Menuju Perspektif Ekonofisika untuk Posisi Strategis Ekonomi Indonesia di Kawasan Asia Pasifik Rolan Mauludy Dahlan†, Hokky Situngkir†† Dept. Computational Sociology – Bandung Fe Institute Research Fellow di Surya Research International – Indonesia
July 30th 2007
Abstract There has been progressive research accomplishments in the sense of methodology approaching a lot of economic empirical data pioneered by physicists collaborated with some economists since the 90s. However, a glance view depicts some sort of tendency to apply those interesting frame of work only in financial market. This has motivated us to give a shot on applications and implementations in the challenging domain of political economics. We employ two main methods of diffusion cartogram and concepts of correlation in ultrametricity to view economic strategic position in Asia Pacific region. Here, some interesting features are obtained concerning geographical and demographical patterns on foreign exchange market, stock market, as well as macroeconomic features. Implementation of the two simple methods is in such a way providing us interesting tools to discover some new facts or scientific justification to some common sensical economic figures in the field of political economics as a possible new ground where econophysics may contribute.
Keywords: econophysics, cartogram, ultrametricity, political economics
mail:
[email protected] mail:
[email protected]
†
††
1
1. Latar Belakang Semenjak pertengahan dekade 90‐an, diskusi ekonomi diramaikan oleh kehadiran dan kontribusi aktif dari para fisikawan. Hal ini terlihat dari jumlah makalah ekonomi yang terbit di jurnal fisika yang meningkat pesat dari tahun ke tahun. Demikian juga dengan intensitas frekuensi konferensi dan workshop internasional. Upaya penggunaan berbagai konsep dan perangkat metodologi yang ada di fisika dalam menganalisis sistem ekonomi telah sedemikian jauh berkembang dan terus berkembang hingga hari ini. Akumulasi dari kontribusi aktif tersebut akhirnya terinstitusionalisasikan dalam sebuah disiplin ilmu baru yang disebut ekonofisika. Mengapa muncul ekonofisika? Sebagaimana kita ketahui, ekonomi adalah sebuah sistem yang tersusun atas berbagai jenis agen yang saling berinteraksi dan menghasilkan hubungan yang bersifat non‐linier, bahkan terkadang bersifat chaotik (Ormerod, 2000). Namun di sisi lain ilmu ekonomi konvensional, yang saat ini didominasi tradisi neo‐klasik, seringkali kesulitan dalam menangkap fenomena tersebut (Ormerod, 1994). Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, seperti: adanya keheterogenan agen dan perilaku trial and error di level mikro yang memperlemah pandangan rational expectation (Arthur, 2000; Tesfatsion, 2000), permasalahan asumsi dan konsistensi konstruksi teori permintaan dan penawaran (Keen, 2002), hingga fakta ekonomi sebagai sistem yang terdesentralisasi yang tidak terlingkupi oleh tradisi ekonomi Walrasian (Vriend, 1994)). Sebaliknya, perkembangan fisika telah menghasilkan berbagai kemajuan yang sangat progresif. Berbagai konsep baru muncul seperti: analisis mekanika statistik, sifat pengaturan diri sendiri, model‐model terapan spin‐glass, simulasi dari transisi kritis, hingga model‐model komputasi seperti jaring saraf buatan, otomata selular, teori permainan evolusioner hingga analisis mikro simulasi. Konsep‐konsep baru yang didukung dengan ketersediaan data empirik yang melimpah inilah yang mendorong terjadinya kontribusi aktif fisikawan di wilayah ekonomi (Mantegna dan Stanley, 2000). Namun, sumbangan ini tidaklah sepenuhnya diterima