PERAN JAKSA SEBAGAI TIM ASESMEN TERPADU DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN REHABILITASI BAGI PECANDU DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA ATTORNEY ROLE AS AN INTEGRATED ASSESSMENT TEAM IN THE IMPLEMENTATION OF POLICIES FOR THE REHABILITATION OF ADDICTS AND VICTIMS OF DRUG ABUSE Sri Wartini Kepala Urusan Daskrimti dan Perpustakaan pada Sub Bagian Pembinaan Kejaksaan Negeri Bogor Email :
[email protected] (diterima tanggal 26 Mei 2015, direvisi tanggal 3 Juni 2015, disetujui tanggal 8 Juni 2015) Abstrak Narkotika merupakan suatu zat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Akan tetapi, penyalahgunaan narkotika mengakibatkan kecanduan dan ketergantungan bagi pengguna, sehingga merugikan baik bagi pengguna maupun masyarakat khususnya generasi muda. Penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan. Terhadap pengguna atau pecandu narkotika dapat dilakukan rehabilitasi berupa rehabilitasi medis, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi sosial, rehabilitasi berbasis masyarakat, rehabilitasi vokasional dan rehabilitasi dalam keluarga. Tim asesmen terpadu yang terdiri dari Tim Dokter meliputi dokter dan psikologi, tim hukum yang meliputi Polri, BNN, Kejaksaan dan Kemenkumham dibentuk oleh pemerintah dalam rangka melakukan asesmen terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Fungsi kejaksaan sebagai anggota tim asesmen adalah memberikan analisis terhadap penyalahguna narkotika dan melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial, serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi seseorang. Kata kunci : Kejaksaan, Narkotika, Tim Asesment, Rehabilitasi, Kebijakan abstract Narcotics is a substance that is beneficial and necessary for the treatment of certain diseases. However, drug abuse lead to addiction and dependency for the user, to the detriment of both the user and the community, especially the youth generation. Elucidation of Article 21 paragraph (4) letter b of Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure states that a suspect or defendant drug addict as far as possible be detained in a particular place which is also a place of care. To users or drug addicts can be rehabilitated in the form of medical rehabilitation, educational rehabilitation, social rehabilitation, community based rehabilitation, vocational rehabilitation and rehabilitation in the family. Integrated assessment team consisting of medical team include doctors and psychology and legal team that includes Police, The National Narcotics Agency, Prosecutor and Ministry of Law and Human Rights, formed by the government in order to assess the drug addicts and victims of drug abuse. Function of the Prosecutor as a member of the assessment team is to provide an analysis of drug abusers and conduct an assessment and analysis of medical, psychosocial, and recommend a plan of therapy and rehabilitation of a person. Keywords: Attorney, Narcotics, Team Assessment, Rehabilitation, Policy.
I.
PENDAHULUAN
tertentu.1
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menyebabkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
Narkotika merupakan suatu zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai 1 Indonesia (1)., Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika., Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika., Bandung: Fokusindo Mandiri, 2013.
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
307
dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya bagi generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sedangkan peraturan perundang-undangan yangada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas kejahatan tersebut. Kemajuan teknologi dan informasi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perkembangan meluasnya jaringan mafia narkotika di dunia hingga merambah ke Indonesia. Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan masa depan bangsa dimana generasi muda menjadi sasaran empuk jaringan tersebut karena generasi muda yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa yang bermoral, terdidik, bermental kuat, sehat jasmani dan rohani menjadi generasi yang rusak mental, tidak bermoral dan tidak sehat karena pengaruh ketergantungan obat-obatan terlarang yang dikonsumsi tersebut. Pada awalnya, jaringan pengedar narkotika memasarkan obat-obatan tersebut dengan memberikannya secara gratis kepada calon korbannya kemudian disuplay terus menerus hingga akhirnya si korban penyalahgunaan narkotika tersebut menjadi ketagihan (sakau) dan apabila menginginkan obat-obatan tersebut harus membayar sejumlah uang yang tentunya tidak sedikit, sehingga mau tidak mau si korban penyalahgunaan narkotika tersebut harus membelinya dengan cara apapun. Namun, yang lebih memprihatinkan lagi yakni terjadinya penyalahgunaan narkoba di kalangan penegak hukum yang seharusnya 308
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
