FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INFLASI DI PULAU JAWA: ANALISIS DATA PANEL
OLEH ADITYA RAKHMAN H14080100
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
ADITYA RAKHMAN. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa: Analisis Data Panel (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR)
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada perekonomian suatu negara. Inflasi membawa pengaruh buruk bagi perekonomian, antara lain yaitu dapat menurunkan kesejahteraan riil masyarakat yang berpenghasilan tetap dan menciptakan pengangguran. Sejarah mencatat inflasi di Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1998. Inflasi yang terjadi pada tahun 1966 disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang dibiayai dalam bentuk pencetakan uang, sedangkan inflasi yang terjadi pada tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi. Berdasarkan pengalaman Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru mengenai bahaya inflasi, pihak berwenang khususnya Bank Sentral telah melakukan berbagai upaya untuk memelihara kestabilan inflasi di dalam negeri. Namun sejak dimulainya era otonomi daerah pada tahun 2001, pengendalian inflasi semakin mendapat tantangan yang berat disebabkan semakin meluasnya sumber-sumber penyebab inflasi dan perbedaan faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di setiap wilayah di Indonesia (Brodjonegoro et al, 2005). Mengingat masih relatif terbatasnya studi mengenai inflasi regional dan cukup besarnya pengaruh yang diberikan Pulau Jawa terhadap perekonomian Indonesia membuat studi mengenai inflasi di Pulau Jawa ini menjadi penting dan menarik untuk dilakukan. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua kategori, demand pull inflation atau inflasi yang disebabkan oleh tarikan permintaan dan cost push inflation atau inflasi yang disebabkan oleh dorongan biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Setelah diketahui faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, kemudian dirumuskan beberapa implikasi kebijakan dalam rangka pengendalian inflasi. Cakupan sampel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah enam provinsi di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Banten. Penelitian ini menggunakan data sekunder provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan beberapa data nasional dan internasional dalam bentuk data panel yakni gabungan data time series dan cross section dari tahun 2001-2010. Data penelitian diperoleh dari BPS, BI, FAO, OPEC dan beberapa dari penelitian terdahulu serta literatur terkait. Variabel yang diteliti antara lain adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum regional, kondisi infrastruktur jalan raya, harga minyak dunia dan harga pangan dunia. Metode analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel dengan model penelitian yang mengacu pada penelitian Lestari (2003) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel-variabel yang diteliti.
Hasil Pengujian mendapatkan metode terbaik untuk mengestimasi model penelitian adalah dengan metode regresi data panel first differencing melalui pendekatan Pooled Least Square (PLS). Estimasi dengan pendekatan PLS menunjukkan bahwa dari sisi permintaan inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel perubahan pengeluaran pemerintah dan tingkat pertumbuhan ekonomi (berpengaruh positif), sementara variabel perubahan jumlah uang beredar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Dari sisi penawaran inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel perubahan upah minimum, perubahan kondisi infrastruktur jalan raya serta perubahan harga minyak dunia (berpengaruh positif), sedangkan variabel perubahan harga pangan dunia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Merujuk kepada hasil estimasi, sebaiknya BI bersama-sama dengan pemerintah pusat maupun daerah berkoordinasi dalam menentukan target inflasi dan memfokuskan arah kebijakan pada sumber-sumber utama yang memengaruhi inflasi terutama dari sisi penawaran karena menurut hasil estimasi inflasi lebih dipengaruhi dari sisi penawaran. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa inflasi di Pulau Jawa bukan semata-mata disebabkan oleh fenomena moneter, tetapi lebih merupakan fenomena fiskal. Hal tersebut juga sejalan dengan teori strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi di negara berkembang juga ikut disebabkan oleh kenaikan biaya produksi atau cost push inflation. Sementara itu, temuan penting lainnya dalam penelitian ini ternyata peningkatan pada perubahan kondisi infrastruktur jalan raya menjadi lebih baik malah mengakibatkan inflasi semakin meningkat. Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal tersebut disebabkan oleh nilai ekspor komoditi di Pulau Jawa yang lebih rendah bila dibandingkan nilai impornya. Sehingga untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menambahkan variabel-variabel lain yang diperkirakan memengaruhi inflasi terutama variabel ekspor dan impor serta memperluas ruang lingkup penelitian menjadi provinsiprovinsi lain di Indonesia untuk melengkapi hasil penelitian ini agar lebih mampu untuk menjelaskan dinamika inflasi pada perekonomian regional di Indonesia. Kata Kunci: Pulau Jawa, Inflasi Regional, Regresi Data Panel
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INFLASI DI PULAU JAWA: ANALISIS DATA PANEL
Oleh ADITYA RAKHMAN H14080100
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa: Analisis Data Panel Nama
: Aditya Rakhman
NIM
: H14080100
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Hermanto Siregar, M.Ec., Ph.D NIP. 19630805 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2012
Aditya Rakhman H14080100
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Aditya Rakhman lahir pada tanggal 04 Oktober 1990 di kota Surakarta, sebuah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Ashari Haryanto dan Wirastuti. Jenjang pendidikan formal penulis dimulai pada Taman Kanak-kanak Tunas Rimba Karang Mulya yang lulus pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Dasar Budi Luhur Ciledug dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan penulis dilanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Islam Al-Azhar 10 Kembangan yang lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di Sekolah Menengah Umum Negeri 78 Jakarta dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan diterima sebagai mahasiswa Program Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB merupakan pilihan penulis dengan harapan besar dapat memperoleh ilmu dan menjadi media untuk pengembangan diri penulis. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti kegiatan dan organisasi dalam bidang kemahasiswaan antara lain penulis pernah menjadi wakil ketua divisi bidang informasi, promosi, dan komunikasi Hipotesa periode 2010/2011. Besarnya minat penulis dalam bidang olahraga juga membuat penulis aktif dalam berbagai lomba dibidang olahraga internal IPB. Beberapa prestasi yang pernah penulis raih antara lain meraih Runner Up Basket Putra Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) 2010, Peringkat 3 futsal SPORTAKULER FEM IPB 2010, Runner Up futsal SPORTAKULER FEM IPB 2011 dan Peringkat 3 Basket Putra SPORTAKULER FEM IPB 2011. Selain itu penulis juga aktif di kepanitiaan dalam beberapa acara internal kampus seperti Indonesian’s Economics Festival (INVEST) 2009 dan Economic Contest 2009 sebagai staff Publikasi, Dekorasi dan Dokumentasi (PDD).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa: Analisis Data Panel” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Hermanto Siregar yang telah memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kesabaran dan keikhlasan beliau dalam memberi masukan baik teknis maupun teoritis sampai pada nasihat moril merupakan sesuatu yang berharga bagi penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya adalah: 1.
Kedua orang tua penulis, Bapak dan Mamah serta keluarga tercinta, adik penulis Chandranita Retno Satuti yang telah memberikan doa, motivasi, kasih sayang, materi dan dorongan moral, serta jasa besarnya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
2.
Prof. Bambang Juanda selaku dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penyelesaian skripsi ini.
3.
Widyastutik, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.
4.
Dosen-dosen Departemen Ilmu Ekonomi yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membentuk pola pikir ilmiah penulis sehingga penulis terbantu dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Seluruh Staff Departemen Ilmu Ekonomi dan Staff Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas kerjasamanya selama penulis menuntut ilmu di Departemen Ilmu Ekonomi.
6.
Bapak Iwan M.Si dari Badan Pusat Statistik yang telah memberikan bantuan informasi dalam mencari dan mengolah data yang dibutuhkan dalam skripsi ini.
7.
Teman-teman satu bimbingan Astary Pradipta Hadiputri dan Nisa Karami yang senantiasa memberikan bantuan, bertukar pikiran, dan berdiskusi selama proses penyelesaian skripsi ini.
8.
Teman-teman satu angkatan yaitu Ilmu Ekonomi 45 yang saling memberi semangat dan dukungan selama masa perkuliahan.
9.
Peserta seminar dalam memberi saran dan kritik terhadap skripsi.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam memberikan kontribusi penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan semua pihak yang membacanya
serta
memberikan
tambahan
wawasan
bagi
pihak
membutuhkan.
Bogor, Juli 2012
Aditya Rakhman H14080100
yang
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv I.
PENDAHULUAN .......................................... Error! Bookmark not defined. 1.1. Latar Belakang ......................................... Error! Bookmark not defined. 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................................5 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................6 1.4. Manfaat Penelitian .....................................................................................6 1.5. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................................7
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................8 2.1. Definisi Inflasi ...........................................................................................8 2.2. Inflasi Regional ..........................................................................................8 2.3. Teori Inflasi ............................................. Error! Bookmark not defined. 2.4. Jenis-Jenis Inflasi ..................................... Error! Bookmark not defined. 2.5. Perhitungan Inflasi ................................... Error! Bookmark not defined. 2.6. Sumber-Sumber Inflasi ............................ Error! Bookmark not defined. 2.6.1. Jumlah Uang Beredar……………………………………………...15 2.6.2. Pengeluaran Pemerintah…………………………………………...16 2.6.3. Pertumbuhan Ekonomi…………………………………………….16 2.6.4. Harga Minyak Dunia………………………………………………17 2.6.5. Harga Pangan Dunia………………………………………………17 2.6.6. Upah……………………………………………………………….18 2.6.7. Kondisi Infrastruktur………………………………………………18
2.7. Penelitian Terdahulu ................................ Error! Bookmark not defined. 2.8. Kerangka Pemikiran ................................ Error! Bookmark not defined. 2.9. Hipotesis Penelitian ................................. Error! Bookmark not defined. III. METODOLOGI PENELITIAN...................... Error! Bookmark not defined. 3.1. Jenis dan Sumber Data............................. Error! Bookmark not defined. 3.2. Metode Analisis ....................................... Error! Bookmark not defined. 3.2.1. Analisis Deskriptif………………………………………………...28 3.2.2. Analisis Ekonometrika…………………………………………….29 3.2.2.1. Pooled Least Square…………………………………….32 3.2.2.2. Fixed Effect Model………………………………………32 3.2.2.3. Random Effect Model……………………………………33 3.2.2.4. Pengujian Model…………..…………………………….33 3.2.2.5 Metode Evaluasi Model………………………………….35 3.2.3. Aplikasi Regresi Data Panel……………………………………….40 3.3. Perumusan Model Penelitian…………………………........………...….41 IV. GAMBARAN UMUM ................................... Error! Bookmark not defined. 4.1. Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa .. Error! Bookmark not defined. 4.2. Hubungan Inflasi dengan Jumlah Uang Beredar dan Pengeluaran Pemerintah ............................................... Error! Bookmark not defined. 4.3. Hubungan Inflasi dengan Upah MinimumError! Bookmark not defined. 4.4. Hubungan Inflasi dan Kondisi InfrastrukturError! Bookmark not defined.
4.5. Hubungan Inflasi dengan Harga Minyak dan Harga Pangan DuniaError! Bookmark not de
V. HASIL DAN PEMBAHASAN....................... Error! Bookmark not defined. 5.1. Pengujian Stasioneritas Data Panel .........................................................55 5.2. Tahapan pemilihan Pendekatan Model Terbaik ......................................56 5.3. Tahapan Evaluasi Model .........................................................................58 5.3.1. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika…....58 5.3.1.1. Uji Normalitas…………………………………………...58 5.3.1.2. Uji Multikoliniearitas……………………………………58 5.3.1.3. Uji Heteroskedastisitas…………………………………..59 5.3.1.4. Uji Autokorelasi…………..……………………………..59 5.3.2. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Statistika………...60 5.3.3. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonomi………....62 5.3.3.1. Variabel Perubahan Pengeluaran Pemerintah……..…….62 5.3.3.2. Variabel Perubahan Harga Minyak Dunia………………63 5.3.3.3. Variabel Perubahan Kondisi Infrastruktur………………63 5.3.3.4. Variabel Perubahan Pertumbuhan Ekonomi…………….65 5.3.3.5 Variabel Perubahan Upah Minimum…………………….65 5.4. Implikasi Kebijakan Pengendalian InflasiError! Bookmark not defined. VI. KESIMPULAN DAN SARAN....................... Error! Bookmark not defined. 6.1. Kesimpulan .............................................. Error! Bookmark not defined. 6.2. Saran ........................................................ Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………71 LAMPIRAN……………………………………………………………………...74
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.1. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu.......... Error! Bookmark not defined. 3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan SumbernyaError! Bookmark not defined. 5.1. Rangkuman Hasil Pengujian Panel Unit RootError! Bookmark not defined. 5.2. Nilai Statistik Model Inflasi di Pulau Jawa ..................................................60 5.3. Hasil Estimasi Model Inflasi di Pulau Jawa . Error! Bookmark not defined. 5.4.
Neraca Perdagangan Provinsi Pulau Jawa..................................................64
5.5. Implikasi Kebijakan Berdasarkan Hasil PenelitianError! Bookmark not defined.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Inflasi Indonesia Periode 1961-2010 ..............................................................2 1.2. Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007 ........ Error! Bookmark not defined. 2.1. Demand Pull Inflation .................................. Error! Bookmark not defined. 2.2. Cost Push Inflation .......................................................................................14 2.3. Kerangka Pemikiran ..................................... Error! Bookmark not defined. 4.1. Dinamika Inflasi Pulau Jawa terhadap Rata-Rata Inflasi Nasional 2001 2010 .............................................................. Error! Bookmark not defined. 4.2. Perbandingan Perubahan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 ........................................... Error! Bookmark not defined. 4.3. Perbandingan Perubahan Laju Jumlah Uang Beredar terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 ................................. Error! Bookmark not defined. 4.4. Perbandingan Perubahan Laju Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 ................................. Error! Bookmark not defined. 4.5. Perbandingan Perubahan Upah Minimum Regional terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 .......................................... Error! Bookmark not defined. 4.6. Perbandingan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi di Pulau Jawa 20012010 .............................................................. Error! Bookmark not defined. 4.7. Perkembangan Harga Minyak Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa 20012010..............................................................................................................Er ror! Bookmark not defined. 4.8. Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa 2001-2010 ............................................................................................53
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Software Eviews 6.........................75
2
Korelasi Antar Variabel Independen Pada Model 1st DifferencingError! Bookmark not defined
3
Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Pooled Least Square Model 1st Differencing .................................................... Error! Bookmark not defined.
4
Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Fixed Effect Model 1st Differencing ................................................... Error! Bookmark not defined.
5
Hasil Chow Test Model 1st Differencing ........ Error! Bookmark not defined.
6
Hasil Uji Normalitas Model 1st Differencing.. Error! Bookmark not defined.
7
Grafik Standardized Residuals Model 1st DifferencingError! Bookmark not defined.
