ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN
OLEH ANDRI PRIYANTO H14094023
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN Andri Priyanto. Analisis Ketimpangan dan Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. Pertumbuhan ekonomi merupakan realisasi hasil pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada suatu daerah dalam suatu periode. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten tidak terlepas dari perkembangan masing masing kabupaten/kota, dimana masih terjadi perbedaan kegiatan ekonomi yang berakibat kecilnya nilai tambah yang dihasilkan masing masing daerah, sehingga terjadi ketimpangan. Fenomena ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Banten itu sendiri, salah satunya disebabkan oleh perbedaan tenaga kerja, modal dan teknologi, yang merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan tenaga kerja, modal dan teknologi akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja, modal dan teknologi dengan PDRB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Adapun tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran pembangunan ekonomi di Provinsi Banten, mengidentifikasi tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota serta menganalisa besarnya pengaruh belanja modal, angkatan kerja dan angka melek huruf terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data panel, dengan jumlah individu yang digunakan yaitu 6 kabupaten/kota dalam kurun waktu 8 tahun (2001 - 2008), sehingga jumlah observasi 48, bersumber dari BPS Provinsi Banten. Gambaran pembangunan, ketimpangan, dan faktor faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten dianalisis dengan beberapa metodologi yaitu analisis deskriptif, indeks williamson untuk menggambarkan ketimpangan kabupaten/kota di Provinsi Banten, klassen typologi untuk melihat kesenjangan klasifikasi tiap kabupaten/kota. Dengan analisis regresi metode fixed effect akan diketahui faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hasil perhitungan dengan analisis indeks williamson menunjukkan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 di provinsi terjadi ketimpangan antar kabupaten/kota yang meningkat yaitu dari 0,63 sampai dengan 0,67, begitu juga berdasarkan klassen typologi hanya Kota Tangerang dan Kota Cilegon yang termasuk dalam daerah maju dan cepat tumbuh. Hasil analisis menunjukkan bahwa belanja modal, angkatan kerja berpengaruh nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun angka melek huruf tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten. Hasil estimasi dari variabel-variabel bebas, angkatan kerja mempunyai nilai elastisitas yang terbesar yaitu sebesar 0,73 dan belanja modal pemerintah sebesar 0,11. Angkatan kerja relatif lebih elastis terhadap pertumbuhan ekonomi diharapkan pemerintah Provinsi Banten perlu memberikan perhatian lebih supaya produktivitas dan kualitasnya semakin meningkat.
ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN
OLEH ANDRI PRIYANTO H14094023
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
:
Analisis
Ketimpangan
dan
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten Nama
:
Andri Priyanto
NRP
:
H14094023
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. NIP. 19620816 198701 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal lulus:
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Oktober 2009
Andri Priyanto NIM. H14094023
PADA
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Andri Priyanto lahir pada tanggal 26 April 1979, di Magelang (Jawa Tengah). Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara, dari pasangan Bapak Sukamto dan Ibu Trimurti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Cacaban Satu Magelang, pada tahun 1991, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri Empat Magelang pada tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN Lima Magelang, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1997. Setelah tamat SMA, pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta, lulus pada tahun 2000, dan langsung melanjutkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2001 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.St). Setelah itu bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara selama lebih kurang 5 tahun 7 bulan. Pada tahun 2003 penulis menikah dengan Aning Widiarti dan sampai dengan sekarang sudah mempunyai satu putra dengan nama Muhammad Rizqi Al Fajri Wicaksono dan seorang putri bernama Aisyah Rizqia Putri Salsabila. Pada tahun 2007 penulis dipindah tugaskan ke Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor hasil kerja sama BPS dan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus mengikuti proses matrikulasi dan menyusun skripsi pada akhir kegiatan matrikulasi tersebut sebagai syarat memasuki jenjang strata dua (S-2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Untuk itulah, penulis menyusun skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “ ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2009
Andri Priyanto H14094023
UCAPAN TERIMA KASIH
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: 1. Dr. Rusman Heriawan, Kepala Badan Pusat Statistik yang telah membuka kesempatan bagi pegawai BPS untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan melalui program tugas belajar pasca sarjana. 2. Ir. Nanan Sunandi, M.Sc., Kepala BPS Provinsi Banten yang telah mengijinkan saya mengikuti seleksi tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. 3. Drs. Nyoto Widodo, ME., Kepala Pusdiklat BPS. Terima kasih untuk waktu dan pelayanan dari semua pihak di Pusdiklat. 4. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan perhatian dalam penyelesaian skripsi ini. 5. D. S. Priyarsono, Ph.D., selaku dosen penguji yang telah bersedia untuk menguji penulis dan memberikan saran dan masukan demi perbaikan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Ibu Trimurti yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan, restumu adalah kunci surga bagiku. Penuh kesabaran, ketabahan dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan menyemangatiku, Aning Widiarti istriku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa melindungimu. 7. Segenap dosen pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi IPB yang telah mentransfer ilmunya kepada penulis dengan penuh tanggung jawab. 8. Rekan-rekan mahasiswa kelas khusus BPS-IPB angkatan 2009, semoga semakin kompak dan sukses selalu. 9. Semua pihak yang telah berperan dalam mendukung terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………...…………….
i
DAFTAR TABEL………………………………………..….…………..
iv
DAFTAR GAMBAR……………………………………..….………….
vi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………...……………..
vii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ……………………………………….…….………..
1
1.2 Permasalahan …….………………………………….…….………..
4
1.3 Tujuan penelitian …………………………………….….…………..
5
1.4 Manfaat Penelitian ………………..………………….……………..
6
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka …………………………….……………………...
7
2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)……………………
7
2.1.2 Pertumbuhan ekonomi ..............................................................
8
2.1.3 Perubahan Struktur Ekonomi ....................................................
9
2.1.4 Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Regional ......................
10
2.1.5 Ketenagakerjaan .......................................................................
11
2.1.5.1 Usia kerja .....................................................................
11
2.1.5.2 Angkatan Kerja ............................................................
11
2.1.5.3 Bukan Angkatan Kerja ................................................
11
2.1.5.4 Bekerja ........................................................................
12
2.1.5.5 Kriteria Satu Jam (the one hour criterian) …………..
12
2.1.5.6 Pengangguran ………………………………………..
12
2.1.6 Angka Melek Huruf .................................................................
13
2.1.7 Belanja Modal ..........................................................................
14
2.1.8 Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu ........................................
15
2.2 Kerangka Teori ..... .................... …………………………………..
19
2.2.1 Teori Pertumbuhan ..................................……………………
19
ii
2.2.2 Teori Ketimpangan... ..............................................................
20
III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data………………………………………………
24
3.2 Metode Analisis Data ……………………………………………….
25
3.2.1 Analisis Deskriptif ……………………………………………
25
3.2.2 Analisis Ketimpangan (Indeks Williamson)…………………
25
3.2.3 Klassen Typologi …………………………………………......
26
3.2.4 Analisis Data Panel…………………………………………....
27
3.2.4.1 Metode Pooled OLS......................................................
27
3.2.4.2 Metode Fixed Effect......................................................
28
3.2.4.3 Metode Random Effect ................................................
29
3.3 Metode Pemilihan Model………………...………………….............
30
3.3.1 Chow Test ............ ……………………………………………
30
3.3.2 Haussman Test ..........................................................................
31
3.4 Model Penelitian ................................................................................
32
3.5 Software Analisis Data .......................................................................
32
3.6 Evaluasi Model ..................................................................................
33
3.6.1 Autokorelasi ......... ……………………………………………
33
3.6.2 Uji Multikolinearitas .................................................................
34
3.6.3 Uji Heteroskedasitas .................................................................
35
3.7 Uji Statistik ........................................................................................
35
3.7.1 Uji Statistik t ....... ……………………………………………
36
3.7.2 Uji Statistik f ............................................................................
36
3.7.3 Koefisien Determinasi (R2) .....................................................
37
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN 4.1 Kondisi Geografis...............................................................................
38
4.2 Penduduk Provinsi Banten .................................................................
38
4.3 Kondisi Perekonomian........................................................................
41
4.4 Pembangunan Pendidikan ..................................................................
45
4.4.1 Pendidikan yang Ditamatkan... ……………………………..
46
iii
4.4.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS)............................................
47
4.4.3 Angka Melek Huruf ................................................................
48
4.5 Gambaran Umum Keadaan Tenaga Kerja ........................................
50
4.6 Gambaran Belanja Modal Pemerintah ...............................................
53
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pembangunan Ekonomi di Provinsi Banten.......................................
55
5.2 Struktur Perekonomian Provinsi Banten ...........................................
58
5.3 Tingkat Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Banten. ..
60
5.4 Pengaruh Belanja Modal (BM), Angkatan Kerja (AK) dan Angka Melek Huruf (AMH) terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Banten ................................................................................................
64
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ………………………………………………………….
71
6.2 Saran ………………………………………………………………...
71
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..
73
LAMPIRAN …………………………………………………………….
75
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 menurut Kabupaten/Kota terhadap PDRB Provinsi Banten Tahun 2006 – 2008......……………………………………………………………….
3
PDRB Perkapita ADHK 2000 menurut Kabupaten/kota dan Provinsi Banten tahun 2006 – 2008......………………………………………..
4
3.1
Klasifikasi Kabupaten/Kota menurut Klassen Typologi …………….
27
3.2
Daerah Uji Statistik Durbin – Watson .................................................
34
4.1
Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 1961 – 2008 .....................................................................................................
39
Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2008 ................................................................................
40
PDRB Perkapita ADHB dan ADHK 2000 Menurut Kabupaten/Kota di Povinsi Banten tahun 2006 – 2008 ..................................................
42
Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2006 – 2008 ......................................................
44
Persentase Penduduk 10 tahun Keatas Menurut Jenis Kelamin dan Ijasah yang Dimiliki di Provinsi Banten tahun 2008 ...........................
47
Angka Partisipasi Sekolah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten tahun 2007 – 2008 ..........................
48
Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2002 – 2008 ................................................................................
49
Jumlah Partisipasi Penduduk Dirinci Berdasar Jenis Kegiatan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2007 - 2008 .......
50
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Penduduk Berumur 10 tahun ke atas menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2007 – 2008 .
51
4.10 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2007 – 2008 ....................................................................
52
1.1
1.2
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
v
4.11 Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2007 – 2008 .........................................................................................
53
Laju Pertumbuhan PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Banten tahun 2001 – 2008 .....................................................
55
Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2001 – 2008 ................................................................................
57
Distribusi PDRB ADHB Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Banten tahun 2001 – 2008 ....................................................................
59
Matrik Korelasi antara Indeks Ketimpangan dan Pertumbuhan Ekonomi ...............................................................................................
62
5.5
Klasifikasi Daerah menurut Klassen Typology ....................................
63
5.6
Nilai Statistik Model Pengaruh Angkatan Kerja, Belanja Modal Pemerintah dan Angka melek huruf terhadap Pertumbuhan Ekonomi..
65
5.7
Matriks Korelasi Antarvariabel Independen .........................................
66
5.8
Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh BM, AK dan AMH terhadap Pertumbuhan Ekonomi di provinsi banten ............................................
68
5.1
5.2
5.3
5.4
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran............................................................................
23
5.1 Grafik Pertumbuhan Ekonomi menurut Kabupaten/kota, tahun 2001– 2008 .........................................................................................
58
5.2 Struktur Ekonomi Provinsi Banten menurut Lapangan Usaha tahun 2008 ………………………………………………………………….
60
5.3 Grafik Indeks Ketimpangan di Provinsi Banten tahun 2001 - 2008...
61
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Model Estimasi Parameter dengan menggunakan Metode Pooled Least Square ....................................................................................................
76
Model Estimasi Parameter dengan menggunakan Metode Fixed Effect (sebelum dilakukan uji White) ...............................................................
77
Model Estimasi Parameter dengan Metode Fixed Effect (setelah dilakukan uji white) ...............................................................................
78
4.
Hasil Pengujian Chow Test ………………………………………......
79
5.
Model Estimasi Parameter dengan menggunakan Metode Random Effect.....................................................................................................
80
6.
Hasil Pengujian Haussman Test ............................................................
81
7.
Matrix Correlation Hasil Pengujian Multikolinearitas ..........................
81
1.
2.
3.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi
merupakan sasaran utama bagi negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama suatu periode tertentu tidak terlepas dari perkembangan masingmasing sektor atau subsektor yang ikut membentuk nilai tambah perekonomian suatu daerah. Produk domestik regional bruto (PDRB) sebagai suatu indikator punya peran penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan juga dapat dijadikan sebagai suatu ukuran untuk menentukan arah pembangunan suatu daerah di masa yang akan datang. Sejak Banten terpisah dari Provinsi Jawa Barat dan menjadi provinsi pada tahun 2000, cukup banyak perubahan di wilayah Banten. Sebagai provinsi yang baru, maka Banten dituntut untuk mandiri, sehingga perlu mengembangkan potensi-potensi yang sudah ada. Pengembangan potensi sumber daya alam (SDA), dan sumber daya manusia (SDM) diharapkan mampu mengatasi isu-isu ekonomi yang saat ini sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi yang minim, inflasi yang terus menanjak, pengangguran yang semakin meningkat dan bertambahnya jumlah rumah tangga miskin merupakan tantangan perekonomian yang perlu diatasi baik oleh Pemerintah Provinsi Banten maupun masyarakat itu sendiri sebagai pelaku ekonomi.
