KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Muhamad Rizky 1110112000043
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang Berjudul : KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan
Dengan ini menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Oktober 2014
Muhamad Rizky
i
KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh : Muhamad Rizky NIM : 1110112000043
Dibawah Bimbingan
Dr. Haniah Hanafie, M.Si NIP. 19610524 200003 2 002
JURUSAN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa : Nama
: Muhamad Rizky
NIM
: 1110112000043
Progam Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul : KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji :
Jakarta, 7 Oktober 2014
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Studi
Pembimbing
Ali Munhanif, Ph. D
Dr. Haniah Hanafie M.Si
NIP. 19651212 199203 1 004
NIP. 19610524 200003 2 002
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan Oleh : Muhamad Rizky 1110112000043 Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik. Ketua
Sekretaris
Ali Munhanif, Ph.D NIP. 19651212 199203 1 004
M. Zaki Mubarak, M.Si NIP. 19730927 200501 1 008
Penguji I
Penguji II
Dr. Agus Nugraha, M.Si NIP. 19680801 200003 1 001
Suryani, M.Si NIP. 19770424 200710 2 003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 13 November 2014. Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta,
Ali Munhanif, Ph.D NIP. 19651212 199203 1 004 iv
ABSTRAK Skripsi ini membahas tentang konflik aset di daerah pemekaran yaitu terkendalanya serah terima aset daerah khususnya aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab, dampak yang ditimbulkan, dan proses penyelesaian dari serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. Peneliti menggunakan Teori Konflik dan Konsep Pemekaran Wilayah. Peneliti menemukan bahwa setelah pemekaran daerah Kota Tangerang Selatan terdapat kendala dalam serah terima aset daerah khususnya badan usaha milik daerah (BUMD) yang salah satunya adalah pasar tradisional. Metodologi yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, tepatnya di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang, Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan dan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dari penelitian yang dilakukan berdasarkan studi lapangan dalam bentuk wawancara dan observasi, peneliti menemukan bahwa faktor penghambat dalam serah terima aset tersebut terdiri dari beberapa faktor diantaranya faktor struktural yaitu perdebatan dalam undang-undang dan peraturan yang digunakan oleh kedua Pemerintah Daerah, faktor kepentingan yaitu kepentingan dalam pengelolaan badan usaha milik daerah (BUMD) yang mempunyai pendapatan yang dapat dijadikan pendapatan asli daerah (PAD), faktor hubungan antar manusia yaitu perbedaan pendapan antara elit kedua Pemerintah Daerah dan faktor data yaitu ketidak sesuaian data yang dibutuhkan untuk dilakukannya serah terima aset pasar tradisional. Akibat yang ditimbulkan adalah pengelolaan pasar tradisional yang tidak optimal mengakibatkan kesemrawutan, kemacetan, dan penumpukan sampah sehingga pasar tradisional di Tangerang Selatan tidak tertata dengan baik yang menghambat pembangunan Kota Tangerang Selatan. Proses penyelesaian sampai saat ini yang dilakukan adalah pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk membahas permasalahan dalam kelanjutan serah terima aset BUMD PD.Pasar dan Pemerintah Kota Tangerang Selatan terakhir akan meminta bantuan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membantu dalam memfasilitasi serah terima aset daerah yang berupa badan usaha milik daerah (BUMD) termasuk didalamnya aset pasar tradisional yang berada di Kota Tangerang Selatan.
v
KATA PENGANTAR Puji Syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Konflik Aset di Daerah Pemekaran: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya dari awal hingga akhir zaman. Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya. Oleh karena itu peneliti mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Ibu Dr. Haniah Hanafie M.Si selaku dosen pembimbing. Terima kasih telah sabar dan ikhlas, serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan memberikan masukan serta nasehat kepada peneliti, dan memberikan motivasi sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Dr. Agus Nugraha, M.Si dan Ibu Suryani M.Si sebagai Dosen penguji skripsi yang telah menguji dan memberi masukan kepada peneliti. 6. Bapak Sugeng Setiarso selaku Kasi Mutasi Aset Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan, Bapak Sutono sebagai Kasubag Inventarisasi bidang aset Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang dan Bapak Nurachman sebagai Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten
vi
Tangerang. Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk diwawancari dan meminta data untuk keperluan penelitian. 7. Orang tua tercinta Alm. Bapak Sagimin dan Ibu Miyem serta Nenek tercinta Mbah Ketip yang memberikan segala bentuk dukungan berupa finansial dan moral sehingga skripsi ini dapat selesai. 8. Kakak dan adik peneliti, Purwowidodo, Purwaningsihati dan Adi Surya Muhammad
Kurniawan
serta
keponakan
peneliti,
Carissa
Aqila
Maheswari Widodo dan Bima Kafaf Faiz Jabar Sa’adan yang selalu memberikan dukungan dan hiburan kepada peneliti. 9. Ryandi Hermawan, M. Rizal Habibi, Novian Dwi Cahyo, Galih Priyo Jatmiko, Rizki Andika, Wahyu Windiasko, M. Erdiansyah, Dara Amalia dan teman-teman SMAN 90 Jakarta serta Warlux. Terima kasih telah menjadi sahabat baik peneliti dan memberi semangat selama penelitian. 10. Choir, Angga, Ikbal, Dona, Faisal, Yosep, Febrian, Ferdian, Indra, Ismet, Fadil, Imam, Ramdhan, Enda, Ujang, Abdau, Ade, Adi, Sandi, Ikhsan Sopyan, Adeandri dan seluruh sahabat Ilmu Politik 2010. Terima kasih telah memberikan semangat dan tidak pernah lelah membantu skripsi peneliti dari awal sampai akhir. 11. Keluarga KKN AGORITMA 2013, yang selalu memberikan semangat kepada peneliti. 12. Seluruh pihak yang membantu yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca sekalian.
Jakarta, 7 Oktober 2014
Muhamad Rizky
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME................................... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN........................................... iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.............................. iv ABSTRAK.......................................................................................................... v KATA PENGANTAR....................................................................................... vi DAFTAR ISI..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL.............................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah............................................................................ B. Pertanyaan Penelitian.......................................................................... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... D. Tinjauan Pustaka................................................................................ E. Metodelogi Penelitian......................................................................... F. Sistematika Penelitian.........................................................................
1 7 8 9 12 15
BAB II LANDAAN TEORI A. Konflik .............................................................................................. 18 1. Pengertian Konflik……................................................................. 19 2. Penyelesaian Konflik..................................................................... 21 B. Pemekaran Wilayah ........................................................................... 24 1. Konsep Pemekaran Wilayah.......................................................... 24 2. Hak dan Kewajiban Daerah ......................................................... 30 3. Aset Daerah................................................................................... 40 BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN TANGERANG DAN KOTA TANGERANG SELATAN A. Kabupaten Tangerang........................................................................ 43 1. Sejarah.....................................................................................… 43 2. Letak Geografis................ ........................................................... 46 B. Kota Tangerang Selatan..................................................................... 47 1. Sejarah......................................................................................... 47 2. Letak Geografis............................................................................ 49 BAB IV KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN A. Konflik Serah Terima Aset Daerah Kota Tangerang Selatan.................................................................... 50 1. Aset Daerah Kota Tangerang Selatan ......................................... 50 2. Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan............................................................ 53
viii
B. Faktor Penghambat Serah Terima Aset Pasar Tradisional Kota Tangerang Selatan.................................................................... 57 1. Faktor Stuktural............................................................................ 58 2. Faktor Kepentingan..................................................................... 63 3. Faktor Nilai................................................................................. 65 4. Faktor Hubungan Antar Manusia................................................ 66 5. Faktor Data................................................................................. 67 C. Dampak Terkendalanya Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan ................................................................ 69 D. Proses Penyelesaian Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan dari Kabupaten Tangerang…………..… 74 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ......................................................................................... 79 B. Saran ................................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... xi LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel IV.I.
Tabel IV.II
Tabel IV.III
Nilai Aset Daerah yang Diserahkan Kabupaten Tangerang kepada Kota Tangerang Selatan.................................................... 55 Aset PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang di Wilayah Tangerang Selatan…......................................................... 63 Pendapatan, Biaya, dan Laba (Rugi) PD. Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang Tahun 2005-2013...........................
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara kesatuan yang mempunyai daerah begitu luas, menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan daerah untuk menyelengarakan otonomi daerah. Persoalan kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian hingga saat ini. Dalam salah satu kebijakan desentralisasi politik, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di revisi ke dalam UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi, yaitu dengan diserahkannya urusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan tugas ini antara lain menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan
1
kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan.1 Kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diikuti dengan kebijakan pemekaran daerah mengakibatkan perubahan pola perkembangan wilayah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak keluarnya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Pemekaran Daerah tahun 2000 jumlah daerah otonom bertambah hampir dua kali lipat.2 Saat ini jumlah Daerah Otonom di Indonesia sampai dengan bulan Juli 2013 berjumlah 539, yang terdiri atas 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif dan 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta).3 Semakin banyaknya daerah otonom yang diikuti oleh rendahnya pencapaian tujuan pemekaran daerah menjadikan
suatu
permasalahan
akibat
semakin
besarnya
beban
pendanaan otonomi. Pemekaran wilayah biasanya merupakan wujud dari keinginan masyarakat di suatu daerah untuk lebih tumbuh dan berkembang dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan. Pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah solusi untuk mempercepat proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan
1
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005),
h. 17. 2
Djoko Harmantyo, Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola Perkembangan Wilayah di Indonesia, artikel diakses dari http://geografi.ui.ac.id/portal/sivitasgeografi/dosen/makalah-seminar/496-2/ pada tanggal 27 Januari 2013. 3 Diakses dari http://otda.kemendagri.go.id/index.php/data-otda/dataprovkabkota?format=pdf pada 18 Desember 2014.
2
pemerintah daerah dalam meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan. Berkembangnya wilayah administratif yang berbatasan dengan kota-kota besar menjadi cikal bakal terbentuknya daerah otonom baru dari pemekaran daerah induknya. Salah satu daerah hasil pemekaran yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan menjadi daerah termuda di Provinsi Banten adalah Kota Tangerang Selatan yang merupakan hasil dari proses pemekaran wilayah Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan resmi menjadi daerah otonom baru pada 29 Oktober 2008 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 November 2008. 4 Kota Tangerang Selatan meliputi 7 Kecamatan yaitu Kecamatan Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu. Sebagai daerah otonom baru, Pemerintah Kota Tangerang Selatan menyelenggarakan pemerintahan daerah yang mencakup bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Untuk menjalankan berbagai kegiatan pemerintahan tersebut, diperlukan penanganan yang baik dalam rangka pembangunan daerah dan jika perlu daerah dapat melakukan kerjasama yang saling menguntungkan. Tetapi bisa saja terjadi permasalahan-permasalahan kepentingan antara daerah dengan pihak lain, yang mengakibatkan terjadinya perselisihan. Perselisihan itu sendiri dapat muncul karena adanya kepentingan
4
Abdul Rojak, Sirojudin, M. Istijar Nusantara, Sejarah Berdirinya Kota Tangerang Selatan (Tangsel: Green Komunika, 2010), h. 21.
