DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA DAN LUAR JAWA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN AKSES PANGAN NASIONAL
ERNI PURBIYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :
DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA DAN LUAR JAWA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN AKSES PANGAN NASIONAL merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan para komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan oleh sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Februari 2013
Erni Purbiyanti NRP. H353100111
ABSTRACT ERNI PURBIYANTI. Impact of Wetland Conversion in Java and Outside Java on National Food Availability and Accessibility (ANNA FARIYANTI as Chairman, I KETUT KARIYASA as a Member of the Advisory Commitee) To ensure sustainable food availability and accessibility in Indonesia, it is needed the policy that could reduce the persistent wetland conversion in Java that tends to incerase, since Java has been contribution of 60 percent of national rice. This study disaggregated into Jawa and outside Java. The purposes of this study are at: (1) analyzing the factors affecting wetland conversion in Java and outside Java, (2) analyzing the impacts of wetland conversion in Java and outside Java on national food availability and accessibility, (3) analyzing the impact of economic policies implementation in agricultural sector on national food availability and accessibility, as well as on changing of welfare indicators. The model specification was done that included dynamic simultaneous equations which consisted of 19 behavioral equations and 22 identities, model identification performed by using the order condition criteria, while model estimation conducted by employing 2-SLS method. The results of study indicated that wetland conversion has had been compensated by import. Therefore, decreased food availability and accessibility per capita were under-estimated. Price policy became ineffective if at the same time the government also ran import rice policy. The mix policies implementation through instruments: increased the real price of unhusked rice of by 15 percent, decreased the real price of Urea fertilizer of by 10 percent and decreased import quotas of by 37.5 percent were considered as the best policy when wetland conversion increased by 1 percent. This mix policy has positive impact both on producers (farmers) and government; except for consumer. Development of economic region that still focused in Java should be directed to the outside Java in order to reduce the persistent wetland conversion by implementing locally specific policies. Keywords: food accessibility, food availability, rice, wetland conversion
RINGKASAN ERNI PURBIYANTI. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa dan Luar Jawa terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan Nasional (ANNA FARIYANTI, sebagai Ketua dan I KETUT KARIYASA, sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Konversi lahan sawah dinilai sangat dilematis. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan untuk penggunaan nonpertanian sebagai konsekuensi logis dari perkembangan wilayah. Sementara di sisi lain, lahan sawah juga merupakan faktor produksi penting yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh yang lain, dimana konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah di Indonesia terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan ekonomi di sektor Pertanian. Tujuan khusus penelitian ini, yaitu: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa; (2) menganalisis dampak konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional; (3) menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional; dan (4) menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah, sebagai indikator tingkat kesejahteraan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deret waktu dari tahun 1990 – 2010, yang bersifat dinamik. Khusus konversi lahan sawah, data yang digunakan adalah data konversi lahan sawah netto. Model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia yang diformulasikan merupakan model persamaan simultan yang terdiri dari 41 persamaan, yaitu 41 peubah endogen, dan 74 peubah predetermined yang terdiri dari 41 peubah eksogen dan 33 lag peubah endogen, sehingga total peubah dalam model adalah 115 peubah. Metode estimasi yang digunakan adalah metode 2-SLS, adapun simulasi yang dilakukan menggunakan solusi dari nilai-nilai lag variabel (simulasi dinamik). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer SAS/ETS for windows versi 9.1. Hasil pendugaan model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Berdasarkan kriteria ekonomi, seluruh arah dan besaran sesuai dengan teori ekonomi. Berdasarkan kriteria statistika, hasil pendugaan model menunjukkan bahwa sebanyak 89.47 persen (17 persamaan) dari 19 persamaan struktural mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) berkisar 0.64628 – 0.98658, yang berarti secara umum kemampuan peubah-peubah penjelas (predetermined variable) yang ada di dalam persamaan perilaku untuk menjelaskan keragaman nilai peubah endogen (endogenous variable) cukup tinggi. Besarnya nilai probabilitas |F| yang kurang dari 0.05, kecuali pada persamaan konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ) menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang dimasukkan dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama berpengaruh kuat terhadap keragaman peubah endogennya, berbeda nyata pada taraf probabilitas 1 – 5 persen. Arah dan besaran nilai parameter dugaan semua peubah penjelas sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi, meskipun hasil uji t-statistik menunjukkan masih ada beberapa peubah penjelas yang berpengaruh tidak nyata
pada taraf probabilitas 15 persen. Hasil uji statistik probabilitas |T| pada 93 peubah predetermine menunjukkan sebanyak 66.667 persen peubah predetermine (62 peubah) berpengaruh nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Arah peubah ekspektasi (lag endogen) setiap persamaan sesuai dengan harapan, sedangkan besarannya sebanyak 93.333 persen (1 peubah dari 15 peubah lag endogen) sesuai dengan harapan yaitu 0 < γ < 1. Sementara itu, berdasarkan kriteria ekonometrika hasil uji statistik Durbin-h menunjukkan sebanyak 68.42 persen persamaan perilaku tidak mengalami serial korelasi, yang ditandai oleh nilai Dh berkisar antara -1.96 dan 1.96 pada taraf probabilitas 0.05 persen. Sementara itu, berdasarkan hasil pengujian multikolinieritas diketahui bahwa semua persamaan perilaku dalam model tidak mengalami multikolinieritas secara serius. Hasil simulasi menunjukkan bahwa (1) pertumbuhan ekonomi yang disertai peningkatan pendapatan regional riil memberi konsekuensi meningkatnya persaingan lahan sawah ke penggunaan lain yang memberi nilai rente lahan yang lebih tinggi; (2) konversi lahan sawah mengakibatkan penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita, namun dampak negatif ini under-estimate karena konversi lahan sawah yang terjadi selama ini dikompensasi oleh impor; (3) konversi lahan sawah yang terjadi di wilayah Jawa memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap akses pangan per kapita dibandingkan dengan di luar Jawa; (4) kebijakan harga yang bertujuan untuk mendorong petani meningkatkan produktivitas dan luas areal pertanaman padinya dinilai tidak efektif jika pemerintah masih melakukan impor; dan (5) alternatif kombinasi kebijakan melalui instrumen peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen, penurunan harga pupuk Urea sebesar 10 persen dan penurunan kuota impor sebesar 37.5 persen, dapat meningkatkan ketersediaan dan akses pangan per kapita masing-masing sebesar 1.658 persen dan 0.019 persen, serta memberikan surplus terbesar kepada petani dan pemerintah, sekalipun konsumen menanggung kerugian sebesar Rp3.142 miliar. Surplus produsen yang diperoleh dari implementasi alternatif kebijakan ini adalah sebesar Rp17.944 miliar. Sementara itu, pemerintah memperoleh penerimaan dari tarif impor sebesar Rp109.11 juta, dengan net surplus sebesar Rp14.911 miliar. Oleh karena itu, kombinasi kebijakan ini dinilai sebagai kombinasi kebijakan terbaik. Implikasi kebijakan yang perlu dilakukan, antara lain: (1) perkembangan wilayah selama ini yang terpusat di Jawa harus segera diarahkan ke luar Jawa untuk mengurangi konversi lahan sawah di Jawa, selain untuk mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan; (2) pemerintah harus prioritas melindungi lahan pangan agar tetap dimanfaatkan untuk memproduksi pangan; (3) pemerintah harus memberlakuan sanksi yang tegas bagi siapapun yang melanggar peraturan/perundangan terkait dengan konversi lahan sawah; (4) pemerintah harus menghitung ulang neraca sumberdaya lahan sawah di Indonesia sehingga keterbatasan data tersebut dapat teratasi, mengingat pentingnya data tersebut untuk mengevaluasi pengelolaan sumberdaya lahan sawah dan implementasi kebijakan; dan (5) pemerintah harus mengurangi impor dalam jangka panjang dengan meningkatkan produksi dalam negeri, melalui kebijakan pemerintah yang menstimulasi petani untuk terus berusaha tani, seperti menaikkan harga gabah petani dan meningkatkan subsidi input. Kata kunci: akses pangan, beras, ketersediaan pangan, konversi lahan sawah
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA DAN LUAR JAWA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN AKSES PANGAN NASIONAL
ERNI PURBIYANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Pimpinan Ujian Tesis/Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian: Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, yang atas izin-Nya pula penulis diberi kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian mengenai dampak konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam memetakan dan menentukan arah pembangunan pertanian kedepan. Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada: 1. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. I Ketut Kariyasa, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, saran, masukan, dan motivasi bagi perbaikan dan penyelesaian penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. sebagai Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan pengarahan selama proses belajar dan masukan dalam penyelesaian penulisan tesis ini. 3. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. selaku Penguji Luar Komisi, yang telah memberikan kritik dan masukan dalam penajaman tesis ini. 4. Rektor, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Agribisnis Universitas Sriwijaya yang telah memberikan izin untuk melanjutkan studi dan bantuan dana penelitian dalam penulisan tesis ini. 5. Prof. Ir. H. Fachrurrozie Sjarkowi, M.Sc., Ph.D., yang telah memberikan rekomendasi, pengarahan, bimbingan, motivasi, serta kesempatan untuk banyak belajar sejak penulis menjadi mahasiswa bimbingan skripsi hingga saat ini. 6. Segenap dosen di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, khususnya pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, yang telah memperkaya dan memperdalam ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis, serta memberikan banyak inspirasi dalam proses belajar-mengajar.
7. Keluarga besar Ibu Winarsih yang telah banyak membantu penulis selama penyelesaian studi di Bogor. 8. Rekan-rekan seperjuangan S2 EPN 2010: Pak Ujang, Ardhiyan, Danil, Kanti, Fanny, dan Rena, beserta rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana IPB atas diskusi, dukungan dan motivasinya; tak-terkecuali rekan dan kolega di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. 9. Keluarga besar mertua Bapak Abu Haris Fabila (Alm.) dan Ibu Robi’ah (almh.), beserta kakak-kakak dan adik-adik tersayang, atas dukungan dan doa yang selalu dipanjatkan. Secara khusus, dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang, penulis menghaturkan terima kasih yang tak-terhingga kepada kedua orang tua tercinta, ibu dan bapak, yang tidak pernah lelah mendoakan, mendukung dan memberikan yang terbaik bagi keberhasilan penulis hingga saat ini, termasuk menjaga kedua ananda tersayang (Mahira & Faaza) selama penulis melanjutkan studi di Bogor. Terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada suami terkasih, Budianto, S.T., dan ananda tersayang (Mahira Fathiyyah Annasywa, Faaza Fathan Akbar, dan Almira Fathiyyah Annamiyah), yang selalu mendukung dan memahami dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, serta tidak pernah putus mendoakan penulis. Penulis menyadari tesis ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian besar harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Februari 2013
Erni Purbiyanti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan, pada 10 Pebruari 1978 dari Bapak Slamet Riyanto, B.A. dan Ibu Sri Hartati, A.Md. Penulis merupakan puteri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMAN 3 Palembang dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Ogan Ilir, dan lulus pada tahun 2001. Selama tahun 2001 – 2003, penulis pernah bekerja magang di beberapa instansi pemerintahan di Provinsi Sumatera Selatan (Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan; Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil & Menengah dan Penanaman Modal; serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Selanjutnya pada tahun 2004 – 2005, penulis tergabung dalam Proyek Pemantapan Citra Pariwisata pada Kementerian Budaya dan Pariwisata, Jakarta. Sejak diterima sebagai CPNS pada tahun 2008, penulis menjadi staf pengajar di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Ogan Ilir. Kemudian pada tahun 2010, penulis memperoleh Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk melanjutkan studi program Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
xxvii
I
II
III
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................. 1.2 Perumusan Masalah ...................................................... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................... 1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................ TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ............................................................................ 2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan …………………....... 2.3 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan …………… 2.4 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan .................................... KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis .......................................................... 3.1.1 Teori Rente Lahan .............................................. 3.1.2 Teori Produksi .................................................... 3.1.3 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan ........................ 3.1.4 Teori Permintaan ................................................ 3.1.5 Elastisitas ........................................................... 3.1.6 Konsep Surplus Produsen dan Surplus Konsumen .......................................................... 3.1.7 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Perubahan Tingkat Kesejahteraan ..................... 3.1.8 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Perubahan Tingkat Kesejahteraan .................................................... 3.1.8.1 Kebijakan Harga ................................... 3.1.8.2 Kebijakan Impor ................................... 3.2 Kerangka Konseptual .................................................... 3.3 Hipotesa ........................................................................
1 7 12 13
15 17 21 24
25 25 27 29 30 33 34 36
37 37 39 43 45
xviii IV
V
PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS 4.1 Spesifikasi Model 4.1.1 Blok Konversi Lahan Sawah 4.1.1.1 Luas baku Sawah ............................... 4.1.1.2 Konversi Lahan Sawah ...................... 4.1.2 Blok Ketersediaan Pangan 4.1.2.1 Luas Areal Panen Padi ....................... 4.1.2.2 Produktivitas Padi .............................. 4.1.2.3 Produksi Padi ..................................... 4.1.2.4 Impor Beras Indonesia ....................... 4.1.2.5 Penawaran Beras Indonesia ............... 4.1.2.6 Jumlah Beras Susut Indonesia ........... 4.1.2.7 Ketersediaan Beras Indonesia ............ 4.1.3 Blok Akses Pangan 4.1.3.1 Permintaan Beras Indonesia ............... 4.1.3.2 Marjin Pemasaran Beras .................... 4.1.3.3 Harga Riil (Gabah) Pembelian Pemerintah ......................................... 4.1.3.4 Harga Riil Gabah di Tingkat Petani ... 4.1.3.5 Harga Riil Beras Eceran Indonesia .... 4.1.3.6 Inflasi Bahan Makanan ...................... 4.1.3.7 Akses Pangan per Kapita ................... 4.1.3.8 Penerimaan Pemerintah dan Devisa Negara ................................................ 4.2 Prosedur Analisis 4.2.1 Identifikasi Model .............................................. 4.2.2 Metode Pendugaan Model ................................. 4.2.3 Validasi Model ................................................... 4.2.4 Simulasi Model .................................................. 4.2.5 Respon Bedakala Produksi Komoditas Pertanian ............................................................ 4.2.6 Elastisitas ........................................................... 4.2.7 Perubahan Tingkat Kesejahteraan ...................... 4.2.8 Jenis dan Sumber Data ....................................... HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model .................... 5.2 Keragaan Hasil Pendugaan Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia ...................................................... 5.2.1 Konversi Lahan Sawah ...................................... 5.2.2 Luas Areal Panen Padi ....................................... 5.2.3 Produktivitas Padi .............................................. 5.2.4 Impor Beras Indonesia ....................................... 5.2.5 Ketersediaan Beras per Kapita ........................... 5.2.6 Permintaan Beras Indonesia ............................... 5.2.7 Harga Riil (Gabah) Pembelian Pemerintah ........ 5.2.8 Harga Riil Gabah Tingkat Petani ....................... 5.2.9 Harga Riil Beras Eceran di Indonesia ................
47 49 49 50 51 51 53 54 56 57 58 58 59 59 60 61 62 62 63 64 64 65 65 67 72 73 77 78 78 79
81 83 83 87 92 98 101 103 104 106 109
xix 5.2.10 Inflasi Bahan Makanan ..................................... 5.2.11 Akses Pangan per Kapita .................................. VI
VII
ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN 6.1 Validasi Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia ....................................................................... 6.2 Evaluasi Dampak Alternatif kebijakan Ekonomi terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia Periode 1990 – 2010 ..................................................... 6.2.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia dalam Kondisi dengan dan tanpa Impor .................................................................. 6.2.1.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa ............. 6.2.1.2 Konversi Lahan Sawah di Luar Jawa .... 6.2.1.3 Konversi Lahan Sawah di Indonesia ..... 6.2.2 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kebijakan Harga ................................................. 6.2.3 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kombinasi Kebijakan Harga dan Impor ............. 6.3 Evaluasi Dampak Alternatif kebijakan Ekonomi terhadap Tingkat Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Beras di Indonesia Periode 1990 – 2010 ...................... 6.3.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia dalam Kondisi dengan dan tanpa Impor .................................................................. 6.3.1.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa ............. 6.3.1.2 Konversi Lahan Sawah di Luar Jawa .... 6.3.1.3 Konversi Lahan Sawah di Indonesia ..... 6.3.2 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kebijakan Harga ................................................. 6.3.3 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kombinasi Kebijakan Harga dan Impor .............
111 112
115
117
118 118 125 130
135
138
141
142 142 144 146
148
150
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1 Kesimpulan ................................................................... 7.2 Implikasi Kebijakan ......................................................
153 155
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
157
LAMPIRAN ......................................................................................
163
xx
xxi
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman
Laju pertumbuhan lahan sawah di Jawa dan luar Jawa, 2005 – 2009 ...........................................................................................
1
2.
Laju pertumbuhan ketersediaan beras per kapita, 2006 – 2010
5
3.
Peraturan/perundangan terkait dengan konversi lahan pertanian ………………………………………………………
10
4.
Perbedaan antara HDG dan HPP ..............................................
23
5.
Dampak konversi lahan sawah terhadap perubahan indikator kesejahteraan .............................................................................
37
Dampak kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) terhadap perubahan indikator kesejahteraan ............................................
38
Dampak kebijakan tarif impor terhadap indikator kesejahteraan .............................................................................
40
Dampak kebijakan kuota impor terhadap indikator kesejahteraan .............................................................................
42
Hasil pendugaan parameter konversi lahan sawah di Jawa (KLSJ) .......................................................................................
84
Hasil pendugaan parameter konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ) ....................................................................................
85
Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di Jawa (LAPJ) .......................................................................................
88
Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di Luar Jawa (LAPLJ) ....................................................................................
89
Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di Indonesia (LAPI) .......................................................................................
91
14.
Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di Jawa (YPPJ)
93
15.
Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di luar Jawa (YPPLJ) .....................................................................................
96
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
xxii 16.
Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di Indonesia (YPPI) .......................................................................................
98
Hasil pendugaan parameter jumlah impor beras di Indonesia (JMBI) .......................................................................................
99
Hasil pendugaan parameter harga riil impor beras di Indonesia (HMBIR) ...................................................................................
101
Hasil pendugaan parameter ketersediaan beras per kapita (TSBKPK) .................................................................................
102
Hasil pendugaan parameter permintaan beras Indonesia (QDBI) ......................................................................................
104
Hasil pendugaan parameter harga riil (gabah) pembelian pemerintah (HPPGR) ................................................................
105
Hasil pendugaan parameter harga riil gabah di tingkat petani di Jawa (HGTTJR) ....................................................................
106
Hasil pendugaan parameter harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa (HGTTLJR) ..........................................................
108
Hasil pendugaan parameter harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia (HGTTIR) .............................................................
109
Hasil pendugaan parameter harga riil beras eceran di Indonesia (HBEIR) ...................................................................
110
26.
Hasil pendugaan parameter inflasi bahan makanan (IBM) .......
111
27.
Hasil pendugaan parameter akses pangan per kapita (PPPKIR)
112
28.
Hasil pengujian validasi Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia ..................................................................
116
Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010
125
Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010
130
Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010
135
Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010
138
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
29.
30.
31.
32.
xxiii 33.
34.
35.
36.
37.
38.
Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010
141
Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 …………………...
144
Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 ……………….......
146
Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 …………………...
148
Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 ...…………………
149
Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 …………………...
152
xxiv
xxv
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman
Laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa dan luar Jawa, 2001 – 2010 .....................................................................
4
2.
Peta residu beras di Indonesia, 2008 ........................................
6
3.
Ilustrasi rente lahan pada berbagai kualitas lahan .....................
25
4.
Penentuan locational rent function menurut model Von Thunen ......................................................................................
26
5.
Dampak konversi lahan sawah terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional ...............................................................
30
6.
Kurva permintaan ......................................................................
31
7.
Surplus produsen dan surplus konsumen ..................................
35
8.
Dampak konversi lahan sawah terhadap perubahan surplus produsen dan surplus konsumen ……………………………
36
9.
Kurva harga dasar yang efektif …………………………….....
38
10.
Dampak tarif impor terhadap perubahan tingkat kesejahteraan .............................................................................
40
11.
Dampak kuota impor terhadap perubahan tingkat kesejahteraan .............................................................................
41
Kerangka konseptual model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia ...............................................................................
43
13.
Kerangka pemikiran operasional penelitian ..............................
44
14.
Bagan keterkaitan antarpeubah dalam model ...........................
48
12.
xxvi
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia ........
163
2.
Data Peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
164
Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
165
Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
166
Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
167
Data peubah ketersediaan dan akses Pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
168
Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
169
Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
170
Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
171
Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) ...................................................................................
172
Nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang pada setiap peubah dalam bentuk rasio dan perkalian .................................
173
12.
Program Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia..
174
13.
Hasil pendugaan Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan Metode 2-SLS ..............................................
181
Program multikolinieritas Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia …………………………………………..
194
Hasil multikolinieritas Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia …………………………………………………
195
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
14.
15.
xxviii 16.
Program validasi model dan simulasi dasar ..............................
206
17.
Hasil validasi model dan simulasi dasar ...................................
209
18.
Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor …….......
213
Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……........
220
Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……........
221
Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……........
222
Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……........
223
Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 ……........
224
19.
20.
21.
22.
23.
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sawah memiliki fungsi strategis karena merupakan penyedia bahan pangan utama bagi penduduk Indonesia, disamping sebagai lingkungan biofisik paling optimal bagi tanaman padi. Data statistik menunjukkan luas baku sawah di Indonesia (tidak termasuk di Maluku dan Papua), pada tahun 1980 tercatat seluas 7.7 juta hektar. Pada tahun 1990 luas baku sawah tersebut bertambah menjadi 8.3 juta hektar. Selama tahun 1980 – 1990 luas baku tersebut cenderung meningkat sebesar 7.86 persen, sebaliknya tahun 1990 – 2000 menurun sebesar 9.41 persen. Hal ini disebabkan terjadinya konversi lahan sawah, sehingga terjadi pengurangan lahan baku sawah seluas 0.8 juta ha dalam satu dekade. Luas baku sawah tahun 2009 tercatat seluas 8.1 juta hektar yang berarti terjadi peningkatan sebesar 7.08 persen selama tahun 2000 – 2009. Pertambahan luasan tersebut dimungkinkan karena belum memperhitungkan adanya konversi lahan sebagai dampak pesatnya pembangunan (Wahyunto, 2009). Jika didisagregasi berdasarkan wilayah, maka luas baku lahan sawah yang ada berada di Jawa sekitar 40.33 persen, dan sisanya sekitar 59.67 persen terdapat di luar Jawa (BPS, 1981 – 2011). Laju pertumbuhan luas baku sawah di Jawa dan luar Jawa selama beberapa tahun terakhir disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Laju pertumbuhan lahan sawah di Jawa dan luar Jawa, 2005-2009 (%) Jenis Lahan Sawah
Laju Pertumbuhan per Tahun (%) 2005 – 2006 2006 – 2007 2007 – 2008 2008 – 2009
a. Sawah Irigasi - Jawa - Luar Jawa - Indonesia b. Sawah Non-Irigasi - Jawa - Luar Jawa - Indonesia Sumber: BPS (2005-2009), diolah.
-0.410 0.420 -0.020
0.320 2.140 1.180
0.590 3.790 2.120
0.160 2.840 1.460
0.880 1.800 1.570
-0.150 0.450 0.300
1.060 1.150 1.130
-2.930 0.980 0.000
2
Berdasarkan data statistik diketahui bahwa luas baku lahan sawah di Jawa cenderung menurun, sementara luas lahan sawah di luar Jawa meningkat dalam tiga dekade tahun terakhir ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa telah terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan lain non-pertanian di Jawa. Namun demikian, sampai saat ini data konversi belum tersedia secara akurat. Sumaryanto et al. (2006) menyebutkan bahwa ketidak-akuratan data konversi diakibatkan lemahnya sistem pemantauan dan dokumentasi konversi lahan sawah. Sementara itu, di luar Jawa konversi lahan masih bisa diimbangi dengan pencetakan sawah baru, walaupun upaya pencetakan sawah baru ini juga memiliki keterbatasan. Secara umum, terdapat dua sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk mengkaji luas konversi lahan sawah, yaitu: (a) kompilasi data konversi lahan yang dilakukan oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), Dinas Pertanian, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), atau (b) data tahunan luas lahan sawah yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan konversi lahan sawah ditunjukkan oleh perubahan luas sawah antartahun yang bertanda negatif (Irawan, 2011). Berdasarkan data yang disepakati, rata-rata lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan lain dalam beberapa tahun terakhir ini sekitar 110 ribu hektar per tahun, yang mencakup konversi ke penggunaan non-pertanian dan ke penggunaan lahan untuk usahatani non-sawah (Bappenas, 2010). Sedangkan berdasarkan data luas baku lahan sawah dalam tiga dekade terakhir, rata-rata konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa sebesar 8 346.65 hektar per tahun dan di luar Jawa sebesar 2 269.75 hektar per tahun, sehingga luas baku lahan sawah terkonversi rata-rata setiap tahunnya mencapai luasan 10 616.4 hektar per tahun (BPS, 1990-2011). Alih fungsi (konversi) lahan pertanian pada intinya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian (Irawan, 2008). Persaingan terhadap pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu: 1) pertambahan penduduk; 2) pertumbuhan ekonomi; dan 3) ketidak-seimbangan antara penawaran sumber daya lahan yang bersifat terbatas dengan permintaan lahan bersifat tak terbatas. Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini sekitar 1.49 persen per tahun atau
3
berkisar tiga juta jiwa per tahun. Peningkatan laju pertambahan penduduk yang masih tinggi menuntut adanya penyediaan pangan yang semakin banyak setiap tahun, selain juga tuntutan kualitas, keamanan, dan keragaan pangan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan untuk penggunaan non-pertanian sebagai konsekuensi logis dari perkembangan wilayah, dimana lahan akan dimanfaatkan sesuai kaidah pemanfaatan terbaik dengan hasil tertinggi (the best and the highest use of land). Hal ini menyebabkan pergeseran penggunaan lahan pada aktivitas ekonomi yang memberikan keuntungan per satuan lahan yang jauh lebih tinggi (Bappenas, 2006). Dari sudut pandang ekonomi, konversi lahan pertanian disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1) tarikan permintaan lahan untuk kegiatan nonpertanian; dan 2) dorongan penawaran lahan pertanian oleh petani pemilik lahan. Kedua prilaku permintaan dan penawaran lahan pertanian tersebut tidak terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi, sosial, dan pengembangan wilayah (Irawan, 2008). Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan, terutama bagi sektor pertanian, yang sampai saat ini masih merupakan penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Terdapat sekitar 42 persen dari total angkatan kerja bekerja di sektor pertanian pada tahun 2010. Di sektor pertanian khususnya tanaman pangan, usahatani padi merupakan penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta rumah tangga pertanian. Oleh sebab itu, konversi lahan sawah tidak hanya menyebabkan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap, tetapi juga buruh tani. Butar-butar (2012) menyebutkan bahwa konversi lahan sawah irigasi teknis di Jawa Barat menyebabkan hilangnya penyerapan tenaga kerja dengan pola tiga kali tanam senilai 48.26 juta HOK selama tahun 2001 – 2010 (1 HOK = 6 jam). Di sisi lain, konversi lahan sawah mampu menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan kepada pihak lain. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat lokal (pemilik tanah semula dan buruh tani) banyak sekali yang tidak dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi yang baru (Sumaryanto et al., 2006). Kondisi ini menyebabkan pergeseran struktur tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain secara informal.
4
Selain berdampak terhadap hilangnya kesempatan kerja, baik petani penggarap maupun buruh tani, sangat disayangkan pula bahwa konversi lahan sawah justru terjadi pada lahan-lahan yang mempunyai produktivitas tinggi di Jawa dan di sekitar kota-kota besar yang merupakan pusat pembangunan di luar Jawa (Simatupang & Rusastra, 2004). Tampak bahwa Jawa dengan sebaran luas lahan sawah sekitar 40 persen dari total luas lahan sawah di Indonesia mempunyai produktivitas tertinggi. Dengan demikian, lahan sawah di Jawa sesungguhnya merupakan andalan pemasok utama beras nasional (sebesar 60 persen). Namun dalam jangka menengah, peningkatan produksi pangan melalui peningkatan produktivitas semata tidaklah memadai. Hal ini dikarenakan produktivitas padi mengalami leveling-off. Laju pertumbuhan produktivitas padi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terus berfluktuatif dan cenderung mengalami penurunan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Sumber: BPS (2001-2011), diolah.
Gambar 1 Laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa dan luar Jawa, 2001 – 2010. Laju konversi lahan yang tidak terkendali dan hambatan dalam peningkatan produktivitas padi (leveling-off) merupakan faktor utama yang melemahkan program ketahanan pangan (Irawan, 2005). Ketahanan pangan yaitu
5
kondisi dimana setiap individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat, harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam UU No. 7/1996 tentang Pangan dan PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan (Kementan, 2011). Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan terdiri atas tiga subsistem 1 , yaitu: (1) ketersediaan pangan; (2) akses pangan; dan (3) penyerapan pangan. Konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak negatif terhadap dua subsistem ketahanan pangan yang pertama, yaitu: ketersediaan pangan dan akses pangan. Ketersediaan pangan domestik diperoleh dari produksi ditambah impor dikurangi kebutuhan untuk konsumsi pakan, benih, dan tercecer, serta ekspor. Laju pertumbuhan ketersediaan beras pada tahun 2005-2009 adalah sebesar 3.5 persen, dengan laju yang sangat signifikan pada tahun 2008 – 2009 sebesar 2.95 persen (DKP, 2011). Namun tidak demikian dengan ketersediaan beras per kapita yang cenderung mengalami penurunan akibat laju pertumbuhan penduduk yang masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ketersediaan beras. Laju pertumbuhan ketersediaan beras per kapita disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Laju pertumbuhan ketersediaan beras per kapita, 2006-2010 Uraian
Tahun 2006
Ketersediaan beras (000 ton) Penduduk (000 jiwa) Laju pertumbuhan ketersediaan per kapita (%)
30 841.000
2007 32 312.000
2008 34 166.000
2009 35 174.000
2010 35 420.200
223 791.320 227 176.250 230 612.370 234 100.470 237 641.330 -0.010
0.030
0.040
0.010
-0.010
Sumber: DKP (2011), diolah.
Selanjutnya, aspek aksesibilitas pangan yang dapat diartikan sebagai kemampuan akses, baik secara fisik maupun ekonomik, terhadap sumber pangan 1
http://www.lecture.brawijaya.ac.id/nuhfil. Nuhfil Hanani AR (Guru besar pada Prodi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional; Ketua Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Jawa Timur).
6
secara sosial dan demografis sepanjang waktu dan di mana saja. Akses secara fisik terkait dengan distribusi pangan. Beragamnya kondisi sumber daya alam dan iklim menyebabkan perbedaan kemampuan daerah dalam memproduksi bahan pangan, utamanya beras (Gambar 2). Gambar tersebut menunjukkan bahwa mayoritas daerah di Jawa merupakan surplus beras, sedangkan di luar Jawa hanya beberapa daerah saja yang mengalami surplus beras. Sebaran wilayah sentra produksi beras yang tidak sejalan dengan sebaran wilayah pasar dan sentra konsumen tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam hal distribusi pangan. Sementara itu, indikator keberhasilan dalam distribusi pangan adalah pada saat pangan telah sampai ke tangan konsumen (DKP, 2011). Sementara itu, akses secara ekonomi terkait dengan harga pangan dan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat. Harga beras medium di tingkat eceran mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama tahun 2005 – 2010, yaitu: Rp3 475.00/kg; Rp4 463.00/kg; Rp5 158.00/kg; Rp5 485.00/kg; Rp5 978.00/kg; dan Rp7 227.00/kg 2 . Hal ini mengakibatkan tingginya inflasi bahan makanan, yang kemudian akan berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat.
Sumber: Nuryartono & Prasetyo (2009)
Gambar 2 Peta residu beras di Indonesia, 2008.
2
http://www. kemendag.go.id.
7
Ketahanan pangan nasional membutuhkan lahan pertanian dengan kuantitas dan kualitas yang memadai secara berkelanjutan. Ketersediaan pangan yang menurun akan mengakibatkan penurunan akses terhadap pangan tersebut. Sebagai salah satu faktor kunci dalam sistem produksi pertanian, ketersediaan lahan masih menjadi tantangan berat dalam pembangunan pertanian hingga saat ini karena sifatnya yang terbatas. Oleh karena itu, konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang mengarah pada kemandirian pangan. Untuk itu, dilakukan untuk
penelitian ini penting
menganalisis dampak konversi lahan sawah yang terjadi
terhadap ketersediaan dan aksesibilitas pangan nasional, mengingat saat ini Indonesia menempati urutan ke-4 dunia dalam banyaknya jumlah penduduk, yang memberi konsekuensi terhadap tingginya permintaan konsumsi pangan. 1.2 Perumusan Masalah Sampai dengan pertengahan dasawarsa 80-an, masalah konversi lahan sawah belum menjadi isu kebijakan yang penting. Isu kebijakan mengenai perlunya pengendalian konversi lahan sawah baru mengemuka sejak akhir dasawarsa 80-an ketika defisit beras mulai terasa, yang hanya berselang sekitar tiga tahun setelah swasembada beras tercapai pada tahun 1984. Konversi lahan sawah dinilai sangat dilematis. Satu sisi, pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan untuk penggunaan non-pertanian sebagai konsekuensi logis dari perkembangan wilayah, dimana alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi (Barlowe, 1978). Namun di sisi lain, lahan sawah merupakan faktor produksi penting yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh yang lain, dimana konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, rata-rata konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa sebesar 8 346.65 hektar per tahun dan di luar Jawa sebesar 2 269.75 hektar per tahun, sehingga luas lahan sawah terkonversi rata-rata setiap tahunnya mencapai luasan 10 616.4 hektar per tahun dalam dua dekade terakhir (BPS, 1990 – 2011). Konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa memiliki karakteristik peruntukan yang berbeda. Alokasi konversi lahan sawah untuk
8
pembangunan perumahan sangat dominan di Jawa sebesar 74.96 persen, sedangkan di luar Jawa konversi lahan sawah tersebut sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik sebesar 43.59 persen dan pembangunan perumahan sebesar 31.92 persen (Irawan, 2005). Laju pertumbuhan penduduk yang masih mencapai 1.49 persen per tahun juga menyebabkan permintaan terhadap lahan sawah semakin tinggi, baik lahan sawah sebagai salah satu fungsi produksi padi maupun lahan sawah sebagai komoditas untuk perumahan, pariwisata, dan sebagainya. Jika didekomposisi, pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor, yaitu: 1) pertambahan areal panen melalui pencetakan sawah baru; dan 2) peningkatan produktivitas (Sumaryanto et al., 2006). Berdasarkan data empiris, lahan yang baru dibuka mempunyai produktivitas yang rendah, karena mempunyai berbagai kendala yaitu: fisik (Dariah & Agus, 2007), kimia (Setyorini et al., 2007), dan biologi (Saraswati et al., 2007), serta berbagai kendala sosial, kelembagaan, infrastruktur, dan rendahnya tingkat keuntungan. Selain itu, pencetakan sawah baru dalam rangka pemulihan produksi pangan pada kondisi semula membutuhkan jangka waktu yang lama, yaitu sekitar 5 – 10 tahun dan biaya investasi yang sangat besar. Dengan demikian, lahan sawah yang baru dibuka tidak dapat digunakan secara optimal (Swastika et al., 2007). Sementara itu, penelitian Adimiharja et al. (2004) juga menyebutkan bahwa penurunan produksi padi secara nasional akibat konversi lahan sawah masih sulit diimbangi dengan upaya peningkatan perluasan areal sawah di luar Jawa. Menurut perhitungan kasar, untuk mensubstitusi hilangnya produksi padi dari satu hektar lahan sawah beririgasi di Jawa diperlukan sekitar 4 – 5 hektar lahan sawah baru di luar Jawa. Produktivitas padi di Jawa lebih tinggi yaitu sebesar 5.580 ton/ha dibandingkan di luar Jawa sebesar 4.207 ton/ha (BPS, 2011). Namun demikian, peningkatan produktivitas usahatani padi ini sulit dilakukan akibat stagnasi inovasi teknologi,yang ditandai oleh laju kenaikan produktivitas yang semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh laju produktivitas padi di Jawa yang mengalami penurunan terutama pada tahun 2008 – 2010, yaitu sebesar 3.309, 2.611, dan -0.564 persen. Laju produktivitas padi di luar Jawa juga mengalami penurunan dalam kurun tiga tahun tersebut, yaitu sebesar 2.591, 2.497 dan 0.896
9
persen. Data empiris membuktikan bahwa semakin tinggi produktivitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula kerugian yang terjadi. Kerugian itu berupa hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5 – 12.5 ton per hektar per tahun, tergantung pada kualitas lahan sawah yang bersangkutan (Soemaryanto et al., 2006). Perhitungan kerugian ini hanya berdasarkan kesempatan produksi padi yang hilang, belum memperhitungkan kerugian sosial, budaya dan lingkungan. Konversi lahan sawah di Jawa yang hampir tiga kali lipat lebih besar dengan produktivitas padi yang juga lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa, merupakan ancaman serius bagi ketersediaan produksi pangan dalam negeri. Terlebih Jawa merupakan penghasil sekitar 60 persen produksi padi nasional. Kondisi ini semakin memperparah dampak konversi lahan sawah, disamping dampaknya yang bersifat permanen, kumulatif dan progresif (Irawan, 2005). Selama ini peraturan/perundangan yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian sudah banyak dibuat. Setidaknya ada 11 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah ini (Tabel 3). Namun hingga saat ini pengendalian konversi lahan pertanian belum optimal. Permasalahan di lapangan terlalu kompleks, sehingga kebijakan yang dibuat haruslah sistemik. Implementasi peraturan/perundangan tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan adalah: 1) kebijakan yang kontradiktif; 2) cakupan kebijakan yang terbatas; dan 3) kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003). Kelemahan lain yang ada adalah: 1) obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; 2) peraturan yang ada lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; 3) jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena izin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi (Simatupang & Irawan, 2002).
10
Tabel 3 Peraturan/perundangan terkait dengan konversi lahan pertanian No.
Peraturan/Perundangan
1
UU No.24/1992
Penyusunan RTRW harus mempertimbangkan budidaya pangan/SIT (sawah irigasi teknis)
2
Kepres No.53/1989
Pelarangan konversi SIT/tanah pertanian subur untuk pembangunan kawasan industri
3
Kepres No.33/1990
Pelarangan pemberian izin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi pembangunan kawasan industri
4
SE-MNA/KBPN 410-1851/1994
Pencegahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non-pertanian melalui penyusunan RTRW
5
SE-MNA/KBPN 410-2261/1994
Pemberian izin lokasi tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis (SIT)
6
SE/KBAPPENAS 5334/MK/9/1994
Pelarangan konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non-pertanian
7
SE-MNA/KBPN 5335/MK/1994
Penyusunan RTRW Dati II melarang konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non-pertanian
8
SE-MNA/KBPN 5417/MK/10/1994
Efisiensi pemanfaatan lahan pembangunan perumahan
9
SE-MENDAGRI 474/4263/SJ/1994
Perlindungan sawah irigasi teknis untuk mendukung swasembada pangan
10
SE-MNA/KBPN 460-1594/1996
Pencegahan konversi tanah sawah dan irigasi teknis menjadi tanah kering
11
UU No. 41/ 2009 3
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
12
PP No. 12/2012 4
Insentif perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
Sumber: Bappenas (2006)
3 4
Garis Besar Isi (khususnya yang terkait dengan konversi lahan pertanian)
Http://www.perundangan.deptan.go.id Http://www.psp.deptan.go.id
bagi
11
Selain konversi lahan sawah dan produktivitas padi, permasalahan distribusi pangan juga menjadi hambatan dalam ketahanan pangan. Kementan (2011) mengidentifikasi penyebab utama kurangnya bahan pangan di suatu wilayah, yaitu terkait dengan permasalahan: 1) dukungan infrastruktur yang minim; 2) sarana transportasi yang terbatas; 3) sistem transportasi yang kurang efektif dan efisien; dan 4) masalah keamanan dan pungutan liar. Distribusi pangan yang tidak merata menyebabkan tingginya harga dan inflasi bahan pangan. Data inflasi bahan makanan selama tahun 2005 – 2010 masing-masing adalah sebagai berikut: 13.91, 12.94, 11.26, 16.35, 3.88, dan 15.64 persen. Inflasi bahan makanan di Indonesia yang mencapai di atas 10 persen ini dinilai masih tinggi. Sementara itu, tidak hanya permasalahan di atas yang menjadi perhatian pemerintah di dalam pembangunan pertanian. Untuk mencapai suatu tujuan dalam pembangunan pertanian, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan sekaligus, seperti kebijakan ekonomi dan perdagangan. Sejak meratifikasi perjanjian GATTWTO pada tahun 1995, Indonesia dihadapkan pada konsekuensi logis untuk melakukan liberalisasi perdagangan melalui komitmen penghapusan segala bentuk proteksi dalam perdagangan. Kebijakan ekonomi di sektor pertanian yang terkait bidang produksi dan perdagangan, antara lain: kebijakan subsidi dan kebijakan impor. Kebijakan subsidi terdiri dari: a) subsidi harga input, seperti: pupuk dan benih; b) subsidi modal kerja; dan c) subsidi harga output, seperti: harga dasar dan harga atap. Sementara itu, kebijakan impor meliputi: kebijakan tarif impor dan kebijakan kuota impor. Kebijakan-kebijakan ini sedikit demi sedikit dihapuskan dengan alasan telah mengakibatkan terjadinya distorsi pasar yang merugikan produsen dan konsumen. Implementasi berbagai kebijakan ekonomi di sektor pertanian tersebut tentu akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional, serta tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan tersebut disimulasi untuk melihat dampaknya terhadap perubahan ketersediaan dan akses pangan nasional, dan juga terhadap perubahan indikator kesejahteraan pelaku ekonomi di Indonesia. Mengingat berbagai permasalahan krusial yang telah dipaparkan, disamping berbagai peraturan/perundangan yang diimplementasikan dalam upaya mengendalikan konversi lahan pertanian sawah hingga saat
12
ini belum berhasil secara optimal, maka penelitian ini penting dilakukan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan berikut ini: 1
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa?
2
Bagaimanakah dampak konversi lahan sawah yang terjadi terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional?
3
Bagaimanakah dampak implementasi berbagai alternatif kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional?
4
Bagaimanakah dampak implementasi berbagai alternatif kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi beras di Indonesia?
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah di Indonesia terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian. Untuk menjawab tujuan umum tersebut, maka didahului dengan pencapaian tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu: 1
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa.
2
Menganalisis dampak konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional.
3
Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional.
4
Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap perubahan surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah, sebagai indikator tingkat kesejahteraan. Manfaat penelitian ini mencakup dua hal pokok, yaitu:
1
Manfaat akademis; penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama tentang konversi lahan sawah yang terjadi, khususnya di Jawa dan luar Jawa, beserta dampaknya terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional.
13
2
Manfaat operasional; sebagai masukan bagi pemerintah dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya lahan sawah dalam jangka panjang, sehingga pembangunan pertanian lebih komprehensif dan berkelanjutan.
1.4
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup:
1
Penelitian ini difokuskan untuk melihat dampak konversi lahan yang terjadi terhadap ketersediaan dan akses pangan yang merupakan dua aspek ketahanan pangan nasional.
2
Sehubungan diberlakukannya liberalisasi perdagangan komoditas beras, penelitian ini mempelajari juga bagaimana dampak implementasi kebijakan ekonomi di sektor pertanian, terutama bidang perdagangan produk-produk pertanian, terhadap perubahan kesejahteraan pelaku ekonomi. Karena keterbatasan data, maka untuk mencapai tujuan penelitian ini
dibangun suatu model yang merefleksikan fenomena ekonomi beras dengan membatasi hal-hal berikut: 1
Pangan hanya dibatasi pada komoditas beras saja, mengingat jenis pangan ini masih menjadi makanan pokok bagi 98 persen penduduk Indonesia.
2
Data konversi lahan sawah yang digunakan adalah data konversi lahan netto, dimana luas lahan sawah tahun t adalah luas lahan sawah tahun sebelumnya ditambah pencetakan sawah baru dikurangi konversi lahan sawah. Karena data pencetakan sawah baru dan konversi lahan sawah tidak diketahui, maka data konversi lahan sawah netto ditunjukkan oleh perubahan luas sawah antartahun yang bertanda negatif.
3
Penelitian ini menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap dua subsistem ketahanan pangan saja, yaitu: a) ketersediaan pangan, dan b) akses pangan, tidak termasuk subsistem penyerapan pangan. Konversi lahan sawah yang didorong oleh berbagai faktor dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kedua subsistem tersebut.
4
Indikator ketersediaan dan akses pangan dihitung per kapita agar lebih riil menggambarkan kemampuan masing-masing individu.
5
Ketersediaan pangan terdiri dari: a) kuantitas pangan, dan b) stabilitas pangan.
14
Penelitian ini difokuskan pada analisis kuantitas pangan, yang merupakan syarat keharusan untuk menciptakan ketahanan pangan. Kuantitas pangan dalam penelitian ini diproksi dari ketersediaan beras per kapita. Keterbatasan data terkait stabilitas pangan, yang menggambarkan ketersediaan pangan yang merata menurut tempat dan waktu, tidak dibahas dalam penelitian ini. 6
Akses pangan dibagi dua, yaitu: a) secara ekonomik, dan b) secara fisik. Akses pangan secara ekonomik, diproksi dari pendapatan penduduk Indonesia per kapita. Sementara itu, akses fisik hanya diwakili oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang diproksi dari panjang jalan nasional di Indonesia.
7
Harga beras dunia menggunakan harga beras Thailand 25 persen FOB (freight on board) Bangkok, sedangkan harga beras domestik yang digunakan adalah harga beras dengan kualitas medium karena merupakan beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.
8
Permintaan lahan sawah untuk output non-sawah diwakili oleh permintaan perumahan/bangunan. Hal ini terkait dengan keterbatasan data yang dimiliki serta merujuk pada penelitian Irawan (2005) yang menyebutkan bahwa alokasi konversi lahan sawah untuk penggunaan perumahan di Jawa memiliki persentase alokasi yang besar (74.960 persen). Selanjutnya permintaan perumahan/bangunan ini diproksi dari kontribusi sektor perumahan (data BPS tahun 1980-an), yang kemudian berganti nama menjadi sektor bangunan (data BPS tahun 1990 hingga sekarang), terhadap Produk Domestik Regional Bruto (%).
9
Permintaan dan penawaran perumahan/bangunan tidak dilakukan pemisahan berdasarkan tipe dan lokasi perumahan/bangunan tertentu.
15
II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian mengenai beras di Indonesia telah banyak dilakukan. Namun demikian, berikut disarikan beberapa temuan hasil penelitian yang terkait dengan konversi lahan sawah, ketersediaan dan akses pangan, serta impor dan tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini. 2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irawan (2005) melakukan penelitian mengenai dampak, pola pemanfaatan dan faktor determinan dari konversi lahan sawah. Temuan penting dari hasil penelitiannya, antara lain menyebutkan bahwa konversi lahan sawah terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian, yang persaingan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu: (a) keterbatasan sumber daya lahan; (b) pertumbuhan penduduk; dan (c) pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini juga mengidentifikasi konversi lahan sawah berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa, yang hasil penelitiannya menyebutkan bahwa konversi lahan sawah di luar Jawa (132 ribu hektar pertahun) ternyata jauh lebih tinggi daripada di Jawa (56 ribu hektar pertahun) selama tahun 2000 – 2002, sehingga total luas lahan sawah yang dikonversi seluas 187.72 ribu hektar per tahun (atau sebesar 2.42 persen dari luas sawah pada tahun 2002). Alokasi konversi lahan sawah untuk pembangunan perumahan sangat dominan di Jawa (74.96 persen), sedangkan di luar Jawa konversi lahan sawah tersebut sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik (43.59 persen) dan pembangunan perumahan (31.92 persen). Maraknya konversi lahan tersebut tidak terlepas dari pelaku konversi itu sendiri. Penelitian ini membedakan pelaku konversi lahan sawah menjadi dua kelompok, yaitu: Kelompok pertama, konversi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada tiga, yaitu: (a) pemenuhan kebutuhan dan tempat tinggal; (b) peningkatan pendapatan melalui alih usaha; dan (c) kombinasi keduanya. Kelompok kedua, konversi yang diawali dengan alih fungsi penguasaan lahan.
16
Selanjutnya, penelitian Chengli et al. (2003) mengenai alih fungsi penggunaan lahan pertanian pangan di China selama tahun 1961 – 1998, dapat dijadikan sebagai acuan komparasi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi secara nasional telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan padi di China. Selama periode tersebut luas total lahan pertanian berfluktuasi. Namun, sejak tahun 1976 luas lahan padi di China terus menurun, hingga tercatat seluas 31 juta hektar pada tahun 1998. Alih-fungsi penggunaan lahan ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi (misal: urbanisasi, daya beli petani, dan harga), sosial (misal: pemilikan lahan dan kebijakan lahan nasional), dan ekologi (misal: perubahan iklim, degradasi lahan, dsb). Selain itu, alih-fungsi penggunaan lahan di China juga dipengaruhi adanya perubahan kebijakan dari kontrol pemerintah menjadi kontrol pasar, perdagangan dunia serta pasar domestik. Hualou et al. (2007) menganalisis karakteristik, faktor pendorong dan kebijakan untuk menekan perubahan penggunaan lahan di Kunshan, Provinsi Jiangsu, China. Penelitian ini menggunakan peta remote sensing (RS) dan data sosial ekonomi. Berdasarkan peta remote sensing (RS) diketahui bahwa lahan sawah, lahan kering dan hutan mengalami penurunan masing-masing sebesar 8.2 persen, 29 persen dan 2.6 persen selama tahun 1987 – 1994; 4.1 persen, 7.6 persen dan 8 persen selama tahun 1994 – 2000. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan selama tahun 1987 – 1994 terjadi peningkatan untuk penggunaan kolam sebesar 48 persen, perumahan di perkotaan sebesar 87.6 persen, perumahan di perdesaan sebesar 41.1 persen, dan konstruksi sebesar 511.8 persen. Sedangkan selama tahun 1994 – 2000 masing-masing mengalami peningkatan sebesar 3.6, 28.1, 23.4 dan 47.1 persen. Fragmentasi di semua wilayah terjadi secara signifikan. Empat faktor pendorong dalam perubahan penggunaan lahan di Kunshan adalah industrialisasi, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan reformasi ekonomi China. Kebijakan yang disarankan adalah pembatasan pertumbuhan perkotaan dan kebijakan berbasis insentif. Mani dan Pandey (2000) melakukan penelitian mengenai permintaan lahan dari pertanian ke non-pertanian di Meerut, Pradesh. Temuan dari studi ini menyatakan bahwa permintaan lahan sejatinya muncul akibat dua kebutuhan dasar, yaitu: (a) sebagai komoditas konsumsi untuk perumahan, pariwisata, dan
17
sebagainya; dan (b) sebagai faktor produksi bagi berbagai sektor seperti: pertanian, industri, dan infrastruktur. Jika dilihat dari elastisitas harganya, permintaan lahan non-pertanian lebih elastis karena banyaknya alternatif penggunaan lahan, tingginya produktivitas, tingginya distribusi pendapatan di perkotaan, dan dekatnya hubungan dengan pasar modal. Sedangkan elastisitas harga permintaan lahan pertanian tidak elastis karena rendahnya produktivitas, kurangnya alternatif penggunaan lahan, identik dengan kemiskinan petani, serta sulitnya kegiatan usaha tani. Berdasarkan beberapa temuan empiris tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konversi lahan sawah terjadi sebagai akibat tingginya persaingan lahan untuk penggunaan sawah maupun non-sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah adalah: faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan industrialisasi dan urbanisasi, daya beli petani, dan harga), sosial (seperti: pertambahan penduduk, pemilikan lahan, dan sebagainya), dan ekologi (seperti: perubahan iklim, degradasi lahan). Lahan sawah yang dikonversi biasanya dialokasikan penggunaannya untuk perumahan, sarana
ublic y, pembangunan
ublic, pariwisata, dan sebagainya.
2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan Penelitian Sumaryanto et al. (2006) difokuskan terhadap dampak konversi lahan sawah terhadap ketahanan pangan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah terjadinya degradasi daya dukung ketahanan nasional. Disebutkan bahwa semakin tinggi produktivitas lahan sawah yang dikonversi, maka semakin tinggi pula kerugian akibat hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5 – 12.5 ton per hektar per tahun. Selain itu, konversi lahan sawah juga menyebabkan menurunnya pendapatan petani dan buruh tani yang kemudian berakibat meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Dampak negatif lainnya dari konversi lahan sawah, antara lain: pemubaziran investasi disebabkan banyak sawah beririgasi yang dikonversi; rusaknya ekosistem sawah; terjadinya perubahan struktur kesempatan
18
kerja dan pendapatan komunitas setempat yang akhirnya dapat menyebabkan perubahan budaya dari masyarakat agraris ke masyarakat urban. Sudaryanto (2005) juga menitik-beratkan penelitiannya pada dampak konversi lahan sawah terhadap produksi pangan nasional. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa selama tahun 1981 – 1999 telah terjadi konversi lahan sawah yang menyebabkan kehilangan produksi padi sebesar 8.89 juta ton dengan rincian kehilangan produksi di Jawa sekitar 6.86 juta ton dan di luar Jawa 2.03 juta ton. Data produksi tahun 1981, 1990, dan 2001 menunjukkan bahwa berkurangnya luas lahan di Jawa belum menurunkan luas areal panen maupun produksi padi, bahkan luas panen mengalami peningkatan. Peningkatan luas areal panen di Jawa tersebut disebabkan oleh peningkatan intensitas tanam, sedangkan peningkatan produktivitas disebabkan oleh perbaikan penggunaan teknologi, khususnya penggunaan varietas unggul. Selain itu, konversi lahan sawah di Jawa dan tingkat nasional belum berdampak pada penurunan produksi padi, karena adanya pencetakan sawah baru yang relatif besar di luar Jawa. Namun demikian, pencetakan sawah baru ini membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan produktivitas yang optimal, sehingga konversi lahan pertanian mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian dan pelambatan kapasitas produksi pangan. Penelitian Irawan (2005) menegaskan bahwa dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan yang tidak dapat segera dipulihkan, disebabkan oleh 4 alasan, yaitu: (a) lahan sawah yang sudah terkonversi tidak akan bisa kembali menjadi sawah (sifat permanen); (b) pencetakan sawah baru membutuhkan waktu yang panjang, sekitar 10 tahun; (c) sumber daya yang bisa dijadikan sawah semakin terbatas; dan (d) peningkatan produktivitas usahatani padi juga sulit dilakukan akibat stagnasi inovasi teknologi. Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini dikarenakan konversi lahan bersifat: (a) permanen, artinya masalah pangan tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi; (b) kumulatif, dimana pengurangan luas lahan yang bersifat permanen menyebabkan masalah pangan yang disebabkan oleh konversi lahan selama periode tertentu akan bersifat kumulatif; dan (c) progresif, artinya sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka luas lahan yang dikonversi di
19
lokasi tersebut akan semakin besar akibat konversi lahan ikutan yang terjadi di lokasi sekitarnya. Ketersediaan pangan dalam kuantitas yang sesuai kebutuhan secara nasional harus diikuti dengan distribusi pangan yang merata menurut tempat dan waktu sehingga dapat diakses oleh konsumen setiap saat. Akses pangan dibedakan atas: (a) akses fisik, yang dipengaruhi oleh sistem distribusi pangan; dan (b) akses ekonomik, yang dipengaruhi oleh daya beli pangan rumah tangga. Sementara itu daya beli pangan setiap rumah tangga sangat tergantung kepada harga pangan dan pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa konversi lahan pertanian tidak hanya mengurangi aksesibilitas ekonomik para buruh tani secara langsung, namun juga menurunkan daya beli pangan kelompok masyarakat lainnya yang secara tidak langsung merupakan dampak dari konversi lahan sawah (Irawan, 2005). Sementara itu, indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi daya beli (standar hidup layak) adalah real per kapita GDP adjusted 1 . Hal ini berdasarkan indikator UNDP (United Nations Development Programme). Selanjutnya, temuan Ruswandi et al. (2007) menyatakan bahwa konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan meningkatkan peluang terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani, yang dapat diidentifikasi dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya peningkatan pendapatan non-pertanian. Penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di daerah Bandung Utara, dengan menggunakan model Regresi Linier Berganda. Laju konversi lahan diketahui melalui interpretasi Citra Landsat tahun 1992 dan 2002. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh konversi lahan pertanian terhadap kesejahteraan petani dianalisis dengan Regresi Logistik Binary. Handewi & Erwidodo (1994) melakukan kajian permintaan pangan di Indonesia menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk men 1
http://www.lecture.brawijaya.ac.id/nuhfil. Nuhfil Hanani AR (Guru besar pada Prodi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional; Ketua Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Jawa Timur)
20
duga elastisitas permintaan dan pendapatan rumah tangga. Kajian ini menyimpulkan bahwa elastisitas permintaan terhadap berbagai kelompok pangan suatu rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Sedangkan Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa kenaikan permintaan beras domestik dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan jumlah penduduk dan pendapatan konsumen. Harga gabah/beras terhadap jumlah penawaran bersifat inelastis. Selama ini peningkatan harga gabah/beras tidak berpengaruh nyata terhadap upaya petani untuk meningkatkan produksi padi. Penyebabnya karena luas lahan sawah garapan petani relatif sempit dan usahatani padi bersifat musiman (Irawan, 2005). Malian et al. (2004) melakukan studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi dan harga beras, serta inflasi bahan makanan. Hasil analisa menyimpulkan bahwa: (1) produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya, impor beras, harga pupuk Urea, nilai tukar riil, dan harga beras di pasar domestik; (2) konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras di pasar domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan nilai tukar; (3) harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan harga dasar gabah; dan (4) indeks harga kelompok bahan makanan dipengaruhi oleh harga beras di pasar domestik, nilai tukar riil, excess demand beras, harga dasar gabah, harga beras dunia, dan total produksi padi. Berdasarkan beberapa temuan empiris di atas dapat disimpulkan bahwa konversi lahan sawah berdampak terhadap penurunan kapasitas produksi nasional yang berakibat terhadap penurunan ketersediaan beras. Sementara itu, konversi lahan sawah juga menurunkan luas lahan milik dan luas lahan garapan yang akhirnya akan menurunkan pendapatan petani dan buruh tani. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan ketersediaan dan akses pangan, baik secara nasional maupun per kapita. Selain itu, konversi lahan sawah juga berdampak terhadap pemubaziran investasi, rusaknya ekosistem sawah, terjadinya perubahan struktur kesempatan kerja dan pendapatan, serta perubahan budaya dari masyarakat agraris ke masyarakat urban.
21
2.3 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan Heerink et al. (2007) melakukan penelitian mengenai dampak reformasi kebijakan terhadap produksi pertanian, penggunaan input, dan perubahan kualitas tanah di China.
Analisis dilakukan dengan menggunakan ekonometrika
berdasarkan data pasar domestik maupun dunia, untuk menjelaskan perubahan harga beras dan pupuk di Provinsi Jiangxi. Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) digunakan untuk melihat hubungan antara penggunaan input terhadap produktivitas padi. Implikasi kebijakan yang disarankan dari penelitian ini, antara lain menyebutkan bahwa kebijakan meningkatkan harga pupuk lebih realistis dibandingkan menurunkan harga beras. Meningkatkan harga pupuk dilakukan dengan mengurangi subsidi terhadap produsen pupuk dan menerapkan pajak ekspor pupuk. Sementara itu, upaya pemerintah mengantisispasi penurunan pendapatan petani melalui pemberian pendapatan langsung kepada petani, dan upaya ini terbukti meningkatkan kualitas tanah di Provinsi Jiangxi, China. Sementara itu, Khan et al. (2009) melakukan penelitian mengenai pengelolaan air dan produksi tanaman dalam mendukung ketahanan pangan di China. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa China juga menempatkan program ketahanan pangan sebagai kebijakan pembangunan nasional. Hal ini terkait kebijakan antropologi dan sosial politik, yang meliputi: laju pertumbuhan populasi, urbanisasi dan industrialisasi, alih-fungsi penggunaan lahan dan kelangkaan air, pertumbuhan pendapatan dan transisi nutrisi pangan, serta goncangan pasar energi dan pangan dunia. Adanya goncangan dalam pasar energi dunia dapat mempengaruhi harga pangan dan biaya penawaran. Sementara itu, penelitian Chengli et al. (2003) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan efisiensi produksi padi, pemerintah China melakukan berbagai upaya, antara lain: perbaikan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas hingga 2 – 3 kali lipat, optimalisasi lahan (inter-cropping, multi-cropping, agroforestry, no/or mini-mum tillage), dan peningkatan rasio peng-gunaan pupuk organik terhadap pupuk anorganik. China juga menerapkan kebijakan impor beras sebanyak 10 persen dari total kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pangannya dalam jangka pendek.