2
Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik masih meninggalkan permasalahan yang harus dihadapi. Salah satu realitas pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pembangunan adalah terciptanya kesenjangan/disparitas pembangunan antar daerah atau antar kabupaten/kota. Hal tersebut salah satunya didorong oleh persebaran sumber daya, baik SDM maupun SDA yang tidak merata, selain itu, keterbatasan tenaga kerja, barang modal dan teknologi sebagai pendukung kehidupan, khususnya jumlah orang bekerja, belanja modal pemerintah dan pendidikan berimplikasi munculnya wilayah yang tertinggal. Beberapa fakta kesenjangan tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja pembangunan perekonomian antara kabupaten/kota di Provinsi Banten. Pada dasarnya proses pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Banten, dapat dilihat dari segi pertumbuhan ekonominya maupun dari kontribusi sektor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tersebut. Pada tabel 1.1 dapat dilihat bahwa kontribusi kabupaten/kota dalam PDRB Provinsi Banten pada tahun 2006-2008. Besarnya kontribusi untuk masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Banten sangat beragam, dari tabel di bawah dapat terlihat jelas bahwa persentase sumbangan PDRB yang terbesar berada di Kota Tangerang dan Kabupaten
Tangerang.
Hal
ini
menggambarkan
ketimpangan
distribusi
pendapatan daerah antara kabupaten/kota di Provinsi Banten. Ketimpangan antara kabupaten/kota di Provinsi Banten inilah yang menyebabkan Pemerintah terus berupaya mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah
3
Tabel 1.1. Persentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 menurut Kabupaten/Kota terhadap PDRB Provinsi Banten Tahun 2006-2008 (%) Persentase PDRB ADHK Kabupaten/Kota Terhadap PDRB Provinsi Banten Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 (1) (2) (3) (4) Kab. Pandeglang 5,37 5,27 5,17 Kab. Lebak 5,16 5,10 5,02 Kab. Tangerang 26,73 26,90 27,06 Kab. Serang 12,71 12,58 12,44 Kota Tangerang 34,87 35,09 35,34 Kota Cilegon 15,16 15,06 14,98 Total PDRB
100.00
100,00
100,00
Sumber: PDRB BPS Provinsi Banten, 2008
Fenomena ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Banten itu sendiri, salah satunya disebabkan oleh perbedaan tenaga kerja, modal dan teknologi, yang merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan tenaga kerja, modal dan teknologi akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja, modal dan teknologi dengan PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Pembangunan ekonomi yang telah dicapai kabupaten/kota di Provinsi Banten sangat didukung oleh tenaga kerja, modal dan teknologi yang cukup memadai. Keberadaan tenaga kerja, modal dan teknologi baik berupa angkatan kerja, belanja modal pemerintah dan angka melek huruf sangatlah penting dalam meningkatkan perekonomian di suatu wilayah, sehingga diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pembanguan ekonomi. Namun
4
demikian, dalam peningkatan pembangunan ekonomi di Provinsi Banten juga diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat.
1.2.
Permasalahan Ketimpangan dalam pembanguan ekonomi bukan hanya terjadi antar
provinsi di Indonesia, melainkan juga terjadi antar kabupaten/kota itu sendiri dalam satu Provinsi. Di Provinsi Banten yang merupakan provinsi muda masih terjadi ketimpangan antar kabupaten/kota yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Banten. Tabel 1.2. PDRB Perkapita ADHK 2000 menurut Kabupaten/Kota dan Provinsi Banten Tahun 2006-2008 (Rupiah) Kabupaten/Kota Tahun 2006 2007 2008 (1) (2) (3) (4) Kab. Pandeglang 3.288.630,57 3.392.252,31 3.490.803,48 Kab. Lebak 2.867.496,53 2.940.986,60 3.000.163,98 Kab. Tangerang 5.221.193,99 5.409.729,70 5.584.230,20 Kab. Serang 4.678.967,65 4.857.045,18 5.023.130,96 Kota Tangerang 15.478.362,71 16.245.618,25 17.018.718,52 Kota Cilegon 30.068.855,05 31.118.636,47 32.151.783,44 6.650.331,00 6.902.711,00 7.168.033,00 Provinsi Banten Sumber: PDRB BPS Provinsi Banten, 2008
Dari Tabel 1.2, dapat dilihat bahwa PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Banten mempunyai perbedaan yang signifikan. Nilai PDRB perkapita Kota Tangerang dan Kota Cilegon jauh diatas rata-rata. Namun demikian PDRB per kapita Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang yang di bawah rata-rata, hal ini mengidentifikasikan adanya ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Banten.
5
Dalam rangka mempercepat pembangunan, faktor tenaga kerja, modal dan teknologi mempunyai peranan sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan tenaga kerja, modal dan teknologi akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Melalui penelitian ini akan dilihat apakah tenaga kerja, modal dan teknologi yang diwakilki oleh angkatan kerja, belanja modal pemerintah dan angka melek huruf mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, serta bagaimana kontribusi yang diberikan terhadap pertumbuhan ekonomi Berdasarkan uraian, permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran pembangunan ekonomi di Provinsi Banten? 2. Bagaimana tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota yang diakibatkan pembangunan ekonomi di Provinsi Banten? 3. Seberapa besar pengaruh angkatan kerja, belanja modal pemerintah dan angka melek huruf terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten ?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian skripsi ini adalah
sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan gambaran pembangunan ekonomi di Provinsi Banten. 2. Mengidentifikasi tingkat ketimpangan antar kabupeten/kota di Provinsi Banten.
6
3. Menganalisis
besarnya
pengaruh
angkatan
kerja,
belanja
modal
pemerintah dan angka melek huruf terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten.
1.4.
Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan
gambaran kepada pembaca mengenai kondisi pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Banten, bagaimana ketimpangan yang ada dan kegiatan ekonomi apakah yang potensial di Provinsi Banten. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pembangunan pemerintah terutama yang terkait dengan pembangunan tenaga kerja, modal dan teknologi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait masalah pertumbuhan ekonomi.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Untuk menghitung angka PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: 1) Pendekatan Produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 2) Pendekatan Pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: (a) pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga nirlaba, (b) konsumsi pemerintah, (c) pembentukan modal tetap domestik bruto, (d) perubahan stok, dan (e) ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 3) Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. PDRB ADHB digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi. PDRB ADHB menunjukkan pendapatan yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun.
8
PDRB ADHK digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan/setiap sektor dari tahun ke tahun. Data PDRB ADHK lebih menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut. PDRB ADHB menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah, sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian suatu daerah. Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/balas jasa terhadap faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut. 2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya (Sukirno, 2004). Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terusmenerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar.
9
Menurut Todaro (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu: 1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3. Kemajuan teknologi. Sukirno (2004), menerangkan beberapa faktor penting yang dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi. 1. Tanah dan kekayaan alam lainnya. Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hutan dan hasil laut, serta jumlah dan jenis kekayaan barang tambang yang terdapat. 2. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja. Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat perkembangan ekonomi. 3. Barang-barang modal dan tingkat teknologi. Barang-barang modal yang bertambah dan teknologi yang modern memegang peranan penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi. 4. Sistem ekonomi dan sikap masyarakat. 2.1.3. Perubahan Struktur Ekonomi Menurut Kuznet dalam Todaro (2006) perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural ditandai dengan adanya perubahan persentase sumbangan
10
berbagai sektor-sektor dalam pembangunan ekonomi, yang disebabkan intensitas kegiatan manusia dan perubahan teknologi. Perubahan struktur yang fundamental harus meliputi transformasi ekonomi bersamaan dengan transformasi sosial. Pemahaman tentang perubahan struktur perekonomian memerlukan pemahaman
konsep-konsep
sektor
primer,
sekunder
dan
tersier
serta
perbedaannya. Perubahan struktur yang terjadi dapat meliputi proses perubahan ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat. 2.1.4. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Regional Sjafrizal (2008) Ketimpangan pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Oleh sebab itulah, tidak mengherankan bilamana pada setiap negara/daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
11
2.1.5
Ketenagakerjaan
2.1.5.1 Usia Kerja Indonesia menggunakan batas bawah usia kerja (economically active population) 15 tahun (meskipun dalam survei dikumpulkan informasi mulai dari usia 10 tahun) dan tanpa batas atas usia kerja. Di negara lain, penentuan batas bawah dan batas atas usia kerja bervariasi sesuai dengan kebutuhan/situasinya. Beberapa contoh : •
Batas bawah : Mesir (6 tahun), Brazil (10 tahun), Swedia, USA (16 tahun), Kanada (14 dan 15 tahun), India (5 dan 15 tahun), Venezuela (10 dan 15 tahun)
•
Batas atas : Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia (74 tahun), Mesir, Malaysia, Mexico (65 tahun), banyak negara seperti Indonesia tidak ada batasnya.
2.1.5.2 Angkatan Kerja Konsep angkatan kerja merujuk pada kegiatan utama yang dilakukan oleh penduduk usia kerja selama periode tertentu. Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan pengangguran. 2.1.5.3 Bukan angkatan kerja Penduduk usia kerja yang tidak termasuk angkatan kerja mencangkup penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya
12
2.1.5.4 Bekerja Kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan paling sedikit 1 (satu) jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu. Kegiatan bekerja ini mencakup, baik yang sedang bekerja maupun yang punya pekerjaan tetapi dalam seminggu yang lalu sementara tidak bekerja, misalnya karena cuti, sakit dan sejenisnya. Konsep bekerja satu jam selama seminggu yang lalu juga digunakan oleh banyak negara antara lain Pakistan, Filipina, Bulgaria, Hungaria, Polandia, Romania, Federasi Rusia dan lainnya. 2.1.5.5 Kriteria satu jam (the one hour criterion) Kriteria satu jam digunakan dengan pertimbangan untuk mencangkup semua jenis pekerjaan yang mungkin ada pada suatu Negara, termasuk di dalamnya adalah pekerjaan dengan waktu singkat (short-time work), pekerja bebas, stand-by work dan pekerjaan yang tidak beraturan lainnya. Kriteria satu jam juga dikaitkan dengan definisi bekerja dan pengangguran yang digunakan, di mana pengangguran adalah situasi dari ketiadaan pekerjaan secara total (lack of work) sehingga jika batas minimum dari jumlah jam kerja dinaikan maka akan mengubah definisi pengangguran yaitu bukan lagi ketiadaan pekerjaan secara total . 2.1.5.6 Pengangguran Definisi baku untuk pengangguran adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, bersedia untuk bekerja, dan sedang mencari pekerjaan. Definisi ini
13
digunakan pada pelaksanaan Sakernas 1986 sampai dengan 2000, sedangkan sejak tahun 2001 definisi pengangguran mengalami penyesuaian/perluasan menjadi sebagai berikut : Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikatagorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikatagorikan sebagai pekerja), dan pada waktu yang bersamaan mereka tak bekerja (jobless). Pengangguran dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengangguran terbuka (open unemployment). Secara spesifik, pengangguran terbuka dalam sakernas, terdiri dari : a. Mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan b. Mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha c. Mereka yang tidak bekerja, dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan , dan d. Mereka yang tidak bekerja, dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja, tetapi belum mulai bekerja. 2.1.6. Angka Melek Huruf (AMH) Yang dimaksud dengan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dengan menggunakan huruf latin. Pembatasan penghitungan angka melek huruf pada kelompok usia 15 tahun ke atas adalah untuk membatasi proporsi penduduk yang usianya dianggap
14
telah mencukupi untuk belajar membaca dan menulis dalam huruf latin, baik melalui jalur formal maupun non formal. 2.1.7. Belanja Modal Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya
menambah aset tetap/inventaris yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja modal sendiri terdiri dari : 1. Belanja Modal Tanah Adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembelian/ pembebasan,
penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan,
pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Adalah
pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/
penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari
dua belas bulan dan sampai
peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/ penggantian, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan
15
pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/ penggantian/peningkatan, pembangunan/pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 5. Belanja Modal Fisik Lainya Adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pegadaan/penambahan/ penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainya yang tidak dapat dikategorikan dalam kriteria balanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah. 2.1.8. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu Ace Kusnadi (1998), Alat analisis yang digunakan adalah regresi sederhana. Menganalisis tentang ”Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat tahun 1983-1996”. Penulis menggunakan variabel investasi, ekspor, subsidi daerah otonom dan tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel investasi, ekspor dan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Subsidi daerah
16
otonom juga berpengaruh signifikan. Nurlaila Hanum (2003), alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Penelitian ini menemukan bahwa keseluruhan variabel independen yang dipilih mampu menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi Provinsi NAD sebesar 89,62 persen dun sisanya sebesar 10,38 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini. Analisa secara serentak (simultan) masingmasing variabel independen memberi pengaruh yang sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen. Analisis secara parsial menunjukkan hanya variabel pengeluaran daerah dan investasi yang memberi pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi NAD. Prabowo Supranto (2004), Dan alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Dalam penelitiannya “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tahun 1986-2002”. Data yang digunakan dalam bentuk data tahunan tahun 19862002.. Variabel bebas yang digunakan adalah investasi asing, total nilai ekspor, jumlah tenaga kerja, tabungan domestik dan hutang luar negeri. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah variabel investasi asing, total nilai ekpor, jumlah tenaga kerja, dan tabungan domestik, berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sedangkan hutang luar negeri, berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Muhammad Shodiq Firmanto (2005), Dalam penelitian ini menggunakan metode analisa deskriptif, analisis regresi dan pendekatan ekonometri. Dari hasil analisis ini juga diketahui bahwa, dua varibel bebas yaitu total nilai ekspor dan
17
jumlah tenaga kerja berpengaruh signifikan kearah positif, sedangkan varibel investasi tidak berpengaruh signifikan ke arah positif terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 1984-2002. Rudi (2006), dengan Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis klassen typologi. Analisis shift share, model rasio pertumbuhan (MRP), dan location quotient (LQ). Hasil pengolahannya tentang identifikasi sektor unggulan untuk mendukung perencanaan pembangunan ekonomi Kabupaten Toba Samosir menunjukkan bahwa laju pertumbuhan dan struktur ekonomi di Kabupaten Toba Samosir selama periode 2000-2004 dipengaruhi oleh besarnya nilai tambah dari sektor-sektor ekonomi yang didominasi sektor industri pengolahan. Kabupaten Toba Samosir memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan perekonomian Propinsi Sumatera Utara. Jika dilihat per sektor, yang memiliki daya saing lebih tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor LGA, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Akhmad Daerobi, dkk. (2007) menulis Dampak Pengembangan Sektor Pertanian terhadap Pengentasan kemiskinan di Jawa Tengan. Metodologi yang digunakan pendekatan mikroekonomi dan pendekatan makroekonomi. kajian literatur dan metode kuantitatif dalam bentuk analisis statistik deskriptif dapat memberikan deskripsi riil kondisi permasalahan mikroekonomi pertanian. adapun salah satu hasil kajiannya yaitu indikator pendidikan ini dapat diproksi melalaui tingkat melek huruf, lamanya pendidikan yang ditempuh, pendidikan terakhir anggota rumah tangga, dan lain-lain. pendidikan ini berkaitan dengan human
18
capital yang merupakan nilai tambah bagi orang tersebut untuk terlibat aktif dalam perekonomian. Prima Roza (2007) menulis Pendidikan dan Mutu Pendidikan. MDGs mengerucutkan rumusan program pendidikan yaitu “ mencapai pendidikan dasar untuk semua” dengan rumusan targetnya memastikan pada 2015 semua anak di manapun baik laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikn dasr. Ada enam indikator utama sebagai pengukurannya, yaitu : angka partisipasi murni (APM), di SD, APM di SMP, proporsi murid yang berhasil menamatkan SD, proporsi murid kelas 1 yang menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar, an angka melek huruf usia 15-24 tahun. Oleh karena itu pengelolaan pendidikan merupakan program yang harus menjadi primadona dari seluruh program pembangunan pemerintah untuk menjadikan manusia manusia indonesia yang bermutu yang pada gilirannya akan mengalselerasi pertumbuhan ekonomi. Asep
Hidayat (2008)
menulis
“Kontribusi
Pendidikan
Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi”. Dalam Jurnal Pendidikan dan Budaya. Pendidikan Dan Pertumbuhan Ekonomi mungkinkah ada intervensi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi? Pendidikan memiliki daya dukung yang representatif atas pertumbuhan
ekonomi.