memberantas peredaran narkoba di kalangan masyarakat. Misalnya saja yang pernah terjadi pada salah satu petinggi kepolisian di Sumatera Utara yakni Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Apriyanto Basuki Rahmat, S.Ik., M.H. (ABR) pada tahun 2012 lalu yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Direktur Narkoba pada POLDA Sumatera Utara yang ditengarai terkontaminasi narkotika dan obatobatan terlarang akibat rutinitas pekerjaannya yang melakukan penyelidikan atas suatu kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba.2 Namun ketika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, hasil pemeriksaan urine AKBP ABR dengan nomor dokumen 864/NMF/2012 tanggal 23 Februari 2012 positif mengandung zat psikotropika Golongan III3 yakni flunitrazepam4. Dalam hal ini, tentunya hukum harus memenuhi rasa keadilan pada masyarakat sebab meskipun pelaku penyalahgunaan narkoba adalah salah satu oknum petinggi penegak hukum sudah seharusnya oknum tersebut mendapatkan hukuman (punishment) atas perbuatan pelanggaran yang dilakukannya baik secara kode etik maupun secara pidana. Contoh lainnya yakni kasus Raffi Ahmad yang mana ditengarai juga mengkonsumsi narkoba yang mengandung zat methylon yang merupakan turunan jenis Psikotropika Golongan I yakni Cathynona (katinona). Namun, Raffi Ahmad berdalih bahwa pada saat malam penggerebekan terjadi di rumahnya ia mengaku dijebak oleh orang lain pada saat terjadi penggeledahan di kamar tidurnya oleh pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) dimana telah ditemukan narkoba jenis katinona tersebut. Pada proses selanjutnya, setelah dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut Raffi Ahmad akhirnya dibawa ke tempat rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Dari kedua kasus tersebut, timbul pertanyaan dalam benak Penulis bagaimana jika seseorang yang pada awalnya bukanlah seorang pecandu narkoba namun pada saat 2 Majalah (1)., Polisi dan Narkoba., Forum Keadilan No. 43, 04 Maret 2012., hlm. 11. 3 Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, penggolongan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi 4 yakni Psikotropika Golongan I, Psikotropika Golongan II, Psikotropika Golongan III, dan Psikotropika Golongan IV. 4 Majalah (1)., Op. Cit., hlm. 15.
penggeledahan pada suatu razia orang tersebut tertangkap tangan membawa narkoba akan tetapi orang tersebut hanyalah korban dari penyalahgunaan narkotika dan bukanlah seorang pengedar. Apakah hukumannya itu sama dengan seorang pengedar yang seharusnya mendapatkan hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan seorang pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika saja. Tentu tidak adil jika seorang pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dijatuhi hukuman yang sama dengan pengedar. Penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial tersangka, terdakwa atau nara pidana dalam tindak pidana narkotika sehingga perlu dilakukan program pengobatan, perawatan, dan pemulihan secara terpadu dan terkoordinasi agar nantinya pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tersebut dapat kembali ke masyarakat dan kembali menjalani kehidupannya dengan lebih baik dari sebelumnya.
II. PEMBAHASAN A. Tugas dan Kewenangan Kejaksaan
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Pasal 31 Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungannya, dan dirinya sendiri. Pasal 32 Disamping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undangundang Pasal 35 Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain: 1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
Tugas dan wewenang Kejaksaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 35.5
2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
Pasal 30
4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha Negara;
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; b. Melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 5 Indonesia (2)., Undang-Undang tentang Kejaksaan., UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., Surabaya: Karina, 2004., hlm. 3
3. Mengesampingkan kepentingan umum;
perkara
demi
5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 6. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah NKRI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
309
B. Pengertian dan Penggolongan Narkotika Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan mengenai pengertian narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Kemudian untuk penggolongan, narkotika dibagi dalam 3 golongan, yaitu:6 a. Golongan I, merupakan narkotika yang hanya ditujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, karena berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Untuk Golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, ditambah jenisnya dari kelompok Psikotropika Golongan I dan Golongan II dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; b. Golongan II, adalah narkotika yang berkhasiat untuk obat, namun merupakan pilihan terakhir serta dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Narkotika golongan II ini berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan; dan c. Golongan III, merupakan narkotika yang berkhasiat untuk obat dan banyak dipergunakan untuk terapi dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Golongan III ini berpotensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Terhadap penyalahguna narkotika dari beberapa golongan diatas, masing-masing pelaku akan mendapatkan ancaman pidana yang berbeda. Untuk penyalahguna narkotika bagi diri sendiri, golongan I ancaman pidananya paling lama 4 tahun penjara, sedangkan bagi penyalahguna golongan II diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan untuk penyalahguna golongan III ancaman hukumannya paling lama pidana penjara 1 tahun. 6
Mardani., Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008., hlm. 133, 137.
