`
KONSEP MULTIKULTURALISME DALAM TIGA FABEL KARYA RAFIK SCHAMI: ALBIN UND LILA, DER SCHMETTERLING DAN DER SCHNABELSTEHER Rinka Rima Syarifatunnisa, Lily Tjahjandari Program Studi Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Artikel ini membahas konsep multikulturalisme dalam tiga fabel karya Rafik Schami, seorang penulis Suriah-Jerman, yang berjudul Albin und Lila, Der Schmetterling dan Der Schnabelsteher. Tujuan artikel ini adalah untuk memaparkan struktur dari ketiga fabel Rafik Schami tersebut dan kaitannya dengan multikulturalisme di Jerman. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif dengan berpegangan pada teori kepengarangan Rafik Schami didukung dengan teori fabel Isti Haryati dan teori identitas budaya dari Stuart Hall. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur fabel yang terdiri dari penokohan, tema, alur, latar nilai moral dengan ditunjang proses pencarian identitas tokoh utama di ketiga fabel tersebut menggambarkan konsep multikulturalisme Rafik Schami, bahwa asal, identitas dan integrasi merupakan inti sekaligus komponen penting yang dapat menciptakan konsep multikulturalisme yang baik di Jerman, sebagai salah satu negara dengan tingkat masyarakat yang heterogen dan multikultural tertinggi di Eropa Barat.
The concept of Multiculturalism in three Rafik Schami’s fables: Albin und Lila, Der Schmetterling and Der Schnabelsteher. Abstract This article discusses the concept of multiculturalism in three Rafik Schami’s fables, a SyrianGerman author, entitled Albin und Lila, Der Schmetterling and Der Schnabelsteher. The purpose of this article is to describe the structure of three Rafik Schami’s fables and its relation to multiculturalism in Germany. The method used in this article is a qualitative method by holding on to the theory of authorship Rafik Schami and supported by the theory of fable by Isti Haryati and the theory of cultural identity by Stuart Hall. The results showed that the fable structure, which is consisting of character, theme, plot, setting, moral values and aided by the process of finding the identity of the three main characters in those fables illustrates the concept of multiculturalism by Rafik Schami, that the origin, identity and integration are the core as well as an important component that can create a good concept of multiculturalism in Germany, as one of the countries with the highest heterogenous and multicultural society in west Europe. Keywords: fable structure, the concept of multiculturalism, Germany, Rafik Schami.
1 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
Pendahuluan Fabel merupakan salah satu jenis sastra tertua di Jerman, yang keeksistensiannya telah ada sejak tahun 550 SM. Menurut Wilpert (1979), fabel berasal dari kata dalam bahasa latin fabula, yang berarti cerita yang bertujuan untuk menyampaikan kebenaran, ajaran moral, atau kebijaksanaan hidup dengan melalui penggambaran makhluk-makhluk, baik itu binatang ataupun tumbuhan, maupun benda mati sebagai contoh yang dianalogikan mempunyai sikap, adat istiadat dan tingkah laku layaknya manusia. Media fabel dipilih oleh Rafik Schami pada khususnya, dan para penulis imigran di Jerman pada umumnya karena fabel yang termasuk ke dalam genre sastra anak-anak dan remaja merupakan genre kedua yang paling disukai dan dibaca oleh masyarakat Jerman.1 Selain itu, fabel mempunyai struktur yang sederhana, bisa ditulis dalam bentuk puisi (im Vers geschrieben) dan dalam bentuk narasi (im Prosa geschrieben). Selain itu, gaya bahasa yang sederhana, padat dan pendek merupakan salah satu dari karakteristik fabel. Alur dalam fabel pun sederhana, yakni terdiri dari tiga tahapan : pembukaan, konflik dan akhir yang tidak terduga.2 Unsur satir dan kritik serta ajaran moral juga merupakan unsur yang penting di dalam fabel. Dalam bukunya yang berjudul Abhandlungen über die Fabel Lessing (tahun:halaman) pun berpendapat bahwa ajaran moral merupakan tujuan akhir dari sebuah fabel. Di dalam fabel tidak terdapat kebenaran yang tersembunyi, melainkan sebuah ajaran moral bahwa yang terjadi di dalam fabel bisa benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Selain nilai moral yang terkandung di dalam fabel, terdapat pula nilai estetis dan nilai budaya. Menurut Atmaja (2010), nilai estetis merupakan nilai keindahan yang melekat pada fabel tersebut, seperti rima, diksi atau gaya. Sedangkan nilai budaya tidak terlepas dari karya sastra tersebut bercerita tentang daerah tertentu. Aspek budaya tersebut dapat diketahui dari latar atau setting, tokoh, corak masyarakat, kesenian ataupun kebudayaan. Tokoh yang dominan dalam fabel adalah binatang. Binatang-binatang tersebut bertingkah laku, berpikir dan berbicara seperti manusia. Karakter binatang-binatang tersebut dapat dikatakan selalu berproses dan berubah tergantung pada penulis fabel tersebut. Karakter yang terdapat pada diri binatang secara tidak langsung membentuk identitas diri binatang tersebut. Karakter binatang yang selalu mengalami perubahan berdampak pula pada perubahan identitas diri binatang tersebut. Perubahan identitas tokoh binatang di dalam sebuah fabel tidak terjadi secara instan, namun melalui proses pencarian identitas tokoh 1
Gero Wilpert, (1979), Sachwörterbuch der Literatur, Stuttgart : Kröner, h. 258. Isti Haryati, (2011), Pengajaran Bahasa Asing dan Pendidikan Karakter :Fabel dalam Pengajaran Literatur dan Pendidikan Karakter, h.217 2
2 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