Tyler
mengungkapkan
bahwa
pendidikan
dapat
meningkatkan produktivitas kerja seseorang, yang kemudia akan meningkatakan pendapatannya. Peningkatan pendapatan ini berpengaruh pula kepada pendapatan nasional negara yang bersangkutan, untuk kemudian akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat berpendapatan rendah. Sementara itu Jones melihat pendidikan sebagai alat untuk menyiapkan tenaga kerja terdidik dan
19
terlatih yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jones melihat, bahwa pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi lebih siap latih dalam pekerjaannya yang akan memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, yang secara langsung akan meningkatkan pendapatan nasional. Muhammad Fachrurro (2008),. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa belanja modal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PE dan PR. Jika dilihat lebih mendalam, tingkat ketergantungan belanja modal lebih dominan terhadap PR. Pada analisis terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat kecil pada belanja modal. Kata kunci : Belanja Modal (BM), Pertumbuhan Ekonomi (PE), Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah (PR)
2.2.
Kerangka Teori
2.2.1
Teori Pertumbuhan Model
pertumbuhan
Solow
memberi
kontribusi
terhadap
teori
pertumbuhan neoklasik. Model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006).
20
Model pertumbuhan Solow memakai fungsi produksi agregat standar, yaitu:
Y = K α ( AL )
1−α
Dimana: Y : Produk domestik bruto (PDB) K : Stok modal fisik dan modal manusia L : Tenaga kerja A : Tingkat kemajuan teknologi α : Elastisitas output terhadap modal (persentase kenaikan PDB yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia. 2.2.2
Teori Ketimpangan Model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik
modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar, akibatnya modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka
21
secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Ketimpangan pada negara sedang berkembang relative lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Oleh sebab itulah, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat didaerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Penelitian tentang hipotesis neoklasik dilakukan oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hipotesis neoklasik ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh negara. Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dapat digunakan mengidentifikasi adanya ketimpangan adalah indeks williamson. Pembangunan ekonomi di Provinsi Banten masih meninggalkan masalah yang sama dihadapi oleh beberapa provinsi lain, di Indonesia. Masalah yang
22
timbul adalah ketimpangan antar kabupaten/kota. Hal ini disebabkan karena perbedaan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi terhadap kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dalam formulasi kebijakan diperlukan suatu kajian yang lebih dalam terhadap suatu daerah atau wilayah yang akan dijadikan sasaran. Setiap daerah atau wilayah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pertumbuhan ekonomi dan struktur ekonomi merupakan ukuran yang harus diidentifikasi terlebih dahulu. Provinsi Banten merupakan provinsi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan provinsi muda Indonesia lainnya (Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku Utara), dari segi perekonomian maupun sarana prasarana yang ada. Namun demikian, di dalam Provinsi Banten masih terjadi ketimpangan antar kabupaten/kota. Ketimpangan ini salah satunya terlihat dari ketersediaan tenaga kerja, modal dan teknologi yang menunjang dalam kegiatan ekonomi, adapun indikator tenaga kerja yang digunakan adalah angkatan kerja, indikator modal yaitu belanja modal pemerintah dan indikator teknologi yang digunakan indikator dari pendidikan yaitu angka melek huruf . Untuk lebih jelas tentang kerangka pikir sehingga dapat memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti, maka disajikan diagram alur kerangka pemikiran operasional pada gambar 2.1.
23
Pembanguan Ekonomi Provinsi Banten
Peningkatan Pertumbuhan ekonomi Pendapatan per kapita Struktur perekonomian
Terjadi ketimpangan
Identifikasi Ketimpangan di Provinsi Banten dan Klasifikasi daerah: - Daerah cepat maju dan cepat tumbuh - Daerah maju tapi tertekan - Daerah berkembang cepat - Daerah relatif tertinggal
Faktor pertumbuhan seperti SDM, teknologi dan modal tidak merata di setiap kabupaten/kota
Analisis pengaruh belanja modal pemerintah, angkatan kerja dan angka melek huruf terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Banten
Strategi pembangunan ekonomi di Provinsi Banten
Implikasi Kebijakan
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
24
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data panel, yang merupakan kombinasi antara
data time-series dan cross-section. Jumlah individu yang digunakan yaitu 6 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten dan dalam kurun waktu 8 tahun (2001 - 2008), sehingga jumlah observasi 48 buah. Data diperoleh dari BPS Provinsi Banten. Adapun rincian data yang digunakan dalam kajian yaitu: 1. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ADHK 2000 seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten, yang dirinci menurut lapangan usaha (sektor) tahun 2001 - 2008, yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi Banten. 2. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ADHB 2000 seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten, yang dirinci menurut lapangan usaha (sektor) tahun 2001 - 2008, yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi Banten. 3.
Data kependudukan masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Banten yang didapatkan dari hasil Sensus Penduduk dan Susenas serta Sakernas tahun 2001-2008 yang diambil dari Daerah Dalam Angka dan Pengolahan oleh BPS Provinsi Banten.
4. Data APBD di masing-masing kabupaten/kota se Provinsi Banten dari tahun 2001 - 2008, yang diambil dari publikasi Statistik keuangan BPS.
25
3.2.
Metode Analisis Data
3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan
mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan
memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran secara umum mengenai kondisi dari Provinsi Banten dan kondisi variabel-variabel pembangunan ekonomi di Provinsi Banten dari tahun 2001 sampai 2008. Variabel-variabel pembangunan ekonomi yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Selain itu analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran angkatan kerja, belanja modal dan angka melek huruf di Provinsi Banten. 3.2.2. Analisis Ketimpangan (Indeks Williamson) Williamson dalam Sjafrizal (2008) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi. Penelitiannya menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan negara berkembang. Ternyata ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi semakin lebar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Indeks ketimpangan regional untuk menggambarkan ketimpangan kabupaten/kota di Provinsi Banten dapat dihitung dengan formulasi sebagai berikut:
IW =
I
W
∑(y
i
− y)2 ×
i
fi n
y
= Indeks Williamson
26
y = PDRB per kapita di kabupaten/kota i i
= PDRB per kapita rata-rata di Provinsi Banten f
i
= Jumlah penduduk di kabupaten/kota i
n = Jumlah penduduk di Provinsi Banten Indeks williamson besarnya antara nol dan satu. Semakin kecil angka yang dihasilkan menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil pula atau dapat dikatakan makin merata. Tetapi jika angka yang didapat mendekati satu maka ketimpangan semakin lebar.
3.2.3. Klassen Typologi Analisis ini digunakan untuk menggambarkan kesenjangan klasifikasi tiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Menurut Sjafrizal (1997) Analisis ini didasarkan pada dua indikator utama yaitu rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan per kapita di suatu daerah. Analisis ini membagi empat klasifikasi daerah yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda yaitu: a. Kuadran I yaitu daerah maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi. b. Kuadran II yaitu daerah maju tapi tertekan (low growth but high income) merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonominya lebih rendah tapi pendapatan per kapita lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi. c. Kuadran III yaitu daerah berkembang cepat (high growth but low income) merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tapi pendapatan per kapitanya lebih rendah dibanding rata-rata provinsi.
27
d. Kuadran IV yaitu daerah relatif tertinggal (low growth and low income) merupakan daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan per kapitanya lebih rendah dibanding provinsi.
Tabel 3.1. Klasifikasi Kabupaten/kota menurut Klassen Typologi Yij > Y j
Yij < Y j
Kuadran I
Kuadran III
Daerah maju dan tumbuh cepat
Daerah berkembang cepat
Kuadran II
Kuadran IV
Daerah maju tapi tertekan
Daerah relatif tertinggal
R Rij > R j
Rij < R j
Keterangan: Rij adalah laju pertumbuhan PDRB ADHK tiap kabupaten/kota di Provinsi. Rj adalah rata-rata laju pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Banten. Yij adalah pendapatan per kapita tiap kabupaten/kota di Provinsi. Yj adalah rata-rata pendapatan per kapita Provinsi Banten.
3.2.4 Analisis Data Panel Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data panel, yaitu pooled Ordinary Least Square (OLS), fixed effect, dan random effect. Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model terbaik yang menggunakan Chow test.
3.2.4.1 Metode Pooled OLS Metode pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhana antara data time-series dan cross-section, selanjutnya dilakukan estimasi model
28
yang mendasar menggunakan OLS. Metode pooled OLS dapat dispesifikasikan ke dalam model berikut: ∧
Y it = α + β X it dimana i menunjukkan urutan kabupaten/kota yang diobservasi pada data cross-
section, sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Namun, pada metode ini asumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model tersebut mengasumsikan bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama untuk setiap kabuapten/kota yang diobservasi. Hal ini menyebabkan variabel-variabel yang diabaikan akan membawa perubahan pada intersep time-series dan cross-
section.
