perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI ANTAR PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2009
Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : SESILIA NUNGKI WIJAYANTI NIM. F0107086
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI ANTAR PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2009
Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : SESILIA NUNGKI WIJAYANTI NIM. F0107086
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Aku persembahkan karya kecil ini untuk: 1. Tuhan Yang Maha Esa 2. Papa dan Mamaku 3. Dosen-Dosenku 4. Kakak dan Adik-Adikku 5. Lilo-Loli 6. Sahabat-sahabatku 7. Almamaterku
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Selalu berusaha untuk mengatakan iya jika iya dan tidak jika tidak ☺”
“Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Filipi 4:6)
“Semakin banyak hal yang direncanakan, semakin perlu untuk melibatkan Tuhan di dalamnya. Jadi, Sudahkah Anda melibatkan Tuhan dalam perencanaan Anda hari ini?” (SL, Renungan Harian)
“Dendam tak menyelesaikan masalah, hanya menjadikan kita orang kalah” (OLV, Renungan Harian)
“Kita membutuhkan pengampunan Tuhan lagi dan lagi, maka mengapa kita tak mengampuni sesama kita lagi dan lagi?” (AW, Renungan Harian)
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena rahmat dan petunjuk-Nya, penulis selalu diberikan kekuatan dan keteguhan iman sehingga dapat menyelesaikan karya ini. Selama penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi penulis, namun berkat doa, bimbingan, dukungan, dan bantuan dari orang–orang luar biasa, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada: 1. Bapak Drs. Supriyono, MSi. selaku Kepala Jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNS dan pembimbing skripsi yang berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan saran yang sangat membantu penulis dalam proses menyelesaikan penelitian ini. 2. Bapak Dr. Wisnu Untoro, MS., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebalas Maret Surakarta. 3. Bapak Drs. Sutanto, Msi. selaku pembimbing akademik, yang telah memberikan pengarahan selama penulis melakukan study di Fakultas Ekonomi UNS. 4. Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, Maluku Utara, Papua, Sulawesi Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan DKI Jakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam memperoleh data dan berkenan mengirim data melalui email.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Ayahanda dan Ibunda terkasih, serta kakak dan adik–adiku tercinta yang selalu mendoakan penulis, sehingga penulis termotivasi untuk melakukan yang terbaik. 6. Teman–teman seperjuangan yang selama ini memberikan semangat, dan bantuan diskusi-diskusi kecil, serta mengisi hari–hari selama study menjadi menyenangkan. 7. Lilo-Loli yang selalu menemani saat suka dan duka selama proses penulisan skripsi. 8. Seluruh tenaga Administrasi Fakultas Ekonomi UNS. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu – satu. Penulis menyadari meskipun telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan dan menyusun penelitian ini, akan tetapi karya ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi akademi dan pemerintah, serta pembaca yang budiman.
Surakarta,
April 2011
Penulis
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Thank’s o: 1. Tuhan Yang Maha Esa, ^^ . 2. Dosen – dosen EP FE UNS yang selama ini memberikan ilmu kepada saya, khususnya Bapak Supriyono. 3. Papa Prahen dan Mama Christin, terimakasih atas kerja keras papa dan mama untuk biaya sekolahku selama ini, ^^ semoga Tuhan selalu memberkati dan memberkahi keluarga papa dan mama. 4. Mas Gandi, Edu dan Marsel, ^^ 5. Lilo Loli, ^^ trimakasih karna selalu menemaniku saat aku sedih dan senang. Berumurlah panjang, dan tenanglah, anak2mu akan baik2 saja bersamaq,, ☺ 6. ^^ Mz Japrak (aq lupa namamu iq mz, maaph ya) dan Mas Dhanang Suta Wijaya ☺ 7. Tetua (MFC, Bapema dll): Mas Dhanang PN (Makase atas semua ☺), mas Doni Prawira Yudha ^^ (makase ya ms udah bntuin aq hehehehe), Mas Tery, Mas Ian, Mas Adhit, Mas Muki, Mas Phutut, Mas Budi, Mas Lison, Mas Hevy (tak tuakan, ben hehehehe), Mas Muklas, Mas Kuncung, Mas Setyo, Mas Rori, Mas Sidiq, Mbak Dwi, Mbak Ajeng, Mbak Fitri, Mbak Isma, Mbak Risa, mb Ghea, mb Mawar, Mb Putri, Mb Hili, dan mas2/mbak2 lainnya,, 8. Bapemania: Bimo ^^, Daynis, Resti, An In Un En On (anneq saying ^^), Gempil, Fa Fadian, Simex (maafkan aq mex T,T), Ega, Fany, Herman, Bolang, Hira, Iwa, Haram, Antok, Sunu, all bapema 2007, Eva (^^ Semangat ya), DJ, Nila, Menik, Navis, Nunu, Putri, Aulia, 0,0 sopo neh yo,, ooo Ponari ^^ {tak akan terlupakan lagi gung ☺}, Arif, Boti, Ciput, Angga dan sejawatny (=.=)a,, terspecial untuk seluruh redaktur dan staff VALUTAq ^^ terimakasih telah memberikanq kesempatan menjadi PIMRED dan ikut berjuang bersamaq hingga siVal muncul, kalian Hebat,, ☺
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. EP’07 Kelas B dan A, ^^.. Dari Johan, Rendi, Ari, Ebi, Thitut, Satya, Andika, Eko, Angga Bunting, Fafa, Rafiqa, Wia, Nastiti (kami ada disini untukmu nas ^^, jadi tersenyumlah), Iis, Muth, Ratih, Tarni, Fanya, Khurul, Desta, Anin, Eliza, Risti, Fitri, Ratna, Yeyen, Andri, Vina, Erna, mb Janti, Sony, dan lain – lain yang banyak sekali,, ^^ khususnya untuk Aris dan Sely, :D akhirnyaaaa,,, rampung,, 10. MFC: ☺ banyak sekali kenangan indah bersama mu MFC,, Kenangan terindah bersamamu ketika qta ke Klayar,, T,T hiks hiks it adalah touring pertamaq yg paling mengesankan,, Terimaksih. Kalo ndak ketemu kamu kegiatan q di Solo hanya Tidur dan Makan :D 11. Ijo Pompong: Mb Nesha (mb gigimu ko putih tho mba :D hehehehe), Mb Lusila Purimas ^^, Mb Warih, Kak Boy, Mb Reisya, Mb Momontea (seneng sebelahan kmr sm mb mon), mz Sulis, Mb Lita Mz Andre (pacare mb Lucy), dan Mz Indro.. ^^ trimakasih sudah menemaniq dikontrakan,, GB Us,, ☺ 12. Seluruh dosen dan staf karyawan FE UNS, ☺ 13. Si Merahq yang selalu mengantarq kemana aku mau,, T.T maaf karna selalu aku lupakan.. 14. Kos Putri SALITA dan Kos Putri Anggrek.
-Sesilia eN We- ☺
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ....................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv ABSTRAKSI .................................................................................................
xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ..........................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ............................................................................
8
II. TELAAH PUSTAKA A.
Kajian Teori .................................................................................... 10 1. Pembangunan Ekonomi ............................................................. 10
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Teori Pembangunan Ekonomi .................................................... 12 3. Ketimpangan Ekonomi ............................................................... 15 4. Keuangan Daerah ....................................................................... 21 5. Dana Alokasi Umum (DAU) ..................................................... 22 6. Belanja Modal ........................................................................... 25 7. Pengeluaran Pemerintah ............................................................. 27 8. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Dengan Pembangunan Ekonomi ............................................... 30 9. Indeks Williamson ...................................................................... 33 B.
Penelitian Terdahulu ....................................................................... 33
C.
Kerangka Pemikiran ........................................................................ 36
D.
Hipotesis .......................................................................................... 37
III. METODOLOGI PENELITIAN A.
Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 38
B.
Jenis dan Sumber Data .................................................................... 38
C.
Definisi Operasional Data ............................................................... 39
D.
Metode Analisis Data ...................................................................... 39 1. Tingkat Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Indonesia ............................................................... 39 2. Pemilihan Model ....................................................................... 40 3. Uji Asumsi Klasik ..................................................................... 45 4. Uji Statistik ............................................................................... 47 5. Koefisien Determinasi ............................................................... 50
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A.
Gambaran Umum ........................................................................... 52
B.
Analisis Data ................................................................................. 66
C.
Pembahasan Hasil Penelitian ........................................................ 76
V. PENUTUP A.
Kesimpulan ................................................................................... 79
B.
Saran .............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 82 LAMPIRAN .................................................................................................. 85
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Halaman Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara Berkembang di Asia Timur Tahun 2006 – 2008 ....................................................
1
1.2
Indeks Williamson untuk PDRB Tahun 2002 – 2007 ........................
3
1.3
Pertumbuhan Ekonomi Per Provinsi di Indonesia tahun 2007 – 2008 .............................................................................
4
4.1
Distribusi Penduduk menurut pulau di Indonesia tahun 2010 .......... 58
4.2
Peranan Wilayah/Pulau dalam pembentukan PDB Nasional tahun 2007-2009 (%) ......................................................... 59
4.3
Proporsi Dana Alokasi Umum Tiap Provinsi Di Indonesia Tahun 2006-2009 ......................................................... 61
4.4
Rasio Belanja Modal Provinsi dengan Total Pengeluaran Pemerintah Pusat Indonesia tahun 2006-2009 ............. 63
4.5
Rasio Pengeluaran Pemerintah Provinsi dengan Total Pengeluaran Pemerintah Pusat Indonesia Tahun 2006-2009 ............ 65
4.6
Indeks Williamson di Indonesia Tahun 2006-2009 .......................... 66
4.7
Hasil Fixed Effect Models ................................................................. 70
4.8
Hasil Konstanta Dummy Variable Dengan Fixed Effects Model ....... 72
4.9
Hasil Uji t .......................................................................................... 75
4.10
Hasil Uji F ......................................................................................... 75
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 2.1 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 36 3.1
Kriteria Durbin-Watson Test ................................................................ 46
3.2
Kriteria Uji t ......................................................................................... 48
3.3
Kriteria Uji F ........................................................................................ 50
4.1
Peta Indonesia menurut provinsi .......................................................... 53
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Data Proporsi Dana Alokasi Umum Per Provinsi di Indonesia Tahun 2006 – 2009
Lampiran 2 : Data Realisasi Belanja Modal Per Provinsi di Indonesia Tahun 2006 – 2009 Lampiran 3 : Data Realisasi Pengeluaran Pemerintah Per Provinsi di Indonesia Tahun 2006 – 2009 Lampiran 4 : Data Realisaasi Total Pengeluaran Pemerintah Pusat Indonesia Tahun 2006 – 2009 Lampiran 5 : Data Penelitian Lampiran 6 : Hasil Common Effecr Model GLS Lampiran 7 : Hasil Fixed Effect Model GLS Lampiran 8 : Hasil Random Effect Model
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAKSI FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI ANTAR PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2009 Sesilia Nungki W. (NIM. F 0107086) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh proporsi dana alokasi umum (DAU), rasio belanja modal provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat (RBM), dan rasio pengeluaran pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat (RPP) terhadap tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia pada tahun 2006 s/d 2009. Tingkat ketimpangan sebagai variabel dependen didapatkan dengan menggunakan Indeks Williamson. Metode yang digunakan yaitu metode Generalized Least Square (GLS). Untuk mengetahui model yang digunakan dalam panel data dilakukan pengujian terlebih dahulu. Kemudian, dilakukan Pengujian Ekonometrika dan statistik. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel yang merupakan gabungan antara data time series (dari tahun 2006 s/d 2009) dan data cross section (33 provinsi di Indonesia). Program yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Eviews 3.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia tinggi, karena sebagian besar provinsi memiliki nilai Indeks Williamson lebih dari 0,5 dengan provinsi tertinggi tingkat ketimpangannya dimiliki oleh Jawa Timur. Dari hasil pengujian, Fixed Effects Model merupakan model terbaik yang digunakan dalam penelitian ini dengan metode GLS dan dilakukan setelah White-Heteroskedacity. Hasil Uji statistik menunjukkan bahwa variabel RBM berpengaruh negatif dan signifikan, variabel RPP berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan variabel DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia pada tahun 2006 s/d 2009. Kebijakan dalam meningkatkan kegiatan ekonomi di masyarakat diharapkan dapat mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia. Selain itu, lebih terkonsentrasinya pemerintah daerah pada potensi di daerahnya masing – masing baik saat ini maupun di masa yang akan datang dan lebih efisien dan bijaksana dalam mengalokasikan pengeluaran pemerintah, sehingga pemerintah daerah dapat mengoptimalkan pembangunan ekonomi di daerahnya. Kata Kunci: Tingkat Ketimpangan, Pembangunan Ekonomi, Indeks Williamson, Proporsi Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pengeluaran Pemerintah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAKSI FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI ANTAR PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2009 Sesilia Nungki W. (NIM. F 0107086) The purpose of this study was to determine the effect of the proportion of the general allocation fund (DAU), the ratio of capital expenditure to total expenditure of the provincial government (RBM), and the ratio of provincial government expenditures by the central government (RPP) on the level of inequality among provinces in Indonesia in 2006 - 2009. Inequality as the dependent variable obtained using the Williamson Index. The method used is Generalized Least Square (GLS). To find the model used in the panel data test conducted first. Then, the testing econometrics and statistics. The data used in this study is that panel data are a combination of time series data (year 2006 - 2009) and cross section (33 provinces in Indonesia). Programs used in this research that Eviews 3.0. The results showed that the level of inequality among provinces in Indonesia is high, because most provinces have Williamson index value greater than 0.5 with the highest provincial level limp owned by East Java. From the test results, the Fixed Effects Model is the best model used in this study with the GLS method and carried out after White-Heteroskedacity. The results of statistical tests showed that the RBM variable negative and significant effect, variable RPP and a significant positive effect, while variable DAU does not significantly affect the level of economic development disparities between provinces in Indonesia in 2006 - 2009. Policy in enhancing economic activities in the community is expected to reduce the level of economic development disparities between provinces in Indonesia. In addition, more concentrated on the potential of local governments in their areas - each both now and in the future and more efficient and prudent in allocating government spending, so local governments can optimize economic development in their regions. Keywords: Level of Inequality, Economic Development, Williamson Index, proportion of the General Allocation Fund, Capital Expenditure, Government Expenditure.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali dijadikan indikator tercapainya pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di Negara – negara Asia Timur pada tahun 2008 mengalami perlambatan sebesar -15,7 persen. Filipina sebagai salah satu negara yang memiliki perlambatan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2008 yaitu sebesar 19,1 persen. Perlambatan yang dialami Indonesia lebih baik daripada Malaysia. Malaysia pada tahun 2008 mengalami perlambatan sebesar 12,7 persen. Sedangkan, Indonesia hanya mengalami perlambatan sebesar 4,8 persen. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia Timur. Namun, pertumbuhan ekonomi pada prinsipnya harus dinikmati penduduk secaranya merata. TABEL 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara – Negara Berkembang di Asia Timur Tahun 2006 – 2008 Kelompok Negara Negara Berkembang Asia Timur Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam Korea Cina
2006
2007
2008
Perubahan 2007/2008
9,8
10,2
8,6
-15,7
5,5 5,9 5,4 5,1 8,2 5,0 11,1
6,3 6,3 7,3 4,8 8,5 4,9 11,4
6,0 5,5 5,9 5,0 8,0 4,6 9,4
-4,8 -12,7 -19,1 -4,2 -5,9 -6,1 -17,5
Sumber: World Bank, “East Asia: Testing Times Ahead, April, 2008”
.
