DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA
RINDANG BANGUN PRASETYO NRP. H 151 080 334
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2010
Rindang Bangun Prasetyo NRP : H 151 080 334
ABSTRACT
RINDANG BANGUN PRASETYO. Impact of Infrastructure and Industrial Agglomeration on Regional Economic Growth in Indonesia. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and DEDI WALUJADI. In general, the Indonesia’s economic growth is significantly improved recently but the increase rate is different in each region which entitles to high regional disparity. One of the reasons why it occurs is because of the difference of infrastructure development in every region. Beside, the centralization of the economic activities tends to cause this issue. This study intends to analyze the effect of infrastructure development and industrial agglomeration to the regional economic growth in Indonesia. Based on productivity function of Cobb-Douglas model, the fixed effect model is used as data panel method which includes a range of data from 26 provinces in 1991-2007. The estimation in this study ensues to the influence of labor, investment, human capital, physical infrastructures (electricity and roads), industrial agglomeration, and economic crisis in 1997, while water infrastructure is not significant. Due to the estimation data result, the characteristic of production activity in Indonesia is labor-based with the labor elasticity rate of 0,27 higher than investment elasticity which is 0,10. Human capital variable holds the biggest effect with 0,34 score. Physical infrastructure (electricity and roads) is significantly influential with electricity elasticity indicates 0,33 score, higher than roads elasticity score of 0,13. In addition to this, industrial agglomeration contributes positive effect on economic growth which is indicated by 0,04 elasticity score. On the other hand, the negative coefficient score as a result of economic crisis in 1997 obstructs the economic growth. To sum up, variables which deliver positive influence for regional economic growth in Indonesia are human capital, electricity, roads, and industrial agglomeration. Furthermore, distribution of infrastructure development, education, and centralization of the economy activity should be applied in order to reduce regional disparity. Keywords : Infrastructure, Industrial Agglomeration, Economic Growth, Panel Data
RINGKASAN RINDANG BANGUN PRASETYO. Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan DEDI WALUJADI. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP aktual atau output nasional suatu negara yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dalam pelaksanaan pembangunan merupakan sasaran utama bagi negara-negara sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat. Barang dan jasa yang diproduksi semakin banyak dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat. Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/ disparitas antar daerah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah. Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur (pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas dalam produksi. Persebaran sumber daya yang tidak merata juga dapat menimbulkan disparitas pembangunan ekonomi antar daerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan penghematan aglomerasi (agglomeration economies). Adanya penghematan aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi apalagi jika didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai. Kegiatan ekonomi yang paling banyak mendapatkan manfaat dari aglomerasi sehingga terkonsentrasi di pusat kota yaitu industri manufaktur. Industri manufaktur cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang berdekatan. Peningkatan prasarana infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri manufaktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Peningkatan pertumbuhan ekonomi memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat agar pertumbuhan ekonomi yang dipilih dan dianut bangsa Indonesia yaitu pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity) dapat tercapai. Bertolak dari hal tersebut, tujuan tujuan penelitian ini adalah: Pertama, menganalisis dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Kedua, menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Ketiga, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia.
Metode analisis deskriptif dan analisis spasial dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) digunakan untuk melihat dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. SIG dapat memberikan gambaran tentang suatu fenomena dan selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang atau wilayah. Sedangkan analisis data panel digunakan untuk mengkaji dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, dan faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Berdasarkan hasil dari analisis diskriptif dan spasial dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia dari tahun 1991 sampai 2007 sangat berfluktuatif. Krisis moneter tahun 1997, membuat perekonomian Indonesia terpuruk dan mengalami pertumbuhan yang negatif. Kontribusi sektor yang paling besar di Indonesia sejak tahun 1991 sampai 2007 yaitu industri pengolahan. Hasil penghitungan dengan menggunakan indeks Williamson menunjukkan pada tahun 1991-2007 ketimpangan antar provinsi di Indonesia cukup tinggi yaitu berkisar 0,6 sampai 0,8. Kenaikan ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu pada tahun pertama diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah. Dinamika pembangunan infrastruktur di Indonesia selama periode tahun 1991 sampai 2007 secara umum terus mengalami peningkatan. Peningkatan fasilitas infrastruktur yang terjadi masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena peningkatan terhadap kebutuhan infrastruktur secara umum juga terus meningkat. Sedangkan hasil dari analisis dinamika aglomerasi industri manufaktur dapat terlihat bahwa penyebaran industri manufaktur di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yaitu di ujung barat (Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat) dan di Provinsi Jawa Timur. Di daerah luar Jawa konsentrasi industri manufaktur hanya terdapat di provinsi Riau. Sedangkan provinsi yang dimungkinkan terjadi aglomerasi di masa mendatang yaitu Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional menunjukkan bahwa kegiatan produksi di Indonesia masih bersifat padat karya yang ditunjukkan dari elastisitas tenaga kerja (0,27) lebih besar daripada elastisitas stok modal (0,10). Variabel human capital memiliki dampak yang terbesar dibandingkan variabel lain dengan elastisitas sebesar 0,34. Variabel listrik dan jalan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan tingkat elastisitas listrik sebesar 0,33 lebih tinggi daripada jalan (0,13). Sedangkan infrastruktur air bersih tidak berpengaruh secara statistik. Aglomerasi industri yang diwakili indeks spesialisasi industri manufaktur mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional yang ditunjukkan dengan elastisitas sebesar 0,04. Di sisi lain, koefisien krisis 1997 yang negatif mempunyai arti bahwa terjadinya krisis menghambat pertumbuhan ekonomi. Analisis persamaan kedua (faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia) menghasilkan variabel yang memengaruhi terjadinya aglomerasi yaitu skala ekonomi (semakin besar skala usaha maka semakin meningkatkan konsentrasi industri), keanekaragaman industri (semakin beragam semakin mendukung aglomerasi industri), orientasi ekspor dan Impor (semakin tinggi orientasi semakin tinggi indeks spesialisasi industri), upah minimun provinsi (upah yang rendah mendukung terjadinya aglomerasi industri), pendidikan angkatan kerja (konsentrasi industri memerlukan dukungan tingkat pendidikan
tenaga kerja yang lebih tinggi), besarnya pasar (besarnya pasar akan memengaruhi pemilihan lokasi industri). Sedangkan kepemilikan modal asing dan indeks persaingan (struktur pasar) tidak berpengaruh secara statistik. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan, maka beberapa saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut: (1) Rasio elektrifikasi 100% harus segera dipenuhi untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan. (2) Pemerataan pembangunan infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri di daerah-daerah yang memiliki potensi hendaknya juga menjadi perhatian pemerintah. (3) Berkaitan dengan perekonomian Indonesia yang masih bersifat padat karya maka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diprioritaskan pada kegiatan ekonomi dan industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja. (4) Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Berkaitan dengan penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan memasukkan beberapa infrastruktur lain misalnya infrastruktur pelabuhan laut, bandara udara, dan saluran irigasi. Sedangkan untuk penelitian yang berhubungan dengan aglomerasi akan lebih mengena jika digunakan analisis pada level kabupaten/kota.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA
RINDANG BANGUN PRASETYO NRP. H 151 080 334
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Penelitian : Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia Nama
: Rindang Bangun Prasetyo
NRP
: H 151 080 334
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Ketua
Dr. H. R. Dedi Walujadi, SE, MA Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 25 Maret 2010
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. H. R. Dedi Walujadi, SE, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.S selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada yang penuh kesabaran, ketabahan dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan semangat, Fara Shintha Julhija Karim istriku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Abdullah Farid Al Hanif (anak pertama penulis) atas kesabarannya karena harus ditinggalkan selama penulis menjalani perkuliahan. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS Provinsi Sulawesi Tengah maupun BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, Maret 2010
Rindang Bangun Prasetyo
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Rindang Bangun Prasetyo lahir pada tanggal 10 Februari 1980, di Magelang (Jawa Tengah). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Waluyo dan Ibu Wagiyanti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Arjosari 1 Tirtomoyo, Wonogiri pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 1 Karanganyar pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 1 Karanganyar, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1998. Setelah tamat SMA, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Setelah itu bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindah tugaskan ke Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor hasil kerja sama BPS dan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus menyusun tesis pada akhir kegiatan perkuliahan sebagai syarat menyelesaikan jenjang strata dua (S2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Untuk itulah, penulis menyusun tesis ini.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI………………………………………………………………………. xv DAFTAR TABEL………………………………………………………………….xviii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………… xix DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………xxi I. PENDAHULUAN …………………………………….……...………………
1
1.1 Latar Belakang ……………………………………….…………..……….. 1 1.2 Perumusan Masalah ………………………………….……….…….……..
7
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………….….……….………
9
1.4 Kegunaan Penelitian ………………………………….………….………..
9
10 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian……………………………………….. II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN…….………...
11
2.1 Tinjauan Teori-teori ……………………….………………….………...... 11 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi……………………….…………....………..
11
2.1.2 Teori Pertumbuhan Neo Klasik…………………………….….……
13
2.1.3 Teori Pertumbuhan Endogen................................................................ 15 2.1.4 Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography).............
18
2.1.5 Teori Perdagangan Baru (New Trade Theory)...................................... 20 2.1.6 Disparitas Regional …………..…………..…………..……………… 21 2.1.7 Infrastruktur …………………………………..…………..…………. 23 2.1.8 Aglomerasi …………..…………..…………..…………..…….…….. 26 2.2 Tinjauan Empiris…..……….……………………………………….…...... 29 2.2.1 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………… 29 2.2.2 Pengaruh Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………...... 31 2.2.3 Pengaruh Infrastruktur Transportasi dan Aglomerasi terhadap 31 Pertumbuhan Ekonomi…............................................................................... 2.2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri.....................
32
2.3 Kerangka Pemikiran……………………………………………………..
32
2.4 Hipotesis Penelitian……………………………………………………..…. 36 III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………....... 37 3.1 Jenis dan Sumber Data……………………………………………………. 37 3.2 Metode Analisis………………………………………………….………... 38
3.2.1 Analisis Deskriptif…………………………………………….……..... 38 3.2.2 Analisis Spasial/ Sistem Informasi Geografi (SIG)……………........... 38 3.2.3 Regresi Data Panel …………………………………………………... 40 3.3 Spesifikasi Model ...………………………………………………..……… 47 3.3.1 Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional…………………….........
47
3.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur…………………………………………………………… 51 3.4 Software Analisis yang Digunakan ………………………………………. 54 IV. DINAMIKA DISPARITAS REGIONAL, PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR....................................................................................
55
4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian…………………………………….... 55 4.1.1 Kondisi Geografi…………………………………………….……..... 55 4.1.2 Penduduk dan Kepadatannya...............................……………...........
57
4.1.3 Kondisi Perekonomian Indonesia……………………………………………... 60 67 4.2 Dinamika Disparitas Regional..................................................................................... 70 4.3 Dinamika Pembangunan Infrastruktur………………………………….………... 4.3.1 Infrastruktur Jalan…………………………………………….……..... 70 4.3.2 Infrastruktur Listrik...............................................……………........... 73 4.3.3 Infrastruktur Air Bersih…………………………………………………... 77 4.3.4 Penghitungan Indeks Infrastruktur......................................................
80
4.4 Aglomerasi Industri Manufaktur……………………………………..………85 4.5 Perbandingan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia........................................................................................... V. DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL......
91 99
5.1 Penghitungan Stok Kapital.................…………………………………….... 99 5.2 Pemilihan Metode Regresi Data Panel………………………….………... 101 103 5.3 Hasil Estimasi Regresi Data Panel……………………………………..……… VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR.........................…………………...................... 117 6.1 Pemilihan Metode Regresi Data Panel………………………….………... 117 6.2 Hasil Estimasi Regresi Data Panel………………………………..……… 118
xvi
VII. KESIMPULAN DAN SARAN………………….............................................125 7.1 Kesimpulan……………………………………............................................... 125 7.2 Saran………………………………………………….………....................... 126 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….…………………..129 LAMPIRAN...............................................................................................................135
xvii
DAFTAR TABEL Tabel 1 Distribusi PDB menurut sektor di Indonesia tahun 1965, 1992 dan 2007...
6
Tabel 2 Prosedur dan aktivitas utama dalam Sistem Informasi Geografi (SIG).. 39 Tabel 3 Rata-rata lama sekolah menurut tingkat pendidikan terakhir.................. 50 Tabel 4 Luas area dan persentasenya, jumlah pulau dan jumlah Daerah Tingkat II di Indonesia menurut provinsi tahun 2007............................ 57 Tabel 5 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Indonesia menurut provinsi tahun 2007.................................................. 58 Tabel 6 Nilai dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007........................ 61 Tabel 7 PDRB atas dasar harga berlaku di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007............................................................................... 63 Tabel 8 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB menurut Provinsi tahun 2007.. 66 Tabel 9 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di Indonesia tahun 2007.............................................................................. 71 Tabel 10 Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007............................................................................. 76 Tabel 11 Air bersih yang disalurkan di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007......................................................................................... 79 Tabel 12 Indeks infrastruktur menurut jenis infrastruktur dan provinsi tahun 2007...................................................................................................... 83 Tabel 13 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007..................................................................... 87 Tabel 14 Jumlah penduduk, luas area dan kepadatan di Indonesia menurut kawasan tahun 2007................................................................................ 92 Tabel 15 Jumlah tenaga kerja dan nilai tambah Industri Besar Sedang (IBS) menurut kawasan di Indonesia tahun 2007............................................. 97 Tabel 16 Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional................ 104 Tabel 17 Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur................................................................................. 119 xviii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1990-2008……..…...........
2
Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007............................................
4
Gambar 3 Hipotesa neoklasik............................................................................
22
Gambar 4 Skema pertumbuhan ekonomi, investasi dan infrastruktur………...
24
Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran…………..……………………..
35
Gambar 6 Peta wilayah Indonesia menurut daerah administratif 26 provinsi...
56
Gambar 7 Peta kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2007..................................................................................................
59
Gambar 8 Pertumbuhan ekonomi menurut provinsi tahun 1991-2007.............
62
Gambar 9 Peta PDRB per kapita menurut provinsi tahun 2007........................
64
Gambar 10 Kontribusi sektor terhadap PDRB menurut provinsi tahun 2007.....
65
Gambar 11 Peta struktur ekonomi menurut provinsi tahun 2007........................
66
Gambar 12 Tingkat disparitas di Indonesia tahun 1991-2007..........................
67
Gambar 13 Peta tingkat disparitas dalam provinsi tahun 2007........................
69
Gambar 14 Tingkat disparitas dalam provinsi tahun 1991 dan 2007...............
69
Gambar 15 Panjang jalan menurut jenis permukaannya dan tingkat kewenangan di Indonesia tahun 2007...............................................
70
Gambar 16 Panjang jalan, aksesibilitas, persentase baik sedang menurut provinsi tahun 2007.......................................................................
72
Gambar 17 Rasio elektrifikasi di Indonesia tahun 1991-2007............................
74
Gambar 18 Jumlah pelanggan dan energi jual menurut kelompok pelanggan tahun 2007........................................................................................
75
Gambar 19 Peta energi listrik jual dan rasio elektrifikasi menurut provinsi tahun 2007.....................................................................................
77
Gambar 20 Jumlah pelanggan dan air bersih yang disalurkan menurut kelompok pelanggan tahun 2007......................................................
78 xix
Gambar 21 Peta air bersih yang disalurkan dan rasio pelanggan per jumlah RT menurut provinsi tahun 2007...................................................
80
Gambar 22 Indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 1991 dan 2007........
82
Gambar 23 Peta indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 2007.................
84
Gambar 24 Kontribusi sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun 1960-2007...
85
Gambar 25 Jumlah perusahaan dan tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) tahun 2007...........................................................................
86
Gambar 26 Peta konsentrasi tenaga kerja IBS dan nilai tambah IBS tahun 2007...............................................................................................
89
Gambar 27 Persebaran tenaga kerja IBS menurut kabupaten/kota tahun 1991-2007......................................................................................
90
Gambar 28 Peta wilayah Indonesia menurut kawasan (KBI dan KTI)...............
91
Gambar 29 Struktur ekonomi KBI dan KTI menurut lapangan usaha tahun 2007..................................................................................................
93
Gambar 30 Tingkat ketimpangan antar provinsi di KBI dan KTI tahun 19912007..................................................................................................
94
Gambar 31 Panjang jalan menurut kondisi dan kawasan di Indonesia tahun 2007..................................................................................................
95
Gambar 32 Energi listrik terjual menurut kelompok pelanggan dan kawasan di Indonesia tahun 2007........................................................................
96
Gambar 33 Air bersih yang disalurkan menurut kelompok pelanggan dan kawasan di Indonesia tahun 2007.....................................................
96
Gambar 34 Stok kapital di Indonesia atas dasar harga konstan 2000 tahun 1991-2007......................................................................................
101
xx
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Hasil penghitungan indeks infrastruktur dan peringkatnya di Indonesia menurut provinsi tahun 1991 dan 2007.......................
135
Hasil penghitungan stok kapital di Indonesia menurut provinsi tahun 1991-2007 (dalam triliun rupiah).......................................
136
Hasil penguijian antara FIXED dengan POOL (Uji Chow) untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional..................
138
Hasil penguijian antara FIXED dengan RANDOM (Uji Hausman) untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional...........
139
Lampiran 5
Hasil estimasi untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional......................................................................................... 140
Lampiran 6
Hasil estimasi untuk model pertumbuhan ekonomi dengan faktor input tenaga kerja dan modal saja.....................................
141
Hasil penguijian antara FIXED dengan POOL (Uji Chow) untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur......................................................................
142
Hasil penguijian antara FIXED dengan RANDOM (Uji Hauman) untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur...................................................
143
Hasil estimasi untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur...................................................
144
Lampiran 10 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1991..........................................................
145
Lampiran 11 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1995..........................................................
146
Lampiran 12 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1999..........................................................
147
Lampiran 13 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 2003..........................................................
148
Lampiran 14 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 2007..........................................................
149
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
xxi
Halaman ini sengaja dikosongkan.
xxii
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya, pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual (Todaro dan Smith, 2006). Tujuan dari pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dalam jangka panjang dan meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP aktual atau output nasional negara, yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi negara-negara sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat. Semakin banyak barang dan jasa yang diproduksi dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur antara lain dengan besaran yang disebut Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk daerah. Perjalanan bangsa Indonesia selama 64 tahun dalam mengisi kemerdekaan telah memberikan nilai tambah yang sangat signifikan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Kapasitas dari sebuah perekonomian nasional Indonesia diukur dengan nilai PDB atas dasar harga konstan 2000 mencapai 2.082,10 trilyun rupiah dan dengan pertumbuhan sebesar 6,06 persen pada tahun 2008. Demikian juga indeks ekonomi lainnya yang juga
2
sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan yaitu pendapatan nasional per kapita pada tahun yang sama telah mencapai 19,52 juta rupiah (BPS, 2009). Sejak tahun 1969, bangsa Indonesia sebagai negara berkembang telah melaksanakan pembangunan ekonomi secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. 7,20
8,22 6,32 4,92
6,06
-13,13
Sumber: PDB 1990-2008, BPS (diolah) Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1990-2008 Perekonomian Indonesia sejak awal pembangunan menunjukkan kinerja yang cukup baik hingga awal tahun 1997 yang ditandai oleh menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pada tahun 1996 dan investasi langsung luar negeri mencapai $6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997. Cadangan devisa resmi pemerintah pada bulan Maret 1997 mencapai $20 juta dan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika masih terpelihara pada kisaran 3-5% (BI, 1997). Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada kondisi perekonomian di Indonesia. Akibat dari krisis tersebut perekonomian Indonesia mengalami masa yang sulit, inflasi tinggi, dan rupiah terdepresiasi. Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti (stagnan) dan laju pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi hingga negatif 13,13 persen.
3
Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk mengatasi perekonomian yang terpuruk pada saat itu. Tahun-tahun berikutnya setelah masa krisis, perekonomian Indonesia mengalami pemulihan (recovery), pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4 persen sampai dengan 6 persen. Perekonomian Indonesia mulai membaik, aktivitas ekonomi mulai berjalan dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 mencapai 6,32 persen. Pemulihan kondisi tersebut ditunjang oleh membaiknya infrastuktur yang ada serta kebijakankebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baik fiskal maupun moneter (Lestari, 2008). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 cenderung melambat menjadi 6,06 persen, hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari krisis global yang cukup berat, terimbas oleh ketidakpastian pasar finansial global yang meningkat, proses perlambatan ekonomi dunia yang signifikan, dan perubahan harga komoditas global yang sangat drastis. Namun demikian, perkembangan ekonomi Indonesia tidaklah terlampau buruk dibandingkan negara lain. Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Salah satu realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/ disparitas antar daerah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masingmasing daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja pembangunan perekonomian antara provinsi satu dan lainnya, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Indikasi disparitas antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2007 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi sekitar 60,20 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai
4
sekitar 22,98 persen, Kalimantan menguasai 9,13 persen, Sulawesi menguasai 4,09 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya 3,61 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2007 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96 persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah. Disparitas yang ditunjukkan melalui data PDRB juga terjadi antara KBI dan KTI (lihat Gambar 2). KBI dengan luas wilayah 31,25 persen dari luas Indonesia mendominasi pendapatan nasional sebesar 83,55 persen pada tahun 2007. Pada Gambar 2 juga terlihat bahwa disparitas bukan hanya terjadi antar pulau dan antar kawasan, melainkan juga terjadi antar provinsi di Indonesia. N
1000
0
Legenda: Nilai PDRB
1000
2000
3000 Kilometers
Persentase Terhadap PDB KTI 16,45 % KBI 83,55 %
Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007 Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas.
5
Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB sebagai akibat dari naiknya 1 persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara 0,07 sampai 0,44 (World Bank, 1994). Hal ini berarti dengan kenaikan‚ 1 persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0,07 persen sampai dengan 0,44 persen. Studi dari Calderon dan Serven (2002) menyebutkan elastisitas PDB pertenaga kerja terhadap infrastruktur di Amerika Latin untuk telepon sebesar 0,15; listrik 0,16; dan jalan 0,18. Di sisi lain berbagai studi menunjukkan bahwa economic rate of return dari investasi infrastruktur berada disekitar 19-117 persen, jauh di atas biaya hutang yang mungkin berkisar 10 persen (Easterly dan Servén, 2002). Infrastruktur merupakan faktor produksi (input) dalam menghasilkan output. Pemanfaatan input yang lebih optimal akan memberikan rate of return yang tinggi (Aschauer, 1989; Demurger, 2000). Karena hubungan yang signifikan antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa keterbatasan ketersediaan infrastruktur akan menjadi penghambat (constraint) bagi pertumbuhan ekonomi, dan besarnya perbedaan ketersediaan infrastruktur antar daerah akan menimbulkan disparitas antar daerah yang semakin melebar. Disisi lain, persebaran sumber daya yang tidak merata juga dapat menimbulkan disparitas pembangunan ekonomi antar daerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh
manfaat
yang
disebut
dengan
penghematan
aglomerasi
(agglomeration economies). Seperti yang dikatakan oleh Bradley dan Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya penghematan aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi apalagi jika didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai. Sebagai akibatnya, daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada umumnya mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan aglomerasi.
6
Kegiatan ekonomi yang paling banyak mendapatkan manfaat dari aglomerasi sehingga terkonsentrasi di seputar pusat-pusat kota yaitu industri manufaktur. Industri manufaktur cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut dapat memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Kota umumnya menawarkan berbagai kelebihan dalam bentuk produktivitas dan pendapatan yang lebih tinggi, yang menarik infestasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam jumah yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan (Malecki 1991 dalam Kuncoro 2002). Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980-an. Industrialisasi di Indonesia telah mengakibatkan transformasi struktural. Pola pertumbuhan ekonomi secara sektoral di Indonesia sepertinya sejalan dengan kecenderungan proses transformasi struktural yang terjadi di berbagai negara, dimana terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian (sektor primer), sementara kontribusi sektor sekunder dan tersier cenderung meningkat (Kuncoro, 2002). Kecenderungan ini terlihat pada Tabel 1. Pada tahun 1965, sektor pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap PDB yaitu 56 persen, sementara sektor industri hanya menyumbang 13 persen. Dengan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sektor pertanian, sektor industri dapat menggeser peranan sektor pertanian. Pada tahun 1992 sektor industri secara keseluruhan menyumbang 40 persen terhadap PDB dan 50 persen pada tahun 2007, dimana peranan industri manufaktur cukup menonjol karena menyumbang 21 persen pada tahun 1992 dan 27 persen pada tahun 2007. Pada akhirnya, sektor industri manufaktur muncul menjadi penyumbang nilai tambah yang dominan dan telah tumbuh pesat melampaui laju pertumbuhan sektor pertanian. Tabel 1 Distribusi PDB menurut sektor di Indonesia tahun 1965, 1992 dan 2007 Sektor Pertanian Industri - Industri manufaktur Jasa dll. Sumber: BPS (diolah)
Kontribusi Dalam PDB (persen) 1965 1992 2007 56 19 14 13 40 43 8 21 27 31 40 39
7
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dinyatakan bahwa daya saing industri manufaktur perlu terus ditingkatkan agar tetap dapat berperan sebagai sektor strategis di dalam perekonomian nasional. Sektor strategis yaitu sektor yang dapat mendorong sektor lainnya. Peningkatan daya saing industri dimaksudkan untuk menjawab tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur dari kurun waktu 2004-2009, berbagai upaya telah ditempuh baik dalam bentuk regulasi maupun dalam bentuk fasilitasi langsung pemerintah. Pertumbuhan industri manufaktur nasional memang masih belum seperti yang diharapkan, tetapi beberapa indikator menunjukkan bahwa ada potensi untuk tumbuh dengan lebih baik. Peningkatan prasarana infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri manufaktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi maka diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat agar pertumbuhan ekonomi yang dipilih dan dianut bangsa Indonesia yaitu pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity) dapat tercapai. 1.2.
Perumusan Masalah Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB provinsi yang bervariasi. Perbedaan ketersediaan fasilitas infrastuktur dan tidak meratanya konsentrasi kegiatan ekonomi menambah semakin melebarnya disparitas regional. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus mengalami peningkatan dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas antar daerah perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Trade off yang terjadi antara disparitas dan pertumbuhan ekonomi membuat penentuan kebijakan harus tepat sasaran.
8
Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh dengan meningkatkan efisensi dalam kegiatan ekonomi. Efisiensi memerlukan dukungan dari modal infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Infrastruktur yang tersedia akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan potensi dan kebutuhan masingmasing daerah sehingga memungkinkan bergeraknya faktor produksi dan hasil produksi.
Perekonomian kemudian secara bersama-sama menuju proses
pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal. Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat diupayakan dengan penciptaan konsentrasi kegiatan ekonomi. Seiring dengan program pemerintah dalam rangka peningkatan daya saing industri manufaktur, maka perlu adanya penciptaan konsentrasi kegiatan ekonomi di bidang industri manufaktur. Aglomerasi industri manufaktur yang terjadi di suatu daerah diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hubungan positif antara aglomerasi dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan pertumbuhan telah banyak dibuktikan (Martin dan Octavianno, 2001). Aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan. Semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya. Daerah-daerah yang banyak industri manufaktur tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri manufaktur. Alasannya adalah daerah-daerah yang mempunyai industri manufaktur lebih banyak mempunyai akumulasi modal. Perkembangan sektor industri manufaktur hampir selalu mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan negara-negara sedang berkembang, hal ini karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai sektor pemimpin (leading sector) yang mendorong sektor lainnya. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur perlu dilakukan penciptaan aglomerasi industri manufaktur agar efisiensi dan penghematan ekonomi dapat dicapai. Penciptaan aglomerasi industri manufaktur memerlukan strategi yang tepat agar aglomerasi tersebut dapat bertahan dan memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian daerah tersebut. Melalui penelitian ini juga akan dikaji faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur.
9
Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur, dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia? 2. Bagaimana dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia? 3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia? 1.3.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis dampak pembangunan
infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. 2. Menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. 3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. 1.4.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran
kepada pembaca mengenai dinamika disparitas antar daerah, pembangunan infrastruktur, dan aglomerasi industri manufaktur di setiap provinsi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pembangunan
pemerintah
yang
terutama
terkait
dengan
pembangunan
infrastruktur, aglomerasi industri manufaktur dan disparitas antar daerah. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini. 1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan
gambaran mengenai dinamika disparitas regional, infrastruktur dan aglomerasi
10
industri manufaktur di Indonesia dengan analisis deskriptif dan spasial. Kedua, menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia dengan mengunakan metode data panel. Ketiga, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Penelitian ini mencakup 17 tahun, dimulai dari tahun 1991 sampai dengan 2007. Analisis dan pengamatan dilakukan pada seluruh provinsi di Indonesia. Untuk menjaga konsistensi data maka dilakukan penggabungan data dari provinsi hasil pemekaran setelah tahun 1991 dan menghilangkan data Timor Timur, sehingga jumlah provinsi yang digunakan adalah 26 provinsi. Khusus untuk menggambarkan aglomerasi industri manufaktur digunakan data seluruh kabupaten/kota kondisi tahun 1991 yaitu sejumlah 285 kabupaten/kota. Infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini hanya terdiri atas tiga jenis, yaitu: infrastruktur jalan, listrik dan air. Pemilihan ketiga jenis infrastruktur ini mengacu pada kelompok infrastruktur ekonomi dan ketersediaan data. Untuk infrastruktur air digunakan data yang berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yaitu air bersih yang disalurkan kepada pelanggan. Penggunaan data PDAM ini dikarenakan data saluran irigasi yang sedianya akan dimasukkan dalam model tidak tersedia secara lengkap. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memasukkan variabel saluran irigasi. Data yang berkaitan dengan industri manufaktur dibatasi hanya khusus untuk Industri Besar Sedang (IBS) tanpa mengikutkan industri kecil. Kategori industri besar sedang mengikuti kategori yang digunakan BPS. Suatu perusahaan industri dikatakan berskala sedang jika mempunyai tenaga kerja 20 orang sampai dengan 99 orang. Sedangkan perusahaan industri berskala besar jika mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tinjauan Teori-Teori
2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya (Sukirno, 2004). Todaro dan Smith (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu: 1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan
penduduk
yang pada
tahun-tahun berikutnya
akan
memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3. Kemajuan teknologi. Selanjutnya Jhingan (2008) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi terdiri atas faktor produksi yang dipandang sebagai kekuatan utama yang memengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah: 1. Sumber alam, yang mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya. 2. Akumulasi modal, yang berarti mengadakan persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat kumulatif dan membiayai diri sendiri serta mencakup tiga tahap yang saling berkaitan, yaitu: (a)
Keberadaan tabungan nyata dan kenaikannya,
12
(b)
Keberadaan lembaga keuangan dan kredit untuk menggalakkan tabungan dan menyalurkannya ke jalur yang dikehendaki,
(c)
Menggunakan tabungan untuk investasi barang modal.