3.2.4.2 Metode Fixed Effect Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap Kabupaten/Kota yang diobservasi. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unit cross-section dapat dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda pada tiap kabupaten/kota. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel
dummy untuk mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama bagi setiap kabupaten/kota yang diobservasi. Metode ini dapat dispesifikasikan ke dalam model berikut: ∧
Y it = α + β i X it + γ 2W2t + γ 3W3t + ... + γ N WNT + δ 2 Z i 2 + δ 3 Z i 3 + ... + δ T Z it + ε it dimana Wit =
1 untuk kabupaten/kota ke-i, i = 2,…, N 0 untuk lainnya
29
Zit =
1 untuk kabupaten/kota ke-t, t = 2,…, T 0 untuk lainnya
Variabel dummy (N-1) + (T-1) ditambahkan ke dalam model dan penambahan tersebut menghasilkan kolienaritas yang sempurna di antara variabel-variabel penjelas. Koefisien dari variabel dummy akan mengukur perubahan intersep crosssection dan time-series.
3.2.4.3. Metode Random Effect Pada metode random effect dimasukkan komponen galat (error term) ke dalam model untuk menjelaskan variabel prediktor (explanatory variable) yang tidak dimasukkan ke dalam model, komponen nonlinearitas hubungan variabel bebas dan variabel tak bebas, kesalahan ukur saat observasi dilakukan, serta kejadian yang sifatnya acak. Metode random effect dapat dispesifikasikan ke dalam model berikut: ∧
Y it = α + β X it + ε it
ε it = u i + vt + wit dimana ui ~ N(0, σ u2 ) = komponen galat cross-section vt ~ N(0, σ v2 ) = komponen galat time-series wt ~ N(0, σ w2 ) = komponen galat time-series dan cross-section i menunjukkan urutan kabupaten/kota yang diobservasi pada data cross-section, sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Formulasi dari metode
random effect diperoleh dari model fixed effect dengan mngasumsikan bahwa efek rata-rata dari variabel-variabel time-series dan cross-section yang acak termasuk
30
dalam intersep, dan deviasi acak dari rata-rata tersebut sama dengan komponen galat, ui dan vt.
3.3.
Metode Pemilihan Model
3.3.1. Chow Test Gujarati dalam Hartati (2008) menjelaskan bahwa Chow test digunakan untuk menentukan model yang akan digunakan, apakah lebih tepat dijelaskan oleh model Pooled OLS atau model Fixed Effect. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa asumsi konstan slope dan intersep pada model Pooled OLS pada kenyataannya tidak cukup realistis. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 : Model adalah model Pooled Least Square H 1 : Model adalah model Fixed Effect Dasar penolakan terhadap H 0 adalah dengan menggunakan F-statistic seperti yang dirumuskan oleh Chow: CHOW =
( ESS1 − ESS 2 ) /( N − 1) ( ESS 2 ) /( NT − N − K )
dimana: ESS 1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square ESS 2 = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect
N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas
31
Statistik Chow test mengikuti distribusi F-statistic dengan derajat bebas (N-1,NT-N-K), jika nilai CHOW statistic (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H 0 sehingga model yang digunakan adalah fixed effect, dan begitu juga sebaliknya.
3.3.2. Haussman Test Gujarati dalam Hartati (2008) menjelaskan bahwa pengujian yang dilakukan setelah Chow Test adalah Haussman Test, yang digunakan untuk menentukan apakah model lebih tepat dijelaskan dengan model fixed effect atau
model random effect. Hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 : Model adalah model Random Effect H 1 : Model adalah model Fixed Effect Dasar penolakan H 0 dengan membandingkan Statistik Hausman dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:
m = ( β − b)( M 0 − M 1 ) −1 ( β − b)
≈ χ2
Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M 0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed effect model, dan M 1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model. H 0 ditolak jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ 2 -tabel, sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu pula sebaliknya.
32
3.4.
Model Penelitian
Persamaan yang memperlihatkan sejauh mana variabel-variabel belanja modal pemerintah, angkatan kerja dan angka melek huruf mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten. Secara matematis, hubungan antar variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi digambarkan dalam fungsi double log sebagai berikut :
Ln PDRBit = α 0 + α1LnBMit + α 2 LnAKit + α3 LnAMHit + μit Keterangan : PDRBit = Nilai PDRB ADHK 2000 per kapita pada kabupaten/kota i dan tahun t (juta rupiah) α0
= intercept
α1-α3 = Parameter belanja modal, angkatan kerja dan angka melek huruf μit
= error term
BMit
= Belanja modal pemerintah di kabupaten/kota i dan tahun t (Juta Rupiah)
AKit
= Angkatan kerja di kabupaten/kota i dan tahun t (Orang)
AMHit = Angka melek huruf di kabupaten/kota i dan tahun t (%)
3.5.
Software Analisis Data
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan bantuan beberapa software untuk melakukan analisis data. Software tersebut adalah sebagai berikut:
33
1. Microsoft excel 2007 Ms Excel merupakan perangkat lunak buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan dalam pembuatan tabel dan grafik serta beberapa pengolahan data. 2. EViews 5.1 EViews adalah program komputer yang digunakan untuk mengolah data statistik dan data ekonometri. Program EViews dibuat oleh QMS (Quantitative Micro Software) yang berkedudukan di California AS. Software ini digunakan dalam pengolahan persamaan model panel data.
3.6.
Evaluasi Model
Dalam pengujian asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui apakah model yang diteliti mengalami penyimpangan asumsi klasik atau tidak, maka pemeriksaan terhadap penyimpangan asumsi klasik tersebut harus dilakukan. Adapun uji asumsi klasik tersebut adalah melihat ada tidaknya autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikoliniaritas. 3.6.1. Autokorelasi
Autokorelasi adalah keadaan dimana faktor-faktor pengganggu yang satu dengan yang lain saling berhubungan. Uji autolorelasi yang paling sederhana adalah menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Adapun langkah pengujian adalah a. Hipotesis : Ho : ρ1 = ρ 2 = ..... = ρ p = 0 , non autokorelasi (faktor pengganggu periode tertentu tidak berkorelasi dengan faktor pengganggu pada periode lain).
34
Ha : ρ1 = ρ 2 = ..... = ρ p ≠ 0 , autokorelasi (faktor pengganggu periode tertentu berkorelasi dengan faktor pengganggu pada periode lain). b. Kriteria pengujian seperti yang dijelaskan pada tabel 3.2 yaitu : Tabel 3.2. Daerah Uji Statistik Durbin-Watson
Nilai statistik d
Hasil
0 < d < dL
Menolak Ho ; ada autokorelasi positif
dL ≤ d ≤ dU
Daerah keragu-raguan ; tidak ada keputusan
dU ≤ d ≤ 4 - dU
Menerima Ho ; tidak ada autokorelasi positif/negatif
4 – dU ≤ d ≤ 4 - dL 4 – dL ≤ d ≤ 4
Daerah keragu-raguan ; tidak ada keputusan Menolak Ho ; ada autokorelasi negatif
3.6.2. Uji Multikolinearitas
Adanya hubungan linier antara variabel independen dalam suatu regresi disebut dengan multikolinearitas. Pengujian terhadap gejala multikolinearitas dapat dilakukan dengan membandingkan nilai R2 dan signifikansi dari variabel yang digunakan. Sebagai rule of thumb, apabila koefisien korelasi cukup tinggi sementara terdapat sebagian besar atau semua yang secara parsial tidak signifikan, maka diduga terjadi multikolinearitas pada model regresi (Gujarati, 2003). Lebih dari itu, gejala multikolineritas biasanya timbul pada data time series dimana korelasi
antar
variabel
independen
cukup
tinggi.
Sehingga
dengan
mengkombinasikan data yang ada dengan data cross section mengakibatkan masalah multikolineritas secara tekhnis dapat dikurangi.
35
3.6.3. Uji Heteroskedasitas
Heteroskedasitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Dalam suatu model apabila dijumpai adanya masalah heteroskedastisitas maka model akan menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Gejala adanya heteroskedasitas dapat dideteksi dengan melakukan uji White test. Sedangkan hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Uji hipotesis untuk menentukan ada tidaknya heteroskedasitas. H 0 : ρ1 = ρ 2 = ..... = ρ q = 0 , tidak ada heteroskedasitas Ha : ρ1 ≠ ρ 2 ≠ ..... ≠ ρ q ≠ 0 , ada heteroskedasitas 2. Kriteria : χ2 – hitung < χ2 – tabel, maka Ho diterima yang berati tidak ada heteroskedasitas. Dan sebaliknya, apabila χ2 –hitung > χ2 –tabel, maka Ho ditolak, berarti ada heteroskedasitas. Untuk menyembuhkan pelanggaran heteroskedastisitas maka kita dapat mengestimasi model dengan metode Generalized Least Square dan weights cross section atau melakukan white heteroscedasticity-consistence variance (Nachrowi dan Usman, 2006).
3.7.
Uji statistik
Pengujian statistik dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang digunakan merupakan model yang tepat untuk menggambarkan hubungan antar variabel dan apakah ada hubungan yang signifikan diantara variabel-variabel dependen dengan variabel independen.
36
3.7.1. Uji Statistik t
Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara induvidual terhadap variabel dependen. Untuk itu kita dapat membandingkan nilai t statistiknya dengan nilai t tabel. Apabila t-stat ≥ t-tabel maka Ho ditolak, berarti ada pengaruh secara signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen. Demikian berlaku sebaliknya. Dimana hipotesis yang digunakan adalah: a. Uji hipotesis positif satu sisi Ho : β1 ≤ 0 Ha : β1 > 0 b. Uji hipotesis negatif satu sisi Ho : β1 ≥ 0 Ha : β1 < 0 c. Uji hipotesis dua sisi Ho : β1 = 0 Ha : β1 ≠ 0 Membandingkan nilai t-statistik dengan t-tabel. Untuk pengujian satu sisi, apabila t-stat < t-tabel maka kita akan menerima Ho sedangkan apabila t-stat > ttabel maka menolak Ho. 3.7.2. Uji Statistik F
Uji statistik F memperlihatkan adanya hubungan atau pengaruh antara variabel indpenden secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Adapun langkah uji F adalah sebagai berikut :
37
1. Membuat hipotesis Ho : β1 = β2 = ......= β8 = 0 Ha : β1 ≠ β2 ≠ .....≠ β8 ≠ 0 2. Mencari nilai F hitung : F( n −1,nT − n − k ) =
R 2 (n − 1) (1 − R 2 ) (nT − n − k )
Dimana : R2
= Koefisien determinasi
k
= Jumlah variabel
n T
= Jumlah sampel = Jumlah unit waktu
3. Kriteria pengujian : Ho akan diterima dan Ha akan ditolak apabila F-stat < F-tabel Ho akan ditolak dan Ha akan diterima apabila F-stat > F-tabel 3.7.3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi menjelaskan seberapa besar persentase total variasi variabel dependen yang dijelaskan oleh model, semakin besar nilai R2 maka semakin besar pengaruh model dalam menjelaskan variabel dependen. Nilai koefisien determinasi berkisar antara oleh sampai 1, suatu R2 sebesar 1 berarti ada hubungan sempurna, sedangkan yang bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel yang menjelaskan.
38
BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
4.1.
Keadaan geografis Wilayah Provinsi Banten mempunyai luas 9.018,64 Km2. Secara
administrasi wilayah ini dibagi menjadi empat kabupaten dan empat kota. kabupaten/kota yang dimaksud adalah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon, Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan. Provinsi Banten terdiri dari 154 kecamatan serta 1.535 desa/kelurahan. Wilayah Provinsi Banten berada pada batas astronomis 105.01’11”-106.07’12”BT dan 5.07’50”-7.01’1”LS, serta mempunyai posisi strategis pada lintas perdagangan internasional dan nasional. Batas wilayah Provinsi Banten adalah: Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, Sebelah selatan dengan Samudera Hindia dan, Sebelah barat dengan Selat Sunda. Wilayah Banten bagian selatan tepatnya di Pandeglang dan Lebak merupakan daerah persawahan yang subur, sedangkan wilayah Banten bagian utara seperti Kota Tangerang, Cilegon, Kabupaten Tangerang, dan sebagian Serang kini telah tumbuh menjadi kawasan industri.
4.2.