22
Penelitian Zhen et al., (2005) mengenai implementasi kebijakan yang meminimalisasi hilangnya lahan subur melalui investasi infrastuktur di China. Pemerintah China mengadopsi teknologi penghemat air dan menyediakan dana yang besar untuk kebutuhan tersebut, termasuk memberi insentif bagi petani yang berhasil menggunakan air secara efisien. China juga mengembangkan wet/dry irrigation sebagai alternatif untuk menghasilkan beras lebih banyak dengan kadar air yang lebih sedikit. Temuan yang diperoleh adalah bahwa selama 100 tahun, China mampu memenuhi kebutuhan nitrogen bagi pertumbuhan padi dan gandum dari sumber organik. Pemerintah China mengganti penggunaan faktor produksi kimia yang merusak lingkungan dengan praktek budidaya tradisional, seperti: rotasi tanaman, pupuk organik, predator biologi, serta daur ulang sampah dan residu usahatani. Selain itu, rekayasa genetika tanaman pangan juga dilakukan untuk mencapai ketahanan pangan. Irawan (2005) melakukan studi mengenai simulasi ketersediaan beras nasional dengan pendekatan sistem dinamis, untuk mengetahui akurasi dan validitas model. Data periode 1980 – 1995 digunakan untuk memprediksi keadaan tahun 1998 – 2000. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana tahun 1992 – 2002 sebesar 0.77 persen per tahun dan penerapan teknologi budidaya padi sawah tidak beranjak dari keadaan 1990 – 2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai 0 persen dan 0.72 persen per tahun mulai tahun 2010. Pada saat yang sama juga perlu upaya peningkatan produktivitas padi sebesar 2 – 2.5 persen per tahun sebagaimana pada swasembada beras tahun 1983 – 1985. Kebijakan perluasan areal lahan sawah baru di luar Jawa sebanyak satu juta hektar selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak berubah. Selain beberapa instrumen kebijakan ekonomi sektor pertanian yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan harga (input maupun output) juga sering diimplementasikan pemerintah untuk melindungi petani. Salah satunya adalah kebijakan harga output yang dikenal dengan kebijakan Harga Dasar yang
23
bertujuan untuk melindungi petani dari turunnya harga secara drastis pada saat panen raya (suplai melimpah). Kebijakan Harga Dasar ini ditetapkan oleh pemerintah dan telah mengalami perubahan istilah penamaan, seperti: Harga Dasar Gabah (HDG), Harga Dasar Pembelian Gabah (HDPG), Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan hal yang sama dalam menyebutkan harga dasar dengan konsep yang sama. Adapun yang dipakai sampai sekarang ini adalah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sekilas perubahan HDG menjadi HPP seolah tidak memiliki perbedaan mendasar. Namun sebenarnya ada perbedaan yang sangat mendasar dari perubahan nama tersebut (Simatupang, 2003). Perbedaan antara HDG dan HPP disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Perbedaan antara HDG dan HPP Komponen
HDG
Pembentukan harga
Penjaminan harga
Pemberlakuan harga
Pemerintah melalui Bulog membeli kelebihan pasokan dalam jumlah besar sehingga petani mendapatkan harga minimal tidak dibawah HDG. Pemerintah berkewajiban & bertanggung jawab untuk menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani. Berlaku di tingkat petani, sehingga Bulog menanggung biaya angkut, transportasi, dll.
HPP Pemerintah tidak menjamin bahwa harga gabah yang diterima petani selalu berada di atas HPP yang ditetapkan.
Pemerintah tidak lagi berkewajiban & bertanggung jawab untuk menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani. Berlaku di gudang Bulog. Bulog tidak menanggung biaya angkut, transportasi, dll, sehingga HPP yang ditetapkan pemerintah bukanlah HPP yang diterima petani, melainkan harga yang diterima pedagang rekanan Bulog.
Sumber: Simatupang (2003)
Berbeda dengan Harga Dasar Gabah (HDG), Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebenarnya adalah harga pembelian petani untuk mengisi stok Bulog
24
sebesar 8 – 10 persen dari total produksi nasional. Ini merupakan konsekuensi pasca-penandatanganan perjanjian pertanian WTO pada tahun 1995, sehingga terjadi liberalisasi perdagangan dengan indikator: a) pembebasan bea masuk impor beras sampai 0 persen; b) pencabutan status Bulog sebagai lembaga penyangga; c) pencabutan subsidi input dan liberalisasi tataniaga pupuk tahun 1998. Perjanjian WTO tersebut memberi dampak terutama pada perubahan fungsi Bulog dan perubahan HDG menjadi HPP. 2.4 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan Penelitian Kusumaningrum (2008) mengenai dampak kebijakan harga dasar pembelian pemerintah terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia menyimpulkan bahwa kombinasi kebijakan menaikkan harga dasar pembelian pemerintah sebesar 15 persen bersamaan dengan kebijakan lain (menaikkan harga pupuk urea, luas areal intensifikasi dan irigasi masing-masing sebesar 5 persen, serta nilai tukar dan tarif impor 10 persen) menguntungkan produsen dengan penambahan surplus produsen, sedangkan konsumen dirugikan dengan kehilangan surplus konsumen. Kebijakan ini juga meningkatkan penerimaan pemerintah dari impor. Nilai net surplus tertinggi juga diperoleh dengan mengimplementasikan kombinasi kebijakan harga dasar pembelian pemerintah bersamaan dengan kebijakan harga pupuk urea, luas areal intensifikasi, luas areal irigasi, tarif impor dan nilai tukar.
Penelitian Cahyono (2001) menyebutkan bahwa penetapan tarif impor akan membuat beras impor dan stok beras menurun, sedangkan harga gabah dan beras meningkat. Peningkatan impor secara besar-besaran akan meningkatkan net surplus yang dinikmati oleh konsumen, dan sebaliknya merugikan petani sebagai produsen. Peningkatan impor menekan harga beras sehingga pendapatan petani menurun. Sitepu (2002) menyimpulkan bahwa penetapan tarif impor yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan yang cukup penting untuk membatasi pasokan beras impor dengan tujuan untuk melindungi petani dari turunnya harga. Lubis (2005) menambahkan bahwa besarnya jumlah impor beras dipengaruhi oleh harga beras di tingkat pedagang besar dan krisis moneter 1997.
25
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Teori Rente Lahan Rente lahan (land rent) didefinisikan sebagai pengembalian ekonomi dari lahan, yang dapat bertambah atau akan bertambah akibat penggunaannya dalam proses produksi. Rente lahan dapat dinyatakan sebagai residu surplus ekonomi, yang merupakan selisih antara nilai produk total (pengembalian total) dengan biaya produksi total (Barlowe, 1978). Model klasik dari alokasi lahan adalah model Richardo (Richardian Rent). Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya. Rente lahan pada berbagai kualitas lahan diilustrasikan pada Gambar 3.
Sumber: Barlowe (1978)
Gambar 3 Ilustrasi rente lahan pada berbagai kualitas lahan. Menurut konsep Von Thunen, nilai land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Von Thunen menganggap
26
bahwa perbedaan ruang (friction of space) dapat dikompensasi melalui biaya sewa tempat (site rents) dan transportasi. Gambar 4 mengilustrasikan tingkat rente lahan relatif berdasarkan nilai penggunaan (utility), yaitu highest and best use dengan perbedaan jarak dari pusat pasar. Pendekatan Von Thunen mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh lahan yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan sebagai cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris mengelilingi kota
Rente Lahan (Rp Juta)
tersebut seperti Gambar 4 (Barlowe, 1978).
Sumber: Barlowe (1978)
Gambar 4 Penentuan locational rent function menurut model Von Thunen. Gambar 4 menggambarkan bahwa nilai land rent yang tercipta merupakan fungsi dari lokasi lahan, dengan asumsi kesuburan lahannya adalah sama. Lokasi lahan dibedakan atas lokasi untuk penggunaan: jasa komersial, industri/manufaktur, dan pertanian. Cincin A merepresentasikan kegiatan penggunaan lahan untuk jasa komersial di pusat kegiatan ekonomi. Land rent pada wilayah ini mencapai nilai tertinggi karena lokasinya yang berada pada pusat kegiatan ekonomi. Cincin B dan C merepresentasikan kegiatan penggunaan lahan untuk industri/manufaktur, dan pertanian. Meningkatnya land rent secara relatif akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasa-jasa komersial sehingga menggeser kurva A ke kanan.
27
Hal ini mengakibatkan sebagian dari area cincin B (kawasan industri) terkonversi menjadi A. Demikian seterusnya, sehingga konversi lahan pertanian (cincin C) ke penggunaan untuk industri/manufaktur (cincin B) juga terjadi. Dalam sistem keseimbangan pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang menghasilkan land rent lebih rendah ke aktivitas yang menghasilkan land rent lebih tinggi. Penggunaan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor untuk menentukan keputusan perorangan, kelompok ataupun pemerintah. Oleh karena itu proses perubahan penggunaan lahan sifatnya sangat kompleks. Mekanisme perubahan itu melibatkan kekuatan-kekuatan pasar, sistem administratif, dan kepentingan politik. Teori ekonomi di atas dapat menjelaskan fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian, yakni melalui analisis rasio persewaan lahan (land rent ratio). 3.1.2 Teori Produksi Fungsi produksi didefinisikan sebagai hubungan teknis dalam transformasi input ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dan output (Debertin, 1986). Input atau disebut juga faktor produksi, dapat dibedakan menjadi faktor produksi tetap dan tidak tetap. Pembagian faktor produksi ini juga dilihat dari sisi produsen dalam jangka waktu tertentu. Faktor produksi dalam jangka pendek meliputi faktor produksi tetap dan tidak tetap, dimana faktor teknologi belum berubah. Dalam jangka panjang, semua faktor produksi adalah tidak tetap dan teknologi belum berubah. Adapun setelah produsen berada dalam posisi jangka waktu sangat panjang, semua faktor produksi dan teknologi adalah tidak tetap. Jika diilustrasikan secara sederhana fungsi produksi dari output tertentu (misal: P) adalah sebagai berikut: YP = f ( X P 1 , X P 2 , X P 3 , X P 4 ) dimana: YP XP1 XP2 XP3 XP4
…....………………………………… (3.1)
= Output P (satuan) = Faktor produksi P1 (satuan) = Faktor produksi P2 (satuan) = Faktor produksi P3 (satuan) = Faktor produksi lainnya
28
Untuk memaksimumkan produksi output P dibutuhkan biaya tertentu: B P = ( BTP + PXP1 * X P 1 + PXP 2 * X P 2 + PXP 3 * X P 3 + PXP 4 * X P 4 ) …….. (3.2) dimana: BP BTP PXP1 PXP2 PXP3 PXP4
= Biaya total produksi output P (satuan) = Biaya tetap produksi output P (satuan) = Harga faktor produksi P1 (satuan) = Harga faktor produksi P2 (satuan) = Harga faktor produksi P3 (satuan) = Harga faktor produksi lain (satuan)
Pada tingkat harga produksi output P tertentu (PYP), maka fungsi keuntungan produksi output P dapat dirumuskan sebagai berikut:
π P = PYP * f ( X P 1 ,..., X P 4 ) − ( BTP + PXP1 * X P1 + ... + PXP 4 * X P 4 ) ……. (3.3) dimana: πP = Keuntungan (satuan) PYP = Harga output P (satuan) Produsen yang rasional berusaha memaksimumkan keuntungannya pada tingkat produksi optimum dengan tingkat harga tertentu. Keuntungan maksimum harus memenuhi syarat FOC (First Order Condition) dan SOC (Second Order Condition). Syarat pertama dipenuhi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah sama dengan nol, yang berarti produktivitas marginal dari faktor produksi adalah sama dengan harga faktor produksinya. Sedangkan syarat kedua yang harus dipenuhi yaitu: jika fungsi produksinya cembung dan nilai determinan Hessian lebih besar dari nol (Koutsoyiannis, 1977). Dengan melakukan prosedur penurunan secara matematis dari persamaan (3.3), maka diperoleh: ∂π P ∂YP ∂YP = PYP * − PXP1 = 0 atau PYP * = PXP1 …..…….…… (3.4) ∂X P1 ∂X P 1 ∂X P 1 ∂π P ∂YP ∂YP = PYP * − PXP 2 = 0 atau PYP * = PXP 2 ..………...… (3.5) ∂X P 2 ∂X P 2 ∂X P 2 ∂π P ∂YP ∂YP − PXP 3 = 0 atau PYP * = PYP * = PXP 3 ..……..……. (3.6) ∂X P 3 ∂X P 3 ∂X P 3 ∂π P ∂YP ∂YP = PYP * − PXP 4 = 0 atau PYP * = PXP 4 ……………. (3.7) ∂X P 4 ∂X P 4 ∂X P 4
29
∂YP ∂YP ∂YP ∂YP Dimana ∂X , ∂X , ∂X , ∂X adalah produk marginal dari masingP1 P2 P3 P4 masing faktor produksi. Oleh karena itu keuntungan maksimum diperoleh jika produk marginal sama dengan rasio harga faktor produksi terhadap harga produk. Dapat juga dikatakan bahwa keuntungan maksimum diperoleh jika nilai produk marginal sama dengan harga faktor produksinya (NPMP=PXPi). Dari persamaan (3.4), (3.5), (3.6), dan (3.7) fungsi permintaan masing-masing faktor produksi oleh produsen output P dirumuskan sebagai berikut: D
X P 1 = f ( PXP1 , PYP , PXP 2 , PXP 3 , PXP 4 )
……………………….…….… (3.8)
D X P 2 = f ( PXP 2 , PYP , PXP 1 , PXP 3 , PXP 4 ) ……………………….…….… (3.9) D
X P 3 = f ( PXP 3 , PYP , PXP1 , PXP 2 , PXP 4 )
..…………………….…….… (3.10)
D X P 4 = f ( PXP 4 , PYP , PXP1 , PXP 2 , PXP 3 ) ..…………………….…….… (3.11)
Dengan mensubstitusikan persamaan (3.8), (3.9), (3.10), dan (3.11) ke persamaan (1), maka diperoleh fungsi penawaran output P sebagai berikut: S
QP = f ( PYP , PXP1 , PXP 2 , PXP 3 , PXP 4 ) ..……………………….………. (3.12)
Persamaan (3.12) menunjukkan bahwa jumlah penawaran output P oleh produsen output P merupakan fungsi dari harga output P (PYP) dan harga faktor-faktor produksi (PXP1, PXP2, PXP3, dan PXP4), sedangkan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). 3.1.3 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan
Lahan sawah merupakan salah satu input atau faktor produksi bagi output padi. Konversi (alih-fungsi) lahan sawah dari penggunaan untuk output sawah (dalam hal ini adalah padi) ke penggunaan lain untuk output non-sawah (seperti: perumahan, industri, pariwisata, dan sebagainya) mengakibatkan penurunan penawaran output sawah (padi) tersebut. Hal ini disebabkan konversi lahan sawah yang terjadi menurunkan luas areal pertanaman padi (dengan asumsi intensitas pertanaman padi tetap). Sementara itu, produktivitas padi sebagai komponen lainnya yang berpengaruh terhadap produksi padi, telah mengalami pelandaian produksi (leveling-off). Luas areal panen padi yang berkurang dan produktivitas padi yang mengalami pelandaian produksi mengakibatkan produksi padi
30
menurun, sehingga penawaran domestik padi pun mengalami penurunan, ceteris paribus. Jika terjadi penurunan penawaran, maka kurva penawaran akan bergeser ke kiri (Henderson & Quandt, 1980). Penurunan penawaran yang diilustrasikan dari Q0 ke Q1 mengakibatkan terjadinya pergeseran kurva penawaran dari S0 ke S1. Selanjutnya, pergeseran kurva penawaran ke kiri ini mengakibatkan terjadinya peningkatan harga padi (beras) dari P0 menjadi P1 (Gambar 5). Peningkatan harga ini kemudian direspon konsumen dengan cara mengurangi permintaannya terhadap padi (beras) tersebut, sebagai akibat menurunnya pendapatan konsumen (yang kemudian dijadikan proksi akses pangan). Penawaran domestik padi (beras) yang telah dikurangi dengan jumlah beras susut menggambarkan ketersediaan beras untuk konsumsi pangan secara nasional.
Price S1 S0
C
P1 P0
E B
F A 0
D Q1 Q0 Quantity
Sumber: Ghatak and Ingersent (1984)
Gambar 5 Dampak konversi lahan sawah terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. 3.1.4 Teori Permintaan
Fungsi permintaan (disebut juga sebagai fungsi permintaan Marshallian) yaitu menunjukkan jumlah komoditi yang akan dibeli dan jumlah komoditi lain yang dikonsumsi. Fungsi permintaan diturunkan dari fungsi utilitas konsumen
31
yang dimaksimumkan dengan kendala pendapatan (Henderson & Quandt, 1980). Permintaan terhadap suatu barang dapat diturunkan melalui fungsi kuntungan. Secara rasional, produsen akan berproduksi pada tingkat dimana keuntungan yang diperolehnya dalam keadaan maksimum (Debertin, 1986; Henderson & Quandt, 1980; Beattie & Taylor, 1994). Dalam kondisi ini faktor produksi yang digunakan dalam jumlah yang optimal. Penurunan kurva permintaan dapat dilihat pada Gambar 6.
Quantity of y per period
I = Px' x + Py y
I / Py
I = Px'' x + Py y
I = Px''' x + Py y
U3 U2
U1 Quantity of x per period (a) Individual’s indifference curve map
Px Px' Px'' Px'''
(
X Px' Py I X'
X ''
X '''
)
Quantity of x per period
(b) Demand curve
Sumber: Nicholson (2005)
Gambar 6 Kurva permintaan. Fungsi utilitas konsumen dapat dirumuskan sebagai berikut: U B = u (QB , QL ) ….…..……………………………………………… (3.13)
32
dimana: UB = Total utilitas mengkonsumsi barang B QB = Jumlah konsumsi barang B (satuan) QL = Jumlah konsumsi komoditi lain sebagai substitusi/komplementer (satuan) Jika harga barang B adalah PB dan harga barang lain adalah PL, dengan asumsi semua pendapatan digunakan untuk mengkonsumsi barang, maka fungsi kendala pada tingkat pendapatan tertentu (I0B) bagi konsumen tersebut adalah: I 0 B = PB * QB + PL * QL …………………………………………… (3.14) dimana: PB = Harga barang B (satuan) PL = Harga komoditi lain sebagai substitusi/komplementernya (satuan) Dengan mensubstitusikan fungsi kendala pada persamaan (3.14) ke dalam fungsi utilitas konsumen barang B pada persamaan (3.13), maka didapatkan fungsi Lagrangian sebagai berikut: Z = u (QB , QL ) + λ B ( I 0 B − PB * QB − PL * QL ) .…………….………… (3.15) dimana: λB = Lagrange Multiplier (untuk konsumsi barang B) Selanjutnya memaksimumkan utilitas dengan syarat turunan parsial pertama sama dengan nol, sebagai berikut:
∂U B ∂Z = − λB PB ∂QB ∂QB
atau QB ' = λB PB
………………………… (3.16)
∂U B ∂Z = − λB PL ∂QL ∂QL
atau QL ' = λB PL
…………………………. (3.17)
∂Z = I 0 B − PB ∗ QB − PL ∗ QL = 0 …………………………………. (3.18) ∂λB Dengan menyelesaikan persamaan (3.16) dan (3.17) diperoleh:
λB =
QB ' QL ' = PB PL
atau QB ' = PB QL ' PL
dimana: QB’ = Utilitas marginal barang QB QC’ = Utilitas marginal barang QC
...…..………………………… (3.19)
33
Tingkat kepuasan maksimum tercapai jika utilitas marginal dibagi harganya harus sama bagi kedua komoditi tersebut dan harus sama dengan utilitas marginal dari pendapatan (λB). Dari persamaan (3.16), (3.17), dan (3.18) diketahui bahwa PB, PC, dan I0B merupakan peubah eksogen, sedangkan QB dan QC merupakan peubah endogen. Oleh karena itu, secara fungsional permintaan barang B oleh konsumen diformulasikan sebagai berikut: D
QB = q( PB , PL , I 0B ) ……………...…..…………………………… (3.20) Persamaan (3.20) menunjukkan bahwa jumlah beras yang diminta merupakan fungsi dari harga barang B itu sendiri (PB), harga komoditas lain sebagai subsitusi/komplementer (PL), dan pendapatan pada tingkat tertentu (I0B). 3.1.5 Konsep Elastisitas
Elastisitas mengukur kepekaan suatu variabel dengan variabel lainnya. Secara spesifik, elastisitas adalah suatu bilangan yang menunjukkan persentase perubahan yang terjadi pada satu variabel sebagai reaksi atas setiap 1 persen kenaikan pada variabel lain. Perubahan persentase pada suatu variabel hanyalah perubahan mutlak pada variabel tersebut dibagi dengan tingkat dasar variabel tersebut. Besaran nilai elastisitas mengacu pada nilai absolutnya, dan dinyatakan elastis jika nilai elastisitasnya > 1, sebaliknya dinyatakan inelastis jika nilai elastisitasnya < 1 (Pindyck & Rubinfeld, 2009). Suatu model yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan elastisitas jangka panjang (Gujarati, 1999). Misal diketahui suatu fungsi Y sebagai berikut:
Yt = b0 + b1 X t + b2Yt −1 …………..………………………………… (3.21) Elastisitas jangka pendek (ESR) dan jangka panjang (ELR) dapat dihitung dengan rumus:
E SR =
∂Yt X t X * = b1 * t ∂X t Yt Yt
E LR =
E SR 1 − b2
…………..…………………………… (3.22)
..……………...……………..……………………… (3.23)
34
dimana: b1 = Koefisien dugaan dari peubah eksogen b2 = Koefisien dugaan dari peubah lag endogen X t = Rata-rata peubah eksogen Yt = Rata-rata peubah endogen Ukuran-ukuran elastisitas umumnya digunakan pada analisis permintaan yang mengacu pada teori tingkah laku konsumen. Ada tiga elastisitas yang penting dalam teori tersebut (Koutsoyiannis, 1977), yaitu: 1 Elastisitas Harga ( ε p )
∂Q P * ∂P Q
εp =
.……….……………..…..……………………… (3.24)
2 Elastisitas Silang ( ε xy )
ε xy =
∂Q x Py ∗ .......…..………………………………………… (3.25) ∂Py Q x
3 Elastisitas Pendapatan ( ε γ )
εγ =
∂Q x Y * ∂Y Q
…...…..……………………………..………..…. (3.26)
dimana: Q = Jumlah barang yang diminta Q = Rata-rata Q P P
= Harga Q = Rata-rata P
Qx
= Jumlah barang X yang diminta Q x = Rata-rata jumlah barang X yang diminta Py = Harga barang Y Py = Rata-rata Py
3.1.6 Konsep Surplus Produsen dan Surplus Konsumen
Konsep surplus produsen dan surplus konsumen sering digunakan untuk mengukur perubahan kesejahteraan pelaku ekonomi, sebagai akibat adanya perubahan faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi permintaan dan penawaran suatu barang akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan konsumen dan produsen dari barang tersebut dan dapat diukur dari besaran surplus produsen dan konsumen (Krugman & Obstfeld, 2005). Serupa dengan Hirshleifer et al. (2005) yang menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat implementasi kebijakan dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics), yaitu dengan
35
konsep pengukuran surplus produsen (producer’s surplus) dan surplus konsumen (consumer’s surplus). Menurut Just et al. (1982), surplus produsen didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah nilai uang yang benar-benar diterima produsen dengan jumlah nilai minimum yang diinginkan produsen tersebut (willingness to accept). Sementara itu, surplus konsumen adalah perbedaan antara jumlah maksimum yang ingin dibayar oleh konsumen dengan yang benar-benar akan dibayar terhadap jumlah tertentu dari suatu produk (willingness to pay). Gambar 7 mengilustrasikan surplus produsen dan surplus konsumen.
Price S
C
Consumer’s Surplus B
P*
Producer’s Surplus
A
D Q* Quantity
Sumber: Just et al. (1982), dimodifikasi.
Gambar 7 Surplus produsen dan surplus konsumen. Secara matematis, surplus produsen dan konsumen diukur dengan pengintegralan fungsi penawaran dan permintaan (Chiang, 1984), sebagai berikut: Pe
SP = ∫ Qm ( P )dp ..…………………………………………… (3.27) Pm
Pd
SK = ∫ Qd ( P )dp ……………………………………………… (3.28) Pe
dimana: SP = Besar surplus produsen (Rp)
36
SK Pe Pd Pm
= Besar surplus konsumen (Rp) = Harga keseimbangan (Rp) = Harga pada perpotongan kurva permintaan dengan sumbu harga = Harga pada perpotongan kurva penawaran dengan sumbu harga
3.1.7 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Perubahan Tingkat Kesejahteraan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konversi lahan sawah akan menyebabkan penurunan penawaran padi (beras) domestik, sehingga mengakibatkan pergeseran kurva penawaran ke kiri. Gambar 8 di bawah ini mengilustrasikan dampak konversi lahan sawah yang terjadi terhadap perubahan tingkat kesejahteraan yang ditunjukkan oleh perubahan daerah arsiran surplus produsen dan surplus konsumen pada saat sebelum dan setelah konversi lahan sawah.
Sumber: Pyndick and Rubinfeld (2009), dimodifikasi.
Gambar 8 Dampak konversi lahan sawah terhadap perubahan surplus produsen dan surplus konsumen. Seperti ditunjukkan oleh gambar di atas, daerah surplus produsen dan surplus konsumen masing-masing meliputi daerah ABP0 dan P0BC pada saat sebelum konversi lahan sawah terjadi. Pergeseran kurva penawaran akibat
37
konversi lahan sawah menyebabkan daerah surplus produsen dan surplus konsumen mengalami perubahan. Surplus produsen dan surplus konsumen setelah konversi lahan masing-masing meliputi daerah FEP1 dan P1EC (Tabel 5). Gambar 8 menunjukkan bahwa konversi lahan sawah yang terjadi menyebabkan penurunan surplus produsen dan surplus konsumen sebagaimana berkurangnya daerah arsiran masing-masing surplus. Konversi lahan sawah yang ada tidak saja mengurangi surplus produsen yang diterima petani, namun juga mengurangi surplus konsumen akibat kenaikan harga padi (beras) tersebut. Tabel 5 Dampak konversi lahan sawah terhadap perubahan indikator kesejahteraan. Indikator Kesejahteraan
Sebelum konversi
Setelah konversi
P0BA P0BC
P1EF P1EC
1. Surplus produsen 2. Surplus konsumen Sumber: Pyndick and Rubinfeld (2009)
3.1.8 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Perubahan Tingkat Kesejahteraan 3.1.8.1 Kebijakan Harga
Terdapat banyak kebijakan di sektor pertanian, seperti kebijakan: faktor produksi, harga, sarana dan prasarana, teknologi, perdagangan, fiskal, dan lain sebagainya. Kebijakan harga bertujuan untuk melindungi petani dari harga yang rendah dan memberi insentif bagi petani untuk terus melakukan usahataninya. Gambar 9 mengilustrasikan dampak kebijakan Harga Dasar Gabah terhadap surplus konsumen dan surplus produsen. Penjelasan gambar tersebut adalah sebagai berikut: keseimbangan pasar terletak pada titik B, dimana harga keseimbangan pada P* dan jumlah permintaan pada Q*. Ketika pemerintah menetapkan harga dasar sebesar P’, maka akan menyebabkan jumlah permintaan menurun menjadi Qd’, sementara jumlah penawaran akan meningkat menjadi Qs’, sehingga ada kelebihan produksi beras (excess supply) sebanyak Qs’ – Qd’. Kebijakan harga dasar ini dinilai efektif (P’ > P*), jika pemerintah dapat menyerap kelebihan produksi (surplus) beras tersebut, sehingga besarnya pengeluaran pemerintah adalah sebesar Qd’JKQs’.
38
Sumber: Hirshleifer et al. (2005), dimodifikasi.
Gambar 9 Kurva harga dasar yang efektif. Sebelum kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) diterapkan, surplus produsen dan konsumen masing-masing meliputi daerah P*BA dan P*BC. Sementara itu, setelah pemerintah menerapkan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) yang bias kepada petani (produsen), maka surplus produsen meliputi daerah P’KA, sedangkan surplus konsumen meliputi daerah P’JC. Melalui instrumen kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani dengan cara menyerap semua kelebihan produksi (surplus) padi yang dihasilkan petani, dengan konsekuensi pemerintah mengeluarkan dana sebesar Qd’JKQs (Tabel 6). Tabel 6 Dampak kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) terhadap perubahan indikator kesejahteraan. Indikator Kesejahteraan
1. Surplus produsen 2. Surplus konsumen 3. Perub. pengeluaran pemerintah Sumber: Hirshleifer et al. (2005)
Sebelum HDG
Setelah HDG
P*BA P*BC –
P’KA P’JC Qd’JKQs
39
3.1.8.2 Kebijakan Impor
Kebijakan ekonomi sektor pertanian di bidang perdagangan diartikan sebagai berbagai tindakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi, arah, serta bentuk perdagangan dan pembayaran internasional. Menurut Tweeten (1992), terdapat tiga macam restriksi dalam perdagangan internasional, yaitu: (1) Tarif, adalah pembebanan pajak terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara; (2) Kuota, adalah pembatasan jumlah fisik terhadap barang yang masuk dan keluar suatu negara; dan (3) Subsidi, adalah pemberian insentif terhadap barang-barang yang melewati suatu negara. Tarif dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Bea ekspor, adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang yang diangkut menuju ke negara lain; (2) Bea transito, adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang melalui wilayah suatu negara dengan ketentuan barang tersebut sebagai tujuan akhirnya adalah negara lain; dan (3) Bea impor, adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang yang masuk dalam area suatu negara dengan ketentuan negara tersebut sebagai negara akhir. Sedangkan berdasarkan jenisnya, tarif dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) Tarif Ad-valorem, adalah bea yang nilainya dinyatakan dalam persentase dari nilai barang yang dikenakan bea tersebut; (2) Tarif spesifik, adalah bea yang nilainya dinyatakan untuk tiap ukuran fisik dari barang (unit); dan (3) Tarif Spesifik Ad-valorem atau campuran, adalah bea yang merupakan kombinasi antara spesifik dan ad-valorem. Penerapan restriksi perdagangan, baik tarif maupun kuota impor, akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi. Gambar 9 dan 10 akan mengilustrasikan dampak tarif dan kuota impor terhadap perubahan tingkat kesejahteraan, yaitu: surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah, serta net surplus. Penerapan tarif dan kuota impor menyebabkan: kenaikan harga Pw ke P’w+t; penurunan konsumsi domestik dari qc ke q’c; peningkatan produksi domestik dari qp ke q’p; redistribusi pendapatan dari konsumen kepada produsen; cost of protection; dan penurunan impor dari qp qc menjadi q’p q’c. Berikut dampak kebijakan tarif impor terhadap perubahan tingkat kesejahteraan masing-masing pelaku ekonomi (Gambar 10).
40 Importer A Price
S
Import Market of A Price Price
ROW
ES S P’w+t Pw P’w
b a
d
2
c e
1 D
4 3
ED ED-t
0
qpq’p q’c qc
0
0
q‘p qp
Quantity
Quantity
D QcQ’c Q‘p Qp Quantity
Keterangan: *ROW = Rest of World Sumber: Tweeten (1992)
Gambar 10 Dampak tarif impor terhadap perubahan tingkat kesejahteraan. Berdasarkan gambar di atas, kebijakan tarif impor yang diberlakukan di dalam negeri (importir) mengakibatkan peningkatan harga domestik dari Pw menjadi Pw+t. Hal ini menyebabkan konsumen mengalami kerugian yang ditunjukkan oleh hilangnya surplus konsumen sebesar – a – b – c – d. Kebijakan tarif impor meningkatkan surplus produsen sebesar a dan pemerintah memperoleh penerimaan dari tarif impor sebesar c + e (Tabel 7). Tabel 7 Dampak kebijakan tarif impor terhadap perubahan indikator kesejahteraan. Indikator Kesejahteraan
1. 2. 3. 4. 5.
Surplus produsen Surplus konsumen Perubahan penerimaan pemerintah Kesejahteraan nasional Kesejahteraan dunia
Importir A
ROW*
a –1–2–3–4 – a–b–c–d 1 c+e – –b–d+e –2 –3–4 –b–d–2 –4
Sumber: Tweeten (1992)
Kebijakan impor lainnya adalah kuota impor. Berdasarkan jenisnya, kuota impor dibedakan menjadi: (1) Absolute/ uniteral quota, adalah nilai kuota yang
41
besar-kecilnya ditentukan sendiri oleh suatu negara tanpa persetujuan negara lain; (2) Negotiated/bilateral quota, adalah nilai kuota yang besar-kecilnya ditentukan berdasarkan perjanjian antara 2 negara atau lebih; (3) Tariff-quota, adalah gabungan antara tarif dan kuota; dan (4) Mixing quota, adalah pembatasan penggunaan bahan mentah yang diimpor dalam proporsi tertentu dalam produksi barang akhir. Pemberlakuan kuota impor akan menyebabkan barang yang diimpor akan berkurang di pasar dalam negeri suatu negara, sedangkan permintaan relatif tetap (Gambar 11). Pembatasan impor ini menyebabkan excess demand di pasar dunia “patah” (dibatasi) dari ED menjadi ED’, sehingga titik keseimbangan tidak lagi berada di qePw melainkan berada di q’eP’w. Hal ini menyebabkan harga di pasar domestik lebih tinggi daripada di pasar dunia sehingga akan menimbulkan monopoly profit. Sementara itu, yang menikmati monopoly profits tersebut tergantung dari: (a) jika eksportir dan importer terpisah dan mereka saling bersaing di pasar dan tidak ada sistem lisensi, maka harga impor akan sama dengan harga di pasar dunia; (b) jika importir memiliki lisensi impor, maka seluruh keuntungan akan dinikmati oleh importir, begitu pula dengan eksportir; dan (c) jika pemerintah mengadakan lelang untuk lisensi impor, maka keuntungan akan ada pada pemerintah dan pemegang lisensi impor (Tweeten, 1992).
Price
Importer A S S’
Import Market of A Price Price
ROW S
ES P’d
D
c a
b
d
2 4
Pw P’w
1
x e y D
0 q q’ q’ q p p c c Quantity
ED’ 0
q‘e qe Quantity
3
ED 0 Q Q’ Q‘ Q c c p p Quantity
Sumber: Tweeten (1992)
Gambar 11 Dampak kuota impor terhadap tingkat kesejahteraan.
42
Kebijakan kuota impor dinilai lebih efektif dalam membatasi impor karena mengurangi secara fisik (jumlah impor), sehingga jumlah barang impor yang masuk pasar domestik berkurang dan harga domestik mengalami peningkatan sebesar P’d. Peningkatan harga domestik ini direspon petani dengan mengingkatkan produksinya, sehingga kurva penawaran bergeser ke kanan dari S ke S’ yang menyebabkan surplus produsen mengalami peningkatan sebesar a. Sementara itu, kenaikan harga domestik menyebabkan konsumen kehilangan surplusnya sebesar – a – b – c – d (Tabel 8). Kebijakan kuota impor ini mengakibatkan redistribusi pendapatan dari konsumen ke produsen (sebesar a) dan pemerintah (sebesar b). Kebijakan ini juga mengakibatkan terjadinya inefisiensi sebesar – c – d yang tidak dinikmati oleh semua pihak, atau disebut dengan dead weight loss (DWL). Walaupun jumlah impor dibatasi, tetapi pemerintah tetap memperoleh penerimaan sebesar b + e melalui tarif yang dipungut dari pihak yang menerima lisensi impor. Tabel 8 Dampak kebijakan kuota impor terhadap perubahan indikator kesejahteraan. Indikator Kesejahteraan
1. Surplus produsen 2. Surplus konsumen 3. Perubahan penerimaan pemerintah 4. Kesejahteraan nasional 5. Kesejahteraan dunia
Importir A
ROW*
a –1–2–3–4 – a–b–c–d 1 b+e – –c–d+e –2 –3–4 –c–d–2 –4
Sumber: Tweeten (1992)
Walaupun tarif dan kuota impor memiliki fungsi yang sama yaitu untuk membatasi impor, namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang signifikan (Tweeten, 1992), yaitu: 1) pemberlakuan kuota impor akan memperbesar permintaan yang diikuti dengan meningkatnya harga dan produksi domestik, sementara kenaikan permintaan dari tarif impor tidak akan mengubah harga maupun produksi domestik, tetapi meningkatkan konsumsi dan kuantitas impor; 2) adanya distribusi lisensi pada kuota impor; 3) jika menerapkan kuota, pemerintah pendapatan melalui tarif yang dipungut dari pihak yang menerima lisensi impor; dan 4) kuota impor membatasi dalam jumlah yang pasti, sementara tarif impor membatasi dalam jumlah yang tidak bisa dipastikan.
43
3.2 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian ini diilustrasikan seperti pada Gambar 12 berikut ini.
Gambar 12 Kerangka konseptual model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia.
44
Hubungan antarvariabel yang digunakan dalam model di atas, dapat diilustrasikan melalui kerangka kerja operasional pada Gambar 13.
Penggunaan & Persaingan SDL
Industri
Non-Sawah
Perumahan
Pertanian
Infrastrktr
Sawah Faktor Produksi
Tangible
NonPertanian
Pariwisata Intangible
Luas Baku
Produktivitas Padi
Produksi Pangan
Internal
Eksternal
SDL Terbatas
Pertumbuhan Ekonomi
Perbedaan Land-Rent
Pertambahan Penduduk
Kebutuhan Pemilik
Otonomi Daerah
Desentralisasi/
Intensitas Tanam
Konsumsi Pangan
ε bp
b
ε bp
j
Permintaan Pangan
ε Ib Ekonomi
Penawaran Pangan
Subsistem Ketahanan Pangan Ketersediaan Pangan
Penyerapan Pangan
Stabilitas
Keterangan: = konversi lahan sawah = fokus penelitian = tidak menjadi fokus penelitian = mempengaruhi
Gambar 13 Kerangka kerja operasional penelitian.
Akses Pangan
Distribusi
Pangan
Fisik
45
3.3 Hipotesa
Hipotesa yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1 Konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa dipengaruhi oleh pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan pengembangan wilayah. 2 a. Konversi lahan sawah yang terjadi menurunkan ketersediaan pangan per kapita, mengingat laju konversi lahan sawah yang ada lebih tinggi dibandingkan laju pertambahan sawah bukaan baru. Kondisi tersebut makin diperparah dengan produktivitas padi yang saat ini telah mengalami stagnasi (leveling off). b. Ketersediaan pangan nasional yang menurun mengakibatkan harga pangan yang semakin meningkat, sehingga konversi lahan sawah pun menurunkan akses pangan per kapita. 3 Implementasi alternatif kebijakan harga tanpa impor menurunkan ketersediaan dan akses pangan nasional. Sementara itu, implementasi alternatif kebijakan harga tanpa impor mampu meningkatkan surplus produsen, tetapi menurunkan surplus konsumen dan penerimaan pemerintah. 4 Implementasi alternatif kebijakan tarif dan kuota impor di dalam negeri meningkatkan surplus produsen dan penerimaan pemerintah, namun menurunkan surplus konsumen.
46
Halaman ini sengaja dikosongkan
.
47
IV PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS 4.1 Spesifikasi Model
Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses. Bentuk dari model dapat berupa hipotesis verbal, tabel, grafik, atau diagram. Model kuantitatif adalah abstraksi dari suatu fenomena aktual yang diformulasikan dalam bentuk kombinasi hubungan-hubungan persamaan dan ketidaksamaan. Suatu sistem atau fenomena (nature of the problems) ekonomi yang akan diteliti dapat diabstraksi ke dalam sebuah model yang dinamakan model ekonomi. Teori ekonomi dan pengalaman empiris yang relevan digunakan sebagai dasar untuk memformulasikan model ekonomi yang cukup sederhana dan realistis. Salah satu bentuk model kuantitatif dari suatu fenomena ekonomi adalah model ekonometrika. Model ekonometrika merupakan suatu pola khusus dari model aljabar, yakni suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih peubah pengganggu (Intriligator, 1978). Menurut Koutsoyiannis (1977), model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas (explanatory variable) terhadap peubah endogen (dependent variable) khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (sign and magnitude) dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori. Model yang baik haruslah memenuhi tiga kriteria, yaitu: 1) kriteria teori ekonomi (theoretically meaningful); 2) kriteria statistika, yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R2) dan nyata secara statistik (statistically significant); dan 3) kriteria ekonometrika, yang menetapkan apakah suatu taksiran memenuhi sifat-sifat yang dibutuhkan, seperti: unbiasedness, consistency, sufficiency, efficiency (Koutsoyiannis, 1977). Model yang dibangun dalam penelitian ini dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: 1) blok konversi lahan sawah; 2) blok ketersediaan pangan; dan 3) blok akses pangan. Model ekonometrika yang dibangun merupakan model persamaan simultan, yang akan mengkaitkan berbagai peubah dalam blok konversi lahan sawah dengan blok ketersediaan pangan dan blok akses pangan. Gambar 14 berikut menunjukkan keterkaitan antarpeubah dalam model tersebut.
48
Gambar 14 Bagan keterkaitan antarpeubah dalam model.
49
4.1.1 Blok Konversi Lahan Sawah 4.1.1.1 Luas Baku Sawah
Luas baku sawah Jawa merupakan persamaan identitas, yaitu penjumlahan luas sawah irigasi Jawa ditambah luas sawah non-irigasi Jawa ditambah pencetakan sawah Jawa kemudian dikurangi konversi lahan sawah Jawa. Karena data pencetakan sawah dan konversi lahan sawah tidak diketahui, maka data konversi lahan sawah yang digunakan dalam penelitian ini adalah data konversi lahan sawah netto, yang merupakan perubahan luas baku sawah tahun t terhadap luas baku sawah tahun t-1. Perubahan luas sawah yang bertanda negatif menunjukkan luas konversi sawah, sedangkan yang bertanda positif menunjukkan luas pencetakan sawah baru (Irawan, 2011). Hal yang sama juga berlaku bagi luas baku sawah luar Jawa, yang merupakan persamaan identitas, berupa penjumlahan luas sawah irigasi luar Jawa, luas sawah non-irigasi luar Jawa, dan luas pencetakan sawah baru luar Jawa yang kemudian dikurangi dengan konversi lahan sawah luar Jawa. Sama seperti Jawa, data konversi lahan sawah luar Jawa yang digunakan juga berupa data konversi lahan sawah netto. Sementara itu, luas baku sawah Indonesia merupakan persamaan identitas, berupa penjumlahan dari luas baku sawah Jawa dan luar Jawa. Setiap perubahan kebijakan yang mempengaruhi luas baku sawah Jawa dan luar Jawa juga akan berpengaruh terhadap total luas baku sawah Indonesia. Jawa Δ KLSJt = LBSJt – LBSJt-1 ………………………………………………...
(4.1)
Luar Jawa Δ KLSLJt = LBSLJt – LBSLJt-1 ……………………………………………
(4.2)
Indonesia Δ KLSIt = LBSIt – LBSIt-1 ………………………………………………....
(4.3)
dimana: LBSJt LSIRJt LSNIRJt
= Luas baku sawah di Jawa (ha) = Luas sawah irigasi di Jawa (ha) = Luas sawah non-irigasi di Jawa (ha)
50
CETJt KLSJt Δ KLSJt LBSJt-1 LBSLJt LSIRLJt LSNIRLJt CETLJt KLSLJt Δ KLSLJt LBSLJt-1 LBSIt LSIRIt LSNIRIt CETIt KLSIt Δ KLSIt LBSIt-1
= = = = = = = = = = = = = = = = = =
Luas sawah pencetakan baru di Jawa (ha) Konversi lahan sawah di Jawa (ha) Perubahan konversi lahan sawah di Jawa (ha) Lag bedakala luas baku sawah di Jawa (ha) Luas baku sawah di luar Jawa (ha) Luas sawah irigasi di luar Jawa (ha) Luas sawah non-irigasi di luar Jawa (ha) Luas sawah pencetakan baru di luar Jawa (ha) Konversi lahan sawah di luar Jawa (ha) Perubahan konversi lahan sawah di luar Jawa (ha) Lag luas baku sawah di luar Jawa (ha) Luas baku sawah di Indonesia (ha) Luas sawah irigasi di Indonesia (ha) Luas sawah non-irigasi di Indonesia (ha) Luas sawah pencetakan baru di Indonesia (ha) Konversi lahan sawah di Indonesia (ha) Perubahan konversi lahan sawah di Indonesia (ha) Lag luas baku sawah di Indonesia (ha)
4.1.1.2 Konversi Lahan Sawah
Konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi oleh lag harga riil gabah di tingkat petani di Jawa, perubahan kontribusi sektor bangunan terhadap PDRB di Jawa, rasio pendapatan regional riil di Jawa, rasio jumlah penduduk di Jawa dengan jumlah penduduk total di Indonesia, dan tren waktu. Sementara itu, konversi lahan sawah di luar Jawa dipengaruhi oleh lag harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa, rasio pendapatan regional riil di luar Jawa, dan lag konversi lahan sawah di luar Jawa. Fungsi dari persamaan konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa dapat diformulasikan seperti pada persamaan berikut: Jawa KLSJt = a0 + a1 HGTTJRt-1 + a2 (DSRBJ – DSRBJt-1) + a3 (PDRBJRt / PDRBJRt-1) + a4 (JPDKJt / JPDKIt) + a5 Tt + U1 ..
(4.4)
Luar Jawa KLSLJt = b0 + b1 HGTTLJRt-1 + b2 (PDRBLJRt / PDRBLJRt-1) + b3 KLSLJt-1 + U2 ……………………………………………...... (4.5) dimana: HGTTJRt-1 = Lag harga gabah tingkat petani di Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) = Kontribusi sektor bangunan terhadap PDRB di Jawa (%) DSRBJt DSRBJt-1 = Lag kontribusi sektor bangunan terhadap PDRB di Jawa (%)
51
PDRBJRt
= Pendapatan regional di Jawa (Rp), dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia tahun dasar (2005=100) PDRBJRt-1 = Lag pendapatan regional di Jawa (Rp), dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia tahun dasar (2005=100) = Jumlah penduduk di Jawa (jiwa) JPDKJt = Jumlah penduduk di Indonesia (jiwa) JPDKIt = Tren waktu Tt HGTTLJRt-1 = Lag harga gabah tingkat petani di luar Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) PDRBLJRt = Pendapatan regional di luar Jawa (Rp), dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia tahun dasar (2005=100) PDRBLJRt-1 = Lag pendapatan regional di luar Jawa (Rp), dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia tahun dasar (2005=100) KLSLJt-1 = Lag konversi lahan sawah di luar Jawa (ha) = Peubah pengganggu U1, U2 Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: a2, a3, a4 > 0 dan a1 < 0; b2 > 0; b1 < 0; dan 0 < b3 < 1. Konversi lahan sawah Indonesia merupakan persamaan identitas yaitu penjumlahan dari konversi lahan sawah Jawa dan luar Jawa. Sementara itu, besaran persentase konversi lahan sawah Indonesia merupakan persentase ratarata konversi lahan sawah Jawa dan luar Jawa. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa setiap perubahan kebijakan yang mempengaruhi konversi lahan sawah Jawa dan luar Jawa akan berpengaruh pula terhadap konversi lahan sawah Indonesia secara keseluruhan. Indonesia KLSIt = KLSJt + KLSLJt ………………………………………………...
(4.6)
4.1.2 Blok Ketersediaan Pangan 4.1.2.1 Luas Areal Panen Padi
Luas areal panen padi di Jawa merupakan fungsi dari rasio harga riil gabah tingkat petani dengan harga riil beras eceran di Jawa, lag harga riil jagung di tingkat produsen di Jawa, lag harga pupuk Urea di Jawa, konversi lahan sawah di Jawa, intensitas pertanaman di Jawa, dan lag luas real panen padi di Jawa. Luas areal panen padi di luar Jawa dipengaruhi oleh rasio harga riil gabah tingkat
52
petani di luar Jawa terhadap harga riil gabah tingkat petani Indonesia, lag harga riil jagung di tingkat produsen di luar Jawa, harga riil pupuk Urea di luar Jawa, lag konversi lahan sawah di luar Jawa, intensitas pertanaman di luar Jawa, dan lag luas areal panen padi di luar Jawa. Sementara itu, luas areal panen padi di Indonesia dipengaruhi oleh rasio harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia, harga riil jagung tingkat produsen di Indonesia, harga riil pupuk Urea di Indonesia, lag konversi lahan sawah di Indonesia, intensitas pertanaman di Indonesia, dan lag luas areal panen padi di Indonesia. Persamaan matematis luas areal panen padi di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia dirumuskan sebagai berikut: Jawa LAPJt = c0 + c1 (HGTTJRt / HBEJRt) + c2 HJTPJRt-1 + c3 HUREJRt-1 + c4 KLSJt + c5 IPJt + c6 LAPJt-1 + U3 ....………………………..
(4.7)
Luar Jawa LAPLJt = d0 + d1 (HGTTLJRt / HGTTIRt) + d2 HJTPLJRt-1 + d3 HURELJRt + d4 KLSLJt-1 + d5 IPLJt + d6 LAPLJt-1 + U4
.....
(4.8)
Indonesia LAPIt = e0 + e1 (HGTTIRt / HGTTIRt-1) + e2 HJTPIRt + e3 HUREIRt + e4 KLSIt-1 + e5 IPIt + e6 LAPIt-1 + U5 ....………………..…........
(4.9)
dimana: LAPJt HGTTJRt
= Luas areal panen padi di Jawa (ha) = Harga gabah di tingkat petani di Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) = Harga beras eceran di Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks HBEJRt harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) HJTPJRt-1 = Lag harga jagung di tingkat produsen di Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) HUREJRt-1 = Lag harga pupuk Urea di Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia tahun dasar (2005=100) IPJt = Intensitas pertanaman padi di Jawa (kali/tahun) = Lag luas areal panen padi di Jawa (ha) LAPJt-1 = Luas areal panen padi di luar Jawa (ha) LAPLJt HGTTLJRt = Harga gabah di tingkat petani di luar Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100)
53
HGTTIRt
= Harga gabah di tingkat petani di Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) HJTPLJRt-1 = Lag harga jagung di tingkat produsen di luar Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) HURELJRt = Harga pupuk Urea luar di Jawa (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia tahun dasar (2005=100) = Intensitas pertanaman padi di luar Jawa (kali/tahun) IPLJt = Lag luas areal panen padi di luar Jawa (ha) LAPLJt-1 = Luas areal panen padi di Indonesia (ha) LAPIt HGTTIRt-1 = Lag harga gabah di tingkat petani di Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) HJTPIRt = Harga jagung di tingkat produsen di Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) HUREIRt = Harga pupuk Urea di Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia tahun dasar (2005=100) = Lag konversi lahan sawah di Indonesia (ha) KLSIt-1 = Intensitas pertanaman padi di Indonesia (kali/tahun) IPIt = Lag luas areal panen padi di Indonesia (ha) LAPIt-1 U3, U4, U5 = Peubah pengganggu Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: c1, c5 > 0; c2, c3, c4 < 0; dan 0 < c6 < 1; d1, d5 > 0; d2, d3, d4 < 0; dan 0 < d6 < 1; e1, e5 > 0; e2, e3, e4 < 0; dan 0 < e6 < 1. 4.1.2.2 Produktivitas Padi
Produktivitas padi di Jawa merupakan fungsi dari rasio lag harga riil gabah di tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea di Jawa, jumlah penggunaan pupuk TSP di Jawa, curah hujan di Jawa, rasio luas irigasi di Jawa, dan tren waktu. Produktivitas padi di luar Jawa dipengaruhi oleh rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea di luar Jawa, rasio jumlah penggunaan pupuk TSP di luar Jawa, curah hujan di luar Jawa, luas areal irigasi di luar Jawa, dan lag produktivitas padi di luar Jawa. Sementara itu, produktivitas padi di Indonesia dipengaruhi oleh rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea di Indonesia, jumlah penggunaan pupuk Urea di Indonesia, curah hujan di Indonesia, luas
54
irigasi di Indonesia, dan lag produktivitas padi di Indonesia. Persamaan produktivitas padi di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia dirumuskan sebagai berikut: Jawa YPPJt = f0 + f1 (HGTTJRt-1 / HUREJRt-1) + f2 JTSPJt + f3 CHJt + F4 (LASIJt / LASIJt-1) + f5 Tt + U6 …...........................................
(4.10)
Luar Jawa YPPLJt = g0 + g1 (HGTTLJRt / HURELJRt) + g2 (JTSPLJt / JTSPLJt-1) + g3 CHLJt + g4 LASILJt + g5 YPPLJt-1 + U7 ……………………… (4.11) Indonesia YPPIt = h0 + h1 (HGTTIRt / HUREIRt) + h2 JUREIt + h3 CHIt + h4 LASIIt + h5 YPPIt-1 + U8 ………………..................................... (4.12) dimana: YPPJt JTSPJt CHJt LASIJt LASIJt-1 YPPJt-1 YPPLJt JTSPLJt JTSPLJt-1 CHLJt LASILJt YPPLJt-1 YPPIt JUREIt CHIt LASIIt YPPIt-1 U6, U7, U8
= = = = = = = = = = = = = = = = = =
Produktivitas padi di Jawa (ton/ha) Jumlah penggunaan pupuk TSP (kg/ha) Curah hujan rata-rata di Jawa (mm/tahun) Luas areal irigasi di Jawa (ha) Lag luas areal irigasi di Jawa (ha) Lag produktivitas padi di Jawa (ton/ha) Produktivitas padi luar di Jawa (ton/ha) Jumlah penggunaan pupuk TSP (kg/ha) Lag jumlah penggunaan pupuk TSP (kg/ha) Curah hujan rata-rata di luar Jawa (mm/tahun) Luas areal irigasi di luar Jawa (ha) Lag produktivitas padi di luar Jawa (ton/ha) Produktivitas padi di Indonesia (ton/ha) Jumlah penggunaan pupuk Urea (kg/ha) Rata-rata curah hujan di Indonesia (mm/tahun) Luas areal irigasi di Indonesia (ha) Lag produktivitas padi di Indonesia (ton/ha) Peubah pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: f1, f2, f3, f4, f5 > 0; g1, g2, g3, g4 > 0; dan 0 < g5 < 1; h1, h2, h3, h4 > 0; dan 0 < h5 < 1. 4.1.2.3 Produksi Padi
Produksi padi dalam penelitian ini, merupakan indikator dari ketersediaan pangan akibat adanya pengaruh konversi lahan sawah. Total produksi padi dalam
55
bentuk gabah untuk Jawa dan luar Jawa merupakan persamaan identitas yaitu perkalian antara luas areal panen padi dengan produktivitasnya, sedangkan total produksi padi Indonesia merupakan penjumlahan dari produksi padi Jawa dan luar Jawa. Persamaan yang menggambarkan produksi padi Jawa, luar Jawa, dan Indonesia dapat dituliskan sebagai berikut. Jawa PPDJt = LAPJt * YPPJt ……………………………………………………
(4.13)
Luar Jawa PPDLJt = LAPLJt * YPPLJt ………………………………………………
(4.14)
Indonesia
PPDIt = LAPIt * YPPIt …………………………………………………….
(4.15)
dimana: PPDJt PPDLJt PPDIt
= Produksi padi di Jawa (ton) = Produksi padi di luar Jawa (ton) = Produksi padi di Indonesia (ton)
Produksi padi juga dihitung per kapita untuk melihat rata-rata kemampuan produksi padi yang bisa dihasilkan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada. Sumarno (2011) menyebutkan bahwa luas panen per kapita Indonesia sebagai salah satu modal dasar ketahanan pangan, termasuk yang terkecil di dunia. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap produksi padi per kapita yang dihasilkan, karena luas areal panen per kapita merupakan salah satu komponen penentu produksi padi per kapita. Produksi padi per kapita merupakan persamaan identitas yaitu pembagian produksi total terhadap jumlah penduduk pada suatu waktu tertentu, yang dapat dituliskan seperti persamaan berikut ini. Jawa PPDJPKt = PPDJt / JPDKJt ……………………………………………….
(4.16)
Luar Jawa PPDLJPKt = PPDLJt / JPDKLJt …………………………………………..
(4.17)
56
Indonesia
PPDIPKt = PPDIt / JPDKIt ………………………………………………..
(4.18)
dimana: PPDJPKt PPDLJPKt PPDIPKt JPDKLJt
= = = =
Produksi padi di Jawa per kapita (ton) Produksi padi di luar Jawa per kapita (ton) Produksi padi di Indonesia per kapita (ton) Jumlah penduduk di luar Jawa (jiwa)
Produksi beras total diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu faktor/angka konversi gabah kering giling (GKG) menjadi beras. Penelitian ini menggunakan angka konversi berdasarkan pendekatan dari Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu 0.65 untuk tahun 1990 – 1996, dan 0.632 untuk tahun 1997 – 2010 (dibulatkan 0.63). Dengan demikian, total produksi beras di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut. Jawa PBRJt = PPDJt * AKt ……………………………………………………..
(4.19)
Luar Jawa PBRLJt = PPDLJt * AKt ………………………………………………….
(4.20)
Indonesia
PBRIt = PBRJt + PBRLJt …………………………………………………
(4.21)
dimana: PBRJt PBRLJt PBRIt AKt
= = = =
Produksi beras di Jawa (ton) Produksi beras di luar Jawa (ton) Produksi beras di Indonesia (ton) Angka konversi
4.1.2.4 Impor Beras Indonesia
Jumlah beras impor Indonesia dipengaruhi oleh harga riil beras impor Indonesia dalam Rupiah, lag tarif impor, lag inflasi bahan makanan, lag produksi beras Indonesia, perubahan cadangan beras Indonesia, dan lag jumlah impor beras Indonesia. Fungsi dari persamaan jumlah impor beras Indonesia dapat diformulasikan sebagai berikut:
57
Indonesia JMBIt = i0 + i1 (HMBIRt * ERIRt) + i2 TRFBRt-1 + i3 IBMt-1 + i4 PBRIt-1 + i5 PCADBIt + i6 JMBIt-1 + U9 ………..............................................
(4.22)
dimana: = Jumlah impor beras Indonesia (ton) JMBIt HMBIRt = Harga beras impor Indonesia (US$/Ton), dideflasi dengan Indeks Harga Pedagang Besar Indonesia (tahun dasar 2005=100) = Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar USA (Rp/US$), dideflasi ERIRt dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun dasar 2005=100) TRFBRt-1 = Lag tarif impor beras Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan Indeks Harga Pedagang Besar Indonesia (tahun dasar 2005=100) = Lag inflasi bahan makanan (%) IBMt-1 PBRIt-1 = Lag produksi beras Indonesia (ton) PCADBIt = Perubahan cadangan beras Indonesia (ton) JMBIt-1 = Lag jumlah impor beras Indonesia (ton) = Peubah pengganggu U9 Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: i3 > 0; i1, i2, i4, i5 < 0; dan 0 < i6 < 1. Harga riil beras impor Indonesia dipengaruhi oleh harga riil beras dunia dan lag harga impor beras Indonesia. Secara matematis, fungsi persamaan harga impor beras Indonesia dapat diformulasikan sebagai berikut: Indonesia HMBIRt = j0 + j1 HBWRt + j2 HMBIRt-1 + U10 ………………………….... (4.23) dimana: HBWRt HMBIRt-1 U10
= Harga beras dunia (US$/Ton), yaitu harga beras kualitas 25 persen broken di Bangkok Free on Board, dideflasi dengan Indeks Harga Pedagang Besar Thailand (tahun dasar 2005 = 100) = Lag harga impor beras Indonesia (US$/ton) = Peubah pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: j1, j2 > 0. 4.1.2.5 Penawaran Beras Indonesia
Penawaran beras Indonesia merupakan persamaan identitas, yang berupa penjumlahan dari produksi beras Indonesia, impor, perubahan cadangan beras,
58
yang kemudian dikurangi dengan jumlah ekspor. Karena jumlah ekspor beras Indonesia relatif sangat kecil, maka jumlah ekspor tidak dibuatkan dalam satu persamaan tersendiri. Penawaran beras Indonesia menggunakan pendekatan FAO, dimana persamaan matematisnya dapat dituliskan sebagai berikut: Indonesia QSBIt = PBRIt + JMBIt + PCADBIt - JXBIt …………………………….. dimana: QSBIt JXBIt
(4.24)
= Jumlah penawaran beras Indonesia (ton) = Jumlah ekspor beras Indonesia (ton)
4.1.2.6 Jumlah Beras Susut Indonesia
Jumlah beras susut Indonesia merupakan persamaan identitas dari perkalian antara penawaran beras domestik dengan proporsi susut. Proporsi susut yang digunakan dalam penelitian ini adalah proporsi susut rata-rata FAO yaitu sebesar 12 persen 1 . Persamaan matematis jumlah beras susut Indonesia adalah sebagai berikut: Indonesia JBSIt = QSBIt * PSt ……………………………………………………… dimana: JBSIt PSt
(4.25)
= Jumlah beras susut Indonesia (ton) = Proporsi susut (%)
4.1.2.7 Ketersediaan Beras Indonesia
Ketersediaan beras untuk konsumsi pangan juga merupakan persamaan identitas berupa pengurangan penawaran beras Indonesia dengan jumlah beras susut Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan FAO, dimana persamaan matematisnya dapat dituliskan seperti di bawah ini. Indonesia TSBKt = QSBIt – JBSIt ……………………………………………………. (4.26) 1
http://www.faostat.fao.org
59
dimana: TSBKt
= Ketersediaan beras (untuk konsumsi pangan) Indonesia (ton)
Penelitian ini juga menghitung ketersediaan beras untuk konsumsi pangan per kapita. Ketersediaan beras (untuk konsumsi pangan) per kapita didefinikan sebagai banyaknya pangan (dalam hal ini beras) yang tersedia untuk dikonsumsi oleh setiap penduduk pada jangka waktu tertentu. Ketersediaan pangan per kapita merupakan pembagian antara ketersedian beras (untuk konsumsi pangan) dengan jumlah penduduk Indonesia dalam satu tahun. Namun demikian, untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku ketersediaan beras per kapita ini, maka ketersediaan beras (untuk konsumsi pangan) per kapita dalam penelitian ini dibuat dalam persamaan struktural. Ketersediaan beras per kapita dipengaruhi oleh perubahan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia, rasio luas areal panen padi dengan jumlah penduduk Indonesia, konversi lahan sawah Indonesia, jumlah beras impor Indonesia, tren waktu, dan lag ketersediaan beras per kapita. Secara matematis, fungsi persamaan ketersediaan beras per kapita diformulasikan sebagai berikut. Indonesia TSBKPKt = k0 + k1 (HGTTIRt – HGTTIRt-1) + k2 (LAPIt / JPDKIt) + k3 KLSIt + k4 JMBIt + k5 Tt + k6 TSBKPKt-1 + U11 …………
(4.27)
dimana: HGTTIRt-1 = Lag harga gabah di tingkat petani di Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) TSBKPKt-1 = Lag harga impor beras Indonesia (US$/ton) = Peubah pengganggu U11 Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: k1, k2, k4, k5 > 0; k3 < 0 dan 0 < k6 < 1. 4.1.3 Blok Akses Pangan 4.1.3.1 Permintaan Beras Indonesia
Permintaan beras Indonesia dipengaruhi oleh harga riil beras eceran, harga riil jagung di tingkat produsen (jagung sebagai komoditas substitusi beras), akses
60
pangan per kapita, dan lag permintaan beras Indonesia. Secara matematis, persamaan permintaan beras Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: Indonesia QDBIt = l0 + l1 HBEIRt + l2 HJTPIRt + l3 PPPKIRt + l4 QDBIt-1 + U12 …… (4.28) dimana: = Permintaan beras Indonesia (ton) QDBIt PPPKIRt = Akses pangan per kapita (Rp), yang diproksi dari pendapatan penduduk per kapita, dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun dasar 2005=100) QDBIt-1 = Lag permintaan beras Indonesia (ton) = Peubah pengganggu U12 Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: l1, l3 > 0; l2 < 0; dan 0 < l4 < 1. Permintaan beras Indonesia per kapita merupakan persamaan identitas berupa pembagian antara total permintaan beras Indonesia dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia. Permintaan beras Indonesia per kapita dijadikan pembanding bagi ketersediaan pangan per kapita, sehingga diketahui berapa besar gap antara ketersediaan dengan permintaan pangan per kapita. Secara matematis, persamaan permintaan beras per kapita dapat dituliskan sebagai berikut: Indonesia QDBIPKt = QDBIt / JPDKIt ………………………………………………
(4.29)
dimana: QDBIPKt = Permintaan beras Indonesia per kapita (kg/kap/thn) 4.1.3.2 Marjin Pemasaran Beras
Marjin pemasaran beras dalam penelitian ini hanya diduga dengan suatu persamaan identitas, dimana harga riil gabah di tingkat petani dikonversi ke dalam harga riil setara beras dengan cara membagi nilai harga riil gabah itu dengan nilai konversi gabah menjadi beras sebagaimana yang telah dipaparkan pada subbab produksi padi dan beras. Persamaan matematis marjin pemasaran beras dapat ditulis sebagai berikut:
61
Jawa MPBJt = HBEJRt – HGTTJRt / AKt ………………………………………
(4.30)
Luar Jawa MPBLJt = HBELJRt – HGTTLJRt / AKt …………………………………
(4.31)
Indonesia MPBIt = HBEIRt – HGTTIRt / AKt ………………………………………
(4.32)
dimana: MPBJt = Marjin pemasaran beras di Jawa (Rp/kg) MPBLJt = Marjin pemasaran beras di luar Jawa (Rp/kg) HBELJRt = Harga riil beras eceran di Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan indeks harga pedagang besar Indonesia tahun dasar (2005=100) = Marjin pemasaran beras di Indonesia (Rp/kg) MPBIt 4.1.3.3 Harga Riil (Gabah) Pembelian Pemerintah
Perilaku harga riil (gabah) pembelian pemerintah dipengaruhi oleh harga riil beras impor Indonesia (sebagai transmisi harga dan proksi dari penawaran beras), pendapatan nasional riil (dalam hal ini sebagai proksi dari permintaan beras di Indonesia), lag nilai tukar riil rupiah terhadap US dollar, dan lag harga riil (gabah) pembelian pemerintah. Secara matematis, harga riil (gabah) pembelian pemerintah dapat diformulasikan sebagai berikut. Indonesia HPPGRt = m0 + m1 HMBIRt + m2 GDPIRt + m3 ERIRt-1+ m4 HPPGRt-1 + U13 …………………………………………………………….. (4.33) dimana: HPPGRt GDPIRt ERIRt-1 HPPGRt-1 U13
= Harga (gabah) pembelian pemerintah (Rp/kg), dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun dasar 2005=100) = Pendapatan nasional (Rp), dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun dasar 2005=100) = Lag nilai tukar rupiah terhadap US dollar (Rp/US$), dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun dasar 2005=100) = Lag harga (gabah) pembelian pemerintah (Rp/kg), dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun dasar 2005=100) = Peubah pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: m1, m2, m3 > 0 dan 0 < m4 < 1.
