Dinamika Emosi Pecandu Narkotika dalam Masa Pemulihan Rezkiyah Rosyidah Duta Nurdibyanandaru Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
Abstract. Recovery phase is a period whom experienced by a junky who decided to stop using drugs. In this period, junkies generally experience emotional instability which was called the emotion dynamics. Therefore, the aim of this study was to explore the emotion dynamics of some junkies while they were in recovery period. From interview with two junkies attending Subutex therapy showed that junkies would experienced emotional changes throughout the recovery period. The subject of this research was purposive with some criteria. The data collection is interview with general guidance. The result comes up from the analysis based on “Plutchik evolutionary theory”. Based on Plutchik evolutionary theory, the emotion dynamics that happened could be seen as the spinning or feedback process as a result of a previous event and could also be a stimulus to start a subsequent event. We could not compare the emotion dynamics which happened to both subjects, because it depends on the events happened in the subject.
Keywords: emotion dynamics, recovery period Abstrak. Masa pemulihan adalah masa dimana para mantan pecandu narkoba memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi narkoba. Umumnya masa ini ditandai dengan ketidakstabilan emosi para mantan pecandu. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana dinamika emosi seorang pecandu narkotika ketika mereka berada dalam masa pemulihan. Penelitian ini dilakukan kepada dua orang pecandu narkotika yang sedang menjalani terapi Subutex. Subutex digunakan sebagai substitusi narkotika. Subutex merupakan jenis heroin sintetik yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika pecandu mengalami sakaw. Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kriteria tertentu (purposif). Alat penggalian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum. Hasil data yang telah diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan Plutchik evolutionary theory. Dari hasil analisis dan pembahasan, diketahui bahwa kedua subjek mengalami perubahan emosional ketika menjalani masa pemulihan. Dan perubahan emosional tidak sama pada setiap subjek, hal ini tergantung dari peristiwa yang terjadi ketika itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat membandingkan dinamika emosi yang terjadi diantara kedua subjek. Kedua subjek mengatakan bahwa ketika berbicara mengenai emosi yang terjadi pada peristiwa yang berhubungan dengan sakaw atau proses relapse, awalnya mereka merasakan adanya reaksi-reaksi tubuh seperti seluruh badan terasa sakit semua, meriang, atau terus menerus keluar keringat dingin dan ingus, baru setelah itu mereka merasa marah, sedih, atau takut.
Kata kunci: dinamika emosi, masa pemulihan
Korespondensi: Duta Nurdibyanandaru, Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031) 5032770, 5014460, Faks (031) 5025910, E-mail:
[email protected] atau
[email protected] INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
113
Dinamika Emosi Pecandu Narkotika dalam Masa Pemulihan
Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan kesulitan dan gejolak, baik bagi remaja sendiri maupun bagi lingkungannya. Dalam masa ini, akibat kesalahan dalam pergaulan, tidak jarang seorang remaja melakukan berbagai bentuk kenakalan. Salah satu bentuk dari kenakalan remaja yang banyak terjadi adalah penggunaan narkotika. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai m e n g h i l a n g k a n ra s a nye r i , d a n d a p a t menimbulkan ketergantungan. Ketika seorang remaja telah terjerumus ke d a l a m n a r ko t i k a , s e m a k i n l a m a d o s i s penggunaannya akan meningkat. Setelah berada pada tingkat kecanduan, akan tiba di satu titik dimana pecandu tersebut merasa jenuh dan memutuskan untuk berhenti. Keputusan untuk berhenti ini biasanya mulai muncul ketika pecandu menginjak dewasa. Papalia (2002:13) membagi masa dewasa menjadi tiga periode, yaitu masa dewasa awal (young adulthood) dengan usia berkisar antara 20 hingga 40 tahun, masa dewasa tengah (middle adulthood) dengan usia berkisar antara 40 hingga 65 tahun, dan masa dewasa akhir (late adulthood) dengan usia mulai 65 tahun ke atas. Dua karakteristik yang diajukan untuk menunjukkan permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan (Santrock, 2002:7374). Berkaitan dengan kemandirian dalam membuat keputusan inilah yang