ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PULAU JAWA
WINA DWI FEBRINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2016 Wina Dwi Febrina NIM H152120151
RINGKASAN WINA DWI FEBRINA. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan NOER AZAM ACHSANI. Lahan merupakan sumberdaya yang secara fisik tidak dapat diproduksi sehingga persediaan lahan terbatas. Tingginya permintaan lahan untuk berbagai kegiatan yang cenderung melebihi persediaan lahan yang ada dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan lahan. Kelangkaan lahan mendorong terjadinya persaingan penggunaan lahan dimana peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Terkait dengan permasalahan konversi lahan sawah di Indonesia, tentunya tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi. Pulau Jawa adalah produsen padi terbesar dengan lahan sawah terluas di Indonesia. Berdasarkan sebarannya, Pulau Jawa memiliki lahan sawah terluas yakni kurang lebih 3.231 ribu hektar atau 43% dari total luas lahan sawah di Indonesia. Oleh karena itu, terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Pulau Jawa perlu mendapat perhatian karena mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya dapat mempengaruhi kapasitas produksi padi lokal/nasional mengingat Pulau Jawa merupakan produsen padi terbesar di Indonesia, sehingga jika tidak diantisipasi, diduga akan berdampak pada kondisi pangan di masa depan. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan konversi lahan sawah, faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah dan dampaknya terhadap produksi padi di Pulau Jawa. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel terkait konversi lahan sawah tahun 1995-2013. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif kuantitatif, analisis regresi data panel dan fungsi produksi Cobb Douglas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sepanjang tahun 1995-2013 konversi lahan sawah terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa dengan total luas konversi sebesar 370 ribu hektar atau sekitar 19 ribu hektar per tahun dengan laju sekitar 0,57 persen per tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya konversi lahan di Pulau Jawa adalah nilai tukar petani dan PDRB sektor industri pengolahan. Berdasarkan nilai elastisitasnya, secara parsial dapat diketahui bahwa nilai tukar petani dan PDRB sektor industri bersifat inelastis terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. Berdasarkan metode analisis deskriptif kuantitatif dan fungsi produksi Cobb Douglas diketahui bahwa konversi lahan sawah yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 19 tahun (1995-2013) telah menyebabkan hilangnya kapasitas produksi padi sebesar 57,733 juta ton gabah atau sekitar 3,038 juta ton gabah per tahun. Bila dikonversikan setara beras, maka konversi lahan sawah menyebabkan hilangnya produksi sebesar 36,222 juta ton beras atau sekitar 1,906 juta ton beras per tahun. Berdasarkan elastisitasnya, luas lahan sawah bersifat elastis terhadap produksi padi. Kata kunci: konversi lahan sawah, faktor yang memengaruhi, dampak terhadap produksi padi.
SUMMARY WINA DWI FEBRINA. Determinant of Paddy Fields Conversion and its Impact to Paddy Production in Java. Supervised by DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and NOER AZAM ACHSANI. Land is a resource that physically can not be produced, so that the supply of land is limited. In the other side, the high demand for land for a variety of activities tend to exceed the supply of available land, this condition led to scarcity of land. The scarcity of land led to the competition of land use. The increasing in land use requirements for an activity will reduce the availability of land for other activities that can cause land conversion. Land conversion can be defined as a change of land use for an activity into other land use that different from previous activities. Problems associated with the paddy fields conversion in Indonesia, of course, inseparable from the role of Java as rice production centers. Java Island is the largest rice producer with the largest paddy field in Indonesia. Based on the distribution, Java has the largest paddy field which is approximately 3,231 thousand hectares or 43 percent of the total area of paddy fields in Indonesia. The occurrence of paddy fields conversion to the use of non-paddy fields in Java requires attention because it has opportunity costs, of which may affect the capacity of rice production locally/nationally. Considering that Java are the largest rice producers in Indonesia, if paddy fields conversion in Java not anticipated, it expected to have an impact on food situation in the future. This paper reports the progress of land conversion, especially from paddy field to other utilizatios and its impact to paddy production in Java Island using panel data (provincial data 1995-2013). Using descriptive analysis method it is found that among 1995-2013 paddy fields conversion in Java island is about 370 thousand hectares or about 19 thousand hectares annually at a rate of about 0.57 percent per year. West Java province had the largest paddy field convertion amounted to 228 thousand hectares or about 12 thousand hectares per year. The data then threated as the dependent variabel in the regression analysis for determining the factors that are significantly influential. It is found that farmers exchange rate, and GDP of manufacturing industries sectors are significantly influence the land conversion. The relative strengths of the influential factors are then compared using the concept of elasticity. Using mathematic formulation it is found that the paddy field conversion among 1995-2013 caused lost of paddy production about 57,733 million tons or about 3,038 million tons per year. Converted to the rice equivalent, the paddy field conversion causes loss of production amounted to 36.222 million tons of rice, or about 1.906 million tons of rice per year. If the conversion of land continues to occur each year, assuming the rate of land conversion are fixed, then in 2018 the estimated paddy production capacity will be lost by 6.35 million tons . Based on the elasticity, the paddy field are elastic to paddy production. keywords: paddy field conversion, determinant factors, paddy production
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PULAU JAWA
WINA DWI FEBRINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Judul Tesis : Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa Nama : Wina Dwi Febrina NIM : H152120151
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir DS Priyarsono, MS Ketua
Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 29 Juli 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan program pendidikan stratra dua (S2) di IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini ialah Konversi Lahan dengan judul Analisis FaktorFaktor yang Memengaruhi Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya terhadap Produksi Padi di Pulau Jawa. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir DS Priyarsono dan Bapak Prof Dr Ir Noer Azam Achsani selaku komisi pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya atas motivasi, bimbingan, dan segala bantuan yang diberikan hingga penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MSi sebagai Ketua Program Studi PWD, seluruh staf pengajar PWD serta jajarannya. Terima kasih pula kepada Pusbindiklatren Bappenas dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN yang telah memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan S2 ini. Rasa terima kasih penulis yang spesial untuk Alm.Wisnu Anggoro, belahan jiwa yang selalu membantu dan mendampingi dan memberi semangat hingga akhir hayatnya, juga kepada Herjuno Wisnu Aji atas warna dan keceriaan yang telah dibagi kepada penulis. Terima kasih pula disampaikan kepada ibu dan keluarga besar kostaman, alm. Sudaryanto dan keluarga besar Sudaryanto atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya angkatan 2012 serta rekan-rekan di Puslitbang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN atas segala support dan inspirasinya. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bpk/Ibu/Sdr semua. Semoga karya ini bermanfaat. Bogor, Juli 2016 Wina Dwi Febrina
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 8 9 9 9
2 TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Lahan dari Segi Ekonomi Teori Tanah sebagai Lahan Pertanian Teori Klasik Penggunaan Lahan Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan Konversi Lahan Sawah Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Konversi Lahan Sawah Dampak Konversi Lahan Sawah Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
10 10 11 11 12 13 13 15 17 18 20
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Metode analisis deskriptif kuantitatif Metode analisis regresi data panel Metode analisis deskriptif kuantitatif Metode Fungsi Produksi Cobb Douglas Prosedur Analisis Data
20 20 20 21 21 25 29 30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 32 Perkembangan Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa 32 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konversi lahan sawah di Pulau Jawa 35 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Produksi padi 45 5 SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan Saran Implikasi Kebijakan
51 51 51 52
DAFTAR PUSTAKA
53
LAMPIRAN
56
RIWAYAT HIDUP
73
DAFTAR TABEL 1 Luas penggunaan lahan sawah di Indonesia tahun 1980-2009 2 Klasifikasi lahan sawah di Indonesia berdasarkan jenis pengairan tahun 1980-2009 3 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 1971-2010 4 Perkembangan defisit/surplus produksi dan konsumsi beras serta volume impor beras Indonesia tahun 2001-2012 5 Luas penggunaan lahan sawah di Pulau Jawa tahun 1980-2009 6 Metode dan prosedur analisis data 7 Perkembangan Konversi Luas lahan Sawah Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1995-2013 (Ha) 8 Laju Konversi Lahan Sawah Neto Menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 9 Wilayah dengan Laju Konversi Neto Tertinggi di Pulau Jawa tahun 2009-2013 10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode PLS 11 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode FEM 12 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode REM 13 Hasil Estimasi Likelihood Test Ratio antara metode FEM dan PLS 14 Hasil Estimasi Uji Hausman antara metode FEM dan REM 15 Kapasitas produksi padi pada kondisi luas sawah tetap di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013 16 Kapasitas produksi padi pada kondisi luas sawah mengalami konversi lahan sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013 17 Produksi padi yang hilang sebagai dampak konversi lahan sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013 18 Perkiraan produksi padi yang hilang sebagai dampak konversi lahan sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 2014-2018 19 Hasil estimasi model persamaan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa tahun 1995-2013
3 4 4 5 6 31 33 34 35 36 37 38 39 39 46 47 48 49 50
DAFTAR GAMBAR 1 Perubahan struktur ekonomi Indonesia tahun 1983-2009 2 Kerangka pemikiran 3 Perkembangan luas baku sawah dan produksi Padi per tahun pada kondisi tidak ada perkembangan teknologi dan luas sawah baku tetap (Lc), luas sawah baku berkurang sebesar K1 (LK1) dan luas sawah baku berkurang sebesar k2 (LK2) 4 Kerangka analisis data
2 20
27 31
DAFTAR LAMPIRAN 1 Luas lahan sawah menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 (hektar) 2 Luas konversi lahan sawah menurut Propinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 (Hektar) 3 Laju konversi lahan sawah menurut Kabupaten/Kota di Pulau Jawa tahun 2009-2013 (persen) 4 Laju konversi lahan sawah, laju nilai tukar petani, laju PDRB sektor industri pengolahan, laju jumlah penduduk dan laju perkembangan jumlah industri besar dan sedang pada industri pengolahan per Tahun Menurut Propinsi di Jawa Tahun 1995-2013 (persen) 5 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode PLS 6 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode FEM 7 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode REM 8 Hasil Estimasi Likelihood Test Ratio antara metode FEM dan PLS 9 Hasil Estimasi Uji Hausman antara metode FEM dan REM 10 Intensitas panen padi per tahun (It) menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 11 Produksi padi per hektar per musim panen (Yt) menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013
57 58 59
63 66 67 68 69 70 71 72
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan sebagai sumberdaya alam sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Penggunaan lahan berkaitan baik dengan potensi alaminya seperti kesuburan tanah atau kandungan mineral yang berada di bawah permukaannya maupun dalam kaitannya sebagai ruang yang ditentukan adanya hubunganhubungan tata ruang dengan penggunaan lain yang telah ada (Harsono 1991). Ketersediaan lahan merupakan faktor penting untuk menjamin kelangsungan berbagai kegiatan manusia, salah satunya adalah kegiatan penyediaan pangan. Akan tetapi, lahan merupakan sumberdaya yang secara fisik tidak dapat diproduksi sehingga persediaan lahan terbatas (Nuryati 1995). Tingginya permintaan lahan untuk berbagai kegiatan yang cenderung melebihi persediaan lahan yang ada dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan lahan. Kelangkaan lahan mendorong terjadinya persaingan penggunaan lahan yang dapat menyebabkan konversi lahan. Hal tersebut sejalan dengan uraian Barlowe (1978) dalam Butar-Butar (2012) bahwa dari segi penggunaannya lahan mempunyai kompetisi, yakni adanya ketidakseimbangan antara penawaran yang terbatas dan permintaan yang tak terbatas. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Konversi lahan dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak terhadap lingkungan dan potensi itu sendiri (Utomo et al. 1991 dalam Nuryanti 2011). Konversi lahan adalah sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari baik di negara belum berkembang, sedang berkembang dan negara maju, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk (Azadi et al. 2010). Indonesia sebagai negara berkembang tidak terlepas dari permasalahan konversi lahan. Permasalahan konversi lahan umumnya terjadi pada sektor pertanian yang peranannya menurun sejalan dengan perubahan struktur perekonomian. Seiring waktu, pembangunan di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur perekonomian. Perkembangan pembangunan secara tidak langsung merubah struktur ekonomi Indonesia menjadi lebih kearah ekonomi industri dan jasa dan berdampak terhadap sektor lain terutama sektor pertanian. Perubahan struktur ekonomi ini terlihat dari perubahan komposisi sektor ekonomi atas kontribusinya terhadap PDB dalam jangka waktu tahun 1983-2009 pada Gambar 1.
2
Gambar 1. Perubahan struktur ekonomi Indonesia tahun 1983-2009 Sektor primer merupakan gabungan dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan serta sektor pertambangan dan penggalian. Sektor sekunder merupakan gabungan dari sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air dan sektor konstruksi. Sedangkan sektor tersier merupakan gabungan dari sektor perdagangan, hotel, restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa telah terjadi transformasi perekonomian atau perubahan struktur ekonomi Indonesia yang ditandai dengan semakin menurunnya peran sektor primer dalam sumbangannya terhadap PDB Indonesia dan semakin meningkatnya peran sektor nonprimer. Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri, prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan nonpertanian tersebut. Namun, tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan nonpertanian. Kondisi seperti inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tidak mungkin dapat dihindari (Sudaryanto 2004). Hal ini tentu saja merupakan kondisi yang harus diwaspadai karena bukan saja berarti berkurangnya luas areal pertanian, namun akan berdampak pula pada produksi pertanian. Salah satu isu konversi lahan pertanian yang marak terjadi dan perlu diantisipasi adalah konversi lahan sawah. Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang memiliki peluang lebih besar untuk terkonversi dibandingkan lahan kering (Irawan 2005). Hal ini terjadi karena tiga faktor yaitu, 1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti perumahan dan industri lebih mudah dilakukan pada lahan sawah yang lebih datar dibandingkan lahan kering, 2) pembangunan masa lalu terfokus pada upaya peningkatan produksi padi, maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah lahan kering, dan 3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah lahan kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan. Berkaitan dengan konversi lahan sawah di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan perubahan luas lahan sawah di Indonesia sejak tahun 1980 hingga tahun 2009.
3 Tabel 1 Luas penggunaan lahan sawah di Indonesia tahun 1980-2009 Pulau
1980
Luas Penggunaan Lahan Sawah (Ha) 1990 2000 2009 1990-2009
Sumatera
1.504.860
2.274.411
2.273.173
2.398.716
124.305
Jawa
3.616.795
3.558.184
3.504.016
3.444.579
-113.605
72.725
100.934
97.989
76.003
-24.931
Nusa Tenggara
368.259
354.117
351.745
285.582
-68.265
Kalimantan
898.470
1.305.137
1.003.410
937.607
-367.530
Sulawesi
763.560
796.296
832.187
886.501
90.205
7.417
19.359
33.307
21.763
2.404
30.286
73.316
61.158
55.840
-17.476
7.262.372
8.481.754
8.157.526
8.106.860
-374.894
Bali
Maluku Papua Indonesia
Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010) Berdasarkan Tabel 1, luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 1980 hingga tahun 1990 cenderung mengalami peningkatan. Akan tetapi sejak tahun 1990 hingga 2009 luasan lahan sawah di Indonesia mengalami penurunan. Penurunan luasan lahan sawah tersebut dapat diketahui dari tanda negatif. Tanda negatif menunjukkan pengurangan luas lahan sawah (konversi), sementara tanda positif menunjukkan penambahan luas lahan sawah. Penurunan luas lahan sawah terbesar terjadi di Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa, sedangkan penambahan luas lahan terbesar berada di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi. Proses konversi lahan ini terjadi sebagai dampak dari peningkatan aktivitas ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya dan akibat diberlakukannya hukum pasar (Pramudita 2015). Hukum pasar memicu adanya pergeseran aktivitas pada lahan dari aktivitas yang menghasilkan keuntungan rendah (land rent rendah) menuju aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi (Rustiadi 2001). Posisi pertanian dalam menghasilkan land rent rendah cenderung kalah dengan sektor lain seperti industri, perumahan, dan jasa yang memiliki land rent lebih tinggi. Land rent pertanian nilainya 1:500 untuk kawasan industri, dan 1:622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto 1996), kondisi ini menyebabkan aktivitas konversi lahan ke penggunaan nonpertanian menjadi tidak terkendali terutama pada wilayah sekitar perkotaan (Pramudita 2015). Konversi lahan pertanian yang terjadi dalam skala yang cukup besar di Indonesia, melibatkan ribuan hektar lahan pertanian primer dengan irigasi teknis (Firman 2004). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 dimana berdasarkan jenis pengairannya, Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah di Indonesia berupa lahan sawah tadah hujan, sawah irigasi semi teknis dan sawah irigasi teknis. Namun, luas lahan sawah yang menggunakan irigasi teknis dan irigasi semi teknis mengalami penurunan dibanding luas sawah dengan jenis pengairan yang lain. Konversi lahan sawah yang terjadi terutama pada lahan sawah beririgasi teknis dan semi teknis memberikan kerugian karena dapat
4 menyebabkan pemborosan investasi pada jaringan irigasi yang dibangun untuk mendukung lahan pertanian khususnya sawah. Tabel 2 Klasifikasi lahan sawah di Indonesia berdasarkan jenis pengairan tahun 1980-2009 Klasifikasi Tanah Sawah
Luas Penggunaan Tanah Sawah Indonesia 1980
1990
2000
2009
Irigasi teknis
1.767.355
1.766.056
1.787.583
1.774.276
Irigasi semi teknis
2.029.218
2.289.195
2.227.900
2.190.139
Irigasi sederhana
1.478.534
1.772.678
1.725.576
1.560.349
Tadah hujan
1.827.178
2.227.024
1.994.601
2.174.501
Pasang Surut
160.087
426.802
421.865
407.594
7.262.372
8.481.754
8.157.526
8.106.860
Luas Sawah (Ha)
Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010) Selain akibat dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk juga diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya konversi lahan sawah. Ditinjau dari sisi demografi, populasi penduduk di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 1971-2010 Tahun Jumlah Penduduk (juta jiwa) Laju Pertumbuhan (persen)
1971
1980
1990
2000
2010
119,2
147,5
179,4
205,1
237,6
2,30
1,97
1,49
1,49
Sumber: BPS Sensus Penduduk tahun 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010 Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sudah mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta sejak tahun 2000 (BPS 2010). Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2000-2010 1,49 persen per tahun. Artinya bahwa rata-rata peningkatan jumlah penduduk Indonesia per tahun antara tahun 2000 hingga 2010 adalah sebesar 1,49 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tahunnya antara tahun 2000 hingga 2010 jumlah penduduk Indonesia bertambah sebesar 1,49 persen. Peningkatan jumlah penduduk tersebut diduga akan berpengaruh besar terhadap kebutuhan lahan khususnya kebutuhan untuk pemukiman dan sarana prasarana umum. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, juga akan mempengaruhi permintaan terhadap beras. Berdasarkan hasil penelitian
5 Kumalasari (2014), tingkat konsumsi beras per kapita per tahun masyarakat Indonesia meningkat per tahunnya sedangkan produksi yang dihasilkan meskipun pada beberapa tahun terakhir dapat memenuhi tingkat konsumsi masyarakat Indonesia, namun laju produksi padi tersebut cenderung mengalami penurunan. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah mengambil keputusan untuk melakukan impor beras dari negara lain. Tabel 4 menunjukkan perkembangan defisit/surplus dari produksi dan konsumsi beras serta volume impor beras di Indonesia tahun 2001-2012. Tabel 4 Perkembangan defisit/surplus produksi dan konsumsi beras serta volume impor beras Indonesia tahun 2001-2012 Konsumsi (ton)
Defisit/Surplus (ton)
Impor (ton)
Tahun
Produksi (ton)
2001
31.659.094
32.283.326
-624.232
649.488
2002
32.304.634
33.073.152
-768.519
1.811.988
2003
32.711.132
33.372.463
-661.331
1.437.472
2004
33.935.104
33.669.384
265.720
246.256
2005
33.974.398
34.389.029
-414.631
189.617
2006
34.165.027
35.532.082
-1.367.055
438.108
2007
35.860.574
36.423.236
-562.662
1.406.547
2008
37.848.485
37.200.322
648.163
289.000
2009
40.403.863
38.102.776
2.301.087
250.473
2010
41.702.897
38.502.594
3.200.303
687.581
2011
41.255.881
38.740.235
2.515.646
2.750.476
2012
43.325.813
39.265.422
4.060.391
1.810.372
Sumber: Statistik Indonesia 2013, Neraca Bahan Makanan 2013 dalam Kumala Sari 2014
Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa pada tahun 2001-2007 Indonesia mengalami defisit beras dimana konsumsi beras lebih tinggi dari produksi beras. Namun sejak tahun 2008 Indonesia mengalami surplus beras, dimana produksi lebih tinggi dari tingkat konsumsi. Hasil penelitian Kumalasari (2014) menyatakan bahwa produksi padi berpengaruh negatif terhadap impor beras. Hal ini berarti bahwa jika produksi meningkat maka impor beras akan menurun. Akan tetapi, nilai impor tidak serta merta turun akibat pengaruh produksi padi, terdapat faktor lain yang mempengaruhi peningkatan impor beras selain produksi padi antara lain konsumsi beras, nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan harga beras domestik. Oleh karena itu, meskipun pada periode lima tahun terakhir produksi padi meningkat, nilai impor ternyata tetap tinggi akibat pengaruh faktor lain tersebut. Meskipun demikian, mengingat maraknya konversi lahan sawah yang terjadi dan semakin meningkatnya jumlah penduduk dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat produksi beras. Jika produksi kembali
6 mengalami penurunan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa impor beras akan semakin besar. Terkait dengan permasalahan konversi lahan sawah di Indonesia, tentunya tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi. Peran Jawa dalam produksi padi nasional cukup besar meskipun luasnya hanya 7 persen dari luas daratan total Indonesia. Secara historis, pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 tidak terlepas dari peranan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi nasional dimana pada saat itu Pulau Jawa mampu memberikan kontribusi sebesar 63,12 persen dari total produksi padi nasional. Selanjutnya, selama tahun 1985-2005 sekitar 55-62 persen produksi padi nasional dihasilkan di Pulau Jawa (Irawan et al. 2012). Akan tetapi, konversi lahan sawah nampaknya sudah menjadi fenomena yang lazim terjadi di Pulau Jawa. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, perkembangan luas lahan sawah di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Luas penggunaan lahan sawah di Pulau Jawa tahun 1980-2009 Pulau Jawa
1980
1990
2000
2009
10.883
5.609
2.913
1.756
Jawa Barat
1.086.687
1.073.327
1.060.659
1.039.828
Jawa Tengah
1.090.724
1.075.962
1.072.602
1.064.776
78.313
70.752
64.322
57.376
1.122.849
1.113.251
1.101.331
1.084.278
-
-
202.190
196.565
3.616.795
3.558.184
3.504.016
3.444.579
DKI Jakarta
DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Pulau Jawa
Sumber :Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI (2010) Berdasarkan Tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa luas lahan sawah sejak tahun 1980 hingga tahun 2009 terus mengalami penurunan luasan di seluruh provinsi di Pulau Jawa. Hal ini tentunya perlu diwaspadai karena lahan merupakan input utama dalam produksi padi. Menurunnya luasan lahan di Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi, tentunya akan berdampak pada besarnya produksi padi yang dihasilkan dan tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh pada ketersediaan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Maraknya konversi lahan yang terjadi khususnya pada lahan pertanian tentunya tidak terlepas dari perhatian Pemerintah. Berbagai upaya untuk menjaga ketahanan pangan terus dilakukan oleh Pemerintah antara lain dengan perlindungan terhadap lahan pertanian. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk perlindungan terhadap lahan pertanian salah satunya dilakukan melalui pendekatan yuridis yaitu dengan mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain melalui UUPA No.50 tahun 1960, UU No. 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman, UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, UU No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, serta Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah lainnya.
