Law Review Volume X No. 2 - November 2010
KONSEP HARM REDUCTION DALAM PERKARA NARKOTIKA TERHADAP PECANDU YANG TERTANGKAP Christine Susanti FH Universitas Pelita Harapan, Karawaci
[email protected]
Abstract The narcotics discussion is a never ending topic. The longer it takes, the more criminals are caught, either in their capacity as addicts or as drug dealers or couriers. The threat of punishment is also varied, with a range of sanctions that are fearful. Unfortunately, it does not stop the use of narcotics substances. This article is limited to the issue of drug users who get caught after being placed in custody, either before the trial begins or after the judge gives their verdict. With the ratification of regulations Number 35 of 2009, which replaces regulations Number 25 of 1997 regarding Narcotics and SEMA, and SEMA Number 4 of 2010, which replaces regulations Number 7 of 2009, there is proof that, in fact, the legislators and the Supreme Court are very concerned about drug addicts as victims. However, in practice, not all the other law enforcement officers comply with these regulations. There have been good developments in which drug addicts are caught and are placed in therapy institutions and rehabilitation for healing. But on the other hand, there are still many drug addicts that are placed back into prison, after they finish with the rehabilitation phase. The concept of harm reduction is already known in western countries, such as America, Britain, and The Netherlands, but when the concept is applied in Indonesia it is not very successful. The concept of harm reduction collides with the mindset and culture of the Indonesian people in response to the presence of drug addicts among them. This is a result of the Indonesian community’s passive manner and not wanting to know about social phenomena that occur among them, as well as the negative label attached to drug addicts. Keywords: harm reduction, narcotics 275
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
A. Pendahuluan Tindak pidana narkotika telah menjadi tindak pidana yang bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas yang melampaui lintas batas negara. Mengingat bahaya penggunaan narkotika yang secara melawan hukum/illegal adalah sangat besar, maka dunia internasional juga berjuang keras untuk memerangi hal tersebut misal dengan keluarnya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988. Seakan tidak mau ketinggalan, Pemerintah Indonesia pun mengundangkan national regulation guna melarang peredaran illegal zat berbahaya tersebut, antara lain dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang kemudian telah digantikan oleh UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang diundangkan pada tanggal 14 September 2009. Tidak hanya itu, pemerintah juga telah membentuk suatu badan yang berwenang untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, precursor dan zat adiktif lainnya, yang dikenal dengan nama Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional. Badan ini menggantikan Badan Koordinasi Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999 yang keberadaannya dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan. Sanksi pidana yang diancamkan kepada para pengguna narkotika, baik untuk pemakai/pecandu dan pengedar pun tidak ringan bahkan sangat menakutkan. Bagi pecandu, skala hukuman berkisar antara 2 (dua) tahun sampai dengan 7 (tujuh) tahun dan denda berkisar dari Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) hingga Rp 8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah) tergantung dari golongan narkotika yang dipakainya.1 Bagi pengedar, variasi 1 Lihat Pasal 112, Pasal 117, dan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
276
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
ancaman hukuman sesuai dengan klasifikasi perbuatan dan jenis narkotika tersebut berkisar antara pidana penjara, mati atau seumur hidup, misalnya “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 800.000.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah)”.2 atau manakala “Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.3 Bagi produsen, pengimpor dan pengekspor dikenakan aturan “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,(satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah)”.4 Atau “Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.5 Atau bahkan “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam 2 3 4 5
Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 111 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahuh 2009 tentang Narkotika Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
277
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah)”.6 Atau “Dalam hal perbuatan untuk menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerma narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.7 Segala bentuk regulasi baik nasional maupun internasional tersebut pada intinya dimaksudkan untuk mengurangi dan menghentikan jaringan dan penyebaran zat berbahaya itu. Namun pada kenyataannya, peredaran dan penggunaan zat terlarang tersebut tetap saja semakin marak. Selama ini, hampir setiap pecandu narkotika yang tertangkap selalu ditempatkan dalam penjara atau ruang tahanan. Hal ini terjadi baik pada tingkat penyidikan dan atau penyelidikan di kepolisian, kejaksaan, bahkan sampai pada tahap persidangan. Para hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara narkotika pun pada umumnya hanya menjatuhkan pidana penjara dan denda kepada para pemakai/pengguna, tanpa sedikitpun menyebut upaya rehabilitasi dalam putusannya.8 Masyarakat pun puas ketika tahu bahwa 6 Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 7 Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 8 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 72/Pid.B/2007/PN.TNG tanggal 19 Februari 2007 yang menjatuhkan pidana penjara selama 11 (sebelas) bulan dan denda Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan kepada Terdakwa Lili Cholillah binti H. Sadeli yang tertangkap tangan memiliki 3 (tiga) butir tablet metamfetamina warna hijau dan 0,0680 gram metamfetamina warna biru sisa lab; lihat juga Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 2777/Pid.B/2007/PN.TNG tanggal 12 Februari 2009 yang menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) dan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan kepada Terdakwa Bayu Mahendra Bin Hoetoyo yang tertangkap tangan memiliki 1(satu) linting daun ganja dengan berat 8,2580 gram.