binatang tersebut. Proses pencarian identitas tokoh-tokoh binatang berlangsung seiring dengan alur cerita fabel tersebut. Selain itu, interaksi antar tokoh binatang pun turut serta mempengaruhi proses pencarian identitas tokoh-tokoh binatang tersebut. Proses pencarian identitas yang dialami oleh tokoh-tokoh binatang di dalam fabel memperlihatkan bahwa identitas dipandang sebagai suatu ‚produksi‘ yang tidak akan pernah selesai, selalu dalam proses dan merupakan representasi atas sesuatu.3 Stuart Hall dalam karyanya Cultural Identity and Diaspora (1989) menjelaskan bahwa identitas budaya adalah cerminan kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk sekelompok orang menjadi “satu” : walaupun dari ‘luar’ mereka tampak berbeda. Selain dari kesamaan sejarah dan kode-kode budaya, sudut pandang ini melihat bahwa ciri fisik mengidentifikasi serta menyatukan mereka sebagai suatu kelompok. Storey menambahkan, bahwa identitas-identitas pada umumnya dibuat dalam situasi dan kondisi tertentu dan tidak bisa dihasilkan oleh diri sendiri. Identitas dibentuk dalam struktur dan wacana, yang memungkinkan dan memforsir pembuatan identitas tersebut. Maka identitas sendiri selalu merupakan kompromi antara bagaimana kita melihat diri sendiri dan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Garis besar dari uraian diatas mengenai identitas budaya ialah bahwa pembentukan dari identitas budaya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: faktor eksternal, yang berdasarkan fisik seseorang dan faktor internal, yang berdasarkan perasaan dari individu yang merasa “sama” dan merasa sebagai bagian dari suatu kelompok budaya tertentu. Kedua faktor pembentuk identitas yang telah diuraikan diatas dapat terlihat jelas pada proses pencarian identitas tokoh binatang di dalam fabel, seperti di dalam fabel karya Rafik Schami. Keberagaman tokoh-tokoh binatang dalam fabel, baik dari jenis, spesies, ukuran maupun karakter, memperlihatkan kemajemukan metafora yang digunakan oleh penulis asing tersebut dalam merefleksikan realita kehidupan yang terjadi di sekelilingnya. Selain itu, keberagaman
tersebut
juga
menunjukkan
unsur
heterogenitas
kehidupan,
seperti
keheterogenitasan dalam masyarakat. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Edward Said (1993) yang mengatakan bahwa di masa kini masyarakat sudah tidak bersifat homogen melainkan heterogen, yaitu suatu kondisi di dalam sebuah kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang budaya. Unsur heterogenitas tersebut terlihat cukup menonjol di dalam fabel-fabel karya Rafik Schami. 3
Lihat, Stuart Hall, (1989),‘Cultural Identity and Diaspora Stuart Hall’, Framework, The Journal of Cinema and Media. no.36 dalam http://www.rlwclarke.net/Theory/PrimarySources/HallCulturalIdentityandDiaspora.pdf yang diunduh pada hari Selasa, 21 Mei 2013, pada pukul 6:20 WIB.
3 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
Keheterogenitasan tersebut tentunya berkaitan erat dengan konsep multikulturalisme pada saat ini, dimana individu-individu yang berbeda latar belakang budaya, geografi dan juga karakter, hidup dan tinggal di tempat yang sama dan saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi tersebut secara tidak langsung ikut membentuk identitas individu lainnya. Terkait dengan hal tersebut, maka peran masyarakat multikultural tidak dapat dipandang sebelah mata dalam pembentukan identitas individu. Munculnya fabel-fabel Jerman yang mengangkat isu multikulturalisme dengan permasalahan identitas di dalamnya sebagai tema utama memperlihatkan bahwa para penulis memandang isu multikulturalisme di kehidupan bermasyarakat di Jerman menjadi sebuah hal yang vital dan penting, seperti halnya yang terdapat di dalam tiga fabel karya Rafik Schami, yakni Albin und Lila, der Schmetterling dan der Schnabelsteher, dalam karyanya Der erste Ritt durchs Nadelöhr: Noch mehr Märchen, Fabeln & phantastischen Geschichten dan der Kameltreiber von Heidelberg: Geschichten für Kinder jeden Alters. Begitu pula dengan paradigma para pembaca, yang mengonsumsi fabel-fabel tersebut, telah bergeser, sehingga dengan penerimaan mereka terhadap fabel-fabel tersebut seolah-olah mereka pun peduli dengan isu multikulturalisme yang ada. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka saya merumuskan permasalahan yang mempengaruhi ketiga fabel tersebut, yaitu bagaimana struktur dari ketiga fabel karya Rafik Schami dan kaitannya dengan multikulturalisme di Jerman. Analisis mengenai permasalahan tersebut bertujuan untuk mengetahui struktur dari sebuah fabel dan pesan moral yang terdapat didalamnya serta kaitannya dengan isu multikulturalisme di Jerman. Tinjauan Teoritis Teori yang digunakan untuk menganalisis tiga fabel tersebut adalah teori kepengarangan Rafik Schami. Rafik Schami merupakan seorang penulis suriah-jerman yang terkenal di Jerman. Nama aslinya ialah Suheil Fadél. Pelarian Suheil ke Jerman membuatnya terpaksa menggunakan nama samarannya, sebab dengan menggunakan nama baru dapat memperkecil resiko keamanan yang membahayakan dirinya beserta keluarganya. Nama samaran yang ia gunakan ialah Rafik Schami. Rafik Schami lahir pada tanggal 23 Juni 1946 di Damaskus dari sebuah keluarga kristen-aramik. Orang tuanya berasal dari Malula, namun Rafik Schami tinggal dan dibesarkan di Damaskus. Schami beremigrasi ke Jerman pada tahun 1971. Pada tahun 197179 ia belajar di Universitas Heidelberg dan berhasil menyelesaikan studinya di bidang kimia 4 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