kalangan ekonom konvensional. Beberapa ekonom bahkan secara terbuka menyatakan ketidaksukaannya atas kehadiran fisikawan dalam wilayah ekonomi (Wang, et. al. 2003; Keen, 2002). Namun tentu saja hal ini tidak relevan untuk dibahas. Yang lebih penting adalah upaya pengkajian secara terus dari seluruh pandangan yang ada dalam koridor kebenaran ilmiah. Prinsip ilmu adalah kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan manusia, baik itu permasalahan positif (menjawab keingintahuan yang tak pernah berhenti) maupun permasalahan normatif (apakah pengetahuan tersebut berguna dalam menjawab tantangan realita kehidupan). Dalam usianya yang masih sangat muda, ekonofisika telah menghasilkan beberapa kemajuan, seperti: penjelasan terjadinya perubahan bentuk distribusi data ekonomi keuangan (Mantegna dan Stanley, 1994), menunjukkan hubungan herd behavior dan fluktuasi harga di pasar (Cont dan Bouchaud, 2000) dan berbagai kontribusi progresif lainnya. Demikian juga dengan kontribusi ekonofisika secara normatif, misalnya dalam hal prediksi (Hariadi dan Surya, 2005; Situngkir dan Surya, 2005a; Situngkir dan Surya, 2003), hingga
2
menyusun kebijakan perdagangan (Situngkir, Hariadi, dan Surya, 2005a; Situngkir, Hariadi, dan Surya, 2005b). Namun sejauh ini, diskusi ekonofisika yang ada masih didominasi oleh kajian‐kajian di wilayah ekonomi keuangan semata. Padahal di sisi lain, tuntutan positif dan normatif di wilayah‐wilayah diskusi ekonomi lainnya juga penting untuk diperhatikan, mulai dari diskursus makro ekonomi, ekonomi internasional, teknik optimasi dan manajemen perusahaan, ekonomi sektor publik dan perencanaan wilayah, hingga kajian ekonomi politik. Terinsipirasi oleh kemajuan ekonofisika di wilayah ekonomi keuangan, di sini penulis bermaksud untuk mengaplikasikan beberapa konsep yang berkembang di ekonofisika ke dalam kajian ekonomi politik. Secara spesifik, pekerjaan ini berupaya melihat posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Pasifik, sebagai sebuah kawasan yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dalam beberapa dekade ke belakang. Indonesia menarik untuk dijadikan studi kasus. Negara ini memiliki populasi penduduk terbanyak ketiga di Asia Pasifik setelah Cina dan India. Penduduk‐penduduk tersebut berasal lebih dari 100 kelompok etnik dan tersebar di berbagai pulau dari ribuan pulau yang dimiliki. Keragaman ini mengakibatkan upaya pembangunan institusi politik dan ekonomi yang efisien, efektif dan stabil menjadi sebuah tantangan yang tidak sederhana.
2. Metodologi 2.1. Kartogram Data ekonomi dan politik yang banyak, rumit, saling terhubung satu sama lain serta berada pada sebuah ruang spasial tertentu seringkali menimbulkan kesulitan tersendiri. Untuk mempermudah pemahaman dan proses analisis, dilakukan modifikasi peta. Dilakukan transformasi berikut:
T Gvektor _ geografis = {( x , y )} ⎯ ⎯→ K vektor _ geografis = T {( x , y )}
(i)
Upaya ini dilakukan sedemikian sehingga diperoleh turunan Jacobian atas nilai x (latituda) dan y (longituda) yang memenuhi kondisi:
(
∂ Tx ,Ty ∂( x , y )
) = ρ ( x , y) p
(ii)
Transformasi tersebut harus proporsional terhadap kerapatan data yang ingin direpresentasikan ( ρ ( x , y ) ). Nilai p merepresentasikan rata‐rata kerapatan data. →
⎛ x(t ) ⎞ ⎟⎟ , maka dengan menggunakan konsep ⎝ y(t ) ⎠
Jika sebuah besaran vektor difusi r(t ) = ⎜⎜
fisika elementer tentang difusi akan diperoleh persamaan kecepatan difusi berikut:
3
→
∇ρ ( r , t ) v ⎛⎜ r , t ⎞⎟ = − → ⎝ ⎠ ρ ( r ,t)
→ →
(iii)
Deskripsi lebih jauh tentang penurunan persamaan ini dapat dilihat di Situngkir (2007). Dari sini dapat dipahami bahwa kerapatan total data awal ( t = 0 ) sama →