278
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
para pecandu tersebut ditahan atau setidaknya dijauhkan dari lingkungan mereka. Singkatnya, pecandu narkotika ini seolah dicap sebagai sebagai penjahat/pelaku kejahatan. Dalam tulisan ini pembahasannya dibatasi ruang lingkupnya, yaitu hanya membahas konsep harm reduction dalam perkara narkotika khususnya bagi pecandu, bukan pengedar atau yang lainnya. B. Pecandu Narkotika, Penjara dan Narapidana 1. Pecandu Narkotika Dipandang Sebagai Korban Konsep bahwa pecandu narkotika harus dipandang sebagai korban telah dinyatakan dengan jelas dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 yang dikeluarkan tanggal 7 April 2010 pada bagian pertimbangannya. SEMA ini telah menggantikan SEMA No. 7 tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Anggapan bahwa pecandu adalah korban dapat dipahami dengan mempertimbangkan bahwa merekalah yang sesungguhnya paling dirugikan atas penggunaan zat tersebut, kemudian masyarakat dan selanjutnya negara. Pecandu adalah pihak yang paling dirugikan karena dampak dari penggunaan zat tersebut berdampak langsung pada kesehatan dan kelangsungan hidup dari pecandu dan tidak jarang berujung pada kematian. Hari Sasangka membagi dampak akibat narkotika ke dalam 2 bagian, yaitu: “Dampak narkotika bagi pengguna adalah: a. Euphoria: Yaitu perasaan riang gembira yang tidak sesuai dengan kondisi pemakai yang sebenarnya. b. Delirium Menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan yang agak hebat yang dapat mengganggu koordinasi otot-otot motorik. c. Halusinasi Kesalahan persepsi panca idera sehingga apa yang dilihat atau didengar tidak seperti kenyataan yang sesungguhnya. d. Weakness Kelemahan jasmani atau rohani atau keduanya yang terjadi akibat 279
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
ketergantungan dan kecanduan narkoba. e. Drowsiness Kesadaran yang menurun, atau keadaan antara sadar atau tidak sadar, seperti keadaan setengah tidur disertai fikiran yang sangat kacau dan kusut. f. Collapse Keadaan pingsan, dan jika pemakai over dosis dapat mengakibatkan kematian”.9
Dampak terhadap masyarakat adalah: a. “Meningkatnya kriminalitas/gangguan kamtibmas; b. Menyebabkan timbulnya kekerasan, baik terhadap perorangan atau antar kelompok; c. Timbulnya usaha-usaha yang bersifat illegal dalam masyarakat, misal peredaran gelap narkotika dan sebagainya; d. Banyaknya kecelakaan lalu lintas; e. Risiko penyebaran penyakit-penyakit tertentu, seperti HIV/ AIDS”.10
2. Penjara Bukanlah Solusi Yang Tepat Penempatan pecandu tersebut di penjara/rumah tahanan bukanlah solusi yang tepat. Kondisi rumah tahanan di Indonesia juga sudah overload. “Di Indonesia terdapat 413 lapas atau rumah tahanan, dengan angka penghuni yaitu 140.423 orang. Angka tersebut tentunya telah melebihi batas kapasitas yang ada dalam lapas/rutan yang hanya mampu untuk menampung 89,549 orang”.11 Dari angka 140.423 orang tahanan tersebut, sebanyak 37295 orang adalah terpidana dengan kasus narkotika. Kondisi yang over kapasitas tersebut tentunya dapat berdampak buruk pada tingkat keamanan di lapas itu sendiri dan kesehatan para terpidana pada umumnya. Berikut adalah tabel tentang tingkat kematian napi/tahanan berdasarkan masa tinggal pada tahun 2008. Tabel 1. Tingkat kematian napi berdasarkan masa tinggal tahun 2008 9 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 24-25 10 Ibid, hal. 25 11 Muqowimul Aman, Diskusi Publik tentang Hak Atas Kesehatan Bagi Pemakai Narkotika yang Ditahan (Makalah, November 2009) hal. 1
280
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
No. 1. 2. 3
Masa Tinggal 1 hari-6 bulan 7 bulan-12 bulan Lebih dari 1 tahun Jumlah
Jumlah orang 533 orang 142 orang 75 orang 750 orang
Sumber: Muqowimul Aman: Dalam Diskusi Publik November 2009.
