DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI
Oleh HERI PURNOMO H14104121
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
HERI PURNOMO. Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bekasi (dibimbing oleh FIFI DIANA THAMRIN).
Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang, dan jasa yang diangkut dari satu tempat ke tempat yang lain di seluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen yang sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Sebagai daerah penyangga ibukota, Kabupaten Bekasi telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam jumlah penduduk maupun pertumbuhan ekonominya. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bekasi, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bekasi selama kurun tahun 2002 s/d 2006 mencapai rata-rata 4,22 persen per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk secara nasional yaitu 1,45 persen pada tahun 2005. Demikian pula dilihat dari perkembangan laju pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari pertumbuhan nilai produk bruto. Selama kurun tahun 2003 s/d 2005, PDRB Kabupaten Bekasi tumbuh rata-rata 13,17 persen per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun yang sama yaitu 4,94 persen. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis infrastruktur dalam hal ini jalan, irigasi, dan air bersih dengan peningkatan pembangunan ekonomi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan selang waktu tahun 1990 sampai dengan 2006, diperoleh dari BPS. Analisis data menggunakan analisis Regresi Linear Berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data menggunakan metode OLS dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi didapatkan bahwa infrastruktur berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi. Namun infrastruktur jalan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi, Hal ini disebabkan jalan raya masih sangat terbatas yang hanya 1,7 km per 1000 penduduk, dan hampir 50 persen dalam kondisi buruk karena sangat kurangnya pemeliharaan yang baik, terutama di jaringan jalan Kabupaten. Hal ini menambah kemacetan lalu lintas setiap tahun, sementara kapasitas jalan yang ditambahkan sedikit. Sedangkan infrastruktur irigasi berpengaruh signifikan, namun berpengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan oleh perkembangan wilayah industri dan perumahan yang telah menyebabkan banyaknya pengalihan fungsi lahan pertanian. Infrastruktur air bersih berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan karena berkembangnya industri di Kabupaten Bekasi, sehingga terjadi eksternalitas atau pencemaran kualitas air tanah di wilayah Kabupaten Bekasi. Oleh karena itu peningkatan produksi air bersih di Kabupaten Bekasi sangat perlu ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri.
Judul Skripsi
: Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bekasi
Nama
: Heri Purnomo
NIM
: H14104121
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si. NIP. 19730424 200604 2 006
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
September 2009
Heri Purnomo H14104121
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 25 Februari 1986. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari keluarga Bapak Sutardjo dan Ibu Jumiyati. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 09 Pagi Menteng Atas Jakarta Selatan dari tahun 1992 sampai tahun 1993, Pada tahun 1994 sampai tahun 1996 di SDN 05 Pagi Ciracas Jakarta Timur dan Pada tahun1996 sampai tahun 1998 di SDN Pakansari 3 Cibinong-Bogor. Pada tahun 1998 sampai tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP PGRI 1 Cibinong. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Cibinong dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ekonomi Pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, diantaranya sebagai anggota HIPOTESA periode 2005/2006. Penulis juga aktif sebagai Asisten M.K. Penerapan Komputer selama Tiga semester tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008, dan 2008/2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bekasi. Penulis tertarik menulis tentang infrastruktur Kabupaten Bekasi karena kian lama perkembangan Kabupaten Bekasi kian pesat sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimilikinya. Skripsi ini juga diperuntukkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin, yang telah memberikan bimbingan, ilmu, dan kritik kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh sahabat dan teman-teman penulis, yang telah banyak memberikan keceriaan, pemikiran, dorongan, dan semangat kepada penulis untuk skripsi ini. Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga penulis tidak dapat mengucapkannya satu persatu, hanya ucapan terima kasih untuk semua. Akhirnya penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Sutardjo dan Jumiyati, adik Haryani, serta keluarga besar penulis. Pengertian dan kesabaran kalian sangat besar artinya dan membuat skripsi ini ada. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2009
HERI PURNOMO H14104121
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xi
I.
1
PENDAHULUAN ....................................................................................
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................ 8 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 8 1.5. Ruang Lingkup ..................................................................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.................... 10 2.1. Infrastruktur .......................................................................................
10
2.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)........................................
15
2.3. Penerimaan Pemerintah Daerah ......................................................... 17 2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ......................................................... 18 2.3.1.1 Pajak Daerah ............................................................ 19 2.3.1.2 Retribusi Daerah ......................................................
19
2.3.1.3 Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ...……..
20
2.3.1.4 Pendapatan Asli Daerah Lainnya Yang Sah ……… 20 2.3.2. Dana Alokasi Umum .............................................................
21
2.4. Investasi ............................................................................................
22
2.5. Konsep Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi ........................... 24 2.6. Konsep Pembangunan Wilayah ......................................................... 25 2.7. Tinjauan Studi Terdahulu ..................................................................
27
2.8. Kerangka Pemikiran ..........................................................................
29
III. GAMBARAN UMUM .............................................................................
32
3.1. Struktur Ekonomi Kabupaten Bekasi.................................................
32
3.2. Tinjauan Sektor Industri di Kabupaten Bekasi. …………………...
34
3.3. PDRB Perkapita dan Kesejahteraan Penduduk .................................
35
3.4. Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Elastisitas Kesempatan Kerja .......
36
3.5. Gambaran Umum Infrastruktur Jalan.................................................
38
3.6. Gambaran Umum Infrastruktur Irigasi ..............................................
39
3.7. Gambaran Umum Infrastruktur Air Bersih .......................................
40
IV. METODOLOGI PENELITIAN................................................................
42
4.1. Jenis dan Sumber Data ......................................................................
42
4.2. Metode Analisis ................................................................................. 42 4.3. Analisis Regresi Linear Berganda .....................................................
43
4.4. Model Umum Regresi Linear Berganda ............................................ 44 4.5. Model Penelitian ................................................................................ 44 4.6. Uji Kriteria Statistik ........................................................................... 45 4.6.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) .............................................
45
4.6.2. Uji T ....................................................................................... 46 4.6.3. Uji F .......................................................................................
47
4.7. Uji Kriteria Ekonometrika ................................................................
48
4.7.1. Uji Autokorelasi ...................................................................
48
4.7.2. Uji Heteroskedastisitas ..........................................................
48
4.7.3. Uji Multikolinearitas .............................................................. 51 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
52
5.1. Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bekasi ............................................................. 52 5.2. Uji Kriteria Statistik ........................................................................ 5.2.1. Analisis Korelasi Ganda (R)................................................... 2
54 54
5.2.2. Uji Koefisien Determinasi (R ) .............................................
54
5.2.3. Uji F ……………………………………...…………....……
55
5.2.4. Uji t ........................................................................................
56
5.2.4.1 Pengujian Koefisien Regresi Variabel Jalan ……...
57
5.2.4.2 Pengujian Koefisien Regresi Variabel Irigasi .……
57
5.2.4.3 Pengujian Koefisien Regresi Variabel Air Bersih ...
57
5.3. Uji Kriteria Ekonometrika ...............................................................
57
5.3.1. Uji Autokorelasi ..................................................................... 57 5.3.2. Uji Heteroskedastisitas ..........................................................
58
5.3.3. Uji Multikolinearitas .............................................................. 59 5.4. Estimasi Model ................................................................................ VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
60 62
6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 62 6.2. Saran ..................................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
64
LAMPIRAN ....................................................................................................
66
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Kontribusi PDRB Menurut Wilayah terhadap Total PDRB Tahun 2007 …………………………………………………..……………….. 2 2.1. Rincian Alokasi Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Tahun 2005 …………………………………………………………………… 14 3.1. Peranan PDRB Kabupaten Bekasi Atas Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Dalam Juta Rupiah/persen) ....................................... 33 3.2. Nilai Tambah tertinggi Sektor Industri Besar Sedang di 6 Kota/Kabupaten di Jawa Barat ............................................................... 34 3.3. PDRB Perkapita Kabupaten Bekasi Tahun 2000-2006 (Rupiah) ..........
35
3.4. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Elastisitas Kesempatan Kerja di Kabupaten Bekasi Tahun 2002-2005 (Dalam persen) ........................... 37 4.1. Durbin-Watson ....................................................................................... 48 5.1. Hasil Uji Coefficientsa ............................................................................ 53 5.2. Hasil Uji R2 …...……….......................................................................... 54 5.3. Hasil Uji F ..............................................................................................
55
5.4. Hasil Uji t ...............................................................................................
56
5.5. Hasil Uji Autokorelasi ………………………………………………… 58 5.6. Hasil Uji Heteroskedastisitas .................................................................. 58 5.7. Hasil Uji Multikolinearitas .....................................................................
59
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
3.1. Kerangka Pemikiran ...............................................................................
31
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data yang digunakan untuk model analisis regresi linear berganda pada penelitian. .................................................................................................. 66 2. Data pada analisis model yang telah di Logaritma Naturalkan. ................
67
3. Hasil Estimasi Model analisis regresi ........................................................ 68 4. Uji Autokorelasi ........................................................................................
69
5. Uji Heteroskedastisitas...............................................................................
69
6. Uji Multikolinearitas .................................................................................
70
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari
alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya
stabilisasi
makro
ekonomi,
yaitu
keberlanjutan
fiskal,
berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja. Perkembangan infrastruktur dengan pembangunan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat dan saling ketergantungan satu sama lain. Perbaikan infrastruktur
pada
umumnya
dapat
meningkatkan
mobilitas
penduduk,
mempercepat laju pengangkutan barang, memperbaiki kualitas dari jasa pengangkutan tersebut, meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana pembangunan, serta meningkatkan efisiensi penggunaan sarana pembangunan. Perbaikan infrastruktur akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi ini serta banyaknya investasi yang masuk akan menyerap tenaga kerja. Infrastruktur yang baik juga akan merangsang
peningkatan pendapatan masyarakat, karena aktifitas ekonomi yang semakin meningkat sebagai akibat mobilitas faktor produksi dan aktivitas perdagangan yang semakin tinggi. Selama ini, pemerintah telah mengeluarkan banyak waktu, tenaga dan dana untuk pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Hasil pembangunan dapat dilihat di seluruh wilayah Indonesia meskipun terdapat ketimpangan yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Terlihat ketimpangan yang cukup besar antar daerah, baik antara Indonesia Bagian Barat dengan Indonesia Bagian Timur, Pulau Jawa dengan wilayah lainnya dan juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Ini terbukti dari ketimpangan nilai investasi dan produksi di masing – masing wilayah. Lebih dari 50 persen investasi berada di Jawa yang hanya mencakup 7 persen total wilayah Indonesia. Sedangkan output atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pulau Jawa menghasilkan lebih dari 60 persen total output Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi pembangunan di Pulau Jawa jauh lebih kuat dari pada wilayah lainnya. Tabel 1.1 Kontribusi PDRB Menurut Wilayah terhadap Total PDRB Tahun 2007 Kontribusi Terhadap Total PDRB Wilayah Pulau PDRB Dengan Migas PDRB Tanpa Migas Rp Miliar Persen Rp Miliar Persen Sumatera 810.253,57 22,98 647.224,99 20,40 Jawa dan Bali 2.122.702,80 60,20 2.053.925,38 64,75 Nusa Tenggara 52.655,57 1,49 52.655,56 1,66 Kalimantan 321.934,06 9,13 203.061,68 6,40 Sulawesi 144.196,11 4,09 143.541,74 4,53 Maluku 8.858,83 0,25 8.842,71 0,28 Papua 65.735,64 1,86 62.818,00 1,98 Sumber : BPS Tahun 2007
Sebagaimana telah diketahui bahwa pulau Jawa dan Bali merupakan pusat kegiatan di nusantara ini. Dengan tingkat aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan jumlah penduduk yang cukup besar (mencapai 65persen dari jumlah penduduk Indonesia), sudah sangat wajar apabila pembangunan infrastruktur lebih berkembang di kedua pulau ini. Sektor yang menjadi andalan dari kedua pulau ini adalah sektor pertanian,
khususnya tanaman pangan, sektor industri, sektor
perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa.
Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat strategis dalam mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negaranya. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan perekonomian.
Di Indonesia, pembangunan perkotaan yang merupakan akibat dari industrialisasi dapat dilihat dari perkembangan kota besar seperti Jakarta yang menjadi pusat industri sejak dulu. Jakarta telah mengalami perkembangan dan pembangunan yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Perkembangan yang terjadi meliputi perkembangan wilayah cakupan dan keterkaitannya dengan wilayah sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Oleh karena itu
membahas perkembangan Kabupaten Bekasi, tidak dapat dilepaskan dari perkembangannya sebagai daerah penyangga bagi Ibukota Jakarta. Sebagai daerah penyangga ibukota, Kabupaten Bekasi telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam jumlah penduduk maupun pertumbuhan ekonominya. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bekasi, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bekasi selama kurun tahun 2002 s/d 2006 mencapai ratarata 4,22 persen per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk secara nasional yaitu 1,45 persen pada tahun 2005. Demikian pula dilihat dari perkembangan laju pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari pertumbuhan nilai produk bruto. Selama kurun tahun 2003 s/d 2005, PDRB Kabupaten Bekasi tumbuh rata-rata 13,17 persen per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun yang sama yaitu 4,94 persen. Kabupaten Bekasi merupakan daerah yang berbasis industri dengan kontribusi industri terhadap pendapatan nasional yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat pada kawasan industri yang berada di beberapa kecamatan, dan ditunjukkan pula dengan besarnya kontribusi sector industri terhadap PDRB Kabupaten Bekasi yang mencapai 80 persen. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah
daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya mengaloksikan belanja untuk berbagai kepentingan publik. Pada akhirnya perbaikan infrastruktur ini akan meningkatkan kondisi pembangunan Indonesia. Meningkatnya kondisi pembangunan akan memberikan efek peningkatan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian khususnya di Indonesia. Sehingga diharapkan mampu memberikan solusi yang baik bagi penentuan kebijakan pembangunan infrastruktur ke depan.
1.2
Perumusan Masalah Perkembangan infrastruktur dengan pembangunan ekonomi memiliki
hubungan yang sangat erat dan saling ketergantungan satu sama lain. Perbaikan infrastruktur
pada
umumnya
dapat
meningkatkan
mobilitas
penduduk,
mempercepat laju pengangkutan barang, memperbaiki kualitas dari jasa pengangkutan tersebut, meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana pembangunan, serta meningkatkan efisiensi penggunaan sarana pembangunan.
Ketertinggalan suatu daerah dalam membangun dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah rendahnya daya tarik suatu daerah yang menyebabkan tingkat aktivitas ekonomi yang rendah. Suatu daerah yang tidak memiliki sumber daya (baik manusia maupun alam) serta kurangnya insentif yang ditawarkan (prasarana infrastruktur, perangkat keras dan lunak, keamanan dan sebagainya). Untuk mengejar ketinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang socialoverhead seperti pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya. Pilihan ditentukan oleh kondisi dan ciri daerah serta masalah institusionalnya. Dalam Keputusan Presiden RI No. 81 Tahun 2001 Tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur, disebutkan dalam Pasal 2, bahwa pembangunan infrastruktur mencakup : 1. Prasarana dan sarana perhubungan : jalan, jembatan, jalan kereta api, dermaga, pelabuhan laut, pelabuhan udara, penyeberangan sungai dan danau; 2. Prasarana dan sarana pengairan: bendungan, jaringan pengairan, bangunan pengendalian banjir, pengamanan pantai, dan bangunan pembangkit listrik tenaga air; 3. Prasarana dan sarana permukiman, industri dan perdagangan: bangunan gedung, kawasan industri dan perdagangan, kawasan perumahan skala
besar, reklamasi lahan, jaringan dan instalasi air bersih, jaringan dan pengolahan air limbah, pengelolaan sampah, dan sistem drainase; 4. Bangunan dan jaringan utilitas umum: gas, listrik, dan telekomunikasi. Selain memiliki dimensi ruang yang luas, pembangunan infrastruktur juga menghadapi tiga dimensi permasalahan. Pertama, membutuhkan invetasi yang cukup besar, waktu pengembalian modal yang panjang, pemanfaatan teknologi tinggi, perencanaan dan implementasi perlu waktu panjang untuk mencapai skala ekonomi
yang
tertentu.
Kedua,
pembangunan
menjadi
prasyarat
bagi
berkembangnya kesempatan dan peluang baru di berbagai bidang kehidupan. Ketiga, adanya persaingan global dan sekaligus memenuhi permintaan investor baik dari dalam maupun luar negeri. Ditambah lagi dengan adanya 2 (dua) matra yang harus dimiliki dalam penyediaan infrastruktur, yaitu matra fisik dan matra pelayanan. Infrastruktur tidak selesai dibangun secara fisik saja, namun menuntut adanya operasional dengan mengedepankan kualitas pelayanan jasa dan efektivitas pengelolaan infrastruktur. Melihat begitu banyaknya peran maupun dimensi permasalahan serta tantangan dalam pembangunan infrastruktur, maka perlu diupayakan pencegahan guna meminimalisir munculnya permasalahan. Adanya ganti rugi kepada masyarakat karena pembebasan tanah ternyata menghadapi banyak kendala. Selain membutuhkan waktu yang lama karena sulit mencapai kesepakatan harga dengan pemilik tanah, ternyata ganti rugi secara fisik (dalam bentuk uang) saja tidak cukup.
Menyikapi permasalahan tersebut, diperlukan strategi dan komitmen utuh pemerintah untuk mengatasi kelangkaan infrastruktur tersebut. Kendala terbesar yang dihadapi pemerintah tentu saja adalah keterbatasan anggaran. Pengeluaran untuk infrastruktur juga merupakan sebuah strategi untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba menguraikan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut yaitu bagaimana pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi.
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan kondisi infrastruktur di wilayah Kabupaten Bekasi. 2. Menganalisis pengaruh infrastruktur (jalan, irigasi, dan air bersih) terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi.
1.4
Manfaat Penelitian Selain menjawab permasalahan yang ada, penulis berharap penelitian ini
dapat berguna dikemudian hari. Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah sebagai pengambil keputusan, terutama untuk menentukan pengalokasian anggaran yang efektif dan efisien dalam pembangunan infrastruktur agar perekonomian Indonesia menjadi lebih baik.
2. Bagi para akademisi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian-penelitian lainnya. 3. Bagi masyarakat umum. Penelitian ini diharapkan dapat menyuguhkan suatu pengetahuan umum yang menarik, dan dipetik manfaatnya. Terutama pengetahuan terhadap infrastruktur dan perkembangannya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian
ini
difokuskan
pada
analisis
pengaruh
pembangunan
infrastruktur (jalan, irigasi dan air bersih) dari tahun 1990 sampai 2006 terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Infrastruktur Infrastruktur dibedakan menjadi dua jenis, yakni infrastruktur ekonomi
dan infrasturktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih, dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan (Ramelan, 1997). Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (Bappenas, 2003). Dalam Yanuar (2006) dijelaskan ada dua kendala utama dalam pengadaan infrastruktur. Yang pertama adalah adanya kemungkinan terjadinya kegagalan
pasar (market failure), dan yang kedua adalah menyangkut aspek pembiayaan. Dalam pengadaan infrastruktur dibutuhkan dana investasi yang besar dan pengadaan infrastruktur merupakan investasi jangka panjang. Kegagalan pasar terjadi, karena beberapa jenis infrastruktur memiliki manfaat yang tidak hanya dapat dinikmati atau dirasakan secara pribadi akan tetapi juga dapat dirasakan orang lain. Dengan adanya kendala tersebut, maka pengadaan infrastruktur dilaksanakan oleh pemerintah melalui pengeluaran pemerintah dengan dana yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui pengeluaran pembangunan. Infrastruktur dapat digolongkan sebagai modal atau kapital. Infrastruktur tergolong sebagai social overhead capital, berbeda dengan modal yang berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi, perluasan infrastruktur tidak hanya menambah stok dari modal tetapi juga sekaligus meningkatkan produktivitas perekonomian dan taraf hidup masyarakat luas. Teori Wagner menyebutkan adanya keterkaitan positif antara pertumbuhan ekonomi dan besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Teori ini menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah akan tumbuh lebih cepat dari GDP, dengan kata lain elastisitas pengeluaran pemerintah terhadap GDP lebih besar dari satu. Dalam, suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah akan meningkat. Dasar dari teori Wagner
ini
adalah
pengamatan
empiris
dari
negara-negara
maju
(Mangkoesoebroto, 2001). Pengeluaran pemerintah akan meningkat guna
membiayai tuntutan masyarakat akan kemudahan mobilitas untuk mendukung kegiatan ekonomi. Fasilitas infrastruktur umumnya dibiayai dengan dana publik. Umumnya proyek infrastruktur dihitung dengan Cost Benefit Analysis sehingga sulit untuk mengestimasi eksternalitas yang ada sehingga sulit untuk mengestimasi produktivitas infrastruktur tersebut. Menurut The World Bank, Internal Rate of Return proyek-proyek sektor telekomunikasi ± 20 persen per tahun, listrik sebesar 11 persen dan pembangunan jalan sebesar 29 persen. Nilai ini kurang lebih sama dengan sektor swasta (Canning, 1999). Setiap jenis infrastruktur mempunyai pola masing-masing dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini mempunyai implikasi pada kebijakan dalam menentukan jenis dan investasi yang disalurkan karena pasar cenderung menyediakan modal untuk merespon sinyal dari harga yang menggambarkan keuntungan privat dengan mengabaikan eksternalitas. Karena itu, jika terjadi eksternalitas yang besar, dibutuhkan intervensi pemerintah agar alokasi dana efisien. Pengadaan infrastruktur merupakan hasil kekuatan penawaran dan permintaan, ditambah dari kebijakan publik (Canning, 1998). Kebijakan publik memainkan peran yang besar terutama karena ketiadaan atau ketidaksempurnaan mekanisme harga pada pengadaan infrastruktur. Namun peningkatan
pengadaan
infrastruktur
terhadap
pendapatan
tidak
dapat
diinterprestasikan sebagai elastisitas pendapatan dari permintaan (income elasticity of demand) kecuali biaya infrastruktur sama di semua negara. The World Bank menunjukkan biaya pembangunan jalan di negara berpendapatan
menengah kurang lebih 2/3 dari negara kaya dan negara miskin, hal ini menunjukkan bahwa hubungan GDP per kapita dengan infrastruktur merupakan hasil interaksi yang kompleks lebih dari sekedar penawaran dan permintaan. Pengeluaran untuk infrastruktur juga merupakan sebuah strategi untuk mempromosikan
pembangunan
ekonomi.