7 Namun, fakta dilapangan menunjukkan bahwa pengendalian konversi lahan sawah melalui pendekatan yuridis belum maksimal dalam mengatasi permasalahan konversi lahan sawah. Lichtenberg and Ding (2008) menyatakan bahwa rintangan terbesar dalam perlindungan lahan pangan bukan pada aspek fisik melainkan institusional. Kegagalan dalam mengatur aspek institusional berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran lahan untuk dikonversi. Instrumen yuridis yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah belum menerapkan sangsi yang jelas, tumpang tindih dan tidak didukung dengan instrumen ekonomi dan sosial. Hal ini menyebabkan laju konversi lahan sawah masih cukup besar bahkan merambah ke lahan sawah dengan irigasi teknis yang sangat potensial untuk produksi padi sawah (Irawan 2008). Sebagai contoh, ditinjau dari segi ekonomi, kurangnya infrastruktur pasar dan kelembagaan menyebabkan masalah besar dalam merealisasikan pendapatan potensial dan spesialisasi regional pada produksi pangan yang dapat menghalangi proses investasi pertanian di banyak daerah. Selain itu, pelaksanaan UU No. 41 tahun 2009 terkendala dengan tumpang tindihnya aturan dari UU yang lain, seperti dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dimana daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan fungsi wilayahnya. Pertanian hanya merupakan urusan pilihan bagi pemerintah Kabupaten/Kota di dalam UU No.23 tahun 2014. Kondisi ini memperbesar peluang daerah mengabaikan sektor pertanian. Irawan (2008) menyatakan bahwa fokus daerah terhadap kemajuan wilayahnya yang dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah (PAD) menyebabkan daerah berlomba-lomba meningkatkan investasi di sektor non pertanian karena dapat menghasilkan PAD lebih besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Konsekuensinya jika terjadi permintaan konversi lahan pertanian untuk dimanfaatkan oleh pembangunan sektor pertanian maka pemerintah daerah cenderung kurang mempertimbangkan larangan konversi lahan yang berlaku. Inkonsistensi antara tujuan pengendalian konversi lahan sawah dan penentuan luasan lahan sawah dalam instrumen tata ruang pun dapat turut memicu terjadinya konversi lahan sawah. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) yang menunjukkan bahwa RTRW sebagai instrumen tataruang justeru dapat memberikan peluang terjadinya konversi lahan. Hal ini terjadi akibat adanya ketidaksesuaian penentuan luasan lahan sawah yang tertera di RTRW dengan luasan sebenarnya di lapangan dimana ternyata luasan lahan sawah yang tertera di RTRW lebih kecil dari besar luasan lahan sawah sebenarnya di lapangan. Penelitian yang membandingkan dua RTRW Kabupaten Bekasi yaitu RTRW tahun 1999 dan 2007 menunjukkan bahwa pada RTRW tahun 1999, luas kawasan yang dialokasikan untuk pertanian lahan basah adalah seluas 66.937 Ha, sedangkan pada RTRW 2007 luas untuk peruntukan lahan sawah menurun menjadi 51.093 Ha. Hal ini berarti telah terjadi penurunan luasan pertanian lahan basah. Selain itu, melalui analisis spasial, diketahui bahwa berdasarkan fakta di lapangan ternyata luas pertanian lahan basah eksisting di lapangan ternyata lebih besar dari yang tertera di RTRW tahun 2007, dimana luas lahan sawah beririgasi teknis seluas 58.680 Ha dan sawah tadah hujan seluas 2.486 Ha. Hal ini berarti terdapat lahan sawah irigasi teknis di lapangan sebesar 18.400 Ha yang tidak termasuk dalam alokasi peruntukan lahan sawah pada RTRW 2007 sehingga dapat memacu terjadinya konversi lahan sawah sebesar luasan lahan tersebut.
8 Dengan demikian, ternyata instrumen tata ruang yang diharapkan memberikan perlindungan terhadap lahan pertanian justeru memberikan peluang bagi terjadinya konversi lahan sawah yang lebih besar. Konversi lahan pada hakekatnya merupakan hal yang tidak dapat dihindari pada negara berkembang seperti Indonesia, namun konversi lahan pada kenyataannya dapat membawa banyak masalah jika terjadi di atas lahan sawah yang masih produktif. Konversi lahan sawah merupakan ancaman serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan lain sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah baru diluar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengganti kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang sangat lama untuk melakukan pembangunan lahan sawah dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Penyelesaian masalah ini perlu dukungan dari keinginan petani untuk mempertahankan lahan dan perlu diimbangi dengan insentif yang tepat agar lahan tidak dikonversi ke penggunaan lain di luar pertanian. Selain itu pengendalian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah penting untuk dilakukan sebagai upaya mengendalikan konversi lahan sawah yang terjadi.
Perumusan Masalah Pangan bagi masyarakat Indonesia masih identik dengan beras, meskipun sebenarnya sumber pangan masyarakat Indonesia tidak hanya beras. Keberadaan lahan sawah memiliki peran yang penting bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan beras merupakan bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan lahan sawah penting artinya bagi ketersediaan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Berdasarkan sebarannya, Pulau Jawa memiliki lahan sawah terluas yakni kurang lebih 3.231 ribu hektar atau 43 persen dari total luas lahan sawah di Indonesia (Isa 2014). Akan tetapi, mengingat perubahan struktur ekonomi dan semakin meningkatnya kepadatan penduduk di Pulau Jawa dari tahun ke tahun yang memerlukan lahan untuk pemukiman, perkembangan industri dan infrastruktur, maka diduga luasan areal sawah akan semakin terbatas. Lahan sawah di Pulau Jawa tampaknya akan terus berkurang dan terkonversi menjadi lahan penggunaan lain. Konversi lahan sawah dapat dikatakan sebagai proses yang mengikuti pembangunan. Proses pembangunan diringi dengan perlunya pengadaan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman. Akibatnya banyak lahan pertanian, khususnya sawah, mengalami konversi ke penggunaan non-pertanian. Terjadinya konversi lahan sawah tidak menguntungkan bagi sektor pertanian karena salah satunya dapat menurunkan kapasitas produksi padi, sedangkan sekitar 95 persen produksi padi nasional dihasilkan dari lahan sawah (Irawan et al. 2012). Oleh karena itu, konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Pulau Jawa perlu mendapat perhatian karena mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya mempengaruhi kapasitas produksi padi lokal/nasional, mengingat Pulau Jawa merupakan produsen padi terbesar di
9 Indonesia, jika konversi lahan sawah di Indonesia tidak diantisipasi, diduga akan berdampak pada kondisi pangan di masa depan. Berdasarkan paparan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa? 2. Faktor apa yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Pulau Jawa? 3. Bagaimana dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui perkembangan konversi lahan sawah berdasarkan Provinsi di Pulau Jawa. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa. 3. Mendeskripsikan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain sebagai : 1. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pengambilan keputusan atau kebijakan berkaitan dengan pengendalian konversi lahan sawah di Pulau Jawa. 2. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pemberian ijin penggunaan lahan di Pulau Jawa.
Ruang Lingkup Penelitian Pulau Jawa yang dimaksud dalam penelitian merujuk pada provinsi-provinsi yang terdapat di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Banten. Adapun provinsi DKI Jakarta tidak termasuk dalam lingkup penelitian dengan asumsi hampir tidak adanya sawah di provinsi tersebut. Lingkup analisis dilakukan terhadap luas lahan sawah dan produksi padi yang terdapat di setiap provinsi di Pulau Jawa.
10
2 TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Lahan dari Segi Ekonomi Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Ditinjau dari penggunaannya, penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang komplek. Oleh karena itu, upaya pemanfaatan sumberdaya lahan yang optimal memerlukan alokasi penggunaan lahan yang efisien (Saefulhakim dan Nasoetion 1995). Ditinjau dari segi ekonomi, lahan merupakan input tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan nonpertanian. Banyaknya lahan yang digunakan untuk setiap kegiatan produksi secara umum merupakan permintaan turunan dari kebutuhan dan permintaan komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu, perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap jenis kegiatan produksi akan ditentukan oleh perkembangan jumlah permintaan setiap komoditas. Barlowe (1978) dalam Butar-Butar (2012) menyatakan bahwa dari segi penggunaannya lahan mempunyai kompetisi, yakni adanya ketidakseimbangan antara penawaran yang terbatas dan permintaan yang tak terbatas. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan kurang elastis terhadap pendapatan dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Bagi bidang pertanian, lahan merupakan sumber daya yang sangat penting, baik bagi petani maupun bagi pembangunan pertanian. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di Indonesia kegiatan pertanian masih bertumpu padal lahan/land based agriculture activities, (Catur, et al. 2010). Walaupun secara kualitas sumber daya lahan dapat ditingkatkan, tetapi secara kuantitas sumber daya lahan yang tersedia di setiap daerah praktis tetap. Pada kondisi keterbatasan tersebut, maka peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, pembangunan prasarana ekonomi umum, fasilitas sosial, dan lain-lain, akan mengurangi ketersediaan lahan untuk pertanian. Akibat pembangunan ekonomi yang cenderung mendorong permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju lebih besar dibandingkan permintaan lahan di sektor pertanian maka pertumbuhan ekonomi cenderung merangsang terjadinya konversì lahan pertanian ke penggunaan di luar pertanian, terutama di daerah dengan kelangkaan lahan tinggi (Hidayat 2008).
11 Teori Tanah sebagai Lahan Pertanian Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya terbatas. Tanah menjadi sangat penting karena keberadaannya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia dalam melakukan kegiatannya. Tanah sebagai lahan pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting peranannya dalam pertanian jika dibandingkan dengan faktor produksi yang lain. Jika tidak ada lahan, maka tidak ada pertanian. hal ini dikarenakan lahan merupakan tempat dimana pertanian dapat berjalan. Permintaan akan tanah dari tahun ketahun mengalami peningkatan, hal ini yang mengakibatkan harga tanah semakin tinggi. Pada dasarnya penggunaan tanah yang ada sekarang ini digunakan untuk sektor pertanian. akan tetapi seiring kemajuan jaman banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi tanah non pertanian. Banyak para ahli ekonomi menuliskan teori mereka terhadap pentingnya tanah. Menurut Mahzab Fisiokratis yang dipelopori oleh Quesnay mengatakan bahwa hukum ekonomi yang bersesuaian dengan hukum alam ini menjadikan alam. Yang dimaksud disini ialah adalah tanah sebagai salah satu sumber kemakmuran bagi rakyat. Menurutnya kegiatan industri dan perdagangan dinilai tidak produktif, karena kegiatan industri hanya mengubah bentuk dan sifat barang. Begitu juga dengan perdagangan yang dinilai hanya memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut Quesnay kaum petani paling produktif, oleh karena itu menganjurkan agar kebijakan yang diambil pemerintah harus ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup para petani. Dari teori yang dikemukakan oleh Quesnay tersebut mengandung pengertian bahwa para petani perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari pemerintah agar proses produksi pertanian dapat meningkat. Perhatian tersebut dapat berupa kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para petani, agar proses produksi yang dilakukan petani tidak terganggu. Hal ini dikarenakan petanilah yang mempunyai produktifitas paling tinggi (Deliarnov dalam Suriyanto, 2012). Teori Klasik Penggunaan Lahan Teori terkait penggunaan lahan telah berkembang sejak lama ketika pada tahun 1826 Von Thunen seorang ahli ekonomi dari Jerman melalui karyanya The Isolated State berusaha menghubungkan antara konsep ekonomi dengan lokasi spasial. Von Thunen melalukan pembagian penggunaan lahan dengan bentuk lingkaran (Rustiadi, 2011). Berdasarkan asumsinya Von Thunen membagi penggunaan lahan di wilayah terisolasi tersebut ke dalam enam zona, yaitu: Zona kesatu yang paling mendekati kota/pasar diusahakan tanaman yang mudah rusak seperti sayuran dan kentang Zona kedua merupakan hutan dengan hasil kayu Zona ketiga menghasilkan biji-bijian seperti gandum dengan hasil relatif tahan lama dan ongkos transfer murah Zona kelima untuk pertanian yang berubah-ubah dua sampai tiga jenis tanaman Zona keenam berupa lahan yang paling jauh ke pusat, digunakan untuk rerumputan dan peternakan domba atau sapi.
12 Konsep Von Thunen pada dasarnya menjelaskan bahwa penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang diusahakan yang pada akhirnya menentukan sewa ekonomi lahan (Land Rent). Konsep Von Thunen menjadi gambaran mengenai penggunaan lahan. Von Thunen menyebutkan bahwa nilai land rent tidak ditentukan hanya oleh kesuburan lahan seperti yang diungkapkan oleh David Ricardo (Ricardian Rent), tetapi nilai land rent merupakan fungsi dari lokasinya (Location rent), dimana perbedaan rent ini lebih ditentukan oleh biayabiaya transfernya. Pada kasus konversi lahan di Indonesia terutama di Jawa, banyak lahan-lahan sawah yang terkonversi sebagai akibat pertimbangan relatif antara kegiatan pertanian dan non pertanian, hal ini dapat dimengerti karena penggunaan lahan di perkotaan cenderung mendorong perubahan penggunaan lahan di wilayah sekitarnya (Pramudita, 2015). Barlowe dalam Rustiadi (2011) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya lahan di antara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent tinggi. Sebaliknya sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersial, nilai land rentnya semakin kecil. Kondisi di Pulau Jawa, sektor-sektor industri dan jasa berkembang pesat yang menyebabkan sektor pertanian kalah bersaing, terutama untuk lahan-lahan yang berada di dekat perkotaan. Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan Teori dalam pembangunan wilayah terkait dengan alokasi sumberdaya lahan. Lahan merupakan input utama dalam proses produksi pertanian yang dalam perkembangannya mengalami tekanan sebagai akibat peningkatan aktivitas ekonomi lain (industri dan jasa) serta pertumbuhan penduduk yang meningkatkan potensi konflik penggunaan lahan. Ekonomi neo klasik cenderung memperlakukan lahan sama dengan modal biasa yang akan terus bertambah hasilnya jika dilakukan investasi. Padahal lahan mempunyai keterbatasan daya dukung karena adanya penurunan kualitas lahan sebagai akibat proses ekonomi. Selain itu, lahan juga menampung tidak hanya economic rent, tetapi juga environmental rent dan social rent, dimana social net benefit dari lahan diperoleh dari gabungan ketiga rent lahan tersebut. konsep ekonomi terkait lahan berakar dari konsep ekonomi kelembagaan dan mempunyai keterkaitan dengan ekonomi pertanian, ekonomi sumberdaya, dan ekonomi lingkungan. Land resource economics yang berakara dari ekonomi kelembagaan melihat budaya sebagai faktor penting dalam menentukan kebijakan ekonomi pada situasi tertentu. Sementara ekonomi neoklasik cenderung mengesampingkan budaya, kelembagaan, agama dan faktor lainnya sebagai bagian ceteris paribus. Lahan pertanian menurut Dorfman, et al. (2008) mempunyai fungsi utama, yaitu: 1) sebagai sumber produksi pangan lokal dan nasional, 2) sebagai penyedia tenaga kerja di sektor pertanian khususnya, 3) membantu proses manajemen lahan yang baik bagi pengembangan perkotaan dan perdesaan, dan 4) sebagai bentuk jasa lingkungan. Pada kondisi pasar konvensional nilai pasar dari lahan pertanian hanya terbatas pada poin satu dan dua. Nilai pasar lahan pertanian untuk tujuan pengembangan berdasar peran pemerintah. Tidak adanya subsidi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap proses pengembangan lahan, menyebabkan lahan pertanian berubah menjadi lahan perumahan, jasa komersial dan industri karena
13 nilai pasar dari pengguanaan non pertanian lebih besar daripada nilai pasar lahan di sektor pertanian. Berdasar pada kondisi ini, dengan teori penggunaan lahan klasik, menyebabkan nilai lahan menjadi rendah dan realokasi lahan untuk sektor non pertanian tidak dapat dicegah. Konsep yang berbeda yang memasukkan dua unsur terakhir terutama unsur keempat mengenai jasa lingkungan menjadi ide dasar dalam pengembangan teori ekonomi sumberdaya lahan yang langka untuk keuntungan semua pihak agar dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Internalisasi nilai tersebut diharapkan dapat meningkatkan manajemen sumberdaya lahan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Konversi Lahan Sawah Konversi lahan atau perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan karena aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun untuk industri (Kazaz 2001 dalam Marstaningsih 2008). Konversi lahan juga dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi itu sendiri (Utomo et al. dalam Nuryanti 2011). Konsekuensi logis dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi adalah terjadinya perubahan alokasi sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan yang sulit dihindari. Akibat tidak diperhatikannya skala prioritas alokasi penggunaan sumberdaya lahan, maka terjadi pula konflik alokasi sumbedaya lahan untuk penyediaan sumber pangan dan pembangunan sarana dan prasarana non pertanian (Irawan dan Friyatno 2002). Kustiawan (1997) mendefinisikan konversi lahan sawah sebagai proses dialihgunakannya lahan dari lahan sawah pertanian atau pedesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan. Konversi lahan sawah dapat bersifat permanen dan dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka konversi ini bersifat permanen. Namun jika lahan sawah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian lain (misal lahan tanaman tebu) maka konversi bersifat sementara karena pada tahun-tahun berikutnya dapat diubah menjadi lahan sawah kembali. Konversi lahan sawah yang bersifat permanen pada umumnya lebih besar dan berdampak lebih serius daripada konversi yang bersifat sementara. Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Konversi Lahan Sawah Faktor yang dianggap berpengaruh dalam konversi lahan pertanian menurut Kustiawan (1997) yaitu: faktor eksternal, faktor internal, dan faktor kebijakan pemerintah. Faktor eksternal berkaitan dengan dinamika pertumbuhan perkotaan, yaitu perkembangan kawasan terbangun, pertumbuhan penduduk perkotaan, dan pertumbuhan PDRB. Semakin besar laju perkembangan kawasan terbangun, laju pertumbuhan penduduk semakin tinggi, dan laju pertumbuhan PDRB semakin besar mengakibatkan laju penyusutan luas lahan sawah semakin besar. Faktor internal menyangkut pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan serta perubahan dalam penguasaan lahan pertanian. Semakin tinggi laju pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan dan semakin besar perubahan luas
14 penguasaan lahan per-rumah tangga pertanian pengguna lahan, menyebabkan semakin besarnya laju penyusutan luas lahan sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian menurut Pakpahan (1993), dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktorfaktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi. Di tingkat wilayah, menurut Pakpahan konversi lahan sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh : 1. Perubahan struktur ekonomi 2. Pertumbuhan penduduk 3. Arus urbanisasi 4. Konsistensi implementasi rencana tata ruang Secara langsung konversi lahan sawah dipengaruhi oleh : 1. Pertumbuhan pembangunan sarana transportasi 2. Pertumbuhan lahan untuk industri 3. Pertumbuhan sarana pemukiman 4. Sebaran lahan sawah. Hasil penelitian Irawan (2005) mengenai dampak, pola pemanfaatan dan faktor determinan dari konversi lahan sawah antara lain menyebutkan bahwa konversi lahan sawah terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian, persaingan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu: (a) keterbatasan sumber daya lahan; (b) pertumbuhan penduduk; dan (c) pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini juga mengidentifikasi konversi lahan sawah berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa, yang hasil penelitiannya menyebutkan bahwa konversi lahan sawah di luar Jawa (132 ribu hektar pertahun) ternyata jauh lebih tinggi daripada di Jawa (56 ribu hektar pertahun) selama tahun 2000–2002, sehingga total luas lahan sawah yang dikonversi seluas 187,72 ribu hektar per tahun (atau sebesar 2,42 persen dari luas sawah pada tahun 2002). Alokasi konversi lahan sawah untuk pembangunan perumahan sangat dominan di Jawa (74,96 persen), sedangkan di luar Jawa konversi lahan sawah tersebut sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik (43,59 persen) dan pembangunan perumahan (31,92 persen). Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian menurut Isa (2007), antara lain adalah: 1. Faktor kependudukan, dimana pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, peningkatan taraf hidup mayarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti lapangan golf, pusat perbelanjaan, jalan tol, tempat rekreasi dan sarana lainnya. 2. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian, antara lain pembangunan real-estate, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang memerlukan lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan pertanian sawah. Hal ini dapat dimengerti mengingat lokasinya dipilih sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jasa yang terkonsentrasi di
15 perkotaan dan wilayah di sekitarnya (sub-urban area). Lokasi sekitar kota, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan non-pertanian, mengingat harganya yang relatif murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dan fasilitas lainnya. Selain itu, terdapat keberadaan “sawah kejepit”, yaitu sawah–sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya telah beralih menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja dan sarana produksi lainnya, yang mendorong mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya. 3. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non-pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. 4. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 5. Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang dan penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan 6. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan PAD dan kurang memperhatikan keuntungan jangka panjang dan nasional. Hal ini tercermin dari RTRW yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk non-pertanian. 7. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturanperaturan yang ada. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah dalam lingkup makro menurut Ilham, et al. (2005) dapat menggunakan variabel makro yang merupakan proksi dari variabel penelitian dalam lingkup mikro. Variabel yang dapat digunakan adalah nilai tukar petani sebagai proksi daya saing produk pertanian, khsususnya padi, PDB sektor industri sebagai proksi aktivitas industri, serta jumlah penduduk sebagai proksi kebutuhan untuk pemukiman. Sejalan dengan penelitian Ilham, et al., Suriyanto (2012) menyatakan bahwa konversi lahan dipengaruhi salah satunya oleh Nilai tukar petani. Nilai tukar petani yang rendah menyebabkan tidak adanya insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertaniannya. Konversi lahan juga diduga dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah industri, khususnya industri besar dimana pembangunan suatu industri tergantung pada ketersedian lahan. Selain itu, di dalam penciptaan nilai tambahnya, sektor industri juga memegang posisi yang cukup dominan. Hal ini bisa digambarkan melalui peningkatan peran sektor industri dalam PDRB.