dengan kerapatan geografis. Kemudian terjadi perubahan kumulatif nilai ρ ( r , t ) sedemikian sehingga pada limit t → ∞ semua vektor memenuhi kondisi kerapatan data yang ingin direpresentasikan. Proses ini secara matematis dapat ditulis: ∞
→
→ → → r (t ) = r (0) + ∫ v ⎛⎜ r , tʹ ⎞⎟dtʹ ⎝ ⎠ 0
(iv)
Dengan memperhatikan langkah‐langkah solusi persamaan di atas, dilakukan implementasi komputasional untuk memperoleh kartogram yang diinginkan1. 2.2. Ultrametrik Salah satu problem dalam ekonomi adalah bagaimana cara mengekstrak sejumlah data agar didapatkan taksonomi hirarkis dari data‐data tersebut. Di sini fisika menawarkan penggunaan konsep korelasi dan jarak ultrametrik (Mantegna dan Stanley, 2000; Situngkir dan Surya, 2005b, 2005c). Jika nilai atau harga dari komoditas i adalah pi (t ) , maka log‐returns dapat ditulis:
ri (t ,δ ) = ln pi (t + δ ) − ln p i (t )
(v)
(vi)
Koefesien korelasi dapat dihitung sebagai:
cij =
ri (t , δ )rj (t , δ )
T
ri (t + δ ) T − ri (t + δ ) 2
− ri (t , δ ) 2 T
T
rj (t , δ )
r (t + δ ) 2 j
T
T
− rj (t + δ )
2 T
Jarak dua buah komoditas dapat diperoleh dengan ketentuan:
dij = 2 (1 − c ij )
(vii)
(viii)
Dari persamaan vii diketahui tiga properti berikut:
(a) dij = 0 ⇔ i = j (b) dij = d ji
(c) dij ≤ dik + d kj
1 Kartogram yang ditampilkan dalam makalah ini dapat juga diakses gambar resolusi tingginya di web Kartografi-Indonesia Dept. Computational Sociology BFI, URL: http://compsoc.bandungfe.net/kartografi-indonesia/
4
Ruang euclidean tersebut kemudian diekstrak menjadi ruang ultrametrik. Ruang ultrametrik adalah ruang dimana seluruh jarak di dalamnya adalah ultrametrik. Untuk itu, properti (c) digantikan dengan ketidaksamaan berikut:
(
)
(d) dijult ≤ max dikult , d kjult
(ix)
Ruang tersebut dicari dengan menggunakan minimum spanning tree (MST). MST adalah sebuah pohon dengan jumlah jarak antar node (yang masing‐masing merepresentasi sebuah komoditas tertentu) minimum. Proses ini dilakukan dengan menggunakan algoritma Kruskal.
3. Indonesia Di Tengah Asia Pasifik
Gambar 1, populasi negara‐negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2005. Ukuran kartogram merepresentasikan jumlah populasi (sumber data: Microsoft Encarta 2006).
Dari gambar 1 terlihat bahwa populasi penduduk terbesar berturut‐turut adalah Asia Timur, Asia Selatan serta gugus kepulauan Asia Tenggara dan Australia‐ Selandia Baru. Selat Malaka merupakan sebuah jalur vital yang menghubungkan Asia Timur dan Asia Selatan. Secara geografis, posisi Indonesia menguntungkan karena memiliki beberapa jalur perairan yang menghubungkan Asia Selatan, Asia Timur serta Australia dan Selandia Baru. Lalu bagaimanakah tingkat kesejahteraan negara‐negara di kawasan Asia Pasifik?
5
Gambar 2, harapan hidup negara‐negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan jumlah populasi, indeks warna menunjukkan usia harapan hidup (sumber data: UNDP, 2006).
Gambar 3, infant mortality rate negara‐negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan infant mortality rate (sumber data: UNDP, 2006).
Di gambar 2 dan 3 terlihat adanya ketimpangan yang sangat besar antara wilayah timur dan barat Asia Pasifik. Negara‐negara di wilayah barat Asia Pasifik memiliki 6
tingkat harapan hidup yang lebih rendah serta angka kematian bayi yang lebih besar. Selain itu terlihat bahwa, negara‐negara yang tidak memiliki perbatasan laut (seperti Laos, Afganistan, Bhutan, Nepal dan Mongolia) memiliki kondisi kesejahteraan yang lebih buruk relatif terhadap negara‐negara di pesisir.
