DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011)
AIRIN NURAINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011) Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, April 2013
Airin Nuraini NRP. H151100231
ABSTRACT AIRIN NURAINI. 2013. Impact of Corruption to Regional Economic Growth in Indonesia (Study Case: Regional Budget Corruption Assumption Mechanism in Banten Province Government at 2011). (Didin S Damanhuri as Chairman and Muhammad Findi is a Member of the Advisory of Committee) Decentralization is marked with the announcement of Regulation Number 22 in 1999 about the Region Government, and Regulation Number 25 in 1999 about the Financial Proportion between Central and Region Government. But apparently there are lots of problems in the implementations, one of them is a lot of corruption cases are revealed, with lots of corruption suspects are the authorities in that region and the resource of corruption is the local budget. Finally, that may bring a negative impact for the region economic growth. The aims of this study are: (1) To analyze local budget corruption in the mechanism of rent seeking at Banten Province, (2) To analyze the impact of corruption for the regional economic growth in Indonesia. Result showed that there is a local budget corruption assumptions have been done by the executive and legislative persons with the cooperation with the third person in the local budget managing, that behavior is triggered by the high cost political system. Then the result of the data processing showed that the impact of corruption for the regional economic growth is negative and significant, which means the region economic growth should have been more higher than now. In that case, an effort should be done to increase the region economic growth by eliminating the corruption in Region/national level by starting to create a low budget political system.
Keywords: corruption, economic growth, economic rent seeking.
RINGKASAN AIRIN NURAINI. 2013. Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (studi kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Didin S Damanhuri, M.S., DEA dan Dr. Muhamad Findi A, M.E.
Desentralisasi ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomer 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, ternyata mengalami banyak permasalahan dalam implementasinya, salah satunya adalah terkuaknya berbagai kasus korupsi di daerah dengan pelaku korupsi sebagian besar adalah para pemegang kekuasaan di daerah, dengan sumber utama yang di korupsi adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada akhirnya diduga akan berakibat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Pada intinya penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di Pemerintah Provinsi Banten, (2) Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode campuran, untuk tujuan pertama menggunakan metode deskriptif dan kualitatif yang meliputi studi pustaka dan wawancara mendalam untuk mengungkap perilaku koruptif yang berbentuk aktivitas pencarian rente ekonomi, dengan pendekatan analisa ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara fenomena politik dan fenomena ekonomi. Informan/ Narasumber yang dipilih untuk menjawab tujuan pertama yaitu dari pihak pejabat publik (eksekutif, legislatif), Akademisi, Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sedangkan untuk mencapai tujuan yang kedua, menggunakan metode kuantitatif dengan regresi data panel statis . Data korupsi yang digunakan untuk tujuan kedua adalah indeks korupsi daerah 48 kabupaten/kota di Indonesia yang diperoleh dari Transparency International Indonesia (TII). Hasilnya, dalam studi kasus Provinsi Banten telah terjadi korupsi APBD dalam aktivitas pencarian rente oknum eksekutif dan legislatif bergandengan tangan dengan pihak ketiga dalam pengelolaan APBD, perilaku tersebut dipicu oleh adanya sistem politik berbiaya tinggi. Berdasarkan hasil wawancara berbagai informan, beberapa dokumen pendukung, dan pemberitaan media massa maka dapat diketahui bahwa ada dua korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di Pemerintah Provinsi Banten. Mekanisme pertama, yaitu mekanisme korupsi APBD pos Belanja (Bantuan Sosial) Bansos dan Hibah dalam APBD yang dapat digunakan sebagai dana taktis pembiayaan kampanye, yang dimulai dari tahap perencanaan anggaran (by design), meluas ke tahap pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Mekanisme kedua, yaitu mekanisme perolehan rente melalui proyek-proyek APBD. Untuk mekanisme pertama, pada tahap perencanaan APBD pos Bansos Hibah tidak ada tolak ukur yang jelas dalam penganggaran dan mekanisme verifikasi, bahkan ada penyaluran yang diberikan tanpa berbasis proposal.
Kemudian pada tahap pelaksanaan, APBD dana hibah dan bansos disalurkan kepada lembaga/ organisasi yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu kepada lembaga/ organisasi yang dipimpin keluarga/ kerabat Gubernur dan lembaga/ organisasi masyarakat lainnya. Keluarga/ kerabat Gubernur yang memimpin lembaga/ organisasi yang diberi dana hibah bansos juga memiliki badan-badan usaha yang memberikan kontribusi dalam dana kampanye, sehingga menimbulkan dugaan bahwa sebagian kecil dari dana hibah bansos yang diterima bisa diputar kembali untuk dana sumbangan kampanye. Dugaan yang kedua adalah dana hibah dan bansos bisa langsung digunakan sebagai dana taktis untuk membiayai aktivitas politik dengan dalih diberikan kepada lembaga/ organisasi yang dikuasai lingkaran kelompoknya, sehingga mudah direkayasa secara administratif. Sedangkan penyaluran dana hibah bansos kepada lembaga/ organisasi masyarakat juga bisa dijadikan dana taktis untuk membiayai aktivitas politik maupun kepentingan pribadi/ kelompok yang lain, caranya dengan merekayasa lembaga/ organisasi yang diberi dana hibah dan bansos (lembaga fiktif, alamat tidak jelas, alamat sama) atau juga dengan cara disalurkan kepada masyarakat namun jumlahnya jauh lebih kecil dari nilai pagu anggaran yang ditentukan. Dana hibah bansos yang menjadi dana taktis ini kemudian digunakan dalam membiayai aktivitas politik salah satunya adalah untuk melakukan money poltics. Sedangkan pada tahap pertanggungjawaban, tidak ada peraturan tegas yang mengatur sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban, bahkan tidak dilakukan mekanisme monitoring pelaksanaan dan evaluasi pertanggungjawaban. Untuk mekanisme yang kedua, perolehan rente diperoleh melalui proyekproyek APBD. Penguasaan proyek dikoordinasi oleh Gubernur informal atau yang disebut dengan Gubernur Malam, dia memiliki oknum-oknum kepercayaan disejumlah “dinas basah” yang menjaga proyek-proyek APBD, agar akses informasi dengan mudah dia dapatkan. Gubernur informal sebagai pemborong dalam proyek-proyek APBD berkoordinasi dengan Gubernur formal/ jajaran eksekutif dalam menentukan proyek APBD dan siapa saja yang akan menangani proyek. Gubernur formal/ jajaran eksekutif akan menerima beberapa persen dari nilai proyek. Bagi Gubernur Formal keputusan proyek-proyek APBD dan penentuan pemenangnya adalah salah satu cara mengembalikan modal kampanye bagi dirinya dan pihak-pihak yang telah mendukung pembiayaan pada masa kampanye. Gubernur Malam kemudian mengendalikan DPRD melalui eksekutif agar meloloskan usulan mereka, yaitu dengan cara membeli proyek. Membeli proyek dilakukan dengan memberikan bagian dari proyek atau beberapa persen dari nilai proyek kepada oknum DPRD. Dengan demikian pada saat perencanaan anggaran telah ditentukan siapa pemenang proyek-proyek APBD, sehingga proses lelang proyek hanyalah sebuah formalitas, monopoli terselubung ini dapat dilihat dari data pemenang proyekproyek APBD bernilai besar, yang sebagian besar adalah perusahaan yang termasuk dalam tiga kategori. Kategori yang pertama, Perusahaan milik Gubernur informal. Kedua, perusahaan yang diduga merupakan bendera lain milik Gubernur informal dan kelompoknya. Dan yang terakhir adalah badan usaha swasta lainnya. Diketahui juga bahwa ketiga kategori ini adalah pihak-pihak yang memberikan dukungan pembiayaan pada masa kampanye Gubernur formal. Pada kategori
pemenang terakhir, yaitu badan usaha swasta lainnya, sebelum mereka memenangkan suatu proyek maka harus memperoleh restu dari Gubernur informal, badan usaha swasta harus menyetorkan sebesar 20 persen sampai dengan 40 persen dari nilai proyek-proyek APBD. Setelah mengetahui mekanisme korupsi di salah satu daerah di Indonesia (Banten), kemudian dilakukan analisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional (48 kabupaten/kota) dengan regresi data panel statis menggunakan fixed effect, hasilnya dapat diketahui bahwa setiap kenaikan indeks persepsi korupsi akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48 kabupaten/kota di Indonesia sebesar 0.0223 persen, ceteris paribus. Karena variabel indeks persepsi korupsi TII merupakan indeks antara 0 sampai dengan 10, dimana angka 0 untuk korupsi parah, dan 10 untuk kondisi suatu daerah tidak ada korupsi, sehingga semakin tinggi indeks semakin baik. Dengan demikian terbukti bahwa korupsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Potensi pertumbuhan yang dicapai daerah-daerah seharusnya lebih tinggi daripada yang dicapainya sekarang. Dengan demikian upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah adalah dengan melakukan pemberantasan korupsi di level daerah/ nasional yang dimulai dengan menciptakan suatu sistem politik yang berbiaya rendah. Kata kunci : Korupsi, Pertumbuhan ekonomi, Pencarian rente ekonomi.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011)
AIRIN NURAINI
Tesis Sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc., Agr.
Judul Tesis
: Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011).
Nama Mahasiswa
: Airin Nuraini
Nomor Pokok
: H151100231
Mayor
: Ilmu Ekonomi
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, M.S.,DEA Ketua
Dr. Muhammad Findi A, M.E. Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr.Ir.R.Nunung Nuryartono, M.Si
Tanggal Ujian Tesis : April 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus
:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (Studi kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011). Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, M.S.,DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Muhammad Findi A, M.E., sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc., Agr. selaku penguji luar komisi, serta Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku penguji wakil Program Studi Ilmu Ekonomi atas saran perbaikan tesis. Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh informan yang telah bersedia berbagi informasi, terutama pihak dari Indonesian Corruption Wacth (ICW) yang selama ini telah banyak membantu dalam pembuatan tesis ini, juga kepada orang tua ibu Eni Hayani, Ayah Muhammad Arief yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do’a dan kasih sayang kepada penulis, juga suami dan anak tercinta Novan Widianto dan Alisa Adivia atas dukungan semangat dan do’anya. Teman-teman IE angkatan 2010 dan Staff sekretariat IE terimakasih atas dukungan, kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat.
Bogor, April 2013
Airin Nuraini
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 9 Oktober 1984, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Arief dan Ibu Eni Hayani. Pada tahun 1991 penulis menempuh pendidikan formal di SDN Pengadilan 3 Bogor dan tamat tahun 1997. Setelah tamat dari SD penulis melanjutkan sekolah di SMPN 4 Bogor sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 dan melanjutkan pendidikan di SMUN 5 hingga tahun 2003. Kemudian, pada tahun yang sama melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti pada Program Studi Ekonomi jurusan Akuntansi. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai Tenaga Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kesatuan. Pada akhir tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor .
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................ v DAFTAR GAMBAR .......................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................
x
1. PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian......... ..............................................................
9
1.4. Manfaat Penelitian .....................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................
9
2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
11
2.1. Landasan Teori ........................................................................
11
2.1.1. Korupsi................ ...........................................................
11
2.1.2. Korupsi Di Indonesia................ ......................................
21
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi................................ ...................
26
2.1.4. Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi...............................
34
2.1.5. Korupsi dan Perburuan Rente Ekonomi.. .......................
37
2.1.6. Desentralisasi ..................................................................
48
2.1.7. Indeks Persepsi Korupsi Transparency International ....
55
2.2. Penelitian Terdahulu ..................................................................
57
2.3. Kerangka Pemikiran ..................................................................
62
3. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................
65
3.1. Jenis dan Sumber Data ..............................................................
65
3.2. Metode Analisis Data .................................................................
67
3.4.1. Metode Analisis Mekanisme Rent Seeking Economy Activity………………………………………………………...
67
3.4.2. Model Regresi Data Panel Pertumbuhan Ekonomi ..........
71
3.2.2.1 Hipotesa ................................................................
74
ii
3.2.2.2 Metode Analisis Regresi Data Panel ....................... ……
74
4. GAMBARAN UMUM ...............................................................................
79
4.1. Gambaran Umum Korupsi Daerah (termasuk yang bersumber dari APBD) di Indonesia .........................................................................
79
4.2. Gambaran Umum Provinsi Banten .......................................... …
88
5. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………… .........................
103
5.1. Mekanisme Korupsi APBD dalam Perburuan Rente Ekonomi : Pendekatan Studi Kasus Provinsi Banten……………………… .......
103
5.1.1. Faktor Penyebab Korupsi APBD : Dugaan Kasus Korupsi Pilkada Gubernur Banten Tahun 2011 ........................................
105
5.1.2. Mekanisme Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah Bansos Provinsi Banten 2011…………………………………………………… 115 5.1.3 Mekanisme Perburuan Rente dalam Dugaan Korupsi pada Proyek-Proyek APBD Provinsi Banten………........ ……
144
5.2. Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia .............................................................................................
160
5.2.1. Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi .....................................
161
5.2.2. Evaluasi Model Pertumbuhan Ekonomi ....................................
164
5.2.3. Pembahasan Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuh Ekonomi Regional di Indonesia ...............................................
165
5.2.4. Potensi Pertumbuhan Ekonomi Banten (Analisis ICOR) ..........
172
6. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN.................
175
6.1. Kesimpulan ..........................................................................................
178
6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran ............................................................
179
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
181
LAMPIRAN ......................................................................................................
187
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Perubahan Setelah Desentralisasi ……………………………….……….....51
2.
Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data yang diperlukan..........................66
3.
Tren Korupsi APBD Tahun 2009-2011………………………….……….....83
4.
PDRB Banten Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010…….................93
5.
Perkembangan RLS dan AMH Sebagai Komponen IPM Provinsi Banten tahun 2000-2010.............................................................................................94
6.
Peringkat IPM Provinsi Banten di Pulau Jawa................................................................................................................95
7.
Jumlah Anggota DPRD Berdasarkan Partai Politik Pemenang Pemilu Legislatif Tahun 2004 dan 2009...................................................................100
8. Daftar Incumbent dalam Pilkada Gubernur Langsung Banten...........................................................................................................102 9. Jumlah Dana Kampanye Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Banten Tahun 2011.............................................................................................. 114 10. Gambaran Umum Hibah dan Bantuan sosial............. ............................ . ...119 11. Tren Realisasi Anggaran Hibah dan Bansos Provinsi Banten…………... 122 12. Jumlah Voucher dalam Proses Perencanaan…………………………...…127 13. Lembaga Fiktif Penerima Dana Hibah…………………………………… 130 14. Lembaga Penerima Hibah yang Memiliki Alamat Sama………………….131 15. Daftar Aliran Dana ke Lembaga yang dipimpin Keluarga Gubernur…….132 16. Kepatuhan Instansi Vertikal Kota Serang…………………………………135 17. Normatif Pertanggungjawaban Hibah Bansos…………………………….137 18. Rekapitulasi Hasil Temuan Pada Proses Pengelolaan Dana Bansos Hibah yang bersumber dari APBD Provinsi Banten Tahun 2011………………..138
v
19. Badan Usaha Penyumbang Dana Kampanye PilGub Tahun 2011 yang Memenangkan Proyek APBD TA 2012 di Provinsi Banten………………153 20. Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Milik Keluarga Gubernur…………………………………………………………………...156 21. Chow test antara Pooled Least Square dan Fixed Effect………………….161 22. Hausman Test antara fixed effect dan random effect………………………162 23. Hasil Regresi Data Panel…………………………………………………..164 24. Interpretasi Hasil Estimasi………………………………………………...165 25. ICOR tahun 2008 di Pulau Jawa dan Bali…………………………………174
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara Lain di Dunia...............
1
2
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara ASEAN +3..................
2
3
Postur Belanja APBD 2007-2011 (%)…………………………………
5
4
Jumlah Kasus Korupsi Menurut Lembaga Tahun 2011….................
6
5
Interaksi yang Berpotensi Menimbulkan Korupsi di Negara Demokrasi................................................................................................
18
6
Korupsi dan Kemungkinan Produksi......................................................
35
7
Biaya Monopoli Akibat Prilaku Pencarian Rente……………………...
41
8
Penentuan Output Oleh Birokrat……………………………………….
45
9
Kerangka pemikiran……………………………………………………
64
10 Tahapan Analisa Studi Kasus Korupsi APBD dalam Perburuan Rente ekonomi………………………………………………………………...
71
11 Tren Korupsi Indonesia berdasarkan Pelakunya Tahun 2011………….
85
12 Komposisi Realisasi Pendapatan Provinsi Banten tahun Anggaran 2010 dan 2011………………………………………………………….
90
13 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten tahun 2001-2011 …………….
92
14 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2008-2011……………………………………………………...
92
15 Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten 1961- 2010…...
94
16 Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Banten…………………...
96
17 Kompilasi Penggunaan Kekuasaan Berdasarkan Modus……………...
106
18 Kompilasi Politik Uang Berdasarkan Modus…………………………..
110
19 Rangkuman berbagai regulasi penyusunan APBD…………………….
116
20 Mekanisme Dugaan Korupsi APBD dalam Pengelolaan Dana Hibah dan Bansos……………………………………………………………..
142
21 Penguasaan Berbagai Aspek Strategis di Provinsi Banten dalam Lingkaran Keluarga…………………………………………………....
147
22 Mekanisme Pengerukan APBD Melalui Penguasaan Proyek-Proyek APBD di Provinsi Banten……………………………………………
159
vii
23 Dampak Perubahan (Penambahan) Pengeluaran Pemerintah Terhadap Keseimbangan Output…………………………………………………
168
viii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Daftar Informan/Nara Sumber …………………………………………
2.
Data ICW : Rincian Kejanggalan Penyumbang Dana Kampanye
187
Incumbent 1 Pada Pilkada Banten Tahun 2011 Uji Petik
Terhadap 30 persen dari Jumlah Penyumbang....................................... 3.
4.
188
Output pendekatan pooled least square estimasi model pertumbuhan ekonomi regional. .............................................................
191
Output pendekatan fixed effects estimasi model pertumbuhan ekonomi regional…………………………………...............................................
192
5.
Output pooled least square/ fixed effects testing dengan menggunakan rendundant fixed effects – likelihood ratio.......................................................... 193
6.
Output pendekatan Random effects estimasi model pertumbuhan ekonomi regional...............................................................................................
194
Output fixed effects/random effects testing dengan menggunakan correlation random effects-Hausmant test.............................................
195
7.
8. Output hasil estimasi fixed effect dengan GLS weight: cross section weight dan cross section weight (PCSE).............................................................. 196 9. Tingkat Korupsi rata-rata tahun 2008 dan 2010 48 ibukota/kabupaten di Indonesia ...................... .......................................................................... 197 10. Contoh lembar survey kuisioner TII............. .........................................
198
x
1.
PENDA AHULUAN N
1.1 Latar Belakang a di Koorupsi bukaanlah masallah baru, taapi masalahh yang suddah lama ada berbagai negara, n neggara maju maupun m neg gara berkem mbang sepeerti di Indon nesia. Namun, perbedaanya p a dengan neegara maju, masalah korupsi k di N Negara Indo onesia adalah geejala massaal dan beluum diiringi oleh berjaalannya suppremasi hu ukum. Korupsi yang y berasall dari bahasa latin corrruptio dari kata k kerja coorrumpere, yang berarti buusuk, rusakk, menggooyahkan, memutarbali m ik, menyoggok. Apa yang dibusukann oleh koruupsi? Koruupsi yang dipahami d m masyarakat secara eko onomi biasanya tanda-tanda t a moral/akhllak masyaraakat yang ruusak oleh kkeluasan praaktikpraktik yaang membussukan keuanngan negaraa pada tingkkat yang suddah kronis. 9.4 9.3 9.22 9.2 9 8..9 8.9 8.7 8.7 8 8.7
Australia
Canada
Iceland
5
6
7
8
9
10 39 57 5 88 114 151 1 178
Myanmar
Netherlands
4
Timor leste
Finland
3
Indonesia
Switzerland
2
Thailand
Sweden
1
Malaysia l i
Singapore g p
3.4 2.8 2.2 1.4
Denmark
4 4.5
New Zealand
Brunai…
5.5
Sumber : www.transp w parency.orgg,2010 Gambar 1. Indeks Perrsepsi Koruupsi Indonessia dan Neggara Lain di Dunia Inddonesia sellama ini diikenal sebaagai salahsaatu negara
dengan angka a
korupsi yang y tinggi di dunia. Dari data survey yanng dilakukaan oleh lem mbaga Transpareency Internaational dikeetahui Pada tahun 20099 dan 2010,, Indeks Perrsepsi Korupsi (IIPK) Indonnesia beradda pada skorr 2.8, dengaan kata lainn pada dua tahun ini di Indonesia tiddak ada perrbaikan sam ma sekali, sehingga s daapat disimpu ulkan korupsi diianggap maasih merajaalela, karenaa para elit politik di nnegeri ini belum b menunjukkan kemauann politik daalam menjalankan kekuuasaan negaara dengan bersih b bebas darri unsur koorupsi. IPK K 2.8 meneempatkan Inndonesia ppada tahun 2010 berada di posisi ke 114 dari 178 1 negara yang disurrvey (Gam mbar 1). Ren ntang indeks anttara 0 samppai dengan 10, 0 beraarti diperseppsikan sangaat korup, daan 10
sangat bersih. Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN praktek korupsi menempatkan Indonesia rata-rata dari tahun ke tahun menduduki urutan kedua terburuk (Gambar 2). 10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Cina Jepang Korea Selatan Singapura Indonesia Malaysia Thailand Filipina
Sumber : Transparency International, 2011(diolah). Gambar 2. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara ASEAN +3 Budaya korupsi sudah sedemikian berakar jauh sebelum era Indonesia yang sekarang. Menurut Myrdal, korupsi di Asia Selatan dan Tenggara berakar dari penyakit neopatrimonalisme, yaitu warisan budaya feodal pada masa kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam hubungan patron-client tersebut, rakyat biasa atau bawahan memiliki kewajiban memberi upeti kepada pihak-pihak yang berkuasa, sementara itu kekuasaan harus diwujudkan secara materi/kekayaan serta dukungan sejumlah penduduk yang harus dijaga kesetiaannya1. Kemudian kini berkembanglah money politics dalam pemilihan presiden, DPR/DPRD, gubernur, walikota, bupati, pimpinan partai politik dan seterusnya2, pada setiap masa pemerintahan di Indonesia (Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi). Akibat dari adanya money politics memberikan kontribusi terhadap tingginya pengeluaran calon pejabat negara/daerah dalam pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada), untuk memenuhi pembiayaan politik dalam proses pemilihan, seorang calon pejabat negara/daerah perlu mencari dukungan pembiayaan dari kelompok kepentingan dan pelaku politik. 1
Damanhuri DS, Korupsi,Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta:LPFEUI,2006,hal 9. 2 Ibid.
2
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Aditjondro di daerah Poso, menengarai bahwa para pelaku bisnis di tingkat provinsi dan nasional memiliki kepentingan sendiri untuk mendukung seorang calon yang pada gilirannya harus “dibayar” kelak ketika sang calon berhasil terpilih3. Pada akhirnya nanti kebijakankebijakan yang lahir dari para pemerintah negara/daerah sudah tidak lagi independen, bukan lagi bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tapi lebih banyak menguntungkan segelintir pihak yang terkait dengan money politics tersebut. Dalam kondisi seperti yang diuraikan di atas, Myrdal dalam bukunya Asian Drama pernah memberikan kritikan terhadap negara berkembang yang dikatakan berstruktur lembek (soft state) terutama berlangsung di Asia Selatan dan Asia Tenggara4. Dimana para elite politik di negara-negara tersebut sangat kompromistik dengan segala bentuk korupsi. Korupsi bisa menjadi kontributor utama terhadap tingkat pertumbuhan yang rendah dari banyak negara berkembang5, disamping itu korupsi juga dapat tumbuh bersama dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, walaupun demikian pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi tidak berkualitas melalui pemborosan dana pembangunan (high cost economy), sehingga pembangunan ekonomi menjadi tidak merata. Korupsi tidak menunjukan hubungan langsung terhadap kemiskinan. Korupsi mempunyai konsekuensi terhadap faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi, seperti menghambat investasi, mendistorsi alokasi sumberdaya, menurunkan kapasitas fiskal dan membuat kualitas infrastruktur rendah. Selanjutnya, faktor-faktor tersebut memengaruhi tingkat kemiskinan. Sebagai contoh, untuk pengembangan sumber daya manusia, korupsi membuat kualitas dan kuantitas sekolah jadi tidak optimal, demikian juga dengan upaya ketersediaan kebutuhan dasar (basic needs), seperti air bersih, pangan, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini membuat masyarakat Indonesia menjadi 3
Aditjondro (tidak dipublikasikan) dalam Taufik R, Maria P,Dewi D, Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi, Bank Dunia, 2007, hal 15. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/Memerangi_Korupsi_ dprd.pdf, 28 Desember 2012. 4 Asian Drama dalam Damanhuri DS, Ekonomi Politik dan Pembangunan, Jakarta:LPFEUI, 2010, hal 30. 5 Mauro P, Corruption and growth, Quarterly Journal of Economics 110,1995.
3
kurang terdidik, kurang gizi dan gampang sakit. Sehingga pada akhirnya masyarakat Indonesia kurang siap bersaing secara regional maupun internasional. Dari tahun ke tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Indonesia jumlahnya terus meningkat. Pada masa Orde Baru APBN diperkirakan mengalami kebocoran mencapai 30 persen (Incremental Capital Output Ratio/ ICOR) hingga lebih dari 50 persen (Input Output/ IO), dengan demikian sesungguhnya potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen menjadi hanya tumbuh 7 persen per tahun6. Pada masa reformasi, dengan adanya desentralisasi fiskal maka ada sebagian dari APBN yang ditransfer ke daerah. Desentralisasi atau otonomi daerah/khusus di negeri ini dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
menggantikan
Undang-Undang
Nomer
5
tahun
1974
tentang
Pemerintahan Daerah, yang diimplementasikan sejak januari 2001. Perubahan paling penting adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah menyangkut sektor pelayanan publik7. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja8. Secara normatif, otonomi daerah merupakan sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum. Pertanyaannya adalah setelah lebih dari satu dasawarsa lebih otonomi daerah diterapkan, apakah tujuannya telah tercapai? dari segi ekonomi, peran pemerintah daerah memang semakin besar, dari berbagai sumber data diketahui beberapa daerah mampu meningkatkan pendapatan perkapita daerahnya lebih besar daripada pendapatan perkapita nasional. Namun, hal itu hanya sebatas data, pada kenyataannya rakyat daerah yang penuh sumber daya alam belum tentu sejahtera. Di daerah yang kaya,
6
Damanhuri DS, op. cit, hal 128. Pasal 7 UU No.22/1999 8 Pasal 11 ayat (2) UU 22/1999 7
4
seperti Riau, Kalimantan Timur dan Papua sejumlah pejabatnya justru terbelit kasus korupsi9. 80 58
60 40
39 18
20
30 13
40
41
46
45
27 18 15
25 19 15
182215
22 20 14
2008
2009
2010
2011
25 19 14
0 2007
Belanja Pegawai
Belanja Barang Jasa
Belanja Modal
Belanja Lainnya
Rata-rata
Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2012. Gambar 3. Postur Belanja APBD, 2007-2011 (%) Besarnya dana transfer yang berlebihan juga akan memberikan implikasi bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara tidak efisien10. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ternyata masih bias kepentingan elite, dana yang dialokasilkan untuk elite terlalu besar daripada untuk anggaran meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kementrian Keuangan mencatat APBD periode 2007-2011 rata- rata persentase untuk belanja pegawai lebih tinggi dibandingkan untuk belanja modal (Gambar 3). Terlebih lagi sisa persentase dari anggaran yang dimaksudkan untuk membangun ekonomi masyarakat masih juga dikorupsi oleh oknum pemerintah daerah
maupun
masyarakat.
Kompleksitas
permasalahan
yang
muncul
kepermukaan adalah terkuaknya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Jadi bukan hanya saja kekuasaan yang di desentralisasikan dari pusat ke daerah tapi juga korupsi itu sendiri. Desentralisasi yang tidak diiringi dengan kesiapan pemerintah daerah yang mengelola menorehkan tambahan panjang sejarah korupsi di Indonesia.
9
Elok D. Briggita I (Maria Hartiningsih), Korupsi yang Memiskinkan, Jakarta:PT.Kompas Media Nusantara, 2011, hal 73. 10 Mardiasmo dalam Suparno, Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia , Tesis, FEM IPB, 2010.
5
264
56 23
18
1 14
13
12
10
8
7
4
4
2
1
Sumbber: ICW, 2012. 2 Gam mbar 4. Jumllah Kasus Korupsi K Mennurut Lembaga Tahun 2011 2 Menurutt Indonesiaa Corruptioon Watch (ICW), paada tahun 2011 saja terdaapat 14 lem mbaga yangg terdeteksi paling raawan koruppsi. Posisi tiga besar lembbaga yang paling raw wan tingkat korupsinyaa yaitu selluruh lembaaga dalam jajaraan pemerinttah daerah, seperti pem merintah kab bupaten (pemkab) denggan jumlah 264 kasus koruupsi dengaan kerugiann negara 960 milyar rupiah. Diiikuti oleh kelem mbagaan daalam naunggan pemerinntah kota (p pemkot) denngan jumlahh 56 kasus denggan kerugiann negara 2.4494 milyar rupiah, sertta seluruh leembaga dallam jajaran pemeerintah provvinsi (pempprov) dengaan jumlah 23 2 kasus denngan keruggian negara 88 milyar m (Gam mbar 4). Media massa m baru--baru ini jugga ramai memberitaka m an, bahwa ddi Provinsi Bantten juga tiddak luput daari berbagaii masalah korupsi. k Adda banyak kkasus yang sudahh terungkaap dan telaah diselesaaikan secaraa hukum, adapula yaang masih menjjadi dugaann kasus koorupsi. Bannten adalah provinsi yang y tergollong kaya, mem miliki bandaara internassional dan ribuan r indu ustri berskaala nasionall termasuk P.T. Krakatau Steel. S Tidaak hanya ittu, Banten juga memiiliki properrti-properti, berbaagai tempatt wisata daan berbagaii mall besaar. Namun sangat ironnis, Banten minim m sarana prasarana p daan pembangunan di Banten B sanggat lambat. Walaupun proviinsi Bantenn tidak jauhh dari Daeerah Khususs Ibukota (DKI) ( Jakaarta namun penggawasan terhhadap tindaak pidana koorupsi masih h minim. Monopoli M keekuasaan di
6
bidang pemerintah, sangat rentan
menyebabkan penyalahgunaan wewenang
dalam penggunaan anggaran.
1.2 Perumusan Masalah Sejak Otonomi daerah, semakin banyak kasus korupsi di berbagai daerah yang terungkap dengan objek utamanya adalah APBD. Korupsi di daerah yang diwarnai korupsi dalam proses politik telah membelokan tujuan dari pelaksanaan desentralisasi. Praktek korupsi di pemerintahan daerah terjadi di berbagai negara di dunia, begitu pula negara Indonesia. Untuk menangkap gambaran korupsi di salahsatu daerah di Indonesia, maka dilakukan penelitian kasus korupsi di wilayah Provinsi Banten. Wilayah Banten terutama Kota/kabupaten Tanggerang merupakan wilayah penyangga ibukota negara. Setelah lebih dari satu dasawarsa otonomi daerah ternyata Provinsi Banten tidak menunjukan prestasi yang menggembirakan. Diperkuat sejumlah data, seperti misalnya pada tahun 2008, Indeks governance di Banten hanya rata-rata 0.3 dari skala 1 yang berarti sangat rendah, menurut Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada (PSKK UGM). Demikian juga Indeks Integritas Pemerintah daerah yang menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurang, yakni hanya 5.88 dari skala 10. Juga Indeks Persepsi Korupsi menurut Transparency Internasional Indonesia (TII) hanya sebesar 4.6 dari skala 10. Terakhir, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut Banten sebagai provinsi terkorup ke-15 dari 33 provinsi di Indonesia. Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) di daerah provinsi Banten yang dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2011 untuk periode 2011-2016, sebagai potret salahsatu pelaksanaan pilkada di Indonesia. Pilkada yang terbebas dari praktek korupsi pemilu, dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan kepatuhan terhadap dana kampanye. Berdasarkan data ICW pilkada di pemerintah Provinsi Banten telah meninggalkan banyak kejanggalan dan dugaan praktek korupsi politik.
7
Bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam para pendukung dana kampanye melibatkan para pemburu rente yang mengincar kekayaan alam tersebut, namun pada kasus Provinsi Banten para pemburu rente mengincar proyek-proyek APBD. APBD menjadi sasaran bagi para pencari rente ekonomi yang mengharapkan keuntungan tanpa dasar, para pencari rente bukan hanya sektor swasta, namun juga pemerintah (politisi dan birokrasi). Korupsi APBD di daerah biasanya dilakukan bahkan sebelum kepala daerah berkuasa, sumber pembiayaan dimanipulasi, perburuan rente ekonomi dilakukan untuk modal kampanye dan kemenangan calon kepala daerah. Kekuasaan yang diperoleh atas kemenangan kepala daerah dari proses pilkada yang tidak bersih hanya akan menghasilkan perburuan rente yang lebih luas lagi. Maka diduga akibat biaya politik yang tinggi (high cost politic) di dalam pilkada adalah salahsatu faktor yang menyebabkan pemborosan/ kebocoran sumbersumber ekonomi ( high cost economic) dalam hal ini adalah APBD. Korupsi memang tidak menunjukan hubungan langsung terhadap kemiskinan dan upaya perbaikan kebutuhan dasar, tetapi korupsi mempunyai konsekuensi terhadap pertumbuhan ekonomi rendah di daerah yang merupakan indikator utama dalam pembangunan daerah, yang pada gilirannya pemerintah daerah (pemda) menjadi tidak efektif
dalam menanggulangi kemiskinan dan
memenuhi kebutuhan dasar. Namun korupsi juga pernah diyakini dapat memperlancar perekonomian, sebagai uang pelicin (speed money) dalam menjalankan roda bisnis dan perdagangan, yang dapat memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente ekonomi di pemerintah Provinsi Banten ? 2. Bagaimanakah dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia ?
8
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di pemerintah Provinsi Banten. 2. Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi tentang praktek korupsi di daerah. 2. Dengan tercapainya tujuan penelitian diharapkan mampu membantu masyarakat dan pemerintah meminimalkan korupsi pada tingkat daerah, sehingga
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. 3. Penelitian ini juga diharapkan mampu mengungkap akar permasalahan dari korupsi yang ada di daerah, juga menyarankan solusi yang tepat sasaran, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini, menganalisis mekanisme perburuan rente ekonomi dalam studi kasus dugaan korupsi APBD di pemerintah Provinsi Banten pada tahun 2011. Sangat luas pengertian korupsi maka untuk tujuan pertama penelitian, memfokuskan pada korupsi di daerah yang terjadi pada APBD. Korupsi APBD disini adalah korupsi yang mencakup korupsi pada pos-pos yang terdapat dalam APBD. Dalam konteks ini, korupsi mencakup perilaku koruptif (corruptive behavior) yang berbentuk aktivitas pencarian rente. Analisis yang dilakukan yaitu dengan
pendekatan analisa ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara
fenomena politik dan fenomena ekonomi. Analisis untuk studi kasus mekanisme perburuan rente ekonomi di Provinsi Banten, dilakukan pada kasus-kasus yang dipilih, yaitu :
9
1.
Dugaan korupsi Pemilihan Kepala Daerah tahun 2011.
2.
Dugaan korupsi APBD pada Dana bantuan sosial dan hibah tahun 2011.
3.
Dugaan korupsi dalam proyek-proyek APBD.
Kemudian, untuk menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional dilakukan pada tahun 2008 dan 2010 pada 48 kota/kabupaten di Indonesia. Untuk tujuan kedua penelitian ini, pengertian korupsi adalah definisi dari Transparency International, yaitu mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data Primer yang diambil sesuai dari kebutuhan penelitian yaitu hasil dari wawancara mendalam (in depth interview). Data sekunder yang digunakan diambil dari dokumen-dokumen terkait seperti pemberitaan media massa, hasil penelitian, dokumen-dokumen pemerintah serta data lainnya yang relevan dengan penelitian dari berbagai sumber yang diuraikan pada bab berikutnya.
10
2. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan berbagai pustaka yang menjadi dasar dalam penelitian. Tinjauan pustaka terdiri dari pembahasan teori-teori, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran. Sementara itu teori-teori yang dibahas adalah teori tentang korupsi, pertumbuhan ekonomi, perburuan rente ekonomi dan desentralisasi. Selain itu ada juga sub-bab pembahasan tentang variabel-variabel yang membangun Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini. Kemudian penelitian terdahulu yang digunakan adalah penelitian tentang korupsi yang berkaitan dengan perilaku pencarian rente, penelitian tentang korupsi dan pertumbuhan ekonomi, juga penelitian tentang pertumbuhan ekonomi regional. Setelah mengkaji berbagai teori dan penelitian terdahulu maka disusunlah suatu kerangka pemikiran dari penelitian ini yang disajikan dalam bentuk bagan alur.
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Korupsi Menurut Transparency International11definisi korupsi adalah mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orangorang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi secara lebih spesifik dikelompokan dalam dua kategori, yaitu korupsi sesuai peraturan yang berlaku dan korupsi melanggar peraturan yang berlaku. Korupsi sesuai peraturan yang berlaku terjadi dalam situasi, apabila seorang pejabat mendapat keuntungan pribadi secara illegal karena melakukan sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya untuk melaksanakan sesuai dengan undang-undang. Korupsi melanggar peraturan yang berlaku terjadi dalam situasi, suap diberikan kepada pejabat yang menurut undang-undang dilarang untuk 11
Pope J, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal 7.
11
melakukan pelayanan tersebut. Keduanya dapat terjadi dalam semua tingkat hierarki pemerintahan. Namun, korupsi dapat juga dipandang sebagai prilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”, artinya, dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Prinsip ini adalah landasan untuk organisasi apapun mencapai efisiensi, apabila sekali dilanggar, maka korupsi akan timbul. Menurut
World
Bank
Guidelines12“Praktek
Korupsi”
adalah
menawarkan, memberikan, menerima atau meminta, langsung atau tidak langsung, segala sesuatu yang bernilai untuk memengaruhi tindakan pihak lain secara tidak patut . Sedangkan “Praktek Kecurangan “ adalah suatu tindakan atau penghapusan, termasuk misrepresentasi yang secara sadar maupun secara sembrono
menyesatkan atau berupaya menyesatkan , suatu pihak untuk
mendapatkan keuntungan financial atau keuntungan lain atau menghindari kewajiban. “Praktek Kolusi” adalah kesepakatan dua pihak atau lebih yang dirancang untuk mencapai tujuan yang tidak sepatutnya, termasuk untuk memengaruhi tindakan pihak lain secara tidak patut. “Praktek pemaksaan (koersif)” mencakup merusak atau merugikan , atau mengancam untuk merusak atau merugikan , secara langsung ataupun tidak langsung, suatu pihak atau property pihak tersebut untuk memengaruhi tindakantindakan suatu pihak secara tidak patut. Dan “Praktek obstruktiif” adalah (i) dengan sengaja merusak, memalsukan, mengubah, atau menyembunyikan bahan bukti investigasi, atau membuat pernyataan palsu kepada petugas penyelidik untuk secara material menghalangi investigasi bank terhadap tuduhan praktek korupsi kecurangan, pemaksaan atau kolusi, dan atau mengancam ,mengganggu, mengintimidasi
suatu
pihak
untuk
menghalanginya
dalam
menyingkap
pengetahuannya tentang hal hal yang terkait dengan investigasi atau dalam melakukan investigasi, (ii) perbuatan yang secara material menghalangi hak pelaksanaan Bank dalam mengaudit atau mengakses informasi.
12
Sunaryadi A (Maria Hartiningsih), op.cit, hal 291-292.
12
Menurut Undang Undang, definisi korupsi telah secara lengkap dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam Undang Undang (UU) Nomer 31 tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana
terdapat 30 jenis korupsi yang dikelompokan menjadi Kerugian Keuangan Negara (2 jenis), Suap Menyuap (12 Jenis), Penggelapan dalam jabatan (5 Jenis), Pemerasan (3 jenis), Perbuatan curang (6 Jenis), Benturan kepentingan dalam pengadaan (1 jenis), Gratifikasi (1 jenis)13. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas14: Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21), tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22 jo.Pasal 28), bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo. Pasal 29), dan Sanksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu ( Pasal 22 jo.Pasal 35), orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu (Pasal 22 jo.Pasal 36) dan saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo.Pasal 31). Damanhuri15 membagi korupsi menjadi 7 macam, yaitu korupsi transaktive (kolusi), extortive (memeras), investive (suap), nepotisme, autogenic (Dilakukan seorang diri), Supportive (bias kekuasaan),
dan defensive
(Keterpaksaan). Sedangkan Lopa16 membagi korupsi menjadi dua bentuk, yaitu material/economic corruption dan political corruption. Bentuk pertama, adalah yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang) dengan manipulasi di bidang ekonomi yang merugikan perekonomian negara, dan yang kedua, berupa perbuatan manipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan, dan campur tangan yang dapat memengaruhi kebebasan memilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat admnistaratif, janji jabatan dan sebagainya.
KPK, Memahami Untuk Membasmi, Jakarta:KPK, 2006,hal 15,
13
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1250, 28 November 2011. 14 Ibid. 15
Damanhuri DS, Ekonomi Politik Alternatif, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,1996, hal 124. Lopa B, Kejahatan Korupsi dan Penegakan hukum, Jakarta: Kompas, 2001, hal 67-71.
16
13
Menurut Klitgaard17 korupsi dapat dilakukan secara free lance yang artinya pejabat secara sendiri atau dalam sekelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap dan hypercorruption yaitu korupsi yang tidak menghiraukan aturan main sama sekali, yang sistematis menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif, kerugian politik, kerugian sosial, karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan-tangan yang tidak berhak. Namun sayangnya jenis hypercorruption adalah yang dewasa ini sering kita jumpai di pemerintahan daerah di berbagai negara di dunia, sehingga hak milik tidak dihormati, aturan hukum diremehkan, membuat kacau insentif investasi, dan berakibat melumpuhkan pembangunan ekonomi dan politik daerah. Hubungan pola korupsi dalam hierarki ada dua macam18, yaitu hubungan pola dari bawah ke atas (bottom-up) dan hubungan dengan pola dari atas ke bawah (top-down). Pola yang pertama dilakukan dengan cara para pegawai tingkat rendah mengumpulkan suap dan membaginya dengan atasan mereka, secara langsung maupun tidak langsung. Pola yang kedua beroperasi dimana pegawai tinggi/ pimpinan menutup mulut para bawahannya dengan membagikan keuntungannya yang didapatkan dengan korupsi, melalui gaji yang tinggi dan fasilitas untuk bawahan atau keuntungan dibawah meja. Bentuk dan definisi korupsi yang luas menjadikan makna korupsi masih rancu (ambigu) sehingga sulit dibedakan. Contohnya adalah batas perbedaan antara korupsi ekonomi (economic corruption) dan korupsi politik (political corruption). Walaupun demikian menurut Riyanto19 usaha untuk kepentingan pribadi termasuk upaya merancang kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan peluang atau kesempatan agar tetap bertahan di pemerintahan dapat dipandang sebagai korupsi ekonomi politik (political economic corruption). Dari berbagai pandangan para ahli, ada banyak faktor yang mendorong terjadinya korupsi, menurut Nisjar20ada empat faktor penyebab terjadinya korupsi, 17
Klitgaard R, Penuntun Pemberantasan korupsi dalam pemerintahan daerah, Jakarta:Yayasan Obor, 2005,hal 3. 18 Ackerman SR, Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, hal 115 19 Riyanto,Korupsi dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya, Disertasi, Pascasarjana IPB, 2008, hal 35. 20 Nisjar K, Corruption In Less Developed Countries (a study on the Problem and Sollution of Corruption in Indonesia), Jurnal Akuntansi/thIX/03/September/2005, hal 260.
14
yaitu: (1) Sistem administrasi yang memberi peluang terjadinya kebocoran, (2) Tingkat kesejahteraan aparatur rendah, (3) Hukum yang ada belum cukup menangani perkembangan tindak korupsi yang merajalela, serta sanksi hukum atas tindak pidana korupsi belum maksimal dijalankan, (4) Kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Sedangkan Lutfi
menyatakan faktor-faktor penyebab
korupsi adalah (1) Motif, motif ekonomi maupun politik,(2) Peluang,(3) lemahnya pengawasan21. Singh22 menemukan
bahwa sebab terjadinya korupsi di India adalah
kelemahan moral (41.3 persen), tekanan ekonomi (23.8 persen), hambatan struktur administras (17.2 persen), hambatan struktur social (7.08 persen). Ainan 23
menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu : (1) Perumusan undang-
undang yang kurang sempurna, (2) Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes dan (3) Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti dan suap. Selain itu, Menurut Pope faktor paling populer yang sering disebut-sebut sebagai penyebab korupsi, yaitu kemiskinan dan mitos kebudayaan. Kemiskinan menurut sebagian orang adalah akar korupsi, dimana ketiadaan harta dan kemakmuran membuat orang terpaksa untuk mencari sumber dana tidak legal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun persepsi tersebut segera terbantahkan karena banyaknya koruptor-koruptor pada berbagai kasus korupsi melibatkan banyak kelompok konglomerat dan pejabat-pejabat daerah yang tidak termasuk dalam kelompok “miskin”, apabila kemiskinan menyebabkan korupsi maka sulit menjelaskan mengapa negara-negara kaya dan makmur pun penuh dengan skandal korupsi. Korupsi merupakan pisau bermata dua, dimana korupsi dapat muncul dari harta dan kemakmuran, atau juga dapat muncul dari ketiadaan harta dan kemakmuran. Korupsi justru dapat menyebabkan kemiskinan, karena keputusankeputusan mengenai anggaran publik di dasarkan pada pertimbangan keuntungan 21
Lutfi dalam Sopanah, Wahyudi I, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi APBD di Malang Raya, hal 5. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/277/290, diakses 14/9/2012 22 Singh dalam Soesatyo B, Perang-perangan Melawan Korupsi : Pemberantasan Korupsi di Bawah pemerintahan Presiden SBY, Jakarta:Ufuk Press, 2010, hal 26. 23 Ainan dalam ibid, hal 26.
15
pribadi dan ditopang oleh uang sogok luar biasa besar dari perusahaan-perusahaan dari negara industri tanpa mempertimbangkan sedikitpun kepentingan negara bersangkutan atau rakyatnya24. Di
Negara-negara
berkembang
korupsi
merupakan
bagian
dari
kebudayaan, yang berasal dari kebiasaan memberi hadiah, bahkan di beberapa lembaga negara korupsi menjadi sesuatu yang biasa terjadi. Namun apabila kita lihat kebelakang korupsi merupakan sebuah kebudayaan yang dibawa oleh kekuatan asing, misalkan di negara-negara Afrika penjajahan ditandai oleh tidak adanya transparansi. Pengadilan yang ada bukan untuk menegakan keadilan dan hukum, justru untuk mempertahankan penjajahan. Sesungguhnya dalam konsep Afrika mengenai hormat-menghormati dan sopan santun, hadiah biasanya kecil saja, memberi hadiah bukanlah suatu keharusan, nilai yang dilihat adalah semangatnya bukan dari berapa besar hadiahnya. Pemberian hadiah biasa dilakukan secara terbuka, bukan sembunyi-sembunyi, dan nilainya apabila berlebihan akan membuat orang merasa malu. Klitgaard memodelkan secara sederhana faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu Korupsi (Corruption) sama dengan kekuasaan monopoli (Monopoly power) ditambah wewenang pejabat (Discretion by officials) dikurangi akuntabilitas (Accountability) atau dapat pula dirumuskan seperti di bawah ini25: C = M + D – A…………………………………………………………………(2.0) Korupsi adalah kejahatan kalkulasi , orang cenderung melakukan korupsi apabila resikonya rendah, sanksi ringan dan hasilnya besar. Apabila kekuasaan monopoli makin besar maka hasil yang diperoleh akan lebih besar. Berdasarkan model yang disusun Klitgaard menunjukan bahwa korupsi akan muncul jika terjadi monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, terjadinya penyimpangan kebijakan publik, dan tidak adanya pertanggungjawaban terhadap publik setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Maka salah satu pendekatan membasmi korupsi adalah dengan cara mengurangi monopoli, memperjelas dan membatasi wewenang, juga meningkatkan akuntabilitas.
24 25
Pope J, op.cit, hal 17. Klitgaard R, op.cit, hal 37.
16
Semua faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di atas tidak dapat dipisahkan, seluruhnya adalah satu kesatuan yang pada akhirnya menciptakan prilaku korupsi. Namun khusus bagi kasus Indonesia pada era desentralisasi fiskal, ada faktor politik yang mendorong terjadinya korupsi di daerah, termasuk yang bersumber dari APBD, yaitu kekeliruan dalam penyelengaraan pemilu kepala daerah (PILKADA). Pilkada dijadikan ajang transaksional, biaya tinggi dalam pemilihan membuat calon kepala daerah mencari sumbangan dari sektor swasta. Akibatnya , setelah calon terpilih kepala daerah sibuk mengembalikan uang yang dikeluarkan dalam pemilihan, sekaligus mengembalikan investasi yang diberikan pihak swasta yang membantunya26. Sedangkan pada praktek pilkada di daerah Sulistio27 mengungkap ada lima hal tindakan korupsi yang biasa dilakukan kontestan, terutama incumbent dalam proses pelaksanaan pilkada, yaitu: (1)Penyelewengan jabatan, (2)Pemakaian fasilitas publik, (3)Money politics, (4)Manipulasi dana kampanye, dan (5)Pemakaian anggaran publik. Secara lebih jelas, Jain28 melakukan pemetaan area tempat korupsi terjadi di negara demokrasi, yang kemudian disesuaikan untuk kondisi di Indonesia oleh Zachrie dan Wijayanto29,
Gambar 5 di bawah ini membantu memberikan
gambaran untuk tempat yang berpotensi korupsi. Interaksi 1, melibatkan rakyat dan pemimpin negara (dalam kasus daerah adalah rakyat dan pemimpin daerah) yang dipilih berdasarkan proses demokrasi, dalam interaksi ini menimbulkan peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk salah satunya money politics, dukungan pembiayaan mereka dapatkan dari para investor politik. Interaksi 2 terdiri atas 3 bagian, yaitu (1) interaksi antara birokrat dan pemimpin pilihan rakyat, (2) Interaksi antara birokrat dan 26
Pernyataan Arif Nur Alam (Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre) dalam Soesatyo B, Op.cit, hal 29. 27 Sulistio F, Perilaku Korupsi dalam Pemilukada, Dipublikasikan dalam Jurnal Konstitusi PPK FH UB.http://faizinsulistio.lecture.ub.ac.id/2011/05/perilaku-korupsi-dalam-pemilukada/, diakses 6/4/2012 28 Jain AK, Corruption: A Review, Jurnal of Economic Survey, Vol 15, No.1, Corcodia University, 2001, hal 74. 29 Zachrie R, Wijayanto, Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab akibat dan Prospek Pemberantasan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal 13-15.