310
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
C. Pengertian Rehabilitasi, Pecandu Narkotika, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Rehabilitasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Upaya ini merupakan upaya atau tindakan alternatif, karena pelaku penyalahgunaan narkotika juga merupakan korban kecanduan narkotika yang memerlukan pengobatan atau perawatan. Pengobatan atau perawatan ini dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi. Penetapan rehabilitasi bagi pecandu narkotika merupakan tindakan alternatif yang dijatuhkan oleh hakim dan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Pemerintah telah menetapkan peraturan tentang narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dalam Pasal 5 ditentukan bahwa pengaturan narkotika dalam undang-undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika. Menurut Soedjono Dirdjosisworo, narkotika atau yang sering diistilahkan dengan drug adalah sejenis zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan.7 Rehabilitasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam rangka memulihkan kesadaran seseorang akan dampak narkotikadan mencegah penggunaannya serta memberantas peredaran gelap narkotika. Penyalahgunaan narkotika diartikan sebagai pemakaian narkotika secara tetap yang bukan tujuan untuk pengobatan, atau yang digunakan tanpa mengikuti aturan takaran pemakaian, sedangkan peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.8 7 Dirdjosisworo, Soedjono., Hukum Narkotika Indonesia., Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990., hlm. 1. 8 Yatim, Danny., Keluarga dan Narkotika (Tinjauan SosialPsikologis)., Jakarta: Arcan, 1991., hlm. 5.
Rehabilitasi diatur dalam Bab XII Bagian Kedua, sebagai lanjutan ketentuan tuntutan ganti kerugian. Pengertian rehabilitasi merujuk pada Pasal 1 butir 23 KUHAP yakni hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.9 Sehingga apabila memperhatikan pengertian tersebut, rehabilitasi mengandung unsur:10 a. Hak seseorang atau tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan antara lain hak kemampuan dan hak kedudukan serta harkat martabatnya; b. Hak pemulihan tersebut dapat diberikan dalam semua tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan. Pengertian lainnya tentang rehabilitasi yakni merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melakukan aksi pencegahan, peningkatan, penyembuhan, pemakaian, serta pemulihan kemampuan bagi individu yang membutuhkan penanganan khusus. Kaitannya dengan pelaksanaan pepenanganan pendidikan terhadap individu tersebut. Peranan rehabilitasi secara paripurna sangat diperlukan yang didasarkan atas masalah yang dihadapi masingmasing individu.11 Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI, dan Kepala BNN Nomor:01/PB/MA/III/2014, Nomor 03/2014, Nomor 11/2014, Nomor 03/2014, Nomor: Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 01/2014, dan Nomor: PERBER/01/ III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu 9 Solahuddin., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata (KUHP, KUHAP, dan KUH Perdata)., Jakarta: Visi Media Pustaka, 2008., hlm. 149. 10 Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali)., Jakarta: Sinar Grafika, Jilid 2, 2003., hlm. 69. 11 Puspa, Rizki., Seputar Pendidikan Luar Biasa., diunduh dari http:// www.rizkipuspa-plbuns2012.blogspot.compada hari Rabu tanggal 17 Juni 2015 jam 15.10 Wib.
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi bahwa yang dimaksud dengan pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis, sedangkan penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Kemudian pengertian dari korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika, sedangkan ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi da/ atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.12 D. Fungsi Rehabilitasi Fungsi rehabilitasi antara lain:13 a. Kuratif Berfungsi sebagai penyembuhan dari gangguan yang dialami oleh individu yang membutuhkan penanganan khusus dalam bidang koordinasi, gerak motoric, komunikasi, psikososial, dan pendidikan. b. Rehabilitatif Berfungsi sebagai pemulihan atau memberi kemampuan pada individu yang mengalami gangguan koordinasi, gerak motorik, komunikasi, psikososial, dan pendidikan. c. Promotif Berfungsi sebagai upaya peningkatan kemampuan individu menuju kondisi normal secara optimal. d. Preventif Memberikan penanganan pencegahan dari kondisi kecacatan, agar tidak terjadi kondisi yang lebih parah atau lebih berat. Dengan adanya fungsi pencegahan itu diharapkan individu yang membutuhkan penanganan 12 Indonesia (3)., Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI, dan Kepala BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. 13 Ibid.