Penduduk Provinsi Banten Dalam
kaitannya dengan proses pembangunan yang berkelanjutan,
informasi kependudukan dengan berbagai karakteristik sangat diperlukan lagi
39
perencanaan dan evaluasi pembangunan. Hal ini dikarenakan paradigma pembangunan telah bergeser, dimana pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 1961 – 2008 (Orang) Kabupaten/Kota
1961
1971
1980
1990
2000
2008
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Kabupaten 1. Pandeglang 2. Lebak 3. Tangerang 4. Serang
440 213 427 802 643 647 648 115
572 628 694 759 858 435 546 364 682 868 873 646 789 870 1 131 199 1 843 755 766 410 968 358 1 244 755
1 011 788 1 030 040 2 781 428 1 652 763
1 092 527 1 234 459 3 574 048 1 826 146
206 743 72 054 -
276 825 93 057 -
921 848 226 083 -
1 325 854 1 531 666 294 936 343 599 -
2 438 574 3 045 154 4 015 837 5 967 907
8 096 809 9 602 445
Kota 5. Tangerang 6. Cilegon 7. Serang *) 8. Tangerang Selatan *) Jumlah/Total
397 825 140 828 -
Sumber : Sensus Penduduk 1971. 1980. 1990. 2000 . Susenas 2005- 2008 Catatan : Data Kota Serang bergabung dengan Kabupaten Serang dan Kota Tangerang Selatan bergabung dengan Kabupaten Tangerang
Data Kota Tangerang Selatan bergabung dengan Kabupaten Tangerang begitu juga Kota Serang masih gabung dengan Kabupaten Serang. Jumlah penduduk di suatu daerah, sebenarnya merupakan suatu aset dan potensi yang besar bagi pembangunan apabila penduduk tersebut berkualitas, sebaliknya apabila jumlah penduduk yang besar tersebut mempunyai kualitas yang rendah,
maka
akan
menjadi
beban
bagi
proses
pembangunan
yang
dilaksanakan. Pada tabel 4.1 dapat dilihat jumlah penduduk Banten dari tahun 1961-2008 semakin bertambah. Kecenderungan penduduk yang terus
40
bertambah dari tahun ke tahun ini bukan hanya disebabkan pertambahan penduduk secara alamiah, tetapi juga tidak terlepas dari migran baru yang masuk yang disebabkan daya tarik Provinsi Banten itu sendiri. Baik dilihat dari potensi daerah, seperti banyaknya perusahaan industri besar dan sedang di daerah Kabupaten/Kota Tangerang dan s e b a g ia n K a b u p a te n Serang, serta potensi pariwisata Pandeglang, Serang, dan daerah lainnya. Sehingga keterkaitan lapangan kerja dan makin kondusifnya kesempatan berusaha akan makin menarik pendatang dari luar.
Tabel 4.2 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2008
Kabupaten/Kota (1) Kabupaten 1. Pandeglang 2. Lebak 3. Tangerang 4. Serang Kota 5. Tangerang 6. Cilegon 7. Serang *) 8. Tangerang Selatan *) Jumlah/Total
Luas Wilayah Penduduk Kepadatan Penduduk (Orang) (Orang/Km2) (Km2) (2)
(3)
(4)
2 746,91 3 044,72 1 160,41 1 704,12
1 092527 1 234459 3 574048 1 826146
398 405 3 080 1 072
187 176 -
1 531666 343 599 -
8 192 1 958 -
9 018,64
9 602 45
1 065
Sumber : Banten Dalam Angka, 2008
Apabila dilihat menurut kabupaten/kota, penduduk terbanyak berada di Kabupaten Tangerang, kemudian berturut-turut Kabupaten Serang, Kota Tangerang, Lebak dan Pandeglang. Tetapi apabila dilihat dari tingkat kepadatan
41
penduduk, terlihat bahwa penyebaran penduduk di Provinsi Banten tidak merata. Hal ini terlihat dari timpangnya tingkat kepadatan penduduk per kabupaten/kota di Provinsi Banten. Tingkat kepadatan tertinggi pada tahun 2008 berada di Kota Tangerang (8.192 jiwa/km2) yang mempunyai luas wilayah paling kecil (187km2) sebagaimana terlihat pada tabel 4.2, sedangkan terendah di Pandeglang (398jiwa/km2) dengan luas wilayahnya terbesar kedua (2.746,91km2).
4.3
Kondisi Perekonomian Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
pembangunan suatu wilayah adalah perkembangan pendapatan per kapita penduduknya. Pendekatan yang umum digunakan untuk mengetahui pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah adalah melalui nilai PDRB per kapita. PDRB per kapita disajikan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan tetapi yang sering digunakan adalah PDRB per kapita atas dasar harga berlaku karena dipengaruhi oleh perubahan harga sehingga lebih menggambarkan keadaan yang sebenarnya pada tahun tertentu. PDRB per kapita merupakan besaran PDRB atas dasar harga berlaku dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB per kapita menggambarkan rata-rata besarnya penciptaan nilai tambah bruto tiap penduduk pada suatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun. Dalam melakukan pendekatan angka pendapatan perkapita dengan menggunakan data PDRB per kapita, diasumsikan nilai tambah yang masuk dan keluar seimbang atau dengan kata lain
42
penciptaan nilai tambah yang terjadi di Provinsi Banten kemudian dibawa ke luar sama dengan jumlah nilai tambah yang masuk ke Provinsi Banten.
Tabel 4.3 PDRB Per Kapita Provinsi Banten ADHB dan ADHK 2000 Menurut Kabupaten/Kota 2006-2008 (Rupiah) Atas Dasar Harga Berlaku
Atas Dasar Harga Konstan
Kabupaten/ Kota 2006 (2)
2007 (3)
2008 (4)
20006 (5)
2007 (6)
2008 (7)
Kab. Pandeglang
5,240,283
5,662,067
6,333,830
3,288,630
3,392,252
3,490,803
Kab. Lebak
4,595,988
4,982,349
5,467,796
2,867,496
2,940,986
3,000,163
Kab. Tangerang
8,329,950
8,915,643
9,826,884
5,221,193
5,409,729
5,584,230
Kab. Serang
7,055,442
7,590,967
8,260,899
5,942,551
6,181,973
6,410,195
Kota Tangerang
23,705,998
26,090,041
29,176,549
15,478,362
16,245,618
17,018,718
Kota Cilegon
43,715,477
47,447,935
52,426,983
30,068,855
31,118,636
32,151,783
10,610,241
11,407,775
12,756,903
6,650,331
6,902,711
7,168,033
(1)
Provinsi Banten
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2008
Mengamati perkembangan PDRB per kapita kabupaten atau kota yang ada di Provinsi Banten selama periode 2006-2008, menunjukkan adanya kenaikan setiap tahunnya. Hal ini dipengaruhi oleh iklim perekonomian nasional yang stabil sehingga berimbas terhadap membaiknya kegiatan perekonomian di Banten. Kenaikan yang terjadi tiap tahunnya menunjukkan bahwa secara nominal berarti pendapatan masyarakat Banten pada umumnya mengalami peningkatan, meskipun kenaikan tersebut masih dipengaruhi inflasi. Berdasarkan tabel 4.3, dapat dilihat bahwa Kota Cilegon, Tangerang, Serang dan Kabupaten Tangerang selalu menempati empat besar nilai PDRB per kapita tertinggi tiap tahunnya. Hal ini dapat terjadi karena pusat industri dan perekonomian Provinsi Banten terletak di wilayah tersebut, terutama Cilegon dan
43
Kota Tangerang. Sedangkan untuk wilayah Lebak dan Pandeglang yang merupakan sentra kegiatan pertanian di Provinsi Banten, kecilnya nilai PDRB per kapita dapat disebabkan karena penciptaan nilai tambah pada sektor pertanian tidak sebesar seperti pada sektor industri yang merupakan primadona di Provinsi Banten. Dari hasil pemaparan di atas dapat dilihat adanya kesenjangan nilai PDRB per kapita antara wilayah Banten, dalam hal ini Pandeglang dan Lebak dengan wilayah Banten lainnya, yaitu Serang , Cilegon dan Tangerang. Faktor-faktor penyebab lain selain perbedaan struktur ekonomi kedua wilayah tersebut diantaranya adalah perbedaan sumber daya dan faktor produksi yang dimiliki, khususnya sumber daya manusia. Serang , Cilegon dan Tangerang sebagai wilayah industri, jelas membutuhkan tenaga terdidik dan terampil. Sebaliknya, daerah pertanian kurang diminati oleh tenaga kerja yang berpendidikan tinggi sehingga banyak tenaga kerja berkualitas dari wilayah banten selatan yang melakukan migrasi ke daerah industri karena tertarik dengan banyaknya lapangan pekerjaan dan kompensasi yang akan didapat. Akibat dari perbedaan kualitas tenaga kerja ini maka berakibat pada terjadinya perbedaan tingkat produktivitas pekerja dalam menghasilkan output yang tentu saja berimbas pada proses penciptaan nilai tambah.
44
Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2006-2008 (%) Tahun Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 (1) (2) (3) (4) Kab. Pandeglang 4.00 4.14 3.62 Kab. Lebak 3.15 4.90 4.06 Kab. Tangerang 6.88 6.90 6.22 Kab. Serang 4.82 5.10 4.43 Kota Tangerang 6.85 6.86 6.37 Kota Cilegon 5.64 5.48 5.02 Banten 5.57 6.04 5.82 Sumber: BPS Provinsi Banten, 2008
Selain itu, strategi yang diterapkan pemerintahan sebelumnya dalam melaksanakan pembangunan ekonomi selama ini terlalu terfokus pada usaha mengejar angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari tahun ke tahun, namun seperti diketahui pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat tidak akan secara langsung
menaikkan
kesejahteraan
penduduk
khususnya
mereka
yang
berpendapatan rendah. Namun dalam rentang waktu tiga tahun terakhir telah terjadi perkembangan yang mengembirakan, dimana laju pertumbuhan ekonomi yang tak lain merupakan laju PDRB atas dasar harga konstan wilayah Pandeglang dan Lebak telah tumbuh cukup signifikan tiap tahunnya seiring dengan wilayah Banten. Pertumbuhan ekonomi wilayah Banten diharapkan dapat meningkatkan nilai PDRB per kapita pada tahun mendatang sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Selain itu luas wilayah Provinsi Banten yang tidak terlalu besar diharapkan dapat membuat Pemerintahan Provinsi Banten dapat lebih berkonsentrasi dalam usaha pemerataan hasil-hasil pembangunan di daerahnya.
45
4.4
Pembangunan Pendidikan Pembangunan di bidang pendidikan memegang peranan sentral dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Baiknya mutu pendidikan akan berdampak pada tersedianya manusia berkualitas yang akan mengisi kebutuhan akan sumber daya manusia yang baik
untuk
melaksanakan
program
pembangunan. Selama ini rendahnya kualitas sumber daya manusia diyakini sebagai faktor yang menyebabkan kurangnya apresiasi dan partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan yang dicanangkan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia mencerminkan buruknya mutu pendidikan karena pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Pentingnya pendidikan tercermin dalam UUD ’45 dan GBHN, dimana dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, program pendidikan mempunyai andil besar terhadap kemajuan sosial ekonomi suatu bangsa. Menyadari pentingnya pendidikan, pemerintah telah melaksanakan beberapa program untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang semuanya tertuang dalam sebuah sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional itu sendiri diartikan sebagai suatu usaha sadar yang terstruktur, terprogram dan sistematis bertujuan unutk membentuk kepribadian yang luhur dari setiap individu dan menguasai ilmu kehidupan – sains teknologi dan keahlian yang memadai –
46
serta membentuk akal dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, kreatif dan inovatif. Berbagai program yang dilaksanakan pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan termasuk pencanangan program wajib belajar sembilan tahun sejak tahun 1994 tidak serta merta dapat mendongkrak peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga program yang seharusnya berakhir pada tahun 2004 ini diperpanjang hingga tahun 2008. Serangkaian masalah yang menerpa dunia pendidikan seharusnya menjadi fokus utama segenap elemen masyarakat, terutama pemerintah sebagai pelaksana utama kegiatan pendidikan agar apa yang dicita-citakan negara melalui sistem pendidikan nasional dapat tercapai dengan baik. Berikut ini dijabarkan beberapa indikator pendidikan yang menggambarkan keadaan pendidikan di Provinsi Banten. 4.4.1. Pendidikan yang Ditamatkan Tingkat pendidikan yang telah ditamatkan oleh penduduk suatu wilayah dapat menggambarkan mutu sumber daya manusia yang tersedia di wilayah tersebut. Pada tahun 2008 tingkat pendidikan terakhir penduduk berusia 10 tahun ke atas di Banten masih didominasi oleh lulusan Tidak/Belum Tamat SD/MI/Sederajat, yaitu sebesar 35,50 persen. Sedangkan yang mampu menamatkan hingga tingkat diploma hingga sarjana/pasca sarjana hanya sebesar 1,96 persen.