Penelitian
mengenai
pengaruh
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dimulai oleh Aschauer (1989) yang meneliti mengenai dampak investasi publik terhadap produktivitas sektor swasta. Hasilnya menunjukkan modal publik adalah produktif dan investasi publik harus ditingkatkan untuk mendorong perekonomian. Selama periode 1949 - 1985, peningkatan 1 persen dari stok modal publik di USA akan meningkatkan output sebesar 0,4 persen. Selain itu underinvestment pada infrastruktur di USA sejak tahun 1968 baru mempunyai pengaruh lima tahun kemudian (Sturm, 1996). Negara - negara berkembang melakukan investasi sebesar US$ 200 milyar per tahun untuk infrastruktur baru, nilai ini ± 4 persen dari output nasional dan 1/5 dari total investasi (The World Bank, 1994). Dampak investasi ini dalam meningkatkan jasa infrastruktur diharapkan sangat besar, namun performa infrastruktur sering mengecewakan. Salah satu penyebabnya adalah kesalahan dalam pengalokasian dana. Misalnya dengan terus melakukan pembangunan infrastruktur baru tanpa melakukan perawatan terhadap infarstruktur yang sudah ada. Dengan tingkat perawatan yang kurang mencukupi, tingkat efektifitas tenaga listrik di negara berkembang hanya 60persen dari kapasitas terpasangnya (optimalnya 80persen) (The World Bank, 1994). Perawatan yang buruk ini
tentunya akan mengurangi jasa pelayanan serta meningkatkan biaya bagi penggunanya. Dampak dari kekurangan infrastruktur serta kualitasnya yang rendah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Sehingga pada akhirnya banyak perusahaan akan keluar dari bisnis atau membatalkan ekspansinya. Karena itulah infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prakondisi yang sangat diperlukan untuk menarik akumulasi modal sektor swasta. Infrastruktur juga dapat dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya dengan adanya pengurangan waktu dan usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan air bersih, berangkat bekerja, menjual barang ke pasar dan sebagainya. Infrastruktur yang baik juga dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi. Tabel 2.1. Rincian Alokasi Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Tahun 2005 Jumlah Investasi Jenis Infrastruktur Persentase Investasi (Milyar Rupiah) Air dan Sanitasi 1.131 2,063 Transportasi (selain 10.716 19,549 jalan) Jalan 15.159 27,654 Gas Alam 2.641 4,818 Listrik 9.551 17,423 Telekomunikasi 13.156 24,000 TOTAL 54.817 Sumber: World Bank Infrastuktur jalan merupakan infrastruktur yang memiliki peran paling strategis terutama pada tahap awal proses pembangunan suatu negara atau daerah. Ketersediaannya tidak hanya berperan penting dalam mendorong aktivitas ekonomi, tapi juga mendorong penyediaan berbagai jenis infrastruktur lainnya. Pembangunan jaringan infrastruktur listrik, jaringan telepon, irigasi, pipa air
bersih, rel kereta api, pelabuhan, bandar udara, dan infrastruktur lainnya hampir tidak mungkin dapat disediakan tanpa didahului oleh pembangunan jaringan jalan.
2.2
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah total dari hasil
penggunaan dan pelayanan atau jasa setiap unit produksi dalam suatu negara pada periode tertentu. Produk Domestik Regional Bruto juga berarti total komponen permintaan, pemenuhan konsumsi belanja rumahtangga dan institusi non profit, konsumsi pemerintah pada waktu tertentu (BPS, 2001). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menggambarkan kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output (nilai tambah) pada suatu waktu tertentu. Dalam konteks ini PDRB dapat dilihat dari 2 sisi pendekatan yaitu sektoral dan penggunaan. Keduanya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sumber pendapatan dan menurut komponen penggunaannya. PDRB dari sisi sektoral merupakan penjumlahan seluruh komponen nilai tambah bruto yang mampu di ciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian daerah yang turunannya adalah laju pertumbuhan ekonomi ataupun pendapatan perkapita. Dengan demikian PDRB merupakan ukuran kuantitas yang sangat diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keadaan masa lalu, sekarang dan sasaran yang akan dicapai pada masa yang akan datang.
Penyajian PDRB menurut sektor dirinci menurut total nilai tabah dari seluruh sektor ekonomi yang mencakup sektor Pertanian; Petambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas, dan Air bersih; Kontruksi; Perdagangan, Restoran dan Hotel; Pengangkutan dan Komunikasi; Lembaga Keuangan; dan Jasa-jasa. Sedangkan PDRB menurut penggunaan dirinci menurut pengeluaran konsumsi rumah tangga (termasuk lembaga nirlaba), pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Produk Domestik Bruto (PDB) maupun agregat turunannya disajikan dalam 2 versi penilaian, yaitu atas dasar “Harga Berlaku” dan atas dasar “Harga Konstan”. Harga berlaku merupakan seluruh agregat dinilai dengan menggunakan harga pada tahun berjalan, sedangkan harga konstan penilaiannya didasarkan kepada harga satu tahun dasar tertentu. Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) diperoleh dari perhitungan PDRB atas harga konstan, diperoleh dengan cara mengurangi nilai PDRB pada tahun ke n-1 (tahun sebelumnya), dibagi dengan nilai pada tahun ke n-1, kemudian dikalikan dengan 100 persen. Laju pertumbuhan menunjukkan perkembangan agregat pendapatan dari satu waktu terhadap waktu sebelumnya (perkembangan berantai). r
PDRBn PDRBn 1 x100% PDRBn 1
Dimana : r
= angka pertumbuhan PDRB
PDRBn
= Perkiraan PDRB pada tahun ke-n
( 2.1 )
PDRBn-1
= Perkiraan PDRB pada tahun ke n-1
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat perkembangan dan struktur perekonomian di suatu daerah. Nilai PDRB disajikan berdasarkan harga berlaku, yaitu dengan memperhitungkan pengaruh harga, dan atas dasar harga konstan, yaitu tanpa memperhitungkan pengaruh harga.
2.3
Penerimaan Pemerintah Daerah Menurut Halim (2007) pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan daerah. Berdasarkan undangundang No 33 Tahun 2004 Pasal 66 ayat 1. Keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Pengelolaan anggaran adalah suatu tindakan penyeimbangan berbagai kebutuhan. Kebutuhan dibidang pendidikan, sosial, dan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan di sektor publik tersebut pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan
daerahnya sendiri. Sehingga dengan otonomi daerah pemerintah daerah akan semakin mampu mencukupi kebutuhan pembangunannya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Undang-undang tersebut merupakan perubahan atau perbaikan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997.
2.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan keuangan daerah yang digali dari potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut terdiri dari ; (1) Hasil pajak daerah; (2) Hasil retribusi daerah; (3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah; serta (4) Pendapatan asli daerah lain-lain yang sah (UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 79). Dengan berlakunya Undang-undang otonomi daerah maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari APBN. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan baik yang berasal dari daerah tersebut maupun dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Elmi, 2002).
2.3.1.1. Pajak Daerah Secara umum pajak adalah pungutan dari masyrakat oleh Negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh wajib yang membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung. Hasil pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan (Siahaan,2006). Pajak daerah di Indonesia berdasarkan undang-undang No. 34 Tahun 2000 terbagi menjadi dua, yaitu pajak provinsi dan pajak Kabupaten/kota. Pembagian ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masingmasing jenis pajak daerah pada wilayah administrasi provinsi atau Kabupaten/kota yang bersangkutan.
2.3.1.2. Retribusi Daerah Retribusi daerah adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada Negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh Negara bagi penduduknya secara perseorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar jasa retribusi yang menikmati balas jasa dari Negara. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan hanya dapat dipungut oleh perintah daerah. Jadi retribusi yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh perintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan usaha. Jasa yang dimaksud adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh pribadi atau badan usaha. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tidak banyak mengubah ketentuan tentang retribusi daerah dalam UU Nomor 18 Tahun 1997. Retribusi ditetapkan ke dalam tiga golongan, yaitu retribusi umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan tertentu.
2.3.1.3. Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang potensial untuk dikembangkan. Menurut Elmi (2002) perusahaan daerah seperti perusahaan air bersih (PDAM), bank pembangunan daerah (BPD), hotel, bioskop, percetakan, perusahaan bis kota, dan pasar adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.
2.3.1.4. Pendapatan Asli Daerah Lainnya yang Sah Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, yang termasuk pendapatan asli daerah lainnya yang sah adalah hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun
bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih penting dibandingkan dengan sumbersumber diluar pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih terikat. Dengan penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan pemerintah daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam penyelenggaraan urusan daerah.
2.3.2
Dana Alokasi Umum (DAU) Dana perimbangan adalah salah satu sumber penerimaan daerah, maka
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Upaya tersebut diharapkan dapat menciptakan independensi pemerintah daerah dibidang keuangan, disamping mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat (Halim, 2007) Menurut Sidik et al. (2002) Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyrakat didaerah sehingga perbedaan antar daerah yag maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Penggunaan dana alokasi umum ditetapkan daerah termasuk didalamnya pengertian pemerataan kemampuan keuangan daerah adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintah
daerah dalam penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan merupakan satu satuan penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penggunaan dana alokasi umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD, harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan.
2.4
Investasi Teori pertumbuhan Harrod-Domar menyatakan adanya hubungan yang
positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga peningkatan investasi, dalam hal ini adalah pembentukan modal menjadi sangat penting peranannya dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Menurut Nurkse lingkaran kemiskinan di negara berkembang dapat dipotong dengan pembentukan modal. Sehingga pembentukan modal dipandang sebagai salah satu faktor dan sekaligus sebagai faktor utama di dalam pembangunan ekonomi (Jhingan, 1983). Negara berkembang umumnya memiliki tingkat pendapatan yang rendah, hal ini tentunya juga akan menyebabkan rendahnya permintaan, produksi, dan investasi. Dengan pembentukan modal akan dihasilkan kenaikan output nasional, pendapatan dan pekerjaan, dengan demikian memecahkan masalah inflasi dan neraca pembayaran (Jhingan,1983). Hakikat pembangunan ekonomi adalah penciptaan modal overhead sosial dan ekonomi. Hal ini hanya dapat dilakukan jika laju pembentukan modal di dalam negeri cukup cepat, yaitu jika bagian dari pendapatan atau output
masyarakat yang ada hanya sedikit saja yang digunakan untuk konsumsi dan sisanya ditabung dan diinvestasikan. Investasi dalam peralatan modal tidak saja meningkatkan poduksi tapi juga meningkatkan kesempatan kerja. Pembentukan modal
juga
menciptakan
perluasan
pasar,
membantu
menyingkirkan
ketidaksempurnaan pasar dengan menciptakan modal overhead sosial dan ekonomi. Jadi investasi dapat memotong rantai kemiskinan baik dari sisi penawaran maupun sisi permintaan (Jhingan,1983). Investasi yang dilakukan oleh investor tergantung pada tingkat suku bunga, tingkat suku bunga merupakan biaya utang untuk membiayai proyek investasi. Kenaikan dalam tingkat suku bunga riil akan mengurangi investasi yang direncanakan. Sehingga hubungan antara investasi dan tingkat suku bunga riil adalah berhubungan negatif. Efek Fisher menjelaskan adanya hubungan antara tingkat suku bunga dengan inflasi, semakin tinggi inflasi maka tingkat suku bunga riil akan semakin rendah. Jadi kenaikan dalam inflasi akan memicu terjadinya investasi, karena adanya penurunan suku bunga riil sehingga biaya utang untuk membiayai proyek investasi lebih kecil (Mankiw, 2003). Keputusan investor untuk menanamkan modal juga sangat dipengaruhi oleh harga input produksi. Upah yang rendah akan merangsang investor menanamkan modal. Kelebihan jumlah tenaga kerja yang biasa terjadi di negara berkembang menyebabkan kelebihan penawaran tenaga kerja, hal ini akan menekan tingkat upah menjadi lebih rendah. Dengan kata lain banyaknya jumlah
tenaga kerja yang menganggur akan memicu minat investor untuk menanamkan modal.