3. Organisasi, yang terdiri atas para wiraswastawan (pengusaha) dan pemerintah, yang melengkapi (komplemen) modal, buruh dan yang membantu produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead sosial dan ekonomi. 4. Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor produksi lainnya. 5. Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan produktivitas. Sedangkan faktor non ekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian antara lain: 1. Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan, harapan, struktur dan nilai-nilai sosial. 2. Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai “pembentukan modal insani” yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya. 3. Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat. Uraian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan faktor terpenting dalam pembangunan. Keberhasilan pembangunan suatu negara diukur berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk tingkat regional/daerah dan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tingkat nasional. PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode
13
tertentu. Oleh karena itu, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diperoleh melalui tingkat pertumbuhan nilai PDRB. Laju pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut : LPit
PDRB it PDRB i ( t 1) PDRB i ( t 1)
100%
.....(1)
Dimana: LP = laju pertumbuhan ekonomi i
= sektor 1,2,…9
t
= tahun t
2.1.2. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod-Domar dan Robert Solow. Harrod-Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil atau output. Model pertumbuhan Solow inilah yang sangat memberikan kontribusi terhadap teori pertumbuhan neo-klasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Kunci bagi model pertumbuhan neo-klasik adalah agregat fungsi produksi. Dalam perekonomian yang tidak ada pertumbuhan teknologi, pendapatan dapat ditentukan dari besarnya modal dan tenaga kerja. Berdasarkan variabel dalam fungsi produksi ini ada dua model pertumbuhan yaitu model pertumbuhan tanpa perkembangan teknologi dan model pertumbuhan dengan perkembangan teknologi.
14
A.
Model Pertumbuhan Tanpa Perkembangan Teknologi Dalam model ini, fungsi produksi secara umum dapat dituliskan sebagai: Yt = f (Kt, Lt)
..…(2)
Bentuk spesifik dari hubungan ini dikenal sebagai fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan sebagai: =
…..(3)
dengan Y adalah pendapatan riil, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, t merupakan subscript untuk waktu, α dan β adalah elastisitas output terhadap modal dan tenaga kerja. Pendapatan akan meningkat bila setiap tenaga kerja mendapat modal peralatan yang lebih banyak dan proses ini disebut capital deepening.
Tetapi tidak
dapat
terus-menerus meningkat
tanpa
adanya
pertumbuhan teknologi karena modal (seperti juga tenaga kerja) akhirnya akan meningkat dengan pertumbuhan yang semakin berkurang (diminishing return). B.
Model Pertumbuhan dengan Perkembangan Teknologi Model neo-klasik tanpa perkembangan teknologi dirasa kurang relalistis.
Supaya lebih realistis maka ditambahkan faktor perkembangan teknologi yang dapat memengaruhi pertumbuhan pendapatan. Cara yang paling umum adalah memasukkan perkembangan teknologi sebagai elemen dalam fungsi produksi. Modal dan tenaga kerja diasumsikan dapat mengambil keuntungan dari adanya perkembangan teknologi. Fungsi produksi dengan perkembangan teknologi menurut Solow (1965) yaitu sebagai berikut: Yt = f (At, Kt, Lt)
..…(4)
Dimana A adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi dapat dikatakan tidak melekat dalam model karena tidak tergantung dari masukan modal dan tenaga kerja. Jika diasumsikan perkembangan teknologi meningkat secara halus sepanjang waktu (tingkat pertumbuhan tetap), maka fungsi produksi CobbDouglas menjadi : =
..…(5)
dengan g adalah pertumbuhan dari perkembangan teknologi per periode waktu t. Representasi ini merupakan penyederhanaan dengan mengabaikan kemungkinan terjadi perkembangan teknologi melalui investasi. Sebagai tambahan, tenaga kerja dapat juga menjadi lebih terampil sehingga dapat menaikkan efisiensi dan dalam
15
kasus ini (seperti juga modal) dianggap bersifat tidak homogen. Asumsi lain yang digunakan model ini adalah sistem perekonomian berdasarkan pasar berkompetisi sempurna dengan faktor harga yang fleksibel serta sumber daya pada kesempatan kerja penuh. Untuk melinearkan persamaan (5) maka dilakukan transformasi dalam logaritma natural (ln) kemudian dideferensialkan terhadap waktu maka didapat pertumbuhan pendapatan dan dinyatakan sebagai: =
+
+
…..(6)
dengan : y = pertumbuhan pendapatan (misalnya dalam periode satu tahun) k = pertumbuhan stok modal l = pertumbuhan tenaga kerja. Notasi y, k, dan l di sini menunjukkan tingkat pertumbuhan dari Y, K dan L. Konstanta α dan β menyatakan elastisitas pendapatan terhadap modal dan tenaga kerja. Berdasarkan model pertumbuhan neo-klasik dengan perkembangan teknologi memberi landasan yang cukup untuk menunjukkan adanya faktor yang berperan dalam menjelaskan perbedaan pertumbuhan regional. Dengan mengubah persamaan 6 ke dalam model pertumbuhan regional maka akan terlihat bahwa perbedaan dapat terjadi karena:
Perbedaan perkembangan teknologi antar wilayah.
Pertumbuhan stok modal yang mungkin berlainan antar wilayah.
Pertumbuhan tenaga kerja dapat juga berlainan antar wilayah. Dengan menghilangkan subskrip waktu (t) maka persamaan pertumbuhan
untuk masing-masing wilayah dapat dinyatakan sebagai : =
+
+
…..(7)
dengan r menyatakan wilayah tertentu. Sehingga gr dapat dibaca sebagai tingkat perkembangan teknologi di wilayah r yang nilainya untuk tiap wilayah dapat berlainan, paling tidak untuk jangka pendek. 2.1.3. Teori Pertumbuhan Endogen Model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neo-klasik berargumen
16
bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasi dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap bahwa teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Maka dari itu pengembangan teori pertumbuhan endogen berawal dari penolakan premis bahwa teknologi yang memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat eksogen. Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: 1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. 2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer (1986). Dalam mengembangkan teorinya Romer menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik. Dalam model Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi. Dengan demikian variabel modal dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu :
17
1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja. 3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut: =
0<
< 1; 0 <
<1
…..(8)
Dimana: Yi adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas (1988) melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut: =
(
)
…..(9)
Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.
18
2.1.4. Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography) Teori ekonomi geografi baru berupaya untuk menurunkan efek-efek aglomerasi dari interaksi antara besarnya pasar, biaya transportasi dan increasing return dari perusahaan. Dalam hal ini ekonomi aglomerasi tidak diasumsikan tetapi diturunkan dari interaksi ekonomi skala pada tingkat perusahaan, biaya transportasi dan mobilitas faktor produksi. Teori ekonomi geografi baru menekankan pada adanya mekanisme kausalitas sirkular untuk menjelaskan konsentrasi spasial dari kegiatan ekonomi (Krugman, 2008). Dalam model tersebut kekuatan sentripetal berasal dari adanya variasi konsumsi atau beragamnya intermediate good pada sisi produksi. Kekuatan sentrifugal berasal dari tekanan yang dimiliki oleh konsentrasi geografis dari pasar input lokal yang menawarkan harga lebih tinggi dan menyebarnya permintaan. Jika biaya transportasi cukup rendah maka akan terjadi aglomerasi. Krugman (2008) berasumsi bahwa jika ada barang berbeda sejumlah n dan komsumen menyenangi produk yang bervariasi, dapat dirumuskan dalam fungsi: n U = ∑ v(ci) i=1
…..(10)
Dari fungsi ini, Krugman menjelaskan bahwa perbedaan harga antar barang membuat konsumen lebih memilih untuk mengkonsumsi lebih dari satu jenis barang. Oleh karena itu, semakin banyak barang diproduksi di satu pabrik yang sama, biaya produksi yang harus dikeluarkan akan semakin rendah. Akibatnya, pabrik baru akan memasuki pasar dengan menambah variasi produknya. Dengan kata lain, biaya produksi dapat ditekan jika unit produksi mencapai jumlah tertentu. Meski demikian, biaya produksi juga dapat kembali meningkat jika jumlah barang produksi naik atau skala ekonomi tidak lagi tercapai. Agar skala ekonomi meningkat, sebuah pabrik baru akan mencari negara lain yang mampu mendukung keberadaan unit produksi dalam jumlah yang besar. Dengan dukungan kemajuan teknologi, transportasi, dan informasi, pabrik tersebut akan memindahkan proses produksinya dengan mudah. Inilah yang akan mendorong migrasi tenaga kerja.
19
Krugman (2008) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan pekerja bermigrasi ke wilayah pusat pekerja terbesar yang akhirnya akan menciptakan variasi produk yang sangat beragam. Dengan kata lain, konsentrasi terjadi dalam hal barang dan jasa yang diproduksi maupun lokasi barang tersebut dibuat. Menurut Krugman perkotaan cenderung akan terspesialisasi dengan perindustrian. Berdasarkan skala ekonomi, industri-industri akan cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar. Konsentrasi produksi pada satu wilayah tertentu (dalam hal ini wilayah perkotaan), memungkinkan skala ekonomi dapat terealisasi karena kedekatan lokasi dengan pasar akan meminimalisasi biaya transportasi (homemarket effect). Dalam model eksternalitas teknologi,
transfer pengetahuan antar
perusahaan memberikan insentif bagi aglomerasi kegiatan ekonomi. Informasi diperlakukan sebagai barang publik dengan kata lain tidak ada persaingan dalam memperolehnya. Difusi informasi ini kemudian menghasilkan manfaat bagi masing-masing perusahaan. Dengan mengasumsikan bahwa masing-masing perusahaan menghasilkan informasi yang berbeda-beda, manfaat interaksi meningkat seiring dengan jumlah perusahaan. Karena interaksi ini informal, perluasan pertukaran informasi menurun dengan meningkatnya jarak. Hal ini memberikan insentif bagi pengusaha untuk berlokasi dekat dengan perusahaan lain sehingga menghasilkan aglomerasi. Studi empiris tentang aglomerasi dan ekonomi aglomerasi telah banyak menarik perhatian peneliti. Pada umumnya berbagai studi mengkaitkan aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi dalam pengertian pertumbuhan nilai tambah industri, pertumbuhan kesempatan kerja, pertumbuhan produkstivitas tenaga kerja. Adanya berbagai konsep tentang ekonomi aglomerasi dan teori yang mendasari berdampak terhadap perbedaan ukuran aglomerasi dan ekonomi aglomerasi yang digunakan dengan asumsi yang berbeda-beda. Walaupun teori geografi ekonomi baru menawarkan wawasan yang menarik mengenai kesenjangan geografis distribusi kegiatan ekonomi, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan yang berarti. Suatu kajian kritis atas munculnya kembali dimensi geografi dalam ilmu ekonomi menyimpulkan bahwa teori ini bukanlah pendekatan yang sama sekali baru dalam ilmu ekonomi dan geografi,
20
melainkan merupakan penemuan kembali teori lokasi tradisional dari ilmu regional (Martin 1999 dalam Kuncoro 2002). 2.1.5. Teori Perdagangan Baru (New Trade Theory) Teori perdagangan baru menawarkan perspektif yang berbeda dengan yang ditawarkan teori ekonomi geografi baru dan teori neo-klasik. Teori perdagangan baru percaya bahwa sifat dasar dan karakter transaksi internasional telah sangat berubah dewasa ini di mana aliran barang, jasa, dan aset yang menembus batas wilayah antarnegara tidak begitu dipahami oleh teori-teori perdagangan tradisional. Perbedaan utama teori perdagangan baru dengan teori perdagangan yang “lama” yaitu mengenai asumsi persaingan tidak sempurna, constans returns to scale, pendapatan konstan, dan barang yang homogen berubah menjadi persaingan sempurna, increasing return to scale dan perbedaan produk. Teori perdagangan baru merupakan penyempurnaan teori yang “lama” dan dengan penambahan faktor-faktor lain yang lebih kompleks. Para pendukung teori perdagangan baru berpendapat bahwa ukuran pasar ditentukan secara fundamental oleh besar kecilnya angkatan kerja pada suatu negara, dan tenaga kerja pada dasarnya tidak mudah berpindah lintas negara. Mereka percaya bahwa penentu utama lokasi adalah derajat tingkat pendapatan yang meningkat dari suatu pabrik, tingkat substitusi antar produk yang berbeda, dan ukuran pasar domestik (Brulhart, 1998). Dengan berkurangnya hambatanhambatan perdagangan secara substansial, diperkirakan bahwa hasil industri yang meningkat akan terkonsentrasi dalam pasar yang besar (Krugman, 1980). Krugman dan Venables (1990) menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berlokasi di dalam pasar yang lebih besar ternyata lebih kuat apabila biaya perdagangan tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Meskipun memiliki daya tarik, teori perdagangan baru juga memiliki beberapa kelemahan. Ottaviano dan Puga (1998) mengidentifikasi tiga kelemahan utama. Pertama, teori perdagangan baru sebagai mana teori tradisional, menjelaskan perbedaan struktur produksi melalui perbedaan karakteristik yang mendasari. Kedua, teori ini tidak menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan dalam sektor tertentu cenderung untuk berlokasi saling berdekatan, yang mendorong terjadinya spesialisasi regional. Ketiga, teori ini menunjukkan
21
perkembangan industri secara bertahap dan bersama-sama di semua negara berkembang. Padahal dalam kenyataannya, industrialisasi sering kali berupa gelombang industrialisasi yang sangat cepat, di mana industri menyebar secara berturutan dari negara yang satu ke negara lain. 2.1.6. Disparitas Regional Pendapatan penduduk tidak selalu merata, bahkan yang sering terjadi justru sebaliknya. Manakala pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan regional tersebut terbagi secara tidak merata (ada yang kecil, sedang dan besar) dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Semakin besar perbedaan pembagian pendapatan regional tersebut berarti semakin besar pula ketimpangan distribusi pendapatan. Sjafrizal (2008), disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Oleh sebab itulah, tidak mengherankan bilamana pada setiap negara/ daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga meempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah yaitu:
Penyebaran pembangunan prasarana perhubungan
Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan
Pengembangan pusat pertumbuhan
Pelaksanaan otonomi daerah
22
Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neo-klasik. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsurangsur ketimpangan pembangunan anatar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Kurva ketimpangan pembangunan berbentuk U terbalik, seperti pada Gambar 3.
Kurva Ketimpangan Regional
0
Sumber: Sjafrizal (2008)
Tingkat Pembangunan Nasional
Gambar 3 Hipotesa Neo-klasik Ketimpangan pada negara sedang berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itulah, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat didaerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Sedangkan di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.
23
Penelitian tentang hipotesis neo-klasik dilakukan oleh Williamson (1965) melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hipotesis neo-klasik ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang
sebenarnya
bukanlah
karena
kesalahan
pemerintah
atau
masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh negara. Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya ketimpangan adalah indeks Williamson. Secara ilmu statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan mengukur suatu perbedaan. Formulasi indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan di Indonesia adalah sebagai berikut:
(y IW
i
y) 2
i
fi n
y
IW
= Indeks Williamson
yi
= PDRB per kapita di provinsi i
y
= PDRB per kapita rata-rata di Indonesia
fi
= Jumlah penduduk di provinsi i
n
= Jumlah penduduk di Indonesia
…..(11)
Semakin kecil indeks Williamson menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil pula atau dapat dikatakan semakin merata. Tetapi jika angka yang didapatkan besar maka indeks ini menggambarkan ketimpangan yang semakin lebar. 2.1.7. Infrastruktur Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkan atau membangun kegunaan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Infrastruktur fasilitas dan jasa biasanya disediakan secara gratis atau dengan harga yang terjangkau dan terkontrol (Akatsuka dan Yoshida, 1999).
24
Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisiskan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Kodoatie, 2003). Infrastruktur merupakan komponen penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi. Peningkatan fasilitas infrastruktur dapat mendorong perkembangan teknologi sehingga dapat dicapai efisiensi dalam kegiatan produksi. Dengan efisiensi maka akan menciptakan output dan kesempatan kerja lebih besar. Disisi lain, ketersediaan infrastruktur yang memadai dapat meningkatkan investasi daerah. Menurut Dornbusch et al. (2004) investasi merupakan komponen penting permintaan agregat. Investasi juga meningkatkan modal dan meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Pada akhirnya pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya, pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dinyatakan melalui skema pada Gambar 4.
INFRASTRUKTUR (Jalan, Listrik, Air Bersih, Telepon, Pendidikan, Kesehatan)
MENDORONG PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MENINGKATKAN INVESTASI DAERAH
MENINGKATKAN OUTPUT DAERAH
OUTPUT PERTANIAN
OUTPUT NON PERTANIAN
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Sumber: Panggabean (2008) Gambar 4 Skema pertumbuhan ekonomi, investasi dan infrastruktur
25
Sementara itu World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang
aktivitas
ekonomi,
meliputi
public
utilities
(tenaga,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun dalam penyediaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha atau swasta. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis infrasturktur yang penyediaannya diatur pemerintah, yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga penyediaannya perlu diatur oleh pemerintah. Dengan melihat jenis-jenis infrastruktur yang banyak berhubungan dengan masyarakat, peranan pemerintah sangat penting dalam penyediaannya. Walaupun
26
pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar. 2.1.8. Aglomerasi Terdapat beberapa teori yang berusaha mengupas tentang konsep aglomerasi. Istilah aglomerasi muncul pada dasarnya berawal dari ide Marshall tentang penghematan aglomerasi (agglomeration economies) atau dalam istilah Marshall disebut sebagai industri yang terlokalisir (localized industries). Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut. Montgomery (1988) mendefinisikan penghematan aglomerasi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan pengelompokan perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen secara spasial untuk meminimisasi biaya-biaya seperti biaya transportasi, informasi dan komunikasi. Aglomerasi merupakan suatu lokasi yang “tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasajasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual (Kuncoro, 2002). Selanjutnya dengan mengacu pada beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa aglomerasi merupakan konsentrasi dari aktivitas ekonomi dan penduduk secara spasial yang muncul karena adanya penghematan yang diperoleh akibat lokasi yang berdekatan. Selanjutnya menurut McCann (2006) jenis sumber aglomerasi ekonomi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Information Spillovers. Jika banyak perusahaan pada industri yang sejenis beraglomerasi pada lokasi yang sama maka pekerja pada perusahaan tertentu secara relatif mudah berhubungan dengan pekerja-pekerja dari perusahaan lokal lain.
Dengan
27
demikian, pertukaran informasi baik antar pekerja maupun antar perusahaan akan berlangsung setiap saat.
Non-traded local inputs. Pada situasi dimana perusahaan-perusahaan dalam industri yang sejenis mengelompok di satu tempat maka ada beberapa input tertentu yang menjadi lebih efisien jika digunakan secara bersama-sama oleh pekerja di perusahaanperusahaan tersebut dibandingkan jika input tersebut dibeli secara individu oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Local skilled-labour pool. Ketersediaan tenaga kerja terampil di wilayah tersebut akan menyebabkan turunnya biaya tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan di lokasi tersebut. Keuntungan atau penghematan yang diperoleh dari perusahaan-perusahan
yang berkumpul pada lokasi yang terkonsentrasi dapat dikategorikan sebagai berikut (Capello, 2007):
Keuntungan internal untuk perusahaan, juga disebut economies of scale. Disebabkan proses produksi dalam skala besar sehingga berdampak menurunkan biaya per unit output (menurunkan average cost). Untuk mendapatkan
keuntungan
dari
produksi
skala
besar,
perusahaan
berkonsentrasi pada semua pabrik di suatu lokasi yang sama. Keuntungan dalam kategori ini berasal bukan dari kedekatannya dengan perusahaan lain, tetapi murni dari konsentrasi aktivitas di lokasi tersebut.
Keuntungan eksternal untuk perusahaan tetapi internal untuk sektor, atau disebut juga localization economies. Disebabkan karena di daerah padat penduduk perusahaan-perusahaan beroperasi pada sektor yang sama. Sedangkan skala ekonomis bergantung pada ukuran dari perusahaan atau pabrik-pabrik tersebut, localization economies ditentukan oleh ukuran dari sektor di wilayah tersebut, dengan berbagai pilihan terhadap tenaga kerja yang terampil dan specific managerial serta keahlian teknis yang tersedia.
Penghematan eksternal untuk perusahaan dan eksternal untuk sektor, atau disebut juga urbanization economies.
28
Disebabkan oleh kepadatan yang tinggi dan berbagai kegiatan produktif dan pemukiman di suatu daerah, kondisi yang melambangkan daerah perkotaan. Keuntungan dalam kategori ini bertambah lagi dengan adanya modal tetap sosial dalam skala besar (infrastruktur transportasi perkotaan, sistem telekomunikasi canggih) dan luas, intermediate diversifikasi dan pasar barang. Keuntungan ini meningkat seiring peningkatan ukuran fisik kota. Aglomerasi merupakan proses yang lebih kompleks jika dibandingkan kluster industri. Tiga jenis ukuran yang membedakannya yaitu: skala (zise), spesialisasi (specialisation) dan keanekaragaman (diversity) (Kuncoro, 2002). Skala dan keanekaragaman memainkan peran penting dalam pembentukan dan pertumbuhan aglomerasi. Sedangkan berbagai literatur mengenai kluster industri menegaskan bahwa ciri utama dari suatu kluster adalah spesialisasi sektoral dalam daerah yang berdekatan. Ukuran yang pertama yaitu skala. Skala ekonomi diinterpretasikan sebagai variabel kunci baik oleh teori ekonomi geografi baru maupun teori perdagangan baru. Kedua teori ini berpendapat bahwa industri yang terkonsentrasi secara geografis adalah akibat skala ekonomi. Pengukuran skala ekonomi (size) dapat diperoleh dari rata-rata ukuran pabrik yang dilihat dari rata-rata jumlah pekerja produksi atau rata-rata nilai tambah. Ukuran pabrik dapat menyediakan informasi mengenai intensitas penggunaan faktor produksi dan perilaku lokasi pada industri tertentu: perusahaan kecil dengan fleksibilitasnya dalam menyesuaikan skala operasi dapat beroperasi bahkan pada wilayah yang terisolasi di mana infrastruktur masih terbelakang sementara perusahaan-perusahaan lndustri Besar Sedang (IBS) cenderung untuk mengelompok di dalam dan di sekitar wilayah kota metropolitan (Kuncoro, 2002). Ukuran yang kedua yaitu spesialisasi. Variabel yang dapat digunakan sebagai ukuran spesialisasi industri manufaktur yaitu indeks spesialisasi. Indeks spesialisasi ini merupakan ukuran untuk menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi pada suatu wilayah (provinsi) dibanding industri yang sama di Indonesia. Indeks ini berdasarkan koefisien lokalisasi Hoover dan populer disebut location quotient (Hayter dalam Kuncoro, 2002). Peningkatan indeks untuk suatu daerah industri menunjukkan peningkatan spesialisasi industri dalam daerah
29
tersebut. Sebaliknya penurunan indeks untuk suatu daerah industri menunjukkan penurunan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Diyakini bahwa spesialisasi yang tinggi pada suatu industri di daerah tertentu dapat mempercepat pertumbuhan industri itu dalam wilayah tersebut. Hal ini berpangkal dari kenyataan bahwa pengetahuan yang diperoleh sebuah perusahaan dapat menguntungkan perusahaan lainnya, khususnya perusahaan yang masih dalam satu industri yang sarna. Sepanjang menyangkut perspektif regional, indeks spesialisasi dapat menyediakan: 1. Dasar pertimbangan awal dan bersifat sementara untuk mencari dan mendorong industri lebih lanjut. 2. Indikator apakah suatu daerah memenuhi kebutuhannya sendiri, mengimpor, atau mengekspor produk. Ukuran
yang ke tiga
yaitu
keanekaragaman. Studi sebelumnya
menunjukkan bahwa keanekaragaman mendorong eksplorasi dan mencegah stagnasi, sehingga berperan dalam penyebaran pengetahuan (knowledge spillover) dan pertumbuhan regional. Disisi lain, adanya keragaman menunjukkan terjadinya aglomerasi karena produk lebih heterogen (Kuncoro, 2002). Untuk mengukur keanekaragaman industri di suatu daerah dapat digunakan indeks HirschmanHerfindahl (HHI) atau indeks Relative Industrial Diversity (RID). Jika nilai indeks minimum maka tingkat keanekaragaman industri di daerah tersebut tinggi. Sebaliknya, kenaikan indeks mencerminkan menurunnya keanekaragaman industri di daerah tersebut. 2.2.
Tinjauan Empiris
2.2.1. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Caning (1999) dalam penelitiannya menggunakan data panel periode 1960-1990 dan unit observasinya 57 negara dengan model efek tetap dari fungsi produksi Cobb-Dauglas. Dengan asumsi harga relatif setiap jenis kapitas sama untuk setiap negara, studi ini menunjukkan elastisitas untuk telepon lebih tinggi dibandingkan infrastruktur lainnya yaitu 0,14. Sedangkan elastisitas untuk listrik hanya 0,04. Dalam penelitian ini juga diteliti elastisitas output terhadap masingmasing infrastruktur dengan unit observasi yang dikelompokkan menjadi negara
30
berpendapatan rendah dan negara berpendapatan tinggi. Studi ini juga menunjukkan bahwa pengadaan telepon di banyak negara masih kurang dan investasi pada jenis infrastruktur ini akan meningkatkan output. Sibarani (2002) dalam penelitiannya mengenai kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menyimpulkan bahwa infrastruktur (jalan, listrik, telepon) memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap agregat output yang diwakili oleh variabel pendapatan per kapita. Terlihat perbedaan kontribusi dari setiap jenis infrastruktur untuk setiap wilayah. Untuk estimasi dengan data semua provinsi di Indonesia hasil yang diperoleh yaitu besarnya elastisitas pendapatan per kapita terhadap listrik yaitu 0,057; pendidikan 0,067; investasi 0,013. Infrastruktur jalan dan telepon tidak signifikan. Sibarani juga menganalisis bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur yang terpusat di pulau Jawa dan Indonesia Bagian Barat (IBB) menimbulkan disparitas pendapatan perkapita di masing-masing daerah di Indonesia, terutama antara pulau Jawa dan luar Jawa dan antara Indonesia Bagian Barat (IBB) dan Indonesia Bagian Timur (IBT), meskipun pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat. Yanuar (2006) dalam penelitiannya tentang kaitan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan output menggunakan analisis data panel 26 provinsi dengan model fixed effects menemukan modal fisik (physical capital), infrastruktur jalan, telepon, kesehatan dan pendidikan memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output. Hasil dari estimasi semua provinsi dan total seluruh sektor di Indonesia diperoleh elastisitas output terhadap masing-masing variabel yaitu: listrik -0,004; jalan 0,161; telepon 0,160; kesehatan 0,457; pendidikan 0,179; modal fisik 0,027. Kesenjangan yang terjadi antar daerah dan wilayah menurut Yanuar dapat disebabkan oleh kesenjangan stok infrastruktur dan besaran produktivitas infrastruktur terhadap output. Pemerintah dalam kaitan ini perlu melakukan kebijakan
prioritas
pembangunan
infrastruktur
berdasarkan
besaran
produktivitasnya. Peran swasta dalam pembangunan infrastruktur diharapkan dapat dilakukan pada jenis infrastruktur tertentu.
31
2.2.2. Pengaruh Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sjoholm (1999) melakukan studi tentang peran karateristik regional dan investasi langsung terhadap pertumbuhan produktivitas industri manufaktur di Indonesia. Studi tersebut menyimpulkan bahwa karateristik pada tingkat kabupaten tampaknya lebih mampu menjelaskan pertumbuhan produktivitas daripada tingkat provinsi. Pada tingkat kabupaten struktur industri yang terdiversifikasi lebih dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas secara berarti. Studi ini tidak menemukan perusahaan atau industri di tingkat kabupaten yang terspesialisasi atau yang kompetisinya tinggi mewujudkan pertumbuhan produktivitas yang tinggi. Nuryadin (2007) dalam penelitiannya yang terkait dengan aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi bertujuan menganalisis dampak dari aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data dari 26 provinsi mulai dari tahun 1993 sampai 2003 dan dengan metode GLS untuk mengestimasi data panel. Variabel tidak bebas yang digunakan dalam model yaitu pertumbuhan ekonomi, sedangkan variabel bebasnya yaitu aglomerasi, tenaga kerja, tingkat inflasi, tingkat perdagangan, dan human capital. Hasil yang ditemukan dari peneitian tersebut yaitu pertumbuhan ekonomi regional pada periode 1993 sampai 2003 dipengaruhi oleh tenaga kerja, tingkat inflasi, dan tingkat perdagangan. Sedangkan, human capital dan aglomerasi tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi regional. 2.2.3. Pengaruh Infrastruktur Transportasi dan Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Shi (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “An empirical study on the regional economic impacts of transport infrastructure for China” bertujuan menginfestigasi hubungan antara pembangunan infrastruktur transportasi, penghematan karena aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi di Cina dengan sudut pandang new economic geography. Metodologi yang digunakan didasarkan pada estimasi model Cobb-Douglas yang menggabungkan variabel perusahaan mikro dengan ukuran dari karakteristik regional mengenai pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri. Hasil dari penelitian Tuo Shi yaitu tingkat output dari setiap perusahaan dipengaruhi oleh penghematan aglomerasi yang terdiri atas
32
akses kepada pusat pasar, penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Infrastruktur transportasi juga berperan dalam peningkatan output perusahaan. 2.2.4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Kim (1995) menguji sejauh mana lokalisasi industri terkonsentrasi, dapat dijelaskan melalui regresi lokalisasi yang diukur dengan skala ekonomi dan faktor-faktor produksi. Ukuran yang digunakan untuk mengukur pentingnya faktor-faktor produksi yaitu intensitas bahan baku yang merupakan biaya bahan baku dibagi dengan nilai tambah pada industri manufaktur. Sedangkan ukuran skala (ukuran pabrik) dihitung dengan pendekatan rata-rata pekerja produksi, sebagaimana dalam model Heckscher-Ohlin. Hasil analisis menunjukkan dukungan terhadap model empiris dimana spesialisasi regional dapat dijelaskan oleh skala ekonomi (plant size), resource yang digunakan (raw material intensity), dummy industri, dan dummy waktu. Kuncoro dan Wahyuni (2009) dalam penelitiannya yang terkait dengan dinamika dan kekuatan aglomerasi bertujuan menganalisis bagaimana dampak dari investasi asing terhadap terjadinya konsentrasi industri dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi terjadinya aglomerasi industri manufaktur. Metodologi yang digunakan yaitu regresi data panel dengan menggunakan unit data kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 1991-2002. Variabel aglomerasi yang merupakan variabel tidak bebas dalam penelitian ini didekati dengan indeks spesialisasi regional. Hasil yang diperoleh dari penelitiannya yaitu variabelvariabel spesifik industri (skala ekonomi, kandungan import, biaya tenaga kerja, orientasi ekspor dan path dependency) memengaruhi spesialisasi regional secara signifikan. Demikian juga variabel pendapatan regional per kapita
sebagai
variabel spesifik regional mampu menjelaskan spesialisasi regional dengan baik. Variabel kepemilikan modal asing dan indeks persaingan dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara statistik. 2.3.