47
Tabel 4.5 Persentase Penduduk 10 tahun ke atas menurut Jenis Kelamin dan Ijazah Tertinggi yang dimiliki di Provinsi Banten tahun 2008 (%) Tingkat Jenjang Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Total
(2)
(3)
(4)
30,88
40,36
35,50
SD/MI/Sederajat
33,74
32,93
33,35
SLTP/Sederajat
18,15
15,67
16,94
SLTA/SMK/Sederajat
15,00
9,37
12,26
Universitas
2,23
1,67
1,96
100,00
100,00
100,00
(1) Tidak/Belum Tamat SD/MI/Sederajat
JUMLAH Sumber: BPS Provinsi Banten, 2008
Banten sebagai provinsi baru sangat membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan. Rendahnya kualitas SDM dapat menyebabkan terhambatnya roda pembangunan. Akibat lain dari tidak terpenuhinya kebutuhan SDM yang berkualitas adalah masuknya
SDM dari
wilayah lain yang dapat membuat tersingkirnya SDM Banten karena kalah dalam bersaing. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut Pemerintah Provinsi Banten dituntut untuk segera melakukan usaha meningkatkan kualitas SDM lokal, salah satunya adalah melalui usaha peningkatan tingkat pendidikan penduduknya. 4.4.2. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia dimana pada pendidikan formal sasarannya adalah penduduk usia sekolah, yaitu penduduk usia 7-12 tahun, 13-15 tahun, 16-
48
18 tahun dan 19-24 tahun. Pembangunan pendidikan di Indonesia diprioritaskan pada penduduk usia 7-15 tahun melalui program wajib belajar pendidikan dasar Tabel 4.6 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten Tahun 2007 - 2008 (%) 2007 2008 Kelompok Umur L P L+P L P L+P (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 7-12 Tahun 98,28 97,26 97,77 98,32 97,42 97,89 13-15 Tahun
81,32 75,94 78,64 81,43 76,20 78,93
16-18 Tahun
50,03 39,42 45,22 49,55 36,70 43,74
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2008
Angka partisipasi sekolah (APS) menggambarkan proporsi penduduk kelompok umur sekolah yang masih sekolah. Pola yang terlihat berdasarkan ndic 4.6 adalah APS yang turun sejalan dengan naiknya kelompok umur. Namun begitu, program wajib belajar 6 tahun yang dicanangkan pemerintah sejak 1984 telah membuat APS kelompok umur 7-12 tahun tinggi tiap tahunnya. Sedangkan turunnya APS pada kelompok umur yang lebih tinggi disebabkan oleh makin tingginya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orang tua murid, sehingga banyak keluarga yang lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan dasarnya dibandingkan menyekolahkan anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. 4.4.3. Angka Melek Huruf Prestasi pembangunan manusia akan diukur melalui seberapa jauh masyarakat di kawasan tersebut telah memanfaatkan sumber dayanya untuk memberikan fasilitas kepada warganya agar menjadi lebih cerdas. Kecerdasan sumber daya manusia di suatu wilayah akan meningkatkan mutu peran manusia tersebut sebagai pelaku pembangunan.
49
Terdapat dua jenis indikator pendidikan, yaitu angka melek huruf dan ratarata lama
sekolah. Kedua indikator pendidikan ini diharapkan dapat
mencerminkan tingkat pengetahuan dan ketrampilan penduduk. Yang dimaksud dengan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dengan menggunakan huruf latin. Pembatasan penghitungan angka melek huruf pada kelompok usia 15 tahun ke atas adalah untuk membatasi proporsi penduduk yang usianya dianggap telah mencukupi untuk belajar membaca dan menulis dalam huruf latin, baik melalui jalur formal maupun non formal. Tabel 4.7 Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2002 – 2008 (%) Angka Melek Huruf Kab/Kota 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 01 Pandeglang 94.7 94.9 94.8 95.5 95.5 96.3 96.3 02 Lebak 90.2 91.4 93.9 94.1 94.1 94.1 94.1 03 Tangerang 93.7 93.7 94.0 94.7 94.7 95.3 95.3 04 Serang 91.9 92.9 93.8 94.6 95.5 95.5 95.5 71 Tangerang 96.9 98.5 97.2 97.2 97.2 98.3 98.3 72 Cilegon 98.5 98.6 98.7 98.7 98.7 98.7 98.7 Banten 93.8 94.2 94.0 95.6 95.6 95.6 95.6 Sumber: BPS Provinsi Banten, 2008
Dapat terlihat bahwasannya setiap Kabupaten/kota di provinsi Banten menunjukkan bahwa penduduk usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis mengalami kenaikan.
50
4.5
Gambaran Umum keadaan Tenaga Kerja Pengangguran hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumit yang sulit
ditangani pemerintah. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami Indonesia telah membuat sektor andalan yang banyak menyerap tenaga kerja seperti industri dan jasa kolaps. Kemudian dengan alasan untuk tetap survive di era krisis, banyak pengusaha yang melakukan efisiensi dengan melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya. Atau bahkan jika sudah tidak sanggup lagi menanggung beban, banyak pabrik yang tutup akibat bangkrut atau dinyatakan pailit. Kejadian-kejadian di atas ditambah dengan minimnya penciptaan lapangan kerja akibat rendahnya pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan tidak tertampungnya angkatan kerja baru semakin menambah jumlah pengangguran di Banten. Tabel 4.8 Jumlah Partisipasi Penduduk Dirinci Berdasar Jenis Kegiatan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2007 - 2008 (Orang) Kabupaten/Kota (1) 1 Kab. Pandeglang 2 Kab. Lebak 3 Kab. Tangerang 4 Kab. Serang 71 Kota Tangerang 72 Kota Cilegon Provinsi Banten
Bekerja 2007 2008 (2) (3) 412,219 416,319 449,252 474,846 1,282,821 1,405,901 575,751 602,539 543,704 642,049 119,914 127,241 3,383,661 3,668,895
Jenis Kegiatan Pengangguran 2007 2008 (4) (5) 45,901 52,119 63,324 56,807 233,357 252,574 119,020 118,983 139,587 146,906 31,573 29,171 632,762 656,560
Angkatan Kerja 2007 2008 (6) (7) 458,120 468,438 512,576 531,653 1,516,178 1,658,475 694,771 721,522 683,291 788,955 151,487 156,412 4,016,423 4,325,455
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2008
Dengan meningkatnya jumlah pengangguran, seharusnya telah membuat pemerintah mencurahkan perhatian penuh terhadap masalah pengangguran dan melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menanggulanginya, untuk mengatasi
51
pengangguran, yakni padat karya produktif, memperluas perkebunan melalui transmigrasi, usaha mandiri dan TKPMP (tenaga kerja pemuda mandiri profesional). Selain itu Depnakertrans bekerjasama dengan departemen terkait akan merumuskan kebijakan dan langkah penanggulangan melalui perluasan lapangan kerja, peningkatan mutu sumber daya manusia, peningkatan kesejahteraan pekerja serta membina hubungan industrial yang harmonis guna menciptakan iklim yang kondusif untuk mendorong investasi usaha. Proses penciptaan lapangan pekerjaan sangat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi maka semakin marak kegiatan perekonomian yang berarti semakin banyak pula tenaga kerja yang diperlukan untuk mengerakkan roda perekonomian. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mungkin tercapai tanpa adanya dorongan yang besar dari investasi dan ekspor. Tabel 4.9 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Penduduk Berumur 10 tahun ke atas Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten Tahun 2007 - 2008 (%) Kabupaten/Kota
2007
2008
(1) 1 Kab. Pandeglang
(2) 64.77
(3) 65.44
2 Kab. Lebak
66.87
67.62
3 Kab. Tangerang
62.13
65.89
4 Kab. Serang
58.87
60.14
71 Kota Tangerang
58.24
66.00
72 Kota Cilegon
59.39
59.99
Provinsi Banten
61.57
64.80
Sumber: BPS Provinsi Banten
52
Untuk Provinsi Banten, gambaran tentang proporsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja atau mencari pekerjaan) dapat diketahui melalui angka TPAK seperti yang tercantum dalam tabel 4.9 Dari tabel tersebut diperoleh bahwa TPAK Banten pada tahun 2008 adalah sebesar 64,80 persen. Artinya porsi penduduk usia kerja yang terlibat dalam kegiatan ekonomi di provinsi ini hanya 64,80 persen dari total penduduk usia kerja (penduduk 10 tahun keatas).Jika diamati menurut wilayah, pada tahun 2008 tampak bahwa penduduk Lebak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi mempunyai porsi paling tinggi dengan TPAK sebesar 67,62 persen. Sedangkan Kota Cilegon TPAK-nya masih di bawah 60 persen, yaitu sebesar 59,99 persen. Tabel 4.10 Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Kabupaten/ Kota Di Provinsi Banten Tahun 2007 - 2008 (%) Kabupaten/Kota
2007
2008
(1) 1 Kab. Pandeglang
(2) 10.02
(3) 11.13
2 Kab. Lebak
12.35
10.68
3 Kab. Tangerang
15.39
15.23
4 Kab. Serang
17.13
16.49
71 Kota Tangerang
20.43
18.62
72 Kota Cilegon
20.84
18.65
Provinsi Banten
15.75
15.18
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2008
Sedangkan tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2008 tercatat sebesar 15,18 persen, turun dari tahun 2007 sebesar 15,75 persen. Pada tahun 2008 wilayah dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Kota Cilegon, hal ini sejalan
53
dengan angka TPAKnya yang merupakan terkecil di Banten. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.10
4.6
Gambaran Belanja Modal Pemerintah Belanja Modal Adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya
menambah aset tetap/inventaris yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Table 4.11 Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/kota se Provinsi Banten pada Tahun 2006 – 2008 (Juta Rupiah) Kabupaten/Kota
2006
(1) 1. Kab. Pandeglang
(2) 286,719.15
(3) 252,996.32
(4) 421,688.92
97,277.70
268,856.58
271,531.36
3. Kab. Tangerang
456,941.98
516,512.92
594,459.01
4. Kab. Serang
201,298.22
207,076.51
207,822.13
5. Kota Tangerang
222,318.53
349,598.10
240,180.58
6. Kota Cilegon
117,492.11
147,784.48
187,981.40
2. Kab. Lebak
2007
2008
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2008
Dengan melihat tabel diatas bahwa setiap tahun terjadi peningkatan belanja modal pemerintah tingkat kabupaten/kota di Provinsi Banten, yang meskipun terlihat tidak signifikan perubahannya misalnya pada tahun 2006 di Kabupaten Lebak anggaran belanja sebesar 97,277 milyar kemudian pada tahun 2007 meningkat yang hampir tiga kalinya yaitu sebesar 268,856 milyar. Dan untuk tahun 2008 belanja modal pemerintah terbesar adalah dari Kabupaten Tangerang. Dengan begitu perlu adanya perencanaan yang matang mengenai kegiatan-
54
kagiatan di pengguna
anggaran, yang dikategorikan sebagai belanja modal
sehingga, perencanaan belanja untuk membiayai kegiatan dimaksud harus benarbenar merupakan aspirasi dari tingkat pengguna anggaran, dan hasil akhirnya merupakan proses dari pembahasan yang betul-betul rasional. Perlunya penyiapan sumber daya manusia pengelola keuangan di pengguna anggaran secara baik sehingga mampu mengikuti kebijaksanaan-kebijaksanaan baru yang selalu berubah.
55
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Pembangunan Ekonomi di Provinsi Banten Pertumbuhan ekonomi merupakan realisasi hasil pembangunan ekonomi
yang dilaksanakan pada suatu daerah dalam suatu periode. Gambaran kinerja ekonomi dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Fluktuasi laju pertumbuhan ekonomi secara riil periode 2001 - 2008 di Provinsi Banten dapat dilihat melalui penyajian laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan. Tabel 5.1. Laju Petumbuhan PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Banten Tahun 2001-2008 (%) Lapangan Usaha
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Pertanian
4.74
1.61
2.96
2.07
2.66
(0.63)
4.22
3.18
Pertambangan Dan Penggalian
14.73
2.29
5.50
4.75
4.82
3.75
12.65
14.23
Industri Pengolahan
4.13
2.70
3.41
4.39
4.42
5.43
3.10
2.31
Listrik, Gas Dan Air Bersih
8.20
6.96
5.63
5.99
6.22
(2.19)
4.73
7.76
BANGUNAN
0.26
5.45
5.51
9.71
9.52
5.18
13.10
6.92
Perdagangan, Hotel Dan Restoran
1.82
6.06
5.81
6.25
8.84
7.28
11.52
10.95
Pengangkutan Dan Komunikasi
8.73
7.15
6.64
9.65
8.16
10.31
6.71
7.27
(8.82)
14.61
50.82
21.39
11.98
8.23
13.24
16.45
3.96
6.56
4.84
6.10
6.46
9.44
9.62
12.33
3.95
4.11
5.07
5.63
5.88
5.57
6.04
5.82
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB Sumber: PDRB BPS, 2008
Berkaitan dengan suatu sektor memiliki laju pertumbuhan relatif tinggi pada kurun waktu yang relatif panjang, maka diharapkan sektor ini mampu mengangkat perekonomian di Provinsi Banten. Sebaliknya, bila suatu sektor
56
memiliki laju pertumbuhan relatif rendah atau bahkan minus, maka akan menimbulkan kekhawatiran bahwa sektor ini akan cenderung memperlambat laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten secara keseluruhan, namun masih perlu diperhatikan sumbangan masing masing sektor terhadap pertumbuhannya. Dalam kurun waktu 2001 – 2008, perekonomian Provinsi Banten mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup berfluktuatif. Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten mulai tahun 2001 hingga tahun 2005 terus mengalami kenaikan yaitu dari 3,95 persen pada tahun 2001 menjadi 5,88 persen pada tahun 2005, sedangkan pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam kurun waktu penelitian adalah pada tahun 2007 yaitu sebesar 6,04 persen. Sejak tahun 2001 hingga 2008 hampir keseluruhan sektor ekonomi yang ada memiliki pertumbuhan positif, kecuali pada keuangan, persewaan dan jasa perusahaan pada tahun 2001 yang mengalami nilai berfluktuatif. Pada tahun 2006, sektor listrik gas dan air bersih memiliki laju pertumbuhan yang negatif yaitu negatif 2,19 persen dan sektor pertanian sebesar negatif 0,63 persen, namu kondisi ini tidak terus berlangsung akhirnya pada tahun 2007 dan 2008 telah terjadi pertumbuhan yang positif di semua sektor. Pada tahun 2006-2008 sektor yang mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi yaitu keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tingginya laju pertumbuhan pada sektor ini disebabkan semakin banyaknya kebutuhan untuk kegiatan perekonomian baru dan semakin mudahnya layanan perbankan, begitu juga semakin meningkatnya pembangunan fisik di provinsi banten. Sektor lain yang juga memiliki laju pertumbuhan tinggi pada tahun 2006-2008 adalah sektor
57
pertambangan dan penggalian serta bangunan masing-masing berkisar antara 6 sampai 15 persen. Hingga tahun 2008, kedua sektor merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi. Jika dilihat menurut kabupaten/kota di provinsi banten maka rata-rata pertumbuhan PDRB dari tahun 2001 – 2008 yang tertinggi adalah Kabupaten Cilegon yaitu 6,55 persen. Pada tahun-tahun berikutnya mulai tahun 2001 hingga tahun 2008, pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten/kota di provinsi banten bernilai positif, Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai pertumbuhan dibawah rata-rata Provinsi Banten pada tahun yang sama yaitu: kabupaten pandeglang, lebak dan serang Tabel 5.2. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2001-2008 (%) Kabupaten/Kota
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Pandeglang
3.96
5.05
4.56
5.18
5.84
4.00
4.14
3.62
Lebak
4.90
3.36
3.50
4.06
3.74
3.15
4.90
4.06
Tangerang
5.17
4.66
4.45
6.41
7.32
6.88
6.90
6.22
Serang
3.10
3.52
4.23
4.39
4.39
4.82
4.71
3.95
Tangerang
3.43
5.94
6.92
5.75
6.89
6.85
6.86
6.37
Cilegon
8.32
7.10
7.27
7.31
6.23
5.64
5.48
5.02
PDRB
3.95
4.11
5.07
5.63
5.88
5.57
6.04
5.82
Sumber: PDRB BPS, 2008
Perbandingan pertumbuhan PDRB antar kabupaten/kota dapat dilihat pada gambar
5.2.