Dampak Konversi Lahan Sawah Dampak konversi lahan sawah menurut Ilham, et al. (2005), dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya, lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi, dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya berupa
16 perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya yang berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk sistem irigasi, dan sebagainya. Sejalan dengan itu, Sumaryanto, et al. (2001) menyatakan bahwa dampak negatif konversi lahan adalah hilangnya “peluang” memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, di antaranya hilangnya produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usaha tani, dan kesempatan kerja yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan usaha tani tersebut, misalnya usaha traktor dan penggilingan padi. Selain dampak langsung, hilangnya lahan sawah juga menyebabkan hilangnya fungsi ekologis lahan pertanian untuk menstabilkan suhu, mencegah erosi dan banjir, serta hilangnya pemandangan alam yang menarik (Firman 1999). Lebih lanjut, Sumaryanto et al. (2001) menyatakan, jika didekomposisi, pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor: (a) pertambahan areal panen, dan (b) peningkatan produktivitas. Pertumbuhan luas panen berasal dari pertambahan perluasan areal baru dan atau intensitas tanam, sedangkan pertumbuhan produktivitas ditentukan oleh aplikasi teknologi budi daya yang mencakup pilihan varietas yang dibudi dayakan, teknologi pemupukan, irigasi, pengendalian organisme pengganggu, penanganan panen, pasca-panen, dan lain sebagainya. Berdasarkan data empiris, kajian Simatupang (2000) maupun Dillon et al. (1999) dalam Sumaryanto et al. (2001) menyimpulkan bahwa dalam dasawarsa terakhir ini terjadi ‘kemandegan’ dalam peningkatan produktivitas. Implikasinya, apabila kecenderungan ini berlanjut maka sumber pertumbuhan produksi pangan harus bertumpu pada pertambahan luas areal tanam. Fakta tersebut sangat mengkhawatirkan karena dalam jangka pendek tampaknya sangat sulit untuk melakukan ekspansi areal tanam secara signifikan. Ancaman tersebut bertambah berat karena sebagian dari lahan-lahan sawah yang telah ada terkonversi menjadi lahan pertanian lahan kering, dan sebagian lainnya terkonversi ke penggunaan nonpertanian untuk memenuhi kebutuhan pemukiman, pengembangan industri, jasa, dan lain sebagainya, sehingga konversi lahan sawah memang tak dapat dihindari. Menurut Irawan (2005) dampak dari konversi lahan sawah terhadap masalah pangan tidak dapat segera dipulihkan disebabkan oleh empat faktor yaitu, 1) lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non pertanian bersifat permanen atau tidak berubah kembali menjadi lahan sawah, 2) upaya pencetakan sawah baru untuk pemilihan produksi pangan pada kondisi semula membutuhkan jangka waktu yang cukup lama, 3) sumberdaya lahan yang dapat dijadikan sawah semakin terbatas, terutama di Pulau Jawa, 4) stagnasi inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas padi. Adapun dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan sebenarnya bersifat kumulatif, dalam pengertian bahwa dampak konversi lahan yang terjadi pada tahun tertentu tidak hanya dirasakan pada tahun yang bersangkutan tetapi dirasakan pula pada tahun-tahun selanjutnya (Irawan dan Friyatno 2002). Hal ini dikarenakan bahwa kegiatan konversi lahan bukan menyebabkan turunnya tingkat produksi pangan melainkan turunnya kapasitas produksi pangan mengingat lahan merupakan faktor produksi utama dan jika tidak ada lahan maka tidak ada pula produksi pangan yang dapat dihasilkan.
17 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan sawah dan dampaknya terhadap produksi padi di Indonesia telah banyak dilakukan, dan diteliti secara parsial. Namun, penelitian yang secara khusus meneliti integrasi perkembangan konversi lahan sawah, pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi konversi dan dampaknya terhadap produksi padi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 masih jarang dilakukan. Adapun konsep-konsep yang terdapat pada penelitian ini bersumber dari penelitian-penelitian sebelumnya. Berkaitan dengan perkembangan konversi lahan, berdasarkan penelitian mengenai perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya, Ilham et al. (2005) menyatakan bahwa konversi lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari baik di Jawa maupun di luar Jawa. Berdasarkan jenis irigasinya, secara nasional sawah tadah hujan paling banyak mengalami konversi (319 ribu hektar). Konversi lahan sawah di Pulau Jawa terjadi pada berbagai jenis lahan sawah, yaitu sawah tadah hujan (310 ribu hektar), sawah irigasi teknis (234 ribu hektar), sawah irigasi semi teknis (194 ribu hektar) dan sawah irigasi sederhana (167 ribu hektar). Sementara itu di Luar Jawa konversi hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Hasil survei Direktorat Perluasan dan Rehabilitasi Lahan menunjukkan bahwa selama tahun 1981/1982-1985/1986, di Jawa telah terjadi konversi lahan sawah ke non sawah seluas 216.998 Ha (43.397 Ha/tahun), sedangkan berdasarkan hasil Sensus Pertanian 1993, selama tahun 1990-1993 lahan sawah yang terkonversi di Jawa sebesar 52.773 Ha atau rata-rata 18.257 Ha/tahun. Hasil studi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian menunjukkan bahwa selama periode 1979-1999 lahan sawah di Jawa (belum termasuk DKI Jakarta) yang terkonversi sebesar 1.002.005 Ha atau 50.000 Ha/tahun. Penambahan lahan sawah dalam periode tersebut hanya 518.224 Ha (25.911 Ha/tahun) sehingga lahan sawah di Jawa berkurang sekitar 483.831 Ha atau 24.192 Ha/tahun. (Ashari 2004). Penelitian Sumaryanto, Hermanto, dan Pasandaran (1996) dalam Ilham, et al. (2005) menunjukkan bahwa di Jawa, konversi lahan sawah ke non pertanian (63 persen) lebih tinggi dibandingkan ke pertanian non sawah (37 persen). Berdasarkan luasan konversi lahan sawah ke non pertanian sebesar 63 persen tersebut, terbagi atas 33 persen untuk pemukiman, 6 persen untuk industri, 11 persen untuk prasarana dan 13 persen untuk lainnya. Tingginya konversi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa peraturan pengendalian konversi lahan sawah yang ada belum efektif. Irawan (2005) juga melakukan penelitian mengenai konversi lahan sawah, potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. Hasil penelitian menyebutkan konversi lahan sawah diluar jawa (132 ribu hektar pertahun) ternyata jauh lebih tinggi dari pada di Pulau jawa (56 ribu hektar per tahun). Sebesar 58,68 persen konversi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan sisahnya untuk usaha tani bukan sawah. Sebagian besar konversi lahan untuk kegiatan nonpertanian ditujukan untuk pembangunan perumahan (48,96 persen) dan pembangunan sarana publik (28,29 persen). Alokasi konversi lahan sawah untuk pembangunan perumahan sangat dominan di Pulau Jawa (74,96 persen) sedangkan diluar Pulau jawa konversi lahan sawah
18 tersebut sebagiab besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik (43,59 persen) dan pembangunan perumahan (3,92 persen). Terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah, Hasil penelitian Ilham, et al. (2005) menyatakan bahwa pada lingkup mikro, berkembangnya pemukiman mempengaruhi konversi lahan sawah, namun secara makro pengembangan pemukiman yang diproksi dengan peningkatan jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan yang positif. Sementara itu dalam lingkup makro, konversi lahan sawah berkorelasi positif dengan pertumbuhan PDB dan konversi lahan sawah berkorelasi negatif dengan nilai tukar petani. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Butar-Butar (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat adalah laju pertumbuhan PDRB industri dan laju pertumbuhan panjang jalan. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan lahan pemukiman, dan Nilai Tukar Petani. Faktor laju pertumbuhan lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, laju pertumbuhan panjang jalan, dan Nilai Tukar Petani mempunyai pengaruh positif terhadap konversi lahan sawah. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk dan harga Gabah Kering Panen (GKP) berpengaruh negatif terhadap konversi lahan sawah. Adapun dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan sawah terhadap produksi padi, penelitian Butar-Butar (2012) menyatakan bahwa sebagai dampak dari terjadinya konversi lahan sawah di Jawa Barat adalah berkurangnya jumlah produksi padi sebesar 1.308.420,30 ton dan nilai produksi padi sebesar Rp 2.008.252.301 atau mencapai Rp 2 triliun jika menggunakan harga padi berdasarkan harga konstan 2000. Serta penyerapan tenaga kerja yang hilang dengan pola tiga kali tanam adalah sebesar 48,26 juta atau 4,8 juta setiap tahun. Santoso (2015) dalam penelitiannya mengenai pengaruh luas lahan dan pupuk bersubsidi terhadap produksi padi nasional menyatakan bahwa luas lahan sawah memiliki nilai elastisitas short run sebesar 0,524, hal ini menunjukkan bahwa luas lahan bersifat inelastis terhadap produksi padi karena peningkatan 10 persen luas lahan hanya meningkatkan produksi padi 5,24 persen. Luas lahan sawah juga inelastis dalam jangka panjang, dengan nilai elastisitas 0,191 yang berarti bahwa peningkatan luas lahan sebesar 10 persen meningkatkan produksi padi sebesar 1,91 persen.
Kerangka Pemikiran Konversi lahan sawah terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian khususnya lahan sawah dengan sektor pertanian non sawah maupun sektor non pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya keterbatasan sumberdaya lahan, dan meningkatnya berbagai kebutuhan lahan akibat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Meningkatnya kelangkaan lahan, yang diiringi dengan meningkatnya permintaan lahan yang relatif tinggi untuk kegiatan non pertanian, seperti pembangunan sarana dan prasarana umum, infrastruktur, pemukiman dan
19 sebagainya, pada akhirnya menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah untuk penggunaan tersebut. Berdasarkan berbagai penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah salah satunya dapat dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal terhadap terjadinya konversi lahan sawah (Kustiawan 1997). Faktor internal menyangkut pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan serta perubahan dalam penguasaan lahan pertanian. Faktor eksternal berkaitan dengan dinamika pertumbuhan wilayah, yaitu perkembangan kawasan terbangun, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan PDRB. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah pada penelitian ini adalah faktorfaktor yang ditinjau dari segi eksternal. Variabel yang dapat digunakan antara lain nilai tukar petani sebagai proksi daya saing produk pertanian, khususnya padi, PDRB sektor industri sebagai proksi aktivitas industri, serta jumlah penduduk sebagai proksi kebutuhan untuk pemukiman (Ilham,et al. 2005). Dampak konversi lahan sawah salah satunya ditinjau dari fungsinya dimana lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi. Adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain diduga akan menurunkan produksi padi nasional. Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan (khususnya padi) dipengaruhi oleh antara lain luas lahan yang tersedia, produktivitas lahan, indeks pertanaman, harga pangan, dan harga sarana produksi (Ariani 2003 dalam Sumarlin et al. 2008). Menurut Triyanto (2006) produksi padi dipengaruhi oleh Variabel luas lahan, tenaga kerja, benih dan pompa air, sedangkan menurut Zulkarnain (2004) Variabel pupuk, insektisida, tenaga kerja, luas lahan dan jenis irigasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap produksi padi. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, diketahui bahwa luas lahan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh positif terhadap produksi padi. Penelitian ini berupaya untuk menunjukkan perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa dan berupaya mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa. Adapun variabel yang dianalisis sebagai faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konversi lahan sawah adalah variabel nilai tukar petani, PDRB sektor industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan. Konversi lahan sawah tentunya akan berpengaruh terhadap luasan sawah,dimana luas lahan sawah merupakan salah satu faktor dalam produksi padi. Oleh karena itu, penelitian ini juga berupaya untuk mengetahui besar dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa. Kerangka penelitian dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
20 Nilai Tukar Petani PDRB Industri Jumlah Penduduk Jumlah perusahaan di industri pengolahan
Konversi Lahan Sawah
Luas Lahan Sawah Faktor Lain
Produksi Padi
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian 1. Luas lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan lain di Pulau Jawa akan meningkat. 2. Faktor nilai tukar petani, PDRB Industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar di industri pengolahan mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa. 3. Konversi lahan sawah berdampak pada menurunnya produksi padi di Pulau Jawa.
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data yang diperlukan antara lain terdiri dari data luas lahan sawah, nilai tukar petani, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor industri, data jumlah penduduk, data jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan, data produksi padi serta data luas panen padi periode tahun 1995-2013. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu studi kepustakaan, dengan mempelajari, menelaah, serta menganalisis dari sumber-sumber literatur berupa data statistik dari publikasi BPS, buku, serta jurnal ilmiah yang relevan dengan penelitian.
Metode Analisis Data Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisis guna dapat menjawab permasalahan dalam penelitian. Adapun metode analisis yang
21 digunakan adalah metode analisis deskriptif kuantitatif untuk mendeskripsikan perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa, metode analisis regresi data panel dengan uji signifikansi 5 persen melalui uji F dan korelasi parsial untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah. Dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif dan fungsi produksi Cobb Douglas. Metode analisis deskriptif kuantitatif Metode analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk menganalisis perkembangan besarnya konversi lahan sawah yang terjadi di Pulau Jawa. Konversi lahan sawah didefinisikan sebagai konversi lahan sawah neto (Ilham et al., 2003), artinya luas lahan tahun t (Lt) adalah luas lahan tahun sebelumnya (Lt-1) ditambah pencetakan sawah baru (Ct) dikurangi alih fungsi lahan sawah (At). Secara matematika, diformulasikan sebagai berikut: (Ct – At) = Lt – Lt-1 Dengan demikian jika konversi lahan sawah bernilai positif, berarti pencetakan lahan sawah yang terjadi lebih luas dari alih fungsi lahan sawah masing-masing pada tahun t. Sebaliknya jika konversi lahan sawah bernilai negatif, berarti alih fungsi lahan sawah lebih luas dari pencetakan sawah masing-masing pada tahun t. Metode analisis regresi data panel Metode analisis regresi data panel dilakukan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah periode tahun 1995-2013. Metode analisis ini digunakan untuk menerangkan tingkat ketergantungan suatu variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nilai Tukar Petani (NTP), PDRB sektor industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan. Berdasarkan variabel-variabel yang telah diuraikan maka model regresi data panel dirumuskan sebagai berikut: Yit = β0i + β1 X1it + β2 X2it + β3X3it + β4X4it + uit
............................................(1)
dimana : Yit = Laju konversi lahan sawah Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X1it = Laju Nilai Tukar Petani Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X2it = Laju PDRB industri Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X3it = Laju jumlah penduduk Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X4it = Laju perkembangan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) β0i = Intersep/Konstanta uit = Sisaan atau error Data yang dipergunakan dalam analisis berupa data panel dengan periode waktu tahun 1995-2013. Data panel adalah data yang diperoleh dari data crosssection yang diobservasi berulang pada unit individu (obyek) yang sama pada waktu yang berbeda. Nama lain dari data panel adalah pooled data, longitudinal data, event history analysis atau cohort analysis (Juanda dan Junaidi, 2012).
