetary Problems of the International Economy, University of Chicago Press. Lee, J dan R. J. Barro. 2006. East Asian Currency Union. Korea University and Harvard University.
Lee, M. 2003. Common Trend and Common Currency: Australia and New Zealand. International Journal of Business and Economics 2 (2) : 155-165. Lipsey, R. G, P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Makroekonomi. Edisi Kesepuluh. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Lubis, A. D. 2005. Ordinary Least Square dan Unit Root. Pelatihan Ekonometrika FEM IPB. Lutkepohl, H. 2005. SVAR Analysis For Cointegrated Variables. Department of Economy. European University Institute (Italy). Working Paper (2). Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi (Macroeconomics). Edisi Kelima. Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. McKinnon, R. I., Optimum Currency Areas, American Economic Review 53 : 717-724. Mishkin, F. 1998. The Economics of Money, Banking, and Financial Market. Fifth Edition. Columbia University: Addison-Wesley. Moosa, I. A. 2004. International Finance, An Analytical Approach. 2 nd editon. La Trobe University. McGraw Hill, Australia. Mundell, R. 1961. A Optimum Currency Areas. American Theory of Optimum Economics Review 51 : 657-665. Nachrowi, D. N. dan H. Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Neves. J. A., L. Stocco, dan S. D. Silva. 2008. Is Mercosur an Optimum Currency Area? An Assessment Using Generalized Purbhasing Power Parity. Economics Bulletin 6 (29) : 1-13. Nugraha, F. W. dan N. A. Achsani. 2008. Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang ,dan Korea Selatan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan 1 (1) : 90-109. Ogawa, E. dan K. Kawasaki. 2006. Adopting A Common Currency Basket Arrangement into the “ASEAN Plus Three”. RIETI Discussion Paper Series 6 (28).
Ogawa, E. dan T. Ito. 2002. On the Desirability of a Regional Basket Currency Arrangement. Journal of Japanese and International Economics 16 : 317334. Partisiwi, T. 2008. Analisis Kemungkinan Penyatuan Mata Uang (Currency Unification) di ASEAN+3: Pendekatan Keragaman Exchange Rate [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rose, A. K. 2000. One Money, One Market: Estimating The effect of Common Currencies on Trade. European Economic Review. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional (International Economic). Edisi Kelima. Jilid 1. Haris Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Verbeek, M. 2000. A Guide To Modern Econometrics. John Wiley& Sons, LTD. New York, USA. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ketiga. Bambang Sumantri [penerjemah]. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Xu, Z. L., B. D. Ward, dan C. Gan. 2006. Looking at A Single Currency for ASEAN-5: An Empirical Study of Economic Convergence and Symmetry. Dipresentasikan dalam Econometric Study Group Conference di University of Otago, Agustus 2006.
LAMPIRAN
ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI
Lampiran 1. Uji Stabilitas VAR Variabel GDP Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLYR_INA DLYR_MLY DLYR_SGP DLYR_FLP DLYR_THA DLYR_JPN DLYR_KOR Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 05/23/09 Time: 08:21 Root
Modulus
0.057927 - 0.366045i 0.057927 + 0.366045i -0.283836 - 0.209493i -0.283836 + 0.209493i 0.326023 -0.124165 - 0.050189i -0.124165 + 0.050189i
0.370600 0.370600 0.352775 0.352775 0.326023 0.133925 0.133925
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 2.
Impulse Response Function GDP Indonesia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response o f LYR_INA to LYR_INA
Re spo nse of LYR_INA to LYR_M L Y
Response of LYR_INA to L YR_ SGP
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
- .01
-.01
-.01
5
10
15
20
25
30
5
Re spo nse of LYR_INA to LYR_FL P
10
15
20
25
30
5
Response o f LYR_INA to LYR_T HA
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
- .01
-.01 5
10
15
20
25
30
Response of LYR_INA to LYR_KOR .03
.02
.01
.00
- .01 5
10
15
20
25
30
10
15
20
25
30
Respon se of LYR_INA to LYR_JPN
-.01 5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
Lampiran 3.