dengan promosi. Dalam jangka waktu itu pula, ia menerbitkan beberapa esai dan cerita dalam bahasa arab maupun bahasa jerman di berbagai majalah dan antologi. Ia pun menjadi pendiri dari kelompok sastra Südwind dan asosiasi Polikunst. Pada tahun 1980-85, Schami bekerja sebagai co-editor sekaligus pengarang dari kelompok sastra Südwind-Gastarbeiterdeutsch. Sejak tahun 1982 ia menjadi seorang penulis bebas dan menjadi anggota dari die Bayerischen Akademie der Schönen Künste pada tahun 2002. Karya-karyanya tersusun dari elemen-elemen oriental tradisional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik. Tema karya-karyanya pun begitu beraneka-ragam. Mustafa Al-Slaiman, penerjemah dan interpreter di Universitas Mainz, terdapat 3 ciri khas dari karya-karya Rafik Schami, yaitu: ciri pertamanya ialah dalam karya-karyanya menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja tamu dan juga kehidupan sehari-hari dari para pekerja tamu di Jerman. Ciri yang kedua adalah karya-karyanya yang mengusung tema oriental-arab yang dianggap oleh Schami sebagai budaya aslinya, contohnya penggunaan latar tempat di kota tua Damaskus, di Diwan dan pasar di Damaskus. Ciri yang ketiga sekaligus yang terakhir adalah dalam karya-karyanya seolah-olah Rafik Schami berperan sebagai seorang seniman dongeng.4 Imam Osman Khalil dalam jurnalnya yang berjudul Zum Konzept der Multikulturalität im Werk Rafik Schamis (1994) mengatakan bahwa tiga konsep besar yang diangkat oleh Rafik Schami dalam karya-karyanya ialah: Asal, Identitas dan Integrasi. Dalam pandangan Schami, konsep mengenai asal bukanlah berdasarkan geografis dan nasionalitas, namun berdasarkan persahabatan dan cinta. Melalui pernyataannya tersebut, Schami memberikan gambaran bahwa tempat asal seseorang bukanlah tempat dimana seseorang dilahirkan dan tinggal, namun tempat dimana seseorang tersebut merasakan kenyamanan yang bersumber dari persahabatan dan cinta. Schami mendefinisikan konsep mengenai asal merupakan tempat dimana ia hidup dengan orang-orang yang budaya dan ciri khasnya telah ia kenal dan pahami. Oleh sebab itu, konsep mengenai asal yang diangkat oleh Schami bukanlah definisi asal yang konkret, melainkan abstrak. Maksudnya ialah tidak ada batasan nyata melalui batasan geografi dan nasionalitas dalam konsep mengenai asal dari Rafik Schami, sebab batasan yang ada ialah batasan abstrak yang terbentuk dari perasaan cinta dan perhatian yang ada di dalam hati manusia. 4
Mustafa Al-Slaiman: Literatur in Deutschland am Beispiel arabischen Autoren-Zur Uberträgung und Vermittlung von Kulturrealien Bezeichnung in der Migranten- und der Exilliteratur, dalam: Amirsedghi, Nasrin/ Bleicher, Thomas, (1997), Literatur der Migration, h.87.
5 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
Tema selanjutnya yang juga selalu mewarnai karya-karya dari Rafik Schami ialah konsep identitas. Identitas dalam pandangan Schami bukan merujuk pada identitas nasional, melainkan pada identitas budaya. Permasalah identitas yang banyak dihadapi oleh para imigran di Jerman, banyak diangkat Schami di dalam karya-karyanya. Sebagai seorang penulis imigran di Jerman, Schami juga mengalami permasalah yang sama. Schami merasa bahwa identitasnya sebagai kelompok minoritas seolah-olah menjadikannya ‚berbeda‘ dari masyarakat jerman, meskipun Schami telah paham benar budaya Jerman dan juga telah menguasai bahasa jerman dan berbicara bahasa jerman sebaik masyarakat jerman itu sendiri. Schami pun melihat bahwa banyak dari para imigran yang melepaskan dan meninggalkan identitasnya dan menggunakan identitas baru yang sesuai dengan persyaratan yang diajukan oleh lingkungan dan masyarakat. Mereka mengimitasi identitas dari masyarakat mayoritas agar dapat diterima di dalam masyarakat tersebut. Batasan-batasan yang memisahkan antara kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas merupakan sebuah hal yang abstrak. Menurut Schami, batasan-batasan tersebut hanyan berupa tembok-tembok yang ada di dalam pemikiran individu. Tembok-tembok tersebutlah
yang
secara
tidak
sadar
membuat
manusia
mengotak-kotakknya
manusia/kelompok lainnya. Tembok-tembok tersebut juga yang membuat manusia merasa berbeda dan asing dengan yang lainnya. Pemikirannya tersebut tertuang dalam karyakaryanya Schami. Dalam karya-karyanya Schami selalu menekankan pentingnya integrasi dalam suatu masyarakat yang heterogen sebagai sebuah solusi dari permasalahan identitas yang dihadapi oleh kelompok minoritas. Ia pun menegaskan bahwa asimilasi bukanlah jalan keluar yang paling baik dari permasalahan tersebut, sebab Schami berpendapat bahwa asimilasi merupakan proses penghilangan identitas seseorang sehingga dengan menerapkan proses tersebut tidak akan membawa keberhasilan bagi permasalahan identitas yang ada. Konsep integrasi yang dimaksud oleh Schami ialah sikap saling memahami dan menghormati perbedaan budaya, karakter, sifat dan juga gaya hidup antara kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas. Dalam proses integrasi, tidak hanya kelompok mayoritas saja yang berusaha memahami identitas kelompok minoritas, namun kelompok minoritas juga harus berusaha membuka diri terhadap kelompok mayoritas. Salah satu usaha untuk menciptakan integrasi di dalam masyarakat multikultural yaitu melalu karya-karya sastra dari para imigran. Schami menganggap bahwa literatur imigran tidak hanya sebuah genre sastra, melainkan juga sebuah alat kelompok minoritas yang penting dalam mengompromikan 6 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