2.5
Konsep Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Arsyad (1993) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada umumnya
didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk
suatu
negara
meningkat
dalam
jangka
panjang.
Sedangkan
pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP/GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Namun demikian, pada umumnya para ekonom memberikan pengertian sama untuk kedua istilah tersebut. Mereka mengartikan pertumbuhan atau pembangunan ekonomi sebagai kenaikan GDP/GNP saja. Dalam penggunaan yang lebih umum, istilah pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan untuk menyatakan perkembangan ekonomi di negara maju, sedangkan istilah pembangunan ekonomi untuk menyatakan perkembangan ekonomi di negara sedang berkembang. Menurut Rostow dalam Arsyad (1993), proses pembangunan ekonomi bisa dibedakan ke dalam lima tahap yaitu masyarakat tradisional, prasyarat untuk tinggal landas, tinggal landas, menuju kedewasaan, dan masa konsumsi tinggi. Dasar pembedaan proses tersebut adalah karakteristik perubahaan keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi. Pembangunan ekonomi berarti pula sebagai suatu proses yang menyebabkan antara lain: (1) perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada mulanya berorientasi kepada
suatu daerah menjadi orientasi ke luar; (2) perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil; (3) perubahan dalam kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi yang tidak produktif menjadi investasi yang produktif; (4) perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang merangsang pembangunan ekonomi (misalnya penghargaan terhadap waktu, penghargaan terhadap prestasi perorangan, dan sebagainya).
2.6
Konsep Pembangunan Wilayah Daerah Suparmoko (1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi
adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil per kapita. Jadi pembangunan ekonomi selain untuk meningkatkan pendapatan riil juga untuk meningkatkan produktivitas. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan ekonomi suatu wilayah atau daerah. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor ekonomi dan faktor non ekonomi (seperti hukum, pendidikan, kesehatan, agama, pemerintah, dan lainlain). Syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah bahwa proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian di dalam negeri. Hasrat untuk memperbaiki nasib dan prakarsa untuk menciptakan kemajuan material harus muncul dari warga masyarakatnya sendiri dan tidak dapat dipengaruhi atau diidentifikasi oleh daerah luar (Jhingan, 2002).
Tambunan
(2001)
menyatakan
ada
beberapa
teori
yang
dapat
menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat pembangunan ekonomi antar daerah. Teori yang umum digunakan adalah sebagai berikut : 1.
Teori Basis Ekonomi Teori basis ekonomi ini menyatakan bahwa faktor penentu utama
pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Proses produksi di sektor industri di suatu daerah yang menggunakan sumber daya produksi lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku, dan output-nya di ekspor akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan per kapita, dan penciptaan peluang kerja di daerah tersebut. 2.
Teori Lokasi Inti pemikiran teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha atau
perusahaan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha memilih lokasi usaha yang memaksimumkan keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha atau produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar. 3.
Teori Daya Tarik Industri Dalam upaya pengembangan ekonomi daerah di Indonesia sering
dipertanyakan jenis-jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan. Ini adalah masalah membangun portofolio industri suatu daerah. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, ada sejumlah faktor penentu pembangunan industri di suatu daerah, yang terdiri atas : (1) Faktor-faktor daya tarik industri yang mencakup
nilai tambah yang tinggi per pekerja/produktivitas, industri-industri kaitan, daya saing di masa depan, spesialisasi industri, potensi ekspor, dan prospek bagi permintaan domestik; dan (2) Faktor-faktor daya saing daerah, meliputi penilaian kemampuan industri suatu daerah dan pembangunan kemampuan industri suatu daerah.
2.7
Tinjauan Studi Terdahulu Hasil
Penelitian
Yudhoyono
(2004)
Desentralisasi
menyebabkan
pengeluaran untuk infrastruktur cenderung menurun. Simulasi model simultan yang digunakan oleh Yudhoyono (2004) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja. Namun dampak pengeluaran pemerintah dalam infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, relative lebih besar disektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Hasil penelitian Yanuar (2006) memperlihatkan bahwa infrastruktur secara parsial memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. Selain itu dalam penelitian ini, Yanuar juga melihat bagaimana kesenjangan stok infrastruktur antar daerah mempengaruhi output masing-masing daerah tersebut. Kesenjangan yang terjadi dalam perekonomian dapat disebabkan oleh adanya ketimpangan stok dari infrastruktur. Penelitian Sihombing (2003) dengan menggunakan Error Corection Model, dan data time series sejak tahun 1969-2000, menemukan bahwa dalam jangka pendek variabel arus modal masuk dan inflasi mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap besarnya pengeluaran. Sementara dalam jangka panjang, hasil estimasi memerlihatkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, arus modal masuk, inflasi, pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya, perubahan inflasi tahunan dan perubahan pengeluaran pemerintah tahunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengeluaran pemerintah. Studi lainnya yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur adalah penelitian oleh Sibarani (2002). Dalam tesisnya mencoba melihat kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan di Indonesia dengan menggunakan data panel 26 provinsi di Indonesia dalam jangka waktu 1983-1997. Model yang digunakan didasarkan pada model Barro (1990) dengan infrastruktur sebagai input bagi agregat produksi (Canning dan Pedroni, 1999). Hasil penelitian Sibarani (2002) menyimpulkan bahwa infrastruktur, jalan, listrik, telepon memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap agregat output yang diwakili oleh variebel pendapatan perkapita. Terlihat perbedaan kontribusi dari setiap jenis infrastruktur untuk setiap wilayahnya. Perbedaan juga terlihat saat regresi dilakukan untuk wilayah yang tidak sama besarnya. Kontribusi infrastruktur untuk wilayah lebih kecil memperlihatkan nilai lebih besar dibandingkan wilayah yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh ketimpangan stok yang sangat besar pada semua jenis infrastruktur baik pembangunan jalan, listrik dan telepon. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada periode penelitian dan variabel-variabel ekonomi pada persamaan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari tahun 1990 - 2006, yaitu selama kurun waktu 17 tahun. Kemudian variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi, dan data mengenai infrastruktur jalan, irigasi, dan air bersih.
2.8
Kerangka Pemikiran Kondisi perekonomian suatu daerah dipengaruhi oleh demografi, potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia, aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, serta aspek potensi pasar. Kekuasaan dalam pengambilan keputusan ini termasuk didalamnya adalah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Keterkaitan
infrastruktur
dalam
pembangunan
ditunjukkan
oleh
pertumbuhan output. Ketersediaan infrastruktur yang kurang menyebabkan potensi sumberdaya di daerah tersebut sulit berkembang. Banyak penelitian telah membuktikan, jika infrastruktur suatu daerah berkembang baik, terutama infrastruktur
jalan,
maka
akan
merangsang
peningkatan
pendapatan
masyarakatnya. Karena aktivitas ekonomi daerah ini meningkat akibat semakin tingginya dan semakin mudahnya mobilitas faktor produksi dan aktivitas perdagangan daerah tersebut. Adapun kerangka pemikiran konseptual dalam penelitian ini dapat di lihat dari Gambar 3.1. Pembangunan ekonomi Kabupaten Bekasi dalam penelitian ini didapat melalui kebijakan fiskal, yaitu melalui pembiayaan untuk infrastruktur yang telah disusun berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pembangunan infrastruktur diharapkan akan mendorong investasi baik dari dalam maupun luar negeri, investasi tersebut diharapkan akan meningkatkan
pembangunan wilayah Kabupaten Bekasi, pada akhirnya akan meningkatkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi.
Pembangunan Ekonomi Kabupaten Bekasi Kebijakan Fiskal Tx dan G
Kebijakan Moneter
G Untuk Infrastruktur
Pembiayaan Oleh APBD
Pembangunan Infrastruktur
Berkembang sektor Industri
Mendorong Investasi
Menyerap Tenaga Kerja
Pembangunan Wilayah
Meningkatkan Pendapatan
PDRB
Alternatif Kebijakan Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Keterangan:
: Variabel yang akan diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan antar variabel
III. GAMBARAN UMUM
3.1.
Struktur Ekonomi Kabupaten Bekasi
Struktur perekonomian di suatu wilayah dapat menggambarkan sektorsektor yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi daerah (engine growth). Di Kabupaten Bekasi yang menjadi motor penggerak pertumbuhannya adalah sektor industri pengolahan, hal ini terbukti dari peranan sektor industri yang mendominasi perekonomian di Kabupaten Bekasi dari tahun ke tahun. Secara umum gambaran kemajuan ekonomi suatu daerah biasanya dilakukan pengelompokkan sektor ekonomi yang terdiri atas : 1. Sektor primer yaitu sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau bahan baku melainkan hanya mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di dalamnya. Yang termasuk kelompok ini adalah sektor pertanian serta sektor pertambangan penggalian. 2. Sektor sekunder yaitu sektor yang mengolah bahan-bahan mentah atau bahan baku baik berasal dari sektor primer maupun dari sektor sekunder menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Sektor ini mencakup sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air minum, dan sektor kontruksi. 3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa, yaitu yang tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa. Sektor yang tercakup adalah perdagangan, hotel dan restoran, angkutan dan komunikasi, bank dan lembaga keuangan lainnya, dan jasa-jasa.
Tabel 3.1 Peranan PDRB Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Dalam Juta Rupiah/persen) Lapangan Usaha
2003
2004
1. Primer 1.380.485,03 1.675.326,11 (Pertanian & (3,21) (3,48) Pertambangan 2. Sekunder (Industri, Listrik, 36.317.252,22 40.481.652,02 Air dan (84,34) (84,01) Bangunan) 3. Tersier (Perdagangan, pengakutan 5.362.280,31 6.029.143,10 lembaga (12.45) (12,51) keuangan dan jasa) 43.060.017,56 48.186.121,23 PDRB (100,00) (100,00) *) Angka perbaikan **) Angka sementara Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat
2005*)
2006**)
2.110.803,20 (3,71)
2.450.369,44 (3,70)
47.767.341,70 55.558.211,84 (83,77) (83,87)
7.139.015,56 (12,52)
8.231.325,22 (12,43)
57.017.160,45 66.239.906,50 (100,00) (100,00)
Distribusi persentase PDRB secara sektoral menunjukkan peranan masingmasing sektor dalam pembentukan PDRB secara keseluruhan. Semakin besar persentase suatu sektor maka semakin besar pula pengaruh sektor tersebut dalam perkembangan ekonomi suatu daerah. Oleh karena itu dengan melihat perkembangan suatu sektor dalam kurun waktu tertentu akan kurang tepat tanpa memperhatikan peranan sektor tersebut dalam PDRB secara keseluruhan dengan kurun waktu yang sama. Jadi persentase ini dapat dianggap sebagai sektor penimbang apabila kita ingin melihat perkembangan sektoral dengan lebih teliti, dalam arti jika peranan suatu sektor besar dan terjadi perubahan kecil saja dalam sektor tersebut, maka akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan ekonomi daerah tersebut. Sebaliknya, jika peranan suatu sektor kecil
dan terjadi perubahan baik besar maupun kecil dalam sektor tersebut, maka pengaruh yang diakibatkan kurang signifikan terhadap perubahan ekonomi daerah tersebut. Penopang utama pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bekasi masih terdapat pada sektor industri. Sementara sektor perdagangan dan jasa mengalami peningkatan sejalan dengan pertumbuhan sektor industri.