Impulse Response Function GDP Malaysia Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of LYR_M LY to LYR_INA
Response of LYR_M LY to LYR_MLY
Response of LYR_M LY to LYR_SGP
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01 5
10
15
20
25
-.01
30
5
Response of LYR_M LY to LYR_FLP
10
15
20
25
30
5
Response of LYR_M LY to LYR_T HA
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01 5
10
15
20
25
15
20
25
30
Response of LYR_M LY to LYR_JPN
.02
-.01
10
-.01
30
5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
Response of LYR_M LY to LYR_KOR
.02
.01
.00
-.01 5
10
Lampiran 4.
15
20
25
30
Impulse Response Function GDP Singapura Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of LYR_SGP to LYR_INA
Response of LYR_SGP to LYR_MLY
Response of LYR_SGP to LYR_SGP
.025
.025
.025
.020
.020
.020
.015
.015
.015
.010
.010
.010
.005
.005
.005
.000
.000
.000
-.005
-.005
-.005
5
10
15
20
25
30
5
Response of LYR_SGP to LYR_FLP
10
15
20
25
30
5
Response of LYR_SGP to LYR_T HA
.025
.025
.025
.020
.020
.020
.015
.015
.015
.010
.010
.010
.005
.005
.005
.000
.000
.000
-.005
-.005
-.005
5
10
15
20
25
30
Response of LYR_SGP to LYR_KOR .025 .020 .015 .010 .005 .000 -.005 5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
10
15
20
25
30
Response of LYR_SGP to LYR_JPN
5
10
15
20
25
30
Lampiran 5. Impulse Response Function GDP Filipina Response to Cholesky One S.D. Innovations Re sp on se of L YR_FLP to LY R_ INA
Re sp on se of L YR_FLP to LY R_ M L Y
Respo nse o f LY R_ FL P to L YR_S GP
.008
.008
.008
.004
.004
.004
.000
.000
.000
-.004
-.004 5
10
15
20
25
-.004
30
5
Respo nse o f LY R_ FL P to L YR_FLP
10
15
20
25
30
5
Re sp on se of L YR_FLP to LY R_ T HA
.008
.008
.004
.004
.004
.000
.000
.000
-.004 5
10
15
20
25
15
20
25
-.004
30
5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
Respo nse o f LY R_ FL P to L YR_K OR
.008
.004
.000
-.004 5
10
Lampiran 6.
15
20
25
30
Impulse Response Function GDP Thailand Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of LYR_THA to LYR_INA
Response of LYR_T HA to LYR_M LY
Response of LYR_T HA to LYR_SGP
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
5
10
15
20
25
30
5
Response of LYR_T HA to LYR_FLP
10
15
20
25
30
5
Response of LYR_T HA to LYR_T HA .04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
5
10
15
20
25
30
.04
.03
.02
.01
.00
-.01 5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
10
15
20
25
30
Response of LYR_THA to LYR_JPN
.04
Response of LYR_THA to LYR_KOR
30
Resp onse of LY R_ FL P to L YR_JP N
.008
-.004
10
5
10
15
20
25
30
30
Lampiran 7. Impulse Response Function GDP Jepang Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LYR_JPN to LYR_INA
Response of LYR_JPN to LYR_M LY
Response of LYR_JPN to LYR_SGP
.008
.008
.008
.004
.004
.004
.000
.000
.000
-.004
-.004 5
10
15
20
25
-.004
30
5
Response of LYR_JPN to LYR_FLP
10
15
20
25
30
5
Response of LYR_JPN to LYR_T HA
.008
.008
.004
.004
.004
.000
.000
.000
-.004 5
10
15
20
25
15
20
25
30
Response of LYR_JPN to LYR_JPN
.008
-.004
10
-.004
30
5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
Response of LYR_JPN to LYR_KOR
.008
.004
.000
-.004 5
10
15
20
25
30
Lampiran 8. Impulse Response Function GDP Korea Selatan Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LYR_KOR to LYR_INA
Response of LYR_KOR to LYR_M LY
Response of LYR_KOR to LYR_SGP
.020
.020
.020
.015
.015
.015
.010
.010
.010
.005
.005
.005
.000
.000
.000
-.005
-.005
-.005
5
10
15
20
25
30
5
Response of LYR_KOR to LYR_FLP
10
15
20
25
30
5
Response of LYR_KOR to LYR_T HA .020
.020
.015
.015
.015
.010
.010
.010
.005
.005
.005
.000
.000
.000
-.005
-.005
-.005
10
15
20
25
30
Response of LYR_KOR to LYR_KOR .020
.015
.010
.005
.000
-.005 5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
15
20
25
30
Response of LYR_KOR to LYR_JPN
