KORUPSI : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KAWASAN ASIA PASIFIK
HAPPY FEBRINA HARIYANI
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Korupsi: Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Asia Pasifik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Happy Febrina Hariyani NIM H151140011
RINGKASAN HAPPY FEBRINA HARIYANI. Korupsi: Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Asia Pasifik. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan ALLA ASMARA. Fenomena korupsi adalah masalah besar yang dihadapi negara-negara dengan perkembangan ekonomi pesat. Masalah korupsi tidak hanya dihadapi oleh negara yang sedang berkembang, namun juga di beberapa negara-negara maju sekalipun. Faktor-faktor yang menyebabkan korupsi diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu ekonomi, politik dan sosial budaya. Tingginya tingkat korupsi di suatu negara juga dapat menyebabkan high cost economy yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi melalui kendala yang terjadi dalam investasi. Penelitian ini menggunakan data tahunan dari periode tahun 2004 sampai 2014 dengan 17 negara-negara Asia Pasifik. Metode penelitian ini menggunakan metode panel statis.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat korupsi dan untuk menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Hasil studi menunjukkan bahwa anggaran publik, stabilitas politik, dan penduduk perkotaan mempengaruhi tingkat korupsi. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah korupsi, pengeluaran pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan, dan Foreign Direct Investment (FDI). Korupsi sendiri menunjukkan hubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tingginya tingkat korupsi di sektor publik di Asia Pasifik akan menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita baik di negara-negara berkembang dan maju. kualitas kelembagaan rendah, ditandai dengan kegagalan pemerintah (korupsi), memiliki pengaruh buruk pada kinerja pertumbuhan ekonomi. Kata kunci: Korupsi, Pertumbuhan ekonomi, high cost economy, Asia Pasifik
ii
SUMMARY HAPPY FEBRINA HARIYANI. Corruption: The Factors and Its Impacts on Economic Growth in Asia Pacific. Supervised by DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan ALLA ASMARA. The phenomenon of corruption is a big problem faced by countries with rapid economic development. The problem is not only faced by developing countries, but also in some developed countries. The factors that cause corruption classified into three broad categories--economic, political and socio-cultural. The high level of corruption in a country can also cause high cost economy that could hamper economic growth through the obstacles that occur in the investment. This study uses annual data from the period of 2004 to 2014, with 17 countries of Asia Pacific. This research method uses a static panel. The purpose of this study is to analyze the factors that affect the level of corruption and to analyze the impact of corruption on economic growth in the Asia Pacific region. The results show that public budget, political stability, and urban population affect the level of corruption. While the factors that affect on economic growth are corruption, government spending, government spending on health and education, and Foreign Direct Investment (FDI). Corruption shows a negative relationship to economic growth. The high level of public sector corruption in Asia Pacific will lower the Gross Domestic Product (GDP) per capita both in developing and developed countries. Low institutional quality, indicated by the failure of the government (corruption), has a bad influence on economic growth performance. Keywords: Corruption, Economic Growth, High Cost Economy, Asia Pacific
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
iv
KORUPSI : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KAWASAN ASIA PASIFIK
HAPPY FEBRINA HARIYANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Tony Irawan, SE MEcApp
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Korupsi: Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Asia Pasifik”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir DS. Priyarsono, MS dan Bapak Dr Alla Asmara, SPt MSi selaku dosen pembimbing atas arahan, masukan serta motivasi yang sangat berharga dalam menyelesaikan penelitian ini serta kepada Bapak Tony Irawan, SE MEcApp dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni, SP MSi selaku dosen penguji luar komisi dan penguji dari wakil program studi atas kritik dan sarannya dalam menyempurnakan penelitian ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Yulya Aryani, Faisal Amir, Deviyantini, dan Zulva Azizah yang senantiasa memberikan masukan yang sangat bermanfaat. Di samping itu, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada ibu Krismawati Andayani, ayah Hari Mulyono, serta adik tercinta Fajar Hidayat atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman satu perjuangan Reguler IE Angkatan 9 (Deviyantini, Ria Jayanti, Sri Wahyuni, dan Rully) dan teman-teman Fast track Angkatan 3. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat terdekat (Rinawati Mahmudah, Evi Diyah Puspitaningrum, Debby Ananda, Fifin Binta, Jenny Liu, dan Hudson Liao), serta pihak-pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian tesis ini baik berupa saran, masukan maupun dukungan kepada penulis. Ucapan terimakasih juga diberikan kepada seluruh civitas Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2016 Happy Febrina Hariyani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 5 9 10 10
2
TINJAUAN PUSTAKA Teori Korupsi Demokrasi Pertumbuhan Ekonomi Teori Pertumbuhan Neo Klasik Teori Pertumbuhan Endogen Demokrasi dan Korupsi Stabilitas Politik dan Korupsi Keterbukaan Ekonomi dan Korupsi Public Budget dan Korupsi Kualitas Regulasi, Urban Population dan Korupsi Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi Kegagalan Pemerintah Penelitian Terdahulu Hipotesis Penelitian Kerangka Pemikiran
10 10 13 16 16 18 20 23 23 24 24 24 26 27 29 29
3
METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Metode Pengolahan Data Perumusan Model Uji Hipotesis Uji Asumsi Definisi Operasional
32 32 33 33 36 37 38 40
4
GAMBARAN UMUM Pendapatan per Kapita di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pembelanjaan Pemerintah, Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan, dan Investasi Asing Langsung di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pertumbuhan Populasi di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik
41 41 43 48
ii
Dinamika Korupsi Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik 5
49
HASIL DAN PEMBAHASAN 52 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Korupsi Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik 52 Analisis Dampak Korupsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik 56
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
61 61 62
DAFTAR PUSTAKA
64
LAMPIRAN
69
RIWAYAT HIDUP
80
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan Tipe Rezim Tujuh Belas Negara Asi Klasifikasi Negara Kawasan Asia Pasifik Berdasarkan Pendapatan Tipe Rezim Berdasarkan Indeks Demokrasi Ringkasan Penelitian Terdahulu Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian Ketentuan Nilai Durbin-Watson Sepuluh Negara Paling Korup di Dunia Sepuluh Negara Terbersih dari Korupsi di Dunia Hasil Estimasi Model Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Korupsi dengan Menggunakan Metode Fixed Effect Model 10 Hasil Cross Section Effect Model Korupsi 11 Hasil Estimasi Model Analisis Dampak Korupsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Menggunakan Metode Fixed Effect Model 12 Hasil Cross Section Effect Model Pertumbuhan Ekonomi
4 7 15 27 32 40 50 50 52 56 57 61
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
GDP Perkapita di Kawasan Asia Pasifik Hubungan antara Korupsi dan Demokrasi Kerangka Pemikiran Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel Pertumbuhan GDP Perkapita Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Dinamika Pembelanjaan Pemerintah di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014 Dinamika Pengeluaran untuk Kesehatan dan Pendidikan di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014 Dinamika Investasi Asing Langsung di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014 Dinamika Pertumbuhan Populasi di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014 Klasifikasi Indeks Persepsi Korupsi di Dunia Berdasarkan Tingkatan Warna Tahun 2015 Proporsi Penduduk Perkotaan dan Pengendalian Korupsi
8 23 31 35 43 44 45 47 48 51 55
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil Estimasi Model Korupsi 2 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi 3 Dinamika Korupsi di Kawasan Asia Pasifik
69 73 77
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena korupsi adalah masalah besar yang dihadapi negara-negara dengan perkembangan ekonomi pesat. Masalah korupsi tidak hanya dihadapi oleh negara yang sedang berkembang, namun juga di beberapa negara-negara maju sekalipun. Transparency International (2015) dalam laporan Corruption Perceptions Index menyatakan bahwa “Not one single country, anywhere in the world, is corruption-free” yang berarti bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang bebas dari korupsi. Seperti korupsi yang terjadi di Jerman yang merupakan salah satu negara maju di dunia. Menurut Dinas Kriminal Jerman, tahun 2007 ada 9.554 kasus korupsi yang diperiksa di kepolisian. Tahun 2011 jumlahnya meningkat pesat menjadi 46.795 kasus. Kasus-kasus korupsi tersebut termasuk penggelapan dana, penyogokan dan penyalahgunaan jabatan. Klitgaard (1988) mendefinisikan korupsi sebagai suatu bentuk pembayaran ilegal kepada agen publik untuk memperoleh manfaat yang mungkin tidak pantas, atau penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan pribadi. Korupsi menjadi sebuah fenomena global yang memengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik. World Bank (2008) memperkirakan bahwa lebih dari US$10 milyar atau sekitar 5 persen dari GDP dunia setiap tahun hilang dikarenakan korupsi. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab korupsi yang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori besar, yaitu faktor ekonomi, politik dan sosial budaya. Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Pembangunan ekonomi melalui pendidikan, adanya kelas penciptaan kelas menengah ditemukan sebagai penentu terkuat untuk mengurangi korupsi di banyak studi (Treisman 2000; Paldam 2002). Sebaliknya, Kaufmann dan Kray (2002) berpendapat bahwa tingkat korupsi yang lebih rendah akan berdampak pada pembangunan ekonomi yang tinggi, bukan dari pendapatan yang tinggi untuk mengurangi korupsi. Pada negara-negara dengan kekayaan sumber daya alam yang besar ditermukan secara signifikan lebih korup, karena menawarkan kesempatan yang lebih besar untuk korupsi (Ades dan Di Tella 1999; Leite dan Weidman 1999; Gylfason 2001). Faktor politik yang menjelaskan korupsi misalnya demokrasi, keefektifan pemerintah dan desentralisasi. Demokrasi elektoral misalnya, di satu sisi pemilihan kompetitif cenderung mengurangi korupsi actor lama yang korup dan memilih keluar dari pemilihan. Di sisi lain, kebutuhan untuk membiayai kampanye politik dapat menyebabkan politisi memperdagangkan keputusan politik untuk pendanaan. Pada tingkat deskriptif, terdapat negara-negara yang tidak cocok dengan pola “negara yang lebih demokratis adalah negara yang tingkat korupsinya rendah”. Singapura sering disebutkan sebagai contoh negara yang relatif tidak demokratis dimana tingkat korupsinya rendah. Sebaliknya, negara-negara demokratis seperti Mongolia, Paraguay atau Nikaragua memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Mungkin saja terdapat faktor lain yang menjelaskan tingkat korupsi di negara-negara tersebut. Sedangkan faktor sosial budaya dan sejarah korupsi telah disoroti sebagai efek dari nilai-nilai budaya, warisan kolonial, ethnic diversity, kualitas regulasi dan urban population.
2
Korupsi terjadi di seluruh negara, tetapi fenomena yang terjadi di negara berkembang menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi suatu hal yang lumrah, sehingga tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara atau warga negara dapat disahkan. Masalahnya adalah akibat yang ditimbulkan oleh korupsi ini telah merusak sistem ekonomi, politik dan sosial masyarakat atau negara. Lebih jauh, Winarno (2008) menyatakan bahwa korupsi dapat menghambat pelaksanaan reinventing government dan good governance. Dalam perspektif hubungan korupsi dan pertumbuhan ekonomi, para ekonom, sejarawan dan ahli politik telah terlibat dalam perdebatan panjang tentang apakah korupsi membahayakan pertumbuhan ekonomi. Pandangan umum menyatakan bahwa korupsi dapat mendistorsi alokasi sumberdaya yang efisien dalam perekonomian. Sebagian besar ekonom memandang bahwa korupsi menjadi penghambat utama pembangunan ekonomi. Menurut Blackburn et al (2006), korupsi merupakan salah satu penyebab pendapatan rendah dan memainkan peran penting dalam menimbulkan jebakan kemiskinan. Namun, beberapa orang menganggap bahwa korupsi digunakan sebagai oiling the wheel untuk birokasi, terkadang korupsi juga dapat bermanfaat bagi perekonomian (Huntington 1968; Lui 1985). Sebaliknya, Tanzi (1998) dan Guriev (2004) mengklaim bahwa korupsi dapat menimbulkan biaya birokrasi yang besar. Pellegrini dan Gerlagh (2004) menemukan bukti mengenai efek merugikan dari korupsi terhadap berbagai variabel ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi. Semua studi empiris menemukan bahwa korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sebagian besar studi teroritis yang menganalisis pengaruh korupsi menjelaskan efek merugikan pada pertumbuhan dengan fokus pada kelemahan dari pemerintah pusat (Barreto 2000). Menurut Shleifer dan Vishny (1993), misalnya, pemerintah pusat yang lemah memungkinkan lembaga pemerintah yang independen melakukan suap pada penjualan barang pemerintah seperti perizinan. Jumlah lembaga yang meningkatkan total suap naik hingga tak terbatas dan izin penjualan jatuh ke nol akan mengurangi jumlah investasi dan pertumbuhan. Huntington (1968) berpendapat bahwa modernisasi politik, transisi dan otokrasi ke pemerintah yang lebih demokratis akan melemahkan kekuatan pemerintah pusat dan meningkatkan korupsi karena adanya perubahan tersebut. Mauro (1995) membangun indeks korupsi untuk 67 negara dan menunjukkan bahwa korupsi mempunyai hubungan negatif dengan investasi dan pertumbuhan. Mauro menyatakan bahwa arah hubungan keduanya adalah korupsi yang memengaruhi pertumbuhan, sedangkan pertumbuhan tidak memengaruhi korupsi. Kemudian Toke Adit, Jayasri Dutta dan Vania Sena (2008) menyatakan bahwa peran dari akuntabilitas politik sebagai penentu hubungan antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Jika lembaga politik memiliki kualitas yang baik, makan korupsi akan memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya apabila lembaga politik di suatu negara memiliki kualitas yang rendah, maka korupsi tidak akan berdampak pada pertumbuhan. Korupsi telah diidentifikasi sebagai suatu penghalang yang signifikan terhadap upaya perkembangan bagi Least Developed Countries (LDCs). International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan bahwa korupsi dapat mengurangi GDP suatu negara lebih dari 0.5 persen. Data World Bank menunjukkan bahwa lebih dari US$1 triliun per tahun digunakan untuk tindak penyuapan peluang kontrak bisnis dari negara dan tindak monopoli. Tindak pidana
3
penyuapan terhadap pejabat publik yang terjadi di negara-negara berkembang dan transisi dan diperkirakan uang hasil korupsi tersebut mencapai US$20 miliar hingga US$40 miliar pertahun. Menurut Ofiicial Development Asistance (ODA), selama periode 2002-2011, negara-negara dunia ketiga telah mengalami kerugian sekitar US$9 triliun. Ancaman korupsi yang sudah menjadi endemik ini menjadi permasalahan besar di seluruh negara tidak terkecuali sejumlah negara di Asia Pasifik. Asia Pasifik termasuk dramatis, Uni Sosial Demokrat (2015) menemukan bahwa sekitar sepertiga dana investasi publik di sejumlah negara Asia Pasifik dikorupsi dan terjadi penggelembungan harga dalam berbagai proyek atau menerima suap dalam kisaran 20-100 persen. Transparency International (2015) dalam laporannya juga menyebutkan bahwa 64 persen negara di kawasan ini berada pada indeks di bawah 50 yang berarti sebanyak 64 persen negara-negara di kawasan Asia Pasifik memiliki tingkat korupsi yang cukup tinggi. Meskipun mendukung rencana anti korupsi untuk kawasan Asia Pasifik, pemerintah daerah dibebani oleh endemik korupsi yang menghambat pemerintahan di daerah. Pada Tabel 1 di bawah ini menunjukkan perkembangan tingkat korupsi yang diukur dengan menggunakan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga Transparency International (2015) dan juga tipe rezim yang dibagi berdasarkan indeks demokrasi menjadi empat kelompok yaitu Full Democracy, Flawed-Democracy, Hybrid Democracy dan Authoritarian yang dikeluarka oleh The Economist-Intelligence Unit (EIU) . Pada tabel tersebut menunjukkan tingkat korupsi di tujuh belas negara Asia Pasifik dengan range indeks CPI dari 0-10, dimana apabila nilai indeks semakin tinggi maka tingkat korupsinya semakin rendah atau semakin bersih negara tersebut, begitu pula sebaliknya dan juga menunjukkan negara dengan tingkat demokrasi yang berbeda. Beberapa penelitian membuktikan bahwa korupsi banyak terjadi di negara miskin dan negara sedang berkembang atau terjadi pada gaya kepemimpinan yang otoriter (Sasana 2004). Banyaknya praktik korupsi di negara dunia ketiga dan berkembang merupakan bentuk kegagalan perencanaan pemerintah akibat kualitas institusi yang rendah sehingga kepentingan pribadi lebih didahulukan daripada kepentingan nasional (Todaro dan Smith 2006).