Pertumbuhan
PDRB
Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten.
kabupaten/kota
relatif
sama
dengan
58
9.00 8.00 7.00
Pandeglang
6.00
Lebak Tangerang
5.00
Serang 4.00
Tangerang
3.00
Cilegon
2.00
provinsi
1.00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Gambar 5.1. Grafik Pertumbuhan PDRB menurut kabupaten/kota, 2001 – 2008
5.2
Struktur Perekonomian Provinsi Banten Sumbangan sektoral dalam PDRB adhb digunakan sebagai salah satu
ukuran dalam melihat struktur perekonomian suatu wilayah. Jika suatu sektor sumbangannya relatif besar maka sedikit gangguan dalam sektor ini akan mengakibatkan masalah pada perekonomian diwilayah tersebut. Namun demikian, sektor dengan kontribusi yang kecil tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab mungkin sekali sektor tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan dan akan menjadi andalan wilayah di waktu yang akan datang. Hal lain yang dijadikan pertimbangan dalam menentukan pola perekonomian ini adalah kenyataan adanya tahap-tahap pertumbuhan ekonomi dalam perjalanan suatu wilayah (dari sektor primer ke sektor sekunder kemudian ke sektor tersier). Berdasarkan PDRB adhb dapat dilihat perubahan struktur ekonomi yang terjadi di provinsi banten. Perubahan struktur ekonomi relatif tidak banyak
59
berubah. Perubahan yang terjadi dari tahun 2001 ke tahun 2008 terlihat pada sektor industri dan sektor pertanian mengalami penurunan, sedangkan sektor perdagangan dan jasa serta pengangkutan mengalami peningkatan. Tabel 5.3 Distribusi PDRB ADHB Menurut Sektor di Provinsi Banten Tahun 2001-2008 (%) Lapangan Usaha
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Pertanian
9.64
9.36
9.08
9.01
8.86
8.54
7.77
7.93
Pertambangan Dan Penggalian
0.1
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.1
0.11
Industri Pengolahan
52.61
53.03
51.82
50.77
50.16
49.75
49.7
47.8
Listrik, Gas Dan Air Bersih
4.08
4.2
5.16
5.1
5.07
4.87
4.23
4.04
BANGUNAN
2.58
2.45
2.45
2.47
2.58
2.73
2.89
3.03
Perdagangan, Hotel Dan Restoran
17.73
17.36
17.21
17.27
17.11
17.13
17.45
18.97
Pengangkutan Dan Komunikasi
7.29
7.47
7.73
7.79
8,00
8.58
9.38
9.24
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
1.78
1.46
1.68
2.63
3.16
3.29
3.34
3.54
Jasa-Jasa
4.21
4.56
4.76
4.85
4.97
5.02
5.12
5.32
PDRB
100
100
100
100
100
100
100
100
Sumber: PDRB BPS, 2008
Pada tahun 2008, secara umum di Provinsi Banten terdapat tiga sektor yang memberikan sumbangan terbesar yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan pengangkutan dan komunikasi, sedangkan sektor yang paling kecil kontribusinya yaitu pertambangan dan penggalian (gambar 5.2).
60
9. JASA-JASA, 5.71 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN, 3.83 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI, 9.29
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN, 20.1
1. PERTANIAN, 8.38 2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN, 0.11
3. INDUSTRI PENGOLAHAN, 45.25
5. B A N G U N A N, 3.25 4. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH, 4.06
Gambar 5.2. Struktur Ekonomi Provinsi Banten menurut Lapangan Usaha, 2008 5.3
Tingkat Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Banten Adanya sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang
sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan industri di daerah tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Banten. Untuk melihat ketimpangan antar propinsi dapat digunakan indeks Williamson. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson di provinsi banten dapat dilihat pada gambar 5.3. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai indeks ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Banten dari tahun 2001 - 2008 cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,63-0,67. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar kabupaten di Banten terjadi ketimpangan pendapatan yang cukup besar. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar daerah.
61
indeks 0.67 0.66 0.65 0.64 indeks
0.63 0.62 0.61 0.6 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Gambar 5.3. Grafik Indeks Ketimpangan di Provinsi Banten, 2001-2008
Dari tahun 2001-2008, indeks williamson menunjukkan peningkatan yang terus meningkat, hal ini menunjukkan semakin terjadi ketimpangan di Provinsi Banten, Pada tahun 2001 mulai diberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah. Dengan adanya otonomi daerah setiap wilayah mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang mempunyai potensi yang besar dan kelembagaan yang solid akan lebih cepat berkembang dibandingkan daerah lainnya. Masing-masing daerah bersaing untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan regional meningkat, hal ini disebabkan karena perbedaan kesiapan dari masingmasing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka mendorong prases pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Tingkat ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya setelah awal pemberlakuan otonomi
62
daerah
berangsur-angsur meningkat, sampai pada tahun 2008, nilai indeks
williamsonnya adalah 0,67. Ketimpangan akibat proses pembangunan pada permulaannya cenderung meningkat, dan akan mencapai titik puncak, setelah itu, apabila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi Provinsi Banten dengan ketimpangan antar kabupaten/kota dihasilkan korelasi yang positif dengan dengan tingkat hubungan positif sebesar 0,96.
Tabel 5.4 Matrik Korelasi antara Indeks Ketimpangan dan Pertumbuhan Ekonomi
Korelasi
Indeks Ketimpangan
Pertumbuhan Ekonomi
1
0,960(**)
Pearson Correlation Indeks_ketimpangan
Sig. (2-tailed)
0,000
N Pearson Correlation
8
8
0,960(**)
1
Pertumbuhan_ekonomi Sig. (2-tailed) N
0,000 8
8
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Selain
melihat
angka
ketimpangan
dengan
indeks
williamson,
ketimpangan yang terjadi dapat dilihat juga dengan analisis Klassen Typology. Melalui analisis Klassen Typology, dapat dilihat bagaimana pengklasifikasian setiap kabupaten/kota di Banten. Dalam Studi ini, Analisis Klassen Typologi digunakan untuk membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu
63
pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Berdasarkan pengolahan data, kita dapat membagi kabupaten/kota di Provinsi Banten menjadi 4 klasifikasi sesuai dengan Klassen Typologi. Data yang digunakan rata-rata dari pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita tahun 2001-2008 Keterangan: Tabel 5.5 Klasifikasi Daerah Menurut Klassen Typology Kuadran I Kota Tangerang Kota Cilegon
Kuadran II
Kuadran III
Kab tangerang
Kuadran IV Kab Pandeglang Kab Lebak Kab Serang
Pengklasifikasian berdasarkan Klassen Typology ini bersifat dinamis karena sangat tergantung pada perkembangan kegiatan pembanguan pada propinsi yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa dalam periode waktu penelitian yang berbeda, pengklasifikasian akan dapat berubah sesuai dengan perkembangan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan per kapita di masing-masing daerah pada saat itu. Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang masuk dalam daerah yang relatif tertinggal karena jangka waktu penelitian yang dilakukan adalah 2001 – 2008 terlihat rata rata pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapitanya dibawah rata rata Provinsi Banten.
64
5.4
Pengaruh Belanja Modal Pemerintah (BM), Angkatan Kerja (AK) dan Angka Melek Huruf (AMH) terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Banten Pengujian kesesuai model dalam persamaan pengaruh belanja modal,
angkatan kerja dan angka melek huruf terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan dalam dua tahap yaitu membandingkan pooled model dengan fixed effects model kemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random model. Pengujian dilakukan dengan variabel bebas pengaruh belanja modal, angkatan kerja dan angka melek huruf. A. Membandingkan OLS/pooled model dengan fixed effects model Pemilihan pooled model atau fixed effects model dilakukan dengan uji F. Dari uji yang dilakukan nilai Fstatistik yang diperoleh yaitu 474,72. Sedangkan nilai Ftabel pada taraf α =1% adalah 0,00. Nilai Fstatistik lebih besar dari pada nilai Ftabel, hal ini berarti terdapat heterogenitas individu pada model data panel persamaan pengaruh ketiga faktor terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan OLS/ pooled model. B. Membandingkan fixed effects model dengan random effects model Untuk membandingkan apakah fixed effects model atau random effects model yang lebih sesuai digunakan, maka dilakukan uji tes Hausman. Statistik uji tes Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan degree of freedom sebanyak jumlah variabel bebas dari model. Uji kesesuaian model data panel dengan fixed effects dan random effects
65
menggunakan tes Haussman menunjukkan nilai p-value χ 2 < 0,05; hal ini berarti model persamaan pengaruh Pengaruh Belanja Modal (BM), Angkatan Kerja (AK) dan Angka Melek huruf terhadap pertumbuhan ekonomi memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Dengan demikian fixed effects model lebih sesuai digunakan. Pengujian asumsi dilakukan untuk memastikan bahwa model yang dipilih telah memenuhi asumsi yang telah ditentukan, antara lain: A. Otokorelasi Model yang dipilih harus memenuhi asumsi terbebas dari otokorelasi. Pengujian asumsi ini dilakukan dengan menghitung nilai statistik uji Durbin Watson. Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,344, dengan nilai dL sebesar 1,383 dan dU sebesar 1,666, maka nilai statistik Durbin Watson berada pada daerah otokorelasi positif, sehingga dapat diasumsikan model terdapat otokorelasi positif.
Tabel 5.6. Nilai Statistik Model Pengaruh Angkatan Kerja, Belanja Modal Pemerintah dan Angka Melek Huruf terhadap Pertumbuhan Ekonomi Weighted Statistics R-squared
0.996272
Mean dependent var
23.52561
Adjusted R-squared
0.995507
S.D. dependent var
14.12421
S.E. of regression
0.060580
Sum squared resid
0.143127
F-statistic
1302.718
Durbin-Watson stat
1.344756
Prob(F-statistic)
0.000000
66
Mengingat metode fixed effect tidak membutuhkan asumsi terbebasnya model dari serial korelasi, maka uji tentang otokorelasi dapat diabaikan (Nachrowi dan Usman, 2006). B. Multikolinieritas Pengujian asumsi selanjutnya adalah pengujian multikolinieritas, dimana model yang dipilih harus terbebas dari multikolinieritas, atau dapat dikatakan bahwa tidak ada korelasi tinggi antara variabel-variabel independen.
Berdasarkan matriks korelasi pearson antar variabel
independen terlihat bahwa korelasi antar variabel cukup rendah, sehingga dapat disimpulkan model telah memenuhi asumsi terbebas dari multikolinieritas, sehingga dapat disimpulkan bahwa model memenuhi asumsi terbebas dari multikolinieritas. Tabel 5.7. Matriks Korelasi Antarvariabel Independen Correlation Matrix PDRB
BM
AK
AMH
PDRB
1.000000
0.577013
0.298183
0.479800
BM
0.577013
1.000000
0.495548
0.245071
AK
0.298183
0.495548
1.000000
-0.501738
AMH
0.479800
0.245071
-0.501738
1.000000
C. Heteroskedastisitas Pengujian asumsi terakhir adalah uji heteroskedastisitas yang dilakukan dengan White test. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai R2 sebesar 0,997129, sehingga nilai statistik uji White adalah sebesar 5,973.