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
311
khusus dapat terhindar dari kecacatan yang lebih berat. E. Jenis-jenis Rehabilitasi Menurut ketentuan pada Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI, dan Kepala BNN Nomor:01/PB/MA/III/2014, Nomor 03/2014, Nomor 11/2014, Nomor 03/2014, Nomor: Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 01/2014, dan Nomor: PERBER/01/ III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yakni sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1, jenis-jenis rehabilitasi antara lain:14 a. Rehabilitasi medis Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. b. Rehabilitasi sosial Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi merupakan upaya memulihkan hak seseorang dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, untuk itu terdapat beberapa jenis rehabilitasi antara lain:15 a. Rehabilitasi medis Rehabilitasi medis merupakan penanganan yang diberikan kepada individu yang mengalami gangguan-gangguan dalam koordinasi gerak, komunikasi, sensorik motor, dan penyesuaian sosial. Rehabilitasi medis meliputi bidang penanganan fisioterapi, speech therapy, occupational 14 15
312
Indonesia (3)., Op. Cit. Puspa, Rizki., Op. Cit.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
therapy, ortotik protestik. Tenaga-tenaga ahli yang menangani bidang tersebut merupakan tenaga ahli pada Kementerian Kesehatan yang dapat berperan sebagai administrator, konsultan dan manajemen bidang rehabilitasi. b. Rehabilitasi pendidikan Rehabilitasi pendidikan merupakan penanganan yang diberikan kepada individu yang membutuhkan penanganan khusus dalam bidang pendidikan (pra akademik) yaitu baca, tulis, dan hitung (calistung). Lembaga pendidikan yang mengelola penanganan pendidikan untuk individu yang membutuhkan penanganan khusus sudah termasuk rehabilitasi pendidikan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan. c. Rehabilitasi sosial Rehabilitasi sosial merupakan rehabilitasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi, mencegah penurunan kemampuan bersosialisasi atau kondisi lebih parah dari kondisi sosial sebelumnya. d. Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Rehabilitasi berbasis masyarakat merupakan rehabilitasi yang memanfaatkan potensi sumber daya masyarakat yang dilaksanakan dengan tujuan agar penanganan rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin dan merata bagi seluruh masyarakat yang memerlukannya. e. Rehabilitasi vokasional Rehabilitasi vokasional dimaksudkan untuk memberikan penanganan khusus dalam bidang vokasional atau keterampilan yang sifatnya individu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar individu tersebut. f. Rehabilitasi dalam keluarga Rehabilitasi dalam keluarga merupakan model penanganan rehabilitasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya yang mengalami gangguan. Orang tua dimaksud terlebih dahulu diberikan
pelatihan tentang cara memberikan penanganan kepada anaknya atau keluarga yang membutuhkan penanganan khusus yang secara berkala diadakan evaluasi bersama dan tindak lanjut penanganan yang harus diberikan. F.
Dasar Hukum Pelaksanaan Kebijakan Rehabilitasi 1. Dasar Hukum dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), rehabilitasi dicantumkan pada Pasal 97 antara lain:16
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidik dari penyidik c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
Ayat (2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan
Kemudian di dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 KUHAP diatur tentang Penuntut Umum, antara lain: Pasal 13 Penuntut umum adalah Jaksa yang Solahuddin., Op. Cit., hlm. 166, 172. Pasal 95 ayat (1) berbunyi: tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 18 Pasal 77 berbunyi: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 17
Pasal 14 Penuntut umum mempunyai wewenang:
Ayat (1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Ayat (3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1)17 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim pra peradilan yang dimaksud dalam Pasal 77.18
16
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
d. Membuat surat dakwaan f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa, maupun kepada saksi, untuk dating pada siding yang telah ditentukan g. Melakukan penuntutan h. Menutup perkara demi kepentingan hukum i.
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini
j.