Kerangka Pemikiran Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia masih meninggalkan
masalah berupa disparitas regional. Sumber daya yang ada masih belum merata dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga masih ada daerah yang
33
termasuk kategori miskin dan yang kaya. Ketimpangan yang terjadi dapat menimbulkan beban ekonomi dan sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan masing-masing daerah untuk tumbuh dan berkembang yang bervariasi dan sangat ditentukan oleh berbagai faktor ekonomi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Pembangunan ekonomi suatu wilayah dapat dianalisis melalui tingkat pertumbuhan ekonominya, dimana perkembangannya ditentukan oleh kapasitas output produksi yang dihasilkan wilayah tersebut. Sementara itu kapasitas output produksi sangat ditentukan oleh akumulasi modal atau investasi yang dilakukan, produktivitas tenaga kerja, serta penggunaan teknologi dalam kegiatan ekonomi. Salah satu bentuk pemanfaatan investasi publik adalah pembangunan pelayanan infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi baik infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, maupun infrastruktur administrasi. Pembangunan infrastruktur yang beragam dan bervariasi baik kuantitas maupun kualitasnya di setiap provinsi di Indonesia membawa pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah, yang bisa digunakan untuk menganalisis masalah disparitas yang terjadi. Disparitas
regional
juga
disebabkan
adanya
konsentrasi
industri
manufaktur yang tidak merata. Industri manufaktur merupakan sektor yang strategis yaitu sektor yang dapat mendorong sektor lainnya. Oleh karena itu, peningkatan industri manufaktur diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah di Indonesia. Dalam rangka peningkatan industri manufaktur dapat dilakukan dengan penciptaan aglomerasi industri manufaktur, karena manfaat atau keuntungan dari penghematan aglomerasi akan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya peningkatan daya saing dari industri manufaktur tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan analisis terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan melihat besarnya pengaruh pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Infrastruktur yang diteliti terdiri atas infrastruktur: panjang jalan, energi listrik dan sumber daya air bersih. Sedangkan aglomerasi industri
34
manufaktur diwakili dengan variabel indeks spesialisasi dari tenaga kerja industri manufaktur. Tingkat produktivitas tiap infrastruktur dicerminkan oleh nilai elastisitas dari ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian. Semakin besar nilai elastisitas menunjukkan infrastruktur tersebut semakin produktif meningkatkan perekonomian. Layanan infrastruktur yang buruk, dilihat dari kualitas dan kuantitasnya, berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, sebaliknya semakin efektif (optimal) layanan infrastruktur tersebut dimanfaatkan maka akan memberikan rate of return yang tinggi (Yanuar, 2006). Dalam rangka penciptaan aglomerasi industri manufaktur perlu dikaji dinamika aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Perkembangan industri manufaktur yang pesat di Indonesia ternyata masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Melalui penelitian ini juga akan dikaji faktor-faktor yang memengaruhi terciptanya aglomerasi industri manufaktur. Aglomerasi industri manufaktur dibatasi hanya industri berskala besar dan sedang. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat digambarkan melalui diagram flowchart pada Gambar 5.
35
Permasalahan: Fenomena disparitas regional
Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi
Dampak infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi (Regresi data panel)
Infrastruktur: - Jalan - Listrik - Air bersih
Aglomerasi Industri: - Indeks spesialisasi
Elastisitas Output terhadap infrastruktur dan Aglomerasi Industri
Konsentrasi spasial aglomerasi industri manufaktur (SIG)
Faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri (Regresi Data Panel)
Strategi Penciptaan Aglomerasi Industri
Strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan disparitas regional terkait dengan pembangunan infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri
Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran
36
2.4.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan, tujuan dan alur kerangka pemikiran di atas
maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Terjadi peningkatan fasilitas infrastruktur, peningkatan konsentrasi aglomerasi industri manufaktur di beberapa daerah dan perubahan disparitas regional. 2. Meningkatnya penyediaan infrastruktur (jalan, listrik, air bersih) akan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Demikian juga aglomerasi industri manufaktur (konsentrasi industri) akan memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan. 3. Faktor-faktor
yang
memengaruhi
terjadinya
aglomerasi
industri
manufaktur dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: kelompok spesifik industri (menggambarkan karakteristik perusahaan industri manufaktur) dan kelompok spesifik regional (menggambarkan karakteristik wilayah/ daerah). Pada kelompok pertama terdiri atas variabel: skala ekonomi, keanekaragaman industri, orientasi ekspor & impor, investasi asing, dan indeks persaingan industri manufaktur. Sedangkan pada kelompok kedua terdiri atas variabel: upah minimum regional, pendapatan daerah, dan tingkat pendidikan angkatan kerja.
III.
3.1
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai
sumber. Data yang akan digunakan merupakan data seluruh provinsi di Indonesia yang mencakup kurun waktu 1991-2007. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 seluruh provinsi yang dirinci menurut lapangan usaha (sektor), yang dipublikasikan oleh BPS.
2.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku seluruh provinsi yang dirinci menurut lapangan usaha, yang dipublikasikan oleh BPS.
3.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 seluruh kabupaten/kota, yang dirinci menurut lapangan usaha (sektor), yang dipublikasikan oleh BPS.
4.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku seluruh kabupaten/kota, yang dirinci menurut sektor, yang dipublikasikan oleh BPS.
5.
Data Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atas dasar harga konstan 2000 seluruh provinsi, yang dipublikasikan oleh BPS.
6.
Data kependudukan masing-masing provinsi di Indonesia yang didapatkan dari hasil Sensus Penduduk dan Survei Antar Sensus (SUPAS) yang diambil dari buku Statistik Indonesia BPS.
7.
Data jumlah tenaga kerja yang dirinci menurut sektor dan tingkat pendidikan, bersumber dari BPS.
8.
Data Industri Besar Sedang (IBS), bersumber dari BPS.
9.
Data panjang jalan menurut kondisi jalan dan jenis permukaan, yang diambil dari publikasi Statistik Perhubungan BPS.
10. Data jumlah pelanggan listrik dan energi jual, yang diambil dari PT. PLN. 11. Data jumlah pelanggan dan volume air bersih yang disalurkan, bersumber dari BPS.
38
12. Data Upah Minimum Regional (UMR) setiap provinsi, bersumber dari BPS. 13. Sketsa Peta wilayah Indonesi per provinsi dan per kabupaten untuk melakukan analisis spasial yang bersumber dari BPS. 3.2
Metode Analisis
3.2.1
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan
mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran
yang dilakukan dengan
memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Gambaran umum ini bisa menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang akan diteliti. Dalam penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran secara umum mengenai kondisi sosial ekonomi di Indonesia dan karakteristik variabel-variabel yang terkait dalam penelitian. Variabel-variabel tersebut
yaitu
pertumbuhan
ekonomi,
infrastruktur,
aglomerasi
industri
manufaktur dan disparitas antar daerah. 3.2.2 Analisis Spasial / Sistem Informasi Geografi (SIG) Analisis spasial secara sederhana dapat di artikan sebagai analisis yang menggunakan referensi keruangan (geografi). Setiap bagian dari analisis tersebut selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang (wilayah). Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan bentuk/cara penyajian analisis spasial yang paling tepat. Dalam penyajian data spasial diperlukan dukungan suatu Sistem Informasi Geografi (SIG). Menurut As-syukur (2006) SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Disamping itu,
39
SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. Tujuan analisis spasial pada penelitian ini adalah membuat peta tematik, yaitu peta yang akan memberikan gambaran suatu data atribut kedalam referensi geografi, misalkan: peta tematik nilai PDRB menurut provinsi di Indonesia, dan lain sebagainya. Analisis spasial juga digunakan untuk membuat peta yang akan memperlihatkan dinamika aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. SIG bermanfaat untuk mengidentifikasi dimana industri manufaktur cenderung mengumpul dan membentuk aglomerasi. Aktivitas utama dalam prosedur standar untuk merancang dan menggunakan SIG pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Prosedur dan aktivitas utama dalam Sistem Informasi Geografi (SIG) PROSEDUR Mengumpulkan data
AKTIVITAS Pengumpulan data dan verifikasi data yang akan diteliti. Melakukan pengecekan kesesuaian identitas data dan peta.
Persiapan pengolahan data
Mengklasifikasikan data dan menginterpetasikan data. Menyusun struktur data digital.
Konstruksi data dasar atau database
Menetapkan struktur database Menetapkan prosedur yang digunakan dalam sistem
Penelitian Spatial/ lokasi/ wilayah beserta analisisnya
Pemanggilan data berdasarkan lokasi Memetakan data berdasarkan variabel yang diteliti. Menemukan lokasi yang memenuhi kriteria. Mensimulasikan fenomena yang terjadi. Menampilkan peta tematik Menampilkan hasil teknik overlay peta Membuat laporan.
Visualisasi peta
40
3.2.3
Regresi Data Panel Data yang dipergunakan dalam analisis ekonometrika dapat berupa data
time series, data cross section, atau data panel. Data panel (panel data) merupakan gabungan data cross section dan data time series. Dengan kata lain, data panel merupakan unit-unit individu yang sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, data panel dicirikan oleh T periode waktu (t = 1,2,...,T) yang kecil dan n jumlah individu (i = 1,2,...,n) yang besar. Namun tidak menutup kemungkinan sebaliknya, yakni data panel terdiri atas periode waktu yang besar dan jumlah individu yang kecil. Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi data panel. Analisis secara terpisah, apakah cross section saja atau time series saja, akan memberikan beberapa kelemahan. Sebagai contoh untuk analisis pertumbuhan ekonomi suatu wilayah yang dilihat dari pertumbuhan PDRB, tingkat investasi dan tingkat konsumsi. Jika hanya menggunakan data cross section, yang diamati hanya pada satu titik waktu, maka perkembangan ekonomi wilayah-wilayah tersebut antar waktu tidak dapat dilihat. Di sisi lain, penggunaan model time series juga menimbulkan persoalan tersendiri melalui variabelvariabel yang diobservasi secara agregat dari satu unit individu sehingga mungkin memberikan hasil estimasi yang bias. Pendekatan data panel menggunakan informasi dari gabungan kedua pendekatan tersebut (cross section dan time series) sehingga akan meminimalisir kelemahan masing-masing pendekatan. Melalui analisis data panel, kita dapat menangkap perilaku sejumlah individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam suatu rentang waktu yang terdiri atas unit-unit waktu yang juga berbeda. Heterogenitas antar individu maupun antar waktu digambarkan dalam model dengan intersep dan koefisien slope yang berbeda-beda. Nilai intersep dan koefisien slope yang berbeda-beda ini berasal dari pengaruh variabel yang tidak termasuk dalam variabel penjelas dalam persamaan regresi biasa. Menurut Baltagi (2005), beberapa keuntungan penggunaan data panel adalah sebagai berikut : 1. Data panel mampu mengakomodasi tingkat heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model (unobserved heterogeneity),
41
2. Data panel mampu mengindikasikan dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data cross section murni atau time series murni, misalnya efek dari upah minimum, 3. Data panel mampu mengurangi kolinieritas antar variabel, 4. Data panel dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks, misalnya fenomena skala ekonomi dan perubahan teknologi, 5. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data lebih banyak. Terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dan variabel bebas. Misalkan: yit = αi + Xit β + εit
.....(12)
Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: εit = λi + uit
…..(13)
Untuk two way error components model, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:
it i t uit
…..(14)
Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λi). Pada two way dimasukkan efek dari waktu (µt) ke dalam komponen error. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λi dan µt dengan Xit. Uji yang digunakan dalam penentuan kedua metode ini adalah uji Hausman. 3.2.3.1 Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan bila ada korelasi antara komponen eror dengan variabel bebasnya. Oleh karena itu, komponen eror dari efek individu (λi) dan efek dari waktu (µt) dapat menjadi bagian dari intersep. Dengan dua pendekatan, dapat dinyatakan sebagai berikut: A. Untuk one way error component
yit i i X it u it
.....(15)
42
B. Untuk two way error component
yit i i t X it uit
.....(16)
Penduga dalam FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai berikut: 1.
Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang diregresikan dengan model:
yit i X it uit
…..(17)
dimana α i bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α. Formula perhitungannya adalah: ˆ y ˆ x
…..(18)
1 N T xit y it NT i 1 t 1 ˆ 1 N T 2 xit NT i 1 t 1
.....(19)
Dimana x
1 NT
N
T
x
it
dan xit x it x
i 1 t 1
Dengan mengkombinasikan semua data cross section dan data time series, data panel dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, yaitu dengan varian: var(ˆ )
var(u it ) N
T
x
.....(20)
2 it
i 1 t 1
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.
43
2.
Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu dimana: T
y T 1 y it
.....(21)
i 1
T
x i T 1 x it
.....(22)
i 1
Dalam hal ini x it* x it x it
…..(23)
y it* y it y it
…..(24)
dan y i i x i' u i
…..(25)
Jika yit = αi + xit β + u it , maka diperoleh: y it y i ( i i ) ( x it xi ) ' (u it u i )
.....(26)
atau y it* x it*' u it*
…..(27)
sehingga,
ˆ WG
1 N T * * xit y it NT i 1 t 1 1 N T *2 xit NT i 1 t 1
…..(28)
Berdasarkan persamaan tersebut, FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki intersep. Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG) cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan: N
T
S xx ( x it x ) 2
…..(29)
i 1 t 1 N
T
S xxw ( x it x i ) 2 i 1 t 1
…..(30)
44
N
S xxb T ( x i x ) 2
.....(31)
i 1
sehingga dapat dilihat bahwa: S xx S xxw S xxb
…..(32)
diketahui bahwa: T 1 var(u it* ) var(u it ) T
.....(33)
sehingga varians dari penduga β dengan pendekatan WG adalah: var( ˆ WG )
var(u it* )
=
N
T
x
2 it
i 1 t 1
=
var(u it* ) S xx S xxb
T 1 var(u it ) T = S xx S xxb
.....(34)
Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari tidak dimasukkannya intersep ke dalam model. 3.
Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Metode ini bertujuan dapat merepresentasikan perbedaan intersep, yaitu dengan dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable dgit = 1 (g = i): y it i x it' u it
…..(35)
dengan memasukkan sejumlah d git = 1 (g = i), persamaan awal menjadi: y it 1 d 1it 2 d 2 it ... N d Nit xit' u it
…..(36)
persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter βLSDV. Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah
45
unit observasinya besar maka terlihat cumbersome. Untuk menguji apakah intersep memang signifikan atau tidak dapat menggunakan F-test dengan hipotesis sebagai berikut: H0
: α1 = α 2 = α 3 = ..... = αN dan
H1
: satu dari α ada yang tidak sama
Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS atau LSDV. Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik yaitu: 2 RDV R 2p NT N k F 2 N 1 1 RDV
…..(37)
dimana: 2 : koefisien determinasi LSDV R DV
Rp2
: koefisien determinasi PLS
k
: banyaknya variabel
Jika nilai F hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan bahwa α adalah sama untuk semua individu dapat ditolak. 4.
Two Way Error Components Fixed Effect Model Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga berasal dari variasi antar waktu (time effect) sehingga model dasar yang digunakan adalah: y it i t x it' u it
…..(38)
Dimana γt merepresentasikan time effect. Jika masing-masing pengaruh individu (αi) dan time-effect (γt) diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1
(s = t) variabel
dummy akan diperoleh persamaan: y it 1 d 1it 2 d 2 it ... N d Nit 2 z 2 it ... T z Tit x it' u it
…..(39)
Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi.
46
3.2.3.2 Random Effect Model (REM) REM muncul ketika antara efek individu dan variabel bebas tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam eror, dimana: A. Untuk one way error component sebagai:
yit i i X it uit
.....(40)
B. Untuk two way error component sebagai:
yit i i t X it uit
.....(41)
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM yaitu:
E (uit / i ) 0
.....(42)
E (u it2 / i ) u2
…..(43)
E ( i / xit ) 0
…..(44)
E ( i2 / xit ) 2
…..(45)
E (u it i ) 0
…..(46)
Untuk i ≠ j dan t ≠ s E (u it u js ) 0
…..(47)
Untuk i ≠ j E ( i j ) 0
…..(48)
dimana: Utuk one way error component, τi = λi Untuk two way error component, τi = λi + µi Dari semua asumsi tersebut, yang paling penting dalam REM adalah asumsi bahwa nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0 atau E(τi xit) = 0. Untuk menghitung estimator REM, ada dua jenis pendekatan yang digunakan, yaitu: 1. Pendekatan Between Estimator Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak terhingga, dengan asumsi bahwa variabel bebas dengan eror tidak saling berkorelasi atau E (xit εi = 0) begitu juga dengan nilai ratarata eror E (xit εi = 0).
47
2. Pendekatan Generalized Least Square (GLS) Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai ratarata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut random effects estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
RE = Between + (Ik - ) Within
.....(49)
3.2.3.3 Hausman Test Dalam memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara variabel bebas dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test. Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H0 : E(τi / xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(τi / xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar
penolakan
H0
maka
digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βfEM )’(MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM ) ~ χ2 (k)
…..(50)
dimana: M : matriks kovarians untuk parameter β k
: degrees of freedom
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya. 3.3
Spesifikasi Model
3.3.1 Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Model pertumbuhan ekonomi biasanya menggunakan fungsi produksi agregat sebagai modelnya, karenanya asumsi-asurnsi yang mendasari fungsi produksi berlaku pula dalam model pertumbuhan ekonomi. Fungsi produksi merupakan gambaran hubungan teknis antara input dan output. Dalam teori
48
mikro, dikenal beberapa bentuk fungsi produksi, antara lain fungsi produksi Cobb-Douglas, fungsi produksi Leontief, fungsi produksi constant elasticity of substitution (CES), dan fungsi produksi transcedental logarithmic (translog). Salah satu pertimbangan dalam pemilihan bentuk fungsi produksi adalah bentuk faktor substitusinya. Fungsi produksi Cobb-Douglas, secara apriori menganggap bahwa substitusi antar faktor produksi dengan mudah dapat dilakukan dan elastisitas substitusi antar faktor produksi dalam fungsi produksi Cobb-Doglas adalah satu. Fungsi produksi Leontief, menganggap bahwa substitusi antar faktor produksi tidak bisa dilakukan. Elastisitas substitusi antar faktor produksi dalam fungsi Leontief adalah nol. Fungsi produksi CES menganggap bahwa substitusi antar faktor produksi dengan mudah dapat dilakukan. Berbeda dengan dua jenis fungsi produksi di atas, elastisitas substitusi antar faktor produksi dalam fungsi produksi CES tidak dibatasi dengan 0 ataupun 1, tetapi nilainya konstan. Sedangkan fungsi produksi translog, merupakan fungsi produksi yang paling fleksibel. Fungsi produksi ini memungkinkan perubahan dalam nilai elastisitas substitusi. Model fungsi produksi ini adalah pendekatan bagi model pertumbuhan ekonomi yang menggunakan data panel dengan asumsi setiap individu atau unit mempunyai akses yang sama terhadap teknologi yang digambarkan dalam fungsi produksi bersama dengan melakukan standarisasi terhadap output dan faktor-faktor produksi yaitu dengan mengalikannya terhadap faktor efisiensi (faktor konversi skalar yang konstan dan spesifik untuk setiap faktor dan setiap unit) atau sering disebut dengan faktor augmentasi. Model yang digunakan untuk menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional
di Indonesia merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb-
Douglas. Alasan pemilihan fungsi produksi Cobb-Douglas berkaitan dengan kelebihannya yaitu: penyelesaiannya relatif mudah (mudah untuk ditransfer dalam bentuk linier), koefisien hasil estimasi merupakan elastisitas, dan penjumlahan dari elastisitas tersebut menunjukkan besarnya return to scale, serta fungsi produksi ini telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian untuk
49
mengestimasi output potensial suatu wilayah (Soekartawi, 1994). Formula umum fungsi produksi Cobb-Douglas yaitu sebagai berikut: =
.....(51)
Dalam penelitian ini, modal infrastruktur dan human capital merupakan input terhadap produksi agregat. Model ekonometri yang digunakan didasarkan pada model
yang digunakan
Canning
(1999) dalam
paper
“Infrastructure's
Contribution to Aggregate Output”, model ini juga digunakan oleh Bronzini dan Piselli (2006). Model tersebut adalah sebagai berikut: =
…..(52)
Dimana: Y adalah output, A adalah total factor productivity, K adalah stok modal, H adalah human capital, X adalah modal infrastruktur, L adalah tenaga kerja, dan U adalah error term. Sedangkan untuk i adalah indeks provinsi dan t adalah indeks waktu. Proses estimasi memerlukan persamaan dalam bentuk linier, oleh karena itu persamaan (52) ditransformasikan dalam logaritma natural yaitu sebagai berikut: =
+
+
+
+
ln
+
.....(53)
Yit merupakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi i pada tahun t, Kit merupakan stok modal provinsi i pada tahun t, Hit adalah human capital provinsi i dan tahun t, Xit adalah modal infrastruktur provinsi i pada tahun t, Lit merupakan tenaga kerja provinsi i pada tahun t, sedangkan A adalah besarnya produktivitas atau parameter efisiensi daerah. Menurut beberapa peneliti (Khusaini, 2004), total factor productivity (A) dipengaruhi oleh keuntungan aglomerasi. Keuntungan aglomerasi adalah keuntungan yang diperoleh akibat berkumpulnya perusahaan pada tempat tertentu. Variabel aglomerasi dilambangkan dengan (IS), sehingga persamaannya menjadi: =
+
+
+
+ ln
+ ln
+
.....(54)
Dalam penelitian ini variabel aglomerasi (ISit) akan dekati dengan ukuran indeks spesialisasi. Sedangkan
modal infrastruktur (Xit) dipecah menjadi
infrastruktur jalan, listrik dan air bersih. Model juga akan ditambahkan dummy
50
krisis, tujuannya yaitu untuk melihat dampak dari krisis 1997 terhadap pertumbuhan output. Oleh karena itu, persamaan (54) dapat dituliskan secara lengkap sebagai berikut: =
+ +
+ ln
+
+ ln
+
+
+
ln
+
…..(55)
Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel sebagai berikut: 1.
Variabel Yit merupakan output yang didekati dengan PDRB atas dasar harga konstan 2000 pada provinsi i dan tahun t (satuan juta rupiah).
2.
Variabel Kit adalah stok modal pada provinsi i dan tahun t (satuan juta rupiah). Stok modal dihitung dengan menggunakan metode Perpetual Inventory Method (PIM). Cara penghitungan dan hasilnya disampaikan pada Bab 5.
3.
Variabel Hit adalah human capital yang didekati dengan rata-rata lama sekolah (years of schooling) di provinsi i dan tahun t (satuan tahun). Pemilihan rata-rata lama sekolah didasarkan pada penelitian Barro dan Lee (1993). Rata-rata lama sekolah dihitung dari tingkat pendidikan terakhir pekerja, dimana tiap tingkat pendidikan disetarakan dengan jumlah tahun yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan tersebut (Tabel 3). Tabel 3 Rata-rata lama sekolah menurut tingkat pendidikan terakhir
Jumlah Tahun
4.
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SLTA
Tamat D3
Tamat S1
3
6
9
12
15
17
JLit adalah panjang jalan total di provinsi i dan tahun t (satuan km). Panjang jalan merupakan gabungan jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota yang berada di provinsi tersebut.
5.
LSit adalah energi listrik terjual di provinsi i dan tahun t (satuan GWh). Energi listrik terjual merupakan total energi listrik yang dikonsumsi seluruh kelompok pelanggan di provinsi tersebut.
6.
ABit adalah jumlah air bersih yang disalurkan oleh PDAM di provinsi i dan tahun t (satuan m3). Jumlah air bersih yang disalurkan merupakan total air bersih yang dikonsumsi seluruh kelompok pelanggan.
51
7.
ISit adalah indeks spesialisasi industri manufaktur yang menggambarkan konsentrasi industri di provinsi i dan tahun t. Indeks ini dihitung dengan menggunakan data tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS). Rumus yang digunakan sebagai berikut:
ISir
Eir Er Ei E
..…(56)
Dimana, Eir adalah tenaga kerja IBS dalam suatu provinsi r, Er adalah total tenaga kerja pada provinsi r, Ei adalah tenaga kerja IBS untuk seluruh provinsi di Indonesia; E adalah total tenaga kerja di Indonesia. 8.
Lit merupakan jumlah tenaga kerja yang bekerja di provinsi i dan tahun t (satuan orang).
9.
DK merupakan dummy krisis yang digunakan untuk melihat dampak terjadinya krisis 1997 terhadap pertumbuhan output. Variabel dummy akan bernilai 0 untuk waktu sebelum krisis (tahun 1991 sampai 1997) dan bernilai 1 untuk masa krisis dan masa recovery (tahun 1998 sampai 2007). Dilihat dari sisi ekonometri pengguanaan dummy krisis digunakan untuk menangkap adanya perbedaan pada efek waktu. Penggunaan dummy krisis ini juga dilakukan oleh Amrullah (2006).
3.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur Analisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur dilakukan dengan menggunakan unit observasi 26 provinsi di Indonesia pada kurun waktu 1991-2007. Variabel yang digunakan sebagai ukuran aglomerasi industri manufaktur yaitu indeks spesialisasi regional/ Location Quotient (LQ). Pemilihan indeks spesialisasi sebagai variabel tidak bebas didasarkan pada pertimbangan teori-teori ekonomi yang hendak diuji dan pertimbangan studi empiris sebelumnya (Kuncoro dan Wahyuni, 2009). Indeks spesialisasi regional merupakan ukuran untuk menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi pada suatu daerah dibanding industri yang sama pada wilayah yang lebih besar. Indeks spesialisasi untuk provinsi r (ISir) dihitung dengan persamaan (56). Model
yang
digunakan
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
memengaruhi aglomerasi industri manufaktur didasarkan pada model yang digunakan Kuncoro dan Wahyuni (2009). Variabel bebas yang digunakan terdiri
52
atas karakteristik industri (spesifik-industri) dan karakteristik regional (spesifikregional) yang ditambahkan dengan variabel tingkat pendidikan dari angkatan kerja seperti yang digunakan dalam model Chen et al. (2005). Dengan menggabungakan kedua model tersebut, maka model yang digunakan adalah sebagai berikut (semua variabel dalam logaritma natural): =
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+ …..(57)
Dari persamaan (57) dapat dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel yaitu sebagai berikut: 1.
Variabel ISit merupakan indeks spesialisasi industri manufaktur provinsi i dan tahun t. Indeks spesialisasi menggambarkan adanya konsentrasi industri manufaktur.
2.
Variabel ISZit
adalah ukuran perusahaan berdasarkan rata-rata jumlah
pekerja produksi di provinsi i dan tahun t. Variabel ini digunakan untuk mendekati skala ekonomi perusahaan di daerah tersebut. Perusahaan dengan skala yang lebih besar akan cenderung berada pada wilayah yang terkonsentrasi. Demikian juga sebaliknya, perusahaan yang lebih kecil cenderung beroperasi pada daerah yang jauh dari sentra industri. 3.
Sedangkan RIDit atau indeks relative industrial diversity adalah ukuran yang digunakan untuk melihat keanekaragaman industri di provinsi i dan tahun t. Indeks ini dihitung dari penjumlahan kuadrat share jumlah tenaga kerja masing-masing provinsi untuk industri lainnya secara relatif dibandingkan dengan penjumlahan kuadrat share tenaga kerja total seluruh provinsi untuk industri lainnya. Rumus untuk penghitungan RID yaitu: =
∑ ∑
( (
⁄
)
⁄ )
.....(58)
Dimana L adalah tenaga kerja, i adalah provinsi, j adalah industri dua digit, h adalah industri dua digit lainnya, dan t adalah waktu. Semakin merata distribusi tenaga kerja di masing-masing provinsi antar industri, maka akan semakin kecil rasio kuadrat dari share tenaga kerja di tingkat provinsi terhadap nasionalnya. Dengan demikian rasio indeks yang kecil secara
53
relatif menunjukan tingkat keberagaman industri yang lebih besar pada masing-masing provinsi dibanding dengan nasional. 4.
FDIit adalah investasi asing yaitu rata-rata persentase kepemilikan modal oleh swasta asing di provinsi i dan tahun t. Investasi asing dimungkinkan mendorong atau menghambat konsentrasi industri.
5.
IPSit adalah indeks persaingan industri yang digunakan untuk mendekati struktur pasar di provinsi i dan tahun t. Indeks ini mengukur derajat persaingan perusahaan industri di suatu daerah, rumus yang digunakan yaitu: =
(
⁄
)
(
⁄
)
.....(59)
Dimana firm menunjukan jumlah perusahaan dan output menunjukkan total produksi. Semakin tinggi IPS atau semakin besar rasio jumlah perusahaan terhadap output di tingkat provinsi terhadap nasionalnya maka akan semakin besar persaingan antar perusahaan di daerah tersebut karena jumlah perusahaan relatif lebih banyak. Dengan kata lain semakin tinggi nilai IPS maka struktur pasar di daerah tersebut semakin menuju persaingan sempurna. 6.
EXIit adalah orientasi ekspor dan impor yaitu penjumlahan dari persentase output yang diekspor dan input yang dimpor di provinsi i dan tahun t. Variabel ini digunakan untuk melihat hubungan vertikal dalam konteks internasional dengan terkonsentrasinya industri di suatu daerah.
7.
UMRit adalah upah minimum regional di provinsi i dan tahun t. Variabel ini digunakan untuk mengkaji dampak kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan biaya tenaga kerja terhadap terjadinya aglomerasi industri di suatu daerah.
8.
GDPit adalah pendapatan daerah di provinsi i dan tahun t. Pendapatan didekati dengan besarnya PDRB. Variabel ini digunakan untuk proxy ukuran pasar di suatu daerah. Semakin besar pendapatan di suatu daerah maka menggambarkan pasar yang semakin besar.
9.
EDUit merupakan tingkat pendidikan angkatan kerja di provinsi i dan tahun t. Tingkat pendidikan angkatan kerja dihitung dengan rata-rata lama sekolah dari angkatan kerja di daerah tersebut. Angkatan kerja yang dimaksud yaitu
54
penduduk usia 15 tahun yang bekerja dan pengangguran. Rata-rata lama sekolah dihitung dari tingkat pendidikan terakhir angkatan kerja, dimana tiap tingkat pendidikan disetarakan dengan jumlah tahun yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan tersebut (lihat Tabel 3). 10. DK merupakan dummy krisis yang digunakan untuk melihat dampak krisis 1997 terhadap aglomerasi industri manufaktur. Variabel dummy akan bernilai 0 untuk waktu sebelum krisis (tahun 1991 sampai 1997) dan bernilai 1 untuk masa krisis dan masa recovery (tahun 1998 sampai 2007). Penggunaan dummy krisis juga dilakukan dalam penelitian Kuncoro dan Wahyuni (2009). 3.4
Software Analisis yang Digunakan Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan bantuan
beberapa software untuk melakukan analisis data. Software tersebut adalah sebagai berikut: 1. Microsoft Excel 2007 Ms Excel merupakan perangkat lunak berbasis spreadsheet buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan dalam pembuatan tabel, grafik dan beberapa pengolahan data. 2. EViews 6.0 EViews adalah program komputer yang digunakan untuk mengolah data statistik dan data ekonometri. Program EViews dibuat oleh Quantitative Micro Software. Software ini digunakan untuk analisis data panel. 3. Esri ArcView GIS ver. 3.3 ArcView GIS merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk pembuatan dan manipulasi peta dalam bentuk layer. Dalam penelitian ini ArcView dimanfaatkan untuk pembuatan peta tematik dan analisis spasial perkembangan industri manufaktur. Software ini dikembangkan oleh Environmental System Research Institute (ESRI) New York.