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada
perekonomian suatu negara. Gejala-gejala inflasi pada perekonomian ditandai dengan kenaikan harga-harga secara umum dan berlangsung secara terus menerus (kontinu) ini akan memengaruhi dan berdampak luas dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial maupun politik. Inflasi membawa pengaruh yang buruk bagi perekonomian, antara lain yaitu dapat menurunkan kesejahteraan riil masyarakat yang berpenghasilan tetap. Gaji buruh, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan karyawan swasta lainnya mengalami penurunan nilai riil, kendati nilai nominalnya tidak berubah. Inflasi yang terlampau tinggi akan mengakibatkan terjadinya overheating economy yang mengarah pada situasi resesi. Pada masa resesi pengusaha swasta akan mengadakan rasionalisasi melalui pembatalan investasi yang telah disetujui karena beban bunga yang terlampau tinggi disertai prospek usaha yang menurun drastis. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan masalah yang krusial di bidang ketenagakerjaan yaitu munculnya pengangguran. Inflasi
juga
berdampak
negatif
pada
neraca
pembayaran
yaitu
menyebabkan naiknya harga-harga ekspor, sehingga produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri yang berakibat kepada turunnya neraca perdagangan. Selain itu, inflasi juga berpengaruh pada nilai tukar rupiah, yaitu tingginya inflasi membuat mata uang rupiah menjadi over valued yang akan berdampak pada isu devaluasi dan menyebabkan rush valuta asing. Ketidakpercayaan terhadap rupiah mengakibatkan aliran modal keluar (capital outflow) yang akan berakibat buruk pada iklim investasi dalam negeri. Sejarah mencatat inflasi di Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1998. Inflasi pada tahun 1966 merupakan inflasi tertinggi pada era tahun 1960-an, sementara pada tahun 1998 merupakan inflasi tertinggi sejak era orde baru (Gambar 1.1). Hyperinflation yang terjadi pada tahun
2
1966 disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian dibiayai Bank Indonesia (BI) dalam bentuk pencetakan uang, sedangkan inflasi yang terjadi pada tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012 Gambar 1.1. Inflasi Indonesia Periode 1961-2010 Berdasarkan pengalaman Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru mengenai bahaya inflasi, pada tahum 1999 Bank Sentral Indonesia dalam hal ini BI mengeluarkan peraturan nomor 23/1999 mengenai perubahan sasaran pokok BI dari multiple objectives menjadi lebih terfokus kepada tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Hal tersebut tercantum dalam UU No.23 Tahun 1999. Menurut UU No.23 Tahun 1999, tujuan utama Bank Sentral adalah untuk memelihara kestabilan rupiah. Definisi khusus dari memelihara kestabilan nilai rupiah adalah untuk mengendalikan laju inflasi dalam negeri. Dalam menjalankan
3
tugas pokoknya, Bank Sentral menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian sasaran-sasaran moneter. Selain itu, BI pun mengeluarkan UU No.29/1999 mengenai indepedensi Bank Sentral. Peraturan tersebut memberikan keleluasaan bagi BI untuk menetapkan target inflasi tanpa campur tangan pihak manapun. Pada tahun 2005, terjadi amandemen UU tersebut dimana pemerintah yang akan menetapkan target inflasi dengan pertimbangan dari BI dan diharapkan BI dapat mencapai target tersebut. Berbagai upaya Bank Sentral diatas dalam pengendalian inflasi tentunya semakin mendapat tantangan yang berat sejak dimulainya era otonomi daerah. Meskipun banyak khalayak yang menganggap otonomi daerah sebagai fenomena politik, namun otonomi daerah juga membawa konsekuensi pada perekonomian regional. Salah satu dampak otonomi daerah terhadap perekonomian regional adalah terhadap inflasi regional. Mengingat salah satu pertimbangan pemerintah dalam menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah tingkat inflasi domestik. Pada era otonomi daerah, wilayah-wilayah diberikan kewenangan untuk mengelola perekonomian masing-masing, termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing-masing wilayah. Kebijakan ini mengakibatkan semakin meluasnya sumber-sumber inflasi yang akan membuat pengendalian inflasi menjadi semakin sulit (Brodjonegoro et al, 2005). Jika melihat lebih cermat, rumitnya proses pengendalian inflasi oleh Bank Sentral disebabkan karena pada dasarnya pembentukan inflasi nasional merupkan angka agregat dari inflasi regional. Sebagai bukti, inflasi nasional dihitung berdasarkan rataan dari 66 kota yang disurvei oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan perhitungan tersebut, setiap wilayah masing-masing memiliki perbedaan tingkat komoditi yang dikonsumsi. Perbedaan tersebut mencakup harga serta kualitas komoditi tersebut, yang membedakan tiap wilayah. Hal ini dapat terjadi akibat perbedaan struktur biaya pada masing-masing wilayah seperti biaya hidup, biaya transportasi, pajak regional, tingkat upah, termasuk juga kondisi infrastruktur dan sebagainya. Secara umum, kajian inflasi regional lebih
4
mempertimbangkan bahwa masing-masing wilayah memiliki karakteristik inflasi yang berimplikasi kepada kebijakan pengendalian inflasi yang lebih spesifik. Berdasarkan perhitungan rata-rata inflasi regional menurut bobotnya (persentase) pada pembentukan inflasi nasional yang dilakukan oleh BPS berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) pada tahun 2007, ditemukan fakta bahwa bobot Jakarta mencapai 22,49 persen atau yang tertinggi dalam pembentukan inflasi nasional, disusul oleh Surabaya (6,47 persen), Bandung (5,38 persen), Medan (4,67 persen), Semarang (3,48 persen), Palembang (2,96 persen), Makasar (2,56 persen), Padang (1,69 persen), Denpasar (1,53 persen), Banjarmasin (1,54 persen), dan gabungan 56 kota lainnya dengan porsi 47,23 persen (Gambar 1.2). Jakarta Surabaya Bandung 22,49
Medan Semarang
47,23 6,47 5,38
Palembang Makasar Padang
4,67 1,53 1,54
2,96
3,48
Denpasar Banjarmasin
2,56
1,69
Gabungan 56 Kota Lainnya
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012 Gambar 1.2. Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007 Fakta selanjutnya adalah empat dari lima kota dengan bobot persentase tertinggi dalam pembentukan inflasi nasional yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang merupakan ibukota provinsi yang berada pada regional yang sama (Pulau Jawa). Fakta ini didukung oleh pernyataan BI yang menyatakan bahwa pada tahun 2011 tiga provinsi di Pulau Jawa yaitu Daerah Khusus Ibukota (DKI)
5
Jakarta, Jawa Barat dan Banten memiliki bobot hampir 50 persen dalam pembentukan inflasi nasional. Disamping fakta-fakta diatas, Wimanda (2006) berargumen bahwa inflasi di suatu region memiliki keterkaitan dengan region lainnya. Setelah mengetahui keterkaitan antar inflasi wilayah tersebut, beliau kemudian mengklasifikasikan inflasi di suatu wilayah apakah sebagai leader atau sebagai follower. Lebih lanjut, penelitiannya mengkategorikan wilayah di Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sebagai leader, sehingga Inflasi yang terjadi pada wilayah tersebut cenderung memengaruhi inflasi di wilayah lain yang dikategorikan sebagai follower. Penelitiannya juga berpendapat bahwa apabila pemerintah dan Bank Sentral dapat mengendalikan inflasi pada wilayah yang dikategorikan sebagai leader maka inflasi nasional akan lebih mudah untuk dikendalikan. Beberapa uraian diatas menjelaskan betapa pentingnya peranan inflasi regional dalam dinamika inflasi nasional di Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian khusus dalam menangani inflasi yang terjadi pada tataran wilayah khususnya Pulau Jawa. Mengingat masih relatif terbatasnya studi mengenai inflasi regional dan cukup besarnya pengaruh yang diberikan regional khususnya Pulau Jawa terhadap perekonomian Indonesia membuat studi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa menjadi sangat penting dan menarik untuk diteliti. Untuk itu, penelitian ini akan secara fokus menganalisis faktorfaktor yang berpengaruh dalam pembentukan inflasi di Pulau Jawa. Penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak berwenang khususnya Bank Sentral, sehingga dapat mengarahkan kebijakan moneternya untuk menjaga kestabilan nilai rupiah.
1.2
Perumusan Masalah Meskipun inflasi merupakan salah satu persoalan ekonomi yang cukup
rumit, bukan berarti inflasi tidak dapat dikendalikan. Untuk dapat mengendalikan inflasi caranya adalah dengan terlebih dahulu mendiagnosis jenis inflasi dan
6
penyebabnya. Pada negara-negara berkembang khususnya Indonesia, inflasi bukan semata-mata dipengaruhi oleh fenomena moneter saja, tetapi fenomena struktural juga turut memberikan pengaruh. Hal ini lebih disebabkan oleh struktur perekonomian Indonesia, terutama pada struktur perekonomian regionalnya yang berbeda satu sama lain. Bila diidentifikasi berdasarkan penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua kategori, pertama demand pull inflation atau inflasi yang disebabkan karena permintaan masyrakat akan komoditi barang dan jasa meningkat. Kedua, cost push inflation atau inflasi yang disebabkan karena kenaikan harga atas komoditi yang dipicu oleh naiknya biaya produksi. Dari analisa tersebut, diharapkan gambaran meneyluruh tentang perilaku inflasi di Pulau Jawa akan dapat terlihat secara lebih jelas. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa?
2.
Bagaimana implikasi kebijakan yang dilakukan dalam mengendalikan inflasi di Pulau Jawa?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1.
Menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa.
2.
1.4
Merumuskan implikasi kebijakan pengendalian inflasi di Pulau Jawa.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
bagi pihak-pihak berkepentingan, antara lain:
7
1.
Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk pengendalian inflasi.
2.
Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi.
3.
Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai inflasi.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi. Pertama, memberikan
gambaran umum mengenai dinamika inflasi di Pulau Jawa melalui analisis deskriptif. Kedua, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Ketiga, memberikan saran implikasi kebijakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah terkait dengan hasil penelitian. Dalam penelitian ini cakupan sampel yang dianalisis adalah enam provinsi di pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur dan Banten. Penelitian ini terbatas pada Provinsi Banten yang baru terbentuk pada tahun 2000 sehingga periode analisis dalam penelitian ini terbatas pada tahun 2001-2010.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Inflasi Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-
harga secara umum dan terus menerus (kontinu). Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan harga output dalam perekonomian. BPS (2008) mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga sekelompok komoditi barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap mewakili seluruh komoditi barang dan jasa yang dijual di pasar. Dalam arti relatif, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu periode dimana kekuatan membeli dalam kesatuan moneter menurun atau terjadi kenaikan harga dari sebagian besar komoditi barang dan jasa secara terus menerus. Jika kenaikan komoditi hanya satu atau beberapa macam tidak dapat dikatakan telah terjadi inflasi, begitu juga kenaikan harga yang bersifat musiman seperti pada hari raya keagamaan dan hari libur. Sementara itu dalam arti luas, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu kenaikan relatif dan memiliki porsi yang besar dalam tingkat harga umum. Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Dengan kata lain, harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. inflasi dapat dikatakan terjadi apabila tingkat harga yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil maka sudah dipastikan bahwa daya beli masyarakat semakin melemah dan akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan akan semakin berkurang.
2.2
Inflasi Regional Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi
perusahaan ditentukan oleh permasalahan minimisasi biaya pengangkutan output atas beberapa lokasi alternatif dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi. Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan sejenis untuk
9
terintegrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi perusahaan baik karena economies of scale, localization economies atau urbanization economies (Hoover dan Giarratani, 1989). Teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan memperoleh pasar yang lebih luas demi mendapatkan keuntungan
maksimum.
Meskipun
tidak
secara
langsung,
teori
lokasi
sesungguhnya secara implisit menjelaskan mengenai permasalahan mekanisme perbedaan tingkat pembentukan harga antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur perekonomian di masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah.
2.3
Teori Inflasi Atmadja (1999) menjelaskan, terdapat berbagai macam teori yang
berusaha untuk menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang. Teori tersebut, antara lain Teori Kuantitas Uang, Keynesian Model, Mark-up Model dan Teori Struktural. Teori Kuantitas Uang adalah teori yang menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Teori ini juga dikenal sebagai teori kaum monetaris (monetarist theory). Inti dari teori ini adalah sebagai berkut: 1. Inflasi hanya dapat terjadi apabila terjadi penambahan volume pada jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. 2. Laju inflasi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga pada masa yang akan datang. Teori Keynesian Model, dasar dari terciptanya model inflasi Keynes ini adalah bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan kehidupan diluar
10
batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa efektif (permintaan agregat) mengalami peningkatan melebihi jumlah komoditi yang tersedia (penawaran agregat) di pasar, akibatnya terjadi inflationary gap pada perekonomian tersebut. Ketidakmampuan pasar dalam mencukupi permintaan barang dan jasa oleh masyarakat terjadi karena dalam jangka pendek sangat sulit untuk memenuhi kenaikan permintaan agregat tersebut. Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Dengan demikian, ketika terjadi kenaikan biaya produksi akan menyebabkan turunnya keuntungan yang didapat oleh perusahaan, yang berdampak kepada kenaikan harga jual komoditi di pasar. Teori Struktural, teori ini merupakan cerminan teori inflasi yang terjadi pada negara-negara berkembang. Teori struktural menganggap inflasi bukan semata-mata fenomena moneter saja, melainkan juga merupakan fenomena struktural. Teori ini menekankan pada kekakuan harga dan struktur perekonomian negara berkembang. Terkait dengan perekonomian regional hal ini murni disebabkan oleh struktur perekonomian dan kekakuan harga pada masing-masing wilayah. Oleh karenanya fenomena inflasi yang muncul akibat perbedaan struktur perekonomian wilayah sering menjadi suatu permasalahan jangka panjang yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Menurut teori ini penyebab terjadi kekauan dan kesenjangan struktural pada perekonomian negara berkembang adalah sebagai berikut: 1. Supply dari sektor pertanian tidak elsatis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengejaran sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya. 2. Cadangan valuta saing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatsan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal sangat dibutuhkan untuk
11
pembangunan menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibat timbulnya defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman luar negeri. Apabila pinjaman luar negeri sulit untuk didapat, maka pada umumnya defisit anggaran dibiayai melalui percetakan uang (printing of money).
2.4
Jenis-Jenis Inflasi Boediono (1994) mengemukakan bahwa inflasi dapat dibedakan menjadi
tiga jenis berdasarkan pada: 1.
Asal usulnya a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation). b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
2.
Tingkat keparahannya a. Inflasi ringan (creeping inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level dibawah 10 persen per tahun. b. Inflasi sedang (moderate inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 10 sampai dengan 30 persen per tahun. c. Inflasi berat, jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 30 sampai dengan 100 persen per tahun. d. Inflasi sangat berat (hyperinflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level diatas 100 persen per tahun.
3.
Sebab awalnya Berdasarkan teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya
inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan menjadi dua yaitu demand pull inflation dan cost push inflation.