4
Tabel 1 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan Tipe Rezim Tujuh Belas Negara Asia Pasifik No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Nama Negara Australia Kamboja China India Indonesia Jepang Korea Selatan Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Filipina Singapura Thailand Timor-Leste Vietnam
*IPK 2013 8.1 2.0 4.0 3.6 3.2 7.4 5.5 5.0 3.8 3.1 9.1 2.8 3.6 8.6 3.5 3.0 3.1
*IPK 2014 8.0 2.1 3.6 3.8 3.4 7.6 5.5 5.2 3.9 2.9 9.1 2.9 3.8 8.4 3.8 2.8 3.1
**Tipe Rezim Full Democracy Hybrid Regime Authoritarian Flawed-Democracy Flawed-Democracy Flawed-Democracy Flawed-Democracy Flawed-Democracy Flawed-Democracy Hybrid Regime Full Democracy Hybrid Regime Flawed-Democracy Flawed-Democracy Hybrid Regime Flawed-Democracy Authoritarian
Sumber : *Corruption Perception Index, Transparency International (2015),”0” Terkorupsi, “10” terbersih **The Economist Intelligence Unit, 2015
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa indeks IPK setiap negara untuk pada tahun 2013 mengalami penurunan di tahun 2014, meskipun sebagian mengalami peningkatan, namun sebagian besar mengalami penurunan beberapa poin dari tahun sebelumnya. Misalnya Indonesia, pada tahun 2013 -2014 IPK Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0.2 point menjadi 3.4. Sebaliknya, pada tahun 2014 IPK Singapura mengalami penurunan sebesar 0.1 poin dari tahun 2013, yaitu sebesar 8,4. Negara-negara lain pun mengalami kondisi yang serupa. Data pada tabel 1 juga menunjukkan bahwa kelompok negara maju seperti New Zealand, Singapura, Jepang dan Australia memiliki IPK yang cenderung lebih besar dari negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Negara-negara tersebut termasuk dalam negara yang lebih bersih dari korupsi daripada negara lainnya.Tidak ada perubahan yang signifikan yang terjadi antara negara terbersih dan negara terkorup yang ditunjukkan dalam tabel di atas. Sedangkan indeks persepsi korupsi sendiri pada berbagai negara menunjukkan tidak adanya perbaikan tingkat korupsi, bahkan terjadi kemunduran selama rentan waktu 10 tahun. Dari setiap peningkatan yang ada di tujuh belas negara Asia Pasifik ini hanya mampu meningkatkan persepsi indeksnya satu atau dua poin bahkan beberapa negara mengalami penurunan dan tidak ada perubahan yang signifikan dalam pemberantasan perilaku korupsi. Pada Tabel 1 juga dijelaskan beberapa pengelompokan negara berdasarkan tipe rezim yang dilihat dari besarnya indeks demokrasi. Dapat dilihat bahwa negara yang Full Democracy mempunyai indeks korupsi yang besar yang berarti tingkat korupsi di negara tersebut rendah. Kondisi yang berbeda ditunjukan oleh negara yang Flawed-Democracy, Hybrid Regime dan Authoritarian, dimana tingkat korupsi yang terjadi di negara tersebut tidak sama. Seperti yang terjadi pada Indonesia dan Singapura yang merupakan negara kelompok Flawed-Democracy, tetapi tingkat korupsi pada negara tersebut tidak sama. Singapura yang merupakan
5
negara maju mempunyai tingkat korupsi yang lebih rendah dari pada India. Data tersebut mendukung pendapat Syed Husseis Alatas dalam Damanhuri (2010) bahwa praktik-praktik korupsi sudah mengakar kuat dan sulit diberantas di Asia Tenggara. Negara penganut sistem pemerintahan demokrasi belum tentu terbebas dari perilaku-perilaku korupsi. Korupsi yang dimaksud adalah korupsi dengan level tingkat pemerintahan atau sektor publik. Myrdal dalam Damanhuri (2010) Korupsi di Asia Selatan dan Asia Tenggara berasal dari penyakit neo-patrimonalisme, yakni warisan budaya feudal kerajaankerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam konteks tersebut, rakyat biasa atau bawahan memberikan “upeti” (berkembang menjadi sogok, komisi, amplop, dan lain-lain). Hal tersebut erat kaitannya dengan kualitas pemerintahan negara-negara Asia Pasifik. Para pejabat di sektor publik cenderung memiliki perilaku rent seeking behavior (dalam hal ini korupsi) yang dapat menurunkan kualitas pemerintahan dan kualitas institusi yang dalam penelitian Casseli dan Morelly dalam Sasana (2004) dapat dilihat dari dimensi kompetensi dan dimensi kejujuran. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa korupsi tidak hanya memengaruhi pertumbuhan ekonomi tetapi juga memengaruhi distribusi pendapatan. Tanzi (1995) berpendapat bahwa korupsi mendistorsi peran redistributif dari pemerintah. Karena hanya individu yang terhubung lebih baik yang mendapatkan proyek-proyek pemerintah yang paling menguntungkan mereka. Sangat kecil kemungkinan bahwa pemerintah mampu meningkatkan distribusi pendapatan dan membuat sistem ekonomi yang lebih adil. Namun demikian, hanya ada beberapa studi empiris (Li et al 2000, Gupta et al 2002) menganalisis pengaruh korupsi pada distribusi pendapatan sedangkan penelitian teoritis hampir tidak ada. Kedua studi empiris menemukan bahwa korupsi meningkatkan ketimpangan pendapatan secara signifikan. Dalam hal ini, korupsi menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengidentifikasi penyebab korupsi dan seberapa besar pengaruh korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di kawasan Asia Pasifik. Seperti yang diketahui bahwa negara-negara di kawasan Asia Pasifik ini menunjukkan kondisi ekonomi yang berbeda-beda dan juga tingkat ekonomi yang berbeda pula antar negara. Menjadi menarik untuk mengetahui apakah korupsi mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di negara maju dan di negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Perumusan Masalah Terdapat banyak faktor yang memengaruhi besarnya tingkat korupsi yang ada di suatu negara. Banyak variabel telah diusulkan sebagai penyebab korupsi, yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori besar, yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa faktor yang memengaruhi tingkat korupsi berdasarkan temuan dari penelitian sebelumnya. Faktor ekonomi yang direpresentasikan oleh economic openness (keterbukaan ekonomi) dan public budget (anggaran publik). Penelitian sebelumnya mengukur sejauh mana korupsi dapat dijelaskan oleh rendahnya tingkat persaingan ekonomi. Ades dan Di Tella (1995 dan 1997) menyimpulkan bahwa economic openness yang diukur dari rasio
6
impor dan ekspor terhadap GDP telah merangsang persaingan ekonomi yang adil yang menurunkan sewa ekonomi dan meningkatkan tingkat pengendalian korupsi melalui keterbukaan ekonomi. Keterbukaan ekonomi mempromosikan integrasi ekonomi dengan ekonomi global. Akibatnya, pelaku ekonomi domestik harus mampu bersaing dengan pesaing mereka dari luar negeri untuk bertahan hidup dan atau untuk meraih peluang pasar di negara-negara lain. Perkembangan ini dapat merangsang sektor swasta dalam negeri untuk beroperasi secara lebih efisien. Di sisi lain, hal itu juga akan merangsang pemerintah agar lebih cepat tanggap dan memperkenalkan peraturan yang lebih efisien, dengan mengurangi birokrasi dan monopoli serta menerapkan perekonomian yang lebih kompetitif. Singkatnya, kombinasi upaya sektor publik dan swasta akan memperkuat pengendalian korupsi. Keterlibatan pemerintah dalam perekonomian yang dapat diwakili oleh rasio anggaran publik terhadap GDP dapat memperkuat tingkat korupsi. Secara khusus, Elliot (1997) menunjukkan bahwa tingkat korupsi meningkat dengan tingkat anggaran pemerintah relatif terhadap GDP. Keterlibatan pemerintah dapat mempromosikan monopoli, dan mencegah kompetisi terbuka dan adil di antara pelaku usaha, perkembangan tersebut yang akan mendorong korupsi. Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus memberikan lebih banyak kesempatan bagi sektor swasta dan tetap fokus sebagai regulator ekonomi. Faktor politik termasuk di dalamnya demokrasi dan stabilitas politik. Montinola dan Jackman (2002) menunjukkan bahwa efek demokrasi terhadap korupsi mungkin nonlinear. Sementara demokrasi umumnya diyakini dapat mengurangi korupsi. Terdapat masalah endogenitas yang jelas dalam mengukur dampak demokrasi terhadap korupsi. Tujuan dari demokrasi ini adalah untuk memahami hubungan antara bentuk dan korupsi pada tingkat rezim secara fundamental, terutama mengingat perkembangan politik terbaru di seluruh dunia. Di negara-negara dengan rezim otoriter, orang kaya dan berkuasa dapat melakukan penindasan untuk memenuhi kepentingan mereka. Namun di negaranegara demokrasi, penindasan sebagai pengganti korupsi tidak dapat digunakan, dan karenanya orang kaya bergantung pada korupsi yang lebih banyak sehingga ketimpangan meningkat dan tekanan redistributif akan tumbuh. Sementara negaranegara dengan rezim otoriter cenderung memiliki tingkat korupsi rata-rata yang lebih tinggi. Aleksandra (2000) menemukan bahwa stabilitas merupakan prasyarat penting untuk mitigasi korupsi yang sukses. Kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil memungkinkan pemerintah dan warga negara untuk mempromosikan mekanisme transparan dalam pemantauan, penilaian dan pengendalian korupsi. Aleksandra juga menunjukkan bahwa korupsi merajalela di negara-negara di Eropa Tenggara yang mengalami transisi politik. Sering kali transisi ini disertai dengan ketidakstabilan politik, ekonomi dan sosial. Ketidakstabilan ini dapat membuat korupsi menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia untuk warga negara, termasuk pejabat pemerintah untuk bertahan hidup. Berdasarkan penelitian tersebut, stabilitas politik dapat memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat korupsi. Faktor ketiga yang memengaruhi korupsi adalah faktor sosial. Mengacu pada penelitian Wijayanto (2007), penelitian ini menggunakan variabel quality of regulations (kualitas regulasi) dan urban population (rasio penduduk yang tinggal di daerah perkotaan). Kualitas regulasi telah diprediksi memiliki hubungan negatif dengan tingkat korupsi dengan regulasi yang berkualitas tinggi, jelas, komprehensif
7
dan mudah dilaksanakan. Ketiga kualitas tersebut dapat membantu dalam mekanisme anti korupsi di suatu negara agar berfungsi lebih efektif. Selain itu, proporsi penduduk perkotaan juga dapat memiliki hubungan negatif dengan korupsi, karena warga perkotaan cenderung berpendidikan dan lebih terlibat dalam kegiatan masyarakat sipil, seperti menjadi lembaga pengawas untuk mendorong akuntabilitas pemerintah. Literatur empiris tentang korupsi bertahap muncul pada dekade ini yang menunjukkan hubungan negatif antara korupsi dan pertumbuhan. Knack dan Keefer (1995) menemukan bahwa kualitas lembaga pemerintah, termasuk tingkat korupsi, memengaruhi investasi dan pertumbuhan sebanyak variabel ekonomi politik lain (misalnya, kebebasan politik, kebebasan sipil, dan kekerasan politik). Kaufman dan Wei (1998) menemukan bahwa perusahaan yang membayar suap lebih juga menghabiskan lebih banyak waktu dengan birokrat di negara-negara yang lebih korup dan memiliki biaya yang lebih tinggi dari modal, sehingga melawan pandangan korupsi sebagai "grease money." Subekti (2015) menyatakan bahwa pada negara berkembang pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun, negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga memiliki kecenderungan untuk melakukan praktik korupsi di sektor publik yang diakibatkan kualitas institusi pemerintahan yang rendah dalam mengontrol korupsi. Bukan hanya di negara berkembang, tidak menutup kemungkinan negara maju melakukan praktik korupsi. Korupsi merupakan penyalahgunaan kepentingan nasional demi kepentingan pribadi. Kegagalan pemerintah (government failure) diduga merupakan indikasi terbesar penyebab rent seeking behavior (korupsi) di negara kawasan Asia Pasifik, dimana pada kawasan tersebut terdiri dari negara berkembang dan negara maju seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi Negara Kawasan Asia Pasifik Berdasarkan Pendapatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Negara Australia Kambodia China India Indonesia Jepang Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Filipina Singapura Korea Selatan Thailand Timor-Leste Vietnam
Income Group High Income Lower Middle Income Upper Middle Income Lower Middle Income Lower Middle Income High Income Upper Middle Income Upper Middle Income Lower Middle Income High Income Lower Middle Income Lower Middle Income High Income High Income Upper Middle Income Lower Middle Income Lower Middle Income
Kategori Negara Negara Maju Negara Berkembang Negara Berkembang Negara Berkembang Negara Berkembang Negara Maju Negara Berkembang Negara Berkembang Negara Berkembang Negara Maju Negara Berkembang Negara Berkembang Negara Maju Negara Maju Negara Berkembang Negara Berkembang Negara Berkembang
Lower middle income ($ 1,026-$ 4,035), Upper middle income ($4,036-$12,475), High income (lebih dari $12,476) Sumber : World Bank, 2015
8
Asia Pasifik merupakan rumah dari 50% populasi dunia, dan selama beberapa dekade menjadi wilayah yang paling dinamis dari ekonomi global. Asia Pasifik telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa dari para negara Macan Asia. Munculnya Cina dan India sebagai kekuatan global, dan munculnya hubungan jaringan perdagangan yang semakin rumit dan dinamis yang membentang di seluruh wilayah Asia Pasifik. Tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan Asia selama 10 tahun terakhir ini secara konsisten melebihi rata-rata pertumbuhan global pada umumnya. Pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi terdapat permasalahan internal yang menaungi pemerintah di sektor publik kawasan Asia Pasifik yaitu tingkat korupsi yang tinggi. 40000
GDP Per Kapita (US$)
35000 30000 25000
Australia
20000
Jepang Korea Selatan
15000
New Zealand 10000
Singapura
5000 0 2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
a. Negara Maju 40000
GDP Per Kapita (US$)
35000
China Filipina
30000
India
25000
Indonesia Kambodia
20000
Malaysia
15000
Mongolia Nepal
10000
Pakistan
5000
Thailland Timor Leste
0 2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
b. Negara Berkembang Sumber : World Bank, 2015 (data diolah)
Gambar 1 GDP Perkapita di Kawasan Asia Pasifik
Vietnam
9
Beberapa penelitian membuktikan bahwa korupsi terjadi di negara miskin dan negara sedang berkembang atau terjadi gaya kepemimpinan yang otoriter (Sasana, 2004). Banyak praktik korupsi di negara dunia ketiga dan berkembang merupakan bentuk kegagalan perencanaan pemerintah akibat kualitas institusi yang rendah sehingga kepentingan pribadi lebih didahulukan daripada kepentingan nasional (Todaro dan Smith 2004). Tidak hanya di negara dengan kepemimpinan otoriter, Jain (2001) berpendapat bahwa fenomena korupsi mungkin terjadi di negara demokratis yang melibatkan korupsi pada kalangan eksekutif tingkat tinggi di pemerintahan, legislatif yang melibatkan korupsi di antara wakil-wakil dari masyarakat umum, dan melibatkan korupsi di kalangan birokrasi. Jain (2001) juga berpendapat bahwa Korupsi tidak hanya terjadi pada negara berkembang dan miskin, namun korupsi juga terjadi pada negara maju dikarenakan kualitas pemerintahan yang buruk. Metode korupsi yang terjadi semakin vulgar. Pejabat pemerintah menggelembungkan harga-harga dalam berbagai proyek menerima suap dari para kontraktor yang menjadi rekanan pemerintah. Praktik korupsi yang meluas tidak disertai dengan kepastian hukum yang tegas. Kesulitan dalam pemberantasan korupsi semakin besar karena aparat penegak hukum juga terjerat dalam tindakan korupsi. Tingginya tingkat korupsi di suatu negara juga dapat menimbulkan high cost economy yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi melalui hambatan yang terjadi pada investasi (Damanhuri 2010; Mauro 1995). Mo (2000) menyatakan bahwa korupsi memengaruhi inovasi dan produktifitas karena menurunnya peran pemerintah yang produktif. Korupsi juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan melalui beberapa jalur pertumbuhan seperti, ketimpangan pendidikan, ketidakpastiaan dalam investasi (Gupta et al 2000). Menurut RoseAckerman (1999) bahwa korupsi dapat merusak kinerja ekonomi, tingginya derajat korupsi dikaitkan dengan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, fenomena korupsi merefleksikan krisis kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih serius. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah adalah: 1. Faktor-faktor apa yang memengaruhi tingkat korupsi di kawasan Asia Pasifik? 2. Bagaimana dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat korupsi di kawasan Asia Pasifik. 2. Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik.
10
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik bagi penulis ataupun bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara lain adalah: 1. Bagi pemerintah dan instansi pengambil keputusan terkait tulisan ini dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan terkait pentingnya meminimalkan rent seeking behavior guna mencapai social walfare bagi publik di kawasan Asia Pasifik 2. Bagi pembaca dapat memberikan masukan-masukan dan menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. 3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi wadah untuk mengaplikasikan pengetahuan terutama bidang ilmu ekonomi serta menambah pengalaman dan wawasan dalam penelitian. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup serta keterbatasan dalam penelitian ini adalah: 1. Periode tahun analisis yang digunakan hanya dari tahun 2004 sampai 2014 dikarenakan keterbatasan beberapa tahun data sebelum tahun 2004 dan setelah tahun 2014. 2. Peneliti mengambil tujuh belas negara yang ada di kawasan Asia Pasifik (Australia, Kamboja, Cina, Filipina, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Mongolia, Nepal, New Zealand, Pakistan, Singapura, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam), sedangkan negara lain yang berada di kawasan Asia Pasifik seperti Afghanistan, Hongkong Taiwan, Brunei, Papua New Guinea, Sri Lanka, dan Bhutan tidak diikutsertakan karena keterbatasan data. 3. Penelitian ini bermaksud untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat korupsi dilihat dari sisi ekonomi, politik, dan sosial, mengidentifikasi dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2004-2014. 4. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Tranceparency International berdasarkan sumberdata yang terkualifikasi, korupsi yang terjadi pada sektor publik. Nilai Indeks Persepsi Korupsi berdasarkan survei yang dilakukan kepada para pelaku bisnis dan perkara korupsi yang dibawa ke pengadilan. Korupsi bersifat tersembunyi dan sulit untuk mengukur secara langsung.
2 TINJAUAN PUSTAKA Teori Korupsi Menurut World Bank, definisi paling sederhana dari korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Berdasarkan pandangan hukum, dikatakan korupsi apabila memenuhi unsur-unsur perbuatan yang melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana,
11
memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Nawatmi (2014), menyatakan bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai tindakan korupsi diantaranya apabila memberi atau menerima hadiah atau janji dan penyuapan, penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan dan menerima gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Secara umum korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi. Korupsi adalah setiap transaksi antara pelaku dari sektor swasta dan sektor publik melalui utilitas bersama yang secara ilegal ditransformasikan menjadi keuntungan pribadi (World Bank 1997). Menurut Transparency International, korupsi besar terdiri dari tindakan yang dilakukan pemerintah yang mendistorsi kebijakan atau fungsi utama negara, yang memungkinkan para pemimpin untuk mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan para pemimpin untuk mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kepentingan publik. Transparency International menggunakan Corruption Perception Index atau Indeks Persepsi Korupsi untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara dalam sektor publik. CPI merupakan indikator agregat yang menggabungkan berbagai sumber informasi tentang korupsi, sehingga memungkinkan untuk membandingkan tingkat korupsi setiap negara. Semua sumber informasi yang digunakan untuk membangun CPI dihasilkan oleh organisasi pengumpul data yang terkemuka. Sumber yang disertakan dalam CPI harus bisa mengukur cakupan keseluruhan tingkat korupsi (frekuensi dan ukuran transaksi) di sektor publik dan politik, dimana sumber tersebut memberikan peringkat pada setiap negara dan peringkat ini merepresentasi tingkat korupsi yang berbeda di setiap negara. Metodologi yang digunakan untuk menilai indeks persepsi korupsi ini harus sama untuk semua negara yang diambil dari sumber yang terpilih. Jumlah survei dan penilaian yang disertakan berbeda dari tahun ke tahun tergantung pada ketersediaan data. Bentuk atau perwujudan utama korupsi menurut Amundsen dalam Anvig et al (2000) menyebutkan bahwa terdapat 6 karakteristik dasar korupsi, yaitu: 1. Suap (Bribery) adalah pembayaran dalam bentuk uang atau barang yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi. Suap merupakan jjumlah yang tetap, persentase dari sebuah kontrak, atau bantuan dalam bentuk uang apapun. Biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat perjanjuan atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada perusahaan atau perorangan dan perusahaan. 2. Penggelapan (Embezzlement) adalah pencurian sumberdaya oleh pejabat yang diajukan untuk mengelolanya. Penggelapan merupakan salah satu bentuk korupsi ketika pejabat pemerintah yang menyalahgunakan sumberdaya publik atas nama masyarakat. 3. Penipuan (Fraud) adalah kejahatan ekonomi yang melibatkan jenis tipu daya, penipuan atau kebohongan. Penipuan melibatkan manipulaso atau distorsi informasi oleh pejabat publik. Penipuan terjadi ketika pejabat pemerintah mendapatkan tanggungjawab untuk melaksanakan perintah. Memanipulasi aliran informasi untuk keuntungan pribadi. 4. Pemerasan (Extortion) adalah sumberdaya yang diekstraksi dengan menggunakan paksaan, kekerasan atau ancaman. Pemerasan adalah transaksi
12
korupsi dimana uang diekstraksi oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk melakukannya. 5. Favoritisme adalah kecenderungan diri dari pejabat negara atau politisi yang memiliki akses sumberdaya negara dan kekuasaan untuk memutuskan pendistribusian sumberdaya tersebut. Favoritisme juga memberikan perlakuan istimewa kepada kelompok tertentu. Selain itu, favoritisme juga mengembangkan mekanisme penyalahgunaan kekuasaan secara privatisasi. 6. Nepotisme adalah bentuk khusus dari favoritisme. Mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan. Chetwynd et al (2003) menyatakan bahwa korupsi memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menghambat pertumbuhan ekonomi berdasarkan beberapa teori berikut: 1. Korupsi menghalangi investasi asing dan domestik. Biaya sewa meningkat dan menciptakan ketidakpastian, menurunkan insentif pada kedua investor asing dan domestik. 2. Korupsi pajak kewirausahaan. Pengusaha dan inovator memerlukan lisensi dan izin dan membayar suap untuk pemotongan barang ke dalam margin keuntungan. 3. Korupsi menurunkan kualitas infrastruktur publik. Sumberdaya publik dialihkan ke penggunaan pribadi, standar diabaikan, dana untuk operasional dan pemeliharaan dialihkan ke kepentingan pribadi. 4. Korupsi menurunkan pendapatan pajak. Perusahaan dan kegiatan yang didorong ke sektor informal dengan mengambil sewa berlebihan dan pajak dikurangi dengan imbalan hadiah kepada pejabat pajak. 5. Korupsi mengalihkan bakat menjadi rent seeking. Pejabat yang seharusnya dapat terlibat dalam kegiatan produktif menjadi beralih ke pengambilan keuntungan dari sewa, dimana mendorong dan meningkatkan pengambilan biaya sewa. 6. Korupsi merusak komposisi pengeluaran publik. Pencari keuntungan akan mencari proyek paling termudah dan terselubung, mengalihkan dana dari sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan. Terlepas dari tingkatan sosial dan pembangunan ekonomi yang ada di setiap negara, korupsi dapat terjadi dimana saja. Korupsi umumnya terjadi di sektor publik dan sektor swasta, dan khususnya terjadi pada pejabat publik yang memiliki tanggungjawab langsung atas ketetapan pelayanan publik dan regulasi khusus. Secara politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, dimana korupsi dapat menghancurkan proses formal yang sudah dibentuk. Korupsi pada pemilihan umum dan badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan dalam pembuatan kebijakan; korupsi pada sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum dan korupsi pada pemerintahan publik yang menyebabkan ketidakadilan dalam pelayanan pada masyarakat. Korupsi juga menurunkan legitimasi pemerintahan dan nilai-nilai demokrasi (Nawatmi, 2014) Pada sektor ekonomi, Nawatmi (2014) menambahkan bahwa korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dimana pada sektor privat, korupsi meningkatkan biaya karena adanya pembayaran ilegal dan resiko pembatalan perjanjian atau karena adanya penyidikan. Namun, ada juga yang menyebutkan
13
bahwa korupsi mengurangi biaya karena mempermudah birokrasi yaitu adanya sogokan yang menyebabkan pejabat dapat membuat aturan baru dan hambatan baru. Dengan demikian, korupsi juga bisa mengacaukan perdagangan. Perusahaan yang berada pada lingkup pemerintahan akan terlindungi dari persaingan, hal tersebut menyebabkan perusahaan menjadi tidak efisien. Dampak negatif dari korupsi lainnya adalah pengalihan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat dimana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Hal tersebut menimbulkan sebuah distorsi pada sektor publik. Demokrasi Berbagai parameter asesmen demokrasi dirumuskan dengan bermacammacam pendekatan metodologis, implisit maupun eksplisit melalui parameterparameter yang mendeklarasikan pilihan-pilihan ideologis. Bukan hanya ketika digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi perkembangan demokrasi, tetapi juga ketika dimaksudkan untuk mempromosikan aspek-aspek tertentu demokrasi. Setiap lembaga asesmen demokrasi memiliki tolak ukur yang berbeda dalam mengevaluasi perkembangan demokrasi, juga berbagai fokus dan aspek yang disoroti. Hal tersebut membuktikan bahwa bias ideologis selalu ada pada setiap parameter asesmen. Betapapun, hal ini mengingatkan kembali bahwa demokrasi dan demokratisasi adalah wilayah yang penuh dengan upaya kolonisasi diskursif. Berikut adalah beberapa pendekatan mainstream dalam asesmen demokrasi. 1. Freedom House Freedom House adalah salah satu lembaga independen terkemuka yang berpusat di Washington yang setiap tahun melakukan evaluasi atas apa yang disebut “kebebasan di dunia.” Peta kebebasan dunia, atau peta mengenai dunia bebas yang laporan berkalanya di-update setiap tahun oleh lembaga ini dan secara khusus menyoroti dua kategori kebebasan sebagai parameter utama. Pertama adalah hak-hak politik dan kedua adalah kebebasan sipil. Dua kriteria tersebut digunakan untuk melakukan survai sejak tahun 1972 untuk melakukan evaluasi tahunan mengenai situasi kebebasan setiap negara di dunia. Standar yang digunakan Freedom House untuk mengukur kebebasan, sebagian besar didasarkan pada norma-norma Deklarasi Universal PBB mengenai Hak Asasi Manusia. Standar itu menurut mereka bisa diterapkan dan berlaku untuk semua negara. Tidak peduli dimanapun lokasi geografisnya, bagaimanapun komposisi etnis maupun religiusnya, dan berapapun tingkat perkembangan ekonominya. Dua parameter tersebut juga menjadi elemen utama sistem politik demokratik, dan mereka juga mengklaimnya sebagai parameter untuk evaluasi terhadap situasi demokrasi. Dalam pandangan Freedom House, hak-hak politik merupakan serangkaian hak untuk menjamin terlaksananya sistem politik demokratis, antara lain berupa hak-hak yang menjamin orang untuk bergabung dengan partai-partai dan organisasi politik, berkompetisi untuk menduduki jabatan-jabatan publik, memberikan suara secara bebas untuk calon-calon alternatif melalui pemilihan umum yang absah, dan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar dianggap akan membawa pengaruh nyata terhadap kebijakan publik serta yang bertanggungjawab kepada pemilih. Sementara itu,
14
menurut Freedom House, kebebasan sipil meliputi kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, hak untuk berserikat dan berkumpul, rule of law, otonomi pribadi, termasuk kebebasan ekonomi tanpa campur tangan negara. Dalam pandangan mereka, kebebasan bisa sangat rentan terpengaruh baik oleh kekuatan-kekuatan pemerintah maupun non-pemerintah, termasuk kelompokkelompok pemberontakan bersenjata, kejahatan terorganisir, serta kepentingankepentingan bisnis yang berpengaruh. Oleh sebab itu, Freedom House mengukur hak-hak itu di dunia nyata yang dinikmati oleh individu-individu, lebih ketimbang mengukurnya pada level kinerja pemerintahan. Selain itu, dengan mempertimbangkan bahwa banyak pemerintahan represif menerapkan berbagai undang-undang yang melindungi hak-hak politik dan kebebasan sipil tapi gagal menjalankannya, maka Freedom House lebih memberi perhatian pada praktekpraktek aktual dijalankannya hak-hak politik dan kebebasan sipil itu ketimbang pada tingkat normatif menurut peraturan perundangan. Freedom House mengukur peringkat 192 negara di seluruh dunia. Rating tersebut didasarkan pada penilaian atas jawaban dari 25 pertanyaan yang dibagi menjadi 10 pertanyaan mengenai hak-hak politik dan 15 pertanyaan mengenai kebebasan sipil. Topik-topik pertanyaan meliputi isu-isu independensi media, kebebasan beragama, korupsi, hak-hak partai politik untuk menjalankan fungsinya, independensi sistem peradilan, dan hak-hak kaum perempuan. Skala pemeringkatan adalah 1-7, semakin tinggi peringkatnya, maka semakin baik kinerja negara tersebut. Dalam kategorisasi Freedom House, negara dengan peringkat 2 untuk kinerja hak-hak politik memiliki hak-hak politik yang sedikit lebih lemah dibandingkan dnegan negara yang berada pada peringkat 1. Hal tersebut dapat terjadi karena faktor-faktor korupsi politik terbatasnya fungsi-fungsi partai politik dan kelompok oposisi, disamping karena masih kuatnya pengaruh asing atau pengaruh kekuatan militer dalam politik. Sedangkan negara dengan peringkat 3, 4 atau 5 untuk kebebasan sipil adalah mereka yang cukup memiliki perlindungan terhadap hampir di semua jenis kebebasan sipil. Negara dengan skala peringkat ini memiliki kecenderungan untuk sangat melindungi beberapa jenis kebebasan sipil tapi kurang melindungi beberapa jenis kebebasan yang lainnya. 2. The Economist Intelligence Unit (EIU) The Economist Intelligence Unit adalah sebuah grup peneliti di bawah majalah terkemuka The Economist yang setiap tahun mengeluarkan laporan mengenai Indeks Demokrasi di seluruh dunia. Indeks demokarsi menilai keadaan demokarsi 167 negara yang ada di dunia, dengan memfokuskan pada evaluasi dan penilaian menyangkut lima kategori umum, yaitu proses pemilihan umum daa pluralism, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan kebudayaan politik. Selain skor numerik dan peringkat, indeks demokrasi mengkategorikan negara sebagai salah satu dari empat rezim, yaitu rezim demokrasi penuh (full democracy), demokrasi cacat (flawed-democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian).