identitas budayanya dengan kelompok mayoritas. Dengan melakukan kompromi, maka kedua kelompok tersebut tidak harus melepaskan identitas budayanya dan memakai identitas kelompok lainnya, mereka tetap dapat mempertahankan identitas budayanya masing-masing. Schami kembali menekankan bahwa kompromi tersebut bertujuan bukan untuk menciptakan masyarakat multikultural yang hidup saling berdampingan dengan harmonis, namun bertujuan untuk menciptakan sikap saling memperhatikan budaya dari masing-masing individu/kelompok yang ada di dalam masyarakat multikultural tersebut. Itulah konsep integrasi yang ditawarkan oleh Rafik Schami di dalam karya-karyanya yang dianggap menjadi solusi yang tepat untuk diimplementasikan di dalam masyarakat Jerman yang multikultural. Selain kompromi, Schami pun menekankan pentingnya sikap solidaritas antara kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas dalam kehidupan sosial, sehingga tujuan dari konsep integrasi dapat tercapai. Salah satu manifestasi dari sikap solidaritas menurut Schami ialah persahabatan. Persahabatan dianggap sebagai sebuah budaya dari kaum-kaum lemah yang digunakan sebagai salah satu cara agar dapat mempertahankan hidupnya. Konsep itulah yang menjadi salah satu unsur penting dalam karya-karya Schami. Ketiga konsep besar tersebut merupakan elemen-elemen penting penyokong tema besar multikulturalitas yang diangkat oleh Schami dalam karya-karyanya. Bagi Schami, karya-karyanya tersebut merupakan wadah menyalurkan serta menyebarkan pemikirannya mengenai multikulturalitas. Ia menciptakan interaksi yang dinamis antara karya-karyanya dengan masyarakat. Dengan interaksi tersebut terbangunlah komunikasi antara kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas, membahas permasalahan yang dihadapi oleh kedua belah pihak serta menawarkan solusi-solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut. Tema multikulturalitas yang membungkus tiga konsep penting tersebut diringkas dengan begitu apiknya oleh Schami dalam sebuah slogan „Nicht die Herkunft ist wichtig, sondern das Dasein“5 yang menjadi inti dari karya-karyanya. Metode Penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan ialah studi pustaka. Metode studi pustaka dilakukan dengan mencari bahan literatur seperti buku, jurnal sastra, media massa dan internet yang memiliki relevansi terhadap bahasan ini, sebagai bahan yang memperluas sekaligus memperkuat analisis yang penulis lakukan. Bahan-bahan literature tersebut disinergikan dengan teori-teori yang dipakai dalam menganalisis penelitian ini, seperti teori fabel, teori 5
Rafik Schami, Das letzte Wort der Wanderratte. Märchen, Fabeln & phantastische Geschichten (1987; München: dtv, 1998), h.35
7 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
identitas budaya dari Stuart Hall dan juga teori kepengarangan Rafik Schami mengenai konsep multikulturalisme. Melalui teori fabel yang digunakan, analisis mengenai kaitan antara struktur fabel dengan multikulturalisme di Jerman dapat dilakukan dengan lebih mendalam. Hal tersebut ditunjang pula dengan teori identitas budaya dari Hall yang akan ikut berperan dalam membahas permasalahan yang telah diajukan di atas dengan lebih mendetail. Kedua teori tersebut pada akhirnya menjadi penyokong teori besar yang digunakan di dalam penelitian ini, yakni teori kepengarangan Rafik Schami yang berujung pada mengupas konsep multikulturalisme ala Rafik Schami yang terdapat di dalam ketiga fabel tersebut. Pembahasan dan Hasil Penelitian Dalam fabel Albin und Lila, der Schmetterling dan der Schnabelsteher, Schami menampilkan tokoh-tokoh binatang yang beranekaragam. Sebagai seorang penulis imigran, Schami memasukkan unsur-unsur „oriental“ ke dalam karya-karya. Hal tersebut juga terdapat di dalam ketiga fabel ini. Unsur-unsur “oriental” tersebut terefleksikan melalui tokoh-tokoh dan juga nama-nama dari binatang yang ada di dalam ketiga fabel Schami ini. Dalam fabel Albin dan Lila (Albin und Lila), unsur “oriental” diperlihatkan melalui sifat-sifat yang ditunjukkan oleh tokoh utama, yakni Albin, seekor babi putih, dan Lila, seekor ayam tua yang tidak dapat bertelur lagi. Dalam fabel ini, Schami memberikan gambaran sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat umum dalam kedua tokoh tersebut, seperti salah satu contohnya ialah tokoh Albin yang memiliki sifat ceria, baik hati dan cerdik. Tentunya sifatsifat ini bertolak belakang dengan sifat babi pada umumnya. Hal ini memperlihatkan bahwa Schami seolah-olah telah berhasil “meleburkan” unsur “oriental” ke dalam tokoh yang khas barat ini. Dalam fabel berikutnya, yakni Kupu-kupu (der Schmetterling), unsur „oriental“ terefleksikan melalui penamaan para tokoh binatang, seperti Serbi, Kerbi, Herbi dan Berbi. Nama-nama tersebut sangat jarang dan hampir tidak pernah digunakan sebagai nama tokoh binatang dalam fabel-fabel yang ditulis oleh penulis-penulis eropa. Dalam fabel ketiga, yakni Paruh sebagai Tumpuan (der Schnabelsteher), Schami menonjolkan unsur „oriental“ dengan „hidupnya“ tokoh burung merak. Burung merak, pada umumnya, banyak ditemukan di wilayah asia. Unsur “oriental” pun diperlihatkan pula melalui sifat-sifat tokoh utama, yakni si gagak kecil dan juga kebiasaan nenek gagak yang gemar mendongeng. Melalui penokohan ini pula, Schami memperlihatkan keahliannya dalam menggabungkan unsur “oriental” dengan unsur barat.