12
a. Demand Pull Inflation Inflasi jenis ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi berada pada keadaan yang hampir mendekati atau pada kondisi full employment. Dalam keadaan mendekati full employment, kenaikan permintaan total disamping menaikkan harga dapat juga menaikkan output. Dalam keadaan full employment, kenaikan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja. Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan kondisi keseimbangan output berada di atas atau melebihi output full employment maka akan menimbulkan inflationary gap. Inflationary gap inilah yang menyebabkan munculnya inflasi (Nophirin, 2009). Inflasi yang disebabkan oleh demand pull inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 dibawah ini:
P
Inflationary Gap
AS
P4 P3 AD4 AD3
P2 P1
AD2 AD1 Q1
QFE
Sumber : Nophirin, 2009 Gambar 2.1 Demand Pull Inflation b. Cost Push Inflation Berbeda dengan demand pull inflation, cost push inflation biasanya ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Keadaan ini timbul akibat adanya penurunan dalam penawaran total (aggregate supply) sebagai konsekuensi kenaikan biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka akan terjadi inflasi yang disertai dengan resesi ekonomi. Kenaikan biaya produksi ini dapat timbul karena beberapa faktor diantaranya:
13
1. Perjuangan serikat buruh yang berhasil untuk menuntut kenaikan upah. 2. Suatu industri yang bersifat monopolistis, memberikan kekuatan kepada produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi. 3. Kenaikan bahan baku industri. 4. Pemerintah yang terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak swasta. 5. Adanya kebijakan pemerintah, baik bersifat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga (administred prices). 6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga seperti musim kemarau panjang yang berakibat pada gagal panen. 7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem perekonomian terbuka seperti Indonesia. Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation dapat disebabkan oleh: 1. Wage cost push inflation Wage cost push inflation menyatakan bahwa kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. 2. Price push inflation Price push inflation atau juga dikenal dengan istilah administred price inflation menyatakan bahwa para produsen mempunyai kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan harga, tetapi karena mereka mengkhawatirkan terjadinya ketidakpercayaan dari pihak pemerintah maka mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi yang dapat dijadikan alasan untuk membenarkan terjadinya kenaikan harga. 3. Import cost push inflation Import cosh push inflation terjadi karena dorongan biaya impor yang merupakan barang yang penting, umumnya bahan baku untuk produksi.
14
4. Structural rigidity inflation Menekankan kekauan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan adalah mudah untuk menaikkan upah dan harga barang daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektorsektor yang potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan harga di dalam sebuah perekonomain dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi. Nophirin (2009) menyatakan inflasi yang disebabkan oleh cost push inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 dibawah ini:
AS3 AS2 AS1 P P4 P3
P2 P1 AD Q2 Q1 QFE
Q
Sumber : Nophirin, 2009 Gambar 2.2 Cost Push Inflation
2.5
Perhitungan Inflasi Menurut Mankiw (2007) Consumer Price Index (CPI) merupakan
indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. CPI berupa data yang mengukur rata-rata perubahan harga yang dibayarkan oleh
15
konsumen (dalam rata-rata) untuk sekelompok barang dan jasa tertentu. CPI disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK), yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh rata-rata konsumen disuatu negara, termasuk Indonesia. Perhitungan IHK dapat dirumuskan sebagai berikut:
……………………………………………………………(2.1) dimana: = Indeks Harga Konsumen pada tahun ke-t = Harga pada tahun ke-t = Harga pada tahun sebelumnya = Nilai konsumsi pada tahun sebelumnya = Nilai konsumsi pada tahun dasar Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui, perhitungan inflasi dengan laju inflasi dapat dirumuskan sebagai berikut: ……………………………………………………(2.2) dimana: = Inflasi pada tahun ke-t = Indeks harga konsumen pada tahun ke-t = Indeks harga konsumen pada tahun sebelumnya
2.6
Sumber-Sumber Inflasi
2.6.1
Jumlah Uang Beredar Fisher (1930) dalam teorinya mengenai kuantitas uang menyatakan bahwa
jumlah uang yang beredar dalam perekonomian adalah faktor yang mempunyai peranan penting dalam proses terjadinya inflasi. Menurut teori tersebut dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan jumlah uang yang diterima penjual. Hal tersebut berlaku pula untuk seluruh perekonomian dalam suatu periode tertentu. Apabila terjadi kelebihan jumlah uang yang ditawarkan oleh bank sentral maka akan
16
berakibat kepada peningkatan uang yang dipegang oleh masyarakat sehingga memacu hasrat masyarakat untuk meningkatkan konsumsi. Jika peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik. Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi dijelaskan oleh Keynes dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan agregat (demand pull inflation).
2.6.2
Pengeluaran Pemerintah Keynes dalam Boediono (1994) menyatakan bahwa inflasi bukan hanya
disebabkan oleh ekspansi moneter Bank Sentral saja melainkan juga melalui pengeluaran pemerintah. Menurut Keynes, apabila pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan harga atau akan memicu terjadi inflasi. Dengan kata lain, peningkatan pengeluaran pemerintah melalui kebijakan fiskal ekspansif akan mendorong perekonomian sektor riil untuk tumbuh. Produktivitas perekonomian tersebut kemudian akan berdampak baik pada peningktan permintaan akan barang input produksi maupun barang konsumsi sehingga menaikkan tingkat harga. Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi dijelaskan oleh Keynes dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan agregat (demand pull inflation).
2.6.3
Pertumbuhan Ekonomi Mekanisme transmisi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi
dijelaskan oleh Mishkin (2001). Pertumbuhan ekonomi mencerminkan tingkat produktivitas masyarakat di negara tersebut. Semakin tinggi produktivitas menandakan semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Pertumbuhan
17
ekonomi juga akan menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi pemerintah sehingga hal tersebut akan meningkatkan permintaan atas barang dan jasa konsumsi kedua pelaku perekonomian tersebut. Apabila peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik.
2.6.4
Harga Minyak Dunia Mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi
dijelaskan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga.
2.6.5
Harga Pangan Dunia Kenaikan harga pangan di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi
sebagian orang yang melihat kaitannya dengan perkembangan makroekonomi dan hubungannya dengan inflasi. Disadari atau tidak, peningkatan harga pangan secara logika dasar makroekonomi dapat menyebabkan peningkatan inflasi. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal tersebut terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari dari tingkat konsumsi masyarakat. Rahardja dalam Wahyuni (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga pangan dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikkan ratarata harga komoditas pangan dunia akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga pangan domestik di Indonesia. Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang bervariasi. Kecepatan transmisi
18
terhadap guncangan harga pangan internasional juga berbeda-beda diantara provinsi di Indonesia.
2.6.6
Upah Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh konsep cost push
inflation. Konsep tersebut menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Disamping itu kekakuan struktural menyebabkan harga-harga dan upah menjadi lebih mudah untuk naik daripada turun. Dengan menganggap bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Mengingat buruh merupakan salah satu komponen penting produksi, maka suatu perusahaan akan bertindak rasional dengan menaikkan markup sehingga menyebabkan munculnya inflasi.
2.6.7
Kondisi Infrastruktur Menurut teori pertumbuhan export base dan growth poles; kapasitas
ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan wilayah dalam menarik suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment dari infrastruktur yang sudah terbangun. Infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan udara, rel kereta api dan pembangkit tenaga listrik, karena berhubungan secara langsung terhadap produktivitas suatu perusahaan (Cappelo dalam Subekti, 2011). Mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi regional tersebut, maka diprediksikan bahwa peningkatan dalam kualitas infrastruktur dalam distribusi produk akan menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan mempengaruhi permintaan terhadap produk berupa input antara serta tingkat konsumsi. Secara agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian
19
suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif, namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif (Oosterhaven dan Elhorst, 2003).
2.7
Penelitian Terdahulu Novi Lestari (2003) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum di dua puluh enam provinsi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM). Hasil regresi menunjukkan bahwa dari sisi permintaan agregat inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang beredar (berpengaruh negatif), pendapatan perkapita (berpengaruh positif), sedangkan investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Dari sisi penawaran agregat inflasi dipengaruhi oleh upah (berpengaruh negatif), impor (berpengaruh positif), sedangkan investasi tahun lalu tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Penelitian ini menemukan bahwa inflasi regional juga dipicu oleh sisi penawaran agregat. Hal tersebut sesuai dengan teori strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi pada negara berkembang juga disebabkan oleh naiknya biaya-biaya produksi. Bambang P.S Brodjonegoro, Telissa Falianty dan Beta Y Gitaharie (2005) dalam Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional pada perekonomian yang ter-desentralisasi. Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan Vector Auto Regression (VAR) dalam menentukan determinan (moneter atau non-moneter) yang memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi pada perekonomian regional. Kemudian dilakukan estimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan FEM terhadap
determinan
yang
paling
dominan
memengaruhi
inflasi
pada
20
perekonomian regional. Hasil yang didapat ternyata inflasi lebih dipengaruhi determinan non-moneter dengan faktor-faktor yang memengaruhi antara lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran rutin pemerintah daerah dan biaya transportasi yang semuanya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi regional. Rizki E Wimanda (2006) dalam Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants melakukan penelitian mengenai karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Granger Causality dan koefisien korelasi untuk menganalisis karakteristik inflasi, metode koefisien konvergensi β untuk menganalisis konvergensi tingkat harga dan metode OLS untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional. Hasilnya adalah banyak wilayah di Indonesia yang memiliki keterkaitan inflasi yang tinggi terutama regional pulau Jawa terhadap wilayah lainnya, inflasi regional di Indonesia cenderung divergen dan determinan yang paling memengaruhi inflasi pada perekonomian regional adalah ekspektasi inflasi dan perubahan nilai tukar. Muhammad Z Hamzah dan Eleonora Solfida (2006) dalam Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) meneliti tentang seberapa besar pengaruh yang diberikan jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia pada jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian ini diestimasi dengan metode Error Correction Model (ECM). Hasil estimasi model dalam jangka pendek menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap laju inflasi. Sedangkan dalam jangka panjang, hasil estimasi menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap laju inflasi. Reza Satrya Arjakusuma (2009) dalam Analisis Inflasi Regional di Indonesia melakukan penelitian untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya inflasi regional di Indonesia, terutama terkait apakah berasal dari demand-pull
21
inflation ataukah cost-push inflation. Penelitian ini diestimasi dengan metode VAR dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi menyimpulkan bahwa varaibel harga beras dunia paling mempengaruhi tingkat inflasi regional di Indonesia disusul dengan harga minyak dunia akibatnya hampir seluruh regional di Indonesia mengalami incomplete passthrough akibat guncangan harga beras dan minyak dunia. John Beirne (2009) dalam Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Country-Specific and Global Factors melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan atau memicu terjadinya inflasi secara komprehensif pada sepuluh negara anggota baru dari Uni Eropa. Penelitian ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis SystemGeneralized Method of Moment (SYS-GMM). Hasil regresi menyimpulkan bahwa inflasi inersia, nilai tukar nominal efektif (NEER), defist fiskal, belanja pemerintah, investasi (PMTB), kondisi infrastruktur dan variabel-variabel yang menggambarkan tekanan inflasi yang berasal dari faktor global (harga minyak, harga pangan, shock nilai tukar dan aksesi uni eropa) berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di negara-negara yang diteliti. Jun Nagayasu (2009) dalam Regional Inflation in China melakukan penelitian mengenai perkembangan dalam tingkat harga dan inflasi di dua puluh tujuh region di China. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan Random Effect Model (REM). Hasil estimasi menunjukkan bahwa inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah uang beredar M1&M2 (berpengaruh positif), kredit (berpengaruh positif), produktivitas (berpengaruh negatif) dan nilai tukar (berpengaruh positif). Secara keseluruhan disimpulkan bahwa semua parameter pada penelitian ini bersesuaian dengan teori ekonomi. Dwi Wahyuni (2011) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi dari Sisi Penawaran meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum di Indonesia bila dilihat dari gangguan sisi penawaran. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode VAR dan VECM. Hasilnya adalah dalam jangka pendek variabel yang
22
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi adalah nilai tukar rupiah, sedangkan dalam jangka panjang inflasi dipengaruhi oleh expected inflation, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, harga pangan dunia dan upah buruh riil. Adji Subekti (2011) dalam Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel kebijakan dan nonkebijakan terhadap inflasi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis First Difference-Generalized Method of Moment (FD-GMM) dan Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB). Hasil yang didapat adalah dinamika inflasi Indonesia di pengaruhi oleh variabel kebijakan: inersia inflasi, fluktuasi nilai tukar, perubahan kondisi infrastruktur dan derajat keterbukaan perdagangan. Dinamika inflasi Indonesia juga dipengaruhi oleh variabel non kebijakan antara lain: penyesuaian upah, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri dan BI rate. Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu Penulis
Judul
Lestari (2003)
Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence and Determinants
Brodjonegoro et al (2005)
Wimanda (2006)
Variabel Ekonomi
Observasi
IHK, Pendapatan Perkapita, Jumlah Uang Beredar, Investasi, Investasi Tahun Lalu, Impor dan Upah
26 Provinsi di Indonesia
Rentang Waktu 19912001
IHK, PAD, Pengeluaran Rutin Pemerintah dan Biaya Transportasi
43 Kota di Indonesia
19902002
CPI, Nilai Tukar, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pengeluaran Rutin Pemerintah dan Pengeluaran Pembangunan
26 Provinsi di Indonesia
1991M92004M12
23
Hamzah dan Solfida (2006)
Arjakusuma (2009)
Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) Analisis Inflasi Regional di Indonesia
Beirne (2009)
Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to CountrySpecific and Global Factors
Nagasayu (2009)
Regional Inflation in China
Wahyuni (2011)
Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Inflasi dari Sisi Penawaran
IHK, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar
Indonesia
19902005
Harga Minyak Dunia, Harga Beras Dunia, Output Gap, CPI dan Wholesale Price Inflation HICP, NEER, Current Account Deficit, GDP Riil Perkapita, Pengeluaran Pemerintah, Harga Relatif, Tingkat Penganguran, Kapitalisasi Pasar Modal, Kredit Swasta Domestik, Rezim Nilai Tukar, Indeks Kebebasan Ekonomi, Indeks Reformasi Infrastruktur dan Derajat Keterbukaan Perdagangan Retail Price Index (RPI), jumlah uang beredar (M1&M2), Kredit perbankan, produktivitas, pertumbuhan populasi dan Renminbi (RMB) exchange rate IHK, Harga Minyak Dunia, Harga Pangan Dunia, Nilai Tukar dan Upah
48 Kota di Indonesia
2005M12008M12
Bulgaria, Rep.Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, Slovenia dan Rumania
1998Q12007Q4
26 Provinsi di China
19912005
Indonesia
1998M12010M12
24
Subekti (2011)
Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi
IHK, Output Gap, 26 Provinsi Nilai Tukar, Suku di Indonesia Bunga Nominal, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah, Indeks Harga BBM, Upah Minimum Nominal, Kondisi Infrastruktur dan Derajat Keterbukaan Perdagangan
19992009
25
2.8
Kerangka Pemikiran Sebagai konsekuensi dari era otonomi daerah pada tahun 2001
menyebabkan semakin meluasnya faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Indonesia. Dalam hal ini akan membuat proses pengendalian inflasi akan menjadi semakin rumit karena inflasi nasional pada dasarnya merupakan angka agregasi dari inflasi di masing-masing wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, pengidentifikasian faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa penting untuk dipahami untuk merumuskan kebijakan pengendalian inflasi yang tepat. Berikut ini adalah gambaran dari kerangka pemikiran penelitian ini:
Indonesia
Otonomi Daerah
Inflasi Regional
Demand Pull Inflation
Pulau Jawa
Cost Push Inflation
Implikasi Kebijakan Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia. Selanjutnya variabel-variabel tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode regresi data panel.