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada hakikatnya, pembangunan ekonomi merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan ekonomi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Perubahan ekonomi yang dimaksud tidak hanya meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga distribusi pendapatan yang merata. Hal ini dikarenakan tidak meratanya distribusi pendapatan merupakan salah satu masalah dalam pembangunan ekonomi (Purwanto, 2009). Ketimpangan ekonomi telah menjadi fenomena wajar yang terjadi di negara miskin dan berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang, ketimpangan tidak hanya tampak di antar pulau, tetapi juga antar provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Ketimpangan ini dikenal sebagai ketimpangan pembangunan ekonomi regional. Penyebab utamanya karena kandungan sumberdaya alam dan kondisi demografi yang berbeda di tiap wilayah. Selain itu, arus modal yang diterima tiap daerah cenderung lebih terkonsentrasi pada daerah dengan sumberdaya alam yang lebih kaya, sumberdaya manusia yang lebih maju, dan kota – kota besar yang prasarana dan sarananya lebih lengkap. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda (Sjafrizal dalam Priyanto, 2009). Ketimpangan ekonomi di Indonesia yang diukur dengan menggunakan indeks Williamson pada tahun 2002 hingga 2007 terus mengalami penurunan. Pada tahun 2003, tingkat ketimpangan di Indonesia sebesar 0,691. Pada tahun 2004, tingkat ketimpangan sebesar 0,677, 0,613 pada tahun 2005. Tingkat ketimpangan menurun sebesar 0,587 pada tahun 2006 dan 0,558 pada tahun 2007. Walaupun terus mengalami penurunan, tingkat ketimpangan di Indonesia masih melebihi 0,5, yang berarti bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia masih tinggi.
commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pulau Jawa (tidak termasuk DKI Jakarta) merupakan pulau yang memiliki tingkat ketimpangan paling rendah daripada pulau – pulai lainnya, yaitu sebesar 0,70 pada tahun 2007. Tingkat ketimpangan tertinggi pada tahun 2003 sampai dengan 2007 adalah Pulau Sumatra, sebesar 0,912 pada tahun 2007. Kemudian disusul oleh Pulau Kalimantan, Pulau Maluku dan Papua, Pulau Bali, NTT dan NTB, dan Pulau Sulawesi, dengan tingkat ketimpangan pada tahun 2007 masing – masing sebesar 0,912; 0,823; 0,516; 0,420; dan 0,191. Tabel di bawah ini akan semakin memperjelas tingkat ketimpangan antar pulau di Indonesia. Tabel 1.2 Indeks Williamson untuk PDRB di Indonesia Tahun 2003 – 2007 Indonesia Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Bali, NTB dan NTT
2003 0,691 0,931 0,168 0,919 0,183 0,623 0,381
2004 0,677 0,932 0,171 0,899 0,178 0,625 0,380
2005 0,613 0,914 0,175 0,886 0,204 0,611 0,395
2006 0,589 0,914 0,169 0,856 0,193 0,568 0,416
2007 0,561 0,912 0,170 0,823 0,191 0,516 0,420
Sumber: Nota Keuangan Pemerintah Tahun 2009
Perbandingan PDRB yang didapat dan sebaran penduduk menjadi salah satu penyebab ketimpangan antar pulau di Indonesia. Hal itu disebabkan karena perkembangan penduduk Pulau Jawa baik yang menyangkut kuantitas maupun kualitas merupakan faktor utama dari eksistensi kota itu sendiri. Komponen demografis
seperti
kelahiran,
kematian,
dan
migrasi
penduduk
akan
mempengaruhi pertumbuhan daerah. Sementara itu, struktur penduduk Pulau Jawa yang meliputi umur dan jenis kelamin, jumlah dan kepadatan penduduk, tingkat pendidikan serta struktur ekonomi (pekerjaan dan pendapatan) berperan dalam terciptanya dinamika pertumbuhan daerah (Rahayu, 2007).
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TABEL 1.3 PERTUMBUHAN EKONOMI PER PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007 DAN 2008 TAHUN PROVINSI 2007 2008 INDONESIA 6,3 6,1 Nanggro Aceh Darusalam -4,6 -5,8 Sumatera Utara 7,3 7,0 Sumatera Barat 6,7 6,3 Riau 4,5 16,3 Kepulauan Riau 8,5 3,0 Jambi 6,2 8,8 Sumatera Selatan 7,0 4,0 Kep. Bangka Belitung 6,5 -1,2 Bengkulu 6,5 4,9 Lampung 6,3 4,0 DKI Jakarta 6,7 6,2 Jawa Barat 7,5 4,5 Banten 6,3 5,0 Jawa Tengah 6,1 4,1 DIY 7,2 5,1 Jawa Timur 6,3 6,0 Bali -2,0 18,3 NTB 6,3 46 NTT 4,5 30 Kalimatan Barat 7,3 61 Kalimantan Tengah 7,1 61 Kalimantan Selatan 5,0 30 Kalimatan Timur 4,5 20 Sulawesi Selatan 11,2 41 Gorontalo 7,3 78 Sulawesi Utara 7,3 65 Sulawesi Barat 7,6 61 Sulawesi Tengah 4,6 90 Sulawesi Tenggara 8,5 65 Maluku 4,5 42 Maluku Utara 6,0 41 Papua Barat 8,0 72 Papua -27,0 36,2 Sumber: Nota Keuangan Pemerintah Tahun 2010 Pertumbuhan Indonesia per provinsi pada tahun 2007 dan 2008 cukup baik. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi per provinsi di Indonesia, hanya beberapa daerah yang mengalami perlambatan pada pertumbuhan ekonominya,
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu Papua, NAD dan Bali. Namun, pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi provinsi Papua dan Bali mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan dapat melebihi pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 6,1 persen pada tahun 2008. Sedangkan provinsi NAD masih mengalami perlambatan, walaupun perlambatan tersebut mengalami penurunan menjadi sebesar -0,6%. Pertumbuhan ekonomi per provinsi pada tahun 2007 sebesar 6,3 persen. Terdapat beberapa provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi diatas pertumbuhan Nasional, yaitu NTB, Jatim, Kep. Bangka Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Gorontalo, Kalimantan Barat, Jawa barat, Sulawesi Utara, Kep. Riau, dan Sulawesi Barat merupakan provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2007, yaitu sebesar 11,2 persen. Hal ini semakin diperjelah pada gambar 1,1, pertumbuhan ekonomi per provinsi di Indonesia pada tahun 2007 dan 2008. Walaupun otonomi daerah telah diberlakukan, upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pemisahan (Adisasmita, 2011). Apabila negara mengalami krisis, daerah juga akan mengalami krisis, dan sebaliknya. Otonomi daerah yang pada hakikatnya adalah penyerahan wewenang segala urusan pemerintahan ke kabupaten, pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (lebih lancar, lebih mudah, dan lebih cepat) menuntut pemerintah daerah untuk dapat menyiapkan daerahnya sedemikian rupa sehingga mampu menarik investasi, orang, dan industri ke daerahnya. Selain itu, pengembangan
sumberdaya
manusia
dan
infrastruktur
fisik
sehingga
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembangunan ekonomi yang dibarengi dengan pemerataan ekonomi di daerahnya dapat terwujud. Adapun kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan meningkatkan ketimpangan ekonomi antara daerah yang kaya SDA dengan yang miskin, kiranya akan terkompensasi dengan kualitas SDM dan SDE (Mubyarto, 2001). Pengalokasikan sejumlah besar dana dan/atau sumber-sumber daya ekonomi dari pemerintah pusat kepada daerah untuk dikelola menurut kepentingan dan kebutuhan daerah itu sendiri. Salah satunya Dana Alokasi Umum yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dibagi sesuai dengan kebutuhan daerah. Ketidakadilan perimbangan pendapatan daerah atas eksplorasi sumber daya alam juga masih terjadi di beberapa wilayah, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi produsen migas di Indonesia seperti Riau dan Kalimantan Timur. Porsi kecil yang diterima daerah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di daerahdaerah tersebut, karena sebagian besar hasil eksplorasi SDA lebih banyak dialokasikan di pusat dibanding di daerah. Kondisi akan semakin buruk lagi, apabila daerah-daerah tersebut menghadapi penghapusan DAU karena peringkat ‘kaya’ dari pemerintah pusat hanyalah sebatas peringkat, sebab daerah-daerah tersebut tidak merasakan secara signifikan hasil SDA-nya sendiri dan pemerintah dianggap menjadi predatory state yang mengeksploitasi daerah secara besarbesaran tanpa menyelaraskan dengan peningkatan pembangunan prasarana ekonomi terlebih lagi dengan penghapusan DAU terhadap daerah-daerah tersebut. Selain itu, berbedanya alokasi belanja modal dan pengeluaran tiap daerah juga menyebabkan ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia.
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh karena itu, diperlukan partisipasi dan campur tangan pemerintah pusat, terhadap hubungan antara keuangan pusat dengan keuangan daerah. Dalam penelitian ini, membahas mengenai pengaruh proporsi pengalokasian DAU provinsi, belanja modal provinsi dan pengeluaran provinsi terhadap ketimpangan di Indonesia. Sehingga pembangunan ekonomi yang juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan distribusi pendapatan yang merata dapat tercapai. Oleh karena itu, peneliti memilih topik: “Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Provinsi di Indonesia Tahun 2006 – 2009”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia tahun 2006 sampai 2009?
2.
Apakah proporsi dana alokasi umum provinsi berpengaruh terhadap tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia tahun 2006 sampai 2009?
3.
Apakah rasio belanja modal provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat berpengaruh terhadap tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia tahun 2006 sampai 2009?
4.
Apakah rasio pengeluaran pemerintah provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat berpengaruh terhadap tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia tahun 2006 sampai 2009?
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia tahun 2006 sampai 2009. 2. Mengetahui pengaruh proporsi dana alokasi umum provinsi terhadap tingkat ketimpangan di Indonesia tahun 2006 sampai 2009. 3. Mengetahui pengaruh rasio belanja modal provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat terhadap tingkat ketimpangan di Indonesia tahun 2006 sampai 2009. 4. Mengetahui pengaruh rasio pengeluaran pemerintah provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat terhadap tingkat ketimpangan di indonesia tahun 2006 sampai 2009.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi : 1.
Penulis Dapat memberikan manfaat berupa pengetahuan praktis dan empiris dalam menerapkan teori-teori yang didapatkan semasa perkuliahan. Serta, mengetahui secara nyata mengenai ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia.
2.
Akademisi Dapat menambah referensi bagi Lembaga Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembanguan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diharapkan
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk tambahan bacaan dan referensi pihak-pihak yang membutuhkan dan berminat mengembangkannya dalam taraf lebih lanjut. 3.
Pemerintah Daerah Dapat dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan dalam rangka mengatasi ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia.
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TELAAH PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di suatu bangsa, seringkali hanya diukur melalui tinggi rendahnya pendapatan perkapita. Pengalaman pada tahun 1950-an dan 1960-an menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada kenaikan PDB saja tidak mampu memecahkan permasalahan pembangunan secara mendasar. Hal ini tampak pada taraf dan kualitas hidup sebagian besar masyarakat yang tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan PDB per tahun telah tercapai. Menurut Todaro, keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukan oleh 3 nilai pokok, yaitu: (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatnya rasa harga diri (self-es-teem) masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom rom servitude) yang merupakan salah satu hak asasi manusia. Definisi
dari
pembangunan
ekonomi
yaitu
suatu
proses
multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan,
selain
mencakup
peningkatan
pertumbuhan
ekonomi,
pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan yang absolut (Todaro, Michael P. 1982 : 124). Dalam hal ini, pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Dari definisi di atas jelas bahwa pembangunan ekonomi mempunyai pengertian: a. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus – menerus. b. Usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita, dan c. Kenaikan pendapatan per kapita tersebut harus terus berlangsung dalam jangka panjang. d. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya). Sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari 2 aspek yaitu: aspek perbaikan di bidang organisasi (institusi) dan perbaikan di bidang regulasi (baik formal maupun informal). Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat teridentifikasi dan dianalisis dengan seksama. Dengan cara tersebut dapat diketahui runtutan peristiwa yang timbul yang akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya. Selanjutnya, pembangunan ekonomi tersebut perlu dipandang sebagai kenaikan dalam pendapatan perkapita, karena kenaikan itu merupakan penerimaan dan timbulnya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat. Biasanya laju pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertumbuhan PDB/PNB. Dalam jangka waktu tertentu, pada saat PDB/PNB dihitung, selain akan terjadi pertumbuhan kegiatan ekonomi masyarakat juga terjadi pertambahan penduduk. Dengan demikian, sebagian pertumbuhan hasil kegiatan ekonomi tersebut harus digunakan untuk mempertinggi kesejahteraan ekonomi masyarakat. Jika tingkat pertumbuhan PDB/PNB sama dengan atau lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan penduduk, maka pendapatan perkapita akan tetap sama atau bahkan menurun. Ini berarti bahwa pertumbuhan PDB/PNB tidak memperbaiki tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat.