.020
5
10
5
10
15
20
25
30
ANALISIS KONVERGENSI KURS
BASE COUNTRY SINGAPURA Lampiran 9. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLRUPIAH_1 DLRINGGIT_1 DLPESO_1 DLBAHT_1 DLYEN_1 DLWON_1 Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Date: 06/23/09 Time: 00:42 Root 0.574676 - 0.555816i 0.574676 + 0.555816i -0.705691 + 0.226354i -0.705691 - 0.226354i 0.422471 - 0.568574i 0.422471 + 0.568574i 0.058894 - 0.687413i 0.058894 + 0.687413i -0.305861 - 0.613209i -0.305861 + 0.613209i 0.666465 + 0.146005i 0.666465 - 0.146005i -0.344339 - 0.428032i -0.344339 + 0.428032i 0.341294 + 0.364291i 0.341294 - 0.364291i -0.096704 + 0.428107i -0.096704 - 0.428107i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.799490 0.799490 0.741104 0.741104 0.708349 0.708349 0.689931 0.689931 0.685256 0.685256 0.682270 0.682270 0.549345 0.549345 0.499189 0.499189 0.438893 0.438893
Lampiran 10. Impulse Response Function Rupiah Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LRUPIAH_1 to LRUPIAH_1
Response of LRUPIAH_1 to LRINGGIT_1
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
-.04
-.04 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Response of LRUPIAH_1 to LPESO_1
15
20
25
30
35
40
45
Response of LRUPIAH_1 to LBAHT_1
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
-.04
10
-.04 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
Response of LRUPIAH_1 to LYEN_1 .08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
-.04
10
15
20
25
30
35
40
45
Response of LRUPIAH_1 to LWON_1
-.04 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
10
15
20
25
30
35
40
45
Lampiran 11. Impulse Response Function Ringgit Response to Cholesky One S.D. Innovations Resp on se o f LRINGG IT _ 1 to LRUPIAH_1
Re spo nse of L RING GIT _1 to LR ING GIT _1
.020
.020
.015
.015
.010
.010
.005
.005
.000
.000
-.005
-.005
-.010
-.010 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Respo nse o f LRING GIT _1 to L PESO _1 .020
.020
.015
.015
.010
.010
.005
.005
.000
.000
-.005
-.005
-.010
10
15
20
25
30
35
40
45
Re spo nse o f LRINGG IT _1 to LBAHT_ 1
-.010 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Respo nse o f L RING GIT _1 to LYEN_1
15
20
25
30
35
40
45
Re sp onse o f L RINGG IT _1 to LWO N_1
.020
.020
.015
.015
.010
.010
.005
.005
.000
.000
-.005
-.005
-.010
10
-.010 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Lampiran 12. Impulse Response Function Peso Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LPESO_1 to LRUPIAH_1
Response of LPESO_1 to LRINGGIT_1
.0 3
.03
.0 2
.02
.0 1
.01
.0 0
.00
-.0 1
-.01
-.0 2
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
Response of LPESO_1 to LPESO_1
15
20
25
30
35
40
45
Response of LPESO_1 to LBAHT_1
.0 3
.03
.0 2
.02
.0 1
.01
.0 0
.00
-.0 1
-.01
-.0 2
10
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
Response of LPESO_1 to LYEN_1
15
20
25
30
35
40
45
Response of LPESO_1 to LWON_1
.0 3
.03
.0 2
.02
.0 1
.01
.0 0
.00
-.0 1
-.01
-.0 2
10
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
10
15
20
25
30
35
40
45
Lampiran 13. Impulse Response Function Baht Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LBAHT_1 to LRUPIAH_1
Response of LBAHT_1 to LRINGGIT_1
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
Response of LBAHT_1 to LPESO_1 .04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
10
15
20
25
30
35
40
45
Response of LBAHT_1 to LBAHT_1
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Response of LBAHT_1 to LYEN_1 .04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
10
15
20
25
30
35
40
45
Response of LBAHT_1 to LWON_1
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Lampiran 14. Impulse Response Function Yen Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LYEN_1 to LRUPIAH_1
Response of LYEN_1 to LRINGGIT_1