26
2.9
Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu maka
disusunlah beberapa hipotesis sementara, yaitu: 1. Jumlah uang beredar memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 2. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 3. Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 4. Upah minimum memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 5. Kondisi infrastruktur memiliki hubungan yang negatif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 6. Harga minyak dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. 7. Harga pangan dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.
III. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia dan
satu variabel yang merupakan data nasional. Variabel yang merupakan data dunia yaitu harga minyak dunia dan harga pangan dunia, sedangkan variabel yang merupakan data nasional yaitu jumlah uang beredar. Penggunaan data harga minyak dunia dan harga pangan dunia mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu dan dimaksudkan untuk melihat dampak fenomena guncangan luar negeri terhadap perekonomian regional. Penggunaan data jumlah uang beredar pada level nasional, disebabkan tidak tersedianya data jumlah uang beredar pada level provinsi. Selebihnya penggunaan variabel lainnya merupakan data pada level provinsi. Pengguanaan data IHK hanya pada lingkup ibu kota provinsi sebagai proksi dari inflasi mengacu pada penelitian Subekti (2011), yang menganggap bahwa ibukota provinsi sebagai pusat pertumbuhan yang akan mempengaruhi daerah lainnya yang berada pada provinsi yang sama cukup merepresentasikan tingkat harga pada level provinsi. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa data tahunan periode 2001-2010 yang diambil dari publikasi resmi pemerintah. Variabel, data, satuan dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Proses pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan paket program software Microsoft Office Excel 2007 dan Eviews 6.
28
Tabel 3.1 Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya Data (Variabel) Inflasi (P)
Data yang digunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) Masing-Masing Ibu Kota Provinsi rebasing : tahun dasar 2002 Jumlah Uang Beredar dalam Arti Sempit (M1) Pengeluaran Pemerintah Daerah
Satuan Indeks
Sumber Data Badan Pusat Statistik (BPS)
Miliar Rupiah Miliar Rupiah
Bank Indonesia (BI) BPS
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) rebasing : tahun dasar 2000 Harga Minyak Dunia
Juta Rupiah
BPS
US$/Barel
Harga Pangan Dunia (FOOD_P)
Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia (55 Komoditi)
Indeks
Tingkat Upah (W)
Upah Minimum Regional (UMR) Masing-Masing Provinsi Rasio Panjang Jalan Raya dengan Kondisi Baik dan Luas Wilayah Provinsi
Rupiah
Organization of the Petroleum Exporting Country (OPEC) Food Agricultural Organization (FAO) BPS
Km/Km2
BPS
Jumlah Uang Beredar (M) Pengeluaran Pemerintah (GEXP) Pertumbuhan Ekonomi (Y) Harga Minyak Dunia (OIL_P)
Kondisi Infrastruktur (KI)
3.2
Metode Analisis
3.2.1
Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis sederhana
yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 2001-2010 dan juga untuk menggambarkan
29
hubungan antara inflasi dengan variabel-variabel yang memengaruhi pada peneltian ini.
3.2.2
Analisis Ekonometrika Metode analisis ekonometrika yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode analisis regresi data panel (pooled data). Data panel adalah gabungan dari data time series dan data cross section. Penggunaan metode data panel sudah banyak dipakai saat ini sebab adanya kelemahan dalam pendekatan metode cross section saja atau pendekatan time series. Jika hanya menggunakan metode cross section saja, pengamatan yang diamati hanya pada titik tertentu saja, sehingga perkembangan pengamatan tersebut dalam kurun waktu tertentu tidak dapat diestimasi. Pada pendekatan metode time series juga menimbulkan persoalan yaitu peubah-peubah yang diobservasi secara agregat hanya dari satu unit individu sehingga memberi peluang untuk menghasilkan estimasi yang sifatnya bias. Penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan keterbatasan kedua metode analisis diatas. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh pendekatan metode cross section dan time series murni. Data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel, sebaliknya jika jumlah observasi berbeda maka disebut sebagai unbalanced panel. Beberapa keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrika dikemukakan oleh Baltagi (2005) yaitu, pertama mengontrol heterogenitas individu. Data panel menyatakan bahwa individu, perusahaan, tempat atau negara adalah heterogen. Dalam data panel terdiri dari besaran dan waktu sehingga ada banyak variabel-variabel lain yang mungkin menjadi stateinvariant atau time-invariant yang dapat memengaruhi variabel dependen. Data panel memberikan peluang perlakuan setiap unit-unit individu yang dianalisis adalah heterogen. Kedua, data panel memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalisasi masalah kolinieritas antar variabel, meningkatkan
30
derajat bebas dan lebih efisien. Pendekatan metode time series dapat menyebabkan multikoliniearitas, dengan data cross section menambah banyak variabilitas, menambah lebih banyak informasi sehingga dapat menghasilkan parameter estimasi yang dapat diandalkan. Ketiga, data panel lebih baik dalam mempelajari dynamics of adjustment. Distribusi cross section yang kelihatan stabil dapat menyembunyikan banyak perubahan yang sulit untuk diidentifikasi. Masa pengangguran, pergantian pekerjaan, tempat tinggal dan pergerakan pendapatan merupakan contoh data yang lebih baik dipelajari dengan data panel. Data panel juga cocok untuk mempelajari durasi dari variabel besaran ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan dan inflasi dan juga dapat menjelaskan dalam kecepatan respon perubahan kebijakan ekonomi. Data panel juga dibutuhkan untuk mengestimasi hubungan antar massa, siklus hidup dan intergenerasi (intergenerational). Data panel ini dapat menghubungkan pengalaman individu dan tingkah laku dalam satu titik waktu dengan pengalaman dan tingkah laku dalam titik waktu yang berbeda. Keempat, data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh cross section murni maupun time series murni. Seperti contoh, dalam menentukan apakah anggota serikat buruh dapat meningkatkan atau menurunkan upah. Hal ini dapat dijawab dengan mengobservasi seorang pekerja yang bergerak dari serikat buruh ke nonserikat buruh atau sebaliknya. Dengan mengasumsikan karakteristik individu yang konstan, dilengkapi dengan variabel yang lain untuk menentukan apakah keanggotaan serikat buruh memengaruhi upah dan dengan berapa banyak upah tersebut bisa berpengaruh terhadap keanggotaan serikat buruh (Friedman dalam Baltagi (2005)). Kelima, model data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku secara kompleks apabila dibandingkan dengan cross section atau time series murni. Pada kenyataanya, indikator dalam perekonomian sebagian besar bersifat dinamis. Hubungan dinamis ini dapat diketahui dengan adanya lag variabel endogen yang terdapat pada variabel eksogen. Verbeek (2004) menjelaskan kelebihan dari penggunaan metode data panel bila dibandingkan dengan metode cross section dan time series murni. Kombinasi data cross section dan time series membuat jumlah data atau observasi yang digunakan dalam model data panel umumnya
31
lebih besar bila dibandingkan dengan model cross section dan time series murni. Selain itu, variabel penjelas dalam model data panel lebih bervariasi atau marginal effect dalam dua dimensi (ruang atau individu dan waktu), sehingga selain dapat dianalisis variasi antar ruang (individu) dan waktu, penduga yang didasari oleh data panel lebih akurat dibandingkan cross section dan time series murni. Menurut Baltagi (2005), permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif terbatasnya data karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah
yang umumnya dihadapi diantaranya: coverage, nonresponse,
kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara); (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survei lanjutan); (iv) cross section dependence (contoh: apabila macropanel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (misleading inference)). Umumnya terdapat tiga pendekatan yang biasa diaplikasikan pada metode data panel, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Selain itu, didalam melakukan pengolahan data panel juga terdapat kriteria pembobotan yang berbeda-beda yaitu No weighting (semua observasi diberi bobot sama), Cross section weight (Generalized Least Square (GLS) dengan menggunakan estimasi varians residual cross section, digunakan apabila terdapat pelanggaran asumsi cross section heteroskedasticity), dan Seemingly Uncorrelated Regression (SUR) (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross section). Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section.
32
3.2.2.1 Pooled Least Square Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N × T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross-section dan T menunjukkan jumlah time-series yang digunakan. Persamaan pada estimasi yang menggunakan Pooled Least Square (PLS) dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Baltagi, 2005): ........................................................................................(3.1) dimana : = nilai variabel terikat (dependent variable) untuk setiap unit cross section = nilai variabel penjelas (explanatory variable) ke-j untuk setiap cross section α = intercept yang konstan antar waktu dan cross section = slope untuk variabel ke-j yang konstan antar waktu dan cross section = komponen error untuk setiap unit cross section ke-i pada periode waktu t. N adalah jumlah unit cross section, T adalah jumlah periode waktunya dan K adalah jumlah variabel penjelas. Keunggulan
dalam
penggunaan
metode
PLS
adalah
dengan
mengkombinasikan semua data cross-section dan data time-series, dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien. Sementara, kelemahan pada metode PLS terletak pada dugaan parameter
akan bias. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak
dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda (Firdaus, 2011).
3.2.2.2 Fixed Effect Model Fixed effect model (FEM) memasukkan unsur variabel dummy sehingga intersept α bervariasi antar individu maupun antar unit waktu. FEM lebih tepat digunakan jika data yang diteliti ada pada tingkat individu serta jika terdapat korelasi antara ε it dan x it . Persamaan pada estimasi menggunakan FEM dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Baltagi, 2005):
33
= β 1i
Y it
+
β 2 X 2it
+
β 3 X 3it
+
u it ..............................................................................(3.2) Kelebihan pendekatan FEM adalah dapat menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya adalah jika jumlah unit observasinya besar maka akan mengurangi derajat bebas model, sehingga akan mengurangi tingkat keakuratan model (Firdaus, 2011).
3.2.2.3 Random Effect Model Random Effect Model (REM) muncul ketika antara efek individu dan regresor tidak memiliki korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dimasukkan ke dalam error pada persamaan regresi. Persamaan estimasi pada REM adalah sebagai berikut (Baltagi, 2005): …………………………………………………………(3.3) dengan dimana : ~ N (0, δu2) = komponen cross section error ~ N (0, δv2) = komponen time series error ~ N (0, δw2) = komponen error kombinasi Asumsinya adalah bahwa error secara individual tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya.
3.2.2.4 Pengujian Model Untuk memilih model mana yang paling tepat digunakan untuk pengolahan data panel, maka terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan, antara lain:
34
1. Chow Test Chow Test merupakan pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan PLS atau FEM. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 : PLS H 1 : FEM Dasar penolakan terhadap hipotesis nol tersebut adalah dengan menggunakan F-statistic seperti yang dirumuskan oleh Chow (1967): ……...…………………………(3.4) dimana: RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual FEM) N
= jumlah data cross section
T
= jumlah data time series
K
= jumlah variabel independen Dimana pengujian ini mengikuti distribusi F yaitu
. Jika
nilai Chow Test (F-statistic) hasil pengujian lebih besar dari F-Tabel, maka cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap H 0 sehingga model yang kita gunakan adalah FEM, begitu juga sebaliknya. 2. Hausman Test Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan FEM atau REM. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 : REM H 1 : FEM Sebagai dasar penolakan H 0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: …………....(3.5)
35
dimana M adalah matriks kovarians untuk parameter β dan k adalah derajat bebas yang merupakan jumlah variabel independen. Jika nilai statistik Hausman hasil pengujian lebih besar dari
, maka
cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H 0 sehingga model yang digunakan adalah FEM, begitu juga sebaliknya.
3.2.2.5 Metode Evaluasi Model Setelah selesai melakukan pengolahan data dengan metode analisis data panel, harus dilakukan evaluasi terhadap model estimasi yang dihasilkan. Metode estimasi yang dihasilkan melalui metode analisis data panel tersebut harus dievaluasi berdasarkan tiga kriteria sebagai berikut: I. Kriteria Ekonometrika II. Kriteria Statistik III. Kriteria Ekonomi I. Kriteria Ekonometrika Model estimasi regresi linear yang ideal dan optimal harus menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), antara lain sebagai berikut : a. Estimator linear artinya adalah estimator merupkan sebuah fungsi linear atas sebuah variabel dependen yang stokastik. b. Estimator tidak bias artinya nilai ekspektasi sesuai dengan nilai yang sebenarnya. c. Estimator harus mempunyai varians yang minimum. Estimator yang tidak bias dan memiliki varians minimum disebut estimator yang efisien. Terdapat beberapa permasalahan yang dapat menyebabkan sebuah estimator dikatakan tidak memenuhi kriteria BLUE jika melanggar beberapa asumsi antara lain sebagai berikut: 1. Normalitas Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term mengikuti distribusi normal atau tidak. Jika asumsi normalitas ini tidak dipenuhi
36
maka prosedur pengujian dengan menggunakan uji t-statistic menjadi tidak sah. Pengujian asumsi normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test atau dengan melihat plot dari sisaan. Hipotesis dalam pengujian normalitas adalah: H 0 : Residual berdistribusi Normal H 1 : Residual tidak berdistribusi Normal Dasar penolakan H 0 dilakukan dengan membandingkan nilai Jarque Bera dengan taraf nyata α sebesar 0,05, dimana jika nilai Jarque Bera Test lebih besar dari taraf nyata α 0,05 menandakan H 0 tidak ditolak dan residual berdistribusi normal. 2. Multikolinearitas Istilah multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier sempurna antar peubah bebas dalam suatu model regresi. Dalam prakteknya, kita sering dihadapkan
dengan
masalah
peubah-peubah
bebas
yang
tingkat
multikoliniearitasnya tidak sempurna tetapi tinggi. Jika kita berhadapan dengan adanya peubah-peubah bebas yang seperti ini, maka dugaan parameter koefisien regresi masih mungkin diperoleh, tetapi interpretasinya akan menjadi sulit. Gujarati (2003) menyatakan indikasi terjadinya multikolinearitas dapat terlihat melalui: a. Nilai R2 yang tinggi tetapi sedikit rasio yang signifikan. b. Korelasi berpasangan yang tinggi antara variabel-variabel independennya. c. Melakukan regresi tambahan (auxiliary) dengan memberlakukan variabel independen sebagai salah satu variabel dependen dan variabel independen lainnya tetap diberlakukan sebagai variabel independen. Menurut Juanda (2009), ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas di dalam suatu model. Pertama atau merupakan syarat cukup (sufficient condition) adalah melalui Uji koefisien korelasi sederhana (Pearson correlation coefficient), jika korelasi antar peubah-peubah bebas sangat tinggi dan nyata, dapat dikatakan terjadi multikolinearitas. Menurut Gujarati (2003), batas terjadinya korelasi antar variabel bebas adalah tidak boleh lebih dari tanda mutlak 0,8. Kedua atau merupakan syarat perlu (necessary condition) apabila syarat cukup tidak terpenuhi yaitu, dapat dilakukan dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF), dimana:
37
……………………………………………………………(3.6) nilai VIF ini menggambarkan kenaikan varians dari dugaan parameter antar peubah penjelas. Apabila nilai VIF lebih dari 5 atau 10, maka taksiran parameter kurang baik atau terjadi multikoliniearitas. Perlu diingat jika tujuan pemodelan hanya untuk peramalan nilai peubah tak bebas dan bukan untuk mengkaji hubungan atau pengaruh peubah-peubah bebas terhadap peubah tak bebas, maka masalah multikolinearitas bukan masalah yang serius. Akan tetapi jika tujuan pemodelan adalah untuk menduga hubungan atau pengaruh peubah-peubah bebas terhadap peubah tak bebas, maka masalah multikoliniearitas menjadi masalah yang serius. Oleh karena itu terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengatasi multikoliniearitas, antara lain (Juanda, 2009): a. Memanfaatkan informasi sebelumnya (prior information). b. Mengeluarkan
peubah
dengan
koliniearitas
tinggi,
tetapi
dapat
menimbulkann bias spesifikasi model. c. Melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model menjadi bentuk first difference. d. Menggunakan regresi komponen utama (principal component). e. Penambahan data baru. 3. Heteroskedastisitas Salah satu asumsi dasar dari metode regresi linear adalah varians tiap unsur error adalah suatu angka konstan yang sama dengan δ2. Heteroskedastisitas terjadi ketika varians tiap unsur error tidak konstan. Guajarati (2003) menyatakan heteroskedastisitas memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya adalah : a. Dugaan parameter koefisien regresi tetap tidak bias dan masih konsisten, tetapi standar errornya dapat bias ke bawah. b. Perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena varians tidak minimum sehingga dapat menghasilkan estimasi regresi yang tidak efisien. c. Uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak dipercaya.