15
Secara metodologis, indeks demokrasi didasarkan pada analisis serangkaian hasil survei atas berbagai pertanyaan yang menyoroti kinerja demokrasi di setiap negara. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan umumnya merupakan expert’s assessment atau penilaian ahli yang diberikan atas situasi demokrasi di negara-negara yang bersangkutan. EIU juga memanfaatkan survei-survei yang dikerjakan di lembaga-lembaga lain, seperti yang dikerjakan oleh Freedom House. Berdasarkan penilaian tersebut, Indeks Demokrasi mengklasifikasikan negaranegara ke dalam empat kategori tipe rezim politik dengan skor yang berbeda sepeti yang ada pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Tipe Rezim Berdasarkan Indeks Demokrasi Tipe Rezim Authoritarian Regimes (Rezim Otoriter) Hybrid regimes (Rezim Hibrida) Flawed-Democracies (Demokrasi Cacat) Full Democracies (Demokrasi Penuh)
Skor
Jumlah Negara
% dari negara
% populasi dunia
52
30.5
34.1
4.01 - 6.0
36
22.2
17.5
6.01 - 8.0
59
35.3
39.5
8.01 - 10
20
12.0
8.9
0 - 4.0
Sumber : The Economist- Intelligence Unit, 2015
3. World Democracy League (WDL) World Democracy League (WDL) juga melakukan evaluasi terhadap “demokrasi dunia” dengan mengedepankan empat parameter, yaitu Hak Asasi Manusia, hak-hak politik, kebebasan berbicara, dan absennya korupsi. Secara khusus, WDL menjadikan parameter pemilu yang jujur dan transparan sebagai kriteria utama pelaksanaan demokrasi di 150 negara yang dievaluasi. Dalam kategori ini, mereka menemukan dunia yang terbelah menjadi empat kelompok. Kelompok pertama dan kedua dianggap sebagai kelompok negara-negara yang matang dalam berdemokrasi, antara lain ditandai dengan terjaminnya hak-hak politik dan kebebasan sipil, menjalankan sirkulasi kekuasaan secara demokratis melalui pemilu yang rutin tapi dalam derajatnya dibedakan karena praktek korupsi. Dua puluh empat negara di Eropa Barat dan Utara serta New Zealand termasuk kelompok pertama dengan tradisi pemilu yang demokratis dan pemerintahan yang bebas korupsi, sementara tiga belas negara di Eropa Timur dan Selatan serta Amerika Serikat, dianggap tergolong dalam kelompok kedua, karena meskipun secara rutin menjalankan pemilu tapi prakteknya masih dipenuhi berbagai cacat, juga pemerintahnya masih tidak cukup beba dari korupsi. Kelompok ketiga diwakili oleh 77 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang dikategorikan sebagai negara-negara demokrasi setengah matang. Bukan saja karena tidak ada jaminan dalam kebebasan sipil dan hak-hak politik tetapi juga praktek pemilunya dianggap sebagai “lipstick convinience”, sehingga tidak cukup menjamin terselenggaranya sirkulasi kekuasaan yang sesuai dengan dinamika politik masyarakat. Tiga puluh enam negara lainnya yang tergolong
16
dalam kelompok keempat dianggap tidak demokratis, khususnya karena praktek pemilu tidak pernah dijalankan secara rutin. Pertumbuhan Ekonomi Kuznets (Jhingan, 1988) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukan oleh penduduk negara yang dimaksud. Definisi ini mempunyai tiga komponen utama; (1) pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dan meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang, (2) teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk, dan (3) penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan idiologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat. Sadono Sukirno (2000) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi adalah perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlaku dari tahun ke tahun. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari apa yang telah dicapai pada periode waktu sebelumnya. Laju pertumbuhan ekonomi diukur melalui laju PDB atas dasar harga konstan. Boediono (1992) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses dari kenaikan output perkapita dalam jangka waktu yang panjang. Pertumbuhan ekonomi meliputi tiga aspek; (1) pertumbuhan ekonomi adalah sebuah proses ekonomis, yaitu; berubah dari waktu ke waktu, (2) pertumbuhan ekonomi terkait erat dengan dua aspek penting yaitu total output dan jumlah penduduk, dan (3) pertumbuhan ekonomi dikatakan mengalami peningkatan apabila output perkapita meningkat dalam jangka waktu yang panjang. Karakteristik dari adanya sebuah proses pertumbuhan ekonomi diungkapkan oleh Kaldor (dalam Barro & Martin, 1995) : (1) total output perkapita meningkat dari tahun ke tahun dan cenderung tidak berkurang, (2) modal fisik per pekerja meningkat dari waktu ke waktu, (3) tingkat pengembalian modal cenderung akan konstan, (4) rasio atas modal fisik terhadap output cenderung akan konstan, (5) peranan tenaga kerja dan modal fisik terhadap pendapatan nasional cenderung akan konstan dan (6) tingkat pertumbuhan output perpekerja berbeda di setiap negara. Menghitung pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan membandingkan PDB pada satu tahun tertentu (PDBt) dengan PDB tahun sebelumnya (PDBt-1), seperti pada persamaan berikut (Sukirno 2000) : Laju Pertumbuhan Ekonomi : (Y) =(𝑃𝐷𝐵𝑡 ) –(𝑃𝐷𝐵𝑡 −1)(𝑃𝐷𝐵𝑡 )𝑥 100% Teori Pertumbuhan Neo Klasik Di dalam teori pertumbuhan ekonomi, dikenal dua aliran pemikiran yaitu teori neoklasik dan teori modern (Tulus T.H. Tambunan, 2003).Pada teori
17
neoklasik, faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja (Labor/L) dan kapital (capital/K). Adanya tambahan K dan L dengan asumsi produktifitas masing-masing faktor produksi tetap, maka akan menambah output yang dihasilkan. Persentase pertumbuhan output bisa lebih besar (increasing return to scale) bisa lebih kecil (decreasing return to scale) atau tetap (constant return to scale) dibanding persentase pertambahan input K dan L. Dalam teori ini, peran teknologi dianggap konstan, sehingga teori ini tidak mengenal adanya peningkatan produktivitas. Teori pertumbuhan ekonomi Solow-Swan merupakan teori pertumbuhan Neo Klasik yang berkembang sejak tahun 1950an. Teori pertumbuhan Solow-Swan didasarkan pada konsep dasar yang diberikan oleh kaum ekonomi klasik. Teori pertumbuhan Solow-Swan dikembangkan oleh Robert Solow (Massachussets Institute of Technology) serta Trevor Swan (Australia National University). Teori pertumbuhan neoklasik berawal dari suatu asumsi sederhana, yaitu; perekonomian akan mencapai kondisi pertumbuhan yang konstan (steady state). Asumsi yang digunakan untuk menjelaskan Model Solow-Swan antara lain : 1. Produksi menggunakan 3 input utama yaitu; modal (K), tenaga kerja (L) dan teknologi (T), sehingga fungsi produksi diformulasikan : 𝑌t = 𝐹 𝐾𝑡 , 𝐿𝑡 , 𝑇𝑡 2. Perekonomian tertutup, dengan formulasi : 𝑌𝑡 = 𝐶𝑡 + 𝐼𝑡 dan keseimbangan perekonomian tertutup adalah : 𝑆𝑡 = 𝐼𝑡 3. Tabungan adalah sebagian dari output yang tidak dikonsumsi, sehingga : 𝑆𝑡 = 𝑠𝑌𝑡 4. Modal bersifat homogen dan terdepresiasi dengan tingkat konstan (𝛿), sehingga penambahan akan positif jika investasi baru lebih besar dari depresiasi capital. 𝐾 𝑡 = 𝐼 𝑡 − 𝛿 𝐾 t = 𝑠. 𝐹 𝐾 𝑡 , 𝐿 𝑡 , 𝑇 𝑡 − 𝛿 𝐾 t 5. Populasi (L) dan tekologi (A) tumbuh konstan dan bersifat eksogen, dengan tingkat pertumbuhan : 𝑛𝐿 ≥ 0 𝑛𝐴 ≥ 0 Fungsi produksi pada persamaan (2) memiliki beberapa properti, yaitu; (1) constant return to scale, (2) positive and diminishing return to private inputs, (3) inada condition dan (4) essentiality. Persamaan fundamental dari Model SolowSwan, sebagai berikut : 𝑘 𝑡 = 𝑠𝑦 (𝑡) − 𝛿 + 𝑛𝐿 + 𝑛𝐴 𝑘 𝑡 Pada suatu waktu, perekonomian akan mencapai kondisi steady state. Kondisi steady state merupakan kondisi ketika pendapatan perkapita dan elemen produksi perkapita lainnya tumbuh konstan. Kondis steady state diformulasikan pada persamaan : 𝑠𝑦 𝑡 = 𝛿 + 𝑛𝐿 + 𝑛𝐴 𝑘 𝑡 Oleh karena itu, dalam Model Solow-Swan, y,k, dan c tumbuh konstan pada kondisi steady state. Agar y,k, dan c konstan, maka Y, K, dan C harus tumbuh pada tingkat pertumbuhan (𝑛𝐿 + 𝑛𝐴). Dengan demikian, pertumbuhan jangka panjang bergantung
18
pada faktor eksogen. Berdasarkan Model Solow-Swan, setiap input berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana diformulasikan : ΔY 𝑌
= εK
ΔK 𝐾
+ εL
ΔL 𝐿
+ εA
ΔA 𝐴
dengan 𝜀𝐾 adalah kontribusi modal, 𝜀𝐿 adalah kontribusi tenaga kerja dan 𝜀𝐴 adalah kontribusi teknologi. Persamaan (10) disebut sebagai growth accounting, dengan ΔA [εA ] merupakan input produksi selain modal dan tenaga kerja yang diharapkan 𝐴 mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Model Solow-Swan menyimpulkan bahwa mesin pertumbuhan adalah perkembangan teknologi. Akan tetapi, model tersebut mengasumsikan bahwa teknologi bersifat eksogen. Dengan demikian, Model Solow-Swan meninggalkan celah yang belum dapat dijelaskan. Romer dan Lucas (1980) mengembangkan Model Solow-Swan dengan menjadikan teknologi sebagai faktor endogen. Model Romer menunjukan bahwa total produksi ditentukan oleh perilaku-perilaku agen ekonomi. Dalam salah satu model pertumbuhan endogen, model AK, modal harus didefinisikan dalam arti yang lebih luas, yaitu : modal fisik dan modal manusia agar terjadi pertumbuhan yang berkelanjutan. Teori pertumbuhan neoklasik kurang bisa menjelaskan pertumbuhan ekonomi negara-negara yang tergabung dalam NICs (New Industry Countries) seperti Korea Selatan, Taiwan, HongKong dan Singapura. Adanya pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut menunjukkan pentingnya teknologi dalam peningkatan produktifitas. Jadi bukan hanya input K dan L saja yang penting dalam produks tetapi juga input teknologi. Teori pertumbuhan endogen memberikan sebuah alur pemikiran teoretis yang baru dalam menganalisis sumber-sumber pertumbuhan. Teori ini mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh suatu sistem yang mengatur proses produksi dan bukan dari kekuatan-kekuatan lain yang berada di luar sistem. Karakteristik dari model pertumbuhan endogen adalah endogenitas semua faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, memasukkan faktor politik sebagai faktor yang mepengaruhi pertumbuhan sangat relevan. Drazen (2000) mengungkapkan bahwa ekonomi politik melihat kinerja ekonomi sebagai cerminan dari keputusan politik yang bersifat endogen.
Teori Pertumbuhan Endogen Pada teori pertumbuhan endogen, faktor-faktor penting yang memengaruhi pertumbuhan selain K dan L juga teknologi, kewirausahaan, bahan baku dan material. Selain itu juga ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum dan peraturan, stabilitas politik, kebijakan pemerintah, birokrasi dan dasar tukar internasional (term of trade). Pentingnya faktor-faktor tersebut bisa dilihat dari berbagai kasus yang terdapat di Afrika, khusunya di Sub-Sahara Afrika. Di negaranegara tersebut, pembangunan ekonomi terhenti diantaranya karena kualitas tenga kerja yang sangat rendah, politik yang tidak stabil, peperangan, defisit keuangan pemerintah dan keterbatasan infrastruktur.
19
Dari penjelasan di atas nampak perbedaan antara teori pertumbuhan neoklasik dengan teori pertumbuhan endogen. Pada teori teori pertumbuhan endogen, peran kualitas tenaga kerja lebih penting dari pada kuantitas tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja bukan hanya dilihat dari tingkat pendidikan tetapi juga kondisi kesehatannya. Dalam analisis-analisis empiris, peran pendidikan dan kesehatan menjadi variabel yang penting dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Demikian pula dengan kapital, peran kualitas dari kapital (kemajuan teknologi) lebih penting dari pada kuantitasnya. Begitu pula dengan peran dari kewirausahaan, termasuk kemampuan untuk melakukan inovasi, menjadi salah satu faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neo-klasik berargumen bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasi dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap bahwa teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Maka dari itu pengembangan teori pertumbuhan endogen berawal dari penolakan premis bahwa teknologi yang memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat eksogen. Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: 1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. 2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer (1986). Dalam mengembangkan teorinya Romer menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik. Dalam model Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi. Dengan demikian variabel modal dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu : 1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja.
20
3.
Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut:
𝑌𝑖𝑡 = 𝐾𝑖𝑡 𝐿1− 𝑖𝑡 𝐾𝑡 dengan 0 < < 1; 0 < < 1
Dimana Yi adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning) yang dikemukakan oleh Lucas (1988) melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut: 𝑌𝑖𝑡 = 𝐴𝐾𝑡 (𝑢𝑡 𝐻𝑡 𝐿𝑡 )1−𝛼 𝐻𝑡𝜃 Dimana Yt adalah output prouksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja dalam berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuan yang dimiliki leh pekerja. Peningkatan Ht yang sejalan dengan ut akan menyebabkan fungsi produksi bersifat increasing return to scale dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat keterampilan rata-rata tenaga kerja. Demokrasi dan Korupsi Korupsi umumnya didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi, atau penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Beberapa pengukuran mengenai tingkat korupsi di berbagai negara telah ada, mulai dari indeks persepsi subjektif hingga pengukuran yang lebih objektif. Adanya pro dan kontra mengenai indeks ini juga telah dieksplorasi (Svensson 2005; Treisman 2007). Definisi demokrasi sendiri telah banyak diperdebatkan dalam ilmu politik. Definisi sederhana dengan melihat demokrasi sebagai suatu pengaturan kelembagaan dimana warga mengungkapkan preferensi mereka melalui pemilihan umum (Schumpeter1950). Definisi yang lebih luas juga menambahkan kondisi yang diperlukan untuk preferensi yang dirumuskan secara efektif dan cukup berbobot dalam pengambilan keputusan, termasuk kebebasan sipil seperti kebebasan berekspresi (Dahl 1971).
21
Hal ini menjadi suatu perkembangan karakterisasi demokrasi menjadi berbagai bentuk akuntabilitas pemerintah. Akuntabilitas vertikal menunjukkan akuntabilitas pemerintah kepada rakyat melalui pemilu, sedangkan akuntabilitas horisontal mengacu checks and balances dalam pemerintahan, dan akuntabilitas sosial mengacu pada keberadaan pers bebas, masyarakat sipil dan sebagainya. Sejumlah indeks demokrasi yang ada yang umumnya digunakan dalam penelitian tentang demokrasi dan korupsi, mencakup bentuk akuntabilitas terutama akuntabilitas vertikal dan horizontal. Sehingga dapat diketahui efek yang ditimbulkan dari bentuk pertanggungjawaban atas korupsi yang dirasakan. Dari perspektif teoritis, ada beberapa alasan mengapa kita mungkin mengharapkan demokrasi untuk mengurangi korupsi. Pemilihan umum meningkatkan kemungkinan bahwa para pejabat yang korup akan terungkap dan dihukum, sebagai oposisi dalam memiliki insentif untuk mengungkap kegiatan korupsi oleh pihak berwajib, dan pemilih memiliki keuntungan dalam tidak mengijinkan pemilihan kembali atas politisi yang mendukung kepentingan pribadi mereka sendiri. Selain itu, pemilihan yang kompetitif cenderung menurunkan sewa swasta yang dapat diambil oleh para pejabat, karena tawaran yang menguntungkan bagi kepentingan khusus dapat melemahkan oposisi (Myerson 1993; Ades dan Tella 1999). Demokrasi juga memerlukan sistem yang lebih terbuka dari pemerintah, yang berarti bahwa informasi pribadi tentang bagaimana sistem bekerja akan menjadi kurang lazim, dan harga sebuah informasi akan turun. Checks dan balances yang efektif dalam pemerintahan mungkin sama-sama membatasi kemampuan pejabat untuk menyimpang dari praktik yang berimbang. Dengan kata lain, mengetahui seseorang dalam kekuasaan menjadi kurang berharga. Selain itu, demokrasi dapat memengaruhi persepsi normatif korupsi di masyarakat, membuat kegiatan korupsi kurang menarik karena mereka membawa stigma yang lebih besar, dan mungkin juga memengaruhi jenis individu yang tertarik untuk jabatan publik. Singkatnya, demokrasi dapat mengurangi korupsi dengan mengurangi manfaat pribadi dari tindakan korupsi dan meningkatnya biaya yang diharapkan. Bagaimanapun, terdapat juga argumen teoritis yang bertentangan. kampanye pemilu membutuhkan dana, dan pemilihan yang lebih kompetitif dapat membuat partai politik dan kandidat rentan terhadap tekanan dari penyandang dana (Rose-Ackerman 1999). Seperti yang ditunjukkan oleh Pani (2011), bahkan pemilih median yang rasional dapat memilih untuk pemerintahan yang korup untuk alasan strategis. Beberapa kalangan berpendapat bahwa pengenalan demokrasi telah memperkuat hubungan patron-klien yang ada, yang mengarah ke demokratisasi korupsi daripada pengurangan korupsi itu sendiri. Efek dari pemerintahan yang lebih terbuka juga terbilang ambigu, Bac (2001) berpendapat bahwa transparansi membuatnya lebih mudah untuk mengidentifikasi secara resmi mengenai tindakan suap-menyuap, dan menunjukkan bahwa efek ini dapat mendominasi efek deteksi korupsi untuk perubahan kecil dalam transparansi. Selain itu, lembaga-lembaga akuntabilitas horizontal sering ditunjuk atau didanai oleh pemerintah, yang dapat mengurangi insentif dan kapasitas untuk mengatasi korupsi pemerintah. Dalam kasus terburuk, lembagalembaga ini dapat digunakan untuk menganiaya lawan politik pemerintah, daripada meminta pertanggungjawaban pemerintah. Pada akhirnya, jika persepsi normatif atau risiko tertangkap dalam aksi korupsi tergantung pada jumlah pejabat korup di masyarakat, ini berarti bahwa mungkin ada beberapa kesetimbangan dengan
22
berbagai tingkat korupsi, dan perubahan kecil dalam norma-norma atau perilaku yang ditimbulkan oleh demokrasi mungkin tidak cukup untuk mengusir keseimbangan korupsi yang tinggi. Secara total, argumen ini menyiratkan bahwa demokrasi mungkin tidak berpengaruh pada korupsi, atau bisa pada prinsipnya juga meningkatkan korupsi. Apakah demokrasi mengurangi korupsi pada akhirnya menjadi sebuah pertanyaan empiris. Bagaimanapun, sulit untuk menarik kesimpulan tentang dampak demokrasi terhadap korupsi dari studi empiris yang ada. Treisman (2007) umumnya menemukan hubungan signifikan yang negatif antara keduanya, tapi mencatat bahwa hasil tersebut sensitif terhadap indeks demokrasi yang digunakan dalam estimasi. Studi sebelumnya oleh Treisman (2000) menunjukkan bahwa durasi demokrasi yang penting bukan demokrasi itu sendiri. Sementara Rock (2009) mengklaim menemukan hasil yang sama, durasi demokrasi sebenarnya indeks durasi rezim, inklusi yang membuat indeks demokrasi tidak signifikan. Dalam analisis Paldam (2002), menambahkan tingkat pendapatan sebagai kovariat membuat demokrasi tidak signifikan. Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan dalam masyarakat lebih menentukan tingkat korupsi dari pada demokrasi (Uslaner 2008). Singkatnya, dan seperti yang tercermin dalam Lambsdorff (2005), hasil yang ada pada hubungan antara demokrasi dan korupsi dapat menghasilkan hubungan yang positif maupun negatif. Huntington (1968) berpendapat bahwa modernisasi politik, transisi dari otokrasi ke pemerintahan yang lebih demokratis akan melemahkan kekuatan pemerintah pusat dan meningkatkan korupsi yang menghasilkan perubahan pada sisi output dari sistem politik. "Modernisasi, khususnya di kalangan negara-negara modernisasi, melibatkan perluasan otoritas pemerintah dan perbanyakan kegiatan yang dikenai peraturan pemerintah (Huntington 1968). Hal tersebut masih menyisakan pertanyaan, apakah ada dukungan empiris yang kuat untuk hubungan U terbalik antara demokrasi dan korupsi seperti yang digambarkan dalam Gambar 2, yang memplot hubungan antara korupsi dan demokrasi. Schneider dan Schmitter (2004) memberi label konsolidasi demokrasi pada aspek kompetisi pemilu, aturan hukum, keefektifan pemerintah, perilaku, sikap dan norma-norma aktor politik. Faktor-faktor lain yang memengaruhi korupsi, diikuti dengan hubungan U terbalik dengan berorientasi pada proses definisi yang lebih demokrasi, bukan pada aspek pemilihan demokrasi.
23
Sumber : Schneider and Schmitter (2004)
Gambar 2 Hubungan antara Korupsi dan Demokrasi Baik teori maupun bukti kasus memberikan dukungan kuat untuk demokratisasi yang melahirkan hipotesis korupsi, setidaknya pada titik-titik tertentu. Pada tingkat teoritis, Mohtadi dan Roe (2003) menyatakan bahwa model korupsi sebagai perilaku persaingan monopolistis agen swasta yang baik dapat berinvestasi dalam kegiatan produktif atau di-rent-seeking (korupsi). Dalam model mereka, negara-negara yang baru demokrasi mengalami checks and balances yang tidak cukup dan kurangnya transparansi, menyediakan rent-seekers dengan akses yang lebih besar kepada pejabat publik dan kesempatan yang lebih besar untuk mengumpulkan sewa sektor publik, setidaknya sampai titik tertentu, tanpa membuat tindakan korup dari rent-seeker dan pejabat terbuka untuk pengawasan publik.