17
anggota legislatif dan (3) Interaksi antara birokrat dan rakyat. Interaksi ini membuka peluang terjadinya korupsi birokrat. Birokrat/ pejabat publik yang dipilih oleh pemimpin negara adalah perpanjangan tangan untuk memeras kekayaan negara, dan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif. Menyetujui berbagai program pemerintah Pemimpin Negara
Anggota Legislatif
3
memilih 2
2
memilih
memilih Kebijakan Publik
Birokrat
1
Memberikan Jasa
Menegakan hukum dan perundangan 2 4
Rakyat: Menerima manfaat tergantung dari kemampuan untuk memengaruhi pengambilan keputusan Sumber : Zachrie, Wijayanto, 2010. Gambar 5. Interaksi yang Berpotensi Menimbulkan Korupsi di Negara Demokrasi Interaksi 3, Interaksi antara pemimpin negara dan anggota legislatif dalam merumuskan dan menyetujui berbagai program pemerintah biasanya terjadi tarik menarik kepentingan dan sangat rentan menimbulkan perselingkuhan, karena konstituen tidak dapat mengawasi apakah para wakil yang mereka pilih benarbenar mewakili kepentingan mereka, proses pembuatan program pemerintah sangat miskin akuntabilitas. Mereka dapat merumuskan dan memutuskan
18
kebijakan yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat, misalnya dalam kebijakan alokasi anggaran, elite politik dapat mengarahkan penggunaan anggaran pemerintah untuk sektor yang kurang bermanfaat bagi rakyat, tapi dapat memperbesar bisnis para “investor politik” mereka (mereka adalah pemimpin negara dan legislatif). Interaksi 4 Korupsi Legislatif,
interaksi yang melibatkan rakyat dan
anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum, seringkali dalam proses pemilihan umum legislatif, legislatif menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam pemilu (vote buying) sehingga mereka terpilih bukan berdasarkan kinerja tapi berdasarkan kemampuan financial mereka. Tentu saja pada akhirnya para investor politik dimana uang tersebut bersumber mengharapkan “pengembalian investasi” berupa kebijakan yang menguntungkan mereka. Menurut Kwik30 korupsi kolusi nepotisme (KKN) adalah akar dari segala permasalahan negara (the roots af all evils). KKN tidak terbatas pada mencuri uang namun juga sudah merasuk kedalam mental, moral, tata nilai, dan cara berfikir. Sejak Jaman Yunani kuno sudah dikenal adanya pikiran yang teracuni oleh korupsi (Corrupted mind). Daya rusaknya sangat dahsyat, karena sudah menjadikan orang tersebut menjadi tidak normal lagi dalam sikap, prilaku, dan nalar berpikirnya. Menurutnya konsep dasar pemberantasan korupsi itu sederhana, yaitu menerapkan Carrot and Stick. Carrot adalah pendapatan bersih (net take home pay) untuk pegawai negeri, sipil, maupun Tentara Negara Indonesia (TNI) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang jelas mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, tanggung jawab, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya. Pendapatan tersebut dibuat tinggi, sehingga tidak hanya cukup untuk hidup layak,
tetapi cukup untuk hidup dengan gaya “gagah” namun tidak
berlebihan, sehingga sama dengan kualifikasi pendidikan dan kemampuan serta kepemimpinan yang sama di sektor swasta. Stick atau arti harfiahnya pentung adalah hukuman yang dikenakan apabila semua telah terpenuhi tetapi masih berani korupsi. Maka siapapun yang telah 30
Kwik KG, Pemberantasan Korupsi: Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, 2003, hal 2, www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5419/ , 28 november 2011.
19
melakukan korupsi harus siap menerima hukuman yang seberat-beratnya. Konsep Carrot and Stick ini harus dijalankan beriringan, dalam era pemberantasan korupsi di Indonesia sekarang konsep Carrot sudah mulai ditegakan namun Stick belum. Selain itu, penerapan Good Governance dapat menjadi solusi dalam meminimalisir korupsi pada tubuh pemerintahan, menurut United Nation Development Programme (UNDP) 1997 ada sembilan prinsip yang menandai adanya Good Governance31, yaitu : 1. Partisipasi masyarakat : Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung, maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh di bangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. 2. Tegaknya supremasi hukum : Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Penegakan hukum yang netral memerlukan suatu sistem peradilan yang independen dan kesatuan polisi netral yang tidak korup. 3. Transparansi : Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dipantau dan mudah dipahami. 4. Peduli pada pemangku kepentingan stakeholder (Rensponsif) : lembagalembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan dengan jangka waktu yang wajar. 5. Berorientasi pada konsensus : tata pemerintahan yang baik menjebatani kepentingan-kepentingan
yang
berbeda
demi
terbangunnya
suatu
konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi masyarakat, dan bila mungkin, consensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur.
31
http://www.undp.or.id/programme/governance/intro_glg.pdf, 12 november 2012.
20
6. Kesetaraan : Semua masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki dan mempertahankan kesejahteraan mereka. 7. Efektifitas dan efisiensi : Proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. 8. Akuntabilitas : Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi
masyarakat
bertanggung
jawab
baik
kepada
masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu sama lainnya, tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. 9. Visi dan Strategis : Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
2.1.2 Korupsi di Indonesia Menurut Damanhuri analisis korupsi di Indonesia dikemukakan oleh dua pemikir, yaitu Myrdal dan Alatas. Myrdal menyatakan korupsi di Asia Selatan dan Asia Tenggara berasal dari penyakit neopatrimonalisme, yakni warisan feodal kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam hal ini rakyat biasa atau bawahan terbiasa memberi “upeti” kepada pemegang kekuasaan atau atasan. Sedangkan Alatas, pakar sosiologi korupsi, menyatakan korupsi di Asia dikaitkan dengan warisan dari kondisi historis struktural yang telah berjalan akibat lamanya masa penjajahan . Dengan demikian secara terus menerus bangsa ini melakukan pemutarbalikan norma, dimana yang salah jadi benar, dan yang benar jadi salah, namun yang diutamakan adalah terjaganya loyalitas terhadap penguasa32. Pengulangan terus menerus terjadi terhadap norma, baik dilakukan oleh penguasa maupun masyarakat, akhirnya penyakit menahun itu, menjadi kebiasaan 32
Damanhuri DS, Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta: LPFEUI, 2006, hal 9.
21
dan mendarah daging dalam intelektual juga emosional. Maka norma lain terbentuk, norma negatif yang bertentangan dengan norma lama. Menurut Alatas, walaupun kebijakan anti-korupsi banyak dibentuk, akhirnya korupsi diterima sebagai praktek yang tak terhindarkan karena dirasakan terlalu berakar, sehingga sulit untuk diberantas. Secara tidak disadari penyakit-penyakit tersebut sudah menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia33. Menurut sejarah, korupsi di Indonesia yang terjadi pada masa kini, tidak terlepas dari watak para elite-nya. Sejarahwan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Lohanda34 memaparkan pada masa Majapahit sebelum Portugis datang ke Malaka. Suku Jawa adalah pedagang dan pelaut yang memasarkan berbagai rempah di Malaka, Mereka bermitra dengan China, India, dan Arab. Kapiten Jawa sebagai ketua komunitas pedagang jawa merupakan bandar dunia saat itu. Proses kolonialisasi di Indonesia terjadi pada masa kesultanan, dimana ketika para elite penguasa saat itu sangat suka menerima upeti-upeti tanpa melakukan kerja keras, dan menerima berbagai bentuk hutang. Pada saat mereka tidak mampu membayar hutang, pembayaran dilakukan dengan melepas satu persatu pelabuhan dan berbagai wilayah strategis di Indonesia kepada pihak asing. Rickleffs adalah sejarahwan Australia yang menegaskan bahwa raja Mataram pernah mengeluarkan ketentuan bahwa orang Jawa tidak boleh berlayar kemanapun diluar Jawa, Madura dan Bali. Ketentuan tersebut lahir karena banyaknya pelabuhan yang sudah dilepaskan ke tangan pihak asing. Suku bangsa Jawa pada akhirnya berorientasi kedaratan, namun ketika terjadi perang suksesi dan sang raja terdesak lengser dari tahta, dia menjanjikan daerah-daerah strategis kepada VOC. Selain itu, Windu alumnus jurusan arkeologi Universitas Udayana Bali, mengisahkan besarnya angka pajak dalam prasasti-prasasti kerajaan sudah dilakukan pemahalan (mark up) terlebih dahulu oleh para pemungut cukai kerajaan pada saat itu35. Berbagai hal tersebut menunjukan korupsi sudah terjadi sejak masa kerajaan di Indonesia. Bahkan pada masa penjajahan Belanda, VOC bangkrut pada awal abad ke-20 karena korupsi yang merajalela ditubuhnya. 33
Ibid. Santosa I (Maria Hartiningsih), opcit, hal 108-109. 35 ibid. 34
22
Menurut Damanhuri36 pemerintahan Orde Lama juga tidak luput dari praktek korupsi, sejarah pernah mencatat bahwa Iskak Tjokroadisuryo, mentri ekonomi pada kabinet Alisostroamidjojo I, telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan kekuasaan dilakukan pada lisensi impor dari kebijakan politik Benteng yang bertujuan untuk memberdayakan para pengusaha pribumi yang kompeten, namun ternyata dijual kepada para pengusaha Cina dan konco-konconya. Sejak itu KKN skala mega mulai berkembang, namun karena masih diwarnai semangat kemerdekaan, berhasil dilakukan kebijakan tindakan pemberantasan korupsi yang efektif, yang dilakukan oleh Perdana Mentri Burhanudin Harahap yang bekerjasama dengan TNI angkatan Darat. Namun kabinet ini berumur pendek karena terdapat konflik antarpartai sehingga konstituate dibubarkan pada 5 Juli 1965, seiring dengan nasionalisasi perusahaan asing. Sejak itu BUMN banyak diwarnai oleh KKN karena di lakukan pihak partai, dan akhirnya menjadi ciri khasnya hingga masa kini. Masa Orde Baru (OrBa) adalah masa yang penuh dengan praktek kolusi yang terus menerus dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari 30 tahun. Praktek kolusi begitu melembaga dan biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan (pemerintah) dengan kalangan pengusaha swasta. Kolusi yang terjadi adalah untuk memperebutkan lisensi, perizinan dan bentuk pemburuan rente lainnya. Sumber daya pemerintah yang ada kemudian hanya akan dinikmati oleh segelintir kelompok kepentingan
yang bertujuan
memperkaya diri sendiri. Hal ini terjadi, karena di satu sisi pemerintah (penguasa dan birokrat) membutuhkan pengusaha untuk pembangunan ekonomi, sedangkam kalangan pengusaha swasta membutuhkan penyediaan sumber-sumber ekonomi
dan
perlindungan. Pada saat itu, pengusaha swasta tidak meningkatkan kemampuan kompetitifnya dan pemerintah tidak mau menciptakan kondisi persaingan yang sehat. Karena, pemerintah tidak menginginkan menguatnya kalangan pengusaha swasta yang mengancam kedudukan mereka, melainkan lebih ingin menjadi 36
Damanhuri DS, Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori ,Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang, Bogor: IPB Press, 2010, hal 127.
23
penyedia sumber daya ekonomi , proteksi dan monopoli, sehingga dapat menarik “upeti” yang lebih besar lagi dari para kalangan pengusaha swasta37. Semua hal itu pada akhirnya menciptakan kesenjangan yang lebar antara pusat dan daerah, yang akhirnya menciptakan ketidakstabilan kekuasaan Orde Baru. Damanhuri38 mencatat potret korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru, yaitu dimulai oleh korupsi pertamina yang berskala mega pada tahun 1975, dengan kerugian negara sebesar 12,5 miliar dollar AS. Namun tidak adanya tindakan hukum kepada pelaku-pelaku yang terlibat, menunjukan kelumpuhan penegakan hukum untuk kasus korupsi pada saat itu. Kemudian terdapat aliran utang luar negeri rata-rata sebesar 5 miliar dollar AS per tahun, sehingga pada saat Pak Soeharto lengser, stok utang pemerintah sudah mencapai 70 miliar dollar AS. Pada masa itu terdapat banyak investasi langsung perusahaan asing, dan eksploitasi terhadap sumber daya alam (terutama migas dan hutan). Masa OrBa adalah masa pertumbuhan dan perkembangbiakan segala jenis dan bentuk korupsi, sehingga adanya potensi pertumbuhan ekonomi yang harusnya dapat tumbuh 12 persen per tahun hanya tumbuh di sekitar 7 persen per tahun. Keruntuhan Orde Baru ditandai dengan reformasi yang dilakukan sejak 1998, Namun ternyata adanya era baru yang memiliki tujuan positif untuk kemajuan ekonomi maupun politik, justru membuka celah korupsi yang semakin menyebar ke daerah dan berbagai lembaga pemerintah, yudikatif maupun legislatif (pusat dan daerah). Rachbini39 memaparkan demokrasi pada masa desentralisasi berada masa transisi yang belum matang. Wujud kelahirannya yang tiba-tiba tidak memberikan kesempatan belajar yang cukup. Akhirnya , pelaku demokrasi kaget dan tidak memiliki keseimbangan untuk mendorong demokrasi yang adil, transparan dan tertuju untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bentuk demokrasi yang tidak sempurna muncul kembali, seperti bentuk kolusi pada masa Orde Baru, bahkan lebih parah yaitu kolusi yang melibatkan tidak hanya pemerintah dan pengusaha swasta, tetapi antar parlemen (DPR/DPRD)
dengan
pemerintah
maupun
pemerintah
daerah,
37
Harman BK, Negeri Mafia Republik Koruptor:Menggugat Peran DPR Reformasi, Yogyakarta:Lamalera,2012, hal 102. 38 Damanhuri DS, op.cit, hal 128. 39 Rachbini DJ, Teori Bandit,Jakarta: RMBooks,2008, Hal 35.
24
dengan
memperebutkan kekuasaan maupun anggaran yang ada yaitu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada masa pascareformasi parlemen semakin kuat, Parlemen memiliki fungsi legislasi dalam membentuk undang-undang, fungsi budget
dalam
membahas dan menyetujui anggaran, dan fungsi controlling untuk melakukan pengawasan melalui berbagai instrumen yang dapat dioptimalkan bagi pemberantasan dan pengurangan
secara efektif terhadap praktek korupsi40.
Namun alih-alih melakukan check and balance, parlemen
justru banyak
melakukan penyelewengan, melakukan praktek-praktek kolusif yang bertujuan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan lingkaran kecil disekitarnya. Di sisi lain tidak ada kekuatan yang mengontrol parlemen, sehingga DPR/DPRD menjadi tempat berkembangnya praktek politik uang dan korupsi. Kondisi daerah-daerah di Indonesia setelah lebih dari satu dasawarsa otonomi daerah, ternyata kurang memperlihatkan perbaikan pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Otonomi daerah dimaksudkan untuk membentuk keseimbangan antara pusat dan daerah, namun sejauh ini hasil yang dapat dirasakan dalam hanyalah ditebarkannya anggaran besar ke berbagai daerah dalam rangka otonomi anggaran. Pemerintah daerah dan DPRD dapat menentukan pembiayaannya sendiri sesuai kewenangannya, sehingga kekuasaan yang ada di tangan DPR/DPRD dapat disalah gunakan, misalnya untuk jual beli pengalokasian anggaran ,dan proses pengambilan keputusan diambil tidak transparan. Ternyata desentralisasi menghasilkan bukan hanya praktek kolusi yang vertikal (model patron-client) tapi juga horizontal (eksekutif-legislatif). Harman41 menggambarkan secara singkat bagaimana dampak korupsi terhadap kemajuan ekonomi di Indonesia, salah satunya adalah kerugian negara, yang secara tidak langsung berdampak pada kemajuan pembangunan ekonomi. Kekuatan negara disokong oleh APBN/APBD, namun kebocoran anggaran maupun pendapatan itu tentu saja akan menghambat tercapainya tujuan, hambatan 40
Harman BK, op.cit, hal 20-21. ibid, hal 264-279.
41
25
yang tercipta akibat relasi politik, bisnis dan birokratik yang korup menimbulkan dampak ekonomi sebagai berikut: Pertama, para investor asing enggan menanamkan modal dalam jangka panjang di Indonesia, karena tidak adanya kepercayaan bisnis (business confidence), motif pelaku bisnis lebih terhadap mengeruk kepentingan sebanyak mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, sehingga kehilangan kesempatan jangka panjang. Kedua, Ekonomi biaya tinggi yang tercipta akibat maraknya pungutan yang semakin tersebar luas mengakibatkan biaya produksi menjadi mahal. Ketiga, Dengan adanya peningkatan biaya produksi hingga 5 persen sampai 7 persen, pengusaha menyiasatinya dengan
menekan upah buruh,
sehingga tingkat upah buruh menjadi sangat rendah. Keempat, korupsi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi juga menghambat pertumbuhan industri nasional, yang berdampak pada menurunnya daya saing produk-produk dalam pasar global. Kelima, Dampak korupsi bukan saja pada nilai kerugian negara, namun juga terhadap sumber daya alam (SDA), rakyat yang bergantung pada SDA itu kehilangan mata pencaharian atau akses terhadap lahan, dan pada akhirnya SDA yang terdistorsi itu juga akan menimbulkan kerusakan lingkungan
2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sukirno42 istilah pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengukur prestasi dari perkembangan suatu ekonomi. Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Dalam kegiatan perekonomian yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan fiskal produksi barang dan jasa yang berlaku di suatu negara, seperti pertambahan dan dan jumlah produksi barang industri, perkembangan
infrastruktur,
pertambahan
jumlah
sekolah,
pertambahan
produksi sektor jasa dan pertambahan produksi barang modal. 42
Sukirno S, Teori Makroekonomi, Edisi ketiga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal 423.
26
Perhitungan pendapatan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pendapatan
menurut harga berlaku yang memberi gambaran mengenai
kemampuan rata-rata dari penduduk negara berbelanja dan membeli barangbarang dan jasa yang diperlukannya, dan pendapatan menurut harga konstan untuk menunjukan tingkat kemakmuran di suatu negara. Faktor-faktor
penting
yang
dapat
memengaruhi
perkembangan
pertumbuhan ekonomi yang telah lama dipandang oleh para ahli ekonomi adalah kekayaan alam yang dimiliki suatu daerah/ negara, jumlah dan kemampuan tenaga kerja, tersedianya usahawan yang gigih, kemampuan mengembangkan dan menggunakan teknologi modern, serta kestabilan politik juga kebijakan ekonomi pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang baik dapat tercapai apabila terjadi penataan kelembagaan yang dilakukan secara nasional dan menyeluruh. Peranan politik pemerintah akan memiliki arti yang besar bagi pembangunan peranan kelembagaan-kelembagaan yang ada untuk menopang pilar pilar kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Negara-negara maju yang berhasil keluar dari perekonomian
yang
terbelakang,
biasanya
memulai
dengan
penataan
kelembagaan-kelembagaan sehingga dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang self government43yaitu pemerintahan yang mandiri yang memiliki lembagalembaga yang mendukung aspek hukum, pendidikan masyarakat dan sebagainya . Beberapa permasalahan ekonomi yang perlu diatasi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik tercermin dalam pemikiran Arthur Lewis yaitu 44
: (1)Pertumbuhan ekonomi bergantung pada usaha mengefektifkan penggunaan
input yang ada, (2)Peningkatan pengetahuan dan penerapannya mempunyai peranan penting dalam meningkatkan produktivitas suatu masyarakat, (3) Produktivitas dapat ditingkatkan dengan mempertinggi ketersediaan modal (capital) perkapita sehingga masyarakat memiliki lebih banyak peluang untuk melakukan kegiatan-kegiatan produksi
43
Rachbini DJ, Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Garsindo, 2001, hal 63. 44 Arthur lewis dalam Ibid.
27
Dari zaman ke zaman pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bidang penyelidikan yang sudah lama dibahas oleh ahli-ahli ekonomi. Teori Pertumbuhan ekonomi terus berkembang, seperti diuraikan di bawah ini :
Teori Pertumbuhan Klasik Smith (1776) dan Ricardo (1817)45 adalah dua tokoh pemikiran pertumbuhan ekonomi klasik. Menurut Smith dan Ricardo faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi adalah tingkat perkembangan masyarakat yang ditentukan dari jumlah penduduk, jumlah stok modal, luas tanah dan tingkat teknologi. Pendapatan masyarakat dapat di kategorikan sebagai upah pekerja, keuntungan pengusaha, dan sewa tanah. Apabila upah pekerja naik akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan penduduk, dan tingkat keuntungan akan menentukan pembentukan modal. Smith berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Spesialisasi, kemudian akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mendorong perkembangan teknologi. Kenaikan dalam produktivitas yang di sebabkan oleh kemajuan teknologi akan meningkatkan tingkat upah dan keuntungan, pada saat yang bersamaan pertumbuhan penduduk juga akan meningkatkan akumulasi capital dan tabungan. Dengan adanya akumulasi kapital maka stok alat-alat modal dapat ditambah dan dapat mendorong meningkatnya produktivitas dan teknologi yang berkelanjutan sehingga proses pertumbuhan akan terus berlangsung sampai seluruh sumber daya alam termanfaatkan atau tercapai kondisi stationary state. Sedangkan Ricardo berpendapat dalam berbagai kegiatan ekonomi akan berlaku the law diminishing return , misalkan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan berakibat pada turunnya tingkat upah pekerja, menurunkan keuntungan, dan meningkatkan sewa tanah. 45
Smith dan Ricardo dalam Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M, Ekonomi Regional, Jakarta: Universitas terbuka, 2007, hal 93-99.
28
Dalam teori pertumbuhan klasik faktor-faktor produksi utama adalah tenaga kerja, tanah dan modal, serta peran teknologi. Sedangkan input-input lainnya yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output dianggap konstan/ tidak berubah.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar Model pertumbuhan Harrod (1948) Domar (1957)46 termasuk dalam kelompok
pemikiran Neo-Keynesian, model ini menekankan bahwa setiap
perekonomian pada dasarnya perlu mencadangkan atau menabung sebagian dari pendapatan nasionalnya untuk menambahkan atau menggantikan barang-barang yang sudah rusak/ susut, barang tersebut adalah barang modal seperti gedung, peralatan dan bahan baku. Tabungan tersebut perlu karena nanti akan berkontribusi untuk kegiatan investasi yang akan mendorong pendapatan nasional sehingga perekonomian dapat tumbuh. Model pertumbuhan Harrod-Domar adalah gabungan atau modifikasi dari dua model pertumbuhan, dimana model pertumbuhan Domar memfokuskan pada laju pertumbuhan Investasi, sedangkan model pertumbuhan Harrod lebih pada pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) jangka panjang melalui peningkatan rasio modal-output (capital-output ratio). Setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk menganti barang-barang modal yang rusak. Namun demikian untuk menumbuhkan perekonomian tersebut, diperlukan investasi- investasi baru sebagai stok penambah modal. Seandainya ditetapkan rasio modal- output sebagai K dan selanjutnya
dianggap bahwa rasio
tabungan nasional (national saving rasio = s) merupakan persentase atau bagian tetap dari output nasional yang selalu ditabung dan bahwa jumlah investasi (penanaman modal) baru ditentukan oleh jumlah tabungan total (s), maka dapat disusun model pertumbuhan ekonomi sederhana sebagai berikut : 1. Tabungan (S) merupakan suatu proporsi (s) dari pendapatan nasional (Y), oleh karena itu, dapat ditulis dalam bentuk persamaan sederhana : 46 Harrod-Domar dalam Todaro MP, Smith SC, Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9 (Alih Bahasa oleh Haris Munandar dan Puji A.L) Jakarta: Erlangga, 2006, Hal 128-131.
29
S=sY……………………………………………………………………….(2.1) 2. Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diwakili oleh ΔK, sehingga dapat ditulis dalam bentuk persamaan : I=ΔK………………………………………………………………………(2.2) Akan tetapi, karena jumlah stok modal (K) mempunyai hubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output (Y), seperti yang ditunjukan oleh rasio modal-output (k) maka : K/Y = k
atau
ΔK/ΔY= k
Akhirnya,ΔK=k.ΔY………………………………………………………..(2.3) 3. Terakhir mengingat jumlah keseluruhan tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis sebagai berikut: S=I…………………………………………………………………………(2.4) Dari persamaan (2.1) telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan (2.2) dan persamaan (2.3), maka dapat diketahui : I = ΔK = k. ΔY Dengan demikian, “identitas” tabungan yang merupakan persamaan modal dalam persamaan (2.4) adalah sebagai berikut: S=sY = k . ΔY = ΔK = I…………………………………………………….…(2.5) Atau bisa diringkas menjadi : sY=k.ΔY……………………………………………………………………….(2.6) Selanjutnya apabila kedua sisi persamaan (2.6) dibagi mula-mula dengan Y dan kemudian dibagi dengan K, maka akan didapat : ΔY/Y=s/k……………………………………………………………………...(2.7) ΔY/Y pada persamaan (2.7) merupakan pertumbuhan PDB. Persamaan (2.7) merupakan persamaan Harrod-Domar yang disederhanakan. Pada persamaan (2.7) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan PDB (ΔY/Y) ditentukan secara bersama oleh rasio tabungan nasional (s) dan rasio modaloutput nasional (COR=k). Secara lebih spesifik, persamaan (2.7) menyatakan bahwa
tingkat
pertumbuhan
pendapatan
nasional (ΔY/Y) akan
secara
langsung atau secara positif berbanding lurus dengan rasio tabungan (s) dan secara negatif berbanding terbalik terhadap rasio modal-output nasional( k) dari suatu perekonomian.
30
Maka agar bisa tumbuh pesat, setiap perekonomian harus dapat menabung dan berinvestasi sebanyak mungkin dari bagian GDP-nya. Semakin banyak yang ditabung dan diinvestasikan, maka laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow (eksogen) Teori Pertumbuhan Solow (1956, 1957)47 masuk kedalam pemikiran neoklasik
didasarkan
pada
kritik
atas
kelemahan-kelemahan
sebagai
penyempurnaan terhadap pandangan teori Harrod-Domar. Pada intinya model pertumbuhan Solow adalah pengembangan dari formulasi Harrod-Domar, dengan menambahkan dua faktor lagi dalam persamaan pertumbuhan (growth equation) yaitu tenaga kerja dan teknologi. Sehingga pertumbuhan ekonomi tergantung pada ketersediaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan akumulasi modal serta kemajuan teknologi. Pandangan teori ini didasarkan pada asumsi yang mendasari analisis ekonomi klasik, yaitu perekonomian berada pada tingkat pekerjaan penuh (full employment) dan tingkat pemanfaatan penuh (full utilization) dari faktor-faktor produksinya. Rasio modal-output (capital output ratio) dapat berubah-rubah sesuai dengan output yang ingin dihasilkan. Jika lebih banyak modal yang digunakan maka tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit dan sebaliknya. Fleksibilitas ini menggambarkan suatu perekonomian yang memiliki kebebasan dalam menentukan kombinasi antara modal (capital, K) dan tenaga kerja (labour, L) yang akan digunakan dalam kegiatan produksi. Dalam model ini fungsi produksi tanpa perkembangan teknologi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: Y(t) = f(K(t),L(t))……………………………………………………………...(2.8) Dimana pertumbuhan pendapatan riil adalah fungsi dari K (stok modal) dan L (tenaga kerja), pendapatan akan meningkat apabila setiap tenaga kerja mendapat modal peralatan lebih banyak dan proses itu disebut capital deepending, namun tidak terus menerus tanpa adanya pertumbuhan teknologi, karena modal
47
Solow dalam Ibid, hal 150.
31
dan tenaga kerja akan meningkat dengan pertumbuhan yang semakin menurun (diminishing return). Kemudian dalam model fungsi produksi dengan perkembangan teknologi dapat disajikan ke dalam bentuk fungsi produksi Cobb-Douglass, yaitu output merupakan fungsi dari tenaga kerja dan modal. Sementara itu, tingkat kemajuan teknologi merupakan variabel eksogen. Y(t) = f (A(t), K(t),L(t))………………………………………………………. (2.9) Asumsi yang digunakan adalah skala hasil tetap (constan return to scale, CRTS), substitusi antara modal dan tenaga kerja bersifat sempurna dan juga adanya produktivitas marginal yang semakin menurun (diminishing marginal productivity) dari tiap-tiap inputnya. Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow dapat dituliskan sebagai berikut: Y t
K t
α
A t L t
α
…………………………………………………..(2.10)
Keterangan: Y adalah output; K adalah stok modal; L adalah jumlah tenaga kerja; A adalah produktivitas tenaga kerja/teknologi, yang pertumbuhannya di tentukan secara eksogen. α adalah melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase pertambahan output yang diciptakan oleh penambahan satu persen modal fisik dan manusia). Asumsi CRTS menyatakan jika α=a dan 1-α=b, maka a+b=1 artinya nilai a dan b merupakan batas produksi dari masing-masing produksi tersebut.
Teori Pertumbuhan Endogen Teori pertumbuhan endogen yang disebut juga teori pertumbuhan baru, adalah
modifikasi terhadap model pertumbuhan Solow, model ini mencoba
memperbaiki kegagalan model Solow dalam hal memberikan penjelasan terhadap penyebab-penyebab perkembangan teknologi, menurut teori ini perubahan teknologi bersifat endogen (dari dalam sistem ekonomi) dan memengaruhi pertumbuhan jangka panjang.
32
Mankiw, Romer, Weil /MWR (1992)48 mengusulkan menggunakan variabel akumulasi modal manusia (human capital) dalam memodifikasi model Solow tersebut. Sumber pertumbuhan ekonomi dengan demikian adalah pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan human capital. Ternyata hasil estimasi MWR lebih baik dari pada model Solow49. Romer
menyatakan
bahwa
stok
pengetahuan
(knowledge
stock)
merupakan sumber utama peningkatan produktivitas dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan endogen memiliki tiga elemen dasar yaitu: (1) adanya perubahan teknologi yang bersifat endogen melalui sebuah proses akumulasi ilmu pengetahuan; (2) adanya penciptaan ide-ide baru sebagai akibat dari mekanisme limpahan pengetahuan (knowledge spillover); dan (3) produksi barang-barang konsumsi yang dihasilkan oleh faktor produksi ilmu pengetahuan akan tumbuh tanpa batas. Modifikasi MRW terhadap persamaan pertumbuhan Solow adalah dengan menambahkan human capital sehingga fungsi produksi menjadi50: Y t
K t αH t
β
A t L t
α β
……………………….………..………(2.11)
Dimana, H adalah Human Capital, dan semua variabel lainnya yang sudah di definisikan sebelumnya. Dalam Bhinadi (2003), Modifikasi MRW dapat juga dituliskan secara linear, sehingga bentuknya adalah sebagai berikut51: Y = g + αK + βH + (1-α-β)L ……………………………..…………...…(2.12) Dimana, β adalah kontribusi human capital terhadap output agregat , Y adalah pertumbuhan output, K adalah pertumbuhan capital, dan L adalah pertumbuhan tenaga kerja yang ada di wilayah tersebut, H adalah pertumbuhan kualitas sumber daya manusia yang diproksi dengan educational attainment pendidikan menengah/ lanjutan (secondary education) di wilayah tersebut, dan g pertumbuhan produktivitas faktor total (TFPG) yang mencerminkan tingkat teknologi di wilayah tersebut dan merupakan intersep dalam persamaan regresi. 48
Mankiw .NG, Romer .D, Weil .DN, A Contribution To The Empirics Of Economics Growth, Quartely Journal Of Economics, May:415-421, 1992. 49 Bhinadi A, Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa Dengan Luar Jawa, Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang, Vol 8, No. 1, Juni 2003, hal 40. 50 Mankiw .NG, Romer .D, Weil .DN, Loc.cit. 51 Bhinadi A, Loc.cit.
33
2.1.4 Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi Korupsi berkontribusi dalam mengurangi pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan kualitas infrastruktur dan pelayanan publik, mengurangi pajak, membuat pemerintah justru bergandengan dengan para pencari rente daripada melakukan aktivitas yang produktif, dan akhirnya mendistorsi komposisi pengeluaran pemerintah52. Korupsi berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi karena korupsi berpengaruh langsung terhadap tingkat investasi, rendahnya tingkat investasi swasta karena besarnya biaya suap dalam perizinan usaha, dan terdistorsinya investasi pemerintah oleh kelompok kepentingan. Dampak korupsi baik langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi indikator-indikator makro ekonomi suatu negara. Korupsi dapat menciptakan kesenjangan yang lebar antara pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya bisa dicapai, sehingga memengaruhi proses pertumbuhan ekonomi nasional. Analisanya adalah korupsi menimbulkan inefisiensi dan pemborosan dari sumber ekonomi periode sebelumnya, karena hasil dari pengelolaan sumberdaya ekonomi yang ada tidak semuanya dikembalikan sebagai modal perputaran ekonomi secara multiplier, keuntungan yang diperoleh dari korupsi kemungkinan besar digunakan bermewah-mewah atau dilarikan ke rekening pribadi di luar negeri bukan di alihkan ke sektor investasi Secara sederhana korupsi pada dasarnya adalah sebuah misalokasi sumberdaya, yang artinya, korupsi memindahkan sumberdaya dari kegiatan produktif atau memiliki manfaat sosial tinggi ke kegiatan tidak produktif dan menciptakan biaya sosial. Biaya ekonomi korupsi dapat dikaitkan sebagai sumber daya yang terbuang, yang dapat digambarkan pada kurva batas kemungkinan produksi ( Production Posibility Frontier/ PPF). Dalam gambar 653, diasumsikan terdapat dua jenis output yaitu X dan Y, semua sumber daya digunakan, dan kemudian sumber daya/faktor produksi tidak dapat ditambah namun dapat dirubah kombinasinya. Batas kemungkinan produksi kombinasi barang X dan Y apabila sumberdaya digunakan dalam kapasitas penuh 52
Shera A, Corruptionand The Impact of The Economic Growth, Journal of Information Technology and Economic Development 2, 2011, hal 8. 53 Zachrie R, Wijayanto, op.cit, Hal 120-122.
34
(pareto optimal) adalah pada titik A (memproduksi lebih banyak Y daripada X) dan pada titik B (memproduksi lebih banyak X daripada Y). X A
C
B D
. 0
Y
Sumber : Zachrie, Wijayanto, 2010. Gambar 6. Korupsi dan Kemungkinan Produksi Pada titik C tidak dapat dicapai karena berada diluar batas kemungkinan produksi, namun bisa saja tercapai apabila tiba-tiba dalam perekonomian terjadi penambahan sumber daya atau pertumbuhan ekonomi. Titik D adalah kondisi saat kegiatan ekonomi tidak berada pada kapasitas maksimal, hal ini dapat disebabkan oleh adanya sumber daya yang menganggur atau semua sumber daya digunakan secara maksimal namun tidak efisien. Korupsi menyebabkan perekonomian sebuah negara / daerah berada di titik D bukan A atau B. Namun selama ini terdapat dua sisi pandangan yang berbeda mengenai efek korupsi, beberapa diantaranya memperlihatkan efek buruk, dan sisi lainnya memperlihatkan efek baik korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Leff (1964) dan Huttington (1968) secara terpisah pernah menyatakan bahwa korupsi membuat aktivitas ekonomi berjalan lancar dan akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Menurut argumen ini, aktivitas bisnis diibaratkan sebagai roda perekonomian dan korupsi dapat menjadi “minyak pelumas” bagi roda itu, terdapat beberapa alasan dari argumen ini, yaitu54: Alasan pertama, korupsi dapat menjadi uang pelicin atau speed money sehingga dapat menghindari terjadinya penundaan birokrasi. Hal ini di dukung 54
Rahman A , Kisunko G dan Kapoor K, Estimating the effect of Corruption Implication for Bangladesh,World Bank Report tahun 2000, www.worldbank.org. hal 3-4.
35
oleh Lui (1985) yang menggunakan keseimbangan Nash pada noncooperative game adanya suap dapat meminimalisasi biaya tunggu atau waiting cost sehingga dapat mengurangi biaya-biaya, yang pada akhirnya menurunkan inefisiensi dari pemerintah. Namun Myrdal (1968) membantah pandangan tersebut, menurutnya teori speed money tidak terjadi. Pada kenyataannya para birokrat dapat memperlambat kerja mereka untuk mendapatkan lebih banyak suap55. Alasan yang kedua adalah para pegawai struktural yang mendapat pembayaran rendah, ditambah kurangnya tanggung jawab mereka, tidak termotivasi untuk bekerja lebih efisien. Namun dengan adanya suap akan mendorong mereka untuk bekerja lebih efisien. Alasan yang ketiga dari sisi kesejahteraan (welfare), banyak layanan atau barang publik masih dimonopoli oleh pemerintah, tapi apabila ada aparat pemerintah yang menjualnya di pasar gelap (secara illegal), maka konsumen bisa mendapatkan barang atau pelayanan publik tersebut dibawah harga resmi. Oknum aparat akan menerima seluruh pembayaran untuk dirinya sendiri, sehingga negara kehilangan pendapatan, namun konsumen mendapatkan harga di bawah harga resmi sehingga terjadi relokasi keuntungan dari negara ke konsumen (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Sedangkan Mauro (1995) yang membuktikan bahwa korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi negara-negara. Ia menemukan apabila Bangladesh dapat memerangi korupsi pada tingkat yang sama dengan Singapura dan jika laju pertumbuhannya mencapai 4 persen pertahun, maka laju pertumbuhan PDB tahunan per kapita rata-rata antara 1960-1985 tentu akan mencapai 1.8 persen lebih tinggi56. Selain itu, Todaro dan Smith (2006) mendukung pendapat bahwa korupsi berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan, menurutnya ketiadaan korupsi mendorong investasi dan upaya-upaya untuk memperbesar peluang perekonomian dan bukan hanya untuk memperebutkannya, dan oleh karenanya mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga pada umumnya perbaikan tata kelola (governance), terutama
pengurangan korupsi akan mempercepat proses
55 56
Ibid, hal 4. Vinod T. et.al, The Quality of Growth, World Bank, 2000. hal 177.
36
pembangunan. Pemberantasan korupsi penting dilakukan, karena pemerintahan yang jujur dapat mendorong pertumbuhan dan pendapatan tinggi secara berkesinambungan57. Sedangkan menurut Swaleheen dan Stansel (2007) korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, ketika pelaku ekonomi memiliki pilihan yang sedikit/ kebebasan ekonomi rendah, namun pada keadaan pelaku ekonomi memiliki
banyak
pilihan/kebebasan
ekonomi
tinggi,
korupsi
membantu 58
pertumbuhan dengan menyediakan jalan di sekitar kontrol pemerintah .
2.1.5 Korupsi dan Perburuan Rente Ekonomi Korupsi dalam ilmu ekonomi berangkat dari dua dasar bangunan teori, yang pertama adalah teori atasan bawahan/pemilik pengelola (principal-agent), dan yang kedua adalah teori perburuan rente (rent-seeking). Principal-agent theory59 melihat hubungan antara dua pihak dengan tujuan serta insentif yang berbeda dalam situasi informasi yang tidak seimbang (assymentric information). Pihak pemilik (principal) memiliki sebuah tujuan akhir yang ingin dicapai, untuk mencapai tujuan itu maka didelegasikanlah pekerjaan kepada pihak pengelola (agent). Selain dalam hierarki perusahaan, teori ini juga dapat berlaku dalam konteks pemerintahan, dimana pemerintah daerah (eksekutif-legislatif) sebagai pengelola (agent) sementara rakyat pemilih adalah pemilik (principal). Pada kondisi ideal, pemilik bisa mengawasi penuh kinerja pengelola, agar tujuannya dapat tercapai. Tapi kondisi ideal ini sering tidak terjadi karena biaya mengawasi pengelola setiap saat terlalu tinggi dan pengelola juga memiliki kepentingan pribadi yang ingin dicapai. Pada celah inilah dapat terjadi korupsi, celah ini dapat dimasuki oleh pihak ketiga yang menawarkan imbalan pada agent untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan pihak ketiga, walaupun tidak sesuai tujuan dari principal. Transaksi antara agent dan pihak ketiga belum tentu selalu berupa korupsi atau merugikan perekonomian, seperti halnya perburuan rente. 57
Todaro.MP, Smith.SC, op.cit, hal 51. Swaleheen M, Stansel D, Economic Freedom, Corruption and Growth, Cato Journal, Vol.27, No.3, 2007, hal 343-358. 59 Zachrie R, Wijayanto, op.cit, hal 117-119. 58
37
Teori yang kedua adalah rent seeking theory, menurut Aidt (2003) ada tiga kondisi dibawah ini yang mendorong terjadinya korupsi60: 1.
Kekuasaan atau otoritas yang diskretif. Artinya, pejabat publik memiliki wewenang, baik legal maupun tidak untuk menentukan bagaimana sebuah keputusan atau kebijakan dijalankan.
2.
Potensi bagi terciptanya rente ekonomi.
3.
Institusi yang lemah. Tanpa adanya sanksi, pengawasan dan penegakan aturan yang ketat dan konsisten, maka rente ekonomi bukan hanya sekedar potensi, tapi akan terealisasi. Istilah rente dalam ekonomi politik yang digunakan pada penelitian ini
bermakna negatif, walaupun sesungguhnya kata rente atau sewa dapat dimaknai secara netral. Menurut Adam Smith, sewa adalah salah satu balas jasa faktor produksi. Upah adalah balas jasa untuk tenagakerja, keuntungan bagi pengusaha, sementara rente adalah balas jasa bagi aset, seperti bunga pinjaman, sewa tanah atau bangunan. Oleh karena itu, konsep rent seeking dalam ekonomi klasik tidak dimaknai secara negatif sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian, bahkan bisa berarti positif karena dapat mendorong kegiatan ekonomi secara simultan, seperti seseorang yang ingin mendapatkan keuntungan. Tetapi pemburu rente dalam kajian ekonomi politik adalah perburuan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan dalam bisnis. Pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat dalam pasar . Kekuasaan dipakai untuk memengaruhi pasar sehingga mengalami distorsi untuk kepentingannya. Maka rent seeking tidaklah dimaknai secara netral, tapi dilihat melalui kacamata yang negatif. Asumsi awalnya adalah setiap kelompok kepentingan (self interest) berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya (effort) yang sekecil-kecilnya. Persoalannya adalah, jika produk dari lobi tersebut berupa kebijakan , maka implikasi yang muncul bisa sangat besar. Seperti yang diungkap oleh Olson (1982) proses lobi dapat berdampak kolosal karena melibatkan proses pengambilan keputusan (decision marking) 60
Aidt TS, Economic Analysis of Corruption: A Survey, The Economic Journal ,Vol.113, No.491, November 2003, hal 2.
38
berjalan sangat lambat dan ekonomi akhirnya tidak bisa merespon secara cepat terhadap perubahan-perubahan dan teknologi baru61. Kelompok kepentingan ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari rente (rent seeking) melalui proses politik dengan memengaruhi kebijakan. Dengan adanya praktek perburuan rente yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, kebijakan yang dibuat pemerintah hanya menghasilkan inefisiensi. Hal tersebut mencerminkan tidak bertemunya kepentingan para pelaku, yaitu masyarakat dan pemerintah (politisi dan birokrat). Teori ekonomi perburuan rente (rent seeking economic theory) menjelaskan hubungan pengusaha dengan pemerintah. Pengusaha selalu mencari preferensi atau keistimewaan dari pemerintah dalam bentuk lisensi, kemudahan, proteksi, dan sebagainya untuk kepentingannya62. Mallarangeng (2002) memaparkan bahwa pada pemerintahan Orde Baru, kegiatan rent seeking dapat ditelusuri dari persekutuan bisnis besar (yang menikmati fasilitas monopoli maupun lisensi impor) dengan birokrasi pemerintah. Perusahaan-perusahaan swasta itu sebagian besar dikuasai oleh mereka yang mempunyai hubungan pribadi dengan khusus dengan elite pemerintah, dan dalam banyak kasus dengan Soeharto. Dengan fasilitas tersebut mereka sekaligus memperoleh dua keuntungan: mendapatkan laba yang berlebih (supernormal profit) dan mencegah pesaing masuk pasar63. Dengan lisensi khusus tersebut, maka dengan mudah pelaku yang lain tidak bisa masuk pasar. Karena itu , perilaku perburu rente ekonomi biasanya merupakan perilaku antipersaingan atau menghindari persaingan. Menurut Yustika (2008) perburuan rente (rent seeking) dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumberdaya yang dimiliki64. Krueger (1974) mengidentifikasikan bahwa prilaku pencarian rente (rent seeking behavior) merupakan usaha-usaha 61
Yustika AE,Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi, Jatim:. Bayumedia Publishing, 2008, hal 140. 62 Ibid, hal 38. 63 Ibid,hal 141. 64 Ibid, hal 140.
39
yang dilakukan pemerintah dalam melakukan berbagai hambatan (retriksi) melalui regulasi sehingga orang per orang harus bersaing untuk mendapatkan rente tersebut. Kadang-kadang bentuk persaingan untuk mendapatkan rente tersebut sangat legal , tetapi juga dapat dalam bentuk-bentuk lain, seperti penyuapan, korupsi, penyeludupan dan pasar gelap65. Sedangkan Steven (1993) mendefinisikan pencarian rente sebagai usaha dengan menggunakan proses politik (political process) sedemikian sehingga mengizinkan perusahaan atau kelompok perusahaan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang melebihi biaya imbangan (opportunity cost)-nya66. Dari berbagai pemaparan dan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perburuan rente (rent seeking) adalah usaha individu/kelompok kepentingan memengaruhi proses politik (political process) untuk memperoleh rente
ekonomi/keuntungan
ekonomi
yang
sebesar-besarnya
(laba
berlebih/supernormal profit) dengan upaya (effort) yang sekecil-kecilnya. Dimana sumber rente adalah kekuatan monopoli/wewenang yang diperoleh dari pemerintah. Sebagai upaya untuk memahami kebijakan ekonomi yang menganjurkan kebijakan monopoli dapat dilihat dalam Gambar 7, yang diadaptasi dari Tullock(1988) dalam Yustika (2008)67. Sumbu horizontal merupakan jumlah komoditas, dalam hal ini contohnya adalah gandum, yang bisa diproduksi dengan dengan harga CC, sedangkan permintaan gandum ditunjukan oleh garis DD, yang menunjukan beragam kesuburan lahan. Pasar Kompetitif ditunjukan oleh unit Q, karena pada titik tersebut kurva permintaan,DD, mengenai garis bawah (diasumsikan dalam situasi ini adanya informasi yang sempurna dan tidak ada biaya transaksi). Sedangkan titik keseimbangannya adalah pada harga P dan lahan dengan kualitas rendah (tidak subur), yakni disisi kanan Q,tidak ditanami. Pada titik ini sewa lahan Ricardian adalah area diatas CC dan di bawah P, dan pemilik lahan gandum akan berproduksi untuk mengumpulkan gandum. 65
Riyanto, Loc.cit, hal 14. ibid. 67 Yustika, Op cit. 66
40
D
P
C
P C
D
0
Q
Q
Sumber: Tullock dalam Yustika,2008. Gambar 7. Biaya Monopoli Akibat Prilaku Pencarian Rente. Sekarang pemilik gandum dapat berinvestasi dengan biaya yang lebih murah, bahwa mereka dapat mengorganisasikan kartel atau monopoli, agar dapat mengendalikan akan (drive up) harga melalui pembatasan produksi. Perilaku inilah yang biasa disebut dengan mencari rente (rent seeking). Hasilnya adalah produksi di batasi menjadi Q1, dengan konsekuensi meningkatnya harga menjadi P1. Maka akan ada dua konsekuensinya yaitu: (1) keuntungan area segiempat di transfer dari konsumen ke mengalami kerugian
produsen (pemilik monopoli), (2)Masyarakat
yang direpresentasikan dalam gambar segitiga abu-abu,
wilayah tersebut adalah keuntungan yang diperoleh konsumen melalui pembelian antara unit Q1 dan Q jika harga tidak mengalami kenaikan. Keberpihakan keputusan pemerintah terhadap kelompok tertentu, dipicu oleh kegiatan rent seeking. Kelompok atau individu berusaha memanfaatkan kekuasaan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan bagi diri dan kelompoknya. Namun prilaku rent seeking juga bukan hanya dimiliki oleh pihak pengusaha, tapi juga pemerintah (eksekutif/birokrasi dan legislatif). Pada awalnya adanya kegagalan pasar (market failure) merupakan salah satu sebab pemerintah turun tangan dalam perekonomian untuk
mencapai
kesejahteraan masyarakat yang optimal. Peranan pemerintah tidak selalu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahkan secara sistematis terjadi kegagalan pemerintah (government failure). Kunio (1991) berpendapat bahwa
41
kapitalisme di Asia Tenggara menjadi ersatz capitalsm (kapitalisme semu), hal ini terjadi karena terlalu banyaknya campur tangan pemerintah sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan mengakibatkan kapitalisme tidak dinamis. Hal ini menimbulkan perburuan rente di kalangan birokrat, menyebabkan wiraswasta tidak mampu berkembang68. Walaupun demikian solusi yang ditawarkan Kunio tidaklah berpihak pada ekonomi liberal, yang menyatakan perkembangan ekonomi semakin baik tanpa campur tangan pemerintah. Jadi terapi yang disarankan bukanlah menggurangi campur tangan pemerintah melainkan memperbaiki kualitas campur tangan pemerintah, “Campur-tangan pemerintah merupakan faktor utama bagi pembangunan industri dan pertumbuhan ekonomi di Jepang, sejak usainya perang dunia kedua”. Selain itu Kunio juga menyarankan peningkatan kemampuan teknologi dimana pendidikan sains dan teknologi harus menjadi prioritas dibandingkan ilmu sosial, hal ini untuk mencapai pembangunan yang mandiri, karena kapitalisme Asia Tenggara kebanyakan bergerak di bidang jasa, walaupun di bidang industri hanyalah berperan sebagai kaptalisme komprador (bertindak sebagai agen industri manufaktur asing di negeri sendiri). Namun prilaku perburuan rente oleh pemerintah juga dapat dipahami melalui proses politik yang sebelumnya telah terjadi. Sistem pemilu yang diadopsi Indonesia saat ini, adalah sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, sejauh ini biaya terbesar yang dikeluarkan partai politik adalah untuk keperluan kampanye. Pendanaan partai politik di Indonesia lebih banyak bergantung pada bantuan pemerintah dan korporasi, pedahal ada pendapat yang menekankan bahwa partai politik tidak perlu didanai dengan uang publik melalui negara, bagi pendukung pendapat ini, sumber-sumber pendanaan yang berasal dari subsidi negara ataupun sumbangan korporasi adalah sesuatu yang patut dicurigai karena membuka peluang bagi praktik-praktik yang merupakan daerah abu-abu/koruptif. Secara implisit, asumsi dari pendapat ini adalah bahwa politisi-politisi dari partai
68
Kunio Y, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta:LP3ES, 1991,hal xiv-xv.