3
masing-masing daerah yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terjadi antara pemerintah kabupaten/kota, yang berada dalam satu provinsi.5 Proses pelaksanaan pemerintahan daerah setelah pembentukan daerah otonom baru memang tidak semudah yang dibayangkan. Harapan yang cukup besar akan terlaksanannya pelayanan yang baik bagi masyarakat dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah otonomi baru tidak serta merta dapat dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat. Pemekaran Kabupaten Tangerang dengan membentuk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008 sampai saat ini masih saja menyimpan masalah, salah satunya adalah masalah pembagian aset milik daerah dan proses penyerahannya dari Kabupaten Tangerang kepada Kota Tangerang Selatan. Permasalahan pembagian dan penyerahan aset daerah yang mendapat sorotan sampai saat ini adalah belum diserahkannya 6 pasar tradisional yang berada di Kota Tangerang selatan. Keenam pasar tradisional tersebut adalah Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau.6 Proses penyerahan aset daerah sebenarnya sudah diatur didalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Dimana didalam pasal 13 yang membahas tentang Personel, Aset dan Dokumen di jelaskan bahwa penyerahan aset dan dokumen dilakukan paling lambat 5 (lima) tahun sejak pelantikan pejabat Walikota. Apabila penyerahan dan
5
M. Aries Djanuri, dkk, Sistem Pemerintahan Daerah (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 8.17. 6 “Pemkot Tunggu Surat Bupati Zaki Soal Aset Pasar,” Tangsel Pos, 13 Desember 2013, h. 3.
4
pemindahan aset serta dokumen tidak dilaksanakan oleh Bupati Tangerang, Gubernur Banten selaku wakil Pemerintah wajib menyelesaikannya. Merujuk pada Undang-Undang pembentukan Kota Tangerang Selatan, nampaknya masih menyimpan masalah yang belum dapat terselesaikan untuk mengurusi aset daerah Kabupaten Tangerang yang seharusnya diserahkan kepada Kota Tangerang Selatan. Penyerahan aset daerah khususnya aset 6 pasar tradisional yang berada di dalam teritorial Kota Tangerang Selatan yang akan mendukung terselenggaranya pelayanan masyarakat dalam bidang perdagangan diharapkan sudah terselesaikan sebelum peringatan hari jadi Kota Tangerang selatan yang ke-5. Namun pada kenyataannya sampai saat ini setelah 5 tahun berdirinya Kota Tangerang Selatan yang bertepatan pada tanggal 29 Oktober 2013 aset ini belum juga diserahkan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Tangerang. Aset 6 pasar tradisional ini masih menjadi perebutan yang belum jelas arah penyelesaian yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Secara normatif Kabupaten Tangerang diharuskan menyerahkan aset daerah tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 51 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Jika sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Tangerang belum menyerahkan aset tersebut, bisa dikatakan Bupati Tangerang melanggar UU yang akan menjadi sengketa dan itu harus dimediasi oleh pihak provinsi. Pemkot Tangerang Selatan melalui Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) akan mengambil alternatif dengan meminta bantuan kepada Gubernur Banten untuk memfasilitasi penyelesaian masalah aset ini.7
7
Ibid., h. 3.
5
Kondisi pasar-pasar tersebut saat ini menjadi sangat tidak layak dan sulit untuk dilakukan penataan. Bahkan, pembersihan sampah pasar pun menjadi terkendala karena sering kali tidak terangkut oleh petugas. Dengan masih dikelolanya pasar tradisional oleh Kabupaten Tangerang, Pendapatan Asli daerah (PAD) dari retribusi pasar tidak masuk ke Kota Tangerang Selatan melainkan masuk ke Kabupaten Tangerang. Seharusnya pendapatan dari retribusi pasar bisa dimanfaatkan kembali untuk melakukan penataan pasar. Faktor ekonomi seperti ini yang diduga kuat menjadi salah satu hal yang meyebabkan terjadinya sengketa aset daerah pasca pemekaran wilayah. Pihak Kabupaten Tangerang selaku daerah induk hingga saat ini masih melakukan kajian terkait penyerahan aset tersebut terutama dengan masalah kontrak dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah pihak swasta. Peneliti tertarik melakukan penelitian ini karena melihat realita di era otonomi daerah seperti sekarang ini, yang seharusnya daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri dalam memberikan pelayanan dan mempercepat pembangunan masih harus terganjal dengan masalahmasalah seperti sengketa aset daerah. Aset daerah seharusnya menjadi salah satu pemasukan keuangan daerah yang dapat digunakan untuk pembangunan di daerah otonom baru. Konflik atas aset daerah ini terjadi antara dua Kota/Kabupaten yang berada dalam satu provinsi dimana kedua belah pihak sama-sama ingin memperoleh dan mempertahankan kepentingan daerahnya, Pemerintah Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk seharusnya menjalin kerjasama yang baik dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan guna meningkatkan kesejahteraan bersama
6
dan mencegah ketimpangan antar daerah. Maka dari uraian pernyataan masalah diatas, peneliti melakukan penelitian tentang permasalahan aset di daerah pemekaran karena belum diserahkannya aset daerah berupa 6 pasar tradisional (Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau) selama 5 tahun berdirinya Kota Tangerang Selatan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang. B. Pertanyaan Penelitian Skripsi ini secara umum ingin memberikan analisa tentang permasalahan aset daerah yang terjadi di Kota Tangerang Selatan. Peneliti membatasi penulisan sengketa aset yang dimaksud khususnya pada permasalahan dalam serah terima 6 aset pasar tradisional yaitu Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau yang sampai saat ini belum diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang. Peneliti memfokuskan untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan sebagai berikut: 1. Mengapa serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan mengalami kendala? 2. Apa dampak yang ditimbulkan dari terkendalanya serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan? 3. Bagaimanakah proses penyelesaian serah terima aset pasar tradisional antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan Kota Tangerang selatan?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian: a. Untuk mengetahui mengapa serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan mengalami kendala. b. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari terkendalanya serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. c. Untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian serah terima aset pasar tradisional antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan Kota Tangerang selatan. 2. Manfaat penelitian: Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang terdiri dari manfaat akademis dan manfaat praktis. a. Manfaat Akademis 1) Penelitian ini bermanfaat memberi informasi mengapa serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan mengalami kendala. 2) Penelitian
ini
bermanfaat
memberi
informasi
dampak
yang
ditimbulkan dari terkendalanya serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. 3) Penelitian ini bermanfaat memberi informasi bagaimana proses penyelesaian serah terima aset pasar tradisional antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan. 4) Penelitian ini memberi manfaat bagi pengembangan Ilmu Politik dalam hal otonomi daerah khususnya dalam bidang pemekaran
8
wilayah, yang menggambarkan tentang realita setelah pemekaran wilayah yang masih meninggalkan masalah seperti sengketa aset daerah. b. Manfaat Praktis 1) Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi literatur keilmuan serta menjadikan penulisan ini sebagai literatur dalam bidang Ilmu Politik. 2) Menambah informasi bagi penulisan skripsi yang serupa di waktu yang akan datang. D. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, sebelumnya telah terdapat penelitian yang mengkaji tentang permasalahan aset daerah di era otonomi. Pertama, Jurnal ilmiah yang berjudul “Sengketa Wilayah Perbatasan Gunung Kelud antara Pemerintah Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah” dengan nama peneliti Ade Laurens mahasiswa Universitas Surabaya. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan perbedaan dengan penelitian yang penulis buat diantaranya mengenai aset daerah yang menjadi sengketa dan daerah yang bersengketa yang diteliti oleh penulis sebelumnya adalah sengketa perbatasan objek pariwisata Gunung Kelud yang merupakan salah satu sumber pendapatan daerah antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri. Dalam pengelolaan aset ini antara Pemerintah Kabupaten Blitar dengan Pemerintah Kabupaten Kediri tidak membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan
9
kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah, melainkan kedua daerah ini mempermasalahkannya sehingga menjadikan konflik antar wilayah. Sedangkan pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. Kedua, penelitian yang berjudul “Sengketa Pasca Pemekaran Kota dan Kabupaten Tasikmalaya” yang dilakukan oleh Fitriyani Yuliawati, S.IP dan Subhan Agung, S.IP, MA dari laboratorium ilmu politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Dalam penelitian ini menunjukan bahwa sengketa aset daerah antara Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya terjadi karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda dalam sengketa tersebut. Kabupaten Tasikmalaya menginginkan agar penyerahan aset tersebut dibarengi dengan ganti rugi untuk Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan pihak Kota Tasikmalaya berpegang pada peraturan yang ada tentang pembentukan Kota Tasikmalaya. Dari penelitian ini yang membedakan adalah peneliti lebih terfokus pada permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. Ketiga, Peneliti membahas buku yang terkait dengan Otonomi Daerah yang di dalamnya juga terdapat konflik dalam Otonomi Daerah diantaranya konflik sumber pendapatan dan pengelolaan aset daerah yaitu buku yang ditulis oleh Pheni Chalid berjudul “Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik”. Dalam buku ini dijelaskan bahwa konflik pengelolaan sumber pendapatan daerah terjadi karena kekurangpahaman daerah atas pembagian kepemilikan aset daerah antara provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai contoh Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah tingkat II yang tidak memiliki sumber
10
daya alam (SDA). Untuk itu pemerintah Kabupaten Sidoarjo berupaya menginvetarisasi peluang-peluang yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Salah satu peluang yang coba dibidik adalah kawasan Bandara Juanda yang secara geografis berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, namun sebenarnya merupakan aset provinsi. Selain itu Pemerintah Daerah Sidoarjo juga menuntut adanya pembagian dari pajak dan retribusi pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) yang ditarik oleh provinsi. Konflik pengelolaan aset yang menjadi sumber pendapatan asli daerah tidak hanya terjadi antara daerah, tapi juga antara pusat dan daerah, karena ketidakjelasan pembagian aset. Seperti yang terjadi antara pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat dalam hal pengelolaan Bandara Internasional SoekarnoHatta, jalan tol, dan kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, kawasan Kemayoran dan Senayan. Pengelolaan kelima aset tersebut berdasarkan UU 25/1999 seharusnya berada dalam kewenangan pemerintah daerah DKI, namun demikian dalam praktiknya pemerintah pusat masih enggan menyerahkan pengelolaan kelima aset tersebut ke tangan pemerintah daerah DKI Jakarta. Adapun hal yang membedakan dari buku ini terletak pada aset daerah dan daerah yang bermasalah, yaitu peneliti memfokuskan pada permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.
11
E. Metodelogi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian kualitatif akan menghasilkan prosedur analisis dan tidak menggunakan analisis data statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Secara prosedur menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang diamati, seperti dinyatakan oleh Lexy J. Moleong dalam buku metode penelitian kualitatif.8 Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam mengkaji permasalahan ini adalah pendekatan kualitatif, karena sesuai dengan penelitian yang diambil oleh peneliti yaitu melihat sedetail mungkin permasalahan aset daerah di Kota Tangerang Selatan yang terfokus pada serah terima 6 aset pasar tradisional (Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau). 2. Tempat dan Waktu Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian yang telah disebutkan maka pelaksanaan dalam penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang, khususnya pada institusi Pemerintah Daerah yang berwenang menangani aset daerah. Sedangkan waktu penelitian dilakukan secara bertahap hingga penelitian selesai. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara (interview) adalah pertemuan antara peneliti dan responden, dimana pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung
8
Lexy J.Moleong.Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:Rosdakarya,2006). H. 4.