Stabilitas Politik dan Korupsi Aleksandra (2000) menemukan bahwa stabilitas merupakan prasyarat penting untuk mitigasi korupsi yang sukses. Kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil memungkinkan pemerintah dan warga negara untuk mempromosikan mekanisme transparan dalam pemantauan, penilaian dan pengendalian korupsi. Aleksandra juga menunjukkan bahwa korupsi merajalela di negara-negara di Eropa Tenggara yang mengalami transisi politik. Sering kali transisi ini disertai dengan ketidakstabilan politik, ekonomi dan sosial. Ketidakstabilan ini dapat membuat korupsi menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia untuk warga negara, termasuk pejabat pemerintah untuk bertahan hidup. Berdasarkan penelitian tersebut, stabilitas politik dapat memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat korupsi. Keterbukaan Ekonomi dan Korupsi Ades dan Di Tella (1995 dan 1997) menyimpulkan bahwa economic openness atau keterbukaan ekonomi (diukur dari rasio impor dan ekspor terhadap GDP) telah merangsang persaingan ekonomi yang adil yang menurunkan sewa ekonomi dan meningkatkan tingkat pengendalian korupsi melalui keterbukaan ekonomi. Keterbukaan ekonomi mempromosikan integrasi ekonomi dengan ekonomi global.
24
Akibatnya, pelaku ekonomi domestik harus mampu bersaing dengan pesaing mereka dari luar negeri untuk bertahan hidup dan atau untuk meraih peluang pasar di negara-negara lain. Perkembangan ini dapat merangsang sektor swasta dalam negeri untuk beroperasi secara lebih efisien. Di sisi lain, hal itu juga akan merangsang pemerintah agar lebih cepat tanggap dan memperkenalkan peraturan yang lebih efisien, dengan mengurangi birokrasi dan monopoli serta menerapkan perekonomian yang lebih kompetitif. Singkatnya, kombinasi upaya sektor publik dan swasta akan memperkuat pengendalian korupsi. Public Budget dan Korupsi Keterlibatan pemerintah dalam perekonomian yang dapat diwakili oleh rasio anggaran publik terhadap GDP dapat memperkuat tingkat korupsi. Secara khusus, Elliot (1997) menunjukkan bahwa tingkat korupsi meningkat dengan tingkat anggaran pemerintah relatif terhadap GDP. Keterlibatan pemerintah dapat mempromosikan monopoli, dan mencegah kompetisi terbuka dan adil di antara pelaku usaha, perkembangan tersebut yang akan mendorong korupsi. Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus memberikan lebih banyak kesempatan bagi sektor swasta dan tetap fokus sebagai regulator ekonomi. Kualitas Regulasi, Urban Population dan Korupsi Wijayanto (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kualitas regulasi telah diprediksi memiliki hubungan negatif dengan tingkat korupsi dengan regulasi berkualitas tinggi yang jelas, komprehensif dan mudah dilaksanakan. Ketiga kualitas tersebut dapat membantu dalam mekanisme anti korupsi di suatu negara agar berfungsi lebih efektif. Merujuk pada pendapat Gillespie dan Okruhlik (1991) dikemukakan bahwa terdapat empat strategi untuk memberantas korupsi. Pertama menegakkan hukum yang adil dan konsisten bagi para pelaku korupsi, kedua melibatkan masyarakat dalam mendeteksi korupsi, ketiga melakukan reformasi dalam sektor publik dengan meningkatkan tingkat akuntabilitas, transparansi, dan strategi yang keempat yaitu melakukan peningkatan kualitas regulasi yang mengatur tindak korupsi. Haryanto (2013) memandang korupsi sebagai misalokasi sumber daya, maka diperlukan pemberantasan korupsi dan pengawasan dalam pelaksanaan regulasi. Supaya kebijakan yang dibuat tidak menjadi sia-sia. Komitmen pemerintah, penegak hukum dan masyarakat akan menjalankan pemerintahan yang bersih juga perlu ditingkatkan. Bagaimanapun baiknya peraturan dibuat, jika tidak ada komitmen dalam pelaksanaannya maka peraturan tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Selain itu, proporsi penduduk perkotaan juga dapat memiliki hubungan negatif dengan tingkat korupsi, karena warga perkotaan cenderung berpendidikan dan lebih terlibat dalam kegiatan masyarakat sipil, seperti menjadi lembaga pengawas untuk mendorong akuntabilitas pemerintah. Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi Terdapat beberapa teori yang memberikan kepercayaan pada kebijakan pembangunan dalam mengatasi korupsi. Berdasarkan teori Sheifer dan Vishny
25
(1993) misalnya, ketika sebuah proyek perlu mendapat ijin dari banyak orang, dimana masing-masing mempunyai hak veto, maka biaya korupsi meningkat dan pertumbuhan ekonomi menurun. Myrdal (1968) mengatakan bahwa pejabat yang korupsi bisa menggunakan kekuasaannya untuk menunda dan menghalangi suatu proyek sehingga dia bisa mendapatkan suap yang lebih banyak. Krueger (1974) yang mewakili studi klasik tentang ketidakefisienan rent-seeking melalui korupsi dengan pembatasan perdagangan. Korupsi semacam itu, de facto lingkungan kelembagaan akan lebih membatasi aktivitas ekonomi dari pada secara de jure. Tetapi ada juga yang beralasan bahwa korupsi menjadi baik bagi pertumbuhan ekonomi. Lui (1985) menunjukkan bahwa korupsi dapat memperpendek daftar waktu tunggu. Penundaan oleh birokrat yang memperlambat urusan bisnis menyebabkan pebisnis dan konsumen terhalangi untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan, pejabat yang korup dapat memanfaatkan hal ini dengan memperlancar segala sesuatu dengan suap tentunya, sehingga akhirnya mendorong pertumbuhan. Segi positif dari korupsi menjadikan pertumbuhan maksimal di negara-negara yang peraturannya relatif efisien karena menurunnya korupsi akan meningkatkan biaya untuk mengeliminsai semuanya, seperti kejahatan pada umumnya (Klitgaard 1988). Colombatto (2003) juga menganalisis korupsi secara teoritis dengan berbagai lingkungan kelembagaan yang berbeda dan menemukan bahwa dalam beberapa kasus, korupsi dapat menjadi efisien di negara maju sebagaimana di negara totaliter. Sebagian besar penelitian empiris yang mempelajari hubungan langsung antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi yang melambat diakibatkan korupsi. Korupsi dapat memberikan dampak langsung terhadap pertumbuhan GDP negara. Masalah yang terkait dengan penelitian dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah hubungan kausalitas langsung antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Mo (2001) mengungkapkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi melalui saluran transmisi. Saluran yang paling penting dimana korupsi memengaruhi pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Pellegrini dan Gerlagh (2005) menyatakan bahwa korupsi secara substansial berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan sepanjang waktu. Korupsi secara langsung memberikan dampaknya yang bersifat negatif terhadap investasi, pendidikan, dan keterbukaan perdagangan, dan kestabilan ekonomi. Ehrlich dan lui (1999) mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi semakin menurun diakibatkan oleh korupsi, dimana adanya intervensi pemerintah yang tinggi. Selain itu, mereka meyatakan bahwa investasi juga bergantung pada korupsi melalui proses politik sebagai tiket masuk ke jenjang birokrasi. Shleife dan Vishny dalam Mauro (1995) berpendapat bahwa tingginya tingkat korupsi mengakibatkan pertumbuhan ekonomi semakin melambat, dimana terdapat bukti bahwa kemampuan seseorang digunakan untuk pencarian rente (rent seeking behavior) menyebabkan pertumbuhan semakin tidak efisien. Mauro (1995) menyatakan bahwa tingkat korupsi yang tinggi terkait dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi rendah, hal ini menunjukkan indeks korupsi berkorelasi tinggi dengan efisiensi birokrasi seperti rendahnya kualitas pengadilan.
26
Kegagalan Pemerintah Teori Ekonomi Klasik menjelaskan bahwa fungsi pemerintah hanya sebatas memelihara keamanan negara, menyelenggarakan peradilan, dan menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh swasta seperti jalan, dam-dam, dan lainlain. Namun lebih dari sekedar hal tersebut, Pemerintah dipilih oleh publik dengan demokratis dan memegang jabatan publik untuk melayani aspirasi masyarakat guna mencapai alokasi perekonomian secara efisien dan merata. Mekanisme pasar melalui invisible hand dinilai tidak mampu secara efisien dan efektif menjalankan fungsinya dengan baik sehingga menurut Weimer, David dan Vining (1992) adalah merupakan kegagalan pasar tradisional. Barton dalam Sasana (2004) juga menjelaskan bahwa ekonomi pasar yang bebas dikendalikan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis, hanya ada dua alasan bagi pemerintah untuk masuk ke dalam aktivitas masyarakat yaitu social equity dan kegagalan pasar dalam menyediakan barang publik. Public policy digunakan oleh pemerintah untuk mengkoreksi kegagalan pasar dalam memperbaiki efisiensi produksi dan alokasi sumberdaya dan barang, serta merealokasi oportunitas dan barang untuk mencapai nilai-nilai distribusional dan nilai-nilai lainnya (Weimer, David dan Vining 1992). Barton dalam Sasana (2004) menyebutkan bahwa beberapa peran utama pemerintah adalah peran dalam ekonomi makro dan peran dalam kesejahteraan sosial. Peran dalam ekonomi makro seperti merencanakan kebijakan-kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil dan investasi, full employment, inflasi yang rendah dan stabilitas neraca pembayaran. Sedangkan peran dalam kesejahteraan sosial adalah kebijakan-kebijakan yang mendukung pemerataan sosial guna mencapai social walfare yang direpresentasikan dengan kemerataan pendapatan, pengurangan kemiskinan, akses pendidikan dan kesehatan. Dalam menjalankan peran-perannya, pemerintah tidak selalu berhasil. Pemerintah dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang bersifat internal. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatur suatu negara merupakan kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan perencanaan pemerintah lebih banyak dialami oleh negara berkembang akibat kualitas institusi yang rendah (Todaro dan Smith, 2006). Kualitas institusi yang rendah berdampak pada perilaku pemerintah yang menyimpang dalam menjalankan pelayanan publik. Campur tangan pemerintah dalam mengatasi kegagalan pasar terkadang menimbulkan dampak yang tidak dapat diperkirakan dan bahkan merugikan masyarakat. Pemerintah justru menyalahgunakan jabatan publik untuk mengejar keuntungan pribadi (korupsi) atau rent seeking behavior. Sehingga tidak selamanya campur tangan pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan sosial bahkan dapat menimbulkan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Menurut Mangkusoebroto (1993) kegagalan pemerintah disebabkan oleh empat hal, yaitu : (1) informasi yang terbatas, (2) pengawasan yang terbatas atas reaksi pihak swasta, (3) pengawasan yang terbatas atas perilaku birokrat, (4) hambatan dalam proses politik. 3. Informasi yang terbatas, diungkapkan bahwa banyak kebijakan pemerintah yang tidak dapat dilihat dampaknya karena sangat rumit dan sulit untuk diperhitungkan sebelumnya. Misalnya, kebijakan pemerintah untuk
27
menghapuskan subsidi pupuk bagi petani sangat sulit untuk diperhitungkan secara akurat dampaknya bagi seluruh masyarakat. 4. Pengawasan yang terbatas atas reaksi swasta juga merupakan penyebab kegagalan pemerintah. Suatu kebijakan pemerintah akan menimbulkan reaksi pihak swasta dan sering sekali pemerintah tidak dapat menghambat reaksi tersebut. Misalnya, apabila pemerintah menurunkan subsidi BBM khususnya untuk bensin. Hal ini akan menyebabkan pemilik mobil beralih ke kendaraan yang menggunakan solar sehingga permintaan akan solar menjadi meningkat dan harganya naik dengan asumsi mekanisme pasar berjalan dengan baik . Dalam hal ini karena pertimbangan untuk memiliki mobil sepenuhnya berada pada swasta/masyarakat maka pemerintah tidak dapat melarang seseorang untuk menjual mobil yang menggunakan bensin ke mobil yang menggunakan solar. 5. Kegagalan pemerintah juga disebabkan oleh pengawasan yang terbatas atas perilaku birokrat. Pemerintah tidak dapat mengawasi secara ketat perilaku para birokrat, sedangkan pelaksanaan kebijakan pemerintah umumnya didelegasikan pada berbagai tingkatan birokrat yang mempunyai persepsi dan kepentingan yang berbeda-beda, sehingga kebijakan pemerintah mungkin menimbulkan hasil yang berbeda dengan apa yang dinginkan. 6. Selain itu, kegagalan pemerintah juga bisa di sebabkan oleh adanya hambatan dalam proses politik. Dalam suatu negara demokratis terdapat pemisahan wewenang antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Sering terjadi kebijakan yang akan dilaksanakan oleh eksekutif terhambat oleh proses pengambilan keputusan karena harus disetujui dahulu oleh pihak legislatif. Dalam kaitannya dengan politisi, Jackson (2000) mengungkapkan bahwa para politisi yang hendak memaksimumkan suara, akan lebih menyukai defisit anggaran daripada menerapkan pajak dan akan melakukan penyesuaian terhadap variabel-variabel ekonomi makro mengikuti siklus bisnis politik. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kualitas dari para politisi atau pemerintahan yang menurut Casseli dan Morelly dalam Sasana (2004) dapat dilihat dari dimensi kompetensi dan dimensi kejujuran. Penelitian Terdahulu Table 4 Ringkasan Penelitian Terdahulu Penulis Joko Waluyo (2010)
Judul Analisis Hubungan Kausalitas Antara Korupsi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kemiskinan: Suatu Studi Lintas Negara
Metode Analisis Panel Data dan Seemingly Unrelated Regression (SUR)
Observasi 100 negara yang tersebar di lima benua. Tahun 19952007
Hasil Korupsi Tidak memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi.
28
Penulis Oguzhan C. Dincer dan Burak Gunalp (2010)
Judul Corruption, Income Inequality and Growth: Evidence from U.S States
Metode Analisis Panel Data
Hongyi Li, Lixin Colin Xu, dan Hengfu Zou (2000)
Corruption, Analisis Income Panel Data Distribution, and Growth
Sri Nawatmi (2014)
Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi NegaraNegara Asia Pasifik
Analisis Panel Data
Mauro (1995)
Corruption and Growth
Analisis Panel Data
Gyimah dan Brempong (2002)
Corruption and Economic Growth, Income Inequality in Africa
Analisis Panel Data
Observasi 50 negara di Amerika Serikat. Tahun 19862001
Hasil Peningkatan korupsi menyebabkan peningkatan ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan menurun. 47 negara. Korupsi Tahun 1982- memengaruhi 1994 distribusi pendapatan dengan hubungan Ushaped terbalik, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. 14 negara di Lima negara yang Asia Pasifik. korupsinya Tahun 2002- berpengaruh terhadap 2011 petumbuhan ekonomi yaitu dua negara positif signifikan (Jepang dan Korea Selatan) dan sisanya (Brunei Darusalam, Timor Leste dan Kamboja) negatif signifikan. 68 negara. Korupsi berdampak Tahun 1960- pada 1985 pertumbuhan ekonomi secara langsung melalui investasi, pendidikan, pertumbuhan penduduk, pembelanjaan pemerintah, stabilitas politik, berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (GDP perkapita). 21 negara Korupsi menurunkan Afrika. pertumbuhan Tahun 1993- ekonomi secara 1999 langsung,menurunkan tingkat investasi pada modal fisik.
29
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan tanda koefisien variabel demokrasi terhadap korupsi dan variabel korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. 1. Tingkat demokrasi, keterbukaan ekonomi, stabilitas politik, urban population, dan kualitsas regulasi diharapkan berpengaruh positif terhadap korupsi. 2. Public budget diharapkan berpengaruh negatif terhadap korupsi. 3. Tingkat korupsi merupakan penghambat pertumbuhan ekonomi, diharapkan tingkat korupsi berpengaruh negatif terhadap GDP perkapita, baik di negara maju maupun berkembang. 4. Variabel-variabel kontrol lain dalam pertumbuhan ekonomi seperti pengeluaran pemerintah (government expenditure), pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan, Foreign Direct Investment, dan pertumbuhan populasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kerangka Pemikiran Kegagalan pemerintah dalam menunjukkan kualitas institusi yang rendah berdampak pada perilaku pemerintah yang menyimpang dalam menjalankan pelayanan publik. Korupsi menciptakan inefisiensi yang besar. Daron Acemoglu dan James Robinson menyatakan bahwa hanya sampai institusi politik diperbaiki, negara tidak bisa benar-benar berkembang, tetapi institusi-institusi tersebut sangat sulit untuk diperbaiki. Acemoglu dan Robinson juga mendefinikan institusi sebagai "Lembaga Ekonomi yang membentuk insentif ekonomi, insentif untuk menjadi terdidik, untuk berinvestasi, untuk berinovasi dan mengadopsi teknologi baru, dan sebagainya. Lembaga politik menentukan kemampuan warga untuk mengontrol politisi.” Korupsi menjadi penghambat perekonomian karena menciptakan inefisiensi dalam pemakaian sumber daya. Hal tersebut dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Fenomena korupsi menjadi masalah yang dihadapi bukan hanya di negara berkembang, namun negara maju sekalipun. Korupsi menjadi sebuah fenomena global yang memengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Korupsi sendiri dapat terjadi karena adanya tiga faktor utama, yaitu faktor ekonomi, politik, dan sosial. Penelitian ini menggunakan variabel keterbukaan ekonomi dan public budget sebagai faktor ekonomi, dan demokrasi yang direpresentasikan dengan indeks demokrasi serta stabilitas politik sebagai faktor politik. Sedangkan faktor sosial direpresentasikan oleh urban population dan kualitas regulasi. Literatur empiris tentang korupsi bertahap muncul dalam dekade ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara korupsi dan pertumbuhan. Mauro (1995), yang pertama untuk melihat bagaimana korupsi memengaruhi pertumbuhan dalam sampel lintas negara, menyimpulkan bahwa korupsi menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Pertumbuhan ekonomi juga tidak lepas dari dukungan peran pemerintah dalam indikator pengeluaran untuk alokasi barang dan jasa. Selain itu, dalam pertumbuhan ekonomi, FDI atau investasi asing langsung yang merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong perekonomian. Peningkatan investasi asing akan
30
memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui sarana pendidikan. Pengeluaran pendidikan merupakan investasi pada sektor pendidikan dalam meningkatkan sumberdaya manusia atau modal manusia. Pada teori pertumbuhan endogen, peran kualitas tenaga kerja lebih penting dari pada kuantitas tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja bukan hanya dilihat dari tingkat pendidikan tetapi juga kondisi kesehatannya. Dalam analisis-analisis empiris, peran pendidikan dan kesehatan menjadi variabel yang penting dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Indikator ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan GDP perkapita. Untuk studi ini, peneliti akan melihat pengaruh langsung korupsi pada pertumbuhan ekonomi (GDP perkapita) di tujuh belas negara yang ada di kawasan Asia Pasifik. Hasil dari penelitian ini akan diambil kesimpulan dan rekomendasi kebijakan menangani masalah korupsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik.
31
Kegagalan Perencanaan Pemerintah
Kualitas Institusi dan Pemerintah Negara Rendah
Demokrasi
Keterbukaan Ekonomi
KORUPSI
Stabilitas Politik Kualitas Regulasi
Public Budget Pertumbuhan Ekonomi
Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan
Pembelanjaan Pemerintah
Urban Population
Investasi Asing Langsung (FDI)
Pertumbuhan Populasi
Pengolahan Data dengan Metode Analisis Data Panel Eviews 8
1. 2.
Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat korupsi di kawasan Asia Pasifik Dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Asia Pasifik
Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan terhadap penanggulan korupsi dan pertumbuhan ekonomi
Keterangan :
----
Bagian yang dianalisis Alur
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
32
3 METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Seluruh data merupakan data tahunan dengan periode tahun 2004-2014 dengan unit cross section tujuh belas negara di kawasan Asia Pasifik. Negara yang masuk dalam analisis penelitian ini adalah Australia, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Mongolia, Nepal, New Zealand, Pakistan, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Timor-Leste dan Vietnam. Adapun negara Asia Pasifik lainnya, seperti Bhutan, Brunei Darussalam, Bangladesh, Sri Langka, Hongkong, Papua Nugini, Laos, Afghanistan dan Myanmar tidak diikutsertakan dalam penelitian karena keterbatasan data yang dibutuhkan dalam analisis. Tahun yang dijadikan basis analisis adalah 2004-2014, karena di tahun tersebut data yang dibutuhkan tersedia lengkap untuk tujuh belas negara Asia Pasifik. Tabel 5 Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian No. 1.
2. 3.
4.
5.
6. 7. 8. 9. 10.
Data yang Digunakan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) skala 0-10. Skala 0 (tinggi korupsi), skala 10 (rendah korupsi)1 GDP perkapita dua puluh negara Asia Pasisik tahun 2004-2014 (konstan 2005 US$) Indeks Demokrasi (indeks) dengan skala 0-10. Skala 0 (Otoriter), skala 10 (full democracy) Stabilitas Politik (Political Stability) dengan skala -2,5 (stabilitas rendah) sampai 2,5 (stabilitas tinggi) Kualitas Regulasi (Quality of Regulations) dengan skala -2,5 (kualitas rendah) sampai 2,5 (kualitas tinggi) Pembelanjaan Pemerintah (Government Expenditure) (konstan tahun 2005 US$) Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan (persen dari GDP) Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan (persen dari GDP) Foreign Direct Investment (persen)
11.
Economic Openness - rasio impor dan ekspor terhadap GDP (persen) Public Budget (persen dari GDP)
12.
Urban Population (persen)
13.
Pertumbuhan populasi (persen)
Sumber Transparency International
World Development Indicator 2015 (World Bank) The Economist Intelligence Unit dan World Government Indicator World Government Indicator 2015 (World Bank) World Government Indicator 2015 (World Bank) World Development Indicator 2015 (World Bank) World Development Indicator 2015 (World Bank) World Development Indicator 2015 (World Bank) World Development Indicator 2015 (World Bank) World Development Indicator 2015 (World Bank) World Development Indicator 2015 (World Bank) World Development Indicator 2015 (World Bank) World Development Indicator 2015 (World Bank)
Keterangan: 1Transformasi IPK dengan CORit=(1-θ/10), dengan indeks 0 “bersih” dan 10 “terkorupsi”. Transformasi ini dilakukan agar interpretasi searah, sederhana, dan intuitif.