menunjukkan kaitan antara keputusan untuk berhenti dan usia dewasa. Dalam keadaan ini, pecandu yang berusia dewasa akan mulai berpikir tentang hidupnya ke depan dan akibat perilakunya sekarang terhadap lingkungannya, seperti bagaimana pandangan masyarakat terhadap dirinya atau dampakdampaknya terhadap keluarga. Oleh karena alasan itulah, biasanya pecandu narkotika yang sudah berusia dewasa akan memutuskan untuk berhenti menggunakan narkotika dan menjalani masa pemulihan. Masa pemulihan merupakan suatu masa yang akan dilewati oleh seorang pecandu yang memutuskan berhenti menggunakan narkotika, dimana terdapat beberapa tahapan yang antara satu tahapan dengan tahapan yang lain memiliki
114
ciri khas yang membedakan satu dengan yang lain. Ta h a p a n - t a h a p a n t e r s e b u t a d a l a h precontemplation, contemplation, preparation, action, maintenance, dan relapse (Nasution, 2007:27-28). Dalam masa pemulihan, keadaan emosional pecandu narkotika menjadi labil. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Pranoto dan Astuti (2006), dengan subjek penelitian pecandu narkotika yang telah berusia dewasa awal. Mereka mengatakan bahwa dalam kondisi pemulihan dan penyembuhan (clean and sober), kebanyakan dari pecandu narkotika mengalami perubahan emosional. Perubahan emosional ini akan menjadi bahasan yang cukup menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan kurangnya penelitian yang meneliti tentang dinamika emosi pecandu narkotika dalam masa pemulihan. Kebanyakan dari mereka hanya melihat pengaruh orang tua dan teman sebaya dalam memunculkan perilaku penggunaan narkotika. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Bahr, Hoffmann, & Yang (2005) dalam jurnalnya tentang pengaruh orang tua dan teman sebaya dalam resiko penggunaan obat-obatan pada remaja atau penelitian Hwang & Akers (2006) yang melakukan studinya di Korea dan menyimpulkan bahwa pengaruh langsung dari teman lebih besar daripada orang tua dalam penggunaan obat-obatan. Damasio (1999) seperti yang dikutip oleh Kosslyn & Rosenberg (2003:240) berpendapat bahwa emosi adalah reaksi positif ataupun negatif terhadap objek, peristiwa, atau situasi-situasi yang diterima atau dirasakan individu. Emosi juga disertai dengan perasaan subjektif. Dikatakan mempunyai dinamika jika muncul emosi-emosi dalam diri seseorang yang senantiasa berubahubah, dimana antara komponen-komponen emosi saling berkaitan satu sama lain. Jadi, pada suatu saat komponen yang satu dapat menjadi akibat dari suatu peristiwa sebelumnya dan dapat juga menjadi stimulus yang memulai suatu kejadian selanjutnya. Putchik dalam teorinya memaparkan mengenai elemen-elemen emosi serta alur emosi yang dapat menjelaskan tentang dinamika emosi secara mendetail (Plutchik, 2003:106-108). Elemen-elemen emosi tersebut adalah stimulus event, inferred cognition, feeling state, physiological arousal, impulse to action, overt INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
Rezkiyah Rosyidah, Duta Nurdibyanandaru
behavior, dan effect. Dari teorinya tersebut Plutchik membuat alur emosi yang disebutnya dengan feedback loops. Menurut Plutchik, emosi merupakan interpretasi tentang apa yang terjadi pada diri kita dan menjadi sadar secara emosional. Ketika kita mengalami pengalaman emosional, kita akan mengevaluasi peristiwa tersebut, kemudian kita membuat penilaian kognitif atas apa yang terjadi. Penilaian ini termasuk interpretasi atas kesadaran fisik, perasaan yang tidak disadari, respon yang dilakukan serta pikiran sadar kita ketika pengalaman tersebut terjadi. Kombinasi semua ini yang disebut emosi (Plutchik dalam McConnell & Phillipchalk, 1992).
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan dua orang subjek dimana mereka adalah pecandu narkotika berusia dewasa yang pernah menggunakan narkotika minimal satu tahun dan sedang atau telah menjalani masa pemulihan. Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kriteria tertentu (purposif). Alat penggalian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum. Hasil data yang telah diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan Plutchik evolutionary theory. Untuk meningkatkan kredibilitas penelitian digunakan triangulasi data, yaitu dengan melakukan wawancara kepada significant person. Kriteria paling utama yang digunakan untuk significant person adalah orang tersebut mengenal d e k a t s u b j e k d a n m e n ge t a h u i te n t a n g kesehariannya, selain kebersediaan menjadi significant person.