62
4.1.3.4 Harga Riil Gabah di Tingkat Petani
Sebagai salah satu transmisi harga beras, perilaku harga gabah di tingkat petani juga dijadikan sebagai peubah endogen. Perilaku persamaan harga riil gabah di tingkat petani di Jawa dan luar Jawa dipengaruhi oleh perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah, perubahan marjin pemasaran beras, perubahan produksi padi, tren waktu, dan lag harga riil gabah di tingkat petani. Sementara itu, perilaku persamaan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia dipengaruhi oleh harga riil (gabah) pembelian pemerintah, marjin pemasaran beras, perubahan produksi padi, dan tren waktu. Persamaan matematis perilaku harga riil gabah di tingkat petani di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia dapat diformulasikan sebagai berikut. Jawa HGTTJRt = n0 + n1 (HPPGRt – HPPGRt-1) + n2 (MPBJt – MPBJt-1) + n3 (PPDJt – PPDJt-1) + n4 Tt + n5 HGTTJRt-1 + U14 …............... (4.34) Luar Jawa HGTTLJRt = o0 + o1 (HPPGRt – HPPGRt-1) + o2 (MPBLJt – MPBLJt-1) + o3 (PPDLJt – PPDLJt-1) + o4 Tt + o5 HGTTLJRt-1 + U15 …..... (4.35) Indonesia HGTTIRt = p0 + p1 HPPGRt + p2 MPBIt + p3 (PPDIt – PPDIt-1) + p4 Tt + U16 …………………………………………………………….. (4.36) dimana: MPBJt-1 MPBLJt-1 PPDJt-1 PPDLJt-1 PPDIt-1 U14, U15, U16
= = = = = =
Marjin pemasaran beras di Jawa (Rp/kg) Marjin pemasaran beras di luar Jawa (Rp/kg) Lag produksi padi di Jawa (ton) Lag produksi padi di luar Jawa (ton) Lag produksi padi di Indonesia (ton) Peubah pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: n1, n4 > 0; n2, n3 < 0; dan 0 < n5 < 1; o1, o4 > 0; o2, o3 < 0; dan 0 < o5 < 1; p1, p4 > 0 dan p2, p3 < 0. 4.1.3.5 Harga Riil Beras Eceran Indonesia
Perilaku harga riil beras eceran Indonesia dalam penelitian ini, dijadikan sebagai peubah endogen. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dampak
63
konversi lahan sawah (dengan indikator produksi padi) terhadap akses pangan, yang diperlihatkan dari semakin meningkatnya harga riil beras. Peningkatan harga riil beras eceran mencerminkan inflasi bahan makanan, yang berakibat terhadap penurunan akses pangan. Perilaku harga beras eceran di Indonesia dipengaruhi oleh perubahan harga gabah tingkat petani di Indonesia, perubahan produksi beras Indonesia, jumlah beras impor, perubahan cadangan beras, perubahan konversi lahan sawah di Indonesia, dan tren waktu. Persamaan matematisnya adalah sebagai berikut: Indonesia HBEIRt = q0 + q1 (HGTTIRt – HGTTIRt-1)+ q2 (PBRIt – PBRIt-1) + q3 JMBIt-1 + q4 PCADBIt + q5 (KLSIt – KLSIt-1) + q6 Tt + q7 HBEIRt-1 + U17 ..……………………………………………
(4.37)
dimana: HBEIRt-1 = Lag harga beras eceran Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan Indeks Harga Pedagang Besar Indonesia (tahun dasar 2005=100) = Peubah pengganggu U17 Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: q1, q5, q6 > 0; q2, q3, q4 < 0, dan 0 < q7 < 1. 4.1.3.6 Inflasi Bahan Makanan
Inflasi bahan makanan menggambarkan tingkat perubahan harga beras dari waktu ke waktu. Data pengeluaran konsumsi per kapita menyebutkan bahwa sekitar 51 persen pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah untuk konsumsi pangan. Hal ini mengindikasikan bahwa meningkatnya inflasi harga beras akan berdampak terhadap penurunan akses/daya beli konsumen terhadap beras. Inflasi bahan makanan dipengaruhi oleh harga riil beras eceran di Indonesia, perubahan nilai tukar rupiah terhadap US dollar, excess demand beras, laju inflasi umum dan tren waktu. Indonesia IBMt = r0 + r1 HBEIRt + r2 (ERIRt - ERIRt-1) + r3 (QDBIt – QSBIt) + r4 LIUt + r5 Tt + U18 ………………………………………………
(4.38)
64
dimana: IBMt LIUt U18
= Inflasi bahan makanan (%) = Laju inflasi umum (%) = Peubah pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: r1, r2, r3, r4, r5 > 0. 4.1.3.7 Akses Pangan per Kapita
Akses pangan per kapita diproksi dari pendapatan riil penduduk Indonesia per kapita. Hal ini dikarenakan pendapatan riil penduduk Indonesia per kapita mencerminkan akses (daya beli) individu terhadap pangan. Akses pangan per kapita ini dipengaruhi oleh inflasi bahan makanan, konversi lahan sawah di Indonesia, perubahan ketersediaan infrastruktur jalan di Indonesia (diproksi dari panjang jalan nasional), dan lag akses pangan per kapita. Secara matematis, persamaan akses pangan per kapita dapat dituliskan sebagai berikut: Indonesia PPPKIRt = s0 + s1 IBMt + s2 KLSIt + s3 (PJLNIt – PJLNIt-1) + s4 PPPKIRt-1 + U19 ……………………………………………. dimana: PJLNIt PJLNIt-1 PPPKIRt-1 U19
= = = =
(4.39)
Ketersediaan infrastruktur jalan di Indonesia (km) Lag ketersediaan infrastruktur jalan di Indonesia (km) Lag pendapatan penduduk per kapita (Rp/jiwa) Peubah pengganggu
Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: s3 > 0; s1, s2 < 0; dan 0 < s4 < 1. 4.1.3.8 Penerimaan Pemerintah dan Devisa Negara
Persamaan penerimaan pemerintah merupakan persamaan identitas, berupa perkalian antara tarif impor dengan jumlah beras impor Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah selaku salah satu pelaku ekonomi beras memperoleh penerimaan dari tarif impor beras. Persamaan penerimaan pemerintah dituliskan sebagai berikut:
65
Indonesia PPMRt = TRFBRt * JMBIt ……………………………………………….. (4.40) dimana: PPMRt TRFBRt
= Penerimaan pemerintah (Rp) = Tarif impor beras Indonesia (Rp/kg), dideflasi dengan Indeks Harga Pedagang Besar Indonesia (tahun dasar 2005=100) Sementara itu, persamaan devisa negara merupakan persamaan identitas,
yaitu perkalian antara harga riil beras impor Indonesia dengan jumlah beras impor Indonesia. Persamaan matematisnya dapat dituliskan seperti di bawah ini. DEVt = HMBIRt * JMBIt ………………………………………………. dimana: DEVt
(4.41)
= Devisa negara (Rp)
4.2 Prosedur Analisis 4.2.1
Identifikasi Model
Tahap ini melakukan pengkajian tentang kemungkinan diperolehnya nilai yang unik untuk setiap parameter yang ada di dalam model dan kemungkinan persamaan simultan tidak ada solusinya. Ada tiga jenis identifikasi model, yaitu: 1 Unidentified model adalah model dengan jumlah parameter yang diestimasi pada masing-masing persamaan lebih besar dari jumlah data yang diketahui (data berupa variance dan covariance dari peubah-peubah teramati), atau suatu identifikasi model dimana model yang dispesifikasikan tidak mempunyai penyelesaian yang unik. Degree of freedom (df) digunakan untuk mengetahui identifikasi. Model dikatakan unidentified jika df < 0, dimana df = jumlah data – jumlah parameter yang diestimasi. 2 Exactly identified model adalah identifikasi model di mana jumlah parameter yang akan diestimasi pada masing-masing persamaan sama dengan jumlah data dan hanya mempunyai penyelesaian tunggal dalam persamaan tersebut (df = 0). 3 Over-identified model adalah identifikasi model dimana jumlah parameter yang diestimasi pada masing-masing persamaan lebih kecil dari jumlah data yang diketahui (df > 0), oleh karena itu dilakukan proses iterasi hingga dicapai nilai konvergensi yang stabil.
66
Identifikasi model harus memenuhi dua syarat, yaitu: order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K–M) < (G–1) = maka persamaan dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified) ………………………………………….. (4.42) (K–M) = (G–1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified)…………………………………....... (4.43) (K–M) > (G–1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (over-identified) ................................................ (4.44) dimana: K
= Total peubah dalam model, yaitu peubah endogenous dan peubah predetermined. M = Jumlah peubah endogenous dan exogenous yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model. G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogenous dalam model. Suatu persamaan yang memenuhi order condition, mungkin saja
persamaan tersebut tidak teridentifikasi. Oleh sebab itu, dalam suatu proses identifikasi harus memenuhi dua syarat di atas, tidak hanya order condition. Menurut Koutsoyiannis (1977), suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain, kondisi rank condition ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (determinan anak matriks dari persamaan struktural ≠ 0). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over-identified supaya dapat menduga parameter-parameter dalam setiap persamaannya. Model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia yang telah dirumuskan ini terdiri dari: 41 persamaan (19 persamaan struktural dan 22 persamaan identitas) atau dengan kata lain model terdiri dari 41 peubah endogen (G). Peubah predetermined dalam model berjumlah 74 peubah yang terdiri dari 41 peubah eksogen dan 33 lag peubah endogen. Oleh karena itu, total peubah yang
67
ada di dalam model (K) berjumlah 115 peubah, dengan jumlah peubah predetermined terbanyak dalam suatu persamaan (M) adalah sebanyak 7 peubah. Maka berdasarkan order condition criteria, setiap persamaan di dalam model ini adalah teridentifikasi secara berlebih (over-identified). 4.2.2
Metode Pendugaan Model
Metode pendugaan model yang dapat dilakukan untuk sistem persamaan simultan yang dinyatakan over-identified adalah dengan metode 2-SLS (Two Stage Least Squares), 3-SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood), atau FIML (Full Information Maximum Likelihood). Metode pendugaan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode 2-SLS dengan pertimbangan: penerapan 2-SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah; sedangkan metode 3SLS, LIML maupun FIML membutuhkan informasi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 1999). Persamaan simultan sangat memungkinkan terjadinya korelasi antara peubah endogen dengan error term. Kondisi ini menyebabkan penggunaan regresi biasa (OLS) sangat berpotensi menghasilkan taksiran yang bias dan tidak konsisten. Oleh karena itu, metode 2-SLS lebih tepat digunakan untuk analisis simultan, dimana dalam analisis ini semua peubah diperhitungkan sebagai suatu sistem secara menyeluruh. Metode 2-SLS terdiri dari dua tahap, yaitu: (a) tahap pertama, melakukan analisis regresi bentuk yang direduksi (reduced form) peubah dependen atas semua peubah eksogen untuk setiap persamaan dengan tujuan menghilangkan korelasi antara peubah dependen dengan error term. Tahap ini menghasilkan nilai taksiran masing-masing persamaan yang kemudian berfungsi sebagai peubah instrumental, yaitu suatu peubah yang menjelaskan peubah endogen sehingga menyerupai peubah dependen yang asli namun tidak berkorelasi dengan error term; dan (b) tahap kedua, menggantikan peubah endogen dalam persamaan asli dengan nilai taksirannya, kemudian menerapkan OLS untuk persamaan yang kemudian ditransformasikan (Pyndick & Rubinfeld, 1998).
68
Penghitungan parameter pendugaan persamaan struktural dalam model dilakukan dengan menggunakan program computer SAS/ETS (Statistical Analysis System/Econometric Time Series) versi 9.1 terhadap data sekunder time series periode tahun 1990 – 2010. SAS/ETS versi 9.1 ini masih menggunakan nilai probabilitas |T| untuk uji dua-arah (two-tails) sebagaimana terlihat pada hasil pengolahan SAS (Lampiran 13 dan 15). Sementara itu, hipotesis pendugaan parameter yang diharapkan dalam penelitian ini adalah satu arah (one-tail), sehingga nilai probabilitas |T| harus dibagi dua agar sesuai dengan hipotesis satu arah (one-tail). Setelah menentukan metode pendugaan (estimasi) model, selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengevaluasi hasil koefisien pendugaan model dan menguji hipotesis. Evaluasi hasil pendugaan model persamaan umumnya dibagi menjadi tiga kriteria (Koutsoyiannis, 1977), yaitu: 1
Kriteria Ekonomi
Economic ‘a prior’ criteria, dalam hal ini ditentukan oleh prinsip-prinsip yang sesuai dengan kriteria ekonomi, yang mengacu pada arah (sign) dan besaran (magnitude). 2
Kriteria Statistik
Statistical criteria: first-order test, yang ditentukan oleh teori statistik dan membantu evaluasi model secara statistik yang dapat dipercaya dari koefisien pendugaan (estimasi) model. Variasi total dependent variable terbagi menjadi dua komponen, yaitu: variasi yang dijelaskan oleh prediktor peubah melalui perkiraan model fungsi regresi, dan variasi yang tidak dapat dijelaskan oleh model regresi atau variasi eror. Metode ANOVA dapat menjelaskan varian total sebuah peubah kedalam komponen penjumlahan yang disebabkan oleh berbagai faktor yang terpisah. Kriteria statistik yang paling sering digunakan dalam model regresi linier berganda ini tercantum dalam tabel Analysis of Variance (ANOVA). a. Koefisien determinasi
Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu ukuran yang menjelaskan seberapa besar variasi dependent, Y dapat dijelaskan oleh regressor, X, atau dengan kata lain persentase variabilitas (keragaman) pada dependent variable yang dapat dijelaskan oleh independent variable-nya, dengan nilai 0 ≤ R2 ≤ 1.
69
ExplainedVariation = R = TotalVariation 2
∑ (Yˆ − Y ) ∑ (Y − Y )
2 2
…...……………………… (4.45)
dimana: = Nilai Y estimasi Yˆ = Nilai Y rata-rata Y b. Uji Statistik-F
Uji statistik F juga dilakukan pada setiap persamaan di dalam model untuk mengetahui dan menguji apakah peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, atau dengan kata lain untuk menguji secara keseluruhan koefisien regresi dalam menentukan nilai peubah dependent-nya. Uji hipotesisnya adalah: H0 : β1 = β2 = … = βk = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0 Keterangan: i = banyaknya independent variable dalam suatu persamaan akan diuji dengan Frasio dengan derajat bebas, df = k, n-k-1, signifikan pada level α, dimana daerah penolakan H0 adalah: Frasio > Fα, atau P
value
uji statistik-F < α, yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F yang
dihasilkan oleh program SAS, dimana total variasi dari dependent variable dapat dijelaskan dengan baik oleh seluruh peubah prediktor dan secara statistik signifikan pada level Prob > F. Tolak H0 berarti peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peubah endogen. c. Uji Statistik-t
Uji statistik t dilakukan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, atau dengan kata lain untuk menguji koefisien regresi signifikan atau tidak secara individu. Uji hipotesisnya adalah: H0 : βi = 0
70
Uji Satu Arah H1 : βi > 0; H1 : βi < 0 Uji Dua Arah H1 : βi ≠ 0 dimana: i = banyaknya independent variable dalam suatu persamaan Diuji dengan distribusi t dengan derajat bebas, df = n – k – 1, signifikan pada level α, dimana daerah penolakan H0 adalah untuk: H1 : βi > 0, jika Pvalue uji-t < α H1 : βi < 0, jika Pvalue uji-t < α H1 : βi ≠ 0, jika Pvalue uji-t < α/2
Pvalue uji statistik-t < α dapat dilihat dari nilai Prob > |T| yang dihasilkan oleh program SAS, dimana tingkat signifikansi masing-masing peubah prediktor dalam suatu model regresi linier berganda sesuai yang ditampilkan oleh Prob > |T|. Tolak H0 berarti suatu peubah penjelas berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Penelitian ini menggunakan uji satu arah dengan beberapa taraf probabilitas α, yaitu: (A) berarti berbeda nyata pada taraf probabilitas 1 persen; (B) berarti berbeda nyata pada taraf probabilitas 5 persen; (C) berarti berbeda nyata pada taraf probabilitas 10 persen; (D) berarti berbeda nyata pada taraf probabilitas 15 persen; (E) berarti tidak berbeda nyata pada taraf probabilitas 15 persen. 3
Kriteria Ekonometrika
Econometric criteria: second-order test, yang ditentukan oleh ilmu ekonometrika yang membantu mengevaluasi apakah asumsi dari metode ekonometrika terpenuhi atau tidak pada kasus-kasus tertentu. Koefisien estimasi dari suatu model persamaan regresi yang diperoleh dengan menggunakan metode pendugaan ordinary least square (OLS) merupakan suatu metode yang menghasilkan estimasi linier tidak bias yang terbaik (best linear unbiased estimator, disingkat dengan BLUE), jika asumsi-asumsi dari model klasik
71
terpenuhi (Koutsoyiannis, 1977). Penelitian ini menguji tentang beberapa asumsi dari metode pendugaan OLS, antara lain: a. Serial Korelasi (Autocorrelation)
Serial korelasi (autocorrelation) didefinisikan sebagai korelasi yang terjadi antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (data time series) atau yang tersusun dalam rangkaian ruang (data cross section). Pada umumnya banyak terjadi pada kasus data time series. Serial korelasi dari metode OLS akan menghasilkan under-estimated standard error parameter. Karena model mengandung persamaan simultan dan peubah bedakala (lag endogenous variable), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw (Durbin Watson Statistic) tidak valid untuk digunakan. Sebagai pengganti untuk mengetahui apakah serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan, maka digunakan uji statistik dh (Durbin-h statistic) sebagai berikut:
T ⎛ Dw ⎞ h = ⎜1 − …...……………………………… (4.46) ⎟ 2 ⎠ 1 − T [Var ( β )] ⎝ dimana: h Dw T Var (β)
= = = =
Angka statistik Durbin-h. Durbin-w statistik. Jumlah observasi. Varian koefisien regresi untuk lagged dependent variable.
Apabila hhitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal (hhitung < htabel), maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi (autocorrelation) Jika menggunakan taraf probabilitas α = 5 persen, diketahui -1.96 ≤ hhitung ≤ 1.96 , maka dapat disimpulkan bahwa persamaan tidak mengalami serial korelasi. Akan tetapi jika nilai hhitung < -1.96, maka disimpulkan bahwa persamaan mengalami autokorelasi negatif. Sebaliknya jika diperoleh nilai hhitung > 1.96, maka disimpulkan bahwa persamaan mengalami autokorelasi positif. Selain itu, uji Durbin-h ini tidak valid ketika T [Var ( β )] lebih dari 1, karena tidak dapat menghitung nilai akar kuadrat negatif (Pindyck & Rubinfeld, 1998). b. Multikolinieritas
Suatu hubungan linier antara dua atau lebih independent variable disebut sebagai multicollinearity. Pengujian terhadap multikolinieritas dilakukan dengan melihat
72
nilai variance inflation factor (VIF) yang terdapat pada prosedur PROC REG dalam program SAS. Nilai VIF dapat dihasilkan setelah menuliskan pernyataan MODEL pada PROC REG kemudian menggunakan pilihan VIF setelah tanda slash (/). Masalah multikolinieritas pada suatu model persamaan linier regresi berganda akan selalu ditemukan, tetapi ada yang serius dan ada yang tidak serius. Masalah multikolinieritas dinilai serius jika nilai VIF lebih besar dari 10, sebaliknya dinilai tidak serius jika nilai VIF lebih kecil dan atau sama dengan 10 (Sitepu & Sinaga, 2006). 4.2.3 Validasi Model
Validasi model dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat representasi model dibandingkan dengan dunia nyata sebagai dasar untuk melakukan simulasi, juga untuk mengetahui apakah model cukup valid jika dibuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non-kebijakan dan peramalan. Berbagai kriteria statistik dapat digunakan untuk validasi model ekonometrika dengan membandingkan
nilai-nilai
aktual
dan
dugaan
peubah-peubah
endogen
(Intriligator, 1978). Validasi model dilakukan dengan menggunakan Root Means Percent Squares Error (RMSPE), dan Theils’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck & Rubinfield, 1998). Kriteria-kriteria tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1 n ⎛ Yt s − Yt a ∑⎜ n t =1 ⎜⎝ Yt a
RMSPE =
(
U=
1 n Yt s − Yt a ∑ n t =1 n
(
1 Yt s − Yt ∑ n t =1 dimana: Yts Yta n
)
a 2
+
2
⎞ ⎟⎟ × 100 % ……………………………. (4.47) ⎠
)
2
...…….…………………… (4.48) n
( )
1 ∑ Yt n t =1
a 2
= Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi. = Nilai aktual variabel observasi. = Jumlah periode observasi.
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya
73
dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistika U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U=0 maka pendugaan sempurna, dan jika U=1 maka pendugaan model naif. Keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dapat dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Semakin besar nilai R2 tersebut berarti semakin besar proporsi variasi perubahan peubah endogen yang dapat dijelaskan oleh variasi dalam peubah penjelas, sehingga model semakin baik. Dapat disimpulkan bahwa validasi (pendugaan) model semakin baik jika nilai RMSPE dan U-Theil’s semakin kecil, sedangkan nilai R2 semakin besar. Adakalanya nilai RMSPE dan U-Theil’s tidak searah (Sitepu & Sinaga, 2006), maka nilai yang menjadi acuan adalah nilai RSMPE karena RSMPE dapat mengukur eror yang disebabkan sumber data yang berbeda. 4.2.4 Simulasi Model
Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Simulasi adalah suatu metode untuk mengetahui arah (sign) dan besaran (magnitude) perubahan dari satu atau beberapa peubah endogen (decision variables) dengan melakukan perubahan satu atau beberapa peubah eksogen atau koefisien di dalam model (Sitepu & Sinaga, 2007). Simulasi model dilakukan dengan tujuan untuk melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, mengevaluasi kebijakankebijakan pada masa lampau, membuat peramalan pada masa yang akan datang (Pyndick & Rubinfeld, 1998). Simulasi diperlukan untuk mengetahui dampak perubahan peubah-peubah eksogen terhadap peubah-peubah endogen dalam model. Simulasi menggunakan solusi dari nilai-nilai lag variabel (simulasi dinamik) untuk melihat pengaruh antarwaktu (Sitepu & Sinaga, 2006). Skenario simulasi kebijakan yang dilakukan meliputi: 1 Konversi lahan sawah di Jawa tetap (existing) dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak konversi lahan sawah yang ada saat ini terhadap kemandirian pangan nasional.
74
2 Konversi lahan sawah di Jawa meningkat 1 persen dan kebijakan dengan impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 1 persen terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Angka 1 persen merupakan laju konversi lahan sawah yang berdasarkan penelitian tahun 1992 – 2002 sudah mencapai 0,77 persen per tahun (Irawan, 2005). 3 Konversi lahan sawah di Jawa meningkat 1 persen dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sebesar 1 persen sawah terhadap kemandirian pangan nasional. 4 Konversi lahan sawah di Jawa meningkat 18 persen dan kebijakan dengan impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 18 persen terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Angka 18 persen merupakan laju konversi lahan sawah di Jawa yang menyebabkan ketersediaan dan akses pangan per kapita telah mengalami penurunan, dalam kondisi bertumpu pada impor. 5 Konversi lahan sawah di Jawa meningkat 18 persen dan kebijakan tanpa impor Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 18 persen terhadap kemandirian pangan nasional. 6 Konversi lahan sawah di luar Jawa tetap (existing) dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak konversi lahan sawah yang ada saat ini terhadap kemandirian pangan nasional. 7 Konversi lahan sawah di luar Jawa meningkat 1 persen dan kebijakan dengan impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 1 persen terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. 8 Konversi lahan sawah di luar Jawa meningkat 1 persen dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sebesar 1 persen sawah terhadap kemandirian pangan nasional.
75
9 Konversi lahan sawah di luar Jawa meningkat 20 persen dan kebijakan dengan impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 20 persen terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Angka 20 persen merupakan laju konversi lahan sawah di Jawa yang menyebabkan ketersediaan dan akses pangan per kapita telah mengalami penurunan, dalam kondisi bertumpu pada impor. 10 Konversi lahan sawah di luar Jawa meningkat 20 persen dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 20 persen terhadap kemandirian pangan nasional. 11 Konversi lahan sawah di Indonesia tetap (existing) dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak konversi lahan sawah yang ada saat ini terhadap kemandirian pangan nasional. 12 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 1 persen dan kebijakan dengan impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 1 persen terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. 13 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 1 persen dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sebesar 1 persen sawah terhadap kemandirian pangan nasional. 14 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 16 persen dan kebijakan dengan impor. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 16 persen terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Angka 16 persen merupakan laju konversi lahan sawah di Jawa yang menyebabkan ketersediaan dan akses pangan per kapita telah mengalami penurunan, dalam kondisi bertumpu pada impor. 15 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 16 persen dan kebijakan tanpa impor
76
Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 16 persen terhadap kemandirian pangan nasional. 16 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 1 persen, dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani sebesar 15 persen dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini dilakukan sebagai insentif bagi petani untuk terus berusahatani dan mempertahankan lahan sawah yang dimiliki, serta meningkatkan produktivitas padinya. Kombinasi kebijakan ini bertujuan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah sebesar 1 persen terhadap ketersediaan, akses, dan kemandirian pangan nasional. 17 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 1 persen, dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani dan harga riil (gabah) pembelian pemerintah masing-masing sebesar 15 persen dan kebijakan tanpa impor. Alternatif ini bertujuan menganalisis efektifitas implementasi kebijakan harga (gabah) pembelian pemerintah, terutama ketika dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga gabah tingkat petani sebesar 15 persen pada kondisi tanpa impor. Angka 15 persen merupakan angka rata-rata peningkatan harga gabah tingkat petani dan harga (gabah) pembelian pemerintah. 18 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 1 persen, dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani sebesar 15 persen dan peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah sebesar 50 persen serta kebijakan tanpa impor. Alternatif ini bertujuan menganalisis efektifitas implementasi kebijakan harga (gabah) pembelian pemerintah, yang ditingkatkan hingga 50 persen ketika dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga gabah tingkat petani sebesar 15 persen pada kondisi tanpa impor. 19 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 1 persen, dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani sebesar 15 persen, penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen, dan kebijakan tanpa impor.
77
Alternatif ini bertujuan untuk menstimulasi petani dalam meningkatkan luas areal pertanaman dan produktivitas padinya, sehingga meningkatkan kemandirian pangan nasional. Penurunan harga pupuk sebesar 10 persen (penghapusan subsidi pupuk), dimana besaran 10 persen merupakan rata-rata besarnya subsidi pupuk yang diberikan pemerintah, yaitu Rp200.00 – Rp300.00 per kg. 20 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 1 persen, dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani sebesar 15 persen, penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen, dan kebijakan penurunan kuota impor sebesar 37.5 persen. Alternatif ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi kombinasi kebijakan harga ini terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional, diiringi upaya pemerintah menurunkan kuota impor dari 1.6 juta ton menjadi 1 juta ton (sekitar 37.5 persen) pada tahun 2011. 21 Konversi lahan sawah di Indonesia meningkat 1 persen, dikombinasikan dengan kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani sebesar 15 persen, penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen, dan kebijakan penurunan tarif impor sebesar 5 persen. Alternatif ini dilakukan untuk melihat dampak masuknya beras impor terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi beras jika tarif impor saat ini sebesar Rp450.00 per kg diturunkan kembali ke tarif sebelumnya yaitu sebesar Rp430.00 per kg. 4.2.5 Respon Bedakala Produksi Komoditas Pertanian
Karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang waktu (gestation period) antara waktu menanam dengan memanen. Petani mengambil keputusan untuk berproduksi berdasarkan perkiraan atas harga outputnya pada tahun sebelumnya. Hasil yang diperoleh petani didasarkan pada pengalaman tahun lalu dan perkiraan di masa mendatang. Hal ini dikarenakan harga output tidak dapat dipastikan saat produk itu ditanam. Keputusan konsumsi seringkali juga dipengaruhi oleh perilaku sebelumnya (t-1), sehingga keputusan untuk produksi maupun konsumsi pada tahun t biasanya juga didasarkan pada produksi dan
78
konsumsi sebelumnya (t-1). Dapat disimpulkan bahwa respon produksi suatu komoditas pertanian terhadap perubahan harga dan faktor penentu lainnya memerlukan tenggang waktu (time lag). Untuk menangkap fenomena ini, maka persamaan yang dibuat harus memasukkan peubah tenggang waktu (lagged variable) sebagai peubah penjelas (explanatory variable). Dengan memasukkan peubah lag tersebut sebagai peubah penjelas dalam sebuah model akan menyebabkan model tersebut menjadi bersifat dinamis, sehingga mampu menginformasikan respon suatu fungsi terhadap faktorfaktor yang mempengaruhinya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 4.2.6 Elastisitas
Tujuan menghitung nilai elastisitas peubah endogen adalah untuk menganalisis respon peubah endogen terhadap perubahan peubah penjelasnya. Elastisitas jangka pendek (ESR) dan jangka panjang (ELR) dapat dihitung dengan rumus:
ESR = b1 *
E LR = dimana: ESR ELR b1 b2 Xt
Yt
Xt Yt
E SR 1 − b2
…………….…………..…………………………… (4.49) ..……………...……………..……………………… (4.50)
= Elastisitas jangka pendek = Elastisitas jangka panjang = Koefisien dugaan dari peubah eksogen = Koefisien dugaan dari peubah lag endogen = Rata-rata peubah eksogen = Rata-rata peubah endogen
4.2.7 Perubahan Tingkat Kesejahteraan
Alternatif simulasi kebijakan juga digunakan untuk menghitung dan menganalisis perubahan kesejahteraan masyarakat. Indikator tingkat kesejahteraan yang digunakan adalah surplus produsen dan konsumen beras di Indonesia, serta penerimaan pemerintah. Nilai surplus produsen dan konsumen akan digunakan sebagai dasar evaluasi dan penentu arah kebijakan yang akan diambil. Analisis perubahan kesejahteraan dapat dirumuskan sebagai berikut:
79
1. Perubahan Surplus Produsen Beras Jawa = PBRJB (HGTTJRS – HGTTJRB) + ½ (PBRJS – PBRJB) (HGTTJRS – HGTTJRB) .............................................................................................. (4.51) Luar Jawa = PBRLJB (HGTTLJRS – HGTTLJRB) + ½ (PBRLJS – PBRLJB) (HGTTLJRS – HGTTLJRB) .................................................................... (4.52) Indonesia = PBRIB (HGTTIRS – HGTTIRB) + ½ (PBRIS – PBRIB) (HGTTIRS – HGTTIRB) .............................................................................................. (4.53) 2. Perubahan Surplus Konsumen Beras = QDBIB (HBEIRB – HBEIRS) + ½ (QDBIS – QDBIB)(HBEIRS – HBEIRB) ………………………………………………………………. (4.54) 3. Perubahan Penerimaan Pemerintah (dari Tarif Impor) = (TRFBRS*JMBIS) – (TRFBRB*JMBIB) ……………………………. (4.55) 4. Net Surplus = (Perubahan Surplus Produsen + Perubahan Surplus Konsumen + Penerimaan Pemerintah) .……………………………………………… (4.56) Keterangan: Subscript B = simulasi dasar Subscript S = simulasi kebijakan dan faktor eksternal 4.2.8 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1990 – 2010 berdasarkan tren peningkatan konversi lahan sawah. Data konversi lahan sawah dipilah berdasarkan wilayah, yaitu: Jawa dan luar Jawa. Data yang digunakan bersumber dari beberapa instansi yang terkait, yaitu: Kementerian Pertanian (Kementan), Badan Urusan Logistik (Bulog), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Penelitian ini juga melakukan pengambilan data dari beberapa website resmi, seperti: Food Agricultural Organization (FAO), World Bank dan berbagai publikasi lainnya yang terkait. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan menjadi catatan dalam penelitian ini adalah:
80
1 Data net konversi lahan sawah yang bernilai positif diasumsikan secara netto tidak terjadi konversi lahan sawah, sehingga bernilai nol dan selanjutnya ditulis 0.001 untuk memudahkan pengolahan data. 2 Jumlah beras susut (untuk benih, rusak di penyimpanan, transportasi, hilang di pasar, terbuang di rumah tangga) sekitar 12 persen berdasarkan rerata data FAO 2 . 3 Kebutuhan beras nasional merupakan penjumlahan konsumsi beras untuk pangan ditambah dengan kebutuhan beras untuk persediaan di dalam rumah tangga 10 persen, persediaan di pasar 10 persen, dan kehilangan di rumah tangga dan pasar 5 persen, sehingga total untuk persediaan sebesar 25 persen (Sumarno, 2011) 4 Semua harga nominal merupakan harga rata-rata tertimbang, selanjutnya dideflasi dengan indeks harga pada tahun dasar (2005=100), sehingga diperoleh harga riil yang sudah memperhitungkan inflasi pada tahun yang bersangkutan.
2
http://www.faostat.fao.org
81
V HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV, model yang dirumuskan adalah model linier persamaan simultan, dengan metode pendugaan model berdasarkan two-stage least squares method (metode 2-SLS). Bab ini membahas hasil pendugaan dari model yang telah dibangun, dimulai dari keragaan umum dan kemudian dilanjutkan dengan keragaan masing-masing persamaan yang ada dalam model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia. Namun demikian, sebelum masuk pada pembahasan keragaan umum, berikut dipaparkan sekilas mengenai deskripsi statistik beberapa peubah kunci yang ada di dalam model. Hasil deskripsi statistik menunjukkan bahwa peubah konversi lahan sawah di Jawa (KLSJ) memiliki nilai mean sebesar 41 349.464 dengan nilai minimum sebesar 0.001 dan maksimum sebesar 461 510.312. Sementara itu, peubah konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ) memiliki nilai mean sebesar 65 898.620 dengan nilai minimum sebesar 0.001 dan maksimum sebesar 458 051. Peubah akses pangan per kapita (PPPKIR) memiliki nilai mean sebesar 8 022 268.208 dengan nilai minimum dan maksimum masing-masing sebesar 1 077 752.952 dan 27 027 783.038. Data dinilai baik jika nilai mean mendekati pertengahan antara nilai minimum dan nilai maksimum, walaupun data yang ada memiliki range yang cukup besar. Hasil pengolahan data ini juga menunjukkan bahwa peubah produktivitas padi di Indonesia (YPPI) memiliki standar deviasi sebesar 0.287 dengan nilai mean sebesar 3.894, sedangkan peubah ketersediaan beras per kapita (TSBKPK) memiliki standar deviasi sebesar 0.007 dengan nilai mean sebesar 0.125. Standar deviasi ini menggambarkan besarnya penyimpangan data dari nilai mean-nya, sehingga data dinilai baik jika memiliki standar deviasi yang mendekati nol. 5.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model
Secara umum, hasil pendugaan model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Kriteria ekonomi sebagai ‘a priori criteria’ ditentukan oleh prinsip-prinsip yang sesuai dengan kriteria ekonomi, yang mengacu pada arah dan besaran (sign and
82
magnitude). Berdasarkan kriteria ini seluruh arah dan besaran sesuai dengan teori ekonomi. Adapun berdasarkan kriteria statistika yang merupakan first-order test, hasil pendugaan model menunjukkan bahwa sebanyak 89.47 persen (17 persamaan) dari 19 persamaan struktural mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) berkisar 0.60022 – 0.98658, yang berarti secara umum kemampuan peubahpeubah penjelas (predetermined variable) yang ada di dalam persamaan perilaku untuk menjelaskan keragaman nilai peubah endogen (endogenous variable) cukup tinggi. Sebaliknya peubah-peubah penjelas pada persamaan Konversi lahan sawah luar Jawa dan Harga riil (gabah) pembelian pemerintah belum mampu menjelaskan keragaman nilai peubah endogennya dengan baik, yaitu masih dibawah 60 persen. Masih rendahnya nilai koefisien determinasi ini dikarenakan keterbatasan data peubah penjelas lainnya yang tersedia. Besarnya nilai probabilitas |F| yang kurang dari 0.05, kecuali pada persamaan konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ) menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang dimasukkan dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama berpengaruh kuat terhadap keragaman peubah endogennya, berbeda nyata pada taraf probabilitas 1 – 5 persen. Arah dan besaran nilai parameter dugaan semua peubah penjelas sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi, meskipun hasil uji t-statistik menunjukkan masih ada beberapa peubah penjelas yang berpengaruh tidak nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Hasil uji statistik probabilitas |T| pada 93 peubah predetermine menunjukkan sebanyak 66.667 persen peubah predetermine (62 peubah) berpengaruh nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Arah peubah ekspektasi (lag endogen) setiap persamaan sesuai dengan harapan, sedangkan besarannya sebanyak 93.333 persen (1 peubah dari 15 peubah lag endogen) sesuai dengan harapan yaitu 0 < γ < 1. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 93.333 persen ekspektasi dari peubah endogen pada persamaan struktural yang diinginkan berpengaruh terhadap perubahan perekonomian, teknologi, dan kelembagaan. Berdasarkan kriteria ekonometrika (second-order test), hasil uji statistik Durbin-h, yang ditandai oleh nilai Dh berkisar antara -1.96 dan 1.96 pada taraf probabilitas 0.05 persen, menunjukkan sebanyak 68.42 persen persamaan perilaku tidak mengalami serial korelasi. Namun demikian, terdapat 2 persamaan perilaku
83
(10.53 persen) yang mengalami masalah serial korelasi, yaitu persamaan luas areal panen padi luar Jawa (LAPLJ) dan harga riil gabah tingkat petani Jawa (HGTTJR). Adapun sisanya sebanyak empat persamaan perilaku (21.05 persen) tidak terdeteksi serial korelasi, yaitu persamaan konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ), permintaan beras Indonesia (QDBI), harga riil (gabah) pembelian pemerintah (HPPGR) dan harga riil beras eceran Indonesia (HBEIR). Hal ini dikarenakan hasil kali jumlah observasi (T) dengan ragam peubah lag endogen (var β) lebih besar dari satu. Pindyck dan Rubinfield (1998) menyebutkan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Selain itu, pengujian terhadap multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF). Masalah multikolinieritas pada suatu model persamaan linier regresi berganda akan selalu ditemukan, tetapi ada yang serius dan ada yang tidak serius. Masalah multikolinieritas dinilai serius jika nilai VIF lebih besar dari 10, sebaliknya dinilai tidak serius jika nilai VIF lebih kecil dan atau sama dengan 10 (Sitepu & Sinaga, 2006). Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa semua persamaan perilaku dalam model tidak mengalami multikolinieritas secara serius. Hal ini ditunjukkan dari nilai VIF yang kurang dari 10. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa hasil pendugaan model representatif untuk menggambarkan fenomena ketersediaan dan akses pangan di Indonesia. 5.2 Keragaan Hasil Pendugaan Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia
Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model, akhirnya diperoleh model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia yang terdiri dari 19 persamaan struktural dan 22 persamaan identitas. Hasil pendugaan dari masingmasing persamaan struktural dalam model dijelaskan berturut-turut di bawah ini. 5.2.1 Konversi Lahan Sawah
Hasil pendugaan pada persamaan konversi lahan sawah di Jawa menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang terdiri dari lag harga riil gabah di tingkat petani, perubahan kontribusi sektor bangunan, rasio pendapatan riil regional, rasio jumlah penduduk di Jawa dan jumlah penduduk total di Indonesia,
84
dan tren waktu mampu menjelaskan secara bersama-sama (68.173 persen) keragaman nilai peubah endogennya, sedangkan sisanya (31.827 persen) dijelaskan oleh peubah di luar persamaan. Arah dan besaran semua peubah penjelas sesuai dengan harapan. Persamaan konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi secara nyata (signifikan) oleh perubahan kontribusi sektor bangunan di Jawa (yang merupakan proksi dari demand lahan sawah untuk penggunaan non-sawah) dan rasio pendapatan regional riil di Jawa pada taraf probabilitas 15 persen. Konversi lahan sawah di Jawa responsif terhadap perubahan peubah-peubah penjelasnya, kecuali peubah perubahan kontribusi sektor bangunan di Jawa, seperti ditunjukkan oleh elastisitasnya yang elastis pada jangka pendek (Tabel 9). Hal ini dapat diartikan bahwa setiap terjadi kenaikan 1 persen pendapatan regional riil, ceteris paribus, akan meningkatkan konversi lahan sawah sebesar 6.479 persen. Hal ini memperkuat teori Alokasi Lahan Richardo bahwa lahan sawah akan terkonversi kepada penggunaan yang menghasilkan rente lahan yang lebih tinggi seperti perumahan, industri, pariwisata, dan lainnya; sebagai konsekuensi logis perkembangan wilayah, dimana PDRB riil sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Tabel 9 Hasil pendugaan parameter konversi lahan sawah di Jawa (KLSJ) Peubah
Intercept LHGTTJR
Parameter Elastisitas Estimasi Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > |T|
-355 972.000 -57.490
-2.496
-
0.351 0.282
25 321.860
0.030
-
0.142
(PDRBJR / LPDRBJR) 224 114.200
6.479
-
0.000
(JPDKJ / JPDKI)
4.855
-
0.414
-
-
0.247
(DSRBJ – LDSRBJ)
T Prob>|F| = 0.00360
349 918.100
2 109.300
R2 = 0.68174
Keterangan Peubah
Lag harga riil gabah di tkt petani di Jawa Perubahan kontribusi sek. bangunan di Jawa Rasio pendapatan regional riil di Jawa Rasio jumlah penduduk di Jawa dg jumlah penduduk total di Indonesia Tren waktu
Dw = 2.38494
85 Keterangan: Nilai elastisitas terhadap peubah penjelas dalam bentuk perkalian dan rasio adalah nilai elastisitas untuk peubah yang ditulis pertama. Hal ini juga berlaku bagi semua hasil dugaan persamaan berikutnya. Hasil perhitungan nilai elastistas lebih lengkap dalam bentuk perkalian dan rasio dapat dilihat pada Lampiran 11.
Angka pendugaan parameter tren waktu sebesar 2 109.3 dapat diinterpretasikan bahwa setiap tahunnya, ceteris paribus, konversi lahan sawah Jawa akan mengalami peningkatan sebesar 2 109.3 hektar per tahun. Fenomena ini terjadi karena konversi lahan bersifat progresif, artinya sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka luas lahan yang terkonversi di lokasi tersebut akan semakin besar akibat konversi lahan ‘ikutan’ yang terjadi di lokasi sekitarnya. Peubah penjelas yang terdiri dari lag harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa, rasio pendapatan regional riil di luar Jawa dan lag konversi lahan sawah di luar Jawa secara bersamaan hanya mampu menjelaskan keragaman peubah konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 22.355 persen, sedangkan 77.645 persen dijelaskan oleh peubah di luar persamaan. Hal ini dikarenakan keterbatasan data peubah penjelas lainnya yang tersedia, sehingga baru sebatas tiga peubah saja yang dimasukkan dalam model. Namun demikian, semua peubah penjelas mempunyai arah dan besaran nilai parameter dugaan sesuai harapan. (Tabel 10). Tabel 10 Hasil pendugaan parameter konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ) Peubah
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept LHGTTLJR
134 344.700 -139.168
-3.685
(PDRBLJR / LPDRBLJR)
137 839.800
2.441
LKLSLJ
0.316
Prob>|F| = 0.24380
R2 = 0.22355
-
-5.392
Keterangan Peubah
0.354 0.257
Lag harga riil gabah di tkt petani di luar Jawa 3.571 0.034 Rasio pendapatan regional riil di luar Jawa 0.106 Lag konversi lahan sawah di luar Jawa Dw = 1.99857 Dh = -
Sebagaimana konversi lahan sawah di Jawa, pendapatan regional riil juga berpengaruh secara signifikan terhadap konversi lahan sawah di luar Jawa. Hasil
86
pendugaan menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan 1 persen pendapatan regional riil di luar Jawa, ceteris paribus, akan meningkatkan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 2.441 persen pada jangka pendek dan 3.571 persen pada jangka panjang. Peningkatan pendapatan regional riil akibat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa memberi konsekuensi terhadap peningkatan persaingan penggunaan lahan ke penggunaan lain di luar lahan sawah. Pelaksanaan otonomi daerah, dimana masing-masing daerah dituntut untuk memacu pertumbuhan ekonominya, semakin memberi ruang bagi meningkatnya konversi lahan sawah karena tingginya permintaan lahan, utamanya lahan sawah untuk penggunaan lain. Secara ekonomi, konversi lahan sawah memang sangat menguntungkan, yang dicerminkan dari nilai rente lahan sawah untuk kegiatan pertanian yang sangat rendah dibandingkan kegiatan lain. Beberapa penelitian memberikan penilaian land rent lahan untuk sawah adalah 1:500 dibanding pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi, 1990); 1:622 untuk perumahan (Riyani, 1992); 1:14 untuk pariwisata (Kartika, 1991); 1:2,6 untuk hutan produksi (Lubis, 1991); dan 1,33 untuk kelapa sawit (Hamdan, 2011). Hal ini terjadi karena rente lahan sawah hanya dinilai secara ekonomi yang memiliki harga pasar (tangible and marketable goods), sedangkan lahan sawah sulit dinilai karena lebih mengedepankan pada manfaat lingkungan dan sosial budaya, bukan manfaat ekonomi semata. Selain itu, keberadaan lahan sawah sangat strategis untuk dikonversi karena biasanya infrastruktur (seperti jalan) di sekitar lahan sawah sudah tersedia. Selain itu, konversi lahan sawah di luar Jawa juga dipengaruhi secara nyata oleh perubahan konversi lahan sawah di luar Jawa tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi konversi lahan sawah di luar Jawa untuk menyesuaikan diri kembali pada tingkat keseimbangan dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Hal ini diperkuat kondisi konversi lahan yang bersifat permanen, dimana lahan sawah yang sudah terkonversi akan sulit dikembalikan fungsinya sebagai lahan sawah sehingga masalah pangan yang diakibatkan konversi lahan akan tetap terasa walaupun konversi lahan sawah sudah tidak terjadi lagi. Sementara itu, konversi lahan sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi suatu wilayah semakin sulit dihindari, terlebih pelanggaran terhadap peraturan yang ada tidak didukung oleh
87
penerapan sanksi yang tegas. Lahan sawah irigasi teknis yang ada seringkali dikeringkan dan ketika sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, kemudian sawah irigasi teknis tersebut beralih fungsi ke penggunaan lain, seperti menjadi kawasan industri. Ini merupakan salah satu contoh bentuk pelanggaran terhadap peraturan yang tercantum dalam SE/KBAPPENAS 5334/MK/9/1994 tentang Pelarangan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis untuk Non-pertanian. 5.2.2 Luas Areal Panen Padi
Peubah-peubah penjelas yang terdiri dari rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan harga riil beras eceran di Jawa, lag harga riil jagung di tingkat produsen di Jawa, lag harga pupuk Urea di Jawa, konversi lahan sawah di Jawa, intensitas pertanaman di Jawa, dan lag luas real panen padi di Jawa secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik (95.749 persen) keragaman nilai peubah luas areal panen padi di Jawa, sedangkan sisanya (4.251 persen) dijelaskan oleh peubah lain yang tidak dimasukkan dalam model. Arah dan besaran nilai parameter dugaan dari semua peubah penjelas juga sesuai dengan yang diharapkan. Persamaan luas areal panen padi di Jawa secara nyata dipengaruhi oleh peubah harga riil pupuk Urea di Jawa tahun sebelumnya, konversi lahan sawah di Jawa, dan intensitas pertanaman di Jawa. Namun demikian, hanya peubah intensitas pertanaman di Jawa yang memiliki respon elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya sebesar 1.021 (jangka pendek) dan 1.116 (jangka panjang). Intensitas pertanaman di Jawa yang elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang menunjukkan bahwa sistem pengairan di Jawa relatif sudah baik, dimana luas lahan sawah irigasi di Jawa meliputi 51 persen dari total luas sawah irigasi yang ada di Indonesia, sedangkan sisanya sebesar 49 persen berada di luar Jawa. Harga riil pupuk Urea di Jawa tahun sebelumnya yang merupakan harga input menjadi pertimbangan bagi petani untuk meningkatkan luas areal panen padinya. Harga input yang meningkat akan berpotensi mendorong petani mengurangi luas areal pertanaman padinya yang kemudian berakibat terhadap penurunan luas areal panen, walaupun perubahannya relatif kecil (inelastis). Hal
88
ini ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya yang bertanda negatif, dimana setiap peningkatan 1 persen harga riil pupuk Urea di Jawa, ceteris paribus, akan menurunkan luas areal panen padi di Jawa sebesar 0.024 persen pada jangka pendek dan 0.026 persen pada jangka panjang (Tabel 11). Konversi lahan sawah irigasi di Jawa tentunya akan berdampak terhadap pengurangan luas areal panen dan produksi beras di Indonesia, karena sekitar 60 persen produksi beras nasional dihasilkan dari Jawa (BPS, 1990 – 2011). Tabel 11 Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di Jawa (LAPJ) Peubah
Intercept (HGTTJR / HBEJR)
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
-309 785.000 21 693.230
0.008
0.008
LHJTPJR
-70.459
-0.019
-0.021
LHUREJR
-224.238
-0.024
-0.026
-2.006
-0.015
-0.016
3 358 886.000
1.021
1.116
-
-
KLSJ IPJ LLAPJ
0.085
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.95749
Keterangan Peubah
0.363 0.191
Rasio harga riil gabah di tkt petani dg harga riil beras eceran di Jawa 0.221 Lag harga riil jagung di tkt produsen di Jawa 0.020 Lag harga riil pupuk Urea di Jawa 0.000 Konversi lahan sawah di Jawa 0.000 Intensitas pertanaman di Jawa 0.219 Lag luas areal panen padi di Jawa Dw = 1.34678 Dh = 1.65955
Hasil pendugaan model persamaan luas areal panen padi di luar Jawa menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 90.61 persen, yang berarti peubah penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan keragaman nilai peubah endogennya sebesar 90.61 persen, sedangkan sisanya sebesar 9.39 persen dijelaskan oleh peubah di luar persamaan tersebut. Arah dan besaran nilai parameter dugaan sesuai harapan. Respon luas areal panen padi di luar Jawa terhadap seluruh peubah penjelasnya (rasio harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa terhadap harga riil gabah di tingkat petani Indonesia, lag harga riil jagung di tingkat produsen di luar Jawa, harga riil pupuk Urea di luar Jawa, lag konversi lahan sawah di luar
89
Jawa, intensitas pertanaman di luar Jawa, dan lag luas areal panen padi di luar Jawa) bersifat inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendeknya yang berkisar antara 0.007 – 0.454 dan nilai elastisitas jangka panjang antara 0.014 – 0.947 (Tabel 12). Tabel 12 Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di luar Jawa (LAPLJ) Peubah
Parameter Estimasi
Intercept (HGTTLJR / HGTTIR)
179 787.800 527 040.200
0.092
0.191
LHJTPLJR
-293.320
-0.078
-0.162
HURELJR
-41.537
-0.005
-0.010
-0.620
-0.007
-0.014
2 182 419.000
0.454
0.947
-
-
LKLSLJ IPLJ LLAPLJ
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
0.521
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.90610
Keterangan Peubah
0.418 0.035
Rasio harga riil gabah di tkt petani di luar Jawa dg hrg riil gabah di tkt petani di Indonesia 0.272 Lag hrg riil jagung di tkt produsen di luar Jawa 0.387 Harga riil pupuk Urea di luar Jawa 0.043 Lag konversi lahan sawah di luar Jawa 0.007 Intensitas pertanaman di luar Jawa 0.012 Lag luas areal panen padi di luar Jawa Dw = 2.51132 Dh = -2.88745
Faktor harga (output dan input) belum mampu menjadi pertimbangan bagi petani di luar Jawa untuk memperluas areal panen padinya. Peubah rasio harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa terhadap harga riil gabah di tingkat petani Indonesia berpengaruh secara nyata, sedangkan peubah harga lainnya (dalam persamaan ini adalah lag harga riil gabah di tingkat petani dan harga riil pupuk Urea) berpengaruh tidak nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Namun demikian, respon luas areal panen padi di luar Jawa terhadap ketiga peubah harga ini bersifat inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa faktor harga bukanlah faktor utama yang mendorong petani untuk meningkatkan luas areal panen padi di luar Jawa. Fenomena ini diduga karena terdapat faktor eksternal yang lebih penting, seperti teknologi dan kelembagaan, yang mempengaruhi petani dalam meningkatkan luas areal panen padi.
90
Adanya konversi lahan sawah yang terjadi pada tahun sebelumnya akan mengurangi luas baku sawah dan kemudian berakibat terhadap pengurangan areal panen padi di luar Jawa. Konversi lahan sawah yang bersifat kumulatif menyebabkan penurunan produksi padi tahun sebelumnya akan mengakumulasi produksi padi pada tahun berikutnya. Berbeda dengan fenomena di Jawa, respon luas areal panen padi di luar Jawa terhadap intensitas pertanaman padi bersifat inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa intensitas pertanaman di luar Jawa tidak sebaik di Jawa, baik dilihat dari sisi kualitas dan kuantitas luas areal irigasi maupun dari sisi kesuburan tanahnya. Sementara itu, hasil pendugaan pada persamaan luas areal panen padi di Indonesia menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 89.66 persen, yang berarti peubah penjelas yang terdiri dari rasio harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia, harga riil jagung di tingkat produsen di Indonesia, harga riil pupuk Urea di Indonesia, lag konversi lahan sawah di Indonesia, intensitas pertanaman di Indonesia, dan lag luas areal panen padi di Indonesia sebesar 89.66 persen mampu secara bersama-sama menjelaskan keragaman nilai peubah endogennya, sedangkan sisanya sebesar 10.34 persen dijelaskan peubah di luar persamaan. Semua peubah penjelas mempunyai arah dan besaran nilai parameter dugaan sesuai harapan. Sebagaimana di luar Jawa, respon luas areal panen padi di Indonesia terhadap semua peubah penjelasnya (rasio harga riil gabah di tingkat petani, lag harga riil jagung di tingkat produsen, harga riil pupuk Urea, lag konversi lahan sawah di Indonesia, intensitas pertanaman, dan lag luas areal panen padi di Indonesia) bersifat inelastis pada jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, luas areal panen padi di Indonesia responsif terhadap faktor eksternal lain di luar persamaan, seperti teknologi dan kelembagaan. Hasil pendugaan juga menunjukkan bahwa jagung merupakan tanaman pesaing bagi tanaman padi, yang ditunjukkan oleh elastisitas silangnya yang bertanda negatif. Kondisi yang sama juga terjadi pada luas areal panen padi di luar Jawa dan Indonesia. Selain kenaikan harga riil jagung di tingkat produsen, kenaikan harga riil pupuk Urea dan lag konversi lahan sawah juga menurunkan
91
luas areal panen padi di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh parameter dugaan yang bertanda negatif. Respon luas areal panen padi bersifat inelastis terhadap perubahan ketiga peubah penjelas ini pada jangka pendek dan jangka panjang. Peningkatan harga riil jagung di tingkat produsen dan harga riil pupuk Urea mengakibatkan petani mengurangi luas pertanaman padinya yang kemudian dapat mengurangi luas areal panen padi di Indonesia, walaupun dengan nilai pengurangan yang kecil. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas peubah harga riil pupuk Urea di Indonesia pada jangka pendek sebesar -0.067 (Tabel 13), yang berarti setiap terjadi kenaikan harga riil pupuk Urea sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan menurunkan luas areal panen padi di Indonesia sebesar 0.067 persen. Tabel 13 Hasil pendugaan parameter luas areal panen padi di Indonesia (LAPI) Peubah
Intercept (HGTTIR / HGTTIR)
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
2 886 463.000 128 519.000
0.012
0.017
HJTPIR
-258.459
-0.033
-0.049
HUREIR
-523.550
-0.067
-0.101
-0.031
0.000
0.000
4 123 558.000
0.509
0.765
-
-
LKLSI IPI LLAPI
0.335
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.89660
Keterangan Peubah
0.018 0.278
Rasio harga riil gabah di tkt petani di Indonesia 0.276 Harga riil jagung di tkt produsen di Indonesia 0.014 Harga riil pupuk Urea di Indonesia 0.466 Lag konversi lahan sawah di Indonesia 0.000 Intensitas pertanaman di Indonesia 0.030 Lag luas areal panen padi di Indonesia Dw = 2.09002 Dh = -0.29219
Berdasarkan fenomena ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan harga riil gabah di tingkat petani dan harga riil pupuk Urea yang diimplementasikan pemerintah dinilai belum mampu menjadi insentif yang efektif bagi petani untuk meningkatkan luas areal pertanaman padi di Indonesia, tanpa didukung adanya kebijakan eksternal lain di luar persamaan, seperti teknologi dan kelembagaan. Maraknya konversi lahan sawah yang terjadi di Indonesia akan mengurangi luas
92
baku lahan sawah yang kemudian berdampak terhadap penurunan luas areal panen padi (dengan asumsi intensitas pertanaman tetap). Hal ini karena luas areal panen padi dipengaruhi oleh luas baku sawah dan intensitas pertanamannya. Sebagaimana luar Jawa, respon luas areal panen padi di Indonesia terhadap intensitas pertanaman padi bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang, walaupun peubah ini berpengaruh secara nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Intensitas pertanaman (IP) maksimum di Indonesia adalah 3 kali dalam setahun dan ini dinilai sudah sangat tinggi, sehingga peningkatan IP padi secara teknis sulit dilakukan (Sumarno, 2011). Ini pun hanya dapat diaplikasikan di beberapa daerah tertentu, baik di Jawa maupun luar Jawa. Oleh karena itu, salah satu upaya optimalisasi intensitas pertanaman padi dalam meningkatkan luas areal panen padi di Indonesia adalah dengan tidak mengkonversi lahan sawah irigasi itu sendiri, karena intensitas pertanaman sangat tergantung pada ketersediaan air pada lahan sawah irigasi. Luas areal panen padi di Jawa, luar Jawa, dan tak terkecuali di Indonesia secara keseluruhan juga dijelaskan oleh peubah luas areal panen tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi petani dalam memutuskan untuk menambah atau mengurangi luas areal pertanaman padinya. Petani akan menyesuaikan kembali pada tingkat keseimbangan sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi, baik perubahan teknologi, kelembagaan, maupun ekonomi. 5.2.3 Produktivitas Padi
Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan dari pendugaan parameter produktivitas padi di Jawa adalah sebesar 84.78 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peubah penjelas yang terdiri dari rasio lag harga riil gabah di tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea di Jawa, jumlah penggunaan pupuk TSP di Jawa, curah hujan di Jawa, rasio luas irigasi di Jawa dan tren waktu secara bersamasama mampu menjelaskan keragaman produktivitas padi di Jawa dengan baik, yakni sebesar 84.78 persen, sedangkan sisanya sebesar 15.22 persen dijelaskan oleh peubah di luar persamaan. Semua peubah penjelas mempunyai arah dan besaran yang sesuai harapan (Tabel 14).