33
Metode Analisis Data Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mengkaji dinamika korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Metode ini juga digunakan pada hasil yang diperoleh dari analisis kuantitatif, sehingga diharapkan dapat menggambarkan dampak korupsi pada pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Metode kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode panel statis. Metode ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat korupsi dan dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengolahan data sekunder dari tujuh belas negara Asia Pasifik dioperasikan dengan menggunakan program computer Microsoft Excel dan Eviews 8 yang kemudian hasilnya diintepretasikan. Metode Pengolahan Data Analisis Data Panel Data panel adalah sebuah set data yang berisi data sampel individu yang menggabungkan antara data cross section dan time series. Data panel bisa menjadi sangat bermanfaat karena ia mengijinkan peneliti untuk mendalami efek ekonomi yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan data cross section saja atau data time series saja. Dengan mengakomodasi informasi baik yang terkait dengan variabelveriabel cross section maupun time series, data panel secara substansial mampu menurunkan masalah omitted-variables; model yang mengabaikan variable yang relevan. Data panel juga bisa berguna untuk alasan teknis-pragmatis, yaitu terkait dengan ketersediaan data. Dengan menggabungkan data time series dan cross section, kita akan mampu menambah jumlah observasi secara signifikan tanpa melakukan treatment apapun terhadap data. Oleh karenanya, data panel mungkin memberikan penyelesaian yang memuaskan. Dalam analisis model data panel dikenal tiga macam pendekatan estimasi yaitu pendekatan kuadrat terkecil (pooled least squares), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect). Pendekatan pertama, menggabungkan seluruh data cross section dan time series, kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode OLS (ordinary least squares) sehingga disebut pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square). Pendekatan kedua, memperhitungkan kemungkinan bahwa kita menghadapi masalah omitted variables dimana omitted variables mungkin membawa perubahan pada intercept time-series atau cross section. Model ini menambahkan dummy variables untuk mengijinkan adanya perubahan intercept. Pendekatan ketiga, memperbaiki efisiensi proses least squares dengan memperhitungkan error dari cross section dan time-series. Model ini adalah variasi dari estimasi generalized least squares. Menurut Baltagi (2005), panel data adalah bentuk data yang merupakan gabungan dari data time series dan cross section. Dalam teori ekonometrika, bentuk panel data dapat mengatasi masalah pengestimasian yang kurang baik sedikitnya jumlah observasi jika hanya dengan menggunakan data time series atau cross section saja. Adapun keuntungan dalam menggunakan panel data (Baltagi, 2005) adalah:
34
1. Panel data mampu mengontrol heterogenitas individu. 2. Panel data memberikan informasi data yang lebih banyak, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien. 3. Jika menggunakan data cross section, walaupun terlihat stabil namun sebenarnya dalam data tersebut tersimpan banyak perubahan, seperti data pengangguran, perpindahan pekerjaan, atau perubahan kebijakan pemerintah. Dengan menggunakan panel data maka penyesuaianpenyesuaian yang dinamis tersebut dapat dengan lebih mudah dipelajari. 4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni. 5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Dalam pengolahan data panel dikenal tiga macam metode, yaitu metode pooled least square, metode efek tetap (fixed effect), dan metode efek acak (random effect). Ketiga metode ini dapat diterapkan dengan pembobotan (cross section weights) atau tanpa pembobotan (no weighting). Pooled Least Square Dalam metode ini data panel yang mengkombinasikan semua data cross section dan time series akan digabungkan menjadi pooled data. Dengan menggunakan metode ini tentunya akan menghasilkan pendugaan regresi yang lebih akurat jika dibandingkan dengan regresi biasa, karena dalam panel berarti menggabungkan data cross section dan time series bersama-sama sehingga memiliki jumlah observasi data yang lebih banyak. Kelemahan dalam metode ini adalah tidak terlihatnya perbedaan baik antar individu karena data yang digabungkan secara keseluruhan. Metode ini diduga dengan menggunakan Ordinary Least Square, yaitu: Yit = α + βXit + Eit dimana: Yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i Α = intersep yang konstan antar individu cross section i Xit = variabel bebas di waktu t untuk unit cross section i Β = parameter untuk variabel bebas εit = komponen error gabungan di waktu t untuk unit cross section i Efek Tetap (Fixed Effect) Metode pooled least square memiliki kekurangan, yaitu tidak terlihatnya perbedaan baik antar individu, sehingga asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan. Sedangkan untuk generalisasi secara umum, dapat dilakukan dengan memasukkan variabel dummy untuk menghasilkan nilai parameter yang berbeda-beda pada setiap unit cross section. Metode dengan memasukkan variabel dummy disebut dengan metode Fixed Effect atau Least Square Dummy Variable. Metode fixed effect akan menghasilkan intersep yang berbeda-beda antar unit cross section. Kelemahan pada metode ini adalah semakin berkurangnya degree of freedom akibat adanya penambahan variabel dummy pada persamaan, dan
35
tentunya akan memengaruhi koefisienan parameter yang diduga. Pendugaan metode ini dinyatakan dalam persamaan berikut. Yit=αi+βjxit+εit dimana: Yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i ai = intersep yang akan berbeda antar individu cross section i xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i βj = parameter untuk variabel ke j εit = komponen error di waktu t untuk unit cross section i Efek Acak (Random Effect) Pada metode efek acak (random effect) karakteristik antar individu terlihat pada komponen error yang ada pada model. Hal ini tidak akan mengurangi derajat bebas (degree of freedom) akibat penambahan variabel, sehingga efisiensi dalam pendugaan parameter juga tidak berkurang. Bentuk model efek acak ini adalah: Yit = αit + βXit + εit εit = uit + vit + wit dimana: uit ~ N(0,δu2) = komponen cross section error, vit ~ N(0,δv2) = komponen time series error, wit ~ N(0,δw2) = komponen combination error, Kita juga mengasumsikan bahwa error secara individual juga tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan secara statistik dan prosedur. Hal ini bertujuan untuk memperoleh dugaan model yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat dijelaskan pada Gambar 4 berikut ini: Fixed Effect Haussman Test Chow Test
Random Effect LM Test Pooled Effect
Gambar 4 Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel 1. Chow Test Chow Test atau pengujian F statistik adalah pengujian untuk memilih model yang akan digunakan antara model Pooled Least Square atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini hipotesis yang digunakan sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Fixed Effect
36
Dasar penolakan terhadap hipotesa nol (H0) adalah dengan menggunakan FStatistik seperti yang dirumuskan oleh Chow: 𝐸𝑆𝑆1 − 𝐸𝑆𝑆2 ( 𝑁 −1 ) 𝐹𝑁−1,𝑁𝑇−𝑁−𝐾 = (𝐸𝑆𝑆2 /(𝑁𝑇 − 𝑁 − 𝐾) dimana : ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model Pooled Least Square ESS2 = Residual Sum Square hasil pendugaan model Fixed Effect N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas (N1, NT-N-K). jika nilai statistik Chow (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari Ftabel maka cukup bukti untuk melakukan penolakan hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga sebaliknya. 2. Haussman Test Haussman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan untuk memilih model terbaik antara model fixed effect atau model random effect. Seperti yang telah diketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Haussman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Random Effect H1 : Model Fixed Effect Sebagai dasar penolakan H0, maka digunakan statistic Haussman dan membandingkan dengan Chi-Square. Statistik Haussman dirumuskan dengan: m = m = (β-b)(M0- M1)-1(β-b)
~χ2(K)
Dimana β adalah vektor untuk variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, m0 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ2 –Tabel, maka sudah cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga sebaliknya.
Perumusan Model Pada penelitian ini, penulis meneliti mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat korupsi dan dampak korupsi di kawasan Asia Pasifik terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Untuk menguji hubungan antara korupsi dan faktor-faktor yang memengaruhinya, seperangkat model multivariat diperkirakan dengan Corruption Perception Index atau Indeks Persepsi Korupsi sebagai variabel korupsi yang diskala kembali menjadi variabel dependen. Set pertama dari model korupsi dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Churchill et al (2013) dan Wijayanto (2007). Perbedaan utama model dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
37
adanya penambahan variabel dummy negara. Model dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Korupsi = f{demokrasi, stabilitas politik, keterbukaan ekonomi, public budget, kualitas regulasi, urban population, dummy} CORit = α + β1 DEMit + β2 POLit + β3 EOPit + β4 PUBit + β5 REGit + β6 URBit + β7Dit+ εit dimana, CORit DEMit POLit EOPit PUBit REGit URBit Dit α
= Indeks persepsi korupsi (indeks) = Indeks demokrasi (indeks) = Stabilitas politik (indeks) = Keterbukaan ekonomi (persen) = Public budget (persen GDP) = Kualitas regulasi (indeks) = Urban population (persen total populasi) = Dummy negara (1 = negara maju, 0 = negara berkembang) = intesep β = slope ε = error
Set kedua adalah persamaan regresi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan korupsi, dimana pertumbuhan ekonomi yang menggunakan data GDP per kapita sebagai variabel dependen dan korupsi sebagai variabel penjelas dan disertai dengan variabel kontrol yaitu pembelanjaan pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan, FDI dan pertumbuhan populasi. Model pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini merujuk pada penelitian Nawatmi (2014) dengan menggunakan model pertumbuhan endogen serta penambahan beberapa variabel penjelas lain. Pertumbuhan Ekonomi = f{korupsi, pembelanjaan pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan, FDI, pertumbuhan populasi} lnGDPCAPit = α + β1CORit + lnβ2gGOVXit + β3HEDit + β4FDIit + β5POPit+ β6Dit + εit dimana, GDPCAPit CORit GOVXit HEDit FDIit POPit Dit α = intesep
= Pendapatan per kapita (konstan tahun 2005 US$) = Indeks Persepsi Korupsi (indeks) = Pembelanjaan pemerintah (konstan tahun 2005 US$) = Pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan (persen GDP) = Foreign Direct Investment/ Investasi asing langsung (persen) = Pertumbuhan populasi (persen) = Dummy negara (1 = negara maju, 0 = negara berkembang) β = slope ε = error
Uji Hipotesis Uji hipotesis berguna untuk memeriksa atau menguji apakah variabelvariabel yang digunakan dalam regresi signifikan atau tidak. Signifikan adalah apabila suatu nilai parameter regresi yang secara statistik tidak sama dengan nol.
38
Ada dua jenis uji hipotesis yang dapat dilakukan terhadap variabel regresi. Uji tersebut adalah Uji-F dan Uji-t. Uji-F Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen di dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen yang digunakan. Perumusan hipotesis pada Uji-F: H0 : β1 = β2 = β3 = βk = 0 H1 : Minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol Kriteria ujinya adalah jika Fhitung > Ftabel,α,(k-1)(n-k) maka tolak H0, dimana k adalah jumlah variabel (dengan intercept) dan jumlah observasi yang dilambangkan dengan huruf n. Selain itu, jika probabilitas (p-value) < taraf nyata maka sudah cukup bukti untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti secara bersamasama variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya. Uji-t Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara individu (masing-masing) berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel independen. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H0 : βk = 0 H1 : βk ≠ 0 Kriteria uji yang digunakan adalah jika │thitung│> tα/2, (n-k), dimana jumlah observasi dilambangkan dengan huruf n, dan huruf k melambangkan jumlah variabel (termasuk intesep). Selain itu, jika probabilitas (p-value) lebih kecil dari taraf nyata maka dapat digunakan juga untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya. Koefisien Determinasi Koefisien diterminasi berfungsi untuk menunjukkan seberapa baik model yang diperoleh sesuai dengan data aktual (goodness of fit), mengukur berapa persentase variasi dalam peubah terikat mampu dijelaskan oleh informasi peubah bebas. Kisaran nilai koefisien determinasi adalah 0≤ R2≤1. Model dikatakan semakin baik apabila nilai R2 mendekati 1 atau 100 persen. Uji Asumsi Untuk mendapatkan hasil model yang efisien dan konsisten, maka diperlukan pengujian terhadap pelanggaran asumsi-asumsi klasik seperti normalitas, heteroskedastisitas, multikolinieritas, dan autokorelasi. Uji Normalitas Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term mengikuti distribusi normal atau tidak. Jika asumsi normalitas ini tidak dipenuhi maka prosedur pengujian dengan menggunakan uji t-statistic menjadi tidak sah. Pengujian asumsi normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test atau dengan melihat plot dari sisaan. Hipotesis dalam pengujian normalitas adalah:
39
H0 : Residual berdistribusi Normal H1 : Residual tidak berdistribusi normal Dasar penolakan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai Jarque Bera dengan taraf nyata α sebesar 0.05, dimana jika nilai Jarque Bera Test lebih besar dari taraf nyata α 0.05 menandakan H0 tidak ditolak dan residual berdistribusi normal. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas berarti bahwa variasi residual tidak sama untuk semua pengamatan. Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi homoskedastisitas yaitu variasi residual sama untuk semua pengamatan. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model dilakukan menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square resid pada Weighted Statistics dengan sum square resid unweighted statistics. Jika sum square resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square resid unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah Heteroskedastisitas, dilakukan dengan mengestimasi GLS menggunakan white-heteroscedasticity. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda. Gejala multikolinearitas ini dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai dengan teori (Gujarati, 2004). Multikolineritas dalam pooled data dapat di atasi dengan pemberian pembobotan (cross section weight) atau GLS, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu (t–statistik maupun F-hitung) menjadi signifikan. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Juanda (2009) menjelaskan akibat adanya autokorelasi dalam model yang diestimasi yaitu pendugaan parameter masih tetap tidak bias dan konsisten namun penduga ini memiliki standar error yang bisa ke bawah, atau lebih kecil dari nilai yang sebenarnya sehingga nilai statistik uji-t tinggi (overestimate). Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan metode General Least Square dalam estimasi model (Gujarati, 2004). Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin Watson (DW), yaitu dengan membandingkan nilai Durbin Watson dari model dengan DW-tabel.
40
Tabel 6 Ketentuan Nilai Durbin-Watson Nilai DW 0 < DW < dl dl ≤ DW ≤ du du < DW < 4-du 4-du≤ DW ≤ 4-dl 4-dl < DW < 4
Hasil Tolak H0,ada autokorelasi positif Daerah ragu-ragu,tidak ada keputusan Terima H0, tidak ada autokorelasi Daerah ragu-ragu,tidak ada Keputusan Tolak H0,ada korelasi negatif
Sumber : Gujarati (2004)
Definisi Operasional 1.
2.
3.
4. 5. 6.
7.
8.
9.
Berikut ini definisi beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian: GDP perkapita merupakan nilai semua barang dan jasa yang diproduksi dalam wilayah geografis suatu negara selama periode satu tahun dibagi dengan jumlah penduduk. Dalam penelitian ini GDP perkapita merupakan indikator pertumbuhan ekonomi. Government expenditure atau belanja pemerintah merupakan pengeluaran pemerintah untuk semua barang dan jasa termasuk gaji karyawan. Dalam penelitian ini pembelanjaan pemerintah sebagai indikator peran sektor publik atau pemerintah. Pengeluaran pendidikan adalah total pengeluaran publik untuk pendidikan meliputi pengeluaran pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan (baik negeri maupun swasta), administrasi pendidikan, dan transfer/subsidi untuk entitas swasta (siswa/rumah tangga dan entitas swasta lainnya). Pengeluaran kesehatan adalah jumlah anggaran publik yang dikeluarkan pemerintah untuk kesehatan Pertumbuhan populasi merupakan tingkat perubahan jumlah penduduk dari tahun sebelumnya hingga tahun selanjutnya dalam persen. Corruption Perseption Indeks (Indeks Persepsi Korupsi) merupakan skala 010, dimana “0” menunjukkan tingkat korupsi yang tertinggi dan “10” menunjukkan tingkat korupsi yang rendah. Data korupsi berdasarkan data tahunan yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional. Foreign Direct Investment (FDI) adalah investasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau entitas yang berada di suatu negara, kepada sebuah perusahaan atau entitas di negara lain. Stabilitas politik adalah tidak adanya tindakan kekerasan / terorisme persepsi kemungkinan ketidakstabilan politik dan atau kekerasan bermotif politik, termasuk terorisme. Indeks yang menunjukkan stabilitas politik dengan nilai dari -5 (untuk sangat tidak stabil) sampai 2 (untuk sangat stabil). Demokrasi Indeks adalah indeks yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit. Indeks ini didasarkan pada 60 indikator yang dikelomposkkan dalam lima kategori yang berbeda mengukur pluralisme, kebebasan sipil, dan budaya politik. Indeks mengkategorikan negara sebagai salah satu dari empat jenis, yaitu rezim demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida dan rezim otoriter.
41
10. Economic openness (keterbukaan ekonomi) didapat dari proporsi perbandingan antara total nilau impor ditambah dengan nilai ekspor terhadap GDP suatu negara. 11. Kualitas regulasi mengukur kelengkapan dan penerapan regulasi. Indeks yang menunjukkan kualitas regulasi di suatu negara, dengan nilai -2,5 (untuk kualitas terendah) sampai +2,5 (untuk kualitas tertinggi). 12. Urban Population adalah jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. 13. Public Budget adalah rasio jumlah investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk sektor publik terhadap pendapatan. 14. Dummy negara, dengan nilai 1 = negara maju dan 0 = negara berkembang 4 GAMBARAN UMUM Pada bab ini akan memberikan uraian secara rinci terkait pertumbuhan ekonomi dan korupsi di tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik. Analisis deskriptif digunakan dalam pembahasan penelitian untuk memperlihatkan dinamika pertumbuhan ekonomi dan korupsi di dua puluh negara kawasan Asia Pasifik 20042014. Pendapatan per Kapita di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan GDP perkapita. Pendapatan perkapita sering dijadikan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara, semakin besar pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara dan tingginya pertumbuhan ekonomi. Ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik cukup dinamis dimana beberapa tahun terakhir terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi dari negara-negara di kawasan tersebut seperti China dan negara-negara anggota ASEAN. GDP perkapita negara Indonesia termasuk salah satu dari tujuh belas negara Asia Pasifik yang memiliki perkembangan yang cukup baik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 GDP perkapita Indonesia sebesar US$1 211. Tahun 2004 sampai 2014 GDP perkapita Indonesia terus mengalami kenaikan dengan rata-rata 4.17 persen hingga mencapai US$1 854 pada tahun 2014. Selanjutnya, Thailand memiliki GDP perkapita lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Tahun 2004 Thailand memiliki GDP perkapita sebesar US$2 778. Peningkatan GDP per kapita di Thailand terjadi sampai tahun 2008 sebesar US$3 207. Sedangkan pada tahun berikutnya mengalami penurunan sebesar 0.89 persen dan berada pada angka US$3 179. Pada tahun 2010 terjadi kenaikan kembali dengan nilai yang cukup besar yaitu 6.78 persen dan mencapai US$3 410. Nepal memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling kecil diantara negara-negara Asia Pasifik lainnya, dimana GDP perkapita Nepal pada tahun 2004 pada angka US$312. Nepal termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dari tahun 2004 sampai 2014 dengan rata-rata
42
tingkat pertumbuhan sebesar 3.18 persen. Pada tahun 2014 GDP per kapita Nepal mencapai US$426. GDP perkapita Malaysia tahun 2004 sebesar US$5 379. Terjadi peningkatan sampai tahun 2008, namun pada tahun 2009 sempat terjadi penurunan sebesar 3.27 persen sampai pada angka US$6 013, tetapi terjadi peningkatan kembali pada tahun 2010. Berbeda dengan Cina, perkembangan GDP perkapita Cina mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tahun 2004 GDP perkapita Cina sebesar US$1 572 hingga tahun 2014 GDP perkapita Cina mencapai US$3 863. Cina mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan kenaikan rata-rata sebesar 8.46 persen. Selanjutnya, Korea Selatan cenderung mengalami peningkatan pertumbuhan GDP perkapita setiap tahunnya dengan rata-rata kenaikan sebesar 3 persen. Pada tahun 2004 GDP perkapita Korea Selatan sebesar US$ 17 990 dan terus meningkat sampai tahun 2014 sebesar US$24 566. Sedangkan Singapura mengalami penurunan pada tahun 2008 dan 2009. Pada tahun 2004 GDP perkapita Singapura sebesar US$28 449 dan terus terjadi peningkatan sampai pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 3.61 persen dan kembali turun pada tahun berikutnya mencapai angka US$30 700. Hal ini disebabkan oleh resesi global yang terjadi karena krisis keuangan yang melanda dunia pada tahun 2008. Australia memiliki GDP perkapita tertinggi diantara 17 negara Asia Pasifik lainnya. Pada tahun 2004 GDP perkapita Australia sebesar US$33 365, angka ini terus meningkat hingga tahun 2008. Pada tahun berikutnya terjadi penurunan sebesar 0.26 persen menjadi US$36 050. Penurunan tersebut merupakan dampak dari resesi global yang diikuti krisis pasar keuangan di Eropa tahun 2008. Krisis pasar keuangan dan resesi global memengaruhi perdagangan, iklim investasi, dan pasar uang di Australia. Tahun 2010 GDP perkapita Australia mengalami perbalikan hingga sebbesar US$36 210. Negara-negara di kawasan Asia Pasifik cenderung mengalami pertumbuhan GDP perkapita dari tahun 2004 sampai 2014. Pertumbuhan ekonomi di Asia Pasifik juga mengalami penurunan secara perlahan dari 9.7 persen pada 2010 menjadi 8.3 persen pada 2011. World Bank mengulas bahwa menurunnya pertumbuhan ekonomi tersebut terjadi karena tiga hal yaitu: 1) krisis keuangan di wilayah Euro; 2) bencana alam di Jepang dan banjir yang melanda Thailand; dan 3) melambatnya kegiatan ekonomi di Cina. Kondisi krisis ekonomi di Eropa membuat melesunya permintaan atas barang di negara-negara tersebut (World Bank, 2012).
GDP Per Kapita (US $)
43
40000 38000 36000 34000 32000 30000 28000 26000 24000 22000 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
Australia China Filipina India Indonesia Jepang Kambodia Korea Selatan Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Singapura Thailland
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun
Timor Leste Vietnam
Sumber:World Bank, 2015 (diolah)
Gambar 5 Pertumbuhan GDP Perkapita Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pembelanjaan Pemerintah, Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan, dan Investasi Asing Langsung di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Dinamika Pembelanjaan Pemerintah Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari peran pemerintah, dimana pemerintah melakukan penyediaan barang dan jasa yang tidak disediakan oleh pihak swasta. Pembelanjaan pemerintah Jepang menempati angka tertinggi diantara negara-negara Asia Pasifik lainnya. Pembelanjaan pemerintah Jepang pada tahun 2004 sebesar US$832 387 juta. Kecenderungan pembelanjaan pemerintah Jepang mengalami peningkatan hingga pada tahun 2014 sebesar US$917 614 juta. Peran pajak dalam pendapatan pemerintah tidak begitu besar, namun peran obligasi pemerintah masih relatif besar sebagai penerimaan pemerintah (Juswanto, 2010).
44
Pembelanjaann Pemerintah (juta US$)
1000000,00 900000,00 800000,00 700000,00 600000,00 500000,00 400000,00 300000,00 200000,00 100000,00 0,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Australia China Filipina India Indonesia Jepang Kambodia Korea Selatan Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Singapura Thailand Timor-Leste Vietnam
Tahun Sumber: World Bank, 2015 (diolah)
Gambar 6 Dinamika Pembelanjaan Pemerintah di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014 Obligasi yang menyebabkan pembelanjaan pemerintah Jepang tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya. Pembelanjaan pemerintah Jepang banyak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur (Flacker, 2009). Tidak hanya Jepang, pembelanjaan pemerintah Cina juga termasuk tertinggi setelah Jepang. Pada tahun 2004 pembelanjaan pemerintah Cina mencapai US$286 670 juta, kemudian terus meningkat sampai tahun 2014 dan mencapai US$689 846 juta. Sebaliknya, pembelanjaan pemerintah Kamboja berada pada urutan terendah dibandingkan dengan Negara Asia Pasifik lainnya. Pada tahun 2004 pembelanjaan pemerintah Kamboja hanya mencapai US$249 juta. Proporsi pembelanjaan pemerintah Kamboja terus meningkat sampai tahun 2014 dengan rata-rata kenaikan sebesar 9 persen per tahun. Rendahnya pembelanjaan pemerintah Kamboja disebabkan oleh pendapatan yang berasal dari pajak rendah, sehingga memengaruhi penerimaan yang diperoleh oleh pemerintah. Hal tersebut juga berakibat pada penurunan simpanan yang ada dalam sistem perbankan yang dibiayai dalam negeri (IMF, 2009). Dinamika Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Peningkatan kualitas sumberdaya manusia tidak terlepas dari peran pendidikan dan kesehatan. Sumberdaya manusia yang berkualitas akan memberikan dampak positif terhadap pembangunan ekonomi. Pemberian layanan public seperti pendidikan dan kesehatan merupakan salah satu invetasi yang penting untuk menciptakan sumberdaya manusia yang produktif dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan dan kesehatan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya
45
manusia yang berkualitas guna mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. New Zealand memiliki proporsi pengeluaran pendidikan dan kesehatan terhadap GDP tertinggi dibandingkan dengan Negara Asia Pasifik lainnya. Kecenderungan yang meningkat untuk pengeliaran pendidikan dan kesehatan terlihat dari tahun 2004 sampai tahun 2014 meskipun sempat terjadi penurunan sebesar 2.12 persen pada tahun 2007 dan pada tahun 2013 sebesar 2.64 persen, namun pada tahun 2014 proporsi pengeluaran kesehatan dan pendidikan terhadap GDP New Zealand mencapai 18.22 persen.