Gambar 4, indeks pendidikan negara‐negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan jumlah populasi, indeks warna menunjukkan tingkat pendidikan (sumber data: UNDP, 2006).
Ketimpangan juga terjadi di bidang pendidikan (gambar 4). Tingkat pendidikan di wilayah timur lebih baik relatif terhadap wilayah barat. Negara‐negara Asia Tenggara memiliki tingkat pendidikan yang relatif berimbang satu sama lain. Kondisi pendidikan Asia Tenggara lebih baik dari Asia Selatan, berimbang dengan Cina, namun lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Australia, Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan. Dengan menggabungkan data populasi dan indeks pendidikan (gambar 4) kita ketahui bahwa secara umum potensi sumber daya manusia terdidik di kawasan ini berada di wilayah Asia Tenggara dan Cina. United Nations Development Programme (UNDP) menyusun sebuah indeks yang bertujuan merepresentasikan tingkat pembangunan manusia di sebuah (atau bagian) negara, yaitu indeks pembangunan manusia. Indeks ini merupakan penggabungan dari tiga dimensi pembangunan manusia yang meliputi kesehatan, pendidikan dan pengetahuan, serta tingkat kesejahteraan. Visualisasi indeks tersebut dapat dilihat di gambar 5:
7
Gambar 5, indeks pembangunan manusia negara‐negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan jumlah populasi, indeks warna menunjukkan tingkat pembangunan manusia (sumber data: UNDP, 2006).
Ketimpangan pembangunan manusia juga terjadi di antara wilayah timur dan barat Asia Pasifik. Dengan membandingkan data populasi dan indeks pembangunan manusia (seperti pada gambar 5) kita ketahui bahwa negara berkembang dengan jumlah penduduk besar dan tingkat pembangunan manusia menengah antara lain: Cina, Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Indonesia dan India. Pada gambar 6 terlihat bahwa GDP perkapita di dominasi oleh negara‐negara di kawasan Asia Pasifik Tenggara (Australia dan Selandia Baru) serta Asia Pasifik Timur Laut (Jepang dan Korea Selatan). Di sini posisi Indonesia bagian timur menarik karena ia berada di antara 4 negara dengan GDP perkapita yang sangat besar, yaitu Jepang dan Korea Selatan di Utara serta Australia dan Selandia Baru di Selatan.
8
Gambar 6, GDP perkapita negara‐negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan besar GDP perkapita (sumber data: UNDP, 2006).
Walaupun dari sisi GDP perkapita masih sangat rendah, namun dari sisi pertumbuhan ekonomi Cina dan India mengalami kemajuan yang sangat signifikan (CIA, 2006). Hal ini menarik diperhatikan mengingat besarnya jumlah penduduk di dua negara tersebut. Lalu, apakah isu penundaan sengketa dataran tinggi Assam dan dibukanya jalur transportasi darat yang menghubungkan dua negara raksasa tersebut akan berpengaruh besar terhadap kawasan Asia Pasifik? Pertama, pertumbuhan ekonomi Cina berpusat pada kota‐kota di pesisir timur dan tenggara yang secara geografis jauh dari India. Kedua, secara geografis jalur transportasi darat yang dibuka tersebut berada di sekitar pegunungan Himalaya, akibatnya titik ini tidak begitu potensial menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Ketiga, negara‐ negara dengan GDP perkapita tinggi berada di kawasan timur Asia Pasifik (gambar 5). Artinya, pembukaan jalur tersebut tidak akan berpengaruh signifikan terhadap dominasi selat Malaka. Fakta lain yang penting diperhatikan adalah terjadinya peningkatan gaji buruh di Cina. Sejumlah