Melaksanakan penetapan hakim
Pasal 15 Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undangundang. 2. Dasar Hukum dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Mengenai rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, diatur
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
313
dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni antara lain: Pasal 54 Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 55 (1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umum wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial; (2) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial Pasal 56 (1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri Pasal 57 Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional
314
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Pasal 58 Rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat 3. Dasar Hukum dalam Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, KAPOLRI, dan Kepala BNN Nomor:01/ PB/MA/III/2014, Nomor 03/2014, Nomor 11/2014, Nomor 03/2014, Nomor: Per005/A/JA/03/2014, Nomor 01/2014, dan Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh 7 (tujuh) lembaga negara ini bertujuan untuk: a. Mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal penyelesaian permasalahan narkotika dalam rangka menurunkan jumlah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika melalui program pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau nara pidana dengan tetap melaksanakan pemberantasan peredaran gelap narkotika; b. Menjadi pedoman teknis dalam penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial; c. Terlaksananya proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu. Dalam rangka mencapai tujuantujuan sebagaimana tersebut di atas, maka Pemerintah berupaya mengurangi jumlah pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika yang menjadi penyakit di dalam masyarakat dengan upaya pengobatan dan perawatan bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika secara optimal dan terpadu yakni dengan melakukan rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial yang pelaksanaannya dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari: a. Tim dokter yang meliputi dokter dan psikolog; b. Tim hukum terdiri dari unsur POLRI, BNN, Kejaksaan, dan KEMENKUMHAM. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan dapat diberikan pengobatan, perawatan, dan pemulihan pada lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial. Apabila pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika tersebut menderita komplikasi medis atau komplikasi psikiatris dapat ditempatkan di rumah sakit pemerintah yang biayanya ditanggung oleh keluarga atau bagi yang tidak mampu ditanggung pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku, namun apabila pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika memilih ditempatkan di rumah sakit swasta yang ditunjuk pemerintah, maka biaya menjadi tanggungan sendiri. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang ditangkap tetapi tanpa barang bukti narkotika dan positif menggunakan narkotika sesuai dengan hasil tes urine, darah, atau rambut dapat ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial yang dikelola oleh pemerintah setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik dan telah dilengkapi dengan surat hasil asesmen Tim Asesmen Terpadu. Sedangkan pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang ditangkap dan terdapat barang bukti dengan jumlah tertentu dengan atau tidak memakai narkotika sesuai hasil tes urine, darah, rambut atau DNA selama proses peradilannya berlangsung dalam jangka waktu tertentu dapat ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan rumah sakit yang dikelola pemerintah setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan BeritaAcara Pemeriksaan oleh Penyidik POLRI dan/atau Penyidik BNN dan telah dilengkapi dengan surat hasil asesmen Tim Asesmen Terpadu. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau terdakwa penyalahgunaan narkotika yang ditangkap dengan barang bukti melebihi dari jumlah tertentu dan positif memakai narkotika memakai narkotika sesuai hasil tes urine, darah, rambut atau DNA selama proses peradilannya berlangsung dalam jangka waktu tertentu dapat ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis dan rumah sakit yang dikelola pemerintah setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan BeritaAcara Pemeriksaan oleh Penyidik dan telah dinyatakan dengan hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu tetap ditahan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) atau cabang RUTAN dibawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM) serta dapat diberikan pengobatan dan perawatan dalam rangka rehabilitasi. Terdakwa atau terpidana pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah mendapatkan penetapan atau putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi diserahkan oleh pihak kejaksaan ke lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial. Bagi narapidana yang termasuk dalam kategori pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika dan bukan pengedar atau bandar atau kurir atau produsen dapat dilakukan rehabilitasi
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
315
medis dan/atau rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atau RUTAN dan/atau lembaga rehabilitasi yang telah ditunjuk pemerintah. Bagi narapidana yang termasuk kategori pecandu yang mempunyai fungsi ganda sebagai pengedar dapat dilakukan rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial di dalam LAPAS atau RUTAN. G. Peran Jaksa sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Menurut Mudzakir, pergeseran bentuk pemidanaan dari hukuman badan menjadi hukuman tindakan merupakan proses depenalisasi. Depenalisasi terjadi karena adanya perkembangan atau pergeseran nilai hukum dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan nilai hukum pada norma hukum pidana. Perbuatan tersebut tetap merupakan perbuatan yang tercela, tetapi tidak pantas dikenai sanksi pidana yang berat, lebih tepat dikenai sanksi pidana ringan atau tindakan. Adapun alasan untuk menentukan depenalisasi terhadap pecandu dan korban narkotika, karena mereka dianggap sebagai orang yang sakit sehingga perlu mendapat perawatan dengan memberikan terapi maupun obat agar sembuh. Untuk korban penyalahgunaan narkotika, sesungguhnya mereka tidak menyadari dengan apa yang telah diperbuat disebabkan mereka melakukan perbuatan tersebut karena bujuk rayu orang lain sehingga perlu diselamatkan dengan direhabilitasi, supaya tidak semakin terjerumus dalam keparahan dampak narkotika.19 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib lapor bagi Pecandu Narkotika, pada Pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa pecandu yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Lebih lanjut dalam ayat (4) ditentukan bahwa penentuan rehabilitasi pecandu menjadi kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim setelah mendapat 19 Krisnawati, Dani dan Niken Subekti Budi Utami., Laporan Hasil Penelitian., Yogyakarta: Fakultas Hukum Gadjah Mada, 2014., hlm. 26.