93
Tabel 14 Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di Jawa (YPPJ) Peubah
Parameter Elastisitas Estimasi Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > |T|
Intercept (LHGTTJR / LHUREJR)
1.768 0.044
0.045
-
0.014 0.011
JTSPJ
0.018
0.405
-
0.000
4.200x10-5 0.496
0.013 0.098
-
0.273 0.193
-
-
0.001
CHJ (LASIJ / LLASIJ) T
0.040
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.84780
Keterangan Peubah
Rasio lag harga riil gabah di tkt petani dg lag harga riil pupuk Urea di Jawa Jumlah penggunaan pupuk TSP di Jawa Curah hujan di Jawa Rasio luas irigasi di Jawa Tren waktu
Dw = 1.81188
Perilaku produktivitas padi di Jawa dipengaruhi secara nyata oleh peubah rasio lag harga riil gabah di tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea di Jawa, jumlah penggunaan pupuk TSP di Jawa, dan tren waktu. Sementara itu peubah curah hujan dan rasio luas areal irigasi di Jawa tidak berbeda nyata pada taraf probabilitas 15 persen. Respon produktivitas padi di Jawa terhadap semua peubah penjelasnya bersifat inelastis dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa saat ini produktivitas lahan sawah di Jawa telah mengalami pelandaian produksi (leveling-off), sehingga untuk memperoleh tingkat produktivitas yang sama dibutuhkan faktor produksi yang lebih banyak atau proporsi penambahan faktor produksi itu lebih kecil dibandingkan dengan proporsi penambahan produksi padinya. Rata-rata produktivitas padi di Jawa dalam 21 tahun terakhir ini, yaitu sekitar 5.071 ton/ha dinilai sudah mendekati produktivitas maksimal operasional dari seluruh areal tanam yang ada di Indonesia, yaitu 5.8 ton/ha (Sumarno, 2011). Peningkatan produktivitas padi secara teknis masih dapat dioptimalkan, namun demikian kenaikannya akan terus mengalami penurunan sebagaimana “law of diminishing return” dimana tingkat produksi akan optimum pada kondisi hara tertentu. Fenomena ini diperkuat dengan respon produktivitas padi di Jawa terhadap penggunaan pupuk TSP yang bersifat inelastis dalam jangka pendek, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendeknya sebesar 0.405. Hal ini diartikan bahwa setiap kenaikan 1 persen penggunaan
94
pupuk TSP, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan produktivitas padi di Jawa sebesar 0.405 persen. Demikian pula respon produktivitas padi di Jawa terhadap peubah penjelas lainnya yang juga inelastis dalam jangka pendek, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya. Peningkatan rasio lag harga riil gabah di tingkat petani dengan lag harga riil pupuk Urea tidak direspon cepat oleh petani di Jawa untuk meningkatkan produktivitas padinya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendeknya sebesar 0.045 yang berarti bahwa setiap kenaikan 1 persen rasio lag harga riil gabah di tingkat petani dengan lag harga riil pupuk Urea, ceteris paribus, akan meningkatkan produktivitas padi di Jawa sebesar 0.045 persen saja. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kebijakan peningkatan harga output dan input yang diimplementasikan pemerintah ternyata tidak lagi efisien dijadikan sebagai insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padinya, sehingga diperlukan kombinasi kebijakan dalam mengatasi permasalahan ini. Curah hujan dan rasio luas areal irigasi juga mempengaruhi produktivitas padi di Jawa, walaupun tidak signifikan pada taraf probabilitas 15 persen. Respon produktivitas padi di Jawa inelastis terhadap curah hujan (0.013) dan rasio luas areal irigasi (0.098) pada jangka pendek. Secara kuantitas dan kualitas, luas areal irigasi di Jawa relatif lebih baik daripada di luar Jawa. Sesuai fungsinya, areal irigasi berfungsi sebagai penampung air hujan dan pengatur debit air untuk mengairi sawah-sawah di sekitar irigasi tersebut. Namun demikian, laju konversi lahan sawah irigasi di Jawa yang tinggi menyebabkan berkurangnya areal penampung air hujan, sehingga curah hujan yang tinggi tidak lagi tertampung bahkan langsung menggenangi lahan sawah. Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan radiasi matahari rendah dan kelembaban tinggi, sehingga berakibat pada meningkatnya penyakit tanaman yang dapat mengurangi produktivitas padi. Tingginya konversi areal irigasi di Jawa juga mengakibatkan fungsi sistem pengairan sawah di Jawa mengalami penurunan, sehingga berdampak terhadap penurunan produktivitas padi di Jawa. Oleh karena itu, konversi lahan sawah merupakan konsen utama yang harus segera dikendalikan agar dampak negatifnya (terutama terhadap ketersediaan dan akses pangan) dapat ditekan. Jika dilihat dari tren, ceteris paribus, produktivitas padi di Jawa masih mengalami peningkatan
95
walaupun dengan nilai yang sangat kecil yaitu sebesar 0.014 ton per hektar setiap tahunnya. Namun demikian, tingkat kesuburan tanah alami yang relatif lebih baik dan ditunjang pula oleh adopsi teknologi budidaya yang lebih maju, menyebabkan terjadinya kesenjangan produktivitas yang tinggi antara di Jawa dan luar Jawa, dimana produktivitas padi di Jawa pada tahun 2010 adalah sebesar 5.58 ton/ha, sedangkan di luar Jawa baru sebesar 4.207 ton/ha (BPS, 2011). Hasil pendugaan pada persamaan produktivitas padi di luar Jawa menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 97.529 persen. Hal ini dapat diartikan bahwa keragaman nilai peubah endogen sekitar 97.529 persen mampu secara bersama-sama dijelaskan oleh peubah-peubah penjelasnya (rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea di luar Jawa, rasio jumlah penggunaan pupuk TSP di luar Jawa, curah hujan di luar Jawa, luas areal irigasi di luar Jawa, dan lag produktivitas padi di luar Jawa, sedangkan sisanya sebesar 2.471 persen dijelaskan oleh peubah di luar persamaan. Semua arah dan besaran sesuai harapan, kecuali besaran lag produktivitas padi di luar Jawa yang lebih besar dari 1, sekalipun kelebihannya sangat kecil yaitu 0.029. Namun demikian, besaran lag yang lebih besar dari 1 mengakibatkan perubahan arah elastisitas jangka panjang. Tetapi karena nilai elastisitas adalah mutlak, maka perubahan arah ini tidak akan mempengaruhi arti elastisitas dari masing-masing peubah penjelasnya. Produktivitas padi di luar Jawa hanya dipengaruhi secara nyata oleh peubah produktivitas padi tahun sebelumnya (Tabel 15). Hal ini memperkuat pendapat yang ada bahwa produktivitas padi telah mengalami pelandaian produksi (leveling-off). Sebagaimana halnya produktivitas di Jawa, respon produktivitas padi di luar Jawa respon terhadap semua peubah penjelasnya dalam jangka pendek bersifat inelastis, kecuali peubah lag produktivitas padi di luar Jawa. Sementara itu, respon produktivitas padi di luar Jawa terhadap peubah rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea di luar Jawa, rasio jumlah penggunaan pupuk TSP di luar Jawa, curah hujan di luar Jawa bersifat inelastis dalam jangka panjang, kecuali luas irigasi dan lag produktivitas padi di luar Jawa. Produktivitas padi di luar Jawa masih rendah dibandingkan di Jawa,
96
sehingga masih berpeluang ditingkatkan sesuai potensi hasilnya, salah satunya dengan penggunaan pupuk yang tepat. Tabel 15 Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di luar Jawa (YPPLJ) Peubah
Intercept (HGTTLJR / HURELJR)
Parameter Elastisitas Prob > |T| Estimasi Jangka Jangka Pendek Panjang -0.417 0.003
0.003
-0.116
0.091
0.025
-0.866
CHLJ
2.100x10-5
0.011
-0.379
LASILJ
9.817x10-8
0.061
-2.087
LYPPLJ
1.029
-
-
(JTSPLJ / LJTSPLJ)
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.97529
Keterangan Peubah
0.185 0.362
Rasio harga riil gabah di tkt petani dg harga riil pupuk Urea di luar Jawa 0.155 Rasio jumlah penggunaan pupuk TSP di luar Jawa 0.240 Curah hujan di luar Jawa 0.189 Luas irigasi di luar Jawa 0.000 Lag produktivitas padi di luar Jawa Dw = 2.38848 Dh = -0.93257
Penggunaan pupuk TSP spesifik lokasi yang sesuai dengan rekomendasi nasional berdasar hasil uji tanah dan dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik akan memberikan efisiensi yang lebih tinggi terhadap peningkatan produktivitas padi, terutama di luar Jawa, dalam jangka panjang. Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil pendugaan parameter produktivitas padi di luar Jawa bahwa respon produktivitas padi di luar Jawa terhadap rasio jumlah penggunaan pupuk TSP dalam jangka panjang lebih tinggi daripada dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk TSP yang ada masih dapat ditingkatkan sesuai dosis yang direkomendasikan. Penggunaan pupuk yang spesifik lokasi ini tidak saja efisien dalam meningkatkan produktivitas padi, tetapi juga dapat menekan biaya produksi, sehingga pendapatan petani pun meningkat. Respon produktivitas padi di luar Jawa terhadap luas irigasi di luar Jawa adalah inelastis dalam jangka pendek, tetapi elastis dalam jangka panjang, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar 0.061 dan 2.087. Kontribusi fungsi irigasi di luar Jawa terhadap peningkatan produktivitas padi dalam jangka pendek lebih kecil
97
dibandingkan dalam jangka panjang. Fenomena ini mengindikasikan bahwa produktivitas padi di luar Jawa masih dapat ditingkatkan melalui peningkatan luas areal irigasi dan mengoptimalisasikan fungsi irigasi tersebut. Konversi lahan sawah yang terjadi, terutama lahan sawah irigasi, akan berakibat pada penurunan produktivitas padi di luar Jawa, sehingga upaya untuk menekan laju konversi ini harus segera dilakukan. Produktivitas padi di luar Jawa juga responsif terhadap peubah lag-nya (peubah bedakala) pada jangka pendek dan jangka panjang, yang mengindikasikan adanya tenggang waktu yang lambat bagi produktivitas padi di luar Jawa dalam merespon perubahan yang terjadi, baik perubahan perekonomian, teknologi maupun kelembagaan, atau dengan kata lain, produktivitas padi di luar Jawa relatif tidak stabil. Hasil pendugaan pada persamaan produktivitas padi di Indonesia menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang terdiri dari rasio harga riil gabah tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea di Indonesia, jumlah penggunaan pupuk Urea di Indonesia, curah hujan di Indonesia, luas irigasi di Indonesia, dan lag produktivitas padi di Indonesia secara bersama-sama mampu menjelaskan keragaman peubah endogennya dengan baik (97.74 persen), sedangkan 2.26 persen dijelaskan oleh peubah lain di luar persamaan. Arah dan besaran semua peubah penjelas sesuai harapan. Produktivitas padi Indonesia tidak elastis terhadap perubahan peubahpeubah penjelasnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini dapat dilihat dari nilai elastisitas yang kurang dari 1 (Tabel 16). Produktivitas padi Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh rasio harga riil gabah tingkat petani dengan harga riil pupuk Urea, jumlah penggunaan pupuk Urea, curah hujan, dan lag produktivitas Indonesia. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Kusumaningrum (2008) yang menyebutkan respon produktivitas padi tidak elastis terhadap harga gabah dan penggunaan pupuk Urea. Hal ini hampir sama dengan temuan Sitepu (2002), dimana respon produktivitas padi terhadap rasio harga gabah dan pupuk, serta penggunaan pupuk Urea bersifat inelastis dengan pengaruh yang tidak nyata. Hal yang membedakan keduanya adalah penelitian Kusumaningrum (2008) menggunakan peubah harga gabah, sedangkan penelitian
98
Sitepu (2002) menggunakan rasio harga gabah dan harga Urea sebagaimana penelitian ini. Tabel 16 Hasil pendugaan parameter produktivitas padi di Indonesia (YPPI) Peubah
Intercept (HGTTIR / HUREIR)
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
-0.336 0.170
0.054
0.266
JUREI
0.003
0.167
0.817
CHI LASII LYPPI
3.400x10-5 5.141x10-8 0.796
0.016 0.062 -
0.078 0.306 -
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.97740
Keterangan Peubah
0.174 0.015
Rasio harga riil gabah di tkt petani dg harga riil pupuk Urea di Indonesia 0.020 Jumlah penggunaan pupuk Urea di Indonesia 0.113 Curah hujan di Indonesia 0.234 Luas irigasi di Indonesia 0.000 Lag produktivitas padi di Indonesia Dw = 2.43491 Dh = -1.09825
Peningkatan harga riil gabah di tingkat petani tidak mampu memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padi di Indonesia, yang ditunjukkan dengan nilai elastisitasnya sebesar 0.054 pada jangka pendek. Penggunaan pupuk Urea yang sesuai dengan rekomendasi nasional berdasar hasil uji tanah dan spesifik lokasi akan memberi efisiensi yang lebih tinggi terhadap peningkatan produktivitas padi di Indonesia, terlebih jika dikombinasikan dengan penggunaan pupuk organik. Penggunaan pupuk yang sesuai rekomendasi ini tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas padi, tetapi lebih jauh lagi dapat menghemat anggaran pembelian pupuk, baik oleh petani maupun pemerintah yang memberikan subsidi pupuk. Secara umum, respon produktivitas padi di Indonesia terhadap peubah penjelasnya sama seperti produktivitas padi di Jawa dan luar Jawa yang telah dipaparkan sebelumnya. 5.2.4 Impor Beras Indonesia
Hasil pendugaan parameter jumlah impor Indonesia menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas (harga riil beras impor Indonesia dalam rupiah, lag tarif impor, lag inflasi bahan makanan, lag produksi beras Indonesia, perubahan cadangan beras Indonesia, lag jumlah beras impor Indonesia) mampu secara
99
bersama-sama menjelaskan keragaman peubah endogennya secara baik, yaitu 73.509 persen, sedangkan sisanya sebesar 26.491 persen dijelaskan oleh peubah di luar persamaan. Peubah-peubah penjelas memberikan arah dan besaran nilai parameter dugaan sesuai harapan. Hasil pendugaan parameter jumlah impor beras Indonesia disajikan secara ringkas pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil pendugaan parameter jumlah impor beras Indonesia (JMBI) Peubah
Intercept (HMBIR * ERIR)
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
10 613 040.000 -0.199
-1.112
-1.692
-2 745.580 36 940.530
-0.695 0.435
-1.058 0.662
LPBRI
-0.261
-6.904
-10.503
PCADBI
-0.272
0.032
0.049
0.343
-
-
LTRFBR LIBM
LJMBI Prob>|F| = 0.00340
R2 = 0.73509
Keterangan Peubah
0.018 0.043
Harga riil beras impor Indonesia dalam rupiah 0.050 Lag tarif impor 0.000 Lag inflasi bahan makanan 0.022 Lag produksi beras di Indonesia 0.144 Perubahan cadangan beras Indonesia 0.032 Lag jumlah beras impor Indonesia Dw = 1.84355 Dh = 0.53789
Peubah yang berpengaruh secara nyata pada taraf probabilitas 15 persen terhadap jumlah impor beras Indonesia adalah harga riil beras impor Indonesia, lag tarif impor, lag inflasi bahan makanan, lag produksi beras, dan lag jumlah impor beras Indonesia. Namun demikian, respon jumlah impor Indonesia terhadap semua peubah yang berpangaruh nyata tersebut tidak semuanya elastis dalam jangka pendek, melainkan hanya peubah harga riil beras impor Indonesia dan lag produksi beras saja yang bersifat elastis. Harga riil beras impor Indonesia (yang telah dikonversi menjadi rupiah) masih menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait jumlah beras yang akan diimpor. Hal ini terkait dengan ketersediaan anggaran yang dimiliki pemerintah, dimana semakin tinggi harga riil beras impor Indonesia, maka akan semakin sedikit jumlah beras yang diimpor, demikian pula sebaliknya. Jika dilihat dari sisi permintaan, kenaikan harga riil beras impor Indonesia akan menurunkan permintaan terhadap beras impor.
100
Tidak itu saja, produksi beras tahun sebelumnya akan menentukan jumlah beras yang akan diimpor. Respon jumlah beras impor terhadap lag produksi beras Indonesia elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing adalah 6.904 dan 10.503. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap terjadi kenaikan jumlah produksi beras tahun sebelumnya sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan menurunkan jumlah beras impor Indonesia sebesar 6.904 persen pada jangka pendek dan 10.503 persen dalam jangka panjang. Fenomena ini mengindikasikan bahwa konversi lahan sawah yang marak terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir akan semakin meningkatkan ketergantungan terhadap impor, terlebih produktivitas padi pun telah mengalami “leveling-off”. Oleh karena itu, pemerintah daerah seharusnya semakin melindungi lahan pertanian pangan dengan menerapkan sanksi tegas bagi setiap bentuk pelanggaran yang terjadi. Selain peubah harga riil beras impor Indonesia (dalam rupiah) dan lag produksi beras, peubah yang juga elastis dalam jangka panjang adalah lag tarif impor, dengan nilai elastisitas jangka panjang sebesar 1.058, yang berarti setiap terjadi kenaikan lag tarif impor sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan menurunkan jumlah beras impor Indonesia sebesar 1.058 persen. Penetapan tarif impor oleh pemerintah merupakan salah satu bentuk pembatasan terhadap masuknya barang impor di dalam negeri. Tarif impor yang dikenakan pemerintah akan mengurangi jumlah impor beras dari negara-negara pengekspor beras. Kebijakan ini diimplementasikan untuk melindungi petani dari penurunan harga beras domestik secara drastis akibat adanya tambahan penawaran beras domestik dari impor. Ketika
inflasi
bahan
makanan
meningkat,
pemerintah
berupaya
menurunkan harga beras eceran domestik dengan menambah pasokan melalui impor, sehingga harga beras akan kembali menuju keseimbangan. Perubahan cadangan beras memiliki arah elastisitas yang berbeda dengan parameter estimasi, dikarenakan perubahan cadangan beras Indonesia yang mayoritas bernilai negatif. Selain itu, jumlah impor beras Indonesia sangat responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia tahun sebelumnya, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa impor beras merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan beras
101
domestik ketika produksi beras domestik dinilai tidak mencukupi. Kebijakan impor ini memungkinkan diimplementasikan dalam jangka pendek, mengingat ketergantungan pada impor untuk negara yang berpenduduk besar seperti Indonesia sangat riskan. Hasil pendugaan parameter harga riil beras impor Indonesia disajikan pada Tabel 18. Peubah penjelas yang terdiri dari harga riil beras dunia dan lag harga riil beras impor Indonesia mampu secara bersama-sama menjelaskan keragaman harga riil beras impor Indonesia sebesar 91.096 persen, sedangkan sisanya 8.904 persen dipengaruhi oleh peubah lain di luar persamaan. Semua peubah penjelas memiliki arah dan besaran yang sesuai dengan harapan. Tabel 18 Hasil pendugaan parameter harga riil beras impor Indonesia (HMBIR) Peubah
Intercept HBWR
Parameter Estimasi
-69.500 0.283
LHMBIR Prob>|F| = <.00010
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > |T|
0.123
1.091
0.339 0.306
-
-
0.000
0.887
R2 = 0.91096
Keterangan Peubah
Harga riil beras dunia
Lag harga riil beras impor Indonesia Dw = 1.82485 Dh = 0.41385
Harga riil beras impor Indonesia secara nyata hanya dipengaruhi oleh lag harga riil beras impor Indonesia dengan sifat yang elastis dalam jangka panjang, yang berarti harga riil beras impor Indonesia memiliki tenggang waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan diri kembali pada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi, atau dengan kata lain, harga riil beras impor Indonesia tidak stabil. 5.2.5 Ketersediaan Beras per Kapita
Hasil pendugaan pada persamaan ketersediaan beras (untuk konsumsi pangan di Indonesia) per kapita menghasilkan koefisien determinasi sebesar 82.478 persen. Hal ini dapat diartikan bahwa perilaku ketersediaan beras per kapita sebesar 82.478 persen dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh semua peubah penjelasnya (perubahan harga riil gabah di tingkat petani, rasio luas areal
102
panen padi dengan jumlah penduduk total di Indonesia, konversi lahan sawah di Indonesia, jumlah beras impor Indonesia, tren waktu, dan lag ketersediaan beras di Indonesia), sedangkan sisanya sebesar 17.522 persen dijelaskan oleh peubah lain di luar persamaan. Arah dan besaran peubah-peubah penjelasnya sudah sesuai dengan harapan. Hasil pendugaan paramter ketersediaan beras per kapita secara ringkas disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil pendugaan parameter ketersediaan beras per kapita (TSBKPK) Peubah
Parameter Estimasi
Elastisitas Jangka Pendek
Jangka Panjang
-0.052 3.542x10-6
0.001
0.001
2.844
1.137
1.356
KLSI
-6.250x10-9
-0.005
-0.006
JMBI
1.195x10-9
0.010
0.012
0.001 0.162
0.070 -
0.083 -
Intercept (HGTTIR – LHGTTIR) (LAPI / JPDKI)
T LTSBKPK Prob>|F| = 0.00030
R2 = 0.82478
Prob > |T|
Keterangan Peubah
0.056 0.081
Perubahan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia 0.000 Rasio luas areal panen padi dg jumlah penduduk total di Indonesia 0.081 Konversi lahan sawah di Indonesia 0.078 Jumlah beras impor Indonesia 0.000 Tren waktu 0.112 Lag ketersediaan beras di Indonesia Dw = 1.97591 Dh = 0.06540
Perilaku ketersediaan beras per kapita secara signifikan dipengaruhi oleh peubah perubahan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia, rasio luas areal panen padi dengan jumlah penduduk total di Indonesia, konversi lahan sawah di Indonesia, jumlah beras impor Indonesia, tren waktu, dan lag ketersediaan beras di Indonesia. Ketersediaan beras per kapita responsif terhadap rasio luas areal panen padi dengan jumlah penduduk Indonesia, atau dengan kata lain luas areal panen padi per kapita, dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai elestisitasnya sebesar 1.137 pada jangka pendek dan 1.356 pada jangka panjang. Kenaikan luas areal panen per kapita akan meningkatkan ketersediaan beras per kapita pada jangka pendek dan jangka panjang, sehingga dapat disimpulkan bahwa lahan sawah sebagai salah satu faktor penting dalam
103
luas areal panen tidak dapat tergantikan dengan faktor lainnya dalam meningkatkan ketersediaan pangan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa ketersediaan pangan per kapita dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan luas areal panen per kapita. Indikator luas areal panen saja tidak cukup menggambarkan kemampuan dalam hal luas areal panen, oleh karena itu harus memperhitungkan jumlah penduduk yang ada. Luas areal panen per kapita menggambarkan seberapa luas kemampuan masing-masing individu dalam menghasilkan areal panen. Sumarno (2011) menyebutkan bahwa luas areal panen padi per kapita di Indonesia termasuk yang terkecil di dunia. Hal ini disebabkan lahan sawah, selain untuk tanaman padi, juga diperebutkan oleh 17 komoditas lain yang masing-masing juga diharapkan memenuhi kebutuhan nasional (swasembada), seperti gula, jagung, dan kedelai. 5.2.6 Permintaan Beras di Indonesia
Hasil pendugaan parameter permintaan beras di Indonesia menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang terdiri dari harga rii beras eceran Indonesia, harga riil jagung di tingkat produsen, akses pangan per kapita, dan lag permintaan beras di Indonesia, mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi nilai peubah endogennya dengan baik (86.139 persen), sedangkan sisanya (13.861 persen) dijelaskan oleh peubah penjelas lain di luar persamaan. Semua peubah penjelas memiliki arah dan besaran sesuai harapan. Persamaan permintaan beras di Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh semua peubah penjelasnya, kecuali peubah harga riil jagung di tingkat produsen (Tabel 20). Harga riil jagung yang tidak berbeda nyata pada taraf probabilitas 15 persen mengindikasikan bahwa jagung sebagai komoditas substitusi beras belum mampu menggantikan fungsi beras sebagai makanan pokok penduduk Indonesia. Hal ini terkait dengan pandangan umum yang menganggap jagung masih merupakan barang inferior terhadap beras. Permintaan beras secara nyata dipengaruhi pendapatan per kapita dan elastis pada jangka pendek. Hubungan ini mengindikasikan bahwa proporsi untuk membelanjakan beras masih menjadi proporsi yang besar dalam pendapatan per kapita mayoritas penduduk Indonesia.
104
Persentase pengeluaran rata-rata per kapita untuk makanan adalah 51.43 persen dan 48.57 persen untuk non makanan pada tahun 2010 (BPS, 2011). Tabel 20 Hasil pendugaan parameter permintaan beras di Indonesia (QDBI) Peubah
Parameter Estimasi
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept HBEIR
14 857.000 1 996.394
0.199
HJTPIR
-783.449
-0.032
PPPKIR
0.545
0.163
LQDBI
0.266
-
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.86139
Prob > |T|
0.271
Keterangan Peubah
0.019 0.047
Harga riil beras eceran di Indonesia -0.043 0.359 Harga riil jagung di tkt produsen di Indonesia 0.223 0.004 Akses pangan per kapita 0.134 Lag permintaan beras di Indonesia Dw = 1.87518 Dh = -
Respon permintaan beras Indonesia terhadap semua peubah penjelasnya bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil studi ini sama dengan temuan Sitepu (2003) dimana respon permintaan beras Indonesia terhadap harga beras eceran dan harga jagung bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini sedikit berbeda dengan temuan Hidayat (2012) yang menyatakan bahwa respon permintaan beras terhadap perubahan harga beras eceran dan harga jagung adalah inelastis dalam jangka pendek, akan tetapi elastis dalam jangka panjang. Permintaan beras Indonesia yang kurang responsif terhadap perubahan harga riil beras eceran dan harga riil jagung di tingkat produsen tersebut mengindikasikan bahwa beras masih menjadi makanan pokok bagi sekitar 98 persen penduduk Indonesia, sehingga kenaikan harga riil beras eceran sampai pada tingkat harga tertentu belum menyebabkan konsumen menurunkan permintaannya terhadap jenis pangan ini. 5.2.7 Harga Riil (Gabah) Pembelian Pemerintah
Peubah harga riil beras impor Indonesia, pendapatan nasional riil, lag nilai tukar, dan lag harga riil pembelian pemerintah secara bersama-sama belum mampu (46.6 persen) menjelaskan keragaman nilai peubah harga riil (gabah) pembelian pemerintah yang ditunjukkan oleh nilai R2 sebesar 46.6, sedangkan
105
sisanya (53.4 persen) dijelaskan oleh peubah di luar persamaan. Nilai koefisien determinasi yang kurang dari 60 persen ini dikarenakan keterbatasan data peubah penjelas lainnya yang tersedia, sehingga baru sebatas empat peubah saja yang dimasukkan dalam persamaan. Namun demikian, semua peubah penjelas mempunyai arah dan besaran nilai parameter dugaan sesuai harapan (Tabel 21). Tabel 21 Hasil pendugaan parameter harga riil (gabah) pembelian pemerintah (HPPGR) Peubah
Intercept HMBIR
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
-154.101 0.320
0.120
0.145
0.449 0.109
GDPIR
2.430x10-13
0.303
0.366
0.045
LERIR
0.092
0.488
0.590
0.007
LHPPGR
0.172
-
-
0.267
Prob>|F| = 0.04070
R2 = 0.46600
Dw = 2.37654
Keterangan Peubah
Harga riil beras impor Indonesia Pendapatan nasional riil Indonesia Lag nilai tukar rupiah thd US dollar Lag harga riil gabah pembelian pemerintah Dh = -
Harga riil (gabah) pembelian pemerintah dipengaruhi secara signifikan oleh peubah harga riil beras impor Indonesia, pendapatan riil nasional Indonesia dan nilai tukar tahun sebelumnya. Harga riil (gabah) pembelian pemerintah memiliki respon inelastis terhadap perubahan semua peubah penjelasnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada peubah harga riil beras impor Indonesia, pendapatan nasional riil dan juga nilai tukar, berdampak kecil terhadap perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah. Hal ini diduga ada faktor eksternal lainnya seperti politik, yang menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan harga riil (gabah) pembelian pemerintah. Hasil studi ini sejalan dengan temuan Kusumaningrum (2008) yang menyatakan bahwa harga dasar pembelian pemerintah tidak responsif terhadap peubah harga beras dunia (studi ini menggunakan harga riil beras impor sebagai transmisi harga beras dunia) dan nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jika dilihat sekilas, antara harga dasar pembelian pemerintah dalam studi Kusumaningrum (2008) dan harga (gabah) pembelian pemerintah
106
dalam studi ini memiliki kemiripan dan merupakan perubahan nama saja tanpa mengubah fungsi. Namun sebenarnya ada perbedaan yang sangat mendasar dari perubahan nama tersebut (Simatupang, 2003), sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 3. 5.2.8 Harga Riil Gabah di Tingkat Petani
Hasil pendugaan pada persamaan harga riil gabah di tingkat petani di Jawa menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 60.022 persen, yang dapat diartikan bahwa peubah-peubah penjelas yang terdiri dari perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah, perubahan marjin pemasaran beras, perubahan produksi padi, tren waktu, dan lag harga riil gabah tingkat petani mampu menjelaskan secara bersama-sama sekitar 60.022 persen keragaman (variasi) nilai peubah endogennya, dan sisanya sebesar 39.978 persen dijelaskan oleh peubah lain di luar persamaan. Semua arah dan besaran peubah-peubah penjelas pada persamaan sesuai dengan harapan (Tabel 22). Tabel 22 Hasil pendugaan parameter harga riil gabah di tingkat petani di Jawa (HGTTJR) Peubah
Intercept (HPPGR – LHPPGR) (MPBJ – LMPBJ) (PPDJ – LPPDJ) T LHGTTJR Prob>|F| = 0.01530
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
710.856 0.141
0.001
-0.146
-0.023
-3.000x10-5
-0.006
10.947 0.583
0.068 -
R2 = 0.60022
0.003
Keterangan Peubah
0.044 0.086
Perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah -0.054 0.009 Perubahan marjin pemasaran beras di Jawa -0.015 0.177 Perubahan produksi padi di Jawa 0.163 0.042 Tren waktu 0.007 Lag harga riil gabah di tingkat petani di Jawa Dw = 1.40088 Dh = 3.80785
Harga riil gabah tingkat petani di Jawa secara signifikan dipengaruhi oleh peubah perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah, perubahan marjin pemasaran beras, tren waktu dan harga riil gabah di tingkat petani di Jawa tahun sebelumnya. Harga riil gabah tingkat petani di Jawa memiliki respon inelastis
107
terhadap semua peubah penjelasnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang ada perubahan faktor eksternal lain yang lebih berpengaruh dalam menentukan harga riil gabah di tingkat petani di Jawa. Sementara itu, harga riil gabah di tingkat petani di Jawa yang responsif terhadap peubah lag-nya dalam jangka panjang mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi konversi lahan sawah di luar Jawa untuk menyesuaikan diri kembali pada tingkat keseimbangan dalam merespon berbagai perubahan yang terjadi, seperti ekonomi dan kelembagaan. Marjin pemasaran beras dan produksi padi memiliki hubungan yang negatif terhadap respon harga riil gabah petani. Semakin tinggi marjin pemasaran beras dan semakin banyak jumlah produksi padi, maka harga riil gabah yang diterima petani akan mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan dari arah negatif (berlawanan) parameter estimasi kedua peubah tersebut. Hasil pendugaan pada persamaan harga riil gabah tingkat petani di luar Jawa menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 68.419 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang terdiri dari perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah, perubahan marjin pemasaran beras, perubahan produksi padi, tren waktu, dan lag harga riil gabah tingkat petani mampu menjelaskan secara bersama-sama sekitar 68.419 persen variasi nilai peubah endogennya. Sementara sisanya sebesar 31.581 persen dijelaskan oleh peubah lain di luar persamaan. Semua arah dan besaran dari peubah-peubah persamaan sesuai dengan harapan. Seperti halnya di Jawa, harga riil gabah tingkat petani di luar Jawa secara signifikan juga dipengaruhi oleh peubah perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah, perubahan marjin pemasaran beras, tren waktu dan harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa tahun sebelumnya. Harga riil gabah tingkat petani di luar Jawa memiliki respon yang inelastis terhadap semua peubah penjelasnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa ada perubahan faktor eksternal lain yang lebih berpengaruh dalam menentukan harga riil gabah tingkat petani dalam jangka pendek dan jangka panjang di luar Jawa. Marjin pemasaran beras dan produksi padi memiliki hubungan yang negatif terhadap respon harga riil gabah petani. Semakin tinggi marjin pemasaran beras
108
dan semakin banyak jumlah produksi padi, maka harga riil gabah yang diterima petani akan mengalami penurunan, sebagaimana ditunjukkan oleh arah negatif parameter estimasi kedua peubah tersebut (Tabel 23). Tabel 23 Hasil pendugaan parameter harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa (HGTTLJR) Peubah
Parameter Estimasi
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Intercept (HPPGR – LHPPGR)
794.658 0.202
0.002
0.004
(MPBLJ – LMPBLJ)
-0.098
-0.016
-0.036
-5.570x10-6
-0.002
-0.004
7.775 0.549
0.048 -
0.107 -
(PPDLJ – LPPDLJ) T LHGTTLJR
Prob>|F| = 0.00340
R2 = 0.68419
Prob > |T|
Keterangan Peubah
0.010 0.015
Perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah 0.009 Perubahan marjin pemasaran beras di luar Jawa 0.431 Perubahan produksi padi di luar Jawa 0.050 Tren waktu 0.003 Lag harga riil gabah tingkat petani di luar Jawa Dw = 2.04524 Dh = -0.15130
Hasil pendugaan pada persamaan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 92.883 persen, yang dapat diartikan bahwa bahwa peubah-peubah penjelas yang terdiri dari harga riil (gabah) pembelian pemerintah, marjin pemasaran beras, perubahan produksi padi, dan tren waktu, sebesar 92.883 persen mampu menjelaskan secara bersama-sama variasi nilai peubah endogennya, sedangkan sisanya sebesar 7.117 persen dijelaskan oleh peubah lain di luar persamaan. Semua arah dan besaran dari peubah penjelas sesuai dengan harapan. Harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia hanya dipengaruhi secara signifikan oleh peubah harga riil (gabah) pembelian pemerintah dan tren waktu. Sementara itu, respon harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia terhadap perubahan peubah-peubah penjelas yang ada bersifat inelastis dalam jangka pendek. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendeknya yang kurang dari 1 (Tabel 24). Harga riil (gabah) pembelian pemerintah menjadi indikator penting dalam menentukan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia,
109
sebagaimana terlihat dari nilai elastisitas jangka pendek yang mendekati 1, yaitu sebesar 0.928. Sementara itu, angka pendugaan parameter tren waktu adalah sebesar 12.027, hal ini dapat diinterpretasikan bahwa, setiap tahunnya, ceteris paribus, harga riil gabah tingkat petani Indonesia akan mengalami peningkatan sebesar Rp12.027 per tahun. Tabel 24 Hasil pendugaan parameter harga riil gabah tingkat petani di Indonesia (HGTTIR) Peubah
Parameter Estimasi
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > |T|
Intercept HPPGR
45.435 0.896
0.928
-
0.420 0.000
MPBI
-0.057
-0.024
-
0.163
-8.680x10-6
-0.005
-
0.233
-
-
0.001
(PPDI – LPPDI) T
12.028
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.92883
Keterangan Peubah
Harga riil (gabah) pembelian pemerintah Marjin pemasaran beras di Indonesia Perubahan produksi padi di Indonesia Tren waktu
Dw = 1.62077
5.2.9 Harga Riil Beras Eceran di Indonesia
Hasil pendugaan pada persamaan harga riil beras eceran di Indonesia menunjukkan bahwa semua peubah penjelas memberikan arah dan besaran nilai parameter dugaan sesuai harapan, serta mampu menjelaskan secara bersama-sama sekitar 76.856 persen keragaman nilai peubah endogennya, sedangkan sisanya yang 23.144 persen dijelaskan oleh peubah lain di luar persamaan. Arah dan besaran dari masing-masing peubah penjelas sesuai dengan harapan. Harga riil beras eceran di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan harga gabah tingkat petani, perubahan produksi beras, jumlah beras impor Indonesia, perubahan cadangan beras, perubahan konversi lahan sawah di Indonesia, dan lag harga riil beras eceran di Indonesia, dengan respon inelastis pada jangka pendek dan jangka panjang (Tabel 25). Respon inelastis harga riil beras eceran terhadap perubahan peubah-peubah penjelasnya, mengindikasikan bahwa harga riil beras eceran di Indonesia dipengaruhi oleh perubahan faktor eksternal lain, seperti perekonomian, teknologi dan kelembagaan.
110
Tabel 25 Hasil pendugaan parameter harga riil beras eceran di Indonesia (HBEIR) Peubah
Intercept (HGTTIR – LHGTTIR)
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
796.159 0.585
0.004
0.022
(PBRI – LPBRI)
-1.700x10-4
-0.027
-0.136
LJMBI
-1.000x10-4
-0.032
-0.163
PCADBI
-2.200x10-4
0.009
0.044
(KLSI – LKLSI)
2.240x10-4 1.114x10-4
T LHBEIR Prob>|F| = 0.00440
10.465 0.804
-
R2 = 0.76856
0.001 -
Keterangan Peubah
0.149 0.001
Perubahan harga gabah di tkt petani di Indonesia 0.021 Perubahan produksi beras di Indonesia 0.071 Jumlah beras impor di Indonesia 0.032 Perubahan cadangan beras di Indonesia 0.145 Perubahan konversi lahan sawah di Indonesia 0.177 Tren waktu 0.003 Lag harga riil beras eceran di Indonesia Dw = 1.10338 Dh = -
Harga riil beras eceran di Indonesia dipengaruhi oleh harga riil gabah di tingkat petani. Respon harga riil beras eceran di Indonesia terhadap perubahan peubah penjelas: perubahan produksi beras, lag jumlah impor, dan perubahan cadangan beras adalah inelastis dalam jangka pendek, dengan arah yang negatif (berlawanan). Ketiga peubah penjelas ini merupakan komponen penting dalam penawaran beras domestik, sehingga kenaikan penawaran beras domestik akan menurunkan harga riil beras eceran di Indonesia. Selain itu, setiap peningkatan konversi lahan sawah akan mengakibatkan peningkatan harga riil beras eceran di Indonesia, karena konversi lahan sawah yang terjadi menyebabkan menurunnya produksi beras domestik. Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa kecenderungan waktu berpengaruh positif terhadap harga riil beras eceran di Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap tahunnya, ceteris paribus, harga riil beras eceran Indonesia mengalami tren peningkatan sebesar Rp10.465, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai parameter estimasinya. Adanya pengaruh peubah lag harga riil beras eceran mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat bagi peubah harga riil beras eceran untuk kembali menuju titik keseimbangan dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
111
5.2.10 Inflasi Bahan Makanan
Keragaman nilai inflasi bahan makanan sekitar 96.686 persen mampu dijelaskan secara bersama-sama oleh peubah-peubah penjelas yang terdiri dari harga riil beras eceran di Indonesia, perubahan nilai tukar, excess demand beras, laju inflasi umum dan tren waktu, sedangkan sisanya 3.314 persen dijelaskan oleh peubah di luar persamaan. Semua arah dan besaran peubah penjelas dari persamaan sesuai harapan. Hasil pendugaan parameter harga riil beras eceran di Indonesia secara ringkas disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Hasil pendugaan parameter inflasi bahan makanan (IBM) Peubah
Parameter Estimasi
Elastisitas Prob > |T| Jangka Jangka Pendek Panjang
-22.931 0.005
-
-
1.273
-
0.165 0.144
0.005
-0.064
-
0.000
1.938x10-6
0.443
-
0.411
LIU
1.090
0.856
-
0.000
T
0.095
-
-
0.409
Intercept HBEIR (ERIR – LERIR) (QDBI – QSBI)
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.96686
Keterangan Peubah
Harga riil beras eceran di Indonesia Perubahan nilai tukar Rupiah dg US Dollar Excess demand beras di Indonesia Laju inflasi umum di Indonesia Tren waktu
Dw = 2.30505
Inflasi bahan makanan dipengaruhi secara nyata oleh harga riil beras eceran, perubahan nilai tukar, dan laju inflasi umum. Namun demikian, hanya peubah harga riil beras eceran yang elastis pada jangka pendek (Tabel 21). Harga riil beras eceran merupakan salah satu cost push inflation factor, dimana persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut Kelompok Barang menyebutkan bahwa konsumsi padi-padian memberi kontribusi sebesar 10.095 persen dari 53.045 persen konsumsi makanan (BPS, 2002 – 2009). Selain itu, inflasi bahan makanan juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan laju inflasi umum. Sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 1998 ketika terjadi krisis moneter, penurunan nilai tukar rupiah terhadap US
112
dollar hingga 247.023 persen menyebabkan peningkatan laju inflasi umum dan laju inflasi bahan makanan masing-masing sebesar 837.208 dan 541.572 persen. 5.2.11 Akses Pangan per Kapita
Persamaan akses pangan per kapita mempunyai koefisien determinasi (R2) sebesar 98.658 persen, yang berarti bahwa peubah-peubah penjelas yang terdiri dari inflasi bahan makanan, konversi lahan sawah di Indonesia, perubahan ketersediaan infrastruktur jalan, dan lag akses pangan per kapita mampu menjelaskan secara bersama-sama keragaman nilai peubah endogennya sebesar 98.658 persen, sedangkan sisanya yang sebesar 1.342 persen dijelaskan oleh peubah di luar persamaan. Semua arah dan besaran peubah penjelas sesuai harapan. Hasil pendugaan parameter akses pangan riil per kapita secara ringkas disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil pendugaan parameter akses pangan riil per kapita (PPPKIR) Peubah
Intercept IBM
Parameter Estimasi
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Prob > |T|
-58 064.600 -8 483.530
-0.011
0.132
0.437 0.036
-0.605
-0.006
0.073
0.141
(PJLNI – LPJLNI)
1.063
0.001
-0.011
LPPPKIR
1.085
-
-
KLSI
Prob>|F| = <.00010
R2 = 0.98658
Keterangan Peubah
Inflasi bahan makanan
Konversi lahan sawah di Indonesia 0.449 Perubahan ketersediaan infrasruktur jalan di Indonesia 0.000 Lag akses pangan per kapita Dw = 2.30233 Dh = -0.68394
Akses pangan per kapita secara nyata dipengaruhi oleh inflasi bahan makanan, konversi lahan sawah Indonesia, dan lag akses pangan per kapita. Respon akses pangan per kapita terhadap perubahan peubah inflasi bahan makanan, konversi lahan sawah di Indonesia, perubahan ketersediaan infrastruktur jalan bersifat inelastis pada jangka pendek dan jangka panjang, sedangkan responsif terhadap peubah lag-nya dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Fenomena ini mengindikasikan bahwa akses pangan per kapita memiliki tenggang
113
waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan diri kembali pada tingkat keseimbangannya dalam merespon perubahan perekonomian yang terjadi, atau dengan kata lain, akses pangan per kapita tidak stabil. Konversi lahan sawah menyebabkan menurunnya ketersediaan pangan dan mengakibatkan peningkatan harga beras riil eceran dan inflasi bahan makanan. Tingginya inflasi bahan makanan akan mengurangi akses masingmasing individu terhadap pangan, sehingga akses pangan per kapita sebagai salah satu indikator ketahanan pangan, juga akan menurun. Respon akses pangan per kapita terhadap perubahan ketersediaan infrastruktur jalan di Indonesia inelastis dalam jangka jangka pendek dan jangka panjang, dengan pengaruh yang tidak signifikan pada taraf probabilitas 15 persen. Namun demikian, peubah ini tetap dimasukkan ke dalam persamaan sebagai proksi dari akses pangan secara fisik. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 4, akses pangan meliputi akses secara fisik dan ekonomi. Akses fisik dilihat dari bagaimana distribusi pangan tersebut sampai dapat diterima oleh masing-masing individu. Semakin baik ketersediaan infrastruktur jalan di Indonesia, maka akan semakin terbuka akses transportasi untuk distribusi hasil-hasil pertanian antarwilayah di Indonesia, sehingga akses setiap penduduk untuk mendapatkan pangan yang cukup pun semakin besar.
114
Halaman ini sengaja dikosongkan
.
115
VI ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN 6.1 Validasi Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia
Kerangka teoritis dan empiris yang dikembangkan sebelumnya digunakan sebagai dasar dalam membangun model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia. Hubungan ekonomi peubah-peubah dalam model yang diformulasikan juga digunakan dalam simulasi berbagai alternatif kebijakan. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998), simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif kebijakan dengan cara mengubah nilai peubah kebijakannya. Sebelum melakukan alternatif simulasi kebijakan, terlebih dahulu perlu dilakukan validasi model untuk melihat apakah nilai dugaan sesuai dengan nilai aktual masing-masing peubah endogennya. Model ketersediaan dan akses pangan dalam penelitian ini telah diuji dengan suatu simulasi dasar untuk periode observasi 1990 – 2010, dimana konversi lahan sawah mengalami tren kecenderungan yang menurun. Adapun indikator yang digunakan dalam validasi model adalah Root Mean Square Percent Error (RMSPE), yang digunakan untuk mengukur seberapa dekat nilai masingmasing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti data aktualnya selama periode pengamatan atau dengan kata lain seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persen (Sinaga & Sitepu, 2007). Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasikan ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasinya. Indikator lain yang juga digunakan dalam melihat validasi model ini adalah statistik proporsi bias (UM), proporsi regresi (UR), proporsi distribusi (UD), serta statistik Theil’s inequality coefficient (U). Indikator statistik ini digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model dalam analisis simulasi dasar/historis dan juga peramalan (namun penelitian ini tidak melakukan peramalan). Suatu model dikatakan semakin baik jika nilai RMSPE dan U-Theil’s semakin kecil, sedangkan nilai R2 semakin besar. Nilai koefisien Theil’s (U) berkisar antara 0 dan 1, dimana jika U = 0 maka pendugaan model sempurna. Sebaliknya jika U = 1 maka pendugaan model naif. Hasil validasi model ketersediaan dan akses pangan di Indonesia disajikan pada Tabel 28.
116
Tabel 28 Hasil pengujian validasi model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia Nama Peubah
RMS % Error
Konversi Lahan Sawah Jawa 3.9640E9 Konversi Lahan Sawah Luar Jawa 5.2691E9 Konversi Lahan Sawah Indonesia 3.5403E9 Luas Baku Sawah Jawa 1.9771 Luas Baku Sawah Luar Jawa 2.7961 Luas Baku Sawah Indonesia 1.9891 Luas Areal Panen Padi Jawa 2.4793 Luas Areal Panen Padi Luar Jawa 2.9326 Luas Areal Panen Padi Indonesia 1.8045 Produktivitas Padi Jawa 2.2608 Produktivitas Padi Luar Jawa 1.2481 Produktivitas Padi Indonesia 1.4400 Produksi Padi Jawa 3.3860 Produksi Padi Jawa per Kapita 3.3860 Produksi Beras Jawa 3.3860 Produksi Padi Luar Jawa 3.2306 Produksi Padi Luar Jawa per Kapita 3.2306 Produksi Beras Luar Jawa 3.2306 Produksi Padi Indonesia 2.8064 Produksi Beras Indonesia per Kapita 2.8064 Produksi Beras Indonesia 2.8064 Jumlah Beras Impor Indonesia 1589.4 Harga Riil Beras Impor Indonesia 43.3095 Penawaran Beras Indonesia 3.4638 Jumlah Beras Susut Indonesia 3.4638 Ketersediaan Beras Indonesia 3.4638 Ketersediaan Beras per Kapita 3.2040 Permintaan Beras Indonesia 5.1137 Permintaan Beras per Kapita 5.1137 Marjin Pemasaran Beras Jawa 25.2650 Marjin Pemasaran Beras Luar Jawa 13.2243 Marjin Pemasaran Beras Indonesia 74.5399 Harga Riil Pembelian Pemerintah 13.2208 Harga Riil Gabah Tkt Petani Jawa 10.9928 Harga Riil Gabah Tkt Petani Luar Jawa 6.5366 Harga Riil Gabah Tkt Petani Indonesia 14.6226 Harga Beras Eceran Indonesia 11.5084 Inflasi Bahan Makanan 176.1 Akses Pangan per Kapita 4.6268 Penerimaan Pemerintah 1589.4 Devisa Negara 1283.0
Bias Reg (UM) (UR) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.10 0.00 0.00 0.19 0.06 0.01 0.26 0.27 0.26 0.02 0.03 0.02 0.17 0.19 0.18 0.01 0.00 0.06 0.06 0.06 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.03 0.14 0.07
0.00 0.01 0.00 0.09 0.15 0.13 0.08 0.00 0.00 0.05 0.00 0.08 0.01 0.01 0.01 0.01 0.04 0.01 0.00 0.04 0.00 0.17 0.33 0.00 0.00 0.00 0.00 0.13 0.16 0.01 0.01 0.38 0.17 0.13 0.00 0.11 0.30 0.00 0.09 0.05 0.13
Dist (UD) 1.00 0.99 1.00 0.91 0.85 0.87 0.82 1.00 1.00 0.76 0.94 0.91 0.73 0.72 0.73 0.97 0.93 0.96 0.82 0.77 0.82 0.82 0.67 0.94 0.94 0.94 0.99 0.86 0.84 0.98 0.99 0.62 0.83 0.86 1.00 0.89 0.70 0.98 0.88 0.81 0.80
Var Covar (US) (UC) 0.08 0.35 0.17 0.18 0.31 0.26 0.00 0.04 0.04 0.00 0.01 0.14 0.00 0.05 0.01 0.04 0.15 0.05 0.02 0.19 0.04 0.03 0.51 0.02 0.02 0.02 0.18 0.01 0.08 0.00 0.02 0.00 0.00 0.10 0.20 0.00 0.01 0.02 0.06 0.28 0.00
0.92 0.65 0.83 0.82 0.69 0.74 0.90 0.96 0.96 0.81 0.93 0.84 0.74 0.68 0.73 0.94 0.82 0.93 0.80 0.61 0.78 0.96 0.49 0.91 0.91 0.91 0.81 0.99 0.92 0.99 0.98 1.00 1.00 0.89 0.80 1.00 0.99 0.96 0.91 0.58 0.93
Coef U 0.2928 0.5119 0.3740 0.0092 0.0128 0.0095 0.0127 0.0144 0.0087 0.0112 0.0062 0.0072 0.0175 0.0174 0.0176 0.0162 0.0157 0.0162 0.0146 0.0144 0.0146 0.3631 0.1278 0.0173 0.0173 0.0173 0.0159 0.0256 0.0256 0.0706 0.0418 0.3070 0.0540 0.0507 0.0322 0.0517 0.0583 0.1142 0.0213 0.3544 0.3207
Berdasarkan hasil validasi pada Tabel 28 diketahui bahwa terdapat 35 persamaan dari 41 persamaan (sekitar 85.366 persen) yang memiliki nilai RMSPE < 26 persen, yang dapat diartikan bahwa nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historisnya dengan tingkat kesalahan kurang dari 26 persen sebanyak 85.366 persen persamaan. Sisanya sebanyak 6 persamaan memiliki nilai
117
RMSPE ≥ 26 persen, dengan rincian: 2 persamaan mempunyai nilai RMSPE antara 26 – 100 persen; dan 4 persamaan lainnya mempunyai nilai RMSPE > 100 persen. Berdasarkan kriteria nilai U-Theil’s dimana nilai idealnya adalah nol, maka diketahui sebanyak 37 persamaan dari 41 persamaan (sekitar 90.244 persen) memiliki nilai U-Theil’s berkisar antara 0 – 0.3, yang mengindikasikan simulasi model dapat mengikuti data aktualnya dengan baik. Sisanya terdiri dari: 3 persamaan dari 41 persamaan memiliki nilai U-Theil’s antara 0.31 – 0.5, dan 1 persamaan dari 41 persamaan yang memiliki nilai U-Theil’s > 0.5. Nilai U-Theil tertinggi adalah sebesar 0.512 yang terdapat pada persamaan konversi lahan sawah di luar Jawa (KLSLJ), akan tetapi tidak mengalami bias sistemik karena nilai UM yang sangat kecil. Berdasarkan uji validasi, secara umum model dinilai cukup baik digunakan sebagai model pendugaan, sehingga model ini juga dapat digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan simulasi historis periode 1990 – 2010. Batasan rentang tahun tersebut ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu melihat dampak konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia secara keseluruhan dimana tahun 1990-2010 mengalami tren/ kecenderungan yang meningkat. 6.2 Evaluasi Dampak Alternatif Kebijakan Ekonomi terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia Periode 1990 – 2010
Setiap opsi kebijakan yang dilakukan pemerintah akan memberikan dampak, baik positif maupun negatif, terhadap masing-masing peubah endogennya. Namun tidak menutup kemungkinan dapat juga tidak memberikan dampak terhadap peubah endogen lainnya. Simulasi dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) konversi lahan sawah di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia dalam kondisi dengan dan tanpa impor; 2) peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen dengan beberapa kombinasi harga; dan 3) peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen dengan beberapa kombinasi kebijakan impor. Peningkatan konversi lahan sawah sebesar 1 persen per tahun merupakan peningkatan rata-rata konversi lahan sawah di Indonesia dalam kurun waktu 21 tahun terakhir. Simulasi juga dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal
118
berikut: 1) mendisagregasi berdasarkan wilayah Jawa, luar Jawa dan Indonesia dengan tujuan untuk melihat kondisi masing-masing wilayah; 2) melakukan kebijakan tanpa impor, dengan tujuan untuk melihat kemandirian pangan masingmasing wilayah; dan 3) melakukan simulasi beberapa alternatif kombinasi kebijakan ekonomi sebagai evaluasi kebijakan. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan hasil perhitungan surplus produsen, surplus konsumen maupun penerimaan pemerintah dari implemetasi masing-masing kebijakan tersebut. Hasil yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan opsi kebijakan terbaik sebagai upaya mempertahankan ketahanan pangan di Indonesia dengan memperhitungkan konversi lahan sawah yang terjadi, sekaligus sebagai evaluasi terhadap beberapa alternatif kebijakan. Berikut dibahas hasil simulasi masing-masing kebijakan tersebut. 6.2.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia dalam Kondisi dengan dan tanpa Impor
Pada subbab ini, simulasi yang dilakukan adalah berdasarkan disagregasi wilayah Jawa (simulasi 1 – 5), luar Jawa (simulasi 6 – 10), dan Indonesia sebagai gabungan dari keduanya (simulasi 11 – 15), dalam kondisi tetap seperti saat ini (existing) maupun ketika terjadi peningkatan. Selain itu, simulasi juga dilakukan pada kondisi dengan dan tanpa kebijakan impor. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan riil masing-masing wilayah dalam hal kemandirian pangan. 6.2.1.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa
Simulasi 1 – 5 merupakan kondisi konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa, dalam kondisi tetap seperti saat ini (existing) maupun ketika terjadi peningkatan. Hasil rekapitulasi simulasi 1 – 5 disajikan pada Tabel 29 yang ditempatkan di akhir pembahasan simulasi 5, sementara hasil simulasi 1 – 5 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 19. Simulasi 1 merupakan kondisi konversi lahan sawah di Jawa tetap seperti saat ini (existing) dengan kebijakan tanpa impor, yang bertujuan untuk melihat kemandirian pangan di wilayah Jawa. Instrumen kebijakan tanpa impor ini bertujuan untuk melindungi petani dari rendahnya harga beras domestik yang cenderung menurun akibat impor.
119
Kondisi konversi lahan sawah di Jawa tetap seperti saat ini (existing), menyebabkan konversi lahan sawah di luar Jawa mengalami peningkatan sekitar 0.007 persen. Kebijakan tanpa impor menyebabkan penerimaan pemerintah dari tarif impor berkurang 100 persen. Kondisi ini diduga mendorong pemerintah memacu pertumbuhan ekonominya yang memberi konsekuensi terhadap tingginya persaingan lahan dari penggunaan pertanian (khususnya pangan) ke penggunaan lain non-pertanian pangan yang menghasilkan rente lahan lebih tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jawa menyebabkan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa pun mengalami peningkatan, sehingga konversi lahan sawah di luar Jawa pun mengalami peningkatan walaupun peningkatannya relatif kecil yakni sebesar 0.007 persen. Konversi lahan sawah di Jawa yang 3x lipat dibandingkan yang terjadi di luar Jawa, kemudian ditambah pula dengan peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa menyebabkan konversi lahan sawah secara keseluruhan (Indonesia) meningkat sebesar 0.778 persen. Peningkatan konversi lahan sawah ini mengakibatkan penurunan luas baku sawah di Indonesia sebesar 0.011 persen. Penurunan luas baku sawah yang lebih kecil daripada konversi lahan sawah yang terjadi mengindikasikan adanya pencetakan sawah baru. Kondisi konversi lahan sawah di Jawa tetap seperti saat ini (existing) dimana rata-rata laju konversinya yang ada sebesar 0.144 persen, menyebabkan luas baku sawah di Jawa mengalami penurunan sebesar 0.026 persen. Hal ini diduga karena di Jawa pun masih ada pencetakan sawah baru, walaupun relatif kecil jumlahnya dan berupa pencetakan sawah non-irigasi. Dengan asumsi intensitas pertanaman dan produktivitas tetap, penurunan luas baku sawah akan berdampak terhadap pengurangan luas areal panen padi di Jawa lebih lanjut berdampak terhadap penurunan produksi padi Jawa, produksi padi per kapita Jawa, dan produksi beras Jawa masing-masing sebesar 0.016, 0.043 dan 0.014 persen. Namun demikian, produksi beras di Indonesia secara keseluruhan tetap mengalami peningkatan. Hal ini diduga karena adanya peningkatan produksi padi di luar Jawa sebesar 0.289 persen. Kebijakan tanpa impor beras menyebabkan menurunnya penawaran beras domestik sebesar 3.216 persen dan ketersediaan beras per kapita mengalami
120
penurunan sebesar 1.154 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa selama ini penawaran beras domestik sangat dipengaruhi oleh impor. Turunnya penawaran beras Indonesia akibat kebijakan peniadaan impor menyebabkan harga riil beras eceran domestik mengalami peningkatan sebesar 11.901 persen yang berdampak terhadap peningkatan inflasi bahan makanan, dimana beras merupakan salah satu cost push inflation factor. Secara nasional, tingginya inflasi bahan makanan sebesar 34.861 persen berdampak terhadap menurunnya akses pangan per kapita sebesar 8.312 persen. Peningkatan harga riil beras eceran di Indonesia sebesar 11.901 persen juga diikuti dengan peningkatan marjin pemasaran beras sebesar 57.959 persen. Semakin tinggi marjin pemasaran beras yang diambil pedagang, ceteris paribus, maka akan semakin rendah harga gabah yang diterima petani, sebagaimana yang ditunjukkan oleh penurunan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia sebesar 1.529 persen. Namun demikian, peningkatan harga riil beras eceran domestik sebesar 11.901 persen belum mengakibatkan penurunan permintaan terhadap komoditas beras. Bahkan hasil pengolahan data menunjukkan bahwa permintaan beras per kapita mengalami peningkatan sebesar 1.489 persen. Fenomena ini mengindikasikan bahwa beras masih menjadi makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia, sehingga peningkatan harga riil beras eceran sampai pada tingkat tertentu belum menyebabkan masyarakat mengurangi permintaannya terhadap jenis pangan ini. Hal ini diperkuat oleh temuan Hidayat (2012) yang menyebutkan bahwa perubahan harga beras di tingkat konsumen memberikan dampak yang kecil terhadap permintaan beras itu sendiri dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang, konsumen mulai menyesuaikan diri untuk mencari alternatif makanan pokok lain. Simulasi 1 ini menyimpulkan bahwa ternyata tanpa kebijakan impor konversi lahan sawah di Jawa seperti saat ini pun sebenarnya telah menyebabkan penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita. Ketersediaan dan akses pangan selama ini mencukupi karena masih ditopang oleh adanya impor. Hal ini mengindikasikan bahwa kemandirian pangan di wilayah Jawa dalam kondisi buruk karena sangat tergantung dengan impor. Kebijakan impor dalam jangka pendek mampu menutupi defisit kebutuhan beras, namun hal ini riskan dalam
121
jangka panjang, terutama bagi negara berpenduduk besar seperti Indonesia. Terlebih saat ini dunia mengalami krisis pangan global yang menimpa 37 negara berkembang. Hal ini menyebabkan masing-masing negara produsen beras di dunia memperketat kebijakan ekspor berasnya dan lebih mementingkan kebutuhan beras dalam negerinya. Hal ini semakin meyakinkan bahwa kebijakan impor tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan beras domestik dalam jangka waktu yang lebih lama. Menurut catatan PBB, pada saat ini tidak kurang dari 5 juta jiwa baru lahir ke dunia tiap 10 hari, dan diperkirakan jumlah penghuni bumi mencapai 9.2 miliar jiwa pada tahun 2050. Dari segi kebutuhan pangan, diperkirakan besarnya kebutuhan dunia untuk menyediakan bahan pangan tidak saja jumlah yang mencukupi, tetapi juga harus memenuhi standar nutrisi. Untuk itu, produksi pertanian harus meningkat sebesar 70 persen agar dapat memenuhi kebutuhan pangan (DKP, 2011). Simulasi 2 merupakan kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen dan mengimplementasikan kebijakan impor seperti saat ini (existing). Sesuai teori perdagangan internasional bahwa suatu negara melakukan perdagangan internasional dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dari adanya spesialisasi, maka pemerintah pun mengimplementasikan kebijakan impor seperti saat ini. Simulasi ini bertujuan untuk melihat dampak peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen terhadap ketersediaan dan akses pangan yang ditopang dengan impor. Kebijakan impor seperti saat ini menyebabkan penerimaan pemerintah dari tarif impor mengalami peningkatan sebesar 2.496 persen. Walaupun konversi lahan sawah di Jawa mengalami peningkatan sebesar 1 persen, tetapi kondisi ini tidak menyebabkan konversi lahan sawah di luar Jawa juga mengalami peningkatan, bahkan terjadi penurunan sebesar 0.001 persen. Namun demikian, secara keseluruhan peningkatan konversi lahan sawah di Jawa yang lebih besar daripada pengurangan di luar Jawa mengakibatkan konversi di Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 1.159 persen. Peningkatan konversi lahan sawah di Jawa ini berdampak terhadap penurunan luas baku sawah dan luas areal panen padi secara keseluruhan di Indonesia masing-masing sebesar 0.039 persen dan 0.001 persen.