38
Cara mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dalam metode data panel dapat dilakukan dengan menggunakan grafik standardized residual, apabila secara grafis menunjukkan bahwa ragam sisaan menyebar normal
maka
dapat
dinyatakan
tidak
terjadi
pelanggaran
asumsi
heteroskedastisitas. 4. Autokorelasi Gujarati (2003) menyatakan autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series atau diurutkan menurut ruang seperti dalam data cross section. Suatu model dikatakan memiliki autokorelasi jika error dari periode waktu (time series) yang berbeda saling berkorelasi. Masalah autokorelasi ini akan menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan konsisten. Autokorelasi menyebabkan estimasi standar error dan varian koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate, sehingga R2 akan besar tetapi di uji t-statistic dan uji Fstatistic menjadi tidak valid. Untuk mendeteksi masalah autokorelasi yang paling umum dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson statistic pada model dibandingkan dengan nilai DW-Tabel. Sebuah model dapat dikatakan terbebas dari autokorelasi jika nilai Durbin-watson statistic terletak di area nonautokorelasi. Penentuan area tersebut dibantu dengan nilai tabel D L dan D U. Jumlah observasi (N) dan jumlah variabel independen (K). Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut: H 0 : Tidak terdapat autokorelasi H 1 : Terdapat autokorelasi Maka aturan pengujiannya adalah sebagai berikut : 0 < d < DL
: tolak H 0 , ada autokorelasi positif
DL ≤ d ≤ DU
: daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan
DU < d < 4 – DU
: terima H 0 , tidak ada autokorelasi
4 - D U ≤ d ≤ 4-D L
: daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan
4 – DL < d < 4
: tolak H 0 , ada autokorelasi negatif
39
II. Kriteria Statistik Evaluasi model berdasarkan kriteria statistik dilakukan dengan beberapa pengujian antara lain sebagai berikut: a. Koefesien Determinasi (R2) Nilai R2 digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat variabel independen yang digunakan dalam penelitian dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai tersebut menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang kita estimasi dengan data yang sesungguhnya. Nilai R2 terletak antara nol hingga satu dimana semakin mendekati satu maka model akan semakin baik. b. Uji F-statistic Uji F-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen. Nilai F-statistic yang besar lebih baik dibandingkan dengan F-statistic yang rendah. Nilai Prob(F-statistic) merupakan tingkat signifikansi marginal dari F-statistic. Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut: H 0 : β 1 =β 2 =…=β k =0 H 1 : minimal ada salah satu β j yang tidak sama dengan nol Tolak H 0 jika F-statistic > F
α(k-1,NT-N-K)
atau Prob(F-statistic) < α. Jika H 0 ditolak,
maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan di dalam model secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen. c. Uji t-statistic Uji t-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut: H0 : βj = 0 H1 : βj ≠ 0 Tolak H 0 jika t-statistic > t
α/2(NT-K-1)
atau (t-statistic) < t-tabel. Jika H 0 ditolak,
maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa variabel independen ke-i secara parsial memengaruhi variabel dependen.
40
III. Kriteria Ekonomi Evaluasi model estimasi berdasarkan kriteria ekonomi dilakukan dengan membandingkan kesesuaian tanda dan nilai estimator dengan teori ekonomi dan kesesuaian dengan logika.
3.2.3
Aplikasi Regresi Data Panel Analisis data panel pada umumnya menggunakan data dalam bentuk level
dengan tujuan untuk memudahkan interpretasi model, namun jika kemudian penelitian menggunakan data time series yang mengandung tren, maka sebaiknya dilakukan pengujian unit root, untuk memastikan bahwa hubungan antara peubah tak bebas dan peubah bebas tidak menunjukkan spurious regression. Bila hasil pengujian unit root menunjukkan adanya tren pada data level, maka seperti biasanya, harus dilakukan pembedaan pertama (first differencing) untuk menghindari hasil yang misleading. Perlu diingat bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel, maka pengujian unit root yang digunakan bukan menggunakan metode biasa, tetapi menggunakan panel unit root. Pengujian ini disarankan oleh Baltagi (2005) untuk data panel dengan N dan T yang relatif tidak besar. Hipotesis nol yang digunakan dalam pengujian panel unit root sama seperti pada pengujian unit root untuk data time series murni, hanya saja statistik uji yang digunakan merupakan pengembangan lebih lanjut dari statistik uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP). Statistik uji yang digunakan dalam menguji panel unit root terdiri dari dua jenis, yaitu common unit root yang terdiri dari statistik uji Levin, Lin and Chu (LLC) dan Breitung’s test; serta individual unit root yang terdiri dari statistik uji Im, Pesaran and Shin (IPS), ADF - Fisher test dan PP - Fisher test. Setelah diperoleh hasil pengujian yang menyatakan bahwa series dari data panel tidak mengandung unit root maka estimasi bisa dilakukan.
41
3.3
Perumusan Model Penelitian Rancangan model yang akan diajukan adalah mengacu pada penelitian
Lestari (2003) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel. Pada model penelitian ini terdapat tujuh variabel independen, dengan variabel dependennya P dan variabel independennya adalah M, GEXP, Y, W, KI, OIL_P dan FOOD_P. Data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut ternyata berbeda satuan dan berada dalam nilai yang sangat besar. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam mengolah data dan interpretasi hasil akhir, seluruh variabel yang berbeda satuan akan ditransformasi sehingga menjadi bentuk satuan yang sama, yaitu dalam bentuk logaritma natural. Dengan model tersebut diharapkan bahwa hasil regresi yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk diinterpretasikan. Sesuai dengan keterangan di atas, maka spesifikasi model tersebut secara ekonometrika akan menjadi model sebagai berikut : Ln(P it ) = α +β 1 Ln(M it ) + β 2 Ln(GEXP it ) + β 3 ln(Y it ) + β 4 Ln(W it ) + β5
Ln(KI it )
+
β6
Ln(OIL_P it )
+
β7
Ln(FOOD_P it )
+
ε it ……………………..…..(3.7) Model pada persamaan (3.7) merupakan model pada data level, jika kemudian terdapat unit root pada data level, maka persamaan (3.8) harus dirubah menjadi persamaan pada first differencing, sehingga akan diperoleh persamaan sebagai berikut : Ln(∆P it ) = α +β 1 Ln(∆M it ) + β 2 Ln(∆GEXP it ) + β 3 ln(∆Y it ) + β 4 Ln(∆W it ) + β5
Ln(∆KI it )
+
β6
Ln(∆OIL_P it )
+
β7
ε it …………...……..…(3.8) dimana: ∆P
: Perubahan harga (Inflasi)
∆M
: Perubahan jumlah uang beredar
∆GEXP
: Perubahan pengeluaran pemerintah daerah
∆Y
: Perubahan pertumbuhan ekonomi daerah
∆W
: Perubahan upah minimum regional
∆KI
: Perubahan kondisi infrastruktur daerah
Ln(∆FOOD_P it )
+
42
∆OIL_P
: Perubahan harga minyak dunia
∆FOOD_P
: Perubahan harga pangan dunia
Subskrip ( i ) menandakan kondisi pada provinsi ke-i dan ( t ) menandakan pengamatan pada tahun ke-t.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1
Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai
positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada tahun 2009 ketika terjadi penurunan harga BBM dan tertinggi pada tahun 2005 dengan laju inflasi sebesar 17,11 persen pada saat dilaksanakannya kebijakan penyesuaian harga BBM oleh pemerintah akibat kenaikan harga minyak dunia (Gambar 1,1). Kondisi ini ternyata tidak berbeda jauh dengan kondisi inflasi yang terjadi pada perekonomian provinsi di Pulau Jawa. Sepanjang tahun 2001-2010, tercatat inflasi tertinggi dan terendah terjadi di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar 19,58 persen pada tahun 2005 dan 2,11 persen pada tahun 2009 (Gambar 4.1). Bila dilihat dari struktur perekonomiannya, pada Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor industri, disusul oleh sektor perdagangan kemudian sektor pertanian. Hal tersebut berimplikasi kepada tingginya ketergantungan masing-masing sektor akan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagi salah satu input yang berpengaruh pada produksi masing-masing sektor tersebut, sehingga guncangan yang terjadi pada BBM memiliki pengaruh yang dominan pada tingkat inflasi di provinsi Jawa Barat. Secara umum, bila dibandingkan dengan rata-rata inflasi nasional (Gambar 4.1), dapat dilihat bahwa inflasi pada tahun 2001, 2005 dan 2008 untuk semua provinsi di Pulau Jawa melebihi rata-rata inflasi nasional pada tahun 2001-2010. Bila dilihat lebih jauh, tingginya tingkat inflasi pada tahun 2001 dan 2005 disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia dan berdampak pada kenaikan harga BBM sedangkan pada tahun 2008 terjadi krisis finansial global yang menyebabkan nilai tukar Indonesia terdepresiasi dan lebih berfluktuatif yang kemudian memicu terjadinya inflasi.
44
Sumber : BPS (Diolah) Gambar 4.1 Dinamika Inflasi Pulau Jawa terhadap Rata-Rata Inflasi Nasional 2001-2010 Terkait dengan kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF) yang diimplementasikan oleh BI sejak tahun 2005, maka dari masing-masing provinsi dapat di ketahui bagaimana perilaku inflasi sebelum dan sesudah kebijakan dengan membandingkan dengan rata-rata inflasi nasional 2001-2010. Berdasarkan Gambar 4.1, diketahui bahwa inflasi di seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah periode inflasi dengan nilai dibawah rata-rata inflasi nasional lebih banyak setelah diimplementasikannya kebijakan ITF apabila dibandingkan dengan periode sebelum diterapkannya kebijakan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan ITF cukup efektif untuk menurunkan dan mengontrol kestabilan tingkat inflasi pada Pulau Jawa.
45
Sumber : BPS (Diolah) Gambar 4.2 Perbandingan Perubahan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 Inflasi dapat memiliki dampak positif atau negatif tergantung seberapa tingginya tingkat inflasi yang terjadi. Inflasi yang ringan atau moderat akan membuat perekonomian menjadi meningkat karena dapat mendorong laju investasi yang kemudian membuka lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi pengangguran dan pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, inflasi yang tinggi dan tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian bagi para pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan untuk melakukan konsumsi, investasi dan produksi yang pada akhirnya akan
46
menurunkan pertumbuhan ekonomi (Boediono, 1995). Gambar 4.2 merupakan perbandingan pertumbuhan ekonomi daerah dengan laju inflasi di masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Gambar 4.2 menunjukkan bahwa inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa cenderung memiliki dampak yang negatif. Ketika terjadi inflasi yang cukup tinggi (2005 &2008) akan diikuti dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi pada tahun berikutnya.
4.2
Hubungan Inflasi dengan Jumlah Uang Beredar dan Pengeluaran Pemerintah Hubungan antara inflasi, jumlah uang beredar dan pengeluaran pemerintah
menjadi isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal sebagaimana kita ketahui uang beredar merupakan salah satu instrumen kebijakan moneter, sedangkan pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal. Uang yang beredar di masyarakat lebih banyak diterjemahkan sebagai narrow money (M1). Hal ini disebabkan karena masih adanya anggapan bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Gambar 4.3 memberikan informasi persentase laju jumlah uang yang beredar pada perekonomian. Apabila dikaitkan dengan laju inflasi di masing-masing provinsi pada perekonomian regional, maka secara umum hubungan jumlah uang beredar dan inflasi memiliki hubungan yang negatif. Ketika laju inflasi cenderung tinggi, maka Bank Sentral meresponnya dengan mengurangi jumlah uang beredar. Sebaliknya ketika laju inflasi cenderung rendah maka persentase jumlah uang beredar cenderung meningkat. Sebagai salah satu kebijakan fiskal, pengeluaran pemerintah memegang peranan yang penting dalam mendukung kelancaran mekanisme sistem pemerintahan sebagai upaya efisiensi dan produktivitas nasional. Sejak dimulainya era otonomi daerah pada tahun 2001, hal ini membawa konsekuensi tidak saja pada desentralisasi politik dan administrasi, tetapi juga pada desentralisasi fiskal. Implikasi dari kebijakan desentralisasi fiskal ini adalah pemerintah diberikan kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan,
47
termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan belanja rutin dan belanja investasi. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya daerah sehingga idealnya akan mendorong daya saing daerah yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan daerah.
Sumber: BI & BPS (Diolah) Gambar 4.3 Perbandingan Perubahan Laju Jumlah Uang Beredar terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 Selama periode 2001-2002 pengeluaran pemerintah daerah rutin mengalami peningkatan, tetapi besarnya kenaikan pengeluaran pemerintah berbeda-beda di masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Terkait dengan inflasi, Gambar 4.4 memberikan informasi mengenai pertumbuhan laju pengeluaran pemerintah dan laju inflasi di masing-masing provinsi. Berdasarkan Gambar 4.4
48
hubungan antara laju pengeluaran pemerintah dengan laju inflasi di masingmasing provinsi cenderung beragam. Hal tersebut disebabkan karena besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus mempertimbangkan besarnya penerimaan daerah. Penerimaan daerah sendiri cenderung beragam di masing-masing provinsi. Beragamnya pengeluaran pemerintah masing-masing provinsi disebabkan oleh perbedaan struktur perekonomian pada masing-masing daerah. Akibatnya hubungan pengeluaran pemerintah dan inflasi cenderung beragam pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa.