IV. DINAMIKA DISPARITAS REGIONAL, PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR 4.1
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
4.1.1 Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Pengambilan keputusan ekonomi perlu mempertimbangkan keuntungan lokasi dan pengaruh ruang secara eksplisit agar keputusan yang diambil realistis dan tidak salah (Sjafrizal, 2008). Negara Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri atas 17.504 pulau, terletak antara 6 008' Lintang Utara dan 11015' Lintang Selatan serta 94045' sampai dengan 141 005' Bujur Timur. Oleh karena wilayah Indonesia dilalui garis khatulistiwa, maka keadaan iklimnya dipengaruhi oleh iklim tropis, hal ini menyebabkan keragaman sumber daya alam dan faktor produksi yang terkandung di dalamnya. Ketika Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia hanya memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil (Otonomi, 2009). Pada masa pergerakan kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia mengalami perubahan wilayah yang sangat pesat. Pada awal orde baru (tahun 1966), Indonesia telah memiliki 24 provinsi yang kemudian bertambah menjadi 26 hingga tahun 1975. Timor Timur menjadi provinsi yang ke-27 pada tahun 1975. Provinsi ini memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, dan Indonesia kembali memiliki 26 provinsi. Pemekaran wilayah daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004. Hingga Desember 2008 jumlah daerah otonom mencapai 524 yang terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. Berkaitan dengan cakupan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dimulai dari tahun 1991 sampai 2007, maka wilayah provinsi yang akan menjadi penelitian yaitu sejumlah 26 provinsi. Hal ini dimaksudkan agar objek penelitian dapat konsisten dan berkelanjutan dari tahun 1991 sampai dengan 2007. Provinsi
56
yang mengalami pemekaran setelah tahun 1991 digabungakan dengan provinsi induknya, kecuali Timor Timur yang dikeluarkan dari cakupan penelitian. Provinsi yang mengalami penggabungan dapat dilihat pada keterangan Gambar 6.
N
1 2 4
21
20 17
3
5 7
22 18
6
25 26
24
8
9 10
11 13
14
12 1000
23
19
0
15 16
1000
2000
3000 Kilometers
Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo)
22 Sulawesi Tengah 23 Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24 Sulawesi Tenggara 25 Maluku (termasuk Maluku Utara) 26 Papua (termasuk Papua Barat)
Keterangan: 1 Nanggroe Aceh Darussalam 2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5 Jambi 6 Sumatera Selatan (termasuk Bangka Belitung) 7 Bengkulu
8 Lampung 9 DKI Jakarta 10 Jawa Barat (termasuk Banten) 11 Jawa Tengah 12 DI Yogyakarta 13 Jawa Timur 14 Bali
15 16 17 18 19 20 21
Gambar 6 Peta wilayah Indonesia menurut daerah administratif 26 provinsi Potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditunjukkan dengan luas wilayah yang mencapai 1.910.931,32 km2 dan terbagi dalam 17.504 pulaupulau. Provinsi terluas adalah Papua, mencapai 416.060,32 km2 dan terdiri atas 2.543 pulau. Dengan luas yang tidak mencapai setengahnya, Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua dengan luas wilayah 204.534,34 km2, disusul oleh Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Provinsi dengan luas terkecil adalah DKI Jakarta, yaitu hanya mencapai 664,01 km2. Tabel 4 menunjukkan bahwa provinsi dengan Daerah Tingkat II (kabupaten/kota) terbanyak justru tidak berada di provinsi yang paling luas, tetapi berada di Jawa Timur, yaitu sejumlah 38 yang terdiri atas 29 kabupaten dan 9 kota. Selanjutnya Provinsi Jawa Tengah mempunyai 35 Daerah Tingkat II yang terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota. Sementara itu provinsi dengan Daerah Tingkat II yang paling sedikit adalah DI Yogyakarta, yang hanya terdiri atas 5 Daerah Tingkat II (4 kabupaten dan 1 kota).
57
Tabel 4 Luas area dan persentasenya, jumlah pulau dan jumlah Daerah Tingkat II di Indonesia menurut provinsi tahun 2007 No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Indonesia
Luas Area Km2 57.956,00 72.981,23 42.012,89 95.225,38 50.058,16 108.016,49 19.919,33 34.623,80 664,01 45.040,68 32.800,69 3.133,15 47.799,75 5.780,06 18.572,32 48.718,10 147.307,00 153.564,50 38.744,23 204.534,34 25.108,71 61.841,29 63.504,66 38.067,70 78.896,53 416.060,32 1.910.931,32
Jumlah Pulau 663 419 391 2.547 19 1.003 47 188 218 262 296 23 287 85 864 1.192 339 32 320 370 804 750 295 651 2.896 2.543 17.504
Daerah Tingkat II Kabupaten Kota Jumlah 18 5 23 21 7 28 12 7 19 13 4 17 9 1 10 17 5 22 8 1 9 9 2 11 1 5 6 21 12 33 29 6 35 4 1 5 29 9 38 8 1 9 7 2 9 19 1 20 12 2 14 13 1 14 11 2 13 10 4 14 14 5 19 9 1 10 25 3 28 10 2 12 13 4 17 28 2 30 370 95 465
Sumber: BPS, 2008 4.1.2 Penduduk dan Kepadatannya Masalah
kependudukan
merupakan
bagian
yang krusial dalam
perekonomian karena tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan pembangunan. Penduduk mempunyai peran ganda dalam pembangunan yaitu sebagai obyek dan sebagai subyek. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan pertambahan jumlah penduduk usia kerja, yang merupakan faktor produksi. Bertambahnya penduduk tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas, sehingga muncul masalah kependudukan yang kompleks. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk dapat memberikan penjelasan lain tentang mengapa sebagian negara kaya dan sebagian lainnya miskin (Mankiw, 2007).
58
Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2009). Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2007 mencapai 225,64 juta jiwa dengan rasio jenis kelamin mencapai 100,3. Ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan. Provinsi dengan rasio jenis kelamin terbesar yaitu Papua dan Riau. Sedangkan provinsi dengan rasio jenis kelamin terkecil yaitu Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan (Tabel 5). Nilai rasio jenis kelamin biasanya berhubungan dengan pola migrasi di daerah tersebut, pada umumnya provinsiprovinsi dengan rasio rendah adalah provinsi pengirim migran. Tabel 5 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Indonesia menurut provinsi tahun 2007 No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Indonesia
Sumber: BPS, 2008
Jumlah Penduduk (000 jiwa) Persentase 4.224 1,87 12.834 5,69 4.698 2,08 6.464 2,87 2.742 1,22 8.127 3,60 1.617 0,72 7.290 3,23 9.065 4,02 49.753 22,05 32.380 14,35 3.435 1,52 36.896 16,35 3.480 1,54 4.293 1,90 4.449 1,97 4.179 1,85 2.028 0,90 3.397 1,51 3.025 1,34 3.147 1,40 2.396 1,06 8.717 3,86 2.032 0,90 2.246 1,00 2.732 1,21 225.642 100,00
Laju Pertumbuhan 1,04 1,40 1,45 3,90 1,88 1,94 1,51 1,15 1,16 1,83 0,52 1,38 0,85 1,43 0,98 2,19 0,57 1,28 1,87 3,05 1,51 1,39 1,14 1,58 1,81 3,04 1,37
Sex Ratio 99 99 97 108 104 103 104 104 97 102 99 101 98 102 91 99 102 110 100 110 103 104 94 97 103 109 100
59
Distribusi penduduk Indonesia ternyata tidak merata di seluruh wilayah tanah air. Penduduk paling banyak berdomisili di Provinsi Jawa Barat, mencapai 49,75 juta jiwa atau sebesar 22,05 persen dari total penduduk Indonesia. Selanjutnya Provinsi Jawa Timur mempunyai jumlah penduduk sebesar 36,90 juta jiwa (16,35 persen) dan Jawa Tengah sebesar 32,38 juta jiwa (14,35 persen). Data tersebut menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia (52,75 persen) berada di tiga provinsi di Pulau Jawa. Penambahan jumlah penduduk tidak dapat dilepaskan dari angka pertumbuhannya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 secara nasional mencapai 1,37 persen. Provinsiprovinsi dengan laju pertumbuhan yang tinggi pada umumnya berada di luar Pulau Jawa, antara lain Provinsi Riau, Kalimantan dan Papua. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah terjadi di Jawa Tengah yaitu sebesar 0,52 persen. Jika dibandingkan dengan luas wilayahnya, kepadatan penduduk terbesar adalah DKI Jakarta, dengan angka yang sangat tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya, yaitu mencapai 12.245 jiwa per km2. Sementara itu Provinsi Jawa Barat pada urutan kedua dengan kepadatan penduduk sebesar 1.105 jiwa per km2 dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada urutan ketiga sebesar 1.096 jiwa per km2. Berdasarkan Gambar 7 dapat terlihat bahwa seluruh provinsi yang ada di Pulau Jawa memiliki kepadatan yang tinggi. Sementara itu, kepadatan penduduk yang paling kecil terjadi di Provinsi Papua, yang hanya mencapai 7 jiwa per km2. Angka-angka ini perlu mendapat perhatian yang serius karena menggambarkan ketimpangan yang terjadi di wilayah Indonesia. N
SUMUT
KALTIM
RIAU
PAPUA SULSEL JAKARTA
JATENG
1000
0
1000
2000 Kilometers
Kepadatan Pendiuduk LEGENDA: 7 - 35 Laju Pertumbuhan 35 - 125 Penduduk 125 - 218 218 - 1105 1105 - 12245
Gambar 7 Peta kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2007
60
Konsentrasi penduduk merupakan faktor produksi di wilayah-wilayah yang padat, hal ini menyebabkan kegiatan perekonomian juga terkonsentrasi di wilayah yang menyediakan faktor produksi yang besar, sehingga tidak mengherankan kalau pusat-pusat industri besar yang bersifat padat karya berdiri di provinsi-provinsi tersebut. Gambaran ketimpangan penyebaran penduduk menunjukkan daya dukung lingkungan
yang kurang seimbang di antara
provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan luar Jawa. 4.1.3 Kondisi Perekonomian Indonesia Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan. Pada tahun 2007, PDRB Indonesia mencapai 1.878 trilyun rupiah secara keseluruhan atau senilai 1.735 trilyun rupiah tanpa minyak dan gas jika dihitung menurut harga konstan 2000, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,61 persen secara keseluruhan atau sebesar 5,51 persen jika dihitung tanpa minyak dan gas(Tabel 6). Penurunan pertumbuhan ekonomi dari minyak dan gas yang tidak besar menunjukkan bahwa peranan produksi minyak dan gas dalam kegiatan ekonomi di Indonesia telah menurun.
61
Tabel 6 Nilai dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Indonesia
PDRB ADHK 2000 (Juta Rupiah) 1991 1999 2007 42.319.024 43.051.695 35.826.623 45.137.524 65.967.997 99.792.273 15.370.115 22.042.475 32.912.969 70.247.894 89.014.946 120.927.073 6.114.827 9.076.158 14.275.161 29.014.891 46.092.671 64.727.177 3.344.852 4.683.977 7.008.965 14.529.656 22.481.851 32.648.066 165.622.065 218.397.835 332.971.263 194.456.994 231.814.544 339.041.921 83.511.003 110.366.833 159.110.254 9.819.316 12.961.376 18.285.620 144.483.941 196.417.479 287.815.123 11.034.572 16.757.563 23.497.047 6.211.935 9.466.002 16.242.003 4.750.963 7.558.040 10.904.483 11.844.774 18.824.098 26.260.648 7.225.663 10.877.042 15.754.509 11.115.624 17.837.973 25.922.288 52.749.225 79.263.156 97.803.248 6.958.968 11.479.663 16.746.520 4.540.316 8.299.712 13.683.882 17.289.608 29.318.694 44.900.242 3.997.628 5.485.483 9.331.720 6.150.063 4.843.221 6.134.650 10.164.345 21.895.259 25.110.396 978.005.786 1.314.275.740 1.877.634.124
Rata-rata Pertumbuhan per tahun (%) -0,38 5,31 5,01 3,42 5,50 5,20 5,00 5,25 4,85 3,95 4,38 4,13 4,67 5,09 6,43 5,45 5,34 5,27 5,60 4,12 5,89 7,52 6,36 5,84 1,00 6,97 4,41
Sumber: PDRB 1991 – 2007, BPS (diolah) Nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menyatakan jumlah output dari aktivitas ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang secara umum meningkat secara signifikan. Perkembangan nilai PDRB tidak dapat dipisahkan dari potensi faktor-faktor produksi yang digunakan pada tahun yang bersangkutan. PDRB masing-masing provinsi dari tahun 1991 sampai dengan 2007 berfluktuasi sesuai dengan kondisi politik dan ekonomi yang memengaruhinya (Gambar 8). Pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi karena masa krisis moneter yang berdampak di seluruh wilayah Indonesia walaupun dengan intensitas yang berbeda-beda. Secara nasional, pertumbuhan ekonomi turun hingga mencapai -11,25 persen, walaupun dampaknya tidak merata di seluruh Indonesia. Hanya dua provinsi yang tidak mengalami pertumbuhan yang negatif
62
pada tahun 1998 yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Papua. Selanjutnya pada tahun 1999, Provinsi Sulawesi Selatan tetap mengalami pertumbuhan yang positif sedangkan Papua negatif. 40,00
30,00
20,00
10,00
0,00 1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
-10,00
-20,00
-30,00 D.I. Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku
Papua
Gambar 8 Pertumbuhan ekonomi menurut provinsi tahun 1991-2007 Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita dapat didekati dengan PDRB per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejehteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah-wilayah di Indonesia. Nilai output yang digunakan dalam penghitungan kesejahteraan penduduk adalah PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB nominal). PDRB Indonesia atas dasar tahun berlaku 2007 secara keseluruhan adalah sebesar 3.957 trilyun rupiah, sedangkan jika dihitung tanpa minyak dan gas sebesar 3.541 trilyun rupiah. Tabel 7 menunjukkan bahwa output ekonomi terbesar di Indonesia dihasilkan di Provinsi Jawa Barat senilai 635,88 trilyun rupiah. Selanjutnya adalah Provinsi
63
Jawa Timur sebesar 534,92 trilyun rupiah, DKI Jakarta sebesar 566,45 trilyun rupiah dan Jawa Tengah sebesar 310,63 trilyun rupiah. Tabel 7 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
PDRB atas dasar harga berlaku di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 Provinsi
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua
PDRB ADHB (Juta Rupiah) 1991 1999 7.067.718 26.991.583 12.111.556 61.957.561 3.733.094 20.514.655 13.804.106 48.559.254 1.577.300 7.949.157 8.947.161 37.191.012 936.327 4.044.354 3.636.729 21.624.169 26.355.150 164.309.040 36.606.108 187.939.600 25.980.442 101.509.194 2.200.862 11.762.983 34.072.225 150.555.746 3.502.696 14.530.977 1.572.408 8.281.594 1.396.493 5.617.723 3.239.710 16.308.235 1.621.620 9.539.828 2.865.650 14.700.105 6.189.267 55.867.179 1.731.919 9.841.354 1.077.145 7.256.524 5.261.737 24.064.893 961.419 4.732.379 1.785.815 4.296.679 2.706.173 18.248.781
2007 73.868.152 181.819.737 59.799.045 261.828.832 32.076.677 127.840.724 12.739.623 61.821.846 566.449.345 635.882.365 310.629.668 32.833.688 534.919.333 42.336.424 32.168.900 19.136.982 42.478.601 27.920.072 39.446.405 212.096.644 28.210.139 21.743.606 75.464.710 17.811.373 8.858.841 65.735.614
Sumber: PDRB 1991 – 2007, BPS (diolah) Besaran pendapatan per kapita suatu daerah bergantung pada besaran PDRB dan jumlah penduduk. Secara nasional besarnya pendapatan per kapita pada tahun 2007 di Indonesia adalah 17,54 juta rupiah. Provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Riau. Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB per kapita yang tinggi karena sebagai ibukota DKI Jakarta merupakan pusat perekonomian di Indonesia. Sedangkan Provinsi Kalimantan Timur dan Riau merupakan provinsi penghasil migas terbesar di Indonesia. Provinsi yang mempunyai PDRB per kapita terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Peta tematik pada Gambar 9 memberikan gambaran penyebaran PDRB per kapita melalui referensi geografi.
64
N
KALTIM 65.984.672
32.996.373 RIAU
3.516.214 MALUKU
55.355.143 JAKARTA
3.799.630 NTT 1000
0
1000
LEGENDA:
2000 Kilometers
3516214 - 3799630 3799631 - 10744481 10744482 - 20441239 20441240 - 32996373 32996374 - 65984672
Gambar 9 Peta PDRB per kapita menurut provinsi tahun 2007 PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah. Sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian di daerah tersebut. PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor juga dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur perekonomian. Secara nasional, sektor industri manufaktur mempunyai kontribusi yang paling tinggi sejak tahun 1991, mengalahkan sektor pertanian yang sebelumnya mendominasi perekonomian Indonesia (lihat Gambar 10). Pada tahun tersebut, sektor industri menyumbang 20,95 persen terhadap total PDB, sedangkan sektor pertanian hanya 19,66 persen. Kontribusi sektor industri terus menunjukkan peningkatan hingga tahun 1997. Krisis moneter yang berlanjut pada krisis multidimensi membuat sektor industri terpuruk dan mengalami penurunan yang paling tajam dibandingkan dengan sektor lainnya. Peran sektor industri pun mengalami penurunan pada tahun 1998. Pada masa recovery, kontribusi sektor industri kembali meningkat hingga tahun 2002. Setelah tahun 2002 hingga 2007 kontribusi sektor industri mulai mengalami penurunan sedikit demi sedikit, walaupun kontribusinya masih paling besar dibandingkan sektor lainnya. Penurunan
kontribusi
sektor
industri
sejak
tahun
2002
hingga
2007
mengindikasikan adanya deindustrialisasi di Indonesia. Deindustrialisasi dapat diartikan sebagai menurunnya peran industri dalam perekonomian
secara
menyeluruh.
Menurunnya
peranan industri dalam
65
perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk industri, serta turunnya sektor industri dibandingkan sektor lain. Sementara itu, deindustrialisasi bagi suatu negara lebih merupakan masalah daripada sesuatu yang diharapkan (Kuncoro, 2007). 100% 90% 80% Kontribusi
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
2. Pertambangan dan penggalian
3. Industri pengolahan
4. Listrik, gas dan air bersih
5. Bangunan
6. Perdagangan, hotel dan restoran
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
9. Jasa-jasa
Gambar 10 Kontribusi sektor terhadap PDRB menurut provinsi tahun 2007 Provinsi-provinsi yang ada di Indonesia mempunyai pola distribusi sektor yang berbeda-beda. Hal ini berarti sebagian besar provinsi mempunyai spesialisasi yang berbeda-beda. Perbedaan ini lebih banyak disebabkaan karena perbedaan faktor endowment. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa pada tahun 2007 kontribusi dari setiap sektor terhadap PDRB untuk masing-masing provinsi bervariasi. Jika dilihat kontribusi setiap sektor pada provinsi-provinsi di luar Jawa, maka sektor pertanian dan sektor pertambangan mendominasi perekonomian. Provinsi dengan peranan sektor industri lebih besar dibandingkan sektor lainnya adalah Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Walaupun hanya tiga provinsi yang mempunyai sektor industri dominan, secara total sektor industri mempunyai peranan yang paling besar. Sementara itu, sektor keuangan dan jasajasa mempunyai kontribusi yang lebih besar hanya di Provinsi DKI Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 11.
66
Tabel 8 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB menurut Provinsi tahun 2007 Provinsi
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
1 27,35 22,56 24,67 17,65 26,08 18,36 40,27 38,12 0,10 11,91 19,92 15,05 16,72 19,41 22,94 40,27 26,92 33,81 22,45 5,63 22,36 43,20 31,99 38,42 36,10 12,59 15,27
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Total
2 21,53 1,36 3,44 36,73 18,96 24,30 3,24 3,54 0,47 2,00 1,00 0,75 2,11 0,66 36,00 1,37 1,40 6,92 21,79 41,62 4,01 3,90 7,87 4,84 2,23 60,41 9,83
3 10,99 25,04 12,01 24,20 11,94 22,95 4,01 13,45 15,97 44,97 32,33 13,63 28,75 8,99 3,54 1,70 18,17 8,31 11,73 34,80 7,62 7,17 12,79 7,97 7,81 4,54 25,91
Lapangan Usaha (Sektor) 4 5 6 0,24 7,60 12,30 1,02 5,59 19,25 1,37 5,50 17,34 0,26 3,70 9,43 0,90 4,59 14,88 0,55 6,10 12,53 0,48 3,10 20,00 0,65 4,98 14,01 1,06 11,20 20,36 3,10 3,01 19,04 1,10 5,83 20,06 1,28 10,35 19,29 1,92 3,36 28,81 2,00 4,43 28,98 0,35 5,72 11,58 0,44 7,06 15,92 0,58 8,69 22,83 0,67 5,40 18,47 0,50 6,47 14,58 0,30 2,69 6,54 0,82 15,41 14,62 0,70 6,53 11,98 0,99 4,55 15,58 0,94 6,98 15,34 0,72 1,60 24,97 0,22 5,28 5,41 1,38 5,56 18,46
7 7,86 9,00 15,07 2,32 7,31 4,03 8,90 8,24 9,32 6,40 5,91 10,11 5,55 12,33 7,62 6,22 6,77 9,50 8,90 3,71 10,44 6,62 7,84 8,23 9,01 4,61 6,73
8 1,92 6,41 4,96 2,59 4,18 3,30 4,53 5,93 28,65 3,00 3,48 9,71 4,62 7,34 4,04 3,97 4,93 5,16 4,28 2,04 6,35 4,78 6,07 5,08 4,35 1,57 7,86
9 10,20 9,77 15,64 3,12 11,16 7,88 15,48 11,07 12,87 6,57 10,37 19,84 8,15 15,86 8,20 23,05 9,71 11,76 9,28 2,67 18,36 15,12 12,33 12,19 13,21 5,36 9,00
Keterangan: (1) Pertanian, (2) Pertambangan & Penggalian, (3) Industri Pengolahan , (4) Listrik, Gas & Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel & Restoran, (7) Pengangkutan & Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, (9) Jasa-Jasa Sumber: PDRB 2007, BPS (diolah)
N
27,35 25,04 22,36
41,62 26,92
36,73 24,67
26,08
40,27
43,20
33,81
24,30
36,10 22,45
38,12
31,99
38,42
60,41
28,65
44,97 Sektor Dominan Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel Keuangan & Persewaan Jasa-Jasa
32,33 32,33
28,81 28,98 36,00
1000
0
40,27 1000
2000 Kilometers
Gambar 11 Peta struktur ekonomi menurut provinsi tahun 2007
67
4.2
Dinamika Disparitas Regional Adanya sejumlah provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang sangat
tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas di daerah tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia. Indeks Williamson dapat digunakan untuk melihat disparitas regional. Hasil perhitungan indeks Williamson di Indonesia pada kurun waktu 1991 sampai 2007 dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai indeks Williamson yang menunjukkan ketimpangan antar provinsi di Indonesia dari tahun 1991-2007 cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,6 sampai 0,8. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar provinsi di Indonesia terjadi ketimpangan pendapatan yang cukup besar. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar daerah.
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
Indeks Williamson
Gambar 12 Tingkat disparitas di Indonesia tahun 1991-2007 Pada tahun 1991-2007, indeks Williamson terbesar terjadi pada tahun 2001 dan 2005 yaitu 0,79. Akan tetapi peningkatan yang terbesar terjadi pada tahun 2001. Pada tahun tersebut mulai diberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah.
Dengan adanya otonomi daerah, setiap
kewenangan untuk mengatur
daerahnya
wilayah mempunyai
masing-masing.
Daerah
yang
mempunyai potensi yang besar dan kelembagaan yang solid akan lebih cepat berkembang dibandingkan daerah lainnya. Masing-masing daerah bersaing
68
untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan regional meningkat, hal ini disebabkan perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka mendorong prases pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Walaupun demikian tingkat ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun 2007 relatif konstan. Ketimpangan antar kabupaten dalam satu provinsi di Indonesia sangat bervariasi. Besarnya indeks Williamson di masing-masing provinsi mulai dari 0,21 sampai 3,13. Ketimpangan yang ekstrim terjadi di beberapa provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Riau, Papua, NTB, Kalimantan Timur, Jawa Timur dan Jawa Tengah yang ditunjukkan dengan nilai indeks Williamson lebih dari satu (Gambar 13). Dalam pengolahan indeks menurut provinsi ini digunakan data PDRB per kapita kabupaten/kota. Ketimpangan yang sangat tinggi di keenam provinsi tersebut disebakkan karena ada satu atau beberapa kabupaten yang mempunyai PDRB per kapita yang sangat tinggi. Tingginya PDRB per kapita tersebut dikarenakan adanya pertambangan migas dan non migas di provinsi tersebut, kecuali Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur kabupaten/kota yang mempunyai PDRB per kapita sangat tinggi yaitu Kota Kediri. Kota Kediri merupakan kota industri rokok terbesar di Indonesia. Sedangkan di Jawa Tengah kabupaten/kota yang mempunyai PDRB per kapita sangat tinggi yaitu Kabupaten Cilacap yang disebabkan oleh adanya industri pengolahan berbahan migas. Sedangkan provinsi dengan tingkat ketimpangan yang paling kecil yaitu
Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Kalimantan Tengah
mempunyai indeks ketimpangan hanya 0,21 sedangkan Jambi 0,28. Kecilnya indeks pada daerah tersebut dikarenakan tipikal dan potensi daerah yang hampir sama pada kabupaten/kota di provinsi tersebut. Untuk lebih jelasnya disajikan peta ketimpangan pada Gambar 13 dengan pengelompokan ketimpangan tinggi jika nilai indeks lebih dari satu, sedang jika nilai indeks antara 0,5-1 dan rendah jika nilainya kurang dari 0,5.
69
N
0,92 0,61 0,57
1,18
3,13 0,37 0,35
0,21
0,37 0,42
0,69
0,28 0,67
0,44
0,50 0,40
2,97
0,30 0,49 0,60
LEGENDA: Rendah Sedang Tinggi
1,05 0,39
1,15
0,39 0,48
1,13 1000
0
1000
2000 Kilometers
Gambar 13 Peta tingkat disparitas dalam provinsi tahun 2007 Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat perubahan tingkat ketimpangan di dalam provinsi dari tahun 1991 ke 2007. Secara umum ketimpangan antar kabupaten/kota di dalam provinsi mengalami peningkatan kecuali di beberapa provinsi yang mengalami penurunan yaitu DI Aceh, Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan Barat, sedangkan tingkat disparitas yang relatif tetap terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Yogyakarta dan Bali. Penurunan tingkat ketimpangan terbesar terjadi di Provinsi DI Aceh yaitu 1,79 pada tahun 1991 menjadi 0,92 pada tahun 2007. Di sisi lain, peningkatan tingkat ketimpangan yang sangat besar terjadi di Provinsi Riau, Papua dan Nusa Tenggara Barat. Peningkatan disparitas ini dipicu oleh adanya aktivitas sektor penambangan dan penggalian baik migas maupun non migas yang berada di salah satu kabupaten/kota di provinsi tersebut. 4.00 3.00 2.00 1.00
Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua
0.00
1991
2007
Gambar 14 Tingkat disparitas dalam provinsi tahun 1991 dan 2007
70
4.3
Dinamika Pembangunan Infrastruktur
4.3.1 Infrastruktur Jalan Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan ”penularan” pertumbuhan ekonomi ke daerah lainnya. Penuralan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi. Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, prasarana
jalan
yang
minim
dan
buruk
menjadi
hambatan
dalam
mengembangkan perekonomian. Sistem jalan yang tidak memadai dapat menghambat aktivitas ekonomi.
100.0
93.8 81.3
Persen (%)
80.0
40.0 20.0
60.9
55.2
60.0
6.2
10.77.5
0.0 0.0
19.622.2 0.4
3.0
17.719.0 2.5
0.0 Jalan Negara
Jalan Provinsi
Aspal
Kerikil
Jalan Kabupaten Tanah Lainnya
Total
Gambar 15 Panjang jalan menurut jenis permukaannya dan tingkat kewenangan di Indonesia tahun 2007 Pada tahun 2007, panjang jalan di Indonesia mencapai 421.535 kilometer. Berdasarkan tingkat kewenangan pembinaan, jalan kabupaten/
71
kotamadya masih merupakan bagian terbesar yaiatu 346.782 kilometer atau 82,27 persen dari total panjang jalan, sedangkan untuk jalan negara dan jalan provinsi masing-masing 34.628 dan 40.125 kilometer atau sebesar 8,21 persen dan 9,52 persen (Gambar 15). Berdasarkan
jenis
permukaannya,
jalan
di
Indonesia
dapat
diklasifikasikan menjadi jalan aspal, kerikil, tanah dan lainnya. Panjang jalan beraspal merupakan yang terpanjang dibandingkan jenis permukaan yang lain, yaitu mencapai 60,9 persen dari total panjang jalan. Sedangkan jalan dengan permukaan kerikil hanya mencapai 17,7 persen, lebih kecil daripada jalan dengan permukaan tanah yang mencapai 19 persen. Tabel 9 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di Indonesia tahun 2007 Baik dan Sedang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Provinsi D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Indonesia
Panjang (Km)
Persen-tase (%)
Rusak dan Rusak Berat Panjang (Km)
Persen-tase (%)
Jumlah (Km)
13.739 21.143 10.282 11.717 5.968 13.154 4.193 8.983 6.262 19.242 22.100 3.917 29.164 5.821 4.124 11.296 5.635 4.466 6.144 5.833 4.587 10.613 21.875 5.528 3.547 10.349
73,31 57,83 54,83 51,54 58,24 67,17 71,69 66,09 93,91 62,45 76,13 80,76 79,94 82,19 56,42 57,34 47,49 37,49 72,97 60,15 46,28 76,91 64,20 67,85 44,75 58,17
5.002 15.417 8.471 11.017 4.280 6.430 1.656 4.609 406 11.568 6.929 933 7.320 1.261 3.185 8.405 6.231 7.445 2.276 3.864 5.324 3.187 12.196 2.619 4.379 7.443
26,69 42,17 45,17 48,46 41,76 32,83 28,31 33,91 6,09 37,55 23,87 19,24 20,06 17,81 43,58 42,66 52,51 62,51 27,03 39,85 53,72 23,09 35,80 32,15 55,25 41,83
18.741 36.560 18.753 22.734 10.248 19.584 5.849 13.592 6.668 30.810 29.029 4.850 36.484 7.082 7.309 19.701 11.866 11.911 8.420 9.697 9.911 13.800 34.071 8.147 7.926 17.792
269.682
63,98
151.853
36,02
421.535
Sumber: Statistik Perhubungan 2008, BPS (diolah)
72
Jumlah jalan paling panjang di Indonesia berada di Provinsi Sumatera Utara, yang mencapai 36,6 ribu kilometer, disusul oleh Provinsi Jawa Timur (36,5 ribu kilometer) dan Sulawesi Selatan (34 ribu km). Sedangkan provinsi dengan panjang jalan paling rendah yaitu DI Yogyakata yaitu 4,8 ribu kilometer dan Bengkulu dengan panjang hanya 5,8 ribu kilometer. Apabila dilihat menurut kualitasnya, jalan di Indonesia masih kurang memadai karena masih banyak jalan yang rusak ringan dan rusak berat seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Panjang jalan yang mengalami kerusakan pada tahun 2007 yaitu sebesar 36,02 persen. Provinsi yang memiliki persentase jalan yang rusak tertinggi yaitu Kalimantan Tengah dan Maluku, masing-masing sebesar 62,5 dan 55,3 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena jalan yang rusak dan tidak berkualitas akan meningkatkan biaya sosial dalam kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
N
44,75%
37,49%
93,91% LEGENDA: 1740 Aksesibilitas Baik & sedang 457 Rusak & rusak berat Rasio jumlah kendaraan per km jalan 1000 19 - 31 32 - 98 99 - 151 152 - 457 458 - 1740
22 82,19% 19 0
1000
2000 Kilometers
Gambar 16 Panjang jalan, aksesibilitas, persentase baik sedang menurut provinsi tahun 2007 Berdasarkan aksesibilitas terhadap jalan yang ditunjukkan dengan nilai rasio panjang jalan per luas wilayah, maka provinsi dengan tingkat aksesibilitas tertinggi yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Tingkat aksesibilitas provinsiprovinsi di Pulau Jawa berada pada tingkat yang relatif tinggi dibandingkan di luar Jawa. Provinsi-provinsi di luar Jawa yang mempunyai tingkat aksesibilitas cukup tinggi yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan (Gambar 16). Selain tingkat aksesibilitas, kinerja jalan juga dapat diukur dengan tingkat mobilitas, tingkat mobilitas merupakan ukuran kemudahan dalam
73
berpindah yang berhubungan erat dengan kemacetan (degree of saturation). Tingkat mobilitas diukur dengan kondisi kepadatan jalan yaitu rasio jumlah kendaraan bermotor dibagi dengan panjang jalan. Semakin tinggi nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Kondisi macet terjadi jika nilai rasionya sebesar 1 kendaraan per meter atau 1000 kendaraan per kilometer. Berdasarkan hasil penghitungan rasio jumlah kendaraan per meter jalan pada tahun 2007, Provinsi DKI Jakarta sudah tergolong pada kategori macet dengan rasio kendaraan per meternya 1,74 sedangkan Provinsi yang menduduki peringkat kedua yaitu DI Yogyakarta dengan nilai rasio sebesar 0,46. Seluruh provinsi di Indonesia kecuali DKI Jakarta memiliki nilai rasio dibawah satu, rasio yang terkecil berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua. Walaupun
suatu
wilayah
memiliki
panjang
jalan
yang
lebih
dibandingkan daerah lainnya tetapi karena jumlah kendaraan bermotor yang terlalu banyak maka akan menghasilkan tingkat mobilitas yang rendah (nilai rasio tinggi). Hal ini disebabkan penambahan panjang jalan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan kendaraan bermotor, misalnya di DKI Jakarta dengan pertumbuhan panjang jalan rata-rata per tahun hanya 2 persen dan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor mencapai 11 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius karena adanya keterbatasan daya dukung suatu wilayah sehingga jika tingkat mobilitas terlalu rendah maka akan menimbulkan kemacetan dan dapat mengganggu kegiatan investasi sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. 4.3.2 Infrastruktur Listrik Listrik merupakan salah satu energi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi maupun konsumsi. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam jaringan PLN.