8 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
Analisis penokohan diatas bukanlah semata-mata hanya bertujuan untuk memaparkan sifat-sifat dari masing-masing tokoh, namun hal tersebut juga membantu dalam proses analisis pengaruh tokoh-tokoh hewan lain terhadap tokoh utama. Beberapa tokoh binatang bertindak memarginalkan tokoh utama, sedangkan tokoh binatang lainnya menerima keberadaan tokoh utama. Caranya pun berbeda-beda, ada yang memarginalkan tokoh utama dengan mengelabuinya, bahkan ada pula dengan cara yang lebih halus, yakni dengan menasehatinya. Sikap penerimaan keberadaan tokoh utama pun diimplementasikan dalam beberapa bentuk, yaitu dengan sikap menoleransi, menasehati dan mendukung tokoh utama. Penjelasan tersebut dapat ditemukan di dalam ketiga fabel Schami ini. Melalui pemaparan pengaruh antar tokoh tersebut maka, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni: pertama, perbedaan peran dan pengaruh yang diberikan oleh tokoh-tokoh binatang lainnya terhadap tokoh utama menunjukkan heterogenitas dalam masyarakat. Kedua, konsep Schami mengenai asal yang diwakili oleh para tokoh utama, dimana tokoh-tokoh utama tersebut merasakan kenyamanan ketika bersama dengan tokoh binatang lainnya. Perasaan nyaman tersebut direfleksikan melalui beberapa bentuk; persahabatan dengan tokoh binatang lainnya dan respon yang positif dengan menunjukkan sikap menerima dari para tokoh utama terhadap perlakuan dari lingkungannya. Analisis struktur fabel selanjutnya ialah tema. Tema dari fabel pertama karya Schami yang berjudul Albin und Lila adalah diskriminasi. Tindakan diskriminasi yang terdapat di dalam fabel ini ialah ketika tokoh utama dijauhi dan dianggap „berbeda“ karena warna bulunya yang berbeda dengan tokoh babi pada umumnya. Perbedaan tersebut membuatnya terminoritaskan. Perbedaan warna bulu tersebut berdampak pula pada perlakuan yang diterima oleh tokoh utama. Perlakuan-perlakuan tersebut diantaranya berupa ejekan, hinaan dan juga sikap spontanitas untuk menjauhi tokoh utama yang dilakukan oleh kawanan babi lainnya. Selain itu, perlakuan yang disinyalir mengandung diskriminasi dilakukan pula oleh kawanan hewan lainnya yang menganggap jenis mereka lebih baik dari pada hewan lainnya. Sikap serta sifat yang merasa jenisnya eksklusif dan paling hebat merupakan sebuah ciri dari tindakan diskriminasi. Keenganan mereka untuk bersosialisasi dan berteman dengan tokoh utama yang mereka anggap minoritas dan tidak sepadan dengan mereka memperkuat unsur diskriminasi dalam fabel ini. Namun, di dalam fabel ini Schami memperlihatkan bahwa tokoh hewan yang menganggap dirinya lebih hebat dan eksklusif ternyata tidak lebih hebat dari tokoh utama yang merupakan individu yang terminoritaskan. Tanpa adanya bantuan dari tokoh utama, mereka akan menjadi makanan si rubah. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada jenis makhluk 9 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
hidup pun yang lebih hebat dari jenis-jenis makhluk hidup lainnya. Tidak ada makhluk yang superior, karena semua makhluk memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh sebab itu, sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada dan menjalin sebuah jalinan persahabatan dengan individu lainnya merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh Schami di dalam fabelnya ini. Tema yang diangkat di dalam fabel berikutnya, der Schmetterling, ialah perubahan. Hal ini terdapat di dalam keseluruhan cerita fabel yang memperlihatkan sebuah siklus kehidupan dari seekor ulat. Tahap metamorfosis merupakan sebuah tahapan yang penting bagi ulat-ulat dan seolah-olah dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang harus dialami oleh semua ulat. Ketika seekor ulat menolak untuk mengalami proses tersebut, ulat tersebut tersisihkan dari kawanannya. Perlahan-lahan ulat tersebut akan ditinggalkan oleh kawanannya, sebab metamorfosis diibaratkan sebagai sebuah hukum alam yang berlaku tanpa pandang bulu. Namun, di dalam fabel ini secara implisit digambarkan bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang mutlak, tetapi sesuatu hasil ciptaan makhluk hidup. Maksudnya ialah suatu perubahan akan terjadi dengan adanya niat dan upaya dari individu tersebut untuk berubah. Dengan niat dan upaya yang keras, perubahan yang dilakukan akan membawa pada hasil yang maksimal dan memberikan dampak yang luas, seperti kemajuan dan peningkatan rasa percaya diri, itulah pesan moral dari fabel ini. Hal ini sangat berkaitan erat dengan konsep Schami mengenai kekuasaan, yakni bahwa kekuasaan hanya akan membawa kesengsaraan yang berlatar belakangi atas ketidaksukaannya terhadap sistem pemerintahan yang diktaktor yang memaksa rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Tanpa adanya kemauan dan usaha dari rakyat untuk melawan kediktaktoran tersebut, selamanya kehidupan mereka akan dipaksa sengsara dan terkekang. Dengan adanya perubahan, individu tersebut tidak selalu kehilangan ciri khasnya, karena perubahan merupakan salah satu alat untuk menunjukkan ciri khas individu tersebut secara lebih luas. Itulah pesan moral yang seolah-olah ingin disampaikan oleh Schami dalam karyanya ini. Tema yang diangkat di dalam fabel ketiga yang berjudul der Schnabelsteher ini adalah pendeskontruksian stereotip. Pendeskontruksian stereotip yang dilakukan oleh Schami di dalam fabel ini direfleksikan melalui perjalanan hidup tokoh utamanya. Tokoh utama dikonstruksikan selalu memiliki kaitan dengan kematian dan hal-hal yang bernuansa gelap dan suram. Melalui teori Schami dan kepengarangan, hal tersebut didekonstruksi oleh Schami di dalam fabel ini. Tokoh utama digambarkan menjadi tokoh yang bersifat aktif, cerdas,ceria, berani dan kreatif. Sebaliknya tokoh burung merak yang distereotipkan dengan hal-hal yang 10 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
cantik, anggun dan berkuasa, diputarbaliknya menjadi tokoh yang membosankan, sombong, bodoh dan memiliki kekuasaan yang utopis. Pendeskontruksian stereotip tokoh-tokoh tersebut terlihat jelas ketika tokoh utama berhadapan langsung dengan tokoh burung merak dan melakukan tantangan “berdiri dengan paruh”. Seperti yang dikemukakan oleh Schami bahwa negosisasi yang terjadi antara tokoh utama dengan tokoh burung merak saat itu merupakan representasi dari dialog budaya antara kalangan
minoritas
dengan
kalangan
mayoritas
yang
berkontribusi
terhadap
pendeskontruksian stereotip dari kedua kalangan tersebut.6 Pesan yang ingin disebarluaskan oleh Schami melalui fabel ini ialah bahwa antara kenyataan dengan stereotip tidak selalu berbanding lurus dan koheren, sebab stereotip berasal dari hasil pengamatan subjektif suatu individu atas individu lainnya dan setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda tehadap satu hal. Oleh karena itu, stereotip bukanlah cerminan mutlak dari identitas suatu individu. Latar tempat dipakai di dalam fabel Albin und Lila ini adalah di sebuah tanah pertanian yang di dalamnya terdapat kandang babi dan kandang ayam. Sedangkan, di fabel kedua, der Schmetterling, mengambil latar tempat sebuah hutan, dimana terdapat sebuah pohon murbai dan pohon pir. Pohon murbai tersebut merupakan tempat tinggal dari kelompok ulat hitam, sedangkan pohon pir merupakan tempat tinggal dari kelompok ulat emas. Fabel ketiga, der Schnabelsteher, mengambil latar tempat di sebuah hutan, mulai dari sebuah pohon walnut yang tua, di padang rumput yang hijau dan di semak-semak pohon blackberry. Latar tempat di sebuah pohon di hutan merupakan tempat tinggal dari kelompok burung gagak, sedangkan latar tempat di sebuah padang yang luas diceritakan ketika si gagak kecil pergi mencari keberadaan si merak. Selanjutnya, latar tempat di sebuah semak-semak pohon blackberry menjadi latar ketika terjadi perselisihan antara si gagak kecil dengan si merak. Selanjutnya ialah analisis alur. Dari ketiga fabel ini, saya mengelompokkan alur cerita ke dalam tiga tahapan besar, yakni: Tahap Pengenalan Tokoh. Di tahap ini, tokohtokoh binatang, khususnya tokoh utama dalam ketiga fabel ini diperkenalkan kepada para pembaca. Selain itu, dipaparkan pula hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh binatang lainnya. Pada tahap ini, sudah mulai muncul gesekan-gesekan antara tokoh utama dengan tokoh-tokoh binatang lainnya. Konflik. Di tahap ini, gesekan-gesekan yang terjadi pada tahap sebelumnya semakin keras. Permasalahan-permasalahan pun muncul dan dialami oleh tokoh utama. Akhir yang tidak terduga. Konflik yang semakin meruncing antara tokoh utama 6
Imam Osman Khalil, (1994), Zum Konzept der Multikulturalität im Werk Rafik Schamis, Monatshefte, vol. 86, no. 2, hal 211, www.jstor.org diakses pada tanggal 2 Mei 2013 pukul 21:39 WIB.