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
Response of LYEN_1 to LPESO_1 .03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
10
15
20
25
30
35
40
45
Response of LYEN_1 to LBAHT_1
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Response of LYEN_1 to LYEN_1
10
15
20
25
30
35
40
45
Response of LYEN_1 to LWON_1
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
Lampiran 15. Impulse Response Function Won Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LWON_1 to LRUPIAH_1
Response of LWON_1 to LRINGGIT_1
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
Response of LWON_1 to LPESO_1 .04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
5
45
Response of LWON_1 to LYEN_1 .04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01 10
15
20
25
30
35
40
15
20
25
30
35
40
45
10
15
20
25
30
35
40
45
Response of LWON_1 to LWON_1
.04
5
10
Response of LWON_1 to LBAHT_1
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
45
BASE COUNTRY AMERIKA SERIKAT Lampiran 16. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLRUPIAH_2 DLRINGGIT_2 DLSDOLLAR_2 DLPESO_2 DLBAHT_2 DLYEN_2 DLWON_2 Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Date: 07/02/09 Time: 16:15 Root 0.578863 - 0.560943i 0.578863 + 0.560943i 0.741452 -0.677840 + 0.237760i -0.677840 - 0.237760i -0.394393 + 0.585619i -0.394393 - 0.585619i -0.129758 + 0.629210i -0.129758 - 0.629210i 0.112380 - 0.623099i 0.112380 + 0.623099i 0.331802 - 0.490905i 0.331802 + 0.490905i 0.553760 + 0.153968i 0.553760 - 0.153968i 0.339373 + 0.305874i 0.339373 - 0.305874i -0.202247 - 0.395561i -0.202247 + 0.395561i -0.222665 - 0.150939i -0.222665 + 0.150939i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.806065 0.806065 0.741452 0.718329 0.718329 0.706042 0.706042 0.642450 0.642450 0.633153 0.633153 0.592520 0.592520 0.574766 0.574766 0.456873 0.456873 0.444266 0.444266 0.269002 0.269002
Lampiran 17. Impulse Response Function Rupiah Response to Cholesky One S.D. Innovations Respon se se ooff LLRUPIAH_2 to LRUPIA LRUP IA H_2 H_ 2 Respon RUP IAH_ 2 to
Re spo nse H_2 to to LRINGGIT LRINGGIT__2 Respon se ooff LLRUPIA RUPIAH_2 2
Respon se of o f LRUPIAH_2 L RUP IAH_ 2 to to LS LSDOL DOLLAR_2 LAR_2 Respo nse
.10 .10
.10 .10
.10 .10
.08 .08
.08 .08
.08 .08
.06 .06
.06 .06
.06 .06
.04 .04
.04 .04
.04 .04
.02 .02
.02 .02
.02 .02
.00 .00
.00 .00
.00 .00
-.02 -.02
-.02 -.02
-.02 -.02
55
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
55
Respo nse nse of of LRUPIAH_2 LRUPIA H_2 to to LL PES PE SO_ Respo O_22
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
55
Re sp onse of LRUPIAH_2 LRUP IA H_ 2 to to LB LBA HT _2 _2 Respo nse of AHT
.10 .10
.10 .10
.10 .10
.08 .08
.08 .08
.08 .08
.06 .06
.06 .06
.06 .06
.04 .04
.04 .04
.04 .04
.02 .02
.02 .02
.02 .02
.00 .00
.00 .00
.00 .00
-.02 -.02
-.02 -.02
-.02 -.02
55
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
55
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
55
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
Respo nse nse of of LRUPIAH_2 LRUPIA H_2 to to LLWON_2 Respo WON_ 2 .10 .10 .08 .08 .06 .06 .04 .04 .02 .02 .00 .00 -.02 -.02
55
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
Lampiran 18. Impulse Response Function Ringgit Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LRING GIT _2 to LRUPIAH_2
Response of LRINGG IT _2 to LRINGGIT _2
Response of LRINGG IT _2 to LSDOLLAR_2
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Response of LRINGG IT _2 to LPESO_2
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Response of LRING GIT_2 to LBAHT _2 .04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
5
10
15
20
25
30
35
40
45
.04
.03
.02
.01
.00
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
10
15
20
25
30
35
40
45
Response of LRINGG IT _2 to LYEN_2
.04
Response of LRINGG IT _2 to LWON_2
