KORUPSI DI INDONESIA DAN DAMPAK TERHADAP EKONOMI INDONESIA
STIMIK AMIKOM YOGYAKATRTA Di susun oleh Nama
: Muhamad Fadli Ingratubun
NIM
:11.11.4889
Kelompok
:C
Program Studi
: Pancasila
Jurusan
: Teknik Informatika
Dosen
: Drs, Tahajudin S
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan waktu, kesempatan dan pemikiran yang jernih penulis untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Korupsi di Indonesia dan Dampak Terhadap Ekonomi Indonesia”.
Sebagaimana upaya peningkatan kualitas yang tidak akan pernah selesai, demikian pula makalah ini nantinya akan memerlukan revisi berdasarkan kritik maupun saran dari para pembaca makalah ini.
Untuk itu, saya harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca khususnya dari bapak, selaku dosen pengasuh mata kuliah Pancasila. Semoga makalah ini dapat memperluas wawasan para pembaca. Terima kasih,
Jogja, 29, Oktober, 2011
ABSTRAK KORUPSI DI INDONESIA DAN DAMPAK TERHADAP EKONOMI INDONESIA
Tulisan ini mengupas beberapa pemikiran teoritik maupun empirik yang berkaitan dengan dampak korupsi terhadap ekonomi dengan menggunakan acuan definisi korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang oleh aparat pemerintah, sebagaimana yang digunakan oleh World Bank.
Dari beberapa pemikiran awal tentang korupsi, korupsi mampu mendorong perekonomian. Namun studi lebih mendalam dan lebih terukur menunjukkan bahwa korupsi secara menyeluruh akan berdampak buruk pada perekonomian, khususnya menurunkan investasi domestik maupun asing, menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan mengakibatkan penggelembungan pengeluaran pemerintah.
Bab I A. LATAR BELAKANG MASALAH Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini. Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye
anti
korupsi
di
Indonesia.
Pembahasan
mengenai
strategi
pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK). Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia? Strategi apa yang dapat dilakukan untuk membrantas korupsi tersebut?
Bab II
A. PENDEKATAN SECARA HISTORIS Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
B. PEMBAHASAAN Pandangan para ahli tentang dampak korupsi terhadap ekonomi pada awalnya sangat beragam, namun akhirnya tingkat keberagaman tersebut semakin menciut dengan semakin banyaknya studi yang lebih terukur tentang korupsi diberbagai aktifitas ekonomi. Leff (1964) dan Huntington (1968) berpandangan bahwa korupsi mampu meningkatkan efisiensi birokrasi sebab birokrasi pemerintah pada dasarnya sangat kaku untuk dapat melayani permintaan pelayanan publik yang sangat beragam, menghalangi upaya perluasan investasi dan menggangu jalannya proses pengambilan keputusan ekonomi. Sehingga korupsi cenderung dipandang sebagai "oils the mechanism" atau "greases the wheel". Alasan tersebut sering digunakan untuk menjelaskan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi di negara Asia Tenggara. Beck dan Maher (1986) dan Lien (1986) telah mengembangkan model teoritis yang mampu menunjukkan bahwa, yang berani menawarkan uang suap tertinggi adalah mereka yang berada pada posisi efisiensi usaha yang terbaik. Namun, studi teoritik Bliss dan Di Tella (1997) menunjukkan kesimpulan yang berbeda. Bliss dan Di Tella menyimpulkan bahwa korupsi akan mempengaruhi jumlah perusahaan yang akan memasuki pasar. Dan dalam kondisi persaingan yang ketat, yang ditandai dengan rasio overhead cost terhadap profit yang rendah dan globalisasi membuat struktur biaya relatif sama, maka peningkatan korupsi akan membuat perekonomian negara tersebut tidak menarik. Melalui sudut pandang yang agak berbeda, Lui (1985) berargumentasi bahwa nilai waktu bagi tiap individu dapat berbeda-beda, dan sangat tergantung pada tingkat pendapatan, dan opportunity cost-nya. Bagi orang yang menilai waktu sangat tinggi maka proses yang panjang dapat dipersingkat dengan upaya penyuapan agar dapat secepatnya sampai pada yang dituju. Sehingga korupsi dipandang efisien karena dapat mempersingkat waktu. Dalam studi selanjutnya, Lui (1996) berpandangan bahwa korupsi juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki alokasi sumber daya. Pemikiran tersebut sejalan dengan Becker dan Stigler (1974) yang menyatakan bahwa upaya penyuapan dapat dipandang sebagai upaya perbaikan upah yang rendah tanpa harus