74
Pada tahun 2007, rasio elektrifikasi yang menunjukkan persentase rumah tangga yang dialiri listrik terhadap total rumah tangga hanya berkisar 60,78 persen. Menurut menteri ESDM pada saat itu, kondisi geografis Negara Indonesia yang menjadi salah satu kendala dalam mengejar target rasio elektrifikasi 100 persen. Guna mengejar target rasio elektrifikasi 100 persen, pemerintah menyusun berbagai program selain mempercepat pembangunan PLTU 10 ribu MW, PLN juga mencanangkan “Visi 75-100”. Visi tersebut mempunyai arti saat Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan ke-75, pada tahun 2020 mendatang, seluruh wilayah sudah teraliri listrik (Windyaningrum et al, 2007). Perkembangan rasio elektrifikasi dari tahun 1991 sampai 2007 cenderung mengalami peningkatan (lihat Gambar 17). Peningkatan yang cukup tajam terjadi sebelum masa krisis 1997. Pada masa krisis rasio elektrifikasi sempat mengalami penurunan dari 51,76 pada tahun 1997 menjadi 51,13 pada tahun 1998. Setelah krisis hingga tahun 2005 rasio elektrifikasi cenderung tetap, hanya mengalami peningkatan yang kecil yaitu dari 51,13 menjadi 54,06 persen. Kemudian pada tahun selanjutnya, tahun 2006, rasio elektrifikasi meningkat cukup tajam. 70.00
Persen (%)
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
0.00
Rasio Elektrifikasi
Gambar 17 Rasio elektrifikasi di Indonesia tahun 1991-2007 Total jumlah pelanggan PT PLN pada tahun 2007 sebesar 37,3 juta pelanggan. Persentase kelompok pelanggan terbesar yaitu rumah tangga (92 persen), sedangkan kelompok bisnis dan industri hanya sekitar 4,3 persen dan 0,1 persen. Jumlah pelanggan listrik dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari kelompok pelanggan rumah tangga, bisnis, industri, maupun lainnya. Hal tersebut
75
harus disertai dengan peningkatan jumlah pasokan listrik ke konsumen untuk menghindari krisis pasokan listrik. Krisis listrik yang terjadi akhir-akhir ini di sejumlah provinsi di luar Jawa lebih disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan konsumsi listrik yang tidak diimbangi dengan kapasitas daya terpasang. Hampir semua wilayah Indonesia masih mengalami krisis listrik. Dari 14 sistem pembangkitan listrik, hanya dua yang berstatus normal, yakni sistem Jawa-Bali dan Sumatera Bagian Selatan. Adapun sistem Bangka Belitung dalam status siaga, sisanya krisis (Windyaningrum et al, 2007).
Persen (%)
100.0
92.9
80.0 60.0
39.0 37.8
40.0 20.0
17.0 0.1 4.3 2.1 0.3 0.3
2.4 1.7 2.1
0.0 Pelanggan Rumah Tangga Bisnis GD. Kantor Pemerintahan
Energi Jual Industri Sosial Penerangan Jln Umum
Gambar 18 Pelanggan dan energi jual menurut kelompok pelanggan tahun 2007 Walaupun jumlah pelanggan kelompok rumah tangga mendominasi, tetapi dari sisi penggunaan energi jual untuk kelompok rumah tangga hampir sama dengan kelompok industri. Kelompok pelanggan industri dengan jumlah yang hanya 0,1 persen dari total pelanggan mengkonsumsi energi listrik sebesar 37,8 persen dari total energi jual. Demikian juga kelompok bisnis, dengan jumlah pelanggan 4,3 persen mengkonsumsi energi listrik sebesar 17 persen (Gambar 18). Hal ini berarti energi listrik lebih banyak digunakan untuk produksi daripada konsumsi. Berdasarkan Tabel 10 pengguna energi listrik terbesar yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hal ini disebabkan penggunaan listrik yang paling banyak dimanfaatkan untuk industri dan rumah tangga yang berada di provinsi-provinsi tersebut. Sedangkan provinsi yang terendah dalam menggunakan energi listrik yaitu Sulawesi Tenggara dan Bengkulu.
76
Tabel 10 Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 Energi yang Terjual (GWh) No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Indonesia
1991 192,00 1.573,00 299,23 325,77 130,83 549,53 61,15 251,49 8.823,00 6.654,00 2.769,06 353,94 5.677,00 475,75 97,44 66,81 248,00 82,68 356,53 363,79 192,92 77,08 545,50 46,50 99,00 107,00 30.419,00
1999 475,40 3.407,91 1.071,73 1.169,20 302,71 1.201,61 159,14 752,43 16.720,34 19.721,25 7.024,00 862,19 11.849,46 1.258,76 275,86 156,54 570,82 233,52 695,92 822,80 449,81 186,29 1.323,57 127,84 203,82 264,62 71.287,54
2007 997,36 5.163,44 1.776,37 2.970,32 645,59 2.301,01 310,10 1.634,58 27.938,95 32.337,05 12.023,49 1.481,57 19.467,44 2.375,02 571,06 314,41 946,55 429,86 1.108,52 1.603,25 796,41 365,41 2.494,42 274,38 388,22 532,05 121.246,83
Rata-rata Pertumbuhan per Tahun (%) 11,20 7,79 12,12 15,03 10,67 9,42 10,75 12,56 7,63 10,55 9,80 9,59 8,09 10,70 11,80 10,28 8,78 11,28 7,60 9,90 9,36 10,28 10,06 11,89 10,43 10,59 9,10
Sumber: Statistik Listrik PLN 1991 – 2007, BPS (diolah) Secara nasional, penjualan energi listrik terus meningkat dari tahun ke tahun walaupun dengan kecepatan yang tidak sama untuk setiap tahunnya. Selama kurun waktu 1991 – 2007, energi listrik PLN yang terjual telah naik sebesar 91 ribu GWh atau sebesar tiga kali lipatnya. Peningkatan penjualan energi listrik tertinggi terjadi pada tahun 1995 dengan pertumbuhan mencapai 15,68 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan yang terendah terjadi pada tahun 1998 yang pertumbuhannya hanya sebesar 1,47 persen. Penjualan energi listrik pada tahun 2007 mencapai 121,25 ribu GWh, meningkat sebesar 7,67 persen dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 112,61 ribu GWh. Pada tahun 2007, rasio elektrifikasi tertinggi yaitu di Provinsi DKI Jakarta dan DI Aceh yaitu 87,53 dan 79,16 persen. Sedangkan rasio elektrifikasi terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua, masing-masing sebesar 21,34 dan
77
27,38 persen (Gambar 19). Rasio yang kecil ini mempunyai arti di daerah tersebut masih banyak rumah tangga yang belum teraliri listrik. Hanya sekitar seperempat rumah tangga yang sudah menikmati listrik. NAD 79.16
N SUMUT 73.05
PAPUA 27.48
JAKARTA 87.53 BALI NTB 71.32 28.99
LEGENDA: Rasio Elektrifikasi (%) Energi Jual (Kwh) 1000 274 - 796 796 - 1776 1776 - 5163 5163 - 19467 19467 - 32337
0
21.34 NTT 1000
2000 Kilometers
Gambar 19 Peta energi listrik jual dan rasio elektrifikasi menurut provinsi tahun 2007 4.3.3 Infrastruktur Air Bersih Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan memengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho, 2003). Secara keseluruhan, kebijaksanaan sektor air bersih sejalan dengan pencapaian manfaat setinggi-tingginya dari pembangunan dan konservasi sumber daya air antara lain (UN dalam Nugroho, 2002): (1) meningkatkan pendapatan regional atau nasional, (2) meredistribusikan pendapatan di antara wilayah, (3) meredistribusikan pendapatan di antara berbagai kelompok masyarakat, (4)
78
memperbaiki keadaan kesehatan masyarakat, dan (5) memperbaiki kualitas lingkungan. Kerangka kebijakan air bersih di Indonesia secara teknis dan operasional diimplementasikan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). PDAM sebagai lembaga ekonomi satu-satunya penyelenggara dan penyedia air bersih di Indonesia. Implikasinya, kinerja PDAM menjadi ukuran penting dan menjadi harapan bagi keberhasilan kebijakan sektor air bersih. Pada tahun 2008, jumlah perusahaan air bersih tercatat sebanyak 489 perusahaan yang baru melayani sekitar 13,7 persen dari seluruh rumah tangga di Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih memperoleh air bersih melalui pompa, sumur, mata air atau membeli dari pedagang air.
90.3
Persen (%)
100.0
73.9
80.0 60.0 40.0 20.0
2.0
7.5
19.8 0.1
5.3
0.9
0.0 Sosial
Gambar 20
Pelanggan Non Niaga
Air Bersih yang Disalurkan Niaga dan Industri Khusus
Pelanggan dan air bersih yang disalurkan menurut kelompok pelanggan tahun 2007
Jumlah pelanggan air PDAM secara kontinu terus menunjukkan peningkatan yang signifikan sejalan dengan kesadaran masyarakat akan kebutuhan air bersih. Secara nasional pada tahun 1991 jumlah pelanggan mencapai 2,24 juta, sedangkan pada tahun 2007 mencapai 7,79 juta pelanggan. Berdasarkan kelompok pelanggan pada tahun 2007, kelompok non niaga (rumah tangga dan instansi) merupakan pelanggan PDAM terbesar yaitu sebesar 90,3 persen. Sedangkan pelanggan kelompok niaga dan industri hanya 7,5 persen. Distribusi yang sama juga terjadi pada volume air bersih yang disalurkan, kelompok pelanggan yang terbesar yaitu kelompok non niaga sebesar 73,9 persen, kemudian niaga dan industri sebesar 19,8 persen, sisanya kelompok lainnya (Gambar 20).
79
Tabel 11 Air bersih yang disalurkan di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Indonesia
1991 11.419 74.489 20.121 12.886 8.045 35.189 3.929 6.623 137.652 98.373 84.033 9.778 152.120 23.626 7.794 9.236 12.513 3.134 13.150 20.610 23.142 5.108 23.261 4.653 4.807 7.195
1999 17.769 139.360 44.214 38.898 23.384 70.317 11.216 23.935 197.126 322.666 196.429 26.473 346.387 68.943 20.886 15.709 33.978 11.146 27.971 53.022 25.272 9.236 45.920 8.623 10.784 18.681
2007 8.782 173.508 24.751 63.054 20.854 57.968 5.696 17.388 641.088 216.653 172.676 19.395 346.423 94.086 28.056 16.923 30.713 17.077 47.462 73.772 15.086 13.519 60.890 5.932 8.278 14.490
Rata-rata Pertumbuhan per Tahun (%) 1,27 6,24 2,37 13,64 7,08 8,79 5,56 10,17 19,64 6,43 5,64 6,05 8,11 10,51 10,42 7,36 8,75 12,31 8,77 10,71 -0,99 8,23 11,72 6,61 7,82 15,90
812.886
1.808.345
2.194.520
7,53
Air Bersih yang Disalurkan (m3)
Sumber: Statistik Air Bersih 1991 - 2007, BPS (diolah) Secara nasional, jumlah air bersih yang disalurkan selama tahun 1991 sampai 2007 berfluktuasi, dengan penurunan jumlah yang disalurkan pada tahun 2000, 2004 dan 2007. Keterbatasan PDAM memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih dapat dilihat dari segi pemerataannya. Berdasarkan Tabel 11, DKI Jakarta merupakan pengguna air bersih PDAM terbesar yaitu sebesar 641.088 m3 (29,21 persen), disusul Jawa Timur sebesar 346.423 m3 (15,79 persen) dan Jawa Barat sebesar 216.653 m3 (9,87 persen). Hal ini menunjukkan bahwa prasarana air bersih yang disediakan oleh PDAM masih didominasi oleh masyarakat di Pulau Jawa dalam hal pemanfaatannya. Provinsi yang paling sedikit mendistribusikan air bersih melalui PDAM adalah Bengkulu, Sulawesi Tenggara dan Maluku
80
dengan volume masing-masing tidak lebih dari 0,40 persen dari total nasional. Apabila dilihat rasio jumlah pelanggan per jumlah rumah tangga menurut provinsi, maka Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi yaitu 67,24 persen, sedangkan peringkat kedua yaitu Bali hanya memiliki rasio hampir setengah dari DKI Jakarta yaitu 37,27 persen. Rasio terendah terdapat di Provinsi Lampung dan DI Aceh, masing-masing sebesar 3,78 dan 6,24 persen (Gambar 21).
6.24
N
19.62
35.10
10.14
8.09 10.44
14.32 9.36
22.54 14.05
13.14
7.71
11.02
14.52
21.10
10.68 8.31
67.24 13.32
11.15
6.32
LEGENDA:
8.66
8.14
Rasio Pelanggan per Jumlah RT Air Bersih yang Disalurkan 1000 5696 - 15086 15087 - 30713 30714 - 94086 94087 - 346423 346424 - 641088
8.43
37.27 0
1000
2000 Kilometers
Gambar 21 Peta air bersih yang disalurkan dan rasio pelanggan per jumlah RT menurut provinsi tahun 2007 4.3.4 Penghitungan Indeks Infrastruktur Penghitungan indeks infrastruktur dalam penelitian ini bertujuan mendapatkan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau membandingkan pembangunan
infrastruktur
antar
provinsi.
Komponen
infrastruktur yang dilibatkan dalam penghitungan indeks dibatasi sesuai dengan infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini (infrastruktur jalan, listrik dan air bersih). Untuk masing-masing infrastruktur digunakan beberapa nilai penghitungan, yaitu yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas. Penghitungan
indeks
infrastruktur
jalan
melibatkan
variabel
aksesibilitas, mobilitas dan persentase kondisi baik dan sedang. Variabel aksesibilitas dan mobilitas digunakan untuk mendekati sisi kuantitas. Semakin besar aksesibilitas semakin besar kemudahan dalam mengakses jalan, demikian juga untuk tingkat mobilitas. Di sisi lain, variabel persentase baik dan sedang digunakan untuk mengukur kualitas dari infrastruktur jalan.
81
Indeks infrastruktur listrik menggunakan variabel rasio elektrifikasi sebagai pendekatan kuantitas dan rata-rata energi jual per pelanggan sebagai pendekatan kualitas. Rasio elektrifikasi menunjukkan jumlah rumah tangga yang telah dialiri listrik, semakin besar rasio maka semakin besar pula pasokan listrik di daerah tersebut. Sedangkan rata-rata energi jual per pelanggan menunjukkan besarnya listrik yang diterima oleh setiap pelanggan, semakin besar ukuran ini maka semakin baik pula kinerja perusahaan listrik di daerah tersebut. Sebagai contoh, daerah yang sering mengalami pemadaman listrik akan mempunyai ratarata energi jual per pelanggan yang lebih kecil daripada daerah yang tidak pernah atau jarang mengalami pemadaman. Infrastruktur yang terakhir yaitu air bersih. Variabel yang digunakan untuk menilai infrastruktur air bersih yaitu rasio jumlah pelanggan terhadap total rumah tangga dan rata-rata air bersih yang disalurkan per pelangggan. Konsep yang digunakan dalam infrastruktur air bersih sama dengan infrastruktur listrik. Rasio jumlah pelanggan per total rumah tangga menggambarkan kuantitas sedangkan rata-rata air bersih yang disalurkan menggambarkan kualitas dari infrastruktur tersebut. Penghitungan indeks infrastruktur dilakukan dengan 3 tahap. Tahap pertama yaitu menstandarisasi setiap variabel dengan menggunakan z-score. Proses ini bertujuan menghilangkan perbedaan yang disebabkan penggunaan satuan. Tahap kedua yaitu menghitung indikator variabel komposit untuk masingmasing jenis infrastruktur (jalan, listrik, air bersih). Tahap ketiga yaitu menghitung indeks infrastruktur untuk setiap provinsi dengan menghitung ratarata dari ketiga infrastruktur tersebut. Langkah-langkah penghitungan indeks infrastruktur: 1.
Standarisasi setiap variabel dengan menggunakan z-score dengan rumus sebagai berikut: =
.....(60)
Dimana z adalah hasil normalisasi, x adalah nilai dari variabel yang akan dinormalisasikan, x adalah rata-rata dari variabel x dari semua provinsi, dan σ adalah standar deviasi dari variabel yang akan dinormalisasikan.
82
2.
Menghitung indikator variabel komposit untuk masing-masing jenis infrastruktur, dengan rumus: =
∑
((
( ))⁄(
( )
( ))∗
%)
.....(61)
Dimana k adalah indikator variabel komposit untuk setiap infrastruktur, n adalah jumlah komponen untuk setiap infrastruktur (n=2). 3.
Menghitung indeks infrastruktur untuk setiap provinsi: =
∑
.....(62)
Dimana i adalah indeks infrastruktur dan m adalah jumlah infrastruktur yang dilibatkan (m=3).
Papua
Maluku
Sulsel
Sultra
Sulut
Sulteng
Kalsel
Kaltim
Kalteng
NTT
Kalbar
Bali
NTB
DIY
1991
Jatim
Jabar
Jateng
Jakarta
Lampung
Bengkulu
Jambi
Sumsel
Riau
Sumbar
Aceh
Sumut
Persen (%)
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
2007
Gambar 22 Indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 1991 dan 2007 Peringkat indeks infrastruktur sangat ditentukan oleh kinerja tiap indikator yang digunakan. Indikator yang digunakan hanya dibatasi tiga jenis infrastruktur dengan masing-masing mengikutsertakan komponen penghitungan kuantitas dan kualitas. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penghitungan indeks infrastruktur (Gambar 22) dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2007 provinsi yang masuk dalam empat peringkat teratas yaitu: DKI Jakarta, Bali, Jawa Timur dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi yang mempunyai indeks infrastruktur peringkat empat terendah yaitu: NTT, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Selama kurun waktu 1991 hingga 2007 provinsi yang mengalami penurunan secara drastis peringkat indeks infrastruktur yaitu Sulawesi Utara. Pada tahun 1991 Provinsi Sulawesi Utara menduduki peringkat ke-4 sedangkan pada
83
tahun 2007 pada peringkat ke-21. Penurunan ini disebabkan penurunan kinerja infrastruktur air bersih (PDAM), selama kurun waktu 1991 hingga 2007 jumlah air bersih yang disalurkan turun sebesar 34 persen. Sedangkan provinsi yang mengalami peningkatan peringkat indeks infrastruktur cukup tinggi yaitu Provinsi Lampung. Pada tahun 2007 Provinsi Lampung menduduki peringkat 16, sebelumnya (tahun 1991) provinsi ini berada pada urutan ke-25 (lihat Lampiran 1). Kenaikan peringkat ini disebabkan karena kinerja ketiga jenis infrastruktur terutama listrik dan air bersih meningkat secara signifikan. Tabel 12 Indeks infrastruktur menurut jenis infrastruktur dan provinsi tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Provinsi D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Rata-rata Indonesia
Indeks Infrastruktur (%) Jalan 59,27 53,15 50,45 44,97 48,35 53,22 57,81 56,19 66,67 59,00 70,51 84,53 70,68 79,88 50,49 51,22 39,88 33,93 57,27 46,80 44,52 59,69 57,52 54,19 38,60 45,55 55,17
Listrik 43,68 46,41 40,11 35,07 21,36 27,15 23,20 22,74 100,00 52,36 39,32 39,86 42,35 52,48 8,63 1,19 25,76 20,07 36,06 43,67 27,73 18,92 33,69 15,45 24,78 13,63 32,91
Air Bersih 5,53 36,31 16,99 53,39 16,86 21,70 6,72 17,85 89,68 21,36 11,54 17,70 30,59 48,04 26,14 15,42 22,43 24,06 30,63 46,94 12,68 21,78 20,21 5,43 16,41 22,47 25,34
Rata-rata (%) 36,16 45,29 35,85 44,48 28,86 34,03 29,24 32,26 85,45 44,24 40,46 47,36 47,87 60,14 28,42 22,61 29,36 26,02 41,32 45,80 28,31 33,47 37,14 25,02 26,60 27,22 37,81
Jika diamati untuk masing-masing infrastruktur maka infrastruktur listrik mempunyai jangkauan nilai yang paling besar, hal ini dapat diartikan bahwa kondisi infrastruktur listrik setiap provinsi di Indonesia sangat beragam. Nilai yang terkecil berada di Provinsi NTT yaitu 22,61 persen (Tabel 12). Kecilnya indeks infrastruktur listrik ini mengindikasikan sangat kurangnya listrik di daerah
84
tersebut, baik secara kuantitas maupun kualitas. Indeks infrastruktur listrik yang terbesar berada di DKI Jakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwa DKI Jakarta sebagai ibukota negara mempunyai infrastruktur listrik yang paling memadai baik kuantitas maupun kualitas. Komponen infrastruktur yang mempunyai jangkauan nilai paling kecil yaitu jalan, hanya berkisar antara 33,93 persen sampai 84,53 persen. Nilai terkecil dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Tengah sedangkan nilai tertinggi dimiliki Provinsi DI Yogyakarta. Provinsi Kalimantan Tengah menduduki peringkat yang paling rendah dikarenakan nilai aksesibilitas terhadap jalan yang rendah dan kualitas jalan yang masih sangat kurang, hal ini disebabkan faktor kondisi geografis Kalimantan Tengah. Komponen infrastruktur air bersih memiliki jangkauan antara 5,43 persen sampai 89,68 persen. Nilai terkecil dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecilnya nilai ini disebabkan rata-rata banyaknya air yang disalurkan per pelanggan di provinsi tersebut sangat kecil (lebih disebabkan sisi kualitas). Sedangkan provinsi dengan peringkat terbaik dari sisi infrastruktur air bersih yaitu DKI Jakarta. Sebaran indeks infrastruktur tahun 1991 dan 2007 secara spasial dapat dilihat pada Gambar 23. Provinsi yang mempunyai indeks infrastruktur tinggi jika nilainya lebih besar dari 40 persen. Provinsi dengan indeks sedang jika nilainya antara 30-40 persen, dan rendah jika nilainya kurang dari 30 persen. 36.16
N
45.29 28.31
35.85
45.80
29.36
44.48 28.86
33.47 26.02
34.03
37.14
29.24
41.32 32.26
85.45
27.22
26.60
40.46
44.24
Indeks Infrastruktur 1991 Rendah Sedang Tinggi Indeks Infrastruktur 2007 Rendah Sedang Tinggi
25.02
47.87 47.36 1000
60.14
28.42 0
22.61 1000
2000 Kilometers
Gambar 23 Peta indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 2007
85
4.4
Aglomerasi Industri Manufaktur Struktur perekonomian suatu negara dapat digunakan sebagai salah satu
indikator
dalam
menilai
kinerja
pembangunan
ekonominya.
Struktur
perekonomian yang relatif maju ditandai oleh semakin dominannya peran sektor modern dalam perekonomian negara tersebut. Sektor ini berangsur-angsur menggantikan peran sektor tradisional (pertanian) dalam penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan daerah. Teori perubahan struktural menyatakan bahwa mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh (Todaro dan Smith, 2006). Peran sektor industri manufaktur terhadap perekonomian di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade telah mengalahkan peran sektor pertanian. Sejak tahun 1981, peran sektor industri pengolahan mengalami perkembangan yang relatif baik. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia dari 10,78 persen menjadi 20,96 persen pada tahun 1991 dan melampaui sektor pertanian yang hanya 19,66 persen pada tahun yang sama (Gambar 24). 70.00
Persen (%)
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 1960 1962 1964 1966 1968 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
0.00
Pertanian
Pertambangan dan penggalian
Industri manufaktur
Gambar 24 Kontribusi sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun 1960-2007 Jumlah industri menufaktur berskala besar dan sedang cenderung terus meningkat dalam kurun waktu 1991 hingga 2007. Jumlah perusahaan pada
86
industri manufaktur secara keseluruhan sempat mengalami penurunan akibat krisis 1997/1998. Sejalan dengan hal tersebut, jumlah tenaga kerja di industri manufaktur besar sedang juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan menurunnya
kinerja
sektor
industri
yang
mengakibatkan
pengurangan/
pemberhentian karyawan dan tutupnya beberapa perusahaan. Krisis yang mengakibatkan turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak membuat ekspor produk industri manufaktur Indonesia meningkat. Turunnya nilai tukar rupiah seharusnya dapat meningkatkan keunggulan komparatif, karena harga yang lebih kompetitif di pasar dunia. Kenyataan ini disebabkan subsektor industri manufaktur yang masih menggunakan bahan baku impor, sementara pemasaran hasilnya sebagian besar di dalam negeri. Sebagai contoh, industri tekstil, kertas, kimia, elektronika dan industri otomotif, sebagian besar bahan bakunya berasal dari impor (BPS, 1997). Dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, peran sektor industri manufaktur dalam menyerap tenaga kerja nasional memang masih relatif rendah yaitu hanya 12,4 persen pada tahun 2007. Distribusi penyerapan tenaga kerja masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (43,6 persen) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (20 persen) pada tahun yang sama. Sementara itu pangsa tenaga kerja industri manufaktur besar sedang hanya berkisar 38,24 persen dari total tenaga kerja industri manufaktur. 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000
Tenaga Kerja
2007
2006
2005
2003 2004
2002
2001
1999 2000
1998
1997
1995 1996
1994
1993
1991 1992
0
Perusahaan
Gambar 25 Jumlah perusahaan dan tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) tahun 2007 Jumlah tenaga kerja industri manufaktur besar sedang dari tahun 1991 hingga tahun 1996 mengalami peningkatan yang cukup berarti. Semenjak krisis
87
tahun 1997 hingga tahun 2005 pangsa tenaga kerja industri manufaktur besar sedang cenderung stagnan, dan bahkan cenderung berada dalam tren yang menurun. Peningkatan jumlah tenaga kerja kembali terjadi pada tahun 2006 yang mencapai jumlah tertinggi selama dua dekade yaitu 4,76 juta pekerja (Gambar 25). Apabila dilihat menurut wilayah, jumlah tenaga kerja sektor industri manufaktur besar sedang terkonsentrasi di Pulau Jawa yaitu 81,8 persen dari total seluruh tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2007. Berdasarkan Tabel 13, provinsi dengan jumlah tenaga kerja terbanyak pada tahun yang sama yaitu Jawa Barat (1,7 juta) dan Jawa Timur (918 ribu).