12
oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder). Teknik wawancara juga dapat dilakukan dengan telepon.9 Dalam penelitian ini, Peneliti melakukan wawancara dengan informan sejumlah 3 (tiga) orang yang berasal dari dinas dan perusahaan yang mengelola aset daerah yaitu: 1). Sugeng Setiarso sebagai Kasi Mutasi Aset Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan, 2). Sutono sebagai Kasubag Inventarisasi bidang aset Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang dan 3). Nurachman sebagai Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Kedua dinas dan perusahaan daerah tersebut adalah pihak yang berwenang dalam mengurusi aset daerah khususnya pasar tradisional yang diharapkan dapat memberikan informasi sedetail mungkin kepada peneliti dalam menyelesaikan penelitian tentang permasalahan aset daerah yang terjadi antara Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Maka dalam pemilihan narasumber, peneliti menggunakan purposive sampling. Informan ditentukan selaras dengan maksud dan tujuan penelitian yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini.10 Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, recorder dan buku catatan. Pedoman wawancara digunakan agar peneliti dapat menyaring apa saja yang seharusnya ditanyakan agar fokus pada permasalahan yang diteliti. Recorder digunakan untuk merekam subjek yang difokuskan yaitu Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan Pemerintah Kabupaten 9
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h.
67. 10
Lisa Harrison, Metode Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 26.
13
Tangerang yang menangani aset daerah. Buku catatan dipergunakan untuk mencatat hal-hal yang tidak direkam. b. Dokumentasi Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk memeroleh data sekunder melalui literatur dengan tujuan untuk memeroleh bahan-bahan yang memberikan penjelasan dari bahan primer maupun hasil penelitian, jurnal, karya tulis, dokumen-dokumen resmi seperti: Undang-Undang pembentukan daerah, surat-surat resmi dan sebagainya. 4. Sumber dan Jenis Data Sumber data diperoleh dari telaah dokumen-dokumen yang peneliti masukan serta hasil dari observasi dan wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti. Sebelum digunakan dalam proses analisis, data dikelompokan terlebih dahulu sesuai dengan jenis dan karakteristik yang menyertainya. Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan atas dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari wawancara.11 Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dan dari dokumen-dokumen yang ada. 5. Analisis Data Penelitian Analisis data penelitian dilakukan untuk mengelola data yang sudah dikumpulkan, peneliti menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang diupayakan untuk mengamati permasalahan secara 11
Pupuh Fathurahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 146.
14
sistematis dan akurat mengenai fakta dan sifat objek tertentu.12 Analisis deskriptif dalam kualitatif fokusnya pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing, dan seringkali digambarkan di dalam kata-kata dari pada di dalam angka-angka. Untuk itu data perlu disusun kedalam pola tertentu, kategori tertentu, tema tertentu atau pokok permasalahan tertentu. Karenanya setiap hasil dari pengumpulan data, baik itu dari hasil wawancara, observasi ataupun dari sejumlah dokumen perlu di reduksi dan dimasukan kedalam pola, kategori, fokus, atau tema tertentu yang sesuai. Hasil reduksi tersebut perlu di tampilkan secara tertentu untuk masing-masing pola, kategori,
fokus,
atau
tema
yang
hendak
dipahami
dan
dimengerti
permasalahannya. Pada akhirnya peneliti dapat mengambil kesimpulankesimpulan tertentu dari hasil pemahaman dan pengertiannya.13 Adapun untuk panduan penulisan, penelitian ini berdasarkan pada buku Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi, yang di terbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012. F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan, maka dalam skripsi ini pembahasannya akan terbagi menjadi lima bab dan masing-masing bab akan terbagi lagi menjadi sub-sub bab yang terdiri sebagai berikut:
12 13
Ibid., h. 100. Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h.
256.
15
BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
LANDASAN TEORI Dalam bab ini menjelaskan teori dan konsep yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu teori konflik dan konsep pemekaran wilayah.
BAB III
GAMBARAN UMUM KABUPATEN TANGERANG DAN KOTA TANGERANG SELATAN Dalam bab ini membahas gambaran umum daerah Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk dan Kota Tangerang Selatan sebagai daerah hasil pemekaran.
BAB IV
PERMASALAHAN
ASET
DAERAH
KOTA
TANGERANG SELATAN Dalam bab ini menjelaskan permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan yang membahas
penyebab
permasalahan,
ditimbulkan dan proses penyelesaiannya.
16
dampak
yang
BAB V
PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan saran yang berkaitan dengan masalah yang dibahas untuk memperoleh solusi atas permasalahan tersebut.
17
BAB II LANDASAN TEORI
Telah disebutkan sebelumnya bahwa fokus penelitian ini adalah permasalahan serah terima aset daerah yaitu 6 pasar tradisional antara Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Berkaitan dengan tema tersebut, permasalahan ini merupakan salah satu kasus dari sejumlah permasalahan atas aset pasca pemekaran daerah yang terjadi di daerah lain. Hal ini ditunjukan dengan beberapa bahasan ataupun studi berkaitan dengan tema tersebut yang beberapa diantaranya digunakan dalan penelitian ini sebagai referensi. Oleh karena itu, dalam bab ini diuraikan secara teoretis mengenai konflik di era otonomi. Disamping itu juga perlu di kemukakan konsep pemekaran wilayah sebagai batasan yang digunakan dalam penelitian ini. A. Konflik Di dalam dunia politik, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum merupakan upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan upaya itu, sering terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara pelbagai pihak. Dalam hal ini antara pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan, antara pihak yang sama-sama berupaya
18
keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang sama-sama mempertahankan nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai.14 1. Pengertian Konflik Konflik secara sederhana dapat diartikan sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau mengalahkan atau menyisihkan.15 Di dalam dunia politik: “tiada lawan yang abadi dan tiada pula kawan abadi, kecuali kepentingan abadi.” Sehingga konflik kepentingan identik dengan konflik politik. Realitas politik selalu diwarnai oleh dua kelompok yang memiliki kepentingan yang saling berbenturan. Benturan kepentingan tersebut disebabkan oleh gejala satu pihak ingin merebut kekuasaan dan kewenangan, di pihak lain terdapat kelompok yang berusaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan yang sudah ada di tangan mereka.16 Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme dan revolusi. Konflik mengandung arti benturan, seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok dengan pemerintah. Masing-masing pihak yang berkonflik berupaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber yang sama, yang kemudian akan menuju kearah kesepakatan dan kekerasan bukan
14
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 10. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 348. 16 Ibid., h. 353. 15
19
satu-satunya cara penyelesaian.17 Konflik politik digambarkan secara umum sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah.18 Otonomi daerah seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat terlaksana dengan baik apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diiringi dengan sumber-sumber pendapatan yang cukup kepada daerah. Salah satu sumber pendapatan daerah adalah yang berasal dari aset-aset yang dimiliki oleh daerah tersebut. Maka aset daerah menjadi penting dalam mempengaruhi pendapatan yang diterima oleh daerah. Namun pada kenyataannya pasca pemekaran sebuah daerah, aset daerah menjadi perebutan antar daerah yang menimbulkan permasalahan. Sehingga penelitian ini menggunakan perspektif teori konflik dalam bingkai otonomi daerah. Pada dasarnya konflik tercipta dari kompetisi memperebutkan akses terhadap otoritas (kekuasaan) dan sumber ekonomi atau kemakmuran dari aktoraktor yang berkepentingan.19 Pada era otonomi daerah, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar. Sehingga daerah akan merasa terancam
17
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 191. Ibid.,h. 193. 19 Syamsul Hadi, dkk, DisintegrasiPasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 272. 18
20
kepentingan politik dan ekonominya bila gagal mempertahankan sumber-sumber yang bisa meningkatkan pendapatan daerah. Hal tersebut dapat menjadi latar belakang timbulnya konflik dan kesalahpahaman antar daerah. Otonomi sering diterjemahkan oleh kabupaten/kota lebih dari sekedar dapat mengatur rumah tangganya sendiri, sehingga tidak mau dicampuri oleh pihak lain walaupun dalam konteks koordinasi dan sinkronisasi antar daerah. Di samping itu, kabupaten/kota sering menerjemahkan otonomi ini sebagai kewenangan untuk menggali pendapatan daerah yang sebanyak-banyaknya melalui pajak dan retribusi serta eksploitasi sumber daya alam dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang dan generasi mendatang.20 Pruitt dan Rubin dalam Teori Konflik Sosial21 menjelaskan bahwa konflik terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak dan lebih jauh masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki obyek tersebut. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya obyek bernilai yang dianggap berhak dimiliki oleh masing masing pihak sehingga menimbulkan konflik. 2. Penyelesaian Konflik Konflik merupakan gejala yang tidak mungkin dapat dihilangkan, maka konflik hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Perbedaan, persaingan, 20
Nanang Kristiyono, “Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang; Analisis terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya,” (Tesis Magister Ilmu Politik, Universitas Dipinegoro Semarang, 2008), h. 11. 21 Dean G. Pruit & Jeffrey Z Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 26.
21
dan pertentangan dalam upaya mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai yang dianggap penting dapat diselesaikan melalui mekanisme yang disepakati bersama. Dialog dan musyawarah untuk mencapai mufakat, dialog untuk mengadakan pemungutan suara (voting), atau perpaduan keduanya merupakan beberapa bentuk mekanisme untuk mencapai kesepakatan berupa keputusan politik. bentuk lain dari kesepakatan itu berupa kerjasama dalam bentuk koalisi dan aliansi untuk membuat dan melaksanakan keputusan. Sebagaimana dinyatakan oleh Gaetano Mosca, pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik dan stabil serta berhasil apabila terjadi koalisi atau kerjasama antara satu atau lebih kekuatan politik.22 Apabila pertentangan itu belum juga dapat mencapai kesepakatan antara pihak yang berkonflik dan dianggap akan menggangu kepentingan umum kalau tidak ditangani, maka permasalahan tersebut dapat dibawa ke lembaga pengadilan (lembaga pemerintah), dimana pemerintah bertindak sebagai mediator maupun sebagai arbitrator.23 Penyelesaian konflik (conflict resolution) lebih merujuk kepada sebabsebab konflik dari pada manifestasi konflik. Maka selama ada antagonisme kepentingan didalamnya, konflik akan selalu terjadi dan konflik tidak akan pernah dapat diselesaikan. Maka dalam hal ini dibutuhkan pengaturan konflik berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik dari pada sebab-sebab konflik, maka konflik dapat diatur sehingga tidak menimbulkan perpecahan. Menurut Ralf Dahrendorf dalam Memahami Ilmu Politik Ramlan
22 23
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 24. Ibid., h. 192.
22
Subakti, pengaturan konflik yang efektif bergantung pada tiga faktor. 24 Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan keadaan konflik yang terjadi diantara mereka (adanya pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain). Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir secara rapi, tidak tercerai-berai, dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak memahami dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main (rules of the game) yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi diantara mereka. Lalu Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik, yaitu: a. Konsiliasi, yaitu mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik di lembaga seperti parlemen atau kuasi-parlemen dimana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan dalam mencapai kesepakatan tidak ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak. Kebanyakan konflik politik disalurkan dan diatur dengan bentuk konsiliasi; b. Mediasi, yaitu kedua belah pihak yang berkonflik sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga (seorang mediator berupa tokoh, ahli atau lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian yang mendalam mengenai hal yang dipertentangkan); c. Arbitrasi, yaitu kedua belah pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator.