2. Teori Pembangunan ekonomi Pembangunan ekonomi memiliki beberapa teori yang secara parsial dapat membantu untuk memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah. Masing – masing teori mengemukakan faktor – faktor apa yang mendorong perkembangan ekonomi, baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi. Apabila dibuat suatu fungsi, teori – teori tersebut dapat disajikan sebagai berikut: Pembangunan Daerah = f (sumberdaya alam, tenaga kerja, investasi, entrepreneurship, transportasi, komunikasi, komposisi industri, teknologi, luas daerah, pasar ekspor, situasi ekonomi internasional, pengeluaran pemerintah pusat, dan bantuan –
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bantuan pembangunan). (Arsyad, Lincolin. 1999: 115) a. Teori Ekonomi NeoKlasik Peranan teori ekonomi Neoklasik tidak besar dalam menganalisis pembangunan daerah karena teori ini tidak memiliki dimensi spasial yang signifikan. Namun demikian, teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah, yaitu keseimbangan dan mobilitas faktor produksi. Artinya sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal mengalir tanpa pembatas. Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah. b. Teori Basis Ekonomi Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
Pertumbuhan
industri
–
industri
yang
menggunakan
sumberdaya lokal akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Strategi pembangunan daerah yang berdasar pada teori ini adalah pentingnya bantuan kepada dunia usaha yang mempunyai pasar secara nasional maupun internasional. Model ini memiliki kelemahan karena berdasarkan pada permintaan eksternal yang menyebabkan ketergantungan terhadap kekuatan pasar secara nasional maupun global. Namun demikian, model ini berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis – jenis
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi. c. Teori Lokasi Para ekonom regional sering mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pertumbuhan daerah, yaitu lokasi, lokasi, dan lokasi. Karena perusahaan cenderung untuk memilih lokasi yang mendekati pasar untuk meminimumkan biaya. Ada beberapa variabel yang mempengaruhi kualitas suatu lokasi, misalnya upah tenaga kerja, ketersediaan bahan baku, komunikasi. Keterbatasan teori ini pada saat sekarang adalah teknologi dan komunikasi telah mengubah suatu lokasi tertentu untuk kegiatan produksi. d. Teori Tempat Sentral Teori tempat sentral (central place theory) menganggap bahwa ada hirarki tempat (hierarchy of place). Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya. Sedangkan tempat sentral menyediakan jasa – jasa bagi penduduk daerah yang mendukung. Teori ini dapat diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah. Misal, perlunya melakukan perbedaan fungsi daerah – daerah yang berbatasan. Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa, sedangkan daerah lainnya sebagai daerah pemukiman. e. Teori Kausasi Kumulatif Kondisi
daerah
disekitar
kota
yang
semakin
memburuk
menunjukkan konsep dari tesis kausasi kumulatif ini. Kekuatan pasar
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cenderung
memperparah
kesenjangan
antar
daerah
maju
dan
terbelakang. Hal ini yang disebut Myrdal (1957) sebagai Backwash effects. f. Model Daya Tarik Adalah model pembangunan ekonomi yang paling banyak digunakan. Teori ekonomi yang mendasarinya adalah masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya terhadap industrialisasi melalui pemberian subsidi dan insentif.
3. Ketimpangan Ekonomi Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dengan masyarakat berpendapatan rendah dan tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan (proverty line) merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, isu kesenjangan ekonomi antar daerah telah lama menjadi bahan kajian para pakar ekonomi regional. Hendra Esmara (1975) merupakan peneliti pertama yang mengukur kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia (Wie, 1983). Berdasarkan data tahun 1950 sampai dengan 1960, ia menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kategori kesenjangan daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan. Menurut Wie (1983), masalah ketimpangan dalam pembagian pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pembagian pendapatan antara golongan pendapatan (size distribution of income) atau ketimpangan relatif Ketimpangan yang terjadi antar golongan ini sering kali diukur dengan menggunakan koefisien Gini. Kendati koefisien Gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan. b. Pembagian pendapatan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan (urban-rural income disparities) Ketimpangan dalan distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan pendapatan antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan (urban-rural income disparities). Untuk membedakan hal ini, digunakan dua indikator: (1) perbandingan antara tingkat pendapatan per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan, dan (2) disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah pedesaan (perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua daerah sebagai persentase dari pendapatan nasional ratarata). Menurut Bank Dunia, pola pembangunan Indonesia memang memperlihatkan suatu urban bias dengan tekanan berat pada sektor industri, yang merupakan landasan bagi ketimpangan distribusi pendapatan di kemudian hari. c. Pembagian pendapatan antara daerah (regional income disparities) Satu lagi sisi lain dalam melihat ketimpangan distribusi pendapatan nasional, adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berbagai daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pula terjadinya ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah (regional income disparities). Ketimpangan pendapatan seperti ini disebabkan oleh karena penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta perbedaan dalam laju pertumbuhan antar daerah, dan belum berhasilnya usaha-usaha pembangunan yang merata antar daerah di Indonesia. Banyak perhatian telah diberikan terhadap bagaimana distribusi pendapatan berubah dalam masa pembangunan. Simon Kuznets (1995) membuat hipotesis adanya kurva U terbalik (Interved U Curve) bahwa mula – mula ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata. Namun, setelah mencapai suatu tingkat distribusi tertentu, distribusi pendapatan semakin merata. Pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan, menurut para pengeritik pembangunan ekonomi terdapat suatu trade off. Dengan implikasi bahwa pemerataan dalam distribusi pendapatan hanya dapat tercapai apabila pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai menurunnya distribusi pendapatan yang rata atau meningkatnya ketimpangan relatif (Wie, 1983). Faktor–faktor
yang
menyebabkan
timbulnya
ketimpangan
pembangunan antara lain, sebagai berikut (Tambunan, 2001: 190-199): a. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Ketimpangan pembangunan sektor industri manufaktur antar propinsi sebagai salah satu faktor terjadinya
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketimpangan ekonomi antar daerah. Dibandingkan dengan sektor ekonomi yang lain, industri manufaktur merupakan sektor yang sangat produktif, dilihat dari kontribusinya terhadap PDB atau PDRB. Majunya sektor industri di suatu daerah akan memberi dampak positif terhadap kegiatan ekonomi sektor lain di wilayah tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan asumsi, tidak ada distorsi terhadap economic linkages antar sektor. b. Alokasi Investasi Berdasarkan Teori Pertumbuhan Harrod–Domar yang menerangkan bahwa ada korelasi positif antara investasi dengan laju pertumbuhan ekonomi. Dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu daerah menyebabkan
pertumbuhan
ekonomi
dan
pendapatan
perkapita
masyarakat juga rendah, karena tidak ada kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. Terpusatnya alokasi investasi di Jawa dan kebijakan birokrasi yang terpusat selama orde baru, serta keterbatasan infrastruktur dan SDM di luar Jawa adalah penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar propinsi di Indonesia. c. Tingkat Mobilisasi Yang Rendah Antar Daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan kapital antar daerah juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar propinsi menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat pendapatan perkapita.
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Daerah Aliran Klasik sering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi pada daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Pada tingkat tertentu, anggapan tersebut masih bisa dibenarkan, namun pada perkembangan selanjutnya diperlukan adanya faktor-faktor yang lain. Faktor-faktor tersebut adalah SDM dan teknologi serta infrastruktur lainnya. e. Perbedaan Kondisi Demografi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi regional juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar daerah. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, tingkat kedisiplinan masyarakat, dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan lewat sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi bagi pertumbuhan pasar dan juga sebagai pendorong bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, populasi yang besar dengan tingkat pendidikan, kesehatan, kedisiplinan serta etos kerja yang tinggi merupakan aset yang penting dalam kegiatan produksi. Perbedaan kondisi geografis suatu daerah juga bisa mengakibatkan adanya kesenjangan. Semakin luas suatu daerah maka efek penyebaran hasil-hasil pembangunan akan semakin lambat, apalagi kalau sarana transportasi dan komunikasi kurang memadai (Williamson dalam Jhingan, 1994).
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Wilayah. Perdagangan antardaerah meliputi perdagangan barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, serta material-material lain untuk keperluan produksi barang dan jasa. Keterbatasan transportasi dan komunikasi menyebabkan tidak lancarnya perdagangan antar propinsi. Jadi tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah dapat menghambat Ketimpangan pada kenyataannya tidak dapat dihilangkan dalam pembangunan suatu daerah. Adanya ketimpangan, akan memberikan dorongan
kepada
daerah
yang
terbelakang
untuk
dapat
berusaha
meningkatkan kualitas hidupnya agar tidak jauh tertinggal dengan daerah sekitarnya.
Selain
itu
daerah-daerah
tersebut
akan
bersaing
guna
meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga ketimpangan dalam hal ini memberikan dampak positif. Akan tetapi ada pula dampak negatif yang ditimbulkan dengan semakin tingginya ketimpangan antar wilayah. Dampak negatif tersebut berupa inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro dalam Angelia, 2010). Upaya dalam menanggulangi ketimpangan adalah dengan strategi campur tangan pemerintah. Apabila pemerintah tidak secara aktif campur tangan di dalam kegiatan ekonomi yang berarti bahwa perekonomian tersebut diatur oleh mekanisme pasar, tingkat pembangunan yang berbeda diantara berbagai daerah akan memberikan akibat yang buruk pada corak pembangunan selanjutnya. Dari masa ke masa tingkat kesejahteraan dan tingkat pembangunan antara daerah yang miskin dengan kaya menjadi
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
semakin tinggi perbedaannya. Dalam hal ini diupayakan pembagian yang merata dari sumberdaya-sumberdaya yang ada kepada golongan masyarakat termiskin, sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat. (Wie, 1983)
4. Keuangan Daerah Keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pemisahan dan merupakan satu kesatuan. Ketentuan tentang pokok – pokok pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah telah diatur dengan dengan Peraturan Pemerintah (PP) no. 65 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pokok – pokok peraturan pemerintah tersebut antara lain: a. Prinsip – prinsip transparansi dan akuntan bilitas mengenai penyusunan, perubahan dan perhitungan APBD, pengelolaan, kas, tata cara pelaporan, pengawasan internal ptoritas dan sebagainya, serta merupakan pedoman bagi system dan prosedur pengelolaan; b. Pedoman laporan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan pelayanan yang dicapai, biaya satuan komponen kegiatan, dan standar akuntansi pemerintah daerah, serta persentase jumlah penerimaan APBD untuk membiayai administrasi umum dan pemerintah umum.
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengelolaan keuangan daerah dapat dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang – undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan. (Adisasmita, 2010; 42) Dalam upaya untuk mengoptimalkan sumber – sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah, baik yang bersumber dari luar daerah (negeri) maupun yang bersumber dari dalam negeri adalah: 1) Pendapatan Asli Daerah a) Hasil Pajak Daerah b) Hasil Retribusi Daerah c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah d) Pendapatan lain yang sah 2) Dana Perimbangan a) Dana Bagi Hasil b) Dana Alokasi Umum (DAU) c) Dana Alokasi Khusus (DAK) 3) Lain – lain penerimaan yang sah, antara lain hibah, dana darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
5. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaan. Dana ini diserahkan kepada
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
daerah dalam bentuk block grand yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Adapun cara menghitung dana alokasi umum menurut ketentuan adalah sebagai berikut: a. Dana alokasi umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang sitetapkan dalam APBN. b. Dana alokasi umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi umum sebagaimana ditetapkan diatas. c. Dari dana alokasi (DAU) untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum untuk daerah kabupaten/kota yang ditetapkan APBN denga porsi daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. d. Porsi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan proporsi bobot daerah kabupaten/kota diseluruh indonesia. Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan jumlah Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN dikalikan dengan rasio bobot daerah propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot seluruh propinsi (Adisasmita, 2011;177). Porsi daerah propinsi ini merupakan persentase bobot daerah propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah propinsi di seluruh Indonesia. Rumus Dana Alokasi Umum untuk suatu propinsi tertentu, yaitu:
Perhitungan Dana Alokasi Umum berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Landasan
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum pelaksanaan DAU adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah. Sebagai amanat UU No.33 Tahun 2004, alokasi yang dibagikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat minimal 26 persen dari total penerimaan dalam negri netto. Dengan ketentuan tersebut maka, bergantung pada kondisi APBN dan Fiscal Sustainability Pemerintah Indonesia, alokasi DAU dapat lebih besar dari 26 persen dari total pendapatan dalam negeri netto. DAU diberikan berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan daerah yang dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan undang-undang sedangkan perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil yang diterima daerah. Sementara Alokasi Dasar dihitung berdasarkan gaji PNS daerah. Kebutuhan Fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai
semua
pengeluaran
daerah
dalam
rangka
menjalankan
fungsi/kewenangan daerah dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam perhitungan DAU, kebutuhan daerah tersebut dicerminkan dari variabelvariabel kebutuhan fiskal sebagai berikut : a. Jumlah Penduduk b. Luas Wilayah c. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) d. Indeks Kemiskinan Relatif (IKR) Kapasitas fiskal daerah merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Potensi
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penerimaan daerah merupakan penjumlahan dari potensi PAD dengan DBH Pajak dan SDA yang diterima oleh daerah. Berdasarkan UU no. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar dari kebutuhan fiskal maka dapat menerima penurunan DAU, dan atau tidak menerima sama sekali pada tahun berikutnya. Dasar inilah yang digunakan pemerintah untuk memberikan predikat daerah “kaya” (DKI Jakarta, Riau dan Kaltim) dan memperoleh penghapusan DAU.
6. Belanja Modal Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial. Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatakan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Secara teoretis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan asset tetap lain, dan membeli. Namun, untuk kasus di pemerintahan, biasanya cara yang dilakukan
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah dengan cara membeli. Proses pembelian yang dilakukan umumnya dilakukan melalui sebuah proses lelang atau tender yang cukup rumit. Belanja modal sendiri terdiri dari : a. Belanja Modal Tanah Adalah
pengeluaran/biaya
yang
digunakan
untuk
pengadaan/
pembelian/ pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. b. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Adalah
pengeluaran/biaya
yang
digunakan
untuk
pengadaan/
penambahan/ penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari dua belas bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. c. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Adalah
pengeluaran/biaya
yang
digunakan
untuk
pengadaan/
penambahan/ penggantian, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai. d. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Adalah
pengeluaran/biaya
yang
digunakan
untuk
pengadaan/
penambahan/ penggantian/ peningkatan, pembangunan/pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. e.
Belanja Modal Fisik Lainya Adalah
pengeluaran/biaya
yang
digunakan
untuk
pegadaan/
penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainya yang tidak dapat dikategorikan dalam kriteria balanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.