22 Estimasi model umum regresi data panel tergantung pada asumsi yang dibuat mengenai intersep, slope dan sisaan. Terdapat beberapa kemungkinan untuk hal tersebut, yaitu: 1. Intersep dan slope adalah konstan menurut waktu dan individu, sedangkan sisaan berbeda antar waktu dan individu 2. Slope adalah tetap, tetapi intersep berbeda antar individu 3. Slope adalah tetap, tetapi intersep berbeda antar individu antar waktu 4. Semua koefisien (slope dan koefisien) berbeda antar individu 5. Semua koefisien (slope dan intersep) berbeda antar individu dan antar waktu. Selanjutnya, berdasarkan variasi-variasi asumsi yang dibentuk, terdapat tiga pendekatan dalam perhitungan model regresi data panel, yaitu: 1. Metode Common-Constant (The Pooled OLS Method atau PLS), 2. Fixed Effects Model (FEM), dan 3. Random Effects Model (REM). Pendekatan PLS menggunakan metode OLS biasa. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana. Dalam estimasinya diasumsikan bahwa setiap unit individu memiliki intersep dan slope yang sama (tidak ada perbedaan pada dimensi kerat waktu). Dengan kata lain, regresi panel data yang dihasilkan akan berlaku untuk setiap individu (Juanda dan Junaidi, 2012). Dua pendekatan yang umum diaplikasikan pada data panel adalah Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (Firdaus, 2011). Masalah terbesar dalam pendekatan OLS adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu, yang kurang sesuai dengan tujuan penggunaan data panel. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat digunakan pendekatan FEM. FEM yaitu model yang dapat digunakan dengan mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series. FEM muncul ketika antara efek individu dan peubah penjelas memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep (Firdaus, 2011). Pada metode FEM, intersep pada regresi dapat dibedakan antar individu karena setiap individu dianggap mempunyai karakteristik tersendiri. Pada metode ini walaupun intersep berbeda antar individu, namun intersep masing-masing individu tidak berbeda antar waktu atau yang biasa disebut time variant. Dalam membedakan intersepnya, dapat digunakan peubah dummy (dilambangkan dengan D),sehingga metode ini juga dikenal dengan metode Least Square Dummy Variable atau LSDV (Juanda dan Junaidi, 2012). Bentuk model Fixed Effects yaitu: Yit = ∑ α1D1 + βXit + uit dimana; Yit = Peubah terikat Xit = Peubah bebas Α = Intersep model yang berubah-ubah antar unit cross section Β = Slope
23 D I uit
= = =
Peubah Dummy Individu ke-i, dan t = periode waktu ke-t Sisaan atau error
Dengan demikian persamaan (1) yang mewakili 5 Provinsi pada penelitian ini dapat ditulis menjadi: Yit = α0+ α1D1 + α2D2+ α3D3 + β1 X1it + β2 X2it +β3 X3it + β4 X4it+ uit ................(2) Keputusan untuk memasukkan peubah dummy dalam metode FEM akan menimbulkan konsekuensi tersendiri yaitu dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dapat digunakan model Random Effects. Bentuk model Random Effects yaitu: Yit = α0+ βXit + uit Pada metode REM, β0i pada persamaan (1) tidak lagi dianggap konstan, namun dianggap sebagai peubah random dengan suatu nilai rata-rata dari β1. Nilai intersep dari masing-masing individu dapat dinyatakan sebagai : β0i = β0 +ɛi ...........................................................................................(3) dimana ɛi adalah sisaan acak dengan rata-rata = 0 dan ragam = σ2. Dengan mensubstitusikan persamaan (3) ke persamaan (1) maka menjadi Yit = β0 + β1 X1it + β2 X2it +β3 X3it + β4 X4 it + u it + ɛit Yit = β0 + β1 X1it + β2 X2it +β3 X3it+ β4 X4it+ wit ...................................................(4) dimana wit = uit + eit ...........................................................................................(5) Komponen wit terdiri atas dua komponen, yaitu sebagai komponen error dari masing-masing cross-section dan sebagai error yang merupakan gabungan atas error dari data deret waktu dan cross-section. Dalam model ini, parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error, karena hal inilah model ini sering juga disebut sebagai Error Component Model (ECM). Dalam menentukan model yang paling tepat untuk mengestimasi parameter regresi data panel, dilakukan uji analisis. Dalam pemilihan metode antara PLS dan FEM dapat digunakan uji statistik F atau Uji Chow atau Likelihood Test Ratio dengan hipotesis nol (H0) yang digunakan adalah intersep dan slope adalah sama. Jika nilai statistik F lebih besar dari nilai F-Tabel pada signifikansi tertentu, hipotesis nol akan ditolak, yang berarti asumsi koefisien intersep dan slope adalah sama tidak berlaku, sehingga metode FEM lebih baik daripada PLS (Juanda dan Junaidi, 2012). Selanjutnya, untuk mengetahui apakah model FEM lebih baik daripada REM dapat digunakan uji Hausman. Dengan mengikuti kriteria Wald, Statistik uji Hausman ini mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas (p). Hipotesis nol ditolak jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square. Hal ini berarti bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah model FEM.
24 Uji Asumsi Klasik Persamaan regresi linier berganda harus bersifat BLUE (Best Linier Unbias Estimator), artinya pengambilan keputusan melalui uji t dan uji F tidak boleh bias. Pada penelitian ini juga akan dilakukan beberapa uji asumsi klasik terhadap model regresi yang diolah dengan menggunakan program Eviews 7. Untuk menghasilkan pengambilan keputusan yang BLUE maka harus dipenuhi asumsi dasar yang tidak boleh dilanggar oleh regresi linier berganda yaitu: 1) Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Kriteria normalitas: a) Prob.Obs.R2 (X2) < α → sebaran data tidak normal b) Prob.Obs.R2 (X2) > α → sebaran data normal 2) Uji Mutikolinearitas Multikolinearitas adalah kondisi adanya hubungan linear antar variabel independen. Masalah multikolinearitas bisa timbul karena berbagai sebab, pertama sifat-sifat yang terkandung dalam kebanyakan variabel ekonomi berubah bersama-sama sepanjang waktu. Besaran-besaran ekonomi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama. Oleh karena itu, sekali faktor-faktor yang mempengaruhi itu menjadi operatif, maka seluruh variabel akan cenderung berubah dalam satu arah. Kedua, penggunaan nilai lag (lagged values) dari variabel-variabel bebas tertentu dalam model regresi. Kriteria multikolinearitas: a) r ≥ 0,8 → ada multikolinearitas b) r < 0,8→tidak ada multikolinearitas 3) Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada penelitian ini adalah uji white. Kriteria heteroskedastisitas: a) Prob.Obs.R2 (X2) < α → ada heteroskedastisitas b) Prob.Obs.R2 (X2) > α → tidak ada heteroskedastisitas 4) Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah keadaan dimana faktor-faktor pengganggu yang satu dengan yang lain saling berhubungan, pengujian terhadap gejala autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson (DW), yaitu dengan cara membandingkan antara DW statistik (d) dengan dL dan DU, jika DW statistik berada diantara dU dan 4-dU maka tidak ada autokorelasi. Jika Durbin Watson test mendekati angka 2,0 maka autokerelasi tidak menjadi persoalan. 5) Uji Linieritas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah model penelitian berbentuk linier atau log linier. a) Prob.F Stat > α → model memenuhi asumsi linearitas b) Prob.F Stat < α → model tidak memenuhi asumsi linearitas
25 Metode analisis deskriptif kuantitatif dan Metode Fungsi Produksi Cobb Douglas Metode deskriptif kuantitatif Upaya untuk mengetahui dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa periode tahun 1995-2013 dilakukan dengan menggunakan 2 metode yaitu metode analisis deskriptif kuantitatif dan metode fungsi produksi Cobb Douglas. Metode analisis deskriptif kuantitatif dilakukan untuk dapat menggambarkan dampak konversi lahan sawah yang diukur dalam pengurangan kapasitas produksi Padi. Analisis ini memerlukan Gambaran tentang perkembangan produksi Padi pada kondisi luas sawah baku yang tetap (kapasitas produksi tetap) dan perkembangan produksi padi setelah terjadinya konversi lahan (kapasitas produksi berkurang). Dampak konversi lahan untuk setiap tahun pengamatan adalah selisih produksi padi pada kedua kondisi tersebut. Besarnya pengurangan tingkat produksi padi pada tahun tertentu menggambarkan besarnya kehilangan yang terjadi akibat pengurangan kapasitas produksi padi (akibat konversi lahan). Produksi padi yang dapat dihasilkan (kapasitas produksi padi) pada provinsi tertentu dan pada tahun tertentu tergantung pada kondisi luas sawah baku tetap (Lc), produksi padi pada kondisi terjadi konversi lahan (Lk), intenstias panen padi per tahun (It) dan produksi padi per hektar per musim panen (Yt). Variabel It dan Yt dapat diasumsikan homogen untuk berbagai kondisi luas sawah baku (Lc dan Lk) karena keduanya tidak terkait dengan luas baku sawah yang tersedia. Kedua jenis data tersebut juga dapat diperoleh melalui hasil bagi antara luas panen padi per tahun dengan luas baku sawah (It) dan antara produksi padi sawah per tahun dengan luas panen sawah per tahun (Yt). Hubungan antara produksi Padi dan ketiga variabel pada setiap Provinsi i dan tahun t dapat digambarkan sebagai: Qti = Lti . Iti . Yti ………………………………………………………….. (6) dimana: produksi Padi yang dapat dihasilkan/kapasitas produksi padi pada tahun t Qti = di Provinsi i Lti = Luas baku sawah pada tahun t di Provinsi i Iti = Intensitas panen Padi per tahun pada tahun t di Provinsi i Yti = Yield (produksi Padi per musim panen/ha) pada tahun t di Provinsi i t = tahun 0 …….. n Pada data serial waktu variabel Yti dan Iti cenderung meningkat dari tahun ke tahun akibat perkembangan teknologi dan pembangunan jaringan irigasi. Intensitas panen Padi (Iti) dapat meningkat akibat penggunaan varietas Padi berumur pendek dan/atau akibat pembangunan jaringan irigasi yang memungkinkan ketersediaan air sepanjang tahun, sedangkan produksi Padi per hektar dapat meningkat akibat perbaikan teknologi usahatani seperti cara penanaman, penggunaan pupuk, dan seterusnya. Fluktuasi tahunan dari kedua variabel tersebut tidak terkait dengan luas baku sawah yang tersedia karena tidak ada mekanisme teoritis yang dapat mengkaitkannya. Dengan demikian pada luas sawah baku yang tetap selama periode pengamatan (t = 0 ….. n) maka produksi padi per tahun tetap akan meningkat
26 akibat perbaikan teknologi usahatani dan pembangunan jaringan irigasi. Pada kondisi luas sawah baku tersebut maka besarnya kapasitas produksi padi setiap tahun adalah: Q0i = L0i . I0i . Y0i, untuk t = 0 …………………………………….......…. (7) Q1i = L1i . I1i . Y1i, untuk t = 1 ………………………………………...…. (8) Q2i = L2i . I2i . Y2i, untuk t = 2 …………………………………….....…... (9) Qni = Lni . Ini . Yni, untuk t = n …………………………………….....…. (10) atau Qti = Lti . Iti . Yti, dimana Lti = L0i = Lni ………………………………………………........…....... (11) Apabila terjadi pengurangan luas sawah baku akibat konversi lahan dan tidak terjadi penambahan sawah baku akibat pencetakan sawah selama periode pengamatan maka produksi padi akan berkurang akibat berkurangnya luas sawah yang tersedia untuk usahatani padi. Jika konversi lahan tersebut terjadi pada t=1 dan t=2 masing-masing sebesar K1i dan K2i, maka besarnya produksi padi setelah konversi lahan pada kedua tahun pengamatan tersebut adalah: QK1i QK2i
= LK1i . I1i . Y1i = (L0i – K1i) . I1i . Y1i …………….....….……. (12) = LK2i . I2i . Y2i = (LK1i – K2i) . I2i . Y2i = (L0i – K1i – K2i) . I2i . Y2i …......................... (13)
dimana: QK1i dan QK2i serta LK1i dan LK2i masing-masing adalah produksi Padi dan luas baku sawah di Provinsi i setelah terjadi konversi lahan pada t=1 dan t=2. Selisih produksi Padi antara persamaan (12) dan (8) serta antara persamaan (13) dan (9) masing-masing menggambarkan dampak konversi lahan pada t=1 dan t=2 terhadap produksi Padi. Besarnya dampak konversi lahan tersebut pada t=1 adalah: QK1i – Q1i = (L0i - K1i) . I1i . Y1i - L1i . I1i . Y1i …………………….….. (14) Karena pada kondisi luas baku sawah yang tetap besarnya L0i = L1i = Lti (persamaan 11) maka dampak konversi lahan pada t=1 terhadap pengurangan produksi Padi di Provinsi i adalah: DK1i = -K1i. I1i . Y1i ………………………………….........…..……….. (15) Sedangkan dampak konversi lahan pada t=2 terhadap pengurangan produksi Padi adalah: Dk2i = QK2i - Q2i = (L0i - K1i - K2i) . I2i . Y2i - L2i . I2i . Y2i = -(K1i + K2i) . I2i . Y2i ………………………………………....... (16) Persamaan (16) memperlihatkan bahwa konversi lahan memberikan dampak yang bersifat kumulatif terhadap masalah pangan yang diukur dalam penurunan kapasitas produksi Padi. Konversi lahan yang terjadi pada tahun tertentu (K1i) tidak hanya memberikan dampak pada tahun yang bersangkutan (DK1i) tetapi juga pada tahun-tahun selanjutnya (DK2i). Dampak konversi lahan tersebut terhadap pengurangan produksi Padi per satuan lahan yang dikonversi akan semakin besar bila kegiatan konversi tersebut terjadi pada tahun-tahun terakhir. Hal ini karena intensitas tanam Padi dan produktivitas usahatani Padi cenderung meningkat dari tahun ke tahun akibat perkembangan teknologi usahatani. Peningkatan dampak konversi lahan per satuan lahan yang dikonversi juga akan terjadi jika kegiatan konversi lahan semakin bergeser pada kabupaten-kabupaten dengan sistem produksi Padi yang baik yang dicirikan dengan intensitas tanam dan produktivitas usahatani Padi relatif tinggi.
27 Secara sederhana dampak konversi lahan sawah terhadap produksi Padi dapat pula diilustrasikan dengan pendekatan grafik seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 1. Garis Lc digambarkan sebagai garis lurus horizontal yang menunjukkan luas baku sawah yang tetap sepanjang tahun. Garis LK1 dan LK2 masing-masing menggambarkan luas baku sawah yang tersedia setelah terjadi konversi sebesar K1 dan K2 pada tahun t1 dan t2. Jika diasumsikan tidak terjadi perubahan intenstias tanam Padi (I) dan produktivitas usahatani (Y) sepanjang tahun pengamatan maka produksi Padi yang dapat dihasilkan pada luas sawah baku tetap adalah Qc = Lc . I . Y. Sedangkan produksi Padi yang dapat dihasilkan setelah konversi lahan sebesar K1 dan K2 masing-masing adalah QK1 = LK1.I.Y dan QK2 = LK2.I.Y. Berdasarkan asumsi tersebut maka perkembangan produksi Padi per tahun sepenuhnya tergantung pada luas baku sawah yang tersedia. Dengan kata lain garis luas baku sawah tahunan identik dengan garis produksi Padi tahunan atau Lc= Qc sedangkan LK1 = QK1 dan LK2 = QK2. Perbedaan antara garis Lc dan LK1 menggambarkan besarnya pengurangan produksi padi (yang dapat dihasilkan) akibat konversi lahan sebesar K1. Bila konversi lahan tersebut hanya terjadi pada t1 maka besarnya kerugian yang diukur dalam pengurangan produksi padi yang dapat dihasilkan adalah sebesar K1 per tahun atau sebesar tK1 selama periode t. Dengan kata lain dampak konversi lahan yang terjadi pada tahun tertentu terhadap masalah pangan akan tetap dirasakan pada tahun-tahun berikutnya atau bersifat kumulatif. Dampak tersebut baru akan hilang apabila terjadi pencetakan sawah baru dalam luasan tertentu sehingga produksi padi kembali pada tingkat Qc. Fakta empiris telah membuktikan hal tersebut dimana masalah pangan yang makin berat akhir-akhir ini antara lain disebabkan oleh konversi lahan sawah yang terjadi pada masa lalu. Demikian pula jika terjadi pengurangan sawah pada tahun ini dan tidak ada perkembangan teknologi usahatani maka peningkatan masalah pangan tidak hanya terjadi pada tahun depan tetapi juga pada tahun-tahun yang akan datang (Irawan dan Friyatno, 2002). Luas baku
sawah atau produksi
Lc = Qc
K1
Padi
LK1 = QK1LK1 = QK1
K2
LK2 = QK2
t0 t1
t0
t1
t2
t3
tn
Tahun
Gambar 3. Perkembangan luas baku sawah dan produksi Padi per tahun pada kondisi tidak ada perkembangan teknologi dan luas sawah baku tetap (Lc), luas sawah baku berkurang sebesar K1 (LK1) dan luas sawah baku berkurang sebesar k2 (LK2)
28 Upaya untuk menggambarkan produksi padi pada kondisi luas sawah baku tetap di setiap provinsi di Pulau Jawa dalam penelitian ini menggunakan data luas sawah baku tahun 1995 sebagai acuan. Dengan demikian maka perkembangan produksi padi sawah per tahun pada kondisi luas sawah tetap dapat diperoleh dari hasil kali antara luas sawah baku pada tahun 1995 dengan intensitas tanam padi dan hasil padi per hektar per musim tanam. QCt = L95i . Iti . Yti.................................................................................(17) dimana : QCt = L95i Iti Yti
= = =
t
=
produksi Padi sawah di tingkat provinsi pada kondisi luas sawah baku tetap untuk tahun t. luas sawah baku tahun 1995 di propinsi ke- i intensitas panen Padi sawah per tahun pada tahun t di provinsi i produksi Padi sawah per hektar per musim panen pada tahun t di provinsi i tahun 1995...2013, i = 1, n = provinsi di Pulau Jawa
Pendugaan produksi padi sawah di tingkat provinsi setelah terjadinya konversi lahan sawah dilakukan dalam 2 tahap, yaitu: (1) pendugaan besarnya produksi padi yang hilang karena mengalami pengurangan sawah akibat konversi lahan, dan (2) pendugaan produksi padi sawah di tingkat provinsi setelah terjadinya konversi lahan tersebut. Persamaan yang digunakan untuk menduga kedua variabel tersebut adalah: VKti = (Lti – L(t-i)i) . Iti . Yti ………………………….......………………. (18) = Kti . Iti . Yti QKt = QK(t-1) + VKti ………..................................……………………. (19) dimana: VKti = volume produksi Padi yang hilang di Provinsi i akibat konversi lahan pada tahun t Kti = luas konversi lahan sawah di Provinsi i pada tahun t. Kondisi ini dicerminkan oleh perubahan luas sawah di tingkat Provinsi yang bernilai negatif. QKt = Produksi Padi di Pulau Jawa setelah terjadi konversi lahan di provinsi-provinsi tertentu pada tahun t. Lti = luas baku sawah pada tahun t di Provinsi i. Iti = intenstias panen Padi pada tahun t di Provinsi i. Yti = produksi Padi sawah/ha/musim pada tahun t di Provinsi i. Dengan demikian terdapat persamaan yang digunakan untuk menduga dampak konversi lahan sawah dan dampak pencetakan sawah terhadap produksi Padi di tingkat provinsi yaitu: DKt = QKt - QCt ……………………………………………………… (20) dimana: = Dampak konversi lahan terhadap produksi Padi pada tahun t. = produksi Padi sawah di tingkat provinsi pada kondisi luas sawah baku tetap untuk tahun t QKt = Produksi Padi di Pulau Jawa setelah terjadi konversi lahan di provinsiprovinsi tertentu pada tahun t. DKt QCt
29
Metode fungsi produksi Cobb Douglas Selain menggunakan perhitungan diatas, dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi juga dapat diketahui melalui seberapa besar pengaruh luas lahan sebagai salah satu faktor produksi terhadap produksi padi. Faktor yang mempengaruhi produksi padi dapat diketahui dengan fungsi produksi CobbDouglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan (Y), dan variabel yang lain disebut dengan variabel independen yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X dengan cara regresi, yaitu variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X (Soekartawi (1987) dalam Wibowo (2012)). Fungsi Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti karena mempunyai keunggulan antara lain: Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linear dengan cara melogaritmakan; Hasil pendugaan melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas; Jumlah besaran elastisitas sekaligus menunjukkan tingkat besaran skala usaha (return of scale) yang berguna untuk mengetahui apakah kegiatan dari suatu usaha tersebut mengikuti kaidah skala usaha menaik, skala usaha tetap ataukah skala usaha yang menurun. Koefisien intersep dari fungsi Cobb Douglas merupakan indeks efisiensi produksi yang secara langsung menggambarkan efisiensi penggunaan input dalam menghasilkan output dari sistem produksi yang sedang dikaji itu. Koefisien-koefisien pada fungsi Cobb Douglas secara langsung menggambarkan elastisitas produksi dari setiap input yang dipergunakan dan dipertimbangkan untuk dikaji dalam fungsi produksi Cobb Douglas itu. Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dinyatakan sebagai berikut : Y = aX1 β1X2 β2 ... Xi βi ... Xn βn en Bila fungsi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka: Y = f(X1, X2, … ,Xi, … ,Xn) Adanya perbedaan dalam satuan dan besaran variabel bebas maka persamaan regresi ini harus dibuat dengan model logaritma natural. Alasan pemilihan pemilihan logaritma natural menurut Ghozali (2005) dalam Wibowo (2012) adalah sebagai berikut : 1. Menghindari adanya heterokesdatisitas 2. Mengetahui koefisien yang menunjukkan elastisitas 3. Mendekatkan skala data Oleh karena itu, maka persamaan ini diubah menjadi bentuk persamaan regresi linear dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut menjadi sebagai berikut. lnY = α + β 1lnX1 + β 2lnX2 +...+ β ilnXi+..+ β nlnXn +ue
30 dimana : Y = X = α,β = U = E =
variabel yang dijelaskan
variabel yang menjelaskan Besaran yang akan diduga kesalahan (disturbance term) logaritma natural, e = 2,718
Persamaan diatas merupakan model persamaan regresi linear karena parameterparameter α, β1,.., βx,.. βn dalam model ini berbentuk linear dan variabel Y dan X dinyatakan dalam bentuk logaritma. Salah satu sifat menarik dari model dalam penelitian empiris adalah bahwa koefisien kemiringan (β) mengukur elastisitas Y sehubungan dengan X atau dengan kata lain, persentase perubahan Y untuk presentase perubahan tertentu dalam X (Gujarati, 2007). Adapun kriteria elastisitas (E) adalah sebagai berikut: E > 1 = elastis E < 1 = inelastis E = 1 = uniter E = 0 = inelastis sempurna E = ~ = elastis sempurna
Prosedur Analisis Data Penelitian ini menggunakan data sekunder, dimana data sekunder yang diperoleh melalui proses penelitian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Upaya untuk mengetahui perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa menjadi tujuan pertama dalam penelitian. Data yang diperlukan untuk menjawab tujuan pertama adalah data luas lahan sawah, dimana data tersebut kemudian dianalisis melalui metode analisis kuantitatif deskriptif. Selanjutnya, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah sesuai dengan tujuan kedua, maka variabel-variabel yang diduga sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa yaitu nilai tukar petani (NTP), PDRB sektor industri, jumlah penduduk, dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan diolah melalui analisis regresi data panel. Analisis deskriptif kuantitatif dan fungsi produksi Cobb Douglas terhadap data luas lahan, luas panen dan produksi padi kemudian dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian ketiga yaitu mendeskripsikan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi. Selain itu konsep elastisitas digunakan untuk mengetahui seberapa besar perubahan faktorfaktor mempengaruhi perubahan konversi lahan, dan mengetahui seberapa besar perubahan konversi lahan mempengaruhi pada perubahan produksi padi. Adapun kerangka analisis data dapat dilihat pada Gambar 4.