122
Sebagai negara pengimpor beras peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Filipina dan Nigeria (Hidayat, 2012), kebijakan impor menyebabkan permintaan beras di pasar dunia mengalami peningkatan. Hal ini berakibat meningkatnya harga riil beras impor Indonesia yang selanjutnya mendorong pemerintah untuk meningkatkan harga riil (gabah) pembelian pemerintah. Selain mekanisme pasar, peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah ini ikut berdampak terhadap peningkatan harga riil gabah di tingkat petani yang kemudian menjadi insentif bagi petani dalam meningkatkan produktivitas padinya (0.003 persen). Namun demikian, peningkatan produktivitas ini belum mampu meningkatkan produksi padi secara keseluruhan di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh produksi padi dan beras di Indonesia yang masih mengalami penurunan masing-masing sebesar 0.018 persen dan 0.017 persen. Fenomena ini disebabkan adanya penurunan luas areal panen padi secara keseluruhan di Indonesia sebesar 0.001 persen akibat konversi lahan sawah yang menyebabkan luas baku sawah pun mengalami penyusutan (dengan asumsi intensitas pertanaman padi tetap). Penawaran beras secara total di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0.003 persen, hal ini karena terjadi peningkatan impor sebesar 0.612 persen sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik dalam jangka pendek. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi stabil ketersediaan beras per kapita (tidak mengalami perubahan). Kebijakan impor yang ada juga mampu meningkatkan akses pangan per kapita sebesar 0.171 persen sebagai akibat menurunnya harga riil beras eceran domestik sebesar 0.231 persen. Selanjutnya, penurunan harga riil beras eceran ini dan penurunan produksi padi di Jawa berdampak terhadap penurunan marjin pemasaran beras di Jawa sebesar 0.188 persen. Namun demikian, penurunan produksi padi dan marjin pemasaran ini belum mampu meningkatkan harga riil gabah di tingkat petani di Jawa, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan harga riil gabah di tingkat petani di Jawa sebesar 0.059 persen (Lampiran 19). Fenomena ini berbeda dengan harapan dan kondisi di Indonesia secara keseluruhan, dimana semakin rendah marjin pemasaran beras, maka akan meningkatkan harga gabah di tingkat petani, seperti ditunjukkan oleh harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia yang mengalami peningkatan sebesar 0.022 persen. Hal ini diduga
123
karena penerapan kebijakan impor yang ada turut berkontribusi terhadap penurunan marjin pemasaran beras di Indonesia. Selain itu, kebijakan impor yang ada meningkatkan penerimaan pemerintah dari tarif impor sebesar 2.496 persen, tetapi nilai devisa negara mengalami penurunan sebesar 0.533 persen yang diduga akibat rendahnya harga impor beras Indonesia. Simulasi 3 merupakan pembanding simulasi 2, yang menggambarkan kondisi ketika terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen tanpa kebijakan impor. Tujuan simulasi ini adalah untuk melihat kemandirian pangan ketika terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen tanpa ditopang oleh impor. Kebijakan tanpa impor menyebabkan konversi lahan sawah di luar Jawa mengalami peningkatan sebesar 0.007 persen, sebagaimana telah dijelaskan pada simulasi 1. Peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen dan di luar Jawa sebesar 0.007 persen, mengakibatkan konversi lahan sawah di Indonesia meningkat rata-rata sebesar 1.165 persen yang selanjutnya berdampak terhadap penyusutan/pengurangan luas baku sawah di Indonesia sebesar 0.016 persen. Intensitas pertanaman yang relatif tetap dan konversi lahan sawah di Jawa yang meningkat sebesar 1 persen menyebabkan luas areal panen padi menurun sebesar 0.001 persen, sebagaimana pada simulasi 2. Kebijakan tanpa impor yang diterapkan oleh Indonesia menyebabkan kuantitas beras di pasar dunia meningkat dan harga riil beras impor Indonesia mengalami penurunan yang selanjutnya berdampak terhadap penurunan harga riil (gabah) pembelian pemerintah. Walaupun respon harga riil gabah di tingkat petani terhadap harga riil (gabah) pembelian pemerintah bersifat inelastis, tetapi berdampak juga terhadap penurunan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia sebesar 1.529 persen. Penurunan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia ini kemudian menyebabkan produktivitas padi petani di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.320, walaupun di Jawa dan luar Jawa relatif tetap. Penurunan luas areal panen padi dan produktivitas padi di Indonesia tidak menyebabkan produksi padi dan beras di Indonesia secara rata-rata juga mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan luas areal panen padi di luar Jawa meningkat sebesar 0.291 persen, sehingga produksi padi di luar Jawa pun
124
mengalami peningkatan sebesar 0.289 persen. Secara umum, peningkatan konversi lahan sebesar 1 persen di Jawa dengan kondisi tanpa impor menyebabkan penawaran beras domestik menurun sebesar 3.224 persen dan kemudian berdampak juga terhadap penurunan ketersediaan pangan per kapita sebesar 1.154 persen yang diimbangi dengan peningkatan permintaan beras per kapita sebesar 1.489 persen. Penurunan penawaran beras domestik akibat peniadaan impor berdampak terhadap meningkatnya harga riil beras eceran di Indonesia sebesar 11.907 persen dan hal ini berakibat pada menurunnya akses pangan per kapita sebesar 8.344 persen. Simulasi 4 merupakan kondisi dimana peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 18 persen dengan impor seperti saat ini (existing) telah menyebabkan penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita. Berdasarkan hasil pengolahan data, pada tingkat impor seperti sekarang, diketahui bahwa konversi lahan sawah di Jawa baru menyebabkan penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita pada tingkat konversi sebesar 18 persen, dengan masingmasing penurunan sebesar 0.072 persen dan 0.309 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan dari konversi lahan sawah di Jawa hingga sebesar 18 persen pun masih relatif kecil, yaitu < 1 persen, jika pemerintah masih tetap melakukan kebijakan impor. Namun demikian, kondisi ini patut tetap dicermati bahwa ketersediaan dan akses pangan yang bertumpu pada impor menjadikan negara akan mengalami krisis pangan ketika suplai di pasar dunia menipis, dan sekaligus kurang memberikan insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi padinya. Konversi lahan sawah yang terjadi karena pasti akan berdampak negatif terhadap ketersediaan dan akses pangan per kapita, baik dalam hal waktu (jangka pendek atau jangka panjang) dan nilai (besar atau kecil). Karena bagaimana pun, sebagaimana hasil pendugaan model diketahui bahwa dalam jangka panjang, peubah yang berespon elastis terhadap ketersediaan beras adalah lahan sawah per kapita. Besarnya penurunan kedua aspek ketahanan pangan ini (ketersediaan dan akses pangan) sangat berbeda jika dibandingkan dengan penurunan yang diakibatkan konversi lahan sawah dengan tingkat yang sama, yaitu 18 persen, tanpa kebijakan impor sebagaimana diperlihatkan pada simulasi 5. Simulasi ini ber-
125
tujuan untuk melihat lemahnya kemandirian pangan di Jawa ketika peningkatan konversi lahan sawah sampai mencapai sebesar 18 persen. Jika kondisi ini terjadi, maka menyebabkan ketersediaan dan akses pangan menurun masing-masing sebesar 1.226 persen dan 8.88 persen, jauh lebih besar dari penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita dengan adanya kebijakan impor pada simulasi 4 yang masing-masing sebesar 0.072 persen dan 0.309 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tanpa impor berdampak terhadap penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita dengan nilai penurunan yang sangat besar. Kondisi ini semakin memperkuat hasil simulasi sebelumnya dimana sebenarnya ketersediaan dan akses pangan yang ada selama ini sangat bergantung pada impor, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemandirian pangan yang ada merupakan kemandirian pangan semu. Tabel 29 Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah Konversi Lahan Sawah Jawa Konversi Lahan Sawah Luar Jawa Konversi Lahan Sawah Indonesia Luas Baku Sawah Indonesia Luas Areal Panen Padi Indonesia Produktivitas Padi Indonesia Produksi Beras Indonesia Penawaran Beras Indonesia Ketersediaan Beras per Kapita Permintaan Beras per Kapita Harga Riil Beras Eceran Indonesia Akses Pangan per Kapita
Satuan ha ha ha ha ha ton/ha ton ton ton/jiwa ton/jiwa Rp/kg Rp/jiwa
Nilai Dasar
Perubahan Simulasi (%) S1
S2
S3
S4
S5
41 071.7 67 637.1 108 709 8 011 785 11 628 888 3.9055 31 702 737 32 828 488 0.139 0.1739 3 641.1 11 013 884
0.000 0.007 0.778 -0.011 -0.001 -0.320 0.118 -3.216 -1.154 1.489 11.901 -8.312
1.000 -0.001 1.159 -0.016 -0.001 0.003 -0.017 0.003 0.000 0.000 -0.231 0.171
1.000 0.007 1.165 -0.016 -0.001 -0.320 0.109 -3.224 -1.154 1.489 11.907 -8.344
18.000 -0.001 7.734 -0.105 -0.004 0.003 -0.174 -0.092 -0.072 -0.115 -0.326 -0.309
18.000 0.007 7.740 -0.105 -0.004 -0.323 -0.046 -3.375 -1.226 1.375 11.988 -8.880
Keterangan: S1 : Konversi di Jawa tetap, tanpa impor S2 : Konversi di Jawa meningkat 1%, dengan impor S3 : Konversi di Jawa meningkat 1%, tanpa impor S4 : Konversi di Jawa meningkat 18%, dengan impor S5 : Konversi di Jawa meningkat 18%, tanpa impor
6.2.1.2 Konversi Lahan Sawah di Luar Jawa
Sama halnya dengan dampak konversi lahan sawah di Jawa, konversi lahan sawah di luar Jawa juga berdampak terhadap ketersediaan dan akses pangan per kapita. Bagian ini membahas dampak konversi lahan sawah di luar Jawa sebagaimana tercantum pada simulasi 6 – 10 dengan kondisi yang sama seperti
126
pada bahasan di atas. Rekapitulasi hasil simulasi 6 – 10 disajikan pada Tabel 30 yang diletakkan pada akhir pembahasan simulasi 10, sementara hasil simulasi 6 – 10 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 20. Hasil simulasi 6 menunjukkan bahwa kondisi konversi lahan sawah di luar Jawa yang seperti saat ini (existing) dan tanpa impor menyebabkan konversi lahan sawah di Indonesia mengalami peningkatan sekitar 1.370 persen. Kebijakan tanpa impor menyebabkan penerimaan pemerintah dari tarif impor berkurang 100 persen. Kondisi ini yang kemudian diduga mendorong pemerintah memacu pertumbuhan ekonominya yang memberi konsekuensi terhadap tingginya persaingan lahan dan berakibat terhadap peningkatan konversi lahan sawah secara keseluruhan di Indonesia. Kondisi konversi lahan sawah seperti saat ini mengakibatkan penurunan luas baku lahan sawah di luar Jawadan Indonesia masingmasing sebesar 0.031 persen dan 0.019 persen. Luas areal panen padi di luar Jawa masih mengalami peningkatan sebesar 0.209 persen, walaupun luas baku sawah di luar Jawa mengalami penurunan sebesar 0.031 persen. Hal ini diduga karena intensitas pertanaman padi di luar Jawa relatif stabil dibandingkan di Jawa dimana sawah irigasi teknis di Jawa sebagai komponen penting dalam intensitas pertanaman sudah banyak beralih fungsi. Dengan produktivitas padi tetap, maka produksi padi, produksi padi per kapita dan produksi beras luar Jawa mengalami peningkatan masing-masing sebesar 0.191, 0.237, dan 0.198 persen. Seperti di Jawa, ketersediaan dan akses pangan per kapita pada kondisi penerapan kebijakan yang sama yaitu tanpa impor menyebabkan penurunan sebesar 7.503 persen lebih kecil yaitu dibandingkan dengan di Jawa sebesar 8.312 persen. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah di Jawa memberi dampak yang lebih besar terhadap akses pangan per kapita, sehingga kebijakan yang dapat menekan laju konversi lahan sawah terutama di Jawa sangat dibutuhkan, terlebih konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa sekitar 3 kali lipat dibandingkan di luar Jawa. Kehilangan produksi akibat konversi lahan sawah yang berlangsung saat ini dapat dikompensasi oleh impor, sehingga seolah-olah ketersediaan dan akses pangan per kapita masih mengalami peningkatan sampai pada tingkat konversi lahan tertentu. Implikasi kebijakan dari temuan ini adalah perlu adanya kebijakan yang spesifik lokasi, karena masing-
127
masing wilayah memiliki perilaku dan dampak yang berbeda, khususnya terhadap ketersediaan dan akses pangan nasional. Jika dibandingkan dengan Jawa pada kondisi yang sama (konversi lahan sawah seperti saat ini dan tanpa impor), diketahui bahwa Jawa memiliki kemandirian pangan yang lebih tinggi daripada di luar Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh kontribusi masing-masing wilayah terhadap peningkatan produksi beras Indonesia, dimana pada saat terjadi konversi lahan sawah di Jawa, produksi beras Indonesia mengalami peningkatan yang lebih tinggi (0.118 persen) daripada ketika terjadi konversi lahan sawah di luar Jawa (0.087 persen). Simulasi 7 menunjukkan bahwa peningkatan konversi lahan sawah sebesar 1 persen di luar Jawa menyebabkan konversi lahan sawah di Indonesia secara keseluruhan mengalami peningkatan sebesar 2.005 persen. Kebijakan impor yang ada mendorong petani mengurangi luas areal pertanaman padinya di luar Jawa, sehingga produksi beras di luar Jawa pun mengalami penurunan sebesar 0.105 persen yang kemudian turut berkontribusi dalam penurunan produksi beras secara nasional. Untuk memenuhi kebutuhan beras domestik, pemerintah meningkatkan jumlah impor sebesar 1.569 persen. Penerapan kebijakan ini menyebabkan ketersediaan pangan per kapita dalam kondisi stabil (tetap) dan akses pangan per kapita mengalami peningkatan sebesar 0.966 persen. Simulasi 8 dimana kebijakan tanpa impor diterapkan dalam kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah sebesar 1 persen di luar Jawa, menyebabkan konversi lahan sawah secara keseluruhan mengalami peningkatan sebesar 2.005 persen dan kemudian berakibat pada penurunan luas baku sawah di Indonesia sebesar 0.027 persen. Intensitas pertanaman padi yang relatif stabil menyebabkan luas areal panen padi di luar Jawa mengalami peningkatan sebesar 0.195 persen, walaupun luas baku sawah di luar Jawa mengalami penurunan. Luas areal panen padi dan produktivitas padi di Indonesia yang menurun tidak menyebabkan produksi padi di Indonesia juga menurun. Hal ini disebabkan adanya peningkatan luas areal panen padi di luar Jawa sebesar 0.195 persen. Kebijakan tanpa impor menyebabkan penawaran beras domestik menurun sebesar 3.252 persen, sehingga ketersediaan beras per kapita pun mengalami penurunan sebesar 1.154 persen. Penurunan ketersediaan beras ini diimbangi
128
dengan peningkatan permintaan beras per kapita sebesar 1.661 persen. Kebijakan tanpa impor ini juga menyebabkan harga riil beras eceran meningkat sebesar 11.934 persen yang akhirnya berdampak terhadap penurunan akses pangan per kapita sebesar 7.558 persen. Simulasi 9 menunjukkan bahwa konversi lahan sawah di luar Jawa menyebabkan penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita pada tingkat 20 persen. Jika dibandingkan dengan di Jawa pada tingkat 18 persen, fenomena ini mengindikasikan bahwa konversi lahan sawah di luar Jawa tidak sebesar dampaknya dibandingkan di Jawa yang sudah mengalami penurunan pada tingkat yang lebih kecil yaitu 18 persen. Hal ini juga menunjukkan bahwa dampak negatif konversi lahan sawah di luar Jawa yang baru terasa pada tingkat 20 persen, sebenarnya karena ketersediaan dan akses pangan selama ini masih ditopang oleh impor. Peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 20 persen menyebabkan konversi lahan sawah rata-rata di Indonesia meningkat sebesar 14.064 persen. Sementara itu, pengurangan luas baku sawah di Indonesia akibat konversi ini adalah sebesar 0.191 persen, yang diikuti dengan penurunan luas areal panen padi sebesar 0.006 persen. Kebijakan impor yang diimplementasikan pemerintah berdampak terhadap peningkatan harga riil beras impor Indonesia mengalami peningkatan dan kemudian mendorong pemerintah untuk meningkatkan harga riil (gabah) pembelian pemerintah dan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia sebesar 0.028 persen. Namun demikian, dalam kondisi ini harga riil (gabah) pembelian pemerintah tidak mengalami peningkatan. Peningkatan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia ini yang kemudian mendorong petani untuk meningkatkan produktivitas padinya hingga mengalami peningkatan sebesar 0.005 persen. Luas areal panen yang menurun tidak mampu meningkatkan produksi beras Indonesia, walaupun terjadi peningkatan pada produktivitas padi. Namun demikian, kebijakan impor yang ada juga tidak mampu menutupi hilangnya produksi beras akibat tingginya konversi lahan sawah yang terjadi, sehingga penawaran beras domestik pun tetap mengalami penurunan sebesar 0.077 persen. Hal ini kemudian berdampak terhadap penurunan ketersediaan beras per kapita sebesar 0.072 persen. Peningkatan impor sebesar 2.51 persen me-
129
nyebabkan harga riil beras eceran menurun sebesar 0.29 persen yang kemudian berdampak terhadap penurunan inflasi bahan makanan. Namun demikian, kondisi penurunan inflasi bahan makanan ini tidak mampu meningkatkan akses pangan per kapita. Fenomena ini diduga karena tingginya konversi lahan sawah yang ada dan kurangnya ketersediaan infrastruktur jalan yang merata sehingga menyebabkan distribusi pangan terhambat. Simulasi 9 memberi kesimpulan bahwa menurunnya produksi beras di Indonesia sebagai akibat tingginya konversi lahan sawah yang terjadi di luar Jawa tidak cukup diatasi dengan kebijakan impor yang ada. Bahkan lebih jauh lagi, konversi lahan sawah di luar Jawa pada batas tertentu (dalam hal ini pada tingkat 20 persen) tidak menyebabkan akses pangan per kapita meningkat, walaupun harga riil beras eceran dan inflasi bahan makanan telah mengalami penurunan. Simulasi 10 merupakan kebijakan tanpa impor yang diterapkan pada kondisi peningkatan lahan sawah di luar Jawa sebesar 20 persen. Sama seperti simulasi 9, peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 20 persen menyebabkan peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 14.064 persen yang selanjutnya berdampak terhadap penyusutan luas baku lahan sawah sebesar 0.191 persen. Kebijakan tanpa impor menyebabkan kuantitas beras di pasar dunia berlimpah yang kemudian harga riil beras impor mengalami penurunan. Penurunan harga riil beras impor ini selanjutnya menurunkan harga riil gabah di tingkat petani yang seharusnya merupakan insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padinya. Penurunan luas areal panen padi dan produktivitas padi menyebabkan produksi beras Indonesia mengalami penurunan se-besar 0.038 persen. Kebijakan tanpa impor semakin menurunkan penawaran beras domestik yang ada karena produksi beras domestik pun telah menurun. Hal ini selanjutnya berdampak terhadap penurunan ketersediaan beras per kapita sebesar 1.226 persen. Kondisi ini kemudian diimbangi dengan peningkatan permintaan beras per kapita sebesar 1.489 persen guna memenuhi ketersediaan beras per kapita yang mengalami penurunan. Penurunan produksi beras dan penawaran beras di Indonesia mengakibatkan harga riil beras eceran mengalami peningkatan sebesar 12.004 persen, dan peningkatan harga riil beras eceran ini pun berakibat terhadap
130
penurunan akses pangan per kapita sebesar 8.606 persen. Simulasi 10 ini menyimpulkan bahwa kebijakan tanpa impor ini berdampak terhadap penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita dengan besaran yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada simulasi 9. Tabel 30 menunjukkan bahwa penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita akibat kebijakan tanpa impor adalah masing-masing sebesar 1.226 dan 8.606 persen. Tabel 30 Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah Konversi Lahan Sawah Jawa Konversi Lahan Sawah Luar Jawa Konversi Lahan Sawah Indonesia Luas Baku Sawah Indonesia Luas Areal Panen Padi Indonesia Produktivitas Padi Indonesia Produksi Beras Indonesia Penawaran Beras Indonesia Ketersediaan Beras per Kapita Permintaan Beras per Kapita Harga Riil Beras Eceran Indonesia Akses Pangan per Kapita
Satuan
Nilai Dasar
ha 41 071.7 ha 67 637.1 ha 108 709 ha 8 011 785 ha 11 628 888 ton/ha 3.9055 ton 31 702 737 ton 32 828 488 ton/jiwa 0.139 ton/jiwa 0.1739 Rp/kg 3 641.1 Rp/jiwa 11 013 884
Perubahan Simulasi (%) S6
S7
S8
0.000 0.000 1.370 -0.019 -0.001 -0.318 0.087 -3.246 -1.154 1.661 11.931 -7.503
0.000 1.000 2.005 -0.027 -0.001 0.005 -0.046 0.008 0.000 0.172 -0.247 0.966
0.000 1.000 2.005 -0.027 -0.002 -0.318 0.080 -3.252 -1.154 1.661 11.934 -7.558
S9
S10
0.000 20.000 14.064 -0.191 -0.006 0.005 -0.165 -0.077 -0.072 -0.057 -0.290 -0.045
0.000 20.000 14.064 -0.191 -0.007 -0.320 -0.038 -3.366 -1.226 1.489 12.004 -8.606
Keterangan: S6 : Konversi di Luar Jawa tetap, tanpa impor S7 : Konversi di Luar Jawa meningkat 1%, dengan impor S8 : Konversi di Luar Jawa meningkat 1%, tanpa impor S9 : Konversi di Luar Jawa meningkat 20%, dengan impor S10 : Konversi di Luar Jawa meningkat 20%, tanpa impor
6.2.1.3 Konversi Lahan Sawah di Indonesia
Konversi lahan sawah di Indonesia merupakan penjumlahan konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa, sementara persentase perubahannya merupakan rata-rata dari keduanya. Walaupun secara teoritis demikian, namun dalam prakteknya tidak selalu sama. Hal ini diduga terkait perbedaan angka desimal pada pengolahan secara statistik.
Luas baku sawah di Indonesia
merupakan penjumlahan dari luas baku sawah di Jawa dan luar Jawa, maka setiap perubahan kebijakan yang mempengaruhi luas baku sawah di Jawa dan luar Jawa juga akan berpengaruh terhadap total luas baku sawah di Indonesia. Simulasi 11 – 15 merupakan simulasi pada wilayah penelitian keseluruhan yaitu Indonesia.
131
Alternatif kebijakan yang diterapkan sama dengan yang dilakukan pada Jawa dan luar Jawa yang telah dipaparkan sebelumnya. Rekapitulasi hasil simulasi 11 – 15 disajikan pada Tabel 31 yang diletakkan di akhir pembahasan simulasi 15 dan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 21. Simulasi 11 mengimplementasikan kebijakan tanpa impor pada kondisi konversi lahan sawah di Indonesia. Hasil simulasi menunjukkan bahwa produksi beras Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0.124 persen. Namun demikian, kebijakan tanpa impor telah mengakibatkan penawaran beras menurun sebesar 3.209 persen. Hal ini berdampak terhadap meningkatnya harga riil beras eceran sebesar 11.972 persen, yang selanjutnya memberi kontribusi terhadap peningkatan inflasi bahan makanan sebesar 34.738 persen, sehingga akses pangan per kapita mengalami penurunan sebesar 8.553 persen. Dari beberapa simulasi yang dilakukan sebelumnya juga dapat disimpulkan bahwa kebijakan tanpa impor menyebabkan penurunan ketersediaan pangan per kapita dengan nilai yang sama yaitu sebesar 1.154 persen. Simulasi 12 merupakan kebijakan ketika terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen yang diikuti dengan kebijakan impor. Konversi yang terjadi mengakibatkan penurunan luas baku lahan sawah di Indonesia sebesar 0.043 persen. Dampak negatif berikutnya adalah penurunan produksi beras di Indonesia sebesar 0.063 persen. Berkurangnya produksi beras nasional diimbangi dengan peningkatan jumlah impor beras Indonesia sebesar 2.18 persen, sehingga dapat diartikan bahwa peningkatan konversi lahan swah sebesar 1 persen di Indonesia mengakibatkan terjadinya peningkatan impor sebesar 2.180 persen. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah yang terjadi selain menurunkan kapasitas produksi nasional yang ditunjukkan oleh penurunan produksi beras domestik, juga berdampak terhadap peningkatan jumlah impor beras yang berarti anggaran pemerintah untuk mengimpor beras juga akan semakin tinggi. Tambahan penawaran beras domestik melalui kebijakan peningkatan jumlah impor ini mampu meningkatkan akses pangan per kapita sebesar 1.137 persen. Simulasi 13 menerapkan instrumen kebijakan tanpa impor dengan tujuan untuk melihat kemandirian pangan nasional dalam kondisi terjadi peningkatan
132
konversi lahan sawah 1 persen, selain melindungi petani dari penurunan harga riil beras domestik akibat banyaknya impor yang beresiko menurunkan penerimaan usahatani padinya. Konversi lahan sawah di Indonesia merupakan persamaan identitas yaitu penjumlahan dari konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa. Adapun persentase konversi lahan sawah di Indonesia merupakan persentase ratarata konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa setiap perubahan kebijakan yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa akan berpengaruh pula terhadap konversi lahan sawah Indonesia secara keseluruhan. Hasil simulasi 13 menunjukkan bahwa peningkatan konversi lahan sawah rata-rata sebesar 1 persen menyebabkan menurunnya luas baku sawah, baik di Jawa, luar Jawa, maupun Indonesia, dengan penurunan masing-masing sebesar 0.039, 0.046, dan 0.043 persen. Penurunan luas baku sawah ini mengakibatkan penurunan luas areal penen padi di semua wilayah, terkecuali di luar Jawa. Fenomena ini diduga karena upaya optimalisasi intensitas pertanaman yang dilakukan di luar Jawa lebih efektif dibandingkan Jawa, terlebih produktivitas padi di Jawa juga mengalami pelandaian produksi. Kondisi ini diduga menjadi penyebab masih meningkatnya produksi padi di luar Jawa dan Indonesia secara rata-rata, namun menyebabkan penurunan produksi di Jawa. Kebijakan tanpa impor menyebabkan penawaran beras domestik mengalami penurunan sebesar 3.267 persen. Hal ini dikarenakan penawaran beras di Indonesia merupakan penjumlahan dari produksi beras, jumlah impor, dan perubahan cadangan beras, yang kemudian dikurangi jumlah ekspor. Fenomena ini mengindikasikan bahwa ketergantungan terhadap impor di dalam penawaran beras domestik sangat besar. Nilai perubahan penurunan pada jumlah beras susut dan ketersediaan beras di Indonesia adalah sama dengan penawaran beras domestik, yaitu sebesar 3.267 persen. Hal ini dapat dijelaskan karena besarnya nilai jumlah beras susut dan ketersediaan beras tergantung pada penawaran beras yang ada, sehingga setiap terjadi perubahan pada penawaran beras memberi dampak terhadap kedua peubah tersebut dengan proporsi yang sama. Tidak itu saja, ketersediaan beras per kapita pun mengalami penurunan sebesar 1.154 persen sebagai akibat dari penurunan penawaran beras domestik.
133
Penurunan ketersediaan per kapita kemudian diimbangi dengan peningkatan permintaan beras di Indonesia per kapita sebesar 1.718 persen. Jika dibandingkan antara penurunan ketersediaan beras per kapita dengan permintaan beras per kapita, diketahui bahwa proporsi peningkatan permintaan beras per kapita lebih besar daripada ketersediaannya per kapita. Hal ini karena permintaan beras tersebut tidak hanya permintaan untuk konsumsi beras, tetapi juga memperhitungkan komponen untuk persediaan beras, baik di pasar maupun di rumah tangga. Peningkatan rata-rata produksi padi di Indonesia juga berdampak terhadap penurunan rata-rata harga riil gabah tingkat petani di Indonesia, walaupun dengan nilai penurunan yang kecil yaitu 1.535 persen. Adapun harga riil beras eceran di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 11.869 persen, yang disebabkan penurunan penawaran beras domestik. Peningkatan harga riil beras eceran yang lebih tinggi daripada penurunan harga riil gabah tingkat petani menyebabkan marjin pemasaran beras di Indonesia juga mengalami peningkatan sebesar 57.838 persen. Selain meningkatkan marjin pemasaran beras, peningkatan harga riil beras eceran juga meningkatkan inflasi bahan makanan sebsar 36.016 persen yang kemudian berakibat terhadap menurunnya akses pangan per kapita. Jumlah impor yang berkurang 100 persen juga mengakibatkan penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa negara berkurang masing-masing sebesar 100 persen. Penerimaan pemerintah merupakan perkalian antara tarif impor dengan jumlah beras impor Indonesia, sementara itu devisa negara merupakan perkalian antara harga riil beras impor Indonesia dengan jumlah beras impor Indonesia, sehingga kebijakan impor akan berpengaruh terhadap penerimaan pemerintah dari tarif impor dan devisa negara. Simulasi 14 merupakan kondisi dimana peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia telah menurunkan ketersediaan dan akses pangan per kapita, yaitu pada tingkat 16 persen. Pada kondisi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 16 persen ini menyebabkan penurunan luas baku sawah di Indonesia sebesar 0.252 persen. Kebijakan impor yang diimplementasikan pemerintah berdampak terhadap peningkatan produktivitas padi sebesar 0.008 persen. Hal ini disebabkan ketika Indonesia sebagai negara pengimpor beras terbesar
134
ketiga di dunia melakukan impor, maka kuantitas beras di pasar dunia akan berkurang yang kemudian menyebabkan harga dunia dan harga riil impor beras Indonesia mengalami peningkatan. Peningkaan harga ini berdampak terhadap peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah dan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia, walaupun respon harga riil gabah di tingkat petani ini inelastis terhadap perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah. Peningkatan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padinya. Namun demikian, peningkatan produktivitas ini tidak menyebabkan produksi padi meningkat. Hal ini dikarenakan konversi lahan sawah sebesar 16 persen berdampak terhadap penurunan luas areal panen padi di Indonesia. Fenomena ini mengindikasikan bahwa lahan merupakan komponen yang tidak tergantikan dalam produksi padi, walaupun produktivitas ditingkatkan sampai pada tingkat tertentu yang masih memungkinkan memberkan peningkatan hasil. Produksi beras domestik yang mengalami penurunan sebesar 0.295 persen dan dengan impor menyebabkan penawaran beras domestik tetap mengalami penurunan sebesar 0.14 persen, sehingga dibutuhkan tambahan jumlah impor yang lebih tinggi yaitu dengan peningkatan sebesar 4.42 persen. Namun demikian, peningkatan jumlah impor ini belum mampu meningkatkan ketersediaan dan akses pangan per kapita. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan konversi lahan sawah yang semakin tinggi ternyata tidak selalu dapat dikompensasi oleh peningkatan jumlah impor. Hal ini diduga karena keterbatasan pemerintah di dalam menyediakan anggaran untuk peningkatan jumlah impor. Penurunan penawaran beras domestik berdampak terhadap penurunan ketersediaan beras per kapita. Harga riil beras eceran yang menurun akibat peningkatan impor ternyata tidak mampu meningkatkan akses pangan per kapita. Hal ini diduga karena tingginya konversi lahan yang ada dan ketersediaan infrastruktur jalan yang kurang memadai membuat akses individu terhadap pangan menurun yang disebabkan terhambatnya distribusi pangan. Penurunan akses ini kemudian diiringi dengan penurunan permintaan beras per kapita. Hal ini memberi konsekuensi terhadap pengurangan konsumsi beras per kapita dan berupaya mengganti beras dengan jenis pangan lain.
135
Simulasi 15 menerapkan kebijakan tanpa impor pada saat terjadi peningkatan konversi lahan sawah sebesar 16 persen. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah sebesar 16 persen tanpa kebijakan impor mengakibatkan penurunan penawaran beras yang lebih tinggi, yaitu sebesar 3.49 persen. Penurunan terhadap ketersediaan dan akses pangan per kapita yang diakibatkan kebijakan ini juga lebih besar dibandingkan ketika kebijakan dengan impor, yaitu masing-masing sebesar 1.298 dan 8.645 persen. Walaupun dari hasil beberapa simulasi diketahui bahwa konversi lahan yang terjadi sebenarnya dikompensasi oleh peningkatan impor, tetapi pada titik tertentu peningkatan impor ini tidak lagi dapat meningkatkan ketersediaan dan akses pangan per kapita. Fenomena ini semakin menguatkan bahwa ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka pendek masih dapat dimaklumi, namun tidak dalam jangka panjang. Tabel 31 Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah Konversi Lahan Sawah Indonesia Luas Baku Sawah Indonesia Luas Areal Panen Padi Indonesia Produktivitas Padi Indonesia Produksi Beras Indonesia Penawaran Beras Indonesia Ketersediaan Beras per Kapita Permintaan Beras per Kapita Harga Riil Beras Eceran Indonesia Akses Pangan per Kapita
Satuan
Nilai Dasar
Perubahan Simulasi (%) S11
S12
S13
S14
S15
ha 41 071.7 0.005 1.000 1.000 16.000 16.000 ha 67 637.1 0.000 -0.043 -0.043 -0.252 -0.252 ha 108 709 0.000 -0.002 -0.003 -0.009 -0.009 ton/ha 8 011 785 -0.320 0.005 -0.320 0.008 -0.323 ton 11 628 888 0.124 -0.063 0.064 -0.295 -0.165 ton 3.9055 -3.209 0.011 -3.267 -0.140 -3.490 ton/jiwa 31 702 737 -1.154 0.000 -1.154 -0.072 -1.298 ton/jiwa 32 828 488 1.432 0.172 1.718 -0.115 1.489 Rp/kg 0.139 11.972 -0.478 11.869 -0.600 11.991 Rp/jiwa 0.1739 -8.553 1.137 -7.349 -0.081 -8.645
Keterangan: S11 : Konversi di Indonesia tetap, tanpa impor S12 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, dengan impor S13 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, tanpa impor S14 : Konversi di Indonesia meningkat 16%, dengan impor S15 : Konversi di Indonesia meningkat 16%, tanpa impor
6.2.2 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kebijakan Harga
Simulasi yang dilakukan pada subbab ini (simulasi 16 – 18) adalah dengan instrumen kebijakan tanpa impor pada saat terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen, yang kemudian dikombinasi dengan kebija-
136
kan peningkatan harga riil gabah tingkat petani secara rata-rata di semua wilayah penelitian (Jawa, luar Jawa, dan Indonesia). Hasil simulasi 16 – 18 disajikan secara ringkas pada Tabel 32 di akhir pembahasan subbab ini, sedangkan hasil simulasi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 22. Simulasi 16 menerapkan kebijakan peningkatan harga riil gabah petani sebesar 15 persen, dimana angka ini merupakan angka rata-rata peningkatan harga riil gabah yang ada. Instrumen kebijakan peningkatan harga riil gabah petani ini diharapkan mampu mendorong petani untuk mempertahankan lahan sawahnya agar tidak dialih-fungsikan, sehingga konversi lahan sawah yang ada juga dapat ditekan. Selain itu kebijakan ini diharapkan juga mampu menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas padinya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan luas areal panen padi yang ada meningkat sebesar 0.041 persen. Kebijakan peningkatan harga rill gabah tingkat petani, dapat menstimulasi petani untuk meningkatkan produktivitas padinya. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan produktivitas padi di Jawa, luar Jawa, dan Indonesia masing-masing sebesar 0.737, 0.948, dan 3.296 persen. sehingga produksi beras di Indonesia pun mengalami peningkatan sebesar 0.838 persen. Namun demikian, kebijakan tanpa impor menyebabkan penawaran beras domestik menurun. Alternatif kebijakan ini mengakibatkan penurunan ketersediaan dan akses pangan per kapita masing-masing sebesar 1.081 dan 6.628 persen. Simulasi berikutnya (simulasi 17) adalah mengkombinasikan kebijakan pada simulasi 16 yang kemudian ditambah dengan peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah sebagaimana rata-rata yang terjadi yaitu sebesar 15 persen. Sebagaimana diketahui bahwa awalnya kebijakan harga pembelian pemerintah ini dahulu dikenal dengan nama kebijakan harga dasar gabah (HDG). Walaupun secara istilah memiliki nama yang hampir sama, namun ternyata memiliki fungsi yang jauh berbeda. Jika fungsi harga dasar gabah adalah untuk menjaga agar harga yang diterima petani tidak mengalami penurunan secara drastis pada saat terjadi panen raya, tidak demikian dengan harga riil pembelian pemerintah ini. Hasil simulasi 17 menunjukkan bahwa ternyata peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah ini sama sekali tidak berdampak terhadap peubah-peubah yang ada di dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa harga dasar gabah yang
137
telah mengalami beberapa kali perubahan nama ini sekarang tidak lagi memiliki fungsi yang sama dengan harga dasar gabah yang dulu pernah ada. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa kebijakan tanpa impor dan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia menghasilkan kondisi yang tetap sama seperti hasil simulasi 16, walaupun pada simulasi ini ditambah dengan peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah sebesar 15 persen. Kombinasi kebijakan pada simulasi 18 sama dengan simulasi 17, hanya saja peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah sebesar 50 persen. Hal ini bertujuan untuk melihat efektifitas kebijakan peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah, yang sampai peningkatan 15 persen pada simulasi 17 belum memberikan perubahan apapun. Hasil simulasi 18 menunjukkan hasil yang sama dengan simulasi sebelumnya, yaitu simulasi 16 dan 17. Respon harga riil gabah di tingkat petani yang inelastis terhadap perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah mengindikasikan bahwa perubahan harga riil (gabah) pembelian pemerintah berdampak kecil terhadap pembentukan harga riil gabah di tingkat petani, bahkan tidak berdampak apapun. Fenomena ini diduga karena pembentukan harga riil gabah di tingkat petani lebih tergantung pada mekanisme pasar. Hal ini diperkuat dengan fakta penetapan peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah yang tidak dilakukan setiap tahun, sementara itu pada saat yang sama pembentukan harga riil gabah di tingkat petani tetap terjadi. Hasil simulasi 16 – 18 menunjukkan bahwa konversi lahan sawah sebesar 1 persen berdampak terhadap penurunan luas baku sawah di Indonesia sebesar 0.043 persen. Namun demikian, penurunan luas baku sawah ini tidak menyebabkan luas areal panen padi juga mengalami penurunan. Hal ini diduga karena optimalisasi intensitas pertanaman masih dapat menutupi dampak negatif dari penurunan luas baku sawah. Kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia mampu menjadi insentif bagi petani dalam meningkatkan produktivitas padinya sebesar 3.296 persen, yang selanjutnya berdampak terhadap peningkatan beras Indonesia sebesar 0.838 persen. Namun demikian, kebijakan tanpa impor yang dilakukan pemerintah mengakibatkan penawaran beras domestik menurun sebesar 2.515 persen dan ketersediaan per kapita juga mengalami penurunan sebesar 1.081 persen. Penurunan ketersediaan beras per kapita kemudian
138
diimbangi dengan peningkatan permintaan beras per kapita sebesar 1.890 persen, walaupun harga riil beras eceran mengalami peningkatan sebesar 12.004 persen akibat penurunan penawaran beras domestik. Fenomena ini mengindikasikan bahwa beras masih menjadi makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia. Penurunan harga riil beras eceran ini kemudian berdampak terhadap penurunan akses pangan per kapita. Hasil simulasi 16 – 18 juga menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan harga rill gabah di tingkat petani tidak akan efektif tanpa kebijakan impor. Ketahanan pangan yang ada merupakan ke-tahanan pangan semu karena sebenarnya ditopang oleh impor. Tabel 32 Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah Konversi Lahan Sawah Jawa Konversi Lahan Sawah Luar Jawa Konversi Lahan Sawah Indonesia Luas Baku Sawah Indonesia Luas Areal Panen Padi Indonesia Produktivitas Padi Indonesia Produksi Beras Indonesia Penawaran Beras Indonesia Ketersediaan Beras per Kapita Permintaan Beras per Kapita Harga Riil Beras Eceran Indonesia Akses Pangan per Kapita
Satuan
Nilai Dasar
ha 41 071.7 ha 67 637.1 ha 108 709 ha 8 011 785 ha 11 628 888 ton/ha 3.9055 ton 31 702 737 ton 32 828 488 ton/jiwa 0.139 ton/jiwa 0.1739 Rp/kg 3 641.1 Rp/jiwa 11 013 884
Perubahan Simulasi (%) S16
S17
S18
1.000 1.000 1.000 -0.043 0.041 3.296 0.838 -2.515 -1.081 1.890 12.004 -6.628
1.000 1.000 1.000 -0.043 0.041 3.296 0.838 -2.515 -1.081 1.890 12.004 -6.628
1.000 1.000 1.000 -0.043 0.041 3.296 0.838 -2.515 -1.081 1.890 12.004 -6.628
Keterangan: S16 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, dan tanpa impor S17 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, tanpa impor, peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah 15% S18 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, tanpa impor, peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah 50%
6.2.3 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kombinasi Kebijakan Harga dan Impor
Alternatif kebijakan pada subbab ini mengkombinasikan antara kebijakan harga dengan kebijakan impor yang pernah diterapkan pemerintah pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen. Kebijakan harga yang dilakukan adalah meningkatkan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen yang diiringi dengan kebijakan penurunan harga riil pupuk Urea
139
sebesar 10 persen. Masing-masing angka ini merupakan angka rata-rata peningkatan maupun penurunan harga tersebut. Simulasi 19 – 21 merupakan kombinasi dari alternatif kebijakan tersebut yang rekapitulasi hasil simulasinya disajikan pada Tabel 33 di akhir pembahasan subbab ini, sedangkan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 23. Simulasi 19 mengkombinasikan antara peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen yang diiringi dengan kebijakan penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen yang diiringi kebijakan tanpa impor. Kebijakan tanpa impor ini bertujuan untuk melihat kemandirian pangan nasional dengan diterapkannya kebijakan harga tersebut. Hasil simulasi menunjukkan bahwa implementasi kebijakan harga tersebut mampu meningkatkan luas areal panen dan produktivitas padi petani, sehingga produksi padi dan beras secara keseluruhan juga mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 2.172 dan 2.177 persen. Namun kebijakan tanpa impor menyebabkan penawaran beras domestik menurun sebesar 1.214 persen. Ketersediaan beras secara nasional pun mengalami penurunan, tetapi per kapita mengalami peningkatan. Hal ini diduga dengan memperhitungkan jumlah penduduk yang ada, ketersediaan beras per kapita ternyata masih mengalami peningkatan. Adapun akses pangan per kapita mengalami penurunan sebesar 5.212 persen. Hal ini disebabkan meningkatnya harga riil beras eceran akibat menurunnya penawaran beras domestik. Simulasi 20 mengkombinasikan alternatif kebijakan seperti simulasi sebelumnya tetapi dengan mengurangi jumlah kuota impor sebesar 37.5 persen. Walaupun sama-sama membatasi impor, namun kuota impor lebih efektif membatasi impor secara fisik dibandingkan tarif impor. Pembatasan impor melalui kuota lebih menguntungkan produsen dalam negeri yang dalam hal ini berarti petani padi. Hasil simulasi 20 menunjukkan bahwa pembatasan kuota impor ini efektif bagi petani padi di Indonesia untuk meningkatkan luas areal panen dan produktivitas padinya, sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan masing-masing komponen ini sebesar 1.523 persen dan 7.602 persen. Peningkatan luas areal panen dan produktivitas padi ini meningkatkan produksi padi domestik. Pembatasan kuota ini menyebabkan jumlah impor secara fisik mengalami penurunan sebesar 37.5 persen sebagaimana batas kuota yang ditetapkan.
140
Namun demikian, penawaran beras domestik tetap mengalami peningkatan sebesar 1.156 persen, walaupun jumlah impor berkurang. Kebijakan pembatasan kuota impor menyebabkan harga riil beras eceran domestik mengalami peningkatan sebesar 2.332 persen. Hal ini menegaskan bahwa perubahan harga riil beras eceran domestik sampai pada tingkat harga tertentu belum menyebabkan konsumen beras mengurangi permintaannya terhadap jenis pangan ini. Selanjutnya, harga riil beras eceran pun mengalami peningkatan sehingga inflasi bahan makanan mengalami penurunan jika dibandingkan simulasi 17, walaupun masih menyebabkan peningkatan inflasi dengan nilai perubahan yang kecil yaitu 0.917 persen. Pada simulasi ini, ketersediaan beras dan akses pangan per kapita mengalami peningkatan masing-masing sebesar 1.658 dan 0.019 persen. Simulasi 21 lebih fokus pada instrumen kebijakan impor yang lain yaitu penurunan tarif impor sebesar 5 persen. Sejak tahun 2009 pemerintah menetapkan tarif impor beras Rp450.00/kg dari semula Rp430.00/kg atau terjadi kenaikan tarif impor sebesar 4.7 persen. Besaran ini yang kemudian menjadi dasar penurunan tarif impor sebesar 5 persen. Adanya tarif impor, merugikan konsumen karena tarif yang ada kemudian akan dibebankan kepada harga beras domestik, sehingga harga riil beras eceran akan mengalami peningkatan. Sama seperti simulasi 19 dan 20, simulasi 21 juga mengkombinasikan antara peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen yang diiringi dengan kebijakan penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen pada saat terjadi rata-rata peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen. Hasil simulasi 21 menunjukkan bahwa alternatif kebijakan ini berdampak terhadap penurunan jumlah impor sebesar 11.704 persen. Selain itu, kebijakan harga yang ada mampu meningkatkan produksi padi dan beras nasional, sehingga ketersediaan beras per kapita juga mengalami peningkatan.. Peningkatan harga riil gabah di tingkat petani dan tarif impor yang ditetapkan menyebabkan terjadinya peningkatan harga riil beras eceran sebesar 0.844 persen. Peningkatan ini kemudian berakibat terhadap penurunan inflasi bahan makanan, sehingga akses pangan per kapita mengalami peningkatan sebesar 1.872 persen. Jika dibandingkan antara pernintaan beras dan akses pangan per kapita pada simulasi 20 dan 21, dapat diambil kesimpulan bahwa kenaikan akses pangan pada simulasi 21 lebih
141
besar dari pada simulasi 20, namun permintaan beras per kapita pada simulasi 21 mengalami peningkatan yang lebih kecil dibandingkan pada simulasi 20. Fenomena ini sejalan dengan Engel’s Law, dimana kenaikan akses pangan per kapita, yang tidak lain adalah pendapatan penduduk per kapita pada tingkat tertentu akan menurunkan proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan. Tabel 33 Rekapitulasi dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai rata-rata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah Konversi Lahan Sawah Indonesia Luas Baku Sawah Indonesia Luas Areal Panen Padi Indonesia Produktivitas Padi Indonesia Produksi Beras Indonesia Penawaran Beras Indonesia Ketersediaan Beras per Kapita Permintaan Beras per Kapita Harga Riil Beras Eceran Indonesia Akses Pangan per Kapita
Satuan ha ha ha ton/ha ton ton ton/jiwa ton/jiwa Rp/kg Rp/jiwa
Nilai Dasar 41 071.7 67 637.1 108 709 8 011 785 11 628 888 3.9055 31 702 737 32 828 488 0.139 0.1739
Perubahan Simulasi (%) S19
S20
S21
1.000 -0.043 1.523 7.602 2.177 -1.214 0.865 2.005 11.429 -5.212
1.000 -0.043 1.523 7.602 2.177 1.156 1.658 0.687 2.332 0.019
1.000 -0.043 1.029 6.006 1.691 1.254 1.226 0.630 0.844 1.872
Keterangan: S19 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan tanpa impor S20 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan penurunan kuota impor 37.5% S21 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan penurunan tarif impor 5%
Para produsen domestik jauh lebih menyukai kuota impor daripada tarif impor. Kuota impor lebih efektif dalam melindungi mereka dari tekanan produk asing yang hendak masuk ke pasar domestik. Masyarakat internasional sendiri, sepakat bahwa kuota impor harus dijauhi karena sumber restriksinya lebih kuat dibandingkan tarif impor, sehingga lebih berpotensi merusak perdagangan bebas. 6.3 Evaluasi Dampak Alternatif Kebijakan Ekonomi terhadap Tingkat Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Beras di Indonesia Periode 1990 – 2010
Setiap opsi kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan produsen maupun konsumen, yang dalam penelitian ini adalah produsen dan konsumen beras. Perubahan tingkat kesejah-
142
teraan akibat implementasi kebijakan pada masing-masing simulasi akan dibahas secara berturut-turut berikut ini. 6.3.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia dalam Kondisi dengan dan tanpa Impor
Pada subbab ini akan dibahas perubahan tingkat kesejahteraan pada simulasi 1 – 5 untuk wilayah Jawa, simulasi 6 – 10 untuk wilayah luar Jawa, dan simulasi 11 – 15 untuk gabungan dari keduanya (Indonesia), dalam kondisi konversi lahan sawah tetap seperti saat ini (existing) maupun ketika terjadi peningkatan. 6.3.1.1 Konversi Lahan Sawah di Jawa
Perdagangan internasional ditujukan untuk memperoleh keuntungan dari adanya spesialisasi (Krugman & Obstfeld, 2004), sehingga kebijakan tanpa impor akan menghilangkan kesempatan memperoleh keuntungan tersebut. Kebijakan tanpa impor yang tidak dikombinasi dengan alternatif kebijakan lain memberi dampak negatif terhadap semua pihak di semua wilayah penelitian, baik di Jawa (simulasi 1, 3 dan 5), di luar Jawa (simulasi 6, 8 dan 10), maupun gabungan keduanya yaitu Indonesia (simulasi 11, 13 dan 15). Implementasi kebijakan pada masing-masing simulasi berdampak terhadap perubahan indikator kesejahteraan pelaku ekonomi beras, baik produsen, maupun konsumen. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan pada simulasi 1 – 5 disajikan pada Tabel 34 yang ada di akhir pembahasan simulasi 5. Simulasi 1 tanpa kebijakan impor ketika konversi lahan sawah tetap seperti saat ini mengakibatkan surplus produsen, surplus konsumen, maupun penerimaan pemerintah mengalami defisit masing-masing sebesar Rp913.244 juta, Rp15.974 miliar, dan Rp226.79 juta. Kerugian terbesar ditanggung oleh konsumen karena tanpa kebijakan impor harga riil beras eceran domestik mengalami peningkatan sebesar 11.901 persen. Simulasi 2 merupakan kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen dan dengan kebijakan impor. Secara teori, pemberlakuan tarif impor mengakibatkan terjadinya inefisiensi (dead weight loss), dimana surplus konsumen akan menurun dan kemudian penurunan ini akan diambil oleh
143
produsen dan pemerintah berupa peningkatan surplus produsen dan penerimaan pemerintah. Konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa menurunkan surplus petani di Jawa sebesar Rp19.985 juta, namun secara keseluruhan petani di Indonesia masih memperoleh surplus sebesar Rp12.89 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan tarif impor, yang kemudian meningkatkan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia sebesar 0.022 persen. Kebijakan impor yang ada juga memberikan surplus konsumen sebesar Rp311.946 juta sebagai akibat menurunnya harga riil beras eceran sebesar 0.231 persen. Peningkatan penerimaan pemerintah dari tarif impor sebesar 2.496 persen mengakibatkan pemerintah memperoleh penerimaan sebesar Rp5.66 juta. Secara total, kebijakan pada simulasi 2 menghasilkan net surplus sebesar Rp310.511 juta. Simulasi 3 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 1 persen. Implementasi kebijakan ini berdampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp913.202 juta, Rp15.982 miliar, dan Rp226.790 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.122 miliar. Simulasi 4 merupakan kebijakan peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 18 persen dan dengan kebijakan impor. Seperti simulasi 2, pemberlakuan tarif impor mengakibatkan terjadinya inefisiensi (dead weight loss). Konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa sebesar 18 persen menurunkan surplus petani di Jawa sebesar Rp19.985 juta, namun demikian secara keseluruhan petani di Indonesia masih memperoleh surplus sebesar Rp12.89 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan kebijakan tarif. Konversi lahan sawah di Jawa menyebabkan petani di Jawa mengalami penurunan, namun demikian secara keseluruhan petani di Indonesia memperoleh surplus sebesar Rp19.32 juta. Kebijakan impor ini juga memberikan surplus kepada konsumen sebesar Rp440.668 juta, dan penerimaan pemerintah sebesar Rp12.72 juta. Net surplus yang dihasilkan dari penerapan kebijakan ini adalah sebesar Rp456.38 juta. Simulasi 5 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 18 persen. Sama seperti implementasi kebijakan tanpa impor sebelumnya, maka simulasi ini berdampak terhadap menurunnya
144
surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp915.299 juta, Rp16.098 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.24 miliar. Besaran kerugian yang ditanggung masing-masing pihak akibat kebijakan tanpa impor relatif pada kisaran yang sama, yang membedakannya adalah besaran tingkat konversi lahan. Tabel 34 Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 No.
Indikator Kesejahteraan
Satuan
Perubahan Indikator Kesejahteraan S1
S2
S3
S4
S5
1. Surplus Produsen Beras Rp Juta -913.244 -7.095 -913.202 2.992 -915.299 a. Petani Jawa Rp Juta -19.987 -19.985 -19.985 -16.329 -16.329 Rp Juta 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 b. Petani luar Jawa Rp Juta -893.258 12.890 -893.217 19.320 -898.971 c. Petani Indonesia 2. Surplus Konsumen Beras Rp Juta -15 974.366 311.946 -15 982.081 440.668 -16 098.708 -226.790 5.660 -226.790 12.720 -226.790 3. Penerimaan Pemerintah Rp Juta Rp Juta -17 114.401 310.511 -17 122.073 456.380 -17 240.798 4. Net Surplus Indonesia Keterangan: S1 : Konversi di Jawa tetap, tanpa impor S2 : Konversi di Jawa meningkat 1%, dengan impor S3 : Konversi di Jawa meningkat 1%, tanpa impor S4 : Konversi di Jawa meningkat 18%, dengan impor S5 : Konversi di Jawa meningkat 18%, tanpa impor
6.3.1.2 Konversi Lahan Sawah di Luar Jawa
Alternatif kebijakan yang sama diimplementasikan pada simulasi 6 – 10, hanya saja pada kondisi konversi lahan sawah di luar Jawa. Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan besaran indikator kesejahteraan relatif sama baik di Jawa maupun di luar Jawa. Secara ringkas, hasil simulasi 6 – 10 disajikan pada Tabel 35 yang ada di akhir pembahasan simulasi 10. Simulasi 6 tanpa kebijakan impor ketika konversi lahan sawah di luar Jawa tetap seperti saat ini mengakibatkan surplus produsen, surplus konsumen, maupun penerimaan pemerintah mengalami defisit masing-masing sebesar Rp897.75 juta, Rp15.999 miliar, dan Rp226.79 juta. Secara umum, kebijakan tanpa impor ini bias kepada konsumen yang ditunjukkan oleh besarnya kerugian yang ditanggung oleh konsumen. Hal ini sangat logis karena kebijakan tanpa impor menyebabkan harga riil beras eceran domestik meningkat.
145
Simulasi 7 merupakan kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 1 persen dan dengan kebijakan impor. Konversi lahan sawah yang terjadi di luar Jawa menurunkan surplus petani di luar Jawa sebesar Rp1.405 juta, namun petani di Indonesia masih memperoleh surplus sebesar Rp12.888 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan tarif impor, yang kemudian meningkatkan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia sebesar 0.022 persen. Kebijakan impor yang ada juga memberikan surplus konsumen sebesar Rp333.68 juta sebagai akibat menurunnya harga riil beras eceran sebesar 0.247 persen. Peningkatan penerimaan pemerintah dari tarif impor sebesar 7.522 persen mengakibatkan pemerintah memperoleh penerimaan sebesar Rp17.06 juta. Secara total, kebijakan pada simulasi 7 menghasilkan net surplus sebesar Rp362.22 juta. Simulasi 8 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 1 persen. Implementasi kebijakan ini berdampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp897.722 juta, Rp16.003 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.128 miliar. Simulasi 9 merupakan kebijakan peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 20 persen dan dengan kebijakan impor. Konversi lahan sawah yang terjadi di luar Jawa sebesar 20 persen menurunkan surplus petani di luar Jawa sebesar Rp1.403 juta, namun demikian petani di Indonesia masih memperoleh surplus sebesar Rp16.101 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan kebijakan tarif. Kebijakan impor ini juga memberikan surplus kepada konsumen sebesar Rp392.792 juta, dan penerimaan pemerintah sebesar Rp22.33 juta. Net surplus yang dihasilkan dari penerapan kebijakan ini sebesar Rp429.82 juta. Simulasi 10 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di luar Jawa sebesar 20 persen. Sama seperti implementasi kebijakan tanpa impor sebelumnya, maka simulasi ini berdampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp903.637 juta, Rp16.115 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.245 miliar.
146
Berdasarkan hasil simulasi yang mendisagregasi wilayah Jawa dan luar Jawa, diperoleh kesimpulan bahwa secara keseluruhan dampak alternatif berbagai kebijakan terhadap perubahan tingkat kesejahteraan produsen di Jawa relatif lebih tinggi daripada di luar Jawa. Demikian juga dampak alternatif kebijakan terhadap penerimaan pemerintah. Hal ini diduga karena kondisi di Jawa lebih stabil dalam hal kemandirian pangan sehingga membutuhkan impor yang lebih sedikit dibandingkan di luar Jawa dalam memenuhi kebutuhan beras nasional. Kondisi ini berakibat terhadap peningkatan penerimaan pemerintah dari tarif impor di luar Jawa lebih besar daripada di Jawa. Tabel 35 Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 No. 1.
2. 3. 4.