HASIL DAN BAHASAN Sesuai dengan maksud dan tujuan diadakannya penelitian ini, yaitu untuk mengetahui gambaran dinamika emosi pecandu narkotika dalam masa pemulihan, didapatkan pernyataan bahwa dalam masa ini emosi pecandu akan menjadi labil. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Pranoto dan Astuti (2006), yang mengatakan bahwa dalam kondisi pemulihan kebanyakan dari pengguna narkotika
INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
mengalami perubahan emosional. Ketidakstabilan emosi ini yang dinamakan dengan dinamika emosi. Suatu emosi dikatakan mempunyai dinamika ketika emosi-emosi yang muncul dalam diri seseorang senantiasa berubahubah, dimana antara komponen-komponen emosi saling berkaitan satu sama lain. Jadi, pada suatu saat komponen yang satu dapat menjadi pencetus bagi munculnya sebuah reaksi emosi, tetapi juga dapat menjadi efek yang ditimbulkan komponen lain. Dalam masa pemulihan ini, seorang pecandu akan melewati beberapa tahapan dalam rentang masa pemulihan, dimana antara tahapan yang satu dengan tahapan yang lain masingmasing memiliki peristiwa yang khas yang dapat mempengaruhi keadaan emosional seorang pecandu. Tahapan-tahapan tersebut adalah tahap precontemplation, contemplation, preparation, action, maintenance, dan relapse. Peristiwa yang terjadi pada satu tahapan belum tentu sama dengan tahapan yang lain. Hal berbeda justru ditemukan dari fakta yang teramati oleh LSM yang memperlihatkan bahwa masa pemulihan dimulai dari tahap preparation, action, maintenance, sampai akhirnya tahap relapse. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa para pecandu baru mendatangi LSM dan mengakses layanan yang ada ketika mereka berpikir untuk sembuh. Dengan informasi yang didapatkan dari LSM, para pecandu kemudian mulai mengubah pola pikirnya selama ini sebelum akhirnya mencari terapi pengobatan. Kedua tahap di awal (tahap precontemplation dan contemplation) tidak teramati oleh LSM karena terjadi internal dalam diri pecandu itu sendiri. Keempat tahap tersebut juga tidak selalu berhasil dilewati oleh para pecandu. Adakalanya pecandu tidak berhasil melewati satu atau lebih tahapan yang ada dalam masa pemulihan, tergantung kedisiplinan pecandu itu sendiri dalam mengikuti tahapan per tahapan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh terlihat bahwa subjek pertama hanya melewati tiga dari empat tahapan yang ada, yaitu tahap preparation, action, dan relapse, sedangkan subjek kedua dapat melewati keempat tahapan yang ada dalam masa pemulihan. Walaupun keduanya mengalami perbedaan dalam rentang waktu ketika mempertahankan keadaan bebasnya dari narkotika (subjek pertama dua bulan dan subjek kedua lima tahun), namun
115
Dinamika Emosi Pecandu Narkotika dalam Masa Pemulihan
keduanya sama-sama mengalami proses relapse, yaitu kembali ke pola perilakunya yang lama (kembali menggunakan narkotika). Jika kita melihat proses relapse yang terjadi pada subjek pertama, akan masih terkesan wajar bagi seorang pecandu yang hanya berhasil mempertahankan keadaan bebasnya dari narkotika selama dua bulan kemudian tergoda kembali untuk menggunakan narkotika. Hal ini akan terasa sedikit janggal ketika kita berbicara tentang subjek kedua. Subjek kedua yang berhasil mempertahankan keadaan bebasnya dari narkotika selama lima tahun, pada a k h i r ny a j u g a te rgo d a u n t u k ke m b a l i menggunakan narkotika ketika kembali ke Surabaya. Menurut pengakuan subjek, keputusan untuk kembali ke Surabaya dikarenakan ketidaksesuaian gaji yang diterima jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal berbeda disampaikan oleh ibu subjek yang mengatakan bahwa alasan subjek kembali ke Surabaya adalah karena tidak adanya 'barang' di Sumbawa. Seperti yang kita ketahui bahwa sugesti untuk selalu menggunakan narkotika akan tetap selalu ada selama hidup seorang pecandu, maka kemungkinan yang paling masuk akal yang menyebabkan keputusan subjek untuk kembali ke Surabaya adalah karena selalu adanya sugesti untuk menggunakan narkotika di pikiran subjek. Dan ketika subjek kembali ke Surabaya, keinginan yang sempat terpendam akibat sibuk bekerja kembali muncul. Dan karena ajakan salah seorang temannya, subjek kemudian tergoda untuk menggunakan Subutex yang efeknya sama seperti putaw. Hal ini diperkuat dengan penuturan subjek yang mengatakan bahwa dia termasuk orang yang gampang terbawa. Oleh karena itu, meskipun pada saat itu subjek merasa sudah sembuh (berhenti dari penggunaan narkotika), namun tetap saja karena pengaruh dari temannya subjek kembali lagi menggunakan narkotika walaupun dengan jenis yang berbeda. S a a t i n i ke d u a s u b j e k s a m a - s a m a menggunakan Subutex. Subutex adalah substitusi narkotika yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika pecandu mengalami sakaw dengan cara dioral. Namun, pada kenyataannya prosedur penggunaan Subutex tersebut justru disalahgunakan, yaitu dengan cara disuntik. Proses inilah yang diakui oleh kedua subjek