67
Nilai chi-square table dengan derajat bebas 6 pada taraf keberartian 5 % adalah sebesar 1,635, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang artinya terdapat heteroskedastisitas dalam model yang dipilih. Untuk mengatasi adanya heteroskedastisitas dalam model maka metode estimasi yang dipilih diperbaiki dengan metode Generalized Least Squared (GLS) atau disebut juga metode cross section weight. Untuk menguji validitas model pengaruh belanja modal, angkatan kerja dan angka melek huruf terhadap pertumbuhan ekonomi, dilakukan serangkaian uji antara lain: A. Uji F Uji F dilakukan dalam penelitian ini, untuk melakukan uji hipotesis koefisien regresi secara bersamaan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai Fstatistik sebesar 1302,7, dengan nilai prob(Fstatistik) sebesar 0,0000.
Dengan
demikian
diperoleh
kesimpulan
bahwa
variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh secara siginifikan terhadap variabel dependen, karena nilai F-hitung > F-tabel sehingga kita menolak hipotesis nul. Hal ini diperkuat pula dengan nilai prob (F-statistik) sebesar 0,000. B. Koefisien Determinasi Sesuai dengan teori statistik, dimana nilai koefisien determinasi (R2) mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat dapat diterangkan oleh variabel bebas. Model dari persamaan pengaruh belanja modal, angkatan kerja dan angka melek huruf dalam penelitian ini
68
memiliki R2 sebesar 0,996, yang berarti model mampu menjelaskan variabel pertumbuhan ekonomi sebesar 99,6 persen
Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi menunjukkan bahwa semua variabel belanja modal pemerintah, angkatan kerja dan angka melek huruf berhubungan secara positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel angka melek huruf tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena angka melek huruf berhubungan pertumbuhan ekonomi tetapi dalam jangka yang lebih panjang, yaitu selain melek huruf perlu adanya tingkat pendidikaan yang lebih tinggi sehingga nantinya akan mampu meningkatkan produktivitas dari penduduk tersebut . Hasil estimasi dari variabel-variabel bebas tersebut, angkatan kerja mempunyai nilai elastisitas yang terbesar yaitu sebesar 0,73 berikutnya angka melek huruf (tidak signifikan) dan belanja modal sebesar 0,11. Tabel 5.8. Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh BM, AK dan AMH terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Banten Variabel tidak bebas : PDRB ADHK 2000 perkapita Variabel bebas Koefisien
Nilai Statistik t
Prob.
(1) Belanja Modal*
(2) 0.114747
(3) 7.175779
Angkatan Kerja*
0.730816
7.583097
0.0000
Angka Melek huruf***
1.325431
1.698842
0.0973
R-squared
0.996272
Adjusted R-squared
(4) 0.0000
0.995507 Keterangan: * signifikan pada α = 1% , ** signifikan pada α = 5% ,*** tidak signifikan
69
Model dari persamaan pengaruh belanja modal pemerintah, angkatan kerja dan angka melek huruf mempunyai nilai Adjusted R-squared (koefisien determinan) sebesar 0,9955 yang berarti model mampu menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi sebesar 99,55 persen. Sedangkan pada masing-masing variabel bebas belanja modal pemerintah, angkatan kerja dan angka melek huruf yang signifikan dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Variabel belanja modal dengan tingkat elastisitas sebesar 0,11 artinya setiap kenaikan Belanja Modal sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,11 persen. 2. Variabel angkatan kerja dengan tingkat elastisitas 0,73 artinya setiap kenaikan
angkatan
kerja
sebesar
1
persen
akan
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,73 persen. Dari kedua variabel yang signifikan tersebut, yang paling besar pengaruhnya yaitu angkatan kerja dengan tingkat elastisitas 0,73. Angka elastisitas ini tergolong cukup besar. Jika dilihat dari data yang digunakan maka penggunaan data angkatan kerja sangat tepat, sehingga memberikan nilai yang signifikan dan dengan tingkat elastisitas yang tinggi. Di Provinsi Banten angkatan kerja berdasarkan lapangan usaha yang terbesar adalah perdagangan, pertanian dan industri, sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga lapangan usaha ini juga termasuk sektor unggulan maka dengan didukung angkatan kerja yang besar sangan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten Belanja modal pemerintah dengan tingkat elastisitas 0,11 mempunyai peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kegiatan
70
ekonomi yang nantinya menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari peranan pemerintah yang menyediakan berbagai fasilitas umum, dimana fasilitas fasilitas tersebut dapat diadakan oleh pemerintah melalui belanja modal yang ada di setiap kabupaten/kota sejak otonomi daerah bergulir. Sehingga untuk lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi masing masing daerah dapat lebih mengawasi dan mengontrol penggunaan dana tersebut dalam pembangunan, agar lebih tepat pada perencanaannya.
71
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten dari tahun 2001 - 2008 sangat berfluktuasi, namun tetap menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan ekonomi paling tinggi terjadi pada tahun 2007, sektor yang mempunyai kontribusi tertinggi di Provinsi Banten yaitu industri pengolahan dan perdagangan pada tahun terakhir ini. 2. Ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Banten pada tahun 2001-2008 cukup tinggi yaitu 0,63 sampai 0,67, dan hanya dua wilayah yang menunjukkan daerah maju yaitu Kota Tangerang dan Kota Cilegon. 3. Belanja Modal (BM), Angkatan Kerja (AK) dan Angka Melek Huruf (AMH) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten.Angkatan kerja mempunyai nilai elastisitas yang terbesar yaitu sebesar 0,733 berikutnya angka melek huruf (tidak signifikan) dan belanja modal sebesar 0,11.
6.1. Saran 1. Pemerintah
provinsi
dengan
pemerintah
kabupaten/kota
hendaknya
meningkatkan koordinasi dalam merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan daerah, serta mengevaluasi hasil yang sekarang sudah dicapai. Melalui kebijakan tersebut diharapkan ketimpangan antar daerah dapat
72
dikurangi, salah satu kebijakannya adalah memberikan bantuan operasional terhadap kabupaten/kota yang masih tertinggal. 2. Belanja Modal (BM) sebaiknya lebih menjadi perhatian khusus bagi pemerintah karena berkaitan erat dengan fasilitas publik, karena dengan fasilitas tersebut kegiatan perekonomian akan dapat berjalan lebih lancar sehingga pertumbuhan ekonomi dapat di tingkatkan. Angkatan Kerja (AK) relatif lebih efisien terhadap pertumbuhan ekonomi diharapkan pemerintah Provinsi Banten perlu memberikan perhatian lebih sehingga produktivitas dan kualitasnya semakin meningkat., salah satu campur tangan dari pemerintah dari sisi jaminan sosial yang nantinya kesejahteraan pekerja dapat terpenuhi sehingga produktivitas meningkat dan pertumbuhan ekonomi semakin tumbuh 3. Dengan menggunakan angka melek huruf sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam skripsi ini, sebaiknya bagi peneliti selanjutnya menggunakan variabel pendidikan yang secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan, karena angka melek huruf kurang signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara langsung.
73
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. Provinsi Banten dalam Angka 2000 – 2008. BPS Provinsi Banten, Serang. ------------------------- PDRB Menurut Lapangan Usaha dari Tahun 2000 – 2008 BPS Provinsi Banten, Serang. ------------------------- Publikasi IPM dari Tahun 2000 – 2008. BPS Provinsi Banten, Serang. ------------------------- Laporan Keuangan Daerah dari Tahun 2000 – 2008. BPS Provinsi Banten, Serang. Daerobi, A. dkk. 2007. Dampak Pengembangan Sector Pertanian terhadap Pengentasan Kemiskinan di Jawa Tengah, Jurnal Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 1-24 Fachrurro, M. 2008. Pengaruh Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Pajak Serta Retribusi Daerah. Universitas Islam Indonesia, Yogjakarta. Firdaus, M dan I. Tony. 2009. Panel Data Analysis. [Modul]. IPB, Bogor. Firmanto, M. S. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Periode 1984-2002. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Hartati, S. 2008. Pengaruh Utang Luar Negeri dan Tabungan Domestik terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Asean: Sebuah Aplikasi Data Panel. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hanum, N. 2003. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Selama Kurun Waktu Tahun 1981-2001. Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara, Medan. Hidayat, A. 2009. Kontribusi Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Pendidikan dan Budaya. 2 September 2009. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Terjemahan dari Macroeconomics. Sixth Editon. Worth Publishers. Liza, F dan Imam Nurmawan, [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
74
Nachrowi, N.D. dan Usman, H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika. Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta. Roza, P. 2007. Pendidikan dan Mutu Manusia, Jurnal Sosioteknologi edisi 12 tahun 6, desember 2007 Rudi, H.S. 2006. Identifikasi Sektor Unggulan untuk Mendukung Perencanaan Pembangunan Ekonomi Kabupaten Toba Samosir. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Prisma LP3ES, Jakarta. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Sukirno, S. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Supranto, P. 2004 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1986-2002. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Todaro M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Edisi ketujuh. Erlangga, Jakarta
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. Model Estimasi Parameter dengan menggunakan Metode Pooled Least Square
Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 10/16/09 Time: 12:45 Sample: 2001 2008 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 48 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
BM AK AMH C
0.028992 0.714132 24.46156 -105.3588
0.126562 0.164117 4.259942 20.08337
0.229070 4.351351 5.742228 -5.246073
0.8199 0.0001 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.618806 0.592815 0.465039 9.515500 -29.27035 0.130242
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
15.88785 0.728776 1.386265 1.542198 23.80892 0.000000
77
Lampiran 2. Model Estimasi Parameter dengan menggunakan Metode Fixed Effect (sebelum dilakukan uji white)
Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 10/16/09 Time: 12:47 Sample: 2001 2008 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 48 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
BM AK AMH C
0.095277 0.723577 1.747604 -2.728328
0.018049 0.154890 1.047709 4.397712
5.278702 4.671555 1.668023 -0.620397
0.0000 0.0000 0.1033 0.5386
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.993838 0.992574 0.062802 0.153819 69.72722 0.837486
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
15.88785 0.728776 -2.530301 -2.179451 786.2576 0.000000
78
Lampiran 3. Model Estimasi Parameter dengan menggunakan Metode Fixed Effect (setelah dilakukan uji white)
Dependent Variable: PDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 10/16/09 Time: 13:12 Sample: 2001 2008 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 48 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
AMH BM AK C
1.325431 0.114747 0.730816 -1.128223
0.780197 0.015991 0.096374 3.406884
1.698842 7.175779 7.583097 -0.331160
0.0973 0.0000 0.0000 0.7423
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.996272 0.995507 0.060580 1302.718 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
23.52561 14.12421 0.143127 1.344756
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.995855 0.159126
Mean dependent var Durbin-Watson stat
15.88785 1.012389
79
Lampiran 4. Hasil Pengujian Chow Test
Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ02FIXEDNONE Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F Cross-section Chi-square
474.720101 197.995145
d.f.
Prob.
(5,39) 5
0.0000 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 10/16/09 Time: 12:50 Sample: 2001 2008 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 48 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
BM AK AMH C
0.028992 0.714132 24.46156 -105.3588
0.126562 0.164117 4.259942 20.08337
0.229070 4.351351 5.742228 -5.246073
0.8199 0.0001 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.618806 0.592815 0.465039 9.515500 -29.27035 0.130242
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
15.88785 0.728776 1.386265 1.542198 23.80892 0.000000
80
Lampiran 5. Model Estimasi Parameter dengan menggunakan Metode Random Effect
Dependent Variable: PDRB Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/16/09 Time: 12:51 Sample: 2001 2008 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 48 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
BM AK AMH C
0.096223 0.638836 2.133042 -3.380226
0.018018 0.140572 1.024551 4.396081
5.340463 4.544557 2.081929 -0.768918
0.0000 0.0000 0.0432 0.4460
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.585326 0.062802
Rho 0.9886 0.0114
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.751898 0.734982 0.065003 44.44875 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.602259 0.126269 0.185918 0.646583
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.136001 21.56745
Mean dependent var Durbin-Watson stat
15.88785 0.005574
81
Lampiran 6. Hasil Pengujian Hausman Test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ02_RANDOM Test cross-section and period random effects
Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
Cross-section random Period random Cross-section and period random
0.000000 0.000000 0.000000
3 3 3
1.0000 1.0000 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. * Period test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable BM AK AMH
Fixed 0.077617 0.586604 0.527574
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.077654 0.580182 0.556218
-0.000296 -0.016042 -0.755504
NA NA NA
Lampiran 7. Matrix Correlations Hasil Pengujian Multikolinearitas
PDRB BM AK AMH
PDRB 1.000000 0.577013 0.298183 0.479800
BM 0.577013 1.000000 0.495548 0.245071
AK 0.298183 0.495548 1.000000 -0.501738
AMH 0.479800 0.245071 -0.501738 1.000000