24
Ibid., h. 204-205.
23
Ketiga bentuk pengaturan konflik ini dapat dilaksanakan salah satunya atau bahkan ketiganya secara bertahap. B. Pemekaran Wilayah 1. Konsep Pemekaran Wilayah Sejak diberlakukannya otonomi daerah, proses pemekaran wilayah terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali. Secara umum pemekaran wilayah adalah pembentukan wilayah administrasi baru di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dari daerah induknya. Pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan pelayanan bagi masyarakat. Pada dasarnya pembentukan satu daerah dalam struktur Negara Indonesia sebagai subsistem dimaksudkan demi meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.25 Pemekaran wilayah dipahami sebagai wujud kedewasaan dan harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah dan masyarakatnya yang diharapkan mampu menjadi media untuk membuka simpul-simpul keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehingga perlu dibuka kesempatan bagi daerah tersebut untuk mendirikan pemerintahan sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki.26
25
B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 109. 26 Dede Mariana dan Caroline Paskarina, Demokrasi & Politik Desentralisasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h. 179.
24
Djohermansyah Djohan dalam “Blue Print Otonomi Daerah Indonesia” menjelaskan konsep pemekaran daerah dari tiga dimensi, yaitu: dimensi politik, dimensi administrasi/teknis, dan dimensi kesenjangan wilayah.27 a. Dimensi Politik Kebutuhan akan desentralisasi atau pembentukan daerah otonom sejak awal sebenarnya bukan didasarkan pada pertimbangan teknis, tetapi merupakan hasil dari tarik menarik atau konflik politik antara daerah dan pusat. Dimensi politik dari pembentukan daerah yaitu pemerintahan yang dilokalisir sebagai bagian dari suatu landasan untuk kesamaan dan kebebasan politik. Dimensi politik desentralisasi mencakup beberapa faktor, antara lain: 1). Faktor geografis, 2). Faktor sosial-budaya, 3). Faktor demografi, dan 4). Faktor sejarah. Faktor geografi pembentukan daerah otonom adalah faktor yang terkait dengan pembentukan daerah otonom sebagai akibat munculnya ikatan-ikatan yang bermotif politik antara masyarakat yang tinggal di suatu daerah. Ikatan tersebut dapat dilatarbelakangi oleh kesatuan geografis maupun sejarah, sehinngga masyarakat merasa dihubungkan oleh suatu ikatan secara politis. Kuat lemahnya ikatan tersebut sangat tergantung kepada seberapa besar daya tarik politik terhadap hadirnya kesatuan masyarakat tersebut sebagai suatu kesatuan politis. Faktor sosial budaya mengansumsikan jika suatu masyarakat terikat dengan suatu sistem budaya tersendiri yang memberi perbedaan identitas budaya dengan masyarakat lain, maka secara politis ikatan kesatuan masyarakat tersebut
27
M. Zaki Mubarak, dkk, Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, 2007), h. 120-130.
25
akan lebih kuat. Faktor ini secara langsung terkait dengan persoalan etnisitas dan mungkin saja keagamaan. Faktor demografi mengansumsikan bahwa homogenitas penduduk akan mendorong lahirnya kesatuan penduduk secara politis. Suatu masyarakat dengan penduduknya yang homogen, akan memiliki tingkat kesatuan politis yang lebih tinggi dibanding masyarakat yang heterogen, jika faktor homogenitas ini dikolaborasikan dengan kesatuan secara geografis, maka secara politis kekuatan pembentukan kesatuan masyarakat tersebut akan lebih kuat dan secara langsung akan semakin mendorong tuntutan terbentuknya daerah otonom. Faktor sejarah memberikan asumsi bahwa struktur sejarah kepemerintahan masa lalu dari suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap keinginan masyarakat tersebut menjadi suatu daerah otonom. Meskipun sejarah kadang-kadang berlangsung secara terputus-putus dalam kurun waktu yang cukup panjang, tetapi tetap menjadi salah satu faktor yang sering mengikuti kemunculan suatu daerah otonomi. Apalagi jika simbol-simbol sejarah tersebut masih kental dalam suatu masyarakat, walaupun hanya dalan bentuk tatanan dan upacara-upacara budaya. Faktor-faktor di atas pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Keempat faktor politis itu saling terkait dan saling berhubungan dalam proses pembentukan suatu daerah otonom. Biasanya salah satu faktor diantara keempat faktor tersebut ada yang lebih dominan dibanding faktor lainnya, tetapi kadang semua faktor di atas berpengaruh merata dan komperehensif dalam pembentukan suatu daerah otonom.
26
b. Dimensi Administrasi/Teknis Kebutuhan desentralisasi dari perspektif administrasi adalah untuk membangun hubungan dengan wilayah pelayanan dengan membentuk organisasi pelaksana di wilayah kerja atau daerah untuk sejumlah tugas-tugas. Wilayahwilayah yang diberi status otonom atau yang didesentralisasikan diyakini akan meningkatkan pelaksanaan administrasi dan pelayanan kepada masyarakat, karena desentralisasi dapat memberi peluang pada penyesuaian administrasi dan pelayanan terhadap karakteristik wilayah-wilayah yang beraneka ragam sebagai konsekuensi dari perbedaan-perbedaan yang membentuk geografis. Geografi dalam pengertian fisik menjadi dasar penentuan batas-batas administrasi, dimana suatu wilayah geografis dengan wilayah yang relaif kecil diharapkan tepat untuk: 1) Pelayanan lebih optimal, karena wilayah pelayanan relatif sempit. 2) Pemerintahan lebih responsif karena lebih dekat dengan komunitas yang dilayani. 3) Partisipasi masyarakat lebih meluas karena akses masyarakat yang relatif terbuka. 4) Konsultasi masyarakat menjadi lebih mudah karena kedekatan instansi pemerintahan dengan masyarakat. 5) Pengawasan menjadi lebih efektif karena wilayah pengawasan yang relatif sempit. Dari sudut pandang administrasi, pemberian desentralisasi selain menyangkut soal teknis pelaksanaan juga pembentukan kelembagaan yang obyektif. Dimensi teknis pembentukan daerah otonom juga terkait dengan aspek-
27
aspek ekonomi. pembahasan aspek-aspek ekonomi sebagai dasar pembentukan daerah otonom baru muncul setelah banyaknya berkembang kota-kota yang tumbuh sebagai akibat dari perkembangan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, khususnya industrialisasi telah melahirkan konsep baru tentang kemunculan daerah otonom. Menurut teori ini, daerah otonom tidak mungkin terbentuk jika daerah tidak dapat memenuhi pelayanan minimal yang dibutuhkan oleh masyarakat. c. Dimensi Kesenjangan Wilayah Banyak kasus dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional dalam hubungannya dengan pemerintahan daerah sering terjadi ketidakseimbangan perkembangan antar daerah. Ada daerah yang menjadi sangat maju, tetapi sebaliknya ada daerah yang relatif tidak berkembang dan bahkan mengalami kemunduran setelah berjalannya pemerintahan. Hubungan antar daerah yang maju dengan yang kurang maju tersebut tidaklah menimbulkan permasalahan, sepanjang hubungan tersebut bersifat komplementer. Tetapi berbeda jika hubungannya berkembang jauh menjadi kooptasi daerah maju terhadap daerah kurang maju, sehingga menimbulkan perlawanan dari daerah kurang maju. Konsep inilah yang melandasi pemikiran hubungan antara daerah dalam melihat persoalan pembentukan daerah otonom. Menurut teori ini daerah otonom terbentuk karena munculnya kesenjangan antara wilayah dalam suatu daerah. Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran telah memenuhi persyaratan yang telah disebutkan Peraturan Pemerintah No 78
28
Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administratif meliputi persetujuan DPRD kabupaten/kota induk, persetujuan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sementara syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertanahan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintah daerah. Sedangkan persyaratan fisik meliputi paling sedikit 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintah. Dengan demikian, Kota Tangerang Selatan telah resmi menjadi daerah otonom baru dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Pemekaran wilayah di satu sisi perlu di syukuri karena memberikan tempat bagi aspirasi, keberagaman dan otonomi lokal. Namun di sisi lain fenomena pemekaran wilayah dirasa cukup mengkawatirkan melihat pemekaran daerah terwujud hanya demi kepentingan politik segelintir orang, sehingga menyebabkan persoalan seperti tidak tersedianya infrastruktur, pembiayaan dan personil, dan ketergantungan kepada daerah induk dan pemerintah pusat. Bahkan dibeberapa daerah muncul konflik horizontal antar masyarakat daerah dan konflik vertikal antara daerah pemekaran dan daerah induk.28
28
Ibid., h. 118.
29
Contoh
permasalahan
yang
timbul
di
daerah-daerah
pemekaran
misalnya:29 1). Konflik dengan kekerasan; 2). Menurunnya jumlah penduduk dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara drastis; 3). Menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk; 4). Perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran, dan; 5). Perebutan aset daerah. 2. Hak dan Kewajiban Daerah Setelah dilakukan pemekaran wilayah dengan disahkannya sebuah daerah menjadi daerah otonom baru, daerah mempunya hak dan kewajiban dalam menjalankan pemerintahan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dimana dalam penyelenggaraan otonomi, daerah mempunyai hak yang diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut:30 a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; b. Memilih pimpinan daerah; c. Mengelola aparatur daerah; d. Mengelola kekayaan daerah; e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah; f. Mendapatkan hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; g. Mendapatkan sumber-sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
29
Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 16-17. 30 B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 115.
30
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Sedangkan dalam pasal 22 dijelaskan dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban sebagai berikut: a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat; c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mewujudkan keadilan dan pemerataan; e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; h. mengembangkan sistem jaminan sosial; i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah; k. melestarikan lingkungan hidup; l. mengelola administrasi kependudukan; m. melestarikan nilai sosial budaya; n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Daerah otonomi baru juga mendapatkan pembinaan awal dari pemerintah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
31
Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah. Dijelaskan dalam pasal 24 Pemerintah melakukan pembinaan melalui fasilitasi terhadap daerah otonom baru sejak peresmian daerah dan pelantikan pejabat kepala daerah. Pemberian fasilitasi tersebut berupa:31 a. Penyusunan perangkat daerah; b. Pengisian personil; c. Pengisian anggota DPRD; d. Penyusunan APBD; e. Pemberian hibah dari daerah induk dan pemberian bantuan dari provinsi; f. Pemindahan personil, pengalihan aset, pembiayaan dan dokumen; g. Penyusunan rencana umum tata ruang daerah; dan h. Dukungan bantuan teknis infrastruktur penguatan investasi daerah. Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menjalankan urusan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dan Perarturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 terdapat urusan wajib, yaitu urusan wajib provinsi dan urusan wajib kabupaten/kota. Sedangkan
31
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 pasal 24 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
32
dalam PP No.38 Tahun 2007, urusan wajib pemerintah daerah tidak dibagi dua seperti yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004. Urusan wajib kabupaten/kota yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 meliputi: a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. Fasilitasi pengambangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan; l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
33
Dalam PP No. 38 tahun 2007 pasal 7 ayat (2) urusan yang wajib diselenggarakan
oleh
pemerintahan
daerah
provinsi
kabupaten/kota meliputi: a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Lingkungan hidup; d. Pekerjaan umum; e. Penataan ruang; f. Perencanaan pembangunan; g. Perumahan; h. Kepemudaan dan olahraga; i. Penanaman modal; j. Koperasi, dan usaha kesil dan menengah; k. Kependudukan dan catatan sipil; l. Ketenagakerjaan; m. Ketahanan pangan; n. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; o. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera; p. Perhubungan; q. Komunikasi dan informatika; r. Pertanahan; s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
34
dan
pemerintahan
t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; u. Pemberdayaan masyarakat dan desa; v. Sosial; w. Kebudayaan; x. Statistik; y. Kearsipan; dan z. Perpustakaan. Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Hal ini terdapat dalam pasal 13 ayat (2) dan pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004. Sementara itu, dalam pasal 7 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007, urusan pilihan pemerintahan daerah meliputi: a. Kelautan dan perikanan; b. Pertanian; c. Kehutanan; d. Energy dan sumber daya mineral; e. Pariwisata; f. Industri; g. Perdagangan; dan h. Ketransmigrasian.