7. Pengeluaran Pemerintah Menurut Musgrave (1993; 6), pengeluaran pemerintah memiliki tiga tujuan kebijakan, yaitu: a. Fungsi Alokasi, penyedian barang sosial atau proses pembagian keseluruhan sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang sosial, dan bagaimana bauran/komposisi barang social ditentukan; b. Fungsi Distribusi, penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu keadaan distribusi yang ‘merata’ dan ‘adil’. c. Fungsi Stabilisasi, penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat,
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran. Pengeluaran pemerintah untuk membiayai pemerintahan, pelayanan umum dan pembangunan meningkat terus menerus dari tahun ke tahun, maka harus dilakukan evaluasi mengenai efisiensinya dalam pengeluaran negara. Peningkatan kegiatan pemerintah membawa dampak pada peningkatan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah. Semakin besar kegiatan pemerintah maka semakin besar pula biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk kegiatan tersebut. Pengeluaran pemerintah dapat bersifat ekhaustive yaitu merupakan pembelian barang dan jasa dalam perekonomian dapat langsung dikonsumsi maupun dapat pula menghasilkan barang dan jasa yang lain. Selain itu pengeluaran pemerintah dapat berupa transfer, yaitu pemindahan uang kepada individu-individu untuk kepentingan sosial kemasyarakatan, perusahaanperusahaan sebagai subsidi, atau kepada negara lain sebagai hadiah. Adolph Wagner dalam sebuah penelitiannya pada abad ke-19, mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah di beberapa negara-negara maju selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pernyataan Wagner di atas lebih dikenal dengan “low of ever increasing state activity” atau hukum tentang selalu meningkatnya kegiatan pemerintah. Faktor-faktor yang menjadi penyebab meningkatnya kegiatan serta pengeluaran pemerintah adalah:
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Adanya Perang Perang menyebabkan meningkatnya permintaan pemerintah akan senjata dan personel tentara. Pada saat terjadi perang pemerintah juga harus mensuplai bahan makanan dan obat-obatan untuk tentara dan korban perang. Kemudian, meskipun perang telah usai, pemerintah harus membangun kembali berbagai kerusakan yang terjadi selama perang, dan masih banyak lagi pengeluaran-pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah akibat adanya perang. b. Meningkatnya Penghasilan Masyarakat Meningkatnya penghasilan masyarakat menyebabkan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa serta fasilitas publik lainnya yang lebih baik. Dalam hal ini, mungkin terdapat banyak barang dan jasa yang tidak bisa disediakan oleh swasta. Oleh karena itu, pemerintah harus turun tangan secara langsung untuk mengusahakan atau memenuhi permintaan masyarakatnya. c. Urbanisasi dan Perkembangan Ekonomi Perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urbanisasi harus dilayani oleh pemerintah. Pemerintah perlu menyediakan lapangan pekerjaan, fasilitas listrik, air bersih, perumahan, keamanan dan kesehatan. Biasanya perkembangan ekonomi ditandai dengan industrialisasi, dan urbanisasi terjadi besama-sama dengan industrialisasi yang terjadi di kotakota besar. Orang bersedia pindah dari desa ke kota karena banyak hal yang menarik, seperti peluang kerja di kota lebih banyak, tingkat upah lebih
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tinggi, serta fasilitas hiburan yang bervariasi. Namun, terkadang urbanisasi justru menimbulkan dampak negatif seperti munculnya pengangguran, meningkatnya tindak kriminal, gelandangan dan perkampungan kumuh dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan serius dari pemerintah untuk mengantisipasi dampak negatif dari perkembangan ekonomi dan urbanisasi. d. Perkembangan Demokrasi Perkembangan demokrasi menuntut pemerintah untuk mengatur, menjaga dan mengelola kepentingan semua pihak baik individu maupun masyarakat. Dalam sebuah negara demokrasi, tidak sedikit dana yang dibutuhkan pemerintah dalam rangka pengambilan keputusan atau pemungutan suara, musyawarah atau rapat, dan sebagainya. e. Ketidakefektifan Kinerja Pemerintah Sering kali berkembangnya peran pemerintah justru mengakibatkan kinerja pemerintah menjadi tidak efektif dan efisien. Pemborosanpemborosan yang terjadi pada birokrat menyebabkan pengeluaran pemerintah semakin besar.
8. Hubungan
Keuangan
Pemerintah
Pusat
dan
Daerah
Dengan
Pembangunan Ekonomi Gejala reformasi di Indonesia telah membawa dampak yang luas di berbagai bidang kehidupan baik ekonomi, sosial budaya, politik, maupun hukum. Salah satu bentuk perubahan yang cukup mendasar adalah mulai ditanggapinya berbagai tuntutan daerah yang selama ini terkooptasi oleh
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah pusat. Bentuk tanggapan (respon), dari pemerintah tersebut seperti tercermin dalam bentuk reformasi hubungan dan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang merupakan esensi dari otonomi daerah. Reformasi hubungan pemerintah pusat dan daerah telah memberi angin baru dan segar bagi masyarakat daerah untuk mengolah dan membangun daerahnya sendiri. Daerah akan diberikan peran yang semakin menonjol, tidak saja dalam hal penyelenggaraan akan tetapi juga dalam hal membiayai sumber – sumber kekayaan alamnya. Penyelenggaraan pemerintah daerah dalam hal ini sebagai sub system pemerintah negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonomi seyogyanya daerah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab penyelenggaraan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip – prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Peningkatan peran daerah sama sekali tidak berarti daerah – daerah yang miskin sumberdayanya akan terbengkalai. Pembangunan yang dilaksanakan di daerah bertujuan meningkatkan taraf
hidup
dan
kesejahteraan
masyarakat
seiring
dengan
tujuan
pembangunan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Kenyataan menunjukkan profil hubungan keuangan pusat dan daerah di Indonesia pada umumnya hingga kini dominiasi pemerintah pusat yang teramat besar atas pemerintah daerah. Hal ini dapat terlihat dalam pembagian
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik sumber – sumber pendapatan maupun kewenangan pengurusan dan pengalokasiannya diantara pemerintah pusat dan daerah. (Adisasmita, 2011) Mobilisasi dan sentralisasi manajemen sumber – sumber keuangan yang berjalan selama ini cenderung mempertinggi derajat pengawasan pusat terhadap pelaksanaan pembangunan. Salah satu alasan mengapa hal tersebut dilakukan adalah membuat kesinambungan dari pemanfaatan sumberdaya alam (seperti minyak, gas bumi dan timah) diantara propinsi – propinsi yang ada. Oleh karena itu, pemerintah pusat merasa perlu untuk mengeksploitasi sumber – sumber daya alam tersebut dan mengalokasikan dana itu kepada daerah – daerah. Sedangkan di sisi lain, meningkatkan daerah yang hanya mempunyai sedikit kesmpatan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, pada saat penghasilan – penghasilan yang pasti belum diperoleh, pemerintah daerah tetap menggantungkan pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat, dan tetap tidak akan mampu menggerakkan sumber penghasilan setempat guna membiayai program – programnya sendiri. Oleh karena itu, untuk mendukung pembangunan ekonomi yang juga bertujuan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
distribusi
pendapatan yang merata diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pemberian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang terkendali, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. dan dilaksanakan atas desentarlisasi, dekonsentralisasi dan pembantuan.
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Indeks Williamson Indeks Williamson pertama kali digunaan oleh Jeffrey G. Williamson. Indeks ini merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah. Rumus yang digunakan, sebagai berikut:
dimana, Yi = PDRB per kapita di Kabupaten i Y
= PDRB per kapita rata – rata di Provinsi
Fi
= jumlah penduduk di Kabupaten i
N
= jumlah penduduk di provinsi Kriteria yang digunakan dalam penelitian yaitu apabila nilai Indeks
Williamson kurang dari 0,30 termasuk ketimpangan rendah, dan apabila Indeks Williamson berada diantara 0,30 – 0,50 termasuk ketimpangan sedang. Sedangkan, apabila Indeks Williamson lebih dari 0,50 termasuk ketimpangan tinggi (Nuraini, 2000).
B. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan Joko Waluyo pada tahun 2007, berjudul “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Indonesia”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
model ekonometrika persamaan simultan dengan menggunakan data panel antar propinsi. Asumsi utama yang digunakan dalam model penelitian adalah tidak ada keterkaitan antar daerah (tak ada migrasi penduduk antardaerah, pergerakan modal dan barang antar daerah). Teknik estimasi yang digunakan adalah Two Stage Least Square (TSLS). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data atas dasar harga konstan tahun 2003 dan berupa data level pada tingkat propinsi. Hasil menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak pertumbuhan ekonomi tinggi yang relatif terjadi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumberdaya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumberdaya alam. Mekanisme alokasi dana bagi hasil SDA untuk investasi sektor kunci dalam perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu, desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah terutama antara daerah – daerah di Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa dan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Penelitian yang dilakukan Charlos Chrisyanto pada tahun 2006, berjudul “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Perekonomian Antar Daerah Di Indonesia”. Terjadinya perbedaan dari distribusi pendapatan antar daerah dan distribusi
pengeluaran
pemerintah
pusat
dan
daerah
merupakan
suatu
permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia. Perbedaan tersebut terjadi selama bertahun – tahun lamanya sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan daerah satu dengan daerah yang lain. Penelitian bertujuan untuk menganalisa faktor – faktor yang mempengaruhi ketimpangan ekonomi daerah melalui Indeks Williamson, faktor – faktor yang
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dianalisa adalah PDRB, pendapatan per kapita dan pengeluaran daerah untuk pembangunan selama masa dan sebelum krisis ekonomi. Metode analisa yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan menggunakan data 30 provinsi di Indonesia tahun 1989 – 2003, dengan variabel terikat adalah ketimpangan daerah (yang diukur dengan Indeks Williamson), dan variabel bebas adalah pendapatan per kapita, pengeluaran pembangunan dan dummy krisis untuk pembangunan. Pendugaan dilakukan dengan Metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil analisa Christianto menunjukkan bahwa terjadinya ketimpangan ekonomi antar daerah disebabkan oleh tingginya pendapatan per kapita DKI Jakarta yang menyebabkan ketimpangan di Pulau Jawa dan tingginya pendapatan di Kalimantan Timur yang menyebabkan ketimpangan di Luar Pulau Jawa. Interpretasi analisa model regresi menunjukkan bahwa ketimpangan daerah dengan melihat faktor migas dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah daerah pada saat dua tahun sebelumnya dan terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan ketimpangan daerah tanpa melihat faktor migas dipengaruhi oleh pendapatan per kapita daerah dan pengeluaran pemerintah. Pada tahun 2009, Purwanto melakukan penelitian yang diberi judul “Pembiayaan Pembangunan Daerah Dalam Perekonomian Regional Di Indonesia”. Analisis dilakukan di tingkat regional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis peran belanja modal pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah. Penelitian ini bersifat deskriptif dan kuantitatif. Model regresi dalam bentuk analisis cross section dengan periode analisis tahun 2007. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pertumbuhan pendapatan per kapita regional dan variabel bebas yang diambil adalah belanja modal (CXP),
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
proporsi usia produktif (PAG), angka tidak melek huruf (ILI), dan dummy variabel (DUMM). Standar prosedur untuk tes statistic dari model akan dihitung dengan menggunakan standar asumsi klasik regresi yang kemudian dilakukan uji asumsi klasik. Hasil penelitian Purwanto menunjukkan bahwa belanja modal berpengaruh positif dan signifikan, proporsi usia produktif berpengaruh positif dan signifikan, angka tidak melek huruf berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita regional. Koefisien determinasi yang dihasilkan sebesar 0,59. Sedangkan, uji F yang dihasilkan adalah bahwa secara bersama-sama variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Uji asumsi klasik yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dalam penelitian tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
C. Kerangka Pemikiran Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah: Proporsi Dana Alokasi Umum Provinsi (DAU) Indeks Ketimpangan
Rasio Belanja Modal Provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat (RBM)
Pembangunan Ekonomi (IW)
Rasio total Pengeluaran provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat (RPP)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Banyak variabel dalam keuangan daerah di propinsi yang mempengaruhi tingkat ketimpangan di Indonesia. Dalam penelitian ini, variabel yang diduga mempengaruhi besarnya tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia yaitu proporsi Dana Alokasi Umum, Rasio Belanja Modal Provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat dan rasio pengeluaran provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat. Faktor – faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia dianggap konstan. Hal ini mengingat dalam penelitian ekonomi, faktor – faktor yang mempengaruhi gejala ekonomi selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
D. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia yang dihitung dengan Indeks Williamson masih relatif tinggi atau lebih dari 0,5; 2. Proporsi dana alokasi umum signifikan berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia; 3. Rasio belanja modal dengan total pengeluaran pemerintah signifikan berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia; 4. Rasio pengeluaran dengan pengeluaran pemerintah signifikan berpengaruh positif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia.
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan analisis mengenai ketimpangan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di provinsi – provinsi di Indonesia. Data diambil secara tahunan tiap provinsi di Indonesia. Sehingga, data dalam penelitian ini terdiri dari 33 provinsi dari tahun 2006 sampai dengan 2009.
B. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder, dengan jenis datanya adalah pooled data. Pooled data adalah sekelompok data individu yang diteliti selama rentan waktu tertentu. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi di Indonesia yang terdiri dari: 1. Data jumlah penduduk tiap provinsi mulai tahun 2006 sampai tahun 2009; 2. Data PDRB atas dasar harga konstan 2000 tiap kabupaten/kota di provinsi– provinsi di Indonesia pada tahun 2006 sampai dengan 2009; 3. Data Statistik Keuangan Daerah untuk tiap provinsi di Indonesia pada tahun 2006 sampai dengan 2009. Selain berasal dari Badan Pusat Statistik, data juga diperoleh dari nota keuangan pemerintah tahun 2009 - 2010 dan LKPD tiap provinsi tahun 2010.
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Definisi Operasional Variabel 1. Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Merupakan tingkat penyebaran PDRB per kapita kabupaten, terhadap tingkat rata – rata PDRB per kapita provinsi. Tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi diukur dengan menggunakan Indeks Williamson. Ditunjukkan oleh angka. 2. Proporsi Dana Alokasi Umum Merupakan perbandingan realisasi dana alokasi umum provinsi yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dengan total penerimaan pemerintah pusat. Proporsi Dana Alokasi Umum dinyatakan dalam persen. 3. Rasio Belanja Modal Provinsi Terhadap Pengeluaran Pemerintah Merupakan realisasi belanja modal provinsi dibagi dengan realisasi total pengeluaran pemerintah pusat. Rasio belanja modal dinyatakan dalam persen. 4. Rasio Pengeluaran Daerah Dengan Total Pengeluaran Pemerintah Diperoleh dari perbandingan antara realisasi pengeluaran provinsi dengan total pengeluaran pemerintah. Rasio pengeluaran daerah dinyatakan dalam persen.
D. Metode Analisis Data 1. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Indonesia Untuk mengetahui tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia digunakan Indeks Williamson. Perhitungan Indeks Williamson digunakan rumus, sebagai berikut:
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
..………………….(3.1) Dimana, Yi = PDRB per kapita di kabupaten i Y = PDRB per kapita rata – rata di provinsi fi = jumlah penduduk di kabupaten i N = jumlah penduduk di provinsi Kriteria yang digunakan dalam penelitian yaitu apabila nilai Indeks Williamson kurang dari 0,30 termasuk ketimpangan rendah, dan apabila Indeks Williamson berada diantara 0,30 – 0,50 termasuk ketimpangan sedang. Sedangkan, apabila Indeks Williamson lebih dari 0,50 termasuk ketimpangan tinggi (Nuraini, 2000).