Sedangkan provinsi yang
menyumbang jumlah tenaga kerja industri manufaktur terendah yaitu Sulawesi Tengah (tiga ribu) dan Nusa Tenggara Timur (3,6 ribu). Tabel 13 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Provinsi D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Indonesia
Jumlah Tenaga Kerja 1991 16.365 155.052 14.946 51.948 20.323 45.729 5.055 30.912 370.826 982.412 409.729 27.576 629.038 26.765 5.092 1.536 35.359 14.936 36.878 48.366 8.525 6.084 26.650 1.804 17.399 3.957 2.993.262
1999 14.171 167.557 17.144 170.068 33.035 48.416 2.141 44.288 383.909 1.585.690 569.780 37.025 856.727 32.652 6.557 1.913 43.752 12.119 48.075 54.997 17.627 4.573 37.364 7.802 19.340 18.261 4.234.983
Sumber: Industri Besar Sedang 1991 - 2007, BPS (diolah)
2007 11.146 151.684 18.695 210.600 27.753 52.215 7.528 72.531 378.668 1.718.057 713.777 54.453 918.114 33.822 8.640 3.640 48.390 18.850 31.447 43.735 15.420 3.090 57.993 7.756 6.518 10.415 4.624.937
Rata-rata Pertumbuhan per Tahun (%) -0,86 0,03 2,13 9,89 2,80 1,20 14,07 7,47 0,31 3,76 3,64 4,61 2,58 2,10 5,52 6,70 5,66 3,01 -0,33 -0,38 4,55 1,63 5,51 12,97 3,14 10,71 2,87
88
Secara nasional rata-rata pertumbuhan per tahun tenaga kerja industri besar sedang dari tahun 1991 sampai 2007 yaitu sebesar 2,87 persen. Rata-rata pertumbuhan tertinggi berada di Provinsi Bengkulu dan Sulawesi Tenggara. Pertumbuhan yang tinggi di kedua provinsi tersebut tidak diimbangi dengan meningkatnya kontribusi sumbangannya terhadap jumlah tenaga kerja secara total, hal ini dikarenakan kedua provinsi tersebut mempunyai jumlah tenaga kerja yang rendah, tepatnya peringkat tiga dan empat terendah. Di sisi lain, provinsi tersebut mengalami penurunan jumlah tenaga kerja, yang diindikasikan dengan rata-rata pertumbuhan yang negatif yaitu DI Aceh, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Dalam penelitian ini, untuk dapat mengidentifikasi pola konsentrasi industri manufaktur secara spasial digunakan dua ukuran yaitu: Location Quotient (LQ) jumlah tenaga kerja dan besarnya nilai tambah. Besarnya LQ di suatu daerah menunjukkan terjadinya spesialisasi industri manufaktur di daerah tersebut. LQ merupakan ukuran untuk menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi di suatu daerah dibanding industri yang sama di Indonesia (Kuncoro, 2002). Sedangkan besarnya nilai tambah digunakan sebagai indikator skala industri manufaktur di daerah tersebut. Kedua kriteria tersebut kemudian diterapkan bersama-sama untuk menentukan wilayah aglomerasi industri manufaktur. Langkah-langkah yang ditempuh yaitu sebagai berikut: Pertama, menghitung dua kriteria tersebut di masing-masing provinsi di Indonesia untuk tahun 2007, berdasarkan hasil yang diperoleh kemudian digambarkan menggunakan peta tematik. Kedua, setelah teridentifikasi provinsi lokasi konsentrasi kemudian dilakukan analisis spasial dengan menggunakan peta kabupaten/kota se-Indonesia untuk tahun 1991, 1995, 1999, 2003 dan 2007 untuk melihat penyebarannya menurut kabupaten/ kota. Dengan menggunakan analisis spasial terlihat bahwa Indonesia memiliki empat lokasi aglomerasi industri manufaktur yang cukup dominan. Berdasarkan besarnya nilai LQ (LQ > 1) dan besarnya nilai tambah maka dapat diidentifikasi bahwa aglomerasi industri manufaktur terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Riau. Sedangkan provinsi yang mempunyai LQ dan nilai tambah terkecil yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (lihat Gambar 26).
89
N
1,95
386 juta
2,26 98.874 juta 1,98
193.552 juta LEGENDA: Nilai Tambah IBS
LQ Tenaga Kerja Industri 0 - 0,5 0,5 - 1 1 - 2,5
120.139 juta 1,08 1000
108 juta
153,5 juta
0
1000
2000 Kilometers
Gambar 26 Peta konsentrasi tenaga kerja IBS dan nilai tambah IBS tahun 2007 Pada tahap yang kedua, untuk memperjelas gambaran aglomerasi yang terjadi di Indonesia maka akan ditampilkan peta jumlah tenaga kerja yang dibagi menurut kabupaten/kota untuk tahun 1991, 1995, 1999, 2003 dan 2007 (Gambar 27). Berdasarkan hasil yang diperoleh, perbandingan antar daerah di Jawa dan di luar Jawa jelas terlihat adanya ketimpangan distribusi aktivitas industri. Setiap daerah di Jawa mempunyai andil terhadap total tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain di luar Jawa. Dari hasil identifikasi terdapat tiga lokasi aglomerasi industri manufaktur. Lokasi yang pertama yaitu di ujung barat Pulau Jawa tepatnya di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, lokasi kedua yaitu di Provinsi Jawa Timur, dan lokasi ketiga berada di Pulau Sumatera yaitu di Provinsi Riau. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara dengan LQ dan nilai tambah yang cukup tinggi dimungkinkan untuk menjadi daerah konsentrasi industri di tahun-tahun mendatang. Di ujung barat Pulau Jawa (DKI Jakarta dan Jawa Barat) merupakan pusat aglomerasi industri terbesar di Indonesia, jumlah tenaga kerja yang diserap pada tahun 2007 mencapai 2,1 juta atau 45,33 persen dari total nasional dengan nilai tambah mencapai 48,87 persen. Sedangkan untuk lokasi konsentrasi industri kedua, Jawa Timur, tenaga kerja yang diserap mencapai 918 ribu atau 19,77 persen dan nilai tambah mencapai 20,1 persen. Di lokasi ketiga, Provinsi Riau, tenaga kerja yang berhasil diserap mencapai 210,6 ribu atau 4,6 persen dan nilai tambah mencapai 6,7 persen.
90
Tahun 1991 N
1991
Tahun 1995
1995
Tahun 1999
1999
Tahun 2003
2003
Tahun 2007
2007
Tenaga Kerja IBS Manufaktur 0 - 5.000 5.000 - 15.000 15.000 - 30.000 30.000 - 50.000 50.000 - 80.000 80.000 - 150.000 150.000 - 410.000
1000
0 Batas Provinsi
1000
2000 Kilometers
Batas Kabupaten/Kota
Gambar 27 Persebaran tenaga kerja IBS menurut kabupaten/kota tahun 1991-2007
91
4.5
Perbandingan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia Berdasarkan letak geografisnya provinsi-provinsi di Indonesia dapat
dikelompokkan dalam Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia. KBI terdiri dari provinsi-provinsi yang berada di tiga pulau yaitu: Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Bali. Sedangkan yang termasuk dalam KTI yaitu provinsi-provinsi yang berada di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Pengelompokan provinsi-provinsi berdasarkan kawasan dapat dilihat pada Gambar 28. 1
N
2 4
21
20 17
3
5 7
18 6
26
24 9 11
10
13 12 1000
Keterangan: Kawasan Barat Indonesia (KBI): 1 2 3 4
25 23
19 8
LEGENDA: KBI KTI
22
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5 Jambi 6 Sumatera Selatan (termasuk Bangka Belitung) 7 Bengkulu 8 Lampung 9 DKI Jakarta 10 Jawa Barat (termasuk Banten) 11 Jawa Tengah 12 DI Yogyakarta 13 Jawa Timur 14 Bali
14
15 16 0
1000
2000 Kilometers
Kawasan Timur Indonesia (KTI): 15 Nusa Tenggara Timur 16 Nusa Tenggara Barat 17 Kalimantan Barat 18 Kalimantan Tengah 19 Kalimantan Selatan 20 Kalimantan Timur 21 Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22 Sulawesi Tengah 23 Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24 Sulawesi Tenggara 25 Maluku (termasuk Maluku Utara) 26 Papua (termasuk Papua Barat)
Gambar 28 Peta wilayah Indonesia menurut kawasan (KBI dan KTI) KBI dengan 14 provinsi mempunyai luas wilayah sebesar 616.011,62 km2 atau 32,24 persen dari seluruh luas wilayah Negara Indonesia. Hal ini berbeda dengan KTI yang hanya terdiri dari 12 provinsi mempunyai luas wilayah 67,76
92
persen dari total nasional yaitu sebesar 1.294.919,70 km2. Jika dilihat berdasarkan jumlah penduduk, KBI mempunyai jumlah penduduk sebesar 183,00 juta jiwa pada tahun 2007. Secara nasional jumlah penduduk pada tahun yang sama yaitu 225,64 juta jiwa. KBI dengan luas wilayah yang hanya 32,24 persen dari luas nasional, mempunyai jumlah penduduk 81,10 persen dari jumlah penduduk nasional. Hal ini sangat timpang ketika dibandingkan dengan KTI. KTI dengan luas wilayah 67,76 persen hanya dihuni 18,90 persen dari total penduduk (lihat Tabel 14). Tabel 14 Jumlah penduduk, luas area dan kepadatan di Indonesia menurut kawasan tahun 2007 Wilayah
Jumlah Penduduk (000) jiwa
Persentase
Luas Area 2
Km
Persentase
Kepadatan
KBI
183.002,60
81,10
616.011,62
32,24
297,08
KTI
42.639,40
18,90
1.294.919,70
67,76
32,93
225.642,00
100,00
1.910.931,32
100,00
118,08
Indonesia
Sumber: BPS, 2008 (diolah) Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Selama ini sebagian besar penduduk masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan penyebaran penduduk yang tidak merata juga terjadi antara KBI dan KTI. Secara keseluruhan KBI mempunyai kepadatan penduduk yang jauh jika dibandingkan dengan KTI yaitu 297 jiwa/km2 pada tahun 2007, sedangkan KTI hanya 33 jiwa/km2. Gambaran ketimpangan tersebut selain menunjukkan tidak meratanya penyebaran penduduk juga menunjukkan daya dukung lingkungan yang kurang seimbang di antara provinsi-provinsi di KBI dan KTI. Penyebaran penduduk yang tidak merata antara KBI dan KTI memberikan dampak pada kondisi perekonomian di kedua wilayah tersebut. Pada tahun 2007, KBI menyumbang 83,55 persen terhadap pendapatan nasional. Hal ini sangat jauh jika dibandingkan dengan KTI yang hanya menyumbang 16,45 persen. Sumbangan sektoral dalam PDRB digunakan sebagai salah satu ukuran dalam melihat struktur perekonomian suatu wilayah. Di wilayah KBI sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan mempunyai nilai yang paling
93
tinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 27,43 persen. Sektor kedua yang memberikan sumbangan terbesar adalah perdagangan hotel dan restoran yaitu sebesar 19,85 persen. Jika dibandingkan dengan KTI perbedaannya terletak pada urutan sektor yang memberikan sumbangan terbesar, di KTI tiga sektor yang memberikan sumbangan terbesar berturut-turut yaitu sektor pertambangan dan penggalian, pertanian, dan industri pengolahan (Gambar 29).
Struktur Ekonomi KBI Keuangan 9% Pengangkutan 7%
Jasa-Jasa 9%
Pertanian 14%
Struktur Ekonomi KTI
Pertambangan Pengangkutan 6% 6%
Keuangan 4%
Jasa-Jasa 8% Pertanian 19%
Perdagangan 12% Perdagangan 20% LGA 2% Bangunan 6%
Pertambangan 27%
Industri 27%
Bangunan 5% LGA 1%
Industri 18%
Gambar 29 Struktur ekonomi KBI dan KTI menurut lapangan usaha tahun 2007 Sektor pertambangan dan penggalian yang merupakan sektor dominan di KTI berimplikasi pada adanya sejumlah provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi. PDRB per kapita yang tinggi disebabkan oleh keberadaan aktivitas pertambangan dan penggalian baik migas maupun non migas di daerah tersebut. Hal ini menyebabkan tingkat ketimpangan antar provinsi di KTI relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat ketimpangan antar provinsi di KBI. Untuk melihat ketimpangan antar provinsi dapat digunakan indeks Williamson. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson di KBI dan KTI dapat dilihat pada Gambar 30. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa disparitas antar provinsi di KBI dari tahun 1991-2007 cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,50-0,71. Jika dibandingkan dengan KTI, maka KTI mempunyai tingkat ketimpangan yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 0,85-1,14. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa antar provinsi di KTI terjadi ketimpangan pendapatan yang besar.
94
Hal ini tidak terlepas dari perbedaan faktor endowment di tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian daerah.
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
KBI
KTI
Gambar 30 Tingkat ketimpangan antar provinsi di KBI dan KTI tahun 1991-2007 Selanjutnya akan digambarkan kondisi infrastruktur di KBI dan KTI yang terdiri dari infrastruktur jalan, listrik, dan jaringan air bersih. Infrastruktur yang pertama yaitu jalan. Jalan merupakan prasarana pengangkutan darat yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Panjang jalan di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2007 mencapai 421,53 ribu kilometer, dengan pembagian 260,98 ribu km atau 61,91 persen di KBI dan 160,55 ribu km atau 38,09 persen di KTI. Panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang di KBI sebesar 67,32 persen, sedangkan yang rusak dan rusak berat sebesar 32,68 persen dari total panjang jalan di KBI. Lain halnya di KTI, dengan kondisi jalan yang relatif lebih rendah kualitasnya jika dibanding dengan KBI. Di KTI panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang sebesar 58,55 persen sisanya sebesar 41,45 persen dalam kondisi rusak dan rusak berat (lihat Gambar 31).
km
95
450,000 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 0 Baik dan Sedang
Rusak dan Rusak Berat
Total
KBI
175,685
85,299
260,984
KTI
93,997
66,554
160,551
Indonesia
269,682
151,853
421,535
Gambar 31 Panjang jalan menurut kondisi dan kawasan di Indonesia tahun 2007 Infrastruktur kedua yaitu listrik. Pada tahun 2007 total daya listrik jual di seluruh provinsi di KBI sebesar 111,42 ribu GWh atau 91,90 persen dari total nasional, sedangkan provinsi yang ada di KTI hanya mengkonsumsi 8,10 persen atau sebesar 9,82 ribu GWh. Pada tahun yang sama, jumlah pelanggan listrik PT. PLN untuk wilayah KBI sejumlah 32,22 juta. Besaran ini merupakan 86,31 persen dari jumlah total pelanggan secara nasional. Sedangkan jumlah pelanggan untuk wilayah KTI hanya 13,69 persen atau sebesar 5,11 juta. Urutan kelompok pelanggan dengan jumlah pelanggan terbesar baik di KBI maupun KTI yaitu: rumah tangga, bisnis, lainnya dan industri. Lainnya yang dimaksud yaitu: sosial, gedung perkantoran, dan penerangan jalan umum. Jumlah pelanggan pada kelompok pelanggan industri di wilayah KBI mempunyai nilai yang paling kecil dibandingkan dengan kelompok lainnya, akan tetapi dengan jumlah yang kecil ini ternyata kelompok industri mengkonsumsi energi listrik lebih besar daripada kelompok pelanggan lainnya. Berdasarkan Gambar 32 dapat disimpulkan bahwa kelompok pelanggan industri di KBI lebih besar mengkonsumsi energi listrik daripada kelompok yang lain. Lain halnya di KTI kelompok pelanggan rumah tangga masih mendominasi pengkonsumsian energi listrik yang dijual. Hal ini sesuai dengan kontribusi sektor industri di KBI yang memberikan sumbangan terbesar dalam pendapatan regional.
GWh
96
50,000 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0
Rumah Tangga Industri Bisnis Sosial Kantor Pemerintahan Penerangan Jalan KBI
KTI
INDONESIA
Gambar 32 Energi listrik terjual menurut kelompok pelanggan dan kawasan di Indonesia tahun 2007 Infrastruktur yang ketiga yaitu air bersih. Pada tahun 2007 jumlah pelanggan dan kapasitas air bersih yang disalurkan oleh perusahaan air bersih mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena kehidupan manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan akan air bersih. Jumlah air bersih yang disalurkan kepada pelanggan di KBI sebesar 1.863 ribu m3 atau 84,86 persen dari total nasional, sedangkan KTI hanya sebesar 332 ribu atau 15,13 persen. Jika dilihat berdasarkan kelompok pelanggan maka baik di KBI maupun KTI kelompok pelanggan yang mengkonsumsi air bersih dari PDAM yang terbesar yaitu kelompok rumah tangga (Gambar 33). Hal ini berarti bahwa baik di KBI dan KTI air bersih yang disalurkan PDAM lebih banyak digunakan untuk kegiatan konsumsi daripada kegiatan produksi. 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0
Sosial Non Niaga Niaga dan Industri Khusus
KBI
KTI
Indonesia
Gambar 33 Air bersih yang disalurkan menurut kelompok pelanggan dan kawasan di Indonesia tahun 2007
97
Perbandingan antara KBI dan KTI selanjutnya yaitu untuk kondisi industri manufaktur besar dan sedang. Kondisi industri manufaktur di KBI dan KTI secara jelas menggambarkan ketimpangan distribusi. Peran setiap provinsi di KBI terhadap jumlah tenaga kerja dan total nilai tambah secara relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi di KTI. Berdasarkan Tabel 15, KBI mempunyai pangsa tenaga kerja industri manufaktur sebesar 81,33 persen pada tahun 2007. Terlihat sangat timpang dengan KTI yang hanya menyumbang 18,67 persen terhadap total tenaga kerja industri manufaktur di Indonesia. Demikian juga dengan nilai tambah yang dihasilkan dari industri di KBI yang menguasai 94,51 persen dari total nilai tambah. Sedangkan KTI hanya mempunyai pangsa nilai tambah sebesar 5,49 persen. Tabel 15 Jumlah tenaga kerja dan nilai tambah Industri Besar Sedang (IBS) menurut kawasan di Indonesia tahun 2007 Wilayah
Tenaga Kerja (juta orang)
Nilai Tambah
Persentase
(juta rupiah)
Persentase
KBI
79,37
81,33
565.528
94,51
KTI
18,22
18,67
32.871
5,49
Indonesia
97,59
100,00
598.399
100,00
Sumber: Industri Besar Sedang 2007, BPS (diolah)
V. DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL 5.1
Penghitungan Stok Kapital Perkembangan perekonomian suatu negara setidaknya ditentukan oleh dua
faktor produksi, yaitu kapital dan tenaga kerja. Kedua faktor produksi tersebut merupakan faktor utama yang menjadi penggerak sistem perekonomian, sehingga arus perputaraan kegiatan ekonomi dapat terus berlangsung. Secara bersama-sama kedua faktor tersebut mampu merubah input menjadi output. Output potensial yang dihasilkan dari proses produksi merupakan gambaran dari berhasilnya pembangunan ekonomi. Dalam rangka menghitung output potensial terdapat dua pendekatan yang sering digunakan, yaitu pendekatan model struktural fungsi produksi dan pendekatan perangkat ekonometri (univariate technique). Pendekatan fungsi produksi merupakan pendekatan yang lebih banyak digunakan (Wicaksono et al, 2002). Dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan fungsi produksi. Metode ini mensyaratkan tersedianya data stok kapital yang akurat. Upaya penyusunan data stok kapital di Indonesia telah dilakukan mulai tahun 2000 dengan suatu kajian mengenai metode untuk menghitung stok kapital. (BI dan BPS, 2001; Wicaksono et al, 2002; Van der Eng, 2009). Ketersediaan kapital secara statistik dapat dilihat dari dua pendekatan pengukuran, yaitu sebagai arus (flow) dan sebagai stok (stocks). Arus menunjukkan perubahan (baik pertambahan maupun pengurangan) sedangkan stok lebih menunjukkan kepada posisi (keadaan pada suatu saat). Proses pertambahan tersebut dengan terminologi statistik dikenal sebagai proses akumulasi. Dengan demikian, stok kapital (capital stocks) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran tentang posisi barang modal yang terbentuk akibat dari proses akumulasi (proses arus) barang-barang modal yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Data stok kapital Indonesia yang telah dihitung oleh BPS dan BI merupakan data agregat secara nasional, belum ada yang dibagi menurut provinsi. Sedangkan dalam penelitian ini dibutuhkan data stok kapital di setiap provinsi.
100
Oleh sebab itu perlu dihitung terlebih dahulu data stok kapital menurut provinsi sebelum melakukan estimasi. Penghitungan data stok kapital dilakukan dengan menggunakan metode Perpetual Inventory Method (PIM) yang menggunakan data Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atas dasar harga konstan sebagai data dasarnya. Pemilihan metode PIM ini didasarkan pada pertimbangan applicability. Metode PIM memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode langsung (Direct Observation of Capital) terutama dalam hal efisiensi biaya dan sumber daya yang diperlukan (Wicaksono dan Ariantoro, 2003). Selain itu, metode PIM telah banyak digunakan untuk menghitung stok kapital di Indonesia. Formula umum yang digunakan untuk menhitung stoks kapital adalah sebagai berikut: =
+
−
Dimana, NCS adalah Net Capital Stocks, PMTB adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto, DEP adalah penyusutan/depresiasi. Metode
depresiasi
yang
digunakan
adalah
straight
line
yang
memperhitungkan penyusutan dibagi habis dalam besaran yang sama selama periode usia pakai barang. Metode ini dipilih karena perhitungannya yang relatif sederhana dan menurut Wicaksono dan Ariantoro (2003) metode ini lebih valid dibandingkan metode lainnya. Asumsi besarnya depresiasi yaitu lima persen. Asumsi ini mengikuti asumsi yang digunakan oleh BPS. Penghitungan stok kapital setiap provinsi dilakukan dari tahun 1983, hal ini dikarenakan ketersediaan data PMTB menurut provinsi dimulai tahun 1983. Sehingga asumsi yang digunakan yaitu akumulasi modal terjadi mulai tahun 1983, dengan kata lain stok kapital tahun 1982 sama dengan nol. Asumsi ini memang tidak realistis, akan tetapi sudah cukup akurat untuk menghasilkan data stok kapital tahun 1991 sampai 2007 yang akan digunakan dalam penelitian. Sebenarnya ada metode yang dapat digunakan untuk menambah tahun awal perhitungan, seperti metode gross-up yang digunakan dalam penelitian Wicaksono et al (2002) untuk mendapatkan tahun awal 1960 dan metode estimasi yang dilakukan Van der Eng (2009) untuk mendapatkan tahun awal 1950. Akan tetapi penulis tidak menggunakan kedua metode tersebut dengan alasan
101
kemudahan dalam penghitungan dan hasil yang diperoleh ternyata sudah hampir sama dengan hasil penelitian Van der Eng (2009) setelah ditotal secara nasional. Hasil dari penghitungan stok kapital menurut provinsi disampaikan pada Lampiran 2. Secara umum, stok kapital di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hanya saja, krisis yang terjadi di tahun 1997 membuat pertumbuhan stok kapital di Indonesia hanya tumbuh rata-rata 4,2 persen per tahun dari tahun 1998 sampai 2007. Berbeda halnya dengan pertumbuhan stok kapital sebelum terjadi krisis, yang rata-rata pertumbuhan per tahunnya mencapai 13,8 persen
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 1991
triliun rupiah
(Gambar 34).
Gambar 34 Stok kapital di Indonesia atas dasar harga konstan 2000 tahun 19912007 5.2
Pemilihan Metode Regresi Data Panel Analisis
data
panel
untuk
mengestimasi
dampak
pembangunan
infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dan pada kurun waktu 1991 sampai 2007. Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan metode regresi. Proses ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu membandingkan pooled model dengan fixed effects model kemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect model. Pada tahap pertama digunakan uji Chow, sedangkan pada tahap kedua digunakan uji Hausman. Hasil uji Chow dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka secara signifikan Ho (pooled model) ditolak atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas
102
individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Setelah dihasilkan fixed effects model pada langkah pertama, maka dilanjutkan untuk proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan random effects model. Menurut Hsiao (2003) ketika uji pemilihan fixed effect atau random effect tidak dapat ditentukan secara teoritis maka sebaiknya menggunakan metode random effect jika data diambil dari sampel individu atau beberapa individu yang dipilih secara acak untuk menarik kesimpulan tentang populasinya. Namun jika evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi beberapa individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut maka lebih baik menggunakan fixed effect model. Dikarenakan jumlah cross section dari persamaan yang akan diestimasi mencerminkan seluruh populasi (26 provinsi di Indonesia), maka secara teori dapat langsung digunakan fixed effects model. Namun demikian, untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman (lihat Lampiran 4) menunjukkan nilai p-value (prob.) < 0,05, hal ini berarti persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Dengan demikian fixed effects model lebih sesuai digunakan. Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Metode estimasi data panel dengan menggunakan fixed effects model secara umum dilakukan dengan Ordinary Least Squares (OLS). Namun jika terjadi heteroskedastisitas dari data cross section maka dapat digunakan estimasi dengan General Least Square (GLS) atau sering disebut sebagai cross section weights. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan
103
dengan membandingkan sum square resid pada GLS (weighted) dengan OLS (unweighted). Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model. Oleh karena itu, estimasi dilakukan dengan cross section weights. Estimasi yang dilakukan dengan fixed effect GLS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan fixed effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS lebih banyak menghasilkan parameter yang signifikan dan nilai adjusted R2 yang lebih tinggi dibanding dengan fixed effect OLS. Pendeteksian
adanya
autokorelasi
juga
dilakukan
pada
model.
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Adanya autokorelasi
dapat
memengaruhi
efisiensi
dari
estimatornya,
walaupun
estimatornya tetap tidak bias. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan Durbin Watson (DW)-statistiknya dengan DW-tabel. Berdasarkan pengamatan hasil estimasi dapat disimpulkan adanya autokorelasi. Untuk mengatasi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan metode GLS dengan memberikan weights:Cross Section SUR (SUR = Seemingly Unrelated Regression). Hasil estimasi yang diperoleh dengan metode ini menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan metode fixed effect GLS. 5.3
Hasil Estimasi Regresi Data Panel Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model dan metode yang paling
sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan dengan metode fixed effect cross section SUR. Berdasarkan hasil estimasi terhadap model diketahui bahwa hampir semua variabel bebas menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik pada taraf nyata (α) 1 persen (Tabel 16). Hanya variabel air bersih yang tidak signifikan berpengaruh terhadap PDRB. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas t-hitung masing-masing variabel bebas. Selain itu hasil estimasi juga menunjukkan nilai F-stat yang tinggi jika dibandingkan dengan F-tabel, hal ini berarti bahwa secara bersama-sama parameter-parameter variabel bebas pada model mampu menjelaskan variabel PDRB pada taraf nyata (α) 1 persen. Sedangkan nilai Adjusted R-squared
104
(koefisien determinan) diperoleh sebesar 0,998 yang menunjukkan bahwa variabel bebas di dalam model mampu menjelaskan 99,8 persen variasi variabel endogen secara baik. Tabel 16 Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional Variabel bebas
Variabel tidak bebas: PDRB ADHK 2000 Koefisien
Nilai t-stat
Prob.
Konstanta (C)
7,2811
9,8829
0,0000
Stok modal (CPT)
0,1011
4,9536
0,0000
Tenaga kerja (LBR) Human capital (HCP)
0,2678 0,3424
4,5566 5,4745
0,0000 0,0000
Infrastruktur jalan (JLN)
0,1316
8,4157
0,0000
Infrastruktur listrik (LST)
0,3258
12,4781
0,0000
0,0159 0,0419 -0,1337
1,4725 3,0766 -8,9851
0,1417 0,0022 0,0000
Infrastruktur air bersih (AIR) Indeks spesialisasi industri (ISI) Dummy krisis (DMK) Adjusted R-squared
0,9982
Prob(F-statistic)
0,0000
Berdasarkan hasil estimasi, dapat diketahui bahwa hanya satu variabel bebas yang tidak signifikan memengaruhi output (PDRB) yaitu air bersih. Sedangkan variabel bebas lainnya berpengaruh secara signifikan. Koefisien dari masing-masing variabel bebas yang signifikan dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Variabel stok modal dengan nilai elastisitas 0,1 mempunyai arti setiap kenaikan 1 persen stok modal maka akan meningkatkan output sebesar 0,1 persen, cateris paribus. 2. Variabel tenaga kerja dengan tingkat elastisitas 0,27 berarti setiap kenaikan 1 persen jumlah tenaga kerja akan meningkatkan output sebesar 0,27 persen, cateris paribus. 3. Sedangkan human capital (rata-rata lama sekolah pekerja) dengan tingkat elastisitas 0,34 mempunyai arti setiap kenaikan 1 persen rata-rata lama sekolah pekerja maka akan meningkatkan output sebesar 0,34 persen, cateris paribus.
105
4. Infrastruktur panjang jalan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,13 artinya setiap kenaikan panjang jalan sebesar 1 persen akan meningkatkan output sebesar 0,13 persen, cateris paribus. 5. Infrastruktur listrik (energi listri jual) dengan tingkat elastisitas 0,33 berarti setiap kenaikan energi listrik jual sebesar 1 persen akan meningkatkan output sebesar 0,33 persen, cateris paribus. 6. Variabel indeks spesialisasi industri dengan tingkat elastisitas 0,04 mempunyai arti setiap kenaikan indeks sebesar 1 persen akan meningkatkan output sebesar 0,04 persen, cateris paribus. Peningkatan indeks 1 persen berarti terjadi pemambahan konsentrasi industri manufaktur di daerah tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya aglomerasi industri manufaktur dapat meningkatkan output. 7. Sedangkan variabel dummy krisis dengan koefisien -0,13 mempunyai arti bahwa terdapat perbedaan tingkat output antara sebelum krisis dan masa krisis hingga recovery. Tanda negatif berarti tingkat output pada masa krisis dan recovery lebih kecil jika dibandingkan dengan sebelum krisis. Berikut ini akan diberikan ulasan untuk masing-masing variabel bebas dalam model. Variabel yang pertama yaitu stok modal. Elastisitas output terhadap stok modal sebesar 0,10 sesuai dengan hipotesis bahwa stok modal memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan output. Aliran neo-klasik menyebutkan bahwa pertumbuhan output disebabkan oleh adanya pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Pada setiap momen, stok modal adalah determinan output perekonomian yang penting, karena stok modal bisa berubah sepanjang waktu, dan perubahan itu bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan stok kapital dipengaruhi oleh dua hal, yaitu adanya investasi dan depresiasi. Investasi baik penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal itu menyebabkan stok modal bertambah. Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, dan hal itu menyebabkan persediaan modal berkurang (Mankiw, 2007). Nilai elastisitas modal yang kecil jika dibandingkan dengan variabel lain mengindikasikan bahwa penggunaan investasi di Indonesia masih belum efektif.
106
Indikasi ini diperkuat dengan besarnya nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau perbandingan antara kebutuhan investasi dan pertumbuhan output di Indonesia yang berkisar antara 4-5 persen, padahal ICOR negara tetangga hanya berkisar 2-3 persen (Arifin, 2007). Penggunaan investasi yang tidak efektif menyebabkan tambahan investasi hanya memberikan kontribusi yang sedikit dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi (Hulten, 1996). Selain itu, kecilnya elastisitas variabel modal dapat disebabkan oleh realisasi investasi baik penanaman modal asing maupun dalam negeri masih digunakan sebagai penambahan modal-modal fisik belum digunakan sebagai peningkatan produktivitas. Hal ini didukung oleh data stok kapital di Indonesia. Berdasarkan komposisi jenis barang, secara nasional stok kapital di Indonesia selama kurun waktu 22 tahun terkonsentrasi pada bangunan dengan rata-rata kontribusi
71
persen.