ekonom menyatakan bahwa hal ini akan memberikan peluang ke negara‐negara lain seperti India, Vietnam dan Indonesia (Winters dan Yusuf, 2007). Di sini Vietnam menarik untuk diperhatikan. Dalam beberapa tahun ke belakang, negara ini mengalami peningkatan foreign direct investment secara ekplosif (CIA, 2006). Jumlah perusahaan Jepang yang berinvestasi di Vietnam meningkat pesat, sementara itu di Indonesia terjadi penurunan pertumbuhan yang sangat besar (Fujita dan Hamaguchi, 2006). Selain itu, Vietnam juga memiliki beberapa keuntungan geografis yang penting untuk diperhatikan. Pertama, ia berada di tengah pusat pertumbuhan Asia Timur dan Asia Tenggara. Kedua, Vietnam memiliki bentuk geografis yang memanjang di pesisir dan menjadi wilayah kunci yang 9
menghubungkan daerah pedalaman Indo‐Cina ke jalur perdangan laut internasional. Ketiga, Vietnam berpenduduk relatif besar dan memiliki tingkat pendidikan dan tingkat pembangunan manusia yang relatif berimbang dengan Indonesia (gambar 4 dan 5). Apakah fakta‐fakta geografis dan demografis tersebut terkait dengan aktifitas nilai tukar dan pasar modal di kawasan Asia Pasifik? Pertanyaan tersebut akan dikaji lebih jauh dengan menggunakan konsep jarak ultrametrik
Gambar 7, pohon hirarkis mata uang negara‐negara di kawasan Asia. Digunakan data harian setiap negara terhadap USD dari Januari 2005 hingga Juli 2007 (sumber data: www.oanda.com)
Gambar 7 menunjukkan jarak ultrametrik antar mata uang di kawasan Asia Pasifik. Dari sini terlihat bahwa beberapa mata uang saling terkait satu sama lain. Australia dan Selandia Baru memiliki jarak ultrametrik yang sangat kecil. Artinya pergerakan mata uang di dua negara ini sangat berhubungan. Demikian juga dengan Jepang dan Singapura atau Makau dan Nepal. Kita juga dapat melihat bahwa kelompok Australia dan Selandia Baru serta kelompok Jepang dan Singapura saling berdekatan satu sama lain. Untuk dapat melihat pengelompokan yang terjadi secara lebih seksama, gambar 7 dapat kita transformasikan menjadi bentuk visual berikut (gambar 8):
Gambar 8, MST pohon mata uang di Asia Pasifik dan USD. Semakin tebal garis antar node berarti jarak ultrametrik keduanya semakin dekat. 10
Gambar 9, volatilitas mata uang negara‐negara di kawasan Asia dari Januari 2005 hingga Juli 2007. Volatilitas dihitung dengan menggunakan standar deviasi log‐returns (sumber data: www.oanda.com)
Pada gambar 8 terlihat bahwa secara umum mata uang di Asia Pasifik dapat dibagi menjadi 5 buah kelompok. Kelompok pertama terdiri atas Australia, Selandia Baru, Jepang, Singapura dan Thailand. Konfigurasi ini terdiri atas negara‐negara dengan GDP perkapita tinggi (gambar 6). Dengan membandingkan hasil tersebut ke gambar 9 terlihat bahwa kelompok ini tersusun atas negara‐negara dengan tingkat volatilitas nilai tukar menengah. Di sini terlihat semakin tengah posisi sebuah mata uang di ruang ultrametrik, volatilitasnya semakin kecil. Artinya pergerakan sebuah mata uang di kelompok ini cenderung mengacu ke mata uang lain yang memiliki tingkat volatilitas yang lebih kecil. Konfigurasi kedua terdiri atas Korea Utara, India, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, Bhutan, Cina, Taiwan dan Filipina. Tingkat volatilitas pergerakan mata uang di kelompok ini relatif kecil dan menengah. Yang menarik adalah fakta bahwa ternyata mayoritas anggota partisi ini adalah negara‐ negara komunis atau junta militer2. Kelompok ketiga terdiri