35
Aset daerah menjadi salah satu hak daerah pemekaran demi kelancaran kegiatan pemerintahan daerah. Kota Tangerang Selatan mempunyai hak atas aset daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Proses penyerahan aset daerah diatur dalam pasal 13, sebagai berikut: 1) Bupati Tangerang bersama Penjabat Walikota Tangerang Selatan menginventarisasi, mengatur, serta melaksanakan pemindahan personel, penyerahan aset dan dokumen kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan. 2) Pemindahan personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak pelantikan penjabat walikota. 3) Penyerahan aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 5 (lima) tahun sejak pelantikan penjabat walikota. 4) Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pegawai negeri sipil yang karena tugas dan kemampuannya diperlukan oleh Kota Tangerang Selatan. 5) Pemindahan personel serta penyerahan aset dan dokumen kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Gubernur Banten. 6) Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selama belum ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tangerang Selatan dibebankan pada anggaran pendapatan dan
36
belanja dari asal satuan kerja personel yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7) Aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) meliputi: a. barang milik dan/atau yang dikuasai baik barang bergerak maupun tidak bergerak dan/atau yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang berada dalam wilayah Kota Tangerang Selatan; b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tangerang yang kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Tangerang Selatan; c. utang piutang Kabupaten Tangerang yang kegunaannya untuk Kota Tangerang Selatan; dan d. dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh Kota Tangerang Selatan. 8) Apabila penyerahan dan pemindahan aset serta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dilaksanakan oleh Bupati Tangerang, Gubernur Banten selaku wakil Pemerintah wajib menyelesaikannya. 9) Pelaksanaan pemindahan personel serta penyerahan aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur Banten kepada Menteri Dalam Negeri. Daerah dalam menjalankan otonomi diberi hak, kewenangan, dan kewajiban untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, termasuk salah satunya untuk mengelola barang milik
37
daerah. Pengelolaan barang milik daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dinyatakan dalam Pasal 2 bahwa Pengelolaan Barang Daerah, sebagai bagian dari Pengelolaan Keuangan Daerah, dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan barang Pemerintah. Kabupaten Tangerang mengelola barang milik daerah salah satunya dengan mendirikan Perusahaan Daerah. Terkait dengan pasar tradisional, didirikan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja dengan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 25 Tahun 2004 Tentang Perusahaan Daerah Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Pembentukan ini dijelaskan dalam pasal 2, sebagai berikut: 1) Dengan Peraturan Daerah ini dibentuk Perusahaan Daerah yang bernama Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang; 2) Dalam statusnya sebagai badan hukum, Perusahaan Daerah berhak menyelenggarakan kegiatan usaha perpasaran menurut ketentuan yang berlaku; Tempat kedudukan dan wilayah kerja PD.Pasar Niaga Kerta Raharja di jelaskan dalam pasal 3 dan pasal 4, tempat kedudukan dalam pasal 3 disebutkan Perusahaan Daerah berkedudukan di Daerah. Wilayah kerja disebutkan dalam pasal 4, sebagai berikut: 1) Untuk menyelenggarakan kegiatan dan usaha sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2), perusahaan Daerah memiliki wilayah kerja yang meliputi seluruh Daerah.
38
2) Perusahaan Daerah dapat menyelenggarakan kegiatan dan usaha diluar wilayah kerja yang ditetapkan pada ayat (1), sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. 3) Perusahaan Daerah melakukan kegiatan secara otonom dan mandiri termasuk dengan pihak-pihak yang berkeinginan untuk kerjasama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas dan tujuan dijelaskan dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 8. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Perusahaan Daerah dalam melaksanakan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi yang mengedepankan profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas. Tujuan dari PD.Pasar dijelaskan dalam pasal 6, yaitu: 1) Melakukan perencanaan, pengembangan dan atau pembangunan pasar; 2) Pemeliharaan dan pengawasan terhadap pasar; 3) Pelaksanaan pembinaan terhadap para pedagang/pelaku usaha dan masyarakat pengguna pasar; 4) Pemberian fasilitas dalam rangka penciptaan stabilitas harga dan kelancaran arus distribusi barang dipasar; 5) Meningkatkan nilai ekonomi dari Pasar Pemerintah Kabupaten Tangerang. Pasal 7 menjelaskan dalam rangka pelaksanaan asas dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 6, Perusahaan Daerah dapat mengadakan hubungan kerjasama dengan institusi pemerintahan dan atau institusi non-pemerintahan, baik di dalam maupun diluar Daerah. Selanjutnya, Pasal 8 menjelaskan Perusahaan Daerah dapat mengadakan penganekaragaman usaha
39
dalam rangka penyelenggaraan asas dan tujuan sebagaimana dimaksud pada pasal 5 dan pasal 6. Permodalan PD.Pasar diatur dalam pasal 9, dimana disebutkan bahwa: 1) Modal dasar Perusahaan Daerah meliputi tanah, bangunan fasilitas penunjang pasar, alat perlengkapan kantor, barang berharga lainnya dan bagi hasil dari kerjasama pembangunan pasar dengan pihak ketiga berikut fasilitas penunjang lainnya yang saat ini dikelola dan/atau dipergunakan oleh Unit Pelaksana Teknis Pasar Kabupaten Tangerang senilai Rp. 29.057.205.900,- (dua puluh Sembilan milyar lima puluh tujuh juta dua ratus lima ribu Sembilan ratus rupiah); 2) Modal dasar Perusahaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan aset yang dipisahkan dari kekayaan Daerah; 3) Modal Dasar yang berupa tagihan terhadap pihak ketiga hasil kerjasama sebesar Rp. 1.428.986.400,- (satu milyar empat ratus dua puluh delapan juta Sembilan ratus delapan puluh enam ribu empat ratus rupiah); 4) Modal dasar Perusahaan Daerah tersebut dapat ditambah atau dikurangi dengan melalui peraturan daerah. 3. Aset Daerah Aset daerah atau barang milik daerah merupakan salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang harus dikelola dengan baik, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Menurut Mahmudi dalam buku “Manajemen Keuangan Daerah”32, Aset daerah adalah
32
Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 146.
40
semua kekayaan daerah yang dimiliki maupun yang dikuasai pemerintah daerah, yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, misalnya sumbangan, hadiah, donasi, waqaf, hibah, swadaya, kewajiban pihak ketiga, dan sebagainya. Secara umum aset daerah dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu aset keuangan dan aset non keuangan. Aset keuangan meliputi kas dan setara kas, piutang serta surat berharga baik berupa investasi jangka pendek maupun jangka panjang. Aset non keuangan meliputi aset tetap, aset lainnya dan persediaan. Sementara itu jika dilihat dari penggunaannya, aset daerah dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1) aset daerah yang digunakan untuk operasional pemerintah daerah (local government used assets), 2) aset daerah yang digunakan masyarakat dalam rangka pelayanan publik (social used assets), 3) aset daerah yang tidak digunakan untuk pemerintah maupun public (surplus property). Aset daerah jenis ketiga tersebut pada dasarnya merupakan aset yang menganggur dan perlu dioptimalkan pemanfaatannya.33 Dari penjelasan diatas, yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu aset daerah Kota Tangerang Selatan yang berasal dari barang milik daerah Kabupaten Tangerang baik itu yang bergerak maupun tidak bergerak. Aset tersebut dapat berupa tanah, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, peralatan dan mesin, BUMD dan aset tetap lainnya. Aset pasar tradisional yang merupakan permasalahan dalam penelitian ini adalah salah satu badan usaha milik daerah
33
Ibid., h. 146.
41
(BUMD) milik Kabupaten Tangerang yang berada di Kota Tangerang Selatan yang sampai saat ini belum diserahkan kepada Kota Tangerang Selatan. Aset Kabupaten Tangerang yang berupa barang tidak bergerak dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Tangerang Selatan wajib diserahkan seluruhnya kepada Kota Tangerang Selatan. Sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan Kota Tangerang Selatan. Penyerahan aset ini dilakukan secara bertahap dan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan pejabat walikota.34
34
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan
42
BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN TANGERANG DAN KOTA TANGERANG SELATAN
A. Kabupaten Tangerang Kabupaten Tangerang adalah salah satu bagian dari provinsi Banten yang mempunyai
pemerintahan
menyelenggarakan
sama
pemerintahan,
dengan
kabupaten
Kabupaten
lainnya.