2. Pemilihan Model Pengaruh proporsi dana alokasi umum provinsi, rasio belanja modal provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat dan rasio pengeluaran provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia dianalisis menggunakan panel data (Pooled Data). Panel data merupakan sekelompok data individu dalam beberapa tahun. Fungsi matematis dalam penelitian ini yaitu ………………..…(3.2)
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fungsi (3.2) dapat dimodifikasi ke dalam model ekonometrika menjadi, berikut ini: … (3.3) Dimana, IW
= Indeks Williamson
DAU = Proporsi Dana Alokasi Umum RBM = Rasio Belanja Modal provinsi dengan total pengeluaran pemerintah RPP = Rasio Pengeluaran pemerintah daerah dengan pemerintah pusat µit
= gangguan stokastik Penelitian ini menggunakan Generalized Least Square (GLS). GLS
dipilih karena dalam metode OLS yang umum tidak mengasumsikan bahwa varian variabel adalah heterogen, pada kenyataannya variasi data pada data campuran cenderung heterogen (Gujarati, 2004). Metode GLS yang memperhitungkan heterogenitas yang terdapat pada variabel independen secara eksplisit sehingga metode ini mampu menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Dalam Metode GLS dilakukan dengan memilih Cross Section Weight. Dengan model ini diharapkan akan mengetahui perubahan pembentukan variabel dependen (tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi) sebagai akibat perubahan variabel – variabel independen yang mempengaruhinya. Dalam analisa model data panel dikenal, tiga macam pendekatan yang terdiri dari Common Effect Model (CEM), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). a. Common Effect Model (CEM)
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Merupakan pendekatan paling sederhana yang disebut estimasi CEM atau pooled least square. Pada pendekatan ini diasumsikan bahwa nilai intersep masing-masing variabel adalah sama, begitu pula slope koefisien untuk semua unit cross-section dan time series (Sukendar dalam Yuniarti, 2008). b. Fixed Effect Model (FEM). Menurut Gujarati (2004), salah satu cara untuk memperhatikan unit cross section pada model regresi panel adalah dengan mengijinkan nilai intersep
berbeda-beda
untuk setiap unit cross section tetapi
masih mengasumsikan slope koefisien tetap. Model FEM dapat dinyatakan sebagai berikut: ……………... (3.4) i = 1, 2, 3, …, N t = 1, 2, 3, …, T model di atas dikenal sebagai model Fixed Effects karena meskipun itersep berbeda untuk setiap unit cross section, namun intersep ini tidak berbeda atau konstan untuk setiap time series (Gujarati, 2004). c. Random Effects Model (REM) Pada model REM diasumsikan αi merupakan variabel random dengan mean α0. Sehingga intersep dapat dinyatakan sebagai (Gujarati, 2004) αi = αi + εi, dimana εi adalah error random yang mempunyai mean nol dan varian
, εi tidak secara langsung diobservasi atau disebut juga
laten. Berikut persamaan dari REM (Gujarati, 2004): ……………... (3.5)
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
i = 1, 2, 3, …, N t = 1, 2, 3, …, T Dengan error yaitu
, suku error
memuat dua komponen
komponen error cross section dan
yang merupakan
kombinasi komponen error cross section dan time series. Ketiga model tersebut dipilih yang terbaik untuk dijadikan model dalam penelitian ini. Pemilihan model dilakukan dengan membandingkan antara model yang satu dengan yang lain, berikut ini: a. CEM dengan FEM Untuk membandingkan antara model CEM dengan FEM, mana yang lebih cocok dipakai dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Uji Chow. Hipotesis dalam Uji Chow, sebagai berikut: Ho : Model CEM H1 : Model FEM Dasar penolakan terhadap hipotesa nol tersebut adalah dengan menggunakan F Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
…….………. (3.6) Dimana: RSS1 = Residual Sum Square (Merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode pooled least square/common intercept (CEM).
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RSS2 = Residual Sum Square (Merupakan Sum of Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan Fixed Effect Model (FEM). N
= Jumlah data cross section.
T
= Jumlah data time series.
K
= Jumlah variabel penjelas. Apabila nilai Fhitung > Ftabel, maka model yang seharusnya digunakan
adalah FEM. Sebaliknya, apabila nilai Fhitung < Ftabel (N-1, NT – N – K), maka model yang sebaiknya digunakan adalah CEM. b. FEM dengan REM Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menentukan pendekatan mana yang dipilih antara Fixed Effects Model dengan Random Effect Model (Judge dalam Aisyah, 2007), sebagai berikut: 1) Jika εi dan X berkorelasi lebih baik digunakan FEM, dan jika εi dan X tidak berkorelasi lebih baik digunakan CEM. 2) Jika T besar dan N kecil, perbedaan antara keduanya relatif kecil. Tapi FEM lebih disukai. 3) Jika N besar dan T kecil, digunakan FEM jika unit tidak random dari sampel yang besar dan digunakan CEM jika unit diambil secara random. 4) Jika N besar dan T kecil dan jika asumsi CEM terpenuhi, estimator CEM lebih efisien dibanding FEM. Dimana, εi
= Random Error Term dengan rata – rata nol dan varian σ ε2
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
X
= Variabel bebas
N
= Jumlah cross section yang diambil dalam penelitian
T
= Jumlah time series yang diambil dalam penelitian
3. Uji Asumsi Klasik a. Uji Multikolinier Multikolinieritas adalah adanya hubungan antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dalam model regresi. Jika dalam model terdapat multikolinearitas maka model tersebut memiliki kesalahan standar yang besar sehingga koefisien tidak dapat ditaksir dengan ketepatan tinggi. Salah satu cara mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan menggunakan korelasi parsial. Metode ini dilakukan dengan melihat hasil olah data, apabila R2 yang dihasilkan besar, namun terdapat variabel independen yang tidak signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa model penelitian tersebut terdapat Multikolineritas. Selain itu, apabila R2 yang dihasilkan sangat kecil, namun semua variabel independen memiliki probabilitas t yang signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian terdapat masalah multikolinieritas (Pyndick dan Rubinfeld dalam Purwanto, 2009).
b. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi jika kesalahan atau residual yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Gejala hetetoskedastisitas lebih sering dijumpai dalam data silang
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tempat daripada runtut waktu, maupun sering juga muncul dalam analisis yang menggunakan data rata-rata. (Kuncoro, 2007) c. Uji Autokorelasi Autokerelasi adalah adanya korelasi antara variabel gangguan sehingga penaksir tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar. Salah satu metode yang dapat menguji ada tidaknya autokorelasi adalah dengan Durbin – Watson d test dan B – G test. Hipotesis untuk menguji ada tidaknya autokorelasi dalam D-W test adalah Ho : tidak ada serial autokorelasi baik positif maupun negatif.
Gambar 3.3, Kriteria Durbin-Watson Test Sumber: Gujarati, 1999; 216. Gambar 3.1 Kriteria Durbin-Watson Test Kriteria hasil perhitungan D-W statistik dibandingkan dengan tabel DW, sebagai berikut: Jika d < dL, maka Ho ditolak Jika dU < d < 4 – dU, maka Ho diterima
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jika dL ≤ d ≤ dU atau 4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL, maka pengujian dinyatakan tidak meyakinkan (inconclusive).
4. Uji Statistik Uji statistik dilakukan untuk menentukan tingkat signifikansi variabel. Uji yang digunakan adalah a. Uji t Uji t merupakan pengujian koefisien regresi secara individual atau sendiri – sendiri. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui tingkat signifikan masing – masing variabel independen terhadap variabel dependen, dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Hipotesis yang hendak diuji, yaitu: i. Ho : βi = 0 (variabel independen ke-i tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen); ii. Ha : βi ≠ 0 (variabel independen ke-i memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen) Rumus yang digunakan Uji t adalah sebagai berikut: ………………..………… (3.7) dimana, α = Derajat Signifikansi n = Jumlah data k = Jumlah parameter dalam model termasuk konstanta
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
……………………..…… (3.8) dimana, Βi
= Koefisien regresi variabel independen ke-i
Se(βi)= Standar eror variabel independen ke-i Kriteria Pengujian dari Uji t adalah sebagai berikut:
Sumber: Fleming, Michael and Joseph Nellis (1996) Gambar 3.2 Kriteria Uji t Jika thitung < ttabel atau thitung > ttabel, maka pada tingkat kepercayaan α, Ha diterima dan Ho ditolak. Berarti setiap variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Sedangkan, jika ttabel ≤ thitung ≤ ttabel, maka pada tingkat kepercayaan α, Ho diterima dan Ha ditolak. Hal ini berarti variabel independen tidak signifikan terhadap variabel dependen. Cara lain untuk mengetahui signifikan tidaknya koefisien regresi, dengan bantuan program Eviews 3.0 dapat dilihat dari nilai probabilitasnya (Aisyah, 2007:175): 1) Jika nilai probabilitasnya kurang dari 0,01 maka koefisien regresi dari variabel signifikan pada tingkat kepercayaan (α) 1%;
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Jika nilai probabilitas kurang dari 0,05 maka koefisien regresi dari variabel signifikan pada tingkat kepercayaan 5%; 3) Jika nilai probabilitas kurang dari 0,10 maka koefisien regresi dari variabel signifikan pada tingkat kepercayaan 10%.
b. Uji F Uji F merupakan pengujian regresi koefisiensi secara bersama – sama, yang bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama – sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Hipotesis yang diajukan dalam uji F, sebagai berikut: Ho : β0 = β1 = β2 = β3 = … = βi = 0 Ha : β0 ≠ β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ … ≠ βi ≠ 0 Uji F dirumuskan, sebagai berikut: ……..………………. (3.9) dimana, N = jumlah observasi k = jumlah variabel bebas α = derajat signifikansi …….………………… (3.10) dimana, R2 = Koefisien Determinasi
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kriteria pengujian dari Uji F adalah sebagai berikut:
Sumber: Fleming, Michael and Joseph Nellis (1996) Gambar 3.3 Kriteria Uji F Apabila Fhitung > Ftabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima, atau berbeda dengan nol. Dapat disimpulkan bahwa pada tingkat signifikansi α, variabel independen secara bersama – sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Sebaliknya, apabila Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak, atau sama dengan nol. Dapat disimpulkan bahwa pada tingkat signifikansi α, variabel independen secara bersama – sama berpengaruh terhadap variabel dependen.
5. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi menunjukkan derajat ketepatan model, yang biasa dinyatakan dalam persen (%). Semakin mendekati 100%, variabel independen semakin berpengaruh terhadap variabel dependen. Koefisen determinasi dapat dirumuskan, sebagai berikut:
………… (3.11)
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimana, N
= Jumlah observasi
k
= Jumlah variabel bebas
R2 = Koefisien Determinasi
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
E. Gambaran Umum 1. Keadaan Alam Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Luas daratan di Indonesia adalah 1.922.570 km2, sedangkan luas perairan 3.257.483 km2 Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas, berikut ini: Utara
= Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan.
Selatan = Negara Australia, Samudera Hindia. Barat
= Samudera Hindia.
Timur = Negara Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik. Sesuai dengan posisi astronomis dan geografisnya, Indonesia memiliki arti penting dalam kaitannya dengan iklim dan perekonomian. Menurut posisi astronomis, Indonesia terletak diantara 6oLU – 11oLS dan 95oBT – 141oBT. Kepulauan Indonesia dilewati oleh garis khatulistiwa yang terletak di lintang 0o. Sedangkan posisi geografisnya, kepulauan Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia, dan di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Rangkaian pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan Indonesia. Berdasarkan Garis-
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, maka wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 kawasan pembangunan: a.
Kawasan Barat Indonesia. Terdiri dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali.
b.
Kawasan Timur Indonesia. Terdiri dari Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Gambar 4.1 Peta Indonesia Menurut Provinsi Pulau – pulau di Indonesia, sebagai berikut: a. Pulau Sumatera Pulau Sumatera terletak di bagian barat Indonesia, yang merupakan salah satu pulau terbesar keenam di dunia. Batas bagian utara Pulau Sumatera adalah Laut Andaman dan di bagian selatan adalah Selat Sunda. Pulau ini membujur dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi khatulistiwa, seolah membagi pulau Sumatra atas dua bagian, Sumatera belahan bumi utara dan Sumatra belahan bumi selatan. Pulau Sumatra merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena dilintasi oleh patahan kerak bumi disepanjang Bukit Barisan, yang
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disebut Patahan Sumatra; dan patahan kerak bumi di dasar Samudra Hindia disepanjang lepas pantai sisi barat Sumatra. Danau terbesar di Indonesia, Danau Toba terdapat di pulau Sumatra. Secara administratif, Pulau Sumatera terbagi atas 8 provinsi yaitu: Aceh, Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dan 2 provinsi lain yang merupakan pecahan dari provinsi induk di pulau Sumatera yaitu Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung. b. Pulau Kalimantan Berdasarkan luasnya, Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar ketiga di dunia, setelah Irian Jaya yang bergati nama menjadi Papua) dan Greenland. Di Pulau Kalimantan tidak hanya terdapat wilayah Indonesia, tetapi juga terdapat wilayah yang termasuk dalam Negara Malaysia dan Brunei. wilayah tersebut terletak di bagian utara Pulau Kalimantan, yaitu Sarawak dan Sabah yang merupakan wilayah Malaysia, dan Negara Brunei. Batas bagian selatan Pulau Kalimantan adalah Laut Jawa, dan batas bagian barat adalah Laut China Selatan dan Selat Karimata. Sedangkan di bagian timur dipisahkan dengan Pulau Sulawesi oleh Selat Makassar. Tingkat kesuburan tanah di Pulau Kalimantan kurang subur dibandingkan dengan tanah di Pulau Sumatera. Namun Pulau Kalimantan sama halnya dengan Pulau Sumatera, diliputi oleh hutan tropik yang lebat (primer dan sekunder). Secara geologik Pulau Kalimantan stabil, relatif aman dari gempa bumi (tektonik dan vulkanik) karena tidak dilintasi oleh
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
patahan kerak bumi dan tidak mempunyai rangkaian gunung berapi aktif seperti halnya pulau Sumatera, pulau Jawa dan pulau Sulawesi. Sungai terpanjang di Indonesia, Sungai Kapuas, 1.125 kilometer, berada di Pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan secara administratif terbagi atas 4 provinsi yaitu: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. c. Pulau Jawa Pulau Jawa melintang dari barat ke timur dan berada di bagian selatan Indonesia. Berbeda dengan Pulau Kalimantan dan Sumatera yang merupakan salah satu pulau terbesar, Pulau Jawa memiliki Penduduk lebih banyak dibandingkan dengan pulau – pulau lainnya di Indonesia. Batas bagian selatan Pulau Jawa adalah Samudera Hindia, dan batas bagian utara adalah Laut Jawa dan dipisahkan dengan Pulau Madura oleh Selat Madura. Batas bagian barat Pulau Jawa adalah Selat Sunda yang merupakan pemisah antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Sedangkan batas bagian timur adalah Selat Bali, yang merupakan pemisah antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali. Secara geologik, Pulau Jawa merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena dilintasi oleh patahan kerak bumi lanjutan patahan kerak bumi dari Pulau Sumatera, yang berada dilepas pantai selatan Pulau Jawa.