atas Makau, Nepal, Laos, Kamboja, Banglades dan Vietnam. Partisi ini terdiri negara‐negara di kawasan Indo Cina dan Asia Selatan bagian timur. Volatilitas kelompok ini relatif menengah dan tinggi. Kelompok keempat terdiri atas negara‐negara di seputar laut Cina Selatan dan laut Cina Timur yang meliputi Hongkong, Malaysia, Brunei dan Korea Selatan. Partisi terakhir terdiri atas Indonesia, Mongolia, Afganistan dan Srilangka. Di kumpulan ini mata uang yang ada langsung berhubungan dengan US Dollar. Dari deskripsi di atas kita dapat menemukan sebuah pola yang menarik, yaitu terjadi pengelompokan mata uang. Pola pengelompokan yang terjadi bervariasi, seperti: berada di sebuah wilayah regional yang relatif sama atau memiliki latar belakang politik yang identik atau mempunyai tingkat kekayaan yang relatif berimbang. Lalu dimanakah posisi Indonesia? Pada gambar 8 terlihat bahwa pergerakan mata uang Indonesia relatif independen terhadap pergerakan mata uang negara‐negara lain di kawasan Asia Pasifik. Rupiah relatif dekat ke US Dollar, sebagai sebuah mata uang utama di dunia, dan tidak memiliki hubungan langsung dengan mata uang lain di kawasan. Ini merupakan sebuah fenomena menarik. Artinya walaupun Indonesia dari sisi geografis, penduduk (gambar 1) dan GDP (gambar 6) relatif
2
Beberapa negara dalam kategori ini dapat dilihat di ensiklopedia internet, Wikipedia. URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Military_dictatorship 11
berada di tengah kawasan Asia Pasifik, namun nilai tukar rupiah relatif independen terhadap pergerakan mata uang yang ada di kawasan.
Gambar 10, jarak ultrametrik korelasi indeks pasar modal di beberapa negara di Asia Pasifik dari Januari 2005 hingga Juli 2007 (sumber data: finance.yahoo.com).
Lalu bagaimana dengan pasar modal? Berbeda dengan pasar valuta asing, jarak indeks pasar modal di kawasan Asia Pasifik cenderung lebih dekat satu sama lain. Hal ini terlihat jelas jika kita membandingkan gambar 7 dan gambar 10. Di pasar modal terdapat banyak kelompok yang memiliki jarak Ultrametrik lebih kecil dari satu. Hongkong dan Singapura memiliki jarak ultrametrik yang sangat kecil. Artinya pergerakan indeks pasar modal dua negara ini saling berkaitan. Demikian juga dengan Jepang dan Korea Selatan. Dari visualisasi di atas juga diketahui bahwa kelompok Hongkong dan Singapura serta Jepang dan Korea Selatan saling berdekatan. Gabungan dua kelompok ini kemudian berhubungan dengan pergerakan indeks di Australia dan Indonesia. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa, berbeda dengan pergerakan nilai tukar, pergerakan indeks pasar modal di Indonesia relatif terhubung dengan pasar‐pasar modal yang ada di kawasan.
Gambar 11, jarak ultrametrik korelasi perubahan volume perdagangan di beberapa negara di Asia Pasifik dari Januari 2005 hingga Juli 2007 (sumber data: finance.yahoo.com).
Apakah kedekatan pergerakan indeks di kawasan Asia Pasifik juga berlaku di sisi volume? Berbeda dengan indeks, perubahan volume di kawasan Asia Pasifik relatif 12
berjarak lebih jauh. Di gambar 11 terlihat bahwa jarak ultrametrik perubahan volume selalu lebih besar dari satu. Artinya dampak pengaruh pergerakan sebuah pasar ke pasar modal lain lebih dekat ke indeks dibandingkan dengan perubahan volume perdagangan.
Gambar 12, kapitalisasi pasar modal beberapa negara di Asia Pasifik, sumbu vertikal menunjukan volume perdagangan (sumber data: finance.yahoo.com).