42
politik adalah berkarakter sebagai rent seeker yang selalu bertujuan memperkaya diri sendiri69. Teori pilihan publik (Public choice theory)70 dapat menjelaskan prilaku aktor politik di dalam pasar politik . Anggaran adalah barang publik yang menjadi objek pertukaran atau kontrak antara pemerintah dan rakyatnya. Pemerintah adalah politisi pemenang pemilu, sedangkan masyarakat adalah konsumen publik yang berharap agar anggaran dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, kesehatan, keamanan, infrastruktur dan barang publik lainnya. Pasar politik adalah titik pertemuan kontraktual antara pemilih dan politisi, baik dalam pemilihan umum , pembuatan undang undang, kebijakan ekonomi, kebijakan anggaran maupun kebijakan publik lainnya. Seperti pasar barang dan jasa, pemilih (voters) dianalogikan sebagai pembeli, yang berharap mendapat manfaat dari keputusannya memilih politisi atau partai politik, sedangkan politisi berperan sebagai political seller, seperti pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan, politisi menjual kebijakan publik dan program-program kesejahteraan masyarakat yang disebut komoditas publik. Selain voters dan politisi, dalam pasar politik juga ada distributor yang berperan mendistribusikan komoditas publik atau tepatnya menjalankan kebijakan yang diputuskan oleh politisi atau partai yang berkuasa, yaitu adalah para pekerja resmi yang dibayar oleh pemerintah (birokrat). Proses di pasar politik dipandang sebagai perilaku individu, bukan kolektif, karena hasil yang diperoleh bukan merupakan pertemuan antara kepentingan para pelaku. Pemilih menentukan pilihan berdasarkan keinginannya, sedangkan politisi memikirkan kepentingannya (kepentingan pribadi/kelompok) dan birokrat akan bertindak memaksimalkan anggaran. Dalam memaksimalkan anggaran, birokrat dapat mengalokasikannya dengan menjual program-program yang akan dijual kepada rakyat, sesuai keputusan partai politik yang berkuasa. Birokrasi memperkuat sistemnya dengan menambah kotak-kotak jabatan, staf dan
69
Vermonte PJ, Mendanai Partai Politik: Problem dan Beberapa Alternative Solusinya, Analisis CSIS, Vol.41,No.1,Maret 2012. Hal 84-85. 70 Rachbini DJ, Teori Bandit, Jakarta: RMBOOKS, 2008,hal 14-17.
43
sebagainya dalam instansi, tindakan demikian yang membuat anggaran pemerintah semakin membengkak. Secara rasional, hal tersebut adalah tindakan pelaku ekonomi dalam memaksimalkan utilitasnya (homo economicus). Pasar politik harusnya bertumpu pada tujuan memaksimalkan manfaat untuk publik berubah menjadi pasar ekonomi untuk kepentingan pribadi. Kegagalan demokrasi di Indonesia (dan negara berkembang lainnya) terjadi karena pasar politik yang rapuh, akibatnya banyak pasar politik yang tidak transparan, di dalam proses politik. Idealnya, pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market) memiliki ciri yang transparan, setiap calon politisi (eksekutif-legislatif) yang masuk kepada pasar politik adalah manusia-manusia unggul dengan latar belakang yang dapat dipertanggungjawabkan, mereka dikenal masyarakat sebagai abdi publik yang mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. Pasar politik jenis ini akan menghasilkan politisi yang berkualitas. Sedangkan pasar politik yang oligopoli menghasilkan politisi pemburu rente ekonomi (economic rent seeking), mereka memiliki kepentingan pribadi/kelompok/kartelnya yang akan mendistori barang publik (anggaran) dan mengabaikan kepentingan publik. Mereka inilah yang dikenal sebagai bandit politik71, yang mengambil kekayaan dari masyarakat dalam jumlah besar dengan prilaku perburuan rente yang melekat pada mereka, mereka berupaya terus memaksimalkan anggaran dengan dalih untuk pembangunan publik. Dibandingkan legislatif, birokrasi memiliki informasi lebih banyak (informasi asimetrik) akibat kepentingannya sendiri birokrasi cenderung memaksimalkan anggaran. Meski demikian, menurut Bayley72 korupsi dapat bermanfaat sebagai alat untuk meredakan ketegangan antara birokrasi dan politisi, karena dapat membawa kedua belah pihak ini kedalam jaringan kepentingan pribadi masing-masing. Birokrasi dapat didefinisikan sebagai berbagai departemen yang menangani penyediaan jasa yang dihasilkan oleh pemerintah73. Setiap biro tidak 71
Istilah bandit politik dikutip dari Olson, Power and Prosperity, 2000, dalam Rachbini DJ, Teori Bandit, ibid, dijelaskan pada bab 3, hal 21-39. 72 Bayley dalam Pope J, op.cit,hal 15. 73 Mangkoesoebroto G, Ekonomi Publik, Yogyakarta:BPFE, 1993,hal 52.
44
memperoleh keuntungan dari penjualan output yang dihasilkan, melainkan dibiayai dengan memberikan gaji. Sesuai dengan Analisis Ekonomi mengenai birokrasi yang dikemukakan Niskanen, menyatakan bahwa birokrasi sebagaimana juga dengan orang lain, adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, dalam hal ini adalah gaji, jumlah karyawan, reputasi, dan status sosialnya. Karena fungsi utilitas birokrat berkaitan dengan besarnya anggaran, maka seorang birokrat yang berusaha mencapai kepuasan yang optimal dengan memaksimumkan anggaran pemerintah.
C
P1
F
P2 B
A
MR G
D
0 Q1
Q2
Q3
Sumber : Niskanen dalam Mangkoesoebroto, 1992. Gambar 8. Penentuan Output Oleh Birokrat Seorang birokrat bukanlah orang yang netral terhadap proses pembuatan anggaran, maka birokrat akan cenderung menghasilkan barang atau jasa yang lebih besar daripada yang seharusnya, sehingga terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber ekonomi oleh pemerintah.
Analisis Niskanen dapat
74
dijelaskan dalam Gambar 8 , kurva CFD menunjukan kurva
permintaan
sedangkan kurva LRMC=LRAC menunjukan biaya marginal dan biaya rata-rata jangka panjang yang kita asumsikan mempunyai struktur biaya konstan (constant return to scale). MR menunjukan kurva penerimaan marginal. Perusahaan swasta yang berada dalam posisi monopoli akan menentukan tingkat output sebesar Q1, menetapkan harga sebesar 0P1 dan memperoleh keuntungan monopoli sebesar P1CBP2. Sebuah perusahaan yang tidak 74
Ibid, hal 53-54.
45
memperoleh keuntungan akan menghasilkan output sebesar 0Q2 dan akan menetapkan harga sebesar 0P2. Kita asumsikan birokrat memperoleh anggaran sebesar 0P2AQ3 yang ditentukan oleh proses politik. Birokrat tersebut akan cenderung menghasilkan output sampai dengan 0Q3 yang lebih besar dihasilkan daripada pengusaha monopolis dan pengusaha yang tidak mementingkan keuntungan. Apabila 0P2 merupakan tingkat harga yang menjamin pareto optimal maka seorang monopolis cenderung akan menghasilkan output dibawah tingkat output optimum, sebaliknya seorang birokrat akan menghasilkan output yang lebih besar daripada output optimum. Keduanya menimbulkan welfare loss. Pada kasus pengusaha monopolis, welfare loss sebesar CBF dan pada kasus birokrat sebesar FAG yang merupakan pengurangan kesejahteraan dan merupakan kerugian bagi seluruh masyarakat. Perilaku memaksimalkan anggaran dengan dalih untuk pembangunan publik oleh para pencari rente ekonomi ini dapat dideteksi dengan gagalnya usaha pembangunan di suatu daerah. Pasar kompetitif merupakan contoh baik dimana kepentingan pribadi di transmutasikan ke dalam kegiatan produktif yang mengarah kepada pemanfaatan sumber daya secara efisien75. Jika para pejabat tinggi (termasuk kepala negara/daerah), berburu rente untuk keuntungan pribadi, mereka akan berpihak pada komposisi dan jangka waktu investasi yang tidak efisien. Pada tahun-tahun terakhir
pemerintahan
presiden Soeharto, semakin terlihat sikap berburu rente anak-anak Soeharto dan kroni-kroninya yang meningkat karena kecemasan mereka akan masa depan76. Para pejabat yang korup mendistorsi pilihan sektor publik demi meningkatkan rente yang besar bagi diri/kelompok mereka sendiri, dan menghasilkan kebijakan publik yang tidak efisien dan adil, yang pada akhirnya menghasilkan banyak proyek yang tidak tepat guna dan harus membayar terlalu mahal untuk proyekproyek yang pada dasarnya bermanfaat. Proyek-proyek besar melibatkan dana pembangunan besar, dampaknya nanti terhadap anggaran pemerintah dan pertumbuhan negara. Proyek-proyek 75
Ackerman SR, 2006, Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal 3. 76 Ibid, hal 44.
46
trsebut adalah lahan bagi pejabat tinggi untuk bermitra dengan Multi National Coorporation (MNC) maupun mitra lokal. Perilaku berburu rente para pejabat tinggi mengakibatkan mereka lebih menyukai proyek-proyek “mercusuar” yang sedikit saja kegunaannya untuk kemajuan ekonomi, mereka lebih suka proyek umum dengan keuntungan jangka pendek yang intensif modal dibandingkan pembelanjaan umum lainnya. Proyek-proyek tersebut mendatangkan jenis korupsi suap yang merupakan keuntungan sekarang/ jangka pendek bagi para pejabat korup, proyek jangka pendek juga dapat diatur sedemikian rupa agar besar keuntungan dapat dibagi diantara pemerintah dan perusahaan, sedangkan dibandingkan dengan proyek jangka panjang keuntungan yang dapat dirasakan membutuhkan waktu yang lebih lama. Para pejabat yang pada masa kini berkuasa, belum tentu berkuasa pada masa yang akan datang, rasa tidak aman mendorong mereka untuk terus mencuri lebih banyak lagi. Hal tersebut dapat berdampak pada krisis fiskal, mendorong terlalu banyak proyek padat modal dan lisensi untuk mengelola sumber daya alam. Keuntungan yang seharusnya masuk ke kas negara akan jatuh kepada para pencari rente ekonomi yaitu pejabat korup dan kontraktor swasta, dalam kenyataannya kurang jelas apakah pemerintah/ pihak swasta yang dominan karena mereka bekerjasama untuk memperoleh keuntungan bersama. Korupsi telah dianggap sebagai salah satu bentuk rente. Ini dipandang sebagai sarana khusus oleh pihak swasta yang mungkin berusaha untuk mengejar kepentingan mereka dalam kompetisi untuk perlakuan istimewa. Sama seperti bentuk-bentuk rente, korupsi merupakan cara untuk melepaskan diri dari tangan tak terlihat (invisible hand) dari kebijakan pasar77. Namun tidak semua korupsi itu adalah prilaku perburuan rente, dan tidak semua prilaku perburuan rente adalah korupsi, pada penelitian ini korupsi yang di teliti adalah yang mencakup perburuan rente ekonomi. Dengan berbagai pengertian pencarian rente dan berbagai uraian diatas, fenomena korupsi dapat dipahami terjadi karena perilaku pencarian rente dari badan pemerintah dan 77
Lambsdroff JD,Corruption and Rent Seeking, Nedherlands: Kluwer Academic Publisher, Public Choice113, 2002, hal 104.
47
perusahaan yang berusaha membuat kebijakan/ regulasi dari sebuah proses politik yang pada akhirnya menciptakan peluang untuk korupsi.
2.1.6 Desentralisasi Desentralisasi pada dasarnya merupakan implementasi paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Tiebout hypothesis berargumen bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan merumuskan sendiri kebijakan daerahnya, selama tidak bertentangan dengan pemerintah pusat, akan memicu kompetisi yang sehat antar Pemda untuk dapat menyediakan public goods yang memenuhi preferensi masyarakat78. Desentralisasi atau otonomi daerah/khusus di Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomer 5/1974, diimplementasikan sejak anuari 200179. Kemudian Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 diperbarui dengan Undang-undang Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk menyesuaikan dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah ke daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia80. Daerah otonom/daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia81. Menurut Oates82 dasar pelaksanaan desentralisasi adalah: a. Negara yang luas wilayahnya tidak mungkin melakukan sentralisasi. b. Sentralisasi menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. 78
Stiglitz J, Economics of Public Sector 3rd edition, New York:W.W. Norton & Company,2002. hal 734-736 79 Taufik .R, Maria .P,Dewi .D, Op.cit, hal 14. 80 Pasal 1 ayat 7 UU No.32/2004 81 Pasal 1 ayat 6 UU No.32/2004 82 Oates(1999) dalam Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, ppt. Ditjen BAKD Depdagri, 2008.
48
c. Kebutuhan daerah lebih dikenal dan diketahui oleh orang yang tinggal di dalamnya. d. Desentralissi fiskal dan otonomi daerah lebih efisien dari manfaat dan pembiayaan. Tujuan desentralisasi adalah dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Tujuan
yang
hendak
dicapai
pada
akhirnya
adalah
menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing dalam proses pertumbuhan83. Desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif
(administrative
decentralization),
dan
fiskal
(fiscal
decentralization)84,yaitu: a.
Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.
b.
Desentralisasi
administrasi,
merupakan
pelimpahan
kewenangan,
tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan. c.
Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi. Pelaksanaan desentralisasi akan berjalan dengan baik dengan berpedoman
terhadap hal-hal sebagai berikut85: 1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan law enforcement 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah 3. Stabilitas politik yang kondusif 83
Widjaja HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta : Rajawali Pers, 2009, Hal 42. Litvack(1999) dalam Suparno(2010), Loc.cit, hal 14. 85 Ibid, hal 16. 84
49
4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusankeputusan tersebut 5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas
manajerial
yang
diinginkan
sesuai
dengan
permintaan
pemerintah 6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat. Dimensi desentralisasi yang paling menonjol dalam Undang-Undang 22/1999 ini antara lain: desentralisasi keuangan, politik dan hubungan antara lembaga pemerintah di tingkat lokal yang ditandai dengan kuatnya kedudukan lembaga legislatif dibandingan lembaga eksekutif. Pada tahun 2004, dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama DPR mengubah UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang pada intinya mengurangi kekuasaan DPRD atas kepala daerah, terutama dengan diadakannya pemilihan kepala daerah secara langsung, namun kekuasaan DPRD masih cukup besar terutama dalam hal controling, legislasi dan budgeting. Dalam rangka desentralisasi keuangan berlaku UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dengan perubahannya (UU No. 33/2004) yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, yang ditetapkan dengan peraturan daerah86.
86
UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
50
Tabel 1 . Perubahan Setelah Desentralisasi87 No 1
Item Perubahan Struktur Pemda
2 3
Pemilihan Kepala Daerah Pengawasan
4
Hak DPRD
5
Anggaran DPRD
6
Panggilan DPRD kepada pejabat atau masyarakat Eksplorasi Sumberdaya Alam/daerah
7
8
Hak penyelidikan DPRD
9
Pelaksanaan aspirasi masyarakat
10
Fraksi DPRD
UU 5/1974 DPRD bagian dari eksekutif Hak Prerogatif pemerintah pusat Eksekutif mengawasi DPRD Hak DPRD dibedakan dari Hak anggota DPRD Ditentukan dan di kelola eksekutif Diwakilkan pada bawahan atau ditolak DPRD tidak tahu menahu mengenai perjanjian menyangkut eksploitasi SDA Daerah. Tidak pernah digunakan karena tidak pernah ada UU yang mengaturnya DPRD hanya menampung dan menyampaikan kepada eksekutif. Hanya ada 3 fraksi
UU 22/1999 DPRD berdiri sendiri Hak Prerogatif DPRD DPRD mengawasi Eksekutif Hak DPRD sekaligus adalah hak anggota DPRD Ditentukan dan dikelola DPRD DPRD dapat mengenakan sanksi bagi yang menolak DPRD Diberi kewenangan untuk memberi pendapat dan pertimbangan.
Hak Tersebut diatur sendiri oleh DPRD dalam tata tertib DPRD DPRD dapat tugas menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Bisa terdapat lebih dari 5 Fraksi
Sumber : Otonomi Daerah Proyeksi dan evaluasi ,Yayasan Habibie Center ,2003. Dengan adanya desentralisasi fiskal maka struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terdiri atas 88: •
Anggaran pendapatan, yang meliputi : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain.
87
Taufik .R, Maria .P,Dewi .D, Loc.cit, hal 14. http://www.djpk.depkeu.go.id/ diakses 15/06/2012
88
51
2. Bagian dana perimbangan yang merupakan dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi fiskal, yang terdiri dari:
a. Dana Bagi Hasil (DBH) atas bagian daerah dari pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan atas sumber daya alam. b. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana perimbangan yang dialokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka desentralisasi. c. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana perimbanganyang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu. 3. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. •
Anggaran belanja 1. Belanja tidak langsung (belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bansos, bagi hasil dan bantuan keuangan). 2. Belanja langsung (belanja pegawai, barang jasa, dan modal).
•
Pembiayaan Daerah 1. Penerimaan pembiayaan, yang meliputi: a. Sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) tahun sebelumnya b. Pencairan dana cadangan c. Hasil kekayaan daerah yang dipisahkan, d. Penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, 2. Pengeluaran pembiayaan, yang meliputi: a. Pembentukan dana cadangan b. Penyertaan modal/investasi daerah c. Pembayaran pokok hutang. d. Pemberian pinjaman daerah. Penerimaan dana hibah yang dibahas dalam penelitian ini adalah
bersumber dari APBN, yang tidak mengikat dan telah dianggarkan dalam APBD
52
pada akun pendapatan, dalam kelompok pendapatan daerah lain-lain yang sah. APBD pada awalnya berfungsi sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dalam satu periode. Sebelum anggaran di jalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawas dan pertanggung jawaban terhadap kebijakan publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri89. Karena diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat, APBD yang disusun harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, Musgrave90 menyebutkan bahwa sebuah anggaran pemerintah harus memenuhi fungsi alokasi (alokasi penyediaan barang dan jasa publik yang tepat bagi masyarakat), distribusi (fungsi ini untuk mengurangi kesenjangan antar kelompok kaya dan kelompok miskin dalam masyarakat) dan stabilisasi (biasanya dikaitkan dengan ukuran-ukuran ekonomi makro yang ingin dicapai oleh pemerintah daerah yang dianggap memperbaiki/ mempertahankan stabilitas ekonomi diwilayahnya, misalnya pengeluaran ditingkatkan untuk kegiatan sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi tinggi untuk pertumbuhan ekonomi daerah). Menurut Sopanah dan Wahyudi91, semenjak tingginya otoritas yang dimiliki DPRD, terjadi perubahan kondisi yang akhirnya melahirkan banyak masalah, yaitu : (1)Sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah, (2) karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan, (3) esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih di pelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber sumber pendapatan masih dikuasai pusat, sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya, (4) DPRD dimanapun masih mengalami kesulitan melakukan assessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus di dahulukan dalam APBD. (5) volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 80 persen dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit 89
Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit, hal 8. Musgrave(1989) dalam Rizak HB, Kebijakan Alokasi Anggaran: Studi Kasus Sulawesi Tengah, Analisis CSIS, vol.41/no.1/Maret 2012. 91 Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit. 90
53
banyak DPRD dan pemerintahan daerah perlu bekerja lebih keras dalam menyusun APBD, (6) meskipun masih harus melalui pemerintahan pusat namun pemerintah menurut Undang Undang No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik kedalam negeri maupun keluar negeri. Beberapa masalah tersebut mendorong beberapa kecenderungan, yaitu pertama, kecenderungan pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD dalam rangka otonomi daerah. Bagi daerah-daerah yang sumber daya alamnya miskin, akan memilih meningkatkan PAD dengan cara meningkatkan pajak, bahkan untuk daerah-daerah dengan sumber daya alam yang melimpah meningkatkan pajak adalah alternatif paling mudah, karena tidak perlu melakukan banyak investasi untuk mengeksplorasi SDA. Peningkatan pajak atau dengan mengurangi pelayanan masyarakat adalah pilihan meningkatkan PAD yang merugikan masyarakat, sesungguhnya PAD dapat ditingkatkan dengan cara lain, yaitu mengurangi inefisiensi pendapatan pemerintah. Kedua, Otoritas yang besar terhadap DPRD dengan tidak disertainya prngawasan sistematis, sangat memperbesar kemungkinan terjadinya suap terhadap DPRD dalam menyetujui suatu pos anggaran tertentu, yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh rakyat. Sehubungan dengan anggaran daerah Azis (2010) menggolongkan pemimpin daerah dalam beberapa tipe, yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A adalah apabila kepala daerah bekerjasama dengan elit setempat membawa manfaat kesejahteraan bagi masyarakat dengan meningkatkan local budget.Tipe B adalah apabila kepala daerah bekerjasama dengan elit setempat untuk kepentingannya sendiri, tanpa berkontribusi pada local budget. Dan tipe C yaitu apabila kepala daerah tidak hanya bekerjasama dengan elit lokal untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga melakukan korupsi dari local budget, seperti pemerintah daerah yang kleptokrat92. Secara teoritis terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di 92
Azis IJ, Wihardja MM, Theory of Endogenous Institution and Evidence from an In Depth Field Study In Indonesia, Economics and Finance in Indonesia vol 58(3), 2010.hal 316.
54
bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum93. 2.1.7 Indeks Persepsi Korupsi Transparency International94 Corruption Perseption Index adalah indeks gabungan dari 13 survei oleh 10 lembaga independen yang mengukur persepsi tingkat korupsi di 178 negara di dunia. Rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, 0 berarti dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih. Menurut laporan lembaga Transparancy International, angka Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 adalah 2.8 atau berada di peringkat ke-114 dari 178 negara yang disurvei. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sama dengan Bolivia, Gabon, Benin, Kosovo, dan Kepulauan Solomon. IPK Indonesia lebih rendah dibandingkan Singapura (9.3) yang tertinggi di Asia Tenggara, Brunei Darussalam (5.5), Malaysia (4.4), dan Thailand (3.5). Indonesia (2.8) hanya lebih baik dibandingkan Vietnam (2.7), Timor Leste (2.5), Filipina (2.4), Kamboja (2.1), dan Myanmar (1.4). Dalam situasi pemberantasan korupsi di Indonesia yang tidak jelas arah strateginya ini, tampaknya kehadiran instrumen pengukuran yang bisa dipertanggungjawabkan metodenya paling tidak bisa memberikan arah dalam menyusun skala prioritas pencegahan maupun penindakan korupsi. Transparency International meluncurkan Corruption Perception Index (CPI), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan hasil Survei Integritas
2010,
Transparency
International-Indonesia
(TI-Indonesia)
menyampaikan pada publik Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK Indonesia). IPK Indonesia adalah instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota Indonesia. Berbeda dengan CPI yang mengukur tingkat korupsi negara-negara di dunia berdasarkan gabungan beberapa indeks, IPK Indonesia dibuat berdasarkan survei yang metodenya dikembangkan oleh TI-Indonesia. Pada tahun 2008 dan 93
94
Tanzi (1998) dalam Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit, hal 9. http://www.ipkindonesia.org/,30/11/2011.
55
2010 survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka terhadap 9237 responden (terdiri dari para pelaku bisnis, tokoh masyarakat, dan pejabat publik) antara bulan Mei sampai dengan Oktober. IPK Indonesia mengukur tingkat korupsi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33 ibukota provinsi ditambah 17 kota/kabupaten lain yang signifikan secara ekonomi. Sejak pelaksanaan survei ini pertama kalinya pada tahun 2004, metode riset IPK-Indonesia telah berubah beberapa kali. Perubahan ini ditujukan untuk membuat instrumen pengukuran korupsi ini lebih bisa diandalkan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun pada dasarnya, ada hal-hal yang bersifat fundamental yang tidak berubah dari awal survei ini dirancang. IPK Indonesia menggunakan metode survei persepsi dengan pendekatan kuantitatif. Metode pengambilan sampel menggunakan quota sampling. Total sampel ditentukan secara sengaja (purposive), kemudian dibagi secara proporsional berdasarkan tingkat populasi masing-masing kota. Pemilihan kota yang di survei berdasarkan kota-kota yang disurvei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk survei inflasi tahunan. Indeks diambil berdasarkan pengukuran yang didasari persepsi responden, terhadap
beberapa
variabel-variabel
jenis
korupsi.
Variabel-variabel
ini
merupakan konsep turunan dari jenis-jenis korupsi yang terdapat di UndangUndang(UU) No. 31/2009 junto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengukuran menggunakan skala antara 0-10, dengan indikator pengukuran yaitu; Lazim atau tidaknya tindak pidana korupsi tertentu terjadi di kota yang bersangkutan dan serius atau tidaknya pemerintah daerah dan penegak hukum setempat dalam pemberantasan korupsi. Secara lebih terperinci IPK Indonesia disusun dari 11 variabel persepsi, yang terdiri dari : a.
56
Variabel persepsi tentang suap : 1.
Mempercepat proses perizinan usaha.
2.
Mempercepat prosedur untuk pelayanan umum.
3.
Memberikan kelonggaran dalam membayar pajak daerah.
4.
Memenangkan kontrak proyek pemerintah.
5.
Mendapatkan keputusan hukum yang menguntungkan.
6.
Mempengaruhi pembuatan kebijakan /regulasi.
b. Variabel persepsi korupsi : 1.
Gratifikasi.
2.
Pemerasan.
3.
Konflik Kepentingan.
c. Usaha Pemerintah daerah dalam memberantas korupsi : 1.
Keseriusan aparat pemerintah daerah memberantas korupsi.
2.
Keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi Tahun 2010, Kota Denpasar mendapatkan skor paling tinggi (6.71),
disusul Tegal (6.26), Solo (6.00), Jogjakarta dan Manokwari (5.81). Sementara kota Cirebon dan Pekanbaru mendapatkan skor terendah (3.61), disusul Surabaya (3.94), Makassar (3.97) dan Jambi (4.13). Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis, tokoh masyarakat dan pejabat publik di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha pemerintah dan penegak hukum di sana dalam pemberantasan korupsi cukup serius.
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu mengenai korupsi dilakukan dengan membangun model ekonomi dalam tingkat mikro yaitu pada level individu, biasanya riset ini dilakukan pada agen pemerintah. Sedangkan seiring dengan munculnya berbagai lembaga yang mengeluarkan indeks persepsi korupsi, sebagai variabel yang dapat mengukur tingkat korupsi, maka munculah berbagai penelitian kuantitatif yang biasanya mengkaji korupsi pada level lintas negara. Krueger95 dan Ackerman96 mempelopori penelitian dalam tingkat mikro, yang mencoba memahami korupsi dari perilaku pencarian rente. Menurut mereka penyuapan (korupsi) menjadi masalah ekonomi karena terdeteksi sebagai perilaku pencarian rente oleh agen pemerintah. Perilaku pencarian rente membuat agen pemerintah menggunakan sebagian besar waktu potensial mereka untuk 95
Krueger (1974) dalam Riyanto, Korupsi dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya, Disertasi, Pascasarjana IPB, 2008, Hal 28. 96 Ackerman SR. Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2006.
57
keuntungan pribadinya, hal ini untuk mendapatkan pendapatan tambahan (extra income) untuk kebutuhan dasar, namun akhirnya berkembang menjadi upaya memperkaya diri. Shleifer dan Vinshy97 menjelaskan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian, karena korupsi bersifat rahasia (secretive) , walaupun bersifat seperti pajak, namun tidak sama karena korupsi menghindari penditeksian, uang suap sebagai sebuah kontrak tidak bisa dikuatkan di pengadilan. Dan ini membuat orang yang disuap untuk ingkar dan bahkan meminta suap yang lebih tinggi lagi. Beberapa pejabat yang disuap mungkin khawatir terhadap reputasi, namun kebanyakan dari mereka tidak peduli. Lambsdorff98 berpendapat bahwa korupsi dapat dipahami sebagai bentuk perlakuan istimewa oleh para pembuat keputusan publik. Hal tersebut mengundang pihak swasta untuk mencoba mendapatkan keuntungan dari rente ekonomi yang dihasilkan dan bersaing satu sama lain dengan membayar suap. Dibandingkan dengan lobi kompetitif, korupsi umumnya dijelaskan sebagai bentuk monopoli rent-seeking. Rente disebut korupsi ketika kompetisi untuk perlakuan istimewa terbatas pada beberapa orang dalam. Nihjar99 Corruption In Less Developed Countries:a study on the problem and solution of Corruption in Indonesia. Nihjar mendeskripsikan ide-ide dasar pemberantasan korupsi yang melihat dari faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu pertama, sistem administrasi yang memberikan peluang terjadinya kebocoran. Kedua, tingkat kesejahteraan aparatur rendah, hukum yang belum cukup
untuk
menangani
perkembangan
korupsi
yang
merajalela,
dan
kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Pencegahan dan penanggulangan yang perlu di tempuh dengan pendekatan multidimensional dan interdisipliner, dalam tiga kategori; (1) penyempurnaan dan pembaruan sistem administrasi,(2) kenaikan kesejahteraan aparatur (3)pembaruan sistem hukum pidana nasional untuk mencegah kolusi. 97
Shleifer A, Vinshy RW. Corruption. The Quarterly Journal of Economics, Vol 108, No.3.(Aug,1993), 1993, pp 559-617. 98 Lambsdroff JD, Corruption and Rent Seeking. Nedherlands: Kluwer Academic Publisher, Public Choice113, 2002, Hal 97-125. 99 Nisjar, K. Corruption In Less Developed Countries (a study on the Problem and Sollution of Corruption in Indonesia), Jurnal Akuntansi 4(3), September, 2005, hal 260-265.
58
Riyanto100 menganalisis Korupsi dalam Pembangunan Wilayah, dengan pendekatan faktor ekonomi politik dan budaya, hasilnya adalah lemahnya akuntabilitas politis seperti birokrasi di daerah (kabupaten/kota) dan beberapa faktor seperti euphoria demokrasi/otonomi ekonomi telah memunculkan berbagai masalah perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi sehingga peraturan daerah yang muncul cenderung bias kepentingan eksekutif (birokrat) dan legislatif serta kelompok kepentingan tertentu. Maka bibit korupsi sudah muncul sejak perumusan regulasi (by design) dan kemudian terjadi pada saat pelaksanaan dan pengawasan. Korupsi demikian seolah-olah legal (Legalized Corruption). Faktor ekonomi politik dan budaya feodalilistik-paternalistik terwujud dalam budaya birokrasi patrimonial yang berpengaruh terhadap terjadinya korupsi. Selain itu, Riyanto juga mendeskripsikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada era otonomi daerah ternyata tidak berkualitas, hal tersebut karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada masa otonomi daerah tidak mampu menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Sedangkan penelitian kuantitatif yang mencoba mengukur dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan variabel korupsi (indeks persepsi korupsi) adalah Mauro101 pertamakali meneliti dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi, dalam Corruption and Growth menggunakan data panel indeks persepsi korupsi Business International (BI) dari 70 negara, pada periode 1960-1985. Metode analisis dengan two-stage least squares regression (2SLS) dan Ordinary Least Square (OLS). Hasilnya adalah terdapat hubungan negatif dan signifikan antara korupsi dan pertumbuhan rata-rata tahunan, pada periode 19601985, juga antara korupsi dan investasi. Rahman, Kisunko, Kapoor102 dengan judul Estimating The Effect of Corruption Implications for Bangladesh. Data yang digunakan adalah indeks korupsi dari International Country Risk Guide (ICRG) index pada periode 19901997 pada 63 negara di dunia. Dengam model panel statis . Hasilnya Korupsi
100
Riyanto. Korupsi dalam pembangunan ekonomi wilayah: suatu kajian ekonomi politik dan budaya. Disertasi. Pascasarjana IPB. 2008. 101 Mauro P. Corruption and growth, Quarterly Journal of Economics 110(3): 681-712.1995. 102 Rahman A, Kisunko G, Kapoor K. Estimating the effect of Corruption Implication for Bangladesh.World Bank Report . 2000. www.worldbank.org
59
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi (asing dan domestik). Dewi103 menganalisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi Domestik dan Foreign Direct investment. Dalam model pertumbuhan variabelvariabel bebas yang digunakan adalah GDP/kapita, populasi, pendidikan dan indeks korupsi. Data indeks korupsi yang digunakan adalah indeks korupsi dari Political Economics Risk Concultancy pada 11 negara di asia tahun 1995-2000. metode analisis dengan panel statis . Hasilnya adalah Korupsi berhubungan negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi domestik, dan berhubungan negatif, namun tidak signifikan terhadap FDI. Maksudnya walaupun negatif namun investor asing lebih mempertimbangkan faktor lain seperti cost of doing business di Asia yang lebih kompetitif dibandingkan kawasan lain. Swaleheen dan Stansel104, dengan judul Economic Freedom, Corruption, and Growth. Data yang digunakan adalah data panel 60 negara. Dengan metode regresi panel dynamic. Dimana dalam modelnya menggunakan variabel utama Growth (diproksi dengan pertumbuhan GDP perkapita) dan Korupsi ( indeks korupsi dari International Country Risk Guide/ICRG) variabel bebas lainnya adalah investasi, economic freedom dan variabel kontrol (x) misalnya seperti tingkat pertumbuhan populasi. Hasilnya Korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, ketika pelaku ekonomi memiliki pilihan yang sedikit/ kebebasan ekonomi rendah, Korupsi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila memiliki banyak pilihan/kebebasan ekonomi tinggi. Prahara105menganalisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Barat, walaupun tidak menyertakan variabel korupsi, namun penelitian ini menggunakan model pertumbuhan regional yang mengacu
pada
model
pertumbuhan
Mankiw,Romer,Weil
(MRW)
yang
menyertakan human capital sebagai salah satu faktor determinan, yang di proksi dengan angka harapan hidup (AHH) untuk tingkat kesehatan, dan angka melek 103
Dewi. Analisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi Domestik dan Foreign Direct investment .Tesis. FEUI. 2002. 104 Swaleheen M, Stansel D, Economic Freedom, Corruption and Growth, Cato Journal,.27(3), 2007, hal 343-258. 105 Prahara G. Analisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. Tesis. Pascasarjana FEM IPB. 2010.
60
huruf (AMH) juga rata-rata lama sekolah (RLS) untuk tingkat pendidikan. Dalam penelitiannya faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan anggaran pembangunan/modal (LNAPBD), peningkatan angka harapan hidup (LNAHH), peningkatan angka melek huruf (LNAMH), peningkatan rata-rata lama sekolah (LNRLS), pertumbuhan jumlah penduduk (LNPNDDK), peningkatan panjang jalan (LNPJLNT), peningkatan produksi listrik (LNPPLN). Hasilnya adalah APBD, PDDK, AHH positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan AMH, RLS, PJLNT dan PPLN tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu, dalam penelitian ini pembahasan korupsi difokuskan pada korupsi di daerah (termasuk korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) yang terjadi di salah satu daerah di Indonesia (Provinsi Banten), yang diduga penyebabnya adalah faktor dalam proses politik di daerah dari maraknya rent seeking behavior oknum pelaku ekonomi dan pemegang kekuasaan, dan juga sekaligus menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di level daerah. Selama ini penelitian-penelitian
yang
ada
menganalisis
dampak
korupsi
terhadap
pertumbuhan ekonomi dengan cakupan lintas negara, sedangkan penelitian ini menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia pada masa otonomi daerah di tahun 2008 dan 2010, hal ini seiring dengan dikeluarkannya indeks persepsi korupsi daerah 50 kabupaten/ kota pada tahun 2008 dan 2010 di Indonesia.
.
61
2.3 Kerangka Pemikiran Otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya UU Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomer 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, ternyata mengalami banyak permasalahan dalam implementasinya, salahsatunya adalah terkuaknya berbagai kasus korupsi di daerah dengan pelaku korupsi sebagian besar adalah para pemegang kekuasaan di daerah, dengan objek yang di korupsi adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiscal decentralization). Dalam penelitian ini akan membahas aspek politik dan fiskal yang kemudian nanti akan berkaitan dengan permasalahan korupsi. Desentralisasi politik memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pemilihan kepala daerah. Korupsi APBD ditenggarai disebabkan tingginya biaya dalam proses politik yang akhirnya menciptakan banyaknya aroma ketidakberesan dalam pelaksanaanya. Misalnya, sebelum seorang kepala daerah terpilih bahkan dalam banyak kasus sudah melakukan jenis korupsi gratifikasi, berupa politik uang. Untuk menangkap gambaran korupsi APBD di daerah, maka diperlukan cakupan sampel yang lebih sempit, maka studi kasus dugaan korupsi APBD dilakukan di salahsatu daerah di Indonesia, yaitu di provinsi Banten, menggunakan analisis teori ekonomi perburuan rente (economic rent seeking theory). Provinsi Banten baru-baru ini melakukan pilkada untuk pemilihan Gubernur. Berdasarkan pemberitaan media massa dan hasil temuan ICW ada beberapa kejanggalan pembiayaan kampanye dalam proses pilkada tersebut, dan juga telah terjadi politik uang dengan berbagai modus operandi. Kejanggalan dalam pesta demokrasi tersebut disusul temuan berikutnya yaitu dugaan korupsi terhadap APBD 2011 yang melibatkan pos dana bantuan sosial dan hibah. Perburuan rente ekonomi oleh individu/kelompok kepentingan terhadap APBD Provinsi Banten diduga telah terjadi. Politik uang dilakukan dengan membagikan uang, barang, atau janjijanji kepada para calon pemilih. Besarnya biaya dalam proses kampanye
62
mendorong para calon kepala daerah untuk mendapatkan dukungan pembiayaan
dari
berbagai
sumber
yang
illegal,
misalkan
dengan
memanipulasi anggaran dan mendapatkan pembiayaan dari kalangan swasta yang memiliki kepentingan tertentu, dari sini politisi dan swasta sama-sama bertindak menjadi pemburu rente Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemilihan kepala daerah, pada akhirnya melahirkan pemerintah daerah yang akan memiliki kewenangan dalam aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan daerah (dalam penelitian ini adalah peraturan daerah tentang APBD). Namun peraturan daerah yang akan ditetapkan tidak lagi murni bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi untuk menguntungkan segelintir pihak berkepentingan yaitu para pencari rente. Para pencari rente ekonomi dalam hal ini adalah mereka yang telah menginvestasikan uang mereka pada proses politik sebagai dukungan pembiayaan bagi para calon kepala daerah, dan juga para politisi itu sendiri. Dengan adanya desentralisasi fiskal yang merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi, maka daerah memiliki otoritas dalam menentukan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri. APBD yang terbentuk berdasarkan berbagai keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Sejak APBD dirancang, saat itulah korupsi juga mulai direncanakan. Korupsi didaerah yang terjadi pada akhirnya memberikan dampak nyata terhadap pembangunan ekonomi regional maupun nasional. Indikator utama pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi, maka pada penelitian ini dampak korupsi dibatasi pada pertumbuhan ekonomi regional. Terakhir adalah melakukan evaluasi kebijakan.
63
Otonomi Daerah
Desentralisasi Politik
Money politics
Desentralisasi Adiministrasi
Pilkada
Otoritas daerah menentukan pendapatan dan belanja daerah
Pemerintah Daerah Analisa Deskriptif dan kualitatif :
Desentralisasi Fiskal
APBD
Peraturan Daerah
Korupsi
Perburuan Rente ekonomi
Analisa Kuantitatif: Dampak Korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia
Evaluasi Kebijakan Gambar 9. Kerangka pemikiran Ket :
64
: Variabel yang diteliti
: lingkup penelitian regional (Banten)
: Variabel yang tidak diteliti
: lingkup penelitian nasional (Indonesia)
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data yaitu data primer dan sekunder dari berbagai sumber untuk dua metode penelitian yang berbeda yaitu kualitatif dan kuantitatif (mixed method) sehingga diharapkan dapat menjelaskan fenomena korupsi di daerah yang terjadi di Indonesia. Lokasi penelitian dalam studi kasus korupsi adalah Provinsi Banten yang dipilih secara purposive, yaitu metode pengambilan sampel lokasi secara sengaja dengan mempertimbangkan tujuan penelitian, sedangkan untuk mengukur dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional menggunakan lingkup nasional dengan sampel 48 kabupaten/kota provinsi di Indonesia sesuai dengan data persepsi korupsi yang diperoleh dari Transparency International.
3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, Data Primer yang diambil sesuai dari kebutuhan penelitian yaitu hasil dari wawancara mendalam (in depth interview) kepada beberapa informan terkait. Data sekunder yang digunakan diambil dari dokumen-dokumen terkait seperti pemberitaan media massa, hasil penelitian, Indonesian Corruption Wacth (ICW), Transparency Internasional, Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat jendral Perimbangan Keuangan (DJPK), Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Banwaslu) dan KPUD (Komite pemilihan Umum Daerah). Data yang diperlukan pada penelitian ini disusun berdasarkan tujuantujuan penelitian, jenis data, informasi yang diperlukan dan sumber data, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 2.
65
Tabel 2. Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data yang diperlukan Tujuan Penelitian Menganalisis korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di pemerintah Provinsi Banten .
Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia.
Jenis Data Primer Sekunder
Sekunder
Data dan Informasi yang diperlukan 9 Mekanisme korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi. 9 Data Audit LKPD Provinsi Banten TA 2011. 9 Data Audit Investigasi Dana Hibah Bansos Pemprov Banten TA 2011 9 Data Laporan Penerimaan dan Pengeluran Dana Kampanye. 9 Peraturan Terkait Dana Hibah dan Bansos. 9 Data Laporan Monitoring Pilkada Banten 2011. 9 Data Laporan Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah Bansos 2011 9 Data penerima Bansos Hibah Banten 2011 9 Data Pemenang proyek APBD tahun 2012 9 PDRB menurut harga konstan tahun 2000 9 Corruption Perception Indeks 9 APBD Belanja Modal 9 Penduduk 9 Angka Melek Huruf 9 PMTB Provinsiprovinsi 9 ICOR Provinsi Banten
106
Daftar informan tersedia pada lampiran 1.
66
Sumber data 9 Informaninforman terkait106 9 BPK RI 9 BPK RI
9 KPUD 9 BANWASLU 9 BAPPEDA 9 ICW 9 ICW
9 DPKAD 9 Layanan Pengadaan Secara Elekronik (LPSE) Provinsi Banten 9 BPS 9 TII 9 DJPK 9 BPS 9 BPS 9 BPS 9 BPS Provinsi Banten
3.2 Metode Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu kualitatif dan kuantitatif, hal ini dikarenakan salah satu faktor penyebab korupsi APBD adalah pilkada yang tidak berkualitas, maka disinilah diperlukan analisa ekonomi politik, dimana blok politik yang sebagian besar datanya kualitatif menyebabkannya kerugian dalam blok ekonomi yang sebagian besar datanya kuantitatif. Maka penelitian ini mencoba menganalisis dengan dua metode tersebut (mixed methods) agar dapat menjelaskan fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia. Metode deskriptif dan kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis mekanisme perburuan rente dalam kasus korupsi APBD di Provinsi Banten. Analisis Deskriptif disajikan dalam bentuk table dan grafik untuk memudahkan pemahaman dan penafsiran. Metode peramalan kualitatif di dalam prosedurnya melibatkan pengalaman, judgements, maupun opini sekelompok orang yang pakar dibidangnya. Termasuk di dalam metode ini antara lain teknik sales-force composite (agregasi ramalan dari setiap individu) dan teknik delpi (mengumpulkan pendapat dari pakar secara iterarif). Sedangkan, metode kuantitatif dengan regresi panel statis dalam penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia.
3.2.1 Metode Analisis Mekanisme Rent Seeking Economic Activity Pembahasan pada penelitian ini akan diawali dengan mendeskripsikan gambaran umum korupsi di daerah yang terjadi di Indonesia dan gambaran umum Provinsi Banten. Untuk menjelaskan salah satu penyebab terjadinya korupsi APBD di suatu daerah, maka perlu dilakukan analisis terhadap aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economic activity). Penelitian ini fokus pada fenomena korupsi yang terjadi di daerah yang bersumber dari APBD. Korupsi APBD dalam hal ini adalah korupsi yang terjadi pada pos-pos yang terdapat dalam APBD. Korupsi mencakup perilaku koruptif (corruptive behavior) yang berbentuk aktivitas pencarian
67
rente, dengan analisis yang dilakukan yaitu dengan
pendekatan analisa
ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara fenomena politik dan fenomena ekonomi. Seperti pada masa Orde Baru, dalam era otonomi daerah pola-pola akumulasi kekuasaan politik dan kekayaan ekonomi berbasis rent seeking tetap tumbuh subur. Kewenangan yang tinggi yang tidak diiringi dengan meningkatnya akuntabilitas politik, adiministrasi, dan profesionalisme pemerintah daerah, justru memicu terjadinya korupsi yang berasal dari perilaku pencarian rente. Duduknya pengusaha-pengusaha besar dalam partai politik memperlihatkan kuatnya kendali korporasi terhadap partai politik dan pemerintah, sementara birokrasi telah menjelma dari jejaring rente pengusaha besar (yang berperan sebagai pendana politik pada masa orde baru) menjadi aktor-aktor penentu kebijakan publik dewasa ini. Konfigurasi politik nasional dewasa ini dapat disebut sebagai struktur pencarian rente pada masa orde baru107. Ekonomi Perburuan rente ini biasanya selalu melibatkan pihak pemerintah yang mempunyai wewenang dalam membuat suatu regulasi. Para pengusaha/individu/kelompok berkepentingan memanfaatkan informasi yang tidak sempurna dari masyarakat untuk mendapatkan keuntungan di atas normal (supernormal profit) dengan memberikan uang pelicin kepada oknum pejabat yang terkait. Korupsi pada pemerintahan daerah pada era desentralisasi fiskal meningkat sejalan dengan fakta bahwa makin banyaknya peraturan-peraturan baru yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, khususnya pajak, retribusi, dan berbagai perizinan serta kebijakan (regulasi) di daerah yang diciptakan sebagai aturan semu (artificial) agar pejabat lokal (birokrasi lokal) bersama dengan kelompok kepentingan tertentu memperoleh peluang ,mendapatkan rente ekonomi sebesar-besarnya108. Berbagai peraturan daerah bermasalah adalah sinyalemen adanya perilaku pencarian rente yang memicu meluasnya korupsi di berbagai daerah dewasa ini. 107 108
Simanjuntak dalam Riyanto, Loc.cit, hal 6. Henderson dan Kuncoro dalam ibid.
68
Adanya aktivitas berburu rente di suatu daerah ini perlu dibuktikan. Karena kasus korupsi yang begitu banyak,
sebaran populasi yang luas,
keterbatasan waktu dan biaya, maka perlu memperkecil lingkup penelitian dalam suatu kasus APBD di daerah, yaitu dengan studi kasus. Studi kasus adalah strategi penelitian yang ideal bila diperlukan kajian yang sifatnya holistik dan mendalam. Studi kasus bersifat multi metode, karena dirancang untuk menunjukan suatu masalah secara terperinci dari sudut pandang peneliti dengan menggunakan berbagai sumber data. Metode penelitian studi kasus lazimnya akan memadukan metode pengamatan, wawancara, dan analisis dokumentasi109. Kasus yang akan dianalisis adalah dugaan korupsi APBD pada tahun 2011 di daerah Provinsi Banten, Provinsi Banten dipilih secara purposive karena memenuhi beberapa kriteria, yaitu; (1) Banyak pemberitaan tentang kasus korupsi dan dugaan korupsi yang terjadi di daerah ini pasca otonomi daerah yang telah dipublikasikan oleh media massa, (2) Provinsi Banten baru-baru ini melakukan Pemilihan Kepala Daerah dan diduga terjadi banyak penyimpangan dalam prosesnya. Hal ini untuk membuktikan apakah benar terjadi politik biaya tinggi (high cost politic) yang melibatkan aktivitas perburuan rente dari oknumoknum pemerintah dan swasta dan akhirnya nanti memicu terjadinya korupsi APBD (high cost economy), dan (3) Adanya keterbatasan waktu dan biaya penelitian maka letak wilayah Banten yang terletak tidak jauh, dianggap ideal untuk penelitian studi kasus. Kasus di daerah Provinsi Banten yang dipilih adalah dugaan korupsi Pemilihan Kepala Daerah tahun 2011 dan Korupsi pos Dana Hibah dan Bantuan Sosial dari APBD 2011, oleh karena itu dibutuhkan narasumber yang akurat
sehingga dapat dilakukan wawancara mendalam (in depth
109
Thomas Nugroho, Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat :Studikasus diKabupaten Karawang Subang dan Kabupaten Garut Ciamis, Tesis, IPB, 2004, hal 46.