Sumber: BPS (Diolah) Gambar 4.4 Perbandingan Perubahan Laju Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010
49
4.3
Hubungan Inflasi dengan Upah Minimum Salah satu implikasi dari pemberlakuan otonomi daerah adalah mekanisme
penetapan besarnya Upah Minimum Regional (UMR) yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Sejak tahun 2001 menggunakan sistem desentralisasi. Perkembangan UMR provinsi di Pulau Jawa dijelaskan oleh Gambar 4.5.
Sumber : BPS, diolah Gambar 4.5 Perbandingan Perubahan Upah Minimum Regional terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 Kondisi UMR Pulau Jawa terus menerus mengalami peningkatan, hal tersebut bertujuan agar menjaga daya beli masyarakat agar tidak tergerus oleh inflasi. Gambar 4.5 memberikan informasi mengenai laju pertumbuhan UMR provinsi di Pulau Jawa terhadap laju inflasi sejak tahun 2002. Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa dinamika penyesuaian UMR selalu berusaha
50
berada pada tingkatan di bawah laju inflasi di setiap provinsi di Pulau Jawa agar tidak malah memacu meningkatnya tingkat harga. Penyesuaian UMR diatas laju inflasi hanya terjadi pasca terjadinya lonjakan inflasi pada tahun 2005 dan 2008. Sebagaimana kita ketahui dampak negatif akibat tingginya laju inflasi dapat menurunkan daya beli masyarakat, maka pemerintah-pemerintah daerah berusaha menyesuaikan tingkat upah pada masing-masing wilayah pasca terjadinya inflasi yang tinggi dengan meningkatkan UMR diatas laju inflasi sebagai insentif agar roda perekonomian daerah tetap dapat tumbuh dan berlangsung tanpa mengalami gangguan.
4.4
Hubungan Inflasi dengan Kondisi Infrastruktur Kondisi infrastruktur mempunyai peranan penting didalam aliran distribusi
produk. Semakin membaik kondisi infrastruktur tentunya akan semakin memperlancar aliran distribusi produk dan penghematan dalam waktu perjalanan. Penghematan biaya ini tentunya diprediksi akan berdampak pada penurunan harga produk di dalam pasar. Gambar 4.6 memberikan gambaran mengenai hubungan antara inflasi dengan persentase panjang jalan dengan kondisi baik di Pulau Jawa. Berdasarkan gambar tersebut ternyata kondisi infrastruktur cenderung memberikan hubungan yang negatif dengan inflasi. Saat terjadi penurunan persentase kondisi jalan baik, hal tersebut kemudian memicu kenaikan inflasi pada beberapa provinsi di Pulau Jawa. Peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transpor terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu wilayah, disamping itu juga akan meningkatkan volume ekspor dan impor suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi yang lebih cepat antar wilayah.
51
Sumber : BPS, diolah Gambar 4.6 Perbandingan Kondisi Infratruktur terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2001-2010
4.5
Perkembangan Harga Minyak dan Harga Pangan Dunia Pada periode tahun 2001-2010, fluktuasi harga minyak dunia cenderung
mengalami kenaikan terus menerus. Harga minyak masih cenderung stabil dari awal tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Selama tahun 2005 harga minyak dunia mulai mengalami kenaikan. Selama periode 2006-2008, harga minyak dunia tetap menunjukkan perkembangan yang selalu naik. Kenaikan dalam tahun-tahun ini bahkan sudah mulai menembus $90 per barel, harga yang sangat tinggi bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
52
Sumber : OPEC, diolah Gambar 4.7 Perkembangan Harga Minyak Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa 2001-2010 Pada Tahun 2009 harga minyak dunia mulai turun akibat telah berakhirnya krisis finansial global yang melanda pada tahun 2008, namun harga minyak dunia kembali naik pada tahun 2010 disebabkan menurnnya pasokan minyak dari negara-negara eksportir utama. Gambar 4.7 memberikan informasi mengenai pengaruh kenaikan harga minyak dunia terhadap inflasi pada perekonomian provinsi di Pulau Jawa. Dapat dilihat bahwa ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan akan disusul oleh kenaikan laju inflasi di setiap provinsi di Pulau Jawa. Kondisi tersebut terjadi mengingat input utama dalam setiap proses produksi perusahaan adalah energi
53
(BBM) yang merupakan komoditas yang termasuk ke dalam komoditas impor Indonesia, sehingga guncangan terhadap harga minyak dunia akan sangat berdampak kepada tingkat harga.
Sumber : FAO, diolah Gambar 4.8 Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa 2001-2010 Kenaikan juga dialami pada harga komoditi pangan dunia. Selama kurun waktu tahun 2001-2003, indeks harga komoditi pangan dunia cenderung stabil. Indeks harga komoditi pangan dunia mulai meningkat pada awal tahun 2006. Perubahan iklim yang bersifat ekstrem di beberapa negara penghasil komoditi pengan utama menyebabkan terganggunya siklus panen di banyak negara yang juga menyebabkan kenaikan harga pangan.
54
Berdasarkan Gambar 4.8, kenaikan harga pangan dunia yang paling tinggi terjadi pada tahun 2007-2008. Pada tahun 2008, indeks harga pangan dunia mencapai 22,41 persen yang merupakan posisi tertinggi selama kurun waktu 2001-2010, penyababnya antara lain adalah: gangguan pasokan akibat gangguan cuaca, larangan ekspor dari negara-negara eksportir pangan untuk mengamankan pasokan domestik. Dari Gambar 4.8, juga dapat dilihat bahwa kenaikan pada indeks harga komoditi dunia akan diikuti juga dengan kenaikan laju inflasi pada perekonomian provinsi di Pulau Jawa.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Pengujian Stasioneritas Data Panel Pengujian kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam
menganalisis data panel untuk melihat ada tidaknya panel unit root yang terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Pengujian panel unit root yang digunakan penelitian ini didasarkan pada beberapa statistik uji tingkat level dan first differencing seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Hasil pengujian panel unit root secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran.1, sementara rangkumannya disajikan pada Tabel 5.1. Seperti dapat dilihat pada Tabel 5.1, pengujian panel unit root dilakukan pada variabel IHK (P), jumlah uang beredar (M), pengeluaran pemerintah (GEXP), pertumbuhan ekonomi (Y), upah minimum regional (W), kondisi infrastruktur (KI), harga minyak dunia (OIL_P) dan harga pangan dunia (FOOD_P) semuanya dinyatakan dalam logaritma natural dari nilai riilnya. Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan plotting data untuk melihat metode pengujian, apakah panel unit root akan digunakan untuk data dengan intersep tanpa tren (kode 2) atau dengan intersep dan tren (kode 3). Berdasarkan plotting data tersebut, untuk data level diketahui seluruhnya menggunakan metode dengan intersep dan tren. Berdasarkan berbagai statistik uji yang digunakan, data level menunjukkan adanya common unit root (uji Breitung) kecuali pada variabel upah minimum regional (W), bahkan beberapa variabel menunjukkan adanya individual unit root. Oleh karena itu, dilakukan first differencing kepada seluruh variabel untuk menjaga robustness hasil penelitian. Setelah dilakukan first differencing pada semua variabel, hasil pengujian dengan metode dengan intersep tanpa tren menunjukkan, baik dengan statistik uji common unit root maupun individual unit root seluruhnya signifikan pada taraf nyata α 5 persen dan beberapa pada 1 persen. Hasil pengujian kemudian menyatakan tidak ditemukannya panel unit root pada variabel sehingga estimasi dapat dilakukan pada model first difference atau pada model persamaan (3.8).
56
Tabel 5.1 Rangkuman Hasil Pengujian Panel Unit Root p-Value Statistik Uji 3) Diff 1)
Variabel
Metode 2)
LLC
Breitung
IPS
ADFFisher
PP-Fisher
P
0
3
0.1341
0.6139
0.7396
0.9141
0.9841
∆P
1
2
0.0000**
-
0.0200***
0.0143***
0.0058**
M
0
3
0.6738
0.8069
0.8802
0.9983
0.9963
∆M
1
2
0.0000**
-
0.0351***
0.0304***
0.0344***
+
GEXP
0
3
0.0000**
0.1262
0.0887
0.0061**
0.0000**
∆GEXP
1
2
0.0000**
-
0.0003**
0.0002**
0.0000**
+
Y
0
3
0.0000**
0.3037
0.2266
0.0864
0.0001**
∆Y
1
2
0.0000**
-
0.0124***
0.0082**
0.0002**
+
W
0
3
0.0000**
0.9421
0.0551
0.0023**
0.0000**
∆W
1
2
0.0000**
-
0.0000**
0.0000**
0.0000**
KI
0
3
0.0000**
0.0123
0.3940
0.2874
0.1227
∆KI
1
2
0.0000**
-
0.0003**
0.0002**
0.0000**
OIL_P
0
3
0.3454
0.1271
0.8068
0.9877
0.9877
∆OIL_P
1
2
0.0000**
-
0.0004**
0.0003**
0.0003**
FOOD_P
0
3
0.0000**
0.0016**
0.3796
0.2533
0.0001**
∆FOOD_P
1
2
0.0000**
-
0.0181***
0.0092**
0.0000**
Keterangan : 1)
Differencing :
2)
Metode :
3)
Statistik Uji :
4)
Signifikansi :
5.2
Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik
0 1 1 2 3 LLC Breitung IPS ADF-Fisher PP-Fisher ** *** +
= data level = data first differencing = tanpa intersep – tanpa tren = dengan intersep – tanpa tren = dengan intersep – dengan tren = Levin, Lin & Chu t* = Breitung t-stat = Im, Pesaran and Shin W-stat = ADF-Fisher Chi-square = PP-Fisher Chi-square = pada taraf nyata α 1 % = pada taraf nyata α 5 % = pada taraf nyata α 10 %
Estimasi model untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa yang menggunakan analisis data panel, dapat dilakukakan melalui tiga pendekatan estimasi model yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM).
57
Pertama-tama, dilakukan estimasi model regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dengan pendekatan PLS (Lampiran.3) menghasilkan estimasi model dengan nilai R2 sebesar 0,421998. Dengan melihat nilai Prob(F-statistic) sebesar 0,000409 yang lebih kecil dibandingkan taraf nyata α sebesar 1 persen, hal ini berarti model PLS menyatakan bahwa secara keseluruhan minimal ada satu variabel diantara jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang secara signifikan memengaruhi inflasi dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Selanjutnya, estimasi model regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dilakukan dengan metode FEM (lampiran.4) menghasilkan estimasi model dengan R2 0,523606. Secara sekilas estimasi model dengan pendekatan FEM menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan PLS, namun Chow Test tetap harus dilakukan untuk memilih pendekatan model terbaik antara PLS dan FEM. Hasil Chow Test (Lampran.5) menunjukkan nilai statistik dengan probability sebesar 0,1120 yang lebih besar bila dibandingkan dengan taraf nyata α 1, 5, maupun 10 persen. Hal tersebut menyatakan bahwa pendekatan PLS lebih baik daripada pendekatan FEM, sehingga dinyatakan bahwa pendekatan terbaik untuk mengestimasi model pada penelitian ini adalah PLS. Langkah berikutnya adalah mengestimasi model regresi data panel faktorfaktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa melalui pendekatan REM. Disebabkan jumlah pengamatan cross section pada penelitian ini tidak mencukupi untuk di estimasinya model dengan pendekatan REM, maka estimasi dengan pendekatan REM tidak dapat di lakukan. Dengan demikian, tahapan pengujian untuk memilih model terbaik antara FEM dan REM dengan menggunakan Hausman Test dapat diabaikan.
58
5.3
Tahapan Evaluasi Model
5.3.1
Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika Tahapan pemilihan pendekatan model terbaik berdasarkan Chow Test
menunjukkan bahwa PLS merupakan pendekatan terbaik untuk mengestimasi model penelitian. Langkah berikutnya adalah melakukan pengujian asumsi klasik terhadap model estimasi data panel PLS. Pengujian asumsi klasik harus tetap dilakukan agar model dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria Best Liniear Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikoliniearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.
5.3.1.1 Uji Normalitas Pengujian normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test yang terdapat dalam software Eviews 6. Hasil perhitungan dengan menggunakan software Eviews 6 menghasilkan output pada Lampiran.6. Dari hasil tersebut diperoleh nilai p-value sebesar 0,419674 (Lampiran.6). Hal tersebut menandakan bahwa nilai p-value lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata α 1, 5, maupun 10 persen, dimana jika nilai p-value lebih besar menandakan H 0 tidak ditolak dan menandakan bahwa residual berdistribusi normal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria normalitas model estimasi telah terpenuhi.
5.3.1.2 Uji Multikoliniearitas Multikolinearitas menandakan terdapat hubungan linier antar variabel independennya. Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai perhitungan koefisien korelasi sederhana (Pearson correlation coefficient) antar peubah bebasnya. Persyaratan kecukupan (sufficient condition) untuk terbebas dari pelanggaran asumsi multikoliniearitas ini adalah nilai koefisien korelasi antar variabel bebas pada model tidak boleh melebihi tanda mutlak 0.8. Sedangkan syarat perlu (necessary condition) yang perlu dipenuhi apabila syarat cukup tidak terpenuhi adalah nilai dari Variance Inflation Factor (VIF) yang tidak boleh melebihi 5 atau 10.
59
Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan software Eviews 6 menghasilkan output pada lampiran.2. Dengan melihat hasil output tersebut, tidak terdapat nilai koefisien korelasi yang melebihi kisaran nilai 0,80 pada peubah bebas dalam model, dengan demikian persyatatan kecukupan telah terpenuhi sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran asumsi multikoliniearitas dalam estimasi model penelitian.
5.3.1.3 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator tidak lagi BLUE karena tidak lagi mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak dapat dipercaya. Jika model mengalami masalah heteroskedastisitas, dengan menggunakan metode GLS Weight Cross-section SUR permasalahan tersebut sudah dapat teratasi dan model estimasi dapat dikatakan telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Disamping hal tersebut, heteroskedastisitas juga dapat diketahui dengan melakukan plotting pada sebaran standardized residualnya. Apabila secara grafis terlihat bahwa residual dari model terdistribusi normal maka dapat dikatakan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. Lampiran.7 menunjukkan uji heteroskedastisitas berdasarkan grafik. Berdasarkan grafik tersebut dapat disimpulkan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas.
5.3.1.4 Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antar anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau diurutkan menurut ruang. Autokorelasi akan menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan konsisten. Pengujian untuk mendeteksi permasalahan autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson Statistic pada model dan membandingkannya dengan nilai DW-Tabel. Namun, karena model sudah
60
diestimasi dengan menggunakan metode pembobotan GLS Weights Cross section SUR maka masalah tersebut langsung dapat terkoreksi. Metode GLS Cross section SUR dapat digunakan untuk mengoreksi masalah autokorelasi, dengan demikian, model estimasi regresi data panel pada penelitian ini telah terbebas dari masalah autokorelasi.