Dalam dua setengah tahun ke belakang, indeks pasar modal di kawasan Asia Pasifik menunjukan trend bullish. Cina mencatat pertumbuhan indeks terbesar. Dominasi aktivitas pasar modal Cina juga terlihat dari nilai kapitalisasi pasar. Saat ini Cina merupakan pasar modal dengan tingkat kapitalisasi terbesar di kawasan Asia Pasifik (gambar 12). Aktivitas pasar modal Cina yang sangat tinggi tersebut menarik jika dihubungkan dengan pergerakan nilai tukar Yuan yang relatif stabil. Tentu saja hal ini sangat terkait dengan kebijakan moneter Cina yang berusaha menjaga nilai Yuan agar tetap lemah. Kebijakan tersebut mengakibatkan terjadinya ekspansi produk Cina ke pasar internasional, termasuk Indonesia3. Peningkatan aktivitas dan trend bullish pasar modal Cina ternyata juga diikuti oleh pasar modal Indonesia. Dalam dua setengah tahun ke belakang indeks pasar modal Indonesia mengalami pertumbuhan pesat, yaitu berada di posisi ketiga di belakang Cina dan India. Trend bullish pergerakan indeks tersebut ternyata juga diikuti dengan peningkatan volume perdagangan. Dalam 1 tahun ke belakang kapitalisasi pasar modal di Indonesia meningkat lebih dari 2 kali lipat.
4. Penutup Dari uraian di atas kita dapat menggarisbawahi beberapa hal terkait dengan posisi Indonesia di Asia Pasifik. Pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk besar dan memiliki tingkat kesejahteraan relatif menengah (gambar 1, 2, 3 dan 6). Kedua, secara geografis Indonesia berada dalam posisi yang menguntungkan karena ia 3
Sebagai contoh misalnya pemberitaan di harian Kompas, 18 Mei 2007, “Sedan China Ramaikan Pasar Mobil Indonesia : Kesempatan Terbuka Lebar bagi Perusahaan Otomotif Lainnya”. Banyak contoh dan pemberitaan dalam dua tahun belakangan ini yang menunjukkan ekspansi produksi dari negeri Tiongkok ke Indonesia. 13
berada di tengah 3 kawasan yang ada di Asia Pasifik yaitu Asia Selatan, Asia Timur serta wilayah Australia dan Selandia Baru (gambar 1). Ketiga, Indonesia juga berada di tengah 2 wilayah dengan GDP perkapita tinggi yaitu Jepang dan Korea Selatan di Utara serta Australia dan Selandia Baru di Selatan (gambar 6). Keempat, Indonesia merupakan merupakan negara berpenduduk besar dengan tingkat pendidikan dan tingkat pembangunan manusia menengah bersama dengan Cina, Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Indonesia dan India. Dari sisi pasar valuta asing dan pasar modal kita dapat melihat beberapa fakta menarik. Pertama terjadi pengelompokan mata uang di Asia Pasifik. Pengelompokan tersebut memiliki latar belakang yang bervariasi, seperti: kesamaan posisi geografis (berada di sebuah wilayah regional yang relatif sama), atau latar belakang politik yang identik, atau mempunyai tingkat kekayaan yang relatif berimbang. Di sini, posisi rupiah relatif lebih independen terhadap pergerakan mata uang lain di kawasan. Kedua, jarak antar indeks pasar modal di Asia Pasifik relatif lebih dekat dibandingkan dengan jarak antar mata uang. Kedekatan yang terjadi lebih kepada nilai indeks dibandingkan dengan perubahan volume perdagangan. Berbeda dengan nilai tukar rupiah, indeks pasar modal Indonesia sangat terhubung dengan pasar‐ pasar lain di kawasan. Dari paparan di atas dapat ditunjukkan bahwa pada dasarnya kita dapat mengaplikasikan perangkat‐perangkat analisis yang berkembang di fisika ke dalam diskursus ekonomi politik. Aplikasi ini dapat membantu kita dalam mencari fakta‐ fakta baru di lapangan tersebut. Selain dari sisi positif, terdapat tuntutan normatif ekonomi politik yang membutuhkan sejumlah perangkat analisis baru yaitu terkait dengan proses penyusunan kebijakan strategis. Lapangan ini menarik untuk dijadikan ruang diskusi baru ekonofisika.
Pengakuan Makalah ini disusun dalam kerangka penelitian berkode CS07003b Dept. Computational Sociology, Bandung Fe Institute. Kedua penulis mengucapkan terima kasih kepada Surya Research International atas dukungannya.