3.2.
Tinjauan sektor Industri di Kabupaten Bekasi
Seiring dengan semakin membaiknya roda perekonomian Indonesia yang diindikasikandengan terus meningkatnya nilai PDRB. Semakin membaiknya sektor industri khususnya di Kabupaten Bekasi sebagai penopang industri nasional yang dibuktikan dengan tingginya nilai ekspor Kabupaten Bekasi pada tahun 2005 yang mencapai sebesar 15.783.726.757,96 US$ dan pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 8.555.240.000,00 US$, kenyataan ini tidak dapat dipungkiri apabila industri di Kabupaten Bekasi mendominasi kontribusi terhadap nilai PDRB Kabupaten Bekasi yang mencapai hingga 80 persen. Tabel 3.2 Nilai Tambah tertinggi sektor Industri Besar Sedang di 6 Kota/Kabupaten di Jawa Barat No.
Daerah 2006 Persentase Terhadap Jawa Barat Kabupaten 1 Bekasi 53.389.467,78 26,54 Kabupaten 2 Bogor 28.800.577,74 14,32 Kabupaten 3 Bandung 17.876.119,11 8,89 Kabupaten 4 Karawang 16.644.973,88 8,28 Kota 5 Bandung 12.092.653,52 6,01 Kota 6 Bekasi 10.461.541,23 5,20 Kota/Kabupaten 7 lainnya di 61.871.519,64 30,76 Jawa Barat Jawa Barat 201.136.852,90 100,00 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat tahun 2006
3.3.
PDRB Perkapita dan Kesejahteraan Penduduk
Indikator yang dipakai untuk menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat secara makro adalah pendapatan perkapita (percapita income). Semakin tinggi pendapatan perkapita yang diterima penduduk suatu wilayah maka tingkat kesejahteraan di wilayah yang bersangkutan dapat dikatakan bertambah baik. Oleh karena pendapatan faktor produksi dan transfer yang mengalir keluar (transfer out) serta pendapatan faktor produksi dan transfer yang masuk (transfer in) yang menjadi komponen perhitungan pendapatan regional belum dapat dihitung maka yang disajikan adalah PDRB perkapita. PDRB perkapita atas dasar harga berlaku menggambarkan besarnya nilai tambah domestik bruto perpenduduk secara nominal, sedangkan PDRB perkapita atas dasar harga konstan berguna untuk mengetahui nilai tambah secara nyata perkapita. Angka ini diperoleh dengan cara membagi PDRB dengan jumlah penduduk pertengah tahun, Tabel 3.2 disajikan PDRB perkapita ADH berlaku Tahun 2000-2006. Tabel 3.3 PDRB Perkapita Kabupaten Bekasi Tahun 2000-2006 (Rupiah) Tahun
PDRB Perkapita ADH Berlaku 2000 18.892.585 2001 20.019.855 2002 21.401.327 2003 22.935.814 2004 24.708.183 2005 28.116.329 2006 32.236.747 Sumber: BPS tahun 2006
Perubahan PDRB Perkapita ADH Perubahan (%) Konstan 2000 (%) 18.892.585 5,97 19.127.283 1,24 6,90 19.272.307 0,76 6,18 19.546.522 0,49 7,73 19.960.667 2,12 13,79 20.349.992 1,95 14,65 21.285.775 4,60
PDRB perkapita Kabupaten Bekasi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari jumlah penduduk sebanyak 2.054.795 jiwa pada tahun 2006, PDRB perkapita ADH berlaku Kabupaten Bekasi sebesar Rp. 32.236.749,86 mengalami peningkatan sebesar 14,65 persen. Kendati demikian peningkatan PDRB perkapita di atas masih belum menggambarkan secara riil kenaikan daya beli masyarakat Kabupaten Bekasi secara umum. PDRB perkapita yang dihitung berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku masih terkandung paktor inflasi yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Untuk memantau perkembangan daya beli masyarakat secara riil dapat digunakan PDRB perkapita yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan. Berdasarkan Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa PDRB atas dasar konstan tahun 2006 di Kabupaten Bekasi sebesar Rp. 21.285.775 mengalami peningkatan sebesar 4,46 persen bila dibandingkan dengan tahun 2005. (tahun 2005 sebasar 1,95 persen).
3.4.
Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Elastisitas Kesempatan Kerja
Seperti diketahui bahwa tidak selamanya kenaikan output suatu sektor ekonomi selalu diikuti kenaikan kesempatan kerja pada sektor yang bersangkutan. Hal ini mungkin disebabkan perkembangan teknologi yang ditandai dengan terciptanya alat-alat industri yang lebih efisien dan efektif yang mampu menghasilkan output yang lebih banyak dibandingkan dengan tenaga manusia, dengan kata lain sektor tersebut lebih fokus pada usaha yang padat modal bukan padat karya.
Besarnya pengaruh pada pergeseran peran sektor ekonomi terhadap kesempatan kerja dilihat dari tingkat elastisitas. Tingkat elastisitas kesempatan kerja dihitung dengan cara membandingkan antara laju pertumbuhan PDRB. Hasil perhitungan laju pertumbuhan PDRB ADH Konstan (LPE) selama tahun 2002-2005 rata-rata LPE 4 tahun terakhir mencapai 5,36 persen. Sementara rata-rata kesempatan kerja selama periode yang sama berdasarkan data sekunder dan primer serta asumsi lainnya adalah 1,44 persen pertahun. Sehingga tingkat elastisitas kesempatan kerja di Kabupaten Bekasi selama 2003-2005 adalah 0,27 persen, yang berarti bahwa setiap kenaikan output dalam hal ini PDRB sebanyak 1 persen akan menciptakan kesempatan kerja sebesar 0,27 persen. Tabel 3.4 Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Elastisitas Kesempatan Kerja di Kabupaten Bekasi Tahun 2002-2005 (Dalam persen) Lapangan Pekerjaan Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Industri, listrik, pertambangan dan penggalian, bangunan Jasa-jasa Total rata-rata Sumber: BPS 2005
Rata-rata Laju Rata-rata Laju Pertumbuhan Kesempatan Kerja PDRB 3,10 -0,30
Elastisitas Kesempatan Kerja -0,10
6,10
0,05
0,01
7,34 5,36
4,56 1,44
0,62 0,27
Selama kurun waktu 2003-2005 lapangan pekerjaan pertanian mencatat elastisitas yang negatif sebesar -0,10 persen. Hal ini menunjukan bahwa lapangan pekerjaan tersebut terjadi inelastisitas, karena pertumbuhan nilai tambah justru mengurangi kesempatan kerja. Sementara pekerjaan industri yang terdiri dari
pengolahan, pertambangan dan penggalian, listrik, gas, dan air serta bangunan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,01 persen. Ini berarti bahwa setiap kenaikan nilai tambah 1 persen akan menaikan kesempatan kerja sebesar 0,01 persen. Pengaruh dari adanya industri besar-sedang di Kabupaten Bekasi memberikan dampak terhadap perubahan ekonomi pada sektor perdagangan dan jasa. Nilai tambah lapangan pekerjaan jasa-jasa yang terdiri dari perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel, angkutan, pergudangan dan komunikasi; keuangan, asuransi, usaha penyewaan, bangunan, tanah dan jasa perusahaan; jasa masyarakat mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,34 persen. Di sisi kesempatan kerja, lapangan pekerjaan ini mencatat rata-rata pertumbuhan 4,56 persen yang berarti kenaikan satu persen akan menciptakan kesempatan kerja sebesar 0,62 persen. Sektor ini kebanyakan merupakan sektor informal dari segi penyerapan tenaga kerja cukup memberikan andil yang besar sehingga memiliki tingkat elastisitas yang tinggi.
3.5.
Gambaran Umum Infrastruktur Jalan
Jalan berperan penting dalam merangsang maupun mengantisipasi pertumbuhan ekonomi yang terjadi, karena itu setiap negara seharusnya melakukan investasi yang besar dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas jalan. Sistem jalan yang baik memberikan keunggulan untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan hasil produknya, mengembangkan industri, mendistribusikan populasi serta meningkatkan pendapatan. Pembangunan prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akan
meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi. Sebaliknya, prasarana jalan yang minim dan buruk kondisinya menjadi hambatan dalam mengembangkan perekonomian suatu wilayah. Terdapat hubungan yang konsisten dan signifikan antara pendapatan dengan panjang jalan. Negara berpenghasilan lebih dari US$ 6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan + 10.110 Km/satu juta penduduk, negara berpenghasilan US$ 545-US$6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan + 1.660 Km/satu juta penduduk dan negara berpenghasilan kurang dari US$ 545/kapita mempunyai rasio panjang jalan + 170 Km/satu juta penduduk. Panjang jalan perkapita dengan GNP perkapita menunjukkan hubungan yang signifikan, di sub-sahara Afrika akan semakin kuat jika digunakan variabel jalan berkondisi baik. Negara di Afrika yang mempunyai masalah kerusakan pada prasarana jalannya mengalami penurunan pendapatan sedangkan negara yang mampu meningkatkan kualitas jalannya mampu meningkatkan pendapatannya, sehingga kondisi jalan turut berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi.
3.6.
Gambaran Umum Infrastruktur Irigasi
Irigasi merupakan sarana pada sektor pertanian yang memiliki peranan yang penting guna proses kegiatan pertanian. Sebagai Negara agraris sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting. Sehingga sarana dan prasarana pertanian salah satunya irigasi sangat mutlak dibutuhkan, sehingga sektor pertanian dapat berperan dengan baik bagi pertumbuhan ekonomi.
Kabupaten Bekasi yang memiliki luas 127.388 Ha telah memiliki 34.520 Ha sarana irigasi teknis, 7.877 Ha irigasi setengah teknis dan 1.406 Ha irigasi sederhana pada tahun 2006. Namun seiring dengan pembangunan dan berkembangnya sektor industri lahan pertanian di wilayah Kabupaten Bekasi banyak mengalami alih fungsi lahan, sehingga banyaknya sarana irigasi menjadi kurang efektif bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi.
3.7.
Gambaran Umum Infrastruktur Air Bersih
Air bersih mempunyai peranan vital dalam kehidupan manusia. Peran air secara umum dalam masyarakat seperti irigasi pertanian, industri, pengolahan limbah, kebutuhan sehari-hari dan industri minuman. Umumnya daerah perdesaan, menggunakan air untuk pertanian dan kebutuhan sehari-hari, sedangkan diperkotaan untuk industri dan juga kebutuhan sehari-hari penduduk. Penyediaan air bersih dan sarananya merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kualitas dan keberlanjutan kehidupan manusia. Oleh karenanya air bersih mutlak harus tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Pada hakikatnya, alam telah menyediakan air yang dibutuhkan, namun desakan pertumbuhan penduduk yang tidak merata serta aktivitasnya telah menimbulkan berbagai dampak perubahan tatanan dan keseimbangan lingkungan. Industrialisasi yang meluas membutuhkan investasi yang besar untuk menjaga tingkat penyediaan air dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan air bersih secara
kontinu terus meningkat dari tahun ke tahun. Infrastruktur air bersih merupakan salah satu bagian penting dalam infrastruktur dasar yang dapat memberi pengaruh bagi pengaruh bagi pertumbuhan output. Secara logis dapat dipahami dalam kehidupan sehari-hari bahwa air bersih mempunyai peran untuk menunjang kualitas hidup masyarakat, yang selanjutnya meningkatkan produktivitas masyarakat sehingga memberikan pengaruh positif bagi output perekonomian daerah setempat.