Penempatan mereka ke dalam penjara pun bukan memutus rantai peredaran narkotika, tetapi justru sebaliknya. Penjara menjadi tempat beredarnya barang haram tersebut. Harian Kompas memberitakan “Diyakini peredaran ini dikendalikan oleh seseorang yang berinisial JRFF yang saat ini berada di LP Jateng”.12 atau “Dari mulut Chandra dikatakan bahwa barang haram senilai Rp 100 juta tersebut didapat dari bandar yang mendekam di Lapas Pakjo berinisial M”.13 3. Hak Narapidana Atas Layanan Kesehatan “Narapidana berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak”.14 Ketentuan undang-undang tersebut diteruskan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa ”Setiap narapidana dan anak didik berhak untuk mendapatkan perawatan rohani dan jasmani”.15 Hak tersebut sebenarnya telah disebut dengan jelas dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan, namun kata-kata dalam undang12 www.kompas.co.id. diakses tanggal 6 April 2010 13 www.sriwijayapos.co.id. diakses tanggal 6 April 2010 14 Pasal 14 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 15 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
281
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
undang tersebut tidak selalu ditafsirkan bermakna imperative oleh hakim.16 Hal ini pulalah yang selama ini hampir selalu dikesampingkan oleh jaksa dalam surat tuntutannya dan hakim dalam putusannya. Meskipun peraturanperaturan tersebut sudah mengatur dan menyebut upaya rehabilitasi, namun penyidik baik polisi maupun jaksa masih cenderung menempatkan pecandu tersebut di penjara/tahanan dan tuntutan jaksa pun masih ada yang tidak memasukan upaya rehabilitasi. Para hakim pun banyak hanya menjatuhkan sanksi pemidanaan saja, tanpa disertai dengan perintah untuk menempatkan terdakwa menjalani pengobatan dan atau perawatan/rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Hal serupa juga masih kerap dilakukan kendati pada saat itu SEMA No. 9 Tahun 2009 tanggal 17 Maret 2009 dan SEMA No. 4 Tahun 2010 tanggal 7 April 2010 telah dikeluarkan. Mulai nampak ada perbedaan dalam putusan hakim pasca keluarnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu putusan hakim sudah mulai menyebut adanya rehabilitasi bagi terdakwa pecandu narkotika. Hal tersebut nampak misalnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Terdakwa Wulan Rahayu Nur Setiawan. Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, Terdakwa terbukti telah memiliki narkotika Golongan I jenis heroin nomor urut 19 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dikenal dengan nama heroin sebanyak 0,2 gram beserta 1 (satu) alat suntik bekas pakai. Atas perkara tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberi keputusan sebagai berikut: 1. “Menyatakan Terdakwa Wulan Rahayu Nur Setiawan telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: memiliki, menyimpan dan menguasai narkotika golongan 1 bukan tanaman; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan, 3. Memerintahkan agar terdakwa menjalani pengobatan dan atau perawatan/rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur Jakarta dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan; 16 Lihat dan bandingkan dengan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
282
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 5. Menetapkan masa menjalani pengobatan/perawatan bagi Terdakwa diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman; 6. Memerintahkan agar barang bukti berupa 1 (satu) bungkus pelastik kecil berisi heroin dengan berat 0,0847 gram (sisa lab) dan 1 (satu) unit alat suntik bekas pakai dirampas untuk dimusnahkan; 7. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.000,(dua ribu rupiah)”.17 Hal yang menarik untuk dicermati dalam hal ini adalah Penulis berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan majelis hakim tersebut sudah cukup mampu menyentuh aspek kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan secara sekaligus dalam putusannya. Majelis sudah mampu mengkorelasikan dengan baik peraturan perundang-undangan terkait dengan keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tanggal 17 Maret Tahun 2009. Melalui SEMA tersebut dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung telah mengeluarkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa narapidana dan tahanan kasus narkoba yang termasuk dalam kategori pemakai adalah sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang menderita sakit. Berikut adalah bunyi SEMA tanggal 17 Maret Tahun 2009: “Oleh karena itu diharapkan para hakim sedapat mungkin menerapkan pemidanaan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dikutip sebagai berikut: a) Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika: Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan. b) Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu 17 Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor Perkara 798/Pid.B/2009/ PN.Jkt.Pst tanggal 29 Juli 2009