Investasi
properti
semakin
meningkat
yang
dikompensasikan dengan penurunan investasi mesin dan alat transportasi (Wicaksosno, 2002). Tingkat pengembalian barang modal bangunan lebih lambat jika dibandingkan dengan barang modal lainnya (mesin dan alat transportasi). Di sisi lain, masuknya infrastruktur fisik ke dalam model membuat nilai elastisitas stok modal menjadi berkurang. Infrastruktur fisik juga merupakan modal dasar dalam pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi akan lebih baik pemerintah terlebih dahulu membangun infrastruktur yang lengkap dan memadai, serta dengan fasilitas pemeliharaan yang baik. Disamping itu suatu daerah yang sudah lengkap dan baik infrastrukturnya akan lebih menarik bagi pihak swasta untuk menanamkan investasinya. Elastisitas modal yang lebih kecil daripada elastisitas infrastruktur dan faktor input lainnya juga diperoleh dalam penelitian Amrullah (2006), yaitu sebesar 0,11 dan Sibarani (2002) dengan nilai elastisitas investasi berkisar antara 0,01 sampai 0,09. Demikian juga penelitian Bronzini dan Piselli (2006), dengan elastisitas modal swasta 0,15 dan elastisitas tenaga kerja sebesar 0,56. Variabel bebas kedua yaitu tenaga kerja. Elastisitas output terhadap tenaga kerja sebesar 0,27 sesuai dengan hipotesis dan pandangan aliran neo-klasik, bahwa pertumbuhan tenaga kerja dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Proporsi
107
tenaga kerja sebesar 0,27 mengandung arti peningkatan tenaga kerja sebesar 1 persen akan mendorong kenaikan output sebesar 0,27 persen. Sehingga bila perhitungannya dibalik maka diperoleh bahwa kenaikan output sebesar 1 persen dapat dicapai bila tenaga kerja meningkat sebesar 3,7 persen atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menghasilkan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 3,7 persen, cateris paribus. Oleh karena itu, semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi maka semakin beragam kegiatan perekonomian dan berarti semakin banyak pula tenaga kerja yang diperlukan untuk menggerakkan roda perekonomian. Jika dibandingkan antara elastisitas stok modal dan elastisitas tenaga kerja, maka jelas terlihat elastisitas tenaga kerja lebih besar, sehingga dampak penambahan tenaga kerja terhadap perekonomian pun lebih tinggi daripada dampak dari penambahan stok modal. Ini mengindikasikan bahwa perekonomian di Indonesia lebih bersifat padat karya (labor intensive) daripada padat modal (capital intensive). Hal ini juga sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya di Indonesia (Tjahjono dan Anugrah, 2006). Nilai elastisitas tenaga kerja relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan model yang tidak memasukkan variabel human capital. Hasil yang diperoleh dari simulasi yang dilakukan dengan hanya memasukkan dua faktor input (tenaga kerja dan stok modal) dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkaan hasil yang diperoleh elastisitas tenaga kerja sebesar 0,55 dan modal sebesar 0,34 signifikan pada taraf nyata (α) 1 persen. Dimasukkannya human capital ke dalam fungsi produksi akan mengurangi elastisitas output terhadap tenaga kerja ketika dibandingkan pada fungsi produksi tanpa human capital (Miller dan Upadhyay, 2000). Dalam rangka meningkatkan output jika hanya salah satu dari variabel tersebut (apakah itu tenaga kerja atau modal) yang meningkat, maka sudah jelas output akan meningkat. Misalnya penawaran tenaga kerja yang meningkat, maka akan menghasilkan output yang lebih banyak. Jika stok modal tetap sementara tenaga kerja naik, tenaga kerja baru cenderung akan kurang produktif. Penurunan produktivitas ini dinamakan tingkat pengembalian tenaga kerja yang semakin berkurang (diminishing returns). Hasil yang berkurang juga dapat terjadi jika stok
108
modal suatu negara tumbuh lebih lamban daripada angkatan kerjanya. Demikian juga sebaliknya jika diberlakukan terhadap stok modal, penambahan yang tidak berimbang akan memicu semakin sedikit kenaikan pada output. Oleh sebab itu dalam rangka penyerapan tenaga kerja harus diimbangi dengan peningkatan stok kapital yang dapat ditempuh dengan peningkataan investasi dan tabungan. Variabel ketiga yaitu human capital. Elastisitas output terhadap human capital yaitu 0,34 yang berarti peningkatan rata-rata lama sekolah pekerja 1 persen dapat meningkatkan output sebesar 0,34 persen. Pengaruh positif dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) terhadap pertumbuhan ekonomi telah banyak ditemukan di berbagai studi. Hal ini juga sesuai dengan hipotesis dan teori pertumbuhan endogen. Pendidikan dapat meningkatkan kualitas SDM yang ditunjukkan dengan meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan seseorang. Peningkatan
pengetahuan
dan
keahlian
akan
mendorong
peningkatan
produktivitas kerja. Dengan meningkatnya produktivitas maka dapat mendorong peningkatan output yang lebih besar. Ahli-ahli ekonomi mengembangkan teori pembangunan yang didasarkan pada kapasitas produksi tenaga manusia di dalam proses pembangunan, yang kemudian dikenal dengan istilah Investment in Human Capital (Hidayat, 2003). Teori ini didasari pertimbangan bahwa cara yang paling efisien dalam melakukan pembangunan nasional suatu negara terletak pada peningkatan kemampuan masyarakatnya. Teori human capital mengasumsikan bahwa pendidikan formal merupakan instrumen terpenting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki produktivitas yang tinggi. Menurut teori ini pertumbuhan dan pembangunan memiliki dua syarat, yaitu adanya pemanfaatan teknologi tinggi secara efisien, dan adanya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya manusia seperti itu dihasilkan melalui proses pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan teori human capital percaya bahwa investasi dalam pendidikan sebagai investasi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat, karena pendidikan dapat menyiapkan tenaga-tenaga yang siap bekerja. Besarnya elastisitas output terhadap human capital ini mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu dapat disimpulkan juga bahwa tingkat pendidikan pekerja di
109
Indonesia masih rendah.
Peningkatan pendidikan pekerja sedikit saja akan
diperoleh peningkatan output yang lebih besar. Berdasarkan data pekerja menurut pendidikan di Indonesia, tahun 1991 rata-rata lama sekolah pekerja adalah 5,92 tahun sedangkan di tahun 2007 sebesar 7,79 tahun. Peningkatan yang cukup lambat jika dibandingkan dengan lamanya rentang tahun. Kebijakan pemerintah dengan mencanangkan wajib belajar 9 tahun belum memberikan hasil yang diinginkan. Padahal kebijakan ini sudah dimulai sejak tahun 1994. Berdasarkan fakta tersebut dipandang perlu melakukan reposisi atas kebijakan pendidikan di Indonesia, dengan memandang bahwa pendidikan merupakan investasi yang memiliki nilai-nilai ekonomis tertentu, meskipun dapat dirasakan pada masa jangka panjang. Dengan memandang pendidikan sebagai suatu investasi, perlu dilakukan evaluasi ekonomis untuk proyek-proyek investasi pendidikan dengan kriteria sebagai berikut (Hidayat, 2003):
Return to investment
yang bernilai ekonomis langsung, dalam hal
keseimbangan antara opportunity cost dari sumber daya yang digunakan dan keuntungan di waktu mendatang yang diukur dengan meningkatnya produktivitas pekerja yang terdidik.
Return yang bernilai ekonomi tidak langsung, dalam hal
keuntungan
eksternal yang memengaruhi penghasilan anggota masyarakat lain.
Keuntungan fiskal dalam bentuk pajak yang lebih tinggi yang dibayarkan sebagai akibat dari penghasilan yang meningkat.
Pemenuhan kebutuhan akan tenaga kerja terampil, yang tercermin dalam pola pembayaran, praktek perekrutan, dan indikator-indikator lain penggunaan tenaga kerja.
Kebutuhan pribadi akan pendidikan (dilihat dari rate of return
pribadi
terhadap investasi pendidikan, besar-kecilnya iuran sekolah, dan biaya pribadi lainnya) dan faktor-faktor sosial dan lainnya yang menentukan kebutuhan individu akan pendidikan.
Efisiensi internal lembaga-lembaga pendidikan, dalam kaitan antara input dan output, yang diukur oleh tingkat keborosan dan pengulangan, dan indikatorindikator cost-effectiveness lainnya.
Distribusi kesempatan pendidikan secara geografis dan sosial.
110
Distribusi keuntungan pendidikan secara finansial dan beban finansial
Efek distribusi kesempatan pendidikan pada distribusi penghasilan dan kontribusi pendidikan terhadap pengentasan kemiskinan.
Kaitan antara investasi pendidikan dan investasi dalam sektor lain, termasuk pengembangan kesehatan dan pertanian.
Konsekuensi memposisikan pendidikan sebagai suatu investasi jangka panjang, perlu disusun, ditetapkan dan disosialisasikan standar pelayanan minimum pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, yang mencakup aspek equity, efisiensi, partisipasi, kualitas dan sustaiability. Variabel keempat yaitu infrastruktur jalan dengan elastisitas 0,13 yang berarti setiap terjadi penambahan panjang jalan 1 persen akan meningkatkan output sebesar 0,13 persen. Panjang jalan mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian. Distribusi faktor produksi maupun barang dan jasa hasil produksi sangat tergantung dari keberadaan infrastruktur jalan. Secara spasial, mobilitas manusia dan hasil produksi ini menentukan kemajuan suatu wilayah karena interaksi dan keterbukaan dengan wilayah lain meningkatkan pangsa pasar baik faktor produksi maupun hasil produksi. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian Demurger (2000) yang mengemukakan bahwa transportasi memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap peningkatan output. Ketersediaan infrastruktur jalan di wilayah-wilayah Indonesia memang sangat memengaruhi aktivitas sehari-hari dari sebagian besar penduduk, karena jalan memegang peranan penting dalam mobilitas masyarakat dan perekonomian yang ada. Agar kontribusi jalan terhadap peningkatan output dapat semakin meningkat maka pemerintah perlu lebih menggiatkan pembangunan jalan terutama untuk daerah-daerah yang masih terisolasi. Ketersediaan jaringan jalan di daerah-daerah terisolasi merupakan prasyarat utama karena akan lebih memudahkan dalam penyediaan akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, informasi dan pasar. Ketergantungan masyarakat terhadap ketersediaan jalan sangat besar jika dibandingkan dengan modal infrastruktur transportasi lainnya. Oleh karena itu penurunan kualitas jalan dapat memengaruhi kelancaran pergerakan ekonomi dan
111
menyebabkan biaya sosial yang tinggi terhadap pemakaian jalan tersebut. Penurunan kondisi jaringan jalan pada beberapa tahun belakangan ini terutama disebabkan oleh krisis yang terjadi sehingga pemerintah melakukan pemotongan terhadap beberapa budjet untuk sarana transportasi dan memberhentikan beberapa pengembangan jaringan jalan. Pemotongan itu juga menyebabkan berkurangnya dana untuk perawatan dan pemeliharanan jaringan jalan yang sudah ada. Ketersediaan fasilitas jalan yang memadai bukan hanya dari segi kualitas saja, melainkan juga dari kemudahan masyarakat menggunakan jalan tersebut (aksesibilitas). Aksesibilitas yang rendah dapat menimbulkan kemacetan di manamana yang pada akhirnya menghambat dalam distribusi barang-jasa dan mobilitas penduduk. Misalnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Opportunity cost dari menggunakan jalan jadi semakin mahal, kemahalan yang ditanggung lebih dikarenakan waktu dan tenaga yang terkuras. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian yang serius karena adanya keterbatasan daya dukung suatu wilayah sehingga jika tingkat aksesibilitas terlalu rendah yang akan menimbulkan kemacetan dan dapat mengganggu kegiatan investasi sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Variabel yang kelima yaitu infrastruktur listrik dengan tingkat elastisitas 0,33 yang merupakan elastisitas tertinggi setelah human capital. Angka elastisitas ini tergolong cukup besar. Jika dilihat dari data yang digunakan maka penggunaan data energi listrik terjual sangat tepat, sehingga memberikan nilai yang signifikan dan dengan tingkat elastisitas yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan elastisitas infrastruktur listrik yang lebih tinggi dibandingkan dengan infrastruktur lainnya (Sibarani, 2002; Irianto, 2006). Listrik
merupakan
salah
satu
bentuk
energi
terpenting
dalam
perkembangan kehidupan manusia, baik untuk kegiatan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, usaha, industri maupun kegiatan lainnya. Listrik mempunyai korelasi yang kuat dengan kegiatan ekonomi terutama untuk sektor industri yang harus menggunakan teknologi dan mesin yang memerlukan listrik untuk menjalankan produksinya. Energi listrik mempunyai peranan penting dalam kegiatan produksi, untuk itu dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi sangat diperlukan energi
112
listrik. Kelompok pelanggan industri dengan jumlah yang hanya 0,1 persen dari total pelanggan mengkonsumsi energi listrik sebesar 37,8 persen dari total energi listrik terjual. Demikian juga kelompok bisnis, dengan jumlah pelanggan 4,3 persen mengkonsumsi energi listrik sebesar 17 persen. Ini berarti energi listrik lebih banyak digunakan untuk kegiatan produksi daripada konsumsi. Rasio elektifikasi di Indonesia masih relatif rendah. Pada tahun 2007 masih terdapat 39,22 persen rumah tangga belum teraliri listrik. Menurut menteri ESDM pada saat itu, kondisi geografis Negara Indonesia menjadi salah satu kendala dalam mengejar target rasio elektrifikasi 100 persen. Di sisi lain pengadaan jaringan listrik sangat bergantung pada sumber daya lain dan pendistribusiannya kepada konsumen sangat bergantung pada ketersediaan prasarana
jalan,
hal ini dikarenakan untuk memudahkan pemasangan,
pengoperasian dan pemeliharaan jaringan listrik. Variabel keenam yaitu infrastruktur air bersih. Data yang digunakan yaitu air bersih yang disalurkan oleh PDAM. Variabel ini tidak signifikan secara statistik memengaruhi pertumbuhan ekonomi karena sebagian besar kegiatan konsumsi dan produksi di Indonesia tidak menggunakan air yang bersumber dari PDAM. Pemanfaatan air dari PDAM (air ledeng) secara nasional hanya menempati urutan ketiga, yaitu sebesar 16,19 persen. Masih banyak penduduk yang tidak menggunakan air ledeng. Bahkan sumber air minum yang dominan digunakan pada tahun 2007 adalah sumur (30,07 persen) dan pompa (17,62 persen). Sisanya masih menggunakan sumur tidak terlindung (10,32 persen), mata air terlindung (7,86 persen), air dalam kemasan (7,18 persen), mata air tidak terlindung (4,77 persen) dan air sungai (3,02 persen), bahkan masih ada yang memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum, yaitu sebesar 2,57 persen (BPS, 2008). Selain itu, berdasarkan data statistik air bersih 2007 kelompok pelanggan yang terbanyak mengkonsumsi air bersih yang disalurkaan yaitu rumah tangga (73,9 persen) sedangkan untuk kelompok industri dan niaga hanya 19,8 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelanggan PDAM yang hanya 16,19 persen dari total rumah tangga lebih banyak mengkonsumsi air bersih dari PDAM untuk keperluan konsumsi bukan untuk keperluan produksi. Hal ini sangat
113
berbeda dengan pemanfaatan energi listrik yang lebih banyak digunakan untuk kegiatan produksi. Walaupun demikian ketersediaan air bersih harus tetap dijamin oleh pemerintah, karena dalam kehidupan sehari-hari air bersih mempunyai peran untuk menunjang kualitas hidup manyarakat terutama kualitas kesehatan. Air bersih mempunyai peranan vital dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, pembangunan infrastruktur air bersih juga harus menjadi prioritas dalam rangka penyediaan infrastruktur publik. Variabel ketujuh yaitu aglomerasi industri yang diwakili dengan indeks spesialisasi industri manufaktur. Elastisitas output terhadap aglomerasi industri yaitu 0,04 yang artinya peningkatan indeks spesialisasi sebesar 1 persen maka akan meningkatkan output sebesar 0,04 persen. Hasil yang diperoleh sesuai dengan hipotesis dan teori New Economic Geography. Adanya konsentrasi industri dapat meningkatkan produktivitas yang diperoleh dari tingkat pengembalian yang meningkat (increasing return), biaya transportasi yang murah dan perpindahan migrasi yang pada akhirnya memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Hubungan positif antara aglomerasi kegiatan-kegiatan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dibuktikan (Martin dan Octavianno, 2001). Aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan. Semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya. Daerah-daerah yang banyak industri manufaktur tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri manufaktur.
Alasannya
adalah daerah-daerah
yang mempunyai industri
pengolahan lebih banyak mempunyai akumulasi modal. Dengan kata lain, daerahdaerah dengan konsentrasi industri manufaktur tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang tidak punya konsentrasi industri manufaktur. Otsuka (2006), berdasarkan penelitiannya tentang pengaruh aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi di Jepang menemukan bahwa aglomerasi industri manufaktur yang disebabkan oleh localization memberikan peningkatan terhadap produktivitas sebesar 0,13 persen untuk setiap kenaikan 1 persen dari tingkat localization economies. Localization economies yang disebabkan
114
aglomerasi industri manufaktur juga berdampak terhadap pertumbuhan yang konvergen. Aglomerasi
industri
mempunyai
elastisitas
yang
dibandingkan dengan variabel lain. Nilai elastisitas
paling
rendah
yang hanya 0,04
mengindikasikan kecilnya pengaruh aglomerasi industri terhadap peningkatan output di Indonesia. Nilai ini juga lebih kecil dari hasil penelitian Otsuka (2006) dengan daerah penelitian Negara Jepang. Kecilnya pengaruh aglomerasi industri terhadap peningkatan output ini disebabkan karena industrial belt di Indonesia relatif sama dari tahun 1991 sampai 2007. Industri manufaktur di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatera. Pengaruh yang kecil juga disebabkan karena belum meratanya konsentrasi industri di Indonesia, lain halnya dengan Negara Jepang yang mempunyai konsentrasi industri yang lebih merata. Variabel terakhir yaitu dummy krisis. Tujuan dari penggunaan dummy krisis yaitu untuk menganalisis dampak krisis 1997 terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dari sisi ekonometri penggunaan dummy krisis ditujukan untuk menangkap efek waktu. Variabel dummy krisis bernilai 0 untuk periode sebelum krisis (tahun 1991 sampai 1997) dan bernilai 1 untuk masa krisis dan masa recovery (tahun 1998 sampai 2007). Berdasarkan hasil yang diperoleh, koefisien dari dummy krisis yaitu -0,13 yang berarti terdapat perbedaan tingkat output antara sebelum krisis dan masa krisis hingga recovery, dimana tingkat output pada masa krisis dan recovery lebih kecil jika dibandingkan dengan sebelum krisis. Hasil ini sesuai dengan hipotesis teori bahwa faktor krisis ekonomi memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak dari krisis memengaruhi baik faktor output maupun faktor input. Pada tahun 1998 pertumbuhan output turun hingga negatif 13 persen, stok modal mengalami stagnan dan tenaga kerja banyak yang di-PHK dan pada akhirnya mengakibatkan banyaknya pengangguran. Pembangunan sektor infrastruktur pun mendapatkan dampaknya, yaitu terjadinya economic loses akibat fasilitas dan pelayanan sarana dan prasarana dasar tidak dapat menunjang pergerakan ekonomi yang efisien dan tersisihnya infrastruktur dari kebijakan alur utama.
115
Berdasarkan uraian di atas, secara umum ketersediaan infrastruktur akan meningkatkan kemampuan ekonomi suatu wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, pembangunan infrastruktur sendiri merupakan kegiatan produksi yang menciptakan output dan kesempatan kerja. Secara tidak langsung, ketersediaan infrastruktur akan meningkatkan perkembangan sektorsektor ekonomi yang lain, dan memberikan tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Manajemen dan penggunaan yang efisien dari infrastruktur jauh lebih penting daripada kuantitasnya (Hulten, 1996). Hulten memperlihatkan bahwa negara
dengan
pendapatan rendah dan
menengah
yang menggunakan
infrastrukturnya secara tidak efisien akan menerima kerugian dalam bentuk keuntungan yang lebih kecil dari yang seharusnya. Hal ini terlihat dari perbedaan laju pertumbuhan antara Afrika dan Asia dimana kurang lebih seperempat bagian dari perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam penggunaan sumbersumber infrastrukturnya. Selain fasilitas infrastruktur, human capital dan aglomerasi industri juga berperan terhadap pertumbuhan ekonomi. Keduanya sama-sama berperan dalam hal peningkatan produktivitas. Human capital berperan sebagai faktor internal sedangkan aglomerasi industri sebagai faktor eksternal. Dalam rangka peningkatan pendidikan dan aglomerasi perlu didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai. Ketersediaan infrastruktur dan penciptaan aglomerasi dapat mengurangi disparitas regional. Di Indonesia tingkat ketimpangan yang tinggi disebakan karena tidak meratanya pembangunan infrastruktur dan konsentrasi kegiatan ekonomi. Oleh karena itu perlu diperhatikan tingkat pemerataan pembangunan infrastruktur karena pelayanan sarana dan prasarana yang mudah dijangkau masyarakat akan lebih bermanfaat dan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kesejahteraan masyarakat.
116
Halaman ini sengaja dikosongkan.
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR 6.1
Pemilihan Metode Regresi Data Panel Model
yang
digunakan
untuk
mengestimasi
faktor-faktor
yang
memengaruhi aglomerasi industri manufaktur menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dan pada kurun waktu 1991 sampai 2007. Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan metode regresi. Pemilihan metode dilakukan dalam dua tahap seperti pada estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi. Tahap pertama membandingkan pooled model dengan fixed effects model menggunakan uji Chow, dan tahap kedua membandingkan fixed effects model dengan random effeck model menggunakan uji Hausman. Berdasarkan hasil yang diperoleh untuk tahap pertama (lihat Lampiran 7), maka secara signifikan Ho (pooled model) ditolak atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Pada tahap kedua, yaitu membandingkan antara fixed effects model dan random effects model dilakukan dengan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam persamaan yaitu sembilan. Hasil uji Hausman pada Lampiran 8 menunjukkan nilai p-value (prob.) < 0,05. Hal ini berarti persamaan untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Dengan demikian fixed effects model lebih sesuai untuk digunakan. Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas.
118
Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model. Oleh karena itu, estimasi dilakukan dengan cross section weights. Estimasi yang dilakukan dengan fixed effect GLS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan fixed effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS menghasilkan nilai adjusted R2 yang lebih tinggi dibanding dengan fixed effect OLS. Pendeteksian adanya autokorelasi juga dilakukan pada model kedua ini. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan (Durbin Watson) DW-statistiknya dengan DW-tabel. Berdasarkan pengamatan hasil estimasi dapat disimpulkan adanya autokorelasi. Untuk mengatasi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan metode GLS dengan memberikan weights:Cross Section SUR (SUR = Seemingly Unrelated Regression). Hasil estimasi yang diperoleh dengan metode ini menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan metode fixed effect GLS. 6.2
Hasil Estimasi Regresi Data Panel Metode yang paling sesuai untuk mengestimasi persamaan faktor-faktor
yang memengaruhi aglomerasi industri manufakturyaitu fixed effect cross section SUR. Berdasarkan hasil estimasi, diketahui bahwa terdapat dua variabel yang tidak memengaruhi secara signifikan, yaitu kepemilikan modal asing dan indeks persaingan. Variabel yang lain signifikan berpengaruh terhadap aglomerasi industri manufaktur pada taraf nyata (α) lima persen. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas t-hitung masing-masing variabel bebas. Selain itu hasil estimasi juga menunjukkan nilai F-stat yang tinggi jika dibandingkan dengan F-tabel yang berarti bahwa secara bersama-sama parameterparameter variabel bebas pada model mampu menjelaskan variabel konsentrasi industri pada taraf nyata (α) 1 persen. Sedangkan nilai Adjusted R-squared (koefisien determinan) diperoleh sebesar 0,983 yang menunjukkan bahwa variabel bebas di dalam model mampu menjelaskan 98,3 persen variasi variabel endogen secara baik.
119
Tabel 17 Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur Variabel bebas Konstanta (C) Ukuran perusahaan (ISZ) Indeks keanekaragaman (RID) Kepemilikan modal asing (FDI) Indeks persaingan (IPS) Orientasi ekspor dan Impor (EXI) Upah minimun regional (UMR) Pendidikan angkatan kerja (EDU) Pendapatan daerah (GDP) Dummy krisis (DMK) Adjusted R-squared Prob(F-statistic)
Variabel tidak bebas: Indeks spesialisasi industri Koefisien Nilai t-stat Prob. -6,1999 0,6041 -0,0755 0,0109 0,0428 0,0341 -0,1344 0,5098 0,0914 -0,0907
-8,1636 13,9336 -5,4293 0,8754 1,6467 2,0464 -3,9974 2,3010 2,6951 -2,3458
0,0000 0,0000 0,0000 0,3819 0,1004 0,0414 0,0001 0,0219 0,0073 0,0195
0,9827 0,0000
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 17, dapat diketahui bahwa terdapat dua variabel bebas yang tidak signifikan memengaruhi aglomerasi industri yaitu kepemilikan modal asing (FDI) dan indeks persaingan industri (IPS). Variabel bebas lainnya berpengaruh signifikan pada taraf nyata (α) 5 persen. Untuk masing-masing variabel bebas dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Ukuran perusahaan (ISZ) mempunyai hubungan yang positif terhadap menciptaan aglomerasi. Nilai elastisitasnya cukup tinggi yaitu 0,6 yang berarti peningkatan skala ekonomi 1 persen akan meningkatkan indeks spesialisasi industri sebesar 0,6 persen, ceteris paribus. Hasil ini sesuai dengan hipotesis teori New Economic Geography (NEG) dan New Trade Theory (NTT). Teori NEG dan NTT berpendapat bahwa industri-industri yang terkonsentrasi secara geografis berhubungan dengan skala ekonomi. Koefisien skala ekonomi yang positif dan besar ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan industri manufaktur di Indonesia menikmati penghematan lokalisasi (economies of localization) dengan berlokasi dekat dengan perusahaan-perusahaan lain. Skala operasi yang besar tidak hanya menarik para pekerja, yang membentuk komunitas kecil di dekat pabrik untuk meminimumkan biaya transportasi pergi pulang kerja (comutting costs), tetapi juga perusahaan-perusahaan terkait
yang berusaha untuk
meminimumkan biaya transaksi dan produksi (output lebih besar akan
120
menguntungkan dibanding volume produksi yang relatif kecil karena biaya penyusutan mesin, sewa gedung tetap). Dalam model ekonomi Krugman menunjukkan bahwa interaksi antara skala ekonomi dan biaya perdagangan mendorong konsentrasi industri di dalam suatu negara yang mempunyai akses yang baik pada pasar yang besar. Amiti (1998) menguji penemuan tersebut dengan menggunakan ratio dari total pekerja dari setiap industri dan jumlah perusahaan. Dengan menggunakan sampel lima negara Uni Eropa dan 65 industri pengolahan, menunjukkan hasil bahwa dengan peningkatan 1 persen skala ekonomi akan mendorong 0,5 persen peningkatan koefisien gini industri dengan tingkat signifikansi statistik 5 persen. Variabel indeks keanekaragaman (RID) mempunyai nilai elastisitas -0,08 yang berarti setiap kenaikan 1 persen indeks keanekaragaman (kenaikan indeks berarti penurunan tingkat keanekaragaman) maka akan menurunkan konsentrasi industri sebesar 0,08 persen. Dengan kata lain, setiap penurunan indeks RID sebesar 1 persen (kenaikan tingkat keanekaragaman 1 persen) akan meningkatkan konsentrasi industri (indeks spesialisasi industri) sebesar 0,08 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa keanekaragaman industri di suatu wilayah menjadi faktor yang menstimulus timbulnya aglomerasi. Hipotesis ini selaras dengan urbanization economies bahwa keanekaragaman mendorong eksplorasi dan mencegah stagnasi, sehingga berperan dalam sebaran pengetahuan (knowledge spillover) dan pertumbuhan dari industri. Selain itu terdapat kecenderungan yang jelas dan kuat terjadinya aglomerasi yang lebih besar apabila produk lebih heterogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan modal asing (FDI) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap indeks spesialisasi industri, hal ini berarti kepemilikan modal asing tidak memainkan peranan yang penting dalam aglomerasi industri. Hasil ini selaras dengan penelitian Kuncoro dan Wahyuni (2009) yang dilakukan untuk wilayah penelitian kabupaten/kota di Pulau Jawa. Variabel indeks persaingan (IPS) yang digunakan untuk mendekati struktur pasar juga tidak signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa semakin rendah indeks persaingan yang berarti semakin monopolistik dapat membantu dalam menjelaskan konsentrasi geografis industri manufaktur. Hasil
121
yang berbeda diperoleh dalam penelitian Prakosa (2004). Perbedaan hasil dimungkinkan karena perbedaan unit observasi, penelitian Prakosa (2004) menggunakan kabupaten/kota di Jawa dan di Jawa Tengah saja, sedangkan dalam penelitian ini digunkana provinsi se-Indonesia. Selain itu, penggunaan indeks persaingan yang hanya merasiokan jumlah perusahaan dibagi output di suatu daerah terhadap jumlah perusahaan dibagi output secara nasional dianggap kurang tepat untuk digunakan di level provinsi. Pendekatan struktur pasar akan lebih baik jika digunakan indeks CR4, akan tetapi sulitnya penghitungan yang disebabkan karena harus meneliti setiap jenis industri maka indeks ini jarang digunakan. Variabel selanjutnya yaitu orientasi ekspor dan impor yang digunakan untuk mengukur hubungan dengan internasional. Nilai elastisitasnya yaitu 0,03 yang berarti bahwa setiap peningkatan 1 persen hubungan internasional baik ekspor maupun impor akan meningkatkan konsentrasi industri sebesar 0,03 persen. Hasil ini sesuai dengan teori NEG dan NTT bahwa dengan bertambahnya volume ekspor akan meningkatkan konsentrasi geografi industri, dan semakin tinggi kandungan impor pada industri maka akan meningkatkan spesialisasi yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa sebagian besar industri yang terkonsentrasi secara geografis maka akan memiliki keunggulan dalam hubungan vertikal dengan eksportir dan importir dari luar negeri. Hasil ini juga juga konsisten dengan hasilhasil sebelumnya. Variabel Upah Minimum Regional (UMR) yang digunakan untuk mengkaji kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan biaya tenaga kerja dengan terjadinya aglomerasi industri di suatu daerah menghasilkan nilai elastisitas -0,13. Hal ini berarti kebijakan UMR yang rendah mendukung dalam peningkatan konsentrasi industri. Bila dipandang melalui teori lokasi yang menempatkan faktor biaya tenaga kerja sebagai faktor dominan dalam penentuan lokasi industri di samping biaya transportasi. Hasil yang diperoleh juga sesuai dengan teori lokasi, hipotesis teori lokasi menyatakan bahwa sebuah pabrik akan memilih berlokasi di daerah dengan tingkat upah yang rendah untuk meminimumkan biaya produksi.