membebani anggaran pemerintah sehingga tidak berdampak pada peningkatan beban pajak. Pemikiran Becker dan Stigler tersebut dapat dimasukkan dalam kerangka berpikir "second-best solution", memandang bahwa beban pajak yang rendah akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh praktek korupsi. Sebuah studi teoritik yang relatif baru dari sisi metodologi dilakukan oleh DablaNorris (2000). Dengan menggunakan dasar pemikiran game-theory, Dabla-Norris membuat beberapa kesimpulan penting tentang korupsi yang terkait dengan birokrasi. Kesimpulan pertama, negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memiliki tingkat upah yang rendah di sektor publik disertai dengan tingkat pengawasan yang lemah, sehingga dimungkinkan terjadinya komersialisasi kekuasaan. Kedua, terjadi trade off yang semakin tinggi khususnya di negara sedang berkembang dan negara transisi, antara upaya mereduksi korupsi dan beban fiskal. Ketiga, negara dengan tingkat korupsi tinggi memiliki kecederungan memiliki aktifitas sektor swasta yang rendah. 1. Pemberantasan korupsi pada dasarnya memang bergantung pada pemimpin. Jadi,ada kehendak politik,aturan,anggaran,dan kepastian independensi komisi antikorupsi (KPK) & bebas dari kepentingan politik. Kuncinya adalah strategi yang benar & kehendak politik yang kuat. 2. Korupsi tidak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan satu lembaga saja.Tidak ada solusi tunggal dalam memberantas korupsi,sehingga semua sektor perlu dikerahkan. 3. Jangan menoleransi suap sekecil apapun. Sikap antikorupsi harus dibangun sejak dari sekolah taman kanak-kanak. Kampanye dengan pemasangan spanduk,tulisan yang dipasang di setiap instansi “Memberi & menerima uang melanggar hukum karena termasuk suap. kalau ada keluhan bisa menghubungi nomor HOTLINE…..” membantu perubahan kultur masyarakat. Kampanye iklan antikorupsi “korupsi merusak keluarga” juga effektif untuk merubah kultur masyarakat. 4. KPK-institusi antikorupsi harus bisa mengungkap “big fish” untuk memperlihatkan kesungguhan. Jangan hanya bisa menghukum penerima suap tetapi juga harus bisa menghukum pemberi suap. Semua yang terlibat harus diselidiki dalam waktu
bersamaan (prof.Tony memberi tekanan sebagai “strategi penting”..!) ; Semua orang bisa masuk jaring KPK-institusi antikorupsi,tidak terkecuali parpol mapun presiden atau keluarganya. 5. KPK-institusi antikorupsi harus independen,bukan lembaga “ad-hoc”,satu-satunya penyidik yang mempunyai wewenang menyidik korupsi. POLRI tidak boleh lagi menyidik
korupsi
;
Polisi
hanya
menyelidiki
pembunuhan,penculikan,perampokan,dll ; KPK & Pengadilan Korupsi harus ada dalam konstitusi yang bersifat permanen,tidak boleh bersifat sementara (=ad-hoc) 6. Harus ada Unit Pengawas yang berada diluar institusi antikorupsi untuk mengawasi KPK,mereka terdiri dari para tokoh masyarakat yang kredibel dalam pemberantasan korupsi. 7. LPSK sebagai Lembaga Perlindungan Saksi harus mempunyai program perlindungan saksi yang bagus,dapat melindungi saksi pelapor bila terjadi korupsi atau mengetahui korupsi sebuah institusi atau perorangan. Menjaga kerahasiaan “whistle blower” atau peniup peluit. Bila si peniup peluit bagian dari kejahatan korupsi itu sendiri,maka identitasnya hanya bisa dibuka melalui keputusan pengadilan,dengan bukti kuat. Kalau tidak bisa dirahasiakan karena putusan pengadilan,maka ybs akan masuk program perlindungan saksi. 8. Hukuman koruptor tidak perlu hukuman mati,tetapi hukuman itu akan menghilangkan reputasi & harga diri serta mempermalukan keluarga. 9. Negara wajib menjamin setidaknya kehidupan minimum pegawai. Negara bisa mendapat uang dari pajak (yang tidak di korup) sehingga bisa membayar lebih buat pegawai negeri.
Bab III A. KESIMPULAN Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang. B. SARAN Berdasarkan uraian di atas kita harus menanggulangi korupsi di indonesia harus sampai tuntas, karena Korupsi sudah membudidaya di negri ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Yulianti, Sri Handaru. 1993. Perekonomian Internasional. Yogyakarta : Penerbit Andi
2. Sukwiaty, dkk. 2003. Ekonomi 1 Kelas 1 SMA. Bandung : Yudhistira 3. Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI. 4. Mubaryanto, Artikel, “ Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, 5. UGM, 2004 Jeremy Pope,” Confronting Corruption: The Element of National 6. Integrity System”, Transparency International, 2000. 7. Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “ Politik Hukum UU Bidang 8. Ekonomi di Indonesia”, MPKP, FE.UI. 9. Robert A Simanjutak,” Implementasi Desentralisasi Fiskal:Problema, Prospek, dan
Kebijakan”, LPEM UI, 2003