Indikator Kesejahteraan
Satuan
Perubahan Indikator Kesejahteraan S6
S7
S8
Surplus Produsen Beras Rp Juta -897.750 11.483 -897.722 a. Petani Jawa Rp Juta 0.000 0.000 0.000 b. Petani luar Jawa Rp Juta -1.407 -1.405 -1.407 c. Petani Indonesia Rp Juta -896.343 12.888 -896.315 Surplus Konsumen Beras Rp Juta -15 999.462 333.680 -16 003.967 Penerimaan Pemerintah Rp Juta -226.790 17.060 -226.790 Net Surplus Indonesia Rp Juta -17 124.000 362.022 -17 128.048
S9
S10
14.698 -903.637 0.000 0.000 -1.403 -1.405 16.101 -902.232 392.792 -16 115.139 22.330 -226.790 429.082 -17 245.570
Keterangan: S6 : Konversi di Luar Jawa tetap, tanpa impor S7 : Konversi di Luar Jawa meningkat 1%, dengan impor S8 : Konversi di Luar Jawa meningkat 1%, tanpa impor S9 : Konversi di Luar Jawa meningkat 20%, dengan impor S10 : Konversi di Luar Jawa meningkat 20%, tanpa impor
6.3.1.3 Konversi Lahan Sawah di Indonesia
Simulasi 11 – 15 merupakan kondisi konversi lahan sawah di Indonesia secara keseluruhan, baik kondisi tetap seperti saat ini ataupun ketika terjadi peningkatan. Dampak penerapan berbagai alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan dalam simulasi 11 – 15 disajikan pada Tabel 36 yang ada di akhir pembahasan simulasi 15. Simulasi 11 tanpa kebijakan impor ketika konversi lahan sawah di Indonesia tetap seperti saat ini mengakibatkan surplus produsen, surplus konsumen, maupun penerimaan pemerintah mengalami defisit masing-masing sebesar Rp893.288 juta, Rp16.072 miliar, dan Rp226.79 juta. Kerugian yang ditanggung
147
pemerintah tanpa kebijakan impor sama pada setiap kondisi dan wilayah, yaitu sebesar Rp226.79 juta. Hal ini terkait hilangnya kesempatan untuk memperoleh penerimaan dari tarif impor ketika mengimplementsikan kebijakan tanpa impor sebesar 100 persen. Secara umum, kebijakan tanpa impor ini bias kepada konsumen yang ditunjukkan oleh besarnya kerugian yang ditanggung oleh konsumen. Hal ini sangat logis karena kebijakan tanpa impor menyebabkan harga riil beras eceran domestik meningkat. Simulasi 12 merupakan kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen dan dengan kebijakan impor. Implementasi kebijakan ini menghasilkan surplus petani di Indonesia sebesar Rp25.775 juta. Konsumen dan pemerintah juga diuntungkan dengan memperoleh surplus masingmasing sebesar Rp645.422 juta dan Rp22.71 juta. Simulasi 13 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen. Implementasi kebijakan ini berdampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp917.636 juta, Rp15.913 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.058 miliar. Simulasi 14 yang menerapkan kebijakan impor pada saat terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 16 persen. Pemberlakuan tarif impor spesifik pada komoditas beras sebesar Rp430.00 – Rp450.00 per kg menyebabkan terjadinya transfer surplus dari konsumen ke produsen dan pemerintah melalui peningkatan surplus produsen dan penerimaan pemerintah. Penerapan kebijakan ini menghasilkan surplus produsen sebesar Rp15.850 juta akibat adanya pembatasan impor melalui penerapan kebijakan tarif. Walaupun konsumen sedikit dirugikan akibat kenaikan harga riil beras eceran, namun konsumen masih memperoleh surplus sebesar Rp811.614 juta. Sementara itu, pemerintah memperoleh penerimaan dari tarif sebesar Rp33.1 juta. Net surplus yang dihasilkan dari penerapan kebijakan ini adalah sebesar Rp860.56 juta. Simulasi 15 tanpa kebijakan impor pada kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 16 persen. Sama seperti implementasi kebijakan tanpa impor yang telah dibahas sebelumnya, maka simulasi ini ber-
148
dampak terhadap menurunnya surplus produsen, surplus konsumen, dan penerimaan pemerintah masing-masing sebesar Rp924.427 juta, Rp16.097 miliar, dan Rp226.79 juta, sehingga net surplus pun mengalami penurunan sebesar Rp17.248 miliar. Tidak adanya perdagangan internasional (dalam hal ini impor) menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kerugian yang ditanggung oleh pelaku ekonomi beras. Tabel 36 Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 No.
Indikator Kesejahteraan
Satuan
Perubahan Indikator Kesejahteraan S11
S12
S13
S14
S15
1. Surplus Produsen Beras Rp Juta -893.288 4.385 -917.636 15.850 -924.427 a. Petani Jawa Rp Juta 0.000 -19.985 -19.985 -18.146 -18.146 b. Petani luar Jawa Rp Juta 0.000 -1.405 -1.407 -1.403 -1.406 c. Petani Indonesia Rp Juta -893.288 25.775 -896.244 35.399 -904.876 2. Surplus Konsumen Beras Rp Juta -16 072.219 645.422 -15 913.934 811.614 -16 097.252 3. Penerimaan Pemerintah Rp Juta -226.790 22.710 -226.790 33.100 -226.790 4. Net Surplus Indonesia Rp Juta -17 192.300 672.520 -17 058.360 860.560 -17 248.470 Keterangan: S11 : Konversi di Indonesia tetap, tanpa impor S12 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, dengan impor S13 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, tanpa impor S14 : Konversi di Indonesia meningkat 16%, dengan impor S15 : Konversi di Indonesia meningkat 16%, tanpa impor
6.3.2 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kebijakan Harga
Simulasi 16 merupakan kondisi terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen dengan kombinasi kebijakan peningkatan harga riil gabah petani sebesar 15 persen dan tanpa impor. Kebijakan peningkatan harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia ini bias kepada petani, dimana implementasi kebijakan ini mampu memberikan surplus kepada produsen sebesar Rp17.825 miliar, sedangkan konsumen harus menanggung kerugian sebesar Rp16.08 miliar akibat kenaikan harga riil gabah di tingkat petani yang mendorong naiknya harga riil beras eceran domestik. Sama seperti kebijakan tanpa impor sebelumnya, kebijakan pada simulasi ini pun merugikan pemerintah dengan hilangnya kesempatan untuk memperoleh penerimaan dari tarif sebesar Rp226.79 juta. Namun
149
demikian, secara keseluruhan penerapan ini masih menghasilkan net surplus sebesar Rp1.518 miliar. Simulasi 17 mengkombinasikan kebijakan pada simulasi 16 (peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen, peningkatan harga riil gabah petani sebesar 15 persen dan tanpa impor) ditambah dengan peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah sebesar 15 persen. Kombinasi kebijakan ini menghasilkan surplus yang sama dengan simulasi 16, sehingga disimpulkan bahwa kebijakan peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah 15 persen tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi beras. Kombinasi kebijakan pada simulasi 18 sama dengan simulasi 17, hanya saja peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah sebesar 50 persen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa perubahan indikator kesejahteraan pada simulasi 18 sama dengan yang dihasilkan pada simulasi 16 dan simulasi 17. Alternatif kebijakan pada ketiga simulasi ini (16, 17, dan 18) menghasilkan nilai perubahan yang sama terhadap indikator kesejahteraan. Kebijakan harga riil gabah tingkat petani ini memberikan keuntungan terhadap petani dengan nilai surplus produsen sebesar Rp17.825 miliar. Kebijakan tanpa impor menurunkan surplus konsumen dan pemerintah, sehingga konsumen mengalami kerugian sebesar Rp16.08 miliar dan pemerintah kehilangan penerimaan sebesar Rp226.79 juta (Tabel 37). Tabel 37 Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 No.
Indikator Kesejahteraan
1. Surplus Produsen Beras a. Petani Jawa b. Petani luar Jawa c. Petani Indonesia 2. Surplus Konsumen Beras 3. Penerimaan Pemerintah 4. Net Surplus Indonesia
Satuan
Perubahan Indikator Kesejahteraan S16
Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta
17 825.490 5 084.787 3 948.617 8 792.086 -16 080.357 -226.790 1 518.343
S17 17 825.490 5 084.787 3 948.617 8 792.086 -16 080.357 -226.790 1 518.343
S18 17 825.490 5 084.787 3 948.617 8 792.086 -16 080.357 -226.790 1 518.343
Keterangan: S16 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, dan tanpa impor S17 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, tanpa impor, peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah 15% S18 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, tanpa impor, peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah 50%
150
Namun demikian, secara keseluruhan alternatif kombinasi kebijakan pemerintah (mix government policy) peningkatan harga riil gabah di tingkat petani dan tanpa impor masih dinilai efektif karena memberi net surplus sebesar Rp1.518 miliar (Tabel 32). Kebijakan harga riil (gabah) pembelian pemerintah dinilai mubazir ketika pemerintah sudah menetapkan kebijakan harga riil gabah di tingkat petani. Fenomena keterlambatan pemerintah dalam menetapkan harga riil (gabah) pembelian pemerintah menjadi salah satu bukti bahwa pembentukan harga riil gabah di tingkat petani bukan karena intervensi pemerintah, melainkan dikarenakan mekanisme pasar yang ada. 6.3.3 Peningkatan Konversi Lahan Sawah di Indonesia Sebesar 1 Persen dengan Alternatif Kombinasi Kebijakan Harga dan Impor
Simulasi 19 mengkombinasikan antara peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen, penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen, dan kebijakan tanpa impor, pada saat terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen. Kombinasi kebijakan ini dinilai bias kepada petani, sehingga petani memperoleh surplus sebesar Rp17.944 miliar. Kebijakan tanpa impor menyebabkan penawaran beras domestik menurun sebesar 1.214 persen dan harga riil beras eceran mengalami peningkatan, yang berdampak terhadap penurunan surplus konsumen sebesar Rp15.297 miliar. Seperti kebijakan tanpa impor sebelumnya, kombinasi kebijakan pada simulasi 19 ini pun menyebabkan pemerintah kehilangan kesempatan untuk memperoleh penerimaan dari tarif sebesar Rp226.79 juta. Simulasi 20 mengkombinasikan antara peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen, penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen, dan kebijakan pengurangan kuota impor sebesar 37.5 persen, pada saat terjadi peningkatan konversi lahan sawah di Indonesia sebesar 1 persen. Kebijakan kuota impor bertujuan untuk meningkatkan penawaran beras di dalam negeri, sehingga harga beras domestik akan meningkat.Kebijakan ini pun dinilai bias kepada petani dan merugikan konsumen. Surplus produsen yang diperoleh dari kombinasi kebijakan ini sebesar Rp17.944 miliar, sementara itu kerugian yang harus ditanggung oleh konsumen sebesar Rp3.142 miliar. Jika pemerintah melakukan lelang atas lisensi impor, maka pemerintah dan importir akan mem-
151
peroleh penerimaan atas lisensi impor tersebut. Hasil simulasi 20 menunjukkan bahwa pemerintah memperoleh penerimaan atas lisensi impor sebesar Rp109.11 juta. Simulasi 21 hampir sama dengan simulasi 20, yang membedakan adalah kebijakan impor yang diambil pada simulasi 21 berupa penurunan tarif impor sebesar 5 persen. Penurunan tarif berdampak terhadap peningkatan jumlah impor yang beresiko menurunkan harga riil gabah di tingkat petani dan harga riil beras eceran domestik. Kebijakan tarif sebenarnya merugikan konsumen, tetapi penurunan tarif menyebabkan harga beras domestik juga akan mengalami penurunan, sehingga kerugian yang ditanggung konsumen lebih rendah daripada ketika diterapkan kebijakan tarif awal (sebelum ada penurunan tarif). Bagi pemerintah, penurunan tarif impor sebesar 5 persen berakibat pada penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor sebesar 18.162 persen. Jika dilihat dari surplus masing-masing pelaku ekonomi beras, maka kombinasi kebijakan ini menghasilkan surplus produsen sebesar Rp17.901 miliar, surplus konsumen mengalami defisit sebesar Rp1.137 miliar, dan penerimaan pemerintah pun berkurang sebesar Rp41.19 juta. Hasil simulasi menunjukkan bahwa simulasi 21 memberikan net surplus paling besar dibandingkan 2 simulasi lainnya, yaitu sebesar Rp16.722 miliar. Kebijakan ini dinilai masih efektif, walaupun bias kepada petani yang ditunjukkan oleh besarnya surplus yang diterima petani. Jika dilihat dari sisi produsen, simulasi 19 dan 20 memberikan surplus produsen yang sama, yaitu sebesar Rp17.944 miliar dan nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan surplus produsen pada simulasi 21 (Tabel 38). Dilihat dari sisi konsumen, ketiga kombinasi kebijakan ini dinilai merugikan konsumen, dimana kerugian konsumen terbesar pada penerapan simulasi 19 yaitu sebesar Rp15.297 miliar. Walaupun konsumen menanggung kerugian, nilai kerugian pada simulasi 20 lebih kecil dibandingkan pada simulasi 19, sekalipun masih lebih besar jika dibandingkan dengan simulasi 21. Sementara itu, pemerintah hanya memperoleh penerimaan pada simulasi 20. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka secara keseluruhan simulasi 20 dinilai sebagai simulasi terbaik karena memberikan net surplus yang besar dan memberikan kesejahteraan bagi petani sebagai produsen padi dan juga pemerintah.
152
Tabel 38 Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan ekonomi tahun 1990 – 2010 No. Indikator Kesejahteraan
Satuan
Perubahan Indikator Kesejahteraan S19
1.
2. 3. 4.
Surplus Produsen Beras a. Petani Jawa b. Petani luar Jawa c. Petani Indonesia Surplus Konsumen Beras Penerimaan Pemerintah Net Surplus Indonesia
Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta Rp Juta
17 944.267 5 117.842 3 975.756 8 850.668 -15 297.905 -226.790 2 419.571
S20 17 944.267 5 117.842 3 975.756 8 850.668 -3 142.296 109.110 14 911.081
S21 17 901.176 5 105.957 3 965.803 8 829.415 -1 137.548 -41.190 16 722.438
Keterangan: S19 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan tanpa impor S20 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan penurunan kuota impor 37.5% S21 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan penurunan tarif impor 5%
153
VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1
KESIMPULAN
1 Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa menunjukkan bahwa: a. Konversi lahan sawah di Jawa dipengaruhi secara signifikan oleh peubah perubahan kontribusi sektor bangunan dan rasio pendapatan regional riil. Respon konversi lahan sawah di Jawa terhadap rasio pendapatan regional riil bersifat elastis pada jangka pendek, sebaliknya perubahan kontribusi sektor bangunan bersifat inelastis. Pertumbuhan ekonomi yang disertai peningkatan pendapatan regional riil memberi konsekuensi terhadap peningkatan persaingan lahan dari penggunaan pertanian pangan ke penggunaan non-pertanian pangan yang memberi nilai rente lahan yang lebih tinggi. b. Konversi lahan sawah di luar Jawa dipengaruhi secara signifikan oleh peubah rasio pendapatan regional riil dan konversi lahan sawah di luar Jawa tahun sebelumnya, dengan respon elastis pada jangka pendek dan jangka panjang. Konversi lahan sawah yang bersifat permanen mengakibatkan lahan sawah yang sudah terkonversi akan sulit dikembalikan fungsinya sebagai lahan sawah sehingga masalah pangan yang diakibatkan konversi lahan akan tetap terasa walaupun konversi lahan sawah sudah tidak terjadi lagi. 2 Analisis dampak konversi lahan sawah terhadap ketersediaan dan akses pangan per kapita menunjukkan bahwa: a. Ketersediaan beras per kapita dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan harga riil gabah tingkat petani di Indonesia, rasio luas areal panen padi dengan jumlah penduduk total di Indonesia, konversi lahan sawah di Indonesia, jumlah beras impor Indonesia, tren waktu, dan ketersediaan beras per kapita tahun sebelumnya. Tetapi hanya rasio luas areal panen padi dengan jumlah penduduk total di Indonesia yang memiliki respon elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lahan sawah merupakan faktor penting dalam meningkatkan ketersediaan
154
beras dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga konversi lahan sawah yang terjadi akan mengancam ketersediaan beras per kapita. b. Akses pangan per kapita dipengaruhi oleh inflasi bahan makanan, konversi lahan sawah Indonesia, dan akses pangan per kapita tahun sebelumnya, dengan respon inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Konversi lahan sawah akan menurunkan akses pangan per kapita dalam jangka pendek maupun jangka panjang, walaupun perubahannya relatif kecil. 3 Hasil simulasi beberapa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa: a. Disagregasi berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa yang disertai dengan kebijakan tanpa impor, menunjukkan bahwa wilayah Jawa memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam hal kemandirian pangan daripada wilayah di luar Jawa. Namun demikian, konversi lahan sawah yang terjadi di wilayah Jawa memberikan dampak negatif yang lebih besar terhadap akses pangan per kapita dibandingkan dengan di luar Jawa. Kehilangan produksi akibat konversi lahan sawah yang berlangsung saat ini dapat dikompensasi oleh impor, sehingga seolah-olah ketersediaan dan akses pangan per kapita masih mengalami peningkatan sampai pada tingkat konversi lahan tertentu. b. Alternatif kombinasi kebijakan harga dan kebijakan impor menunjukkan bahwa kebijakan harga yang ada tidak akan efektif apabila pada saat yang sama pemerintah melakukan kebijakan tergantung pada impor, karena yang sesungguhnya meningkatkan ketersediaan beras adalah kebijakan impor yag ada. Sebaliknya kebijakan harga akan efektif jika kebijakan impor beras ditiadakan dalam jangka panjang. 4 Dampak alternatif kebijakan terhadap perubahan indikator kesejahteraan menunjukkan bahwa: a. Implementasi kebijakan harga riil (gabah) pembelian pemerintah dinilai mubazir dan tidak efektif jika diterapkan bersamaan dengan harga riil gabah di tingkat petani, karena pembentukan harga riil gabah di tingkat petani lebih dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang ada.
155
b. Alternatif kombinasi kebijakan melalui instrumen peningkatan harga riil gabah tingkat petani sebesar 15 persen, penurunan harga riil pupuk Urea sebesar 10 persen dan penurunan kuota impor sebesar 37.5 persen, dinilai sebagai kombinasi kebijakan terbaik karena mampu memberikan net surplus yang besar dan memberikan kesejahteraan bagi petani maupun pemerintah. 7.2
IMPLIKASI KEBIJAKAN
1 Sekalipun konversi lahan sawah di Jawa maupun di luar Jawa merupakan konsekuensi logis dari perkembangan wilayah, namun konversi lahan sawah ini harus ditekan karena menurunkan ketersediaan dan akses pangan per kapita. Untuk itu, pemerintah harus tepat dan cermat mengimplementasikan kebijakan yang spesifik lokasi guna menekan laju konversi lahan sawah yang ada namun tetap mampu mencukupi ketersediaan dan akses pangan per kapita. Perkembangan wilayah selama ini yang terpusat di Jawa harus segera diarahkan ke luar Jawa untuk mengurangi konversi lahan sawah di Jawa, selain untuk mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan. 2 Selain itu, pemerintah juga harus prioritas melindungi lahan pangan agar tetap dimanfaatkan untuk memproduksi pangan, sehingga tidak saja terpenuhi ketahanan pangan melainkan juga kemandirian pangan. Krisis energi global yang terjadi saat ini semakin menambah kompetisi dalam pemanfaatan lahan yang tidak saja untuk pangan, melainkan juga untuk pakan dan energi. Oleh karena itu, perlu pemberlakuan sanksi yang tegas bagi siapapun yang melanggar peraturan/perundangan yang terkait dengan konversi lahan sawah. 3 Pemerintah harus menghitung ulang neraca sumberdaya lahan sawah di Indonesia sehingga keterbatasan data tersebut dapat teratasi, mengingat pentingnya data tersebut untuk mengevaluasi pengelolaan sumberdaya lahan sawah dan implementasi kebijakan, sehingga pembangunan pertanian mendatang dapat lebih terintegrasi dan berkelanjutan. 4 Konversi lahan sawah yang terjadi ternyata dikompensasi oleh impor. Alternatif kebijakan harga menjadi tidak efektif jika pada saat yang sama ada
156
kebijakan impor. Namun demikian, karena masih terjadi gap antara produksi dengan konsumsi, sehingga untuk tetap dapat memenuhi konsumsi beras yang besar dalam jangka pendek harus dipenuhi dari impor. Namun demikian, dalam jangka panjang sebaiknya impor harus semakin dikurangi dengan meningkatkan produksi dalam negeri, melalui kebijakan pemerintah yang menstimulasi petani untuk terus berusaha tani, seperti menaikkan harga gabah petani dan meningkatkan subsidi input (pupuk, modal kerja, dan lainnya). Khusus untuk kebijakan harga riil (gabah) pembelian pemerintah ternyata tidak berpengaruh terhadap semua peubah dalam model, ketika diterapkan bersama-sama dengan kebijakan harga riil gabah di tingkat petani. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ini agar menjadi efektif. 5 Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan memperbanyak peubah lagi untuk dimasukkan dalam persamaan konversi lahan yang dipertimbangkan relevan di Jawa dan luar Jawa, sehingga menberikan R2 yang lebih tinggi dan peubahpeubah tersebut tentunya juga mempunyai arah dan besaran nilai parameter dugaan yang sesuai dengan teori ekonomi. 6 Khusus untuk konversi di luar Jawa, perlu juga dilakukan penelitian lanjutan dengan mendisagregasi pulau-pulau yang ada di luar Jawa, sehingga dapat memberi masukan kepada pemerintah mengenai pulau/provinsi mana di luar Jawa yang perlu dikembangkan untuk menggantikan Jawa sebagai produsen utama padi nasional.
157
DAFTAR PUSTAKA Adimiharja, A., Wahyunto, R. Shofiyati. 2004. Gagasan Pengendalian Konversi Lahan Sawah dalam rangka Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan; 18 Des 2003 dan 7 Jan 2004. Puslitbangtanak, Deptan. Bogor. Amang, B. dan M. H. Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Edisi Kedua. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bappenas. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Bappenas. 2010. Rencana Kebijakan Strategis Perluasan Areal Pertanian Baru dalam Rangka Mendukung Prioritas Nasional Ketahanan Pangan. Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Barlowe, R. 1978. Land Resources Economics. The Economics of Real Estate. Fourth Edition. Prentice Hill, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. USA. Beattie, B.R. dan C.R. Taylor. 1994. Ekonomi Produksi. Josohardjono S, penerjemah; Sumodiningrat G, editor. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Terjemahan dari: The Economics of Production. BPS. 1980 – 2011. Statistik Indonesia 1990 – 2011. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Butar-butar, Elvira G.V. 2012. Analisis Faktor-faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Departemen Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Cahyono, S.A. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Beras di Propinsi Lampung dan Kaitannya dengan Pasar Bebas Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Chengli, T., C.A.S. Hall, W. Hongqing. 2003. Land Use Change in Rice, Wheat and Maize Production in China (1961–1998). J Agriculture, Ecosystems and Environment 95:523–536. http://www.elsevier.com/ locate/agee. Chiang, A.C. dan K. Wainright. 2006. Dasar-dasar Matematika Ekonomi. Sudigno S, Nartanto, penerjemah; Sumiharti Y, Saat S, Prasetyo, editor. Jakarta:
158
Erlangga. Terjemahan dari: Fundamental Methods of Mathematical Economics, 4th Ed. Dariah, A. dan F. Agus. 2007. Pengelolaan Sifat Fisik Tanah Sawah Bukaan Baru. Di dalam: Prosiding Tanah Sawah Bukaan Baru. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. BBLSLP, Bogor. hlm 107-130. Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company, New York. DKP. 2011. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta. Ghatak, S and K. Ingersent. 1984. Agriculture and Economic Development. The Johns Hopkins University Press, USA. Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Erlangga,Jakarta. Hamdan. 2011. Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Handewi, P.S.R. dan Erwidodo. 1994. Kajian Sistem Permintaan Pangan di Indonesia. Agro Ekonomi, 13(2):73-89. Heerink, N., Futian Q., Marijke K., Xiaoping S., Shuhao T. 2007. Policy Reforms, Rice Production and Sustainable Land Use in China: a Macro–Micro Analysis. J Agricultural Systems 94:784–800. http://www.elsevier.com/ locate /agsy. Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory. McGraw-Hill Inc., Singapore.
3th Ed.
Hidayat, N.K. 2012. Dampak Perubahan Harga Beras Dunia terhadap Kesejahteraan Masyarakat Indonesia pada Berbagai Kondisi Transmisi Harga dan Kebijakan Domestik. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hirshleifer, J., A. Glazer, D. Hirshleifer. 2005. Price Theory and Applications: Decisions, Markets, and Information. 7th Ed. Cambridge University Press, New York, USA. Hualou, L., G. Tang, X. Li, G. Heilig. 2007. Socio-Economic Driving Forces of Land-Use Change in Kunshan, the Yangtze River Delta Economic Area of China. J Environmental Management 83:351–364. hhtp://www.elsevier. com/locate/jenvman. Intriligator, M.D. 1978. Econometrics Models, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc., New Jersey, USA.
159
Irawan, B. 2003. Konversi Lahan Sawah di Jawa dan Dampaknya terhadap Produksi Padi dan Beras Indonesia. Balitbangtan. Deptan, Jakarta. hlm 295-325. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23(1). Pusat Studi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, PSEKP, Balitbangtan Deptan. Bogor. Irawan, B. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 26(2):116-131. Irawan, B. 2011. Konversi Lahan Sawah di Jawa Barat: Kecenderungan dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi Sawah. Di dalam: Konversi dan Fragmentasi Lahan: Ancaman terhadap Kemandirian Pangan. Balitbangtan, Kementan, Jakarta. Irawan, B., B. Winarso, I. Sodikin, G.S. Handono. 2003. Analisis Faktor Penyebab Perlambatan Produksi Komoditas Pangan Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Irawan. 2005. Analisis Ketersediaan Beras Nasional: Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Balai Penelitian Tanah, Bogor. ISBN: 9799474-06-X. Iriadi, M. 1990. Analisis Konversi Lahan Sawah ke Industri dengan Metode Sewa Ekonomi Lahan (Land Rent): Studi Kasus di Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Just, R.E., D.L. Hueth, A. Schmitz. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Kartika, I.P. 1991. Analisis Konversi Lahan dari Penggunaan Pertanian ke Penggunaan Non-pertanian dengan Pendekatan Sewa Ekonomi Lahan (Land Rent): Studi Kasus di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kementan. 2011. Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010-2014. Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian, Jakarta. Khan, S., M.A. Hanjra; M. Jianxin. 2009. Water Management and Crop Production for Food Security in China: A Review. J Agricultural Water Management, 96:349-360. http://www.elsevier.com/locate/agwat. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. 2nd Ed. The Macmillan Press Ltd., London.
160
Krugman, P.R. dan M. Obstfeld. 2004. Ekonomi Internasional. Jilid 1 Edisi Kelima. Basri FH, penerjemah; Sarwiji B, editor. Indeks-Gramedia, Jakarta. Terjemahan dari: International Economics, 5th Ed. Kusumaningrum, R. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lubis, A. D. 2005. Analisis Kebijakan Impor Beras dan Kaitannya dengan Diversifikasi Pangan Pokok. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lubis, A.M. 1991. Analisis Konversi Lahan Hutan ke Lahan Pertanian dan Konversi Lahan Pertanian ke Industri dan Perumahan dengan Metode Pendekatan Sewa Ekonomi Lahan: Studi Kasus di Kecamatan Sagarante, Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Jatiuwung, Kabupaten Tangerang. Skripsi Sarjana. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Malian, A. H., S. Mardianto, M. Ariani. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras, serta Inflasi Bahan Makanan. Agro Ekonomi, 22 (2): 119-146. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Balitbangtan Deptan, Bogor. Mani, G. and V.K. Pandey. 2000. A Study on Land Transfer and Demand-Supply Relations in Land Market in Western Uttar Pradesh. Indian J of Agricultural Economics, 55:1-14. Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyani, A., S. Ritung, L. Lais. 2011. Potensi dan Ketersediaan Sumber Daya untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Litbang Pertanian, 30(2). Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. BBSDLP, Bogor. Mulyono, S. 2000. Peramalan Bisnis dan Ekonometrika. Ed pertama. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nasoetion, L.I. 2003. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan Implementasinya. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Nicholson, W. 2005. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. 9th Ed. South-Western, Thomson, Canada. Nuryartono, N. dan Prasetyo. 2009. Draft RUU Pangan. Di dalam: Forum Diskusi Kamar Dagang Industri (Kadin); Jakarta, 6 Desember 2011.
161
Pindyck, R.S., and D.L. Rubinfeld. 1998. Econometrics Models and Economic Forecasts. 4th Ed. MacGraw-Hill Inc., New York. Pindyck, R.S., and D.L. Rubinfeld. 2009. Microekonomics. 7th Ed. Pearson Prentice Hall, USA. Riyani, W. 1992. Analisis Konversi Lahan Sawah dari Lahan Pertanian ke Lahan Perumahan dengan Metode Pendekatan Sewa Ekonomi Lahan (Land Rent): Studi Kasus di Wilayah Daerah Tingkat II Kotamadya Bogor, Provinsi Jawa Barat Skripsi Sarjana. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ruswandi, A., E. Rustiadi, K. Mudikjo. 2007. Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah: Studi Kasus di Daerah Bandung Utara. Agro Ekonomi, 25(2):207-219, Oktober 2007. PSEKP, Bogor. Saraswati, H.E. 2007. Prospek Penggunaan Pupuk Hayati Pada Sawah Bukaan Baru. Di dalam: Prosiding Tanah Sawah Bukaan Baru. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, BBLSLP, Bogor. hlm 151-174. Setyorini, D., A.S. Didi, Nurjaya. 2007. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Bukaan Baru. Di dalam: Prosiding Tanah Sawah Bukaan Baru. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, BBLSLP, Bogor. hlm 77106. Simatupang , P. Harga Dasar Gabah. Suara Pembaruan, 28 Januari 2003. Jakarta. Simatupang, P. dan B. Irawan. 2002. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian: Tinjauan Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Makalah Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian; 25 Okt 2002. Balitbangtan, Deptan, Jakarta. Simatupang, P. dan I.W. Rusastra. 2004. Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Balitbangtan. Deptan, Jakarta. hlm 31-52. Sitepu, R. K dan B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Prodi Ilmu Ekonomi Pertanian, SPs IPB, Bogor. Sitepu, R.K. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudaryanto, T. 2005. Konversi Lahan Sawah dan Produksi Pangan Nasional. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. ISBN: 979-9474-20-5.
162
Sumarno. 2011. Ketersediaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Seminar di PSEKP, Bogor; 29 November 2011. Sumaryanto, S. Friyatno, B. Irawan. 2006. Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian dan Dampak Negatifnya. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. ISBN: 979-9474-06-X. Swastika, D.K.S., J. Wargiono, Soejitno, A. Hasanuddin. 2007. Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, 5(1):36-52, Maret 2007. Pusat Studi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Balitbangtan, Deptan, PSEKP, Bogor. Tweeten, L. 1992. Agricultural Trade: Principles and Policies. Westview press, San Fransisco. Wahyunto. 2009. Lahan Sawah di Indonesia sebagai Pendukung Ketahanan Pangan Nasional. Informatika Pertanian, 18(2). Bogor. Zhen et al. 2005. Three Dimensions of Sustainability of Farming Practices in the North China Plain: A Case Study from Ningjin County of Shandong Province, PR China. J Agriculture, Ecosystems and Environment, 105: 507-522. http://www.elsevier.com/locate/agee.
163
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia Tren Waktu
Luas Sawah Irigasi di Jawa
Luas Sawah Non-irigasi di Jawa
Konversi Lahan Sawah di Jawa
THN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
T 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
(ha) LSIRJ 2 535 665.000 2 546 123.000 2 572 463.000 2 585 701.000 2 564 617.000 2 561 643.000 2 566 209.000 2 550 076.000 2 536 503.000 2 604 782.000 2 583 528.000 2 574 643.000 2 534 628.000 2 543 018.000 2 187 350.128 2 464 755.000 2 364 814.952 2 463 142.000 2 498 891.000 2 487 708.000 2 491 819.000 BPS (90-10)
(ha) LSNIRJ 884 862.000 873 412.000 851 596.000 844 556.000 831 682.000 801 114.000 775 890.000 779 170.000 779 388.000 770 464.000 760 863.000 764 525.000 781 949.000 791 609.000 685 766.560 770 791.000 708 783.619 768 740.000 797 998.000 763 352.000 761 775.000 BPS (90-10)
(ha) KLSJ 25 025.000 992.000 0.000 0.000 33 958.000 33 542.000 20 658.000 12 853.000 13 355.000 0.000 30 855.000 5 223.000 22 591.000 0.000 461 510.312 0.000 161 947.429 0.000 0.000 45 829.000 0.000 BPS (90-10)
Kontribusi S-Bangunan thd PDRB di Jawa
Produk Domestik Bruto di Jawa
Jumlah Penduduk di Jawa
Pendapatan per Kapita di Jawa
(%) DSRBJ 5.542 5.710 5.926 8.090 8.070 8.080 8.450 8.370 6.130 5.855 5.580 5.530 5.460 5.430 5.610 5.700 5.990 6.020 6.160 6.350 6.540 BPS (90-10)
(Rp) PDRBJ 107 258 938.000 125 214 586.000 143 311 556.000 190 991 006.000 222 517 885.000 264 326 004.000 307 447 706.000 353 924 581.000 519 843 324.000 659 922 138.500 800 000 953.000 917 527 640.000 1 038 701 538.000 1 164 418 117.000 1 314 077 338.000 1 570 893 000.000 1 856 527 000.000 2 082 497 000.000 2 459 448 000.000 2 706 744 000.000 3 050 273 000.000 BPS (90-10)
(jiwa) JPDKJ 109 779 200.000 110 572 533.333 111 365 866.667 112 159 200.000 113 582 700.000 114 734 000.000 116 525 200.000 118 075 500.000 119 631 300.000 121 193 000.000 121 293 800.000 122 812 900.000 124 332 000.000 127 433 000.000 126 479 000.000 128 834 800.000 129 996 000.000 131 527 500.000 132 856 600.000 134 160 000.000 136 610 590.000 BPS (90-10)
(Rp) PPPKJ 977 042.445 1 132 420.342 1 286 853.506 1 702 856.351 1 959 082.545 2 303 815.817 2 638 465.379 2 997 443.000 4 345 378.877 5 445 216.626 6 595 563.442 7 470 938.639 8 354 257.456 9 137 492.777 10 389 687.917 12 193 079.820 14 281 416.351 15 833 167.969 18 512 049.834 20 175 491.950 22 328 232.387 BPS (90-10)
Indeks Harga Konsumen di Jawa IHKJ 89.219 98.262 105.490 115.592 125.086 136.715 184.466 146.467 155.335 130.573 155.637 161.025 179.386 201.805 216.795 90.849 100.000 120.088 86.809 91.222 95.581 BPS (90-10)
163
Tahun
164
Lampiran 2 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
Luas Areal Panen Padi di Jawa
Indeks Pertanaman Padi di Jawa
Produktivitas Padi di Jawa
Luas Areal Irigasi di Jawa
Curah Hujan di Jawa
Harga Beras Eceran di Jawa
(ha) THN LAPJ 1990 5 418 824.000 1991 5 183 947.000 1992 5 552 565.000 1993 5 514 744.000 1994 5 176 237.000 1995 5 479 396.000 1996 5 488 947.000 1997 5 380 976.000 1998 5 752 012.000 1999 5 766 614.000 2000 5 753 554.000 2001 5 700 817.000 2002 5 608 029.000 2003 5 375 963.000 2004 5 713 619.000 2005 5 707 950.000 2006 5 703 589.000 2007 5 670 947.000 2008 5 742 270.000 2009 6 093 603.000 2010 6 116 897.000 Sumber: Kementan (90-10)
(kali/thn) IPJ 1.584 1.516 1.622 1.608 1.524 1.629 1.642 1.616 1.735 1.709 1.720 1.707 1.691 1.612 1.989 1.764 1.856 1.755 1.742 1.874 1.880 Kementan (90-10)
(ton/ha) YPPJ 4.891 4.950 4.958 4.995 4.992 5.008 5.051 5.070 4.774 4.806 4.913 4.863 4.922 5.010 5.065 5.133 5.143 5.294 5.469 5.612 5.581 Kementan (90-10)
(ha) LASIJ 2 535 665.000 2 546 123.000 2 572 463.000 2 585 701.000 2 564 617.000 2 561 643.000 2 566 209.000 2 550 076.000 2 536 503.000 2 604 782.000 2 583 528.000 2 574 643.000 2 534 628.000 2 543 018.000 2 187 350.128 2 464 755.000 2 364 814.952 2 463 142.000 2 498 891.000 2 487 708.000 2 491 819.000 Kementan (90-10)
(mm) CHJ 1 645.900 1 667.020 1 550.120 1 657.928 1 657.326 1 656.725 1 656.123 1 127.780 1 015.280 1 403.720 1 037.233 2 256.260 1 848.438 2 222.200 1 692.570 1 162.940 940.120 1 601.683 1 886.683 1 977.167 2 149.021 BPS (90-10)
HBEJ 487.536 552.664 600.472 636.456 765.190 916.440 967.342 1 074.966 2 276.210 2 763.088 2 413.554 2 519.992 2 919.936 2 838.616 2 958.128 3 452.923 4 548.437 5 319.203 5 401.512 5 632.675 6 739.900 Bulog (90-10)
Harga Gabah Tkt Petani di Jawa (Rp/kg) HGTTJ 274.023 306.578 318.940 307.590 390.903 465.580 481.900 541.283 939.863 1 214.565 1 069.993 1 152.738 1 431.988 1 580.875 1 320.835 1 840.157 2 350.892 2 615.230 2 821.324 2 980.358 3 508.886 Bulog (90-99) BPS (00-10)
Harga Jagung Tkt Produsen di Jawa (Rp/kg) HJTPJ 220.295 260.785 293.250 273.353 339.510 391.070 477.613 499.050 868.855 1 073.873 930.325 1 230.538 1 389.203 1 093.160 1 132.188 1 209.805 1 375.945 1 697.810 2 031.696 2 089.600 2 398.634 Bulog (90-08) BPS (09-10)
Lampiran 3 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
Jumlah Penggunaan Pupuk Urea di Jawa (kg/ha) THN JUREJ 1990 255.170 1991 230.310 1992 241.360 1993 244.600 1994 246.840 1995 255.510 1996 230.420 1997 250.145 1998 269.870 1999 269.870 2000 260.920 2001 262.855 2002 264.790 2003 266.725 2004 268.660 2005 270.595 2006 272.530 2007 274.465 2008 280.710 2009 278.335 2010 280.270 BPS (90-10) Sumber:
Harga Pupuk Urea di Jawa (Rp/kg) HUREJ 207.733 235.188 255.715 284.010 307.100 337.888 410.635 462.320 582.830 1 199.013 1 201.515 1 308.890 1 410.625 1 345.920 1 352.803 1 371.343 1 513.885 1 537.893 1 520.706 1 581.722 1 619.079 BPS (90-10)
Jumlah Penggunaan Pupuk TSP di Jawa (kg/ha) JTSPJ 125.210 109.600 114.880 114.570 115.200 109.910 101.240 104.620 108.000 108.000 107.236 107.530 107.824 108.118 108.412 108.706 112.878 117.050 121.223 125.395 129.567 BPS (90-10)
Harga Pupuk TSP di Jawa (Rp/kg) HTSPJ 225.518 269.850 299.338 349.388 398.568 501.315 585.165 665.898 829.318 1 629.463 1 649.045 1 738.828 1 792.418 1 748.523 1 732.093 1 798.528 1 933.798 2 364.865 2 133.309 2 202.823 2 266.594 BPS (90-10)
Luas Sawah Irigasi di Luar Jawa (ha) LSIRLJ 1 912 073.000 1 886 044.000 1 928 001.000 2 012 037.000 2 017 043.000 2 126 045.000 2 193 944.000 2 220 564.000 2 247 949.000 2 427 689.000 2 285 249.000 2 292 272.000 2 250 346.000 2 696 669.000 2 296 815.000 2 287 806.000 2 202 636.000 2 297 346.000 2 342 693.000 2 411 114.000 2 401 918.000 BPS (90-10)
Luas Sawah Non-irigasi di Luar Jawa (ha) LSNIRLJ 2 882 941.000 2 909 399.000 3 041 230.000 3 056 763.000 3 025 963.000 2 995 835.000 2 983 067.000 2 940 234.000 2 941 077.000 2 303 286.000 2 157 699.000 2 148 293.000 2 181 925.000 2 368 734.000 2 409 159.000 2 362 526.000 2 338 766.000 2 353 332.000 2 375 251.000 2 399 613.000 2 347 701.000 BPS (90-10)
Konversi Kontribusi Lahan Sawah S-Bangunan thd di Luar Jawa PDRB di Luar Jawa (ha) (%) KLSLJ DSRBLJ 0.000 4.570 0.000 4.866 0.000 4.934 0.000 7.247 25 794.000 7.311 0.000 7.428 0.000 7.520 16 213.000 7.238 0.000 5.523 458 051.000 5.348 288 027.000 5.173 2 383.000 5.177 8 294.000 5.328 0.000 5.371 359 429.000 5.390 5.184 55 642.000 108 930.000 5.442 0.000 5.810 0.000 6.056 0.000 6.318 61 108.000 6.380 BPS (90-10) BPS (90-10)
165
166
Lampiran 4 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
Produk Domestik Bruto di Luar Jawa (Rp.Milyar)
THN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
PDRBLJ 81 218 935.000 92 993 671.000 105 101 528.000 132 593 079.000 152 056 057.000 177 767 712.000 204 157 966.000 236 160 362.000 379 851 765.000 469 368 841.500 558 885 918.000 629 920 049.000 687 760 444.000 768 848 506.000 888 800 833.000 1 099 083 000.000 1 264 374 000.000 1 456 364 000.000 1 791 658 000.000 1 921 162 000.000 2 205 179 000.000 BPS (90-10)
Jumlah Penduduk di Luar Jawa (jiwa) JPDKLJ 73 677 500.000 74 777 133.333 75 876 766.667 76 976 400.000 78 633 800.000 80 021 000.000 81 794 800.000 83 277 600.000 84 761 200.000 85 324 000.000 82 798 800.000 1 03565 400.000 87 671 000.000 87 843 000.000 89 905 000.000 91 017 200.000 92 196 000.000 94 114 500.000 95 666 700.000 97 209 500.000 101 030 736.000 BPS (90-10)
Pendapatan per Kapita di Luar Jawa (Rp)
Indeks Harga Konsumen di Luar Jawa
PPPKLJ 1 102 357.368 1 243 611.073 1 385 160.868 1 722 515.979 1 933 723.882 2 221 513.253 2 495 977.324 2 835 820.941 4 481 434.489 5 501 017.785 6 749 927.753 6 082 340.714 7 844 788.402 8 752 530.150 9 886 000.033 12 075 552.753 13 713 978.914 15 474 384.925 18 728 125.879 19 763 109.573 21 826 813.179 BPS (90-10)
IHKLJ 89.360 96.537 102.811 111.997 120.835 131.763 140.277 150.077 133.939 165.998 172.808 193.016 215.772 229.765 90.082 100.000 114.327 123.022 88.066 93.204 98.450 BPS (90-10)
Luas Areal Panen Padi di Luar Jawa (ha)
Indeks Produktivitas Padi Pertanaman Padi di Luar Jawa di Luar Jawa (kali/thn) (ton/ha)
LAPLJ IPLJ YPPLJ 5 045 827.000 1.052 3.224 5 072 077.000 1.058 3.300 5 531 371.000 1.113 3.299 5 479 126.000 1.081 3.340 5 541 497.000 1.099 3.347 5 941 284.000 1.160 3.361 6 061 098.000 1.171 3.437 5 745 420.000 1.113 3.445 5 964 487.000 1.149 3.326 6 196 590.000 1.310 3.466 6 040 021.000 1.359 3.517 5 789 180.000 1.304 3.567 5 913 137.000 1.334 3.613 6 095 662.000 1.203 3.709 6 194 139.000 1.316 3.763 6 114 050.000 1.315 3.782 6 065 370.000 1.336 3.879 6 462 076.000 1.389 3.966 6 570 190.000 1.393 4.068 6 776 118.000 1.409 4.170 6 660 364.000 1.402 4.207 Kementan (90-10) Kementan (90-10) Kementan (90-10)
Luas Areal Irigasi di Luar Jawa (ha) LASILJ 1 912 073.000 1 886 044.000 1 928 001.000 2 012 037.000 2 017 043.000 2 126 045.000 2 193 944.000 2 220 564.000 2 247 949.000 2 427 689.000 2 285 249.000 2 292 272.000 2 250 346.000 2 696 669.000 2 296 815.000 2 287 806.000 2 202 636.000 2 297 346.000 2 342 693.000 2 411 114.000 2 401 918.000 BPS (90-10)
Lampiran 5 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
Curah Hujan di Luar Jawa
Harga Beras Eceran di Luar Jawa
Harga Gabah Tkt Petani di Luar Jawa (Rp/kg)
Harga Jagung Tkt Produsen di Luar Jawa (Rp/kg)
Jumlah Penggunaan Pupuk Urea di Luar Jawa (kg/ha)
Harga Pupuk Urea di Luar Jawa (kg/ha)
HJTPLJ
JURELJ
HURELJ
JTSPLJ
109.180 131.700 123.930 288.980 278.260 114.800 115.340 116.105 116.870 116.870 149.600 150.557 151.514 152.471 153.429 154.386 155.343 156.300 179.973 188.502 200.817 BPS (90-10)
199.504 225.286 245.735 276.776 299.561 328.830 383.676 439.993 1 026.619 1 065.111 1 384.660 1 533.942 1 663.077 1 650.181 1 684.448 1 731.397 1 876.727 1 922.770 1 483.417 1 579.103 1 509.313 BPS (90-10)
67.490 69.710 74.540 110.110 108.850 61.320 61.850 53.725 45.600 45.600 53.285 52.908 52.530 52.153 51.776 51.398 51.021 50.643 54.258 49.888 49.511 BPS (90-10)
(mm) THN
CHLJ
HBELJ
HGTTLJ
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
2 242.171 1 619.668 1 253.386 2 007.337 2 001.520 1 995.704 1 989.887 1 041.709 971.424 1 418.510 2 245.288 2 426.108 1 975.600 2 820.892 2 057.177 1 293.463 994.935 2 571.908 2 537.488 2 257.148 2 581.454 BPS (90-10)
464.373 564.976 607.003 645.725 739.059 940.603 986.766 1 099.890 2 243.257 2 819.501 2 436.608 2 600.167 3 011.730 2 935.890 3 103.155 3 676.485 4 681.438 5 468.896 5 850.844 6 224.547 7 272.457 Bulog (90-10)
255.410 287.592 297.588 334.579 378.799 462.863 470.689 521.848 907.890 1 229.592 1 265.199 1 320.121 1 447.198 1 530.920 1 543.278 1 713.352 2 320.920 2 595.446 2 654.273 2 962.299 3 509.173 Bulog (90-99) BPS (00-10)
230.633 235.694 260.852 291.686 319.083 354.882 418.276 463.211 776.421 1 078.732 1 065.746 1 202.449 1 348.327 1 293.344 1 418.606 1 551.228 1 671.856 2 039.925 2 591.815 2 866.063 3 033.019 Bulog (90-08) BPS (09-10)
Jumlah Harga Pupuk Penggunaan Pupuk TSP di TSP di Luar Jawa Luar Jawa (Rp/kg) (kg/ha) HTSPLJ 207.746 239.154 268.254 316.544 364.983 466.004 491.115 557.745 1 542.434 1 417.788 1 979.362 2 148.983 2 342.576 2 199.536 2 242.319 2 311.065 2 502.970 2 646.845 2 336.807 2 545.772 2 591.190 BPS (90-10)
167
168
Lampiran 6 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
THN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
Luas Sawah Irigasi di Indonesia
Luas Sawah Non-irigasi di Indonesia
Konversi Lahan Sawah di Indonesia
Kontribusi S-Bangunan thd PDRB di Indonesia
Produk Domestik Bruto Indonesia
Jumlah Penduduk di Indonesia
Pendapatan per Kapita di Indonesia
Panjang Jalan Nasional di Indonesia
(ha)
(ha)
(ha)
(%)
(Rp.Milyar)
(jiwa)
(Rp)
(km)
LSIRI 4 447 738.000 4 432 167.000 4 500 464.000 4 597 738.000 4 581 660.000 4 687 688.000 4 760 153.000 4 770 640.000 4 784 452.000 5 032 471.000 4 868 777.000 4 866 915.000 4 784 974.000 5 239 687.000 4 484 165.128 4 752 561.000 4 567 450.952 4 760 488.000 4 841 584.000 4 898 822.000 4 893 737.000 BPS (90-10)
LSNIRI 3 767 803.000 3 782 811.000 3 892 826.000 3 901 319.000 3 857 645.000 3 796 949.000 3 758 957.000 3 719 404.000 3 720 465.000 3 073 750.000 2 918 562.000 2 912 818.000 2 963 874.000 3 160 343.000 3 094 925.560 3 133 317.000 3 047 549.619 3 122 072.000 3 173 249.000 3 162 965.000 3 109 476.000 BPS (90-10)
KLSI 10 854.000 563.000 0.000 0.000 59 752.000 0.000 0.000 29 066.000 0.000 398 696.000 318 882.000 7 606.000 30 885.000 0.000 820 939.312 0.000 270 877.429 0.000 0.000 0.000 58 574.000 BPS (90-10)
DSRBI 5.480 5.672 5.889 6.006 7.330 7.580 7.890 7.440 6.460 6.710 7.140 5.300 5.450 5.500 6.570 7.030 7.520 7.710 8.480 9.910 10.290 BPS (90-10)
GDPI 197 721.000 227 450.200 259 884.500 302 017.800 382 219.700 454 514.200 532 568.000 627 695.500 955 753.500 1 109 979.500 1 290 684.200 1 684 280.500 1 863 274.700 2 045 853.500 2 295 826.600 2 774 281.100 3 339 479.600 3 957 403.900 4 948 688.400 5 603 871.200 6 422 918.200 BPS (90-10)
JPDKI 183 456 700.000 185 349 666.667 187 242 633.333 189 135 600.000 192 216 500.000 194 755 000.000 198 320 000.000 201 353 100.000 204 392 500.000 206 517 000.000 204 092 600.000 226 378 300.000 212 003 000.000 215 276 000.000 216 384 000.000 219 852 000.000 222 192 000.000 225 642 000.000 228 523 300.000 231 369 500.000 237 641 326.000 BPS (90-10)
PPPKI 1 077 752.952 1 227 141.133 1 387 955.806 1 596 832.114 1 988 485.380 2 333 774.229 2 685 397.338 3 117 386.819 4 676 069.327 5 374 760.916 6 324 012.728 7 440 114.622 8 788 907.232 9 503 397.964 10 609 964.692 12 618 857.686 15 029 702.240 17 538 418.823 21 655 071.496 24 220 440.464 27 027 783.038 BPS (90-10)
PJLNI 288 727.000 319 370.000 325 441.000 344 892.000 356 878.000 327 227.000 336 377.000 341 467.000 355 363.000 355 951.000 355 951.000 361 782.000 368 362.000 370 516.000 372 929.000 377 929.000 393 794.000 421 535.000 437 759.000 476 337.000 478 667.000 BPS (90-10)
Lampiran 7 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
Luas Areal Panen Padi di Indonesia
Indeks Pertanaman Padi di Indonesia
Produktivitas Padi di Indonesia
Angka Konversi
(ha) (kali/thn) (ton/ha) (%) THN LAPI IPI YPPI AK 1990 10464651.000 1.274 3.545 0.650 1991 10256024.000 1.248 3.617 0.650 1992 11083936.000 1.321 3.618 0.650 1993 10993870.000 1.294 3.658 0.650 1994 10717734.000 1.270 3.664 0.650 1995 11420680.000 1.346 3.678 0.650 1996 11550045.000 1.356 3.748 0.650 1997 11126396.000 1.311 3.758 0.630 1998 11716499.000 1.378 3.605 0.630 1999 11963204.000 1.476 3.724 0.630 2000 11793575.000 1.514 3.785 0.630 2001 11489997.000 1.477 3.835 0.630 2002 11521166.000 1.487 3.884 0.630 2003 11471625.000 1.366 3.978 0.630 2004 11907758.000 1.571 4.032 0.630 2005 11822000.000 1.499 4.043 0.630 2006 11768959.000 1.545 4.124 0.630 2007 12133023.000 1.539 4.223 0.630 2008 12312460.000 1.536 4.340 0.630 2009 12869721.000 1.596 4.449 0.630 2010 12777261.000 1.597 4.473 0.630 Sumber: Kementan (90-10) Kementan (90-10) Kementan (90-10) Kementan (90-10)
Proporsi Beras Susut
Luas Areal Irigasi di Indonesia
Curah Hujan di Indonesia
(%) PS 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 0.120 FAO (90-10)
(ha) LASII 4 447 738.000 4 432 167.000 4 500 464.000 4 597 738.000 4 581 660.000 4 687 688.000 4 760 153.000 4 770 640.000 4 784 452.000 5 032 471.000 4 868 777.000 4 866 915.000 4 784 974.000 5 239 687.000 4 484 165.128 4 752 561.000 4 567 450.952 4 760 488.000 4 841 584.000 4 898 822.000 4 893 737.000 BPS (90-10)
(mm) CHI 2 127.504 1 628.437 1 308.337 1 938.992 1 933.824 1 928.655 1 923.487 1 057.648 979.858 1 415.665 1 930.143 2 368.090 1 950.168 2 572.654 1 919.462 1 266.271 985.146 2 389.991 2 411.526 2 206.242 2 410.820 BPS (90-10)
Jumlah Penggunaan Pupuk Urea di Indonesia (kg/ha) JUREI 186.390 181.810 182.800 179.580 174.820 182.490 170.170 172.418 192.220 192.220 204.400 206.493 208.585 210.678 212.771 214.864 216.957 219.050 227.840 223.236 225.329 BPS (90-10)
169
170
Lampiran 8 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
THN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
Harga Pupuk Urea di Indonesia
(Rp/kg) HUREI 201.855 228.115 248.586 278.843 301.715 331.418 388.364 443.876 572.955 1088.398 1352.809 1494.802 1619.173 1597.266 1626.771 1668.779 1813.624 1855.835 1523.745 1871.178 1927.007 BPS (90-10)
Jumlah Penggunaan Pupuk TSP di Indonesia (kg/ha) JTSPI 98.360 90.100 94.770 89.880 86.640 84.690 80.620 80.670 76.330 76.330 82.766 82.304 81.843 81.381 80.919 80.457 79.996 79.534 86.590 80.878 80.888 BPS (90-10)
Harga Pupuk TSP di Indonesia
Harga Beras Eceran di Indonesia
Harga Beras Dunia 25% FOB Bangkok
Harga (Gabah) Pembelian Pemerintah
Harga Gabah Tkt Petani di Indonesia
Harga Jagung Tkt Produsen di Indonesia
(Rp/kg) HTSPI 212.824 247.924 277.135 325.928 374.579 476.093 507.472 576.554 730.610 1 454.601 1 921.916 2 077.651 2 246.896 2 121.099 2 153.584 2 221.928 2 403.983 2 597.805 2 199.330 2 441.533 2 483.477 BPS (90-10)
(Rp/kg) HBEI 525.170 562.000 603.680 592.250 660.370 776.380 880.000 1 063.800 2 099.030 2 665.580 2 424.220 2 537.090 2 826.060 2 785.850 2 850.760 3 475.050 4 462.680 5 157.740 5 484.530 5 993.740 7 175.630 Bulog (80-10)
(Rp/kg) HBW 254.000 244.130 235.170 215.630 270.780 304.250 331.800 289.960 275.990 216.210 173.560 152.760 175.130 181.550 225.430 265.430 277.220 309.108 535.975 464.500 452.768 Bulog (80-10)
(Rp/kg) HPPG 270.00 295.00 330.00 340.00 360.00 400.00 450.00 525.00 600.00 1 400.00 1 400.00 1 500.00 1 500.00 1 725.00 1 725.00 1 765.00 2 280.00 2 575.00 2 800.00 3 000.00 3 300.00 Bulog (80-10)
(Rp/kg) HGTTI 260.140 285.840 305.270 318.587 334.844 367.359 408.002 468.967 529.932 1 351.600 1 351.600 1 438.020 1 558.180 1 604.800 1 562.660 1 784.850 2 377.230 2 650.810 2 811.950 2 987.220 3 547.930 Bulog (80-99) BPS (00-10)
(Rp/kg) HJTPI 218.800 241.550 257.200 285.020 302.630 342.420 398.770 428.390 709.060 987.110 952.340 1 105.750 1 241.340 926.270 948.840 1 668.400 1 802.020 2 238.430 2 500.190 2 108.900 2 385.900 Bulog (90-08) BPS (09-10)
Lampiran 9 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
THN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
Nilai Tukar Rupiah thd US Dollar
(Rp/US$) ERI 1 844.450 1 949.950 2 029.770 2 087.000 2 160.430 2 248.660 2 347.730 2 773.030 9 623.060 7 787.130 8 356.520 10 201.690 9 285.310 8 580.820 8 927.850 9 694.430 9 158.430 9 138.350 9 630.850 10 342.500 9 089.930 WB (90-10)
Indeks Harga Konsumen di Indonesia
Indeks Harga Perdagangan Besar di Indonesia
Indeks Harga Perdagangan Besar di Amerika Serikat
IHKI 18.421 20.156 21.673 23.772 25.797 28.231 30.480 32.379 51.284 61.792 64.091 71.462 79.951 85.217 90.537 100.000 113.109 120.357 132.124 138.483 145.591 WB (90-10)
IHPBI 16.657 17.515 18.419 19.168 20.135 22.428 24.190 26.358 53.280 58.753 66.091 75.443 77.573 79.176 85.940 100.000 113.459 130.166 165.293 162.291 170.197 WB (90-10)
IHPBAS 73.851 74.015 74.455 75.545 76.525 79.262 81.120 81.067 79.055 79.717 84.323 85.255 83.302 87.754 93.181 100.000 104.670 109.694 120.452 109.853 117.366 WB (90-10)
Laju Inflasi Umum
Inflasi Bahan Makanan
(%) LIU 7.813 9.416 7.526 9.688 8.518 9.432 7.968 6.230 58.387 20.489 3.720 11.502 11.879 6.586 6.244 10.452 13.109 6.407 9.777 4.814 5.133 BPS (90-10)
(%) IBM 6.970 9.650 6.010 5.100 13.930 13.320 6.120 18.450 118.370 -5.250 4.000 12.030 9.130 -1.720 6.380 13.910 12.940 11.260 16.350 3.880 15.640 BPS (90-10)
Jumlah Impor Beras Indonesia
Harga per Unit Impor Beras Indonesia (MT) (US$/T) JMBI HMBI 49 577.000 285.052 170 993.000 310.328 609 772.000 283.075 24 318.000 295.912 630 073.000 249.690 3 157 700.000 280.343 2 149 754.000 356.467 348 075.000 312.956 2 894 961.000 297.456 4 748 056.000 279.580 1 355 038.000 235.514 642 168.000 210.088 1 798 498.000 190.452 1 625 753.000 204.716 390 832.000 262.445 272.556 188 945.000 456 100.000 290.772 1 406 276.000 332.595 288 369.000 430.501 248 454.000 435.304 687 581.500 524.716 FAO (80-09) FAO (80-09) Kementan (10) Kementan (10)
171
172
Lampiran 10 Data peubah ketersediaan dan akses pangan di Indonesia (lanjutan) Tahun
THN 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
Nilai Impor Beras Indonesia CIF (US$) NMBI 14 132 000.000 53 064 000.000 172 611 000.000 7 196 000.000 157 323 000.000 885 239 000.000 766 316 000.000 108 932 000.000 861 123 000.000 1 327 460 000.000 319 131 000.000 134 912 000.000 342 527 000.000 332 818 000.000 102 572 000.000 51 498 000.000 132 621 000.000 467 720 000.000 124 143 000.000 108 153 000.000 360 785 000.000 FAO (80-09) Kementan (10)
Tarif Impor Beras di Indonesia
Jumlah Ekspor Beras Indonesia
Nilai Ekspor Beras Indonesia
(Rp/kg) TRFB Monopoli Monopoli Monopoli Monopoli Monopoli Monopoli Monopoli Monopoli 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 450.000 450.000 450.000 Bulog (90-10)
(ton) JXBI 1 911.000 643.000 42 492.000 350 606.000 169 141.000 5.000 197.000 64.000 1 981.000 2 701.000 1 190.000 3 952.000 4 154.000 699.000 905.000 42 285.000 940.000 1 194.000 1 867.000 2 395.000 345.000 FAO (80-09) Kementan (10)
(US$) NXBI 175 000.000 36 000.000 8 490 000.000 57 844 000.000 27 879 000.000 6 000.000 138 000.000 67 000.000 1 300.000 1 447 000.000 306 000.000 793 000.000 1 130 000.000 320 000.000 456 000.000 8 657 000.000 531 000.000 472 000.000 865 000.000 1 814 000.000 452 000.000 FAO (80-09) Kementan (10)
Perubahan Cadangan Beras Indonesia (ton) PCADBI 0.000 0.000 -1 029 574.000 362 574.000 667 000.000 -1 026 154.000 -1 132 189.000 1 337 421.000 102 615.000 0.000 102 615.000 615 692.000 0.000 0.000 -9 171.000 9 171.000 -721 614.000 -1 757 702.000 729 088.000 -1 020 389.000 -53 376.148 FAO (90-10)
(%) PP 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 0.250 Sumarno (90-10)
Proporsi Beras untuk Persediaan
Ketersediaan Beras untuk Konsumsi per Kapita (kg/kap/thn) TSBKPK 132.190 131.000 133.110 133.750 130.890 132.830 136.160 135.410 136.830 138.880 131.850 129.990 129.990 129.280 128.700 128.150 127.990 125.280 126.700 127.400 127.680 FAO (90-10)
173
Lampiran 11 Nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang pada setiap peubah dalam bentuk rasio dan perkalian No.