5.3.2
Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Statistika Setelah dilakukan tahapan pengujian asumsi klasik maka dapat ditentukan
bahwa model estimasi analisis data panel yang terbaik pada penelitian ini menggunakan pendekatan PLS dengan metode pembobotan GLS Weight Cross section SUR. Dengan nilai R2 model sebesar 0,421998 menandakan bahwa variabel jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia mampu menjelaskan keragaman dalam inflasi di Pulau Jawa sebesar 42,20 persen dan sisanya sebesar 57,80 persen keragaman dalam inflasi di Pulau Jawa dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Kriteria statistik lainnya dapat dilihat pada Tabel 5.2 Tabel 5.2 Nilai Statistik Model Inflasi di Pulau Jawa Kriteria Statistik R
2
Nilai 0.421998
Adjusted R2
0.334041
S.E. of regression
0.967544
F-statistic
4.797779
Prob(F-statistic)
0.000409
Mean dependent var
1.782925
S.D. dependent var
2.049364
Sum squared resid
43.06251
Durbin-Watson statistic
1.613516
61
Dengan melihat nilai Prob(F-statistic) sebesar 0,000409 yang lebih kecil jika dibandingkan taraf nyata α sebesar 1 persen, hal ini menyatakan bahwa secara keseluruhan minimal ada satu variabel diantara jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang secara signifikan memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Kemudian, secara parsial dengan melihat nilai Prob(t-statistic) dari masing-masing variabel yang lebih kecil dari taraf nyata α sebesar 10 persen (variabel pengeluaran pemerintah, harga minyak dunia dan pertumbuhan ekonomi) serta beberapa signifikan pada taraf nyata α 1 persen (kondisi infrastruktur dan upah minimum), maka dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur dan harga minyak dunia berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa, sementara variabel jumlah uang beredar dan harga pangan dunia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Tabel 5.3 Hasil Estimasi Model Inflasi di Pulau Jawa Variabel
Koefisien
Standar Error
t-Statistic
Prob
C
0.054130
0.014785
3.661005
0.0006
D(GEXP)
0.015390
0.008338
1.845891
0.0713+
D(OIL_P)
0.086558
0.047303
1.829861
0.0738+
D(FOOD_P)
-0.133759
0.092028
-1.453463
0.1529
D(M)
0.049431
0.077068
0.641392
0.5245
D(KI)
0.002159
0.000615
3.507293
0.0010**
D(Y)
0.124943
0.071513
1.747137
0.0873+
D(W)
0.084064
0.019137
4.392706
0.0001**
Keterangan :
(**) Signifikan pada taraf nyata 1 persen (***) Signifikan pada taraf nyata 5 persen (+) Signifikan pada taraf nyata 10 persen
Selanjutnya, dengan melihat koefisien dari masing-masing variabel dapat diketahui bahwa semua variabel yang signifikan memiliki pengaruh positif
62
terhadap inflasi di Pulau Jawa. Tabel 5.3 menyajikan hasil estimasi untuk masingmasing variabel dalam model inflasi di Pulau Jawa.
5.3.3
Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonomi Estimasi yang diberikan oleh pendekatan PLS menunjukkan hasil yang
cukup baik karena telah melampaui berbagai syarat-syarat pengujian model. Tahap selanjutnya perlu diperiksa kembali tanda dari koefisien regresi, apakah sudah sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Berdasarkan tujuh penduga koefisien yang diperoleh melalui metode PLS, dua diantaranya yaitu pertumbuhan jumlah uang beredar dan perubahan harga pangan dunia memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Anomali dari dampak pertumbuhan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang sesuai dengan teori namun tidak signifikan terhadap inflasi, hal tersebut disebabkan oleh penggunaan data yang belum akurat merepresentasikan kondisi jumlah uang beredar untuk studi kasus pada tataran provinsi. Anomali lainnya dari hasil estimasi model adalah tanda dari koefisien perubahan harga pangan dunia berpengaruh negatif, namun karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap inflasi, maka fakta ini dapat diterima, meskipun sangat sulit menjelaskan pengaruh yang negatif akibat kenaikan harga pangan dunia pada kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya variabelvariabel yang signifikan memengaruhi inflasi dijelaskan pada sub-bab berikut.
5.3.3.1 Variabel Perubahan Pengeluaran Pemerintah Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan pengeluaran pemerintah D(GEXP) sebesar 0,015390. Hal ini menandakan bahwa perubahan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan inflasi 0,015 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataannya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan
sebelumnya
maupun
teori
demand-pull
inflation.
Pengeluaran
pemerintah merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dilaksanakan
63
untuk mendukung kegiatan perekonomian dalam memacu pertumbuhan. Berdasarkan teori demand-pull inflation dalam keadaan perekonomian yang sudah full employment, peningkatan pengeluaran pemerintah daerah justru hanya akan meningkatkan tingkat inflasi tanpa memengaruhi output. Penelitian ini juga konsisten dengan penelitian terdahulu (Brodjonegoro et al, 2005) dan (Hamzah dan Sofilda, 2006).
5.3.3.2 Variabel Perubahan Harga Minyak Dunia Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan harga minyak dunia D(OIL_P) sebesar 0,086558. Hal ini menandakan bahwa perubahan harga minyak dunia berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan harga minyak dunia sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,087 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya maupun dengan teori cost-push inflation. Peningkatan pada harga minyak dunia tentunya akan memengaruhi Indonesia sebagai salah satu negara importir minyak tentunya juga tekena imbas akibat kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak dunia akan direspon pemerintah dengan menaikkan harga minyak domestik untuk mengurangi beban fiskal pemerintah sehingga akan menyebabkan biaya produksi hampir seluruh sektor perekonomian di Pulau Jawa akan mengalami peningkatan. Sebagai produsen yang rasional tentunya kenaikan biaya produksi hanya akan direspon dengan mengurangi produksi atau meningkatkan harga jual yang keduanya akan berakibat memicu inflasi untuk naik. Penelitian ini konsisten mendukung penelitian terdahulu (Satrya, 2009) dan (Wahyuni, 2011).
5.3.2.3 Variabel Perubahan Kondisi Infrastruktur Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan kondisi infrastruktur D(KI) sebesar 0,002159. Hal ini menandakan bahwa
64
perubahan kondisi infrastruktur memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan kondisi infrastruktur sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,002 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataannya hasil penelitian ini berbeda dengan hipotesis penelitian yang telah diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif, namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif (Oosterhaven dan Elhorst, 2003). Tabel 5.4 Neraca Perdagangan Provinsi Pulau Jawa
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten
2007 -2.796.238.297,0 -1.059.322.629,0 -3.537.144.871,0 2.380.630,0 629.964.532,0 -4.247.554.150,0
2008 -27.364.025.047,0 -2.037.976.611,0 -6.889.828.191,0 2.125.652,0 -8.432.895.247,0 -6.428.958.937,0
2009 -15.562.798.072,0 -1.370.358.114,0 -3.183.795.800,0 2.700.587,0 -254.368.113,0 -4.837.155.878,0
2010 -30.432.900.226,0 -249.465.961,0 -5.776.463.859,0 11.436.587,0 -643.748.407,0 -6.665.677.315,0
Sumber: Kemendag, 2012 Tabel 5.4 memberikan informasi mengenai neraca perdagangan provinsi di Pulau Jawa. Berdasarkan tabel tersebut apabila diagregsi pada keseluruhan provinsi, Pulau Jawa memeiliki neraca perdagangan yang defisit (impor lebih besar dibandingkan ekspor). Defisit tersebut diakibatkan oleh tingginya ketergantungan impor akan bahan baku produksi pada tiap-tiap sektor pada perekonomian Pulau Jawa baik migas maupun non-migas. Satu-satunya provinsi yang tidak mengalami defisit neraca perdagangan pada tabel adalah provinsi DIY, namun jumlahnya tidak dapat menutupi defisit yang terjadi pada provinsi-provinsi lainnya di Pulau Jawa.
65
5.3.2.4 Variabel Perubahan Pertumbuhan Ekonomi Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan pertumbuhan ekonomi D(Y) sebesar 0,124943. Hal ini menandakan bahwa perubahan pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,12 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan maupun dengan teori demand-pull inflation. Chowdhury dan Siregar (2004) menyatakan bahwa inflasi adalah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga saat perekonomian mengalami pertumbuhan maka hal tersebut kemudian akan dibarengi dengan semakin meningkatnya tingkat inflasi.
5.3.2.5 Variabel Perubahan Upah Minimum Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan upah minimum D(W) sebesar 0,084064. Hal ini menandakan bahwa perubahan upah minimum memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase pertumbuhan upah minimum sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,084 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. Upah merupakan salah satu input utama dalam proses produksi. Kenaikan dalam upah akan menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga produsen akan mengurangi outputnya untuk mengantisipasi kenaikan biaya tersebut, dengan penurnan output ini membuat harga barang dan jasa akan meningkat.
66
5.4
Implikasi Kebijakan Pengendalian Inflasi Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengendalikan inflasi dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan moneter, fiskal atau kebijakan yang menyangkut kenaikan produksi. Sasaran kebijakan moneter dapat dicapai melalui pengaturan jumlah uang beredar (M). Salah satu komponen M adalah uang giral (demand deposit), dengan demikian Bank Sentral (BI) dapat mengatur uang giral ini melalui penetapan cadangan minimum. Disamping itu, BI juga dapat menggunakan tingkat diskonto (discount rate) dan operasi pasar terbuka. Discount rate merupakan tingkat bunga pinjaman yang diberikan oleh Bank Sentral terhadap Bank Umumm, sedangkan operasi pasar terbuka adalah jual beli surat-surat berharga BI dengan tujuan menekan jumlah uang beredar. Kebijakan fiskal menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat memengaruhi permintaan total dan dengan demikian akan memengaruhi harga. Inflasi dapat dikendalikan melalui penurunan pengeluaran pemerintah serta kenaikan pajak. Kebijakan penentuan harga juga dapat dilakukan untuk pengendalian inflasi. Kebijakan tersebut dilakukan dengan penentuan ceiling harga, serta mendasarkan pada indeks harga tertentu untuk upah dan komoditas lain yang menguasai hajat hidup orang banyak, shingga pemerintah dapat dengan langsung bertindak terhadap kondisi yang terjadi. Merujuk kepada hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, Tabel 5.5. berikut menyajikan rangkuman arah kebijakan yang disarankan oleh penulis dalam rangka pengendalian inflasi di Pulau Jawa.
67
Tabel 5.5 Implikasi Kebijakan Berdasarkan Hasil Penelitian No. 1.
2.
3.
Hasil Penelitian Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa.
Implikasi Kebijakan
Pemerintah daerah sebaiknya mengendalikan pengeluarannya dengan peningkatan efisiensi alokasi anggaran dan memberikan bobot yang lebih besar kepada belanja modal bila dibandingkan dengan belanja barang. Harga minyak dunia berpengaruh Pemerintah pusat sebaiknya: positif dan signifikan terhadap 1. Tetap memberikan bantuan subsidi inflasi di Pulau Jawa. namun, diiringi dengan melaksanakan kebijakan penyesuaian harga BBM secara perlahan-lahan menyesuaikan dengan proporsi keuagan pemerintah. 2. Terkait dengan kebutuhan konsumsi bahan bakar untuk keperluan produksi industri perlu dialihkan ke penggunaan energi alternatif lain seperti gas maupun panas bumi sehingga tekanan terhadap kebutuhan bahan bakar (minyak bumi) semakin berkurang. Kondisi infrastruktur jalan raya Pemerintah baik pusat, provinsi dan berpengaruh positif dan kabupaten/kota disarankan agar: signifikan terhadap inflasi di 1. Meningkatkan daya saing produk Pulau Jawa. karena dengan peningkatan daya saing maka ekspor neto akan terus meningkat serta memacu ekspor untuk komoditas unggulan sehingga peningkatan kondisi infrastruktur memiliki dampak seperti diharapkan yaitu mengurangi biaya transportasi serta lancarnya arus barang sehingga tingkat harga menjadi turun 2. Memelihara, memperbaiki dan terus meningkatkan infrastruktur jalan raya yang sudah tersedia.
68
4.
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa.
5.
Upah minimum regional berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa
Pemerintah pusat maupun daerah sebaiknya menciptakan iklim yang mendorong peningkatan produksi sekaligus membantu menyediakan atau paling tidak mempermudah penyediaan baik secara langsung maupun tidak langsung atas barangbarang komoditas utama yang banyak dikonsumsi pada perekonomian daerah masing-masing untuk mencukupi kenaikan pada sisi permintaan. Pemerintah pusat sebaiknya memepertimbangkan besarnya penyesuain upah minimum regional agar peningkatannya tidak lebih tinggi dari tingkat inflasi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan dalam penulisan skripsi ini,
maka hasil penelitian faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengujian variabel pada estimasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan metode data panel Pooled Least Square (PLS). Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa signifikansi pengaruh variabel-variabel seperti perubahan pengeluaran pemerintah, perubahan pertumbuhan ekonomi, perubahan upah minimum, perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan harga minyak dunia menunjukkan berpengaruh terhadap pergerakan inflasi di Pulau Jawa. Sedangkan variabel perubahan jumlah uang beredar dan perubahan harga pangan
dunia
tidak
berpengaruh
signifikan
dalam
memengaruhi
pergerakan tingkat inflasi di Pulau Jawa. 2. Implikasi kebijakan yang harus dilakukan untuk mengatasi inflasi tidak terlepas
dari
sumber-sumber
yang
menyebabkan
inflasi
pada
perekonomian regional. Berdasarkan hasil analisis regresi penyebab munculnya inflasi pada perekonomian regional lebih disebabkan dari sisi penawaran. Oleh karena itu perhatian sebaiknya lebih difokuskan kepada sektor produksi dalam mengendalikan inflasi. Temuan penting dari penelitian ini adalah perubahan kondisi infrastruktur di Pulau Jawa ternyata memberikan pengaruh yang positif terhadap inflasi. oleh karenanya disamping tetap menjaga dan meningkatkan kualitas dari kondisi infrastruktur yang sudah tersedia, sebaiknya pemerintah juga memperhatikan keseimbangan ekspor dan impor di Pulau Jawa dengan mendorong ekspor supaya dapat mengimbangi impornya. Dengan meningkatkatnya kuantitas nilai ekspor maka diharapkan peningkatan kondisi infrastruktur dapat optimal mendukung ekspor tersebut, sehingga dapat mengurangi tingkat inflasi.