283
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”.18 Syarat untuk mendapakan rehabilitasi pun diatur dalam Undangundang. Ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika membatasi klasifikasi tindak pidana sebagai berikut: a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan; b. Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti satu kali pakai; c. Surat keterangan uji laboratorium posiyif menggunakan narkoba berdasarkan permintaan penyidik; d. Bukan residivis kasus narkoba; e. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater (pemerintah) yang ditunjuk oleh hakim; f. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi pengedar/produsen gelap narkoba. Keluarnya SEMA No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial pada tanggal 7 April 2010 telah menjadikan SEMA sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi. SEMA tanggal 7 April 2010 secara garis besar masih mengatur hal yang sama hanya saja terdapat hal yang sedikit berbeda dalam pengaturan mengenai jumlah barang bukti pemakaian yang ditemukan. SEMA terbaru menyebutkan jumlah yang relatif lebih besar dari SEMA sebelumnya. Hal lain adalah SEMA 18 SEMA Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi
284
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
terbaru sudah menghilangkan ketentuan point 3 butir 2 perihal tertangkap tangan dengan ditemukannya barang bukti sekali pakai dan point 3 butir 4 perihal bukan merupakan residivis kasus narkoba. Kendati putusan hakim tersebut sudah mampu mengkorelasikan pertimbangan-pertimbangan hukumnya dengan peraturan-peraturan terkait, namun jika dicermati dengan seksama pada bagian akhirnya, terlihat bahwa sanksi pemidanaan tetap dijalankan. Artinya sanksi pidana penjara tetap dibebankan kepada terpidana tersebut setelah dia selesai menjalani masa rehabilitasinya. 4. Makna Filosofi Pemidanaan Berbicara mengenai hukum pidana sedikit banyak diidentikkan dengan hukuman atau penghukuman. Mengutip pendapat dari Ruslan Saleh, “Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik; atau pendapat Sudarto bahwa pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”.19 Kata pidana juga sering diartikan sebagai sanksi, misalnya A dipidana 10 tahun penjara berarti A dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. H.L.A. Hart menyatakan: “Punishment must: a. Involve pain or other consequences normally considered unpleasant; b. Be for an actual or supposed offender for his ofference; c. Be for an offence against legal rules; d. Be intentionally administered by human beings other than the offender; e. Be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against with the offence is commited”.20 Berpijak pada definisi di atas dapat disimpulkan pidana memuat unsur-unsur sebagai berikut: 19 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 2 20 Ibid, hal. 3
285
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
1. Nestapa/penderitaan yang sifatnya tidak menyenangkan; 2. Nestapa tersebut diberikan oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk memberikan; 3. Nestapa tersebut diberikan karena orang yang bersangkutan telah memenuhi rumusan delik menurut undang-undang. 4. Nestapa tersebut diberikan sebagai bentuk pencelaan atas tindakan yang telah dilakukan. 5. Nestapa tersebut dimaksudkan untuk memberikan penjeraan kepada pelaku. Teori-teori pemidanaan membagi tujuan pemidanaan dalam 2 kelompok yaitu: a. “Teori absolut/teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen) Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana sehingga pidana mutlak harus diberikan. Tujuan pidana adalah untuk memuaskan rasa keadilan (primer) dan memberikan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan (sekunder). Immanuel Kant menyatakan bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan, baik bagi pelaku maupun masyarakat, tetapi dalam hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan (quia peccatum est). Pidana bukan alat untuk mencapai tujuan, melainkan mencerminkan keadilan. Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan mengartikan pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif. b. Teori relative/teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen) Menurut teori ini, pidana tidak dimaksudkan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan tidak memiliki nilai, tetapi lebih diartikan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana diberikan untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat/ ne peccetur (supaya orang tidak melakun kejahatan)”.21 21 Ibid, hal. 10-16
286
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
Mengamati kedua teori tentang tujuan pemidanaan tersebut, Penulis berpendapat teori pertamalah yang selalu dikedepankan oleh aparatur penegak hukum dalam mengatasi perkara narkotika dikalangan pecandu. Sementara itu jika dilihat kembali pada pendapat Bismar Siregar dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional di Semarang tahun 1980 nampak bahwa: “…yang pertama-tama patut diperhatikan dalam pemberian pidana, bagaimana caranya agar hukuman badaniah mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan tersebut karena tujuan penghukuman tiada lain mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia”.22 Pemikiran inilah sebenarnya telah dituangkan dalam konsep Rancangan Buku I KUHP Tahun 1982/1983 dimana tujuan pemberian pidana adalah sebagai berikut: (1) “Pemidanaan bertujuan untuk: Ke-1 Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; Ke-2 Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat; Ke-3 Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; Ke-4 Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”.23 Filsuf Seneca pun menyatakan nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccatur, yang berarti tidak seorang normalpun dipidana karena telah melakukan perbuatan jahat, tetapi dia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat. 22 Ibid, hal. 24 23 Ibid, lihat dan bandingkan juga dengan RUU KUHP hasil round table discussion ”Strategi Pembahasan RUU KUHP” di DPR RI Rabu 25 Agustus 2010 yang masih memasukkan pidana mati sebagai salah satu bentuk sanksi pemidanaan (Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 RUU KUHP), selain dari jenis pemidanaan baru seperti pengawasan, pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian, pemenuhan kewajiban adat, dan tindakan.
287
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
C. Konsep Harm Reduction Konsep harm redaction ini muncul di Amerika dan beberapa negara di Eropa, seperti Belanda dan Inggris. Konsep ini muncul manakala negaranegara tersebut menyadari bahwa tidak mudah untuk memutus rantai peredaran narkotika dan bahaya yang ditimbulkannya. Mereka berupaya keras untuk sedapat mungkin meminimalisir dampak dari narkotika tersebut, menyembuhkan para penggunanya, mencegah agar pengguna tersebut tidak kembali lagi menggunakan narkotika, memperlambat/menekan laju peredaran narkotika illegal hingga menghindari resiko penyebaran penyakit menular HIV/AIDS yang sangat potensial untuk ditularkan melalui media jarum suntik yang dipakai secara berulang-ulang dan bergantian oleh Pengguna/ pemakai narkotika. Di Belanda, program ini sudah diterapkan sejak tahun 1984. Pemerintah Belanda turut serta ambil alih dalam menampung para pengguna yang tertangkap tangan sedang mengkonsumsi tanpa ada ijin yang sah oleh hukum, melakukan proses perawatan medis guna menyembuhkan korban atau pembinaan bagi mantan korban/pecandu. Penempatan pengguna dalam pantipanti rehabilitasi di bawah bimbingan tim medis, pemberian ijin penggunaan narkotika dalam bentuk tablet minum dalam batas-batas pengawasan dan dosis tertentu sebagai bagian dari fase penyembuhan bagi pecandu yang sudah ketergantungan. Bus-bus yang berisi metadon disediakan di jalanan lengkap dengan jarum dan alat suntiknya, dibukanya layanan detoksifikasi dan fasilitas rehabilitasi yang semuanya difasilitasi oleh Pemerintah Belanda. “Methadone is a synthetic opioid, used medically as an analgesic, antitussive and a maintenance anti-addictive for use in patients on opioids. It was developed in Germany in 1937. Although chemically unlike morphine or heroin, methadone also acts on the opioid receptors and thus produces many of the same effects. Methadone is also used in managing chronic pain owing to its long duration of action and very low cost”.24 24 www.google.com, diakses 29 Maret 2010