31
Nilai Tukar Petani PDRB Industri
Konversi Lahan Sawah
Jumlah Penduduk
Luas Lahan Sawah Faktor Lain
Produksi Padi
Jumlah perusahaan di industri pengolahan Metode regresi data panel
Metode: -analisis deskriptif kuantitatif -fungsi produksi Cobb Douglas
Gambar 4 Kerangka analisis data Hubungan antara tujuan penelitian, metode analisis dan jenis data sebagaimana diuraikan dalam prosedur analisis data, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Metode dan prosedur analisis data No Tujuan Penelitian
Metode Analisis
Jenis Data
1.
Mengetahui Analisis deskriptif perkembangan kuantitatif konversi lahan sawah berdasarkan Provinsi di Pulau Jawa
data luas lahan berdasarkan penggunaannya di Pulau Jawa 1995-2013
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa.
Regresi data panel Elastisitas
3.
Mendeskripsikan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa
Analisis data luas lahan deskriptif berdasarkan kuantitatif penggunaannya di Pulau Jawa Fungsi produksi luas panen Elastisitas data produksi padi
data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian dan non pertanian, data nilai tukar petani, data jumlah penduduk data jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan
32 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa Pulau Jawa sebagaimana dijelaskan dalam bab Pendahuluan, memegang peranan penting dalam produksi padi nasional. Kontribusi Pulau Jawa terhadap produksi padi sebesar 37,5 juta ton atau sebesar 53 persen dari total 71,3 ton produksi padi nasional pada tahun 2013 (BPS, 2014). Angka tersebut cukup besar mengingat luas Pulau Jawa hanya 7 persen dari luas daratan total Indonesia. Di sisi lain, Pulau Jawa memiliki lahan sawah terluas yakni kurang lebih 3.231 ribu hektar atau 43 persen dari total luas lahan sawah di Indonesia (Isa, 2014). Oleh karena itu, konversi lahan sawah di Pulau Jawa perlu mendapat perhatian khusus karena dapat berpengaruh pada produksi padi nasional. Terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa tentunya tidak menguntungkan bagi sektor pertanian khususnya dalam pemenuhan bahan pangan utama karena dapat menurunkan kapasitas produksi padi. Oleh karena itu, analisis mengenai perkembangan konversi lahan sawah di Pulau Jawa penting untuk dilakukan. Analisis perkembangan konversi lahan sawah pada penelitian ini dilakukan dengan melihat perubahan luas lahan sawah menurut wilayah administratif yaitu masing-masing provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta. Berdasarkan luas lahan sawah pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa, maka dapat diketahui perkembangan konversi luas lahan sawah di Pulau Jawa pada tahun 1995-2013 sebagaimana terlihat pada Tabel 7. Adapun luas lahan sawah Luas lahan sawah menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa sepanjang tahun 1995-2013 konversi lahan sawah terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa dengan total luas konversi sebesar 369.812 hektar atau sekitar 19.464 hektar pertahunnya. Konversi lahan sawah terbesar terjadi sepanjang tahun 1998-2000 dengan total lahan sawah yang terkonversi sebesar 203.732 hektar atau sekitar 67.911 hektar pertahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode krisis ekonomi konversi lahan sawah meningkat tajam dibandingkan pada periode sebelumnya dimana konversi lahan sawah pada tahun 1995-1997 sebesar 26.770 hektar atau meningkat sebesar 7,6 persen. Krisis ekonomi mengakibatkan angka pengangguran meningkat dan selanjutnya menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat. Keadaan ini memicu terjadinya konversi lahan sawah. Sebagian masyarakat yang memiliki aset berupa lahan sawah akan terdorong untuk menjual lahannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Seiring dengan perbaikan tingkat perekonomian pasca krisis ekonomi, konversi lahan sawah mulai berkurang, terlihat pada besar konversi lahan sawah sepanjang tahun 2001-2003 sebesar 68.657 hektar dan berkurang menjadi sebesar 44.164 hektar pada tahun 2004-2006. Pada periode tahun 2007-2009 secara keseluruhan konversi lahan sawah bahkan bernilai positif, artinya pencetakan sawah baru lebih luas dari konversi lahan sawah sebesar 5.980 hektar. Namun, sayangnya pada tahun-tahun berikutnya konversi lahan sawah kembali terjadi dimana pada tahun 2010-2013 konversi lahan sawah di Pulau jawa sebesar
33 32.469 hektar atau sebesar 8.117 hektar pertahun. Hal ini mengindikasikan bahwa konversi lahan sawah belum dapat dihambat atau dikendalikan. Tabel 7 Perkembangan Konversi Luas lahan Sawah Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1995-2013 (Ha) Tahun 1995-1997 Total konversi rata-rata 1998-2000 Total konversi rata-rata 2001-2003 Total konversi rata-rata 2004-2006 Total konversi rata-rata 2007-2009 Total konversi rata-rata 2010-2013 Total konversi rata-rata 1995-2013 Total konversi rata-rata
Jawa Barat
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Banten
Jawa
-23.055 -7.685
4.625 1.542
-1.080 -360
-7.260 -2.420
0 0
-26.770 -8.923
-195.526 -65.175
-1.249 -416
-1.184 -395
-5.388 -1.796
-385 -128
-203.732 -67.911
-1.156 -385
-2.939 -980
-1.626 -542
-49.763 -16.588
-13.173 -4.391
-68.657 -22.886
2.508 836
-33.255 -11.085
-1.442 -481
-11.756 -3.919
-219 -73
-44.164 -14.721
-4.577 -1.526
-471 -157
-17 -6
10.671 3.557
374 125
5.980 1.993
-5.987 -1.497
-14.671 -3.668
127 32
-13.870 -3.468
1.932 483
-32.469 -8.117
-227.793 -11.989
-47.960 -2.524
-5.222 -275
-77.366 -4.072
-11.471 -604
-369.812 -19.464
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Berdasarkan konversi lahan sawah yang terjadi pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa, konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat jauh lebih besar dibanding provinsi lainnya. Sepanjang tahun 1995-2013 Provinsi Jawa Barat mengalami konversi lahan sawah sebesar 227.793 hektar atau sekitar 11.989 hektar per tahunnya. Provinsi Jawa Barat juga merupakan provinsi yang mengalami peningkatan konversi lahan sawah tertajam pada periode krisis ekonomi yaitu sebesar 195.526 hektar atau meningkat sebesar 8,5 persen dari luas konversi lahan sawah periode tahun sebelumnya. Jawa Timur menempati posisi kedua dalam besar konversi lahan sawah yang terjadi sepanjang periode 1995-2013 yaitu sebesar 77.366 hektar yang diikuti oleh Jawa Tengah sebesar 47.960 hektar, Banten sebesar 11.471 hektar, dan DIY sebesar 5.222 hektar. Adapun Luas konversi lahan sawah per tahun menurut Propinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 dapat dilihat pada Lampiran 2.
Perkembangan konversi lahan sawah juga dilihat berdasarkan besar laju konversi lahan sawah menurut provinsi di Pulau Jawa. Laju konversi lahan sawah ini menandakan persentase kecepatan konversi lahan sawah yang terjadi pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Laju konversi lahan sawah menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
34 Tabel 8 Laju Konversi Lahan Sawah Neto Menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 Provinsi Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Jawa
Laju konversi lahan sawah neto rata-rata Tahun 1995-2013 (persen) 1,07 0,26 0,47 0,36 0,29 0,57
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah) Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa laju konversi lahan sawah neto di Pulau Jawa sepanjang periode tahun 1995-2013 adalah sekitar 0,57 persen per tahun. Provinsi Jawa Barat mengalami laju konversi lahan sawah neto tertinggi dibandingkan provinsi-provinsi lainnya di Pulau Jawa, yaitu sebesar 1,07 persen per tahun dimana nilai ini lebih besar dari laju konversi lahan sawah Pulau Jawa. Laju konversi lahan sawah neto terbesar kedua ditempati oleh Provinsi DIY dengan laju konversi sebesar 0,47 persen per tahun. Posisi ketiga dan keempat laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa ditempati oleh Provinsi Jawa Timur dengan laju konversi lahan sawah neto sebesar 0,36 persen per tahun dan Provinsi Banten dengan laju konversi lahan sawah sebesar 0,29 persen per tahun sedangkan posisi terakhir dengan laju konversi lahan sawah neto terendah sepanjang tahun 1995-2013 ditempati oleh provinsi Jawa Tengah sebesar 0,26 persen per tahun. Jika melihat perkembangan konversi lahan sawah 5 tahun terakhir (2009-2013) diketahui bahwa secara umum, laju konversi lahan sawah tertinggi terjadi di wilayah kota sebagaimana yang terlihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, pada tahun 2009-2013 dari sepuluh wilayah di Pulau Jawa laju konversi lahan sawah tertinggi didominasi oleh perkotaan. Kota Depok mengalami laju konversi lahan sawah paling tinggi sebesar 17,66 persen diikuti oleh kota Bandung pada posisi kedua sebesar 11,76 persen. Pada posisi ketiga, keempat dan kelima masing-masing diduduki oleh Kabupaten Cirebon (8,76 persen), Kabupaten Ciamis (6,17 persen) dan kota Tegal (5,88 persen). Tabel 9 juga menunjukkan bahwa wilayah dengan laju konversi lahan sawah tertinggi didominasi oleh wilayah-wilayah di Provinsi Jawa Barat yaitu kota Depok, kota Bandung, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Ciamis, Kota Cirebon dan Kota Bogor (4,68 persen). Wilayah yang mengalami laju konversi lahan sawah tertinggi di Provinsi Jawa Tengah adalah Kota Tegal dan Kabupaten Kudus (5,86 persen). Wilayah yang mengalami laju konversi lahan sawah tertinggi di Provinsi Jawa Timur adalah Kota Surabaya dengan laju konversi lahan sawah sebesar 4,31 persen. Kota Yogyakarta merupakan wilayah yang mengalami laju konversi lahan sawah tertinggi di provinsi DIY sebesar 3,24 persen, sementara wilayah dengan laju konversi lahan sawah tertinggi di Provinsi Banten ditempati oleh kota Cilegon sebesar 2,15 persen. Adapun wilayah-wilayah lainnya di Pulau Jawa mengalami laju konversi lahan sawah di bawah 2 persen seperti terlihat pada Lampiran 3.
35 Tabel 9 Wilayah dengan Laju Konversi Neto Tertinggi di Pulau Jawa tahun 2009-2013 Wilayah Kabupaten/Kota
Kota Depok Kota Bandung Kab. Cirebon Kab. Ciamis Kota Tegal Kab. Kudus Kota Cirebon Kota Bogor Kota Surabaya Kota Yogyakarta Kota Cilegon Sumber: BPS, 2009-2013 (diolah)
Laju Konversi Lahan Sawah Neto Rata-rata per tahun (persen)
17,66 11,76 8,76 6,17 5,88 5,86 5,53 4,68 4,31 3,24 2,15
Faktor-faktor yang mempengaruhi Konversi lahan sawah di Pulau Jawa Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Pulau Jawa pada penelitian ini dianalisis berdasarkan pengaruh nilai tukar petani, nilai PDRB industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan terhadap luas lahan sawah. Data-data tersebut merupakan data sekunder dari 5 Provinsi di Pulau Jawa yang bersumber dari Badan Pusat Statistik periode tahun 1995 hingga tahun 2013 masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 4. Selanjutnya data dianalisis melalui metode analisis regresi data panel menggunakan program Eviews 7. Model persamaan yang didapat berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Pool Ordinary Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM) masing-masing sebagai berikut: 1. Metode Pool Ordinary Least Square (PLS) Model persamaan yang didapat berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Pool Ordinary Least Square (PLS) adalah sebagai berikut Yit = 0,145 – 0,0526X1it + 0,012X2it + 0,140X3it + 0,008X4it+ uit dimana: Yit = X1it = X2it X3it X4it uit
Laju konversi lahan sawah Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) Laju Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) = Laju PDRB industri Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) = Laju jumlah penduduk Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) = Laju perkembangan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) = Sisaan atau error
36 Hasil estimasi menggunakan metode PLS disajikan pada Tabel 10. Adapun hasil estimasi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa dengan menggunakan metode PLS, pada taraf nyata 5 persen secara parsial nilai tukar petani dan PDRB industri berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah, namun jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah. Berdasarkan uji-F dan probabilitas F-statistik menunjukkan bahwa secara simultan, terdapat peubah bebas yang berpengaruh signifikan luas lahan sawah. Nilai probabilitas F-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, menunjukkan bahwa kemungkinan kesalahan tidak melebihi batas taraf nyata, sehingga dapat diketahui bahwa secara bersama-sama/simultan nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan berpengaruhi signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. Nilai Adjusted R-squared model sebesar 0,417101 menunjukkan bahwa 41,71 persen konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi oleh variabel nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan, sedangkan sisanya sebesar 58,29 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Tabel 10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode PLS Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C X1 X2 X3 X4
0,144938 -0,052569 0,012045 0,140073 0,007954
0,118115 0,009699 0,001854 0,087902 0,006096
1,227089 -5,419808 6,497371 1,593506 1,304716
0.2230 0.0000 0.0000 0.1146 0.1953
R-squared Adjusted R-squared
0,441905 0,417101
F-statistic Prob(F-statistic)
17,81571 0,000000
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
2. Metode Fixed Effect Model (FEM) Model persamaan yang didapat berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Fixed Effect Model (FEM) adalah sebagai berikut: Yit = 0,219 + D – 0,0543X1it + 0,0119X2it + 0,120X3it + 0,007X4it+ uit dimana: Yit = Laju konversi lahan sawah Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X1it = Laju Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X2it = Laju PDRB industri Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X3it = Laju jumlah penduduk Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X4it = Laju perkembangan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen)
37 D uit
= Dummy = Sisaan atau error
Pada persamaan yang menggunakan metode FEM ini slope untuk NTP, PDRB industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan berlaku untuk semua wilayah i, namun intersep setiap wilayah berbeda, tergantung pada nilai dummy (Di). Hasil estimasi menggunakan metode Fixed Effect Model (FEM) disajikan pada Tabel 11. Adapun hasil estimasi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 11 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode FEM Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C X1 X2 X3 X4
0,218752 -0,053836 0,011915 0,119965 0,007233
0,141169 0,009472 0,001801 0,089746 0,006050
1,549577 -5,683664 6,615373 1,336719 1,195664
0.1249 0.0000 0.0000 0.1848 0.2351
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared
0,458628 0,408268
F-statistic Prob(F-statistic)
9,106971 0,000000
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui bahwa hasil estimasi dengan menggunakan metode FEM hampir sama dengan hasil estimasi dengan menggunakan metode PLS. Pada taraf nyata 5 persen hasil estimasi menunjukkan bahwa secara parsial nilai tukar petani, dan PDRB industri, berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah, namun jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah. Berdasarkan uji-F dan probabilitas F-statistik menunjukkan bahwa secara simultan, terdapat peubah bebas yang berpengaruh signifikan luas lahan sawah. Nilai probabilitas F-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, menunjukkan bahwa kemungkinan kesalahan tidak melebihi batas taraf nyata, sehingga dapat diketahui bahwa secara simultan nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan berpengaruhi signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa Nilai Adjusted R-squared pada model yang dianalisis melalui metode FEM lebih rendah dibanding metode PLS. Nilai Adjusted R-squared pada model yang dianalisis dengan metode FEM adalah sebesar 0,408268 menunjukkan bahwa 40,82 persen konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi oleh variabel nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan, sedangkan sisanya sebesar 59,18 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
38 3. Metode Random Effect Model (REM) Model persamaan yang didapat berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Random Effect Model (REM) adalah sebagai berikut: Yit= 0,219 – 0,065X1it+ 0,0117X2it + 0,135X3it + 0,002X4it+ uit dimana: Yit = Laju konversi lahan sawah Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X1it = Laju Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X2it = Laju PDRB industri Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X3it = Laju jumlah penduduk Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X4it = Laju perkembangan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) uit = Sisaan atau error Pada persamaan yang menggunakan metode REM, komponen error setiap wilayah berbeda. Hasil estimasi menggunakan metode Random Effect Model (REM) disajikan pada Tabel 12. Adapun hasil estimasi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 12 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode REM Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C X1 X2 X3 X4
0,219056 -0,064911 0,011670 0,134603 0,001712
0,316720 0,028506 0,005088 0,180525 0,017463
0,691640 -2,277106 2,293663 0,745623 0,098011
0.4909 0.0251 0.0241 0.4578 0.9221
R-squared Adjusted R-squared
0,099697 0,059684
F-statistic Prob(F-statistic)
2,491596 0,048615
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa hasil estimasi dengan menggunakan metode REM hampir sama dengan metode PLS dan FEM. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada taraf nyata 5 persen, secara parsial nilai tukar petani, dan PDRB industri, berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah, namun jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah. Berdasarkan Uji F dan probabilitas F-statistik menunjukkan bahwa secara simultan, terdapat peubah bebas yang berpengaruh signifikan luas lahan sawah. Nilai probabilitas F-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, menunjukkan bahwa kemungkinan kesalahan tidak melebihi batas taraf nyata, sehingga dapat diketahui bahwa secara simultan nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan berpengaruhi signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa.
39 Nilai Adjusted R-squared pada model yang dianalisis melalui metode REM jauh lebih rendah dibanding metode PLS dan metode FEM. Nilai Adjusted R-squared pada model yang dianalisis dengan metode REM adalah sebesar 0,059684 menunjukkan bahwa hanya 5,97 persen konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi oleh variabel nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan, sedangkan sisanya sebesar 94,03 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Berdasarkan ketiga pengujian tersebut, kemudian dilakukan pengujian untuk memilih metode mana yang paling sesuai yaitu dengan melakukan uji Chow atau Likelihood Test Ratio untuk memilih antara metode PLS dengan FEM dan uji Hausman untuk memilih metode FEM atau REM . Hasil estimasi Uji Chow atau Likelihood Test Ratio dengan menggunakan program Eviews 7 antara metode FEM dan PLS dapat dilihat pada Tabel 13, dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 13 Hasil Estimasi Likelihood Test Ratio antara metode FEM dan PLS Effects Test
Statistic
d.f.
Prob.