11 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
dengan tokoh-tokoh binatang lainnya mencapai titik klimaksnya ketika tokoh utama mengalami peristiwa besar, dimana harga diri menjadi taruhannya. Negosiasi menjadi jalan keluar yang ditawarkan oleh Schami di dalam ketiga fabel ini atas konflik yang terjadi antara tokoh utama dengan tokoh binatang lainnya. Hasil dari proses negosiasi tersebut melahirkan akhir cerita yang tidak terduga di dalam ketiga fabel ini. Secara tersirat perjalanan kehidupan yang dialami para tokoh utama dalam ketiga fabel tersebut menuntun mereka ke dalam proses pencarian identitas diri mereka. Pengaruh serta peran tokoh-tokoh fabel lainnya sedikit-banyak ikut serta dalam proses pencarian identitas para tokoh. Untuk mempermudah pemahaman mengenai proses pencarian identitas tokoh utama, saya menyimpulkan bahwa terdapat pola yang sama dalam ketiga fabel tersebut pada tahapan pencarian identitas tokoh utamanya, yakni: Tahapan pencarian identitas tokoh utama terbagi menjadi tiga tahapan besar, yaitu tahap mempertanyakan identitas, tahap mencari identitas dan tahap mencapai kedewasaan. Tahapan mempertanyakan identitas yang dialami oleh tokoh utama di dalam ketiga fabel tersebut selalu disebabkan oleh keterasingan yang dirasakan oleh tokoh utama. Perasaan tersebut muncul akibat dari tindakan memarginalkan yang dilakukan oleh lingkungan sosial terhadap tokoh utama yang memiliki ciri yang berbeda. Ciri yang berbeda seolah-olah menjadi „tembok“ yang membatasi antara tokoh utama dengan lingkungan sosialnya. Dengan ciri yang berbeda tersebut, lingkungan sosial memproyeksikan identitas tokoh utama sebagai sesuatu yang „lain“ dan „terpisah“. Tindakan mempertanyakan identitas yang dialami oleh tokoh-tokoh utama tentunya berbedabeda, antara lain direfleksikan melalui mimpi yang bersifat kontradiktif dengan kenyataan yang ada, sikap penolakan terhadap proses kehidupan yang dianggap “normal” dan juga melalui sikap membandingkan diri dengan binatang lainnya. Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat sikap perlawanan tokoh utama terhadap lingkungan sosial dalam tindakan-tindakan mempertanyakan identitas tokoh utama. Selanjutnya ialah tahap mencari identitas tokoh utama. Dalam tahap ini, para tokoh utama melakukan cara yang berbeda dalam proses mencari identitas mereka. Sikap penerimaan dan penolakan terhadap identitas tokohtokoh utama oleh lingkungan sosial merupakan salah satu komponen penting dalam tahapan ini. Selain itu, tindakan negosiasi identitas yang dilakukan oleh tokoh utama dengan lingkungan sosial juga merupakan komponen yang mendominasi dalam tahapan pencarian identitas tokoh utama. Tahapan terakhir ialah tahapan mencapai kedewasaan yang dialami oleh tokoh utama. Pada tahapan ini, hasil dari negosiasi identitas yang dilakukan oleh tokoh utama dengan lingkungan sosialnya yang berbeda-beda „membantu“ tokoh utama mencapai kedewasaan dalam memahami identitasnya, seperti dapat menghasilkan identitas baru tokoh 12 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
utama dan juga membawa tokoh utama menemukan identitas sejatinya. Namun, hasil negosiasi juga antara tokoh utama dengan lingkungan sosialnya dapat pula tidak merubah identitas awal tokoh utama dan juga identitas lingkungan sosialnya.