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pulau Jawa secara administratif terbagi atas 6 provinsi yaitu: Banten, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. d. Pulau Sulawesi Pulau Sulawesi bagian utara dibatasi oleh Laut Sulawesi, yang merupakan pemisah antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao, Filipina. Di Bagian Selatan dibatasi oleh Laut Flores, dan di bagian barat dibatasi oleh Selat Makasar, yang merupakan pemisah antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Sedangkan di bagian timur Pulau Sulawesi dibatasi olehLaut Banda. Pulau Sulawesi merupakan habitat banyak satwa langka dan satwa khas Sulawesi; di antaranya Anoa, Babi Rusa, Kera Tarsius. Secara geologik Pulau Sulawesi sangat labil secara karena dilintasi patahan kerak bumi lempeng Pasifik dan merupakan titik tumbukan antara Lempeng Asia, Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik. Pulau Sulawesi secara administratif terbagi atas enam provinsi yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Utara. e. Kepulauan Sunda Kecil Kepulauan Sunda Kecil terdiri dari beberapa pulau kecil yang terpisah – pisah yang terletak di selatan Khatulistiwa. Sebagian besar, Kepulauan Suda Kecil merupakan merupakan barisan gunung berapi aktif dengan tinggi sekitar 2.000 sampai 3.700 meter di atas permukaan laut. Diantaranya yang terkenal adalah Gunung Agung di Bali, Gunung Rinjani
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di Lombok, Gunung Tambora di Sumbawa dan Gunung Lewotobi di Flores. Batas bagian utara gugus kepulauan adalah Laut Flores dan Laut Banda. Di bagian selatan kepulauan ini dibatasi oleh Samudera Hindia. Di bagian barat dibatasi dengan Selat Bali. Sedangkan, di bagian timur berbatasan dengan Kepulauan Maluku dan Papua yang dipisahkan oleh Laut Banda. Hutan di Kepulauan Sunda Kecil sangat sedikit, bahkan semakin ke timur gugus pulau maka hutan telah berganti dengan sabana. Secara geologik, kawasan Sunda Kecil juga termasuk labil karena dilintasi oleh patahan kerak bumi di selatan gugusan Kepulauan Sunda Kecil yang merupakan lanjutan patahan kerak bumi diselatan pulau Jawa. Secara administratif, Kepulauan Sunda kecil dibagi atas 3 provinsi yaitu: Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. f. Kepulauan Maluku dan Papua Merupakan kepulauan Indonesia yang terletak di sebelah timur Indonesia. Kepulauan ini terdiri dari satu pulau besar dan ribuan pulaupulau kecil, baik yang berpenghuni maupun tidak. Satu pulau besar tersebut bernama Pulau Papua yang merupakan pulau terbesar di dunia. Secara administratif, Kepulauan Maluku dan Papua dibagi atas: Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Penduduk Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Indonesia meningkat menjadi sebanyak 237.556.363 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 119.507.580 orang berjenis kelamin laki – laki dan 118.048.783 orang berjenis kelamin perempuan. Rata – rata laju pertumbuhan penduduk per tahun di Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun. Sedangkan, rata – rata kepadatan penduduk di Indonesia sebesar 124 orang per km2. Sebagaian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal di Pulau Jawa, dengan jumlah penduduk terbanyak berada di Jawa barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, masing – masing berjumlah 43.021.826 orang, 37.476.011 orang dan 32.380.687 orang. Sedangkan kepadatan peduduk tertinggi di Indonesia juga terdapat di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, sebesar 14.440 orang per km2. Tabel 4.1 Distribusi Penduduk menurut Pulau di Indonesia Tahun 2010 Pulau Persentase Pulau Jawa 58% Pulau Sumatera 21% Pulau Sulawesi 7% Pulau Kalimantan 6% Pulau Bali dan Nusa Tenggara 6% Pulau Maluku dan Papua 3% Sumber: Berita Resmi Statistik BPS Tahun 2010
3. Struktur Perekonomian Struktur perekonomian Indonesia juga didominasi oleh Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 57,6 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 23,5 persen, Pulau Kalimantan 9,5 persen,
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan Pulau Sulawesi 4,6 persen dan sisanya 4,8 persen di provinsi-provinsi lainnya. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan penyumbang tertinggi dalam pembentukan PDB nasional. Ketiganya memberikan kontribusi sebesar 45,7% terhadap PDRB Indonesia. Dapat dirinci DKI Jakarta sebesar 16,6 persen, Jawa Timur 14,7 persen dan Jawa Barat 14,4 persen. Selanjutnya provinsi dengan kontribusi terbanyak di Pulau Sumatera adalah Provinsi penyumbang terbesar di Pulau Kalimantan adalah Kalimantan Timur sebesar 6,4 persen, sedangkan provinsi penyumbang terbesar di Pulau Sulawesi adalah Sulawesi Selatan sebesar 2,2 persen. Tabel 4.2 Peranan Wilayah/Pulau dalam Pembentukan PDB-Nasional Di Indonesia Tahun 2007 – 2009 (%) 2007 2008 2009 Wilayah/Pulau 22,9 23,3 23,5 Sumatera 58,8 57,7 58,1 Jawa 2,7 2,5 2,7 Bali dan Nusa Tenggara 9,4 10,5 9,2 Kalimantan 4,1 4,2 4,5 Sulawesi 2,1 1,8 2,0 Maluku dan Papua 100,0 100,0 100,0 Indonesia Sumber: Berita Resmi Statistik BPS Tahun 2010
4. Proporsi Dana Alokasi Umum Data proporsi dana alokasi umum yang didapat dari Nota Keuangan Pemerintah Tahun 2009, menunjukkan bahwa proporsi dana alokasi umum yang diberikan pemerintah pusat kepada tiap daerah berbeda – beda tiap tahunnya. Berdasarkan UU no. 33 tahun 2004, setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar dari kebutuhan fiskal akan menerima penurunan DAU, dan atau tidak menerima sama sekali pada tahun berikutnya.
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dasar inilah yang digunakan pemerintah untuk memberikan predikat daerah kaya salah satunya DKI Jakarta dan memperoleh penghapusan DAU. DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi yang dua tahun berturut-turut tidak mendapatkan Dana Alokasi Umum oleh Pemerintah Pusat yaitu pada tahun 2008 dan 2009. Selain itu, Kalimantan Timur yang mendapatkan proporsi DAU sebesar 1,40 pada tahun 2006 dan terus menurun tiap tahunnya menjadi sebesar 1,10 pada tahun 2009. Tahun 2009, provinsi yang mendapatkan proporsi dana alokasi umum paling tinggi adalah Jawa Tengah, yaitu sebesar 6,10 persen. Kemudian Jawa Timur, yang mendapatkan proporsi DAU sebesar 6,00 persen. Selain itu, ratarata perolehan proporsi DAU tertinggi dari tahun 2006 sampai dengan 2009 juga didapatkan Provinsi Jawa Tengah, yaitu 6,13 persen. Sedangkan, rata-rata per tahun yang terendah didapatkan oleh Kalimantan Timur. Tahun 2006 – 2009, proporsi DAU yang didapat provinsi cenderung mengalami
penurunan.
Hanya
beberapa
provinsi
yang
mengalami
peningkatan. Salah satunya adalah Jawa Timur, yang terus mengalami peningkatan proporsi DAU, pada tahun 2006 sebesar 5,60 menjadi 6,00 pada tahun 2009. Kemudian provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2006 sebesar 3,30 menjadi 3,50 pada tahun 2009. selain itu, peningkatan proporsi DAU dari tahun ke tahun juga dialami provinsi Jawa Tengah. Pengalokasian DAU yang berbeda tiap provinsi dan kabupaten/kota diharapkan dapat mengurangi ketimpangan horisontal di Indonesia.
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TABEL 4.3 PROPORSI DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2006 - 2009 TAHUN RATA PROVINSI RATA 2006 2007 2008 2009 Nanggro Aceh Darusalam 3,20 3,00 3,10 2,60 2,98 Sumatera Utara 3,70 4,00 4,10 4,10 3,98 Sumatera Barat 3,30 3,30 3,50 3,50 3,40 Riau 0,80 1,70 1,10 1,20 1,20 Kepulauan Riau 1,60 2,00 1,60 0,20 1,35 Jambi 2,60 2,50 2,60 2,60 2,58 Sumatera Selatan 2,90 3,10 3,00 2,70 2,93 Kep. Bangka Belitung 1,90 1,90 2,20 2,20 2,05 Bengkulu 2,60 2,50 2,70 2,60 2,60 Lampung 3,20 3,10 3,20 3,40 3,23 DKI Jakarta 5,30 0,70 0,00 0,00 1,50 Jawa Barat 3,90 5,70 5,00 5,20 4,95 Banten 1,70 2,00 1,90 1,90 1,88 Jawa Tengah 6,10 6,40 5,90 6,10 6,13 DIY 2,80 2,70 2,80 2,80 2,78 Jawa Timur 5,60 6,60 5,70 6,00 5,98 Bali 2,40 2,60 2,50 2,50 2,50 NTB 2,80 2,70 2,80 3,00 2,83 NTT 3,30 3,40 3,40 3,50 3,40 Kalimatan Barat 4,00 3,70 4,10 4,00 3,95 Kalimantan Tengah 3,80 3,50 3,70 3,80 3,70 Kalimantan Selatan 2,60 2,60 2,60 0,30 2,03 Kalimatan Timur 1,40 1,40 0,70 0,10 0,90 Sulawesi Selatan 3,50 3,60 3,70 3,60 3,60 Gorontalo 2,70 1,80 2,10 2,10 2,18 Sulawesi Utara 2,80 2,70 3,00 3,00 2,88 Sulawesi Barat 1,80 1,70 2,00 2,10 1,90 Sulawesi Tengah 3,30 3,00 3,40 3,40 3,28 Sulawesi Tenggara 2,90 2,80 3,20 3,20 3,03 Maluku 2,90 2,90 3,10 3,10 3,00 Maluku Utara 2,30 2,20 2,50 2,50 2,38 Papua Barat 2,40 2,20 3,20 3,20 2,75 Papua 5,60 5,30 5,60 5,70 5,55 Sumber: Nota Keuangan Indonesia
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Rasio belanja modal provinsi dengan pengeluaran pemerintah Belanja modal yang merata perlu dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan untuk mengantisipasi pertumbuhan ekonomi tinggi yang diinginkan pemerintah tidak menimbulkan masalah, yaitu ketimpangan ekonomi. Belanja modal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rasio dari belanja modal provinsi terhadap pengeluaran pemerintah pusat, sebagai tolak ukur untuk melihat sejauh mana belanja modal di provinsi dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah pusat. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rasio belanja modal provinsi-provinsi di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2006 sampai dengan 2009. Provinsi yang memiliki rata-rata pertahun rasio belanja modal tertinggi pada tahun 2009 yaitu Kalimantan Timur sebesar 3,028. Dengan rasio belanja modal pada tahun 2006 sebesar 2,5777 menjadi 3,5715 pada tahun 2009. Sedangkan, daerah dengan rata-rata per tahun rasio belanja modal terendah adalah Provinsi Gorontalo sebesar 0,1310. Dengan rasio belanja modal pada tahun 2006 sebesar 0,1161 turun menjadi 0,0516 pada tahun 2009. Tahun 2008 dan 2009, DKI Jakarta tidak mendapatkan dana alokasi umum. Namun belanja modal yang dikeluarkan tidak mengalami penurunan yang terlalu banyak, bahkan rasio belanja modal dari tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami peningkatan. Tahun 2006, rasio belanja modal DKI Jakarta sebesar 1,4969 mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 menjadi sebesar 1,4844 dan 0,8196. Sedangkan tahun 2009, rasio belanja modal meningkat menjadi sebesar 1,4401.