Tangerang
memiliki
Dalam unit
pemerintahan antara lain kecamatan yang terdiri atas beberapa kelurahan dan desa. Kabupaten ini memiliki unit pemerintahan sebanyak 29 kecamatan, 28 kelurahan, dan 246 desa. Kabupaten Tangerang saat ini berada dibawah pimpinan Bupati Ahmed Zaki Iskandar, B.Bus, SE dan Wakil Bupati Drs. H. Hermasyah, MM untuk periode 2013-2018. 1. Sejarah Sejarah menceritakan pada saat kesultanan Banten terdesak oleh Agresi Militer Belanda di pertengahan abad ke-16, ditugaskan tiga maulana yang berpangkat
Tumenggung
yaitu:
Tumenggung
Aria
Yudhanegara,
Aria
Wangsakara, dan Aria Jaya Santika untuk membuat wilayah pertahanan dan pemerintahan yang berbatasan dengan Batavia di wilayah yang saat ini dikenal sebagai kawasan Tigaraksa. Dari legenda tersebut disimpulkan cikal bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksa yang mempunyai arti “Tiang Tiga atau
43
Tilu Tanglu”, sebuah nama sebagai penghormatan untuk ketiga Tumenggung yang menjadi pimpinan saat itu.35 Sebuah tugu prasasti dibangun di bagian barat sungai Cisadane yang saat ini diyakini berada di Kampung Gerendeng. Tugu itu dibangun oleh seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa yaitu Pangeran Soegri yang dinamakan sebagai Tangerang, dimana dalam bahasa sunda berarti tanda. Dalam tugu itu terdapat sebuah prasasti yang bertuliskan huruf arab gundul berbahasa jawa kuno yang berbunyi ”Bismillah pget Ingkang Gusti/Diningsun juput parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/Rengsena perang netek Nangaran/Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang”. Yang berarti ”Dengan nama Allah Yang Maha Kuasa/Dari Kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan tugu/untuk mempertahankan batas Timur Cipamungas (Cisadane) dan Barat Cidurian/Semua menjaga tanah kaum Parahyang. Sebutan ”Tangerang” yang berarti ”tanda” itu seiring berjalannya waktu berubah sebutan menjadi Tangerang sebagaimana yang kita kenal saat ini.36 Dikisahkan selanjutnya pemerintah “Tiga Maulana”, ”Tiga Pimpinan” atau ”Tilu Tanglu” jatuh pada tahun 1684, sehingga terjadi perjanjian antara pasukan Belanda dan Kesultanan Banten pada 17 April 1684. Didalamnya memaksa wilayah Tangerang masuk kekuasaan penjajahan Belanda. Kemudian Belanda membentuk pemerintahan kabupaten terlepas dari Kesultanan Banten dibawah pimpinan bupati. Para Bupati yang pernah memimpin Kabupaten Tangerang di 35
Website Resmi Kabupaten Tangerang, diakses pada tanggal 19 Mei 2014 dari tangerangkab.go.id 36 Ibid.,
44
era pemerintahan Belanda pada periode tahun 1682-1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan Aria Soetadilaga dirasa tidak mampu lagi memerintah Kabupaten Tangerang, Belanda mengahapus pemerintahan ini dan memindahkannya ke Batavia.37 Kemudian pada masa penjajahan Jepang status daerah Tangerang ditingkatkan menjadi Daerah Kabupaten, maka daerah Kabupaten Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibu Kota. Pada tanggal 8 Desember 1942 bertepatan dengan peringatan Hari Pembangunan Asia Raya, pemerintah Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta. Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan, dari 18 menjadi 19 kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah status Tangerang dari kewedanaan menjadi kabupaten. Perubahan status ini didasarkan pada dua hal; pertama, kota Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (kota praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya begitu luas.38 Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9 November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka dipermakloemkan seperti di bawah ini: Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken. Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27 37 38
Ibid., Ibid.,
45
boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan. Sejalan dengan keluarnya surat keputusan itu, Atik Soeardi yang menjabat sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat, Raden Pandu Suradiningrat, diangkat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944).39 Hari jadi Kabupaten Tangerang ditetapkan tanggal 27 Desember 1943 (Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 1984 tanggal 25 Oktober 1984) pada masa Bupati Kabupaten Tangerang dijabat H. Tadjus Sobirin (1983-1988 dan 19881993) bersama DPRD Kabupaten Tangerang. Setelah pemerintah Kota Tangerang tanggal 27 Februari 1993 melakukan pemekaran berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993, pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pindah ke Tigaraksa. Pemindahan ibukota ke Tigaraksa dinilai strategis, karena menggugah kembali cita-cita dan semangat para pendiri untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang bebas dari belenggu penjajahan (kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan) menuju masyarakat yang mandiri, maju dan sejahtera.40 2. Letak Geografis Kabupaten Tangerang terletak di bagian Timur Propinsi Banten pada koordinat 106°20′-106°43′ Bujur Timur dan 6°00′-6°20′ Lintang Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 959,6 km2 atau 9,93 % dari seluruh luas wilayah Propinsi Banten yang berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang di sebelah timur,
39 40
Ibid., Ibid.,
46
Kabupaten Bogor dan Kota Depok di sebelah selatan, dan Kabupaten Serang dan Lebak di sebelah barat.41 Kabupaten Tangerang berada pada wilayah dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah sebagian besar berada di wilayah utara yaitu Kecamatan Teluknaga, Mauk, Kemiri, Sukadiri, Kresek, Kronjo, Pakuhaji, dan Sepatan. Sedangkan dataran tinggi berada di wilayah bagian tengah ke arah selatan. B. Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Selatan adalah kota termuda yang menjadi salah satu bagian dari Provinsi Banten yang merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Tangerang. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Kota Tangerang Selatan memiliki unit pemerintahan antara lain kecamatan yang terdiri atas beberapa kelurahan dan desa. Kota ini memiliki unit pemerintahan sebanyak 7 kecamatan, 49 kelurahan, dan 5 desa. Kota Tangerang Selatan saat ini berada dibawah pimpinan Walikota Hj. Airin Rachmi Diany, SH, MH dan Wakil Walikota Drs. H. Benyamin Davnie untuk periode 2011-2016. 1. Sejarah Dalam sejarahnya, kajian pemekaran Kota Tangerang Selatan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tangerang didorong oleh potensi sumber daya manusia yang secara terus-menerus melakukan penelitian akademis, kajian kelayakan yang komperhensif dan perjuangan yang melibatkan stakeholder dari masyarakat, DPRD Provinsi Banten, dan Pemerintah Provinsi Banten.42
41
Ibid., Abdul Rojak, Sirojudin, M. Istijar Nusantara, Sejarah Berdirinya Kota Tangerang Selatan (Tangsel: Green Komunika, 2010), h. 10. 42
47
Kota Tangerang Selatan adalah hasil dari pemekaran Kabupaten Tangerang, yang dimana pada tahun 2007 memiliki luas wilayah 1.159,05 km2 dengan jumlah penduduk 3.315.584 jiwa, terdiri dar 36 kecamatan. Kabupaten tersebut mempunyai potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan begitu luasnya daerah dan banyaknya jumlah penduduk, pelaksanaan pembangungan dan pelayanan kepada masyarakat dirasakan belum menjangkau keseluruhannya. Maka dari kondisi itu diperlukannya melakukan pembentukan daerah otonomi baru guna memperpendek rentang kendali pemerintahan sehingga terjadi peningkatan dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik demi mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.43 Berdasarkan hal diatas, pemerintah telah melakukan pengkajian secara mendalam dan menyeluruh tentang kelayakan pembentukan daerah yang mengambil kesimpulan bahwa perlu dibentuk Kota Tangerang Selatan. Secara resmi Kota Tangerang selatan terbentuk pada 29 Oktober 2008 melalui Rapat Paripurna DPR RI dengan disahkannya Undang-Undang No. 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan dan ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 November 2008. Dalam menjalankan pemerintahan otonom, Kota Tangerang Selatan melakukan berbagai usaha dalam meningkatkan kemampuan di bidang ekonomi, sarana dan prasarana pemerintahan, pemberdayaan dan peningkatan sumberdaya manusia, serta
43
Website Resmi Kota Tangerang Selatan, diakses pada tanggal 19 Mei 2014 dari tangerangselatankota.go.id
48
pengeloalaan sumber daya alam sesuai perundang-undangan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. 2. Letak Geografis Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yang berada pada titik koordinat 106'38' - 106'47' Bujur Timur dan 06'13'30' - 06'22'30' Lintang Selatan. Kota Tangerang Selatan memiliki luas wilayah 147,19 Km2 atau 14.719 Ha. Kota ini berbatasan langsung dengan provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Wilayah Kota Tangerang Selatan sebagian besar merupakan dataran rendah dan merupakan daerah yang relatif datar.44
44
Ibid.,
49
BAB IV KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN
A. Konflik Serah Terima Aset Daerah Kota Tangerang Selatan 1. Aset Daerah Kota Tangerang Selatan Pemekaran
daerah
merupakan
fenomena
yang
mengiringi
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia yang berkembang pesat sejak awal reformasi. Dalam implementasinya pemekaran daerah diharapkan dapat memberikan
pelayanan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
serta
menciptakan daerah yang semakin mandiri dan demokratis. Pada tanggal 26 November 2008 melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang Selatan resmi menjadi daerah otonom baru yang merupakan pembentukan daerah melalui proses pemekaran daerah Kabupaten Tangerang. Pemekaran
daerah
diharapkan
dapat
memunculkan
pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi baru dan mampu meningkatkan potensi yang selama ini belum dikelola secara optimal, baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya serta memicu motivasi masyarakat untuk aktif ikut secara dalam proses pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Harapan yang cukup besar akan meningkatnya pelayanan kepada masyarakat dan maningknya kesejahteraan masyarakat juga menjadi harapan dari sebuah pemekaran daerah. Namun dalam proses pelaksanaan pemerintahan daerah, memang tidak semudah yang dibayangkan. Pemekaran
50
Kabupaten Tangerang dengan membentuk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008 ternyata sampai saat ini masih menyisakan masalah yang belum terselesaikan. Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah permasalahan pembagian aset milik daerah dan penyerahannya dari Kabupaten Tangerang kepada Kota Tangerang Selatan. Proses serah terima aset daerah Kabupaten Tangerang kepada Kota Tangerang Selatan sudah belangsung sejak tahun 2010 dan melalui 2 tahap. Aset daerah yang diserahkan berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang terdiri dari tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan, jaringan dan irigasi serta aset tetap lainnya. “Dalam kurun waktu 2010 kami pihak kabupaten sudah menyerahkan aset daerah tahap pertama dengan nilai aset sebesar Rp. 1,3 triliun yaitu berupa aset peralatan mesin senilai Rp. 54 miliar, aset tanah senilai Rp. 789 miliar, aset gedung dan bangunan sebesar Rp. 256 miliar, aset jalan, irigasi dan jaringan senilai Rp. 230 miliar dan aset tetap lainnya sebesar Rp. 5 miliar. Lalu penyerahan tahap kedua di tahun 2014 ini secara bertahap kami akan menyerahkan aset senilai Rp. 7,7 Miliar yaitu berupa aset tanah senilai Rp. 3,7 miliar, aset peralatan dan mesin senilai Rp. 135,5 juta, aset gedung dan bangunan senilai Rp. 2,5 miliar, aset jalan, 45 irigasi dan jaringan senilai Rp.1,2 miliar.”
Dibawah ini adalah rincian nilai aset daerah yang telah diserahkan Kabupaten Tangerang kepada Kota Tangerang Selatan.
45
Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah Kabupaten Tangerang pada 19 Agustus 2014.
51
Tabel IV.I. Nilai Aset Daerah yang Diserahkan Kabupaten Tangerang kepada Kota Tangerang Selatan Nilai aset (Rp) No
Aset Daerah
Tahap I (2010)
Nilai aset (Rp) Tahap II (2014)
Tahap Selanjutnya
1
Tanah
789 Miliar
3,7 Miliar
-
2
Gedung dan Bangunan
256 Miliar
2,5 Miliar
-
3
Peralatan dan Mesin Jalan, Irigasi dan Jaringan
54 Miliar
135 Juta
-
230 Miliar
1,2 Miliar
-
5 Miliar
-
-
-
-
-
4 5
Aset tetap lainnya
6
BUMD
1,3 Triliun 7,7 Miliar Total Sumber: Bidang Aset Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerrang Selatan
Penyerahan tahap pertama dilakukan pada tahun 2010, dimana Kabupaten Tangerang menyerahkan aset senilai total Rp. 1,3 Triliun. Aset tersebut berupa aset tanah senilai Rp. 789 Miliar, aset peralatan dan mesin senilai Rp. 54 Miliar, aset gedung dan bangunan senilai Rp. 256 Miliar, aset jalan, irigasi dan jaringan senilai Rp. 230 Miliar dan aset tetap lainnya senilai Rp. 5 miliar.46 Penyerahan tahap kedua dilaksanakan tahun 2014 oleh Kabupaten Tangerang kepada Kota Tangerang Selatan. Aset yang diserahkan senilai Rp. 7,7 Miliar yaitu berupa aset tanah senilai Rp. 3,7 miliar, aset peralatan dan mesin senilai Rp. 135 Juta, aset gedung dan bangunan senilai Rp. 2,5 miliar, aset jalan, irigasi dan jaringan senilai Rp.1,2 miliar.47
46
Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah Kabupaten Tangerang pada 19 Agustus 2014. 47 Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah Kabupaten Tangerang pada 19 Agustus 2014.