Kesimpulan Berdasarkan pemaparan mengenai teori kepengarangan Rafik Schami pada landasan teori serta analisis tiga fabel karya Rafik Schami pada bab tiga, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan, antara lain: Pertama, Struktur fabel di dalam ketiga fabel Schami ini menunjukkan bahwa tema, latar dan penokohan memiliki kaitan dengan masyarakat multikultural. Tema yang diangkat di dalam fabel-fabel tersebut memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat yang multikultural, dimana terjadi komunikasi antar individu yang berbeda latar belakang, asal, identitas dsb. Dalam komunikasi tersebut terjadi gesekangesekan antar individu tersebut, sehingga tidak jarang satu individu melakukan tindakan diskriminasi terhadap individu lainnya. Tema perubahan pun seolah-olah menjadi salah satu bahan pokok yang dikomunikasikan antar individu tersebut. Melalui komunikasi yang terjadi, tiap individu dapat menegosiasikan identitas mereka yang berkaitan erat dengan stereotip umum. Secara tidak langsung terjadi proses pendeskonstruksian stereotip, ketika negosiasi antar individu berlangsung. Tema-tema yang diusung ketiga fabel tersebut sedikit-banyak mencerminkan konsep multikultural ala Rafik Schami, dimana „multikultural“ itu sendiri tidak selalu mewakili masyarakat yang heterogen, namun dapat pula mewakili masyarakat yang homogen. Latar tempat yang ditampilkan di dalam tiga fabel Schami ini bersifat umum dan tidak merujuk secara spresifik pada suatu tempat. Latar tempat yang dipergunakan juga dapat ditemukan di dalam kehidupan nyata. Hal ini secara eksplisit menekankan bahwa kejadiankejadian dengan latar tempat seperti yang terdapat di dalam ketiga fabel tersebut kemungkinan besar dapat terjadi pula di dalam kehidupan nyata. Pada bagian penokohan, ciri khas dari seorang Rafik Schami begitu menonjol. Hal ini terlihat dari keterlibatan beberapa karakter binatang yang „oriental“ dalam ketiga fabel ini, seperti burung merak dan ulat emas. Tokoh-tokoh binatang „oriental“ tersebut dipadu-padankan dengan tokoh-tokoh binatang yang khas „barat“, seperti babi, gagak, rubah dan merpati, sehingga menimbulkan sebuah cerita yang khas dan „berbeda“. Selain tokoh-tokoh binatang „oriental“, terdapat pula namanama binatang yang terkesan “oriental”, seperti Serbi, Berbi, dan Herbi, yang menjadi 13 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
komponen khas dari ketiga fabel Schami ini. Tidak hanya tokoh-tokoh binatang yang khas „barat“ saja yang memiliki peran penting dalam ketiga fabel ini, namun tokoh-tokoh binatang „oriental“ juga memiliki pengaruh yang kuat di dalam ketiga fabel ini. Melalui pemaparan tersebut terlihat bahwa perpaduan yang tepat antara tokoh-tokoh binatang “oriental” dan juga nama-nama „oriental“ dengan tokoh-tokoh binatang khas „barat“ merupakan sebuah simbol dari multikulturalisme. Kedua dari ketiga fabel ini Schami juga memasukkan tiga konsepnya, yakni konsep asal, identitas dan integrasi, di dalam proses pencarian identitas tokoh utama ketiga fabel tersebut. Konsep Schami mengenai asal bahwa „asal“ bukanlah tempat dimana individu dilahirkan dan dibesarkan, namun tempat dimana individu tersebut merasakan dan mendapatkan cinta, kenyamana serta perhatian dan juga sudah sangat mengenal sekaligus memahami sifat, sikap serta budaya masyarakat tersebut. Selain itu, melalui ketiga fabel tersebut Rafik Schami menekankan bahwa „asal“ itu bukanlah merujuk pada bangsa, negara ataupun ras tertentu, melainkan merujuk pada tempat dimana terdapat banyak kesempatan yang ditawarkan bagi tiap individu untuk hidup dengan caranya sendiri dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga rasa nyaman dapat dicapai oleh tiap individu. Konsep kedua Schami mengenai identitas menekankan pada identitas budaya, bukan identitas nasionalitas. Maksudnya ialah bahwa identitas suatu individu tidak bergantung pada asal individu tersebut, melainkan bergantung pada diri individu itu sendiri. Hal ini diperlihatkan melalui proses pencarian identitas para tokoh utama di ketiga fabel tersebut. Melalui tiga tahapan besar dalam proses pencarian identitas para tokoh utama terpaparkan dengan jelas bahwa proses tersebut terjadi, karena kelompok tokoh utama merasa dan menganggap identitas dirinya berbeda, sehingga memicu tokoh utama untuk melakukan pencarian identitasnya. Perbedaan fisik, sifat, sikap dan budaya antara tokoh utama dengan lingkungannya merupakan tembok-tembok abstrak yang membatasi dan mengotak-kotakkan identitas tokoh utama dari lingkungannya. Dalam pandangan Schami, tembok-tembok tersebut hanyalah ada di dalam pemikiran individu yang membuat satu individu menganggap berbeda individu lainnya. Melalui analisis proses pencarian identitas di dalam ketiga fabel tersebut, terlihat dengan jelas bahwa Schami menyajikan sebuah gambaran lain mengenai “identitas” dari kelompok minoritas. Pada dasarnya kelompok minoritas juga merupakan kumpulan dari berbagai macam individu yang memiliki perbedaan asal, karakter, sifat, sikap, kepercayaan dan juga budaya. Meskipun individu-individu tersebut termasuk de dalam kelompok minoritas, namun tidak serta-merta mereka melebur menjadi satu jenis individu dan menanggalkan karakteristik 14 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