Persamaan (Peubah Endogen)
Keterangan Peubah
Peubah Penjelas
1
2
Produktivitas Padi di Jawa (YPPJ) HGTTJR HUREJR
5
6
7.600
0.008
-7.600
-0.008
9.150
0.191
-9.150
-0.191
4.520
-
-4.520
-
3.380
-0.116
-3.380
0.116
5.430
0.266
-5.430
-0.266
Harga riil beras impor di Indonesia Nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar
-1.110
-1.692
-1.110
-1.692
Luas areal panen padi di Indonesia Jumlah penduduk Indonesia
1.140
1.356
-1.140
-1.356
Harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa Harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia
Harga riil gabah di tingkat petani di Jawa Harga riil pupuk Urea di Jawa
Produktivitas Padi di Luar Jawa (YPPLJ) HGTTLJR Harga riil gabah di tingkat petani di luar Jawa HURELJR Harga riil pupuk Urea di luar Jawa Produktivitas Padi di Indonesia (YPPI) HGTTIR Harga riil gabah di tingkat petani di Indonesia HUREIR Harga riil pupuk Urea di Indonesia Jumlah Beras Impor Indonesia (JMBI) HMBIR ERIR
7
Jangka Panjang
Luas Areal Panen Padi di Luar Jawa (LAPLJ)
HGTTIR
4
Jangka Pendek
Luas Areal Panen Padi di Jawa (LAPJ) HGTTJR Harga riil gabah di tingkat petani di Jawa HBEJR Harga riil beras eceran di Jawa
HGTTLJR
3
Elastisitas
Ketersediaan Beras per Kapita (TSBKPK) LAPI JPDKI
174
Lampiran 12 Program model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia /* **************************************** */ /* MODEL MENGGUNAKAN DATA TAHUN 1990 – 2010 */ /* DENGAN NAMA FILE DT_TESIS.txt */ /* Pembuatan file.txt dapat dilakukan dari */ /* program excel dan selanjutnya */ /* diimpor dari program SAS/ETS */ /* **************************************** */ OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA DT_TESIS; SET FIX; /* membuat deskripsi variabel*/ Label AK = 'ANGKA KONVERSI' CHI = 'CURAH HUJAN RATA‐RATA DI INDONESIA (MM/THN)' CHJ = 'CURAH HUJAN RATA‐RATA DI JAWA (MM/THN)' CHLJ = 'CURAH HUJAN RATA‐RATA DI LUAR JAWA (MM/THN)' DEVB = 'DEVISA NEGARA (RP)' DSRBJ = 'PERMINTAAN LAHAN SAWAH UNTUK KONSTRUKSI DI JAWA DIPROKSI DARI KONTRIBUSI SEKTOR BANGUNAN TERHADAP PDRB DI JAWA (%)' DSRBLJ = 'PERMINTAAN LAHAN SAWAH UNTUK KONSTRUKSI DI LUAR JAWA DIPROKSI DARI KONTRIBUSI SEKTOR BANGUNAN TERHADAP PDRB DI LUAR JAWA (%)' ERI = 'NILAI TUKAR (RP/US$)' ERIR = 'NILAI TUKAR RIIL (RP/US$)' GDPI = 'GROSS DOMESTIC BRUTO DI INDONESIA (RP)' GDPIR = 'GROSS DOMESTIC BRUTO RIIL DI INDONESIA (RP)' HBEI = 'HARGA BERAS ECERAN DI INDONESIA (RP/KG)' HBEIR = 'HARGA BERAS ECERAN RIIL DI INDONESIA (RP/KG)' HBEJ = 'HARGA BERAS ECERAN DI JAWA (RP/KG)' HBEJR = 'HARGA BERAS ECERAN RIIL DI JAWA (RP/KG)' HBELJ = 'HARGA BERAS ECERAN DI LUAR JAWA (RP/KG)' HBELJR = 'HARGA BERAS ECERAN RIIL DI LUAR JAWA (RP/KG)' HBW = 'HARGA BERAS DUNIA 25% FOB DI BANGKOK (US$/TON)' HBWR = 'HARGA BERAS DUNIA RIIL 25% FOB DI BANGKOK (US$/TON)' HGTTI = 'HARGA GABAH TINGKAT PETANI DI INDONESIA (RP/KG)' HGTTIR = 'HARGA GABAH TINGKAT PETANI RIIL DI INDONESIA (RP/KG)' HGTTJ = 'HARGA GABAH TINGKAT PETANI DI JAWA (RP/KG)' HGTTJR = 'HARGA GABAH TINGKAT PETANI RIIL DI JAWA (RP/KG)' HGTTLJ = 'HARGA GABAH TINGKAT PETANI DI LUAR JAWA (RP/KG)' HGTTLJR = 'HARGA GABAH TINGKAT PETANI RIIL DI LUAR JAWA (RP/KG)' HJTPI = 'HARGA JAGUNG TINGKAT PRODUSEN DI INDONESIA (RP/KG)' HJTPIR = 'HARGA JAGUNG TINGKAT PRODUSEN RIIL DI INDONESIA (RP/KG)' HJTPLJ = 'HARGA JAGUNG TINGKAT PRODUSEN DI LUAR JAWA (RP/KG)' HJTPLJR = 'HARGA JAGUNG TINGKAT PRODUSEN RIIL DI LUAR JAWA (RP/KG)' HMBI = 'HARGA IMPOR BERAS DI INDONESIA (US$/T)' HMBIR = 'HARGA IMPOR BERAS RIIL DI INDONESIA (US$/T)' HPPG = 'HARGA (GABAH) PEMBELIAN PEMERINTAH (RP/KG)' HPPGR = 'HARGA (GABAH) PEMBELIAN PEMERINTAH RIIL (RP/KG)' HUREI = 'HARGA PUPUK UREA DI INDONESIA (RP/KG)' HUREIR = 'HARGA PUPUK UREA INDONESIA RIIL (RP/KG)' HUREJ = 'HARGA PUPUK UREA DI JAWA (RP/KG)' HUREJR = 'HARGA PUPUK UREA RIIL DI JAWA (RP/KG)' HURELJ = 'HARGA PUPUK UREA DI LUAR JAWA (RP/KG)' HURELJR = 'HARGA PUPUK UREA RIIL DI LUAR JAWA (RP/KG)' IBM = 'INFLASI BAHAN MAKANAN (%)' IHKI = 'INDEKS HARGA KONSUMEN DI INDONESIA' IHKJ = 'INDEKS HARGA KONSUMEN DI JAWA' IHKLJ = 'INDEKS HARGA KONSUMEN DI LUAR JAWA'
175
Lampiran 12
Program model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan)
IHPBAS = 'INDEKS HARGA PEDAGANG BESAR DI AMERIKA SERIKAT' IHPBI = 'INDEKS HARGA PEDAGANG BESAR DI INDONESIA' IPI = 'INTENSITAS PERTANAMAN DI INDONESIA (X/THN)' IPJ = 'INTENSITAS PERTANAMAN DI JAWA (X/THN)' IPLJ = 'INTENSITAS PERTANAMAN DI LUAR JAWA (X/THN)' JBITLJ = 'JUMLAH PENGGUNAAN BIBIT DI LUAR JAWA (KG/HA)' JBSI = 'JUMLAH BERAS UNTUK BENIH/SUSUT DI INDONESIA (TON)' JMBI = 'JUMLAH IMPOR BERAS INDONESIA ( METRIK TON)' JPDKI = 'JUMLAH PENDUDUK DI INDONESIA (JIWA)' JPDKJ = 'JUMLAH PENDUDUK DI JAWA (JIWA)' JPDKLJ = 'JUMLAH PENDUDUK DI LUAR JAWA (JIWA)' JTSPI = 'JUMLAH PENGGUNAAN PUPUK TSP DI INDONESIA (KG/HA)' JTSPJ = 'JUMLAH PENGGUNAAN PUPUK TSP DI JAWA (KG/HA)' JTSPLJ = 'JUMLAH PENGGUNAAN PUPUK TSP DI LUAR JAWA (KG/HA)' JUREI = 'JUMLAH PENGGUNAAN PUPUK UREA DI INDONESIA (KG/HA)' JUREJ = 'JUMLAH PENGGUNAAN PUPUK UREA DI JAWA (KG/HA)' JURELJ = 'JUMLAH PENGGUNAAN PUPUK UREA DI LUAR JAWA (KG/HA)' JXBI = 'JUMLAH EKSPOR BERAS INDONESIA (TON)' KLSI = 'KONVERSI LAHAN SAWAH DI INDONESIA (HA)' KLSJ = 'KONVERSI LAHAN SAWAH DI JAWA (HA)' KLSLJ = 'KONVERSI LAHAN SAWAH DI LUAR JAWA (HA)' LAPI = 'LUAS AREAL PANEN PADI DI INDONESIA (HA)' LAPJ = 'LUAS AREAL PANEN PADI DI JAWA (HA)' LAPLJ = 'LUAS AREAL PANEN PADI DI LUAR JAWA (HA)' LASII = 'LUAS IRIGASI DI INDONESIA (HA)' LASIJ = 'LUAS IRIGASI DI JAWA (HA)' LASILJ = 'LUAS IRIGASI DI LUAR JAWA (HA)' LBSI = 'LUAS BAKU SAWAH DI INDONESIA (HA)' LBSJ = 'LUAS BAKU SAWAH DI JAWA (HA)' LBSLJ = 'LUAS BAKU SAWAH DI LUAR JAWA (HA)' LSIRI = 'LUAS SAWAH IRIGASI DI INDONESIA (HA)' LSIRJ = 'LUAS SAWAH IRIGASI DI JAWA (HA)' LSIRLJ = 'LUAS SAWAH IRIGASI DI LUAR JAWA (HA)' LSNIRI = 'LUAS SAWAH NON‐IRIGASI DI INDONESIA (HA)' LSNIRJ = 'LUAS SAWAH NON‐IRIGASI DI JAWA (HA)' LSNIRLJ = 'LUAS SAWAH NON‐IRIGASI DI LUAR JAWA (HA)' LDSRBJ = 'PERMINTAAN LAHAN SAWAH UNTUK KONSTRUKSI JAWA DIPROKSI DARI KONTRIBUSI SEKTOR BANGUNAN TERHADAP PDRB T‐1 (%)' LERIR = 'NILAI TUKAR RIIL T‐1 (RP/US$)' LHBEIR = 'HARGA BERAS ECERAN INDONESIA RIIL T‐1 (RP/KG)' LHGTTIR = 'HARGA RIIL GABAH TINGKAT PETANI INDONESIA RIIL T‐1 (RP/KG)' LHGTTJR = 'HARGA RIIL GABAH TINGKAT PETANI JAWA RIIL T‐1 (RP/KG)' LHGTTLJR = 'HARGA RIIL GABAH TINGKAT PETANI LUAR JAWA RIIL T‐1 (RP/KG)' LHJTPJR = 'HARGA RIIL JAGUNG TINGKAT PRODUSEN DI JAWA RIIL T‐1 (RP/KG)' LHMBIR = 'HARGA RIIL IMPOR BERAS INDONESIA RIIL T‐1 (US$/KG)' LHPPGR = 'HARGA RIIL (GABAH) PEMBELIAN PEMERINTAH T‐1 (RP/KG)' LHUREJR = 'HARGA RIIL PUPUK UREA DI JAWA T‐1 (RP/KG)' LHURELJR = 'HARGA RIIL PUPUK UREA DI LUAR JAWA T‐1 (RP/KG)' LIBM = 'INFLASI BAHAN MAKANAN T‐1 (%)' LJMBI = 'JUMLAH IMPOR BERAS INDONESIA T‐1 (TON)' LJTSPLJ = 'JUMLAH PENGGUNAAN PUPUK TSP DI LUAR JAWA T‐1 (KG/HA)' LKLSI = 'KONVERSI LAHAN SAWAH DI INDONESIA T‐1 (HA)' LKLSLJ = 'KONVERSI LAHAN SAWAH DI LUAR JAWA T‐1 (HA)' LLAPI = 'LUAS AREAL PANEN DI INDONESIA T‐1 (HA)' LLAPJ = 'LUAS AREAL PANEN DI JAWA T‐1 (HA)' LLAPLJ = 'LUAS AREAL PANEN DI LUAR JAWA T‐1 (HA)' LLASIJ = 'LUAS AREAL IRIGASI DI JAWA T‐1 (HA)' LMPBJ = 'MARJIN PEMASARAN BERAS DI JAWA T‐1 (HA)' LMPBLJ = 'MARJIN PEMASARAN BERAS DI LUAR JAWA T‐1 (HA)'
176
Lampiran 12
Program model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan)
LPBRI = 'TOTAL PRODUKSI BERAS INDONESIA T‐1 (TON)' LPDRBJR = 'PRODUK DOMESTIK BRUTO RIIL DI JAWA T‐1 (RP)' LPDRBLJR = 'PRODUK DOMESTIK BRUTO RIIL DI LUAR JAWA T‐1 (RP)' LPJLNI = 'KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR JALAN DI INDONESIA T‐1 (KM)' LPPDI = 'PRODUKSI PADI DI INDONESIA T‐1 (TON)' LPPDJ = 'PRODUKSI PADI DI JAWA T‐1 (TON)' LPPDLJ = 'PRODUKSI PADI DI LUAR JAWA T‐1 (TON)' LPPPKIR = 'AKSES PANGAN PER KAPITA RIIL DI INDONESIA T‐1 (RP/KAPITA)' LQDBI = 'PERMINTAAN BERAS UNTUK KONSUMSI DI INDONESIA T‐1 (TON)' LTRFBR = 'TARIF IMPOR BERAS RIIL DI INDONESIA T‐1 (RP/KG)' LTSBKPK = 'KETERSEDIAAN BERAS (UNTUK KONSUMSI PANGAN) PER KAPITA DI INDONESIA T‐1 (KG/KAP)' LYPPI = 'PRODUKTIVITAS PADI DI INDONESIA T‐1 (TON/HA)' LYPPLJ = 'PRODUKTIVITAS PADI DI LUAR JAWA T‐1 (TON/HA)' MPBI = 'MARJIN PEMASARAN BERAS DI INDONESIA (HA)' MPBJ = 'MARJIN PEMASARAN BERAS DI JAWA (HA)' MPBLJ = 'MARJIN PEMASARAN BERAS DI LUAR JAWA (HA)' PBRI = 'PRODUKSI BERAS DI INDONESIA (TON)' PBRJ = 'PRODUKSI BERAS DI JAWA (TON)' PBRLJ = 'PRODUKSI BERAS DI LUAR JAWA (TON)' PCADBI = 'PERUBAHAN CADANGAN BERAS DI INDONESIA (TON)' PDRBJ = 'PRODUK DOMESTIK BRUTO DI JAWA (RP)' PDRBJR = 'PRODUK DOMESTIK BRUTO RIIL DI JAWA (RP)' PDRBLJ = 'PRODUK DOMESTIK BRUTO DI LUAR JAWA (RP)' PDRBLJR = 'PRODUK DOMESTIK BRUTO RIIL DI LUAR JAWA (RP)' PJLNI = 'KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR JALAN DI INDONESIA (KM)' PP = 'PROPORSI BERAS UNTUK PERSEDIAAN (%)' PPDI = 'PRODUKSI PADI DI INDONESIA (TON)' PPDIPK = 'PRODUKSI PADI PER KAPITA DI INDONESIA (TON)' PPDJ = 'PRODUKSI PADI DI JAWA (TON)' PPDJPK = 'PRODUKSI PADI PER KAPITA DI JAWA (TON)' PPDLJ = 'PRODUKSI PADI DI LUAR JAWA (TON)' PPDLJPK = 'PRODUKSI PADI PER KAPITA DI LUAR JAWA (TON)' PPMR = 'PENERIMAAN PEMERINTAH RIIL(RP)' PPPKI = 'AKSES PANGAN PER KAPITA DI INDONESIA (RP/KAPITA)' PPPKIR = 'AKSES PANGAN PER KAPITA RIIL DI INDONESIA (RP/KAPITA)' PS = 'PROPORSI BERAS UNTUK BENIH/SUSUT (%)' QDBI = 'PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA (TON)' QDBPK = 'PERMINTAAN BERAS PER KAPITA DI INDONESIA (TON)' QSBI = 'PENAWARAN BERAS DI INDONESIA (TON)' T = 'TREN WAKTU' TRFB = 'TARIF IMPOR BERAS DI INDONESIA (RP/KG)' TRFBR = 'TARIF IMPOR BERAS RIIL DI INDONESIA (RP/KG)' TSBK = 'KETERSEDIAAN BERAS (UNTUK KONSUMSI PANGAN) DI INDONESIA (TON)' TSBKPK = 'KETERSEDIAAN BERAS (UNTUK KONSUMSI PANGAN) PER KAPITA DI INDONESIA (TON/KAP)' YPPI = 'PRODUKTIVITAS PADI DI INDONESIA (TON/HA)' YPPJ = 'PRODUKTIVITAS PADI DI JAWA (TON/HA)' YPPLJ = 'PRODUKTIVITAS PADI DI LUAR JAWA (TON/HA)'; /*create data*/ KLSI = KLSJ+KLSLJ; LBSJ = LSIRJ+LSNIRJ‐KLSJ; LBSLJ = LSIRLJ+LSNIRLJ‐KLSLJ; LBSI = LSIRI+LSNIRI‐KLSI; PPDJ = LAPJ*YPPJ; PPDJPK = PPDJ/JPDKJ; PBRJ = PPDJ*AK;
177
Lampiran 12
Program model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan)
PPDLJ = LAPLJ*YPPLJ; PPDLJPK = PPDLJ/JPDKLJ; PBRLJ = PPDLJ*AK; PPDI = PPDJ+PPDLJ; PPDIPK = PPDI/JPDKI; PBRI = PPDI*AK; QSBI = PBRI+JMBI+PCADBI‐JXBI; JBSI = QSBI*PS; TSBK = QSBI‐JBSI; TSBKPK = TSBK/JPDKI; QDBI = TSBK+(TSBK*PP); QDBPK = QDBI/JPDKI; /*membuat variabel riil*/ ERIR = (ERI/IHKI)*100; GDPIR = (GDPI/IHKI)*100; HBEIR = (HBEI/IHPBI)*100; HBEJR = (HBEJ/IHKJ)*100; HBELJR = (HBELJ/IHKJ)*100; HBWR = (HBW/IHPBAS)*100; HGTTIR = (HGTTI/IHPBI)*100; HGTTJR = (HGTTJ/IHPBI)*100; HGTTLJR = (HGTTLJ/IHPBI)*100; HJTPIR = (HJTPI/IHPBI)*100; HJTPJR = (HJTPJ/IHPBI)*100; HJTPLJR = (HJTPLJ/IHPBI)*100; HMBIR = (HMBI/IHPBI)*100; HPPGR = (HPPG/IHPBI)*100; HUREIR = (HUREI/IHKI)*100; HUREJR = (HUREJ/IHKJ)*100; HURELJR = (HURELJ/IHKLJ)*100; PDRBJR = (PDRBJ/IHKJ)*100; PDRBLJR = (PDRBLJ/IHKLJ)*100; PPPKIR = (PPPKI/IHKI)*100; TRFBR = (TRFB/IHPBI)*100; /*membuat variabel lag*/ LDSRBJ = LAG(DSRBJ); LERIR = LAG(ERIR); LHBEIR = LAG(HBEIR); LHGTTIR = LAG(HGTTIR); LHGTTJR = LAG(HGTTJR); LHGTTLJR = LAG(HGTTLJR); LHJTPJR = LAG(HJTPJR); LHJTPLJR = LAG(HJTPLJR); LHMBIR = LAG(HMBIR); LHPPGR = LAG(HPPGR); LHUREJR = LAG(HUREJR); LHURELJR = LAG(HURELJR); LIBM = LAG(IBM); LJMBI = LAG(JMBI); LJTSPLJ = LAG(JTSPLJ); LKLSI = LAG(KLSI); LKLSLJ = LAG(KLSLJ); LLAPI = LAG(LAPI); LLAPJ = LAG(LAPJ);
178
Lampiran 12
Program model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan)
LLAPLJ = LAG(LAPLJ); LLASIJ = LAG(LASIJ); LMPBJ = LAG(MPBJ); LMPBLJ = LAG(MPBLJ); LPBRI = LAG(PBRI); LPDRBJR = LAG(PDRBJR); LPDRBLJR = LAG(PDRBLJR); LPJLNI = LAG(PJLNI); LPPDI = LAG(PPDI); LPPDJ = LAG(PPDJ); LPPDLJ = LAG(PPDLJ); LPPPKIR = LAG(PPPKIR); LQDBI = LAG(QDBI); LTRFBR = LAG(TRFBR); LTSBKPK = LAG(TSBKPK); LYPPI = LAG(YPPI); LYPPLJ = LAG(YPPLJ); /*create data*/ MPBJ = HBEJR‐(HGTTJR/AK); MPBLJ = HBELJR‐(HGTTLJR/AK); MPBI = HBEIR‐(HGTTIR/AK); PPMR = TRFBR*JMBI; DEVB = HMBIR*JMBI; DSRBJ1 = DSRBJ‐LDSRBJ; ERIR1 = ERIR‐LERIR; HBEIR4 = HBEIR/HMBIR; HGTTIR1 = HGTTIR‐LHGTTIR; HGTTLJR1= HGTTLJR‐LHGTTLJR; HGTTIR2 = HGTTIR/LHGTTIR; HGTTJR4 = HGTTJR/HGTTIR; HGTTLJR4= HGTTLJR/HGTTIR; HGTTLJR8= LHGTTLJR/LHGTTIR; HGTTIR5 = HGTTIR/HUREIR; HGTTJR5 = HGTTJR/HUREJR; HGTTLJR5= HGTTLJR/HURELJR; HGTTJR6 = HGTTJR/HBEJR; HGTTLJR6= HGTTLJR/HBELJR; HGTTJR7 = LHGTTJR/LHUREJR; HGTTLJR7= LHGTTLJR/LHURELJR; HMBIR4 = HMBIR*ERIR; HPPGR1 = HPPGR‐LHPPGR; JMBI2 = JMBI/LJMBI; JPDKJ4 = JPDKJ/JPDKI; JTSPLJ2 = JTSPLJ/LJTSPLJ; KLSI1 = KLSI‐LKLSI; LAPI4 = LAPI/JPDKI; LASIJ2 = LASIJ/LLASIJ; PBRI1 = PBRI‐LPBRI; PDRBJR2 = PDRBJR/LPDRBJR; PDRBLJR2= PDRBLJR/LPDRBLJR; PJLNI1 = PJLNI‐LPJLNI; PPDI1 = PPDI‐LPPDI; PPDJ1 = PPDJ‐LPPDJ; PPDLJ1 = PPDLJ‐LPPDLJ; QDBI4 = QDBI‐QSBI; LMPBLJ = LAG(MPBLJ);
179
Lampiran 12
Program model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan)
MPBLJ1 = MPBLJ‐LMPBLJ; LMPBJ = LAG(MPBJ); MPBJ1 = MPBJ‐LMPBJ; RUN; PROC SYSLIN SIMPLE 2SLS DATA=DT_TESIS OUTEST=SYS_F; ENDOGENOUS KLSJ KLSLJ KLSI LBSJ LBSLJ LBSI LAPJ LAPLJ LAPI YPPJ YPPLJ YPPI PPDJ PPDJPK PBRJ PPDLJ PPDLJPK PBRLJ PPDI PPDIPK PBRI JMBI HMBIR QSBI JBSI TSBK TSBKPK QDBI QDBPK MPBJ MPBLJ MPBI HPPGR HGTTJR HGTTLJR HGTTIR HBEIR IBM PPPKIR PPMR DEVB; INSTRUMENTS AK CHI CHJ CHLJ DSRBJ ERIR GDPIR HBEJR HBELJR HBWR HJTPIR HUREIR HURELJR IPI IPJ IPLJ JPDKI JPDKJ JPDKLJ JTSPJ JTSPLJ JUREI JXBI LASII LASIJ LASILJ LIU LSIRI LSIRJ LSIRLJ LSNIRI LSNIRJ LSNIRLJ PCADBI PDRBJR PDRBLJR PJLNI PS T TRFBR LDSRBJ LERIR LHBEIR LHGTTIR LHGTTJR LHGTTLJR LHJTPJR LHJTPLJR LHMBIR LHPPGR LHUREJR LIBM LJMBI LJTSPLJ LKLSI LKLSLJ LLAPI LLAPJ LLAPLJ LLASIJ LMPBJ LMPBLJ LPBRI LPDRBJR LPDRBLJR LPJLNI LPPDI LPPDJ LPPDLJ LPPPKIR LQDBI LTRFBR LTSBKPK LYPPI LYPPLJ; /*Membangun Model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia*/ KONVR_JW: model KLSJ = LHGTTJR DSRBJ1 PDRBJR2 JPDKJ4 T /DW; KONVR_LJ: model KLSLJ = LHGTTLJR PDRBLJR2 LKLSLJ /DW; LAREP_JW: model LAPJ = HGTTJR6 LHJTPJR LHUREJR KLSJ IPJ LLAPJ /DW; LAREP_LJ: model LAPLJ = HGTTLJR4 LHJTPLJR HURELJR LKLSLJ IPLJ LLAPLJ /DW; LAREP_IN: model LAPI = HGTTIR2 HJTPIR HUREIR LKLSI IPI LLAPI /DW; PRODTV_J: model YPPJ = HGTTJR7 JTSPJ CHJ LASIJ2 T /DW; PRODTV_L: model YPPLJ = HGTTLJR5 JTSPLJ2 CHLJ LASILJ LYPPLJ /DW; PRODTV_I: model YPPI = HGTTIR5 JUREI CHI LASII LYPPI /DW; JML_IMPR: model JMBI = HMBIR4 LTRFBR LIBM LPBRI PCADBI LJMBI /DW; HRG_IMPR: model HMBIR = HBWR LHMBIR /DW; KTSD_KAP: model TSBKPK = HGTTIR1 LAPI4 KLSI JMBI T LTSBKPK /DW; PERM_BRS: model QDBI = HBEIR HJTPIR PPPKIR LQDBI /DW; H_BELI_P: model HPPGR = HMBIR GDPIR LERIR LHPPGR /DW; H_GBH_JW: model HGTTJR = HPPGR1 MPBJ1 PPDJ1 T LHGTTJR /DW; H_GBH_LJ: model HGTTLJR = HPPGR1 MPBLJ1 PPDLJ1 T LHGTTLJR /DW; H_GBH_IN: model HGTTIR = HPPGR MPBI PPDI1 T /DW; HRGB_ECR: model HBEIR = HGTTIR1 PBRI1 LJMBI PCADBI KLSI1 T LHBEIR /DW; INFLS_BM: model IBM = HBEIR ERIR1 QDBI4 LIU T /DW; PDPT_KAP: model PPPKIR = IBM KLSI PJLNI1 LPPPKIR /DW; /*Persamaan Identitas*/ identity KLSI = KLSJ+KLSLJ; identity LBSJ = LSIRJ+LSNIRJ‐KLSJ; identity LBSLJ = LSIRLJ+LSNIRLJ‐KLSLJ; identity LBSI = LSIRI+LSNIRI‐KLSI; identity PPDJ = PPDJ+0;
180
Lampiran 12
Program model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan)
identity PPDJPK = PPDJPK+0; identity PBRJ = PBRJ+0; identity PPDLJ = PPDLJ+0; identity PPDLJPK = PPDLJPK+0; identity PBRLJ = PBRLJ+0; identity PPDI = PPDJ+PPDLJ; identity PPDIPK = PPDIPK+0; identity PBRI = PBRI+0; identity QSBI = PBRI+JMBI+PCADBI‐JXBI; identity JBSI = JBSI+0; identity TSBK = QSBI‐JBSI; identity QDBPK = QDBPK+0; identity MPBJ = MPBJ+0; identity MPBLJ = MPBLJ+0; identity MPBI = MPBI+0; identity PPMR = PPMR+0; identity DEVB = DEVB+0; RUN;
181
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KONVR_JW Dependent Variable KLSJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.434E11 2.867E10 6.00 0.0036 Error 14 6.693E10 4.7808E9 Corrected Total 19 2.103E11 Root MSE 69143.5041 R‐Square 0.68174 Dependent Mean 42165.6875 Adj R‐Sq 0.56807 Coeff Var 163.98050 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐355972 913988.7 ‐0.39 0.7028 LHGTTJR 1 ‐57.4901 97.06588 ‐0.59 0.5631 DSRBJ1 1 25321.86 22705.74 1.12 0.2835 PDRBJR2 1 224114.2 43814.76 5.12 0.0002 JPDKJ4 1 349918.1 1582720 0.22 0.8282 T 1 2109.300 3007.526 0.70 0.4946 Durbin‐Watson 2.384944 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.19916 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KONVR_LJ Dependent Variable KLSLJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 7.733E10 2.578E10 1.54 0.2438 Error 16 2.686E11 1.679E10 Corrected Total 19 3.459E11 Root MSE 129561.049 R‐Square 0.22355 Dependent Mean 69193.5505 Adj R‐Sq 0.07796 Coeff Var 187.24440
182
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 134344.7 352678.0 0.38 0.7083 LHGTTLJR 1 ‐139.168 208.0707 ‐0.67 0.5131 PDRBLJR2 1 137839.8 70413.10 1.96 0.0680 LKLSLJ 1 0.316434 0.243348 1.30 0.2119 Durbin‐Watson 1.998567 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.00944 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LAREP_JW Dependent Variable LAPJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.084E12 1.806E11 48.80 <.0001 Error 13 4.811E10 3.7004E9 Corrected Total 19 1.132E12 Root MSE 60830.9426 R‐Square 0.95749 Dependent Mean 5624133.80 Adj R‐Sq 0.93787 Coeff Var 1.08161 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐309785 863701.2 ‐0.36 0.7256 HGTTJR6 1 21693.23 23990.94 0.90 0.3823 LHJTPJR 1 ‐70.4592 88.99989 ‐0.79 0.4428 LHUREJR 1 ‐224.238 97.93201 ‐2.29 0.0394 KLSJ 1 ‐2.00644 0.274253 ‐7.32 <.0001 IPJ 1 3358886 361798.5 9.28 <.0001 LLAPJ 1 0.084833 0.106144 0.80 0.4385 Durbin‐Watson 1.346775 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.324286
183
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LAREP_LJ Dependent Variable LAPLJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 3.05E12 5.084E11 20.91 <.0001 Error 13 3.161E11 2.432E10 Corrected Total 19 3.367E12 Root MSE 155938.338 R‐Square 0.90610 Dependent Mean 6010662.85 Adj R‐Sq 0.86276 Coeff Var 2.59436 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 179787.8 849673.6 0.21 0.8357 HGTTLJR4 1 527040.2 266429.5 1.98 0.0695 LHJTPLJR 1 ‐293.320 469.5265 ‐0.62 0.5430 HURELJR 1 ‐41.5372 141.3807 ‐0.29 0.7736 LKLSLJ 1 ‐0.61972 0.333001 ‐1.86 0.0855 IPLJ 1 2182419 761553.6 2.87 0.0133 LLAPLJ 1 0.520716 0.205330 2.54 0.0248 Durbin‐Watson 2.511318 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.3022 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model LAREP_IN Dependent Variable LAPI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 6.844E12 1.141E12 18.79 <.0001 Error 13 7.893E11 6.072E10 Corrected Total 19 7.633E12
184
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) Root MSE 246407.247 R‐Square 0.89660 Dependent Mean 11634796.7 Adj R‐Sq 0.84887 Coeff Var 2.11785 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 2886463 1226434 2.35 0.0350 HGTTIR2 1 128519.0 212631.2 0.60 0.5560 HJTPIR 1 ‐258.459 422.4059 ‐0.61 0.5512 HUREIR 1 ‐523.550 212.9565 ‐2.46 0.0288 LKLSI 1 ‐0.03105 0.357749 ‐0.09 0.9322 IPI 1 4123558 915848.3 4.50 0.0006 LLAPI 1 0.334890 0.162092 2.07 0.0594 Durbin‐Watson 2.090015 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.18791 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PRODTV_J Dependent Variable YPPJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 0.902540 0.180508 15.60 <.0001 Error 14 0.162033 0.011574 Corrected Total 19 1.064573 Root MSE 0.10758 R‐Square 0.84780 Dependent Mean 5.08045 Adj R‐Sq 0.79344 Coeff Var 2.11756 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.768283 0.716939 2.47 0.0272 HGTTJR7 1 0.044169 0.017141 2.58 0.0219 JTSPJ 1 0.018358 0.004390 4.18 0.0009 CHJ 1 0.000042 0.000069 0.62 0.5467 LASIJ2 1 0.496241 0.554075 0.90 0.3856 T 1 0.040153 0.010545 3.81 0.0019 Durbin‐Watson 1.811875 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.034253
185
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PRODTV_L Dependent Variable YPPLJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.659019 0.331804 110.50 <.0001 Error 14 0.042037 0.003003 Corrected Total 19 1.701056 Root MSE 0.05480 R‐Square 0.97529 Dependent Mean 3.62810 Adj R‐Sq 0.96646 Coeff Var 1.51033 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐0.41748 0.449716 ‐0.93 0.3690 HGTTLJR5 1 0.002647 0.007361 0.36 0.7245 JTSPLJ2 1 0.091466 0.086846 1.05 0.3101 CHLJ 1 0.000021 0.000028 0.72 0.4809 LASILJ 1 9.817E‐8 1.078E‐7 0.91 0.3780 LYPPLJ 1 1.029051 0.081347 12.65 <.0001 Durbin‐Watson 2.388479 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.2728 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PRODTV_I Dependent Variable YPPI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.486762 0.297352 121.10 <.0001 Error 14 0.034377 0.002455 Corrected Total 19 1.521139 Root MSE 0.04955 R‐Square 0.97740 Dependent Mean 3.91180 Adj R‐Sq 0.96933 Coeff Var 1.26675
186
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐0.33609 0.346195 ‐0.97 0.3481 HGTTIR5 1 0.169872 0.070143 2.42 0.0296 JUREI 1 0.003264 0.001447 2.26 0.0406 CHI 1 0.000034 0.000027 1.27 0.2261 LASII 1 5.141E‐8 6.88E‐8 0.75 0.4673 LYPPI 1 0.795749 0.103906 7.66 <.0001 Durbin‐Watson 2.434905 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.28676 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model JML_IMPR Dependent Variable JMBI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 2.145E13 3.575E12 6.01 0.0034 Error 13 7.731E12 5.947E11 Corrected Total 19 2.918E13 Root MSE 771141.516 R‐Square 0.73509 Dependent Mean 1191085.83 Adj R‐Sq 0.61282 Coeff Var 64.74273 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 10613040 4553227 2.33 0.0365 HMBIR4 1 ‐0.19927 0.107074 ‐1.86 0.0855 LTRFBR 1 ‐2745.58 1546.229 ‐1.78 0.0992 LIBM 1 36940.53 8075.820 4.57 0.0005 LPBRI 1 ‐0.26080 0.116284 ‐2.24 0.0430 PCADBI 1 ‐0.27203 0.245604 ‐1.11 0.2881 LJMBI 1 0.342685 0.169853 2.02 0.0648 Durbin‐Watson 1.843548 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.02103
187
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model HRG_IMPR Dependent Variable HMBIR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 5487695 2743847 86.96 <.0001 Error 17 536406.3 31553.31 Corrected Total 19 6024101 Root MSE 177.63252 R‐Square 0.91096 Dependent Mean 705.15799 Adj R‐Sq 0.90048 Coeff Var 25.19046 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐69.4979 164.1839 ‐0.42 0.6774 HBWR 1 0.283081 0.547462 0.52 0.6118 LHMBIR 1 0.886600 0.072269 12.27 <.0001 Durbin‐Watson 1.824853 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.037093 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KTSD_KAP Dependent Variable TSBKPK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 0.000784 0.000131 10.20 0.0003 Error 13 0.000167 0.000013 Corrected Total 19 0.000951 Root MSE 0.00358 R‐Square 0.82478 Dependent Mean 0.13883 Adj R‐Sq 0.74391 Coeff Var 2.57846
188
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐0.05191 0.030515 ‐1.70 0.1127 HGTTIR1 1 3.542E‐6 2.385E‐6 1.49 0.1613 LAPI4 1 2.843540 0.543653 5.23 0.0002 KLSI 1 ‐6.25E‐9 4.225E‐9 ‐1.48 0.1626 JMBI 1 1.195E‐9 7.93E‐10 1.51 0.1560 T 1 0.000839 0.000191 4.39 0.0007 LTSBKPK 1 0.161735 0.126906 1.27 0.2248 Durbin‐Watson 1.975919 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.04839 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PERM_BRS Dependent Variable QDBI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1.819E14 4.547E13 23.31 <.0001 Error 15 2.926E13 1.951E12 Corrected Total 19 2.111E14 Root MSE 1396745.21 R‐Square 0.86139 Dependent Mean 36427619.8 Adj R‐Sq 0.82443 Coeff Var 3.83430 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 14857950 6512376 2.28 0.0375 HBEIR 1 1996.394 1116.714 1.79 0.0940 HJTPIR 1 ‐783.449 2135.764 ‐0.37 0.7189 PPPKIR 1 0.544927 0.179690 3.03 0.0084 LQDBI 1 0.266398 0.231644 1.15 0.2681 Durbin‐Watson 1.875179 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.038902
189
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model H_BELI_P Dependent Variable HPPGR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 542748.3 135687.1 3.27 0.0407 Error 15 621945.0 41463.00 Corrected Total 19 1164693 Root MSE 203.62466 R‐Square 0.46600 Dependent Mean 1882.12415 Adj R‐Sq 0.32360 Coeff Var 10.81887 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐154.101 1185.977 ‐0.13 0.8983 HMBIR 1 0.320310 0.248738 1.29 0.2173 GDPIR 1 2.43E‐13 1.34E‐13 1.81 0.0896 LERIR 1 0.091549 0.033118 2.76 0.0145 LHPPGR 1 0.171747 0.269189 0.64 0.5331 Durbin‐Watson 2.376538 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.22529 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model H_GBH_JW Dependent Variable HGTTJR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 406049.6 81209.93 4.20 0.0153 Error 14 270447.0 19317.64 Corrected Total 19 676496.7 Root MSE 138.98793 R‐Square 0.60022 Dependent Mean 1851.68562 Adj R‐Sq 0.45745 Coeff Var 7.06047
190
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 710.8562 387.6811 1.83 0.0881 HPPGR1 1 0.141458 0.098311 1.44 0.1722 MPBJ1 1 ‐0.14566 0.054390 ‐2.68 0.0180 PPDJ1 1 ‐0.00003 0.000033 ‐0.96 0.3539 T 1 10.94736 5.871893 1.86 0.0834 LHGTTJR 1 0.582694 0.209311 2.78 0.0146 Durbin‐Watson 1.400876 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.276441 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model H_GBH_LJ Dependent Variable HGTTLJR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 319975.3 63995.05 6.07 0.0034 Error 14 147096.9 10549.78 Corrected Total 19 467672.2 Root MSE 102.71212 R‐Square 0.68419 Dependent Mean 1858.77914 Adj R‐Sq 0.57140 Coeff Var 5.52578 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 794.6585 300.1747 2.65 0.0191 HPPGR1 1 0.202055 0.084026 2.40 0.0306 MPBLJ1 1 ‐0.09855 0.037048 ‐2.66 0.0187 PPDLJ1 1 ‐5.57E‐6 0.000031 ‐0.18 0.8615 T 1 7.775002 4.424380 1.76 0.1007 LHGTTLJR 1 0.548580 0.166307 3.30 0.0053 Durbin‐Watson 2.045244 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.07733
191
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model H_GBH_IN Dependent Variable HGTTIR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1319775 329943.7 48.94 <.0001 Error 15 101117.8 6741.190 Corrected Total 19 1420893 Root MSE 82.10475 R‐Square 0.92883 Dependent Mean 1818.06805 Adj R‐Sq 0.90986 Coeff Var 4.51604 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 45.43455 221.8968 0.20 0.8405 HPPGR 1 0.896100 0.101957 8.79 <.0001 MPBI 1 ‐0.05714 0.056397 ‐1.01 0.3270 PPDI1 1 ‐8.68E‐6 0.000012 ‐0.75 0.4666 T 1 12.02786 3.382954 3.56 0.0029 Durbin‐Watson 1.620765 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.101837 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model HRGB_ECR Dependent Variable HBEIR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 2061587 294512.4 5.69 0.0044 Error 12 620816.6 51734.72 Corrected Total 19 2682403 Root MSE 227.45267 R‐Square 0.76856 Dependent Mean 3628.77742 Adj R‐Sq 0.63355 Coeff Var 6.26802
192
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 796.1589 732.8486 1.09 0.2986 HGTTIR1 1 0.584859 0.155779 3.75 0.0027 PBRI1 1 ‐0.00017 0.000073 ‐2.27 0.0425 LJMBI 1 ‐0.00010 0.000064 ‐1.57 0.1423 PCADBI 1 ‐0.00022 0.000107 ‐2.05 0.0630 KLSI1 1 0.000224 0.000202 1.11 0.2891 LHBEIR 1 0.804307 0.234755 3.43 0.0050 Durbin‐Watson 1.103375 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation 0.40749 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model INFLS_BM Dependent Variable IBM Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 11655.96 2331.192 81.68 <.0001 Error 14 399.5680 28.54057 Corrected Total 19 12055.53 Root MSE 5.34234 R‐Square 0.96686 Dependent Mean 14.47500 Adj R‐Sq 0.95502 Coeff Var 36.90734 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐22.9308 22.67678 ‐1.01 0.3291 HBEIR 1 0.005079 0.004600 1.10 0.2881 ERIR1 1 0.004903 0.000660 7.42 <.0001 QDBI4 1 1.938E‐6 8.47E‐6 0.23 0.8223 LIU 1 1.089929 0.174371 6.25 <.0001 T 1 0.095121 0.403775 0.24 0.8172 Durbin‐Watson 2.305047 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.23537
193
Lampiran 13 Hasil pendugaan model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia dengan metode 2-SLS (lanjutan) The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PDPT_KAP Dependent Variable PPPKIR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 2.451E14 6.128E13 275.58 <.0001 Error 15 3.336E12 2.224E11 Corrected Total 19 2.485E14 Root MSE 471574.232 R‐Square 0.98658 Dependent Mean 10925187.2 Adj R‐Sq 0.98300 Coeff Var 4.31639 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐58064.6 362016.6 ‐0.16 0.8747 IBM 1 ‐8483.53 4374.572 ‐1.94 0.0715 KLSI 1 ‐0.60487 0.542756 ‐1.11 0.2826 PJLNI1 1 1.063254 8.138308 0.13 0.8978 LPPPKIR 1 1.084921 0.033896 32.01 <.0001 Durbin‐Watson 2.302332 Number of Observations 20 First‐Order Autocorrelation ‐0.15977
194
Lampiran 14 Program multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia
PROC REG DATA=DT_TESIS; KONVR_JW: model KLSJ = LHGTTJR DSRBJ1 PDRBJR2 JPDKJ4 T /VIF; KONVR_LJ: model KLSLJ = LHGTTLJR PDRBLJR2 LKLSLJ /VIF; LAREP_JW: model LAPJ = HGTTJR6 LHJTPJR LHUREJR KLSJ IPJ LLAPJ /VIF; LAREP_LJ: model LAPLJ = HGTTLJR4 LHJTPLJR HURELJR LKLSLJ IPLJ LLAPLJ /VIF; LAREP_IN: model LAPI = HGTTIR2 HJTPIR HUREIR LKLSI IPI LLAPI /VIF; PRODTV_J: model YPPJ = HGTTJR7 JTSPJ CHJ LASIJ2 T /VIF; PRODTV_L: model YPPLJ = HGTTLJR5 JTSPLJ2 CHLJ LASILJ LYPPLJ /VIF; PRODTV_I: model YPPI = HGTTIR5 JUREI CHI LASII LYPPI /VIF; JML_IMPR: model JMBI = HMBIR4 LTRFBR LIBM LPBRI PCADBI LJMBI /VIF; HRG_IMPR: model HMBIR = HBWR LHMBIR /VIF; PERM_BRS: model QDBI = HBEIR HJTPIR PPPKIR LQDBI /VIF; KTSD_KAP: model TSBKPK = HGTTIR1 LAPI4 KLSI JMBI T LTSBKPK /VIF; H_BELI_P: model HPPGR = HMBIR LERIR GDPIR LHPPGR /VIF; H_GBH_JW: model HGTTJR = HPPGR1 MPBJ1 PPDJ1 T LHGTTJR /VIF; H_GBH_LJ: model HGTTLJR= HPPGR1 MPBLJ1 PPDLJ1 T LHGTTLJR /VIF; H_GBH_IN: model HGTTIR = HPPGR MPBI PPDI1 T /VIF; HRGB_ECR: model HBEIR = HGTTIR1 PBRI1 LJMBI PCADBI KLSI1 T LHBEIR /VIF; INFLS_BM: model IBM = HBEIR ERIR1 QDBI4 LIU T /VIF; PDPT_KAP: model PPPKIR = IBM KLSI PJLNI1 LPPPKIR /VIF; RUN;
195
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia The SAS System The REG Procedure Model: KONVR_JW Dependent Variable: KLSJ Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.433678E11 28673552212 6.00 0.0036 Error 14 66931538286 4780824163 Corrected Total 19 2.102993E11 Root MSE 69144 R‐Square 0.6817 Dependent Mean 42166 Adj R‐Sq 0.5681 Coeff Var 163.98050 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐355972 913989 ‐0.39 0.7028 0 LHGTTJR 1 ‐57.49009 97.06588 ‐0.59 0.5631 1.31332 DSRBJ1 1 25322 22706 1.12 0.2835 1.10492 PDRBJR2 1 224114 43815 5.12 0.0002 1.20796 JPDKJ4 1 349918 1582720 0.22 0.8282 1.28250 T 1 2109.30036 3007.52565 0.70 0.4946 1.25816 The SAS System The REG Procedure Model: KONVR_LJ Dependent Variable: KLSLJ Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 77326109207 25775369736 1.54 0.2438 Error 16 2.68577E11 16786065325 Corrected Total 19 3.459032E11 Root MSE 129561 R‐Square 0.2235 Dependent Mean 69194 Adj R‐Sq 0.0780 Coeff Var 187.24440
196
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 134345 352678 0.38 0.7083 0 LHGTTLJR 1 ‐139.16787 208.07071 ‐0.67 0.5131 1.33697 PDRBLJR2 1 137840 70413 1.96 0.0680 1.19428 LKLSLJ 1 0.31643 0.24335 1.30 0.2119 1.23628 The SAS System The REG Procedure Model: LAREP_JW Dependent Variable: LAPJ Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.083551E12 1.805918E11 48.80 <.0001 Error 13 48105246450 3700403573 Corrected Total 19 1.131656E12 Root MSE 60831 R‐Square 0.9575 Dependent Mean 5624134 Adj R‐Sq 0.9379 Coeff Var 1.08161 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐309785 863701 ‐0.36 0.7256 0 HGTTJR6 1 21693 23991 0.90 0.3823 6.39217 LHJTPJR 1 ‐70.45919 88.99989 ‐0.79 0.4428 2.39517 LHUREJR 1 ‐224.23809 97.93201 ‐2.29 0.0394 9.18205 KLSJ 1 ‐2.00644 0.27425 ‐7.32 <.0001 4.27455 IPJ 1 3358886 361799 9.28 <.0001 9.97601 LLAPJ 1 0.08483 0.10614 0.80 0.4385 2.76040 The SAS System The REG Procedure Model: LAREP_LJ Dependent Variable: LAPLJ Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1
197
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 3.050482E12 5.084136E11 20.91 <.0001 Error 13 3.161179E11 24316765254 Corrected Total 19 3.3666E12 Root MSE 155938 R‐Square 0.9061 Dependent Mean 6010663 Adj R‐Sq 0.8628 Coeff Var 2.59436 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 179788 849674 0.21 0.8357 0 HGTTLJR4 1 527040 266429 1.98 0.0695 1.82992 LHJTPLJR 1 ‐293.32013 469.52649 ‐0.62 0.5430 3.05904 HURELJR 1 ‐41.53716 141.38068 ‐0.29 0.7736 3.80997 LKLSLJ 1 ‐0.61972 0.33300 ‐1.86 0.0855 1.59808 IPLJ 1 2182419 761554 2.87 0.0133 6.72796 LLAPLJ 1 0.52072 0.20533 2.54 0.0248 6.49318 The SAS System The REG Procedure Model: LAREP_IN Dependent Variable: LAPI Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 6.843951E12 1.140659E12 18.79 <.0001 Error 13 7.893149E11 60716531213 Corrected Total 19 7.633266E12 Root MSE 246407 R‐Square 0.8966 Dependent Mean 11634797 Adj R‐Sq 0.8489 Coeff Var 2.11785 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 2886463 1226434 2.35 0.0350 0 HGTTIR2 1 128519 212631 0.60 0.5560 1.48293 HJTPIR 1 ‐258.45858 422.40587 ‐0.61 0.5512 1.55658 HUREIR 1 ‐523.55018 212.95652 ‐2.46 0.0288 1.72232 LKLSI 1 ‐0.03105 0.35775 ‐0.09 0.9322 1.75324 IPI 1 4123558 915848 4.50 0.0006 3.49299 LLAPI 1 0.33489 0.16209 2.07 0.0594 3.21512
198
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) The SAS System The REG Procedure Model: PRODTV_J Dependent Variable: YPPJ Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 0.90254 0.18051 15.60 <.0001 Error 14 0.16203 0.01157 Corrected Total 19 1.06457 Root MSE 0.10758 R‐Square 0.8478 Dependent Mean 5.08045 Adj R‐Sq 0.7934 Coeff Var 2.11756 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 1.76828 0.71694 2.47 0.0272 0 HGTTJR7 1 0.04417 0.01714 2.58 0.0219 5.86991 JTSPJ 1 0.01836 0.00439 4.18 0.0009 1.55800 CHJ 1 0.00004239 0.00006863 0.62 0.5467 1.21239 LASIJ2 1 0.49624 0.55407 0.90 0.3856 1.07681 T 1 0.04015 0.01055 3.81 0.0019 6.38913 The SAS System The REG Procedure Model: PRODTV_L Dependent Variable: YPPLJ Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.65902 0.33180 110.50 <.0001 Error 14 0.04204 0.00300 Corrected Total 19 1.70106 Root MSE 0.05480 R‐Square 0.9753 Dependent Mean 3.62810 Adj R‐Sq 0.9665 Coeff Var 1.51033
199
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐0.41748 0.44972 ‐0.93 0.3690 0 HGTTLJR5 1 0.00265 0.00736 0.36 0.7245 4.12878 JTSPLJ2 1 0.09147 0.08685 1.05 0.3101 1.26828 CHLJ 1 0.00002054 0.00002836 0.72 0.4809 1.68188 LASILJ 1 9.817297E‐8 1.078335E‐7 0.91 0.3780 2.57422 LYPPLJ 1 1.02905 0.08135 12.65 <.0001 3.26370 The SAS System The REG Procedure Model: PRODTV_I Dependent Variable: YPPI Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.48676 0.29735 121.10 <.0001 Error 14 0.03438 0.00246 Corrected Total 19 1.52114 Root MSE 0.04955 R‐Square 0.9774 Dependent Mean 3.91180 Adj R‐Sq 0.9693 Coeff Var 1.26675 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐0.33609 0.34620 ‐0.97 0.3481 0 HGTTIR5 1 0.16987 0.07014 2.42 0.0296 1.70083 JUREI 1 0.00326 0.00145 2.26 0.0406 5.96865 CHI 1 0.00003417 0.00002699 1.27 0.2261 1.44782 LASII 1 5.14117E‐8 6.880177E‐8 0.75 0.4673 1.39520 LYPPI 1 0.79575 0.10391 7.66 <.0001 5.70573 The SAS System The REG Procedure Model: JML_IMPR Dependent Variable: JMBI Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 2.145079E13 3.575131E12 6.01 0.0034 Error 13 7.73057E12 5.946592E11 Corrected Total 19 2.918136E13
200
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) Root MSE 771142 R‐Square 0.7351 Dependent Mean 1191086 Adj R‐Sq 0.6128 Coeff Var 64.74273 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 10613040 4553227 2.33 0.0365 0 HMBIR4 1 ‐0.19927 0.10707 ‐1.86 0.0855 9.11883 LTRFBR 1 ‐2745.57807 1546.22869 ‐1.78 0.0992 6.22949 LIBM 1 36941 8075.81968 4.57 0.0005 1.32780 LPBRI 1 ‐0.26080 0.11628 ‐2.24 0.0430 3.61279 PCADBI 1 ‐0.27203 0.24560 ‐1.11 0.2881 1.11048 LJMBI 1 0.34269 0.16985 2.02 0.0648 1.46567 The SAS System The REG Procedure Model: HRG_IMPR Dependent Variable: HMBIR Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 5487695 2743847 86.96 <.0001 Error 17 536406 31553 Corrected Total 19 6024101 Root MSE 177.63252 R‐Square 0.9110 Dependent Mean 705.15799 Adj R‐Sq 0.9005 Coeff Var 25.19046 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐69.49795 164.18386 ‐0.42 0.6774 0 HBWR 1 0.28308 0.54746 0.52 0.6118 1.12235 LHMBIR 1 0.88660 0.07227 12.27 <.0001 1.12235 The SAS System The REG Procedure Model: PERM_BRS Dependent Variable: QDBI Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1
201
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1.818631E14 4.546578E13 23.31 <.0001 Error 15 2.926346E13 1.950897E12 Corrected Total 19 2.111266E14 Root MSE 1396745 R‐Square 0.8614 Dependent Mean 36427620 Adj R‐Sq 0.8244 Coeff Var 3.83430 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 14857950 6512376 2.28 0.0375 0 HBEIR 1 1996.39374 1116.71406 1.79 0.0940 1.71464 HJTPIR 1 ‐783.44930 2135.76389 ‐0.37 0.7189 1.23849 PPPKIR 1 0.54493 0.17969 3.03 0.0084 4.11237 LQDBI 1 0.26640 0.23164 1.15 0.2681 5.00877 The SAS System The REG Procedure Model: KTSD_KAP Dependent Variable: TSBKPK Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 0.00078409 0.00013068 10.20 0.0003 Error 13 0.00016658 0.00001281 Corrected Total 19 0.00095067 Root MSE 0.00358 R‐Square 0.8248 Dependent Mean 0.13883 Adj R‐Sq 0.7439 Coeff Var 2.57846 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐0.05191 0.03052 ‐1.70 0.1127 0 HGTTIR1 1 0.00000354 0.00000239 1.49 0.1613 1.22333 LAPI4 1 2.84354 0.54365 5.23 0.0002 2.29481 KLSI 1 ‐6.25478E‐9 4.224631E‐9 ‐1.48 0.1626 1.15172 JMBI 1 1.194569E‐9 7.93274E‐10 1.51 0.1560 1.43311 T 1 0.00083864 0.00019097 4.39 0.0007 1.89270 LTSBKPK 1 0.16174 0.12691 1.27 0.2248 1.12601
202
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) The SAS System The REG Procedure Model: H_BELI_P Dependent Variable: HPPGR Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 542748 135687 3.27 0.0407 Error 15 621945 41463 Corrected Total 19 1164693 Root MSE 203.62466 R‐Square 0.4660 Dependent Mean 1882.12415 Adj R‐Sq 0.3236 Coeff Var 10.81887 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐154.10072 1185.97704 ‐0.13 0.8983 0 HMBIR 1 0.32031 0.24874 1.29 0.2173 8.98906 LERIR 1 0.09155 0.03312 2.76 0.0145 4.04950 GDPIR 1 2.43398E‐13 1.34118E‐13 1.81 0.0896 7.37862 LHPPGR 1 0.17175 0.26919 0.64 0.5331 2.14021 The SAS System The REG Procedure Model: H_GBH_JW Dependent Variable: HGTTJR Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 406050 81210 4.20 0.0153 Error 14 270447 19318 Corrected Total 19 676497 Root MSE 138.98793 R‐Square 0.6002 Dependent Mean 1851.68562 Adj R‐Sq 0.4574 Coeff Var 7.50602 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 710.85616 387.68109 1.83 0.0881 0 HPPGR1 1 0.14146 0.09831 1.44 0.1722 1.38820 MPBJ1 1 ‐0.14566 0.05439 ‐2.68 0.0180 2.25642 PPDJ1 1 ‐0.00003188 0.00003325 ‐0.96 0.3539 1.28996
203
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan)
T 1 10.94736 5.87189 1.86 0.0834 1.18693 LHGTTJR 1 0.58269 0.20931 2.78 0.0146 1.51138 The SAS System The REG Procedure Model: H_GBH_LJ Dependent Variable: HGTTLJR Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 319975 63995 6.07 0.0034 Error 14 147697 10550 Corrected Total 19 467672 Root MSE 102.71212 R‐Square 0.6842 Dependent Mean 1858.77914 Adj R‐Sq 0.5714 Coeff Var 5.52578 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 794.65846 300.17469 2.65 0.0191 0 HPPGR1 1 0.20205 0.08403 2.40 0.0306 1.85692 MPBLJ1 1 ‐0.09855 0.03705 ‐2.66 0.0187 1.87824 PPDLJ1 1 ‐0.00000557 0.00003134 ‐0.18 0.8615 1.24380 T 1 7.77500 4.42438 1.76 0.1007 1.23391 LHGTTLJR 1 0.54858 0.16631 3.30 0.0053 1.35902 The SAS System The REG Procedure Model: H_GBH_IN Dependent Variable: HGTTIR Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1319775 329944 48.94 <.0001 Error 15 101118 6741.18966 Corrected Total 19 1420893 Root MSE 82.10475 R‐Square 0.9288 Dependent Mean 1818.06805 Adj R‐Sq 0.9099 Coeff Var 4.51604
204
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 45.43455 221.89678 0.20 0.8405 0 HPPGR 1 0.89610 0.10196 8.79 <.0001 1.79602 MPBI 1 ‐0.05714 0.05640 ‐1.01 0.3270 1.76348 PPDI1 1 ‐0.00000868 0.00001163 ‐0.75 0.4666 1.07271 T 1 12.02786 3.38295 3.56 0.0029 1.12896 The SAS System The REG Procedure Model: HRGB_ECR Dependent Variable: HBEIR Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 2061587 294512 5.69 0.0044 Error 12 620817 51735 Corrected Total 19 2682403 Root MSE 227.45267 R‐Square 0.7686 Dependent Mean 3628.77742 Adj R‐Sq 0.6336 Coeff Var 6.26802 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 796.15892 732.84865 1.09 0.2986 0 HGTTIR1 1 0.58486 0.15578 3.75 0.0027 1.29255 PBRI1 1 ‐0.00016645 0.00007335 ‐2.27 0.0425 2.66398 LJMBI 1 ‐0.00009995 0.00006364 ‐1.57 0.1423 2.36473 PCADBI 1 ‐0.00022000 0.00010740 ‐2.05 0.0630 2.44064 KLSI1 1 0.00022422 0.00020217 1.11 0.2891 1.34504 T 1 10.46549 10.86893 0.96 0.3546 1.51849 LHBEIR 1 0.80431 0.23475 3.43 0.0050 2.67105 The SAS System The REG Procedure Model: INFLS_BM Dependent Variable: IBM Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1
205
Lampiran 15 Hasil multikolinieritas model Ketersediaan dan Akses Pangan di Indonesia (lanjutan) Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 11656 2331.19243 81.68 <.0001 Error 14 399.56795 28.54057 Corrected Total 19 12056 Root MSE 5.34234 R‐Square 0.9669 Dependent Mean 14.47500 Adj R‐Sq 0.9550 Coeff Var 36.90734 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐22.93085 22.67678 ‐1.01 0.3291 0 HBEIR 1 0.00508 0.00460 1.10 0.2881 1.98863 ERIR1 1 0.00490 0.00066046 7.42 <.0001 2.42541 QDBI4 1 0.00000194 0.00000847 0.23 0.8223 4.38624 LIU 1 1.08993 0.17437 6.25 <.0001 2.75490 T 1 0.09512 0.40377 0.24 0.8172 3.79872 The SAS System The REG Procedure Model: PDPT_KAP Dependent Variable: PPPKIR Number of Observations Read 21 Number of Observations Used 20 Number of Observations with Missing Values 1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 2.45137E14 6.128424E13 275.58 <.0001 Error 15 3.335734E12 2.223823E11 Corrected Total 19 2.484727E14 Root MSE 471574 R‐Square 0.9866 Dependent Mean 10925187 Adj R‐Sq 0.9830 Coeff Var 4.31639 Parameter Estimates Parameter Standard Variance Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Inflation Intercept 1 ‐58065 362017 ‐0.16 0.8747 0 IBM 1 ‐8483.53368 4374.57250 ‐1.94 0.0715 1.03743 KLSI 1 ‐0.60487 0.54276 ‐1.11 0.2826 1.09535 PJLNI1 1 1.06325 8.13831 0.13 0.8978 1.12198 LPPPKIR 1 1.08492 0.03390 32.01 <.0001 1.07356