69
interview) kepada informan-informan yang mengetahui masalah para pemburu rente, dan analisis terhadap dokumen-dokumen terkait. Pengambilan sampel informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling, yaitu teknik penentu sampel yang digunakan apabila jumlah sampel yang diketahui hanya sedikit. Dari sampel yang sedikit tersebut, maka kemudian akan digali informasi adanya sampel lain dari yang dijadikan sampel terdahulu, sehingga semakin lama jumlah sampel yang ada semakin banyak110. Seperti bola salju yang menggelinding semakin lama bola salju tersebut semakin besar. Snowball sampling ini dilakukan karena tidak semua orang bersedia mengungkap mekanisme korupsi APBD dalam
rent seeking economic
activity sehingga dibutuhkan para informan yang akurat untuk menggali informasi yang akurat terhadap masalah tersebut. Wawancara dilakukan dengan mengambil sampel informan-informan yang mengetahui secara lengkap permasalahan perburuan rente dalam dugaan kasus korupsi di daerah. Maka informan-informan tersebut akan dipilih dari berbagai kalangan yaitu pejabat publik (eksekutif, legislatif), Akademisi, Banwaslu dan ICW. Selain wawancara dilakukan juga review terhadap dokumen terkait seperti pemberitaan media massa, hasil penelitian, dokumen-dokumen pemerintahan, dan lainnya. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan111. Analisa terhadap studi kasus tersebut dibagi dalam beberapa tahap (Gambar 10), yaitu: Tahap pertama, tahap penyusunan kronologis peristiwa, pihak yang terlibat, pengungkapan, dan penanggulangan terhadap kasus tersebut.
110
Sugiyono, Metode Penelitian kombinasi (Mixed method), Bandung:Alfabeta, 2011, hal 127. 111 Ibid, hal 191.
70
Analisis data‐data dengan teori dan nalar Investigasi pola perburuan rente/korupsi (wawancara snowball sampling) Penyusunan Kronologis Peristiwa Gambar 10. Tahapan Analisa Studi Kasus Korupsi APBD dalam Perburuan Rente Ekonomi. Setelah tahap pertama selesai disusun, tahap kedua adalah mengidentifikasi
pertanyaan-pertanyaan
menyangkut
bagaimana
pola/mekanisme terjadinya perburuan rente yang mendorong korupsi APBD, yang dilakukan melalui wawancara. Tahap ketiga, setelah data-data tersebut terkumpul maka peneliti melakukan analisa terhadap kasus yang diteliti untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian.
3.2.2 Model Regresi Data Panel Pertumbuhan Ekonomi Dalam menganalisis dampak praktek korupsi di daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional, menggunakan variabel dependen indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional Indonesia, seperti yang dipaparkan sebelumnya. Data tersebut merupakan rata-rata indeks dari berbagai variabel, termasuk diantaranya mengukur persepsi tentang suap, persepsi korupsi dan usaha pemerintah daerah dalam memberantas
korupsi.
Data
tersebut
tersedia
secara
regional
per
kabupaten/kota sejak 2004-2010 (setiap dua tahun sekali), namun baru tersedia sebanyak 50 kabupaten/kota dengan metode survey yang sama pada tahun 2008 dan 2010. Model umum pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari model pertumbuhan Mankiw, Romer, Weil /MRW (1992), dimana: Y= AF (K,L,H)………...…………………………………………………(3.0)
71
Dalam Bhinadi (2003) persamaan MWR (1992) dituliskan secara linear menjadi sebagai berikut: Y =g +αK +βH +(1-α-β)L …………………………….………...………(3.1) Dimana, β = kontribusi human capital terhadap output agregat Y = pertumbuhan output, K = pertumbuhan kapital, L = pertumbuhan tenaga kerja yang ada di wilayah tersebut, H =pertumbuhan kualitas sumber daya manusia yang di proksi dengan educational attainment pendidikan menengah/lanjutan (secondary education) di wilayah tersebut, g =pertumbuhan produktivitas faktor total (TFPG) yang mencerminkan tingkat teknologi di wilayah tersebut dan merupakan intersep dalam persamaan regresi. Dari model umum pertumbuhan ekonomi di atas dikembangkan lagi dengan menambahkan beberapa variabel yang diduga memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi di daerah. Mengacu pada penelitian Prahara (2010) dimana salah satu tujuan penelitiannya adalah mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Kalimantan Barat. Pertumbuhan output diproksi dengan pertumbuhan output perkapita (LnPDRB), sedangkan faktor-faktor determinan pertumbuhan output daerah yang digunakannya yaitu anggaran pembangunan/modal (APBD), angka harapan hidup (AHH), angka melek huruf (AMH), rata-rata lama sekolah (RLS), jumlah penduduk (PDDK), panjang jalan (PJLN), produksi listrik (PPLN). Dengan analisis fixed effect model, hasilnya menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi positif dipengaruhi secara signifikan oleh variabel anggaran pembangunan/modal, penduduk dan angka harapan hidup. Sementara angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, panjang jalan dan produksi listrik tidak signifikan. Karena variabel dependen anggaran pembangunan/modal (APBD) dan penduduk (POP) signifikan dalam penelitian Prahara, maka akan digunakan dalam penelitian ini sebagai proksi dari kapital dan kuantitas human capital,
72
sedangkan Angka Melek Huruf (AMH) walaupun tidak signifikan tetap digunakan karena tidak ingin menghilangkan proksi pendidikan sebagai kualitas human capital. Dengan demikian, hasil modifikasi persamaan pertumbuhan ekonomi daerah berubah menjadi persamaan berikut: Ln PDRB = β
β LnAPBD +β POP
β AMH
Model Rahman,et.al (2000) dalam
ε ……………….(3.2)
Dewi (2002) menganalisis
Pengaruh Korupsi Terhadap pertumbuhan, Investasi Domestik dan Foreign Direct investment. Dalam model pertumbuhan ekonomi lintas negara variabel-variabel yang digunakan adalah Growth (variabel dependen) kemudian GDP/kapita, populasi, pendidikan dan indeks korupsi (variabel independen). Variabel independen GDP/kapita yang digunakan bertujuan melihat besarnya tingkat pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut. Dengan analisa Random Effect Model, hasil penelitian Dewi (2002) adalah Korupsi dan populasi berhubungan negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan GDP/kapita dan pendidikan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dilakukan penambahan variabel korupsi dalam model karena sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi pada level daerah di Indonesia. Dengan demikian model umum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: PDRB = f (APBD, CORR, POP, AMH )…………………...……………(3.3) Kemudian penambahan Ln pada model bertujuan untuk menghindari bias intrepretasi karena variabel-variabel yang digunakan dalam model memiliki satuan yang beragam, maka model yang digunakan dalam persamaan ini adalah: Ln PDRB = β
β LnAPBD +β CORR +β LnPOP +β AMH
ε
(3.4)
Dimana: LnPDRB
= Peningkatan Produk Domestik Regional Bruto menurut harga konstan tahun 2000 kab/kota ke-i pada tahun t (persen).
LnAPBD
= Peningkatan Belanja Modal dalam APBD di kab/kota ke-i pada
73
tahun t (persen). CORR
= Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kab/kota ke-i pada tahun t (angka indeks).
LnPOP
= Peningkatan Penduduk kab/kota ke-i pada tahun t (persen).
AMH
= Angka Melek Huruf kab/kota ke-i pada tahun t (persen)
3.2.2.1 Hipotesa Hipotesa yang dirumuskan dari model diatas adalah sebagai berikut: 1. Diduga APBD, POP, AMH akan berdampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. 2. Diduga CORR akan berdampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
3.2.2.2 Metode Analisis Regresi Data Panel Pendekatan crosssection hanya mengamati satu waktu sehingga perkembangan ekonomi wilayah-wilayah tersebut antar waktu tidak terlihat, kelemahan tersebut memotivasi penggunaan model time series Penggunaan data time series dapat melihat perkembangan antarwaktu namun hanya dari satu unit individu, sehingga bisa membuat hasil estimasi bias. Untuk mengatasi kedua kelemahan pendekatan tersebut maka digunakan pendekatan data panel, yaitu data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (time). Baltagi112 mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut: 1.
Mampu mengontrol heterogenitas individu, dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu;
2.
Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien;
112
Baltagi,.Econometric Analysis of Panel Data: third Edition,John Wiley and Sons.Ltd. England, 2005, hal 4-7.
74
3.
Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis;
4.
Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja
Keterbatasan-keterbatasan dari data panel 113 diantaranya adalah: 1.
Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), non response, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara;
2.
Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors), hal ini umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai;
3.
Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut : a. Self selectivity adalah permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada; b. Non response adalah permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden; dan; c. Attrition adalah jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden terlalu tinggi
4.
Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu;
5.
Cross section dependence. Sebagai contoh apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang
113
Ibid, hal 7-8.
75
mengabaikan cross country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference). Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak. Terdapat dua pendekatan yang umum di aplikasikan dalam data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM) keduanya dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (regressor). Pada one way, error term hanya memasukan efek dari individu (λi). Pada two way, error term dimasukan efek dari individu (λi) dan waktu (μt). Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi dari λi dan μt terhadap X a. Fixed Effect Model (FEM)114 FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intercept. Untuk one way komponen eror: yit = αi +λi+Xitβ+u it………………………….………………………...…(3.5) Sedangkan untuk two way komponen eror : yit = αi +λi+μt+Xitβ+u it………………………………………………...…(3.6) Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy varibel (LSDV), dan two way error component fixed effect model . b. Random Effect Model (REM)115 REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen eror dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam eror. 114
Firdaus M, Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series, Bogor: IPB Press, Hal 187,2011. 115 Ibid, hal 192-194.
76
Untuk one way komponen eror yit = αi +Xitβ+u it+λi …………………………………………...…………(3.7) Untuk two way komponen eror yit = αi +Xitβ+u it+λi+μt…………………………………...………………(3.8) Asumsi yang digunakan dalam REM adalah: E
|τi = 0
E
τi = σ
E τi|
= 0 untuk semua i dan t
E τ
= σ untuk semua i dan t
Dimana untuk one way eror component: τi= λi E
τj
= 0 untuk semua i, t dan j
E
= 0 untuk i ≠ j dan t ≠ s
E τ τj
= 0 untuk i ≠ j Dari semua asumsi di atas, yang paling penting adalah E τi|
= 0.
Pengujian asumsi ini menggunakan hausmant test. Uji hipotesis yang digunakan adalah Ho : τi|
= 0 tidak ada korelasi antara komponen eror dengan peubah
bebas H1 : τi|
≠ 0 ada korelasi antara komponen eror dengan peubah bebas
H=(
)(
)-1 (
) x2 (k)
Dimana: M = matriks kovarians untuk parameter β k = derajat bebas Jika H >
maka komponen eror mempunyai korelasi dengan peubah
bebas dan artinya model yang valid digunakan adalah REM Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan between estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS). Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan jika menggunakan model data panel adalah pemilihan model yang paling baik antara fixed effect model(FEM) atau random effect model (REM) dilakukan dengan Hausman test. Hipotesis yang dibangun dalam uji sebagai berikut: Ho = REM H1 = FEM 77
Sebagai
dasar
untuk
menolak
Ho,
statistik
hausman
akan
diperbandingkan dengan nilai chi square. Jika statistik hausman lebih besar dari nilai chi square, maka hipotesis nol ditolak, sehingga model yang digunakan FEM, begitu juga sebaliknya.
78
4. GAMBARAN UMUM Pada bab ini, peneliti akan menguraikan gambaran umum korupsi daerah di Indonesia, dan
gambaran umum Provinsi Banten yang akan
dijadikan sampel dalam studi kasus korupsi di daerah. Kedua hal ini sangat penting diuraikan karena dapat memberikan gambaran latar belakang korupsi daerah dan juga kondisi wilayah penelitian untuk studi kasus yang diangkat. Gambaran Umun Provinsi Banten yang akan diuraikan mencakup kondisi struktur sosio-budaya dan ekonomi politik daerah.
4.1 Gambaran Umum Korupsi di Daerah (Termasuk yang bersumber dari APBD) di Indonesia. Otonomi daerah menghasilkan penyedotan anggaran yang besar ke daerah, berbagai kritik bermunculan terhadap otonomi daerah, selain memang sistemnya sendiri belum sempurna, dan pelaksanaannya seperti tergesa-gesa, tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat yang diharapkan juga terjadi karena adanya faktor yang paling jelas menjadi fenomena yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah, yaitu realitas korupsi di daerah yang semakin merajalela dan sistematis. Penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya oleh para elite-elite tertentu di daerah, membelokan gerbong otonomi daerah dari jalur yang seharusnya dilalui. Pemerataan distribusi korupsi di Indonesia setelah adanya pelimpahan kekuasaan dari pusat ke daerah semakin menunjukan kebenaran tesis Lord Acton ketika menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton pada tahun 1887 yang mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men”116. Surat tersebut menyatakan bahwa kekuasaan cenderung menghasilkan korupsi, dan kekuasaan yang mutlak sudah pasti korupsi juga mutlak, orang hebat hampir selalu orang yang buruk. Pada praktek kekuasaan dengan pengendalian dan pengawasan yang buruk cenderung akan menghasilkan korupsi, misalnya pada masa OrBa ketika kekuasaan negara sentralistik, banyak terjadi berbagai praktek 116
Sulistio F, Loc.cit, hal 1.
79
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh para penguasa negara yang bertujuan untuk memupuk kekayaan karena kontrol dan akses negara ada di tangan mereka. Jaringan patronase negara yang di bangun pada rezim Soeharto di kalangan elite politik, kelompok bisnis dan birokrat, telah berhasil menimbun kekayaan bagi diri mereka sendiri melalui sistem yang korup. Seiring dengan bergulirnya reformasi, jaringan patronase yang telah di bangun pada masa OrBa tidak hilang begitu saja, namun terwariskan ke kekuasaan yang terdesentralisasi. Tahap Penyempurnaan kediktatoran Soeharto pada masa OrBa adalah suatu keluarga oligarki kesultanan117, rezim Soeharto mengeruk kekayaan negara dan kebal hukum. Kekuasaan saat itu berada di tangan Soeharto atas segala sumber kekayaan dan akses negara, dan dia membagikan berbagai proyek, lisensi agen tunggal, proteksi tarif, monopoli pasar dan impor, serta konsesi penebangan hutan dan pertambangan, kepada keluarga dan koncokonconya. Sifat dari oligarki terwariskan pada Orde reformasi. Sistem politik yang demokratis saat ini justru menyediakan arena terbuka bagi persaingan antar oligarki. Rezim Soeharto juga membiarkan berlangsungnya korupsi dalam tubuh birokrasi atas anggaran negara, yang dianggap dapat menjinakan lapisan birokrasi atas ketidakpuasan politik. Dengan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi, maka penyimpangan meluas. Lapisan atas birokrasi memiliki wewenang atas berbagai izin usaha, pajak, pembangunan dan alokasi proyek, sedangkan para pegawai birokrasi menjalankan layanan administrasi, yang tidak dapat di lepaskan dari aktivitas keduanya adalah adanya imbalan yang harus diberikan. Imbalan bagi lapisan atas menandai adanya “budaya suap”, sedangkan bagi para pegawai birokrasi menandai adanya “budaya pungutan”. Para pelaku bisnis pun tidak mau kalah, bagi
117
Oligarki (pemerintahan oleh segelintir orang) kesultanan / Sultanik Oligarchies lebih cenderung menggabungkan kekuatan paksa dan mesin ekonomi untuk mengendalikan Oligarki-oligarki lain dibawahnya agar tunduk pada oligarki utama, dan bagaimana satu keluarga ini mengeruk kekayaan negara dan kebal hukum dalam Winters JA, Oligarkhi, Jakarta:Gramedia,2011,hal 229-257.
80
yang membutuhkan keamanan bagi aset mereka, mereka membayar “uang keamanan” untuk aparat keamanan. Korupsi diperparah dengan permainan kasus yang ditangani aparat penegak hukum maupun kehakiman, yang biasa disebut dengan “mafia peradilan”,
sedangkan
lembaga
legislatif
melakukan
4D
(datang,duduk,diam,duit). Rezim otoriter membuat sikap politisi maupun birokrat terhadap penguasa tertindas. Para bawahanpun melakukan “budaya menjilat” semata-mata untuk menyenangkan atasan. Banyaknya upeti dan dana politik yang dikumpulkan mengalir untuk mendapatkan rangkaian dukungan, dan pada akhirnya Pemilu yang diselenggarakan hanyalah sebuah sandiwara demokrasi118. Orde baru telah meletakan dasar-dasar korupsi yang sifatnya sistemik, sehingga otonomi daerah dewasa ini mewariskan pola korupsi orde baru, hal ini merupakan hambatan bagi tercapainya cita-cita reformasi. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah memunculkan patron-patron politik baru dan peningkatan peran parlemen terutama dalam penyusunanan anggaran. Kini pemerataan distribusi korupsi mulai dari eksekutif dan jajarannya, legislatif, lembaga peradilan (yudikatif) di pemerintah pusat hingga lembaga-lembaga tersebut yang berada di pemerintah daerah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengungkapkan 10 sektor area rawan korupsi119 yakni APBN/APBD, sektor pengadaan barang dan jasa, sektor pajak, sektor kepabeaan dan bea cukai, sektor minyak dan gas, sektor keuangan dan perbankan, sektor Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, sektor pendapatan/penerimaan negara, sektor pelayanan umum,dan sektor instansi lembaga dengan alokasi anggaran besar. Namun yang harus menjadi prioritas penanganan Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lima area pertama. Presiden menghimbau bahwa pencegahan dan penanganan yang sangat serius harus dilakukan terhadap korupsi yang merugikan APBN dan APBD. 118
Harman BK, Negeri Mafia Republik Koruptor :Menggugat Peran DPR Reformasi, Jakarta :Lamalera, hal 106-110. 119 Sitongga LT, Presiden SBY:Ini Dia 5 Sektor Rawan Korupsi, Rabu 25 Juli 2012, http://www.bisnis.com/artikel, 13/9/2012.
81
Mengapa demikian? karena Anggaran merupakan amanah dari rakyat yang dititipkan kepada eksekutif maupun legislatif untuk kesejahteraan rakyat, karena sumber-sumber APBD adalah Pajak merupakan
pungutan
kepada
rakyat,
Laba
dan retribusi yang
BUMN/BUMD
yang
pengelolaannya menggunakan uang rakyat, Hutang yang merupakan beban rakyat,
dan
Hibah
yang
ada
akibat
adanya
kepentingan
rakyat.
Negara/pemerintah hanyalah pengelola uang rakyat. Dengan demikian dapat disimpulkan rakyat memiliki kewajiban membayar pajak, yang kemudian menjadi pendapatan negara, dan rakyat memiliki hak atas pembangunan yang pengelolaannya dilakukan pemerintah/negara. Dari tahun ke tahun semenjak otonomi daerah berbagai kasus korupsi di daerah banyak terangkat kepermukaan, ICW memantau perkembangan kasus korupsi tersebut dimulai dari jumlah kasus dan jumlah kerugian negara, modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, dan sektor-sektor yang dikorupsi, dengan sumber data media cetak, on-line (website aparat penegak hukum) dan elektronik. Tren korupsi yang di analisis oleh ICW memiliki parameter sederhana untuk menilai perkembangan praktek korupsi, yaitu apakah kasus korupsi meningkat, berkurang, atau konstan. Walaupun sebenarnya sangat sulit mengukur apakah korupsi meningkat atau menurun, informasi korupsi sedikit sekali dan dapat memberikan gambaran yang salah, menurut John T Noonan120 apabila suatu negara telah banyak membawa perkara korupsi ke meja hijau di bandingkan negara lain, bukan berarti korupsi di negara tersebut lebih banyak daripada negara lain, dan bisa saja semata-mata karena negara tersebut punya kemauan dan kemampuan tinggi memberantas korupsi. Permasalahan lain yang timbul dalam memantau berbagai kasus korupsi adalah kesulitan dalam mendapatkan data keseluruhan kasus korupsi di Indonesia, karena tidak semua kasus korupsi aktual di Indonesia ditangani aparat penegak hukum, dan tidak semua kasus korupsi yang ditangani aparat
120
Klitgaard R, op.cit ,hal 11.
82
penegak hukum diberitakan oleh media dan tidak semua kasus korupsi yang diberitakan media terpantau ICW. Tren Pemberantasan korupsi di Indonesia yang telah dipantau oleh ICW selama tiga tahun terakhir ini menunjukan banyaknya kuantitas jumlah kasus maupun potensi kerugian yang di tanggung oleh negara. Berdasarkan data mentah yang diperoleh dari ICW pada tahun 2009 terdapat 186 kasus korupsi dengan potensi kerugian negara sebesar 3.3 Triliyun rupiah, kemudian pada tahun 2010 terjadi peningkatan besar pada jumlah kasus yaitu sebanyak 475 kasus, dengan potensi kerugian negara 5.6 Triliyun rupiah, sedangkan pada tahun 2011 jumlah kasus hanya turun sedikit yaitu sebanyak 440 kasus, walaupun dari segi kuantitas turun namun potensi kerugian negara meningkat tajam menjadi 24.2 Triliyun rupiah. Hasil penelusuran dari data yang dimiliki ICW ternyata banyaknya kasus korupsi di berbagai daerah di Indonesia sebagian besar dana bersumber dari APBD, walaupun tidak semua kasus dapat di telusuri secara lebih mendalam. Dari hasil penelusuran kasus korupsi APBD pada tahun 2009 terdapat 88 kasus korupsi APBD, sedangkan pada tahun 2010 terdapat 265 kasus korupsi APBD dan pada tahun 2011 terdapat 382 kasus korupsi APBD, namun berbagai kasus tersebut sebagian besar adalah kasus lawas dari APBD tahun-tahun sebelumnya yang baru dilakukan penetapan tersangka pada tahun pengungkapan (tabel 3). Tabel 3. Tren Korupsi APBD Tahun 2009-2011. Tahun
jumlah kasus korupsi APBD
Potensi Kerugian Negara*
2009
88 kasus
Rp
2010
265 kasus
Rp 1 440 503 968 704.00
2011
382 kasus
Rp 23 730 028 308 384.00
592 213 289 864.00
sumber : data mentah ICW, 2012 (diolah). *)ada jumlah yang masih dalam perhitungan.
Potensi kerugian negara pada Tabel 3, sebagian besar adalah masih dalam perhitungan, bahkan banyak juga kasus korupsi yang masih belum ditetapkan kerugian negaranya, untuk kasus korupsi yang sudah ditetapkan potensi kerugian negaranya belum seluruhnya merupakan keputusan dari
83
aparat penegak hukum jadi ada beberapa yang masih menjadi dugaan sementara saja. Dari data ICW, korupsi di sejumlah daerah, termasuk yang terkait dengan APBD, hampir seluruhnya melibatkan kepala daerah dan legislatif. Menteri dalam negeri Gamawan Fauzi pernah mengungkapkan “terdapat 155 bupati/ walikota yang diperiksa dan masuk penjara karena kasus korupsi, ada 17 gubernur atau mantan gubernur yang masuk penjara. Bahkan setiap minggu ada saja kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka”121, Pasca pemberlakuan otonomi daerah , korupsi oleh eksekutif dan legislatif daerah adalah hal yang biasa terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, dengan sumber utamanya adalah APBD. Korupsi ini terjadi karena konspirasi saling menguntungkan antara DPRD dan Eksekutif. Banyak fakta yang mengungkapkan kedua pihak ini bertindak sebagai pelaku,karena mereka memiliki kewenangan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian serta pengawasan APBD. Penyimpangan yang terjadi dimulai dari proses penyusunan APBD yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat, presentase belanja rutin yang semakin bengkak dibandingkan belanja pembangunan, yang artinya orientasi eksekutif-legislatif lebih terhadap kepentingan belanja aparat dibandingkan pembangunan untuk rakyat, hingga alokasi pos anggaran yang banyak menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan. Perselingkuhan antara eksekutif legislatif ini dapat dibuktikan oleh
banyaknya jumlah pelaku
korupsi adalah dari pihak eksekutif dan legislatif (Lihat Gambar 11). Jumlah pelaku Anggota DPRD/DPR menempati peringkat ketiga dengan jumlah 99 orang sedangkan kepala daerah berjumlah 41 orang. Pegawai Negeri Sipil (PNS) menempati posisi nomor satu sesuai dengan penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang maraknya rekening gendut PNS muda di berbagai daerah. Dari data tersebut kita dapat mengetahui empat pihak yang biasanya terlibat dalam korupsi di daerah, termasuk APBD, yaitu kepala daerah/pejabat yang
121
Kompas 18/1/2011 dalam Elok D, Briggita I, (Maria Hartiningsh), op.cit, hal 74.
84
menyyalahgunakaan wewenanngnya, peng gusaha/keraabat dekat penguasa, pihak p birokrrasi, dan DP PRD yang disertai d keku uatan politikknya. 239 9 190 99
91
67
5 51
41
31
30
28
27
24
4 24
20
17
Sumbber : ICW, 2012. 2 Gambbar 11. Trenn Korupsi Inndonesia beerdasarkan Pelakunya P T Tahun 2011. Pada masa otonomii daerah, teernyata dessentralisasi kekuasaan juga diwarrnai dengann desentraalisasi koru upsi dari pusat ke daerah, ap pabila dibanndingkan dengan d massa OrBa, dalam waaktu lebih dari 30 tahun t kepem mimpinan Soeharto, S h hampir tidaak ada kepaala daerah yang ditan ngkap karenna kasus korrupsi, namuun hal itu bukanlah b jam minan bahw wa pemerin ntahan OrBa bersih daari korupsi, bahkan pemerintaha p an OrBa teelah mewarriskan budayya korupsi, seperti yangg telah diun ngkapkan seebelumnya diatas. Berdasarkkan sistem m pengelolaaan anggaraan daerah, ada 3 tah hapan dalam m pengelolaaan APBD, yaitu: Tah hap perencanaan, Tahhap pelaksaanaan, dan tahap t penggendalian dan d pengaw wasan, nam mun dari kketiga tahaap ini umum mnya ada seejumlah titikk rawan korrupsi122. Padda Tahap P Perencanaan n, titik rawann korupsi yang y terjadi yaitu: 1. Musrembbangdes (M Musyawarah h rencana pembangunnan desa), pada tahap inii rancangann program m yang disuusun berassal dari insstansi
122
Lihat lebih lengkkap di Sillaeloe P, Korupsi Dalam D Pengellolaan APBD, Kamis 13 Septem mber 2012, htttp://bimakab.ggo.id/article-korupsi-dalam--pengelolaan-apbd.html. Diakses D 13/09/22012.
85
tertentu, artinya masyarakat dipaksa/secara terpaksa mengikuti keinginan/kebutuhan instansi. 2. Musrembangcam (Musyawarah rencana pembangunan kecamatan), pada tahap ini seluruh desa diundang namun pada prakteknya kepentingan pemerintah kecamatan lebih dominan, sehingga hasil yang sudah diusulkan sudah di rancang sedemikian rupa agar kepentingan itulah yang lolos. Selain itu masalah musrembang dalam level desa maupun kecamatan adalah kualitas hasilnya yang rendah, karena rendahnya fasilitator. Proses fasilitasi hanya dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan musrembang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan, kemudian pedoman untuk musrenbang/perencanaan (Contoh. Permendagri No.66 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Desa) cukup rumit untuk diterapkan di pedesaan yang sebagian perangkat desanya masih terbatas dalam pengetahuan dan akses teknologi. 3. Pembahasan Tim anggaran dan Panitia anggaran oleh pihak eksekutiflegislatif mengikuti sejumlah kepentingan pihak DPRD, DPRD menitipkan sejumlah proyek pada instansi tertentu, maka instansi tersebut menyanggupinya agar usulannya dapat diterima. Kemudian ada fakta bahwa usulan belanja cenderung di mark-up dan usulan pendapatan/penerimaan cenderung di mark-down. Fakta lainnya adalah intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana DPRD sering mengusulkan kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan dalam Musrembang. Intervensi kuat dari DPRD tersebut diduga karena adanya motif politik dan ekonomi. Motif politik yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan membagi-bagikan proyek, motif ekonomi membuat proyek sebagai tambahan income bagi diri sendiri dan kelompok kepentingannya dengan mengarap bisa ikut serta dalam pengadaan barang dan pelaksanaan kegiatan. Negosiasi antar eksekutif-legislatif tersebut memakan waktu yang lama, untuk melunakan hak intervensi DPRD pihak eksekutif menggunakan strategi memberikan alokasi tertentu
86
yang dapat digunakan secara fleksibel misalnya panyaluran Bantuan Sosial (Bansos). 4. Sidang Pari Purna Pembahasan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan belanja daerah) dan Penetapan APBD. Biasanya ada stakeholder yang diundang untuk mengikuti persidangan sebagai pendengar, agar proses penyusunan APBD dinilai transparan dan partisipatif, pedahal hanyalah suatu simbolis semata. Pada Tahap Pelaksanaan, titik rawan terjadinya korupsi yaitu: 1. Pada saat belanja barang. Terjadinya mark-up (penggelembungan harga),
manipulasi
mark-down,
kwitansi,
manipulasi
barang,
memberikan uang komisi, sisa diskon yang tidak dilaporkan. 2. Pada saat belanja langsung. Biasanya yang terjadi adanya proyek penunjukan langsung, dan yang ditunjuk adalah orang terdekat pengelola proyek/penguasa. 3. Pada
saat
belanja
(penggelembungan
tidak
harga),
langsung.
Terjadinya
mark-up
mark-down,
manipulasi
kwitansi,
manipulasi barang, memberikan uang komisi, sisa diskon yang tidak dilaporkan, inefisiensi dalam pembelanjaan, dan lain-lain. 4. Pada saat pembentukan panitia tender, proses tender, pada saat pelaksanaan proyek. Pada Tahap pengendalian dan pengawasan, titik rawan terjadinya korupsi yaitu : 1. Evaluasi/pemeriksaan
proyek
oleh
Badan
Pengawas
Daerah
(BAWASDA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) , adalah adanya uang sogokan yang di berikan kepada tim pemeriksa, disertai fasilitas mewah, dan pelayanan istimewa. Hal itu bertujuan agar hasil pemeriksaan tidak di persoalkan. 2. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepala daerah. Kepala daerah wajib memberikan laporan yang menggambarkan keberhasilan programnya. Apabila ternyata dalam pelaksanaanya banyak terjadi cacat, DPRD akan melakukan kritik tajam kepada
87
kepala daerah. Namun pada banyak kasus akhirnya tidak dipersoalkan oleh DPRD.
4.2 Gambaran Umum Provinsi Banten Provinsi Banten sebelum adanya otonomi daerah merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, kemudian resmi menjadi provinsi yang terpisah sejak tanggal 4 Oktober 2000. Secara demografi, provinsi Banten memiliki luas wilayah sebesar 9 662.92Km . Wilayah ini dibagi menjadi empat kabupaten (Lebak, Pandeglang, Serang dan Tanggerang) dan empat kota (Cilegon, Tanggerang, Serang, Tanggerang Selatan). Provinsi Banten berada pada batas astronomis 105.01’11”-106.07’12” BT dan 5.07’50”-7.01’1”LS dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah timur provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, sebelah selatan samudra hindia dan sebelah barat selat sunda. Posisi tersebut menjadikan letak Banten sangat strategis dalam lintas perdagangan nasional dan sangat dekat dengan pusat pemerintahan. Dari sisi sosial-budaya, mayoritas penduduk Banten beragama Islam dengan toleransi yang tinggi terhadap agama lain. Hal ini tidak terlepas dari sejarah kesultanan Banten, dimana kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam di pulau Jawa. Menurut catatan sejarah, walaupun agama Islam menjadi pedoman hidup rakyatnya, toleransi beragama sudah terlihat pada masa kerajaan dimana dibangun sebuah klenteng di pelabuhan Banten tahun 1673. Pada fase perkembangan awal pengetahuan tentang kosmologi orang Banten adalah alam semesta adalah milik Gusti Pangeran yang di titipkan kepada Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi. Gusti pangeran punya kekuatan luar biasa besar yang sebagian kecil dapat diberikan kepada manusia, apabila manusia tersebut memiliki pengetahuan tentang formula-formula pendekatan diri. Sultan atau Wali memiliki pengetahuan tersebut, sehingga mereka itu sakti. Kesaktian mereka dapat disebarkan melalui garis keturunan dan siapapun yang mau berguru (mengabdi), pengetahuan itu masih ada sampai sekarang sehingga teridentifikasi sebagai pengetahuan magis. Kemudian untuk selanjutnya
88
dengan hilangnya kesultanan, sebagian besar peranannya beralih pada kiyai (kaum spiritual), dalam statifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan teratas, kekuasaan mereka seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal123. Selain itu ada juga kelompok lain yang disegani oleh masyarakat, mereka disebut Jawara. Jawara adalah orang yang dikenal memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan supranatural, sosok mereka di kenal dengan karakter yang khas, seperti mengenakan seragam hitam, bersenjatakan golok, terkenal menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, bertutur kata keras (sompral), berani dan agresif. Dengan demikian, sosok Kiyai dan Jawara memiliki kharisma dan pengaruh yang kuat bagi masyarakat Banten124. Dalam sejarah prakolonial Banten, budaya perupetian terjadi pada masa kesultanan. Banten dan Lampung (yang merupakan perluasan daerah Banten) merupakan penghasil rempah-rempah utama. Lampung diwajibkan untuk mengantar berbagai upeti sebagai tanda kesetiaan terhadap Sultan, pemerintah pada saat itu juga mengeluarkan peraturan yang mewajibkan rakyat menanam lada, dampak yang timbul adalah semakin melemahnya ekonomi petani penanam dan semakin kuatnya ekonomi pemilik lahan. Petani atau penanam lada yang seharusnya mendapatkan surplus dari produksi, tidak mendapatkan hasil sebesar yang dinikmati pedagang dan penguasa, hal ini karena harga jual dan tata niaga ditentukan pemerintah, monopoli perdagangan lada dilakukan oleh sultan dan penguasa yang punya hak-hak istimewa. Hal ini memberikan kontribusi besar untuk kekayaan yang dimiliki para sultan, kerabatnya ,dan para pedagang kaya125 Provinsi Banten terdiri dari berbagai suku dan budaya, sunda, jawa, betawi, tiong-hoa, dan masyarakat urban yang berdatangan dari berbagai daerah. Sistem mata pencaharian masyarakat Banten dahulu adalah pertanian 123
http://bantenologi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=83:potretbudaya-banten-dulu-kini-dan-nanti&catid=, diakses 5/11/2012. 124 Anzar D, Akrobat Pembangunan: Telaah Kritis Kebijakan Publik, Ekonomi Banten dan Nasional dalam Bingkai Konektivitas, Jakarta: Paradigma Semesta, 2011,hal xv-xvii 125 ibid.
89
dan nelayan. Ada A tradisi yang y masihh nampak hingga h kinii, pola hubbungan p cliennt. Pada massa kini yangg terjalin sepperti hubunggan kekerabbatan atau patron terjaddi perkembbangan mataa pencahariian selain pertanian p daan nelayan,sseperti misaalnya di Tannggerang Seelatan sebaggian besar angkatan a keerja terserapp pada sektoor industrii, serta sektor s lainnnya yang g diminati adalah sektor perdaagangan126. y suku asli a sunda B Banten Di Proviinsi Banten terdapat suuku baduy, yaitu yangg anti-modeernisasi, baaik cara berpakaian maupun poola hidup. Khas budaaya masyarakat Banten salah saatunya adalaah debus, yang meruupakan atrakksi keseniann yang berrnuansa maagis. Selain itu di proovinsi ini bbanyak terdaapat pondook pesantrren, bahkaan salah satu kabuupatennya, yaitu Panddeglang terkkenal dengann sebutan kota k santri1277. Peendapaatan Traansfer 25 5.9%
2010
Lainlain Pendappa tan yanng sah % 0.14%
Pendapatan Transferr 22.75% %
2011
PAD D 73.95% %
Lainlain Pendapa tan yang sah 0.15%
PAD 77.10%
Sumbber : Laporaan Hasil Pemeriksaan BPK B RI tah hun 2010 daan 2011. Gam mbar 12. K Komposisi Realisasi Pendapataan Provinsi Banten tahun A Anggaran 20010 dan 20111. Dari sisii ekonomi, kapasitas fiskal f Provin nsi Banten yang meruupakan gambbaran kemaampuan keeuangan daaerah untuk k melakukaan pembanngunan terlihhat cukup mandiri m karena sebagiaan besar peendapatan berasal b dari PAD, terutama dari seektor pajak yang sebaggian besar dari d pajak kendaraan. k A APBD mposisi reallisasi Pendaapatan padaa tahun 2010 dan 20111 memperliihatkan kom Provvinsi Bantenn didominaasi oleh PAD di ataas 70 perseen (gambar 12), 126 127
htttp://www.hum masprotokol.baantenprov.go.iid/2012/07/, diakses d 5/11/2012. Ibiid.
90
misalnya pada tahun 2011 PAD sebesar 77.10 persen, sedangkan Pendapatan Transfer hanya sebesar 22.75 persen dan lain-lain Pendapatan yang Sah hanya 0.15 persen. Total realisasi APBD Banten tahun 2011 adalah dengan kontribusi PAD
3.7 triliyun rupiah,
2.8 triliyun rupiah, pendapatan transfer 854 milyar,
dan lain-lain pendapatan yang sah
5.6 milyar rupiah. Peningkatan PAD
Banten yang mendorong peningkatan APBD Banten bukan merupakan indikator utama keberhasilan pembangunan di daerah Banten, keberhasilan dapat terlihat dari alokasi APBD bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Apabila peningkatan PAD tidak diiringi oleh pembenahan internal birokrasi, maka peningkatan anggaran publik yang dikelola pemerintah memiliki kecenderungan meningkatkan penyimpangan dalam bentuk korupsi dan kolusi dalam pengelolaannya128. PAD Provinsi Banten kurang lebih 70persen-nya berasal dari sektor pajak, yang sebagian besar berasal dari pajak kendaraan bermotor (terutama di daerah Tanggerang) yaitu sebesar 67 persen. Banten mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat selama periode 2001 dampai dengan 2011. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten berfluktuatif, pada tahun 2001 sebesar 3.95 persen dan tahun 2011 sebesar 6.43 persen (Gambar 13). Dari empat Kabupaten dan empat kota, yang paling besar memberikan kontribusi PDRB di Provinsi Banten adalah daerah Tanggerang, secara agregat kontribusi daerah Tanggerang adalah 61 persen (kota dan kabupaten sebelum dimekarkan) dari rata-rata PDRB provinsi Banten. Sedangkan kabupaten kota lain hanya 39 persen yaitu kota Cilegon 15.2 persen, kabupaten Pandeglang 5.3 persen, kabupaten Serang 12.7 persen, dan kabupaten Lebak 5.2 persen . Dari Gambar 13 dapat dilihat laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007, 2008, 2009 pernah mengalami penurunan, hal ini di sebabkan pada tahun tersebut terjadi perlambatan ekonomi dunia yaitu terjadi krisis ekonomi global yang disebabkan krisis ekonomi di Amerika dan Eropa, yang menyebabkan perlemahan permintaan barang dari negara-negara
seperti
128
Sesuai dengan penelitian Anne Krueger dalam Anzar D, op.cit, hal 73.
91
Indonnesia, khussusnya Banten dimanaa industriny ya di dominnasi oleh inndustri berbaasis ekspor.. 7 6
5.622
5.87
5.07
5
5.56
6 6.04
6.08
5.77
6.43
4.7 71
3.95 4.11
4
Provinsi Banten
3 2 1 0 2001 2002 2003 2004 20005 2006 2007 2008 2009 20010 2011
Sumbber : BPS, 2012 2 (diolahh). Gam mbar 13. Perttumbuhan ekonomi e Proovinsi Banten tahun 20001-2011 . Namun, isu pem mbangunan kini bukaan hanya bertumpu pada pertuumbuhan ekkonomi yanng tinggi, melainkan m ju uga bagaim mana kualitaas dari pertuumbuhan ekkonomi terrsebut. Lajuu pertumbu uhan ekonoomi Bantenn yang pesatt, justru mempertega m as adanya kualitas peertumbuhann ekonomi yang rendaah. kotaa Serang kota Cilegon C kota Tangggerang kabupaten n Serang
2010
kaabupaten Tangggerang
2009
kabupaten n Lebak
2008
kaabupaten Panddeglang 0
10
20
30
40
juta rupiah
Sumbber: BPS, 2011 2 (diolahh). Gam mbar 14. Peerkembangaan PDRB Perkapita P Kabupaten/K K Kota di Prrovinsi Baanten 2008--2010.
92
Gambar 14 menunjukan terdapat ketimpangan distribusi pendapatan antara kabupaten/kota di provinsi Banten. Rata-rata PDRB perkapita Banten tahun 2008, 2009, 2010 memiliki rata-rata 7.23 juta rupiah, apabila dilihat dari gambar 12, maka yang memiliki PDRB perkapita diatas rata-rata adalah Cilegon sebesar 32.62 juta rupiah dan Tanggerang sebesar 17.03 juta rupiah. Kontribusi PDRB Tanggerang yang besar terhadap PDRB Banten, dan besarnya pendapatan perkapita di Tanggerang, Serang, Cilegon, dikarenakan dari industri pengolahan yang terdapat di daerah-daerah tersebut. Dapat dilihat pada tabel 4, PDRB menurut lapangan usaha harga konstan tahun 2000, bahwa industri pengolahan memberikan kontribusi yang paling tinggi dalam PDRB dari tahun ke tahun. Misalnya untuk tahun 2008 sampai dengan 2010, Industri pengolahan memberikan kontribusi hampir 50 persen terhadap PDRB provinsi. Tabel 4. PDRB Banten Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010*. LAPANGAN USAHA
2008
2009
2010
5 408 861.73
5 641 900.50
5 974 381.61
79 151.12
90 195.51
97 765.08
32 225 075.20
32 707 531.26
33 779 343.16
LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
2 805 792.50
2 922 549.08
3 280 340.37
KONSTRUKSI
2 010 388.56
2 204 523.41
2 359 793.17
14 202 996.50
15 127 918.26
16 276 822.36
6 200 675.31
6 877 187.61
7 719 131.44
PERUSAHAAN
2 489 875.78
2 822 560.19
3 014 016.23
JASA-JASA
3 380 093.59
3 636 754.80
3 805 764.27
68 802 910.30
72 031 120.61
76 307 357.69
PERTANIAN PERTAMBANGAN & PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN
PERDAG., HOTEL & RESTORAN PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI KEU. REAL ESTAT, & JASA
PDRB
Sumber: BPS,2011. Ket: *dalam rupiah Selain itu, Informasi kependudukan penting dalam melakukan perencanaan dan evaluasi pembangunan. Pertumbuhan jumlah penduduk Banten terus mengalami peningkatan sejak tahun 1961 sampai dengan tahun 2010 (Gambar 15).
93
4,500,000 4,000,000
k Pandeglanng kab.
Jiwa
3,500,000 3,000,000
k kab. Lebak
2,500,000 1,500,000
kkab.Tangerangg & &Tanggerang Selatan K Kab/kota Seranng
1,000,000
k Tangerang kota
2,000,000
500,000
k Cilegon kota
0 1961 19771 1980 19990 2000 2010 2 Tahun n
Sumbber: Sensuss Penduduk 2010. Gam mbar 15. Juumlah Pendduduk Kabuupaten/Kotaa di Provinnsi Banten 196120010. Tingginyya pertumbuuhan penduuduk terjadii secara alaami dari tahhun ke tahunn, namun daaya tarik inndustri penggolahan pun n telah menddatangkan m migran baru yang masukk ke wilayaah-wilayah tersebut. t Tabeel 5. Perkem mbangan RL LS Sebagai Komponen K IPM Provinnsi Banten tahun 2000-2010 2 Taahun
22000 2 2001 2 2002 2 2003 2 2004 2 2005 2 2006 2 2007 2 2008 2 2009 2 2010
Angka Melek Huruf (%)
Ratta-rata Lama Sek kolah(tahun))
992.1 9 92.5 9 93.8 9 94.2 94 9 95.6 9 95.6 9 95.6 9 95.6 955.95 9 96.2
6.8 7.1 7.9 8.1 7.9 8 8.1 8.1 8.1 8.15 8.32
ks Pembangu unan Indek Manusia 63.8 65.3 66.6 67.2 67.9 68.8 69.1 69.3 69.7 70.06 70.48
Sumbber: BPS Prrovinsi Bannten,2010. Jumlah penduduk p y yang besar merupakan n potensi bagi daerah untuk pembbangunan, namun n kuaantitas pendduduk tidak klah berartii apa-apa aapabila tidakk disertai dengan d kuallitas sumbber daya manusia yangg baik. Inddikator 94
pendidikan di provinsi Banten dapat diukur dengan angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan Angka Melek Huruf (AMH) yang merupakan dua dari empat komponen dalam mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada Tabel 5 menunjukan RLS dan AMH terus mengalami peningkatan sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2010, namun secara nasional IPM di provinsi Banten masih sangat jauh dari rata-rata nasional (Tabel 6). Tabel 6 menunjukan bahwa Banten memiliki peringkat yang rendah apabila dibandingkan secara nasional maupun dengan provinsi lainnya di pulau Jawa. Pada tahun 2004 dan 2009 IPM Banten termasuk dalam peringkat yang rendah di pulau Jawa atau peringkat ke-20 pada tahun 2004 dan peringkat ke-23 pada tahun 2009 di Indonesia. Tabel 6. Peringkat IPM Provinsi Banten di Pulau Jawa Provinsi
2004
Peringkat
2009
Peringkat
DKI Jakarta
75.80
1
77.30
1
Jawa Barat
69.10
14
71.60
15
Jawa Tengah
68.90
17
72.10
14
Yogyakarta
72.90
3
75.20
4
Jawa Timur
66.80
23
71.00
18
Banten
67.90
20
70.00
23
Sumber : BPS dan UNDP, 2010. Ukuran Populasi yang besar namun tidak disertai adanya kualitas penduduk hanya akan memberikan beban bagi proses pembangunan. Kuantitas penduduk yang tinggi, namun tidak disertai dengan kualitas penduduk yang memadai, mengakibatkan penduduk asli daerah tersebut hanya menjadi “kuli” di tanah sendiri, terlebih karena investasi yang masuk demi meningkatkan PAD bertumpu pada Penanaman Modal Asing (PMA) bukan investasi yang bertumpu pada kearifan lokal. Selain terdapat kesenjangan distribusi pendapatan di Provinsi Banten dan peringkat IPM yang rendah, ternyata pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada faktanya tidak mampu menyerap tenaga kerja di provinsi Banten. Pada gambar 16, misalnya angka persentase pengangguran di Banten
95
tahunn 2007-2011 masih tinggi, bahkann tertinggi dibandingka d an provinsi llain di selurruh Indonessia, walauppun mengalami penuru unan hal teersebut menngikuti tren penurunan p a angka penggangguran nasional. n
T Tingkat P Pengang gguran Terbuka T Banten 201 11
Nasional 13.06%
6.56%
201 10
13.68%
7.14%
200 09
8.14%
200 08
8.339%
200 07
9.11%
14.997% 15..18% 1 15.75%
Sumbber: BPS Prrovinsi Bannten, 2012. Gam mbar 16. Tinngkat Penganngguran Teerbuka di Prrovinsi Bantten. Menarikknya pada taahun 2009, angka Tingkat Pengaangguran Teerbuka (TPT T) Banten berbeda denggan data daalam Dokum men Nota Peengantar Laaporan Kerjaa Pertangguungjawabann (LKPJ) taahun 2009 Provinsi Banten B hal 12-13, yangg menyamppaikan “keeberhasilan lainnya pada agenda ini aadalah kemaampuan meempertahannkan persenntase penga angguran terbuka Prrovinsi Bantten sebesar 6.50 perseen pada tahhun 2008 da an 2009, yaang menuruun jika dibanndingkan taahun 2007 sebesar 6.71 persen”129. Angka ini jauh beerbeda dari data BPS yang y menunnjukan bahw wa persentasse pengangguran pada tahun 20099 adalah 14.97 persen atau a 652.4662 orang. Menurutt Anzar Pemerintah P Provinsi Banten telah t melaakukan “Pem mbohongan Publik”. Ketika K beliauu menjadi narasumber n ahli dalam m acara bersaama BPS Provinsi Bannten dalam Panita khu usus (Pansuss) LKPJ Prrovinsi Bantten, beliau mengetahuui asal perssentase pen ngangguran terbuka teersebut berassal dari metodologi m p perhitungan n versi Bap ppeda denggan rumus yang berbeeda dari verrsi BPS, carra menghituung pengan ngguran terbbuka secara lazim 129
Annzar D, Op.citt, hal 62.
96
adalah “jumlah pengangguran dibagi jumlah angkatan kerja dikalikan 100 persen” atau 652 462 dibagi 4 357 420 dikalikan 100 persen adalah 14.97 persen. Dalam versi Bappeda yang diklaim sebagai keberhasilan pemerintah Provinsi Banten, rumusnya menjadi “jumlah pengangguran dibagi jumlah populasi dikalikan 100 persen” atau 652 462 dibagi 9 782 800 dikali 100 persen dan hasilnya 6.66 persen bukan 6.5 persen (bahkan dengan rumus tak lazim pun, pembulatan angkanya juga ditulis tidak tertib). Beliau menyampaikan, pada akhirnya BPS dan BI Provinsi Banten membenarkan bahwa metode perhitungan Bappeda memang tidak lazim sehingga bisa menimbulkan kesalahan persepsi130. Selain itu manipulasi angka juga terjadi pada angka penyakit, fakta ini didapat dari pemberitaan di media elektronik dengan nara sumber Reisa Kartikasari, Putri Indonesia lingkungan hidup 2010 yang berprofesi sebagai dokter. Reisa memaparkan terdapat banyak pasien-pasien yang ditolak untuk masuk rumah sakit di daerah Curug-Tanggerang, padahal pasien-pasien tersebut sudah dalam keadaan gawat dan pada akhirnya tidak tertolong. Penolakan tersebut dilatarbelakangi adanya kepentingan politik, karena akan dilangsungkan pilkada di daerah tersebut131. Beberapa fakta di atas membuktikan Pemerintah Provinsi Banten belum memiliki komitmen untuk melakukan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun berorentasi pada membentuk prestasi pembangunan yang manipulatif agar dianggap berhasil. Kedua hal yang terungkap diatas itulah yang disebut Kwik Kian Gie sebagai pencerminan Corrupted mind, yang sifatnya mengelabui masyarakat. Corrupted mind adalah dimana korupsi sudah merasuk kedalam mental, moral, tata nilai dan nalar berfikir sehingga menjadi tidak normal dalam berprilaku. Dari sisi politik, perjalanan politik Provinsi Banten tidak bisa dilepaskan dari adanya isu-isu kekuasaan informal yang didominasi oleh suatu kelompok elit tertentu, yaitu elit kelompok Jawara yang sangat 130
Ibid, hal 62-65, dan Hasil wawancara akademisi Banten, 8 November 2012. Acara Talk Show Hitam Putih, Trans 7, 2 januari 2013.