288
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
Aparat kepolisian pun difungsikan dalam layanan identifikasi pecandu dan penempatan/penyaluran pasien rujukan. Pelaksanaan harm reduction di Belanda tergolong berhasil karena didukung oleh tingkat pendidikan yang memadai, tingkat ekonomi yang cukup, dan kesadaran hukum yang tinggi dari rakyatnya. Sebenarnya konsep harm reduction di Indonesia sudah mulai ditawarkan pada tahun 1995 yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Salah satu cara pelaksanaan harm reduction di Indonesia adalah menyelenggarakan program terapi rumatan metadon (PTRM). Program yang dilaksanakan oleh Departemen Hukum dan HAM ini merupakan salah satu cara pendekatan pengurangan dampak buruk narkotika, yaitu penularan HIV/ AIDS melalui narkotik suntik. Dalam PTRM, metadon diminumkan tetapi efek dari meminum metadon ini tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Tujuan dari PTRM ini adalah untuk menghilangkan ketergantungan terhadap obat terlarang. Prakteknya, tidak semua narapidana pengguna narkoba mengikuti program TRM tersebut karena sifatnya masih sukarela, belum diwajibkan dan masih harus diseleksi terlebih dahulu. Selain itu, daya tahan tiap orang tidak sama karena ada pecandu yang tidak tahan menggunakan metadon. “Sejak tahun 2005, program TRM diselenggarakan di Lapas Kerobokan, Bali yang diikuti oleh 93 narapidana. Desember 2006, dua lapas di Jakarta yakni lapas Cipinang dan rutan Pondok Bambu juga menyelenggarakan program serupa yang diikuti 124 narapidana”.25 Di Indonesia, pelaksanaan harm reduction ini mendapat tantangan dan reaksi keras dari masyarakat dan tidak berhasil mengurangi dampak narkotika dan bahaya HIV/AIDS. Hal ini disebabkan oleh pola pikir dan budaya masyarakat Indonesia menanggapi konsep harm reduction yang masih terbentur pada tingkat budaya, pendidikan, tingkat ekonomi yang rendah dan pemahaman keagamaan yang kurang kuat. Selain itu, kesadaran berhukum masyarakat Indonesia pun masih tergolong cukup rendah. 25 www.google.com.diakes tanggal 5 April 2010
289
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
Budaya hukum merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Budaya hukum diartikan sebagai sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan. Pendapat dan pemikiran masyarakat inilah yang sedikit banyak menjadi penentu jalannya/ mempengaruhi proses hukum. Budaya hukum merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum tersebut dipergunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum sistem hukum itu tidak memiliki keberdayaan yang oleh Friedmann dilukiskan sebagai ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan ikan hidup yang berenang bebas di lautan. “Without legal culture, the legal system is inert-a dead fish lying In a basket, not a living fish swimming in its sea”.26 Lebih lanjut dikatakan: “Another way to visualize the three elements of law is to imagine legal “structure” as a kind of machine. “Substance” is what the machine manufactures or does. The “legal culture” is whatever or whoever decides to turn the machine on and off, and determines how it will be used”.27 Setiap masyarakat dalam suatu Negara pasti memiliki budaya hukum. Ada sikap dan pendapat mereka mengenai hukum. Meski tidak berarti pemikiran tersebut adalah sama. Salah satu sub budaya yang sanagt menonjol adalah budaya hukum dari orang dalam, yaitu hakim dan penasehat hukum yang bekerja dalam system hukum itu sendiri. Pengaruh legal culture di Belanda sudah sangat modern. Pidana tidak dianggap sebagai penjeraan/penyiksaan atau bahkan pengekangan kebebasan asasi pelaku. Pidana diartikan sebagai tindakan untuk memulihkan/ penyembuhan. Meskipun pada awalnya di belanda pernah diterapkan praktek memberi cap pada tubuh narapidana dengan besi panas yang merah membara. 26 Lawrence Friedman, American law (New York-London: Stanford University, 1984), dalam Satya Arinanto, Kumpulan Bahan Bacaan Perbandingan system Hukum 2, Jakarta, 2010, hal. 7 27 Ibid., hal. 7