206
Lampiran 16 Program validasi model dan simulasi dasar PROC SIMNLIN DATA=DT_TESIS DYNAMIC SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=SIMD_FIX; ENDOGENOUS KLSJ KLSLJ KLSI LBSJ LBSLJ LBSI LAPJ LAPLJ LAPI YPPJ YPPLJ YPPI PPDJ PPDJPK PBRJ PPDLJ PPDLJPK PBRLJ PPDI PPDIPK PBRI JMBI HMBIR QSBI JBSI TSBK TSBKPK QDBI QDBPK MPBJ MPBLJ MPBI HPPGR HGTTJR HGTTLJR HGTTIR HBEIR IBM PPPKIR PPMR DEVB; INSTRUMENTS AK CHI CHJ CHLJ DSRBJ ERIR GDPIR HBEJR HBELJR HBWR HJTPIR HUREIR HURELJR IPI IPJ IPLJ JPDKI JPDKJ JPDKLJ JTSPJ JTSPLJ JUREI JXBI LASII LASIJ LASILJ LIU LSIRI LSIRJ LSIRLJ LSNIRI LSNIRJ LSNIRLJ PCADBI PDRBJR PDRBLJR PJLNI PS T TRFBR; LDSRBJ = LAG(DSRBJ); LERIR = LAG(ERIR); LHBEIR = LAG(HBEIR); LHGTTIR = LAG(HGTTIR); LHGTTJR = LAG(HGTTJR); LHGTTLJR = LAG(HGTTLJR); LHJTPJR = LAG(HJTPJR); LHJTPLJR = LAG(HJTPLJR); LHMBIR = LAG(HMBIR); LHPPGR = LAG(HPPGR); LHUREJR = LAG(HUREJR); LHURELJR = LAG(HURELJR); LIBM = LAG(IBM); LJMBI = LAG(JMBI); LJTSPLJ = LAG(JTSPLJ); LKLSI = LAG(KLSI); LKLSLJ = LAG(KLSLJ); LLAPI = LAG(LAPI); LLAPJ = LAG(LAPJ); LLAPLJ = LAG(LAPLJ); LLASIJ = LAG(LASIJ); LMPBJ = LAG(MPBJ); LMPBLJ = LAG(MPBLJ); LPBRI = LAG(PBRI); LPDRBJR = LAG(PDRBJR); LPDRBLJR = LAG(PDRBLJR); LPJLNI = LAG(PJLNI); LPPDI = LAG(PPDI); LPPDJ = LAG(PPDJ); LPPDLJ = LAG(PPDLJ); LPPPKIR = LAG(PPPKIR); LQDBI = LAG(QDBI); LTRFBR = LAG(TRFBR); LTSBKPK = LAG(TSBKPK); LYPPI = LAG(YPPI); LYPPLJ = LAG(YPPLJ);
207
Lampiran 16 Program validasi model dan simulasi dasar (lanjutan) PARM A0 ‐355972 A1 ‐57.4901 A2 25321.86 A3 224114.2 A4 349918.1 A5 2109.3 B0 134344.7 B1 ‐139.168 B2 137839.8 B3 0.316434 C0 ‐309785 C1 21693.23 C2 ‐70.4592 C3 ‐224.238 C4 ‐2.00644 C5 3358886 C6 0.084833 D0 179787.8 D1 527040.2 D2 ‐293.32 D3 ‐41.5372 D4 ‐0.61972 D5 2182419 D6 0.520716 E0 2886463 E1 128519 E2 ‐258.459 E3 ‐523.55 E4 ‐0.03105 E5 4123558 E6 0.33489 F0 1.768283 F1 0.044169 F2 0.018358 F3 0.000042 F4 0.496241 F5 0.040153 G0 ‐0.41748 G1 0.002647 G2 0.091466 G3 0.000021 G4 9.82E‐08 G5 1.029051 H0 ‐0.33609 H1 0.169872 H2 0.003264 H3 0.000034 H4 5.14E‐08 H5 0.795749 I0 10613040 I1 ‐0.19927 I2 ‐2745.58 I3 36940.53 I4 ‐0.2608 I5 ‐0.27203 I6 0.342685 J0 ‐69.4979 J1 0.283081 J2 0.8866 K0 ‐0.05191 K1 3.54E‐06 K2 2.84354 K3 ‐6.25E‐09 K4 1.20E‐09 K5 0.000839 K6 0.161735 L0 14857950 L1 1996.394 L2 ‐783.449 L3 0.544927 L4 0.266398 M0 ‐154.101 M1 0.32031 M2 2.43E‐13 M3 0.091549 M4 0.171747 N0 710.8562 N1 0.141458 N2 ‐0.14566 N3 ‐0.00003 N4 10.94736 N5 0.582694 O0 794.6585 O1 0.202055 O2 ‐0.09855 O3 ‐5.57E‐06 O4 7.775002 O5 0.54858 P0 45.43455 P1 0.8961 P2 ‐0.05714 P3 ‐8.68E‐06 P4 12.02786 Q0 796.1589 Q1 0.584859 Q2 ‐0.00017 Q3 ‐0.0001 Q4 ‐0.00022 Q5 0.000224 Q6 10.46549 Q7 0.804307 R0 ‐22.9308 R1 0.005079 R2 0.004903 R3 1.94E‐06 R4 1.089929 R5 0.095121 S0 ‐58064.6 S1 ‐8483.53 S2 ‐0.60487 S3 1.063254 S4 1.084921 ; KLSJ = A0 + A1*LHGTTJR + A2*(DSRBJ‐LDSRBJ) + A3*(PDRBJR/LPDRBJR) + A4*(JPDKJ/JPDKI) + A5*T; KLSLJ = B0 + B1*LHGTTLJR + B2*(PDRBLJR/LPDRBLJR) + B3*LKLSLJ; LAPJ = C0 + C1*(HGTTJR/HBEJR) + C2*LHJTPJR + C3*LHUREJR + C4*KLSJ + C5*IPJ + C6*LLAPJ; LAPLJ = D0 + D1*(HGTTLJR/HGTTIR) + D2*LHJTPLJR + D3*HURELJR + D4*LKLSLJ + D5*IPLJ + D6*LLAPLJ; LAPI = E0 + E1*(HGTTIR/LHGTTIR) + E2*HJTPIR + E3*HUREIR + E4*LKLSI + E5*IPI + E6*LLAPI; YPPJ = F0 + F1*(LHGTTJR/LHUREJR) + F2*JTSPJ + F3*CHJ + F4*(LASIJ/LLASIJ) + F5*T; YPPLJ = G0 + G1*(HGTTLJR/HURELJR) + G2*(JTSPLJ/LJTSPLJ) + G3*CHLJ + G4*LASILJ + G5*LYPPLJ; YPPI = H0 + H1*(HGTTIR/HUREIR) + H2*JUREI + H3*CHI + H4*LASII + H5*LYPPI; JMBI = I0 + I1*(HMBIR*ERIR) + I2*LTRFBR + I3*LIBM + I4*LPBRI + I5*PCADBI + I6*LJMBI; HMBIR = J0 + J1*HBWR + J2*LHMBIR; TSBKPK = K0 + K1*(HGTTIR‐LHGTTIR) + K2*(LAPI/JPDKI) + K3*KLSI + K4*JMBI + K5*T + K6*LTSBKPK; QDBI = L0 + L1*HBEIR + L2*HJTPIR + L3*PPPKIR + L4*LQDBI; HPPGR = M0 + M1*HMBIR + M2*GDPIR + M3*LERIR + M4*LHPPGR; HGTTJR = N0 + N1*(HPPGR‐LHPPGR) + N2*(MPBJ‐LMPBJ) + N3*(PPDJ‐LPPDJ) + N4*T + N5*LHGTTJR;
208
Lampiran 16 Program validasi model dan simulasi dasar (lanjutan) HGTTLJR = O0 + O1*(HPPGR‐LHPPGR) + O2*(MPBLJ‐LMPBLJ) + O3*(PPDLJ‐LPPDLJ) + O4*T + O5*LHGTTLJR; HGTTIR = P0 + P1*HPPGR + P2*MPBI + P3*(PPDI‐LPPDI) + P4*T; HBEIR = Q0 + Q1*(HGTTIR‐LHGTTIR) + Q2*(PBRI‐LPBRI) + Q3*LJMBI + Q4*PCADBI + Q5*(KLSI‐LKLSI) + Q6*T + Q7*LHBEIR; IBM = R0 + R1*HBEIR + R2*(ERIR‐LERIR) + R3*(QDBI‐QSBI) + R4*LIU + R5*T; PPPKIR = S0 + S1*IBM + S2*KLSI + S3*(PJLNI‐LPJLNI) + S4*LPPPKIR; KLSI = KLSJ+KLSLJ; LBSJ = LSIRJ+LSNIRJ‐KLSJ; LBSLJ = LSIRLJ+LSNIRLJ‐KLSLJ; LBSI = LSIRI+LSNIRI‐KLSI; PPDJ = LAPJ*YPPJ; PPDJPK = PPDJ/JPDKJ; PBRJ = PPDJ*AK; PPDLJ = LAPLJ*YPPLJ; PPDLJPK = PPDLJ/JPDKLJ; PBRLJ = PPDLJ*AK; PPDI = PPDJ+PPDLJ; PPDIPK = PPDI/JPDKI; PBRI = PPDI*AK; QSBI = PBRI+JMBI+PCADBI‐JXBI; JBSI = QSBI*PS; TSBK = QSBI‐JBSI; QDBPK = QDBI/JPDKI; MPBJ = HBEJR‐(HGTTJR/AK); MPBLJ = HBELJR‐(HGTTLJR/AK); MPBI = HBEIR‐(HGTTIR/AK); PPMR = TRFBR*JMBI; DEVB = HMBIR*JMBI; RUN;
209
Lampiran 17 Hasil validasi model dan simulasi dasar The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
41 41 112 41 77 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= DT_TESIS OUT= SIMD_FIX Solution Summary Variables Solved 41 Simulation Lag Length 1 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 1.064E‐9 Maximum Iterations 7 Total Iterations 46 Average Iterations 2.3 Observations Processed Read Lagged Solved First Last
21 1 20 2 21
210
Lampiran 17 Hasil validasi model dan simulasi dasar (lanjutan) The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev KLSJ 20 20 42165.7 105206 41071.7 87303.4 KLSLJ 20 20 69193.6 134927 67637.1 60574.0 KLSI 20 20 111359 208615 108709 144214 LBSJ 20 20 3255126 227092 3256220 201064 LBSLJ 20 20 4754008 331084 4755565 261813 LBSI 20 20 8009134 470979 8011785 390244 LAPJ 20 20 5624134 244051 5579515 246620 LAPLJ 20 20 6010663 420939 5999432 386406 LAPI 20 20 11634797 633838 11628888 593150 YPPJ 20 20 5.0804 0.2367 5.0307 0.2403 YPPLJ 20 20 3.6281 0.2992 3.6173 0.2936 YPPI 20 20 3.9118 0.2829 3.9055 0.2611 PPDJ 20 20 28602913 2318476 28096566 2263859 PPDJPK 20 20 0.2331 0.0103 0.2289 0.00849 PBRJ 20 20 18181577 1360364 17857124 1294329 PPDLJ 20 20 21910014 3259830 21801577 3118338 PPDLJPK 20 20 0.2505 0.0207 0.2492 0.0176 PBRLJ 20 20 13915943 1947831 13845612 1844694 PPDI 20 20 50512927 5470825 49898144 5242272 PPDIPK 20 20 0.2403 0.0123 0.2373 0.00922 PBRI 20 20 32097520 3217958 31702737 3030960 JMBI 20 20 1191086 1239299 1298339 1023317 HMBIR 20 20 705.2 563.1 701.1 404.5 QSBI 20 20 33116018 3030414 32828488 2855800 JBSI 20 20 3973922 363650 3939419 342696 TSBK 20 20 29142096 2666764 28889069 2513104 TSBKPK 20 20 0.1388 0.00707 0.1390 0.00512 QDBI 20 20 36427620 3333455 36538353 3513625 QDBPK 20 20 0.1735 0.00884 0.1739 0.00631 MPBJ 20 20 ‐506.6 2094.7 ‐525.7 2105.5 MPBLJ 20 20 ‐390.2 2293.3 ‐400.8 2266.0 MPBI 20 20 767.2 443.5 784.0 421.3 HPPGR 20 20 1882.1 247.6 1878.4 242.4 HGTTJR 20 20 1851.7 188.7 1863.1 126.0 HGTTLJR 20 20 1858.8 156.9 1865.1 101.9 HGTTIR 20 20 1818.1 273.5 1814.3 265.4 HBEIR 20 20 3628.8 375.7 3641.1 331.6 IBM 20 20 14.4750 25.1893 15.3152 24.1689 PPPKIR 20 20 10925187 3616284 11013884 3736313 PPMR 20 20 5.0894E8 8.9949E8 2.8981E8 5.8184E8 DEVB 20 20 7.9936E8 1.104E9 1.0396E9 1.0703E9
211
Lampiran 17 Hasil validasi model dan simulasi dasar (lanjutan) The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R‐Square KLSJ 20 ‐1094.0 1.5755E9 41456.6 1.6248E9 60128.3 3.964E9 0.6562 KLSLJ 20 ‐1556.5 3.2656E9 81564.2 3.2656E9 122021 5.2691E9 0.1391 KLSI 20 ‐2650.4 1.3384E9 108733 1.3434E9 153156 3.5403E9 0.4326 LBSJ 20 1094.0 0.1160 41456.6 1.3327 60128.3 1.9771 0.9262 LBSLJ 20 1556.5 0.1601 81564.2 1.7884 122021 2.7961 0.8570 LBSI 20 2650.4 0.1074 108733 1.3980 153156 1.9891 0.8887 LAPJ 20 ‐44619.2 ‐0.7688 101792 1.7803 142106 2.4793 0.6431 LAPLJ 20 ‐11230.4 ‐0.1073 132608 2.2231 173881 2.9326 0.8204 LAPI 20 ‐5908.4 ‐0.0147 159727 1.3964 202504 1.8045 0.8926 YPPJ 20 ‐0.0498 ‐0.9632 0.0908 1.8003 0.1136 2.2608 0.7574 YPPLJ 20 ‐0.0108 ‐0.2842 0.0386 1.0621 0.0452 1.2481 0.9760 YPPI 20 ‐0.00634 ‐0.1168 0.0459 1.1744 0.0562 1.4400 0.9584 PPDJ 20 ‐506346 ‐1.7302 780276 2.6904 997963 3.3860 0.8050 PPDJPK 20 ‐0.00420 ‐1.7302 0.00637 2.6904 0.00806 3.3860 0.3599 PBRJ 20 ‐324452 ‐1.7302 497028 2.6904 635239 3.3860 0.7705 PPDLJ 20 ‐108437 ‐0.3901 531218 2.4024 714012 3.2306 0.9495 PPDLJPK 20 ‐0.00134 ‐0.3901 0.00594 2.4024 0.00784 3.2306 0.8489 PBR 20 ‐70330.6 ‐0.3901 337213 2.402 452481 3.2306 0.9432 PPDI 20 ‐614783 ‐1.1673 1197250 2.3329 1474496 2.8064 0.9235 PPDIPK 20 ‐0.00301 ‐1.1673 0.00566 2.3329 0.00687 2.8064 0.6730 PBRI 20 ‐394783 ‐1.1673 761737 2.3329 936980 2.8064 0.9108 JMBI 20 107253 459.1 1082531 519.6 1210418 1589.4 ‐.0041 HMBIR 20 ‐4.0948 20.0082 176.2 32.7222 217.0 43.3095 0.8437 QSBI 20 ‐287530 ‐0.7724 934677 2.8260 1145814 3.4638 0.8495 JBSI 20 ‐34503.6 ‐0.7724 112161 2.8260 137498 3.4638 0.8495 TSBK 20 ‐253027 ‐0.7724 822516 2.8260 1008316 3.4638 0.8495 TSBKPK 20 0.000131 0.2027 0.00368 2.6569 0.00442 3.2040 0.5890 QDBI 20 110734 0.3966 1460345 4.0161 1878071 5.1137 0.6659 QDBPK 20 0.000356 0.3966 0.00700 4.016 0.00901 5.1137 ‐.0942 MPBJ 20 ‐19.0807 6.7892 238.5 17.0407 298.0 25.2650 0.9787 MPBLJ 20 ‐10.6258 3.1903 164.4 10.4786 188.6 13.2243 0.9929 MPBI 20 16.8220 15.1151 425.5 63.5733 542.0 74.5399 ‐.5719 HPPGR 20 ‐3.6767 0.7925 166.4 9.5535 204.7 13.2208 0.2805 HGTTJR 20 11.4275 1.4582 151.6 8.4218 189.2 10.9928 ‐.0578 HGTTLJR 20 6.3491 0.7535 104.6 5.6922 120.2 6.5366 0.3821 HGTTIR 20 ‐3.7387 0.9593 142.8 8.9791 189.8 14.6226 0.4927 HBEIR 20 12.3288 1.0992 344.7 9.4204 426.0 11.5084 ‐.3528 IBM 20 0.8402 ‐7.5514 5.5444 91.0716 6.4617 176.1 0.9307 PPPKIR 20 88696.5 0.5688 404813 3.8756 492505 4.6268 0.9805 PPMR 20 ‐2.191E8 459.1 3.7699E8 519.6 5.849E8 1589.4 0.5549 DEVB 20 2.4022E8 389.1 6.8468E8 457.1 9.0233E8 1283.0 0.2968
212
Lampiran 17 Hasil validasi model dan simulasi dasar (lanjutan) The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U KLSJ 20 3.6154E9 0.81 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.5423 0.2928 KLSLJ 20 1.489E10 0.38 0.00 0.01 0.99 0.35 0.65 0.8211 0.5119 KLSI 20 2.346E10 0.66 0.00 0.00 1.00 0.17 0.83 0.6606 0.3740 LBSJ 20 3.6154E9 0.97 0.00 0.09 0.91 0.18 0.82 0.0184 0.0092 LBSLJ 20 1.489E10 0.94 0.00 0.15 0.85 0.31 0.69 0.0256 0.0128 LBSI 20 2.346E10 0.95 0.00 0.13 0.87 0.26 0.74 0.0191 0.0095 LAPJ 20 2.019E10 0.84 0.10 0.08 0.82 0.00 0.90 0.0252 0.0127 LAPLJ 20 3.023E10 0.91 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.0289 0.0144 LAPI 20 4.101E10 0.94 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.0174 0.0087 YPPJ 20 0.0129 0.90 0.19 0.05 0.76 0.00 0.81 0.0223 0.0112 YPPLJ 20 0.00204 0.99 0.06 0.00 0.94 0.01 0.93 0.0124 0.0062 YPPI 20 0.00316 0.98 0.01 0.08 0.91 0.14 0.84 0.0143 0.0072 PPDJ 20 9.959E11 0.93 0.26 0.01 0.73 0.00 0.74 0.0348 0.0175 PPDJPK 20 0.000065 0.74 0.27 0.01 0.72 0.05 0.68 0.0346 0.0174 PBRJ 20 4.035E11 0.91 0.26 0.01 0.73 0.01 0.73 0.0348 0.0176 PPDLJ 20 5.098E11 0.98 0.02 0.01 0.97 0.04 0.94 0.0323 0.0162 PPDLJPK 20 0.000062 0.93 0.03 0.04 0.93 0.15 0.82 0.0312 0.0157 PBRLJ 20 2.047E11 0.97 0.02 0.01 0.96 0.05 0.93 0.0322 0.0162 PPDI 20 2.174E12 0.97 0.17 0.00 0.82 0.02 0.80 0.0290 0.0146 PPDIPK 20 0.000047 0.87 0.19 0.04 0.77 0.19 0.61 0.0285 0.0144 PBRI 20 8.779E11 0.96 0.18 0.00 0.82 0.04 0.78 0.0291 0.0146 JMBI 20 1.465E12 0.42 0.01 0.17 0.82 0.03 0.96 0.7135 0.3631 HMBIR 20 47073.0 0.95 0.00 0.33 0.67 0.51 0.49 0.2428 0.1278 QSBI 20 1.313E12 0.93 0.06 0.00 0.94 0.02 0.91 0.0345 0.0173 JBSI 20 1.891E10 0.93 0.06 0.00 0.94 0.02 0.91 0.0345 0.0173 TSBK 20 1.017E12 0.93 0.06 0.00 0.94 0.02 0.91 0.0345 0.0173 TSBKPK 20 0.000020 0.77 0.00 0.00 0.99 0.18 0.81 0.0318 0.0159 QDBI 20 3.527E12 0.84 0.00 0.13 0.86 0.01 0.99 0.0514 0.0256 QDBPK 20 0.000081 0.29 0.00 0.16 0.84 0.08 0.92 0.0519 0.0259 MPBJ 20 88806.5 0.99 0.00 0.01 0.98 0.00 0.99 0.1417 0.0706 MPBLJ 20 35576.3 1.00 0.00 0.01 0.99 0.02 0.98 0.0831 0.0418 MPBI 20 293758 0.17 0.00 0.38 0.62 0.00 1.00 0.6155 0.3070 HPPGR 20 41902.3 0.63 0.00 0.17 0.83 0.00 1.00 0.1079 0.0540 HGTTJR 20 35778.5 0.29 0.00 0.13 0.86 0.10 0.89 0.1017 0.0507 HGTTLJR 20 14449.3 0.62 0.00 0.00 1.00 0.20 0.80 0.0645 0.0322 HGTTIR 20 36038.2 0.74 0.00 0.11 0.89 0.00 1.00 0.1033 0.0517 HBEIR 20 181437 0.24 0.00 0.30 0.70 0.01 0.99 0.1168 0.0583 IBM 20 41.7540 0.97 0.02 0.00 0.98 0.02 0.96 0.2267 0.1142 PPPKIR 20 2.426E11 0.99 0.03 0.09 0.88 0.06 0.91 0.0429 0.0213 PPMR 20 3.421E17 0.80 0.14 0.05 0.81 0.28 0.58 0.5770 0.3544 DEVB 20 8.142E17 0.66 0.07 0.13 0.80 0.00 0.93 0.6732 0.3207
213
Lampiran 18 Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor KLSJ = KLSJ*1.01; KLSLJ = KLSLJ*1.01; KLSI = KLSI*1.01; JMBI = JMBI*0; PROC SIMNLIN DATA=DT_TESIS DYNAMIC SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL OUT=SIMUL_X; ENDOGENOUS /*KLSJ KLSLJ KLSI*/ LBSJ LBSLJ LBSI LAPJ LAPLJ LAPI YPPJ YPPLJ YPPI PPDJ PPDJPK PBRJ PPDLJ PPDLJPK PBRLJ PPDI PPDIPK PBRI /*JMBI*/HMBIR QSBI JBSI TSBK TSBKPK QDBI QDBPK MPBJ MPBLJ MPBI HPPGR HGTTJR HGTTLJR HGTTIR HBEIR IBM PPPKIR PPMR DEVB; INSTRUMENTS AK CHI CHJ CHLJ DSRBJ ERIR GDPIR HBEJR HBELJR HBWR HJTPIR HUREIR HURELJR IPI IPJ IPLJ JPDKI JPDKJ JPDKLJ JTSPJ JTSPLJ JUREI JXBI LASII LASIJ LASILJ LIU LSIRI LSIRJ LSIRLJ LSNIRI LSNIRJ LSNIRLJ PCADBI PDRBJR PDRBLJR PJLNI PS T TRFBR; LDSRBJ = LAG(DSRBJ); LERIR = LAG(ERIR); LHBEIR = LAG(HBEIR); LHGTTIR = LAG(HGTTIR); LHGTTJR = LAG(HGTTJR); LHGTTLJR = LAG(HGTTLJR); LHJTPJR = LAG(HJTPJR); LHJTPLJR = LAG(HJTPLJR); LHMBIR = LAG(HMBIR); LHPPGR = LAG(HPPGR); LHUREJR = LAG(HUREJR); LHURELJR = LAG(HURELJR); LIBM = LAG(IBM); LJMBI = LAG(JMBI); LJTSPLJ = LAG(JTSPLJ); LKLSI = LAG(KLSI); LKLSLJ = LAG(KLSLJ); LLAPI = LAG(LAPI); LLAPJ = LAG(LAPJ); LLAPLJ = LAG(LAPLJ); LLASIJ = LAG(LASIJ); LMPBJ = LAG(MPBJ); LMPBLJ = LAG(MPBLJ); LPBRI = LAG(PBRI); LPDRBJR = LAG(PDRBJR); LPDRBLJR = LAG(PDRBLJR); LPJLNI = LAG(PJLNI); LPPDI = LAG(PPDI); LPPDJ = LAG(PPDJ); LPPDLJ = LAG(PPDLJ); LPPPKIR = LAG(PPPKIR); LQDBI = LAG(QDBI); LTRFBR = LAG(TRFBR); LTSBKPK = LAG(TSBKPK); LYPPI = LAG(YPPI); LYPPLJ = LAG(YPPLJ);
214
Lampiran 18 Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor (lanjutan) PARM /*A0 ‐355972 A1 ‐57.4901 A2 25321.86 A3 224114.2 A4 349918.1 A5 2109.3 B0 134344.7 B1 ‐139.168 B2 137839.8 B3 0.316434*/ C0 ‐309785 C1 21693.23 C2 ‐70.4592 C3 ‐224.238 C4 ‐2.00644 C5 3358886 C6 0.084833 D0 179787.8 D1 527040.2 D2 ‐293.32 D3 ‐41.5372 D4 ‐0.61972 D5 2182419 D6 0.520716 E0 2886463 E1 128519 E2 ‐258.459 E3 ‐523.55 E4 ‐0.03105 E5 4123558 E6 0.33489 F0 1.768283 F1 0.044169 F2 0.018358 F3 0.000042 F4 0.496241 F5 0.040153 G0 ‐0.41748 G1 0.002647 G2 0.091466 G3 0.000021 G4 9.82E‐08 G5 1.029051 H0 ‐0.33609 H1 0.169872 H2 0.003264 H3 0.000034 H4 5.14E‐08 H5 0.795749 /*I0 10613040 I1 ‐0.19927 I2 ‐2745.58 I3 36940.53 I4 ‐0.2608 I5 ‐0.27203 I6 0.342685*/ J0 ‐69.4979 J1 0.283081 J2 0.8866 K0 ‐0.05191 K1 3.54E‐06 K2 2.84354 K3 ‐6.25E‐09 K4 1.20E‐09 K5 0.000839 K6 0.161735 L0 14857950 L1 1996.394 L2 ‐783.449 L3 0.544927 L4 0.266398 M0 ‐154.101 M1 0.32031 M2 2.43E‐13 M3 0.091549 M4 0.171747 N0 710.8562 N1 0.141458 N2 ‐0.14566 N3 ‐0.00003 N4 10.94736 N5 0.582694 O0 794.6585 O1 0.202055 O2 ‐0.09855 O3 ‐5.57E‐06 O4 7.775002 O5 0.54858 P0 45.43455 P1 0.8961 P2 ‐0.05714 P3 ‐8.68E‐06 P4 12.02786 Q0 796.1589 Q1 0.584859 Q2 ‐0.00017 Q3 ‐0.0001 Q4 ‐0.00022 Q5 0.000224 Q6 10.46549 Q7 0.804307 R0 ‐22.9308 R1 0.005079 R2 0.004903 R3 1.94E‐06 R4 1.089929 R5 0.095121 S0 ‐58064.6 S1 ‐8483.53 S2 ‐0.60487 S3 1.063254 S4 1.084921 ; /*KLSJ = A0 + A1*LHGTTJR + A2*(DSRBJ‐LDSRBJ) + A3*(PDRBJR/LPDRBJR) + A4*(JPDKJ/JPDKI) + A5*T; KLSLJ = B0 + B1*LHGTTLJR + B2*(PDRBLJR/LPDRBLJR) + B3*LKLSLJ;*/ LAPJ = C0 + C1*(HGTTJR/HBEJR) + C2*LHJTPJR + C3*LHUREJR + C4*KLSJ + C5*IPJ + C6*LLAPJ; LAPLJ = D0 + D1*(HGTTLJR/HGTTIR) + D2*LHJTPLJR + D3*HURELJR + D4*LKLSLJ + D5*IPLJ + D6*LLAPLJ; LAPI = E0 + E1*(HGTTIR/LHGTTIR) + E2*HJTPIR + E3*HUREIR + E4*LKLSI + E5*IPI + E6*LLAPI; YPPJ = F0 + F1*(LHGTTJR/LHUREJR) + F2*JTSPJ + F3*CHJ + F4*(LASIJ/LLASIJ) + F5*T; YPPLJ = G0 + G1*(HGTTLJR/HURELJR) + G2*(JTSPLJ/LJTSPLJ) + G3*CHLJ + G4*LASILJ + G5*LYPPLJ; YPPI = H0 + H1*(HGTTIR/HUREIR) + H2*JUREI + H3*CHI + H4*LASII + H5*LYPPI; /*JMBI = I0 + I1*(HMBIR*ERIR) + I2*LTRFBR + I3*LIBM + I4*LPBRI + I5*PCADBI + I6*LJMBI;*/ HMBIR = J0 + J1*HBWR + J2*LHMBIR; TSBKPK = K0 + K1*(HGTTIR‐LHGTTIR) + K2*(LAPI/JPDKI) + K3*KLSI + K4*JMBI + K5*T + K6*LTSBKPK; QDBI = L0 + L1*HBEIR + L2*HJTPIR + L3*PPPKIR + L4*LQDBI;
215
Lampiran 18 Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor (lanjutan) HPPGR HGTTJR
= M0 + M1*HMBIR + M2*GDPIR + M3*LERIR + M4*LHPPGR; = N0 + N1*(HPPGR‐LHPPGR) + N2*(MPBJ‐LMPBJ) + N3*(PPDJ‐LPPDJ) + N4*T + N5*LHGTTJR; HGTTLJR = O0 + O1*(HPPGR‐LHPPGR) + O2*(MPBLJ‐LMPBLJ) + O3*(PPDLJ‐LPPDLJ) + O4*T + O5*LHGTTLJR; HGTTIR = P0 + P1*HPPGR + P2*MPBI + P3*(PPDI‐LPPDI) + P4*T; HBEIR = Q0 + Q1*(HGTTIR‐LHGTTIR) + Q2*(PBRI‐LPBRI) + Q3*LJMBI + Q4*PCADBI + Q5*(KLSI‐LKLSI) + Q6*T + Q7*LHBEIR; IBM = R0 + R1*HBEIR + R2*(ERIR‐LERIR) + R3*(QDBI‐QSBI) + R4*LIU + R5*T; PPPKIR = S0 + S1*IBM + S2*KLSI + S3*(PJLNI‐LPJLNI) + S4*LPPPKIR; /*KLSI = KLSJ+KLSLJ;*/ LBSJ = LSIRJ+LSNIRJ‐KLSJ; LBSLJ = LSIRLJ+LSNIRLJ‐KLSLJ; LBSI = LSIRI+LSNIRI‐KLSI; PPDJ = LAPJ*YPPJ; PPDJPK = PPDJ/JPDKJ; PBRJ = PPDJ*AK; PPDLJ = LAPLJ*YPPLJ; PPDLJPK = PPDLJ/JPDKLJ; PBRLJ = PPDLJ*AK; PPDI = PPDJ+PPDLJ; PPDIPK = PPDI/JPDKI; PBRI = PPDI*AK; QSBI = PBRI+JMBI+PCADBI‐JXBI; JBSI = QSBI*PS; TSBK = QSBI‐JBSI; QDBPK = QDBI/JPDKI; MPBJ = HBEJR‐(HGTTJR/AK); MPBLJ = HBELJR‐(HGTTLJR/AK); MPBI = HBEIR‐(HGTTIR/AK); PPMR = TRFBR*JMBI; DEVB = HMBIR*JMBI; RUN;
216
Lampiran 18 Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor (lanjutan) The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements Program Lag Length
37 37 95 37 73 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= DT_TESIS OUT= SIMUL_X Solution Summary Variables Solved 37 Simulation Lag Length 1 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 2.394E‐9 Maximum Iterations 3 Total Iterations 41 Average Iterations 2.05 Observations Processed 21 Read Lagged 1 Solved 20 First 2 Last 21
217
Lampiran 18 Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor (lanjutan) The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LBSJ 20 20 3255126 227092 3254705 228100 LBSLJ 20 20 4754008 331084 4753316 332004 LBSI 20 20 8009134 470979 8008021 472660 LAPJ 20 20 5624134 244051 5575972 224635 LAPLJ 20 20 6010663 420939 6013783 376850 LAPI 20 20 11634797 633838 11628547 593620 YPPJ 20 20 5.0804 0.2367 5.0306 0.2401 YPPLJ 20 20 3.6281 0.2992 3.6173 0.2936 YPPI 20 20 3.9118 0.2829 3.8912 0.2576 PPDJ 20 20 28602913 2318476 28084375 2287467 PPDJPK 20 20 0.2331 0.0103 0.2288 0.00899 PBRJ 20 20 18181577 1360364 17849682 1314763 PPDLJ 20 20 21910014 3259830 21850415 3102285 PPDLJPK 20 20 0.2505 0.0207 0.2499 0.0180 PBRLJ 20 20 13915943 1947831 13877583 1839176 PPDI 20 20 50512927 5470825 49934790 5273056 PPDIPK 20 20 0.2403 0.0123 0.2375 0.0100 PBRI 20 20 32097520 3217958 31727265 3062751 HMBIR 20 20 705.2 563.1 701.1 404.5 QSBI 20 20 33116018 3030414 31554677 2984839 JBSI 20 20 3973922 363650 3786561 358181 TSBK 20 20 29142096 2666764 27768116 2626658 TSBKPK 20 20 0.1388 0.00707 0.1371 0.00442 QDBI 20 20 36427620 3333455 37228802 3005713 QDBPK 20 20 0.1735 0.00884 0.1773 0.00370 MPBJ 20 20 ‐506.6 2094.7 ‐524.1 2113.8 MPBLJ 20 20 ‐390.2 2293.3 ‐400.5 2267.0 MPBI 20 20 767.2 443.5 1341.2 305.0 HPPGR 20 20 1882.1 247.6 1878.4 242.4 HGTTJR 20 20 1851.7 188.7 1862.1 130.9 HGTTLJR 20 20 1858.8 156.9 1864.9 102.3 HGTTIR 20 20 1818.1 273.5 1782.2 259.3 HBEIR 20 20 3628.8 375.7 4147.5 378.5 IBM 20 20 14.4750 25.1893 21.6979 24.1619 PPPKIR 20 20 10925187 3616284 10079183 2847403 PPMR 20 20 5.0894E8 8.9949E8 0 0 DEVB 20 20 7.9936E8 1.104E9 0 0
218
Lampiran 18 Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor (lanjutan) The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R‐Square LBSJ 20 ‐421.7 ‐0.0157 421.7 0.0157 1108.7 0.0449 1.0000 LBSLJ 20 ‐691.9 ‐0.0160 691.9 0.0160 1486.0 0.0347 1.0000 LBSI 20 ‐1113.6 ‐0.0153 1113.6 0.0153 2318.3 0.0330 1.0000 LAPJ 20 ‐48161.6 ‐0.8406 57243.8 1.0046 71824.2 1.2362 0.9088 LAPLJ 20 3120.3 0.1227 103684 1.7642 120574 2.0689 0.9136 LAPI 20 ‐6250.0 ‐0.0179 158624 1.3875 202131 1.8027 0.8930 YPPJ 20 ‐0.0498 ‐0.9637 0.0908 1.7999 0.1133 2.2539 0.7587 YPPLJ 20 ‐0.0108 ‐0.2851 0.0386 1.0624 0.0452 1.2482 0.9760 YPPI 20 ‐0.0206 ‐0.4772 0.0456 1.1535 0.0600 1.5105 0.9527 PPDJ 20 ‐518538 ‐1.7972 667076 2.3346 815185 2.8225 0.8699 PPDJPK 20 ‐0.00429 ‐1.7972 0.00552 2.3346 0.00672 2.8225 0.5549 PBRJ 20 ‐331895 ‐1.7972 425474 2.3346 519839 2.8225 0.8463 PPDLJ 20 ‐59599.0 ‐0.1687 378629 1.7285 473356 2.1333 0.9778 PPDLJPK 20 ‐0.00068 ‐0.1687 0.00431 1.7285 0.00531 2.1333 0.9307 PBRLJ 20 ‐38360.0 ‐0.1687 240853 1.7285 300477 2.1333 0.9750 PPDI 20 ‐578137 ‐1.1107 882812 1.7396 1092428 2.0956 0.9580 PPDIPK 20 ‐0.00280 ‐1.1107 0.00423 1.7396 0.00518 2.0956 0.8140 PBRI 20 ‐370255 ‐1.1107 562200 1.7396 695725 2.0956 0.9508 HMBIR 20 ‐4.0948 20.0082 176.2 32.7222 217.0 43.3095 0.8437 QSBI 20 ‐1561341 ‐4.6613 1561341 4.6613 1994949 5.8976 0.5438 JBSI 20 ‐187361 ‐4.6613 187361 4.6613 239394 5.8976 0.5438 TSBK 20 ‐1373980 ‐4.6613 1373980 4.6613 1755555 5.8976 0.5438 TSBKPK 20 ‐0.00176 ‐1.1315 0.00429 3.0441 0.00523 3.6363 0.4252 QDBI 20 801182 2.3622 1483976 4.1152 1694164 4.7015 0.7281 QDBPK 20 0.00378 2.3622 0.00703 4.1152 0.00797 4.7015 0.1444 MPBJ 20 ‐17.5215 6.7771 231.7 16.5488 296.2 24.9982 0.9790 MPBLJ 20 ‐10.3257 3.2667 165.4 10.5723 189.5 13.3610 0.9928 MPBI 20 574.0 107.0 658.3 110.8 709.7 133.9 ‐1.695 HPPGR 20 ‐3.6767 0.7925 166.4 9.5535 204.7 13.2208 0.2805 HGTTJR 20 10.4558 1.3848 147.2 8.2060 187.8 11.0135 ‐.0426 HGTTLJR 20 6.1549 0.7438 105.2 5.7227 120.8 6.5651 0.3763 HGTTIR 20 ‐35.8715 ‐0.8589 144.3 8.9763 189.0 13.9404 0.4973 HBEIR 20 518.7 14.7524 519.5 14.7717 606.4 17.3832 ‐1.742 IBM 20 7.2229 31.7504 8.0075 151.0 9.4797 261.0 .8509 PPPKIR 20 ‐846004 ‐6.3380 904029 7.2303 1166977 8.2086 0.8904 PPMR 20 ‐5.089E8 ‐100.0 5.0894E8 100.0 1.0137E9 100.0 ‐.3370 DEVB 20 ‐7.994E8 ‐100.0 7.9936E8 100.0 1.3404E9 100.0 ‐.5519
219
Lampiran 18 Program dan contoh hasil simulasi peningkatan konversi lahan di Indonesia sebesar 1 persen dan tanpa impor (lanjutan) The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LBSJ 20 1229291 1.00 0.14 0.79 0.07 0.79 0.07 0.0003 0.0002 LBSLJ 20 2208291 1.00 0.22 0.37 0.42 0.36 0.42 0.0003 0.0002 LBSI 20 5374505 1.00 0.23 0.50 0.27 0.50 0.27 0.0003 0.0001 LAPJ 20 5.1587E9 0.98 0.45 0.03 0.52 0.07 0.48 0.0128 0.0064 LAPLJ 20 1.454E10 0.96 0.00 0.05 0.95 0.13 0.87 0.0200 0.0100 LAPI 20 4.086E10 0.95 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.0173 0.0087 YPPJ 20 0.0128 0.90 0.19 0.05 0.76 0.00 0.81 0.0223 0.0112 YPPLJ 20 0.00204 0.99 0.06 0.00 0.94 0.01 0.93 0.0124 0.0062 YPPI 20 0.00360 0.98 0.12 0.11 0.78 0.17 0.71 0.0153 0.0077 PPDJ 20 6.645E11 0.96 0.40 0.01 0.59 0.00 0.59 0.0284 0.0143 PPDJPK 20 0.000045 0.86 0.41 0.00 0.59 0.04 0.55 0.0288 0.0145 PBRJ 20 2.702E11 0.95 0.41 0.00 0.59 0.01 0.59 0.0285 0.0144 PPDLJ 20 2.241E11 0.99 0.02 0.07 0.92 0.11 0.88 0.0214 0.0107 PPDLJPK 20 0.000028 0.97 0.02 0.15 0.83 0.25 0.73 0.0211 0.0106 PBRLJ 20 9.029E10 0.99 0.02 0.08 0.91 0.12 0.86 0.0214 0.0107 PPDI 20 1.193E12 0.99 0.28 0.01 0.71 0.03 0.69 0.0215 0.0108 PPDIPK 20 0.000027 0.94 0.29 0.08 0.62 0.18 0.52 0.0215 0.0108 PBRI 20 4.84E11 0.98 0.28 0.02 0.70 0.05 0.67 0.0216 0.0109 HMBIR 20 47073.0 0.95 0.00 0.33 0.67 0.51 0.49 0.2428 0.1278 QSBI 20 3.98E12 0.91 0.61 0.01 0.38 0.00 0.39 0.0600 0.0307 JBSI 20 5.731E10 0.91 0.61 0.01 0.38 0.00 0.39 0.0600 0.0307 TSBK 20 3.082E12 0.91 0.61 0.01 0.38 0.00 0.39 0.0600 0.0307 TSBKPK 20 0.000027 0.70 0.11 0.01 0.88 0.24 0.64 0.0376 0.0189 QDBI 20 2.87E12 0.89 0.22 0.00 0.78 0.04 0.74 0.0463 0.0229 QDBPK 20 0.000064 0.61 0.22 0.04 0.73 0.40 0.38 0.0459 0.0227 MPBJ 20 87711.3 0.99 0.00 0.02 0.98 0.00 0.99 0.1408 0.0700 MPBLJ 20 35915.5 1.00 0.00 0.01 0.99 0.02 0.98 0.0835 0.0420 MPBI 20 503674 0.39 0.65 0.03 0.31 0.04 0.31 0.8059 0.3148 HPPGR 20 41902.3 0.63 0.00 0.17 0.83 0.00 1.00 0.1079 0.0540 HGTTJR 20 35264.1 0.32 0.00 0.13 0.86 0.09 0.91 0.1009 0.0504 HGTTLJR 20 14584.1 0.62 0.00 0.00 1.00 0.19 0.80 0.0648 0.0324 HGTTIR 20 35713.3 0.75 0.04 0.08 0.88 0.0 0.96 0.1028 0.0520 HBEIR 20 367713 0.64 0.73 0.05 0.22 0.00 0.27 0.1663 0.0776 IBM 20 89.8643 0.97 0.58 0.00 0.42 0.01 0.41 0.3326 0.1566 PPPKIR 20 1.362E12 1.00 0.53 0.40 0.08 0.41 0.06 0.1017 0.0532 PPMR 20 1.028E18 . . . . . . 1.0000 1.0000 DEVB 20 1.797E18 . . . . . . 1.0000 1.0000
220
Lampiran 19 Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai ratarata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah
Satuan
Konversi Lahan Sawah Jawa ha Konversi Lahan Sawah Luar Jawa ha Konversi Lahan Sawah Indonesia ha Luas Baku Sawah Jawa ha Luas Baku Sawah Luar Jawa ha Luas Baku Sawah Indonesia ha Luas Areal Panen Padi Jawa ha Luas Areal Panen Padi Luar Jawa ha Luas Areal Panen Padi Indonesia ha Produktivitas Padi Jawa ton/ha Produktivitas Padi Luar Jawa ton/ha Produktivitas Padi Indonesia ton/ha Produksi Padi Jawa ton Produksi Padi Jawa per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Jawa ton Produksi Padi Luar Jawa ton Produksi Padi Luar Jawa per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Luar Jawa ton Produksi Padi Indonesia ton Produksi Padi Indonesia per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Indonesia ton Jumlah Impor Beras Indonesia metrik ton Harga Riil Beras Impor Indonesia US$/ton Penawaran Beras Indonesia ton Jumlah Beras Susut Indonesia ton Ketersediaan Beras Indonesia ton Ketersediaan Beras per Kapita ton/jiwa Permintaan Beras Indonesia ton Permintaan Beras per Kapita ton/jiwa Marjin Pemasaran Beras Jawa Rp/kg Marjin Pemasaran Beras Luar Jawa Rp/kg Marjin Pemasaran Beras Indonesia Rp/kg Harga Riil Pembelian Pemerintah Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Jawa Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Luar Jawa Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Indonesia Rp/kg Harga Riil Beras Eceran Indonesia Rp/kg Inflasi Bahan Makanan % Akses Pangan per Kapita Rp/jiwa Pendapatan Pemerintah Rp Devisa Pemerintah US$
Nilai Dasar
Perubahan Simulasi (%) S1
S2
S3
41 071.7 0.000 1.000 1.000 67 637.1 0.007 -0.001 0.007 108 709 0.778 1.159 1.165 3 256 220 -0.026 -0.039 -0.039 4 755 565 0.000 0.000 0.000 8 011 785 -0.011 -0.016 -0.016 5 579 515 -0.037 -0.053 -0.053 5 999 432 0.291 0.000 0.291 11 628 888 -0.001 -0.001 -0.001 5.0307 0.000 0.000 0.000 3.6173 0.000 0.000 0.000 3.9055 -0.320 0.003 -0.320 28 096 566 -0.016 -0.033 -0.033 0.2289 -0.043 -0.043 -0.043 17 857 124 -0.014 -0.031 -0.031 21 801 577 0.289 0.000 0.289 0.2492 0.277 0.000 0.277 13 845 612 0.288 0.000 0.288 49 898 144 0.117 -0.018 0.108 0.2373 0.124 0.000 0.124 31 702 737 0.118 -0.017 0.109 1 298 339 -100.000 0.612 -100.000 701.1 0.000 0.000 0.000 32 828 488 -3.216 0.003 -3.224 3 939 419 -3.216 0.003 -3.224 28 889 069 -3.216 0.003 -3.224 0.139 -1.154 0.000 -1.154 36 538 353 1.407 -0.019 1.402 0.1739 1.489 0.000 1.489 -525.7 -0.188 -0.188 -0.188 -400.8 0.000 0.000 0.000 784 57.959 -1.094 57.983 1 878.4 0.000 0.000 0.000 1 863.1 -0.059 -0.059 -0.059 0.000 1 865.1 0.000 0.000 1 814.3 -1.529 0.022 -1.529 3 641.1 11.901 -0.231 11.907 15.3152 34.861 -0.388 34.879 1.10E+07 -8.312 0.171 -8.344 2.90E+08 -100.000 2.496 -100.000 1.04E+09 -100.000 -0.533 -100.000
Keterangan: S1 : Konversi di Jawa tetap, tanpa impor S2 : Konversi di Jawa meningkat 1%, dengan impor S3 : Konversi di Jawa meningkat 1%, tanpa impor S4 : Konversi di Jawa meningkat 18%, dengan impor S5 : Konversi di Jawa meningkat 18%, tanpa impor
S4
S5
18.000 18.000 -0.001 0.007 7.734 7.740 -0.259 -0.259 0.000 0.000 -0.105 -0.105 -0.332 -0.332 -0.001 0.293 -0.004 -0.004 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 -0.323 -0.310 -0.310 -0.300 -0.300 -0.307 -0.307 -0.002 0.292 0.000 0.277 -0.002 0.291 -0.176 -0.048 -0.166 -0.041 -0.174 -0.046 2.314 -100.000 0.000 0.000 -0.092 -3.375 -0.092 -3.375 -0.092 -3.375 -0.072 -1.226 -0.144 1.311 -0.115 1.375 -0.158 -0.158 0.000 0.000 -1.563 58.379 0.000 0.000 -0.048 -0.048 0.000 0.000 0.033 -1.541 -0.326 11.988 -0.685 35.193 -0.309 -8.880 5.609 -100.000 0.321 -100.000
221
Lampiran 20 Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai ratarata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah
Satuan
Konversi Lahan Sawah Jawa ha Konversi Lahan Sawah Luar Jawa ha Konversi Lahan Sawah Indonesia ha Luas Baku Sawah Jawa ha Luas Baku Sawah Luar Jawa ha Luas Baku Sawah Indonesia ha Luas Areal Panen Padi Jawa ha Luas Areal Panen Padi Luar Jawa ha Luas Areal Panen Padi Indonesia ha Produktivitas Padi Jawa ton/ha Produktivitas Padi Luar Jawa ton/ha Produktivitas Padi Indonesia ton/ha Produksi Padi Jawa ton Produksi Padi Jawa per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Jawa ton Produksi Padi Luar Jawa ton Produksi Padi Luar Jawa per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Luar Jawa ton Produksi Padi Indonesia ton Produksi Padi Indonesia per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Indonesia ton Jumlah Impor Beras Indonesia metrik ton Harga Riil Beras Impor Indonesia US$/ton Penawaran Beras Indonesia ton Jumlah Beras Susut Indonesia ton Ketersediaan Beras Indonesia ton Ketersediaan Beras per Kapita ton/jiwa Permintaan Beras Indonesia ton Permintaan Beras per Kapita ton/jiwa Marjin Pemasaran Beras Jawa Rp/kg Marjin Pemasaran Beras Luar Jawa Rp/kg Marjin Pemasaran Beras Indonesia Rp/kg Harga Riil Pembelian Pemerintah Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Jawa Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Luar Jawa Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Indonesia Rp/kg Harga Riil Beras Eceran Indonesia Rp/kg Inflasi Bahan Makanan % Akses Pangan per Kapita Rp/jiwa Pendapatan Pemerintah Rp Devisa Pemerintah US$
Nilai Dasar
Perubahan Simulasi (%) S6
S7
S8
S9
S10
41 071.7 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 67 637.1 0.000 1.000 1.000 20.000 20.000 108 709 1.370 2.005 2.005 14.064 14.064 3 256 220 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4 755 565 -0.031 -0.046 -0.046 -0.322 -0.322 8 011 785 -0.019 -0.027 -0.027 -0.191 -0.191 5 579 515 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 5 999 432 0.209 -0.097 0.195 -0.364 -0.070 11 628 888 -0.001 -0.001 -0.002 -0.006 -0.007 5.0307 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.6173 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.9055 -0.318 0.005 -0.318 0.005 -0.320 28 096 566 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.2289 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17 857 124 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 21 801 577 0.191 -0.113 0.177 -0.388 -0.095 0.2492 0.237 -0.079 0.237 -0.316 -0.040 13 845 612 0.198 -0.105 0.184 -0.378 -0.086 49 898 144 0.084 -0.050 0.077 -0.169 -0.042 0.2373 0.083 -0.041 0.083 -0.166 -0.041 31 702 737 0.087 -0.046 0.080 -0.165 -0.038 1 298 339 -100.000 1.569 -100.000 2.510 -100.000 701.1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 32 828 488 -3.246 0.008 -3.252 -0.077 -3.366 3 939 419 -3.246 0.008 -3.252 -0.077 -3.366 28 889 069 -3.246 0.008 -3.252 -0.077 -3.366 0.139 -1.154 0.000 -1.154 -0.072 -1.226 36 538 353 1.593 0.152 1.582 -0.074 1.378 0.1739 1.661 0.172 1.661 -0.057 1.489 -525.7 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 -400.8 -0.022 -0.011 -0.022 -0.011 -0.022 784 58.103 -1.166 58.127 -1.383 58.464 1 878.4 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1 863.1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1 865.1 -0.005 -0.005 -0.005 -0.005 -0.005 1 814.3 -1.535 0.022 -1.535 0.028 -1.546 3 641.1 11.931 -0.247 11.934 -0.290 12.004 15.3152 35.895 0.375 35.875 -0.378 35.492 1.10E+07 -7.503 0.966 -7.558 -0.045 -8.606 2.90E+08 -100.000 7.522 -100.000 9.846 -100.000 1.04E+09 -100.000 -0.092 -100.000 0.420 -100.000
Keterangan: S6 : Konversi di Luar Jawa tetap, tanpa impor S7 : Konversi di Luar Jawa meningkat 1%, dengan impor S8 : Konversi di Luar Jawa meningkat 1%, tanpa impor S9 : Konversi di Luar Jawa meningkat 20%, dengan impor S10 : Konversi di Luar Jawa meningkat 20%, tanpa impor
222
Lampiran 21 Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai ratarata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah
Satuan
Nilai Dasar
Perubahan Simulasi (%) S11
Konversi Lahan Sawah Jawa ha Konversi Lahan Sawah Luar Jawa ha Konversi Lahan Sawah Indonesia ha Luas Baku Sawah Jawa ha Luas Baku Sawah Luar Jawa ha Luas Baku Sawah Indonesia ha Luas Areal Panen Padi Jawa ha Luas Areal Panen Padi Luar Jawa ha Luas Areal Panen Padi Indonesia ha Produktivitas Padi Jawa ton/ha Produktivitas Padi Luar Jawa ton/ha Produktivitas Padi Indonesia ton/ha Produksi Padi Jawa ton Produksi Padi Jawa per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Jawa ton Produksi Padi Luar Jawa ton Produksi Padi Luar Jawa per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Luar Jawa ton Produksi Padi Indonesia ton Produksi Beras Indonesia per Kapita ton/jiwa Produksi Beras Indonesia ton Jumlah Impor Beras Indonesia metrik ton Harga Riil Beras Impor Indonesia US$/ton Penawaran Beras Indonesia ton Jumlah Beras Susut Indonesia ton Ketersediaan Beras Indonesia ton Ketersediaan Beras per Kapita ton/jiwa Permintaan Beras Indonesia ton Permintaan Beras per Kapita ton/jiwa Marjin Pemasaran Beras Jawa Rp/kg Marjin Pemasaran Beras Luar Jawa Rp/kg Marjin Pemasaran Beras Indonesia Rp/kg Harga Riil Pembelian Pemerintah Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Jawa Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Luar Jawa Rp/kg Harga Riil Gabah Tkt Petani Indonesia Rp/kg Harga Riil Beras Eceran Indonesia Rp/kg Inflasi Bahan Makanan % Akses Pangan per Kapita Rp/jiwa Penerimaan Pemerintah Rp Devisa Negara US$
S12
S13
S14
S15
41 071.7 0.000 1.000 1.000 16.000 16.000 67 637.1 0.007 1.000 1.000 16.000 16.000 108 709 0.005 1.000 1.000 16.000 16.000 3 256 220 0.000 -0.039 -0.039 -0.233 -0.233 4 755 565 0.000 -0.046 -0.046 -0.264 -0.264 8 011 785 0.000 -0.043 -0.043 -0.252 -0.252 5 579 515 0.000 -0.053 -0.053 -0.300 -0.300 5 999 432 0.288 -0.096 0.198 -0.308 -0.009 11 628 888 0.000 -0.002 -0.003 -0.009 -0.009 5.0307 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.6173 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.9 055 -0.320 0.005 -0.320 0.008 -0.323 28 096 566 0.000 -0.033 -0.033 -0.278 -0.278 0.2 289 0.000 -0.043 -0.043 -0.300 -0.300 17 857 124 0.000 -0.031 -0.031 -0.275 -0.275 21 801 577 0.286 -0.114 0.180 -0.332 -0.033 0.2492 0.277 -0.079 0.237 -0.277 0.040 13 845 612 0.285 -0.106 0.187 -0.322 -0.024 49 898 144 0.125 -0.068 0.060 -0.301 -0.171 0.2373 0.124 -0.041 0.083 -0.290 -0.166 31 702 737 0.124 -0.063 0.064 -0.295 -0.165 1 298 339 -100.000 2.180 -100.000 4.420 -100.000 701.1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 32 828 488 -3.209 0.011 -3.267 -0.140 -3.490 3 939 419 -3.209 0.011 -3.267 -0.140 -3.490 28 889 069 -3.209 0.011 -3.267 -0.140 -3.490 0.139 -1.154 0.000 -1.154 -0.072 -1.298 36 538 353 1.368 0.133 1.615 -0.156 1.374 0.1739 1.432 0.172 1.718 -0.115 1.489 -525.7 0.000 -0.188 -0.188 -0.158 -0.158 -400.8 0.000 -0.011 -0.022 -0.011 -0.022 784 58.271 -2.272 57.838 -2.873 58.428 1 878.4 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1 863.1 0.000 -0.059 -0.059 -0.054 -0.054 1 865.1 0.000 -0.005 -0.005 -0.005 -0.005 1 814.3 -1.529 0.044 -1.535 0.061 -1.552 3 641.1 11.972 -0.478 11.869 -0.600 11.991 15.3152 34.738 -0.013 36.016 -0.877 35.982 1.10E+07 -8.553 1.137 -7.349 -0.081 -8.645 2.90E+08 -100.000 10.014 -100.000 14.595 -100.000 1.04E+09 -100.000 -0.626 -100.000 0.525 -100.000
Keterangan: S11 : Konversi di Indonesia tetap, tanpa impor S12 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, dengan impor S13 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, tanpa impor S14 : Konversi di Indonesia meningkat 16%, dengan impor S15 : Konversi di Indonesia meningkat 16%, tanpa impor
223
Lampiran 22 Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai ratarata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah
Konversi Lahan Sawah Jawa Konversi Lahan Sawah Luar Jawa Konversi Lahan Sawah Indonesia Luas Baku Sawah Jawa Luas Baku Sawah Luar Jawa Luas Baku Sawah Indonesia Luas Areal Panen Padi Jawa Luas Areal Panen Padi Luar Jawa Luas Areal Panen Padi Indonesia Produktivitas Padi Jawa Produktivitas Padi Luar Jawa Produktivitas Padi Indonesia Produksi Padi Jawa Produksi Padi Jawa per Kapita Produksi Beras Jawa Produksi Padi Luar Jawa Produksi Padi Luar Jawa per Kapita Produksi Beras Luar Jawa Produksi Padi Indonesia Produksi Beras Indonesia per Kapita Produksi Beras Indonesia Jumlah Impor Beras Indonesia Harga Riil Beras Impor Indonesia Penawaran Beras Indonesia Jumlah Beras Susut Indonesia Ketersediaan Beras Indonesia Ketersediaan Beras per Kapita Permintaan Beras Indonesia Permintaan Beras per Kapita Marjin Pemasaran Beras Jawa Marjin Pemasaran Beras Luar Jawa Marjin Pemasaran Beras Indonesia Harga Riil Pembelian Pemerintah Harga Riil Gabah Tkt Petani Jawa Harga Riil Gabah Tkt Petani Luar Jawa Harga Riil Gabah Tkt Petani Indonesia Harga Riil Beras Eceran Indonesia Inflasi Bahan Makanan Akses Pangan per Kapita Penerimaan Pemerintah Devisa Negara
Satuan
ha ha ha ha ha ha ha ha ha ton/ha ton/ha ton/ha ton ton/jiwa ton ton ton/jiwa ton ton ton/jiwa ton metrik ton US$/ton ton ton ton ton/jiwa ton ton/jiwa Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg % Rp/jiwa Rp US$
Nilai Dasar 41 071.7 67 637.1 108 709 3 256 220 4 755 565 8 011 785 5 579 515 5 999 432 11 628 888 5.0307 3.6173 3.9055 28 096 566 0.2289 17 857 124 21 801 577 0.2492 13 845 612 49 898 144 0.2373 31 702 737 1 298 339 701.1 32 828 488 3 939 419 28 889 069 0.139 36 538 353 0.1739 -525.7 -400.8 784 1 878.4 1 863.1 1 865.1 1 814.3 3 641.1 15.3152 1.10E+07 2.90E+08 1.04E+09
Perubahan Simulasi (%) S16 1.000 1.000 1.000 -0.039 -0.046 -0.043 0.076 -0.093 0.041 0.737 0.948 3.296 0.822 0.858 0.832 0.850 0.870 0.847 0.834 0.871 0.838 -100.000 0.000 -2.515 -2.515 -2.515 -1.081 1.807 1.890 42.043 46.481 0.397 0.000 15.000 15.000 15.000 12.004 33.898 -6.628 -100.000 -100.000
S17 1.000 1.000 1.000 -0.039 -0.046 -0.043 0.076 -0.093 0.041 0.737 0.948 3.296 0.822 0.858 0.832 0.850 0.870 0.847 0.834 0.871 0.838 -100.000 0.000 -2.515 -2.515 -2.515 -1.081 1.807 1.890 42.043 46.481 0.397 15.000 15.000 15.000 15.000 12.004 33.898 -6.628 -100.000 -100.000
S18 1.000 1.000 1.000 -0.039 -0.046 -0.043 0.076 -0.093 0.041 0.737 0.948 3.296 0.822 0.858 0.832 0.850 0.870 0.847 0.834 0.871 0.838 -100.000 0.000 -2.515 -2.515 -2.515 -1.081 1.807 1.890 42.043 46.481 0.397 50.000 15.000 15.000 15.000 12.004 33.898 -6.628 -100.000 -100.000
Keterangan: S16 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, dan tanpa impor S17 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, tanpa impor, peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah 15% S18 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, tanpa impor, peningkatan harga riil (gabah) pembelian pemerintah 50%
224
Lampiran 23 Dampak alternatif kebijakan ekonomi terhadap perubahan nilai ratarata peubah endogen periode 1990 – 2010 Nama Peubah
Konversi Lahan Sawah Jawa Konversi Lahan Sawah Luar Jawa Konversi Lahan Sawah Indonesia Luas Baku Sawah Jawa Luas Baku Sawah Luar Jawa Luas Baku Sawah Indonesia Luas Areal Panen Padi Jawa Luas Areal Panen Padi Luar Jawa Luas Areal Panen Padi Indonesia Produktivitas Padi Jawa Produktivitas Padi Luar Jawa Produktivitas Padi Indonesia Produksi Padi Jawa Produksi Padi Jawa per Kapita Produksi Beras Jawa Produksi Padi Luar Jawa Produksi Padi Luar Jawa per Kapita Produksi Beras Luar Jawa Produksi Padi Indonesia Produksi Beras Indonesia per Kapita Produksi Beras Indonesia Jumlah Impor Beras Indonesia Harga Riil Beras Impor Indonesia Penawaran Beras Indonesia Jumlah Beras Susut Indonesia Ketersediaan Beras Indonesia Ketersediaan Beras per Kapita Permintaan Beras Indonesia Permintaan Beras per Kapita Marjin Pemasaran Beras Jawa Marjin Pemasaran Beras Luar Jawa Marjin Pemasaran Beras Indonesia Harga Riil Pembelian Pemerintah Harga Riil Gabah Tkt Petani Jawa Harga Riil Gabah Tkt Petani Luar Jawa Harga Riil Gabah Tkt Petani Indonesia Harga Riil Beras Eceran Indonesia Inflasi Bahan Makanan Akses Pangan per Kapita Penerimaan Pemerintah Devisa Negara
Satuan
ha ha ha ha ha ha ha ha ha ton/ha ton/ha ton/ha ton ton/jiwa ton ton ton/jiwa ton ton ton/jiwa ton metrik ton US$/ton ton ton ton ton/jiwa ton ton/jiwa Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg % Rp/jiwa Rp US$
Nilai Dasar 41 071.7 67 637.1 108 709 3 256 220 4 755 565 8 011 785 5 579 515 5 999 432 11 628 888 5.0307 3.6173 3.9055 28 096 566 0.2289 17 857 124 21 801 577 0.2492 13 845 612 49 898 144 0.2373 31 702 737 1 298 339 701.1 32 828 488 3 939 419 28 889 069 0.139 36 538 353 0.1739 -525.7 -400.8 784 1 878.4 1 863.1 1 865.1 1 814.3 3 641.1 15.3152 1.10E+07 2.90E+08 1.04E+09
Perubahan Simulasi (%) S19 1.000 1.000 1.000 -0.039 -0.046 -0.043 0.461 0.046 1.523 1.657 2.157 7.602 2.122 2.189 2.137 2.236 2.214 2.227 2.172 2.197 2.177 -100.000 0.000 -1.214 -1.214 -1.214 0.865 1.956 2.005 42.043 46.481 -2.152 0.000 15.000 15.000 15.000 11.429 28.380 -5.212 -100.000 -100.000
S20
S21
1.000 1.000 1.000 -0.039 -0.046 -0.043 0.461 0.046 1.523 1.657 2.157 7.602 2.122 2.189 2.137 2.236 2.214 2.227 2.172 2.197 2.177 -37.500 0.000 1.156 1.156 1.156 1.658 0.628 0.687 42.043 46.481 -42.438 0.000 15.000 15.000 15.000 2.332 0.917 0.019 48.111 -37.890
1.000 1.000 1.000 -0.039 -0.046 -0.043 0.333 0.000 1.029 1.316 1.710 6.006 1.655 1.674 1.668 1.728 1.700 1.721 1.687 1.700 1.691 -11.704 0.000 1.254 1.254 1.254 1.226 0.648 0.630 42.043 46.481 -49.026 0.000 15.000 15.000 15.000 0.844 -1.234 1.872 -18.162 -13.626
Keterangan: S19 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan tanpa impor S20 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan penurunan kuota impor 37.5% S21 : Konversi di Indonesia meningkat 1%, peningkatan harga riil gabah tkt petani 15%, penurunan harga pupuk Urea 10%, dan penurunan tarif impor 5%