Cross-section F
0,229591
(4,86)
0,9211
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Hasil uji Likelihood Test Ratio atau uji Chow berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai Probabilitas untuk Cross-section F adalah 0,9211, yang berarti lebih besar dari taraf nyata 5 persen menunjukkan kondisi terima Ho. Dalam hal ini Ho adalah Model PLS lebih baik dibandingkan model FEM, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat keyakinan 95 persen, model PLS lebih baik daripada model FEM. Adapun hasil estimasi uji Hausman dengan menggunakan program Eviews 7 antara metode FEM dan REM dapat dilihat pada Tabel 14, dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 14 Hasil Estimasi Uji Hausman antara metode FEM dan REM
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
2,164429
4
0,7055
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Berdasarkan hasil estimasi melalui uji Hausman, didapat bahwa nilai Probabilitas untuk Cross-section F lebih besar dari taraf nyata 5 persen menunjukkan kondisi terima Ho. Dalam hal ini Ho adalah Model REM lebih baik dibandingkan model FEM. Sehingga karena nilai Probabilitas untuk Cross-section F adalah 0,7055 maka dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan bahwa model REM lebih sesuai digunakan daripada model FEM.
40 Berdasarkan hasil serangkaian estimasi di atas dapat diketahui bahwa model persamaan yang dihasilkan dengan metode PLS lebih baik dalam menerangkan pengaruh variabel nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk serta jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan terhadap luas lahan sawah di wilayah-wilayah penelitian. Uji Asumsi Klasik Untuk dapat diterima sebagai model regresi linier berganda maka harus memenuhi uji asumsi lasik. Uji asumsi klasik meliputi: 1) Uji Normalitas Berdasarkan hasil uji normalitas yang diolah dengan program eviews 7, maka dapat diperoleh bahwa bentuk histogramnya didistribusikan secara asimetris sehingga residualnya kita duga didistribusikan secara normal. Berdasarkan uji statistik Jargue bera nilai statistiknya sebesar 1,528706 dengan probabilitas 46,56 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa residual didistribusikan secara normal dan lolos dalam uji normalitas, sehingga pengujian data layak untuk dilanjutkan dalam penelitian. 2) Uji Multikolinieritas Berdasarkan hasil pengolahan data melalui program eviews 7, maka dapat disimpulkan: a) Koefisien korelasi untuk variabel nilai tukar petani dan PDRB industri sebesar -0,210224. Hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel nilai tukar petani dan PDRB industri karena besarnya koefisien korelasi adalah -0,210224 kurang dari 0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. b) Koefisien korelasi untuk variabel nilai tukar petani dan jumlah penduduk sebesar 0,121284. Hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel nilai tukar petani dengan jumlah penduduk, karena besarnya koefisien korelasi adalah 0,121284 kurang dari 0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. c) Koefisien korelasi untuk variabel nilai tukar petani dan jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan sebesar -0,016026. hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel nilai tukar petani dan jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan, karena besarnya koefisien korelasi adalah -0,016026 kurang dari 0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. d) Koefisien korelasi untuk variabel PDRB industri dan jumlah penduduk sebesar -0,548850. hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel PDRB industri dan jumlah penduduk karena besarnya koefisien korelasi adalah -0,548850 kurang dari 0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. e) Koefisien korelasi untuk variabel PDRB industri dan jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan sebesar -0,005481. hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel PDRB industri dan jumlah perusahaan sedang dan besar dalam
41 industri pengolahan karena besarnya koefisien korelasi adalah -0,005481 kurang dari 0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. f) Koefisien korelasi untuk variabel jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan sebesar -0,045813. hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel variabel jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan, karena besarnya koefisien korelasi adalah -0,045813 kurang dari 0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. 3) Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan pengolahan data melalui program eviews 7, kita bisa mengetahui bahwa nilai probabilitas Obs* R- squared sebesar 0,2769. Karena nilai probabilitas Obs* R- squared sebesar 0,2769 > 0,05 maka tidak ada heteroskedastisitas. 4) Uji Autokorelasi Berdasarkan pengolahan data melalui program eviews 7, kita bisa mengetahui bahwa nilai probabilitas Obs* R- squared sebesar 0,5006. Karena nilai probabilitas Obs* R- squared sebesar 0,5006 > 0,05 bisa disimpulkan bahwa dalam model penelitian ini lolos uji autokorelasi. 5) Uji Linieritas Berdasarkan uji linearitas melalui program eviews 7, bisa diketahui nilai Probabilitas F sebesar 0,6352. Dengan demikian, probabilitas sebesar 0,6352 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan model penelitian ini lolos uji linearitas. Uji Hipotesis 1) Uji t a) Variabel Nilai Tukar Petani Hasil perhitungan melalui program eviews 7 untuk variabel nilai tukar petani diperoleh nilai probabilitas (signifikansi) = 0,0000. Dengan demikian karena nilai probabilitas lebih kurang dari α 0,05 (0,0000 < 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa variabel nilai tukar petani berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. b) Variabel PDRB Industri Hasil perhitungan melalui program eviews 7 untuk variabel PDRB industri diperoleh nilai probabilitas (signifikansi) = 0,0000. Dengan demikian karena nilai probabilitas lebih kurang dari α 0,05 (0,0000 < 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa variabel PDRB industri berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. c) Variabel jumlah penduduk Hasil perhitungan melalui program eviews 7 untuk variabel jumlah penduduk diperoleh nilai probabilitas (signifikansi) = 0,1146. Dengan demikian karena nilai probabilitas lebih kurang dari α 0,05
42 (0,1146 < 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa variabel jumlah penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. d) Variabel jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan Hasil perhitungan melalui program eviews 7 untuk variabel jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan diperoleh nilai probabilitas (signifikansi) = 0,1953. Dengan demikian karena nilai probabilitas lebih kurang dari α 0,05 (0,1953 < 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa variabel jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan tidak berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. 2) Uji F Berdasarkan hasil pengolahan data melalui program eviews 7 tersebut diperoleh nilai probabilitas untuk F-statistik adalah sebesar 0,000000. Dengan demikian karena nilai probabilitas (signifikansi) lebih besar dari α 0,05 (0,000000 > 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa secara bersamasama nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. Koefisien Determinasi Berdasarkan hasil pengolahan data melalui program eviews 7 nilai koefisien determinasi bisa dilihat dari nilai adjusted R-Squared. Hasil perhitungan eviews tersebut diketahui nilai adjusted R-Squared sebesar 0,417101. Hal ini berarti 41,71 persen konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi oleh variabel nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan, sedangkan sisanya sebesar 58,29 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis diatas, dapat diketahui bahwa dengan menggunakan metode PLS (Pool Ordinary Least Square), variabel nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan secara simultan/bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat pada hasil uji F dimana nilai probabilitas untuk F-statistik sebesar 0,000000 lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,417101 menunjukkan bahwa 41,41 persen konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi oleh variabel nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan, sedangkan sisanya sebesar 58,29 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil analisis diatas menunjukkan pula bahwa, secara parsial variabel nilai tukar petani dan variabel PDRB sektor industri berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan sawah di Jawa, hal ini dapat dilihat dari hasil uji–t dimana nilai signifikansinya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Di sisi lain, variabel jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan tidak
43 berpengaruh secara signifikan konversi lahan sawah di Jawa. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji-t dimana nilai signifikansinya di atas taraf nyata 5 persen. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Nilai tukar petani berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Nilai tukar petani yang rendah menyebabkan tidak ada insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertaniannya, sehingga mereka cenderung mengkonversi lahan sawahnya (Ashari, 2003). Hal ini dapat dimengerti mengingat salah satu bentuk konversi utama yang terkait dengan kebutuhan hidup petani adalah perubahan lahan sawah akibat pendapatan petani. Nilai tukar petani yang rendah akan mendorong petani berpikir bahwa lebih baik menjual lahan sawah yang dimilikinya untuk mendapatkan modal untuk usaha yang lain yang lebih menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi atau beralih profesi ke sektor lain yang menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Demikian pula variabel PDRB sektor industri yang signifikan terhadap konversi lahan sawah mengindikasikan bahwa aktivitas industri dan besarnya peran sektor industri dalam PDRB menjadi stimulus beralihnya prioritas pembangunan dari pertanian ke sektor industri sehingga terjadi peningkatan pembangunan sektor industri. Bagi petani, peningkatan pembangunan sektor industri menjadi daya tarik untuk beralih profesi menjadi pekerja di sektor industri dan cenderung mengkonversikan lahan sawahnya ke penggunaan lain. Variabel jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konversi lahan sawah tidak sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan pembangunan pemukiman dan perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan, hanya sebagian kecil yang lokasi pembangunannya dibangun dengan mengkonversi lahan sawah, dan sebagian besar lokasi pembangunannya dilakukan dengan mengkonversi lahan non-sawah. Berdasarkan hasil estimasi melalui metode PLS didapat persamaan sebagai berikut: Yit = 0,145 – 0,0526X1it + 0,012X2it + 0,140X3it + 0,008X4it+ uit Dimana: Yit = Laju konversi lahan sawah Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X1it = Laju Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X2it = Laju PDRB industri Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X3it = Laju jumlah penduduk Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) X4it = Laju perkembangan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan Provinsi ke-i, periode waktu ke-t (persen) uit = Sisaan atau error Persamaan tersebut menunjukkan bahwa : a. Nilai konstanta C sebesar 0,145 artinya bahwa jika nilai tukar petani, PDRB industri, jumlah penduduk dan jumlah perusahaan sedang dan besar pada industri pengolahan bernilai 0, maka konversi lahan sawah akan sebesar 0,145. b. β(X1) = -0,053 artinya jika variabel nilai tukar petani bertambah 1 persen, sedangkan variabel lainnya tetap maka konversi lahan sawah (Y) akan
44 mengalami penurunan sebesar 0,053. Tanda (-) negatif menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik atau berlawanan antara nilai tukar petani dan konversi lahan sawah yaitu jika nilai tukar petani tinggi maka konversi lahan sawah akan rendah. c. β(X2) = 0,012 artinya jika variabel PDRB industri bertambah 1 persen, sedangkan variabel lainnya tetap maka konversi lahan sawah (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,012. Tanda (+) positif menunjukkan adanya hubungan yang searah antara PDRB industri dan konversi lahan sawah yaitu jika PDRB industri tinggi maka konversi lahan sawah juga tinggi. d. β(X3) = 0,140 artinya jika variabel jumlah penduduk bertambah 1 persen, sedangkan variabel lainnya tetap maka konversi lahan sawah (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,140. Tanda (+) positif menunjukkan adanya hubungan yang searah antara jumlah penduduk dan konversi lahan sawah yaitu jika jumlah penduduk tinggi maka konversi lahan sawah juga tinggi. e. β(X4) = 0,008 artinya jika variabel jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan bertambah 1 persen, sedangkan variabel lainnya tetap maka konversi lahan sawah (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,008 Tanda (+) positif menunjukkan adanya hubungan yang searah antara jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan dan konversi lahan sawah yaitu jika jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri pengolahan tinggi maka konversi lahan sawah juga tinggi. Slope yang bernilai negatif seperti pada variabel Nilai Tukar Petani (X1it) menunjukkan bahwa semakin tinggi Nilai Tukar Petani maka konversi lahan sawah yang terjadi akan semakin kecil. Sebaliknya, slope yang bernilai positif seperti pada variabel PDRB sektor industri (X2it) menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai PDRB sektor industri tersebut maka luas konversi lahan sawah semakin besar pula. Berdasarkan nilai slope pada variabel Nilai Tukar Petani sebesar -0,053, maka dapat diketahui nilai elastisitas variabel Nilai Tukar Petani terhadap konversi lahan sawah adalah sebesar -0,053. Berdasarkan nilai slope PDRB sektor industri sebesar 0,012 maka dapat diketahui nilai elastisitas variabel PDRB sektor industri terhadap konversi lahan sawah sebesar 0,012. Berdasarkan nilai elastisitas variabel nilai tukar petani dan PDRB sektor industri yang lebih kecil dari 1 menunjukkan bahwa variabel nilai tukar petani dan PDRB sektor industri bersifat inelastis terhadap konversi lahan sawah. Hal ini menunjukkan bahwa variabel nilai tukar petani dan PDRB sektor industri kecil pengaruhnya terhadap konversi lahan sawah. Setiap kenaikan nilai tukar petani di provinsi ke-i periode waktu ke-t sebesar 1 persen maka akan menurunkan konversi lahan di provinsi ke-i periode waktu ke-t sebesar 0,053 persen dan setiap kenaikan PDRB sektor industri di provinsi ke-i periode waktu ke-t sebesar 1 persen maka akan meningkatkan konversi lahan di provinsi ke-i periode waktu ke-t sebesar 0,012 persen.
45 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Produksi padi Berdasarkan perkembangan konversi lahan sawah, Pulau Jawa dapat dikatakan mengalami penurunan input tetap faktor produksi pertanian yaitu luas lahan sawah. Pengurangan nilai input tetap ini sangat berpotensi dalam penurunan hasil produksi padi. Berdasarkan hal tersebut, dalam upaya mengantisipasi penurunan produksi padi tersebut, maka analisis mengenai dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi penting untuk dilakukan. Kegiatan konversi lahan menurut Irawan dan Friyatno (2002) bukan menyebabkan turunnya tingkat produksi pangan melainkan kapasitas produksi pangan, mengingat lahan merupakan faktor produksi utama dan jika tidak ada lahan maka tidak ada pula produksi pangan yang dapat dihasilkan. Upaya menggambarkan dampak konversi lahan yang diukur dalam pengurangan kapasitas produksi Padi, memerlukan gambaran tentang perkembangan produksi Padi pada kondisi luas sawah baku yang tetap (kapasitas produksi tetap) dan perkembangan produksi Padi setelah terjadinya konversi lahan (kapasitas produksi berkurang). Dampak konversi lahan untuk setiap tahun pengamatan adalah selisih produksi Padi pada kedua kondisi tersebut. Besarnya pengurangan tingkat produksi Padi pada tahun tertentu menggambarkan besarnya kehilangan yang terjadi akibat pengurangan kapasitas produksi Padi (akibat konversi lahan). Pada metode penelitian, telah diuraikan bahwa untuk dapat mengevaluasi dampak konversi lahan terhadap produksi Padi, maka diperlukan data produksi padi pada kondisi luas sawah baku tetap (Lc), produksi padi pada kondisi terjadi konversi lahan (Lk), intenstias panen padi per tahun (It) dan produksi padi per hektar per musim panen (Yt). Variabel It dan Yt dapat diasumsikan homogen untuk berbagai kondisi luas sawah baku (Lc dan Lk) karena keduanya tidak terkait dengan luas baku sawah yang tersedia. Kedua jenis data tersebut juga dapat diperoleh melalui hasil bagi antara luas panen padi per tahun dengan luas baku sawah (It) dan antara produksi padi sawah per tahun dengan luas panen sawah per tahun (Yt). Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui besar kapasitas produksi padi pada kondisi luas lahan sawah baku tetap (Lc) sebagaimana disajikan pada Tabel 15. Adapun nilai It dan Yt secara rinci masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11.
46 Tabel 15
Kapasitas produksi padi pada kondisi luas sawah tetap di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013 (Ha)
Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
DIY
1995
Jawa Timur
10.722.717
8.198.084
642.120
8.572.668
-
28.135.589
1996
10.864.358
8.351.012
665.883
8.646.491
-
28.527.744
1997
10.562.278
8.294.296
655.402
8.568.214
-
28.080.190
1998
9.995.669
8.554.311
632.833
8.745.752
-
27.928.564
1999
10.165.212
8.291.348
623.976
9.026.044
-
28.106.579
2000
10.988.178
8.456.321
676.677
9.311.168
-
29.432.345
2001
11.400.611
8.261.916
687.367
8.767.508
1.433.397
30.550.799
2002
11.387.941
8.480.562
681.627
8.915.006
1.472.106
30.937.242
2003
10.824.529
8.126.214
689.190
9.358.915
1.710.120
30.708.967
2004
11.865.412
8.508.821
740.307
9.508.922
1.933.946
32.557.408
2005
12.177.987
8.700.716
713.909
9.581.776
2.007.824
33.182.213
2006
11.708.138
9.022.493
766.788
9.980.258
1.869.315
33.346.993
2007
12.217.730
8.910.526
777.388
10.037.919
1.939.997
33.883.560
2008
12.319.574
9.437.570
878.153
11.062.434
1.949.976
35.647.708
2009
13.916.089
9.950.070
921.943
11.977.844
1.980.764
38.746.711
2010
14.535.567
10.460.533
903.259
12.311.477
2.183.561
40.394.398
2011
14.404.087
9.731.976
928.019
11.191.406
2.074.282
38.329.770
2012
14.060.599
10.588.863
1.046.809
12.918.371
1.997.405
40.612.046
2013 15.048.719 10.814.366 Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
1.014.046
12.791.283
2.244.612
41.913.025
Banten
Jawa
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui pula besar kapasitas produksi padi pada kondisi luas lahan sawah yang mengalami konversi lahan sawah sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Selanjutnya, berdasarkan nilai kapasitas produksi padi pada kondisi luas lahan sawah tetap dan nilai kapasitas produksi padi pada kondisi luas lahan mengalami konversi, maka dapat diperkirakan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Jawa. Dampak konversi lahan untuk setiap tahun pengamatan adalah selisih produksi Padi pada kedua kondisi tersebut. besarnya dampak konversi lahan terhadap kapasitas produksi padi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 dapat dilihat pada Tabel 17.