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder time series tahun 1990-2006.
Data yang digunakan dalam analisis adalah data Pendapatan Domestik Regional Bruto Kabupaten Bekasi, infrastruktur jalan, irigasi, dan air bersih. Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), baik BPS pusat maupun BPS Kabupaten Bekasi. Data sekunder juga bisa diperoleh dari studi kepustakaan, dan literatur yang relevan dan berhubungan dengan penelitian dapat didukung dari perpustakaan Institut Pertanian Bogor (IPB), serta instansi lainnya. Data yang diperoleh digunakan untuk menganalisis variabel yang mempengaruhi pendapatan Kabupaten Bekasi, serta sektor-sektor perekonomian yang berkembang secara kualitatif adalah data dari tahun 1990-2006. Data sekunder yang digunakan merupakan data time series dan diolah dengan menggunakan software Microsoft Office Exel 2007 dan SPSS 15.
4.2
Metode Analisis Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dampak pembangunan
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode regresi linear berganda. Pengolahan data menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 15.
4.3
Analisis Regresi Linear Berganda Metode OLS dikemukakan oleh ahli matematika bangsa Jerman yaitu Carl
Friedrich Gauss. Metode OLS dengan asumsi-asumsi tertentu, mempunyai sifat statistik yang sangat menarik dan menjadikan metode tersebut adalah metode yang baik untuk mengestimasi parameter persamaan regresi (Firdaus, 2004). Analisis regresi linear berganda merupakan suatu metode yang digunakan untuk menguraikan pengaruh variabel-variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data time series, maka dapat diolah dengan menggunakan perangkat lunak (software) SPSS 15. Menurut Gujarati (1995), metode OLS dapat digunakan jika dipenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi ui, tergantung kepada nilai tertentu variabel yang menjelaskan adalah nol 2. Varians bersyarat dari residual adalah konstan atau homokedastik 3. Tidak ada autokorelasi dalam residual 4. Variabel yang menjelaskan adalah nonstokastik 5. Tidak ada multikolinearitas diantara variabel yang menjelaskan 6. Variasi residual menyebar normal Asumsi diatas jika dipertahankan dalam model regresi linear berganda, maka penduga terkecilnya mempunyai variansi minimum yang merupakan penduga linear tak bias terbaik atau Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai pengujian statistik, ekonomi dan ekonometrik. Pengujian
statistik dilakukan dengan uji signifikansi (uji t), analisis varian (uji F) dan uji koefisien determinasi (R2). Sedangkan pengujian ekonometrik dilakukan untuk mengestimasi parameter regresi dengan menggunakan OLS asumsi-asumsi klasik. Untuk melihat ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi klasik maka dilakukan uji autokorelasi, uji multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas. Apabila terjadi pelanggaran maka akan diperoleh hasil estimasi yang tidak valid.
4.4
Model Umum Analisis Regresi Berganda Menurut Winarno (2007), model umum analisis regresi berganda dapat
digambarkan seperti berikut ini: Yi = 0 + 1 Xi1 + 2 Xi2 + ……+ n Xin + ei
( 4.1 )
Dimana:
4.5
Y
= Variabel endogen atau tak bebas
i
= Tahun
= Intersep atau nilai Y saat I = 0
X1, X2, Xn
= Variabel eksogen/bebas
n
= Paramater dari X 1i , X 2i Xni
ei
= Error term atau derajat kesalahan
Model Penelitian Pada penelitian ini, model yang digunakan mempunyai bentuk: LN_Y = k + a LN_JLN + b LN_IRI + c LN_AIR
( 4.2 )
LN adalah Logaritma Natural. Data pada penelitian ini ditransformasi dengan cara logaritma natural. Hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan model terbaik yang terbebas dari masalah multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Y adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), K adalah Intersep atau nilai Y saat I = 0, JLN adalah infrastruktur Jalan (Km), IRG adalah infrastruktur Irigasi (Ha), AIR adalah Infrastruktur Air Bersih (M3), a,b, dan e merupakan koefisien variabel independen serta i adalah tahun. Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat dan BPS Kabupaten Bekasi.
4.6
Uji Kriteria Statistik
4.6.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) Koefisien Determinasi (R2) mengukur goodness of fit dari persamaan regresi linear berganda. Nilai R2 menyatakan persentase keragaman total dari peubah tidak bebas yang dijelaskan oleh semua peubah secara bersama-sama.
R2
Yˆ
R2
1 y i X i1 2 y i X i 2 n y i X in
2
i
y i2
y
2 i
( 4.3 )
Nilai R2 berkisar antara nol dan satu, kecocokan model dikatakan lebih baik jika R2 semakin mendekati 1.
4.6.2 Uji T Nilai t hitung digunakan untuk menguji parameter koefisien regresi sehingga dapat diketahui apakah terdapat pengaruh nyata dari masing-masing variabel independen (Xi) yang dipakai secara parsial terhadap variabel dependen (Y). Hipotesis: H0 : βi = 0 H1 : β2 ≠ 0, dimana i = 1, 2, 3, ...,n Uji statistik yang digunakan adalah uji t: t-hitung t-tabel
=
bi i S bi
( 4.4 )
= ta/2(n-k)
dimana : bi
= Koefisien ke-i yang ditaksir.
βi
= Parameter ke-i yang ditaksir.
S(bi) = Standar deviasi bi. k
= Jumlah parameter termasuk intersep.
n
= Jumlah observasi.
Kriteria uji: t-hitung > ta/2(n-k) , maka tolak H0 t-hitung < ta/2(n-k) , maka terima H0 Jika H0 ditolak berarti variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen dalam model dan sebaliknya jika H0 diterima berarti variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
4.6.3 Uji F Pengujian hipotesis tentang parameter koefisien regresi secara keseluruhan untuk menguji keandalan persamaan regresi yang diperoleh menggunakan uji statistik F. Hipotesis: H0 : βi = 0 H1 : minimal ada salah satu βi ≠ 0, dimana i = 1, 2, 3, ...,n. F hitung = F tabel
R 2 k 1 1 R2 n k
( 4.5 )
= Fa(k-1,n-k)
Dimana : R2 = Koefisien determinasi. k = Jumlah parameter termasuk intersep. n = Jumlah observasi. Kriteria uji: F-hitung > Fa(k-1,n-k) , maka tolak H0 F-hitung < Fa(k-1,n-k) , maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka seluruh variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen pada tingkat signifikansi dan derajat kebebasan tertentu. Jika H0 diterima, maka seluruh variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel tak bebas pada tingkat signifikansi dan derajat kebebasan tertentu.
4.7
Uji Kriteria Ekonometrika
4.7.1 Uji Autokorelasi Suatu model dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi tidak terdapat gejala autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model tidak mengandung korelasi serial diantara disturbance term. Pada program SPSS 15, uji autokorelasi dilakukan dengan pengujian Durbin-Watson (DW) sebagai berikut: Tabel 4.1 Durbin-Watson Nilai DW 4-dl < DW < 4 4-dl < DW < 4-dl 2 < DW < 4-du du < DW < 2 dl < DW < du 0 < DW < dl
Hasil Tolak H0, korelasi serial negatif Hasil tidak dapat ditentukan Terima H0, tidak ada korelasi serial Terima H0, tidak ada korelasi serial Hasil tidak dapat ditentukan Tolak H0, korelasi serial positif
4.7.2 Uji Heteroskedastisitas Menurut Gujarati (1978), salah satu asumsi penting dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan (disturbance) ui yang muncul dalam fungsi regresi adalah homoskedastik. Arti dari homoskedastik adalah apabila dalam suatu model persamaan semua gangguannya memiliki varians yang sama, dimana lambang yang digunakan adalah E (ui2) = 2, i = 1, 2, ..., N. Sedangkan, jika pada suatu model persamaan jika semua gangguannya tidak memiliki varians yang sama atau konstan, maka model tersebut dikatakan mendapatkan masalah heteroskedastisitas. Menurut Arsana (2005), ada beberapa cara atau teknik yang
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya gejala heteroskedastisitas pada model, yaitu: 1.
Melalui metode grafik Pada metode grafik ini dilihat bagaimana bila nilai-nilai ui2 diplot dengan
nilai-nilai variabel bebas (X) akan ditemui suatu pola tertentu. Jika pola yang terbentuk random (acak), maka model tersebut bersifat homoskedastik (memiliki var (ui2) konstan untuk semua nilai X). Sebaliknya jika nilai-nilai ui2 yang diplot dengan nilai-nilai variabel bebas (X) berfluktuasi tajam dan memiliki pola yang sistematik atau menunjukkan trend tertentu, maka model tersebut bersifat heteroskedastik (memiliki var (ui2) tidak konstan untuk semua nilai X).
2.
Melalui Uji Formal Menurut Arsana (2005), salah satu kelemahan pengujian secara grafis
adalah tidak jarang kita ragu terhadap pola yang ditunjukkan grafik, sehingga terkadang dibutuhkan uji formal untuk memutuskannya. Uji formal yang tersedia cukup banyak, beberapa uji yang umum dipakai menurut Arsana (2005) adalah: a) Uji Park. b) Uji Breusch-Pagan-Godfrey. c) Uji White (White’s General Heteroskedasticity Test). Uji Heteroskedastisita dilakukan melalui uji park, yaitu dengan menggunakan ei2 sebagai pendekatan σi2 dan melakukan analisis regresi sebagai berikut : Ln ei2
= ln σ2 + β ln Xi + vi
= α + β ln Xi + vi Dengan vi = unsur gangguan (disturbance) yang stokastik. Menurut Winarno (2007), apabila residual bersifat heteroskedastik akan menimbulkan beberapa dampak, yaitu: 1.
Estimator kuadrat terkecil tidak mempunyai varian yang minimum, estimator metode kuadrat terkecil hanya bersifat linear dan tidak bias.
2.
Perhitungan standar error tidak dapat lagi dipercaya kebenarannya, karena varian tidak minimum. Varian yang tidak minimum mengakibatkan estimasi regresi tidak efisien.
3.
Uji hipotesis yang didasarkan pada uji t dan uji F tidak dapat lagi dipercaya, karena standar error-nya tidak dapat dipercaya. Sebagaimana permasalahan lain yang terdapat pada analisis regresi,
permasalahan heteroskedastisitas juga harus diatasi. Menurut Arsana (2005), ada beberapa macam teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan heteroskedastisitas, teknik tersebut adalah: 1. Metode Generalized Least Square (GLS). 2. Transformasi dengan 1/Xj. 3. Transformasi dengan 1/iX. 4. Transformasi dengan E(Yi) 5. Transformasi dengan Logaritma. Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Gejala
adanya heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh nilai p < α (0,05). Yang dimaksud asumsi heteroskedastisitas adalah : H0 : Terjadi homoskedastisitas H1 : Terjadi heteroskedastisitas Dikatakan bahwa heteroskedastisitas menyebabkan penafsiran koefisien regresi menjadi tidak efisien.