131
97
memiliki pengaruh di wilayah Banten. Seorang pemimpin jawara tersebut sejak tahun 1960-an sudah melakukan pengawalan bisnis beras dan jagung antarpulau Jawa-Sumatera, bukan hanya mengawal, sang pemimpin jawara tersebut menjadi penyedia logistik bagi Kodam IV Siliwangi, dimana Kodam IV Siliwangi juga berkepentingan atas kestabilan politik wilayah Banten sehingga membutuhkan orang lokal sebagai perpanjangan tangan. Sebagai kompensasi, sang Jawara tersebut sering mendapatkan banyak keistimewaan dari Kodam IV Siliwangi dan pemerintah Jawa Barat, sebagian besar proyek pemerintah terutama di bidang konstruksi banyak di berikan kepada sang Jawara tersebut. Pada tahun 1967 sang Jawara mendirikan perusahaan bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik lainnya yang menjadi salah satu perusahaan terbesar di Banten, tidak hanya itu Sang Jawara menguasai sejumlah organisasi bisnis132. Dengan beralihnya struktur politik yang baru dari era OrBa ke reformasi, sang Jawara mampu mertransformasikan diri dan menjadi lebih berkuasa di banding era OrBa. Awalnya sang Jawara adalah client businessment133 yang bergantung pada koneksi pejabat sipil dan militer, tapi tidak merancang siapa yang berkuasa atas politik di Jawa Barat. Dengan kekuatan finansialnya sang Jawara aktif dalam membantu gerakan pemekaran dan diakui sebagai salah satu tokoh pembentuk provinsi Banten. Akhirnya secara aktif dia dapat menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten, kini anggota keluarga besarnya berhasil menguasai berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya) di provinsi Banten. Memang sang Jawara tidak menduduki jabatan publik secara formal, namun dia adalah penguasa sesungguhnya di Banten, dan menyebut dirinya “Gubernur jenderal”. Sepak terjang sang Jawara bukan tanpa perlawanan, banyak perlawanan politik dari kelompok elite lokal dan elite politik islam, namun 132
Baca lebih lengkap di http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-1pril-2011/273, 1 November 2012. 133 Pengusaha yang pada umumnya merupakan kalangan yang mempunyai hubungan dekat dengan sipil dan militer, karena yang menentukan bagi keberhasilan bisnis mereka adalah patronase politik, lihat Muhaimin Y, Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 19501980, Jakarta :LP3ES, 1991. Hal 188-194.
98
pada akhirnya sebagian dari mereka berbalik bersekutu dengan dinasti sang Jawara. Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya kasus (meliputi isu korupsi, penggunaan ancaman kekerasan, politik uang, dan kecurangan dalam pilkada) yang menimpa dinasti sang jawara, maka bermunculan lawan-lawan baru dari sekelompok anak muda yang membentuk banyak organisasi yang memperjuangkan isu anti-korupsi, anti-nepotisme, anti-politik dinasti, dan mendukung politik kesejahteraan134. Provinsi Banten telah melakukan empat periode pergantian Gubernur selama dua belas tahun berdiri sebagai provinsi otonom. Pada tanggal 18 November 2000 dilakukan peresmian Provinsi Banten dan pelantikan pejabat Gubernur
pertama,
yaitu
Hakammudin
Djamal
untuk
menjalankan
pemerintahan sampai terpilihnya Gubernur definitif. Periode selanjutnya Gubernur yang terpilih adalah Djoko Musnandar dan wakil Gubernur Ratu Atut Chosiyah. Djoko Musnandar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah satu-satunya calon yang mau berpasangan dengan putri seorang tokoh Jawara tersebut, setelah tokoh Jawara menawarkan pada semua partai politik bahwa siapapun dapat menjadi Gubernur asalkan mau berpasangan dengan putrinya sebagai wakil Gubernur. Dengan kekuatan uang, lobby dan tentu saja kekerasan elit Jawara mampu memenangkan kandidat yang mereka usung, tidak sulit juga bagi mereka untuk menjinakan 71 anggota DPRD135. Kemudian Djoko Musnandar tersandung kasus korupsi, yaitu korupsi dana perumahan anggota DPRD Banten dari APBD tahun 2003, dan terbukti memperkaya orang lain dengan kerugian negara sebesar 14 milyar rupiah, kemudian di nonaktifkan pada tahun 2005, sejak itu
wakilnya ditunjuk
sebagai Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Banten, dan akhirnya pada Pilkada tahun 2006 dan 2011, Ratu Atut Chosiyah terpilih menjadi Gubernur Banten. Ada hal yang menarik dalam kasus Djoko Musnandar, wakilnya tidak pernah diperiksa atau dimintai keterangan, pedahal dalam Berita Acara Pidana (BAP) 134
http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-1pril-2011/273, Loc.cit. Laporan Penelitian Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten 2006 : Regenerasi sebuah Hagemoni Banten Institute. Tidak dipublikasikan. Hal 13-14.
135
99
dan keterangan para anggota dewan disebutkan bahwa wakil Gubernur ikut serta dalam rapat-rapat kompensasi dana perumahan136. Tabel 7. Jumlah Anggota DPRD Berdasarkan Partai Politik PemenangPemilu Legislatif Tahun 2004 dan 2009. Tahun 2004 No Nama Partai 1 Partai Golongan Karya (Golkar) 2 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 3 Partai Demokrasi indonesia Perjuangan (PDIP) 4 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 5 Partai Demokrat 6 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 7 Partai Bintang Reformasi (PBR) 8 Partai Amanat Nasional (PAN) 9 Partai Bulan Bintang (PBB)
Jumlah
Tahun 2009 Nama Partai
Jumlah
16 Demokrat
18
11 Partai Golkar
13
10 PKS
11
Partai PDIP 8 8 Partai Hati Nurani Rakyat 5 Partai Gerinda
10 6 5
5 PPP
5
4 PKB
5
3 PBB
3
10 Partai Damai Sejahtera PAN (PDS) 2 11 Partai Nahdatul Umat PKPB Indonesia (PNUI) 1 12 Partai Serikat Indonesia PBR (PSI) 1 13 Partai Karya Peduli Bangsa PDS (PKPB) 1 14 PKNU 15 PPNUI 16 PPD Jumlah 75 Sumber: BPS Provinsi Banten 2004, KPU Provinsi Banten 2009.
2 2 1 1 1 1 1 85
Pilkada langsung, adalah pelaksanaan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dioperasionalkan melalui Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan 136
Ibid, hal 14
100
dan Pemberhentian Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah. Merupakan upaya agar pemimpin daerah dipilih langsung oleh masyarakat, tidak lagi oleh DPRD. Pilkada Gubernur langsung di Provinsi Banten telah dilakukan dua kali yaitu tahun 2006 dan 2011. Sebelum berhadapan dengan pemilih, para calon kepala daerah harus mendapatkan “tiket” dari partai politik. Tabel 7 menunjukan jumlah anggota DPRD Berdasarkan Partai politik yang menang pada pemilu legislatif tahun 2004 dan 2009. Pada kedua pilkada Gubernur, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih adalah Ratu atut Chosiyah-Masduki (tahun 2006) dan Ratu Atut ChosiyahRano Karno (tahun 2011). Mereka berhasil mengalahkan para incumbent lainnya, Tabel 8 memperlihatkan daftar incumbent dalam Pilkada Gubernur tahun 2006 dan 2011. Pada pilkada 2006, awalnya ada lima pasangan kandidat, namun ada satu pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur yang tidak diloloskan oleh KPUD, yaitu Muchtar Mandala-Suryana yang didukung banyak koalisi partai kecil, KPUD tidak meloloskan berdasarkan persetujuan DPP serta pengajuan keabsahan yang harus ditanda tangani oleh pihak eksekutif sebagai penentu kebijakan strategis. Puncak kekecewaan pendukung Muchtar Madala-Suryana adalah keluarnya fatwa Golput oleh 42 kyai, dipimpin KH. Muhtadi Dimyati yang menyatakan kandidat tidak ada yang layak menjadi Gubernur/wakil Gubernur, yang layak hanya Muchtar Mandala-Suryana137. Perlu digaris bawahi, sesungguhnya pada pelaksanaan pilkada Gubernur langsung pada tahun 2006 ini banyak ditemukan kejanggalan dalam prosesnya, seperti banyaknya persoalan ditubuh KPUD, proses kampanye yang menyalahi peraturan, masalah pendataan pemilih, dan pasca pemilihan adanya pelaporan oleh ketiga pasangan kandidat ke Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Tinggi (PT) Banten, yang menyatakan bahwa hasil penetapan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten menyalahi Peraturan Pemerintah Nomer 6 tahun 2000 yaitu kepala daerah/wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah harus mengundurkan diri
137
Ibid, hal 26.
101
dari jabatannya, namun kenyataannya ada calon yang tidak mengundurkan diri138. Tabel 8. Daftar Incumbent dalam Pilkada Gubernur Langsung Banten. Pilkada 2006 Nama Incumbent 1 Tryana Sjam'un-Benjamin Davnie 2 Ratu atut Chosiyah-Masduki 3 Irsjad Djuwaeli- Mas Ahmad Daniri 4 Zulkieflimansyah-Marisa haque Pilkada 2011
Partai Pendukung PAN, PPP GOLKAR, PDIP, PBB, PBR,PDS, PKPB, Partai Patriot Demokrat, PKB PKS , PSI
Nama Incumbent 1 Ratu atut Chosiyah-Rano Karno
partai pendukung GOLKAR, PDIP, Hanura, Gerindra, PKB, PAN, PBB, PPNUI, Partai Matahari Bangsa, Partai demokrasi pembaharuan, Partai Persatuan Rakyat Nasional, Partai Kesatuan Nahdatul Ulama, PDS, PKPB, PPD, Partai Merdeka, PNI Marhaen, Partai Republika, Partai Patriot, Partai penegak demokrasi, dll
2
Demokrat Wahidin Halim-Irna Narulita Dimyati
PKS , PPP 3 Jazuli Juwaeni-Makmun Muzzaki Sumber: Laporan Penelitian Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten 2006, Laporan Hasil Monitoring Pilkada 2011 ICW, 2012(diolah).
138
Ibid, hal 27- 67.
102
5. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, menampilkan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan yang terdiri dari: sub-bab pertama, membahas mekanisme korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi di Provinsi Banten, dan subbab kedua akan membahas dampak korupsi terhadap pertumbuhan regional di Indonesia. Pada sub-bab pertama, mekanisme korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi, dilakukan dengan mengambil sampel salah satu daerah di Indonesia yang diambil secara proposive yaitu Provinsi Banten, secara lebih rinci akan mengungkap faktor politik penyebab terjadinya korupsi APBD, yaitu telah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan, money politics, dan
tingginya biaya dalam kampanye (high cost politic) dalam pemilihan kepala daerah provinsi pada tahun 2011. Kemudian akan menguraikan mekanisme dugaan korupsi APBD pada salah satu pos anggaran belanja yaitu pos dana bansos dan hibah pada tahun anggaran 2011, yang dikaitkan dengan penyelenggaran pilkada yang diwarnai korupsi politik pada tahun yang sama, pengungkapan mekanisme dilakukan melalui penelusuran data dan wawancara beberapa informan pada tahap-tahap perencanaan anggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Mekanisme terakhir yang akan di bahas adalah mekanisme perburuan rente ekonomi dalam dugaan korupsi pada proyek-proyek APBD di Banten. Pada sub-bab kedua, akan menampilkan hasil olah data menggunakan e-views 6, yang menguji dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional terhadap 48 ibukota provinsi/kabupaten pada tahun 2008 dan 2010, sehingga dapat melihat seberapa besar potensi persentase pertumbuhan yang hilang di tingkat daerah, khususnya ibukota Provinsi Banten.
5.1 Mekanisme Korupsi APBD dalam Perburuan Rente Ekonomi : Pendekatan Studi Kasus Provinsi Banten Pada awalnya Provinsi Banten terpisah dari Provinsi Jawa Barat mengemban cita-cita agar masyarakat Banten lebih sejahtera, namun pada
103
kenyataannya tidak jauh berbeda seperti sebelum otonomi daerah, yaitu ketimpangan masih terjadi dan kesejahteraan masyarakat Banten masih rendah. Hal ini terjadi karena sumber daya ekonomi yang ada dialokasikan kepada kelompok kepentingan tertentu sehingga tidak sampai kepada masyarakat. Mekanisme korupsi APBD di Banten, mungkin juga tidak jauh berbeda seperti di daerah lain di Indonesia, dimulai dari proses perencanaan anggaran (by design) dan korupsi dilakukan dengan berjamaah (corporate crime). Latar belakang prilaku perburuan rente dalam hal ini korupsi APBD di Provinsi Banten adalah undang-undang Pemilu, yang menyebabkan sistem rekrutmen politik berbiaya tinggi (high cost politic), maka semua pihak yang telah mengeluarkan modal politik tinggi ini berupaya mengembalikan modalnya139. Hal ini menjadikan motif awal para pemimpin daerah terpilih berbelok dari motif membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat menjadi mencari rente untuk pribadi dan kelompok. Korupsi dapat dipahami merupakan salah satu bentuk perburuan rente ekonomi, banyaknya fenomena korupsi APBD yang terangkat kepermukaan pada masa otonomi daerah ditenggarai akibat adanya prilaku pencarian rente dari pihak-pihak yang berperan dalam proses politik (pilkada) dan juga pengelolaan (perumusan, pelaksanaan, pertanggungjawaban) APBD
itu
sendiri. Dalam sub bab ini mencoba menganalisis akar terjadinya/ faktor yang memengaruhi peluang terjadinya korupsi dalam pendekatan studi kasus di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil beberapa wawancara dan beberapa sumber data tertulis mengungkapkan ada dua mekanisme yang biasa digunakan dalam pengerukan APBD di provinsi Banten, yang pertama adalah melalui mekanisme dana hibah dan bansos, dan yang kedua adalah melalui penguasaan proyek-proyek APBD oleh kerabat penguasa. Kedua mekanisme ini memiliki persamaan yaitu keduanya telah didesain sejak awal APBD di susun. Dana hibah dan bansos dirancang sejak awal menjadi dana taktis bagi
139
Hasil wawancara pihak legislatif Provinsi Banten, 28 November 2012.
104
eksekutif-legislatif sedangkan proyek-proyek APBD telah dikuasai oleh kerabat Penguasa demi memenuhi rente mereka dan kelompoknya. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang mekanisme dana hibah dan bansos secara lebih mendalam, sedangkan mekanisme dugaan korupsi dalam proyek hanya berupa ulasan singkat berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat yang di dapat dari para informan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari era kepemimpinan kepala daerah Provinsi Banten dewasa ini. Dengan demikian kasus yang akan di bahas, yaitu:
(1) dugaan
korupsi pemilu yang terjadi untuk mengungkap tingginya biaya dalam proses politik (high cost politic) yang terjadi di daerah penelitian sebagai salah satu faktor terjadinya ekonomi biaya tinggi, (2) mekanisme/alur korupsi APBD dalam Perburuan Rente Ekonomi di Provinsi Banten, khususnya pada pos bansos hibah dalam APBD yang diduga digunakan sebagai modal politik pada tahun 2011, dan (3) mekanisme perburuan rente dalam proyek-proyek APBD di Banten.
5.1.1 Faktor Penyebab Korupsi APBD : Dugaan Kasus Korupsi Pilkada Gubernur Banten Tahun 2011. Banyak pendapat yang mengungkapkan penyebab korupsi di daerah antara lain karena sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mendorong terjadinya biaya tinggi dalam kampanye140. Pembahasan tentang pilkada Gubernur untuk periode 2011-2016 di Banten ini bertujuan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi politik biaya tinggi (high cost politic) dalam salah satu proses politik di daerah, dimana diduga politik biaya tinggi ini telah terjadi dan menjadi salah satu faktor terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dalam hal ini adalah korupsi APBD. Sulistio pernah mengungkapkan lima hal tindakan korupsi yang biasa dilakukan dalam pilkada, hal itu berupa Penyelewengan jabatan (biasanya dalam bentuk mobilisasi PNS), Pemakaian fasilitas publik, Pemakaian 140
Pendapat Gamawan Fauzi (Mentri Dalam Negeri) dan Adnan Topan Nasution (Ketua Koordinator ICW) dalam Maria Hartiningsih, op.cit, hal 74-75. Arif Nur Alam Direktur Indonesian Budget Center) dalam Bambang Soesatyo, op.cit, hal 29, dan beberapa hasil wawancara mendalam.
105
angggaran publikk, Money poolitics, dan manipulasii dana kam mpanye141. S Setelah dilakkukan hasil penelusuraan data makka peneliti menemukan m n semua tinndakan itu teelah terjadi pada pilkadda di daerahh Banten. Hal H itu berdaasarkan dataa ICW tentaang pilkada provinsi Banten B tahunn 2011142. Menurut IC CW pilkadaa yang terbeebas dari korupsi pemilu p daapat dilihaat dari tigga aspek yaitu penyyalahgunaann kekuasaann, politik uang dan keepatuhan daalam pengggunaan danaa kampanyee, oleh karrena itu akaan di bahaas satu persatu aspek--aspek terseebut: 1. Penyalahgun P naan Kekuaasaan. P Penyalahgun naan kekuaasaan terjaddi dalam peemilu Gubeernur di Prrovinsi Bantten, dengann berbagai modus yaang digunak kan oleh para p tim sukses/ simppatisan, angggota partai, anggota deewan, pejab bat publik, kandidat, k apparatur pemeerintahan,
kerabat
k kandidat,
dan
lainn nya.
Moduusnya
berraneka
ragam m,yaitu denngan cara mobilisasi m PN NS, Intimidaasi , penyerrangan, fitnaah dan bujukk rayu, Kettidaknetralan PNS/Pejaabat publik dan Pemannfaatan kekuuasaan (Gam mbar 17). Jumlah Kasuus
11
Pemanfaataan kekuasaan 9
Ketidakneetralan PNS/Pejabat public Intimidasii, penyerangann, fitnah, dan bujukrayu Moobilisasi PNS
7 2
Sumbber: ICW, 2012. 2 Gam mbar 17. Kom mpilasi Pennggunaan Kekuasaan K Berdasarkan B n Modus. Pada tinngkatan dessa terjadi mobilisasi m perangkat p k kepala desaa yang tergaabung dalam m Asosiasi Aparat Deesa Seluruh Indonesia (APDESI) untuk mem milih incum mbent no.11, mobilisasi ini dilakukan d p pada perteemuan 141
Sullistio F, Perilaaku Korupsi dalam d Pemiluukada, Dipubliikasikan dalam m Jurnal Koonstitusi PPK FH UB B. http://faaizinsulistio.leecture.ub.ac.id d/2011/05/periilaku-korupsi--dalampemillukada/, diaksees 6/4/2012 142 Laaporan Hasil Monitoring M Pillkada Provinsii Banten tahun n 2011 oleh IC CW.
106
silahturahmi yang dihadiri ratusan kepala desa dari Pandeglang dan Lebak di salah satu hotel di kecamatan carita. Dalam sambutannya ketua APDESI Banten mengajak agar kepala desa mendukung pencalonan incumbent 1 dalam pikada. Seharusnya para kepala desa ini bersikap tidak memihak, ironisnya akibat 40 kepala desa di Pandeglang tidak mendukung pencalonan incumbent 1 jatah fresh money 50 juta rupiah/tahun yang seharusnya diberikan
Badan
Pembinaan
Masyarakat
Desa
(BPMD)
kabupaten
Pandeglang tidak diberikan, atau menurut beberapa kepala desa
akan
dilakukan pembinaan dulu agar mendukung incumbent 1. Namun BPMD berdalih ditahannya jatah fresh money karena 40 desa tersebut belum membuat Surat Pertanggung Jawaban sebelumnya. Selain ditingkat desa modus mobilisasi PNS terjadi pada acara penyampaian visi misi di gedung paripurna DPRD Banten pada tanggal 5 Oktober 2011. Modus berikutnya adalah dengan melakukan intimidasi, penyerangan, fitnah dan bujukrayu. Seperti misalnya, di Desa Sukasaba kecamatan Munjuk, menjelang pemungutan suara, kepala desa pendukung incumbent 1 berperan sebagai preman dengan mengancam dan melakukan pemukulan pada saksi dari pihak incumbent lain. Pemukulan juga terjadi oleh Kepala Desa Tamiang kepada Chaerul Fajri (salah seorang tim advokasi dan saksi incumbent 3), pemukulan terjadi pada tanggal 22 oktober 2011 pukul 15.00 WIB di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Desa Tamiang, Kabupaten Serang. Pemukulan tersebut terjadi karena Chaerul Fajri protes terhadap kertas suara yang kosong dicoblos pada bagian Pasangan incumbent 1 oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS nomor 5, kemudian dicampur kedalam kotak suara. Di sepanjang Jalan Raya Anyer, tepatnya di kelurahan Kepuh pada tanggal 13 September 2011, terjadi pencoporan baliho dan bendera bergambar incumbent 2, pelaku mengaku dibayar Rp 100 000.00 untuk setiap baliho dan Rp 2 000.00 untuk satu bendera oleh tim pendukung incumbent 1. Serangan fitnah terhadap incumbent 2 pun terjadi, dengan adanya kupon sembako yang beredar mengatasnamakan pasangan incumbent 2 di Lebak dan Pandeglang , yang diduga dilakukan oleh lawan politik untuk menyerang
107
mereka. Selain itu di Kelurahan Karang Anyar Kota Serang, Salah seorang Lurah masuk ke TPS , dan mencoba memengaruhi pemilih ke nomor 1. Kemudian terdapat ketidaknetralan PNS/Pejabat Publik dalam Pemilu Gubernur. Contohnya, Dugaan adanya kampanye terselubung dalam acara halal bihalal di Masjid Al Azom Kota Tanggerang, yang di dalamnya ada kemasan pesan politik dengan bukti, barang berupa roti yang bergambar incumbent 2 yang dibagikan kepada para guru. Kemudian Kepala desa Sukajaya Kabupaten Pandeglang memecat RT, guru Pendidikan anak Usia Dini (PAUD), dan penghulu karena dilokasi pemilihan mereka incumbent 2 yang menang. Penyalahgunaan kekuasaan dengan modus pemanfaatan kekuasaan adalah modus yang paling banyak digunakan. Misalnya, terlihat dalam surat edaran Sekertaris Daerah Banten yang mengimbau seluruh jajaran pemerintah memasang spanduk dan umbul-umbul di sekitar lingkungan kantor masingmasing dengan tema “Dengan Semangat HUT ke-11 Provinsi Banten Kita Teruskan Pembangunan Menuju Rakyat Banten Sejahtera Berlandaskan Iman dan Takwa”, Sekda Banten terlihat berpihak pada incumbent 1. Selain itu Kepala Badan Ketahanan Pangan Daerah (BKPD) Provinsi Banten mengarahkan bawahannya agar menggalang dukungan dari pegawai BKPD dan keluarga, dan juga dari berbagai lembaga di bawah naungan BKPD agar memilih incumbent 1. Pada jajaran Dinas, para pelaku adalah para kepala Dinas, seperti Kepala Dinas Kelautan dan dan Perikanan yang memerintahkan anak buahnya memilih incumbent 1. Pada tanggal 22 Oktober 2011 di gedung SMAN 6 Serang, Kepala Dinas Pendidikan Kota serang memerintahkan guru dan kepala sekolah serta mengajak keluarga mereka untuk memenangkan incumbent 1. Kemudian Kepala Dinas Sosial (Dinsos) kota Serang memberi pernyataan bernada kampanye, Kepala Dinsos mengingatkan kepada penerima bantuan untuk menggunakan hak pilihnya pada pilkada Banten sambil menunjuk ke kalender bergambar incumbent 1 saat itu yang terpasang di dinding rumah.
108
Pada tanggal 14 September 2011 di Kota Serang, wakil ketua DPRD Kota Serang menghimbau masyarakat memilih gubernur dan wakil gubernur yang sesuai hati nurani dalam pembagian bantuan dari Pemkot dan Pemprov Banten, berupa pemberian dana sebesar 10 juta rupiah untuk rehabilitasi rumah tak layak huni (RLTH) di Kota Serang yang bersumber dari APBN. Kata-kata yang diucapkannya adalah Pilihlah gubernur yang sudah memberikan bantuan, bukan yang hanya iming-iming saja. Selain itu juga ada dana APBD dan Program Pemda yang menjadi ajang Kampanye, ada penggunaan dana APBD pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Banten untuk pembuatan atribut kampanye berupa kaos bergambar incumbent 1. Progran yang menjadi ajang kampanye adalah pengobatan gratis oleh Dinas Kesehatan di salah satu desa di Kabupaten Pandeglang oleh Relawan Banten Bersatu (RBB), terbukti membagikan resep obat yang bergambar incumbent 1. Kemudian adanya permohonan dukungan dengan dalih kekuasaan pun dilakukan oleh seorang istri camat yang mengirim sms ke ibu-ibu Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kecamatan Cisoka yang bertuliskan,”Assalamualaikum, ibu-ibu pengurus tolong pilih no 1 ya, bukannya saya memaksa tapi untuk keselamatan pak camat, terimakasih atas pengertiannya, wassalam”. Penyalahgunaan kekuasaan pun dilakukan dengan cara menggunakan fasilitas negara dengan modus penggunaan mobil dinas, pemasangan atribut di kantor pemerintahan, pemanfaatkan kunjungan kerja dan kegiatan pemerintahan lain dan memanfaatkan iklan layanan masyarakat dan iklan yang masih menggunakan fasilitas pemerintah143. 2.
Politik Uang. Aspek yang kedua adalah money politics. Apakah pemilu Gubernur
Banten tahun 2011 terbebas dari money politics? di seluruh wilayah Indonesia praktek politik uang sudah menjadi rahasia umum, sesuatu yang sulit dihilangkan dari euphoria pesta demokrasi. Apalagi upaya pencegahan yang 143
Lihat lebih lengkap di ibid , hal 9-13.
109
dilakukan hanya berupa himbauan dari panitia pengawas pemilu agar tidak melakukan politik uang. Himbauan tidak akan menghentikan terjadinya politik uang, begitu juga pada pemilu Gubernur Banten, karena berdasarkan temuan ICW hampir semua incumbent melakukan politik uang. Politik uang dapat terjadi karena ternyata prilaku rent seeker juga dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia terutama dalam hal ini adalah masyarakat Banten. Keterbatasan pendidikan masyarakat Banten menyebabkan mereka menjadi miopyc dapat melihat keuntungan jarak dekat (jangka pendek) namun tidak dapat melihat kerugian jarak jauh (jangka panjang), perilaku rent seeker tidak hanya dimiliki oleh pelaku politik maupun ekonomi di Banten tapi juga ada pada masyarakat, organisasi masyarakat (ORMAS) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)144. Jumlah Kasus Pemberian uang pada Kepala Desa, TPS, tempat ibadah
7
Pemberian kerudung, sajadah, helm dan berbentuk pakaian yang lain Pemberian janji-janji
8 2
Pembagian sembako, mie, pengobatan gratis, ikan.
26
Pembagian uang secara langsung
39
Sumber: ICW 2011,2012. Gambar 18. Kompilasi Politik Uang Berdasarkan Modus. Dalam pemilu Gubernur Banten, uang bertaburan untuk organisasi sosial kemasyarakatan dan juga dibagikan langsung kepada masyarakat. Ada beberapa modus, yaitu diantaranya pemberian uang secara langsung, bagibagi ikan, pemberian mie, pembagian pin bergambar, pembelian helm dan rompi, pembagian sajadah, kerudung dan barang lainnya (Gambar 18). Modus dengan pemberian uang secara langsung adalah praktek yang paling banyak dibandingkan modus yang lainnya. 144
Hasil wawancara Akademisi Banten, 8 November 2012.
110
ICW mengungkapkan, berdasarkan pengakuan tim sukses ‘kampung’ di kecamatan Picung-Pandeglang, misalnya hampir semua tim sukses membagi-bagikan uang sebagai ‘serangan fajar’, dengan besaran antara Rp 5 000.00 sampai dengan Rp 25 000.00, modus tersebut hampir merata di setiap tempat di Provinsi Banten. Berikut sebagian contoh kasus dalam modus-modus di atas, Untuk pembagian uang secara langsung terjadi di Desa Langensari Pandeglang, Staf Pemerintahan provinsi (Pemprov) Banten yang mendampingi kunjungan kerja Gubernur membagi-bagikan uang amplop kepada peserta yang hadir, sebesar Rp 20 000.00 hingga Rp 50 000.00 per-orang. Pemberian uang langsung dilakukan juga di kelurahan Juhut atau lokasi TPS, pemberian oleh tim sukses incumbent 2 sebesar Rp 10 000.00 Pada tanggal 21 Oktober di Kecamatan Banjarsari Malingping Kabupaten Lebak, pembagian uang dilakukan kepada masyarakat oleh tim sukses sebesar Rp 20 000.00 per-orang dengan permintaan mencoblos incumbent 1. Bagibagi uang terjadi juga di RT 07/01 desa Telaga sari kecamatan Balaraja oleh simpatisan imcumbent 3, simpatisan membagikan amplop berisi Rp 10 000.00 kepada warga. Kemudian Sabtu pagi pada hari pencoblosan di Desa Babakan dan kampung Buaran Tanggerang Selatan, tim sukses incumbent 1 membagikan uang Rp 10 000.00 kepada warga dan meminta warga mencoblos incumbent 1. Beberapa contoh dari modus pembagian sembako, mie dan pengobatan gratis, misalnya seperti Oknum dari Tim sukses incumbent 1 membagikan mie instan di Desa Ejat Kabupaten Lebak, Desa Tamiang Kabupaten Serang dan di beberapa desa lainnya. Mie instant tersebut di dalamnya terdapat stiker yang memerintah untuk memilih incumbent 1. Pembagian sembako di beberapa tempat di Ciledug Kota Tanggerang dan beberapa kampung di Kabupaten/Kota Cilegon, oleh simpatisan incumbent
1.
Sedangkan
pengobatan gratis dilakukan oleh oknum dokter yang merupakan tim kampanye pasangan no urut 1, dilakukan pada 12 Oktober 2011 di lapangan volly Pondok Indah Paninggilan Kecamatan Ciledug.
111
Modus pemberian janji-janji misalnya seperti, pada tanggal 25 September 2011 di puri bintaro indah, Jombang, Tanggerang Selatan terjadi pengarahan kepada Kelompok Kerja (Pokja) 2 PKK oleh ibu-ibu PKK Jombang untuk memilih incumbent 1, arahan tersebut disertai iming-iming akan ada kunjungan Gubernur dan jika terbentuk koperasi akan mendapatkan bantuan. Kemudian Kepala Desa Daon Rajeg memerintahkan lurah untuk menggalang massa mendukung incumbent 1, dan melakukan praktek politik uang kepada massa, lurah tersebut dijanjikan masa jabatan akan bertambah dua tahun. Modus berikutnya adalah Pemberian helm, kerudung, dan pakaian lainnya. Contohnya pada kunjungan kerja Gubernur ke kecamatan Cimanuk, aparat pemerintah dari dinas Perhubungan dan Komunikasi Pemprov Banten membagikan helm dan rompi bergambar incumbent 1. Pemberian ini dilakukan dengan maksud memengaruhi para tukang ojek agar memilih incumbent 1. Untuk pemberian kerudung disertai brosur incumbent 1 , atau kerudung bertuliskan nama calon gubernur no urut 1, biasanya dibagikan oleh istri ketua RT,RW, maupun PNS. Mereka membagikannya pada pengajian majlis talim, berikut beberapa tempat prakteknya di Kampung Nambo Rt.07/01 Desa Telagasari kecamatan Balaraja, Desa Babakan RT 05/04 Kecamatan Setu Kota Tanggerang Selatan, Perumahan Serua Permai RT 02/05 Kelurahan Benda Baru Kecamatan Pamulang. Contoh dari modus terakhir adalah pada tanggal 15 Oktober 2011 seorang tim sukses memberikan dana guna pembangunan masjid Kampung Kahuripan, dengan pesan agar warganya memilih incumbent 3. Contoh Aksi bagi-bagi uang kepada kepala desa oleh camat misalnya yang terjadi di Pangendangan Kabupaten Tanggerang, Tanjung Tejo Kabupaten Serang. Uang dibagikan ke kepala desa per-kepala desa berkisar 2 juta rupiah sampai dengan 5 juta rupiah. Sedangkan pembagian uang oleh camat maupun kepala desa ke TPS terjadi di seluruh tempat di kecamatan Legok, Pangendangan, Cisauk, dan Curug diberikan per-TPS 1 juta rupiah sampai dengan 2 juta rupiah. Semua itu bertujuan agar mereka memenangkan incumbent 1.
112
3.
Kepatuhan dalam pengunaan dana kampanye. Dari banyaknya kasus money politics yang diuraikan diatas dapat
disimpulkan bahwa dana yang dibutuhkan dalam pemilukada tidaklah sedikit, dana kampanye besar dibutuhkan untuk modal pemenangan para incumbent , dana kampanye yang dikeluarkan dalam Pemilu Gubernur Banten tahun 2011 adalah sebesar Rp 27 371 876 850.00 Berdasarkan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dari tiga pasangan calon, sumber dana kampanyeadalah dari kantong pribadi para incumbent, sumbangan partai politik, sumbangan perusahaan perseorangan dan sumbangan badan hukum swasta. Berikut adalah daftar sumber dana kampanye masing-masing pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Banten tahun 2011. Dapat kita lihat dari tabel 9, bahwa dari ketiga incumbent, ternyata incumbent 2 yang jumlah penerimaan dan pengeluaranya paling besar, dengan penerimaan dari modal pribadi paling besar yaitu Rp 12 901 835 750.00 Dari Tabel 9 juga dapat terlihat modal pribadi incumbent yang paling kecil adalah pasangan calon no.1, dimana totalnya hanya 1 milyar rupiah, yang paling memberikan kontribusi bagi dana kampanye incumbent 1 adalah sumbangan dari badan hukum swasta, hal ini karena latar belakang calon gubernur merupakan penguasa nomor satu di Banten sehingga memiliki akses ekonomi cukup besar dibandingkan kandidat lain. Sedangkan Incumbent 3 cukup terbantu dengan sumbangan partai politik (PPP dan PKS), dibandingkan dengan kandidat lain incumbent 3 adalah satu-satunya kandidat yang menerima sumbangan dari partai politik, dan satu-satunya kandidat yang tidak menerima sumbangan dari badan hukum swasta. Incumbent 1 memperoleh sumbangan dana kampanye dari Badan Hukum Swasta sebesar Rp 7 500 000 000.00 dengan total perusahaan penyumbang adalah sebanyak 33 perusahaan yang beralamat di Banten maupun luar Banten.
113
Tabel 9. Jumlah Dana Kampanye Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Banten Tahun 2011.* Incumbent 1 Saldo awal
1 000 000.00
Penerimaan
8 501 627 557.00 Sumbangan dari pasangan calon Sumbangan dari partai politik Sumbangan perseorangan Sumbangan Badan hukum swasta Bunga bank
1 000 000 000.00 50 000 000.00** 7 500 000 000.00 1 627 557.00
Total penerimaan dana kampanye
8 502 627 557.00
Total pengeluaran dana kampanye
(8 500 346 500.00)
Saldo akhir Incumbent 2 Saldo awal
2 281 057.00 Sumbangan perseorangan
100 000.00
Penerimaan
14 648 315 750.00 Sumbangan dari pasangan calon Sumbangan dari partai politik Sumbangan perseorangan Sumbangan Badan hukum swasta
12 901 835 750.00 197 680 000.00 1 548 800 000.00
Total penerimaan dana kampanye
14 648 415 750.00
Total pengeluaran dana kampanye
(14 588 375 750.00)
Saldo akhir
60 040 000.00
Incumbent 3 Saldo awal
2 091 250 000.00 Sumbangan dari pasangan calon Sumbangan dari partai politik Sumbangan perseorangan
1 350 000 000.00 435 000 000.00 306 250 000.00
Penerimaan
2 225 000 000.00 Sumbangan dari pasangan calon Sumbangan dari partai politik
1 300 000 000.00
Sumbangan perseorangan
25 000 000.00
900 000 000.00
Total penerimaan dana kampanye
4 316 250 000.00
Total pengeluaran dana kampanye
( 4 283 154 600.00)
Saldo akhir Ket *dalam rupiah. ** dalam bentuk iklan kampanye radio. Sumber: KPUD, Badan Pengawas Pemilu, 2012 (diolah).
114
33 095 400.00
Namun terdapat beberapa kejanggalan yang ditemukan dari daftar perusahaan penyumbang (lampiran 1), ICW menemukan 9 perusahaan yang tidak menyertakan
NPWP (total sumbangan sebesar 2.1 milyar rupiah),
terdapat 6 perusahaan penyumbang yang alamatnya tidak jelas karena hanya berupa kabupaten/kota (total sumbangan sebesar 1.2 milyar rupiah), terdapat 5 perusahaan yang beralamat sama (total sumbangan sebesar 900 juta rupiah), selain itu juga ditemukan adanya 6 alamat perusahaan lebih dikenal sebagai kantor perusahaan lain atau menggunakan alamat yang tidak layak disebut dengan kantor. Selain itu, penyumbang dana kampanye juga adalah perusahaanperusahaan yang bergerak dibidang pengerjaan proyek APBD. Hasil penelusuran ICW lainnya adalah ditemukannya penyumbang atas nama YS dari perusahaan P.T. ACDA Mandiri bekerja sebagai supir pribadi salah satu pejabat di Dinas Kesehatan Provinsi.
5.1.2 Mekanisme Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah dan Bansos Provinsi Banten Tahun 2011 Secara normatif, landasan kebijakan pengelolaan keuangan daerah diatur dalam berbagai peraturan yaitu perumusan peraturan daerah (Perda) APBD dalam Undang-undang Nomer 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri Nomer 54 tahun 2010 Tentang Tahapan, Tata cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Daerah. Untuk penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2011 ada acuan lain yaitu Permendagri Nomer 54 tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Perubahan dari Permendagri Nomer 13 tahun 2006, dengan perubahan paling akhir terdapat dalam Permendagri Nomer 21 tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah) dan Permendagri Nomer 37 tahun 2010 tentang Pedoman
115
Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011. Siklus pengelolaan keuangan daerah dapat dirangkum dari berbagai regulasi dibawah ini (Gambar 19). Tahap 1 : Perencanaan anggaran RPJMD RKPD
KUA /PPAS
Nota Kesepakatan
RKA SKPD
RAPBD
Perda APBD
Tahap 2:
Tahap 3:
Pelaksanaan dan Penatausahaan
Pertanggungjawaban Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD
Pelaksanaan APBD -Pendapatan -Belanja - Pembiayaan
Penatausahaan Pendapatan Belanja Pembiayaan
Laporan Realisasi Semester pertama
Akuntansi Keuangan Daerah
Raperda Pertanggung jawaban
Pemeriksaan LKPD oleh BPK
Perubahan APBD
Sumber: Rangkuman berbagai regulasi penyusunan APBD. Gambar 19. Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah Penyusunan APBD didasarkan pada perencanaan yang sudah ditetapkan terlebih dahulu melalui program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, menurut perspektif waktu ada 3 perencanaan di tingkat daerah, yaitu Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah perencanaan pemerintah daerah (Pemda) untuk periode 20 tahun,
Rencana Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) adalah perencanaan pemda untuk periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yaitu merupakan perencanaan tahunan daerah, yang merupakan penjabaran dari RPJMD yang berisi program-program pembangunan selama 1 tahun. 116
RKPD ini yang kemudian didanai oleh APBD. RKPD ini kemudian dirinci lagi dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), perencanaan ditingkat SKPD ini terdiri dari Rencana Strategi (Renstra) SKPD adalah rencana untuk periode 5 tahun dan Rencana Kerja (Renja) SKPD adalah rencana kerja tahunan SKPD. Renstra SKPD harus mengacu pada RPJMD yang juga menjadi acuan penyusunan SKPD, dan RPJMD harus mengacu pada RPJPD. Pada tahap penyusunan RKPD ini dimulai dari diadakannya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Desa yang kemudian hasil usulannya dibawa ke Musrembang Kecamatan, kemudian di bahas dalam
Musrembang
Kabupaten/Kota
dan
Musrembang
Provinsi.
Musrembang ini difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) dan dinas-dinas dalam jajaran pemerintah daerah, untuk mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Dari hasil Musrembang, pihak Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang terdiri dari Bapeda, Biro Administrasi Pemerintah Sekertaris Daerah (Biro Adpem Setda), Dinas pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Penetapan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Kemudian KUA-PPAS dibawa Pemda ke dalam rapat kerja dengan pihak DPRD, sehingga lahirlah Nota Kesepakatan antara Kepala Daerah dan Pimpinan DPRD yang berisi Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKASKPD)yang kemudian menjadi rancangan Perda APBD, yang disyahkan dalam rapat paripurna DPRD menjadi Perda tentang APBD, yang berisi rincian Dokumen Anggara Satuan Kerja (DASK). Menurut Permendagri Nomer 37 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 Proses penyusunan dan penetapan APBD dari KUA PPAS sampai dengan rancangan perda APBD dilakukan paling lambat sampai 30 November 2010, dan ditetapkan menjadi APBD paling lambat 31 Desember 2010. Pada tahap pelaksanaan penggunaan anggaran mengacu pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD yang memuat pendapatan
117
dan belanja yang digunakan, sedangkan untuk pelaksanaan pengadaan barang dan jasa mengacu pada Kepress No.80 tahun 2003 dan perubahannya tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang mengatur proses tender dan sebagainya. Kemudian dalam APBD terdapat Anggaran Belanja Tambahan (ABT), ABT ini adalah penyesuaian pada tengah tahun berjalan (1 Semester) oleh Pemda dan DPRD untuk memberikan kesempatan kepada programprogram yang belum masuk dalam APBD agar dimasukan. Hal ini diatur dalam Perda Perubahan APBD. Pada tahap yang terakhir, kepala daerah menyusun Laporan Pertanggungjawaban APBD yang harus disampaikan kepada BPK, dan kemudian BPK menyerahkan kepada DPRD untuk disyahkan menjadi perda Pertanggungjawaban APBD. Khusus dalam hal dana hibah dan bansos pada tahun 2011 mengacu pada Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri No.59 tahun 2007 (Perubahan Permendagri No.13 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah), Permendagri No.32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang bersumber dalam APBD, yang secara garis besar terangkum pada tabel 10. Menurut Permendagri No. 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos, pada tahap perencanaan Anggaran, pemerintah, pemerintah daerah lain, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi masyarakat dapat mengusulkan permohonan dana hibah dan bansos secara tertulis kepada kepala daerah, kepala daerah kemudian menunjuk SKPD terkait untuk mengevaluasi usulan tersebut, hasil evaluasi kepala SKPD dan pertimbangan TAPD menjadi dasar penentuan alokasi anggaran hibah dalam KUA-PPAS yang kemudian dicantumkan dalam RKA-SKPD untuk hibah dan bansos berupa barang jasa, dan RKA PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) untuk hibah bansos berupa uang. Hibah bansos berupa uang dianggarkan dalam belanja tidak langsung, sedangkan hibah bansos berupa barang dan jasa dianggarkan dalam belanja langsung yang diformulasikan kedalam program dan kegiatan.
118
Tabel 10. Gambaran Umum Hibah dan Bantuan sosial. Keterangan
Hibah
Bantuan Sosial
Definisi
Pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. Menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat.
Pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Tujuan
Mekanisme
Belanja hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, rasionalitas dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Belanja hibah bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak secara terus menerus dan tidak wajib serta harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah daerah. Naskah perjanjian hibah daerah sekurang-kurangnya memuat identitas penerima hibah, tujuan pemberian hibah, jumlah uang yang dihibahkan.
Rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, dan penanggulangan bencana. Bantuan sosial diberikan secara selektif, tidak terus menerus/tidak mengikat serta memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
Sumber: PP 58/2005, Permendagri 59/2007, Permendagri 32/2011
119
Pada tahap pelaksanaan dan penatausahaan, pelaksanaan berdasarkan DPA-PPKD dan DPA-SKPD, pemberian hibah dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang ditandatangani pemberi dan penerima hibah, setelah penandatanganan NPHD penyaluran dana hibah dan bansos dapat dilakukan berdasarkan daftar penerima hibah dan bansos yang tercantum dalam keputusan kepala daerah yang berdasarkan perda tentang APBD dan perda tentang penjabaran APBD. Pada tahap
Pelaporan dan pertanggungjawaban
penerima harus
melaporkan penggunaan hibah bansos kepada kepala darah melalui PPKD dengan tebusan SKPD terkait, kemudian dicatat sebagai realisasi belanja hibah PPKD pada tahun anggaran terkait, penerima hibah harus melakukan pertanggungjawaban atas bukti-bukti pengeluaran yang sah atas hibah bansos uang atau bukti serah terima untuk hibah bansos barang jasa, sedangkan bagi pemberi hibah (kepala daerah) harus melakukan pertanggungjawaban atas bukti-bukti transfer uang langsung atau serah terima barang atau jasa, pertanggung jawaban diserahkan paling lambat tanggal 10 Januari tahun anggaran
berikutnya,
pertanggungjawaban
disimpan
sebagai
objek
pemeriksaan , kemudian realisasi hibah dicantumkan dalam LKPD sesuai dengan SAP. Dari hasil penelusuran data dan wawancara terhadap beberapa pihak terkait, prilaku perburuan rente yang dipicu oleh tingginya biaya politik telah dimulai dari proses penyusunan APBD.
Pada tahap perencanaan APBD
misalnya beberapa pihak mengutarakan bahwa RKPD hasil musrembang dan APBD yang diputuskan sering tidak sejalan, alur normatif yang dilakukan hanyalah formalitas untuk memenuhi setiap tahap dalam siklus pengelolaan keuangan daerah, kebutuhan masyarakat hasil musrembang selalu terputus ketika pembahasan sudah dilakukan pihak eksekutif bersama legislatif. Salah satu cara yang digunakan eksekutif dan legislatif untuk menghindari publikasi dalam pembahasan APBD yang krusial/sensitif biasanya dilakukan di luar Banten145. Sehingga pada akhirnya keputusan yang diambil adalah kesepakatan untuk memenuhi kepentingan pihak eksekutif dan 145
Hasil wawancara akademisi Banten , ibid.
120
legislatif dan lingkaran kecil kelompok mereka, sedangkan dalam hal proyek APBD, proyek-proyek “mercusuar” yang akan menang. Namun adanya perubahan dalam RKPD hasil musrembang ini ketika masuk dalam pembahasan eksekutif dan legislatif menurut pihak Bapeda terjadi karena penggalian aspirasi bukan hanya melalui Musrembang yang dilakukan oleh pihak eksekutif, pihak legislatif pun telah melakukan tiga kali proses penjaringan aspirasi masyarakat melalui reses, yang dilakukan di daerah pilihannya, sehingga dikhawatirkan oleh legislatif hasil musrembang belum menampung aspirasi daerah pilihan mereka146. Walaupun memang demikian, reses itu sendiri memiliki masalah yang belum terselesaikan, pada prakteknya pada masa reses seorang anggota DPRD
diberi
anggaran
dipertanggungjawabkan,
dari
APBD
yang
kemudian
harus
misalkan anggaran tersebut digunakan untuk
membayar sewa tempat, konsumsi, dan transport anggota dewan. Penyimpangan yang biasa terjadi adalah membagikan uang pada konstituen, sumber dana berasal dari hasil manipulasi biaya. Contohnya yang dilaporkan hadir adalah 100 orang, namun yang hadir hanya 25 orang, sisanya dipalsukan. Contoh lainnya dilaporkan adanya biaya konsumsi per-orang sebesar 40.000 rupiah, namun sebenarnya tidak ada konsumsi yang dibagikan. Hasil uang dari penyimpangan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat pendukungnya, secara normatif tidak diperbolehkan adanya aksi bagi-bagi uang kepada masyarakat dalam masa reses147. Dengan demikian patut dipertanyakan, apakah perubahan RKPD pada hasil akhir keputusan APBD karena eksekutif-legislatif mendiskusikan hasil penggalian aspirasi masyarakat lewat dua mekanisme yang berbeda itu, atau karena adanya tarik menarik kepentingan masing-masing pihak. Sebagian besar informan menjawab bahwa dugaan yang kedualah yang terjadi dalam perencanaan APBD di Provinsi Banten148. 146
Hasil wawancara pihak eksekutif, bagian Bidang Perencanaan Program dan Anggaran Bappeda, 6 Desember 2012. 147 Hasil wawancara pihak legislatif, Loc.cit. 148 Hasil wawancara dari pihak Legislatif, Eksekutif, Akademisi, BCW, dan ICW.
121
Kecenderungan peningkatan alokasi dana hibah dan bansos di beberapa daerah di Indonesia berkolerasi dengan peningkatan kasus korupsi hibah dan bansos yang bertepatan dengan waktu penyelenggaraan pilkada di suatu daerah. Audit BPK tahun 2011 menyebutkan aliran dana hibah bansos tahun 2007-2010 mencapai 300 triliun rupiah. BPK juga menyatakan bahwa dana tersebut banyak diselewengkan untuk kepentingan pilkada. Dana Bansos dan hibah digunakan sebagai dana taktis pilkada di daerah dan pusat, para elite menggunakan dana ini sebagai sumber pembiayaan aktivitas politik bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana substansi Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang bersumber dari APBD149. Kecenderungan peningkatan alokasi dana hibah dan bansos juga terjadi di daerah Provinsi Banten pada tiga tahun terakhir menjelang pemilu Gubernur yang dilaksanakan bulan Oktober tahun 2011. Peningkatan terbesar bertepatan dengan waktu penyelenggaraan pemilu Gubernur yaitu pada tahun 2011. Besarnya nilai realisasi dana hibah Provinsi Banten ini terlihat tidak wajar, dalam tiga tahun terakhir peningkatannya amat drastis (tabel 11) . Tabel 11. Tren Realisasi Anggaran Hibah dan Bansos Provinsi Banten Tahun
Dana Hibah*
Dana Bansos*
2009
57 693.81
48 116.09
2010
23 830.00
51 428.20
2011
666 671.00
78 228.75
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK), 2012 (diolah). Ket:*)dalam juta rupiah. Pada TA 2011 terjadi peningkatan anggaran hibah bansos lebih dari dua kali lipatnya realisasi pada TA 2010, nilai belanja hibah sebesar 666.671 milliar rupiah ini bahkan jauh lebih besar daripada belanja barang pada realisasi APBD Banten yang hanya senilai 450 156 miliar rupiah. Kemudian ternyata peningkatan anggaran ini disusul dengan dugaan kasus korupsi Bansos dan Hibah di Provinsi Banten yang diungkap oleh ICW, yang akan diuraikan dipembahasan selanjutnya. 149
Korupedia.org 18/6/2012, diakses 19/6/2012.