52
Sampai saat ini, masih ada aset Kabupaten Tangerang yang belum diserahkan kepada Kota Tangerang Selatan yaitu aset Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) berupa PDAM dan PD. Pasar. Dalam penyerahan aset tahap selanjutnya diharapkan Kabupaten Tangerang dapat melakukan penyerahan aset tersebut. “Kami berharap agar masalah yang ada di aset pasar itu secepatnya agar dapat diselesaikan dan aset pasar itu diserahkan yah oleh pihak kabupaten pada penyerahan tahap selanjutnya. Agar kami dapat menjalankan peraturan-peraturan yang ada untuk pembangunan di tangsel ini.”48
2. Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan Pemekaran daerah akan diikuti oleh pembagian, bahkan pemecahan sumber daya yang dimiliki daerah. Pembagian ataupun pemecahan tersebut terjadi baik di tingkat elite maupun masyarakat, sehingga konflik merupakan konsekuensi yang sulit dihindari. “Eko Prasojo dkk, dalam makalah Grand Desain Penataan Daerah dari Aspek Sosial, Politik dan Budaya menyebutkan pemekaran daerah akan diikuti oleh pembagian, bahkan pemecahan sumber daya yang dimiliki daerah. Pembagian ataupun pemecahan tersebut terjadi baik di tingkat elite maupun masyarakat, sehingga konflik merupakan turunan yang sulit dihindari. Salah satu permasalahan yang timbul adalah adanya kesenjangan yang lebar antara daerah dan pusat dan antar-daerah sendiri dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber daya budaya, infrastruktur ekonomi, dan tingkat kualitas sumber daya manusia.”49
Konflik tercipta karena perbedaan pendapat dan persaingan dalam upaya untuk
mempertahankan
dan/atau
mendapatkan
akses
terhadap
otoritas
(kekuasaan) dan sumber ekonomi. Permasalahan dalam serah terima aset daerah di Kota Tangerang Selatan menjadikan konflik antar daerah, dimana terjadi perbedaan pendapat antara Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk yang mempertahankan objek bernilai yang selama ini dikuasai, dengan Kota Tangerang 48
Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014. 49 Kurniawan T. Arief, Pemekaran Wilayah: Menimbulkan Masalah Baru, artikel diakses pada tanggal 25 Mei 2014 dari http://kompasiana.com/post/read/528530/2/pemekaran-wilayahdan-kemiskinan-baru-bag2.html
53
Selatan sebagai daerah hasil pemekaran yang berupaya mendapatkan objek bernilai yang seharusnya menjadi hak daerah pemekaran. Sehingga hal ini mengakibatkan adanya aset yang belum diserahkan dari pihak Kabupaten Tangerang kepada pihak Kota Tangerang Selatan. Aset daerah yang belum diserah-terimakan berupa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tangerang yang berada di Kota Tangerang Selatan salah satunya adalah PD.Pasar. Aset pasar tradisional yang berada di Tangerang Selatan berjumlah enam pasar yaitu Pasar Ciputat, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Jombang, Pasar Cimanggis atau Ciputat Permai, dan Pasar Gedung Hijau. Dalam hal ini, aset daerah tersebut merupakan objek bernilai yang diperebutkan oleh kedua belah pihak. “Memang sampai saat ini serah terima aset dari kabupaten masih bermasalah sehingga masih ada beberapa yah yang belum diserahkan terutama pdam dan pd pasar yah pasar total ada enam pasar yaitu pasar ciputat, pasar serpong, pasar bintaro, pasar jombang, pasar cimanggis atau ciputat permai, dan pasar gedung hijau. Sampai saat ini pengelolaan aset tersebut masih dibawah kabupaten 50 Tangerang.”
Aset PD Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang yang terletak di wilayah Kota Tangerang Selatan yang belum diserahkan dengan total nilai Rp. 384.384.700.000,- (Tiga Ratus Delapan Puluh Empat Miliar Tiga Ratus Delapan Puluh Empat Juta Tujuh Ratus Ribu Rupiah) dengan rincian berdasarkan NJOP (Surat dari PD.Pasar Niaga Kerta Raharja no: 539/394-PD.P tanggal 09 Nopember 2009) dengan rincian:51
50
Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014. 51 Data bidang aset DPPKAD Tangerang Selatan
54
a. Pasar Serpong dengan nilai aset Rp.58.843.000.000,- (lima puluh delapan miliar delapan ratus empat puluh tiga juta rupiah) b. Pasar Bintaro Jaya dengan nilai aset Rp. 19.517.500.000,- (sembilan belas miliar lima ratus tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) c. Pasar Jombang dengan nilai aset Rp.19.137.500,000,- (sembilan belas miliar seratus tiga puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) d. Pasar Ciputat dengan nilai aset Rp. 59.102.000.000,- (lima puluh sembilan miliar seratus dua juta rupiah) e. Pasar Ciputat Permai dengan nilai aset Rp. 2.080.000.000,- (dua miliar delapan puluh juta rupiah) f. Pasar Gedung Hijau dengan nilai aset Rp. 9.142.200.000,- (sembilan miliar seratus empat puluh dua juta dua ratus ribu rupiah). Selanjutnya dibawah ini dipaparkan dalam tabel IV.II luas tanah dari aset pasar tradisional yang berada di wilayah Kota Tangerang Selatan.
55
Tabel IV.II Aset PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang di Wilayah Tangerang Selatan No
Penggunaan
Alamat
Jenis
Luas (M2)
1
Pasar Serpong
Kec. Serpong
Tanah
± 8.730
2
Pasar Bintaro
Kec. Ciputat Timur
Tanah
± 2.615
3
Pasar Jombang
Kec. Ciputat
Tanah
± 6.097
4
Pasar Ciputat
Kec. Ciputat
Tanah
± 5.670
5
Pasar Ciputat Permai
Kec. Ciputat Timur
Tanah
± 1.000
6
Pasar Gedung Hijau
Kec. Serpong Utara
Tanah
± 3.396
Total
± 27.506
Sumber: Bidang Aset Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerrang Selatan
Proses penyerahan aset daerah diatur dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan, Penyerahan aset dan dokumen dilakukan paling lambat 5 (lima) tahun sejak pelantikan penjabat walikota. Aset dan dokumen sebagaimana dimaksud meliputi barang milik dan/atau yang dikuasai baik barang bergerak maupun tidak bergerak dan/atau yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang berada dalam wilayah Kota Tangerang Selatan dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tangerang yang kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Tangerang Selatan. Apabila penyerahan dan pemindahan aset serta dokumen tidak dilaksanakan oleh Bupati Tangerang, Gubernur Banten selaku wakil Pemerintah wajib menyelesaikannya. Pelaksanaan pemindahan personel
56
serta penyerahan aset dan dokumen dilaporkan oleh Gubernur Banten kepada Menteri Dalam Negeri.52 Jika mengacu kepada hal tersebut, dijelaskan bahwa penyerahan aset daerah dilaksanakan maksimal 5 tahun. Semua aset daerah yang lokasinya berada didalam wilayah Kota Tangerang Selatan termasuk diantaranya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) berupa PD.Pasar dan PDAM harus sudah diserahkan. Namun pada kenyataannya aset tersebut permasalahannya cukup kompleks, tidak hanya sekedar berbicara perpindahan atau penyerahan aset saja, namun berikut sumber daya manusia, legalitas dari aset, dan kemudian permasalahanpermasalahan yang sebelumnya harus diselesaikan. Sehingga sampai saat ini aset tersebut belum diserahkan. “Berbicara mengenai undang-undang nomor 51 pembentukan kota tangsel itu dijelaskan disitu penyerahan aset itukan maksimal itu 5 tahun yah, termasuk aset pasar dan pdam ya pokoknya semualah yah aset-aset yang eksisting berada didalam wilayah kota tangerang selatan. Nah berarti seharusnya kan 1 januari 2014 yakan itu sudah harus diserahkan semua namun disinilah kan ternyata memang aset itu kan permasalahannya cukup kompleks, bukan cuma sekedar berbicara aset sata tetapi juga kan perpindahan atau penyerahan, namun berikut sdmnya legalitasnya kemudian permasalahan-permasalahn dilapangan itu yang harus kita selesaikan terlebih dahulu. Makanya sampe saat ini aset itu belum 53 diserahkan gitu.”
B. Faktor Penghambat Serah Terima Aset Pasar Tradisional Kota Tangerang Selatan Penyebab permasalahan aset di daerah pemekaran seperti ini dapat diketahui tidak hanya berupa faktor tunggal, namun terdiri atas beberapa faktor yaitu: 1). Faktor struktural, 2). Faktor kepentingan, 3). Faktor nilai, 4). faktor
52
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang
Selatan. 53
Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014.