4.7.3 Uji Multikoleniaritas Asumsi lainnya yang harus dipenuhi adalah tidak terdapat gejala multikolinearitas di dalam suatu model regresi, yaitu adanya korelasi yang kuat pada sesama variabel bebas (eksogen). Uji multikolinearitas dalam SPSS 15 dinamakan uji kolinearitas, yaitu untuk melihat apakah terjadi korelasi yang kuat antara variabel-variabel independennya. Cara pengujiannya adalah: • Nilai korelasi dua variabel independen tersebut mendekati satu. • Nilai korelasi parsial akan mendekati nol Apabila terjadi kolinearitas maka variabel yang dimasukan dalam persamaan linear hanya variabel independen yang memiliki korelasi partial yang tinggi. Selain itu dapat pula dengan melihat nilai Inflation Factor (VIF) dalam tabel coefficients. Apabila nilai VIF < 5 maka tidak terdapat gejala multikolinearitas.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Dampak Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Kabupaten Bekasi Model
persamaan
yang
digunakan
terhadap
untuk
Pertumbuhan
menganalisis
dampak
pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi adalah model terbaik. Model yang terbaik adalah model atau persamaan yang telah memenuhi seluruh kriteria, baik itu kriteria secara statistik ataupun ekonometrika.
Persamaan
regresi
untuk
analisis
dampak
pembangunan
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi adalah sebagai berikut: LN_Y = k + a LN_JLN + b LN_IRI + c LN_AIR LN_Y = 155.410 – 0.236 LN_JLN – 13,081 LN_IRI+ 0.427 LN_AIR LN adalah Logaritma Natural. Data pada penelitian ini ditransformasi dengan cara logaritma natural. Hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan model terbaik yang terbebas dari masalah multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. LN_Y adalah
nilai PDRB yang telah ditransformasikan secara
logaritma natural, k adalah konstanta, LN_JLN adalah nilai infrastruktur jalan yang telah ditransformasikan secara logarima natural, LN_IRI adalah nilai infrastruktur irigasi yang telah ditransformasikan secara logaritma natural, LN_AIR adalah nilai infrastruktur air bersih yang telah ditranformasikan secara logaritma natural, sedangkan a, b, dan c adalah koefisien regresi. Nilai konstanta 155.410 berarti bahwa jika nilai infrastruktur jalan, irigasi, dan air bersih adalah 0, maka nilai PDRB adalah sebesar Rp. 155.410,-. Koefisien
regresi variabel jalan sebesar -0.236 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan infrastruktur jalan mengalami kenaikan sebesar satu persen, maka akan mengurangi PDRB sebesar Rp. 236.000. Koefisien regresi variabel irigasi sebesar -13,081 artinya jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan infrastruktur irigasi mengalami kenaikan satu persen, maka akan mengurangi PDRB sebesar Rp. 13.081.000. Koefisien regresi variabel air bersih adalah 0.427 artinya adalah jika variabel independen lainnya bernilai tetap dan infrastruktur air bersih mengalami kenaikan sebesar satu persen, maka akan meningkatkan PDRB sebesar Rp. 427.000. Tabel 5.1 Hasil Uji Coefficientsa Unstandardized Coefficients Std. B Model Error 1 (Constant) 155.410 24.633 LN_JLN -.236 1.293 LN_IRI -13.081 1.582 LN_AIR .427 .157 a Dependent Variabel: LN_PDRB
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta -.022 -.905 .187
6.309 -.183 -8.268 2.731
.000 .858 .000 .017
Berdasarkan hasil estimasi yang membentuk suatu persamaan yang bersifat Best Linear Unbiased Estimates (BLUE) telah dapat kita identifikasi adanya pengaruh atau dampak dari pembangunan infrastruktur terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) baik bersifat positif maupun negatif.
5.2.
Uji Kriteria Statistik
5.2.1. Analisis Korelasi Ganda (R) Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependennya secara serentak. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara variabel independen secara serentak terhadap variabel dependen. Tabel 5.2 Hasil Uji R2 Adjusted R Std. Error of Model R R Square Square the Estimate Durbin-Watson 1 .979(a) .959 .950 .28600 2.035 a Predictors: (Constant), LN_JLN, LN_ IRI, LN_AIR BERSIH b Dependent Variabel: LN_PDRB Berdasarkan Tabel 5.2 diperoleh nilai R sebesar 0,979. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara infrastruktur jalan, irigasi, dan air bersih terhadap PDRB.
5.2.2. Uji Koefisien Determinasi (R2) Analisis determinasi dalam regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui persentase sumbangan pengaruh variabel-variabel independen secara serentak terhadap variabel dependen. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar persentase variasi variabel independen yang digunakan dalam model mampu menjelaskan variasi variabel dependen. Berdasarkan hasil analisis regresi pada Tabel 5.1 diperoleh nilai koefisien R2 (R Square) sebesar 0,959 atau 95,9%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (jalan, irigasi, dan air bersih) mampu
menjelaskan sebesar 95,9% variasi variabel-variabel dependen (PDRB). Sedangkan sisanya dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Adjusted R Square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan, nilai ini selalu lebih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki harga negatif. Menurut Santoso (2001) bahwa untuk regresi dengan lebih dari dua variabel bebas digunakan Adjusted R2 sebagai koefisien determinasi. Standard Error of the Estimate adalah suatu ukuran banyaknya kesalahan model regresi dalam memprediksikan nilai variabel dependennya. Hasil regresi dalam penelitian ini, dapat dilihat pada Tabel 5.1, Standard of the Estimate adalah sebesar 0,286. Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi dalam penelitian ini adalah 0,286.
5.2.3. Uji Koefisien Regresi Secara Bersama-sama (Uji F) Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Atau dengan kata lain untuk mengetahui apakah model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen atau tidak. Tabel 5.3 Hasil Uji F Mode Sum of Mean l Squares df Square F 1 Regression 25.003 3 8.334 101.894 Residual 1.063 13 .082 Total 26.067 16 a Predictors: (Constant), LN_JLN, LN_ IRI, LN_AIR BERSIH b Dependent Variabel: LN_PDRB
Sig. .000(a)
Berdasarkan Tabel 5.3 diperoleh nilai F hitung sebesar 101,894, dengan menggunakan tingkat keyakinan 95 persen, a = 5 persen, df 1 (jumlah variabel-1) = 3 dan df 2 (n-k-1) atau 17-3-1 = 13. diketahui F tabel = 3,410. Berdasarkan penjabaran tersebut didapatkan bahwa F hitung > F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa antara Infrastruktur dalam penelitian ini infrastruktur jalan, irigasi, dan air bersih, secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap PDRB.
5.2.4. Uji Koefisien Regresi Secara Parsial (Uji t) Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Tabel 5.4 Hasil Uji t Unstandardized Coefficients B Std. Error
Model 1 (Constant) 155.410 LN_JLN -.236 LN_IRI -13.081 LN_AIR .427 a Dependent Variabel: LN_PDRB
Standardized Coefficients Beta
24.633 1.293 1.582 .157
-.022 -.905 .187
t 6.309 -.183 -8.268 2.731
Sig. .000 .858 .000 .017
5.2.4.1. Pengujian Koefisien Regresi Variabel Jalan Berdasarkan hasil pengolahan regresi pada Tabel 5.1 diperoleh nilai t hitung variabel infrastruktur jalan sebesar -0,183, sedangkan pada tabel distribusi t pada tingkat keyakinan lima persen didapat bila t tabel sebesar 2,160. Karena nilai -t hitung > -t tabel (-0,183 > -2,160), maka secara parsial variabel infrastruktur jalan tidak berpengaruh signifikan terhadap PDRB.
5.2.4.2. Pengujian Koefisien Regresi Variabel Irigasi Berdasarkan hasil pengolahan regresi pada Tabel 5.1 diperoleh nilai t hitung variabel infrastruktur irigasi sebesar -8,268, sedangkan pada tabel distribusi t pada tingkat keyakinan lima pesen didapat bila t tabel sebesar 2,160. Karena nilai -t hitung < -t tabel (-8,268 < 2,160) , maka secara parsial variabel Irigasi berpengaruh signifikan terhadap PDRB.
5.2.4.3. Pengujian Koefisien Regresi Variabel Infrastruktur Air Bersih Berdasarkan hasil pengolahan regresi pada Tabel 5.1 diperoleh nilai t hitung variabel infrastruktur air bersih sebesar 2,731, sedangkan pada tabel distribusi t pada tingkat keyakinan 5% didapat bila t tabel sebesar 2,160. Karena nilai t hitung > t tabel (2,731 > 2,160), maka secara parsial variabel air bersih berpengaruh signifikan terhadap PDRB.
5.3. 5.3.1.
Uji Kriteria Ekonometrika Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat korelasi antara
error pada masa lalu dan error pada masa sekarang dalam suatu variabel. Model persamaan yang baik adalah yang terbebas masalah autokorelasi. Model persamaan regresi Infrastruktur ini menggunakan analisis Durbin-Watson untuk melihat adakah autokorealasi dalam model. Hasil dari uji tersebut menunjukkan bahwa dalam model persamaan infrastruktur tidak terdapat masalah autokorelasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai Durbin-Watson pada hasil estimasi sebesar 2,035.
Dimana nilai tersebut berada diantara dL dan du, pada batas dimana tidak terdapat autokorelasi jika berada pada nilai antara dL = 1,65 dan du = 2,46. Dengan derajat keyakinan 95 persen dan 99 persen (Firdaus, 2004). Tabel 5.5 Hasil Uji Autokorelasi Adjusted R Std. Error of Model R R Square Square the Estimate Durbin-Watson 1 .979(a) .959 .950 .28600 2.035 a Predictors: (Constant), LN_JLN, LN_ IRI, LN_AIR BERSIH b Dependent Variabel: LN_PDRB
5.3.2. Uji Heteroskedastisitas Uji Heteroskedastisita dilakukan melalui uji park, yaitu dengan menggunakan ei2 sebagai pendekatan σi2 dan melakukan analisis regresi sebagai berikut : Ln ei2
= ln σ2 + β ln Xi + vi = α + β ln Xi + vi
Dengan vi = unsur gangguan (disturbance) yang stokastik. Tabel 5.6 Hasil Uji Heteroskedastisitas Unstandardized Standardized Collinearity Coefficients Coefficients Statistics t Sig. Std. B Beta Tolerance VIF Model Error 1 (Constant) -9.027 160.242 -.056 .956 LN_JLN -6.456 8.411 -.401 -.768 .456 .217 4.602 LN_IRI 3.591 10.292 .166 .349 .733 .262 3.816 LN_AIR .609 1.018 .179 .598 .560 .666 1.501 a Dependent Variabel: Ln_e2
Berdasarkan Tabel 5.5 didapatkan nilai T hitung variabel LN_JALAN, LN_IRIGASI dan LN_AIR BERSIH adalah -0,768, 0,349, 0,598 dimana T tabel adalah sebesar 2,160 atau -2,160. Karena nilai T hitung berada pada –t tabel ≤ t
hitung ≤ t tabel, maka pada model persamaan regresi ini tidak terdapat gangguan heteroskedastisitas.
5.3.3.