122
Hal ini sesuai dengan analisis ekonomi mengenai birokrasi yang dikemukakan Niskanen, menyatakan bahwa birokrasi sebagaimana juga dengan orang lain, adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, dalam hal ini adalah penghasilan, jumlah karyawan, reputasi, dan status sosialnya. Karena fungsi utilitas birokrat berkaitan dengan besarnya anggaran, maka seorang birokrat yang berusaha mencapai kepuasan yang optimal dengan memaksimumkan anggaran pemerintah. Seorang birokrat bukanlah orang yang netral
terhadap proses pembuatan anggaran, maka birokrat akan
cenderung menghasilkan barang atau jasa yang lebih besar daripada yang seharusnya, sehingga terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber ekonomi oleh pemerintah150. Seorang informan dari jajaran eksekutif mengutarakan Korupsi APBD yang terjadi adalah karena adanya tekanan dari legislatif untuk selalu memberikan “koordinasi” dalam mensyahkan sebuah perda mendorong jajaran eksekutif untuk kreatif dalam segala bentuk kegiatan dan proyek151. Salah satu bentuk kreativitas tersebut adalah merencanakan dana bansos hibah menjadi objek pos anggaran yang fleksibel digunakan menjadi dana taktis. Pernyataan ini dibenarkan oleh seorang informan dari pihak legislatif Provinsi Banten. DPRD memiliki fungsi budgeting sehingga untuk menyetujui sebuah perda usulan eksekutif maka pihak DPRD meminta “jatah” barter politik kepada eksekutif, salah satunya adalah pos dana hibah dan bansos152. Selanjutnya cara DPRD memperoleh rente dari pos dana hibah dan bansos ini adalah dengan memotong nilai penyalurannya kepada masyarakat, misalnya ada hibah yang diterima oleh salah seorang anggota DPRD adalah 1 miliar rupiah, kemudian 900 juta rupiah dibagikan untuk kelompoknya yang jumlahnya 9 orang, dan sisanya 100 juta rupiah disalurkan kepada 10 000 orang (masyarakat) dengan pembagian yang kecil-kecil, masyarakat mengetahuinya namun terpaksa menandatangani jumlah yang tidak sesuai dengan yang mereka terima. 150
Mangkoesoebroto G, op.cit. hal 69. Hasil wawancara pihak eksekutif, 3 juni 2012. 152 Hasil wawancara pihak legislatif Provinsi Banten, 28 November 2012 151
123
Anggota Legislatif pun pintar memilah-milah apa yang dilakukan untuk menyalurkan dana hibah misalnya dana hibah untuk bidang pendidikan, apabila disalurkan untuk beasiswa dan pendidikan gratis maka tidak akan menghasilkan uang, maka mereka akan cenderung memilih dialokasikan untuk proyek “mercusuar” agar menghasilkan uang, contohnya seperti pengadaan buku atau membangun gedung sekolah, dan yang menangani proyeknya adalah dari kelompok mereka juga. Informan dari pihak legislatif153juga menyatakan bahwa dana bansos dan hibah juga digunakan oleh eksekutif salah satunya berfungsi sebagai dana taktis dalam pilkada yang digunakan incumbent untuk melakukan money politics. Menurut pendapat beliau,“Satu hal yang penting diingat dan menjadi kata kunci penyebab terjadinya korupsi oleh para pejabat pemerintah di daerah adalah selama masyarakat menganggap yang memberikan sesuatu itu baik, maka para pejabat akan selalu melakukan korupsi”. Artinya mengubah pandangan masyarakat itu penting, melalui sosialisi atau proses pembelajaran formal maupun informal, karena pejabat pemerintah, partai politik, birokrasi, dan pemilih itu sendiri adalah bagian dari masyarakat. Menurut beberapa kalangan mengenai APBD dana bansos hibah yang berfungsi sebagai dana taktis pilkada, maka menarik untuk ditelusuri alur pengelolaan APBD dana hibah dan bansos Provinsi Banten pada tahun 2011 dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Berdasarkan hasil penelusuran data pada tahap perencanaan anggaran ditemukan beberapa hal berikut: a. Proses penganggaran terkait dana hibah dan bansos belum memiliki tolak ukur yang jelas. 1. Proses penganggaran terkait dana hibah dan bansos belum memiliki tolak ukur yang jelas karena proses perencanaanya tidak mengacu prinsip anggaran berbasis kinerja dan money follow function , sehingga tidak memiliki indikator kinerja dan tidak bisa dikaitkan dengan RJPP, RJPM, dan RKPD. Dengan demikian maka peran TAPD sangat berperan dalam menentukan penerima hibah bansos. 153
Ibid.
124
Seharusnya menurut Permendagri No.54 tahun 2010 tentang Tahapan, Tata Cara, penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, peraturan tersebut memuat tahapan tahapan perencanaan yang partisipatif dengan memegang prinsipprinsip
anggaran
kinerja
dan
money
follow
function,
mempertimbangakan asumsi yang dapat diukur kinerjanya (memiliki indikator yang jelas dan konsisten dengan RJPD, RJPM dan RKPD serta memperimbangkan urusan wajib dan pilihan). 2. Bappeda dalam menyusun anggaran hibah bansos bersifat indikatif dan akumulatif yang tidak bisa dijelaskan spesifikasinya serta tidak memiliki tools yang jelas , antara lain untuk menjabarkan pengertian tidak wajib, tidak mengikat, tidak terus menerus. Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya, menyebutkan hibah barang jasa dan uang ini tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus, hal ini berarti hibah dalam penganggaran sudah bersifat definitif. 3. Proses perencanaan TAPD dimulai
dengan pembahasan dengan
Badan anggaran (Banggar) DPRD dalam menyepakatai KUA dan PPAS dengan menggunakan nilai indikatif RKPD, tapi tidak membahas secara detail faktor dan asumsi-asumsi terkait dana hibah bansos serta peruntukannya. TAPD baru menerima proposal usulan dari SKPD pengusul setelah KUA/PPAS disepakati, tapi TAPD tidak melakukan pembahasan dengan SKPD pengusul, kecuali untuk organisasi dan kegiatan yang bersifat urgent, untuk tahun 2011 , pembahasan intensif dilakukan dengan KPU, Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU), dan KONI. Perubahan besaran nilai hibah dan bansos mengikuti dinamika pembahasan banggar DPRD dan TAPD dari kesepakatan KUA/PPAS sampai dengan pembahasan Raperda APBD. Namun demikian dinamika tersebut berpegang pada kemampuan daerah, yang selama ini berpegang pada estimasi PAD dan besaran belanja langsung yang di upayakan diatas 50 persen dari total belanja daerah (rumusan yang pasti belum ada).
125
b. Mekanisme verifikasi terkait penerima dana hibah dan bansos pada pemerintah Provinsi Banten belum di dukung kriteria yang jelas. 1. Mekanisme verifikasi terkait penerima dana hibah dan bansos pada pemerintah Provinsi Banten belum di dukung kriteria yang jelas. Belum ada aturan/kinerja yang lengkap dan jelas mengenai prosedur verifikasi terkait jenis kegiatan, organisasi penerima. Peraturan yang digunakan oleh tim kajian adalah Permendagri dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang ketentuannya berupa aturan umum, belum mengatur secara rinci mengenai prosedur verifikasi. Tim kajian hanya memiliki
pedoman
apakah
suatu
lembaga
atau
organisasi
kemasyarakatn layak atau tidak layak menerima hibah dan bansos, proses pengkajian hanya sebatas uji formil kelengkapan dokumen administrasi proposal dan rencana anggaran biaya tanpa melakukan uji materiil terkait eksistensi lembaga/organisasi penerima hibah dan bantuan sosial. 2. Tidak ada aturan jelas mengenai besaran nilai yang dapat diberikan kepada organisasi/lembaga kemasyarakatan, hanya mengacu
pada
ketentuan mempertimbangkan kemampuan daerah. Besaran nilai hanya dilihat dari nilai pengajuan yang tercantum di proposal tanpa mengkaji kebenaran penggunaan dan rincian penggunaannya. Besaran nilai yang diusulkan tim verifikasi /kajian tergantung pertimbangan tim verifikasi tanpa pedoman yang jelas, nilai yang diusulkan tidak bersifat final dan tergantung pertimbangan Kepala biro kesejahteraan rakyat (Kesra) dengan memperhatikan salah satunya adalah sisa anggaran yang belum terserap. 3. Dalam proses verifikasi dokumen hibah dan bansos , terdapat dokumen permohonan yang sebelumnya disampaikan melalui jalur pimpinan sehingga sifatnya prioritas. Mekanisme pencairan bansos dilakukan melalui mekanisme voucher dan non voucher . Mekanisme voucher adalah dokumen yang ditandatangani oleh Gubernur dan disampaikan ketika kunjungan gubernur. Voucher bisa sebagai alat mencairkan bansos dengan melampirkan proposal pengajuan. Melalui
126
sistem voucher akan lebih diutamakan pencairannya, tim kajian juga hanya melakukan verifikasi kelengkapam dokumen tanpa melakukan verifikasi uji materiil eksistensi lembaga/organisasi penerima hibah dan bantuan sosial. Jumlah voucher yang dicetak, disebar dan dicairkan, vocher belum di sebar, dan voucher yang disebar tapi belum dicairkan adalah sebagai berikut : Tabel 12. Jumlah Voucher dalam Proses Perencanaan* TA
Cetak
Voucher yang disebar dan dicairkan
(a) (b) (c) 2010 8 992.50 4 137.00 2011 28 722.50 11 695.00 Sumber : BPK RI, 2012. Ket: *dalam juta rupiah
Voucher belum disebar (d) 1 322.50 8 632.50
Voucher disebar tapi belum dicairkan (e)=(b)-(c)-(d) 3 533.00 8 395.00
4. Proses verifikasi tidak mengkoreksi kembali hasil tim kajian dinas pengusul, diantaranya terkait pengajuan voucher tahun sebelumnya yang dicairkan tahun berikutnya, yang menyalahi prinsip tahun anggaran. Voucher tersebut masih diloloskan/tetap ada pencairan tim kajian dinas pengusul maupun DPKAD. 5. Adanya ketidakjelasan jalur permohonan proposal bansos. Secara sistem penerimaan surat, permohonan bansos seharusnya melalui Biro umum kemudian ke Biro Kesra, dan seharusnya dicatat dengan tertib pada biro umum dan biro kesra. Pada prakteknya permohonan tidak hanya melalu biro umum, tapi ada yang langsung ke biro kesra sehingga tidak dapat diketahui ada berapa jumlah proposal yang masuk. 6. Terdapat 64 organisasi yang menerima hibah berulang dalam dua tahun anggaran, 44 organisasi diantaranya mendapatkan hibah secara berulang tanpa ada ketetapan apapun yang mengikatnya, hanya berdasarkan penetapan TAPD. Hal-hal
tersebut
diatas
bertentangan
dengan
ketentuan
yang
mengharuskan hibah bersifat tidak wajib dan tidak mengikat secara terus
127
menurus (Permendagri Nomer 59 tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri Nomer 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 42 ayat (4) Huruf a). Serta
ketentuan yang
mengatur bahwa dalam menentukan organisasi/ lembaga penerima hibah harus dilakukan secara selektif, akuntabel, transparan dan berkeadilan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah (Permendagri Nomer 25 Tahun 2009 Tentang Pedoman penyusunan APBD tahun 2010, Lampiran (7) huruf b). c. Penetapan pemberian hibah TA 2011 belum sepenuhnya berbasis proposal. 1. Hasil pemeriksaan BPK atas 174 organisasi yang menerima hibah TA 2010,terdapat hanya 18 proposal (16 proposal usulan dan 2 proposal pencairan), sedangkan untuk TA 2011 terdapat 237 organisasi penerima hibah namun hanya ada 134 proposal (74 proposal usulan dan 60 proposal pencairan), dan peranan proposal pencairan pun tidak wajar peranannya karena tidak menjelaskan keterkaitan dengan proposal usulan, keberadaan proposal pencairan tidak
menjadi
pegangan tim kajian SKPD untuk melakukan pengkajian, monitoring, dan evaluasi pertanggungjawabannya, hanya sebatas kelengkapan dokumen saja. Hal tersebut tidak sesuai dengan PerGub Nomer 32 Tahun 2009 dan Nomer 19 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan APBD TA 2010 dan 2011, Lampiran Kelompok Belanja Tidak Langsung Hibah, yaitu harus
memenuhi
persyaratan
administrasi
terkait
dengan
aspek
penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, harus dilakukan pengkajian oleh masing-masing SKPD terkait, serta dilarang untuk menggunakan uang hibah diluar peruntukannya. Sedangkan dalam tahap pelaksanaan anggaran ditemukan beberapa hal berikut ini: a. Realisasi bansos dari pemerintah Provinsi Banten selama tahun anggaran 2011 tidak seluruhnya dikonfirmasi oleh penerima Bansos.
128
1. Uji petik lapangan dengan wawancara langsung yang dilakukan BPK RI terhadap 24 organisasi penerima bansos 652 juta rupiah, mengungkapkan bahwa 10 organisasi ( 287.5 juta rupiah) atau 44.09 persen menerima sesuai pencairan yang ada di DPKAD, 8 organisasi (193.5 juta rupiah) atau 29.67 persen tidak pernah menerima sesuai pencairan yang ada di DPKAD, dan sebanyak 6 organisasi hanya menerima sebagian (45 juta rupiah) dibanding yang ada di DPKAD (171 juta rupiah) atau terdapat selisih senilai 126 juta rupiah tidak jelas realisasinya. 2. Selain itu BPK RI juga mengirimkan surat konfirmasi sebanyak 4562 surat permintaan konfirmasi kepada penerima bansos kepada penerima bansos TA 2010 senilai 35 670.75 juta rupiah, TA 2011 senilai 58 611.65 juta rupiah. Sampai dengan 10 maret 2012 BPK RI mendapat jawaban konfirmasi sebanyak 1414 surat atau 31 persen dari total jumlah konfirmasi dan 371 surat kembali karena beberapa alasan salah satunya adalah alamat tidak diketahui keberadaannya. Sedangkan surat yang diterima mengungkapkan 988 penerima bansos ( 19 483.88 juta rupiah) atau 69 persen menyatakan menerima sesuai pencairan DPKAD, 340 penerima bansos (6 502 juta rupiah) atau 23 persen tidak pernah menerima sesuai pencairan DPKAD, dan 86 penerima bansos hanya menerima sebagian
yaitu 1 063.02 juta
rupiah, dibandingkan jumlah pencairan di DPKAD adalah 2 074.75 juta rupiah sehingga selisihnya tidak jelas realisasinya. Hal tersebut tidak sesuai dengan
PP Nomer 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 65, dalam pelaksanaan pembayaran kuasa Badan Usaha Daerah (BUD) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran, menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam perintah pembayaran. Permendagri Nomer 25 tahun 1999 dan Nomer 19 Tahun 2010 beserta lampirannya tentang pedoman penyusunan APBD TA 2010
dan
2011,
dimana
pemberian
bansos
kepada
organisasi
129
kemasyarakatan dalam bentuk uang dilakukan dengan cara transfer melalui rekening atas nama penerima bantuan. b. Dugaan penyaluran dana hibah bansos ke beberapa lembaga fiktif dan berlamat sama. Berdasarkan Uji petik terhadap 30 persen dari total lembaga penerima hibah: 1. ICW menemukan beberapa lembaga fiktif dan berlamat sama dalam penyaluran hibah di Provinsi Banten, lembaga-lembaga tersebut disajikan pada tabel 13 dan 14. Untuk lembaga fiktif misalnya Forum Pengembangan Usaha Mikro, alamat lembaga tersebut memang ada, namun ternyata berupa rumah tempat tinggal, pemilik rumah menegaskan tidak ada lembaga yang beralamat dirumahnya, dan pemilik rumah memang orang tua dari nama yang tercantum sebagai penerima hibah. Anak pemilik rumah ternyata bekerja sebagai tenaga honorer di kantor walikota Tanggerang Selatan, dan pernah menjadi tim sukses adik ipar Gubernur dalam pilkada Tanggerang Selatan. Hasil penelusuran ICW terdapat sepuluh lembaga fiktif dengan alokasi anggaran sebesar 4.5 miliar rupiah. Tabel 13. Lembaga Fiktif Penerima Dana Hibah.
130
NO NAMA LEMBAGA
ALAMAT
JUMLAH (Rupiah)
1
Bantuan non muslim untuk umat Konghucu
Jl. Sukahati 2 Kelurahan Sukasari Kota Tangerang
100 000 000.00
2
Forum Pengembangan Ekonomi Syari’ah dan SDA
Jl. Blok Malang No. 91 Kel Poris Plawad Cipondoh Kota Tangerang
350 000 000.00
3
Lembaga Riset Banten
Jl. Raya Binong Kec. Curug Kab. Tangerang
400 000 000.00
4
Lembaga Kajian Publik dan Otonomi Daerah
Kp. Pasir Gadung Kec. Cikupa Kab. Tangerang
350 000 000.00
(lanjutan) NO NAMA LEMBAGA
ALAMAT
5
Yayasan Haji Amintadiredja
1 500 000 000.00
6
Forum Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pendidikan
7
Forum Study Advokasi Buruh
8
Forum Lingkungan Hidup
Jl. Empu Sendok Raya No.37 Cibodas Baru Kota Tangerang Kp. Cibareng Ds. Mekarbaru Kec. Mekarbaru Kab. Tangerang Jl. Raya Kresek Kp. Sondol Ds. Kemuning Kec. Kresek Jl. Raya Pekayon Ds.Jatiwaringin Kec. Mauk Kab. Tangerang
9
Forum Pengembangan Usaha Mikro
350 000 000.00
10
Lembaga Pemuda dan Masyarakat Anti Narkoba
Jl. Manunggal V Prigi Baru Pondok Aren Tangsel Kp. Utan Pondok Aren Tangerang Selatan
TOTAL
JUMLAH (Rupiah)
400 000 000.00
350 000 000.00
350 000 000.00
350 000 000.00
4 500 000 000.00
Sumber: ICW, 2012.
2. Dalam daftar penerima hibah terdapat juga alamat yang tidak jelas, setidaknya ditemukan delapan penerima hibah yang memiliki alamat jalan Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang, dan empat lembaga yang memiliki alamat Jalan Syekh Nawawi Albantani Palima Serang. Keduabelas lembaga tersebut menerima alokasi hibah sebesar 28.9 miliyar rupiah.
Tabel 14. Lembaga Penerima Hibah yang Memiliki Alamat Sama. No Nama Lembaga 1 PKK Provinsi Banten
Alamat Jl.Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang
Alokasi (Rupiah) 900 000 000.00
2
Dharma Wanita Provinsi Banten
Jl.Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang
900 000 000.00
3
PHBI
Jl.Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang
7 200 000 000.00
4
PHBN/PHBD
Jl.Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang
2 000 000 000.00
5
TPHD/Umroh
Jl.Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang
7 500 000 000.00
131
(lanjutan) No Nama Lembaga
Alamat
6
Safari Ramadhan
3 600 000 000.00
7
Seba Baduy
Jl.Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang Jl.Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang
8
TP UKS
Jl.Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang
200 000 000.00
9
Panitia Harganas XVII & DBBGRM
Jl.Syekh Nawawi Albantani Palima Serang
300 000 000.00
10
Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat
Jl.Syekh Nawawi Albantani Palima Serang
100 000 000.00
11
Komisi Penanggulangan Aids Banten
Jl.Syekh Nawawi Albantani Palima Serang
600 000 000.00
12
Lembaga Kerjasama Tripartit
Jl.Syekh Nawawi Albantani Palima Serang
5 400 000 000.00
TOTAL
Alokasi (Rupiah)
250 000 000.00
28 950 000 000.00
Sumber: ICW,2012. c. Dugaan Dana hibah dan bansos Provinsi Banten tahun 2011 banyak mengalir kepada lembaga yang dipimpin keluarga atau orang yang memiliki afiliasi politik dengan gubernur. Berdasarkan uji petik terhadap 30 persen dari total lembaga penerima hibah lembaga-lembaga yang dipimpin keluarga Gubernur dapat dilihat di tabel 15. Tabel 15. Daftar Aliran Dana ke Lembaga yang dipimpin Keluarga Gubernur. No
132
Nama Organisasi
Hubungan Organisasi dengan Gubernur
Anggaran (Rupiah)
1
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) prov. Banten
Ketua : adik tiri-ipar Gubernur
1 850 000 000.00
2
Tagana Banten
Ketua : anak Gubernur
1 750 000 000.00
3
Palang Merah Indonesia (PMI) Banten
Ketua : adik perempuan Gubernur
900 000 000.00
(lanjutan) No
4
Nama Organisasi
Hubungan Organisasi dengan Gubernur
Anggaran (Rupiah)
PW GP Ansor
Bendahara : anak Gubernur
Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Banten
Ketua: politisi Golkar/Partai Incumbent
6
Himpunan Pendidik dan Tenaga Kerja Kependidikan Usia Dini (Himpaudi) Banten
Ketua : menantu Gubernur
3 500 000 000.00
7
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A)
Ketua: menantu Gubernur
1 500 000 000.00
8
Gerakan Kewirausahaan Keluarga Sejahtera (GWKS)
Ketua : adik perempuan Gubernur
9
Karang Taruna
Ketua : anak Gubernur
10
Dewan kerajinan nasional daerah (DEKRANAS)
Ketua : suami Gubernur
750 000 000.00
11
Dewan Koperasi Indonesia Wilayah (Dekopinwil)
Ketua : adik perempuan Gubernur
200 000 000.00
12
Forum PBB (Paguyuban Banten Bersatu)
Ketua : adik perempuan Gubernur
500 000 000.00
13
IMI Banten
Ketua : adik Gubernur
200 000 000.00
14
Koalisi Politisi Perempuan Indonesia
Ketua: adik perempuan Gubernur
200 000 000.00
15
Gerakan Pemuda Ansor Kota Tangsel
Ketua : menantu Gubernur
400 000 000.00
5
TOTAL
550 000 000.00
15 000 000 000.00
700 000 000.00
1 500 000 000.00
29 500 000 000.00
Sumber : ICW,2012.
133
d. Ada lembaga yang tidak menerima dana hibah sesuai dengan pagu yang telah ditetapkan oleh pemerintah Provinsi Banten. Sebagai contoh, lembaga kajian sosial politik (laksospol) Kabupaten Pandeglang. Dalam daftar DPKAD lembaga tersebut menerima hibah 500 juta rupiah, namun dalam surat pernyataan Laksospol, mereka hanya menerima hibah dari provinsi 35 juta rupiah, begitu juga dengan Lembaga Kajian Ekonomi Banten alokasi dalam daftar DPKAD sebesar 500 juta rupiah, namun jumlah dana yang diterima hanya 35 juta rupiah. Kemudian pada tahap akhir, yaitu tahap pertanggungjawaban anggaran ditemukan beberapa hal berikut ini: a. Sistem monitoring terhadap dana hibah dan bansos belum memadai. 1. Pemberian hibah dan bansos Provinsi Banten TA 2010 dan 2011 belum diikuti peraturan Gubernur sesuai amanat Permendagri No.13 Tahun
2006
yang
menyatakan
Tata
cara
pemberian
dan
pertanggungjawaban pemberian subsidi, hibah, bansos, dan bantuan keuangan ditetapkan mekanisme monitoring dalam peraturan kepala daerah, Untuk belanja Hibah tahun 2012 sudah ada peraturannya yaitu Pergub No.27 Tahun 2011 tentang pengelolaan pemberian dana hibah dan bansos, namun aturan terkait hibah bansos sangat longgar terutama terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban, peraturan ini belum mengatur sanksi atas ketidakpatuhan dan penyimpangan penggunaan dana hibah tersebut. 3. Ketentuan mengenai laporan pertanggungjawaban yang ada di NPHD, dimana penerima hibah wajib melaporkan kepada pemberi hibah setiap tiga bulan, namun tidak ada mekanisme monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan dan pertanggungjawaban oleh pemprov Banten selaku pemberi hibah. 4. Pemberi hibah mempunyai hak memantau
dan mengawasi
pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dengan uang hibah, namun hal ini tidak dijalankan karena tidak diikuti pemberian kewenangan kepada SKPD untuk melakukan pemantauan dan pengawasan atas belanja hibah.
134
5. Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pemberian hibah merasa tidak
memiliki
kewajiban
melakukan
monitoring
terhadap
pelaksanaan hibah dan evaluasi terhadap laporan hibah. 6. Tidak pernah ada aktivitas monitoring pertanggungjawaban atas pemberian bansos. b. Pemberian hibah kepada instansi vertikal belum sepenuhnya diikuti dengan pengesahan sebagai dasar pencatatan oleh penerima hibah dan dukungan
pelaporan
oleh
pemerintah
Provinsi
Banten
kepeda
Kemendagri dan Kemenkeu. 1. Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan perubahannya menyatakan bahwa belanja hibah wajib dilaporkan pemerintah daerah kepada Menteri dalam Negri dan Mentri Keuangan setiap akhir tahun anggaran. 2. BPK RI melakukan konfirmasi dengan uji petik kepada Kantor Wilayah Direktorat jenderal Pembendaharaan Provinsi Banten mengenai kepatuhan instansi vertikal penerima hibah yang berada di wilayah kota Serang. Tabel 16. Kepatuhan Instansi Vertikal Kota Serang. No
1
Instansi Vertikal
Nilai hibah dari Pemprov Banten*
TA Penerimaa n Hibah
No Surat Pelaporan
Kepolisian 13 925.00 2010/11 Ada Negara RI Daerah Banten 2 Badan Pusat 1 100.00 2010/11 Ada Statistik Provinsi Banten 3 KPU Provinsi 132 072.71 2010/11 Tidak ada Banten 4 Kanwil 300.00 2011 Tidak ada Hukum dan Ham 5 Korem 1 015.00 2010/11 Tidak ada 064/MY 6 Danianal TNI 35.00 2011 Tidak ada AL Banten 7 Komisi 1 000.00 2011 Tidak ada Informasi Ket: *)dalam juta rupiah, Sumber : BPK RI 2012, 2012 (diolah).
Nomor Surat Pengesahan Provinsi
Ada
Ada
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
135
Hasilnya adalah dari tujuh instansi vertikal yang menerima hibah sejak tahun 2010
sampai dengan 2011, hanya dua yang
melaporkan hibah yang diterimanya , sedangkan ada lima instansi yang tidak melaporkan dan meminta pengesahan atas hibah yang diterimanya sehingga instansi-instansi tersebut tidak mencatat atau melakukan
rekonsiliasi
penerimaan
hibahnya
dengan
laporan
keuangan kementrian/lembaganya. Hal ini memperlihatkan tidak adanya akuntabilitas pemberian hibah
dari pemda ke instansi vertikal, karena tidak tercatatnya
penerimaan hibah tersebut pada laporan keuangan kementrian atau lembaga penerima hibah. c. Sebanyak 92 Organisasi penerima hibah uang tahun anggaran 2010 dan 2011
dari
pemprov
Banten
belum
menyampaikan
laporan
pertanggungjawaban kepada pemerintah Provinsi Banten sebesar 68 298.59 juta rupiah. 1. Pengujian
BPK
RI
atas
kepatuhan
penyampaian
laporan
pertanggungjawaban dan pendukungnya, masih terdapat organisasi penerima hibah yang belum menyampaikan pertanggungjawaban sesuai
ketentuan.
Pada
TA
2010,
pemprov
Banten
telah
merealisasikan sebesar 92 374.99 juta rupiah belanja hibah kepada 174 lembaga /organisasi. Dari jumlah tersebut sebanyak 121 Organisasi (69.54 persen) dengan nilai realisasi penerimaan hibah sebesar
80
707.85
juta
rupiah
menyampaikan
laporan
pertanggungjawabannya. Sedangkan sisanya sebanyak 53 organisasi dengan nilai hibah 56 599.50 juta rupiah belum menyampaikan LPJ. Untuk TA 2011, terdapat 237 lembaga/organisasi penerima hibah dengan nilai realisasi sebesar 351 478.07 juta rupiah, dari total itu yang menyampaikan LPJ-nya adalah 198 Organisasi (83.54 persen) dengan nilai realisasi 294 878.97 juta rupiah, sedangkan sisanya sebanyak 39 organisasi dengan nilai hibah 56 599.09 juta rupiah belum menyampaikan LPJ.
136
Pergub Provinsi Banten yang berkaitan dengan pertanggungjawaban menyatakan : Tabel 17. Normatif Pertanggungjawaban Hibah Bansos. No
Penerima Hibah
Pertanggungjawaban
Keterangan
1.
Instansi Vertikal dan Organisasi Semi Pemerintah.
Laporan realisasi penggunaan dana, bukti-bukti lainnya yang sah sesuai NPHD dan peraturan perundang-undangan lainnya.
2.
Organisasi Non Pemerintah (Ormas, LSM) dan Masyarakat.
Bukti tanda terima uang, laporan realisasi penggunaan, dan bukti-bukti lainnya,
Pelaksanaan belanja hibah instansi vertikal wajib dilaporkan kepada Menteri dalam negeri u.p Direktur Jenderal Bina Administrasi keuangan daerah dan Menteri Keuangan setelah tahun anggaran berakhir. Penerima bertanggungjawab atas penggunaan dan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Gubernur melalui SKPD terkait.
Sumber: Pergub No.32 tahun 2009 dan Pergub No.19 tahun 2011, tentang Pedoman Pelaksanaan APBD Provinsi Banten TA 2010 dan 2011, 2012(diolah). Selain itu, NPHD masing-masing penerima hibah intinya berisi kewajiban penerima hibah untuk menyampaikan laporan keuangan dan laporan pelaksanaan kegiatan setiap 3 bulan kepada pemberi hibah. Hal-hal diatas mengakibatkan APBD yang dikeluarkan pemprov Banten untuk belanja hibah sebesar 68 298.59 juta rupiah tidak dapat dipastikan subtansi penggunaannya, dan berisiko digunakan tidak sesuai dengan tujuan penerima hibah. Data-data yang diperoleh dari BPK RI dan ICW ini menurut hasil konfirmasi pada pihak eksekutif dan legislatif, menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan ketidaktahuan para penerima bansos dan hibah, karena munculnya peraturan baru yaitu Permendagri 39 tahun 2012 yang merevisi Permendagri 32 tahun 2011, yang mewajibkan adanya laporan pertanggung
137
jawaban dari para penerima hibah dan bansos yang tidak diatur pada Permendagri sebelumnya, akibat ketidaktahuan masyarakat pada peraturan yang baru maka persoalan administrasi ini belum terselesaikan154. Namun salah seorang informan mengungkapkan adanya temuantemuan tersebut bukan hanya disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat, tapi juga karena adanya skenario besar di balik itu155. Walaupun demikian data-data yang diuraikan di atas setidaknya menjadi sinyalemen kuat adanya dugaan penyalahgunaan anggaran, seharusnya ada tindaklanjut baik oleh DPRD maupun oleh aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi /KPK). Tabel 18. Rekapitulasi Hasil Temuan Pada Proses Pengelolaan Dana Bansos Hibah yang bersumber dari APBD Provinsi Banten Tahun 2011. Temuan
Keterangan
Tidak sesuai dengan
Tidak mengacu prinsip anggaran berbasis kinerja dan money follow function
Permendagri Nomer 13 Tahun 2006 dan perubahannya tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Tahap Penganggaran Tolak ukur penganggaran tidak jelas.
Bapeda dalam menyusun anggaran hibah bansos bersifat indikatif dan akumulatif yang tidak bisa dijelaskan spesifikasinya. Perubahan besaran nilai hibah dan bansos mengikuti dinamika pembahasan banggar DPRD dan TAPD dari kesepakatan KUA/PPAS sampai dengan pembahasan Raperda APBD berpegang pada estimasi PAD dan besaran belanja langsung yang di upayakan diatas 50 persen dari total belanja daerah (rumusan yang pasti belum ada).
154
Konfirmasi kepada Bapak Aeng Khaerudin (Ketua DPRD) dan Bapak Gandung (Itjen Pemda) dalam acara “Setelah BPK datanglah KPK “ yang diadakan oleh Forum Diskusi Wartawan Harian (FWDH) Banten 19/06/12. 155 Informan adalah salah satu anggota DPRD Provinsi Banten.
138
(lanjutan) Temuan (penganggaran)
Keterangan
Tidak sesuai dengan
Mekanisme verifikasi penerima hibah bansos tidak punya kriteria jelas.
proses pengkajian hanya sebatas uji formil kelengkapan dokumen administrasi proposal dan rencana anggaran biaya tanpa melakukan uji materiil terkait eksistensi lembaga/organisasi penerima hibah dan bantuan sosial.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Tidak ada aturan jelas mengenai besaran nilai yang dapat diberikan kepada organisasi/lembaga kemasyarakatan, hanya mengacu pada ketentuan mempertimbangkan kemampuan daerah.
Permendagri Nomer 25 Tahun 2009 Tentang Pedoman penyusunan APBD tahun 2010, Lampiran (7) huruf b.
Terdapat dokumen permohonan yang sebelumnya disampaikan melalui jalur pimpinan sehingga sifatnya prioritas. Proses verifikasi tidak mengkoreksi kembali hasil tim kajian dinas pengusul. Adanya ketidakjelasan jalur permohonan proposal bansos. Terdapat 64 organisasi yang menerima hibah berulang dalam dua tahun anggaran, 44 organisasi diantaranya mendapatkan hibah secara berulang tanpa ada ketetapan apapun yang mengikatnya, hanya berdasarkan penetapan TAPD. Tidak sepenuhnya berbasis proposal.
Dari 174 organisasi yang menerima hibah TA 2010, terdapat 18 proposal (16 proposal usulan dan 2 proposal pencairan), sedangkan untuk TA 2011 Dari 237 organisasi hanya terdapat 134 proposal (74 proposal usulan dan 60 proposal pencairan),
PerGub Nomer 32 Tahun 2009 dan Nomor 19 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan APBD TA 2010 dan 2011
Peranan proposal pencairan tidak menjelaskan keterkaitan dengan proposal usulan, keberadaan proposal pencairan tidak menjadi pegangan tim kajian SKPD.
139
(lanjutan) Temuan
Keterangan
Tidak sesuai dengan
Dari surat konfirmasi yang dikirim BPK RI sebanyak 1562 surat permintaan konfirmasi, Surat balasan mengungkapkan 988 menyatakan menerima sesuai pencairan, 340 penerima bansos tidak pernah menerima sesuai pencairan, 86 penerima bansos hanya menerima sebagian. Dan 371 surat kembali dengan salah satu alasan tidak diketahui keberadaannya.
PP No.58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Hasil uji petik ICW dari 30 persen Penerima Hibah Bansos Hasil sepuluh lembaga fiktif dengan alokasi anggaran sebesar 4.5 miliar rupiah.
PP No.58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Tahap Pelaksanaan Hasil konfirmasi oleh BPK RI tidak seluruhnya dijawab oleh penerima bansos.
Terdapat penyaluran dana hibah kepada beberapa lembaga fiktif dan berlamat sama.
Terdapat dana hibah yang banyak mengalir kepada lembaga yang dipimpin keluarga atau orang yang memiliki afiliasi politik dengan Gubernur. Terdapat lembaga yang tidak menerima dana hibah bansos sesuai dengan pagu yang telah ditetapkan oleh pemerintah provinsi Banten.
Tahap Pertanggungjawaban Sistem monitoring tidak memadai.
Ada dua belas lembaga yang beralamat sama, menerima alokasi hibah sebesar 28.9 miliar rupiah. Berdasarkan berdasarkan uji petik terhadap 30 persen penerima hibah oleh ICW, dana hibah yang masuk ke lembaga yang dipimpin oleh keluarga Gubernur sebesar 29.5 miliar rupiah.
Para pelaku dapat terjerat hukum Tindak Pidana Korupsi. Adanya resiko dana hibah digunakan tidak sesuai peruntukannya.
Salah satunya lembaga kajian sosial politik (laksospol) Kabupaten Pandeglang. Dalam daftar DPKAD lembaga tersebut menerima hibah 500 juta rupiah, namun dalam surat pernyataan Laksospol, mereka hanya menerima hibah dari provinsi 35 juta rupiah.
PP No.58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pemberian hibah dan bansos provinsi Banten TA 2010 dan 2011 belum diikuti peraturan Gubernur, untuk tahun 2012 sudah ada namun tidak ada sanksi atas ketidakpatuhan prtanggungjawaban.
Permendagri No.13 Tahun 2006 yang menyatakan Tata cara pemberian dan pertanggungjawaban pemberian subsidi, hibah, bansos, dan bantuan keuangan ditetapkan mekanisme monitoring dalam peraturan kepala daerah
Tidak ada mekanisme monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan dan pertanggungjawaban oleh pemprov Banten selaku pemberi hibah dan Bansos.
140
Para pelaku dapat terjerat hukum Tindak Pidana Korupsi.
Para pelaku dapat terjerat hukum Tindak Pidana Korupsi
(lanjutan) Temuan (pertanggungjawaban)
Keterangan
Tidak sesuai dengan
Pemberian hibah kepada instansi vertikal belum sepenuhnya diikuti dengan pengesahan sebagai dasar pencatatan oleh penerima hibah, dan pendukung laporan pemerintah provinsi Banten kepada Kemendagri dan Kemenkeu.
Hasil uji petik BPK RI di Kantor Wilayah Direktorat jenderal Pembendaharaan Provinsi Banten, dari 7 instansi vertikal hanya ada 2 yang melaporkan dan meminta pengesahan atas hibah yang diterima.
Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan perubahannya menyatakan bahwa belanja hibah wajib dilaporkan pemerintah daerah kepada Menteri dalam Negri dan Mentri Keuangan setiap akhir tahun anggaran.
Terdapat banyak penerima hibah yang belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah provinsi Banten.
Total Organisasi penerima hibah yang belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah provinsi Banten pada TA 2010 dan 2011 adalah 92 organisasi senilai Rp 68 298.59 juta rupiah..
PerGub No.32 tahun 2009 PerGub No.19 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan APBD TA 2010 dan 2011
Sumber: BPK RI 2012, ICW 2011, 2012 (diolah). Dari berbagai data yang diperoleh dan hasil wawancara mendalam dapat disusun alur mekanisme dugaan korupsi APBD dana hibah dan bansos Provinsi Banten pada gambar 20. Gambar ini menunjukan bahwa terjadi kelemahan-kelemahan dalam tahap perencanaan seperti tidak adanya tolak ukur yang jelas dalam penganggaran dan mekanisme verifikasi, bahkan ada penyaluran yang diberikan tanpa berbasis proposal. Kemudian pada tahap pelaksanaan, APBD dana hibah dan bansos disalurkan kepada lembaga/organisasi yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu kepada lembaga/organisasi yang dipimpin keluarga/kerabat Gubernur dan lembaga/organisasi masyarakat lainnya. Keluarga/kerabat Gubernur yang memimpin lembaga/organisasi yang diberi dana hibah bansos juga memiliki badan-badan usaha yang memberikan kontribusi dalam dana kampanye, sehingga menimbulkan dugaan bahwa sebagian kecil dari dana hibah bansos yang diterima bisa diputar kembali untuk dana sumbangan kampanye. Dugaan yang kedua adalah dana hibah dan bansos bisa langsung digunakan sebagai dana taktis untuk membiyai aktivitas politik dengan dalih
141
diberrikan kepadda lembaga//organisasi yang dikuaasai lingkarran kelompooknya, sehinngga mudahh direkayasaa secara adm ministratif.
PERENCANA P AAN APBD D DANA HIB BAH DAN BANS SOS
PELA AKSANAAN N APB BD DANA HIB BAH DAN B BANSOS
Tolak Ukur U Penganggaaran dan mekannisme verifikasii Tidak Jelas, tiddak sepenuhnyaa berbasis proposal.
Penyalluran kepada Lembagga/Organisassi keluarrga/kerabat Guubernur
Tiidak ada mekannisme monitorin ng dan evaluasi peelaksanaan dan p pertanggungjaw waban, Tidak ad da sanksi keteerlambatan perrtanggungjawabban, Banyak yaang belum menyampaikan LPJ.
Penyaluran P k kepada Leembaga/Organisasi masyarakat. Modus : Dugaaan Banyaknya pennyaluran kepadaa lembaga fiktiff , beraalamat tidak jelas, dan beralam mat samaa. Dugaan Adannya lembaga yaang meenerima nilai hibbah bansos lebiih kecill dari nilai paguu yang ditentuk kan.
Modus : Duggaan penyalurann kepada lembagga yang dipimppin keluargaa/kerabat Guberrnur menimbulkann resiko dana diigunakan tidak sesuuai peruntukannnya.
Paasangan calonn Baadan usaha sw wasta milik keluuarga/kerabatt G Gubernur
PE ERTANGGU UNG JAWABAN N H HIBAH DAN N BANSOS
DANA TAKTIS T
Dana untuk k aktivitas Politik
Untuk Keppentingan Pribadi/keelompok
Mo oney pollitics
Badan usahaa B sw wasta lainnya
Sumbber : BPK RI, R ICW, KP PUD, dan hasil h wawan ncara, 2012 (diolah). Gam mbar 20. Meekanisme Dugaan D Korrupsi APBD D dalam Pengelolaan P n Dana Hibbah dan Bannsos . Sedangkkan penyaluuran dana hiibah bansoss kepada lembaga/orgaanisasi masyyarakat jugaa bisa dijaddikan dana taktis t untuk k membiayaai aktivitas ppolitik
142
maupun
kepentingan
pribadi/kelompok
yang
lain,
caranya
dengan
merekayasa lembaga/organisasi yang diberi dana hibah dan bansos (lembaga fiktif, alamat tidak jelas, alamat sama) atau juga dengan cara disalurkan kepada masyarakat namun jumlahnya jauh lebih kecil dari nilai pagu anggaran yang ditentukan. Dana hibah bansos yang menjadi dana taktis ini kemudian digunakan dalam membiayai aktivitas politik salah satunya adalah untuk melakukan money poltics Sedangkan pada tahap pertanggungjawaban juga tidak ada peraturan tegas yang mengatur sanksi keterlambatan penyampaian LPJ, bahkan tidak dilakukan
mekanisme
monitoring
pelaksanaan
dan
evaluasi
pertanggungjawaban. Dari hasil temuan wawancara dan penelusuran data di atas dapat ditarik kesimpulan: 1. Sejak awal Pemerintah Provinsi Banten belum memberikan informasi mengenai syarat dan prosedur pengajuan hibah bansos melalui media informasi yang jangkauannya luas, hanya kelompok tertentu yang memiliki akses informasi yang mengetahuinya. Dana hibah bansos diduga digunakan sebagai dana taktis bagi incumbent, sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk melakukan money politics dalam pilkada. 2. Proses perencanaan anggaran dana bansos hibah bersifat tertutup dan tidak
transparan.
Peraturan
dan
mekanisme
dalam
pelaksanaan
penganggaran dibuat tidak jelas, semua sangat bersifat fleksibel, dapat disesuaikan dengan kebutuhan para pemburu rente anggaran. Peraturan yang sengaja dibuat tidak tegas mengakibatkan proses penganggaran yang berantakan, proses verifikasi hanyalah formalitas dokumen administrasi proposal dan rencana anggaran biaya, tidak ada uji materiil terkait kegiatan-kegiatan organisasi atau lembaga calon penerima hibah, bahkan formalitas dokumen proposal yang merupakan pegangan bagi tim kajian SKPD pengusul dalam melakukan pengkajian, monitoring, dan evaluasi pertanggungjawaban pun banyak yang tidak lengkap bahkan tidak ada. Keputusan dalam penganggaran Bansos Hibah semata-mata berada dalam
143
kewenangan TAPD dan Gubernur dan sangat beresiko digunakan diluar peruntukannya. 3. Pada tahap pelaksanaan inilah menjadi ajang pengerukan anggaran, yang sejak awal dirancang pada tahap penganggaran, pada tahap ini masyarakat yang dikorbankan, karena terjadi pembelokan tujuan awal dana hibah dan bansos, yaitu untuk menyejahterakan masyarakat sebagaimana substansi Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos, yang akhirnya dialokasikan untuk kepentingan para pemburu rente anggaran, salah satunyauntuk membiayai aktivitas politik mereka. 4. Pada tahap akhir, yaitu pertanggungjawaban dana hibah bansos yang harus dilaporkan penerima hibah, adalah hal yang sangat wajar apabila banyak LPJ yang belum diterima oleh pemerintah provinsi Banten, karena memang banyak penerima hibah bansos itu tidak menerima hibah bansos sesuai yang tercatat pada nilai Pagu Provinsi Banten, hal itu juga terjadi karena tidak adanya kegiatan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan dan pertanggungjawaban oleh pemprov Banten, disertai pula tidak adanya peraturan
terkait
pemberian
sanksi
atas
ketidakpatuhan
pertanggungjawaban. Diluar itu LPJ tidak mungkin akan diterima apabila lembaga yang menerima adalah fiktif, atau hanya rekayasa para pemburu rente anggaran 5.1.3 Mekanisme Perburuan Rente dalam Dugaan Korupsi pada ProyekProyek APBD Provinsi Banten. Provinsi Banten tidak dapat dilepaskan dari isu dominasi kelompok tertentu pada hampir semua proyek APBD. Isu ini yang banyak terangkat kepermukaan seiring bermunculannya berbagai elemen kritis di Banten yang menyoroti sepak terjang sang penguasa Banten. Menurut salah seorang informan ada tiga orang Gubernur yang berkuasa di Banten, yaitu Gubernur Formal, Gubernur Malam, dan Gubernur Jendral. Sang Gubernur Jendral adalah Gubernur sesungguhnya yang berkuasa di Banten (kini sudah wafat) adalah dalang yang bermain di belakang layar, Gubernur Malam adalah Gubernur Informal yang menguasai hampir semua proyek APBD.
144
Gubernur Formal dan Gubernur Malam berkerjasama dengan lingkaran kelompoknya untuk mengeruk rente yang sebesar-besarnya bagi mereka, memanfaatkan sumber ekonomi APBD, menciptakan inefisiensi anggaran pemerintah demi kepentingan mereka. Tidak hanya itu untuk mempermudah memperoleh rente yang sebesar-besarnya mereka memperluas tangan-tangan kekuasaan mereka melalui kerabat dekat dan keluarga dalam penguasaan berbagai aspek bidang kehidupan di Provinsi Banten, sehingga mereka dikenal sebagai sebuah dinasti. Menurut Transparency International korupsi dapat juga dipandang sebagai prilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”, artinya, dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Prinsip ini adalah landasan untuk organisasi apapun mencapai efisiensi, apabila sekali dilanggar, maka korupsi akan timbul. Untuk kasus Banten, Pejabat publik sudah berprilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”, dalam mengambil keputusan di bidang ekonomi, hubungan pribadi atau keluarga sangat memainkan peranan. Seorang informan mengutarakan bahwa didalam sebuah pertemuan Gubernur pernah menyampaikan “Saya akan merasa lebih nyaman bekerja dengan adik saya, kakak saya, ipar saya”. Dinasti keluarga kelompok pasar ini telah menguasai berbagai aspek bidang kehidupan di Banten, hal ini tidak terlepas dari hasil kontribusi sang gubernur jenderal. Selain berhasil memajukan salah seorang anaknya menjadi gubernur, ia juga berhasil merancang anggota keluarganya untuk aktif terlibat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya (Gambar 21). Menurut hasil wawancara kepada seorang anggota legislatif mengenai kebenaran informasi yang didapat dari wawancara-wawancara sebelumnya dan perkembangan opini publik mengenai adanya dinasti ini, informan ini membenarkan mengenai keberadaan dinasti kelompok pasar yang berkuasa. Pada awalnya kekuasaan diperoleh dari kekuatan fisik (kejawaraan), namun ketika kekuasaan diraih maka kekuasaan cenderung pada kekuatan
145
uang. Jadi saat wafatnya Gubernur Jendral bukan ‘kekuatan fisik’ yang diwariskan kepada Gubernur Malam (salah seorang anak dari Gubernur Jendral) tapi ‘kekuatan uang’ yang sangat luar biasa. Agar kekuasaan ini tetap terjaga demi mendapatkan rente yang tinggi maka masalah kejawaraan beralih kepada kekuatan politik, kelompok ini memiliki kekuasaan uang yang terpusat, memiliki pengalaman, dan pada akhirnya harus menguasai kekuatan politik dengan cara mengembangkan kekuasaan politik di berbagai daerah di Provinsi
Banten
melalui
jaringan
keluarga,
bila
keluarga
tidak
memungkinkan maka bisa lewat relasi (orang kepercayaan). Untuk mengembangkan kekuasaan cara yang dilakukan adalah melalui jalur partai politik, penguasa Banten melakukan survey sebelum pemilu legislatif 2009, untuk mengetahui perkiraan kursi yang akan diperoleh masing-masing partai, kemudian melalui hasil survey itu mereka masuk ke partai-partai politik itu dan membiayainya.
Kelompok ini tidak hanya
bertumpu pada satu partai politik, partai politik bisa berbeda-beda yang paling penting adalah partai politik tersebut bisa menjadi jembatan mereka dalam melebarkan sayap kekuasaan. Hebatnya hampir semua proyek APBD dikuasai oleh Gubernur Malam, menurut Maman Supriyatna (Pembicara Fraksi Amanat Bintang Keadilan/ABK) menyatakan “Ada monopoli terselubung, sehingga proyekproyek dan usaha-usaha lain di Banten dikerjakan oleh kelompok itu-itu saja atau mereka sendiri yang mengerjakan tapi berbendera lain”156 Pernyataan ini didukung oleh pembenaran dari beberapa pihak terkait, menurut salah seorang pihak akademisi Banten157, di Banten prilaku rent seeking tercermin dari sepak terjang keluarga gubernur yang mendominasi jabatan strategis dan menguasai sumber-sumber ekonomi, gubernur terlahir dari keluarga pengusaha dan salah seorang saudaranya memiliki kekuatan yang dapat mengendalikan seluruh alokasi APBD/APBN, sang saudara yang diberi julukan gubernur malam ini adalah penguasa sesungguhnya dalam dinasti semenjak ayahnya wafat, “Dia memiliki tangan-tangan, menggunakan 156
Laporan Penelitian Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten 2006 : Regenerasi sebuah Hagemoni Banten Institute, Loc cit, hal 8. 157 Pihak akademisi /mantan anggota staf ahli DPRD Banten, Loc.cit.