Pengeluaran untuk Kesehatan dan Pendidikan (%GDP)
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun
Australia China Filipina India Indonesia Jepang Kambodia Korea Selatan Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Singapura Thailand Timor-Leste Vietnam
Sumber: World Bank, 2015 (diolah)
Gambar 7 Dinamika Pengeluaran untuk Kesehatan dan Pendidikan di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014 Vietnam memiliki prioritas yang baik terutama pada sektor pendidikan. Vietnam menurunkan biaya pendidikan untuk pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan dengan meningkatkan jumlah beasiswa untuk masyarakat berpendapatan rendah. Pada tahun 2014, proporsi pengeluaran kesehatan dan pendidikan Vietnam mencapai 13.37 persen terhadap GDP. Pengeluaran tersebut mengalami peningkatan rata-rata setiap tahunnya sebesar 4.26 persen proporsi GDP. Selain Vietnam, Cina, Malaysia, Nepal danThailand merupakan Negara berkembang dengan proporsi pengeluaran pendidikan dan kesehatan yang besar terhadap GDP. Negara maju seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan juga memiliki proporsi yang besar untuk pengeluaran pada sektor pendidikan dan kesehatan yaitu lebih dari 10 persen terhadap GDP per tahun. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan pada negara Australia, Jepang dan Korea Selatan mengalami peningkatan setiap tahun. Sekalipun suatu negara hanya memiliki sedikit sumber daya alam seperti Jepang misalnya, tetapi karena negara tersebut memiliki sumber daya manusia yang berkualitas maka wajar kalau Jepang menjadi negara yang luar biasa. Di saat negara-negara Asia masih terpuruk, Jepang menjadi negara yang diperhitungkan oleh negara-negara maju karena kualitas sumber daya manusianya yang luar biasa. Selain itu, pendidikan juga merupakan hal terpenting bagi ketiga negara tersebut. Jepang dan Korea misalnya, kedua negara ini menyiapkan anggaran yang ketat untuk alokasi dana publik untuk
46
pendidikan, kemudian pengeluaran pendidikan kedua negara ini sangat bergantung dan dibantu oleh pendanaan swasta. Pendidikan hal terpenting pada kebijakan jangka panjang Australia, Jepang dan Korea Selatan. Oleh karena itu, pemerintah harus berani menyediakan dana yang besar untuk pendidikan dan kesehatan masyarakatnya agar mereka menjadi lebih produktif. Produktifitas yang semakin tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi juga. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan Australia mencapai 13.40 persen proporsi GDP namun mengalami penurunan dari tahun 2005 sampai tahun 2007 dan mencapai 13.19 persen proporsi GDP. Pada tahun berikutnya proporsi meningkat sebesar 13.42 persen dan terus meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 0.79 persen per tahun, sampai pada tahun 2014 mencapai 14.38 persen proporsi GDP. Pengeluaran pendidikan dan kesahatan Korea Selatan sebesar 12 persen proporsi GDP, namun peningkatan pada Korea Selatan sangat berbeda dengan Indonesia, terutama pada sektor pendidikan. Menurut World Bank (2009) Indonesia memiliki biaya pendidikan yang meningkat pada tiga tahun terakhir, namun pengeluaran pendidikan hanya sebesar 3 persen proporsi GDP. Saat biaya pendidikan meningkat, pembiayaan pendidikan oleh pemerintah untuk perguruan tinggi tidak didistribusikan secara adil, hal ini yang menyebabkan meningkatnya kesenjangan antara penduduk miskin dan kaya dalam pendidikan. Pada tahun 2006 pengeluaran pada pendidikan dan kesehatan mencapai 5.8 persen proporsi GDP, kemudian mengalami pada tahun berikutnya sampai tahun 2014 mencapai sebesar 6.23 persen proporsi GDP. Dinamika Investasi Asing Langsung (FDI) Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari tingkat investasi suatu negara. Investasi memberikankontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan kapasitas produktif dan mempunyai efek pengganda untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, investasi memiliki peran penting pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Robock dan Simond (1989) menyatakan bahwa penanaman modal asing dijelaskan melalui pendekatan global, pendekatan pasar yang tidak sempurna, pendekatan internalisasi, model siklus produk, produksi internasional, model imperialisasi Maxis. Penanaman modal sering juga disebut sebagai investasi asing. Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran penanaman modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 2000).
47
Investasi Asing Langsung (%)
45,00 35,00 25,00 15,00 5,00 -5,00
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
Australia China Filipina India Indonesia Jepang Kambodia Korea Selatan Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Singapura Thailand Timor-Leste Vietnam
Sumber: World Bank, 2015 (diolah)
Gambar 8 Dinamika Investasi Asing Langsung di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014 Tingkat proposi investasi asing langsung terhadap GDP di tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik cenderung berfluktuatif setiap tahunnya. Sebagian besar tingkat investasi tersebut tidak lebih dari 50 persen dari proporsi GDP. Singapura mempunyai nilai proporsi investasi asing langsung tertinggi disbanding negara Asia Pasifik lainnya. Kemajuan investasi di Singapura dikarenakan kebijakan fiskal dan moneter yang diambil pemerintah Singapura selama krisis keuangan global. Peran keterbukaan ekonomi yang juga berpengaruh positif dengan FDI, meskipun secara empiris di beberapa negara factor keterbukaan perekonomian ini tidak berpengaruh secara signifikan. Singapura merupakan salah satu contoh nyata negara dengan perekonomian terbuka, karena memiliki nilai rasio FDI terhadap GDP sebesar 21.93 persen pada tahun 2014. Perkembangan investasi Kamboja cenderung meningkat setiap tahunnya. Kamboja memiliki perkembangan investasi yang baik setelah Singapura. Pajak pendapatan yang rendah di bidang industry menyebabkan tingginya investasi asing dan domestik di Kamboja, sehingga investasi langsung asing mendorong peningkatan FDI Kamboja. Tahun 2010 Kamboja mengalami pertumbuhan proporsi FDI sebesar 10.31 persen terhadap GDP. Menurut laporan UNCTAD (2013), Indonesia ada di peringkat 18 dunia dengan raihan FDI sebesar US$18 milyar. Hanya ada dua negara ASEAN yang masuk dalam daftar 20 besar FDI host countries, yaitu Indonesia dan Singapura. Singapura berada di peringkat 6 dengan pencapaian yang jauh melampaui Indonesia, yakni US$64 milyar. Indonesia juga dianggap negara ketiga paling prospektif bagi FDI. Dengan ekonomi yang tumbuh rata-rata sekitar 5.4% per tahun sejak beberapa tahun ke belakang dan ukuran pasar yang besar serta kondisi perekonomian yang stabil, investasi asing diprediksi akan terus mengalir kedepannya. Indonesia mengalami tingkat investasi yang cenderung naik pada tiga tahun terakhir. Kenaikan investasi disebabkan oleh tingkat inflasi yang cukup stabil, sehingga meningkatkan minat investor asing dalam menanamkan modalnya. Proporsi FDI terhadap GDP Indonesia tahun 2014 mencapai 2.97 persen.
48
Kebijakan yang semata berorientasi untuk menarik investasi asing tidaklah cukup. Penting pula khususnya bagi pemerintah untuk mengawal masuknya investasi asing. Hal ini agar manfaat dari investasi asing seperti productivity spillovers dan knowledge spillovers, penciptaan lapangan kerja, forward linkages, backward linkages dan industry upgrading dapat benar-benar dirasakan. Selain itu potensi negatif seperti ancaman terhadap kepentingan nasional, kerusakan lingkungan, dan ancaman terhadap industri domestik dapat diminimalisir.
Pertumbuhan Populasi di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pertumbuhan populasi merupakan salah penentu dalam pertumbuhan ekonomi. Populasi merupakan tenaga kerja yang berpartisipasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan populasi yang tinggi akan mengurangi modal per pekerja, hal ini menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan populasi pada tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik mengalami penurunan setiap tahunnya.
6,00
Pertumbuhan Populasi (%)
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 2004
2005
2006
2007
-1,00
2008
2009
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
Australia China Filipina India Indonesia Jepang Kambodia Korea Selatan Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Singapura Thailand Timor-Leste Vietnam
Sumber: World Bank, 2015 (diolah)
Gambar 9 Dinamika Pertumbuhan Populasi di Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014 Pada tahun 2004 Indonesia mengalami pertumbuhan populasi sebesar 1.33 persen. Pada tahun 2006 mengalami penurunan pertumbuhan populasi, sehingga mencapai 1.32 persen. Pertumbuhan populasi Indonesia cenderung stabil meskipun mengalami perubahan yang tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2014 pertumbuhan populasi Indonesia menurun hingga mencapai 1.26 persen. Tidak hanya Negara Indonesia, pertumbuhan populasi negara-negara lain juga memiliki kecenderungan menurun setiap tahunnya. Berbeda dengan Singapura, pertumbuhan populasi negara tersebut mengalami peningkatan sebesar sebesar 5.32 persen pada tahun 2008, namun mengalami penurunan yang cukup tajam pada tahun berikutnya yaitu sebesar 3.02 persen. Peningkatan pertumbuhan populasi pada tahun 2008 dikarenakan tingginya
49
tingkat kesuburan wanita etnis Cina pada umur 30-34 tahun dan tingginya tingkat kelahiran bayi, dan juga imigrasi penduduk Malaysia ke Singapura memengaruhi pertumbuhan populasi tahun 2008. Penurunan hingga 1.7 persen petumbuhan populasi pada tahun 2010 dan terus menurun sampai tahun 2014 sebesar 1.3 persen. Pada negara maju seperti Australia dan Jepang, pertumbuhan populasinya cenderung menurun dari tahun ke tahun. Jepang misalnya, pada tahun 2004 pertumbuhan populasinya sebesar 0.03 persen, meskipun sempat mengalami peningkatan pada tahun berikutnya namun pada tahun 2014 pertumbuhan populasi Jepang menurun tajam mencapai -0.16 persen. Penurunan pertumbuhan populasi Jepang salah satunya diakibatkan karena angka kelahiran di Jepang turun pada tahun 2014, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, hanya 1.001.000 bayi lahir pada 2014 atau lebih rendah 9.000 dibandingkan 2013. Penurunan ini adalah yang keempat kalinya dalam empat tahun dan terjadi di tengah meningkatnya angka kematian. Para pakar memperingatkan dampak penurunan angka kelahiran ini akan merugikan Jepang dalam banyak aspek. Menurut BBC Indonesia tahun 2015, menurunnya jumlah populasi berusia 15-65 tahun diprediksi akan menurunkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita Jepang. Penurunan populasi Jepang itu disebabkan oleh berbagai alas an, diantaranya adalah biaya melahirkan dan membesarkan anak meningkat, jumlah wanita karier bertambah, banyak orang muda menunda untuk menikah, serta perubahan lingkungan masyarakat dan sosial.
Dinamika Korupsi Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Peran pemerintah dalam pengelolaan suatu negara sangatlah penting untuk menunjang perekonomian negara tersebut. Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik yang dikeluarkan untuk mendukung pembangunan ekonomi tidak selalu berhasil. Terdapat hambatan-hambatan yang menyebabkan tidak berhasilnya tujuan pemerintah, yang secara sistematis akan menyebabkan kegagalan pemerintah. Kegagalan pemerintah (government failure) melahirkan tindakan korupsi di sektor publik yang justru hal tersebut timbul karena pemerintah cenderung menyalahgunakan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Pemerintah justru menjadi rent seeker bahkan menjadi predator dalam pembangunan ekonomi di suatu negara (Transparency International, 2012). Korupsi dalam sektor publik diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk mencari keuntungan pribadi yang dapat menimbulkan high cost economy. Rent Seeking Behavior pemerintah sering kali dikaitkan dengan korupsi. Korupsi dalam sektor publik diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk mencari keuntungan pribadi (Transparency International, 2012). Kepentingan pribadi lebih didahulukan daripada kepentingan nasional sehingga praktik-praktik korupsi banyak terjadi di pemerintahan negara-negara dunia ketiga (Todaro dan Smith, 2006). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa korupsi banyak terjadi di negara miskin dan negara sedang berkembang atau terjadi pada gaya kepemimpinan yang otoriter (Sasana, 2004).
50
Tabel 7 Sepuluh Negara Paling Korup di Dunia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Negara Guinea-Bissau Venezuela Irak Libya Angola Sudan Selatan Sudan Afghanistan Korea Utara Somalia
IPK 2015* 1.7 1.7 1.6 1.6 1.5 1.5 1.2 1.1 0.8 0.8
Tipe Rezim** Otoriter Rezim Hibrida Rezim Hibrida Otoriter Otoriter Otorter Otoriter Otoriter Otoriter Otoriter
Sumber: *) Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Transparency International Report 2015 **) Indeks Demokrasi, The Economist Intelligence Unit 2015
The Economist intelligence Unit dalam laporannya tahun 2015 menyatakan bahwa kesepuluh negara seperti Guinea-Bissau, Venezuela, Irak, Libya, Angola, Sudan Selatan, Sudan, Afghanistan, Korea Utara, dan Somalia sebagian besar masih menerapkan reizm otoriter (Authoritarian Regime) dan rezim hibrida (Hybrid Regime) dalam sistem pemerintahannya. Kesepuluh negara tersebut juga termasuk dalam kelompok negara berkembang. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada sepuluh negara terebut cenderung mendekati angka satu, bahkan level korupsi di sektor publik negara Korea Utara dan Somalia berada pada poin dibawah satu. Hal tersebut membuktikan bahwa dominasi peran pemerintah dan gaya kepemimpinan otoriter dan ketidakefektifan pemerintah menyebabkan kegagalan pemerintah yang mengarah pada tindakan korupsi di sektor publik. Tabel 8 Sepuluh Negara Terbersih dari Korupsi di Dunia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Negara Denmark Finlandia Swedia New Zealand Belanda Norwegia Switzerland Singapura Kanada Jerman
IPK 2015* 9.1 9.0 8.9 8.8 8.7 8.7 8.6 8.5 8.3 8.1
Tipe Rezim** Demokrasi Penuh Demokrasi Penuh Demokrasi Penuh Demokrasi Penuh Demokrasi Penuh Demokrasi Penuh Demokrasi Penuh Demokrasi Cacat Demokrasi Penuh Demokrasi Penuh
Sumber: *) Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Transparency International Report 2015 **) Indeks Demokrasi, The Economist Intelligence Unit 2015
Negara-negara maju seperti Denmark, Finlandia, Swedia, New Zealand, Belanda, Norwegia, Switzerland, Singapura, Kanada, dan Jerman memiliki indeks persepsi korupsi yang tinggi yang mengindikasikan bahwa tingkat korupsi di negara-negara tersebut rendah. Rata-rata skor IPK di sepuluh negara tersebut mendekati angka 10, yang berarti bahwa negara-negara tersebut cenderung bebas dari tindak korupsi di sektor publik. Sebagian besar rezim yang dianut oleh kesepuluh negara tersebut adalah sistem demokrasi penuh dan telah matang, kecuali Singapura yang masih menganut sistem semokrasi cacat. Hal tersebut dikarenakan Singapura masih terikat dengan sistem negara persemakmuran Inggris.
51
Sumber: Transparency International, 2015
Gambar 10 Klasifikasi Indeks Persepsi Korupsi di Dunia Berdasarkan Tingkatan Warna Tahun 2015 Sebagian besar negara-negara di Benua Asia, Afrika, dan Amerika mempunyai tingkat korupsi yang tinggi (ditandai dengan warna merah). Indeks persepsi korupsi dibawah angka 3 menunjukkan tingkat korupsi yang tinggi di suatu negara. Indeks persepsi korupsi menunjukkan angka diatas 5, maka tingkat korupsi rendah di suatu negara. Negara-negara kawasan Asia Pasifik terlihat dari Gambar 10, memperlihatkan tingkat persepsi korupsi di sektor publik yang cukup tinggi. Namun, menurut laporan Transparency International (2015), New Zealand termasuk dalam negara dengan indeks persepsi korupsi yang tinggi (indeks 8.8). Sedangkan Kamboja memiliki indeks persepsi korupsi sebesar 2.1. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat korupsi yang ada di Kamboja tinggi. Peran pemerintah dalam perekonomian bukan hanya sebagai pembuat kebijakan dan peraturan, namun juga mengawasi secara penuh pelaksanaan peraturan agar berjalan secara optimal serta menjaga kesejahteraan publik agar tetap baik. Kaufmann (2000) menyatakan bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi cenderung memiliki indikator pengatur korups (control of corruption) yang rendah dan sebaliknya.
52
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Korupsi Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pada bagian ini bertujuan untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat korupsi di tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik. Faktorfaktor dalam analisis ini adalah faktor ekonomi, politik dan sosial. Analisis ini berdasarkan kombinasi teori dan model yang dibangun oleh Churchill et al (2013) dan Wijayanto (2007). Beberapa penelitian tersebut mempunyai karakter dan metodologi yang sama untuk menganalisis faktor yang memengaruhi tingkat korupsi di berbagai negara. Pada analisis ini, tranformasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dilakukan melalui CORit = (1-θ/10) menjadi sebuah indeks yang bernilai mulai dari “0” sampai “1” dimana semakin tinggi nilai indeks maka semakin tinggi tingkat korupsi. Transformasi ini dilakukan agar interpretasi searah, sederhana, dan intuitif pada estimasi model data panel. Table 9 Hasil Estimasi Model Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Korupsi dengan Menggunakan Metode Fixed Effect Model Variabel C Demokrasi (DEM) Keterbukaan Ekonomi (EOP) Public Budget (PUB) Stabilitas Politik (POL) Urban Population (URB) Kualitas Regulasi (REG) Dummy negara R-square Prob (F-Stat) Number of Observation Haussman Test Probability Chow Test Probability
Variabel Dependen Korupsi (COR) Koefisien Std. Error Prob 8.689859 0.422249 0.0000** -0.007045 0.030237 0.8160 -0.000293 0.005324 0.0026** 0.012557 0.004160 0.0030** -0.417943 0.082439 0.0000** -0.061448 0.006923 0.0000** -0.059904 0.193070 0.7568 -0.770041 0.251513 0.0026** 0.990980 0.000000** 187 0.0180** 0.0000**
Keterangan: *) signifikasi pada taraf 10 persen, **) signifikansi pada taraf 5 persen
Setelah melakukan estimasi model regresi data panel untuk faktor-faktor yang memengaruhi tingkat korupsi di tujuh belas negara Asia Pasifik, diperoleh pendekatan Fixed Effect Model sebagai pendekatan terbaik. Penentuan model terbaik dilakukan melalui uji Chow dan uji Haussman (Lampiran 1). Pada hasil uji Chow dihasilkan nilai Prob (F-Stat) sebesar 0.00 dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.00<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa model Fixed Effect lebih baik dari model Pooled Least Square. Selain itu, dilakukan uji Haussman untuk meyakinkan bahwa model Fixed Effect merupakan model yang lebih baik dari model Random Effect. Terbukti dengan nilai Prob(F-Stat) yang
53
dihasilkan kurang dari 5 persen, maka dapat disimpulkan bahwa model Fixed Effect adalah model terbaik diantara model Pooled Least Square dan Random Effect. Berdasarkan Chow test dan Haussman test, maka dapat disimpulkan model estimasi analisis data panel yang terbaik dalam penelitian ini adalah pendekatan Fixed Effect Model dengan pembobotan cross section-weights method untuk mengkoreksi pelanggaran asumsi klasik. Namun pegujian asumsi klasik harus tetap dilakukan terhadap model estimasi data panel Fixed Effect Model agar dapat memperoleh penduga yang bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased Estimator). Pengujian asumsi klasik yaitu uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas. Selanjutnya evaluasi model berdasarkan kriteria statistik dilihat dari nilai R2. Berdasarkan hasil estimasi, uji diagnosik pada kriteria stastistika terkait dengan kebaiksesuaian (goodness of fit). Nilai R-Squared (R2) atau koefisien determinasi dari model sebesar 0.990900 yang berarti bahwa sebesar 99.99 persen keragaman yang terdapat pada variabel korupsi dapat dijelaskan oleh variabel bebas seperti demokrasi, keterbukaan ekonomi, public budget, stabilitas politik, urban population, kualitas regulasi, dan dummy negara, sedangkan 0.11 persen dijelaskan variabel lain di luar model. Hasil estimasi pada Tabel 9 menunjukkan bahwa analisis faktor-faktor yang memengaruhi tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik dilakukan dengan melihat tanda besaran dari variabel dependen. Variabel demokrasi dan kualitas regulasi menunjukkan hubungan yang negatif terhadap tingkat korupsi, meskipun tidak signifikan secara statistik yang mengindikasikan bahwa tidak ada prediksi hubungan antara demokrasi dan kulaitas regulasi dengan tingkat korupsi. Model regresi menunjukkan bahwa variabel keterbukaan ekonomi yang dihitung sebagai rasio impor dan ekspor terhadap total GDP memiliki hubungan negatif dan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap tingkat korupsi di tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik. Peningkatan keterbukaan ekonomi sebesar 1 persen akan menurunkan korupsi sebesar 0.000293 poin indeks dengan asumsi cateris paribus. Hasil estimasi ini bertentangan dengan hipotesis yang dibangun sebelumnya bahwa keterbukaan ekonomi dapat membuka pasar domestik bagi produsen asing. Selain itu, keterbukaan ekonomi dapat meningkatkan transaksi lintas batas yang rentan terhadap korupsi. Hasil tersebut dapat pula menunjukkan bahwa adanya keterlibatan pejabat pemerintah atau perbatasan dalam operasi memberantas pungutan liar (Churchill et al 2013). Variabel public budget menunjukkan hubungan yang positif terhadap tingkat korupsi dan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen. Peningkatan public budget sebesar 1 persen akan meningkatkan tingkat korupsi besar 0.012557 poin indeks dengan asumsi cateris paribus. Anggaran publik terhadap GDP bisa melemahkan pengendalian korupsi, atau meningkatkan tingkat korupsi. Elliot (1997) menunjukkan bahwa pengendalian korupsi menurun dengan tingkat anggaran pemerintah yang relatif terhadap GDP. Keterlibatan pemerintah dapat mempromosikan monopoli dan mencegah kompetisi terbuka dan adil di antara pelaku usaha, serta perkembangan yang mendorong korupsi. Dalam rangka
54
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus memberikan lebih banyak kesempatan bagi sektor swasta dan tetap fokus sebagai regulator ekonomi. Hasil analisis regresi diperoleh koefisien untuk variabel stabilitas politik (POL) sebesar 0.417943. Stabilitas politik mempunyai memiliki hubungan negatif terhadap tingkat korupsi dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Meningkatnya stabilitas politik sebesar 1 poin indeks akan menurunkan tingkat korupsi sebesar 0.417943 poin indeks dengan asumsi cateris paribus. Mengurangi tindakan korupsi merupakan proses yang panjang, yang memerlukan upaya terus menerus dari pemerintah dan masyarakat sipil. Tanpa stabilitas politik, proses yang terus menerus dan panjang tersebut tidak efektif. Selain itu, stabilitas politik merupakan prasyarat utama bagi penegakan hukum dan penegakan hukum merupakan prasyarat untuk mengendalikan korupsi. Negara-negara yang memperpanjang masa transisi politiknya mengalami tantangan besar bagi penegakan hukum. Selain itu, peralihan pemerintahan juga cenderung memiliki kekuasaan diskresi yang tinggi,. Hal ini dikombinasikan dengan tidak tersedianya mekanisme akuntabilitas yang cenderung memungkinkan korupsi untuk berkembang. Negara yang tidak stabil cenderung mengalami perubahan rezim yang sering. Rezim tersebut cenderung menyalahgunakan politik yang relatif singkat untuk kekuasaan mereka dalam mendapatkan keuntungan pribadi mereka melalui korupsi (Churchill et al 2013). Variabel urban population mempunyai hubungan yang negatif terhadap tingkat korupsi dan signifikan pada taraf 5 persen. Meningkatnya urban population sebesar 1 persen, maka akan menurunkan tingkat korupsi sebesar 0.061448 poin indeks dengan asumsi cateris paribus. Menurut Wijayanto (2007), sampai pada tingkat tertentu, penduduk perkotaan memiliki hubungan negatif dengan pengendalian korupsi. Hal tersebut berarti bahwa pada tingkat tertentu hubungan urban population terhadap tingkat korupsi dapat berhubungan positif dan negatif. Hubungan antara proporsi penduduk perkotaan dan pengendalian korupsi adalah non-linear, seperti yang digambarkan dalam Gambar 11. Pengendalian korupsi relatif rendah ketika proporsi penduduk perkotaan tinggi (yaitu 100 persen),. Pengendalian korupsi terus meningkat seiiring dengan berkurangnya proporsi penduduk perkotaan dan mencapai skor yang lebih rendah pada proporsi sekitar 80 persen. Hal tersebut berarti bahwa apabila proporsi penduduk perkotaan meningkat, maka akan menurunkan tingkat korupsi, sampai pada titik 80 persen dimana semakin banyak penduduk perkotaan, maka tingkat korupsi semakin tinggi.