122
Kenaikan upah tenaga kerja yang signifikan menyebabkan penurunan tingkat konsentrasi geografi industri, hal ini disebabkan industri yang terkonsentrasi di berbagai wilayah di Indonesia merupakan industri yang memiliki kecenderungan padat karya (didukung hasil persamaan sebelumnya). Jika upah tenaga kerja meningkat, permintaan tenaga kerja berkurang yang disebabkan berpindahnya suatu lokasi industri sehingga konsentrasi geografi industri akan menurun. Dalam rangka menentukan UMR pemerintah dihadapkan pada pilihan yang dilematis. Tenaga kerja menginginkan tingkat upah yang layak, sedangkan perusahaan selalu berusaha untuk memaksimumkan keuntungan dengan salah satu caranya meminimalkan tingkat upah. Oleh karena itu, dalam menentukan tingkat UMR pemerintah perlu mengkaji secara seksama kepentingan pekerja dan keberlanjutan perusahaan. Tentunya pemerintah tidak ingin kenaikan UMR yang diharapkan pekerja akan memperbanyak perusahaan menutup usaha atau mengurangi pekerjanya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal perlu dilakukan komunikasi yang intensif antara pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja. Sisi baik dari kebijakan UMR yaitu pemerintah dapat melakukan relokasi konsentrasi industri untuk mengurangi ketimpangan antar daerah, yang tentunya harus didukung dengan faktor endowment dari daerah tujuan. Variabel selanjutnya pendidikan angkatan kerja (EDU) dengan tingkat elastisitas 0,51 yang berarti kenaikan rata-rata lama sekolah angkatan kerja di suatu daerah 1 persen dapat mendorong konsentrasi industri sebesar 0,51 persen. Elastisitas dari tingkat pendidikan angkatan kerja cukup tinggi, ini menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam terciptanya aglomerasi industri. Faktor pasar tenaga kerja, khususnya tingkat upah atau biaya tenaga kerja, tingkat keaktifan serikat pekerja, dan ketrampilan tenaga kerja, dipandang sebagai faktor pokok dalam pengambilan keputusan lokasi untuk memperluas pabrik. Berkaitan dengan ketersediaan tenaga kerja yang terampil maka untuk meningkatkan ketrampilan pekerja dapat dilakukan dengan pendidikan formal dan non formal. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan
123
memperkerjakan tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada pekerja tersebut. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapataan maupun konsumsinya. Dengan demikian, dengan tingkat pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil pada persamaan sebelumnya, bahwa tingkat pendidikan mempunyai peranan yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi. Variabel pendapataan daerah (GDP) digunakan untuk mendekati besarnya pasar. Asumsinya semakin besar PDRB suatu daerah maka semakin besar pula aktivitas ekonomi di daerah tersebut. Variabel ini mempunyai elastisitas sebesar 0,09 yang berarti setiap kenaikan pendapatan di suatu daerah sebesar 1 persen maka akan meningkatkan indeks spesialisasi sebesar 0,09 persen. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan hipotesis bahwa industri dengan hasil yang meningkat akan berkonsentrasi dalam pasar yang besar. Para pelopor teori NTT juga menekankan adanya dampak pasar domestik terhadap konsentrasi industri (Kuncoro dan Wahyuni, 2009). Variabel terakhir yaitu dummy krisis (DMK) yang digunakan untuk mengkaji dampak krisis terhadap terkonsentrasinya industri manufaktur. Elastisitas yang negatif dan signifikan mengindikasikan bahwa ada perbedaan yang substansial dalam peningkatan konsentrasi industri manufaktur antara sebelum dengan masa krisis dan recovery. Tanda yang negatif menunjukkan indikasi bahwa terjadinya konsentrasi industri manufaktur dihambat oleh krisis yang terjadi. Krisis 1997 mengakibatkan menurunnya konsentrasi industri manufaktur di daerah-daerah aglomerasi. Hal ini disebabkan karena pada saat krisis sektor sektor industri mendapatkan dampak yang cukup besar. Pertumbuhan sektor industri pada tahun tersebut sebesar negatif 11 persen.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak pembangunan infrastruktur
dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada kurun waktu 1991 sampai 2007 dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dari tahun 1991 sampai 2007 sangat berfluktuatif. Krisis moneter tahun 1997, membuat perekonomian Indonesia terpuruk dan mengalami pertumbuhan yang negatif. Kontribusi sektor yang paling besar di Indonesia sejak tahun 1991 sampai 2007 yaitu industri pengolahan. Hasil penghitungan dengan menggunakan indeks Williamson menunjukkan pada tahun 1991-2007 ketimpangan antar provinsi di Indonesia cukup tinggi yaitu berkisar 0,6 sampai 0,8. Kenaikan ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu pada tahun pertama diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah. 2. Pembangunan infrastruktur di Indonesia selama periode tahun 1991 sampai 2007 secara umum terus mengalami peningkatan. Peningkatan fasilitas infrastruktur yang terjadi masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena peningkatan terhadap kebutuhan infrastruktur secara umum juga terus meningkat. 3. Aglomerasi industri manufaktur di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yaitu di ujung barat (Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat) dan di Provinsi Jawa Timur. Di luar Jawa hanya provinsi Riau yang mempunyai konsentrasi industri manufaktur. Sedangkan provinsi yang dimungkinkan terjadi aglomerasi di masa mendatang yaitu Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. 4. Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional menunjukkan bahwa kegiatan produksi di Indonesia masih bersifat padat karya yang ditunjukkan dari elastisitas tenaga kerja (0,27) lebih besar daripada elastisitas stok modal (0,10). Variabel human capital memiliki dampak yang terbesar dibandingkan variabel lain dengan elastisitas sebesar 0,34.
126
Variabel listrik dan jalan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan tingkat elastisitas listrik sebesar 0,33 lebih tinggi daripada jalan (0,13). Sedangkan infrastruktur air bersih tidak berpengaruh secara statistik. Aglomerasi industri yang diwakili indeks spesialisasi industri manufaktur mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional yang ditunjukkan dengan elastisitas sebesar 0,04. Di sisi lain, koefisien krisis 1997 yang negatif mempunyai arti bahwa terjadinya krisis menghambat pertumbuhan ekonomi. 5. Faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia yaitu skala ekonomi (semakin besar skala usaha maka semakin meningkatkan konsentrasi industri), keanekaragaman industri (semakin beragam semakin mendukung aglomerasi industri), orientasi ekspor dan impor (semakin tinggi orientasi semakin tinggi indeks spesialisasi industri), upah minimun provinsi (upah yang rendah mendukung terjadinya aglomerasi industri), pendidikan angkatan kerja (konsentrasi industri memerlukan dukungan tingkat pendidikan tenaga kerja yang lebih tinggi), besarnya pasar (besarnya pasar akan memengaruhi pemilihan lokasi industri). Sedangkan kepemilikan modal asing dan indeks persaingan (struktur pasar) tidak berpengaruh secara statistik. 7.2
Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan sebelumnya,
maka diberikan beberapa saran yang menyangkut penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan kesejahteraan masyarakat yang merata maka pembangunan infrastruktur perlu diprioritaskan. Infrastruktur yang sangat penting dalam peningkatan kinerja ekonomi regional adalah listrik. Oleh karena itu hendaknya rasio elektrifikasi
100%
kesejahteraan
dan
menyediakan
listrik
harus
segera
pemerataan. perlu
pembangkit listrik 10 ribu MW.
dipenuhi
untuk
Program-program
diprioritaskan
misalnya
meningkatkan dalam
rangka
pembangunan
127
2. Selain mengejar pertumbuhan, pemerataan pembangunan hendaknya juga menjadi perhatian pemerintah. Dalam rangka pemerataan pembangunan maka perlu adanya pemerataan fasilitas infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri di daerah-daerah yang memiliki potensi. Dalam jangka panjang interkoneksi berbagai infrastruktur tersebut secara meluas akan memberikan potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan jika terpusat. 3. Berkaitan dengan perekonomian Indonesia yang masih bersifat padat karya (labor intensive) maka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diprioritaskan pada kegiatan ekonomi dan industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Pengembangan industri padat karya seharusnya dilakukan dalam rentang waktu yang panjang dan continuous karena Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja yang banyak dan terus meningkat. 4. Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Perlu adanya reposisi kebijakan pendidikan di Indonesia, dengan memandang bahwa pendidikan merupakan investasi. Konsekuensi dari reposisi yaitu perlu ditetapkan dan disosialisasikan standar pelayanan minimum pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, yang mencakup aspek equity, efisiensi, partisipasi, kualitas dan sustaiability. 5. Untuk penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan memasukkan beberapa infrastruktur lain misalnya infrastruktur pelabuhan laut, bandara udara, dan saluran irigasi. Sedangkan untuk penelitian yang berhubungan dengan aglomerasi akan lebih mengena jika digunakan analisis pada level kabupaten/kota. Selain itu perlu juga dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur, penciptaan aglomerasi industri dan peningkatan sumber daya manusia.
DAFTAR PUSTAKA Akatsuka, Y. dan T. Yoshida. 1999. System for Infrastructure Development: Japan’s Experience. Japan International Publishing. Tokyo. Amiti, M. 1998. New Trade Theories and Industrial Location in the UE: A Survey of Evidence. Oxford Review of Economic Policy, Vol. 14(2):45-53. Amrullah, T. 2006. Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. Arifin, S. 2007. Kita Harus Berbenah. Kertas Kerja dan Materi Seminar Direktorat Internasional Bank Indonesia. http://www.bi.go.id. Arifin, Z. dan M.Kuncoro. 2003. Konsentrasi Spasial dan Dinamika Pertumbuhan Industri Manufaktur di Jawa Timur (Studi Kasus Industri Besar dan Sedang, 1994-1999). Jurnal Sosiohumanika, Vol. 16(1):119-137. Aschauer, D.A. 1989. Is Public Expenditure Productive? Journal of Monetary Economics, Vol. 23(2):177-200. As-syukur. 2006. Pengenalan ArcView untuk Dasar Analisis Sistem Informasi Geografi. Modul. Denpasar. Baltagi, B.H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons LTD. England. Barro, R.J. dan J.W. Lee. 1993. International Comparisons on Educational Attainment. NBER Working Paper, No 4349. Cambridge. BI. 1997. Laporan Tahunan Bank Indonesia. www.bi.go.id. BI dan BPS. 2001. Draft Stok Kapital. Kerjasama Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter BI dengan BPS. Jakarta. BPS. 1997. Ringkasan Eksekutif Industri Besar dan Sedang. BPS. Jakarta BPS. 2008. Statistik Indonesia 2008. BPS. Jakarta. BPS. 2009. Statistik Indonesia 2009. BPS. Jakarta. Bradley, R. dan J.S. Gans. 1996. Growth in Australian Cities. The Economic Record the Economic Society of Australia, Vol. 74(226):266-278.
130
Bronzini, R. dan P. Piselli. 2006. Determinants of long-run regional productivity: The role of R&D, human capital and public infrastructure. Temi di discussione del Servizio Studi, No 597 September 2006. Italy. Brulhart, M. 1998. Economic Geography, Industri Location and Trade: The Evidence. The World Economy, Vol. 21(6):775-801. Calderón, C dan L. Servén. 2002. The Output Cost of Latin America’s Infrastructure Gap. Central Bank of Chile Working Papers, No 186 Oktober 2002. Caning, D. 1999. Infrastructure’s Contribution to Aggregate Output. World Bank Working Papers, No 2246. Capello, R. 2007. Regional Economics. Routledge, New York. Chen, Z., Y. Jen dan M. Lu. 2005. Economic Opening and Industrial agglomeration in China. Industrial Organization 0511012, EconWPA. Demurger, S. 2000. Infrastucture Development an Economic Growth: an explanation for regional disparities in China? Journal of Comparative Economies, Vol. 29(1):95-117. Dornbusch, R., S. Fischer dan R. Startz. 2004. Macroeconomics ninth edition. Mc Graw Hill. New York. Easterly W dan L. Servén. 2002. The Limits of Stabilization: Infrastructure, Public Deficits, and Growth In Latin America. Stanford University Press and The World Bank. Washington DC. Etharina. 2005. Disparitas Pendapatan antar Daerah di Indonesia. Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. I(1):59-74. Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill. Boston. Hidayat, A. 2003. Kontribusi Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Pendidikan dan Budaya Educare, Vol. 2(1). Hsiao, C. 2003. Analysis of Panel Data. Second edition. Cambridge University Press. Cambridge. Hulten, C.R. 1996. Infrastucture Capital and Economic Growth: How Well You Use It May Be More Important Than How Much You Have. NBER Working Paper, No 5847. Irianto, D. 2006. Dampak Pembangunan Infrastruktur, Human Capital dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta.
131
Jhingan, M. L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Khusaini. 2004. Analisis Disparitas antar Daerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Provinsi Banten [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. Kim, S. 1995. Expansion of Markets and the Geographic Distribution of Economic Activities: The Trends in U.S. Regional Manufacturing Structure, 1860-1987. Quarterly Journal of Economics, Vol. 110(4): 881908. Kodoatie, R.J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Krugman, P. 1998. Space: the Final Frontier. Journal of Economic Perspectives, Vol. 12(2):161-174. Krugman, P. 2008. Trade and Geography – Economies of Scale, Differentiated Products and Transport Costs. The Royal Swedish Academy of Sciences. Stockholm Sweden. Krugman, P. dan A.J. Venables. 1990. Integration and the Competitiveness of Peripheral Industry. CEPR Discussion Papers No 363. London. Kuncoro, M. dan J.M. Dowling. 2001. The Dinamics and Causes of Agglomeration: An empirical study of Java, Indonesia. International conference on University of Le Havre, Le Havre Perancis. Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Kuncoro, M. 2007. Ekonomika Industri Indonesia. Penerbit Andi. Yogyakarta. Kuncoro, M. dan S. Wahyuni. 2009. FDI Impacts on Industrial Agglomeration: The Case of Java, Indonesia. Journal of Asia Business Studies, Vol. 3(2):65-78. Lestari, E.P. 2008. Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah terhadap Permintaan Uang M2 di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9(2):121-136. Lucas, R.E. 1988. On The Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, Vol. 22(1):3-42. Malecki, E.J. 1991. Technology and Economic Development: The Dynamics of Local, Region, and National Change. John Wiley & Sons. New York.
132
Mankiw, N.G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Alih Bahasa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Martin, P. dan Ottavianno. 2001. Growth and Agglomeration. International Economic Review, Vol. 42(4):947-968. Martin, R. The New “Geographical Turn” in Economics: Some critical reflections. Cambridge journal of Economics, Vol. 23(1):65-91. McCann, P. 2006. Urban and Regional Economics. Oxford University Press. Oxford Inc. New York. Miller, S.M. dan M.P.Upadhyay. The effects of openness, trade orientation, and human capital on total factor productivity. Journal of Development Economics, Vol. 63(2):399-423. Montgomery, M. R. (1988). How Large is too Large? Implication of the City Size. Literature for Population Policy and Research, Economic Development and Cultural Change, Vol. 36(4):691-720. Noegroho, Y.S. 2007. Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/ Kota Di Provinsi Jawa Tengah Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional. Urban and Regional 13 Desember 2007. Kampus UI Depok. Nugroho, I. 2003. Strategi Pengembangan Sektor Air Bersih. Artikel Majalah Perencanaan Edisi 30 Tahun 2003. BAPPENAS. Jakarta. http://www.bappenas.go.id. Nuryadin, D. dan Jamzani Sodik. 2007. Agglomerasi Dan Pertumbuhan Ekonomi: Peran Karakteristik Regional Di Indonesi. Urban and Regional 13 Desember 2007. Kampus UI Depok. Otonomi. 2009. Sejarah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, Kota 1945-2008. Majalah Otonomi No 2 Tahun IV 2009. Jakarta. Otsuka, A. 2006. Effects and Impact of Industrial Agglomeration on Economic Growth. Central Research Institute of Electric Power Industry Public Communications (CRIEPI) News Nopember 2006 Vol. 434(2):3. Tokyo. Ottaviano, G.L.P. dan D. Puga. (1998). Agglomeration in the Global Economy: A Survey of the 'New Economic Geography'. The World Economy, Vol. 21(6):707-732. Panggabean, R. 2008. Pembangunan Infrastruktur dan Pembangunan Ekonomi Regional: Studi Kasus Kawasan Timur Indonesia 1990-2005 [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta.
133
Prakosa, D. 2004. Konsentrasi Geografi Industri Pengolahan Besar dan Sedang di Jawa Tengah Tahun 1999-2000 [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. Romer, P.M. 1986. Increasing Returns and Long-Run Growth. The Journal of Political Economy, Vol. 94(5):1002-1037. Samuelson, P.A. dan W.D. Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi. PT. Media Global Edukasi, Jakarta. Sbergami, F. 2002. Agglomeration and Economic Growth: Some Puzzles. HEI Working Paper No 02/2002. Geneva. Shi, T. 2009. An empirical study on the regional economic impacts of transport infrastructure for China. Seminar Department of Land Economy – University of Cambridge. Cambridge. Sibarani, M.H.M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Sjoholm, F. 1999. Productivity Growth in Indonesia: The Role of Regional Characteristics and Direct Investment. Economic Development and Culture Change, Vol. 47(3):559-601. Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi: Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Rajawali Pers. Jakarta. Solow, R.M. 1956. A Contribution to the Theory of Economic Growth. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 70(1):65-94. Sukirno, S. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Tjahjono, E.D. dan D.F.Anugrah. Pertumbuhan TFP dan Pengembangan Efisiensi Produksi. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Nopember 2007 Vol. 10(2):123-148. Todaro, M. P dan S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1 Edisi Kesembilan . Alih Bahasa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Van der Eng, P. 2009. Capital Formation and Capital Stock in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 45(3):345-369. Wibisono, Y. 2003. Konvergensi di Indonesia: Beberapa Temuan Awal dan Implikasinya. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Januari 2003 Vol. 51(1):53-82.
134
Wicaksono, G., E. Ariantoro dan A. R. Sari. 2002. Penghitungan Data Stok Kapital dengan Metode Perpetul Inventory (Suatu Upaya Penyediaan Data Stok Kapital untuk Penghitungan Potensial Output dengan Pendekatan Fungsi Produksi). Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2002 Vol. 5(2):19-56. Wicaksono, G. dan E. Ariantoro. 2003. Pengujian Validitas Data Stok Kapital dan Perkembangan Stok Kapital Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Desember 2003 Vol. 6(3):23-45. Widyaningrum, A., F. Adrianto, Y. Marendra dan S. A. Wulan. 2007. Listrik di Indonesia; Menunggu Saat Lilin tak Lagi Diperlukan. Majalah Warta Ekonomi No 14/XIX/9 Juli 2007. Jakarta. Williamson, J.G. 1965. Regional Inequality and the Process of National Development: A Description of the Patterns. Economic Development and Cultural Change Vol. 13(4):1-84. World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for Development. Oxford University Press, New York. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
135
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil penghitungan indeks infrastruktur dan peringkatnya di Indonesia menurut provinsi tahun 1991 dan 2007 No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan sulawesi tenggara Maluku Papua
1991 Indeks Peringkat 33,39 14 44,33 7 34,03 13 38,42 12 31,59 17 39,71 10 31,57 18 21,90 25 97,04 1 40,86 9 39,50 11 45,32 6 45,67 5 55,50 2 27,00 23 22,81 24 31,76 16 21,71 26 42,77 8 49,63 3 48,27 4 29,65 20 32,57 15 27,06 22 28,19 21 29,79 19
2007 Indeks Peringkat 36,16 12 45,29 6 35,85 13 44,48 7 28,86 19 34,03 14 29,24 18 32,26 16 85,45 1 44,24 8 40,46 10 47,36 4 47,87 3 60,14 2 28,42 20 22,61 26 29,36 17 26,02 24 41,32 9 45,80 5 28,31 21 33,47 15 37,14 11 25,02 25 26,60 23 27,22 22
136
Lampiran 2 Hasil penghitungan stok kapital di Indonesia menurut provinsi tahun 1991-2007 (dalam triliun rupiah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Total
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 16,58 17,23 17,95 19,10 20,17 21,51 22,77 23,74 52,36 58,63 64,80 71,59 79,91 88,83 99,41 102,94 25,99 29,08 31,82 34,77 38,05 41,68 45,56 48,48 83,62 90,71 98,11 96,81 98,67 101,86 110,54 120,58 9,61 10,58 11,61 12,89 14,23 15,66 17,03 17,65 41,93 47,25 51,96 60,08 83,59 106,38 129,26 130,26 3,45 3,87 4,43 4,99 5,60 6,36 7,10 7,15 17,25 19,93 22,31 25,39 29,28 33,93 38,98 40,93 413,91 458,41 520,56 588,72 664,43 748,04 831,72 866,66 241,71 267,01 293,70 303,04 336,17 377,32 418,72 439,80 109,10 121,88 136,88 154,36 172,52 192,05 208,54 220,04 15,97 17,69 19,60 21,68 23,91 26,30 28,60 30,03 211,46 236,15 262,82 293,15 327,09 364,76 402,32 419,17 18,89 20,81 23,03 25,59 28,91 32,79 37,09 40,60 8,96 10,44 11,88 14,60 17,39 20,30 23,04 25,52 9,17 10,35 11,67 13,28 15,03 16,95 18,79 19,74 43,86 51,31 58,94 64,87 70,78 76,41 81,81 86,13 9,85 10,93 11,73 15,31 28,26 40,77 52,92 51,68 9,31 10,24 11,34 12,58 13,81 15,08 16,36 17,05 25,89 27,65 29,44 41,09 65,15 91,91 120,62 119,41 5,73 6,15 6,61 7,46 8,28 9,17 10,03 10,63 11,10 12,72 14,50 16,53 18,71 21,07 22,75 23,94 14,44 15,68 16,89 18,18 19,69 21,37 23,09 26,70 7,40 9,05 10,21 11,38 12,49 13,81 14,83 15,51 6,58 7,61 8,47 10,99 18,74 26,60 34,43 34,56 15,84 17,59 19,40 19,38 20,96 22,61 24,34 26,99 1.429,97 1.588,96 1.770,65 1.957,82 2.231,84 2.533,52 2.840,65 2.965,89
137
Lanjutan lampiran 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 24,46 25,01 25,97 28,68 29,81 30,94 34,37 37,31 40,55 43,75 107,50 112,28 117,28 122,90 128,41 134,46 141,65 149,30 157,62 166,54 50,44 52,37 54,25 56,09 57,97 59,91 62,03 64,26 66,58 69,13 130,49 140,24 150,29 160,45 177,90 196,26 208,94 222,59 238,22 255,13 17,95 18,33 18,93 19,53 20,23 21,07 21,80 22,62 23,70 24,88 130,82 132,45 134,17 136,37 139,29 143,11 147,49 152,20 157,75 163,84 7,16 7,18 7,22 7,26 7,32 7,41 7,54 7,70 7,87 8,05 42,60 44,54 46,19 48,27 50,21 51,93 54,00 56,08 58,31 60,70 898,27 930,19 959,47 987,70 1.015,19 1.051,99 1.095,30 1.140,53 1.190,22 1.244,03 457,78 472,57 488,46 504,91 522,84 544,36 570,14 597,32 627,41 659,55 226,44 233,59 238,26 243,30 249,33 257,51 267,15 279,22 292,12 305,81 31,51 33,12 34,74 36,71 38,46 40,52 42,74 45,22 47,71 50,31 436,36 450,24 464,60 479,46 495,23 511,61 530,61 551,87 573,37 596,66 43,85 47,13 50,26 53,45 56,79 60,32 63,87 67,40 71,03 74,84 28,18 30,58 32,87 35,06 37,33 39,68 42,30 45,40 48,89 52,55 20,63 21,79 23,24 24,02 24,83 25,63 26,42 27,25 28,23 29,30 90,25 94,20 99,58 105,60 112,27 119,02 126,18 134,07 142,33 151,20 50,17 49,56 49,17 48,92 48,76 48,91 49,37 50,18 51,50 53,04 17,61 18,20 18,84 19,52 20,27 21,09 22,01 23,04 24,22 25,52 118,33 116,97 116,02 115,83 115,58 115,61 115,96 116,45 117,64 119,32 11,21 11,83 12,45 13,13 13,88 14,78 15,89 17,10 18,43 19,86 25,09 26,21 27,26 28,31 29,34 30,49 31,66 32,82 35,51 38,33 28,18 29,49 30,89 32,34 33,85 35,53 37,28 39,13 41,23 43,35 16,17 16,89 17,68 18,51 18,72 18,96 19,24 19,56 19,95 20,38 32,97 31,45 30,01 28,66 27,39 26,19 25,08 24,06 23,12 22,24 29,17 31,75 34,53 37,57 40,58 43,83 47,28 51,79 57,25 62,46 3.073,58 3.178,18 3.282,61 3.392,54 3.511,79 3.651,13 3.806,29 3.974,48 4.160,73 4.360,79
138
Lampiran 3 Hasil penguijian antara FIXED dengan POOL (Uji Chow) untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional Redundant Fixed Effects Tests Equation: MODEL1 Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
360.510917
d.f.
Prob.
(25,408)
0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 03/03/10 Time: 10:21 Sample: 1991 2007 Periods included: 17 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 442 Use pre-specified GLS weights Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C CPT LBR HCP JLN LST AIR ISI DMK
3.909482 0.607053 0.052039 -0.288494 0.055103 0.040402 0.162133 0.171111 -0.171794
0.667634 0.030382 0.053025 0.112632 0.056540 0.062688 0.040483 0.014415 0.025786
5.855728 19.98065 0.981395 -2.561397 0.974579 0.644495 4.004928 11.87067 -6.662227
0.0000 0.0000 0.3269 0.0108 0.3303 0.5196 0.0001 0.0000 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.961586 0.960876 0.458572 1354.874 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
29.71165 18.73786 91.05467 0.066497
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.888178 69.58648
Mean dependent var Durbin-Watson stat
17.05755 0.040673
139
Lampiran 4 Hasil penguijian antara FIXED dengan RANDOM (Uji Hausman) untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: MODEL1 Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
21.659385
7
0.0029
Test Summary Cross-section random
Cross-section random effects test comparisons: Variable
Fixed
Random
Var(Diff.)
Prob.
CPT LBR HCP JLN LST AIR ISI
0.036290 0.282721 0.013123 0.169900 0.261352 0.066420 0.047384
0.054888 0.315878 -0.065844 0.165998 0.258973 0.069407 0.075277
0.000038 0.003589 0.001099 0.000033 0.000047 0.000004 0.000051
0.0027 0.5800 0.0172 0.4996 0.7277 0.1286 0.0001
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
8.326560 0.036290 0.282721 0.013123 0.169900 0.261352 0.066420 0.047384
1.327566 0.029675 0.103657 0.143424 0.036992 0.036974 0.020501 0.024259
6.272048 1.222938 2.727476 0.091498 4.592932 7.068596 3.239768 1.953265
0.0000 0.2221 0.0067 0.9271 0.0000 0.0000 0.0013 0.0515
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 03/03/10 Time: 10:22 Sample: 1991 2007 Periods included: 17 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 442 Variable C CPT LBR HCP JLN LST AIR ISI
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.992321 0.991721 0.108088 4.778388 373.3418 1651.747 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
17.05755 1.187901 -1.540008 -1.234548 -1.419526 0.306018
140
Lampiran 5 Hasil estimasi untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional Dependent Variable: PDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 03/03/10 Time: 10:23 Sample: 1991 2007 Periods included: 17 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 442 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C CPT LBR HCP JLN LST AIR ISI DMK
7.281094 0.101115 0.267846 0.342395 0.131602 0.325792 0.015948 0.041920 -0.133688
0.736732 0.020412 0.058781 0.062544 0.015638 0.026109 0.010831 0.013626 0.014879
9.882956 4.953633 4.556642 5.474477 8.415745 12.47813 1.472478 3.076575 -8.985131
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.1417 0.0022 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.998336 0.998202 0.098312 7419.287 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
29.71165 18.73786 3.943446 0.470947
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.992724 4.527944
Mean dependent var Durbin-Watson stat
17.05755 0.242228
141
Lampiran 6 Hasil estimasi untuk model pertumbuhan ekonomi dengan faktor input tenaga kerja dan modal saja Dependent Variable: PDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 03/04/10 Time: 07:13 Sample: 1991 2007 Periods included: 17 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 442 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable C CPT LBR
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
3.072621 0.342732 0.548610
0.691176 0.036148 0.075031
4.445494 9.481460 7.311767
0.0000 0.0000 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.995207 0.994894 0.118059 3183.656 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
23.15699 10.15492 5.770260 0.357064
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.989156 6.748260
Mean dependent var Durbin-Watson stat
17.05755 0.235423
142
Lampiran 7 Hasil penguijian antara FIXED dengan POOL (Uji Chow) untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur Redundant Fixed Effects Tests Equation: MODEL2 Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
67.004079
d.f.
Prob.
(25,407)
0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LQI Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 03/04/10 Time: 23:40 Sample: 1991 2007 Periods included: 17 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 442 Use pre-specified GLS weights Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C ISZ RID FDI IPS EXI UMR EDU GDP DMK
-15.90687 1.079525 -0.059238 0.060894 0.220342 0.226203 -0.469372 2.069841 0.340862 -0.321781
0.772116 0.074688 0.011065 0.015232 0.039418 0.021742 0.051211 0.142159 0.013961 0.077163
-20.60165 14.45388 -5.353880 3.997867 5.589845 10.40386 -9.165410 14.56000 24.41566 -4.170165
0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.918144 0.916439 0.359294 538.3961 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
-0.819392 1.051407 55.76770 0.609681
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.888710 56.17698
Mean dependent var Durbin-Watson stat
-0.959412 0.534333
143
Lampiran 8 Hasil penguijian antara FIXED dengan RANDOM (Uji Hauman) untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: MODEL2 Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
103.156249
9
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.696984 -0.065460 0.015562 0.038792 0.075774 -0.278043 0.743401 0.236735 -0.168991
0.000165 0.000021 0.000012 0.000122 0.000016 0.000452 0.008605 0.000607 0.000060
0.0176 0.1621 0.0000 0.5874 0.0000 0.0000 0.0025 0.0000 0.0000
Cross-section random Cross-section random effects test comparisons: Variable Fixed ISZ RID FDI IPS EXI UMR EDU GDP DMK
0.666456 -0.071937 -0.002127 0.032793 0.048479 -0.122912 0.463337 0.086653 -0.098655
Prob. 0.0000
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LQI Method: Panel Least Squares Date: 03/04/10 Time: 23:42 Sample: 1991 2007 Periods included: 17 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 442 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C ISZ RID FDI IPS EXI UMR EDU GDP DMK
-6.416213 0.666456 -0.071937 -0.002127 0.032793 0.048479 -0.122912 0.463337 0.086653 -0.098655
0.846683 0.047774 0.013681 0.013194 0.030446 0.015250 0.040938 0.213370 0.041357 0.033408
-7.578061 13.95012 -5.258055 -0.161238 1.077099 3.179025 -3.002429 2.171523 2.095254 -2.953027
0.0000 0.0000 0.0000 0.8720 0.2821 0.0016 0.0028 0.0305 0.0368 0.0033
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.978019 0.976183 0.165112 11.09563 187.1609 532.6127 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.959412 1.069870 -0.688511 -0.364538 -0.560727 1.011121
144
Lampiran 9 Hasil estimasi untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur
Dependent Variable: LQI Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 03/04/10 Time: 23:45 Sample: 1991 2007 Periods included: 17 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 442 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C ISZ RID FDI IPS EXI UMR EDU GDP DMK
-6.199915 0.604119 -0.075482 0.010867 0.042783 0.034104 -0.134442 0.509811 0.091433 -0.090700
0.759458 0.043357 0.013903 0.012413 0.025981 0.016665 0.033632 0.221558 0.033925 0.038665
-8.163610 13.93357 -5.429347 0.875435 1.646726 2.046424 -3.997431 2.301024 2.695164 -2.345807
0.0000 0.0000 0.0000 0.3819 0.1004 0.0414 0.0001 0.0219 0.0073 0.0195
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.983999 0.982662 0.163659 736.1522 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
-0.819392 1.051407 10.90122 0.956030
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.977637 11.28840
Mean dependent var Durbin-Watson stat
-0.959412 0.985140
Lampiran 10 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1991
145
146 Lampiran 11 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1995
Lampiran 12 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 1999
147
148 Lampiran 13 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 2003
Lampiran 14 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun 2007
149
128
Halaman ini sengaja dikosongkan.
124
Halaman ini sengaja dikosongkan.
98
Halaman ini sengaja dikosongkan.