146
banyak bendera untuk proyeknya, semua proyek yang bersumber dari anggaran daerah”. Menurutnya lagi di Provinsi Banten anggota dewan tidak punya hak budget, hak itu dimiliki oleh Gubernur Malam, yang kemudian Gubernur JABATAN EKSEKUTIF: -Gubernur Banten (anak perempuan) - Walikota Serang (Anak laki-laki) - Wakil bupati Pandeglang (istri) -Wakil bupati Serang (anak) -Walikota Tanggerang Selatan (menantu)
ASOSIASI BISNIS : -Kamar Dagang dan Industri /Kadin (Gubernur Jendral/mantan ketua) -Gabunngan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia (Gapesindo) Banten (Gubernur Jendral/ mantanketua) -Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi(LPJK)Nasional Indonesia Banten (Gubernur Jendral/mantan ketua). -Ketua Masyarakat agribisnis dan agroindustri Banten (Anak perempuan Gubernur Jendral/mantan ketua) -Ketua Gerakan Kewirausahaan Keluarga Sejahtera (anak) ORGANISASI OLAH RAGA: -Ketua Koni Serang (cucu menantu) -Ketua Persatuan Basket Seluruh Indonesia (Perbasi)(Menantu)
JABATAN LEGISLATIF: - Anggota DPR RI (Menantu/suami Gubernur) -Anggota DPD RI (cucu) -Anggota DPRD Provinsi Banten (Menantu) -Anggota DPRD Kota Serang (Istri/Ibu Tiri Gubernur) -Anggota DPRD Kota Serang (cucu menantu) PARTAI GOLKAR: - Ketua DPD II Partai Golkar Provinsi Banten (Menantu/suami Gubernur) -Ketua Partai Golk ar DPD II Kota Serang (Anak perempuan) -Ketua DPDII Partai Golkar Kabupaten Pandeglang (Anak perempuan). -Angkatan Muda Partai golkar (Anak laki-laki) ORGANISASI BELA DIRI: -Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya (PPPSBB). (Gubernur Jendral/mantan ketua). -Wushu Indonesia Banten(Gubernur Jendral/Mantan ketua) -Satkar Ulama Banten(Gubernur jendral/mantan Ketua)
ORGANISASI PEMUDA: -Ketua DPD KNPI Banten (Menantu) -Wakil Keta GP Ansor (cucu) -Ketua Taruna Tanggap Bencana (cucu) -Bendahara Karang taruna Banten (cucu)
ORGANISASI SOSIAL BUDAYA: -Ketua PMI Provinsi Banten (Anak Perempuan) -Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) (Istri). -Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUDI) Banten(cucu menantu) -Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan anak P2TP2A Banten (cucu menantu) -Ketua Dewan Koperasi Indonesia Wilayah (menantu) - Ketua Koalisis Politisi Perempuan Indonesia (anak) -Ketua Dewan Kerajinan Nasional daerah (menantu) -Ketua Paguyuban Banten Bersatu (Anak)
Sumber: Data sekunder dan primer, 2012 (diolah). Gambar 21. Penguasaan Berbagai Aspek Strategis di Provinsi Banten dalam Lingkaran Keluarga.
147
Malam berbagi rente dengan eksekutif, lalu eksekutif berbagi rente juga dengan legislatif. Sebagai indikator adanya prilaku rent seeker yang kuat di suatu daerah adalah dengan melihat kondisi fiskal daerah yang tinggi, namun indikator pembangunannya rendah, dan itulah yang terjadi di Provinsi Banten Pernyataan atas ketiadaan hak budget DPRD, diperkuat dari hasil wawancara kepada salah seorang anggota DPRD, menurutnya secara normatif fungsi budgeting masih dimiliki oleh DPRD, namun mereka dikooperasi dengan proyek yang akan dibeli oleh Gubernur Malam. Karena akan percuma apabila DPRD menyusun anggaran tapi tidak berfungsi untuk ditransaksikan, sebagai contoh akan dibangun rumah sakit, tapi tidak ada kolega yang menangani maka pihak DPRD tidak akan mendapatkan rente. Salah seorang peneliti ICW158 juga mengungkapkan dalam proses penyusunan APBD di Provinsi Banten telah dikoordinir oleh Gubernur Malam perusahaan-perusahaan yang menangani proyek-proyek APBD. Karakteristik daerah Banten adalah anggota DPRDnya bukan dari kalangan pengusaha, sehingga mereka mencari rente dengan koordinasi dengan pihak eksekutif dengan cara meloloskan proyek-proyek APBD yang diusulkan, apabila dibandingkan dengan DPR RI banyak yang anggotanya berlatar belakang pengusaha sehingga mereka aktif mencari rente itu sendiri dalam proyek. Walaupun proyek-proyek APBD menggunakan proses lelang, namun Gubernur Malam telah mengkondisikan sebelumnya, selain DPRD yang dikondisikan, ia pun mengkondisikan pengusaha. Menurut informan lain cara Gubernur Malam mengendalikan DPRD adalah dengan cara membeli proyek, contohnya eksekutif ingin meloloskan sebuah proyek pembangunan jalan dengan nilai 10 triliun, maka harus ada kerjasama dengan DPRD. Bentuk kerjasama itu ada dua cara, pertama DPRD minta bagian dalam proyek, kedua DPRD meminta bagian beberapa persen dari nilai proyek tersebut. Kemudian pemerintah daerah akan bekerjasama dengan pemborong (Gubernur malam), pemborong akan memberikan beberapa persen kepada eksekutif, kemudian eksekutif membagikannya kepada DPRD. Besarnya koordinasi yang diterima DPRD tergantung pada 158
Hasil wawancara peneliti ICW, 13 November 2012.
148
keterlibatannya, bagi anggota DPRD yang terlibat langsung dalam proyek akan mendapatkan bagian yang lebih besar daripada yang tidak terlibat secara langsung159. Cara Gubernur Malam mengkondisikan pengusaha lain adalah dengan cara menguasai proyek-proyek APBD/APBN di Provinsi Banten, melalui kaki tangannya di sejumlah dinas ‘basah’ atau dinas ‘mata air’, kaki tangannya itu bertugas sebagai penjaga proyek-proyek. Bagi perusahaan yang bukan atas nama Gubernur Malam, tidak akan mendapatkan proyek bila tidak direstui olehnya. Restu yang dimaksud adalah pengusaha harus memberikan kompensasi kepada Gubernur Malam sebesar 20 persen sampai dengan 40 persen dari nilai proyek melalui orang terdekatnya yaitu oknum IS160. Sebagai contoh kasus bagaimana pemburu rente anggaran beroperasi, adalah pada dua temuan kasus lawas berikut : 1. Dugaan praktek perburuan rente pada bisnis pengadaan lahan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) APBD TA 2008161 . Gubernur Malam (GM) belajar dari kesuksesan sang ayah yang berhasil menjadi penyedia lahan 60 hektare
untuk Kawasan Pusat
Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Modusnya hampir sama, yaitu membeli tanah dengan harga murah dan melepasnya untuk pemerintahan provinsi Banten dengan harga yang setinggi-tingginya. Bahkan cara GM melakukannya lebih hebat, melalui akses informasi dari dalam yang dengan mudah ia dapatkan mengenai kawasan yang diincar untuk dijadikan lokasi RSUD Banten. Rencana pengadaan lahan untuk RSUD Banten adalah di Kecamatan Cipocok Jaya, seluas kurang lebih 25 397m . Pembebasan lahan itu dilakukan pada TA 2008 dari APBD Banten, oleh Pemprov Banten melalui dinas kesehatan. GM sebagai pemilik modal membeli sejumlah bidang tanah dikawasan itu, tentu saja pembelian dilakukan tidak atas namanya, namun melalui nama 159
Hasil wawancara kepada pihak legislatif Provinsi Banten,28 November 2012. Hasil wawancara dari berbagai pihak (ICW, DPRD, dan Akademisi Banten). 161 Djaroti A, Sebuah Catatan Tangan-tangan Kekuasaan Keluarga Atut, hal 10-11, tidak dipublikasikan. Hanya dicetak sebanyak 5000 eksemplar dan dibagikan kepada seluruh elemen kritis di provinsi Banten. 160
149
nama orang kepercayaannya. Ada tiga nama yang digunakan untuk membeli lahan tersebut yaitu oknum DP, oknum DS, dan oknum ARD. Oknum DP dan DS adalah kaki tangannya pada dinas-dinas terkait, sedangkan ARD adalah orang terdekatnya. DP membeli sebidang tanah dengan luas 2.478m dari seorang warga Kecamatan Cipocok Jaya senilai 17 juta rupiah atau 6 900 rupiah/ m pada tanggal 8 oktober 2007 (Akta jual beli Nomor 814/2007, ditandatangani Camat Cipocok Jaya selaku PPAT, Heru Utomo). Pada tanggal 28 Oktober 2008, hak kepemilikan dilepaskan kepada Pemprov Banten dengan harga yang mencengangkan Rp 1 030 848 000.00 atau Rp 416 000.00/m (surat pelepasan hak tanah nomor 003/SPH/KEC.CPJ/III/2008 ditandatangani DP selaku pihak yang melepaskan dan Heru Utomo selaku Camat Cipocok). Masih dalam kasus yang sama dan modus yang sama, DS membeli tanah dengan luas 5.214 m dengan harga Rp 52 140 000.00 atau Rp 10 000.00 m , oleh Pemprov Banten dihargai Rp 2 169 024 000.00 atau Rp 416 000.00/ m . Menurut
Surat
Petanggungjawaban
Belanja
Nomor
900/keu/SPTB/775/2008 dengan nama kegiatan Pengadaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit. Nama DP mendapat 6 kali kucuran dana untuk biaya pembebasan 6 bidang lahan seluas 10 282 m atas namanya senilai Rp3 951 968 800.00. Sedangkan DS muncul 8 kali kucuran dana untuk 8 bidang lahan seluas 16 712 m atas namanya, senilai total Rp 5 978 063 104.00, nama ARD juga muncul penerima dana pembebasan lahan seluas 2 439 m senilai total Rp 1 014 624.00. Praktek serupa juga diduga telah dilakukan untuk pembebasan lahan gedung Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Sport Centre dan lahan Kawasan Pertanian Terpadu. 2. Dugaan rekaya tender pengadaan alat kesehatan APBD TA 2009.162 Tender pengadaaan alat-alat kesehatan di Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten pada TA 2009 senilai 85 miliar rupiah diduga direkayasa. Hal ini diungkap oleh dua pihak yaitu oleh Ade Marwansyah (Ketua Departemen Pengembangan SDM Siklus) dan Edy Mulyanto (Area Manager 162
http://koranmedan.com/2009/08/, 12/6/2012.
150
Trading Cabang Tangerang PT Indofarma Tbk). Menurut Ade, dugaan bahwa tender alat kesehatan itu direkayasa berdasarkan bocornya tiga dokumen transaksi pembayaran uang muka kegiatan sebesar 20 persen kepada tiga perusahaan rekanan. “Dalam dokumen berupa surat permintaan pembayaran (SPP), surat perintah membayar (SPM), dan berita acara pembayaran (BAP) yang terjadi antara PT Profesional Indonesia Lantera Raga, P.T. Dini Contractor, dan P.T. Kidemang Putra Prima dengan Dinas Kesehatan Pemprov Banten itu terjadi pada 20 Maret 2009. Padahal, kontrak kerjanya sendiri baru dikeluarkan sehari sebelumnya. Pencairan uang muka yang sangat cepat,” Sedangkan Edy Mulyanto memaparkan tender alat kesehatan Dinkes Pemprov Banten tahun 2009 terpublikasi pada harian Media Indonesia pada bulan Februari. Namun, ketika Edy mendatangi alamat panitia tender yang tercantum dalam koran, yaitu gudang farmasi milik Dinkes Pemprov Banten di wilayah Ciracas, ternyata di tempat itu tidak ada kegiatan pendaftaran lelang, kemudian beliau mendatangi kantor Dinkes, dan disana pun tidak ada. Menurut informasi dari pegawai Dinkes, pendaftaran tender dilakukan di gudang, di Ciracas, dugaan Edy tender itu tidak pernah ada. Dugaan
kuat
adalah
Dinkes
Pemprov
Banten
sengaja
mempublikasikan tender melalui media massa, namun pemenangnya sudah ditentukan, karena apabila tender itu dilakukan pemenangnya pasti adalah perusahaan farmasi seperti Kimia Farma, Indofarma, dan perusahaan lainnya yang bergerak dalam bidang farmasi. Dan juga perusahaan yang menjadi rekanan untuk pengadaan alat kesehatan seharusnya adalah perusahaan dengan kategori pengusaha besar farmasi (PBF). Namun ketiga perusahaan pemenangnya adalah milik keluarga Gubernur yang perusahaannya selama ini bergerak dalam jasa konstruksi. Dari sedikit contoh kasus lawas diatas, membuktikan adanya praktek perburuan rente yang dilakukan oleh penguasa juga kelompoknya dalam pengerukan APBD provinsi Banten, kelompok ini berupaya mendapatkan
151
supernormal profit tanpa adanya upaya meningkatkan produktivitas, yang pada akhirnya akan mengakibatkan welfare loss bagi masyarakat. Selain itu, Biaya tinggi dalam pilkada membuat calon kepala daerah mencari sumbangan dari swasta. Akibatnya setelah calon terpilih, kepala daerah sibuk mengembalikan
uang yang dikeluarkan dalam pemilihan,
sekaligus mengembalikan investasi yang diberikan pihak swasta yang membantunya. Pernyataan Arif Nur Alam ini dicoba untuk dibuktikan dalam studi kasus pilkada Banten 2011 dengan menelusuri badan usaha penyumbang dana kampanye incumbent 1 (pemenang pemilihan gubernur 2011) dengan perusahaan yang berhasil memenangkan proyek-proyek APBD tahun 2012. Hasilnya ternyata sebagian besar penyumbang dana kampanye pada pilkada provinsi 2011 berhasil memenangkan proyek APBD sepanjang tahun 2012, bagi penyumbang dana kampanye yang tidak memenangkan tender adalah perusahaan yang sejak awal memang terdeteksi oleh ICW memiliki beberapa kejanggalan (lihat lagi Lampiran 2), namun banyak juga para pemenang tender adalah perusahaan yang juga memiliki kejanggalan, namun diduga adalah bendera lain kelompok yang sama dalam lingkaran keluarga/kerabat Gubernur (lihat Tabel 19). Selain itu ada juga proyek-proyek APBD bernilai besar yang dimenangkan Badan Usaha milik lingkaran keluarga Gubernur (lihat Tabel 20).
152
9
8
7
6
5
4
3
2
1
No
Kategori Proyek
Konstruksi
1 Proyek / 9.5 miliar
2 Proyek/ 5.3 sd 12 miliar
7 Proyek / 760 juta sd 2.27 miliar
5 Proyek / 3 sd 7.5 miliar
P.T. Mitra Karya Rattan
P.T. Buana Wardana Utama
P.T. Sumber Agung Putra
P.T. Surtini Jaya Kencana P.T. Karya Raksa Utama P.T. Sukalimas Mekatama Raya
Pengadaan desain interior, Konstruksi Konstruksi Konstruksi
3 Proyek/ 3.5 sd 7.4 miliar
3 Proyek/ 3 sd 7.7 miliar
Pengadaan alat berat, buku, pengolahan pertanian peternakan, alat laboraturium,alat olahraga, jasa lainnya
Pengadaan Obat, Pengadaan alat kedokteran.
Konstruksi
Pengadaan barang Rumah sakit/ Puskesmas. Konstruksi, Pengadaan alat kesehatan, alat berat, buku.
1 Proyek / 196 juta
9 Proyek/ 300juta sd 6.5 miliar
4 Proyek / 4.9 sd 9.9 miliar
Jumlah / Nilai Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Penyumbang Pada PilGub 2011
C.V. Cristal Utama
P.T. ADCA Mandiri C.V. Waliman Jaya Nugraha
Badan Usaha Penyumbang PilGub Tahun 2011
Alamat sama dengan P.T. Bintang Raya Putra dan adalah rumah tempat tinggal JL (nama penyumbang PT Bintang Raya putra dalam pilgub 2011). tidak menyertakan NPWP, alamat sama dengan 2 perusahaan lainnya,dan alamatnya berupa rumah kosong. Alamat seorang dokter umum, sebelah rumah itu no 51 adalah kantor penghubung pemerintah Provinsi Banten
Keterangan
Tabel 19. Badan Usaha Penyumbang Dana Kampanye PilGub Tahun 2011 yang Memenangkan Proyek APBD TA 2012 di Provinsi Banten.
153
9 Proyek/ 2.9 sd 13.7 miliar
1 proyek/ 4.9 miliar
P.T. Marbago Duta Persada
P.T. Sambada Argha agung Putra P.T. Putra Perdana Jaya P.T. ADLI Urdha
13
14
-
C.V. Graha Cipta Mandiri
C.V. Wika Tunggal Jaya
18
19
1 Proyek/ 1.3 miliar
P.T. Priangan Jaya Persada
3 Proyek/ 4.7 sd 5.5 miliar
17
16
15
Alamat yang dimaksud ditempati oleh P.T. Bali Pasific Pragama, perusahaan itu milik adik laki-laki Gubernur.
-
P.T. Citra Putra Mandiri Internusa
12
-
Pengadaan barang alat laboratorium multimedia
Konstruksi, Pengadaan hewan Qurban.
Konstruksi
Konstruksi, Pengadaan alat kesehatan, Pengadaan Alat Pembelajaran
alamat sama dengan 2 perusahaan lainnya, dan alamatnya berupa rumah kosong.
Pengadaan buka, pengadaan alat kesehatan
5 Proyek/ 3 sd 14.7 miliar
Pengadaan buku/kepustakaan.
P.T. Mikkindo Adiguna Pratama
3 Proyek/ 400 sd 550 juta
11
Keterangan
P.T. Agro Mandiri Perkasa
Kategori Proyek
10
Jumlah / Nilai Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Penyumbang Pada PilGub 2011
Badan Usaha Penyumbang PilGub Tahun 2011
(lanjutan)
No
154
1 Proyek/ 394 juta
5 Proyek/ 9.4 sd 15 miliar
C.V. Bangun Cipta Persada C.V. Bina Sadaya
P.T. Banten Kusuma Jaya C.V.Shafaramania 10 Proyek/ 250juta sd 1.9 miliar
24
26
29
28
27
C.V. Rian Putra Utama C.V. Karindo Raya
Pengadaan alat kedokteran/ alat kesehatan. -
-
P.T. Trina Lestari
23
25
Konstruksi
-
P.T. Trias Jaya Perkasa
22
-
-
-
Pengadaan Barang elektronik, Pengadaan Mobil/ambulance, Pengadaan Buku,Pengadaan alat laboratorium
-
-
Pengadaan Alat kesehatan, Pengadaan Alat media pembelajaran.
2 Proyek/ 2.8 dan 3 miliar
P.T. Palugada Mandiri
-
Kategori Proyek
21
-
Jumlah / Nilai Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Penyumbang Pada PilGub 2011
P.T. Kidemangan Putra Prima
Badan Usaha Penyumbang PilGub Tahun 2011
20
No
155
tidak menyertakan NPWP, alamat tidak jelas
tidak menyertakan NPWP,alamat tidak jelas tidak menyertakan NPWP,alamat tidak jelas
tidak menyertakan NPWP.
tidak menyertakan NPWP,alamat sama dengan 2 perusahaan lainnya,dan alamatnya berupa rumah kosong. (dikenal sebagai perusahaan milik sahabat dekat adik Gubernur) tidak menyertakan NPWP,alamat tidak jelas
Keterangan
(lanjutan)
-
7 Proyek/ 324 juta sd 1.9 miliar
5 Proyek/ 395 juta sd 2.2 miliar
P.T. Ramaditya
P.T. Bintang Raya Putra
P.T. Baracipta Nusapala
31
32
33
Konstruksi, Pengadaan barang laboratorium
Pengadaan barang Rumah sakit, pengadaan buku/kepustakaan
-
Pengadaan buku/kepustakaan, meubelair, alat laboratorium, alat kesehatan.
Kategori Proyek
tidak menyertakan NPWP,alamat tidak jelas.
tidak menyertakan NPWP,alamat tidak jelas Alamat sama denga P.T. Waliman Jaya Nugraha dan alamat adalah rumah tempat tinggal Jajang Lesmana.
Keterangan
(lanjutan)
Nama Proyek APBD
Nilai Pagu Proyek
Nama Badan Usaha Pemenang
Pembangunan Jalan Saketi – Banjarsari. Rp 13 900 000 000.00 P.T.BALIPACIFIC PRAGAMA Pembangunan Jl. Pahlawan Seribu Rp 9 989 899 000.00 P.T.BALIPACIFIC PRAGAMA (Segmen Cilenggang - Bunderan Tekno). 3 Pembangunan Gedung Kantor SKPD Rp 86 000 000 000.00 P.T. GUNAKARYA NUSANTARA Terpadu (Multiyears). Sumber : KPUD Provinsi Banten 2011, http://lpse.bantenprov.go.id/eproc/lelang/pemenang 25/12/12, 2012 (diolah).
1 2
No
Tabel 20. Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Milik Keluarga Gubernur
Sumber : KPUD Provinsi Banten 2011, http://lpse.bantenprov.go.id/eproc/lelang/pemenang 25/12/12, ICW 2012, 2012 (diolah).
10 Proyek/ 171 juta sd 1.5 miliar
C.V. Jayalaksana
30
Jumlah / Nilai Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Penyumbang Pada PilGub 2011
Badan Usaha Penyumbang PilGub Tahun 2011
No
156
Berdasarkan data diatas, dari 33 badan usaha penyumbang dana kampanye pada pilkada tahun 2011, terdapat 24 perusahaan yang memenangkan proyek APBD TA 2012. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa penentuan pemenang proyek APBD menyalahi prinsip Adil/ tidak diskriminatif , atau berarti tidak memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang dan Jasa dan mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tidak memerhatikan kepentingan nasional (Penjelasan atas Peraturan Presiden RI No.54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Pasal 5). Hal ini disebabkan oleh adanya upaya mengembalikan investasi pihak-pihak swasta pada PilGub tahun 2011. Dari 33 badan usaha penyumbang ditemukan beberapa badan usaha memiliki kejanggalan-kejanggalan, seperti tidak memiliki NPWP, tidak memiliki alamat jelas, memiliki alamat sama, maupun memiliki alamat yang bukan alamat perusahaanya, hal ini membuktikan bahwa diduga ada beberapa perusahaan
fiktif
yang
sengaja
dibuat
dalam
mendukung
upaya
menyempurnakan rancangan skenario besar pengerukan anggaran daerah. Beberapa badan usaha yang bermasalah tersebut justru memenangkan proses lelang dalam proyek APBD dengan nilai proyek APBD yang besar, hal ini menimbulkan dugaan bahwa badan usaha yang menang adalah bendera lain dari kelompok tertentu yang memiliki penguasaan terhadap proyek-proyek APBD. Dari 24 badan usaha pemenang proyek APBD TA 2012, banyak diantaranya menang dalam berbagai macam kategori proyek, salah satunya adalah CV Waliman Jaya Nugraha, yang menang dalam kategori proyek Konstruksi, Pengadaan alat kesehatan, alat berat, dan buku. Sehingga sulit ditebak badan usaha ini bergerak dalam dalam bidang apa, selain itu untuk nilai proyek yang besar yang dimenangkannya seharusnya dapat dilihat company profile pemenang secara online. Sebagian besar perusahaan pemenang proyek APBD TA 2012 di Provinsi Banten sulit untuk didapatkan informasi tentang perusahaannya secara online, kecuali pemberitaan adanya
157
masalah-masalah pada proyek-proyek APBD yang pernah dikerjakan sebelumnya. Perburuan rente oleh jajaran eksekutif, legislatif, dan pengusaha (yang dalam kasus provinsi Banten adalah lingkaran keluarga/kerabat kepala daerah) menimbulkan penunjukan langsung dalam proyek APBD bernilai diatas 200 juta rupiah, yang menyalahi Peraturan Presiden No.54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Diduga lelang proyek yang dilakukan adalah rekayasa suatu kelompok tertentu dan sudah ditentukan pemenangnya sebelum lelang tersebut dilakukan, dengan demikian rente yang tinggi dapat diperoleh oleh pihak pengusaha, eksekutif, maupun legislatif, tapi telah membelokan tujuan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam menyediakan barang dan jasa yang berkualitas, sehingga tidak berdampak pada peningkatan pelayanan publik Dari berbagai ulasan di atas, maka dapat disusun mekanisme pengerukan APBD melalui proyek-proyek APBD pada Gambar 22. Gambar 22 menunjukan mekanisme pengerukan APBD melalui penguasaan proyekproyek APBD di Provinsi Banten. Penguasaan proyek dikoordinasi oleh Gubernur informal atau yang disebut dengan Gubernur Malam, dia memiliki oknum-oknum kepercayaan disejumlah “dinas basah” yang menjaga proyekproyek APBD, agar akses informasi dengan mudah dia dapatkan. Gubernur informal sebagai pemborong dalam proyek-proyek APBD berkoordinasi dengan Gubernur formal/ jajaran eksekutif dalam menentukan proyek APBD dan siapa saja yang akan menangani proyek. Gubernur formal/jajaran eksekutif akan menerima beberapa persen dari nilai proyek. Bagi Gubernur Formal
keputusan proyek-proyek APBD dan
penentuan pemenangnya adalah salah satu cara mengembalikan modal kampanye bagi dirinya dan pihak-pihak yang telah mendukung pembiayaan pada masa kampanye. Gubernur Malam kemudian mengendalikan DPRD melalui eksekutif agar meloloskan usulan mereka, yaitu dengan cara membeli proyek. Membeli proyek dilakukan dengan memberikan bagian dari proyek atau beberapa persen dari nilai proyek kepada oknum DPRD.
158
Oknum penjaga proyek-proyek APBD di berbagai jajaran eksekutif.
Setoran 20 persen sampai dengan 40 persen dari nilai proyek APBD
informasi
Gubernur Informal
Gubernur Formal
Pemilihan Gubernur
Oknum DPRD
(dan oknum jajaran eksekutifnya) Beberapa persen dari nilai proyek.
Bagian proyek atau beberapa persen dari nilai proyek.
Proyek-Proyek APBD Bernilai besar Penyumbang dana kampanye
Pemenang Proyek
Badan Usaha milik Gubernur Informal
Supernormal profit.
Badan usaha yang merupakan bendera lain milik Gubernur Informal/ kelompok yang sama.
Supernormal profit.
Badan swasta lainnya
Supernormal profit
Sumber: Berbagai sumber primer (hasil wawancara) dan sekunder, 2012 (diolah). Gambar 22. Mekanisme Pengerukan APBD Melalui Penguasaan ProyekProyek APBD di Provinsi Banten. Dengan demikian pada saat perencanaan anggaran telah ditentukan siapa pemenang proyek, sehingga proses lelang proyek hanyalah sebuah formalitas, monopoli terselubung ini dapat dilihat dari data pemenang proyekproyek APBD bernilai besar, yang sebagian besar adalah perusahaan yang termasuk dalam tiga kategori. Kategori yang pertama, Perusahaan milik Gubernur informal. Kedua, perusahaan yang diduga merupakan bendera lain milik Gubernur informal dan kelompoknya. Dan yang terakhir adalah badan usaha swasta lainnya. Diketahui juga bahwa ketiga kategori ini adalah pihak-
159
pihak yang memberikan dukungan pembiayaan pada masa kampanye Gubernur formal. Kemenangan mereka tentu saja diduga menghasilkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya/ laba berlebih (supernormal profit) dengan upaya yang sekecil-kecilnya, selain itu juga monopoli terselubung ini akan mencegah pesaing dalam memasuki pasar, yang pada akhirnya menimbulkan welfare loss bagi masyarakat. Namun bagi kategori pemenang yang ketiga, yaitu badan usaha swasta lainnya, sebelum mereka memenangkan suatu proyek maka harus memperoleh restu dari Gubernur informal, badan usaha swasta harus menyetorkan sebesar 20 persen sampai dengan 40 persen dari nilai proyek-proyek APBD163.
5.2 Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (48 Kota/Kabupaten). Dalam pembahasan sebelumnya yang mengambil sampel salah satu daerah di Indonesia pada level provinsi, yaitu Provinsi Banten. Dapat terlihat dugaan korupsi APBD yang terjadi disebabkan prilaku perburuan rente karena tingginya biaya politik, yang akhirnya meluas pada proses penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban APBD (dalam dugaan kasus dana hibah bansos), dan juga meluas pada penguasaan proyek-proyek suatu kelompok tertentu di Banten yang tentu saja pada akhirnya semua itu berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat daerah, begitu luas dampak dari korupsi maka penelitian ini membatasi dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yang diproksi dengan variabel peningkatan output riil. Dalam pembahasan teori-teori pertumbuhan ekonomi telah diuraikan sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Berbagai
independen persepsi
faktor tersebut
kemudian
ditambahkan
variabel
korupsi setiap daerah (indeks persepsi korupsi
163
Rentang nilai persentase adalah hasil wawancara dari berbagai pihak (ICW, DPRD, dan Akademisi Banten)
160
Indonesia) untuk mencapai salah satu tujuan penelitian, yaitu mengetahui dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Penentuan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah dilakukan dengan uji estimasi model. Uji estimasi model terdiri dari tiga tahap uji, yaitu uji statistik, uji ekonometrik dan uji ekonomi. Yang termasuk Uji statistik
adalah uji-F untuk uji terhadap hasil keseluruhan
estimasi model, uji-T untuk uji terhadap masing-masing koefisien parameter, dan koefisien determinasi (R ). Uji ekonometrik yang dilakukan adalah uji terhadap autokolerasi dan heterokedastisitas. Dan yang terakhir adalah uji ekonomi dengan melihat tanda/arah dari koefisien setiap variabel penjelas, kemudian diintrepretasikan dengan teori dan nalar.
5.2.1 Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional Hasil pengujian pada ketiga model data panel statis yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM) diperoleh hasil bahwa metode yang dipilih adalah Fixed Effect Model (FEM). Metode fixed effect yang digunakan yaitu dengan pembobotan GLS Weight: Cross-section weight dan Cross-section weights (PCSE) untuk data cross section 48 kabupaten/kota dengan time series 2008 dan 2010. Pendekatam fixed effect ditentukan dengan berbagai tahapan berikut : Pertama, Dalam penelitian ini dengan data yang ada, dicoba pendekatan PLS (Lampiran 3) dan FEM (Lampiran 4). Untuk memutuskan apakah akan menggunakan
PLS atau FEM maka di lakukan chow test.
Hipotesis yang digunakan dalam chow test adalah sebagai berikut: H : model pooled least square H : model fixed effect Tabel 21. Chow test antara Pooled Least Square dan Fixed Effect Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ02 Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 57.331983 388.452477
d.f.
Prob.
(46,43) 46
0.0000 0.0000
161
Table 21 menunjukan hasil dari chow test, yang secara lengkap dapat di lihat pada lampiran 5. Hasil pengolahan menunjukan nilai probabilitas Chi square yaitu hasil estimasi p-value (0.000) < taraf nyata (α = 0.05) yang berarti tolak H , sehingga keputusan model yang digunakan untuk sementara adalah model fixed effect. Selain itu tidak digunakannya pendekatan PLS adalah keputusan yang tepat, karena PLS diduga dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) yang berasumsi bahwa intersep dan slope di anggap konstan baik antarindividu maupun antarwaktu, sehingga pendekatan PLS memiliki kelemahan dimana dugaan parameter akan bias, parameter yang bias disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang sama pada waktu yang berbeda, maupun observasi yang berbeda pada waktu yang sama, sehingga kurang sesuai dengan tujuan penggunaan data panel. Kedua, sebagai langkah selanjutnya dilakukan hausman test untuk menentukan apakah model fixed effect adalah yang terbaik apabila di bandingkan dengan model random effect (Lampiran 6), hasil dari hausman test ditampilkan dalam tabel 22 yang secara lengkap dapat dilihat di Lampiran 7. Hipotesis yang digunakan dalam uji hausman adalah: H : model random effect H : model fixed effect Tabel 22. Hausman Test antara fixed effect dan random effect Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ02 Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
162
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
147.538221
4
0.0000
Keputusan menggunakan Fixed Effect dapat dilihat dari nilai probabilitas chi-square, berdasarkan hasil estimasi p-value adalah (0.0000) < dari taraf nyata (α = 5%) yang berarti tolak H . Sehingga model terbaik yang akan digunakan adalah fixed effect. Ketiga, setelah memutuskan untuk menggunakan fixed effect, langkah selanjutnya adalah melakukan uji asumsi. Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Metode estimasi data panel dengan menggunakan fixed effects model secara umum dilakukan dengan
Ordinary
Least
Squares
(OLS).
Namun
jika
terjadi
heteroskedastisitas dari data cross section maka dapat digunakan estimasi dengan General Least Square (GLS). Kemudian untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan membandingkan sum square resid weighted GLS lebih rendah daripada unweighted OLS. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model. Oleh karena itu, estimasi dilakukan dengan Cross-section weights (PCSE). Estimasi yang dilakukan dengan fixed effect GLS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan fixed effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS lebih banyak menghasilkan parameter yang signifikan. Pendeteksian adanya autokorelasi juga dilakukan pada model. Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Adanya autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari estimatornya, walaupun estimatornya tetap tidak bias. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan Durbin Watson (DW)-statistiknya dengan DW-tabel. Berdasarkan pengamatan hasil estimasi dapat disimpulkan adanya autokorelasi. Untuk mengatasi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan
163
metode GLS dengan memberikan weights: Cross-section weights. Hasil estimasi yang diperoleh dengan metode ini menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan metode fixed effect GLS. Walaupun nilai DW masih menunjukan terjadinya autokolerasi hal ini dapat diabaikan, karena dalam pendekatan fixed effect tidak mensyaratkan persamaan terbebas dari masalah autokolerasi. Sejauh ini pendekatan terbaik yang dapat digunakan adalah pendekatan fixed effect dengan GLS Weight: Cross-section weight dan Crosssection weights (PCSE). Sehingga model estimasi terbaik yang didapat dari langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23. Hasil Regresi Data Panel No Variabel bebas
Notasi
1
LnAPBD
Peningkatan APBD
Koefisien
P-value
0.066361*
0.0000
0.022320*
0.0000
-0.078770*
0.0003
0.426274* Keterangan :*P-value < 0.01 **P-value < 0.05; tn tidak nyata
0.0000
belanja modal 2
Indeks Persepsi Korupsi
CORR
3
Peningkatan Penduduk
LnPOP
4
Angka Melek Huruf
AMH
Sehingga, bentuk umum persamaan dari model estimasi menggunakan data panel adalah sebagai berikut: LnPDRB
=
0.0663LnAPBD+
0.0223CORR+
0.0787LnPOP+
0.4262AMH…………………………………..……...(5.0)
5.2.2 Evaluasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional Model dalam persamaan (5.0) perlu dilakukan uji F, uji T , evaluasi koefisien determinasi R . Langkah Pertama dilakukan Uji serempak (Uji F) dengan hipotesa : H : β = ….=β = 0 (tidak ada peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat) H : minimal ada satu peubah bebas β
164
0, I =1,2,3
Penolakan H
dilakukan karena melihat nilai probabilitas (F-Statistik =
0.000) < taraf nyata (α = 5%). Dengan demikian minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat dan berlaku sebaliknya. Selanjutnya, melakukan uji parsial (uji-t), Hipotesis uji T adalah: H :β =0 H :β ≠0 Jika t-hitung > t-tabel maka tolak H , yang artinya peubah bebas secara statistik berpengaruh nyata pada taraf nyata yang telah diterapkan dalam penelitian, dan berlaku hal sebaliknya. Jika P-value t-statistik < taraf nyata (α = 5%) maka tolak tolak H yang artinya peubah bebas nyata secara statistik. Pada Hasil regresi data panel (Tabel 23) dapat diketahui semua variabel bebas nyata secara statistik. Kemudian berdasarkan lampiran 9, nilai koefisien determinasi (Goodness of Fit) sebesar 0.9995 menunjukan 99.95% keragaman pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh model tersebut, dan sisanya dijelaskan oleh peubah lain diluar model. 5.2.3 Pembahasan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. Dari hasil pengolahan ternyata yang memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dari 48 ibukota/kabupaten di Indonesia, berturut-turut adalah Angka Melek Huruf, Penduduk, APBD, dan Korupsi. Sedangkan intepretasi dari hasil pengolahan adalah sebagai berikut : Tabel 24. Interpretasi Hasil Estimasi No 1.
Notasi Variabel LnAPBD
2
CORR
3
LnPOP
4
LnAMH
Deskripsi Setiap kenaikan satu persen pada APBD, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48 ibukota/kabupaten di Indonesia sebesar 0.0663 persen. Setiap kenaikan satu indeks pada CORR, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48 ibukota/kabupaten di Indonesia sebesar 0.0223 persen. Setiap kenaikan satu persen pada POP akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi 48 ibukota/kabupaten di Indonesia sebesar 0.0787 persen. Setiap kenaikan satu persen pada AMH, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48 ibukota/kabupaten di Indonesia sebesar 0.4262 persen.
165
Variabel Angka Melek Huruf (AMH) adalah variabel paling berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi regional, variabel ini mewakili tingkat pendidikan untuk mengukur dimensi kualitas penduduk. Hasil dari estimasi model adalah apabila AMH naik 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0.4262 persen. Pendidikan, keterampilan dan pengalaman kerja menyebabkan produktivitas bertambah, sehingga akan meningkatkan produksi yang lebih cepat daripada penambahan tenaga kerja. Hasil tersebut sesuai dengan pandangan teori pertumbuhan baru/endogen Mankiw,Romer,Weil (MWR) yang
mengusulkan
menggunakan
variabel
human
capital
dalam
memodifikasi model solow, sebagai penyebab perkembangan teknologi. Romer
menyatakan
knowledge
stock
adalah
sumber
utama
peningkatan produktivitas dalam perekonomian, dalam pertumbuhan endogen ada tiga elemen yang mendasari yaitu adanya perubahan teknologi yang bersifat endogen melalui sebuah proses akumulasi ilmu pengetahuan, adanya penciptaan ide-ide baru sebagai akibat dari mekanisme limpahan pengetahuan (knowledge spillover), dan produksi barang-barang konsumsi yang dihasilkan oleh faktor produksi ilmu pengetahuan akan tumbuh tanpa batas. Variabel kedua yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah adalah variabel penduduk yang memberikan pengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil estimasi model adalah setiap kenaikan populasi sebesar 1 persen akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.0787 persen, ceteris paribus. Menurut pandangan Adam Smith perkembangan penduduk akan mendorong
pertumbuhan
ekonomi.
Karena
pertumbuhan
penduduk
memberikan kontribusi menambah calon-calon tenaga kerja untuk ketersediaan kuantitas human capital dan mendorong penambahan produksi, namun menurut Sukirno164 bagi masyarakat yang kemajuan ekonominya belum tinggi namun memiliki masalah kelebihan penduduk, pertumbuhan penduduk dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Suatu negara/daerah yang memiliki jumlah penduduk tidak seimbang dengan 164
Sukirno S, op.cit, hal 431.
166
faktor-faktor produksi lain yang tersedia akan memiliki produktivitas marjinal penduduk rendah. Artinya penambahan penduduk tidak akan menimbulkan pertambahan produksi nasional, atau walaupun bertambah pertambahan terlalu lambat dan tidak dapat mengimbangi pertambahan penduduk, sehingga pendapatan per kapita akan turun. Jauh sebelum Sukirno, Thomas Malthus mengajukan suatu teori tentang hubungan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi, yaitu teori jebakan populasi Malthus165. Teori ini merumuskan tentang konsep pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns). Malthus menggambarkan suatu kecenderungan universal bahwa jumlah populasi disuatu negara akan meningkat dengan cepat menurut deret ukur (deret geometri) dan pertumbuhan ekonomi mengikuti deret hitung (aritmatik) . Karena pertumbuhan ekonomi tidak dapat berpacu secara memadai/ mengimbangi
kecepatan
peertumbuhan
penduduk,
maka
pendapatan
perkapita cenderung terus mengalami penurunan sampai sedemikian rendahnya sehingga segenap populasi harus bertahan pada kondisi sedikit di atas tingkat subsisten (semua penghasilan hanya cukup mengganjal perut), itu pun hanya untuk suatu kelompok populasi tertentu, sisanya bahkan mengalami kemiskinan absolute. Cara untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan membatasi jumlah kelahiran. Hasil dari penelitian ini, dimana pertumbuhan penduduk memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah ternyata sejalan dengan teori jebakan populasi Malthus. Selanjutnya, APBD belanja modal/pembangunan adalah variabel yang mewakili investasi pemerintah daerah, merupakan salah satu input produksi yang digunakan untuk mendorong berbagai sumber ekonomi, kemudian sumber-sumber ekonomi tersebut diharapkan dapat mendorong tercapainya pemerataan dan peningkatan pendapatan daerah. Investasi di sektor yang produktif akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hasil pengolahan data pada penelitian ini memperlihatkan hubungan yang positif dan signifikan, pada taraf nyata 1 persen. Sehingga peningkatan 1 persen dari 165
Malthus dalam Todaro MP, Smith SC, op.cit, hal 329-334.
167
pengeluaran
pemerintah
untuk
belanja
modal/pembangunan
akan
meningkatan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 0.0663 persen. Hubungan positif tersebut bisa dijelaskan oleh gambar dampak perubahan
(penambahan)
pengeluaran
pemerintah
terhadap
output
keseimbangan (gambar 23). Actual Expenditure
Expenditure, E
Y
Planned Expenditure E= C+I+G E= C+I+G
∆G
∆Y
Y
0
Y Y
Output (Income),Y
Sumber: Case &Fair, 2001. Gambar 23. Dampak Perubahan (Penambahan) Pengeluaran Pemerintah Terhadap Keseimbangan Output. Pemerintah dapat memengaruhi tingkat ouput keseimbangan dengan menambah atau mengurangi pengeluarannya. Penambahan pengeluaran pemerintah yang direncanakan sebesar ∆G dari G
ke G membuat output
perekonomian meningkat dari Y menjadiY . Pengeluaran pemerintah akan berdampak pada meningkatnya pendapatan/output melalui efek pengganda (Multiplier effect) sebesar ∆Y =
∆G
, dimana b adalah Marginal Prospensity
to Consume (MPC). Peningkatan APBD belanja modal pemerintah daerah menyebabkan peningkatkan pengeluaran pemerintah, yang pada akhirnya mampu meningkatkan output perekonomian. Peningkatan pengeluaran pemerintah adalah salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal ekspansif selain pengurangan pajak, melalui analisis
168
IS-LM dengan asumsi slope LM mendatar (interval Keynesian). Pengeluaran pemerintah ekspansif (∆G>0), sementara ∆T=0) menyebabkan kurva IS bergeser ke kanan, pada tingkat suku bunga yang sama yaitu r , pergeseran kurva IS melalui peningkatan permintaan agregat menyebabkan output keseimbangan meningkat dari Y* ke Y
.
Sementara itu apabila slope LM>0 (interval antara Keynesian dan Klasik) pengeluaran pemerintah tetap meningkatkan output keseimbangan walaupun tidak sebesar yang diharapkan karena terjadinya inflasi (adanya kenaikan suku bunga), hal ini dapat disebut Crowding Out Effect (menurunnya investasi swasta yang menyebabkan tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi dari kebijakan fiskal ekspansif) yang dapat diatasi dengan meningkatkan jumlah uang beredar atau kebijakan moneter ekspansif. Combination policy efektif untuk membuat
pengeluaran pemerintah
ekspansif tetap meningkatkan output perekonomian sebesar yang diharapkan. Namun walaupun variabel APBD memiliki pengaruh yang positif dan signifikan, ternyata memiliki koefisien yang kecil, peningkatan 1 persen dari pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan hanya akan meningkatan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 0.0663 persen (yang artinya kurang dari 1 persen), kecilnya angka koefisien ini bisa dikarenakan oleh adanya beberapa faktor. Yaitu yang pertama, terjadi Crowding Out Effect seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kemudian
yang kedua
dikarenakan belanja modal misalnya untuk infrastruktur tidak dapat langsung dirasakan dampaknya pada jangka pendek, dan baru bisa dirasakan pada jangka panjang. Terakhir adalah adanya kemungkinan pengeluaran pemerintah pada belanja modal yang terdistori, sehingga terjadi misalokasi sumberdaya
contohnya
seperti
korupsi
pada
proyek-proyek
APBD
infrastruktur yang biasa terjadi di berbagai daerah di Indonesia, sehingga multiplier effect yang dirasakan terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil.
169
Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Simamora dan Sirojuzilam166 yang melakukan penelitian pada priode
1997- 2006 di provinsi wilayah pantai timur Sumatra Utara. Hasil temuan Simamora dan Sirojuzilam adalah pengeluaran pemerintah untuk belanja rutin dan belanja pembangunan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Temuan lainnya adalah penelitian Prahara yang melakukan penelitian
pada
periode
2001-2008
di
provinsi
Kalimantan
Barat
kabupaten/kota. Hasil temuan Prahara bahwa pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan memiliki efek positif signifikan sebesar 0.0181 persen, yang artinya pengeluaran pemerintah untuk belanja modal berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Kemudian terakhir adalah pembahasan variabel utama dalam model ini, yaitu korupsi. Dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa setiap kenaikan satu indeks pada CORR (indeks persepsi korupsi), akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48 ibukota/kabupaten di Indonesia sebesar 0.0223 persen, ceteris paribus. Dengan demikian Korupsi memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, karena variabel indeks persepsi korupsi TII merupakan indeks antara 0 sampai dengan 10, dimana angka 0 untuk terjadi korupsi yang parah, dan 10 untuk kondisi suatu daerah tidak ada korupsi, sehingga semakin tinggi indeks adalah semakin baik. Dengan demikian terbukti bahwa teori speed money yang menyatakan bahwa korupsi dapat memfasilitasi pertumbuhan kembali terpatahkan. Pengaruh
negatif
korupsi
menunjukan
korupsi
menimbulkan
inefisiensi dan pemborosan dari sumber ekonomi periode sebelumnya, karena hasil dari pengelolaan sumber daya ekonomi tidak seluruhnya dikembalikan sebagai modal perputaran ekonomi secara multiplier, efek multiplier yang ada menjadi lebih kecil yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan
antara
tingkat pertumbuhan yang telah dicapai dengan potensi pertumbuhan yang seharusnya bisa tercapai. 166
Simamora M, Sirojuzilam, Determinan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat (studi Kasus: Wilayah Pantai Timur), Jurnal Perencanaan dan Pembangunan Wilayah, Vol 4, No. 2, Desember 2008.
170
Koefisien yang kecil menunjukan bahwa korupsi sebenarnya dapat tumbuh beriringan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terbukti dengan adanya berbagai daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi namun korupsi tetap terjadi dimana-mana. Walaupun begitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi tidak berkualitas, artinya tidak mampu mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menyerap tenaga kerja dan mengurangi ketimpangan, jadi pertumbuhan ekonomi yang beriringan dengan korupsi hanya akan dinikmati segelintir kelompok tertentu, bukan oleh masyarakat disuatu daerah. Namun walaupun memiliki nilai koefisien kecil, korupsi tetap berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Korupsi berpengaruh langsung terhadap tingkat investasi, rendahnya tingkat investasi swasta karena besarnya biaya suap dalam perizinan usaha, dan terdistorsinya investasi pemerintah oleh kelompok kepentingan akan menekan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah di Indonesia menjadi lebih rendah dari potensi yang seharusnya dapat dicapai. Pertumbuhan ekonomi daerah adalah indikator utama pembangunan ekonomi daerah, sehingga pada gilirannya nanti pemerintah daerah menjadi tidak efektif menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan dasar, atau dengan kata lain masyarakat daerah menjadi tidak sejahtera. Hasil penelitian ini mendukung penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahman, Kisunko, Kapoor167 terhadap 63 negara di dunia, pada periode 1990-1997, korupsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian lain yang menunjukan hubungan negatif korupsi dan pertumbuhan ekonomi adalah Dewi168terhadap 11 negara di Asia pada periode 1995-2000, dimana korupsi dan pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dan signifikan sebesar 1.316 pada taraf nyata 1%. Dari Tabel 24, dapat dilihat pengaruh negatif
korupsi
terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah, kemudian dapat pula dilakukan perbandingan antar daerah untuk mengukur potensi pertumbuhan ekonomi yang seharusnya 167 168
Rahman A, Kisunko G, Kapoor K, Loc.cit. Dewi, Loc.cit.
171
dapat dicapai. Dari tingkat rata-rata korupsi 48 ibukota/kabupaten di Indonesia (lihat Lampiran 9) dapat diurutkan Tiga besar rata-rata paling buruk adalah Pekanbaru (3.58), Cirebon (3.71) dan Kupang (3.98). Tiga besar tingkat rata-rata paling baik adalah kota Jogjakarta (6.12), Surakarta (5.675) dan Palangkaraya (5.56). Kota Pekanbaru apabila dapat menurunkan tingkat korupsi yang artinya meningkatkan nilai indeks persepsi korupsinya, maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Misalnya kita ambil perbandingannya dengan kota Jogjakarta, tingkat rata-rata korupsi Jogjakarta adalah 6.12 apabila dilakukan perbandingannya dengan Pekanbaru maka besar perbedaannya adalah 0.056169. Artinya, jika Pekanbaru mampu meningkatkan indeks rata-rata korupsinya pada periode tersebut sampai dengan yang dapat dicapai oleh Jogjakarta maka pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 0.056 persen lebih tinggi dari yang dicapai sekarang. Perbandingan juga dapat dilakukan terhadap daerah-daerah lainnya dengan cara yang sama untuk mengetahui potensi pertumbuhan ekonomi daerah yang sesungguhnya bisa dicapai. Misalkan untuk kota Serang (Banten) dengan indeks persepsi korupsi (IPK) rata-rata 4.72 apabila dapat meningkatkan IPKnya menjadi 6.12 seperti daerah Jogjakarta maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya sebesar 0.031 persen170 lebih tinggi dari sebelumnya.