55
Sumber: Wijayanto, 2007
Gambar 11 Proporsi Penduduk Perkotaan dan Pengendalian Korupsi Daerah pedesaan ditandai oleh struktur ekonomi yang relatif sederhana dan gaya hidup yang kurang kompetitif, dengan dominasi sektor pertanian. Struktur ekonomi yang relatif sederhana tersebut dapat membuat korupsi jelas meningkatkan risiko dalam melakukan korupsi. Selain itu, gaya hidup yang kurang kompetitif mengurangi godaan bagi orang-orang korup. Menurut Easterly (2006), modal sosial yang kuat atau trust di daerah pedesaan juga penjelasan yang mungkin dari kontrol yang kuat dari nilai korupsi. Di beberapa titik di luar kepadatan penduduk dari negara-negara pedesaan, proporsi penduduk perkotaan memiliki hubungan negatif dengan kontrol korupsi, atau berhubungan positif dengan tingkat korupsi. Penjelasan yang mungkin adalah bahwa penduduk perkotaan yang lebih akan membuat struktur ekonomi semakin kompleks dan semakin tinggi pula tingkat kompetisi yang bisa memicu peningkatan perilaku korup oleh orang untuk memiliki akses ke sumber-sumber ekonomi yang langka. Menariknya, setelah mencapai tingkat tertentu, peningkatan proporsi penduduk perkotaan menunjukkan efek positif pada pengendalian korupsi. Australia, Jepang, Korea Selatan, New Zealand dan Singapura, mempunyai proporsi penduduk perkotaan hampir mencapai 100 persen dari populasinya, dan negara-negara tersebut memiliki nilai tingkat korupsi yang rendah . Hasil regresi dari model korupsi diperoleh koefisien untuk variabel dummy negara sebesar 0.770041 dengan hubungan negatif pada tingkat signifikansi 5 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa selisih tingkat korupsi di negara berkembang terhadap negara maju adalah sebesar 0.770041 poin indeks. Negaranegara berkembang dikenal dengan tingkat korupsi yang sangat besar. Hal tersebut menjadi perhatian utama untuk setiap pemerintah dan warga negara yang baik dari bangsa tersebut. Jumlah yang tak terbayangkan dari dana yang dikeluarkan untuk mengekang atau melawan korupsi, sesuatu yang tidak seharusnya jika hanya orangorang atau warga negara dapat menyadari integritas dan nilai yang berada di atas hal lainnya. Demikian juga, sistem tidak lagi harus membuka jalan untuk korupsi.
56
Sebuah sistem yang lemah dan miskin standar hidup adalah kekuatan pendorong utama untuk korupsi yang gencar terjadi di negara berkembang (Pande, 2012). Di negara-negara berkembang, korupsi mengambil bentuk atau fase yang berbeda. Beberapa bentuk tersebut berupa overpricing, percepatan pembayaran ilegal, fasilitasi kontrak, penawaran rigging publik untuk kontrak melalui manipulasi peraturan dan menjual informasi, dana ilegal, pengalihan dana untuk proyek khusus, pencucian uang, dan sejenisnya. Tabel 10 Hasil Cross Section Effect Model Korupsi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Cross id Australia China Filipina India Indonesia Jepang Kamboja Korea Selatan Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Singapura Thailand Timor Leste Vietnam
Effect -0.906844 -0.086023 0.524239 -1.039599 0.841609 0.329166 0.034736 1.675757 0.613213 2.053357 -1.353378 -1.539957 -0.125831 -0.426799 -0.369414 -0.225707 0.001475
Hasil estimasi pada Tabel 10 terdapat fixed effect (cross) yang memperlihatkann pembeda dari setiap cross section (tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik). Berdasarkan hasil estimasi dapat dilihat bahwa Mongolia memiliki nilai pembeda yang paling tinggi. Hal ini berarti tingkat korupsi di Mongolia memiliki rata-rata perubahan yang paling tinggi, yaitu sebesar 2.053357. Berbanding terbalik dengan New Zealand yang memiliki nilai pembeda terkecil. Tingkat pertumbuhan korupsi di New Zealand memiliki rata-rata perubahan yang paling kecil yaitu sebesar -1.539957. Hal ini memperlihatkan bahwa Mongolia merupakan negara yang memiliki koefisien intersep korupsi yang paling tinggi, sementara itu New Zealand menjadi negara yang nilai intersepnya lebih rendah dibanding negara lain. Analisis Dampak Korupsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tujuh Belas Negara Kawasan Asia Pasifik Pada bagian ini bertujuan untuk mengestimasi dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian tersebut melakukan perluasan model pertumbuhan endogen dengan adanya pembelanjaan pemerintah, pengeluaran kesehatan dan pendidikan, investasi asing langsung, pertumbuhan populasi, dan dummy negara maju dan berkembang. Pada teori pertumbuhan endogen, peran
57
kualitas tenaga kerja lebih penting dari pada kuantitas tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja bukan hanya dilihat dari tingkat pendidikan tetapi juga kondisi kesehatannya. Pada analisis-analisis empiris, peran pendidikan dan kesehatan menjadi variabel yang penting dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tabel 11 Hasil Estimasi Model Analisis Dampak Korupsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Menggunakan Metode Fixed Effect Model Variabel Dependen Pertumbuhan Ekonomi (lnGDPCAP) Koefisien Std. Error Prob C 1.132894 0.013413 0.0330** Korupsi (COR) -0.078266 0.031717 0.0000** Pembelanjaan Pemerintah (lnGOVX) 0.299173 0.004575 0.0000** Pengeluaran Kesehatan & Pendidikan (HED) 0.030161 0.002208 0.0000** Investasi Asing Langsung (FDI) 0.007474 0.012087 0.0009** Pertumbuhan Populasi (POPG) 0.002345 0.030097 0.8464 Dummy negara -0.052540 0.750407 0.0287** R-square 0.999250 Prob (F-Stat) 0.000000 Number of Observation 187 Haussman Test Probability 0.0000** Chow Test Probability 0.0000** Variabel
Keterangan: *) signifikasi pada taraf 10 persen, **) signifikansi pada taraf 5 persen
Setelah melakukan estimasi model regresi data panel untuk dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di tujuh belas negara Asia Pasifik, diperoleh pendekatan Fixed Effect Model sebagai pendekatan terbaik. Penentuan model terbaik dilakukan melalui uji Chow dan uji Haussman (Lampiran 2). Pada hasil uji Chow dihasilkan nilai Prob (F-Stat) sebesar 0.00 dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.00<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa model Fixed Effect lebih baik dari model Pooled Least Square. Selain itu, dilakukan uji Haussman untuk meyakinkan bahwa model Fixed Effect merupakan model yang lebih baik dari model Random Effect. Terbukti dengan nilai Prob(F-Stat) yang dihasilkan kurang dari 5 persen, maka dapat disimpulkan bahwa model Fixed Effect adalah model terbaik diantara model Pooled Least Square dan Random Effect. Berdasarkan Chow test dan Haussman test, maka dapat disimpulkan model estimasi analisis data panel yang terbaik dalam penelitian ini adalah pendekatan Fixed Effect Model dengan pembobotan cross section-weights method untuk mengkoreksi pelanggaran asumsi klasik. Namun pegujian asumsi klasik harus tetap dilakukan terhadap model estimasi data panel Fixed Effect Model agar dapat memperoleh penduga yang bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased Estimator). Pengujian asumsi klasik yaitu uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas. Selanjutnya evaluasi model berdasarkan kriteria statistik dilihat dari nilai 2 R . Berdasarkan hasil estimasi, uji diagnosik pada kriteria stastistika terkait dengan kebaiksesuaian (goodness of fit). Nilai R-Squared (R2) atau koefisien determinasi dari model sebesar 0.999250 yang berarti bahwa sebesar 99.99 persen keragaman yang terdapat pada variabel pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh variabel
58
bebas seperti korupsi, pembelanjaan pemerintah, pengeluaran kesehatan dan pendidikan, invetasi asing langsung, pertumbuhan populasi, dan dummy negara, sedangkan 0.11 persen dijelaskan variabel lain di luar model. Hasil estimasi pada Tabel 11 menunjukkan bahwa analisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik dilakukan dengan melihat tanda besaran dari variabel dependen. Variabel pertumbuhan populasi menunjukkan hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak signifikan secara statistik yang dapat diartikan bahwa tidak ada prediksi hubungan antara pertumbuhan populasi dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil regresi juga menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif dan signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap pertumbuhan ekonomi di tujuh belas negara-negara Asia Pasifik dengan koefisien variabel korupsi sebesar 0.078266. Hal terebut berarti bahwa jika korupsi meningkat sebesar satu poin indeks maka pertumbuhan ekonomi (GDP perkapita) tujuh belas negara Asia Pasifik akan menurun sebesar 0.078266 persen dan sebaliknya dengan asumsi cateris paribus. Hasil ini sesuai dengan hipotesis dan teori yang telah diajukan. Chetwynd et al (2003) menjelaskan bahwa korupsi menghambat investasi asing dan domestik yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, dikarenakan korupsi meningkatkan biaya sewa dan pajak yang tinggi sehingga menciptakan ketidakpastian pada iklim investasi dan mengurangi insentif untuk investor asing. Chetwyn et al juga menyatakan bahwa korupsi menurunkan kualitas infrastruktur publik, korupsi mendistorsi pengeluaran publik dengan mencari keuntungan akan proyek paling terselubung dan mengalihkan dana yang seharusnya digunakan untuk sektor pendidikan dan kesehatan dialihkan kepada keuntungan pribadi. Gupta, Davoodi, dan Alonso–Terme (1998) menyatakan bahwa korupsi mengurangi tingkat pengeluaran untuk program sosial yang menciptakan ketimpangan pendidikan, yang berdampak pada partisipasi sekolah dan pembangunan modal manusia. Selain itu, korupsi merupakan biaya ekonomi yang dapat mereduksi pertumbuhan ekonomi dan berimplikasi pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Dari hasil estimasi terlihat bahwa korupsi berdampak negatif yang langsung dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan tingkat korupsi menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi atau GDP perkapita. Hasil analisis regresi diperoleh koefisien untuk variabel pembelanjaan pemerintah (GOVX) sebesar 0.299173. Variabel pembelanjaan pemerintah signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal estimasi menunjukkan bahwa pembelanjaan pemerintah berpengaruh signifikan dan memiliki pengaruh yang positif terhadap GDP perkapita. Meningkatnya persentase pembelanjaan pemerintah sebesar 1 persen, akan meningkatkan GDP perkapita tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik sebesar 0.299173 persen dengan asumsi cateris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis dan teori. Sektor publik atau pemerintah, memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Cooray (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemerintah dengan tata kelola keuangan yang baik untuk pembelanjaan pemerintah merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi. Pembelanjaan pemerintah merupakan kebijakan fiskal, yang secara tidak langsung dapat memengaruhi distibusi pendapatan dengan
59
pengeluaran pemerintah dialokasikan pada subsidi, perumahan murah untuk golongan tertentu (Mangkoesoebroto 1993). Pembelanjaan pemerintah bertujuan untuk membangun pelayanan umum seperti rumah sakit, infrastruktur, dan fasilitas pendidikan yang dapat meningkatkan aktivitas perekonomian sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Jhingan (2003) menjelaskan bahwa pembelanjaan pemerintah yang dialokasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan pertanian seperti memberikan bantuan reparasi dan pemeliharaan irigasi; program pupuk buatan dan pupuk hijau; program pengenalan alat pertanian. Selanjutnya, pembelanjaan pemerintah yang dialokasikan untuk membantu pertumbuhan industri swasta dengan mengadakan bahan mentah, peralatan modal mesin, keterampilan teknis, dan pabrik guna mendorong produktifitas yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Variabel yang menunjukkan kualitas sumberdaya manusia yaitu pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar 0.030161. Artinya, jika anggaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan ditingkatkan sebesar 1 persen, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 0.03 persen dengan asumsi cateris paribus. Sebaliknya, jika anggaran tersebut diturunkan maka kualitas sumberdaya manusia akan menurun sehingga kemampuan produksi menurun, akibatnya pertumbuhan ekonomi juga akan menurun. Pengeluaran pada pendidikan merupakan investasi pada sektor pendidikan, dimana pendidikan akan meningkatkan pembentukan modal manusia (human capital formation) atau sumberdaya manusia yang inovatif dan produktif. Annabi et al (2007) menyatakan bahwa pengetahuan pada tenaga kerja dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui efektivitas kerja. Investasi optimum berkenaan dengan alokasi sumberdaya dari waktu ke waktu merupakan sumberdaya yang dialokasikan pada pendidikan yang dapat membantu meningkatkan kapasitas produktif sehingga menaikkan output dan konsumsi di masa datang, karena itu pilihan yang berkaitan dengan pendidikan atau jenis prasarana sosial lainnya merupakan bagian dari investasi untuk meningkatkan modal manusia dan pertumbuhan ekonomi (Jhingan 2003; Mankiw 2000). Terkait dengan sektor kesehatan, sekalipun suatu negara hanya memiliki sedikit sumber daya alam seperti Jepang misalnya, tetapi negara tersebut memiliki sumber daya manusia yang berkualitas maka Jepang menjadi negara yang luar biasa. Di saat negara-negara Asia masih terpuruk, Jepang menjadi negara yang diperhitungkan oleh negara-negara maju karena kualitas sumber daya manusianya yang luar biasa. Pemerintah Jepang berani menyediakan dana yang besar untuk kesehatan masyarakatnya agar mereka menjadi sehat, sehingga menjadi lebih produktif. Produktifitas yang semakin tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (Nawatmi 2014). Hasil analisis regresi juga memperlihatkan bahawa investasi asing langsung (FDI) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik dengan koefisien FDI sebesar 0.007474. Hal tersebut dapat diartikan bahwa meningkatnya FDI sebesar 1 persen, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.007474 persen dengan asumsi cateris paribus.
60
FDI (Foreign Direct Investment) diyakini menjadi salah satu sumber penting pembiayaan bagi negara-negara berkembang. Kehadiran FDI diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan melalui transfer aset, teknologi dan keterampilan manajerial untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Kholis 2012). Setiap negara membutuhan modal untuk membiayai proyek pembangunannya. Salah satu cara untuk mendapatkan suntikan modal adalah dengan menarik investasi asing langsung (FDI). Kebijakan nasional merupakan kunci daya tarik investasi asing langsung. Dalam beberapa dekade terakhir banyak negara mulai melakukan liberalisasi terutama yang berkaitan dengan kebijakan investasi asing langsung. Dalam hal tertentu, investasi asing langsung hanyalah pelengkap investasi domestic, namun dalam perkembangannya, investasi asing langsung memiliki peranan penting dalam investasi secara keseluruhan. Pada satu sisi investasi asing langsung dipercaya memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi negara tujuan (Effendi dan Soemantri 2003). Dampak positif ini terjadi karena adanya transfer teknologi dan keahlian manajerial, pengenalan teknologi produksi yang baru serta akses ke jaringan internasional. Bagi negara yang sedang berkembang, masuknya investasi asing langsung juga berarti adanya kemudahan untuk memperoleh pinjaman lunak Sementara itu argumentasi negatif menyatakan bahwa kehadiran investasi asing langsung dapat mengganggu stabilitas ekonomi negara tujuan (Germidis 1977). Effendi dan Soemantri (2003) menyatakan bahwa keberadaan investasi asing langsung justru meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Temuan ini didukung oleh Alfaro et al (2000) yang juga menyatakan bahwa kahadiran investasi asing langsung berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama dalam sektor keuangan. Hasil regresi dari model pertumbuhan ekonomi diperoleh koefisien untuk variabel dummy negara sebesar 0.052540 dengan hubungan negatif pada tingkat signifikansi 5 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa selisih pertumbuhan ekonomi di negara berkembang terhadap negara maju adalah sebesar 0.052540 persen. Salah satu indikator kemajuan suatu negara dapat dilihat dari segi tingkat pertumbuhan ekonominya. Negara maju memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat hingga pada suatu periode mencapai kestabilan ekonomi. Pada saat kestabilan ekonominya tercapai, negara-negara maju mulai melirik negara-negara berkembang untuk menanamkan investasi mereka. Pada saat itulah pertumbuhan ekonomi dari negara berkembang mulai mengalami sedikit perkembangan. Kestabilan pertumbuhan ekonomi yang dimiliki negara-negara maju ditunjang oleh beberapa faktor ekonomi dan non-ekonomi. Faktor ekonomi antara lain sumber daya alam, sumber daya manusia, perbankan, modal, usaha dan teknologi. Faktor non-ekonomi meliputi kestabilan politik negara tersebut, aktifnya lembaga-lembaga sosial, pemerintahan yang bekerja dengan semestinya, serta moral-moral dari penduduk negera tersebut. Pertumbuhan ekonomi di negara maju cenderung lebih rendah, nanum mengalami kenaikan secara stabil. Sedangkan negara berkembang, seperti Cina, dalam kurun waktu 9 tahun masih memacu pertumbuhan ekonominya dengan memfokuskan sektor industrinya.