45 45
Respo nse of of LRUP LRUPIA H_2 to to LYE L YEN_2 N_2 Re sp onse IA H_2
5
10
15
20
25
30
35
40
45
45 45
Lampiran 19. Impulse Response Function SDollar Response to Cholesky One S.D. Innovations Re spo nse o f LS DO LL A R_ 2 to L RUP IAH_2
Re sp o nse o f LS DO LL AR_ 2 to L RINGG IT _ 2
Re spo nse o f LS DO LL AR_ 2 to L SDOL L AR_2
.016
.016
.016
.012
.012
.012
.008
.008
.008
.004
.004
.004
.000
.000
.000
-.004
-.004
-.004
5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Resp on se of L SDOL LA R_2 to LP E SO _2
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Respo nse of LS DOL LA R_ 2 to LB AHT _2
.016
.016
.016
.012
.012
.012
.008
.008
.008
.004
.004
.004
.000
.000
.000
-.004
-.004
-.004
5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
10
15
20
25
30
35
40
45
Re spo nse o f LS DOLL A R_ 2 to LY EN_2
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Resp on se of L SDOL LA R_ 2 to LWON_2 .016
.012
.008
.004
.000
-.004 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Lampiran 20. Impulse Response Function Peso Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LPESO_2 to LRUPIAH_2
Response of LPESO_2 to LRINGGIT _2
Response of LPESO_2 to LSDOLLAR_2
.06
.06
.06
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
-.01
.00
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
45
-.01 5
Response of LPESO_2 to LPESO_2
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Response of LPESO_2 to LBAHT_2
.06
.06
.06
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
-.01 10
15
20
25
30
35
40
45
Response of LPESO_2 to LWON_2 .06 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 5
10
15
20
25
30
35
40
45
15
20
25
30
35
40
45
.00
-.01 5
10
Response of LPESO_2 to LYEN_2
-.01 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Lampiran 21. Impulse Response Function Baht Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LBAHT_2 to LRUPIAH_2
Response of LBAHT _2 to LRINGGIT _2
Response of LBAHT _2 to LSDOLLAR_2
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
-.02
45
5
Response of LBAHT _2 to LPESO_2
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Response of LBAHT_2 to LBAHT_2
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
10
15
20
25
30
35
40
-.02
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
Response of LBAHT _2 to LWON_2 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Lampiran 22. Impulse Response Function Yen Response to Cholesky One S.D. Innovations Respo nse o f L YE N_ 2 to LRUP IAH_2
Re sp on se o f LY EN_ 2 to L RINGGIT _ 2
Respo nse o f L YE N_ 2 to L SDOLL AR_2
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
-.03
-.02
-.03 5
10
15
20
25
30
35
40
45
-.03 5
Re sp on se of LY EN_2 to L PE SO _2
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Respo nse of L YEN_2 to LB AHT _ 2 .03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
-.02
-.03
-.03 10
15
20
25
30
35
40
45
Re sp on se of LY EN_2 to LWON_2 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5
10
15
20
25
30
35
40
45
10
15
20
25
30
35
40
45
Respo nse of L YEN_2 to LY EN_2
.03
5
45
Response of LBAHT _2 to LYEN_2
-.03 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
45
Lampiran 23. Impulse Response Function Won Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of L WON_2 to LRUPIAH_2
Resp onse of LWON_2 to LRINGGIT _2
Response of LWON_2 to LSDOLLAR_2
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
-.02 5
Response of LWON_2 to LPESO_ 2
10
15
20
25
30
35
40
45
5
Response of LWON_2 to LBAHT _2 .05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Response o f LWON_2 to LWON_2 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
15
20
25
30
35
40
45
Re spon se of LWON_2 to LYEN_2
.05
-.02
10
-.02 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45