47 Tabel 16
Kapasitas produksi padi pada kondisi luas sawah mengalami konversi lahan sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013
Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
DIY
1995
Jawa Timur
10.722.717
8.198.084
642.120
8.572.668
0
28.135.589
1996
10.623.794
8.224.686
638.488
8.555.704
0
28.042.672
1997
10.745.917
8.363.170
657.755
8.610.009
0
28.376.851
1998
10.383.355
8.345.259
646.678
8.520.393
0
27.895.685
1999
9.747.374
8.558.255
612.543
8.677.210
0
27.595.383
2000
8.146.556
8.355.433
609.614
8.942.421
0
26.054.025
2001
10.689.346
8.469.770
651.568
9.209.780
-3.253
29.017.211
2002
9.304.443
8.264.488
653.348
8.361.055
1.421.073
28.004.408
2003
9.149.932
8.509.464
646.444
8.748.897
1.379.567
28.434.303
2004
8.710.593
7.849.586
654.785
8.851.750
1.672.700
27.739.414
2005
9.611.625
8.506.430
681.622
8.968.511
1.831.964
29.600.152
2006
9.869.159
8.419.937
662.162
9.008.339
1.860.279
29.819.876
2007
9.532.035
8.738.615
705.507
9.449.601
1.744.189
30.169.947
2008
9.826.643
8.586.375
709.193
9.325.862
1.818.241
30.266.314
2009
10.025.247
9.153.422
801.231
10.543.922
1.826.995
32.350.817
2010
11.325.696
9.584.647
834.487
11.250.389
1.853.389
34.848.609
2011
11.650.401
10.123.721
819.801
11.635.179
2.036.042
36.265.145
2012
11.651.795
9.288.129
848.317
10.546.894
1.937.954
34.273.089
2013
11.261.927
10.181.619
951.455
12.095.384
1.908.268
36.398.653
Banten
Jawa
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Tabel 17 menunjukkan bahwa konversi lahan sawah yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 19 tahun (1995-2013), secara kumulatif telah menyebabkan hilangnya kapasitas produksi padi sebesar 57,733 juta ton gabah atau sekitar 3,038 juta ton gabah per tahun. Bila dihitung setara beras (dengan konversi gabah kering panen ke beras sebesar (62,74 persen), maka kehilangan produksi beras selama kurun waktu 19 tahun (1995-2013) adalah sebesar 36,222 juta ton beras atau sekitar 1,906 juta ton beras per tahun. Jumlah rata-rata kehilangan produksi beras produksi beras per tahun tersebut hampir sebanding dengan jumlah impor beras pada tahun 2012 sebesar 1,810 juta ton beras. Artinya, apabila konversi lahan sawah dapat ditekan maka hal itu akan memberikan dampak yang cukup besar bagi pengadaan beras Nasional. Selain itu, berdasarkan Tabel 17 juga dapat diketahui bahwa sebagian besar penurunan kapasitas produksi padi akibat konversi lahan sawah terjadi di Jawa Barat dengan proporsi sekitar 62,68 persen (36,186 juta ton gabah) dari total pengurangan produksi di Pulau Jawa. Posisi kedua dan seterusnya ditempati oleh
48 Jawa Timur (19,74 persen) , Jawa Tengah (9,39 persen), Banten (6,08 persen) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (2,11 persen). Tabel 17 Produksi padi yang hilang sebagai dampak konversi lahan sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 1995-2013 Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
1996
-240.565
-126.326
-27.395
-90.787
0
-485.072
1997
183.639
68.873
2.353
41.795
0
296.661
1998
387.687
-209.052
13.845
-225.359
0
-32.879
1999
-417.838
266.907
-11.433
-348.834
0
-511.197
2000
-2.841.622
-100.888
-67.064
-368.747
0
-3.378.320
2001
-711.265
207.854
-35.799
442.273
-1.436.650
-1.533.588
2002
-2.083.498
-216.074
-28.280
-553.951
-51.032
-2.932.835
2003
-1.674.598
383.250
-42.745
-610.018
-330.553
-2.274.664
2004
-3.154.819
-659.235
-85.522
-657.173
-261.246
-4.817.995
2005
-2.566.362
-194.286
-32.287
-613.265
-175.860
-3.582.061
2006
-1.838.980
-602.556
-104.626
-971.919
-9.036
-3.527.117
2007
-2.685.695
-171.910
-71.882
-588.318
-195.807
-3.713.613
2008
-2.492.931
-851.196
-168.960
-1.736.572
-131.735
-5.381.394
2009
-3.890.843
-796.648
-120.712
-1.433.922
-153.769
-6.395.894
2010
-3.209.871
-875.887
-68.772
-1.061.089
-330.171
-5.545.789
2011
-2.753.686
391.745
-108.217
443.773
-38.240
-2.064.625
2012
-2.408.804
-1.300.734
-198.492
-2.371.476
-59.451
-6.338.957
2013
-3.786.791
-632.747
-62.592
-695.898
-336.344
-5.514.372
19952013
-36.186.841
-5.418.910
-1.218.578
-11.399.487
-3.509.894
-57.733.710
(%)
62,68
9,39
DIY
2,11
Jawa Timur
19,74
Banten
6,08
Jawa
100,00
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Apabila dikaji selama periode 1995-2013, dapat dilihat bahwa jumlah kehilangan produksi Padi akibat konversi lahan sawah cenderung meningkat di seluruh propinsi di Jawa. Gejala demikian menunjukkan bahwa konversi lahan sawah yang terjadi dimasa mendatang akan memberikan dampak yang lebih besar lagi terhadap pengurangan kapasitas produksi Padi, karena kerugian yang terjadi akibat konversi lahan sawah persatuan luas lahan akan lebih tinggi. Jika diasumsikan bahwa jumlah penduduk semakin meningkat dengan laju konsumsi beras tetap, sementara di lain sisi konversi lahan sawah terus terjadi setiap tahunnya dengan laju konversi tetap untuk beberapa tahun kedepan, maka
49 dapat diperkirakan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi untuk beberapa tahun kedepan sebagaimana disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Perkiraan produksi padi yang hilang sebagai dampak konversi lahan sawah di Pulau Jawa menurut provinsi periode tahun 2014-2018 Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
2014
-2.556.215
183.757
-88.349
-1.268.936
-82.278
-3.812.022
2015
-3.242.609
-635.970
-115.804
-1.248.383
-170.323
-5.413.090
2016
-3.423.180
-668.656
-123.094
-1.324.035
-180.244
-5.719.209
2017
-3.607.601
-701.976
-130.654
-1.402.488
-190.516
-6.033.235
2018
-3.795.942
-735.939
-138.493
-1.483.831
-201.152
-6.355.356
DIY
Jawa Timur
Banten
Jawa
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Berdasarkan Tabel 18, dapat diketahui bahwa jika konversi lahan terus terjadi setiap tahun dengan asumsi laju konversi lahan yang tetap, maka akan berdampak pada kapasitas produksi padi yang terus berkurang setiap tahunnya. Berdasarkan perkiraan pada Tabel 18, dapat diketahui bahwa pada tahun 2014 diperkirakan kapasitas produksi padi akan hilang sebesar 3,81 juta ton, dan akan terus berkurang bahkan hampir 2 kali lipat dimana produksi padi yang berkurang pada tahun 2018 sebesar 6,35 juta ton. Hal ini patut mendapat perhatian karena apabila jumlah penduduk terus bertambah dengan laju konsumsi beras yang tetap, maka dikhawatirkan produksi padi tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumsi sehingga Indonesia akan bergantung kepada impor untuk pemenuhan kebutuhan pangan utamanya yaitu beras. Dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi dan elastisitasnya juga dapat diketahui melalui seberapa besar pengaruh luas lahan sebagai salah satu faktor produksi terhadap produksi padi. Faktor yang mempengaruhi produksi padi dapat diketahui dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Berdasarkan rumusan fungsi produksi Cobb Douglas, maka dampak konversi lahan sawah pada penelitian ini dianalisis melalui persamaan sebagai berikut: lnYit = α + β lnXit + ue dimana : Yit = Jumlah produksi padi yang dihasilkan dalam satu kali masa panen (kg) kabupaten/kota ke-i, periode waktu ke-t Xit = Luas lahan sawah (ha) kabupaten/kota ke-i, periode waktu ke-t α,β = Besaran yang akan diduga u = kesalahan (disturbance term) e = logaritma natural, e = 2,718 Hasil estimasi terhadap data produksi padi dan luas lahan sawah di Pulau Jawa periode tahun 1995-2013 menggunakan software eviews 7 dapat dilihat pada Tabel 19.
50 Tabel 19 Hasil estimasi model persamaan dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 Variable C X R-squared Adjusted R-squared
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0,203620 1,147350
0,635502 0,050075
0,320407 22,91258
0.7494 0.0000
0,849511 0,847893
F-statistic Prob(F-statistic)
524,9863 0,000000
Sumber: BPS, 1995-2013 (diolah)
Berdasarkan Tabel 19, dapat diketahui bahwa nilai probabilitas X lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0,0000 < 0,05) menunjukkan bahwa luas lahan sawah berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi. Demikian pula nilai probabilitas F-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0,0000 < 0,5) dapat disimpulkan bahwa kemungkinan kesalahan tidak melebihi batas taraf nyata. Nilai Adjusted R-squared model sebesar 0,847893 menunjukkan bahwa 84,79 persen variasi produksi padi di Pulau Jawa dipengaruhi oleh luas lahan sawah. Persamaan yang didapat dari hasil estimasi tersebut adalah sebagai berikut, lnYit = 0,204 + 1,147lnXit + ue dimana : Yit = Jumlah produksi padi yang dihasilkan dalam satu kali masa panen (ton) kabupaten/kota ke-i, periode waktu ke-t Xit = Luas lahan sawah (Ha) Provinsi ke-i, periode waktu ke-t u = kesalahan (disturbance term) e = logaritma natural, e = 2,718 Berdasarkan persamaan diatas, jika Y menyatakan produksi padi di Pulau Jawa dan X adalah satuan luas lahan sawah yang digunakan untuk produksi padi di Pulau Jawa, maka slope (β) dapat digunakan untuk mengukur elastisitas luas lahan sawah terhadap produksi padi di Pulau Jawa. Hasil estimasi menunjukkan bahwa dengan nilai slope adalah sebesar 1,147, maka dapat diketahui elastisitas luas lahan terhadap produksi padi adalah sebesar 1,147. Berdasarkan nilai elastisitas yang lebih besar dari 1, menunjukkan bahwa luas lahan sawah bersifat elastis terhadap produksi padi, dimana dapat diartikan bahwa luas lahan sawah berpengaruh besar terhadap produksi padi dimana setiap kenaikan sebesar 1 persen pada luas lahan sawah maka akan menyebabkan kenaikan jumlah produksi padi di provinsi ke-i periode waktu ke-t sebesar 1,147 persen.
51
SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan 1.
2.
3.
Sepanjang tahun 1995-2013 konversi lahan sawah terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa dengan total luas konversi sebesar 370 ribu hektar atau sekitar 19 ribu hektar pertahunnya dengan laju sekitar 0,57 persen per tahun. Konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat jauh lebih besar dibanding provinsi lainnya sebesar 228 ribu hektar atau sekitar 12 ribu hektar per tahunnya. Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya konversi lahan sawah di Pulau Jawa adalah Nilai Tukar Petani dan PDRB sektor industri pengolahan. Berdasarkan nilai elastisitasnya, secara parsial dapat diketahui bahwa nilai tukar petani dan PDRB sektor industri inelastis terhadap konversi lahan sawah di Pulau Jawa, dimana setiap kenaikan 1 persen pada Nilai Tukar Petani akan akan menurunkan konversi lahan sawah sebesar 0,053 persen. Sebaliknya, setiap kenaikan 1 persen pada PDRB industri akan meningkatkan konversi lahan sawah sebesar 0,012 persen. Konversi lahan sawah yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 19 tahun (1995-2013) telah menyebabkan hilangnya kapasitas produksi padi sebesar 57,733 juta ton gabah atau sekitar 3,038 juta ton gabah per tahun. Bila dikonversikan setara beras, maka konversi lahan sawah menyebabkan hilangnya produksi sebesar 36,222 juta ton beras atau sekitar 1,906 juta ton beras per tahun. Jika konversi lahan terus terjadi setiap tahun dengan asumsi laju konversi lahan yang tetap, maka pada tahun 2018 diperkirakan kapasitas produksi padi akan hilang sebesar 6,35 juta ton. Berdasarkan elastisitasnya, luas lahan sawah bersifat elastis terhadap produksi padi dimana artinya bahwa setiap kenaikan luas lahan sawah di provinsi ke-i periode waktu ke-t sebesar 1 persen maka akan menyebabkan kenaikan jumlah produksi padi di provinsi ke-i periode waktu ke-t sebesar 1,147 persen.
Saran 1. Konversi lahan pertanian di Pulau Jawa perlu segera dikendalikan mengingat luas lahan sawah yang semakin berkurang dan berdampak pada kapasitas produksi padi yang terus turun per tahunnya. 2. Upaya yang diperlukan dalam rangka mengurangi konversi lahan sawah adalah dengan memperbaiki nilai tukar petani khususnya petani padi 3. sawah dan memantau perkembangan industri agar tidak mengkonversi lahan sawah dalam perluasan lahannya.
52 Implikasi Kebijakan Upaya pengendalian konversi lahan sawah di Pulau Jawa perlu segera dilakukan mengingat luas lahan sawah di Pulau Jawa yang semakin berkurang dan berdampak pada semakin menurunnya produksi padi. Upaya pengendalian konversi lahan sawah dapat dilakukan dengan mengurangi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan yaitu dengan adanya kebijakan peningkatan daya beli petani sehingga nilai tukar petani meningkat. Selain itu diperlukan kebijakan dalam pengendalian konversi tanah akibat pengembangan aktivitas industri seperti pengawasan dalam pemberian ijin penggunaan lahan khususnya lahan sawah untuk penggunaan lainnya.
53 DAFTAR PUSTAKA Ashari. 2003. Fenomena Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia 25(2):3-4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Azadi H, Ho P, Hasfiati L. 2010. Agricultural Land Conversion Drivers: A Comparison Between Less Developed, Developing and Develoved Countries. land degradation & development. [internet]. [diacu 2015 September 2]. Published online in Wiley Online Library (wileyonlinelibrary.com). DOI: 10.1002/ldr.1037. Badan Pertanahan Nasional. 2010. Neraca Penggunaan Tanah Sawah. Jakarta (ID). Badan Pertanahan Nasional. Badan Pusat Statistik. Luas Lahan menurut Penggunaannya Tahun 1995 – 2013. Jakarta (ID). Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. Sensus Penduduk Tahun 1971-2010. Jakarta (ID). Badan Pusat Statistik Butar-butar E. 2012. Analisis Faktor-faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID). Departemen Ekonomi dan Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Catur TB, Purwanto J, Uchyani RF dan Ani SW. 2010. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Sektor Non Pertanian terhadap Ketersediaan Beras Di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. Surakarta (ID). Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian UNS. Jurnal Caraka Tani XXV No.1 Maret 2010 Dewi IA. 2010. Analisis Efektifitas Tata Ruang sebagai Instrumen Pengendali Perubahan Penggunaan Lahan Sawah menjadi Penggunaan Lahan Non Pertanian di Kabupaten Bekasi [Tesis]. Bogor (ID). Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID). IPB Press. Firman T. 2000. Rural to Urban Land Conversion in Indonesia During Boom and Bust Periods. Land Use Policy. 17(2000): 13-20 Firman T. 2004. Major Issues in Indonesia’s Urban Land Development. Land Use Policy. 21(2004): 347-355 Gujarati DN. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jilid 3. Jakarta (ID). Erlangga. Harsono S. 1991. Terjadinya Alih Fungsi Lahan dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan Perundang-undangan Tataguna Pertanahan. Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung. Hidayat SI. 2008. Analisis Konversi Lahan Sawah di Jawa Timur. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian J–SEP Vol. 2 No. 3 Nopember 2008. [Internet]. [Diacu 2015 September 5]. Tersedia dari http://jurnal.unej.ac.id/index.php/JSEP/article/view/431. Ilham N, Syaukat Y, Friyatno S. 2005. Perkembangan dan faktor-faktor yang Mempengaruhi konversi lahan sawah serta Dampak ekonominya. Jurnal SOCA (Sosio-economics of Agriculture and Business). Vol.5, no.2 Juli 2005 Irawan B, Friyatno S. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa terhadap Produksi Padi dan Kebijakan Pengendaliannya. Pusat Penelitian dan
54 Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor (ID). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian RI. Irawan B. 2005. Konversi lahan sawah: potensi dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, vol 23 no. 1 Juli 2005. Hlm 1-18 Irawan B. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, vol 26 no.2 tahun 2008. Hlm. 116-131 Irawan B, Purwoto A, Dabbuke FBM, Trijono D. 2012. Studi Kebijakan Akselerasi Pertumbuhan Produksi Padi di luar Pulau Jawa. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor (ID). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Isa IT. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan. [Internet]. [Diacu 2015 September 2]. Tersedia dari http://balittanah.litbang.pertanian.go.id /ind/dokumentasi/prosiding/mflp2006/iwan.pdf Isa IT. 2014. Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan; Konflik Penggunaan Tanah. Disampaikan dalam Round Table Discussion (RTD) Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian 21 Agustus 2014. Jakarta (ID). Direktorat Litbang Deputi Bidang Pencegahan. KPK. Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. Bogor (ID). IPB Press. Kadir FA. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Kumalasari R. 2014. Analisis Impor Beras di Indonesia. Economics Development Analysis Journal. EDAJ 3 (2) 2014. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/edaj. Diakses tanggal 15 Juli 2015 Kustiawan I. 2007. Kajian Permasalahan dan Kebijaksanaan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian di Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa. Jurnal Prisma XXVI (1) :15 – 32. Lichtenberg E, Ding C. 2008. Assessing Farmland Protection Policy in China. Land Use Policy. 25(2008):59-68. Marstaningsih A. 2008. Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Pemukiman Berdasarkan Karakteristik Pemilik Lahan (Studi Kasus Desa Sukamanah, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Nasoetion L dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya “Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 64-22. Hasil Kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor. Indonesia. Nuryanti T. 2011. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Kesejahteraan Petani di Pedesaan. [internet]. [Diacu 2015 Juli 5]. Tersedia dari http://kolokiumkpmipb.wordpress.com/2009/04/22/dampak-konversi-lahanpertanian-bagi-taraf-hidup-petani/ Nuryati L. 1995. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah (Studi Kasus Propinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
55 Pakpahan, A., Sumaryanto, N. Syafa’at. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Ekonomi Pertanian. Bogor Pramudita D. 2015. Insentif dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan [Tesis]. Bogor (ID). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E. 2001. Alih Fungsi Lahan Dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. Lokakarya Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan. 2001 Mei 10-11, Bogor, Indonesia. Saefulhalim, RS, Lutfi IN. 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi Teknis. Makalah Seminar Pengembangan Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor 26-27 September Santoso AB. 2015. Pengaruh Luas Lahan dan Pupuk Bersubsidi terhadap Produksi Padi Nasional. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) Vol. 20 (3): 208-212 Desember 2015 Sudaryanto T. 2004. Konversi Lahan dan Produksi Pangan Nasional. Penyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian, hal. 57-64 Sumarlin, Baliwati YF, Rustiadi E. Analisis Kebutuhan Luas Lahan Basah Pertanian Pangan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Gizi dan Pangan, November 2008 3 (3): 198-204 Sumaryanto, Friyatno S, Irawan B. 2001. Konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dan dampak negatifnya. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/ind/dokumentasi/prosiding/mflp2001/sum aryanto.pdf. Diakses tanggal 3 September 2015. Suriyanto, A. 2012. Analisis Beberapa Variabel Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Sidoarjo [Tesis]. Surabaya (ID). UNESA. [Internet]. [Diacu 2015 September 3]. Tersedia dari http://www.scribd.com/document_downloads/direct/189280810?extension= pdf&ft=1386815666<=1386819276&source=embed&uahk=Rf5YZVaHM jv5yJk9bkrWeS1sp88.pdf. Diakses tanggal 3 September 2015 Triyanto J. 2006. Analisis Produksi Padi di Jawa Tengah [Tesis]. Semarang (ID). Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Wibowo LS. 2012. Analisis Efisiensi Alokatif Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi (Oryza sativa L.) (Studi Kasus di Desa Sambirejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun) [Skripsi]. Malang (ID). Universitas Brawijaya. Zulkarnain I. 2004. Analisis Produksi dan Keuntungan Pada Usaha Tani Padi Sawah Jawa Tengah [Tesis]. Semarang (ID). Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