61
Table 12 Hasil Cross Section Effect Model Pertumbuhan Ekonomi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Cross id Australia China Filipina India Indonesia Jepang Kamboja Korea Selatan Malaysia Mongolia Nepal New Zealand Pakistan Singapura Thailand Timor Leste Vietnam
Effect 1.396112 -1.147364 -0.512644 -1.664475 -0.669924 1.002663 -0.453362 1.232659 0.591031 0.102037 -1.140689 1.571934 -1.056568 2.021721 -0.102241 -0.324834 -0.846056
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 12 terdapat fixed effect (cross) yang memperlihatkann pembeda dari setiap cross section (tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik). Berdasarkan hasil estimasi dapat dilihat bahwa Singapura memiliki nilai pembeda yang paling tinggi. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi di Singapura memiliki rata-rata perubahan yang paling tinggi, yaitu sebesar 2.0021721. Berbanding terbalik dengan India yang memiliki nilai pembeda terkecil. Pertumbuhan ekonomi di India memiliki rata-rata perubahan yang paling kecil yaitu sebesar -1.664475. Hal ini memperlihatkan bahwa Singapura merupakan negara yang memiliki koefisien intersep pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, sementara itu India menjadi negara yang nilai intersepnya lebih rendah dibanding negara lain. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan tingkat korupsi di tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik, yaitu faktor ekonomi, politik dan sosial. Faktor ekonomi dengan variabel keterbukaan ekonomi berpengaruh negatif dengan tingkat korupsi dan anggaran sektor publik (public budget) yang mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat korupsi. Kedua faktor tersebut signifikan dalam mempengaruhi tingkat korupsi yang terjadi di tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik. Selanjutnya adalah demokrasi dan stabilitas politik sebagai proksi dari faktor politik. Demokrasi memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat korupsi, meskipun tidak signifikan, sedangkan stabilitas
62
politik memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat korupsi. Faktor sosial dalam penelitian ini ditunjukkan oleh variabel proporsi penduduk perkotaan (urban population) dan kualtias regulasi. Proporsi penduduk perkotaan di tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik menunjukkan hubungan yang negatif dan signifikan terhadap tingkat korupsi, namun hubungan tersebut bersifat non-linear tergantung dar seberapa besar proporsi tersebut, sedangkan kualitas regulasi tidak signifikan terhadap tingkat korupsi. 2. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa stabilitas politik mempunyai koefisien yang paling tinggi dalam memengaruhi tingkat korupsi pada tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik. Peningkatan stabilitas politik sebesar 1 poin indeks akan menurunkan tingkat korupsi sebesar 0.42 poin indeks. Mongolia mempunyai rata-rata perubahan tingkat korupsi tertinggi yaitu sebesar 2.05. 3. Terdapat faktor faktor-faktor yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik selama 2004-2014 seperti pembelanjaan pemerintah, pengeluaran kesehatan dan pendidikan, dan investasi asing langsung. Pembelanjaan pemerintah memiliki koefisien yang paling tinggi dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kenaikan pembelanjaan pemerintah sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.29 persen. Pengeluaran kesehatan dan pendidikan berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi, investasi asing langsung terhadap pertumbuhan ekonomi juga memiliki dampak signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi Singapura memiliki rata-rata perubahan tertinggi, yaitu sebesar 2.002. 4. Pengujian variabel korupsi pada estimasi dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi, menunjukkan hasil yang berhubungan negatif. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa korupsi mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada tujuh belas negara kawasan Asia Pasifik tahun 2004-2014. Jika ditinjau dari hasil estimasi pengaruh korupsi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dengan kenaikan tingkat korupsi sebesar 1 poin indeks akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.078 persen. Tingginya tingkat korupsi sektor publik pada negaranegara kawasan Asia Pasifik akan menurunkan GDP perkapita baik pada negara berkembang maupun negara maju. Kualitas institusi yang rendah diindikasikan oleh adanya kegagalan pemerintah (korupsi), memiliki pengaruh yang buruk terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka perumusan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai beriktu 1. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat korupsi, seperti proporsi penduduk perkotaan, dimana pemerintah tidak dapat melakukan apapun untuk mengubah hal tersebut. Sebaiknya pemerintah bisa memperkenalkan perangkat kebijakan untuk memoderasi dampak negatif dari faktor tersebut dalam
63
pengendalian korupsi. Faktor-faktor ini termasuk stabilitas politik dan kualitas regulasi. 2. Pada negara dengan stabilitas politik yang tidak pasti akan semakin menimbulkan masalah. Stabilitas politik merupakan aspek penting dari pemberantasan korupsi yang sukses. Tanpa adanya stabilitas politik, pelaksanaan kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan dalam memberantas korupsi menjadi tidak efektif. Selain itu, pemerintah di negara-negara yang tidak stabil secara politik cenderung memfokuskan upaya untuk menstabilkan negara itu. Ketidakstabilan politik bukanlah sesuatu yang pemerintah tidak dapat mengontrol tetapi sulit untuk mencapai terutama ketika ketidakstabilan politik dikombinasikan dengan konflik lainnya yang sudah mengakar dalam di masyarakat. Sebagai contoh, beberapa konflik dalam konflik agama, etnis, atau ideologi. Pemerintah dan masyarakat dapat memperbaiki situasi dengan mempromosikan dialog sebagai sarana utama untuk menemukan solusi. Selain itu, karena konflik politik yang utama adalah tentang perebutan kekuasaan, pemerintah harus menerapkan demokrasi yang transparan dan adil yang menjamin kesempatan bagi semua pihak untuk memiliki akses ke kekuasaan. Jika perlu, mereka bisa mengundang organisasi internasional untuk terlibat dalam proses politik, seperti pemilihan, sebagai pengamat atau pengawas. 3. Pemberantaran korupsi dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dapat dimulai dengan menciptakan suatu sistem politik yang low cost. Sistem tersebut diharapkan mampu menciptakan pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market). Sistem ini juga diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang secara tegas mendukung segala bentuk upaya pemberantasan korupsi di tingkat nasional maupun daerah. Pemimpin tersebut harus mampu melakukan pembenahan institusi seluruh aparat penegak hukum dengan menerapkan Carrot and Stick. Sehingga aparat penegak hukum dapat mendukung penerapan Carrot and Stick yang menyeluruh pada instansi pemerintahan yang ada dan mewujudkan prinsip-prinsip Good Governance pada seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat. 4. Saran untuk penelitian selanjutnya dapat menganalisis dampak korupsi terhadap kemiskinan, dan social welfare di suatu negara, karena pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan poin-poin tersebut. Penelitian lain dengan mengembangkan dampak korupsi secara jangka panjang juga dapat dilakukan mengingat beberapa penelitian sebelumnya hanya mengidentifikasi dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
64
DAFTAR PUSTAKA Ades A, R. Di Te. 1995. Competition and Corruption. Draft Paper. Keble College. Oxford University __________________. 1999. Rents, Competition and Corruption. American Economic Review 89(4): 982-94. Aleksandar F. 2000. Stability and Corruption in South Eastern Europe– Corruption is A Way of Life in South-Eastern Europe A Necessary Method of Survival. South-East Europe Review. 4/2000 Andvig JC, Fjeldtad OH, Amundsen I, Sissener T, Søreide T. 2000. Reasearh on Corruption: A Policy Riented Survey. [NORAD] Norwegian Agency for Development Co-operation. Bac M. 2001. Corruption, Connections and Transparency: Does a Better Screen Imply a Better Scene. Public Choice, 107, 87–96. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edition. New York : McGraw Hill Companies Inc. Barreto M.2000. The Impact of Relative Group Status: Affective, Perceptual and Behavioural Consequences. In The Blackwell Handbook of Social Psychology, Vol. 4. Intergroup Processes, ed.RBrown, S Gaertner, pp. 324– 43. Oxford: Blackwell Barro RJ, Xavier SM. 1995. Economic Growth. New York. McGraw Hill Inc. Blackburn, Keith NB; and M. Emranul H. 2006. Economic Discussion Paper EDP0530. The University of Manchester. Boediono. 1992. Teori Pertumbuhan Ekonomi, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi Edisi 1.Cetakan Ke 5. BPFE. Yogyakarta. Chetwynd E, Frances C, Bertram S. 2003. Corruption and Poverty :A Review of Recent Literature (Final Report). Washington DC : Management System Intrenational. Churchill RQ, Agbodohu W, Arhenful. P. 2013. Determininf Factors Affecting Corruption: A Cross Country Analysis. International Journal of Economics, Business, and Finance, Vol 1, No. 10, November 2013, pp : 275-258. Colombatto E. 2003. Discretionary Power, Rent-Seeking and Corruption. University di Torino & ICER. Working Paper. Cooray AV. 2009. Government Expenditure, Governance and Economic Growth. Comparative Economic Studies, 51 (3), 401-418. Dahl RA. 1998. On Democracy. New Haven: Yale University Press. Damanhuri DS. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Berkembang. Bogor : IPB Press. Dowse RE, John AH. 1986. Political Sociology. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. Drazen A. 2001. The Political Business Cycle After 25 Years. NBER MacroEconomics Annual 2000, Volume 15, 2001. Ehrlich I, Lui FT. 1999. Bureaucratic Corruption and Endogenous Economic Growth. Journal of Political Economy. 6(107) pt 2j. Elliott KA. 1997. Corruption as an International Policy Problem: Overview and Recommendation.
65
Gini C. 1912. Variabilità E Mutabilità. Reprinted in Memorie di Metodologica Statistica (Ed. Pizetti E, Salvemini, T). Rome: Libreria Eredi Virgilio Veschi 1. Glaeser, Edward, Scheinkman J, and Shleifer A. 2003. The Injustice of Inequality. Journal of Monetary Economics 50:199-222. Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics 4th edition. The McGraw-Hill Companies. New York. Gupta S, Davoodi H, Tiongson E. 2000. Corruption and The Provision of Health Care and Education Services. International Working Paper. 116. Gupta S, Hamid R. Davoodi H, and Alonso-Terme R. 2002. Does Corruption Affect Income Inequality and Poverty?. Economics of Governance 3(1): 23-45. Gwartney J and Lawson R. 2004. Economic Freedom of the World: 2004 Annual Report. Vancouver: The Fraser Institute. Gyimah, Brempong. 2002. Corruption, Economic Growth, and Income Inequality in Africa. Economic of Government Spring-Verlag No 3 (183- 209). Haryanto RB. 2013. Pengaruh Indeks Persepsi Korupsi, Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN-5 Tahun 2002-2011. Jurnal Ilmiah. FEB Universitas Brawijaya Huntington SP. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press Husted BW. 1999. Wealth, Culture, and Corruption. Journal of International Business Studies 30(2): 339-60. Jain AK. 2001. Corruption : A Review. Journal of Economic Surveys. Vol 15 No1. Jhingan M L. 2003. Ekonomi Pembangunan Perencanaan. Guritno D (ed.). Edisi Kesembilan. Jakarta (ID): RajaGrafindo Persada. Juanda, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. Bogor. IPB Press. Kaufman D, Wei S. 1998. Does ‘Grease Money’ Speed Up the Wheels of Commerce?. Mimeo. The World Bank. Klitgaard R 1988. Controlling Corruption. Berkeley: University of California Press. Knack S, Keefer P. 1997. Does Inequality Harm Growth Only in Democracies? A Replication and Extension. American Journal of Political Science, 41: 1, pp 323-332 Krueger, Anne.1974. The Political Economy of The Rent Seeking Society. American Economi Review. Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta. UPP AMP YKPN Kuznets, Simon. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review. Volume XLV March, 1955 Number One. Lambsdorff, J.G. 2005. Consequences and Causes of Corruption: What Do We Know form a Cross Section of Countries?. Discussion Paper No. V-34-05. Passau: University of Passau. Li, Hongyi, Lixin C, Xu, Zou H. 2000. Corruption, Income Distribution, and Growth. Economics and Politics 12(2): 155-182. Lui F. 1985. An Equilibrium Queuing Model of Bribery. Journal of Political Economy. August, 93(4): 760-781. Mangkoesoebroto G. 1993. Ekonomi Publik Edisi III. BPFE. Yogyakarta
66
Mankiw, NG. 2000. Teori Makor Ekonomi. Edisi Keempat. Alih Bahasa: Imam Nurmawam. Jakarta: Erlanggas March JG, Olson JP. 1989. Rediscovering Institutions: The Organizational Basis of Politics. New York: The Free Press. Mauro P. 1995. Corruption and Growth. The Quarterly Journal of Economics. 110(3) 681-712. _______. 1998. Corruption and the Composition of Government Expenditure. Journal of Public Economics. 69(2), 263-279. McCarthy J, Zald M.. 1977. Resource Mobilization and Social Movements: A Partial Theory. American Sociological Review 82(6):1212-1241. Meltzer AH, Scott FR. 1981. A Rational Theory of the Size of Government. Journal of Political Economy 89:914-27 Miller WL, Grødeland ÅB, Koshechkina TY. 2002. Values & Norms versus Extortion & Temptation. Pp. 165-193 in Corrupt Exchanges: Empirical Themes in the Politics and the Political Economy of Corruption. Edited by Donatella Della Porta and Susan Rose-Ackerman. Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden. Mo P. 2001. Corruption and Economic Growth. Journal of Comparative Economics. 29:66-79. Mohtadi H, Roe TL. 2003. Democracy, Rent Seeking, Public Spending and Growth. Journal of Public Economics, 87: 3-4, pp 445-466. Montinola GR, Jackman RW. 2002. Sources of Corruption: A Cross-National Study. British Journal of Political Science, 32: 1, pp 147-170. Myerson RB. 1993. Effectiveness of Electoral Systems for Reducing Government Corruption–A Game-Theoretic Analysis. Games and Economic Behavior 5 (1):118-132. Myrdal G. 1968. Asian Drama An Inquiry Into the Poverty of Nations. New York. Twentieth Century Fund. Inc. Nawatmi S. 2014. Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Asia Pasifik. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2014, Hal 73-82, Vol 21. No.1. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Stikubank Semarang. Pani M. 2011. Hold Your Nose and Vote: Corruption and Public Decisions in A Representative Democracy. Public Choice, 148, 1-2, 163-196 Paldam M. 2002. The Cross-Country Pattern of Corruption: Economics, Culture and the Seesaw Dynamics. European Journal of Political Economy, 18(2):215{240. 22} Pellegrini L, Gerlagh R. 2004. Corruption’s Effect on Growth and its Transmission Channels. Kyklos.57 (3), 429-456. Rock MT. 2009. Corruption and Democracy. Journal of Development Studies, 45(1):55. Rose-Ackerman S. 1999. Corruption and Government: Causes, Consequences, Reform. The Press of The Univesity of Cambridge. __________________. 2001. Trust and Honesty in Post-Socialist Societies. Kyklos 54: 415-444. Sasana H. 2004. Kegagalan Pemerintah Dalam Pembangunan. Jurnal Dinamika Pembangunan Vol.1 No.1 Hal 31 – 38.
67
Schneider CQ, Schmitter PC. 2004. Liberalization, Transition and Consolidation: Measuring The Components of Democratization. Democratization. 11 (5): 59-90 Shleifer A, Vishny RW. 1993. Why is Rent-Seeking So Costly to Growth? American Economic Review. May, 409-414. Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: Raja Grafndo Persada. Schumpeter J. 1950. Capitalism, Socialism, and Democracy. Harper Perennial. Subekti AH. 2013. Dampak Korupsi dan Variebel Ekonomi Lainnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sepuluh Negara ASEAN+3 Tahun 2000-2010. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Stefansdotter A. 2011. Corruption and Democracy, An Empirical Investigation Using Panel Data. Ekonomihogslan. Lunds Universitet. Sukirno S. 2000. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan Pembangunan. UI-Press. Jakarta. Svensson J. 2005. Eight Questions About Corruption. Journal of Economic Perspectives 19 (3): 19-42 Tanzi V. 1995. Fiscal Federalism and Decentralization: A Review of Some Efficiency and Macrowconomic Aspects, dalam Bruno, Michael dan Boris Pleskovic (eds), Annual World Bank Conference on Development Economic. 1995. World Bank, Washington D.C ________. 1998. Corruption Around the World: Cauces, Consequences, Scope and Cures. IMF Staff Papers, Vol. 45, No. 4. Tarrow S. 1994. Power in Movement: Social Movements, Collective Action, and Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Todaro MP. 1981. Economic Development in The Third World Second Edition. Published in The USA by Longman Inc. New York. __________. 2003. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Alih Bahasa: Aminuddin dan Drs.Mursid. Jakarta: Ghalia Indonesia. __________ and Smith SC. 2004. Pembangunan Ekonomi Edisi. Edisi Ketujuh. Andri Yelvi [Penerjemah]. Jakarta : Erlangga. Toke A, Dutta J, Sena V. 2008. Governance Regimes, Corruption and Growth: Theory and Evidence. Journal Comparative Economics 36 (2008) 195- 220. Elsevier Inc. [TI] Transparency International. 2015. Corruption Perceptions Index Kawasan Asia Pasifik Tahun 2004-2014. [http://www.transparency.org/] diakses pada 20 Februari 2016. Treisman D. 2000. The Causes of Corruption: A Cross-National Study. Journal of Public Economics, 76: 3, pp 399–457. __________. 2007. What Have We Learned About the Causes of Corruption from Ten Years of Cross-National Empirical Research?. Annual Review of Political Science, 10, 211-244 Tulus THT. 2003. Perekonomian Indonesia Beberapa Masalah Penting. Ghalia Indonesia. [UNISDEM] Uni Sosial Demokrat. 2015. Metode Korupsi di Asia Pasifik Semakin Vulgar dan Telanjang. [http://www.unisosdem.org] diakses pada 21 Maret 2016. Uslaner EM. 2008. Corruption, Inequality, and the Rule of Law: The Bulging Pocket Makes The Easy Life. Cambridge University Press, Cambridge.
68
You, Jong-Sung, Khagram S. 2004. Inequality and Corruption. Harvard University. Faculty Research Working Papers Series Warburton J. 2001. Corruption as a Social Process: From Dyads to Networks. Pp. 221-237 in Corruption and Anti-Corruption. Edited by Peter Larmour and Nick Wolanin. Canberra, Australia: Asia Pacific. Wijayanto. 2007. Economic, Political and Social Factors Affecting Corruption: A Cross Country Analysis. Faculty of the Graduate School of Public Policy of Georgetown University. World Bank. 1997. Helping Countries Combat Corruption. The Role of the World Bank. Pp-8.
69
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Estimasi Model Korupsi Pooled Least Square Model Dependent Variable: COR Method: Panel Least Squares Date: 06/10/16 Time: 21:08 Sample: 2004 2014 Periods included: 11 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 187 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DEM EOP PUB POL URB REG DUMMY C
-0.068850 -0.005437 0.000628 -0.252358 0.003107 -1.617238 -1.265657 6.520738
0.028520 0.000947 0.005643 0.072757 0.004539 0.138225 0.221973 0.310620
-2.414094 -5.738744 0.111299 -3.468493 0.684527 -11.70004 -5.701864 20.99264
0.0168 0.0000 0.9115 0.0007 0.4945 0.0000 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.937338 0.934887 0.632542 71.61955 -175.6058 382.5123 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
5.511230 2.478885 1.963698 2.101927 2.019709 1.346571
70
Fixed Effect Model Dependent Variable: COR Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/10/16 Time: 21:10 Sample: 2004 2014 Periods included: 11 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 187 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DEM EOP PUB POL URB REG DUMMY C
-0.007045 -0.000293 0.012557 -0.417943 -0.061448 -0.059904 -0.770041 8.689859
0.030237 0.005324 0.004160 0.082439 0.006923 0.193070 0.251513 0.422249
-0.233006 -0.055024 3.018389 -5.069737 -8.876036 -0.310272 -3.061633 20.57994
0.8160 0.0026 0.0030 0.0000 0.0000 0.7568 0.0026 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.990980 0.989708 0.286403 778.6327 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
6.828825 4.765326 13.36723 1.728318
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.988143 13.55139
Mean dependent var Durbin-Watson stat
5.511230 1.528665
71
Random Effect Model Dependent Variable: COR Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/10/16 Time: 21:09 Sample: 2004 2014 Periods included: 11 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 187 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DEM EOP PUB POL URB REG DUMMY C
-0.010284 -0.004351 0.011885 -0.381026 -0.046598 -0.289880 -0.951108 8.129706
0.032215 0.002757 0.004269 0.089128 0.007165 0.174350 0.266577 0.443780
-0.319229 -1.578512 2.783889 -4.275057 -6.503324 -1.662638 -3.567850 18.31924
0.7499 0.1162 0.0059 0.0000 0.0000 0.0981 0.0005 0.0000
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.685958 0.287637
Rho 0.8505 0.1495
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.556750 0.539416 0.295519 32.11936 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.691282 0.435443 15.63234 0.888912
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.881744 135.1605
Mean dependent var Durbin-Watson stat
5.511230 0.244560
Chow Test Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 43.917309 312.245418
d.f.
Prob.
(16,163) 16
0.0000 0.0000
72
Haussman Test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
16.945229
7
0.0178
Nilai Matiks Korelasi
COR DEM EOP PUB POL URB REG DUMMY
COR 1 -0.545916 -0.494110 0.173087 -0.765282 -0.881348 -0.948138 -0.895433
DEM -0.545916 1 0.055143 -0.110457 0.394531 0.531749 0.535390 0.549972
EOP -0.494110 0.055143 1 -0.010368 0.387837 0.420453 0.411172 0.373428
GCF 0.173087 -0.110457 -0.010368 1 0.109136 -0.095211 -0.220040 -0.186747
POL -0.765282 0.394531 0.387837 0.109136 1 0.765555 0.726738 0.707294
URB -0.881348 0.531749 0.420453 -0.095211 0.765555 1 0.902217 0.835638
REG -0.948138 0.535390 0.411172 -0.220040 0.726738 0.902217 1.000000 0.872076
DUMMY -0.895433 0.549972 0.373428 -0.186747 0.707294 0.835638 0.872076 1.000000
Uji Normalitas (Jarquw Bera dan Probability) 16
Series: Standardized Residuals Sample 2004 2014 Observations 187
14 12 10 8 6 4 2 0 -0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.54e-17 -0.028028 0.746168 -0.659056 0.268080 0.301403 2.688499
Jarque-Bera Probability
3.587336 0.166349
73
Lampiran 2 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Pooled Least Square Model Dependent Variable: LNGDPCAP Method: Panel Least Squares Date: 06/10/16 Time: 12:01 Sample: 2004 2014 Periods included: 11 Cross-sections included: 17s Total panel (balanced) observations: 187 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
COR LNGOVX HED FDI POPG DUMMY C
-0.366559 0.173455 -0.003922 0.021751 -0.120674 0.950574 5.814242
0.037232 0.020810 0.016514 0.005779 0.062124 0.165443 0.785496
-9.845217 8.335082 -0.237475 3.763839 -1.942462 5.745618 7.402000
0.0000 0.0000 0.8126 0.0002 0.0536 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.930673 0.928362 0.433109 33.76499 -105.2990 402.7325 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
8.053207 1.618177 1.201059 1.322010 1.250068 0.405766
74
Fixed Effect Model Dependent Variable: LNGDPCAP Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/10/16 Time: 12:05 Sample: 2004 2014 Periods included: 11 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 187 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
COR LNGOVX HED FDI POPG DUMMY C
-0.078266 0.299173 0.030161 0.007474 0.002345 -0.052540 1.132894
0.013413 0.031717 0.004575 0.002208 0.012087 0.030097 0.750407
-5.835202 9.432538 6.593179 3.384727 0.194001 -1.745702 1.509705
0.0000 0.0000 0.0000 0.0009 0.8464 0.0287 0.0330
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999250 0.999149 0.088337 9931.643 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
13.74056 7.428709 1.279749 1.745692
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.995104 2.384721
Mean dependent var Durbin-Watson stat
8.053207 1.569244
75
Random Effect Model Dependent Variable: LNGDPCAP Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/10/16 Time: 12:03 Sample: 2004 2014 Periods included: 11 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 187 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
COR LNGOVX HED FDI POPG DUMMY C
-0.212325 0.144072 0.050801 0.011925 0.010506 0.107594 5.251588
0.024071 0.023412 0.008053 0.002118 0.018803 0.104977 0.595230
-8.820793 6.153893 6.308446 5.631337 0.558748 1.024931 8.822792
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.5770 0.3068 0.0000
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.492377 0.103595
Rho 0.9576 0.0424
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.570034 0.555701 0.115638 39.77288 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.509849 0.173486 2.407001 1.166187
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.737430 127.8819
Mean dependent var Durbin-Watson stat
8.053207 0.260253
Chow Test Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 43.917309 312.245418
d.f.
Prob.
(16,163) 16
0.0000 0.0000
76
Haussman Test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
50.283862
6
0.0000
Test Summary Cross-section random
Nilai Matriks Korelasi
LNGDPCAP COR LNGOVX HED FDI POPG DUMMY
LNGDPCAP 1.000000 -0.926042 0.634804 0.567873 0.082628 -0.221885 0.895221
COR -0.926042 1.000000 -0.470950 -0.589414 -0.130841 0.055012 -0.895433
LNGOVX 0.634804 -0.470950 1.000000 0.334012 -0.303445 -0.479694 0.467477
HED 0.567873 -0.589414 0.334012 1.000000 -0.137654 -0.497107 0.542335
FDI 0.082628 -0.130841 -0.303445 -0.137654 1.000000 0.312336 0.059290
POPG -0.221885 0.055012 -0.479694 -0.497107 0.312336 1.000000 -0.165403
DUMMY 0.895221 -0.895433 0.467477 0.542335 0.059290 -0.165403 1.000000
Uji Normalitas Jarque Bera dan Probability) Standardized Residuals 24
Series: Standardized Residuals Sample 2004 2014 Observations 187
20
16
12
8
4
0 -1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-4.93e-16 -0.033979 1.167755 -0.921233 0.426066 0.201734 2.883483
Jarque-Bera Probability
1.374156 0.503044
Indonesia 2011 2012 2013 2014
2011
2012
2013
2014
Jepang 2010
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
Indeks Persepsi Korupsi
Filipina
2009
Indeks Persepsi Korupsi
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
Indeks Persepsi Korupsi
Australia
2008
2007
2006
2005
2004
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2005
2004
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2004
Indeks Persepsi Korupsi 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2004
Indeks Persepsi Korupsi 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Indeks Persepsi Korupsi
77
Lampiran 3 Dinamika Korupsi di Kawasan Asia Pasifik
China
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
India
2011 2012 2013 2014
2011 2012 2013 2014
2012 2013 2014
2010 2011
2009
2008
2010
2009
2008
2007
2006
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
Kamboja
2007
2006
2005
2004
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
Indeks Persepsi Korupsi
New Zealand
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2005
Nepal Indeks Persepsi Korupsi
Mongolia
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Indeks Persepsi Korupsi
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
Malaysia
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2004
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2005
2004
Indeks Persepsi Korupsi 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2004
Indeks Persepsi Korupsi 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Indeks Persepsi Korupsi
78
Korea Selatan
2014
2013
2012
Vietnam
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2011 2012 2013 2014
2012 2013 2014
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2011
2010
2009
2004
Pakistan
2008
2007
2006
2005
2004
2014
2013
2012
2011
2010
2009
Indeks Persepsi Korupsi
Timor-Leste
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2011
Thailand
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Indeks Persepsi Korupsi
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2010
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
Indeks Persepsi Korupsi 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2009
2008
2007
2006
2005
2004
Indeks Persepsi Korupsi
2008
2007
2006
2005
2004
Indeks Persepsi Korupsi
79
Singapura
80
RIWAYAT HIDUP HAPPY FEBRINA HARIYANI, lahir pada tanggal 1 Februari 1992 di Malang, merupakan anak pertama dari 2 bersaudara dari pasangan Ibu Krismawati Andayani dan Bapak Hari Mulyono. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Pasuruan dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan jenjang S1 di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur reguler angkatan 9 pada tahun 2014. Selama perkuliahan program pascasarjana, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi Gita Swara Pascasarjana (GSP). Saat ini penulis bekerja sebagai staff pengajar di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia Bogor.