70
6.2
Saran Keterbatasan penelitian ini adalah hanya membahas inflasi pada Pulau
Jawa saja. Saran untuk penelitian lebih lanjut adalah sebgai berikut: 1. Merubah cakupan penelitian menjadi provinsi-provinsi lain selain Pulau Jawa, sehingga melengkapi hasil penelitian ini. 2. Memasukkan variabel lain yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap volatilitasi inflasi baik di Pulau Jawa maupun di provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, yaitu suku bunga sebagai proksi lain kebijakan moneter dan variabel ekspor-impor. 3. Mengumpulkan keterbatasan data yang tidak diperoleh penulis pada penelitian ini, seperti jumlah uang beredar pada level provinsi, maupun penggunaan data harga komoditas pangan yang paling besar dikonsumsi di masing-masing provinsi sebagai proksi harga pangan dunia agar lebih mampu untuk menjelaskan dinamika inflasi pada perekonomian regional secara lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, K. dan Shahiduzzaman. Md. 2008. “Inflation and Food Security: Some Emerging Issues in Developing Countries”, Australian Conference of Economics, September 29 – October 03, pp. 1-17. Apriani, D. K. 2007. Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Output di Indonesia: Periode 1990-2006 [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Arimurti, T. dan Budi, T. 2011. “Presistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BEMP), Juli, Bank Indonesia. Arjakusuma, R.S, 2009. Analisis Inflasi Regional di Indonesia [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Atmadja, A. S. 1999. “Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan pengendaliannya”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, pp. 55-67. Badan Pusat Statistik. 2005. Metode Pengukuran Inflasi di Indonesia. Direktorat Statistik Keuangan dan Harga, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Baer, W. 1967. “The Inflation Controversy in Latin America : A Survey”, Latin American Research Review, Vol. 2, No. 2 (Spring, 1967), pp. 3-25. Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Editions. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. West Sussex. Barro, R. J. 1996. “Inflation and Growth”, Journal of Federal Reserve Bank of St. Louis, May/June edition. Beirne, J. 2009. “Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Countryspecific and Global Factors”, Economics Bulletin, Vol. 29, No. 2, pp. 1420-1431. Blanchard, O. 2004. Macroeconomics 4th Editions, Prentice Hall, New Jersey. Boediono. 1999. Ekonomi Moneter, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi Moneter, LPBFE, Jogjakarta. Brodjonegoro, B.P.S., Telissa, F dan Beta, Y.G. 2005. “Determinant Factor of Regional Inflation in Decentralized Indonesia”, Journal Economics and Finance in Indonesia, Vol. 53, No. 1, pp. 1-31. Chowdhury, A. dan Siregar, H. 2004. “Indonesia’s Monetary Policy Dilemma: Constraints of Inflation Targeting”, The Journal of Developing Areas, Vol. 37, No. 2, pp. 137153. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta.
72 Fielding, D. 2008. “Inflation Volatility and Economic Development: Evidence from Nigeria:, University of Otago Economics Discussion Papers, No. 0807, September 2008. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press, Bogor. Gali, J. dan Gertler, M. 1999. “Inflation Dynamics: A Structural Econometric Analysis”, Journal of Monetary Economics, Vol. 44, pp. 195-222. Gemmell, N. 1994. Ilmu Ekonomi Pembangunan: Beberapa Survai. LP3ES, Jakarta. Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Editions. McGraw-Hill, New York. Hamzah, M. Z. dan Sofilda, E. 2006. “Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM)”, Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 2, No, 1, pp. 21-35. Hoover, E.M. dan Giarratani, F. 1989. An Indtroduction to Regional Economics. Third Editions. Hossain, A. dan Chowdhury, A. 1998. Open Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar, Massachusetts. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. ______. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press, Bogor. Lestari, N. 2003. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia [Thesis]. Depok: Universitas Indonesia. Lipsey, R.G., P.O Steiner, D.D Purvis dan P.N Cournant. 1995. Pengantar Makroekonomi edisi Sepuluh. Terj. Jaka Wasana dan Kirbrandoko. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. Mallik, G. dan Anis, C. 2001. “Inflation and Economic Growth: Evidence From Four South Asian Countries”, Asia-Pacific Development Journal, Vol. 8, No. 1, June. Mishkin, F. S. 2007. “Inflation Dynamics”, NBER Working Paper, No. 13147, June 2007. ___________. 2009. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan Edisi 8 buku 2. Salemba Empat, Jakarta. Nagayasu, J. 2009. “Regional Inflation in China”, 83rd Annual Conference of the Western Economics Association International. Ltd. Oosterhaven, J. and Elhorst, J.P. 2003. “Indirect Economic Benefits of Transport Infrastructure Investment”, Across The Border. pp. 143-161. De Boeck, Ltd. Prasetyo, R. B. dan Muhammad, F. 2009. “Pengaruh Infrastruktur Pada Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, Vol. 2, No. 2, pp. 222-236.
73 Rahardja, P. dan Mandala, M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi, Edisi Ketiga. LPFEUI, Depok. Solikin. 2007. “Karakteistik Tekanan Inflasi di Indonesia: Pengaruh Dinamis Sisi Permintaan-Penawaran dan Prospek Ke Depan”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BEMP), Januari, Bank Indonesia. Subekti, A. 2011. Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Todaro, M.P. dan Smith, S.C. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Buku 1, Edisi Ketiga. Erlangga, Jakarta. Verbeek, M. 2004. A Guide to Modern Econometric. 2nd Edition. Chicester : John Wiley & Sons. Ltd. Wahyuni, D. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Indonesia dari Sisi Penawaran Tahun 1998-2010 [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wimanda, R. E. 2006. “Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants”, Bank Indonesia Working Papers, No. WP/ 13/ 2006. ________. 2011. “Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar Terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model”, Buletin Ekonomi dan Moneter Perbankan (BEMP), April, Bank Indonesia.
LAMPIRAN
75
Lampiran.1 Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Software Eviews 6 Ln IHK (P) Panel unit root test: Summary Series: P Date: 06/19/12 Time: 13:30 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -1.10707 0.1341 Breitung t-stat 0.28950 0.6139 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 0.64213 0.7396 ADF - Fisher Chi-square 6.03986 0.9141 PP - Fisher Chi-square 3.96552 0.9841
Crosssections
Obs
6 6
52 46
6 6 6
52 52 54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln IHK (∆P) Panel unit root test: Summary Series: D(P) Date: 06/19/12 Time: 13:30 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.34697 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.05331 0.0200 ADF - Fisher Chi-square 25.1167 0.0143 PP - Fisher Chi-square 27.8389 0.0058
Crosssections
Obs
6
47
6 6 6
47 47 48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
76
Ln Jumlah Uang Beredar (M) Panel unit root test: Summary Series: M Date: 06/19/12 Time: 15:59 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* 0.45053 0.6738 Breitung t-stat 0.86652 0.8069 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 1.17619 0.8802 ADF - Fisher Chi-square 2.47139 0.9983 PP - Fisher Chi-square 2.89123 0.9963
Crosssections
Obs
6 6
54 48
6 6 6
54 54 54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Jumlah Uang Beredar (∆M) Panel unit root test: Summary Series: D(M) Date: 06/19/12 Time: 16:00 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -4.68980 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.81017 0.0351 ADF - Fisher Chi-square 22.6966 0.0304 PP - Fisher Chi-square 22.2914 0.0344
Crosssections
Obs
6
48
6 6 6
48 48 48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
77
Ln Pengeluaran Pemerintah (GEXP) Panel unit root test: Summary Series: GEXP Date: 06/19/12 Time: 16:07 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -8.61066 0.0000 Breitung t-stat -1.14444 0.1262 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.34896 0.0887 ADF - Fisher Chi-square 27.7055 0.0061 PP - Fisher Chi-square 44.7740 0.0000
Crosssections
Obs
6 6
49 43
6 6 6
49 49 54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Pengeluaran Pemerintah (∆GEXP) Panel unit root test: Summary Series: D(GEXP) Date: 06/19/12 Time: 16:08 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -6.08833 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.39869 0.0003 ADF - Fisher Chi-square 37.2476 0.0002 PP - Fisher Chi-square 65.7363 0.0000
Crosssections
Obs
6
44
6 6 6
44 44 48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
78
Ln Pertumbuhan Ekonomi (Y) Panel unit root test: Summary Series: Y Date: 06/19/12 Time: 16:11 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.94205 0.0000 Breitung t-stat -0.51374 0.3037 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.75004 0.2266 ADF - Fisher Chi-square 19.0887 0.0864 PP - Fisher Chi-square 40.2838 0.0001
Crosssections
Obs
6 6
52 46
6 6 6
52 52 54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Pertumbuhan Ekonomi (∆Y) Panel unit root test: Summary Series: D(Y) Date: 06/19/12 Time: 16:11 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.62746 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.24458 0.0124 ADF - Fisher Chi-square 26.8316 0.0082 PP - Fisher Chi-square 37.2356 0.0002
Crosssections
Obs
6
47
6 6 6
47 47 48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
79
Ln Upah Minimum Regional (W) Panel unit root test: Summary Series: W Date: 06/19/12 Time: 16:14 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -7.54105 0.0000 Breitung t-stat 1.57231 0.9421 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.59724 0.0551 ADF - Fisher Chi-square 30.5468 0.0023 PP - Fisher Chi-square 61.1681 0.0000
Crosssections
Obs
6 6
52 46
6 6 6
52 52 54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Upah Minimum Regional (∆W) Panel unit root test: Summary Series: D(W) Date: 06/19/12 Time: 16:14 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -9.49763 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -4.88357 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 46.8814 0.0000 PP - Fisher Chi-square 76.6750 0.0000
Crosssections
Obs
6
47
6 6 6
47 47 48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
80
Ln Kondisi Infrastruktur (KI) Panel unit root test: Summary Series: KI Date: 06/19/12 Time: 16:15 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -4.57443 0.0000 Breitung t-stat -2.24877 0.0123 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.26889 0.3940 ADF - Fisher Chi-square 14.2121 0.2874 PP - Fisher Chi-square 17.7755 0.1227
Crosssections
Obs
6 6
50 44
6 6 6
50 50 54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Kondisi Infrastruktur (∆KI) Panel unit root test: Summary Series: D(KI) Date: 06/19/12 Time: 16:16 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -7.63797 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.45702 0.0003 ADF - Fisher Chi-square 37.3333 0.0002 PP - Fisher Chi-square 49.0901 0.0000
Crosssections
Obs
6
46
6 6 6
46 46 48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
81
Ln Harga Minyak Dunia (OIL_P) Panel unit root test: Summary Series: OIL_P Date: 06/19/12 Time: 16:18 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -0.39781 0.3454 Breitung t-stat -1.14023 0.1271 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 0.86633 0.8068 ADF - Fisher Chi-square 3.74051 0.9877 PP - Fisher Chi-square 3.74051 0.9877
Crosssections
Obs
6 6
54 48
6 6 6
54 54 54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Harga Minyak Dunia (∆OIL_P) Panel unit root test: Summary Series: D(OIL_P) Date: 06/19/12 Time: 16:18 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -7.93437 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.38853 0.0004 ADF - Fisher Chi-square 36.0853 0.0003 PP - Fisher Chi-square 36.0853 0.0003
Crosssections
Obs
6
48
6 6 6
48 48 48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
82
Ln Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia (FOOD_P) Panel unit root test: Summary Series: FOOD_P Date: 06/19/12 Time: 16:20 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.22390 0.0000 Breitung t-stat -2.95602 0.0016 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.30640 0.3796 ADF - Fisher Chi-square 14.7876 0.2533 PP - Fisher Chi-square 38.7855 0.0001
Crosssections
Obs
6 6
48 42
6 6 6
48 48 54
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
st
1 Differencing Ln Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia (∆FOOD_P) Panel unit root test: Summary Series: D(FOOD_P) Date: 06/19/12 Time: 16:21 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Balanced observations for each test
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.29265 0.0000 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.09418 0.0181 ADF - Fisher Chi-square 26.4815 0.0092 PP - Fisher Chi-square 68.4211 0.0000
Crosssections
Obs
6
42
6 6 6
42 42 48
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
83
Lampiran.2 Korelasi Antar Variabel Independen Pada Model 1st Differencing
D(M) D(GEXP) D(Y) D(W) D(KI) D(OIL_P) D(FOOD_P)
D(M) 1.0000 -0.1023 -0.2999 0.0640 -0.1256 -0.1419 -0.0323
D(GEXP) -0.1023 1.0000 -0.0352 0.5617 0.0370 0.0049 -0.1235
D(Y) -0.2999 -0.0352 1.0000 -0.1420 0.0084 0.2447 0.2808
D(W) 0.0640 0.5617 -0.1420 1.0000 -0.2034 -0.1529 -0.2190
D(KI) -0.1256 0.0370 0.0084 -0.2034 1.0000 -0.0041 -0.0754
D(OIL_P) -0.1419 0.0049 0.2447 -0.1529 -0.0041 1.0000 0.8044
D(FOOD_P) -0.0323 -0.1235 0.2808 -0.2190 -0.0754 0.8044 1.0000
84
Lampiran.3 Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Pooled Least Square Model 1st Differencing Dependent Variable: D(P) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 06/21/12 Time: 02:15 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 54 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(M) D(GEXP) D(Y) D(W) D(KI) D(OIL_P) D(FOOD_P) C
0.049431 0.015390 0.124943 0.084064 0.002159 0.086558 -0.133759 0.054130
0.077068 0.008338 0.071513 0.019137 0.000615 0.047303 0.092028 0.014785
0.641392 1.845891 1.747137 4.392706 3.507293 1.829861 -1.453463 3.661005
0.5245 0.0713 0.0873 0.0001 0.0010 0.0738 0.1529 0.0006
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.421998 0.334041 0.967544 4.797779 0.000409
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.782925 2.049364 43.06251 1.613516
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.375425 0.027218
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.081592 1.891161
85
Lampiran.4 Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Fixed Effect Model 1st Differencing Dependent Variable: D(P) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 06/21/12 Time: 02:18 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 54 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(M) D(GEXP) D(Y) D(W) D(KI) D(OIL_P) D(FOOD_P) C
0.083627 0.023415 0.188878 0.085713 0.001921 0.094602 -0.154601 0.041552
0.075954 0.009337 0.075511 0.022540 0.000908 0.045473 0.088205 0.014756
1.101029 2.507786 2.501332 3.802649 2.116836 2.080410 -1.752753 2.815900
0.2773 0.0162 0.0165 0.0005 0.0404 0.0438 0.1171 0.0074
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.523606 0.384173 1.020650 3.755264 0.000729
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.777053 2.495105 42.71078 1.842296
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.419790 0.025285
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.081592 2.105064
86
Lampiran .5 Hasil Chow Test Model 1st Differencing Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
1.918846
d.f.
Prob.
(5,41)
0.1120
87
Lampiran.6 Hasil Uji Normalitas Model 1st Differencing
9
Series: Standardized Residuals Sample 2002 2010 Observations 54
8 7 6 5 4 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.29e-17 -0.086370 2.134483 -1.749589 0.897699 0.335640 2.433268
Jarque-Bera Probability
1.736555 0.419674
2 1 0 -1
0
1
2
88
Lampiran.7 Grafik Standardized Residuals Model 1st Differencing
3
2
1
0
-1
-2 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Standardized Residuals
50
55
60