56
LAMPIRAN
57 Lampiran 1. Luas lahan sawah menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 (Hektar) Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
1995
1152074
995760
60872
1170772
-
1996
1139699
996725
60442
1168372
-
1997
1129209
999897
60110
1166075
-
1998
1129019
1000385
59792
1163512
-
1999
1132558
1002306
59742
1161712
-
2000
1127088
998008
58858
1159856
210147
2001
933493
999136
58608
1158124
209762
2002
927377
998456
58367
1156178
209286
2003
934140
995469
57612
1115239
207530
2004
932337
996197
56982
1108361
196589
2005
925900
964102
57188
1100574
194504
2006
926782
963401
56218
1096479
196538
2007
934845
962942
55540
1096605
196370
2008
945544
963984
55332
1108578
195583
2009
937373
960768
55325
1100517
195809
2010
930268
962471
55523
1107276
196744
2011
930507
960970
55291
1106449
197165
2012
923575
962289
55023
1105550
195951
2013
925042
952525
55336
1102863
194716
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 1995-2013
58 Lampiran 2. Luas konversi lahan sawah menurut Propinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 (Hektar) Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
1995
-12375
965
-430
-2400
0
1996
-10490
3172
-332
-2297
0
1997
-190
488
-318
-2563
0
1998
3539
1921
-50
-1800
0
1999
-5470
-4298
-884
-1856
0
2000
-193595
1128
-250
-1732
-385
2001
-6116
-680
-241
-1946
-476
2002
6763
-2987
-755
-40939
-1756
2003
-1803
728
-630
-6878
-10941
2004
-6437
-32095
206
-7787
-2085
2005
882
-701
-970
-4095
2034
2006
8063
-459
-678
126
-168
2007
10699
1042
-208
11973
-787
2008
-8171
-3216
-7
-8061
226
2009
-7105
1703
198
6759
935
2010
239
-1501
-232
-827
421
2011
-6932
1319
-268
-899
-1214
2012
1467
-9764
313
-2687
-1235
2013
-761
-4725
314
-9457
3960
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 1995-2013 (diolah)
Banten
59 Lampiran 3. Laju konversi lahan sawah menurut Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
tahun 2009-2013 (persen) Provinsi
Kabupaten/Kota Kab, Bogor
2010
2011
2012
2013
-0,68
2,52
10,27
-13,75
5,79
Kab, Sukabumi
6,07
-2,84
14,94
-15,60
-1,76
Kab, Cianjur
0,52
-0,68
-0,49
0,04
-0,47
Kab, Bandung
1,19
-0,87
9,51
-8,51
-7,07
Kab, Garut
0,01
0,19
8,64
-5,89
-34,28
-0,11
0,18
11,10
-16,68
-22,48
Kab, Ciamis
0,70
-0,09
7,79
26,11
-3,65
Kab, Kuningan
0,03
0,01
-0,53
1,65
-1,37
Kab, Cirebon
0,25
2,30
-7,49
5,12
43,65
Kab, Majalengka
-0,07
0,00
0,93
7,14
-8,62
Kab, Sumedang
0,77
-1,61
8,43
-8,24
-9,66
Kab, Indramayu
0,03
1,68
-4,14
3,20
0,13
Kab, Subang
0,51
-0,83
-7,50
7,74
-0,21
Kab, Purwakarta
-0,13
0,09
-19,76
12,36
-3,31
Kab, Karawang
0,00
-0,91
-5,96
5,82
4,80
Kab, Bekasi
0,42
0,68
-17,52
16,52
18,58
Kab, Bandung Barat
1,55
-2,25
20,73
-26,86
10,23
Kab, Pangandaran
0,00
0,00
0,00
0,00
4,39
Kota Bogor
0,00
-10,52
40,53
-18,86
12,27
Kota Sukabumi
-81,62
90,09
6,20
4,64
-13,61
Kota Bandung
28,39
4,98
-38,04
40,29
23,16
Kota Cirebon
7,81
11,07
11,72
-6,64
3,70
Kota Bekasi
9,98
0,00
-51,17
39,07
4,63
Kota Depok
1,17
4,07
56,46
28,86
-2,29
Kota Cimahi
0,00
6,14
34,55
-64,44
27,03
Kota Tasikmalaya
1,19
0,20
-12,34
12,25
-7,60
Kota Banjar
0,00
0,00
7,99
-8,68
4,34
Kab, Tasikmalaya
Jawa Barat
2009
60 Provinsi
Kabupaten/Kota Kab, Cilacap
Jawa Tengah
2009
2010
2011
2012
2013
-0,08
-1,19
-2,83
3,20
2,20
Kab, Banyumas
0,01
-0,13
4,26
-4,30
3,72
Kab, Purbalingga
0,60
-2,97
9,84
-13,21
-0,13
Kab, Banjarnegara
1,31
-1,44
16,47
-22,06
4,70
Kab, Kebumen
0,20
-0,35
-6,26
5,73
1,28
Kab, Purworejo
-0,30
0,19
-1,56
-0,60
1,45
Kab, Wonosobo
0,00
4,63
-18,66
19,75
0,50
Kab, Magelang
-1,74
0,94
-3,16
38,65
-27,61
Kab, Boyolali
0,34
0,11
-61,90
38,63
-1,37
Kab, Klaten
0,08
0,14
1,43
-0,72
3,58
Kab, Sukoharjo
0,00
1,06
-15,35
15,06
-17,57
Kab, Wonogiri
2,06
-8,11
-49,41
39,01
5,74
Kab, Karanganyar
2,13
0,57
-23,82
20,11
-7,68
Kab, Sragen
-0,01
0,00
-22,96
17,29
-19,35
Kab, Grobogan
-1,38
0,40
-40,93
27,28
18,67
Kab, Blora
1,49
1,55
-55,25
34,61
19,49
Kab, Rembang
0,83
0,35
-42,11
32,49
-5,00
Kab, Pati
0,69
-0,03
-23,34
23,32
-6,20
Kab, Kudus
0,45
10,19
-43,08
32,92
28,80
Kab, Jepara
1,16
-2,52
-2,98
7,30
-7,89
Kab, Demak
-3,53
1,69
-22,96
19,00
-0,16
Kab, Semarang
-2,12
4,17
-3,62
4,60
-3,98
Kab, Temanggung
-1,65
-1,23
14,90
-13,18
-51,52
Kab, Kendal
0,00
1,17
-1,41
2,28
-4,86
Kab, Batang
-4,31
0,73
-3,01
-8,37
0,00
Kab, Pekalongan
1,33
-1,01
4,90
-0,06
-0,58
Kab, Pemalang
0,00
-2,45
13,88
-19,19
0,61
Kab, Tegal
0,13
-3,00
-2,54
8,21
-2,45
Kab, Brebes
-0,85
2,26
-2,62
0,80
-0,83
Kota Magelang
0,47
0,00
-0,47
0,94
-2,86
Kota Surakarta
16,67
5,00
-91,58
56,59
-8,86
61 Kota Salatiga
0,91
0,65
16,97
-19,02
11,58
-0,64
15,65
-2,63
1,89
-16,66
4,90
5,51
24,76
-29,99
-15,54
Kota Tegal
11,40
15,26
-11,90
6,91
7,71
Kab, Kulonprogo
-0,50
-0,06
3,26
-1,95
-1,50
Kab, Bantul
-1,48
1,36
-0,19
-0,75
-4,51
-0,34
0,06 -257,59
72,03
-0,17
Kota Semarang Kota Pekalongan
DI Kab, Gunungkidul Yogyakarta Kab, Sleman
0,42
0,15
14,75
-17,64
2,23
Kota Yogyakarta
-2,50
1,22
-8,64
26,14
0,00
Kab, Pacitan
-0,12
0,73
-50,75
34,71
-0,51
0,00
0,00
2,83
-1,51
1,98
Kab, Trenggalek
-1,72
-1,32
19,34
-23,21
1,24
Kab, Tulungagung
-0,02
0,66
2,34
-3,04
0,47
Kab, Blitar
-0,19
-0,19
18,76
-23,10
1,34
Kab, Kediri
-1,18
-3,90
4,94
-5,91
0,17
Kab, Malang
-0,99
0,10
-3,91
12,53
0,19
Kab, Lumajang
-1,54
-0,08
7,74
-6,58
0,83
Kab, Jember
-0,95
2,02
12,94
-7,57
0,77
Kab, Banyuvvangi
0,00
0,61
18,49
-18,84
-0,12
Kab, Bondowoso
-1,78
0,02
-27,75
19,78
1,65
5,30
-1,90
-15,68
13,24
0,24
-0,34
0,39
-35,02
25,43
2,05
Kab, Pasuruan
0,10
-1,18
6,64
-8,60
0,15
Kab, Sidoarjo
0,63
4,25
-17,06
17,11
1,38
Kab, Mojokerto
1,42
0,57
-0,98
-3,00
-0,66
Kab, Jombang
0,38
-0,64
0,10
-0,45
1,66
Kab, Nganjuk
-2,00
-0,64
0,10
-0,45
2,05
Kab, Madiun
3,70
-0,92
33,42
-51,85
4,25
Kab, Magetan
1,86
0,18
4,21
-6,09
4,54
Kab, Ngawi
0,01
0,71
3,02
-4,91
0,99
Kab, Bojonegoro
-0,63
1,23
-2,29
-1,67
0,39
Kab, Tuban
-5,47
-0,35
4,15
-4,98
1,40
1,09
-0,38
-1,91
0,59
0,30
Kab, Ponorogo
Kab, Situbondo Jawa Timur
Kab, Probolinggo
Kab, Lamongan
62 Kab, Gresik
-1,67
1,87
1,33
-4,40
1,45
Kab, Bangkalan
-1,41
0,01
-46,58
32,66
-1,39
Kab, Sampang
-24,96
2,03 -127,87
56,06
1,98
Kab, Pamekasan
-3,68
-11,38
-65,36
34,44
0,48
Kab, Sumenep
3,09
0,00
15,07
-18,54
1,35
Kota Kediri
2,76
0,75
-30,50
36,70
1,82
Kota Blitar
0,00
0,61
29,72
-40,53
5,80
Kota Malang
2,55
0,00
-53,08
42,43
8,17
Kota Probolinggo
4,94
0,05
-49,97
34,50
9,22
Kota Pasuruan
3,55
1,20
-15,78
17,53
1,27
Kota Mojokerto
0,00
1,66
36,55
-55,73
21,75
Kota Madiun
0,00
0,00
25,68
-11,03
5,52
-0,46
6,39
-34,59
28,64
21,56
-28,24
6,41
-46,45
63,92
5,95
0,55
-1,49
14,49
-14,69
-3,12
Kab, Lebak
-0,95
-1,22
11,54
-14,18
-1,92
Kab, Tangerang
-1,99
0,20
-5,41
9,50
-0,14
0,03
0,72
-9,63
9,12
-3,09
Kota Tangerang
17,28
10,65
-97,59
47,33
-10,00
Kota Cilegon
-0,53
16,36
-12,09
11,15
-4,12
Kota Serang
0,00
0,00
1,49
-3,40
1,43
-65,18
-2,70
0,00
-12,11
34,27
Kota Surabaya Kota Batu Kab, Pandeglang
Kab, Serang Banten
Kota Tangsel
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 2009-2013 (diolah)
63 Lampiran 4. Laju konversi lahan sawah, laju nilai tukar petani, laju PDRB sektor industri pengolahan, laju jumlah penduduk dan laju perkembangan jumlah industri besar dan sedang pada industri pengolahan per Tahun Menurut Propinsi di Jawa Tahun 1995-2013 (persen)
Provinsi
Jawa Barat
Jawa Tengah
Tahun
Laju Konversi lahan sawah
Laju nilai tukar petani
Laju PDRB sektor industri
Laju jumlah penduduk
Laju perkembangan jumlah industri sedang besar pada industri pengolahan
1995
1,07
3,92
3,51
0,67
17,52
1996
0,92
-4,72
31,30
0,65
2,95
1997
0,02
2,97
11,78
1,67
-1,46
1998
-0,31
-2,88
-44,27
5,42
0,62
1999
0,48
10,97
-4,11
2,09
6,96
2000
17,18
-5,88
102,72
1,26
0,76
2001
0,66
3,36
2,25
0,98
-0,55
2002
-0,73
14,91
6,51
2,33
-25,06
2003
0,19
5,83
3,95
2,89
-1,18
2004
0,69
-11,68
3,24
1,29
-1,17
2005
-0,10
-3,41
8,62
1,74
-0,44
2006
-0,87
2,09
8,51
2,35
48,18
2007
-1,14
1,13
7,35
1,87
-4,35
2008
0,86
-17,67
9,01
1,86
-8,60
2009
0,76
1,12
-1,74
2,69
0,15
2010
-0,03
2,12
3,17
1,70
-2,82
2011
0,74
5,68
6,21
1,81
-2,79
2012
-0,16
3,83
3,94
2,96
3,26
2013
0,08
0,54
5,32
1,48
6,69
1995
-0,10
5,00
7,81
1,96
23,00
1996
-0,32
3,81
18,17
1,13
4,81
1997
-0,05
-4,59
5,82
1,12
-1,55
1998
-0,19
-9,62
-27,08
1,12
-6,15
1999
0,43
-2,69
5,71
1,11
2,69
2000
-0,11
0,46
205,96
1,10
-0,77
2001
0,07
10,89
4,14
1,10
-3,85
2002
0,30
11,23
5,46
1,09
-0,98
64
DI Yogyakarta
Jawa Timur
2003
-0,07
9,45
5,49
1,08
-3,45
2004
3,22
-26,30
6,41
1,08
2,43
2005
0,07
0,51
4,80
1,07
1,86
2006
0,05
5,18
4,52
-3,47
55,40
2007
-0,11
6,69
5,56
0,34
-6,66
2008
0,33
-3,25
8,80
0,33
-9,48
2009
-0,18
-1,10
3,79
0,32
-9,94
2010
0,16
2,99
6,64
0,29
-7,74
2011
-0,14
3,17
6,82
0,81
-0,95
2012
1,01
0,49
5,46
1,92
-2,96
2013
0,50
0,52
5,91
-0,02
-1,87
1995
0,71
0,93
25,15
0,35
9,77
1996
0,55
2,75
19,69
1,16
23,29
1997
0,53
2,68
2,10
1,15
1,39
1998
0,08
13,91
-11,65
1,14
-6,58
1999
1,48
-7,26
6,98
1,12
2,35
2000
0,42
-4,85
3,00
1,11
13,75
2001
0,41
8,88
7,78
1,10
-0,76
2002
1,29
1,74
16,07
1,10
0,76
2003
1,09
4,08
13,20
1,08
1,26
2004
-0,36
-7,92
8,91
1,07
2,99
2005
1,70
-0,19
7,36
1,07
-9,18
2006
1,21
2,94
13,66
2,11
35,90
2007
0,37
1,25
9,75
1,01
-11,74
2008
0,01
-17,54
13,11
1,00
-7,76
2009
-0,36
2,44
9,22
0,99
-3,13
2010
0,42
4,44
15,70
0,90
-0,74
2011
0,48
2,20
16,22
0,86
1,75
2012
-0,57
1,16
2,36
0,79
-3,93
2013
-0,57
0,37
15,27
2,28
-17,65
1995
0,20
3,92
31,80
0,71
9,20
1996
0,20
0,94
11,05
0,94
15,92
1997
0,22
5,61
1,06
0,93
-1,69
1998
0,15
-7,08
-39,52
0,92
-5,66
1999
0,16
-11,59
24,53
0,91
0,06
65
Banten
2000
0,15
11,72
300,52
0,91
-0,16
2001
0,17
10,39
2,35
0,89
-5,24
2002
3,54
-3,35
-0,73
0,76
-1,77
2003
0,62
9,56
4,46
0,13
-4,69
2004
0,70
-27,60
5,28
0,88
5,21
2005
0,37
2,31
4,61
0,02
1,05
2006
-0,01
5,10
3,05
0,73
32,70
2007
-1,09
7,68
4,64
0,12
0,05
2008
0,73
-1,15
6,39
0,61
-0,19
2009
-0,61
-2,25
2,80
0,71
-1,04
2010
0,07
0,54
5,00
0,65
-2,88
2011
0,08
2,96
5,00
0,97
4,71
2012
0,24
0,50
5,00
0,70
1,30
2013
0,86
0,71
5,00
0,67
-2,26
1995
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1996
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1997
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1998
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1999
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2000
0,18
0,00
0,00
0,00
0,00
2001
0,23
2,11
4,13
1,99
0,00
2002
0,84
1,03
2,70
3,29
0,00
2003
5,27
-2,04
3,41
5,00
-3,79
2004
1,06
2,08
4,39
1,42
4,00
2005
-1,05
1,02
4,42
2,49
-2,07
2006
0,09
-2,02
5,43
2,74
24,80
2007
0,40
-1,03
3,10
2,75
-7,84
2008
-0,12
1,36
34,91
2,75
-2,28
2009
-0,48
0,46
6,51
2,74
-6,04
2010
-0,21
4,16
-4,42
2,50
-4,42
2011
0,62
2,93
-2,28
3,51
-2,28
2012
0,63
3,47
0,76
2,21
0,76
2013
-2,03
1,48
4,95
1,81
4,95
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 1995-2013 (diolah)
66 Lampiran 5. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode PLS Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 05/03/16 Time: 16:41 Sample: 1995 2013 Periods included: 19 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 95 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std, Error
t-Statistic
Prob,
C X1 X2 X3 X4
0,144938 -0,052569 0,012045 0,140073 0,007954
0,118115 0,009699 0,001854 0,087902 0,006096
1,227089 -5,419808 6,497371 1,593506 1,304716
0,2230 0,0000 0,0000 0,1146 0,1953
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S,E, of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,441905 0,417101 1,007300 17,81571 0,000000
Mean dependent var S,D, dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,367277 1,394579 91,31877 1,735707
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0,095671 323,5696
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,486842 1,848641
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 1995-2013 (diolah)
67 Lampiran 6. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode FEM Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 05/03/16 Time: 16:42 Sample: 1995 2013 Periods included: 19 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 95 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std, Error
t-Statistic
Prob,
C X1 X2 X3 X4
0,218752 -0,053836 0,011915 0,119965 0,007233
0,141169 0,009472 0,001801 0,089746 0,006050
1,549577 -5,683664 6,615373 1,336719 1,195664
0,1249 0,0000 0,0000 0,1848 0,2351
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S,E, of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,458628 0,408268 1,032319 9,106971 0,000000
Mean dependent var S,D, dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,353717 1,420772 91,64866 1,774200
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0,116760 316,0239
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,486842 1,888846
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 1995-2013 (diolah)
68 Lampiran 7. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Sawah di Jawa menggunakan Metode REM Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 05/03/16 Time: 16:43 Sample: 1995 2013 Periods included: 19 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 95 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std, Error
t-Statistic
Prob,
C X1 X2 X3 X4
0,219056 -0,064911 0,011670 0,134603 0,001712
0,316720 0,028506 0,005088 0,180525 0,017463
0,691640 -2,277106 2,293663 0,745623 0,098011
0,4909 0,0251 0,0241 0,4578 0,9221
Effects Specification S,D, Cross-section random Idiosyncratic random
0,000000 1,911473
Rho 0,0000 1,0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S,E, of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,099697 0,059684 1,891880 2,491596 0,048615
Mean dependent var S,D, dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,486842 1,950998 322,1291 1,827330
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0,099697 322,1291
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,486842 1,827330
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 1995-2013 (diolah)
69 Lampiran 8. Hasil Estimasi Likelihood Test Ratio antara metode FEM dan PLS Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
d,f,
Prob,
Cross-section F
0,229591
(4,86)
0,9211
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 05/03/16 Time: 16:43 Sample: 1995 2013 Periods included: 19 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 95 Use pre-specified GLS weights Variable
Coefficient
Std, Error
t-Statistic
Prob,
C X1 X2 X3 X4
0,162616 -0,053821 0,011893 0,123367 0,007386
0,114674 0,009464 0,001791 0,085574 0,006005
1,418076 -5,687163 6,641957 1,441649 1,229994
0,1596 0,0000 0,0000 0,1529 0,2219
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S,E, of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,452847 0,428529 1,014491 18,62197 0,000000
Mean dependent var S,D, dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,353717 1,420772 92,62735 1,754890
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0,096022 323,4443
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,486842 1,845777
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 1995-2013 (diolah)
70 Lampiran 9. Hasil Estimasi Uji Hausman antara metode FEM dan REM Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq, Statistic
Chi-Sq, d,f,
Prob,
2,164429
4
0,7055
** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero, Cross-section random effects test comparisons: Variable X1 X2 X3 X4
Fixed -0,065158 0,011904 0,027877 -0,000470
Random
Var(Diff,)
Prob,
-0,064911 0,011670 0,134603 0,001712
0,000001 0,000000 0,010580 0,000002
0,7871 0,7131 0,2995 0,1545
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: Y Method: Panel Least Squares Date: 05/03/16 Time: 16:43 Sample: 1995 2013 Periods included: 19 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 95 Variable
Coefficient
Std, Error
t-Statistic
Prob,
C X1 X2 X3 X4
0,355926 -0,065158 0,011904 0,027877 -0,000470
0,341524 0,028521 0,005127 0,207773 0,017530
1,042169 -2,284577 2,321552 0,134171 -0,026834
0,3003 0,0248 0,0226 0,8936 0,9787
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S,E, of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0,121800 0,040107 1,911473 314,2208 -191,6196 1,490943 0,172364
Mean dependent var S,D, dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter, Durbin-Watson stat
0,486842 1,950998 4,223570 4,465516 4,321334 1,872700
Sumber: BPS, Luas Lahan menurut Penggunaannya tahun 1995-2013 (diolah)
71 Lampiran 10. Intensitas panen padi per tahun (It) menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
1995
1.845
1.594
2.223
1.390
-
1996
1.859
1.612
2.273
1.388
-
1997
1.807
1.597
2.233
1.377
-
1998
1.931
1.713
2.304
1.476
-
1999
1.926
1.685
2.253
1.514
-
2000
1.942
1.673
2.342
1.512
-
2001
1.999
1.652
2.342
1.475
1.597
2002
1.933
1.656
2.310
1.459
1.618
2003
1.782
1.543
2.268
1.520
1.677
2004
2.017
1.642
2.332
1.531
1.855
2005
2.046
1.671
2.290
1.539
1.927
2006
1.940
1.736
2.355
1.597
1.773
2007
1.957
1.676
2.401
1.583
1.817
2008
1.908
1.721
2.533
1.601
1.854
2009
2.080
1.795
2.629
1.731
1.870
2010
2.190
1.872
2.649
1.774
2.066
2011
2.111
1.794
2.728
1.741
2.014
2012
2.078
1.843
0.289
1.787
1.851
2013
2.194
1.937
2.878
1.847
2.022
Sumber: BPS. 1995-2013 (diolah)
72 Lampiran 11. Produksi padi per hektar per musim panen (Yt) menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 1995-2013 Tahun
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
1995
5.044
5.166
4.744
5.268
-
1996
5.072
5.202
4.812
5.320
-
1997
5.073
5.215
4.822
5.315
-
1998
4.493
5.014
4.512
5.062
-
1999
4.581
4.941
4.551
5.093
-
2000
4.912
5.077
4.746
5.259
-
2001
4.950
5.022
4.822
5.076
4.278
2002
5.115
5.143
4.847
5.220
4.337
2003
5.273
5.290
4.991
5.258
4.861
2004
5.107
5.204
5.216
5.305
4.970
2005
5.165
5.229
5.121
5.318
4.968
2006
5.238
5.220
5.350
5.338
5.027
2007
5.420
5.338
5.318
5.416
5.090
2008
5.606
5.506
5.695
5.902
5.014
2009
5.806
5.565
5.762
5.911
5.050
2010
5.760
5.613
5.602
5.929
5.039
2011
5.922
5.447
5.589
5.489
4.911
2012
5.874
5.770
5.466
6.174
5.145
2013
5.953
5.606
5.788
5.915
5.292
Sumber: BPS. 1995-2013 (diolah)
73
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 24 Februari 1983 dari pasangan bapak Gunasah dan ibu Imas Kosmiati. Penulis merupakan puteri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri 29 Jakarta Selatan. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2005. Saat ini penulis bekerja sebagai PNS di Pusat Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Agraria dan Tataruang (ATR/BPN). Pada tahun 2012 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor atas biaya dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).