identitas asli mereka. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa kelompok minoritas juga merupakan kelompok yang multikultural. Di dalam suatu kelompok minoritas juga masih terdapat tindakan memarginalkan antar satu individu dengan individu lainnya. Hal itulah yang direfleksikan melalui hubungan yang terjadi antara kelompok minoritas yang termarginalkan dengan para tokoh utama ketiga fabel ini. Tidak jarang pula, kelompok-kelompok minoritas tersebut menganggap tinggi budaya kelompok mayoritas, sehingga secara tidak sadar, mereka termarginalkan karena tindakan mereka yang memarginalkan diri mereka sendiri. Tindakan kelompok-kelompok minoritas dengan menggangap tinggi budaya kelompok mayoritas serta mengikuti “aturan-aturan” sosial yang berlaku merupakan sebuah bentuk imitasi budaya agar kelompok tersebut dapat diterima dan diakui keberadaannya oleh kalangan mayoritas dan seolah-olah mereka memproyeksikan diri mereka “menjadi” kalangan mayoritas itu sendiri. Tindakan tersebut merupakan sebuah realisasi dari batasan-batasan yang ada di dalam pikiran individu yang membuat beda satu individu dengan yang lainnya. Hal tersebut sangat berkaitan dengan konsep identitas Schami yang telah dijelaskan sebelumnya. Konsep ketiga Schami mengenai integrasi yang menitikberatkan pada pentingnya rasa toleransi, solidaritas dan kompromi antara kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas. Konsep tersebut begitu kental dituangkan Schami di ketiga fabelnya ini. Dalam analisis proses pencarian identitas tokoh utama di ketiga fabel karya Schami tersebut terlihat dengan jelas bahwa terdapat tahapan negosiasi identitas antar tokoh utama dengan lingkungannya. Melalui negosiasi tersebut tokoh utama dapat mempertahankan identitasnya, namun juga menghormati serta memahami identitas lingkungannya. Penyesuaian diri menjadi penting di dalam hal ini. Penyesuaian diri dikonteks ini bukanlah hanya penyesuaian diri tokoh utama terhadap lingkungannya, namun juga berlaku sebaliknya. Schami pun menekankan bahwa menurut pandangannya negosiasi bukanlah bertujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, namun untuk menciptakan dan membangun rasa saling menghormati dan perhatian antara budaya masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Selain itu pula, melalui negosiasi ini Schami menggiring pemikiran para pembacanya kepada sebuah gambaran yang tegas bahwa negosiasi merupakan titik temu antara sikap aktif yang dilakukan oleh kelompok minoritas/marginal terhadap kelompok mayoritas dan sikap terbuka dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas/marginal dalam upaya mengomunikasikan identitas dari kelompok-kelompok tersebut, sehingga dapat tercapai tujuan dari konsep negosiasi ini. Melalui negosiasi inilah Schami memperlihatkan bahwa konsep integrasi budaya merupakan solusi yang tepat
15 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
dibandingkan konsep asimilasi budaya dalam menangani permasalahan antara kelompok minoritas dengan mayoritas di dalam masyarakat yang multikultural. Ketiga, dari ketiga fabel ini negosiasi dapat diimplemetasikan dalam dua cara besar, yakni dengan menunjukkan kemampuan yang dimiliki dan juga dengan melakukan sikap penolakan terhadap aturan-aturan “normal” yang berlaku di dalam lingkungan sosial. Pada akhirnya Rafik Schami menekankan bahwa permasalahan-permasalahan yang diangkat di dalam ketiga fabelnya merupakan momok bagi para imigran di Jerman. Di sisi lain, Schami juga menegaskan kembali bahwa permasalahan-permasalahan tersebut dapat diminimalisir dengan diterapkannya ketiga konsep Schami, yakni: asal, identitas dan integrasi, dimana identitas suatu individu tidaklah bergantung penuh pada asal individu tersebut karena konsep asal itu sendiri tidaklah merujuk pada tempat dimana individu tersebut lahir dan besar, namun lebih merujuk pada tempat dimana ia memperoleh perhatian, kenyamanan dan rasa cinta. Dengan memahami serta menerapkan kedua konsep tersebut, negosiasi identitas menjadi lebih mudah diterapkan sehingga tujuan dari konsep integrasi Schami untuk menciptakan dan membangun rasa saling menghormati dan perhatian antar budaya dapat terwujud dengan baik. Ketiga konsep Schami tersebut terkandung dalam mottonya yang popular, yaitu ”Nicht die Herkunft ist wichtig, sondern das Dasein “.
Daftar Referensi Korpus Data Schami, Rafik. (1985). Der erste Ritt durchs Nadelöhr: Noch mehr Märchen, Fabeln & phantastischen Geschichten. Kiel: Neuer Malik-Verlag Schami, Rafik. (2008). Der Kameltreiber von Heidelberg: Geschichten für Kinder jeden Alters. München: Deutscher Taschenbuch Verlag GmbH & Co. KG
Buku El Wardy, Haimaa. (2007). Das Märchen und Märchenhafte in den politische engagierten Werken von Günter Grass und Rafik Schami. Frankfurt am Main: Lang. Kaminski, Winfred. (1998). Einführung in die Kinder- und Jugendliteratur:Literarische Phantasie und gesellschaftliche Wirklichkeit (4. Auflage). München: Juventa Verlag. Wilpert, Gero. (1979). Sachwörterbuch der Literature. Stuttgart: Kröner.
16 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.
`
Makalah, Jurnal dan Elektronik Haryati, Isti. (2008). Proseding Seminar Nasional: Fabel dalam Pengajaran Literatur dan Pendidikan Karakter. Saleh, Arig. (2011). Dissertation: Rezeption arabischer Migrantionsliteratur in Deutschland eine Untersuchung am Beispiel der in Deutschland lebenden syrischen Autoren, der Freien Universität Berlin: Geschichts-und Kulturwissenschaft, h.151. Khalil, Iman Osman & Jeannette Locca. (1995). Arab-German Literature. World Literature Today, Vol. 69, No. 3, Multiculturalism in Contemporary German Literature. 521527. Khalil, Iman Osman. (1994). Zum Konzept der Multikulturalität im Werk Rafik Schamis. Journal of Monatshefte, Vol. 86, No. 2. 201-217. Khalil, Iman Osman. (1990). Rafik Schami’s Fantasy and Fairy Tales. The Internationl Fiction. Review Vol. 17, No. 2. 121-123. Smith, M.Elwood. (1915). The Fable and Kindred Forms. The Journal of English and Germanic Philology, Vol. 14, No. 4. 519-529. Vindt, Lidya, Miriam Gelfand & Ray Parrott. (1987). The Fable as Literary Genre. Ulbandus Review, Vol.5. 88-108.
Internet Hall, Stuart. (1989). ‘Cultural Identity and Diaspora Stuart Hall’. Framework. The Journal of Cinema and Media. No. 36 dalam http://www.rlwclarke.net/Theory/PrimarySources/HallCulturalIdentityand Diaspora.pdf yang diunduh pada hari Selasa, 21 Mei 2013, pada pukul 6.20 WIB. Koloskova S, Migrantenliteratur als Teil der modernen deutschen Literatur dalam website http://sfedu.ru/kaf/interkultur-2008/ diunduh pada hari Selasa, 26 Februari 2013, pukul 15.24 WIB. Marjani, Gustiana Isya, Ph.D, Multikulturalisme dan Pendidikan: Relevansi Pendidikan dalam Membangun Wacana Multikulturalisme di Indonesia dalam website http://dualmode.kemenag.go.id/ diunduh pada hari Selasa, 26 Februari 2013, pukul 16.40 WIB.
17 Konsep multikulturalisme..., Rinka Rima Syarifatunnisa, FIB UI, 2013.