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TABEL 4.4 RASIO BELANJA MODAL PROVINSI DENGAN PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2009 TAHUN RATA – PROVINSI RATA 2006 2007 2008 2009 Nanggro Aceh Darusalam 0,896236 0,968323 0,938608 0,780296 0,89587 Sumatera Utara 0,988393 1,202065 1,291116 1,173340 1,16373 Sumatera Barat 0,867656 0,609306 0,749565 1,381454 0,90200 Riau 2,250964 1,540724 1,934470 1,346937 1,76827 Kepulauan Riau 0,150768 0,427275 0,323490 0,811166 0,42817 Jambi 0,460258 0,548675 0,601654 0,435581 0,51154 Sumatera Selatan 0,995661 1,321977 1,415811 1,915557 1,41225 Kep. Bangka Belitung 0,249139 0,308301 0,387484 0,711968 0,41422 Bengkulu 0,259304 0,390471 0,414625 0,744930 0,45233 Lampung 0,403691 0,526598 0,487087 0,697527 0,52873 DKI Jakarta 1,496927 1,484406 0,819621 1,440142 1,31027 Jawa Barat 1,416075 1,614974 1,573020 1,383882 1,49699 Banten 0,697578 0,530410 0,444588 0,040842 0,42835 Jawa Tengah 1,237317 1,573122 1,533348 1,635680 1,49487 DIY 0,187948 0,168183 0,219587 0,576876 0,28815 Jawa Timur 1,587069 1,763954 2,210906 2,503489 2,01635 Bali 0,222268 0,276789 0,374673 0,619091 0,37321 NTB 0,243575 0,409922 0,364476 0,400095 0,35452 NTT 0,439781 0,512137 0,616361 0,613687 0,54549 Kalimatan Barat 0,555945 0,625556 0,748005 0,082093 0,50290 Kalimantan Tengah 0,689097 0,816940 0,876231 1,874214 1,06412 Kalimantan Selatan 0,504421 0,572732 0,742843 1,873403 0,92335 Kalimatan Timur 2,577710 2,396195 3,569842 3,571549 3,02882 Sulawesi Selatan 0,828577 1,002154 1,238062 0,884616 0,98835 Gorontalo 0,116106 0,148369 0,208234 0,051648 0,13109 Sulawesi Utara 0,215987 0,326686 0,323591 0,721427 0,39692 Sulawesi Barat 0,175391 0,177741 0,169950 0,722983 0,31152 Sulawesi Tengah 0,379709 0,505211 0,482370 0,633318 0,50015 Sulawesi Tenggara 0,326312 0,429253 0,458611 0,914834 0,53225 Maluku 0,351525 0,294873 0,469630 0,362182 0,36955 Maluku Utara 0,283858 0,355191 0,428603 0,081405 0,28726 Papua Barat 0,512120 0,060920 0,708588 0,033316 0,32874 Papua 0,877564 1,314508 1,353609 0,358642 0,97608 Sumber: data diolah
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Rasio pengeluaran pemerintah provinsi dengan pengeluaran pemerintah Salah satu hal yang dibutuhkan dalam pembangunan adalah koefisiennya dana yang dikeluarkan. Dalam penelitian ini dana pengeluaran provinsi yang digunakan dibandingkan terlebih dahulu terhadap pengeluaran pemerintah pusat. Tabel 4.5, menunjukkan bahwa rasio pengeluaran pemerintah provinsi terhadap pengeluaran pemerintah pusat di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun khususnya pada tahun 2009. Tahun 2009, rasio pengeluaran provinsi mengalami peningkatan yang signifikan. Rasio pengeluaran pemerintah di provinsi Jawa timur cukup besar bila dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah pusat. Rata – rata rasio pengeluaran pemerintah per tahun Jawa Timur sebesar 10,1217 persen. Sedangkan, terendah dialami oleh Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebesar 0,7116 persen. DKI Jakarta dan Kalimantan Timur yang merupakan salah satu provinsi yang kaya memiliki rata – rata rasio pengeluaran pemerintah tiap tahunnya masing-masing sebesar 5,94 persen dan 6,75 persen. Walaupun dana alokasi umum DKI Jakarta telah dihapus, rasio pengeluaran provinsi DKI Jakarta tetap mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke 2008 yaitu dari 5,4335 menjadi 6,1026. Sedangkan pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5,8337. Kemudian, Rasio pengeluaran pemerintah provinsi Kalimantan Timur mengalami peningkatan tahun 2008 dari 6,7454 menjadi 7,0721 dan mengalami penurunan tahun 2009 sebesar 0,35 yaitu menjadi sebesar 6,7218.
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TABEL 4.5 RASIO PENGELUARAN PROVINSI DENGAN PENGELUARAN PEMERINTAH PUSAT INDONESIA TAHUN 2006 – 2009 TAHUN RATA PROVINSI RATA 2006 2007 2008 2009 Nanggro Aceh Darusalam 3,6674 3,5071 3,3247 3,0665 3,3914 Sumatera Utara 4,9410 4,7689 4,8423 4,8290 4,8453 Sumatera Barat 2,8120 2,7984 2,9304 2,9841 2,8812 Riau 5,6776 5,8554 4,8698 4,6489 5,2629 Kepulauan Riau 1,2446 1,6520 1,2021 1,3690 1,3669 Jambi 1,7282 1,7794 1,7580 1,5748 1,7101 Sumatera Selatan 3,2641 3,3623 3,5189 7,0004 4,2864 Kep. Bangka Belitung 0,8114 0,9077 0,9672 0,1601 0,7116 Bengkulu 1,1267 1,1130 1,2217 1,5590 1,2551 Lampung 2,3392 2,1734 2,2425 2,5113 2,3166 DKI Jakarta 6,3763 5,4335 6,1026 5,8337 5,9365 Jawa Barat 8,7806 8,5477 8,5000 8,5856 8,6035 Banten 2,2297 2,0087 1,9439 2,4997 2,1705 Jawa Tengah 8,7806 8,6792 8,5289 8,1777 8,5416 DIY 1,2947 1,2040 1,2645 3,3759 1,7848 Jawa Timur 10,995 9,7874 9,8367 9,8678 10,1217 Bali 1,7661 1,7889 1,8320 1,4146 1,7004 NTB 1,6633 1,5543 1,5848 2,7996 1,9005 NTT 2,2402 2,2407 2,1998 2,8434 2,3810 Kalimatan Barat 2,3156 2,1458 2,2646 2,4569 2,2957 Kalimantan Tengah 2,0950 2,3696 2,3347 2,8540 2,4133 Kalimantan Selatan 2,0934 2,0418 2,3114 2,0921 2,1347 Kalimatan Timur 6,4745 6,7454 7,0721 6,7218 6,7535 Sulawesi Selatan 3,7661 3,7569 3,8770 3,2607 3,6652 Gorontalo 0,6889 0,5608 0,6408 1,7376 0,9070 Sulawesi Utara 1,2885 1,2866 1,2355 1,1223 1,2332 Sulawesi Barat 0,5894 0,5689 0,5940 1,6986 0,8627 Sulawesi Tengah 1,5572 1,5859 1,5470 1,1685 1,4647 Sulawesi Tenggara 1,4187 1,4260 1,4150 1,3652 1,4062 Maluku 1,2062 1,1375 1,3212 1,2786 1,2359 Maluku Utara 0,9541 1,0379 1,0326 1,2260 1,0627 Papua Barat 1,7238 1,7094 1,6845 1,8863 1,7510 Papua 3,0713 4,4930 3,9974 3,5829 3,7862 Sumber: data diolah
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Analisis Data 1. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Indonesia TABEL 4.6 INDEKS WILLIAMSON DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2009 TAHUN RATA – PROVINSI RATA 2006 2007 2008 2009 Nanggro Aceh Darusalam 0,9314 0,8600 0,7488 0,8709 0,8528 Sumatera Utara 0,5211 0,5493 0,5827 0,8513 0,6261 Sumatera Barat 0,3664 0,4126 0,3844 0,4398 0,4008 Riau 0,7390 0,7094 0,6991 0,7832 0,7327 Kepulauan Riau 0,7122 0,7079 0,7038 0,6800 0,7010 Jambi 0,4087 0,4060 0,4019 0,3701 0,3967 Sumatera Selatan 0,6698 0,6501 0,6379 0,8452 0,7008 Kep. Bangka Belitung 0,3096 0,3104 0,3130 0,3026 0,3089 Bengkulu 0,4176 0,4171 0,3822 0,3873 0,4011 Lampung 0,2259 0,2878 0,2299 0,2410 0,2462 DKI Jakarta 0,4989 0,4458 0,5474 0,5127 0,5012 Jawa Barat 0,6913 0,6899 0,6941 0,7125 0,6970 Banten 0,6644 0,6700 0,7909 0,6754 0,7002 Jawa Tengah 0,6466 0,6462 0,6436 0,6706 0,6518 DIY 0,3948 0,3984 0,4022 0,3696 0,3913 Jawa Timur 1,1076 1,2462 1,0157 1,0012 1,0927 Bali 0,4242 0,4404 0,4453 0,3771 0,4218 NTB 0,9422 0,9322 0,8708 0,7529 0,8745 NTT 0,5183 0,5507 0,5399 0,5203 0,5323 Kalimatan Barat 0,4444 0,4175 0,4311 0,3475 0,4101 Kalimantan Tengah 0,2321 0,2074 0,2058 0,2999 0,2363 Kalimantan Selatan 0,4463 0,4493 0,4523 0,4511 0,4498 Kalimatan Timur 07942 0,8155 0,7799 1,1029 0,8731 Sulawesi Selatan 0,7036 0,7086 0,7570 0,7432 0,7281 Gorontalo 0,3307 0,2639 0,2593 0,2485 0,2756 Sulawesi Utara 0,4062 0,3853 0,4144 0,3156 0,3804 Sulawesi Barat 0,1208 0,1227 0,1027 0,1090 0,1138 Sulawesi Tengah 0,2456 0,2613 0,2700 0,3841 0,2903 Sulawesi Tenggara 0,6298 0,4903 0,4661 0,4773 0,5159 Maluku 0,5533 0,6116 0,5381 0,5448 0,5620 Maluku Utara 0,2386 0,2386 0,2615 0,2953 0,2585 Papua Barat 0,6216 0,4656 0,4473 0,3823 0,4792 Papua 0,5817 0,5749 0,5683 0,6854 0,6026 Rata-rata provinsi 0,5315 0,5255 0,5148 0,5379 0,5274 Sumber: data diolah
KET. Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Sedang Sedang Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sedang Tinggi Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Sedang Tinggi Tinggi
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketimpangan merupakan salah satu masalah yang selalu terjadi di Negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Walaupun ketimpangan sudah biasa terjadi, ketimpangan harus ditangani secara dini agar persoalan sosial yang timbul akibat adanya ketimpangan menjadi tidak semakin parah. Oleh karena itu, kajian tentang ketimpangan antar provinsi sangatlah diperlukan sebagai dasar pengambilan kebijakan di masa yang akan datang. Tingkat ketimpangan dalam penelitian ini didapat dengan menggunakan Indeks
Williamson.
Hasil
perhitungan
menunjukkan
bahwa
tingkat
ketimpangan antar provinsi di Indonesia masih tinggi. Hal ini terbukti dari banyaknya provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan di atas 0,5 dan tingginya rata – rata tingkat ketimpangan provinsi. Rata – rata tingkat ketimpangan provinsi senderung menurun pada tahun 2006 – 2008, dan meningkat pada tahun 2009. Rata-rata tingkat ketimpangan provinsi tahun 2006
sebesar 0,5315, menurun menjadi sebesar 0,5255 tahun 2007 dan
0,5148 tahun 2009. Kemudian meningkat menjadi sebesar 0,5379 di tahun 2009. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketimpangan baik SDA maupun SDE antara daerah yang kaya dengan yang rendah masih mengalami peningkatan yang relatif rendah. Dari 33 provinsi terdapat 6 provinsi yang memiliki Indeks Williamson dibawah 0,3 (rendah); 10 provinsi diantara 0,3 dengan 0,5 (sedang); dan 17 provinsi lebih dari 0,5 (tinggi). Provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan tertinggi adalah Jawa Timur, yaitu sebesar 1,0012 pada tahun 2009. Sedangkan, tingkat ketimpangan terendah adalah provinsi Sulawesi Barat yaitu sebesar 0,1090. Tingkat ketimpangan Sulawesi Barat yang rendah
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bukan berarti bahwa dapat dibiarkan begitu saja. Pemerintah tetap melakukan kajian ulang terhadap perencanaan pembangunan ekonomi yang telah dilakukan selama ini dan melakukan perencanaan yang lebih baik sehingga tingkat ketimpangan tidak semakin melebar dan konsekuensi dari ketimpangan tersebut dapat dihindari.
2. Hasil Estimasi Model Dalam panel data terdapat tiga model, yaitu Common Effect Model, Fixed Effect Model, dan Random Effect model. Ketiga model tersebut akan dipilih satu yang terbaik untuk dijadikan model dalam penelitian ini. Sehingga diharapkan akan mengetahui perubahan pembentukan variabel dependen (tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi) sebagai akibat perubahan variabel – variabel independen yang mempengaruhinya, yaitu Proporsi Dana Alokasi Umum (DAU), Rasio Belanja Modal provinsi dengan pengeluaran pemerintah pusat (RBM) dan Rasio Pengeluaran Pemerintah Provinsi dengan pengeluaran pemerintah pusat (RPP). Pengujian dalam memilih model, dilakukan berikut ini: a. Common Effects Model dengan Fixed Effects Model CEM dengan FEM diuji dengan menggunakan Uji Chow. Uji Chow digunakan untuk mendapatkan model terbaik antara FEM dengan CEM. Hasil dari Uji Chow, sebagai berikut:
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
Fhitung
digilib.uns.ac.id
= [(3,713261-0,345316)/(33-1)]/[0,345316/(132-33-4)] = [3,367945/32]/[0,345316/96] = 0,105248/0,003597 = 29,25968
Ftabel = 1,55 Hasil Uji Chow menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang sebaiknya digunakan adalah Fixed Effects Model (FEM).
b. Fixed Effects Model dengan Random Effects Model Jumlah data cross section (N) dalam penelitian ini sebanyak 33, dan jumlah data time series (t) sebanyak 4 tahun. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini tidak diambil secara random tetapi digunakan seluruhnya untuk penelitian yaitu 33 provinsi. Sesuai dengan point ketiga menurut Judge (dalam Aisyah, 2007), yang menyatakan bahwa Jika N besar dan t kecil, digunakan FEM jika unit tidak random dari sampel yang besar dan digunakan REM jika unit diambil secara random. Maka model yang sebaiknya digunakan dalam menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi tingkat ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia pada tahun 2006 – 2009 adalah Fixed Effects Model (FEM).
c. Hasil Estimasi Fixed Effect Model Hasil pengolahan data menggunakan program Eviews 3.0, dengan fixed effects Model, adalah sebagai berikut:
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.7 Hasil Fixed Effect Models Dependent Variable: IW? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 02/25/11 Time: 07:49 Sample: 2006 2009 Included observations: 4 Total panel observations 132 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error t-Statistic DAU? -1.64E-05 0.000632 -0.025988 RBM? -0.004399 0.002053 -2.142510 RPP? 0.007776 0.001423 5.462710 Fixed Effects _NAD—C 0.830430 _SUMUT—C 0.593656 _SUBAR—C 0.382474 _RIAU—C 0.699584 _KEPRI—C 0.692310 _JAMBI—C 0.385700 _SUMSEL—C 0.673727 _KEPBABEL--C 0.305257 _BENGKULU--C 0.393382 _LAMPUNG--C 0.230554 _DKI—C 0.460870 _JABAR—C 0.636743 _BANTEN—C 0.685277 _JATENG—C 0.592049 _DIY—C 0.378764 _JATIM—C 1.022969 _BALI—C 0.410232 _NTB—C 0.861417 _NTT—C 0.516300 _KALBAR—C 0.394574 _KALTENG--C 0.222294 _KALSEL—C 0.437263 _KALTIM—C 0.834014 _SULSEL—C 0.704066 _GTALO—C 0.269191 _SULUT—C 0.372640 _SULBAR—C 0.108537 _SULTENGH--C 0.281150 _SULTENGG--C 0.507372 _MALUKU—C 0.554048 _MALKUT—C 0.251569 _PAPBAR—C 0.467122 _PAPUA—C 0.577598 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999190 0.998895 0.059975 59211.75 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
Prob. 0.9793 0.0336 0.0000
1.271097 1.803981 0.345316 2.079038 Lanjutan ...