Daftar Pustaka Ausloss, M. (2006) Tak Perlu Noise Untuk Menghasilkan Chaos, hasil wawancara yang dimuat dalam ʺBuletin BFI Paruh Pertama 2006ʺ, Bandung Fe Institute. Arthur, W. B. (2000) Cognition: The Black Box of Economics, in ʺThe Complexity Vision and the Teaching of Economicsʺ, edited by: D. Colander, Edward Elgar Publishing. CIA (2006) The World Factbook, CIA. Cont, R. and J. P. Bouchaud (2000) Herd Behavior and Aggregate Fluctuations in Financial Markes, Macroeconomic Dynamics, No. 4, p. 170–195. Fujita, M. and N. Hamaguchi (2006) The Coming Age of China‐plus‐One: The Japanese Perspective on East Asian Production Networks, Second draft for The World Bank‐IPS Research Project on the Rise of China and India. 14
Hariadi, Y. and Y. Surya (2005) Asimetri GARCH dan Simulasi Monte Carlo Pada Peramalan GBP/USD, Working Paper WPB 2005, Bandung Fe Institute. Keen, S. (2002) Debunking Economics: The Naked Emperor Of The Social Sciences, Pluto Press. Mantegna, R. and H. E. Stanley (1994) Stochastic Process with Ultraslow Convergence to a Gaussian: the Truncated Levy Flight, Phys. Rev. Letter, No. 73, p. 2946‐2949. Mantegna, R. and H. E. Stanley (2000) Introduction to Econophysics: Correlations and Complexity in Finance, Cambridge University Press. Ormerod, P. (1994) The Death of Economics, Wiley& Sons. Ormerod, P. (2000) Butterfly Economics: A New General Theory of Social Science and Economic Behavior, Patheon Book. Situngkir, H. and Y. Surya (2003) Peramalan Jangka Pendek Deret Waktu Keuangan di Indonesia: Eksperimentasi Persepsi Jaring Saraf Buatan Pada Peta Poincare, Working Paper WPR 2003, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. and Y. Surya (2005a) Simulasi Investasi dengan Hukum Pangkat Zipf: Analisis Zipf (m,2) dalam Teks Data Indeks Keuangan, Working Paper WPC 2005, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. and Y. Surya (2005b) On Stock Market Dynamics through Ultrametricity of Minimum Spanning Tree, Working Paper WPH 2005, Bandung Fe Institute. Situngkir, H. and Y. Surya (2005c) Tree of Several Asian Currencies, Working Paper WPI 2005, Bandung Fe Institute. Situngkir, H., Y. Hariadi, and Y. Surya (2005a) Membandingkan Continous dan Continous Interval Trading System Dalam Perspektif Likuiditas, Laporan Penelitian Surya Research International dan Bursa Efek Jakarta. Situngkir, H., Y. Hariadi, and Y. Surya (2005b) Pola Transaksi Dalam Kaitannya Dengan Herding Behavior, Laporan Penelitian Surya Research International dan Bursa Efek Jakarta. Situngkir, H. (2007) Peluang Untuk Studi Kartografi Politik Indonesia: Referensi Spasial Sistem Sosial Kompleks, Working Paper WPP 2007, Bandung Fe Institute. Tesfatsion, L. (2002) Agent‐Based Computational Economics: Growing Economies from the Bottom Up, ISU Economics Working Paper, No. 1. UNDP (2006) Human Development Report 2006, United Nations Development Programme. Vriend, N. J. (1994) A New Perspective on Decentralized Trade, Economie Appliquee, tome XLVI, p. 5‐22. Wang, Y., Wu, J. & Di, Zengru. (2003). Physics of Econophysics. Artikel pra‐cetak. URL: http://www.sfu.ca/~jinshanw/project/ecophys/review/review.htm Winters, L. A. and S. Yusuf (2007) Introduction Dancing with Giants, in ʺDancing With Giants China, India and the Global Economyʺ, edited by L. A. Winters and S. Yusuf, World Bank and the Institute of Policy Studies.
15