116
membuat mereka rindu. Kenikmatan yang sangat dirasakan oleh kedua subjek ketika jarum suntik mulai dimasukkan ke pembuluh darah, kemudian dengan pelan-pelan dimainkan (dimasukkan ke pembuluh darah-dikeluarkan-dimasukkan kembali dan begitu seterusnya). Di sinilah Subutex yang seharusnya menjadi terapi untuk mengobati kecanduannya terhadap narkotika, malah digunakan sebagai pengganti putaw, tidak hanya ketika mereka merasa sakaw tetapi juga seakan sudah terpola. Dan dampak buruk akibat penyalahgunaan Subutex ini terlihat pada subjek pertama, yaitu kelumpuhan. Untuk menganalisis data yang telah diperoleh digunakan Plutchik evolutionary theory. Latar belakang penggunaan teori ini adalah karena kompleksnya bahasan tentang dinamika emosi. Teori Plutchik ini tidak hanya menjelaskan emosi berdasarkan pola respon fisiologis saja (Carstensen & Ornstein, 1992) atau hanya menjelaskannya dari hasil penilaian kognitifnya saja (Lazarus, 1976), tetapi Plutchik menjelaskan emosi berdasarkan kedua elemen tersebut. Dalam Plutchik evolutionary theory dijelaskan bahwa emosi merupakan suatu proses yang berputar atau proses feedback. Hal ini berarti bahwa perilaku yang nampak memiliki effect yang berperan sebagai akibat dari suatu peristiwa sebelumnya dan dapat juga menjadi stimulus yang memulai suatu kejadian selanjutnya. Dengan masing-masing peristiwa yang khas pada setiap tahapannya, alur emosi yang terjadi seakan-akan berhubungan antara alur yang satu dengan alur yang lain. Peristiwa yang khas tersebut menggambarkan juga ciri dari setiap tahapannya yang membedakan antara satu tahapan dengan tahapan yang lain. Meskipun terlihat alur yang sama dalam bagan dinamika emosi pada kedua subjek, untuk elemen-elemen emosinya terdapat perbedaan antara subjek pertama dengan subjek kedua, tergantung dari peristiwa apa yang diceritakan oleh subjek pada saat itu. Oleh karena itu kita tidak dapat membandingkan elemen-elemen emosi yang ada dalam bagan dinamika emosi kedua subjek. Selanjutnya, berbicara mengenai feedback loops yang dibuat oleh Plutchik untuk menggambarkan alur suatu emosi, terdapat dua INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
Rezkiyah Rosyidah, Duta Nurdibyanandaru
elemen yang sampai sekarang belum dapat ditentukan waktu kemunculannya. Dalam jurnalnya, Plutchik menyatakan bahwa physiological arousal terjadi lebih dulu daripada feeling state, namun Plutchik juga menyatakan bahwa proses itu terjadi dengan sangat cepat dan tidak disadari. Hal ini memperkuat pendapat Walter Cannon (Plutchik, 2003:107) yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memberikan jawaban yang memuaskan bilamana feeling state terjadi sebelum atau setelah physiological arousal. Lebih memungkinkan bahwa kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan. Dengan demikian, masalah waktu kemunculan antara feeling state dan physiological arousal ini masih menjadi perdebatan dan masih belum dapat ditentukan secara pasti mana yang muncul lebih dahulu. Jika melihat pada hasil penelitian yang diperoleh, kedua subjek menunjukkan pola yang hampir serupa. Ketika ditanyakan mengenai waktu kemunculan antara feeling state dan physiological arousal dari masing-masing emosi, sebagian besar emosi terjadi dengan kedua hal tersebut muncul secara bersamaan. Namun, untuk emosi yang terjadi pada peristiwa yang berhubungan dengan sakaw atau peristiwa sejenisnya, physiological arousal justru muncul terlebih dahulu sebelum feeling state. Hal ini dikarenakan reaksi tubuh yang muncul dijadikan indikator awal untuk mengetahui keadaan seorang pecandu yang mengalami sakaw (kutipan wawancara dengan Sdr. Temma Nifianto, bekerja di LSM “Bina Hati”). Dalam proses analisis data dengan menggunakan Plutchik evolutionary theory, terdapat kelemahan yaitu Plutchik (2003:107) lebih melihat pada perubahan perilaku yang terjadi dan bukan pada perubahan internalnya. Sesuai dengan aliran yang dianut oleh Plutchik (Behaviorisme), dalam melihat emosi Plutchik menerapkan prinsip S-R (Stimulus-Respon). Ketika terdapat suatu stimulus tertentu, maka akan menghasilkan respon tertentu pula. Satu hal yang tidak diperhatikan oleh penganut aliran Behaviorisme adalah adanya aspek-aspek lain yang juga mempengaruhi respon yang terjadi, seperti nilai yang dianut seseorang atau pengalaman masa lalu.
INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
Kemudian untuk kelemahan dari penelitian ini sendiri adalah kurangnya kemampuan penulis dalam melakukan pendekatan individual kepada subjek penelitian selama proses wawancara. Pendekatan ini dimaksudkan untuk membantu penulis dalam proses wawancara sehingga akan memudahkan penulis dalam penggalian data yang optimal. Pada subjek pertama misalnya, karena pendekatan individual yang dilakukan penulis kurang baik menyebabkan kurang optimalnya data yang diperoleh. Subjek cenderung menjawab seperlunya untuk setiap pertanyaan yang diberikan oleh penulis. Namun, setelah beberapa kali bertemu dan penulis meminta subjek untuk bercerita lebih banyak pada setiap pertanyaan, mulai terlihat beragamnya data yang diperoleh. Jika dilihat dari hasil transkrip wawancara yang telah diverbatim pada kedua subjek, maka akan terlihat perbedaan tersebut, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Selain masalah pendekatan individual yang seharusnya dilakukan penulis selama proses wawancara, kelemahan lain terlihat dari waktu pelaksanaan wawancara pada kedua subjek. Pada kedua subjek rentang waktu antara wawancara pertama dan wawancara kedua terlihat cukup j a u h . Ja u h nya re n t a n g te r s e b u t d a p a t memunculkan banyak kemungkinan yang dapat mempengaruhi proses wawancara, seperti subjek yang menjadi lupa tentang topik wawancara atau adanya pengaruh dari lingkungan yang secara tidak langsung turut mempengaruhi pemikiran atau sikap subjek.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa seorang pecandu akan mengalami perubahan emosi ketika menjalani masa pemulihan. Perubahan emosi ini disebut dengan dinamika emosi. Dinamika emosi yang terjadi menurut “Feedback loops Plutchik” merupakan proses yang berputar atau proses feedback, dimana perilaku yang nampak memiliki effect yang berperan sebagai akibat dari suatu peristiwa sebelumnya dan dapat juga menjadi stimulus yang memulai suatu kejadian selanjutnya.
117
Dinamika Emosi Pecandu Narkotika dalam Masa Pemulihan
PUSTAKA ACUAN Bahr, S.J., Hoffmann, J.P.,& Yang, X. (2005). Parental and peer influences on the risk of adolescent drug use. The Journal of Primary Prevention, 26, 6, 529-548. Hwang, S. & Akers, R.L. (2006). Parental and peer influences on adolescent drug use in korea. Asian Criminology, 1, 51-69. Kosslyn, S.M. & Rosenberg, R.S. (2003). Fundamental of psychology: The brain, the person, the world. Boston: Allyn and Bacon. McConnell, J.V. & Philipchalk, R.P. (1992). Understanding human behavior (7eds). Orlando, Florida: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers. Nasution, Z. (2007). Modul untuk remaja: Memilih lingkungan bebas narkoba. Indonesia: Author. Papalia, D.E. (2003). Human development. 9th Edition. New York: McGraw-Hill. Plutchik, R. (2002). Emotions and life: Perspectives from psychology, biology, and evolution. Washington, DC: American Psychological Association. Pranoto, L.S.,& Astuti, Y.D. (2006). Pengaruh craving dalam pencapaian kondisi clean and sober pecandu NAPZA. Psikologika, XI, 22, 107-123. Santrock, J.W. (2002). Life-span development, Ninth Edition. New York: McGraw Hill.
118
INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010