Uji Multikoleniaritas Uji
multikolinearitas
digunakan
untuk
mengetahui
ada
tidaknya
penyimpangan klasik multikolinearitas, yaitu adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Dalam penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas dengan melihat nilai inflation factor (VIF) pada model regresi. Menurut Santoso (2001), pada umumnya jika VIF lebih besar dari 5, maka variabel tersebut mempunyai persoalan multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya. Berdasarkan uji multikolinearitas didapatkan nilai VIF setiap variabel adalah sebagai berikut: Tabel 5.7 Hasil Uji Multikolinearitas Model 1
Collinearity Statistics Tolerance VIF
(Constant) LN_JLN LN_IRI LN_AIR a Dependent Variabel: LN_PDRB
.217 .262 .666
4.602 3.816 1.501
Berdasarkan Tabel 5.6 didapatkan Nilai Inflation Factor (VIF) variabel independen LN_JLN 4,602 berada pada posisi lebih kecil dari 5 yang artinya variabel tersebut tidak memiliki gangguan multikolinearitas, nilai VIF variabel LN_IRI 3,816 yang artinya tidak terjadi gangguan multikolinearitas dan nilai VIF variabel LN_AIR 1,501 yang artinya tidak terjadi gangguan multikolinearitas.
Sehingga dapat disimpulkan pada model regresi ini tidak terjadi gangguan multikolinearitas.
5.4.
Estimasi Model Berdasarkan persamaan model regresi linear berganda yang menggunakan
tiga variabel tak bebas masih terdapat sebuah variabel yang secara parsial tidak berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata lima persen (α=0.05), namun sisanya berpengaruh secara signifikan. Namun secara keseluruhan, infrastruktur jalan, irigasi dan air bersih berpengaruh signifikan terhadap PDRB. Berdasarkan
hasil
pendugaan
parameter
dampak
pembangunan
infrastruktur didapatkan bahwa infrastruktur jalan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomian Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan jalan raya masih sangat terbatas yang hanya 1,7 km per 1000 penduduk, dan hampir 50 persen dalam kondisi buruk karena sangat kurangnya pemeliharaan yang baik, terutama di jaringan jalan kabupaten. Hal ini menambah kemacetan lalu lintas setiap tahun, sementara kapasitas jalan yang ditambahkan sedikit. Pengeluaran pemerintah di subsektor ini terus menurun, dari 22 persen tahun 1993 ke 11 persen dari anggaran pemerintah tahun 2000. Jika hal ini terus berlangsung, tidak mustahil kondisi jalan raya yang buruk atau kurangnya sarana jalan raya bisa menjadi penghambat serius pertumbuhan investasi. Berdasarkan
hasil
pendugaan
parameter
dampak
pembangunan
infrastruktur didapatkan infrastruktur irigasi berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Kabupaten Bekasi, namun irigasi berpengaruh negative terhadap
perekonomian Kabupaten Bekasi hal ini dikarenakan peningkatan irigasi tidak diiringi dengan peningkatan lahan untuk pertanian, sektor pertanian masih banyak terdapat di wilayah Kabupaten Bekasi dan sektor tersebut juga merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB Kabupaten Bekasi. Namun banyaknya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Wilayah Kabupaten Bekasi baik menjadi perumahan ataupun industry menyebabkan peran irigasi menjadi kurang efektif. Berdasarkan
hasil
pendugaan
parameter
dampak
pembangunan
infrastruktur air bersih berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan permintaan air bersih di Kabupaten Bekasi terus meningkat dan produksi air bersih pun makin ditingkatkan, karena sebagian besar wilayah Kabupaten Bekasi sudah dijadikan sebagai wilayah industri maka mempengaruhi kualias air tanah yang kurang memadai sebagai dampak pengembangan wilayah industri dan terjadinya eksternalitas. Selain itu juga air bersih merupakan sumber daya yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, baik kebutuhan rumah tangga maupun industri.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dampak pembangunan infrastruktur terhadap
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi, maka dapat disimpulkan : 1. Secara bersama-sama variabel infrastruktur Jalan, Irigasi dan Air bersih memberikan pengaruh nyata terhadap variabel PDRB. Hal ini membuktikan bahwa infrastruktur memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian Kabupaten Bekasi. 2. Infrastruktur jalan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan hampir 50 persen jalan dalam kondisi buruk karena sangat kurangnya pemeliharaan yang baik, terutama di jaringan jalan kabupaten. Sedangkan infrastruktur irigasi berpengaruh negatif terhadap perekonomian Kabupaten Bekasi, dan air bersih berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi.
5.2.
Saran 1. Peningkatan pembangunan infrastruktur masih perlu dilakukan, salah satunya melalui peningkatan pengeluaran pemerintah yang tentunya telah dianggarkan dalam daftar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena infrastruktur memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian.
2. Pemerintah perlu meningkatkan rencana pembangunan infrastruktur secara lebih komprehensif dan terukur, serta menekankan pentingnya partisipasi publik, guna pembangunan yang lebih terarah dan merata serta didukung dengan pemeliharaan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Bagian Penerbitan Sekolah Tingi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik, 1990-2007. Kabupaten Bekasi dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Bekasi. Badan Pusat Statistik, 2000-2003. PDRB Kabupaten Bekasi Tahun 2000-2003. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Bekasi. Bappenas. 2003. Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis. Perum Percetakan Negara RI, Jakarta. Canning, D. 1999. Infrastrukture’s Contribution to Agregate output. World Bank Working Paper, Number 2246. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara, Jakarta. Gujarati, D. 2001. Basic Econometric Analysis, Fifth Ed. Prentice Hall, New Jersey. Jhingan, M. L. 1983. The Economics of Development and Planning. Vicas Publishing House Ltd, New Delhi. Mangkoesoebroto, G. 1993. Ekonomi Publik. BPFE Yogyakarta, Yogyakarta. Mankiw, N. G. 2003. Macroeconomics, Fifth Ed. Worth Publishers, New York. Priyanto, D. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Mediakom, Yogyakarta. Ramelan, R. 1997. Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Koperasi Jasa Profesi LPPN, Jakarta. Sibarani, M.H.M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Sulaiman, W. 2004. Analisis Regresi Menggunakan SPSS. Andi, Yogyakarta. Suparmoko, M. 1992. Ekonomika Pembangunan. BPFE Yogyakarta, Yogyakarta. Tambunan, T. 2003. Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
The World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for Development. Oxford University Press, New York. The World Bank. 2006. Laporan Pembangunan Dunia 2006; Kesetaraan dan Pembangunan = World Development Report 2006: Equity and Development. Salemba Empat, Jakarta. Todaro, M. P. 1992. Ekonomi Pembangunan di Dunia ke Tiga. Terjemahan dari: Haris M. Erlangga, Jakarta. Walpole, R. E. 1983. Pengantar Statistika Edisi ke Tiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia. Tesis Pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data yang digunakan untuk model analisis regresi linear berganda pada penelitian. Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PDRB KAB. Bekasi Panjang Jalan (Juta Rupiah) (KM) 1,484,729.92 675.20 1,721,780.84 732.10 2,266,612.35 751.90 4,102,372.82 801.05 5,088,457.21 801.05 6,282,062.81 801.05 7,665,656.14 961.77 9,095,573.86 874.10 16,958,201.09 890.82 25,568,755.76 1,022.22 30,356,859.85 868.10 32,336,093.12 868.10 38,466,797.82 868.12 42,660,233.26 974.10 47,596,837.84 974.10 56,057,589.81 974.10 65,067,535.54 981.71
Irigasi (M2) 68,490 68,490 68,008 67,345 65,421 65,421 60,708 60,708 56,186 56,227 56,145 56,063 55,981 55,989 55,859 55,354 55,150
Air Bersih (M3) 2,026,675 3,204,032 3,711,168 2,973,000 3,955,400 5,088,800 5,999,240 1,973,376 2,887,312 2,743,415 3,038,757 3,198,145 3,812,644 6,380,048 9,386,125 14,608,834 9,375,010
Lampiran 2. Data pada analisis model yang telah di Logaritma Naturalkan. Tahun LN_PDRB Panjang Jalan Irigasi (M2) Air Bersih 1990 14.211 6.52 11.13 14.52 1991 14.359 6.60 11.13 14.98 1992 14.634 6.62 11.13 15.13 1993 15.227 6.69 11.12 14.91 1994 15.442 6.69 11.09 15.19 1995 15.653 6.69 11.09 15.44
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
15.852 16.023 16.646 17.057 17.229 17.292 17.465 17.569 17.678 17.842 17.991
6.87 6.77 6.79 6.93 6.77 6.77 6.77 6.88 6.88 6.88 6.89
11.01 11.01 10.94 10.94 10.94 10.93 10.93 10.93 10.93 10.92 10.92
15.61 14.50 14.88 14.82 14.93 14.98 15.15 15.67 16.05 16.50 16.05
Lampiran 3.
Model 1
Hasil Estimasi Model analisis regresi dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi. Variables Entered/Removed(b) Variables Entered
Variables Removed
AIR BERSIH, IRIGASI, JALAN(a)
Method
. Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: PDRB Model Summary(b) Adjusted R Model R R Square Square 1 .979(a) .959 .950 a Predictors: (Constant), AIR BERSIH, IRIGASI, JALAN b Dependent Variable: PDRB
Std. Error of the Estimate .28600
ANOVA(b) Sum of Mean Model Squares df Square 1 Regression 25.003 3 8.334 Residual 1.063 13 .082 Total 26.067 16 a Predictors: (Constant), AIR BERSIH, IRIGASI, JALAN b Dependent Variable: PDRB
F 101.894
Sig. .000(a)
Coefficients(a) Unstandardized Coefficients Std. B Error 1 (Constant) 155.410 24.633 JALAN -.236 1.293 IRIGASI -13.081 1.582 AIR BERSIH .427 .157 a Dependent Variable: PDRB Model
Standardized Coefficients Beta -.022 -.905 .187
t 6.309 -.183 -8.268 2.731
Sig. .000 .858 .000 .017
Lanjutan Lampiran 3. Collinearity Diagnostics(a) Model Dimension 1
1 2 3 4
Eigenvalue
Condition Index
3.999 1.000 .001 65.233 .000 137.781 4.99E-006 895.191 a Dependent Variable: PDRB
Variance Proportions (Constant)
JALAN
.00 .00 .00 1.00
IRIGASI
.00 .00 .21 .79
.00 .00 .02 .98
AIR BERSIH .00 .59 .38 .03
Uji Autokorelasi Model Summary(b) Adjusted R Std. Error of Model R R Square Square the Estimate 1 .979(a) .959 .950 .28600 a Predictors: (Constant), AIR BERSIH, IRIGASI, JALAN b Dependent Variable: PDRB
DurbinWatson 2.035
Uji Heteroskedastisitas a Dependent Variable: Ln_e
Model 1 (Constant) LN_JLN LN_IRI LN_AIR
2
Coefficients(a)
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta -9.027 160.242 -6.456 8.411 -.401 3.591 10.292 .166 .609 1.018 .179
t
Sig.
-.056 -.768 .349 .598
.956 .456 .733 .560
Collinearity Statistics Tolerance VIF .217 .262 .666
4.602 3.816 1.501
Lanjutan Lampiran 3. Uji Multikolinearitas Coefficients(a)
Model 1
Unstandardized Coefficients Std. B Error 155.410 24.633 -.236 1.293 -13.081 1.582
(Constant) JALAN IRIGASI AIR .427 .157 BERSIH a Dependent Variable: PDRB
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Tolerance
6.309 -.022 -.183 -.905 -8.268 .187
2.731
VIF
.000 .858 .000
.217 .262
4.602 3.816
.017
.666
1.501