5.2.4 Potensi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten (Analisis ICOR). Pada studi kasus di sub-bab 5.1, telah mengungkapkan bahwa korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi menyebabkan terjadinya high cost economy di Provinsi Banten, Pada sub-bab 5.2 melihat dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan sampel 48 kota/kabupaten di Indonesia dengan salah satu sampel kota adalah ibukota Provinsi Banten. Sedangkan kali ini peneliti mencoba menfokuskan dampak high cost 169 170
0.022*(6.12-3.58) 0.022*(6.12-4.72)
172
economy
(yang
salah
satu
penyebabnya
adalah
korupsi)
terhadap
pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten. Hal ini dapat terlihat pada nilai Incremental Capital Output ratio (ICOR) Provinsi Banten. Soemitro pernah mengutarakan pada masa Orde Baru terdapat kebocoran anggaran pembangunan sebesar 30 persen di Indonesia, pemborosan itu terjadi dikarenakan beberapa faktor, yaitu: (1) Investasi dalam infrastruktur yang bersifat memakan waktu lama, sebelum investasi tersebut membuahkan hasil, (2) Adanya kesalahan/kelemahan teknis dalam Perencanaan, penyelenggaraan dan perawatan proyek-proyek investasi, (3) Segi negatif dalam iklim institutional penyelewengan dan penyimpangan karena tidak dipatuhinya kaidah moral secara normatif (salah satunya korupsi) 171. Dengan adanya pemborosan anggaran negara untuk kepentingan pribadi atau
golongan tertentu, maka proses pembangunan menjadi
terganggu, Infrastruktur terganggu, sehingga negara/rakyat dirugikan akibat adanya high cost economy.
Perhitungan Soemitro itu berdasarkan data
ICOR Indonesia yang saat itu adalah 4.9 atau 5 yang dibandingkan dengan rata-rata negara-negara ASEAN yang memiliki ICOR sebesar 3.5, sehingga terditeksi adanya pemborosan anggaran pembangunan sebesar 30 persen172 pada masa Orde Baru ( ICOR Indonesia dan ASEAN tahun 1993). Besarnya pemborosan anggaran pembangunan di provinsi Banten juga dapat dihitung dengan cara yang sama, yaitu dengan menghitung nilai ICOR Provinsi Banten dan membandingkan dengan nilai ICOR daerah yang efisien di pulau Jawa dan Bali. Tabel 25 berikut menunjukan hasil perhitungan ICOR dengan lag 0 pada suatu periode waktu tertentu173. 171
Soemitro dalam Mahmud MF, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) : Barometer Efisiensi Perekonomian Nasional, Jurnal Ekonomi Bisnis, No.1 Vol.13, april 2008, hal 2829. 172 1.5/5 x 100% 173 Teori ICOR (Harrod-Domar) dapat merefleksikan produktivitas kapital yang pada akhirnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang dicapai, dengan rumus ICOR=I/∆Y, dimana I=∆K (Perubahan kapital) dan ∆Y adalah perubahan output, (I) investasi yang dimaksud adalah investasi yang ditanam oleh swasta maupun pemerintah, besarnya investasi fisik yang direalisasikan pada suatu tahun tertentu dicerminkan dengan besarnya Pembetukan Modal Domestik Bruto (PMTB), sehingga rumus yang digunakan dalam penelitian ini menjadi ICOR= PMTB / PDRB -PDRB .
173
Perhitungan ICOR di atas memiliki asumsi perubahan output sematamata hanya disebabkan perubahan kapital/ adanya investasi, sedangkan faktor-faktor lain dianggap ceteris paribus dan semua perubahan kapital/ investasi yang di tanamkan pada tahun tersebut langsung digunakan dan menghasilkan output pada tahun yang sama, atau memiliki lag 0. Tabel 25. ICOR tahun 2008 di Pulau Jawa dan Bali. Nama Provinsi ∆K* ∆Y* Koefisien ICOR DKI Jakarta 120 867 773.81 20 752 135.70 5.8 Jawa Barat 50 071 918.83 17 025 528.87 5.5** Jawa tengah 30 169 301.77 8 924 229.52 3.4 DI Yogyakarta 5 210 713.85 920 969.32 5.7 Jawa timur 54 702 838.69 17 134 374.34 3.2 Banten 11 537 469.70 3 756 134.53 4.6** Bali 5 616 494.83 1 403 524.28 4.0 Sumber : BPS Provinsi Banten, BPS Provinsi Jawa Barat, BPS, diolah 2013. Ket. *Dalam juta rupiah. **Koefisien telah di sesuaikan dengan hasil perhitungan BPS dan Bappeda di Provinsi terkait. Pada Tabel 25 menyajikan nilai ICOR Provinsi-provinsi di Jawa dan Bali, diketahui bahwa nilai ICOR paling baik adalah Jawa Timur sebesar 3.2 artinya untuk menghasilkan 1 rupiah hanya berinvestasi sebesar 3.2 rupiah. Dengan demikian, nilai ICOR Banten sebesar 4.6, dapat mencerminkan adanya pemborosan dana pembangunan di Provinsi Banten, sehingga diperkirakan adanya kebocoran sebesar 30 persen174 dari anggaran pembangunan. Besarnya kebocoran hingga mencapai 30 persen tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Banten pada tahun 2008 seharusnya dapat tumbuh diatas 5.8 persen,
atau diperkirakan dapat
mencapai 8.3 persen175. Dengan demikian apabila korupsi dapat diberantas, atau setidaknya dikurangi pada level daerah maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah lebih tinggi dari pencapaian yang sekarang. Kemudian pertumbuhan 174
4.6-3.2= 1.4, 1.4/4.6 *100%= 30% 70% anggaran pembangunan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi 5.8% , artinya memiliki perbandingan 1: 0.0828. Dengan perbandingan tersebut, kebocoran anggaran sebesar 30% dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi 2.5%, sehingga potensi pertumbuhan yang bisa dicapai 5.8%+2.5%=8.3%.
175
174
ekonomi yang menjadi salah satu indikator pembangunan ekonomi, pada akhirnya diharapkan dapat memberikan pengaruh dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
175
176
6. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Mekanisme korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di Banten dikarenakan
adanya biaya politik yang tinggi dalam rekrutmen politik,
rekrutmen politik masih diwarnai tradisi politik uang. Dengan demikian calon pejabat publik yang akan terpilih tidak perlu berkualitas, tapi harus bermodal besar dalam meraih kekuasaannya, modal kampanye didapatkan dari berbagai sumber dana, seperti dari pribadi, partai politik, perorangan, dan perusahaan swasta. Sehingga motivasi mereka setelah terpilih adalah mengembalikan modal politik. Pejabat publik yang ingin melanggengkan kekuasaannya (calon yang sudah menjabat pada periode sebelumnya), dapat memanipulasi pembiayaan kampanye dengan menggunakan fasilitas maupun anggaran daerah, karena mereka memiliki kewenangan dalam menentukan peraturan daerah (Perda), terutama perda tentang APBD. Ada dua mekanisme korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi di Banten, yaitu: a. Mekanisme Korupsi APBD Pos Belanja Bansos dan Hibah dalam APBD yang dapat digunakan sebagai dana taktis pembiayaan kampanye, mekanisme dugaan korupsi APBD di Provinsi Banten dengan sampel Pos Bansos dan Hibah dimulai dari tahap perencanaan anggaran
(by
design),
meluas
ke
tahap
pelaksanaan,
dan
pertanggungjawaban. b. Mekanisme perolehan rente melalui proyek-proyek APBD, Bagi para penyumbang dana kampanye yang memiliki kepentingan, misalnya perusahaan-perusahaan swasta yang menginginkan untuk ‘dibayar kelak’ dengan mendapatkan bagian proyek-proyek APBD bernilai besar. Pada studi kasus Provinsi Banten, otonomi daerah mampu mentransformasikan client businessmen pada masa OrBa (masa sentralisasi politik) menjadi raja kecil di daerah mereka. Raja kecil tersebut menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten, bahkan kini anggota keluarga besarnya menguasai berbagai bidang termasuk dalam aspek politik dan bisnis, kekuasaan diperoleh dengan cara
177
membiayai partai politik, sedangkan aspek bisnis bertumpu pada monopoli terselubung terhadap proyek-proyek APBD. Proyek APBD di Banten dikerjakan oleh pihak yang sama namun berbendera lain. Pihak-pihak itu adalah pejabat publik yang berkuasa bergandengan tangan dengan pihak ketiga yang merupakan lingkungan keluarga dan kerabat kepala daerah yang berkuasa secara informal. 2.
Berdasarkan hasil regresi data panel, korupsi di level daerah di Indonesia memiliki berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi 48 kota/kabupaten di Indonesia.
6.2 Implikasi Kebijakan dan Saran 1. Untuk studi kasus Banten, saran yang dapat diberikan adalah: a.
Perlu adanya Peraturan Mentri Dalam Negeri (Permendagri) yang tegas terkait pengelolaan dana Bansos Hibah di daerah,
b.
Agar
pejabat
publik
dalam
legislatif
maupun
eksekutif
daerah/nasional tidak dipengaruhi oleh kepentingan bisnis, maka harus dikeluarkan peraturan yang menegaskan pembatasan pejabat publik/keluarganya dengan kegiatan usaha swasta, sehingga Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta harus direvisi. c.
Berbagai data dari ICW maupun BPK menunjukan bahwa
para
pelaku dapat terjerat undang-undang tindak pidana korupsi, salah satunya yaitu UU No. 31/1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 1 atas unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara. Sehingga sangat perlu bagi aparat penegak hukum melakukan tindakan tegas sesuai dengan prosedur hukum yang ada. d.
Law of enforcement di Banten perlu didukung oleh usaha pihak internal dan masyarakat yang berani membongkar dan menegakan aturan di Pemerintah Provinsi Banten.
2.
Hendaknya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, dilakukan pemberantasan korupsi di daerah/nasional yang dimulai dengan 178
menciptakan suatu sistem politik yang berbiaya rendah. Contoh negara dengan biaya politik rendah adalah Korea Selatan. Dengan demikian diharapkan mampu menciptakan pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market). Suatu sistem politik berbiaya rendah hendaknya dapat melahirkan kepemimpinan (leadership) nasional/daerah yang mampu secara tegas mendukung segala bentuk upaya pemberantasan korupsi di tingkat nasional/daerah. Pemimpin tersebut harus mampu melakukan pembenahan institusi seluruh aparat penegak hukum dengan menerapkan Carrot and Stick. Sehingga aparat penegak hukum dapat mendukung penerapan Carrot and Stick yang menyeluruh pada instansi pemerintahan yang ada dan mewujudkan prinsip-prinsip Good Governance pada seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat. 3.
Saran untuk Penelitian selanjutnya adalah mengeksplorasi secara lebih mendalam bagaimana proses rekrutmen politik pada tubuh partai politik dan sumber pembiayaan partai politik, hal ini dirasakan perlu dilakukan karena dapat memahami akar terjadinya prilaku rente ekonomi yang menyebabkan terjadinya korupsi di daerah (termasuk korupsi APBD), kemudian melakukan pengembangan pemodelan menggunakan data time series yang lebih panjang apabila data korupsi regional tersedia, dan juga menambah beberapa variabel yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga mungkin akan memberikan hasil pengolahan yang lebih baik.
179
180
DAFTAR PUSTAKA Ackerman SR. 2006. Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, akibat dan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Aidt TS. 2003. Economic Analysis of Corruption: A Survey. The Economic Journal 113(491), November: f632-f652. Anzar D. 2011. Akrobat Pembangunan: Telaah Kritis Kebijakan Publik, Ekonomi Banten dan Nasional dalam Bingkai Konektivitas, Jakarta:Paradigma Semesta. Azis IJ, Wihardja MM. 2010. Theory of Endogenous Institutions and Evidence from an In-Depth Field Study in Indonesia. Economics and Finance in Indonesia, 58(3):309-334. [BPK RI] Badan Pemeriksa Keuangan. 2012. Audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Banten TA 2011. Jakarta: BPK RI
_______________________________. 2012. Audit Investigasi Dana Hibah Bansos Pemprov Banten TA 2011. Jakarta: BPK RI
[BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Pengawas Pembangunan Daerah Provinsi Banten. 2009. ICOR Provinsi Banten 2008. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Banten dalam Angka. Jakarta: BPS. _______________________. 2012. Banten dalam Angka. Jakarta: BPS. Baltagi. 2005. Econometric Analysis of Panel Data: third Edition. England: John Wiley and Sons.Ltd. England.
Bhinadi A. 2003. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa Dengan Luar Jawa. Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang 8(1), Juni : 39-48. Culis J, Jones P. 1992. Public Finance Public Choice analytical Perspective. Singapore: McGrawHill. Damanhuri DS. 1996. Ekonomi Politik Alternatif. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. _____________. 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta:LPFEUI. _____________. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Jakarta:LPFEUI.
Dewi SNF. 2002. Analisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi Domestik dan Foreign Direct investment (11 Negara Asia Tahun 1995-2000). Tesis. FEUI.
Djaroti A. Sebuah Catatan Tangan-tangan Kekuasaan Keluarga Atut. tidak dipublikasikan. Elok D, Briggita I. 2011. Gangren Desentralisasi Korupsi. Di dalam: Hartiningsih M, editor. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta:PT.Kompas Media Nusantara. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor: IPB Press. Harman BK. 2012. Negeri Mafia Republik Koruptor:Menggugat Peran DPR Reformasi, Yogyakarta:Lamalera. [ICW] Indonesian Corruption Watch. 2012. Laporan Monitoring Pilkada Banten 2011. Jakarta :ICW. [ICW] Indonesian Corruption Watch. 2012. Laporan Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah Bansos 2011. Jakarta:ICW.
Jain AK. 2001. Corruption: A Review, Jurnal of Economic Survey15(1) Corcodia University: hal 71-116. Jeremy P. 2002. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia Klitgaard R. 2005. Penuntun Pemberantasan korupsi dalam pemerintahan daerah. Jakarta:Yayasan Obor. [KPK] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami Untuk Membasmi. Jakarta:KPK.http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=125 0, diakses 28 November 2011. Kwik KG. 2003. Pemberantasan Korupsi: Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. www.bappenas.go.id/get-fileserver/node/5419/ , 28 november 2011. Lambsdroff JD. 2002. Corruption and Rent Seeking. Nedherlands: Kluwer Academic Publisher, Public Choice113: 97-125. Lopa B. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan hukum. Jakarta: Kompas. Mahmud MF. 2008. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) : Barometer Efisiensi Perekonomian Nasional. Jurnal Ekonomi Bisnis 13(1), April: 2737. Mangkoesoebroto, G. 1993. Ekonomi Publik, Yogyakarta:BPFE.
182
Mankiw NG, Romer D, Weil DN. 1992. A Contribution To The Empirics Of Economics Growth. Quartely Journal Of Economics, May:407-437. Mauro P. 1995. Corruption and growth, Quarterly Journal of Economics 110(3): 681-712. Muhaimin Y. 1991. Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta :LP3ES. Nisjar K. 2005. Corruption In Less Developed Countries (a study on the Problem and Sollution of Corruption in Indonesia). Jurnal Akuntansi 9(3), September: 260-265 . Nugroho T. 2004. Disparitas pembangunan wilayah pesisir utara dan selatan jawa barat :studikasus diKabupaten Karawang Subang dan Kabupaten Garut Ciamis. Tesis. IPB. Prahara G. 2010. Analisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. Tesis.FEM IPB. Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta: Universitas Terbuka. Rachbini DJ. 2008. Teori Bandit. Jakarta: RMBooks. __________. 2001. Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Garsindo. Rahman A, Kisunko G, Kapoor K. 2000. Estimating the effect of Corruption Implication for Bangladesh.World Bank Report . www.worldbank.org Rizak HB. 2012. Kebijakan Alokasi Anggaran: Studi Kasus Sulawesi Tengah. Analisis CSIS 41(1), Maret: 95-116. Riyanto. 2008. Korupsi dalam pembangunan ekonomi wilayah: suatu kajian ekonomi politik dan budaya. Disertasi. Pascasarjana IPB. Santosa I. 2011. Pagar betis Mengepung Tikus di Sawah Indonesia. Di dalam: Hartiningsih M, editor. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta: P.T.Kompas Media Nusantara. Shera A. 2011. Corruption and The Impact of The Economic Growth. Journal of Information Technology and Economic Development 2(1): 39-53. Simamora M, Sirojuzilam. 2008. Determinan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat (studi Kasus: Wilayah Pantai Timur). Jurnal Perencanaan dan Pembangunan Wilayah 4(2), Desember: 94-101.
183
Sitongga LT. 2012. Presiden SBY:Ini Dia 5 Sektor Rawan Korupsi. Rabu 25 Juli http://www.bisnis.com/artikel, 13/9/2012. Sillaeloe P. 2010. Korupsi Dalam Pengelolaan APBD, Kamis 13 September 2012,http://bimakab.go.id/article-korupsi-dalam-pengelolaan-apbd.html, diakses 13/09/2012. Shleifer A, Vinshy RW. 1993. Corruption. The Quarterly Journal of Economics 108(3), Aug: pp 559-617. Sopanah, Wahyudi Isa. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi APBD di Malang Raya, http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/277/290, diakses 14/9/2012. Soesatyo B. 2010. Perang-perangan Melawan Korupsi : Pemberantasan Korupsi di Bawah pemerintahan Presiden SBY, Jakarta:Ufuk Press. Stiglitz J. 2002. Economics of Public Sector 3rd edition. New York:W.W. Norton & Company. Suparno. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia. Tesis. FEM IPB. Sulistio F. Perilaku Korupsi dalam Pemilukada. Jurnal Konstitusi PPK FH UB.http://faizinsulistio.lecture.ub.ac.id/2011/05/perilaku-korupsi-dalampemilukada/, diakses 6/4/2012 Sukirno S. 2008. Teori Makroekonomi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2011. Metode Bandung:Alfabeta.
Penelitian
kombinasi
(Mixed
method).
Swaleheen M, Stansel D. 2007. Economic Freedom, Corruption and Growth, Cato Journal 27(3): 343-258. Taufik R, Maria P, Dewi D. 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia Yang Terdesentralisasi, Bank Dunia. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publicatio n/Memerangi_Korupsi_dprd.pdf, diakses 28 Desember 2012. Thomas V,et.al. 2000. The Quality of Growth. World Bank. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi Ed ke-9 (Alih Bahasa oleh Haris Munandar dan Puji A.L) Jakarta: Erlangga.
184
Vermonte PJ. 2012. Mendanai Partai Politik: Problem dan Beberapa Alternative Solusinya, Analisis CSIS 41(1), Maret: 82-94. Yoshinara K. 1991. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta:LP3ES. Yustika AE, 2008. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi. Jatim:. Bayumedia Publishing. Widjaja HAW. 2009. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta : Rajawali Pers. Winters JA. 2011. Oligarkhi. Jakarta:Gramedia. Zachrie R, Wijayanto. 2010. Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab akibat dan Prospek Pemberantasan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. www.transparency.org,2010, diakses 30/11/2011 http://www.undp.or.id/programme/governance/intro_glg.pdf, 12 /11/2012 http://www.djpk.depkeu.go.id/, diakses 15/06/2012 http://www.ipkindonesia.org/, diakses 30/11/2011. http://bantenologi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=83:potre t-budaya-banten-dulu-kini-dan-nanti&catid, diakses 5/11/2012. http://www.humasprotokol.bantenprov.go.id/2012/07/, diakses 5/11/2012 http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-1pril-2011/273, diakses 1/11/ 2012. Korupedia.org 18/6/2012, diakses 19/6/2012. http://koranmedan.com/2009/08/, diakses 12/6/2012. http://lpse.bantenprov.go.id/eproc/lelang/pemenang, diakses 25/12/12
185
186
Lampiran 1. Daftar Informan/Nara Sumber Nama AI
Tanggal 19 Juni 2012 13 November 2012
PR
3 Juni 2012
EA
19 Juni 2012 6 Desember 2012
BS
13 November 2012
Aeng Khaerudin
19 Juni 2012
Gandung
19 Juni 2012
Babar
6 Desember 2012
AW
28 November 2012
DA
19 Juni 2012 8 November 2012
Jabatan Peneliti ICW
Keterangan Mengetahui mekanisme dugaan korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi Staff Pemerintah Mengetahui mekanisme Daerah Provinsi Banten dugaan korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi Badan Pengawas Pemilu Mengetahui mekanisme Provinsi Banten dugaan korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi Forum Diskusi Mengetahui mekanisme Wartawan Harian dugaan korupsi APBD (FWDH) Banten dalam perburuan rente ekonomi Ketua DPRD Konfirmasi Temuan BPK Pemerintah Daerah RI Provinsi Banten Itjen Pemerintah Daerah Konfirmasi Temuan BPK Provinsi Banten RI Kepala Bidang Mengetahui normatif Perencanaan Program Pengelolaam APBD, dan Anggaran Bappeda. khususnya Pos Bansos Hibah, dan prakteknya di daerah. Anggota DPRD Mengetahui mekanisme Pemerintah Provinsi dugaan korupsi APBD Banten. dalam perburuan rente ekonomi . Akademisi dan mantan Mengetahui mekanisme anggota staf ahli DPRD dugaan korupsi APBD Banten dalam perburuan rente ekonomi.
187
Lampiran 2. Data ICW : Rincian Kejanggalan Penyumbang Dana Kampanye Incumbent 1 Pada Pilkada Banten Tahun 2011 Uji Petik terhadap 30 persen dari Jumlah Penyumbang. a.
Sumbangan perusahaan swasta yang tidak menyertakan NPWP
No Tanggal
Nama
Alamat
1
13/09/11
CV Kristal Utama
Komplek Kidemang Blok F No 8 Kota Serang
Rp 200 000 000.00
2
4/10/2011
PT Kidemang Putra Prima
Rp 350 000 000.00
3
4/10/2011
PT Palugada Mandiri
Komplek Kidemang Putra Prima Serang
4
4/10/2011
PT Trias Jaya Perkasa
Rp 350 000 000.00
5 6
5/10/2011 5/10/2011
Ciracas, Kota Serang Cilegon Pandeglang
Rp 350 000 000.00 Rp 150 000 000.00
Serang Kota Serang Pandeglang
Rp 100 000 000.00 Rp 150 000 000.00 Rp 150 000 000.00
7 8 9
b.
PT Trina Lestari CV Bangun Cipta Persada 13/10/2011 CV Karindo Raya 14/10/2011 PT Ramaditya 14/10/2011 PT Bara Cipta Nusa Pala TOTAL
Rp 300 000 000.00
Rp 2 100 000 000.00
Perusahaan penyumbang yang beralamat tidak jelas
No Tanggal 1 4/10/2011
Nama PT Palugada Mandiri
2 3
5/10/2011 5/10/2011
PT Trina Lestari Cilegon CV Bangun Cipta Pandeglang Persada
Rp 350 000 000.00 Rp 150 000 000.00
4 5 6
13/10/2011 14/10/2011 14/10/2011
CV Karindo Raya Serang PT Ramaditya Kota Serang PT Bara Cipta Pandeglang Nusa Pala
Rp 100 000 000.00 Rp 150 000 000.00 Rp 150 000 000.00
TOTAL
188
Total
Alamat Serang
Total Rp 300 000 000.00
Rp 1 200 000 000.00
c.
Perusahaan penyumbang dengan alamat sama No Perusahaan
Nama Penyumbang
Alamat
1 PT Waliman Nugraha Jaya
Sigit Widodo
Puri Serang Hijau Blok L412 Kota Serang
Rp 200 000 000.00
2 PT Bintang Raya Putra
Jajang Lesmana
Puri Serang Hijau Blok L4 no 12 Kota Serang
Rp 150 000 000.00
3 CV Cristal Utama
Ahmad Saefudin
Rp 200 000 000.00
4 PT Priangan Jaya Persada
Prana Rismayandi
5 PT Kidemang Putra Prima
Prana Rismayandi
Komplek Kidemang Blok F No 8 Kota Serang Komplek Kidemang Blok F No 8 Kota Serang Komplek Kidemang Blok F No 8 Kota Serang
TOTAL
d.
Total (Rp)
Rp 300 000 000.00
Rp 350 000 000.00
Rp 900 000 000.00
Alamat perusahaan yang tidak layak disebut kantor
No Perusahaan
Nama Penyumbang
Alamat
Keterangan
1 PT Waliman Nugraha Jaya
Sigit Widodo
Rumah Jajang Lesmana
2 PT Priangan Jaya Persada
Prana Rismayandi
Puri Serang Hijau Blok L4-12 Kota Serang Komplek Kidemang Blok F No 8 Kota Serang
Rumah kosong berlantai dua, sudah tidak layak untuk langsung ditempati
189
(Lanjutan)
3 PT Kidemang Putra Prima
Prana Rismayandi
Komplek Kidemang Blok F No 8 Kota Serang
Rumah kosong berlantai dua, sudah tidak layak untuk langsung ditempati
4 CV Cristal Utama
Ahmad Saefudin
Komplek Kidemang Blok F No 8 Kota Serang
Rumah kosong berlantai dua, sudah tidak layak untuk langsung ditempati
5 PT Mitra Karya Rattan
Reiny Rahmawati
Jl Tebet Timur Raya No 50 A Jakarta Selatan
Alamat itu, tempat yang dimiliki oleh seseorang yang berprofesi dokter umum. Sebelah rumah itu no 51 adalah kantor penghubung pemerintah Provinsi Banten Alamat yang dimaksud ditempati oleh PT Bali Pasific Pragama, perusahaan itu milik adik laki-laki Gubernur
6 PT Citra Putra Adhi Pradipta Mandiri Internusa
190
The East Tower Lt.12 Unit 5 Mega Kuningan, Jakarta Selatan
Lampiran 3. Output pendekatan pooled least square estimasi model pertumbuhan ekonomi regional Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel Least Squares Date: 04/19/13 Time: 11:38 Sample: 2009 2010 Periods included: 2 Cross-sections included: 47 Total panel (balanced) observations: 94 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAPBD LNPOP AMH CORR C
0.478278 1.026092 0.066525 0.053299 -10.46028
0.112436 0.096931 0.021527 0.088274 2.536999
4.253797 10.58576 3.090362 0.603792 -4.123091
0.0001 0.0000 0.0027 0.5475 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.798547 0.789493 0.601532 32.20378 -83.03331 88.19751 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
15.40056 1.311067 1.873049 2.008331 1.927693 0.480137
191
Lampiran 4. Output pendekatan fixed effects estimasi model pertumbuhan ekonomi regional FEM Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel Least Squares Date: 04/19/13 Time: 11:39 Sample: 2009 2010 Periods included: 2 Cross-sections included: 47 Total panel (balanced) observations: 94 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAPBD LNPOP AMH CORR C
0.058157 -0.096451 0.374979 0.011218 -20.68145
0.048976 0.095689 0.047067 0.023530 4.758594
1.187441 -1.007967 7.966967 0.476760 -4.346126
0.2416 0.3191 0.0000 0.6359 0.0001
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
192
0.996768 0.993010 0.109614 0.516650 111.1929 265.2337 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
15.40056 1.311067 -1.280701 0.099172 -0.723333 3.916667
Lampiran 5. Output pooled least square/ fixed effects testing dengan menggunakan rendundant fixed effects – likelihood ratio Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ02 Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F Cross-section Chi-square
d.f.
Prob.
57.331983 388.452477
(46,43) 46
0.0000 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel Least Squares Date: 04/19/13 Time: 14:20 Sample: 2009 2010 Periods included: 2 Cross-sections included: 47 Total panel (balanced) observations: 94 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAPBD LNPOP AMH CORR C
0.478278 1.026092 0.066525 0.053299 -10.46028
0.112436 0.096931 0.021527 0.088274 2.536999
4.253797 10.58576 3.090362 0.603792 -4.123091
0.0001 0.0000 0.0027 0.5475 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.798547 0.789493 0.601532 32.20378 -83.03331 88.19751 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
15.40056 1.311067 1.873049 2.008331 1.927693 0.480137
193
Lampiran 6. Output pendekatan Random effects estimasi model pertumbuhan ekonomi regional Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 04/19/13 Time: 11:42 Sample: 2009 2010 Periods included: 2 Cross-sections included: 47 Total panel (balanced) observations: 94 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAPBD LNPOP AMH CORR C
0.147495 0.578549 0.123111 0.004496 -5.965268
0.046686 0.070328 0.024335 0.022999 2.645806
3.159324 8.226497 5.059064 0.195499 -2.254612
0.0022 0.0000 0.0000 0.8454 0.0266
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.572529 0.109614
Rho 0.9646 0.0354
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.332090 0.302071 0.177181 11.06286 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2.066066 0.212085 2.793975 2.167802
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
194
0.556702 70.86451
Mean dependent var Durbin-Watson stat
15.40056 0.085470
Lampiran 7. Output fixed effects/random effects testing dengan menggunakan correlation random effects-Hausmant test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ02 Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
147.538221
4
0.0000
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.147495 0.578549 0.123111 0.004496
0.000219 0.004210 0.001623 0.000025
0.0000 0.0000 0.0000 0.1761
Test Summary Cross-section random
Cross-section random effects test comparisons: Variable LNAPBD LNPOP AMH CORR
Fixed 0.058157 -0.096451 0.374979 0.011218
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel Least Squares Date: 04/19/13 Time: 11:43 Sample: 2009 2010 Periods included: 2 Cross-sections included: 47 Total panel (balanced) observations: 94 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAPBD LNPOP AMH CORR
-20.68145 0.058157 -0.096451 0.374979 0.011218
4.758594 0.048976 0.095689 0.047067 0.023530
-4.346126 1.187441 -1.007967 7.966967 0.476760
0.0001 0.2416 0.3191 0.0000 0.6359
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.996768 0.993010 0.109614 0.516650 111.1929 265.2337 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
15.40056 1.311067 -1.280701 0.099172 -0.723333 3.916667
195
Lampiran 8. Output hasil estimasi pendekatan fixed effects dengan GLS Weight: Cross-section weight dan Cross-section weights (PCSE) Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 04/19/13 Time: 11:45 Sample: 2009 2010 Periods included: 2 Cross-sections included: 47 Total panel (balanced) observations: 94 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAPBD LNPOP AMH CORR C
0.066361 -0.078770 0.426274 0.022320 -26.06943
0.014673 0.020197 0.024539 0.004952 2.460177
4.522785 -3.900092 17.37139 4.507644 -10.59657
0.0000 0.0003 0.0000 0.0000 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999557 0.999041 0.099340 1939.457 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
63.29866 232.5588 0.424345 2.999957
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
196
0.996641 0.537029
Mean dependent var Durbin-Watson stat
15.40056 3.916667
Lampiran 9. Tingkat Korupsi rata-rata tahun 2008 dan 2010 48 ibukota/kabupaten di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
kab/kota Banda aceh Lhokseumawe Sibolga pematang siantar Medan padang sidempuan Padang Pekanbaru Jambi Palembang Bengkulu bandar lampung Pangkalpinang Batam tanjung pinang Jakarta Tasikmalaya Cirebon Bandung Surakarta Semarang Banyumas Tegal Jogjakarta
CPI 5.24 4.845 4.7 4.49 4.005 4.12 4.855 3.58 4.85 4.285 4.57 4.755 4.61 4.35 4.45 4.245 5.4 3.715 4.355 5.675 4.79 4.3 4.79 6.12
No 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
kab/kota Malang Jember Kediri Surabaya Serang Denpasar Mataram Kupang Pontianak Palangkaraya Banjarmasin Samarinda Balikpapan Manado palu Makasar Kendari Gorontalo Mamuju Ambon Ternate Jayapura Sorong manokwari
CPI 4.575 4.835 5.23 4.1 4.72 5.48 5.4 3.93 4.165 5.565 5.155 4.94 5.22 4.665 4.8 4.335 4.225 5.26 4.265 4.805 4.715 4.67 4.325 4.6
197
Lampiran 10. Contoh Lembaran Kuisioner yang Digunakan Oleh Transparency International Indonesia (TII) 80715
No. Kues:_______________
- CPI 2008-
No. Intvr:_______________
PT. Karya Utama Integritas Jl. Cilosari 35 Jakarta 10330 SEKTOR PEJABAT PUBLIK – FIELD Nama interviewer :
Nama responden: Jabatan:
Tanggal interview :
Nama Institusi: Alamat:
Lama interview : ………… menit Mulai: ……………. Selesai:…………………..
Kode Pos: Telpon Kantor:
Nama TL : Fax:
Nama SPV :
Nomor HP :
Tanda tangan Responden:
Alamat E-mail:
Penerimaan Gift: _______________ Sudah Interview: _____________
Saya menyatakan bahwa saya mengikuti prosedur rekrutmen responden dengan penuh tanggung jawab dan saya telah melaksanakan interview sesuai instruksi yang diberikan. Bila ditemukan kesalahan atau penipuan dalam pemilihan responden dan proses interview sehingga data menjadi tak berguna, saya bersedia menerima tindakan yang dijatuhkan untuk saya.
Tanda tangan interviewer: _____________ Diperiksa oleh: TL
: _________________________
SPV
:_________________________
Checker :_________________________
Kualitas Control Interviewer Witness TL Check
198
Nama
Tanggal
Paraf
Komentar
SPV. Check Recall/Verify KOTA/WILAYAH: Banda Aceh Lhokseumawe Medan Padang Sidempuan Pematang Siantar Sibolga Pakan Baru Batam Tanjung Pinang Padang Jambi Palembang Bengkulu
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13
Pangkal Pinang Bandar Lampung Jakarta Bandung Serang/Cilegon Tasikmalaya Cirebon Semarang Surakarta Yogyakarta Tegal Purwokerto Surabaya
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Malang Kediri Jember Pontianak Palangkaraya Balikpapan Sampit Banjarmasin Samarinda Tenggarong Denpasar Mataram Kupang
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 39 39
Manado Palu Gorontalo Makassar Mamuju Kendari Ambon Ternate Jayapura Manokwari Sorong
TELPON UNTUK MEMBUAT PERJANJIAN SETELAH DIHUBUNGKAN DENGAN ORANG YANG TEPAT, MULAI DENGAN PERKENALAN: PENDAHULUAN: Selamat pagi/siang/sore, kami dari PT. Karya Utama Integritas/3i-s research, sebuah perusahaan riset pemasaran independen. Saat ini kami ingin menanyakan pendapat bapak/ibu mengenai Tata kelola pemerintah yang baik (Good Governance). Kami percaya, bahwa Anda setuju bahwa Good Governance akan membuat Pejabat Publik bisa lebih melayani masyarakat dengan baik. Karena Good Governance sudah menjadi tekad Pemerintah Daerah, maka kami diminta oleh Transparency International Indonesia untuk melakukan penelitian mengenai implementasi Good Governance yang sudah dilaksanakan disini. Kami minta Anda bisa memberikan jawaban yang jujur. Anda tidak perlu kuatir menyebutkan nama Anda, karena nama Anda tidak akan ditampilkan dalam hasil survei ini. Semua jawaban akan diolah bersama dan akan ditampilkan sebagai penemuan kolektif dalam satu daerah. Bila diminta untuk menjelaskan: Perusahaan kami telah ditugaskan oleh Transparency International Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang bertujuan membangun kesadaran publik tentang transparansi dan akuntabilitas di sektor Pemerintah dan swasta di Indonesia. Transparency International Indonesia melakukan survey ini dengan keinginan memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai masalah utama yang dihadapi masyarakat sehingga dapat memberikan solusi yang lebih baik. Semua jawaban akan diterjemahkan ke dalam angka-angka dan akan diolah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin jawabannya bisa dirujuk kepada jawaban pribadi-pribadi.
199
PERTAMA-TAMA, KAMI INGIN MENANYAKAN BEBERAPA PERTANYAAN LATAR BELAKANG
S1.
Apa nama institusi tempat anda bekerja saat ini? Badan Pertanahan Negara....................................................................... Layanan Perpajakan nasional/Negara (PPH badan, PPN, PPNBM )...... Layanan Pajak/retribusi daerah (PBB, Pajak kendaraan, Pajak Iklan) ..... Imigrasi (KIMS, KITAS) ............................................................................ Departemen Hukum (paten) .................................................................... Polisi......................................................................................................... DLLAJR ................................................................................................... Bea Cukai ................................................................................................ Pelindo (Pelabuhan) ................................................................................. Angkasa Pura (Bandara) .......................................................................... Pengadilan ............................................................................................... BPOM....................................................................................................... MUI (Sertifikat Halal) ................................................................................ Pemda/Pemkot ......................................................................................... Depkes .....................................................................................................
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
S1b. Apakah ada bidang yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat di institusi ini ? Ya ............................................................................................................. Tidak ........................................................................................................ HENTIKAN S2a. S2b.
Bolehkah kami tahu bidang apa? BIDANG: __________________________________ Apakah Bapak memiliki jabatan struktural di sini ? Ya ........................................................................................... .................. TANYA S2C Tidak ........................................................................................................ HENTIKAN
S2c.
Apa jabatan Bapak? JABATAN:
S2d.
Dan, untuk posisi ini, secara struktural bapak di Eselon berapa? ESELON [LINGKARI]: 1 2
KUESIONER UTAMA
Pengetahuan tentang UU Korupsi
200
1– 2–
______________________
4
P1.
1 2-
Apakah anda pernah mendengar tentang UU Anti Korupsi? Ya ............................................................................................................. ............................................................................................................... 1 Tidak ....................................................................................................... ................................................................................................ 2 KE P4a
3
P2.
Apakah Anda pernah membaca UU Anti Korupsi Indonesia ? Ya............................................................................................................. ............................................................................................................... 1 Tidak ....................................................................................................... ............................................................................................... 2 KE P4 a
P3.
[SHOW CARD] Dari daftar berikut ini yang mana saja menurut Anda termasuk dalam tindakan korupsi menurut UU ? [M] Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh pejabat public yang menyebabkan kerugian financial bagi Negara ..................... ............................................................................................................... 1 Menyuap pejabat publik ........................................................................... ............................................................................................................... 2 Penipuan / Kecurangan oleh pejabat Negara ......................................... ............................................................................................................... 3 Pemerasan............................................................................................... ............................................................................................................... 4 Penyelewengan berat di proyek pemerintah ............................................ ............................................................................................................... 5 Konflik kepentingan pribadi dalam proyek pemerintah ............................ ............................................................................................................... 6 Gratifikasi / pemberian hadiah ................................................................. ............................................................................................................... 7
P4a. [SHOW CARD] Dari daftar berikut ini silakan anda memilih 5 hal yang paling bermasalah untuk menjalankan bisnis/usaha di Indonesia. Tolong urutkan faktor-faktor ini menurut seberapa bermasalahnya [ranking 1=paling bermasalah; 5=paling tidak bermasalah]
No a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.
Ranking Akses ke pendanaan Peraturan tenaga kerja yang mengekang Instabilitas Pemerintahan / kudeta Peraturan mata uang asing Kriminalitas dan pencurian Fasilitas infrastruktur yang tidak memadai Korupsi Birokrasi pemerintah yg tidak efisien Peraturan perpajakan Pendidikan SDM yang rendah Tarif pajak nasional (PPN, PPH, Pajak Badan, PPNBM) Tarif pajak daerah (retribusi, PBB, Pajak Kendaraan, Pajak Iklan) Etika kerja buruk pada tenaga kerja local. Inflasi Kebijakan yang tidak stabil / sering berubah
P4b. Mengapa Anda memberikan ranking seperti itu?
201
INDEX PERSEPSI KORUPSI Persepsi tentang SUAP [SHOW CARD SKALA] Untuk pertanyaan-pertanyaan berikut ini, silakan menilai dengan memakai skala 0-10, dimana 0 berarti “lazim” sedangkan 10 berarti “tidak lazim/tidak pernah”. Anda boleh memilih angka berapa saja sesuai dengan pendapat anda yang menggambarkan penilaian anda. P5.
Di kota ini, menurut pendapat Anda, seberapa lazimnya/biasa-kah perusahaan– perusahaan membayar pembayaran tidak resmi atau suap kepada pejabat setempat sehubungan dengan : A. Ijin Usaha
Lazim/Biasa
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tidak lazim/tidak pernah
B – Prosedur yang berkaitan dengan utilitas publik (mis. listrik, telpon)
Lazim/Biasa
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tidak lazim/tidak pernah
4
5
6
7
8
9
10
Tidak lazim/tidak pernah
7
8
9
10
Tidak lazim/tidak pernah
C - Pembayaran Pajak (tahunan) Lazim/Biasa
0
1
2
3
D – Memenangkan kontrak proyek pemerintah
Lazim/Biasa
0
1
2
3
4
5
6
E – Mendapatkan keputusan hukum (judicial) yang menguntungkan
Lazim/Biasa
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tidak lazim/tidak pernah
F – Mempengaruhi hukum, kebijakan, atau keputusan demi kepentingan bisnis tertentu
202
Lazim/Biasa
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tidak lazim/tidak pernah
6
7
8
9
10
Tidak lazim/tidak pernah
G – Untuk mempercepat proses birokrasi
Lazim/Biasa
0
1
2
3
4
5
P6a. [SHOW CARD] Bila terjadi pembayaran suap, siapa yang umumnya akan memulai transaksi ini? [S] Pejabat publik minta suap ........................................................................ Perusahaan yang menawarkan suap ...................................................... Baik pejabat publik maupun perusahaan sudah tahu apa yang harus dilakukan, tdk perlu inisiatif ...................................................................
1 2 3
Lainnya [Tuliskan kalau ada].................................................................... P6b.
Mengapa anda mengatakan demikian? PROBE SPESIFIK .………………………………………………………………………………………………………… ……………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………. …………………………………………………………………………………………………………… …………….
P7.
[SHOW CARD] Untuk mempercepat proses birokrasi yang anda tangani, manakah pernyataan berikut ini yang anda alami? [S] Saya selalu ditawari uang untuk mempercepat proses birokrasi ........... Saya seringkali ditawari uang untuk mempercepat proses birokrasi ...... Saya kadangkala ditawari uang untuk mempercepat proses birokrasi .... Saya tidak pernah ditawari uang untuk mempercepat proses birokrasi ...
P8.
[SHOW CARD] Manakah pernyataan berikut yang paling sering anda hadapi? [S] Saya pasti akan menerima ”uang tanda terima kasih” dari pengusaha ... Saya mungkin akan menerima ”uang tanda terima kasih” ....................... Saya mungkin tidak akan menerima ”uang tanda terima kasih” .............. Saya pasti tidak akan menerima ”uang tanda terima kasih......................
P9.
1 2 3 4
1 2 3 4
Mengapa anda mengatakan demikian? PROBE SPESIFIK
203
.………………………………………………………………………………………………………… ……………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………. …………………………………………………………………………………………………………… ……………. P10.
Apakah anda pernah melaporkan orang yang menerima suap kepada pihak berwajib? Ya ............................................................................................................. LANGSUNG KE P12 Tidak ........................................................................................................ TANYAKAN P11
P11.
1– 2–
Mengapa anda tidak melaporkannya? PROBE SPESIFIK .………………………………………………………………………………………………………… ……………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………. …………………………………………………………………………………………………………… ……………. …………………………………………………………………………………………………………… …………….
Persepsi Konflik Kepentingan P12. [SHOW CARD] Di kota Anda ini, menurut Anda, seberapa lazim-kah kontrak proyek 204 publik/pemerintah diberikan berdasarkan hubungan pribadi atau afiliasi/kedekatan politik? Lazim/Biasa
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tidak lazim/tidak pernah
Persepsi terhadap Dukungan Swasta tentang Usaha Pemerintah Daerah memberantas korupsi. P13a. [SHOW CARD] Dengan skala 0-10, dimana 0 berarti “sama sekali tidak mendukung” sedangkan 10 berarti “sangat mendukung”. Anda boleh memilih angka berapa saja sesuai dengan pendapat anda yang menggambarkan penilaian anda. Di kota Anda ini, menurut Anda, seberapa jauhkah sektor swasta mendukung pemerintah daerah dalam usaha untuk memberantas korupsi?
204
Sama sekali tidak mendukung
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sangat mendukung
P13b. Mangapa Anda mengatakan demikian? .………………………………………………………………………………………………………… ……………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………. …………………………………………………………………………………………………………… ……………. …………………………………………………………………………………………………………… …………….
Kinerja Pelayanan P14. Apakah institusi anda melayani masyarakat umum? Ya............................................................................................................. Tidak ........................................................................................................ LANGSUNG KE P16
1 2–
P15. (SHOW CARD) Dengan skala 0 sampai 10, bagaimanakah anda menilai kualitas pelayanan yang diberikan oleh institusi anda kepada masyarakat? [Definisi kualitas disini adalah pelayanan tepat waktu sesuai peraturan, transparansi biaya pelayanan, dan pelayanan yang diberikan]
Kualitas sangat rendah
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kualitas sangat tinggi
205
P16a. [SHOW CARD] Seandainya Anda diberikan tongkat wasiat yang punya kekuatan untuk menghentikan korupsi saat itu juga, sebutkan satu lembaga pemerintah di mana Anda akan menggunakan tongkat wasiat tsb. Untuk Lembaga mana Anda akan menggunakannya? [S] Kantor pajak ............................................................................................ ................................................................................................................. Polisi ........................................................................................................ Kantor Imigrasi ......................................................................................... Badan pertanahan (BPN) ......................................................................... DPR/DPRD .............................................................................................. Kejaksaan ............................................................................................... Pengadilan ............................................................................................... Kantor Layanan Publik /One Stop Service ............................................... Departmen Agama ................................................................................... Departmen Pendidikan ............................................................................. P16b.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Mengapa lembaga itu yang menjadi prioritas Anda ?
............................................................................................................................................... .................... ............................................................................................................................................... .................... ............................................................................................................................................... .................... P17.
Menurut anda, bagaimana kita dapat berpartisipasi memberantas praktek korupsi? PROBE. TULIS VERBATIM
............................................................................................................................................... .................... ............................................................................................................................................... .................... ............................................................................................................................................... .................... SEBELUM KAMI MENGAKHIRI INTERVIEW, BOLEHKAH KAMI MENANYAKAN BEBERAPA PERTANYAAN TAMBAHAN UNTUK KEPERLUAN KLASIFIKASI:
DEMOGRAFI: D1. CATAT JENIS KELAMIN RESPONDEN:
206
Pria........................................................................................................... Wanita ...................................................................................................... D2.
1 2
Berapakah usia anda pada ulang tahun terakhir? TULISKAN USIA SEBENARNYA LALU LINGKARI KODE YANG SESUAI _________________ Tahun 15-19 tahun .............................................................................................. 20-29 tahun .............................................................................................. 30-39 tahun .............................................................................................. 40-49 tahun .............................................................................................. 50+ tahun .................................................................................................
D3.
Apakah pendidikan terakhir Anda? Tidak ada pendidikan formal .................................................................... Tamat SD ................................................................................................ SLP tidak tamat ........................................................................................ Tamat SLP ............................................................................................... SMU tidak tamat ...................................................................................... Tamat SMU .............................................................................................. Akademi/D3 ............................................................................................. Universitas/S1 .......................................................................................... Paska sarjana/S2 ..................................................................................... Doktoral/PhD. ...........................................................................................
D4.
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Apa status perkawinan anda? Belum menikah ........................................................................................ ............................................................................................................... 1 Sudah menikah ........................................................................................ ............................................................................................................... 2 Duda/Janda/bercerai ................................................................................ ............................................................................................................... 3
D5.
D6.
Suku bangsa:
Agama responden:
Pribumi
1
Keturunan China
2
Keturunan Asing lainnya
3
Islam
1
Kristen (Protestan, Katolik)
2
Buddha
3
Hindu
4
207
Lainnya (Sebutkan ……….)
5
PERNYATAAN INTERVIEWER SAYA MENYATAKAN BAHWA SEKALI SAYA DITEMUKAN MENIPU PADA 1 PERTANYAAN, SEMUA KUESIONER TIDAK AKAN DIBAYAR, DAN SEMUA AKAN MENJADI MILIK PERUSAHAAN. SAYA JUGA BERSEDIA DI KELUARKAN DARI PT 3i-s TANPA PESANGON APAPUN. TANDA TANGAN INTERVIEWER: No. Coder :
No. Puncher :
JANGAN LUPA MEMBERIKAN FORM PENILAIAN/SELF COMPLETION SEBELUM MENGAKHIRI.
208
FORM PENILAIAN/SELF COMPLETION NAMA RESPONDEN: _________________________ Masyarakat] KOTA: _____________________________________ SC1.
[Swasta/Pejabat Publik/Tokoh
Seberapa setujukah anda dengan pernyataan-pernyataan berikut ini? SILAKAN MENILAI DENGAN MEMAKAI SKALA PENILAIAN INI: 4 3 2 1
artinya artinya artinya artinya
’SANGAT SETUJU’ ’SETUJU’ ’KURANG SETUJU’ ’TIDAK SETUJU’
LINGKARI SATU ANGKA YANG SESUAI
Korupsi dilarang oleh agama Ada ayat di dalam Kitab Suci yang melarang korupsi Perbuatan korupsi sangat merusak moral Korupsi membunuh masa depan bangsa Menyuap berarti ikut melakukan korupsi Orang yang tidak melaporkan tindak korupsi, ikut dalam tindakan korupsi Korupsi pasti bisa dikurangi di daerah ini Gerakan anti korupsi hanya bisa berhasil dengan partisipasi masyarakat Tidak ada yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia Media berperan paling besar dalam mengungkap kasus korupsi Korupsi penyebab kemiskinan Korupsi membuat urusan jadi mudah Korupsi membuat roda pembangunan berjalan sehingga ekonomi tumbuh Di Indonesia, korupsi sudah menjadi budaya yang sulit dihapus Gerakan anti korupsi adalah agenda pihak asing untuk melemahkan Indonesia Korupsi kecil-kecilan bisa dimaklumi karena gaji pegawai negeri memang rendah Korupsi menimbulkan ekonomi biaya tinggi Korupsi itu biasa, tidak korupsi baru luar biasa
Sangat setuju 4 4
Setuju 3 3
Kurang setuju 2 2
Tidak setuju 1 1
4 4 4 4
3 3 3 3
2 2 2 2
1 1 1 1
4 4
3 3
2 2
1 1
4
3
2
1
4
3
2
1
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
4 4
3 3
2 2
1 1
209
210