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lanjutan … Unweighted Statistics R-squared 0.944029 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.923623 S.D. dependent var S.E. of regression 0.062813 Sum squared resid Durbin-Watson stat 1.891451 Sumber: Print out komputer (Lihat Lampiran)
0.527467 0.227282 0.378759
Persamaan regresi yang dihasilkan berikut ini: IW_X= C_X – (1.64E-05) * DAU_X – 0.0043 * RBM_X + 0.0077 * RPP_X + µit
t-stat
-0.025988
-2.142510
5.462710
Prob t-stat
(0.9793)
(0.0336)
(0.0000)
R squared
= 0.999190
F-stat
= 59211.75
Prob F-stat
= (0.0000)
D-W stat
= 2.079038
dimana, IW_X
= Indeks Williamson provinsi x.
C_X
= Konstanta provinsi x.
DAU_X = Proporsi Dana Alokasi Umum provinsi x. RBM_X = Rasio Belanja Modal Provinsi x dengan Pengeluaran Pemerintah Pusat. RPP_X = Rasio Pengeluaran Pemerintah Provinsi x dengan Pengeluaran Pemerintah Pusat. µit
= Kombinasi komponen error cross section dan time series
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TABEL 4.8 Hasil Konstanta Dummy variable Dengan Fixed Effects Model Provinsi _NAD—C _SUMUT--C _SUBAR--C _RIAU—C _KEPRI—C _JAMBI--C _SUMSEL--C _KEPBABEL--C _BENGKULU--C _LAMPUNG--C _DKI—C _JABAR--C _BANTEN--C _JATENG--C _DIY—C _JATIM—C _BALI—C
Konstanta (C_X) 0.830430 0.593656 0.382474 0.699584 0.692310 0.385700 0.673727 0.305257 0.393382 0.230554 0.460870 0.636743 0.685277 0.592049 0.378764 1.022969 0.410232
Provinsi _NTB--C _NTT--C _KALBAR--C _KALTENG--C _KALSEL--C _KALTIM--C _SULSEL--C _GTALO--C _SULUT--C _SULBAR--C _SULTENGH--C _SULTENGG--C _MALUKU--C _MALKUT--C _PAPBAR--C _PAPUA--C
Konstanta (C_X) 0.861417 0.516300 0.394574 0.222294 0.437263 0.834014 0.704066 0.269191 0.372640 0.108537 0.281150 0.507372 0.554048 0.251569 0.467122 0.577598
Sumber: Hasil estimasi model analisis dengan program computer Eviews 3.0
Dummy variable dalam penelitian ini terdiri dari 33 provinsi di Indonesia. Konstanta yang dihasilkan dari hasil regresi menunjukkan bahwa 33 provinsi di Indonesia memiliki tingkat ketimpangan tinggi tanpa pengaruh dari DAU, RBM, dan RPP (DAU = RPP = RBM = 0) . Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki konstanta tertinggi yaitu sebesar 1,0229. Hal ini berarti bahwa apabila variabel DAU, RBM dan RPP adalah nol maka tingkat ketimpangan di Jawa Timur sebesar 1,0229. Sedangkan, provinsi yang memiliki konstanta terkecil adalah Sulawesi Barat yaitu besar 0,1085. Hal ini berarti bahwa apabila variabel DAU, RBM dan RPP adalah nol, maka tingkat ketimpangan Sulawesi Barat yaitu sebesar 0,1085.
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Uji Asumsi Klasik d. Uji Multikolinier Uji Multikolinieritas dilakukan guna mengetahui apakah dalam penelitan ini terdapat hubungan korelasi sempurna diantara variabelvariabel yang terdapat dalam model. Uji Multikolinier dalam penelitian ini tidak dilakukan karena penelitian ini sudah menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) (Samanhudi, 2009). e. Uji Heteroskedastisitas Uji Heteroskedastisitas dilakukan guna mengetahui ada tidaknya kesalahan atau residual yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya (Hanke & Reitsch, 1998: 259 dalam Mudrajad Kuncoro, 2004: 96). Dalam penelitian menggunakan data cross section, memungkinkan kecenderungan terdapat heteroskedastisitas. Maka penelitian menggunakan teknik estimasi Fixed Effects Method dengan Weight Least Square atau yang biasa disebut metode Generalized Least Square (GLS). Teknik estimasi ini diharapkan dapat menghilangkan atau memperbaiki heteroskedastisitas. f. Uji Autokorelasi uji Autokorelasi dalam penelitian ini dilakukan menggunakan Durbin-Watson test yang bertujuan untuk mengetahui apakah diantara kesalahan pengganggu yang saling berurutan terjadi autokorelasi atau tidak. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Durbin-Watson stat sebesar 2,0790. Sedangkan nilai Durbin-Watson tabel pada α=5% (N=132;k=3) diperoleh nilai dL= 1,61 dan dU=1,74. Berarti D-W stat
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terletak diantara Jika dU dan 4 – dU (dU < d < 4 – dU), yaitu 1,74<2,0790<2,39. Hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima dan model yang digunakan dalam penelitian ini tidak terdapat autokorelasi, baik positif maupun negatif.
4. Uji Statistik a. Uji t (t Test) Hasil uji t yang didapat dari pengolahan data menggunakan Eviews 3.0, berikut ini: 1) Variabel proporsi dana alokasi umum (DAU) secara sendiri – sendiri tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas dari DAU lebih besar dari tingkat signifikan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu 5%. Nilai probabilitas dari DAU sebesar 0,9793. 2) Variabel Rasio
Belanja Modal Provinsi dengan
Pengeluaran
Pemerintah Pusat berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas dari variabel RBM, yaitu 0,0336 yang nilainya lebih kecil dari tingkat signifikansinya yaitu 5%. 3) Variabel rasio pengeluaran pemerintah provinsi dengan pengeluaran pemerintah pusat (RPP) berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh nilai probabilitas RPP yang nilainya lebih besar dari 5%, yaitu 0,0000. TABEL 4.9 Hasil Uji t Variabel
Probabilitas
DAU RBM RPP
0,9793 0,0336 0,0000
α 0,0500 0,0500 0,0500
ket tidak signifikan signifikan signifikan
Sumber: Data diolah
b. Uji F (F Test) Hasil olah data dengan menggunakan program Eviews 3.0 menunjukkan bahwa nilai F stat > F tabel, yaitu 59211,75>19,50 artinya Ho ditolak dan Ha diterima atau tidak sama dengan nol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat signifikansi 5% secara bersama – sama variabel Proporsi Dana Alokasi Umum (DAU), Rasio Belanja Modal Provinsi dengan Pengeluaran Pemerintah Pusat (RBM) dan Rasio Pengeluaran Pemerintah Provinsi dengan Pengeluran Pemerintah Pusat berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Indonesia. Tabel 4.10 Hasil Uji F F stat
tanda >
59211,75
F tabel
ket
19,50 signifikan
Sumber: Data diolah
5. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien Determinasi dilakukan guna mengetahui berapa persen (%) variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen.
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari hasil olah data menggunakan Eviews 3.0, nilai Adjusted R-squared yang didapatkan adalah sebesar 0,998895. Hal ini berarti bahwa dalam penelitian ini variabel DAU, RBM dan RPP secara bersama – sama mampu menjelaskan variabel ketimpangan pembangunan ekonomi (IW) sebesar 99,89%, sedangkan 1,11% sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model.
G. Pembahasan Hasil Penelitian Interpretasi hasil dari pengaruh Proporsi DAU, Rasio Belanja Modal provinsi dengan Pengeluaran Pemerintah Pusat dan Rasio Pengeluaran Provinsi dengan
Pengeluaran
Pemerintah
Pusat
terhadap
Tingkat
Ketimpangan
Pembangunan Ekonomi antar provinsi di Indonesia pada tahun 2006 sampai dengan 2009, sebagai berikut: a. Pengaruh proporsi DAU terhadap tingkat ketimpangan Berdasarkan hasil uji t terlihat bahwa variabel proporsi dana alokasi umum (DAU) pada tahun 2006 – 2009 tidak berpengaruh secara signifikan. Tidak signifikannya proporsi DAU terhadap tingkat ketimpangan dilihat dari probabilitas variabel DAU yang nilainya lebih besar dari 5%. Menurut penelitian Sidik, Machfud dkk, (2002), terdapat dua hal yang menyebabkan belum tercapainya tujuan DAU sebagai alat pemerataan. Pertama, Model formulasi yang digunakan pemerintah masih jauh dari sempurna.
Tidaksempurnanya
formula
DAU
yang
digunakan
oleh
pemerintah dikarenakan tidak tersedianya data yang dibutuhkan pada waktunya. Salah satu dasar terpenting dalam perhitungan DAU adalah
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
potensi fiskal tiap daerah, dimana potensi fiskal membutuhkan data bagi hasil sumberdaya alam. Walaupun data yang tersedia sudah merupakan data terbaik dari beberapa instansi teknis, tetapi data yang kurang jelas atau relatif rumit cara menghitungnya. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian di kalangan pemerintah. Selain itu, penyederhanaan formula DAU atas berbagai faktor yang menjadi ciri khas dari daerah – daerah dilakukan. Artinya, satu atau beberapa faktor yang sangat menonjol di daerah terpaksa untuk diabaikkan. Karena apabila semua faktor ditampung menyebabkan formulasi DAU menjadi rumit. Hal tersebut memerlukan solusi komputer dan rangkaian data yang untuk Negara seperti Indonesia cenderung tidak realistis. Kedua, pengaruh fakor non-ekonomi yang lebih dominan sehingga menyebabkan formulasi yang telah diberlakukan menjadi berubah secara tidak langsung. Kepetingan politisi yang cenderung lebih dominan, terutama dalam tahap – tahap penentuan formula, menyebabkan keputusan menjadi bersifat adhoc. Hal tersebut menyebabkan formula DAU termodifikasi yang pada gilirannya mengganggu pula sasaran pemerataan tersebut. b. Pengaruh rasio belanja modal terhadap tingkat ketimpangan Berdasarkan hasil uji t terlihat bahwa variabel rasio belanja modal provinsi terhadap total pengeluaran pemerintah pusat pada tahun 2006 – 2009 berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia. Nilai koefisien yang dihasilkan rasio belanja modal sebesar -0,004399. Hal ini berarti bahwa apabila Rasio Belanja Modal provinsi terhadap Total Pengeluaran Pemerintah Pusat meningkat sebesar 1%, maka tingkat ketimpangan akan menurun sebanyak 0,004399,
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
apabila variabel lainnya dianggap konstan. Berarti bahwa belanja modal memberikan dampak terhadap tingkat ketimpangan tahun 2006 – 2009. c. Pengaruh rasio pengeluaran pemerintah terhadap tingkat ketimpangan Berdasarkan hasil uji t terlihat bahwa variabel rasio pengeluaran pemerintah daerah pada tahun 2006 – 2009 positif berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia. nilai koefisien yang dihasilkan rasio pengeluaran pemerintah sebesar 0,007776. Hal ini berarti bahwa apabila rasio pengeluaran pemerintah provinsi terhadap total pengeluaran pemerintah pusat meningkat sebesar 1%, maka tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia juga akan mengalami peningkatan sebanyak 0,007776, apabila faktor – faktor lainnya dianggap konstan. Berarti bahwa pada tahun 2006 – 2009 pengeluaran pemerintah pada tiap
provinsi
memberikan
dampak
terhadap
tingkat
ketimpangan
pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia.
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan hasil penelitian yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Kemudian dari penelitian tersebut peneliti mencoba memberikan saran bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemeritah daerah. H. Kesimpulan Pembahasan terhadap analisis data pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal yang berhubungan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: 5. Hasil olah data menggunakan perhitungan Indeks Williamson, didapatkan bahwa di Indonesia terdapat 6 provinsi yang memiliki Indeks Williamson dibawah 0,3 (rendah); 10 provinsi diantara 0,3 dengan 0,5 (sedang); dan 17 provinsi lebih dari 0,5 (tinggi). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia tahun 2006 – 2009 cenderung tinggi atau nilainya lebih dari 0,5. 6. Variabel proporsi dana alokasi umum provinsi yang diberikan oleh pemerintah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia tahun 2006 – 2009. 7. Variabel rasio belanja modal provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketimpangan pembangunan Ekonomi antar provinsi di Indonesia dengan nilai probabilitas yang didapat sebesar 0,0336. 8. Variabel rasio pengeluaran pemerintah provinsi dengan total pengeluaran pemerintah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia pada tahun 2006 – 2009, dengan nilai probabilitas sebesar 0,000. 9. Secara bersama-sama, variabel proporsi dana alokasi umum, rasio belanja modal dengan pengeluaran pemerintah, dan rasio pengeluaran pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat berpengaruh signifikan terhadap tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia pada tahun 2006 – 2009.
I. Saran Adapun beberapa saran yang diberikan penulis kepada pemerintah, berikut ini: 1. Sebagian besar provinsi di Indonesia pada tahun 2006 – 2009 memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi. Sebaiknya pemerintah daerah dengan serius meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat atau sentra ekonomi di daerah melalui pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat. 2. Proporsi dana alokasi umum yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi tidak memberikan dampak yang nyata terhadap tingkat ketimpangan. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah daerah tidak hanya terpusat pada peningkatan keuangan daerah tetapi pada potensi dan kondisi daerah masing – masing, saat ini dan masa yang akan datang.
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Rasio belanja modal provinsi dengan total pengeluaran pemerintah memberikan dampak nyata yang negatif terhadap tingkat ketimpangan pembangunan
ekonomi.
Sebaiknya,
pemerintah
daerah
lebih
meningkatkan belanja modal karena berkaitan dengan fasilitas publik. Dengan adanya fasilitas tersebut, daerah yang kurang dalam sumberdaya alam bisa ditingkatkan dengan menambahkan fasilitas – fasilitas lain. 4. Rasio pengeluaran pemerintah provinsi dengan total pengeluaran pemerintah pusat memberikan dampak yang positif terhadap tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah daerah sebaiknya lebih bijaksana dalam penyusunan pengeluaran pemerintah, lebih mengutamakan sektor – sektor yang dianggap unggul di daerahnya, sehingga dapat menimbulkan Multiplier Effect terhadap sektor–sektor lainnnya. 5. Proporsi dana alokasi umum, rasio belanja modal dan rasio pengeluaran pemerintah secara bersama-sama memberikan dampak yang nyata terhadap tingkat ketimpangan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, pengendalian pengeluaran pemerintah, dan pengembangan program– program desentralisasi fiskal, salah satunya dengan melakukan peninjauan kembali dalam mengalokasikan dana alokasi umum dan dilaksanakan secara optimal oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
0.940046 0.055651 1.932417
S.D. dependent var Sum squared resid
0.227282 0.396424
commit to user 82