316
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
rekomendasi dari tim dokter. Berdasar ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dapat direhabilitasi medis maupun sosial tidak hanya terbatas bagi pecandu yang melaporkan diri, namun pecandu, korban penyalahguna yang perkaranya diperiksa oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap tangan, dapat direhabilitasi oleh petugas yang sedang menangani perkaranya.20 Jaksa Penuntut Umum sebagai salah satu unsur penegak hukum merupakan salah satu anggota Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari tim dokter meliputi dokter dan psikolog serta tim hukum yakni meliputi POLRI, BNN, Kejaksaan dan KEMENKUMHAM yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka melakukan asesmen terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka dan/atau narapidana sebagai penyalahguna narkotika. Jaksa Penuntut Umum yang bertugas sebagai Tim Asesmen Terpadu ini diusulkan masing-masing instansi Kejaksaan sesuai wilayah hukumnya dalam hal ini Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota dan ditetapkan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Propinsi, Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota. Jaksa Penuntut Umum yang menjadi anggota Tim Asesmen Terpadu mempunyai tugas untuk melakukan: a. Analisis terhadap seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap tangan dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaan narkotika; b. Asesmen dan analisis medis, psikososial, serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi seseorang. Tim Asesmen Terpadu mempunyai kewenangan antara lain: a. Atas permintaan penyidik untuk melakukan analisis peran seseorang yang ditangkap atau tertangkap tangan sebagai korban penyalahgunaan narkotika, pecandu narkotika atau pengedar narkotika; 20
Ibid.
b. Menentukan kriteria tingkat keparahan penggunaan narkotika sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi, situasi, dan kondisi ketika ditangkap pada tempat kejadian perkara; c. Merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Pelaksanaan asesmen dan analisis dilakukan oleh tim hukum bertugas melakukan analisis dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan penyalahgunaan narkotika berkoordinasi dengan penyidik yang menangani perkara tersebut dan tim dokter yang bertugas melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi penyalahguna narkotika, yang hasilnya digunakan sebagai bahan pertimbangan terhadap permohonan rehabilitasi seseorang dan bersifat rahasia. Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai anggota Tim Asesmen Terpadu seorang Jaksa dapat memberikan rekomendasi berdasarkan hasil asesmen dan analisisnya apakah seseorang itu dapat direhabilitasi medis maupun sosial atau tidak bukan hanya terbatas bagi pecandu yang melaporkan diri, namun pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang perkaranya diperiksa oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap tangan, tersangka, terdakwa, terpidana maupun narapidana.
III. PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian yang telah ditulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa dasar hukum pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tercantum dalam KUHAP yang kemudian diatur lebih khusus lagi di dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kemudian dalam rangka mengoptimalkan upaya pengobatan, perawatan, dan pemulihan bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika secara terpadu dan terkoordinasi guna memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial tersangka, terdakwa, atau narapidana dalam tindak pidana narkotika;
2. Bahwa peran jaksa sebagai Tim Asesmen Terpadu dalam penerapan kebijakan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika memberikan rekomendasi berdasarkan hasil asesmen dan analisisnya apakah seseorang itu dapat direhabilitasi medis maupun sosial atau tidak bukan hanya terbatas bagi pecandu yang melaporkan diri, namun pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang perkaranya diperiksa oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap tangan, tersangka, terdakwa, terpidana maupun narapidana. Selanjutnya, berpedoman pada uraian dan kesimpulan yang ditulis, maka dikemukanan saran sebagai berikut: 1. Hendaknya pemerintah melakukan sosialisasi mengenai Peraturan Bersama tentang penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi kepada masyarakat melalui program penyuluhan hukum oleh instansi terkait; 2. Perlu adanya koordinasi dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika antara Jaksa Penyidik dengan Tim Asesmen Terpadu agar dapat diketahui apakah tersangka/terdakwa perkara tindak pidana narkotika yang sedang ditanganinya dapat direhabilitasi baik secara medis maupun sosial; 3. Perlu adanya sosialisasitentang penunjukan lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Dirdjosisworo, Soedjono., Hukum Narkotika Indonesia., Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Fuady, Munir., Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat)., Bandung: Refika Aditama, 2009. H.S, Salim dan Erlies Septiana Nurbani., Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi., Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Peran Jaksa Sebagai Tim Asesmen Terpadu Dalam Penerapan Kebijakan Rehabilitasi Bagi Pecandu..... - Sri Wartini
317
2013. Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali)., Jakarta: Sinar Grafika, Jilid 2, 2003. Hermansyah, Nanang., Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum., Banjarmasin: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, 2010 Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil., Hukum Tata Negara Republik Indonesia., Jakarta: P.T. Rineka Cipta, 2000. Kelsen, Hans., Teori Umum tentang Hukum dan Negara., Bandung: Nusa Media, 2006. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim., Hukum Tata Negara Indonesia., Jakarta: Sinar Bakti, 1988.
Undang-Undang: Indonesia., Undang-Undang tentang Kejaksaan., Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., Surabaya: Karina, 2004 ., Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika., Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika., Bandung: Fokusindo Mandiri, 2013. ., Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, 2014. Makalah: Krisnawati, Dani dan Niken Subekti Budi Utami., Laporan Hasil Penelitian., Yogyakarta: Fakultas Hukum Gadjah Mada, 2014
Lipuwung, Felix Thadeus., Eksistensi dan Efektivitas Fungsi Du’a Mo’ang (Lembaga Peradilan Adat) dalam Penyelesaian Sengketa Adat Bersama Hakim Perdamaian Desa di Sikkan Flores, NTT., tanpa tahun.
Lain-lain:
Mardani., Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Anonim., Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Cybercrime di Bidang Perjudian., diunduh dari http://www. lessprivatiptek.blogspot.com pada hari Selasa tanggal 16 Juni 2015 jam 15.00 Wib.
Mas, Marwan., Pengantar Ilmu Hukum., Jakarta: Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, 2003. Rawls, John., A Theory of Justice., London: Oxford University Press, 1971. Soekanto, Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum., Jakarta: Raja Grafindo, 2008. , Soerjono dan Sri Mamuji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Al Faruq, Habibullah., Teori Keadilan Menurut Aristoteles., diunduh dari http://www. habibullahurl.compada hari Selasa tanggal 16 Juni 2015 jam 14.00 Wib.
.,Sejarah Kejaksaan R.I., diunduh dari http:// www.kejaksaan-ri.go.id pada hari Jum’at tanggal 19 Juni 2015 jam 11.26 Wib. Hasanuddin, Iqbal., Teori Keadilan: Telaah atas Pemikiran John Rawls., diunduh dari http:// www.iqbalhasanuddin.wordpress.com pada hari Selasa tanggal 16 Juni 2015 jam 14.21 Wib. Majalah., Polisi dan Narkoba., Forum Keadilan No. 43, 04 Maret 2012.
Solahuddin., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata (KUHP, KUHAP, dan KUH Perdata)., Jakarta: Visi Media Pustaka, 2008.
Puspa, Rizki., Seputar Pendidikan Luar Biasa., diunduh dari http://www.rizkipuspaplbuns2012.blogspot.compada hari Rabu tanggal 17 Juni 2015 jam 15.10 Wib.
Syamsah, H. T. N.,. Kedudukan Pengadilan Pajak Dihubungkan dengan Sistem Peradilan di Indonesia., Bogor: Unida Press, 2010.
Sejarah Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), dalam rangka HUT PJI ke-22 pada hari Senin tanggal 15 Juni 2015.
Yatim, Danny., Keluarga dan Narkotika (Tinjauan Sosial-Psikologis)., Jakarta: Arcan, 1991
318
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015