290
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
Persoalan penggunaan narkotika tidak dipandang sebagai persoalan hukum milik Negara saja, tetapi juga persoalan kemasyarakatan. Keterlibatan hukum pada persoalan-persoalan social menuntut hukum mampu berperan sebagai sarana untuk memecahkan problem social yang dihadapi suatu bangsa dengan melibatkan lembaga-lembaga social yang ada. Penggalangan dana, advokasi, konseling dilakukan sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam mengentaskan bahaya narkotika dan menyembuhkan pelaku dari ketergantungan akan zat tersebut. Konsep hukum modern tidak berurusan dengan law as what ought to be, tetapi berurusan dengan pertanyaan law as what it is (functioning in society). Konsep pembangunan hukum yang mengarah kepada tujuan nasional menunjuk pada materi pembangunan hukum yang di dalamnya meliputi pembangunan terhadap elemen-elemen aparaturnya dan budaya hukum masyarakat.28 Pembahasan harm reduction yang ditawarkan lebih menunjuk pada keterlibatan hukum pada persoalan-persoalam sosial dan ekonomi bangsa serta tuntutan agar hukum mampu berperan sebagai sarana untuk memecahkan berbagai problem social dengan menampilkan sisi-sisi lain dari hukum yang tidak hanya sekadar bersifat yuridis dogmatis. Harm reduction adalah istilah dalam menyebut suatu kebijakan, program, layanan dan tindakan yang dibuat oleh pemerintah yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-masalah kesehatan dan sosial yang merugikan individu yang bersangkutan, masyarakat dan negara. Jadi, kerugiannya tidak hanya berdampak pada masyarakat, tetapi juga pada individu yang bersangkutan (pelaku) dan mereka ini yang sebenarnya adalah korban. D. Kesimpulan Konsep harm reduction dalam perkara narkotika bagi pecandu tidak berarti mengampuni pelaku tersebut dan menyatakan perbuatannya tersebut bukan merupakan perbuatan pidana atau melepaskan unsur kesalahannya. Konsep harm reduction ini dibutuhkan dengan mempertimbangkan bahwa 28 Lihat kembali pada Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia alam Transaksi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2003, hal. 131-132
291
Christine Susanti: Konsep Harm Reduction Dalam Perkara Narkotika Terhadap Pecandu...
pelaku adalah sebagai korban yang harus dilindungi dan harus disembuhkan dari sakitnya. Penempatan pelaku ke penjara meskipun pelaku tersebut telah dinyatakan sembuh oleh tim medis juga bukanlah suatu solusi yang tepat karena pelaku tersebut masih membutuhkan fase pendampingan, baik secara fisik maupun mental agar dapat benar-benar terlepas dari jerat narkotika. Kesuksesan konsep ini sangat tergantung pada budaya hukum masyarakat dan aparatur penegak hukum dalam memaknai hukum itu sendiri yang pada akhirnya terbentur pada 2 persoalan yang sebenarnya dahulu juga sudah pernah dipertanyakan oleh Alm. Satjipto Rahardjo yaitu apakah hukum ada untuk masyarakat ataukah masyarakat untuk hukum.
Daftar Pustaka Buku Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, Bandung: Mandar Maju, 2003 Lawrence Friedman, American Law, New York-London: Stanford University, 1984 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transaksi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2003 dalam Satya Arinanto, Kumpulan Bahan Bacaan Perbandingan Sistem Hukum 2, Jakarta, 2001 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 292
Law Review Volume X No. 2 - November 2010
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan SEMA Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi SEMA No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan para Pecandu Narkotika dalam Panti Rehabilitasi Sumber Lain: Muqowimul Aman, Diskusi Publik tentang Hak Atas Kesehatan Bagi Pemakai Narkotika yang Ditahan (Makalah, November 2009) Internet www.google.com.diakes tanggal 5 April 2010 www.google.com, diakses 29 Maret 2010 www.google.com. diakses tanggal 31 Maret 2010 www.kompas.co.id. diakses tanggal 6 April 2010 www.sriwijayapos.co.id. diakses tanggal 6 April 2010 Putusan Pengadilan Putusan Perkara nomor 798/Pid.B/2009/PN.Jkt.Pst tanggal 29 Juli 2009 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 72/Pid.B/2007/PN.TNG tanggal 19 Februari 2007 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 2777/Pid.B/2007/PN.TNG tanggal 12 Februari 2009
293