57
hubungan antar manusia dan 5). faktor data.54 Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa faktor yang menyenyebabkan permasalahan dalam serah terima aset daerah khususnya aset pasar tradisional di Tangerang Selatan. 1. Faktor Struktural Faktor struktural yaitu sebab-sebab yang berkaitan dengan kekuasaan, wewenang formal, kebijakan umum (baik dalam bentuk peraturan perundangundangan maupun kebijaan formal lainnya), dan juga persoalan geografis dan faktor sejarah.55 Peneliti menemukan penyebab permasalahan yang menjadi perdebatan berasal dari peraturan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku di kedua pemerintahan dan wewenang formal dari BUMD PD.Pasar. Pertama, undang-undang pembentukan daerah yaitu Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 sebagai Undang-Undang pembentukan Kota Tangerang Selatan dan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 25 Tahun 2004 sebagai peraturan tentang Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja. Pemerintah Kota Tangerang Selatan mendesak Pemerintah Kabupaten Tangerang untuk menuntaskan persoalan aset sesuai dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008, menurutnya mangacu kepada undang-undang pemekaran Tangerang Selatan sudah jelas batas waktunya yaitu selambat-lambatnya 5 tahun.56 Dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan disebutkan dalam pasal 13 bahwa Bupati Tangerang
54
Nanang Kristiyono, “Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang; Analisis terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya,” (Tesis S2 Magister Ilmu Politik, Universitas Dipinegoro Semarang, 2008), h. 56. 55 Ibid., h. 56. 56 “Airin Minta Aset, Zaki Butuh Proses,” Satelit News, 4 September 2013 diakses dari http://satelitnews.co.id/?p=22160
58
diharuskan melaksanakan penyerahan aset kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan sebagai hak daerah otonomi baru hasil pemekaran selambat-lambatnya 5 tahun. Aset yang dimaksud termasuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tangerang yang kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Tangerang Selatan. Undang-Undang tersebut dijadikan landasan pihak Kota Tangerang selatan untuk menuntut agar serah terima aset pasar tradisional yang termasuk dalam Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) segera dilaksanakan karena sampai saat ini sudah lebih dari 5 tahun aset tersebut belum juga di serahkan. Pihak Kabupaten Tangerang mengacu kepada Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja. Tempat kedudukan dan wilayah kerja PD.Pasar Niaga Kerta Raharja di jelaskan dalam pasal 3 dan pasal 4, tempat kedudukan dalam pasal 3 disebutkan Perusahaan Daerah berkedudukan di Daerah. Wilayah kerja disebutkan dalam pasal 4, sebagai berikut: Untuk menyelenggarakan kegiatan dan usaha perusahaan Daerah memiliki wilayah kerja yang meliputi seluruh Daerah. Perusahaan Daerah dapat menyelenggarakan kegiatan dan usaha diluar wilayah kerja yang ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan Daerah melakukan kegiatan secara otonom dan mandiri termasuk dengan pihak-pihak yang berkeinginan untuk kerjasama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dijelaskan dalam pasal 9 bahwa perusahaan ini mempunyai modal dasar meliputi tanah, bangunan fasilitas penunjang pasar, alat perlengkapan kantor, barang berharga lainnya dan bagi hasil dari kerjasama pembangunan pasar dengan
59
pihak ketiga berikut fasilitas penunjang lainnya yang saat ini dikelola dan/atau dipergunakan oleh Unit Pelaksana Teknis Pasar Kabupaten Tangerang senilai Rp. 29.057.205.900,- (dua puluh sembilan milyar lima puluh tujuh juta dua ratus lima ribu Sembilan ratus rupiah) yang merupakan aset yang dipisahkan dari kekayaan daerah. Ditambah modal dasar yang berupa tagihan terhadap pihak ketiga hasil kerjasama sebesar Rp. 1.428.986.400,- (satu milyar empat ratus dua puluh delapan juta sembilan ratus delapan puluh enam ribu empat ratus rupiah). Modal dasar perusahaan daerah tersebut dapat ditambah atau dikurangi dengan melalui peraturan daerah. Sehingga pemerintah Kabupaten Tangerang dalam serah terima aset pasar ini banyak pertimbangan dan data yang harus dikumpulkan dan di selesaikan terlebih dahulu baru kemudian diajukan kepada DPRD untuk perumusan peraturah daerah mengenai serah terima aset-aset tersebut. “Kami belum menyerahkan sepenuhnya aset pasar kepada pemkot tangsel karena sebelum pemekaran, pengelolaan pasar diatur pd pasar yang berpedoman kepada permendagri 152 tahun 2004 tentang pengelolaan barang milik daerah. Dimana semuanya diatur disitu, sehingga tahun 2004 keluar perda nomor 25 tentang pd pasar niaga kerta raharja kabupaten tangerang. Oleh karena itu dalam penyerahannya berbeda dengan aset yang dikuasai/digunakan langsung oleh pemda seperti aset gedung pemerintahan gedung-gedung, kantor dan dinas-dinas, tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, jaringan dan irigasi. Sehingga dalam serah terima aset pasar ini banyak pertimbangan dan data yang harus dikumpulkan dan di selesaikan terlebih dahulu baru kemudian diajukan kepada DPRD untuk dikeluarkannya perda. Disamping itu juga ada beberapa pasar tersebut masih terikat kontrak dengan pihak ketiga, yaitu pd pasar terikat kontrak dengan pihak swasta.” 57
Humas PD.Pasar Nurachman juga mengatakan bahwa sebenarnya PD.Pasar sebagai BUMD tidak serta merta harus diserahkan kepada Kota Tangerang Selatan, melainkan dapat melakukan kerja sama. Karena hal ini sesuai dengan lembar penjelasan pasal 13 Undang-Undang Nomor 51 Tentang 57
Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah Kabupaten Tangerang pada 19 Agustus 2014.
60
Pembentukan Kota Tangerang Selatan yang menjelaskan bahwa BUMD yang pelayanan/kegiatan operasionalnya mencakup kabupaten induk dan kota baru, pemerintah daerah yang bersangkutan dapat melakukan kerja sama. “Nanti coba mas buka undang-undang 51 tahun 2008 itu pasar 13 tolong dibuka lembar penjelasannya, disitu ada kalimat bumd dapat melakukan ekspansi atau bekerja sama dengan daerah baru dalam hal ini tangsel gitu. Jadi ngga serta merta kita diwajibkan untuk menyerahkan gitu aja sebenarnya, sebetulnya kita bekerja sama dengan tangsel untuk retribusinya bisa. Cuma ya gitu deh sampe sekarang 58 masih jadi perdebatan.”
PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang sebagai pengelola juga masih ada keterkaitan dengan pihak ketiga yaitu kerjasama dengan pihak swasta. Pihak Kabupaten Tangerang beranggapan bahwa bukan pihak kabupaten tidak mau menyerahkan aset pasar yang berada di Tangerang Selatan, akan tetapi PD.Pasar Kabupaten Tangerang masih mempunyai kontrak dengan pihak swasta. Yang sedang Pemerintah Kabupaten lakukan saat ini adalah mereview ulang kontrak tersebut agar diselesaikan oleh PD.Pasar secepatnya. Begitu kontrak selesai dengan PD.Pasar Kabupaten Tangerang, semua itu akan diserahkan kepada Kota Tangerang Selatan. Dalam penyerahan aset seperti pasar tradisional agar tidak melanggar aturan dan menyerahkannya bersih tanpa ada masalah lagi dengan pihak ketiga. “Mengenai aset, aset pasar dan pdam. Pak bukan kami tidak mau menyerahkan, tidak. Pd pasar kabupaten tangerang itu punya kontrak dengan pihak swasta, yang sedang kami lakukan saat ini adalah mereview ulang kontrak tersebut agar diselesaikan oleh pd pasar secepat-cepatnya pak. Begitu kontrak itu selesai dengan pd pasar kabupaten tangerang itu semuanya akan kita serahkan kepada kota tangerang selatan, ngga ada yang di pegang-pegang itu ngga ada niatan kita mau pegang-pegang aset yang ada di kota tangerang selatan, tidak. Sekali lagi saya ulangi pak untuk pd pasar dalam waktu dekat akan kita serahkan dengan catatan kontrak-kontrak yang ada dengan pd pasar kabupaten tangerang itu sudah selesai semua nih tuntas kontraknya. Dalam penyerahan aset seperti pasar 58
Wawancara langsung dengan Nurachman Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang pada 19 September 2014.
61
tradisional agar tidak melanggar aturan dan menyerahkannya bersih tanpa ada masalah lagi dengan pihak ketiga.”59
Pihak Kabupaten Tangerang akan memutus kontrak tiga pasar di Kota Tangerang Selatan itu dengan pihak ketiga sebelum diserahkan. Terlebih, Pemkab Tangerang saat ini tengah melakukan evaluasi pasar tradisional yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang. Nantinya, seluruh pasar tradisional diurus sendiri oleh pihak kabupaten, tidak lagi bekerjasama dengan pihak ketiga atau swasta. Tidak ada niatan Kabupaten mau menahan aset yang ada di Kota Tangerang Selatan. Untuk aset pasar dalam waktu dekat akan diserahkan dengan catatan kontrak-kontrak yang ada dengan PD.Pasar Kabupaten Tangerang itu sudah selesai semua kontraknya. Jadi kedepannya tidak ada masalah hukum perdata, gugat menggugat antara pengelola baru dengan pengelola lama dengan PD.Pasar Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, hal seperti itu yang ingin hindari. “Untuk itu kami akan memutus kontrak tiga pasar di Kota Tangsel itu dengan pihak ketiga sebelum diserahkan. Terlebih, Pemkab Tangerang saat ini tengah melakukan evaluasi pasar tradisional yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang. Nantinya, seluruh pasar tradisional diurus sendiri oleh pihak kabupaten, tidak lagi bekerjasama dengan pihak ketiga atau swasta. Jadi kedepannya tidak ada masalah hukum perdata gugat menggugat antara pengelola baru dengan pengelola lama dengan pd pasar kabupaten tangerang dan pemkot tangerang selatan itu yang kita hindari.”60
Pasar yang masih terikat kontrak dengan swasta adalah Pasar Serpong saat ini masih terikat kontrak dan dikelola oleh PT. Bina Sarana untuk 5 tahun kedua
59
Keterangan Ahmed Zaki Iskandar dalam acara fun bike dan talk show interaktif “Pemimpin Muda Membangun Tangerang pada 11 Mei 2014. 60 Keterangan Ahmed Zaki Iskandar dalam acara fun bike dan talk show interaktif “Pemimpin Muda Membangun Tangerang pada 11 Mei 2014.
62
dan Pasar bintaro saat ini masih terikat kontrak dan dikelola 1 tahun lagi dengan PT. Andika mas.61 2. Faktor Kepentingan Faktor kepentingan yaitu sebab karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan.62 Dalam hal ini kepentingan yang dirasakan adalah pengelolaan potensi ekonomi dari aset yang belum di serahkan yaitu pengelolaan keenam aset pasar tradisional yang dianggap berpotensi menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar. Karena sampai saat ini belum diserahkan ke Pemkot Tangerang Selatan, pengelolaan pasar-pasar tersebut masih di bawah pengelolaan pihak Kabupaten Tangerang dalam hal ini yang bertanggung jawab dalam pengelolaan adalah PD. Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Untuk pengelolaan keamanan dan juga perizinan-perizinan lain PD.Pasar yang mengatur itu. Sedangkan untuk kebersihan pihak kabupaten tidak menarik retribusi untuk sampah di pasar-pasar tersebut. Pendapatan yang masuk ke Kabupaten yaitu retribusi-retribusi pasar karena PD.Pasar dibawah naungan Kabupaten Tangerang. “Pengelolaan pasar-pasar tersebut masih di bawah pengelolaan pihak kabupaten tangerang, yang bertanggung jawab untuk mengelola adalah PD. Pasar Niaga Kerta Raharja. Untuk pengelolaan keamanan juga itu masih di kelola oleh pihak pd pasar, dan juga perizinan-perizinan lain juga pd pasar yang mengatur itu. sedangkan untuk kebersihan sepertinya pihak kabupaten tidak menarik retribusi untuk sampah di pasar-pasar itu. Hanya retribusi-retribusi pasar yang masuk ke Kabupaten Tangerang karena pd pasar dibawah naungan Kabupaten yang di Perda ttg PD.Pasar sudah mengatur demikian.” 63
Berikut adalah pendapatan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang dari tahun 2005-2013 yang ditampilkan dalam tabel IV.II. 61
Notulensi rapat tentang perkembangan serah terima aset pasar tradisional pada 4 Juni 2014 di DPPKAD Tangerang Selatan. 62 Kristiyono, Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah, h. 56. 63 Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah Kabupaten Tangerang pada 19 Agustus 2014.
63
Tabel IV.III Pendapatan, Biaya, dan Laba (Rugi) PD. Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang Tahun 2005-2013 No
Tahun
Pendapatan (Rp)
Biaya (Rp)
Laba/Rugi (Rp)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
2.064.252.368 2.195.710.425 2.580.373.542 2.507.725.780 4.121.828.244 4.378.465.017 5.108.721.548 5.204.408.868 5.112.000.000*
2.861.391.084 3.088.456.160 2.885.341.374 3.117.404.153 3.948.491.182 3.493.356.578 3.776.310.179 4.000.172.254 4.200.000.000*
-797.138.716 -892.745.735 -304.967.805 -609.678.373 173.337.062 885.108.439 1.332.411.369 1.204.236.623 912.000.000*
Sumber: PD. Pasar Niaga Kerta Raharja Keterangan: *) data sementara
Dari tabel diatas terlihat bahwa sebelum tahun 2009 PD.Pasar selalu mengalami kerugian dan mulai mendapatkan keuntungan dari tahun 2009 sampai sekarang. Humas PD.Pasar Nurachman mengatakan bahwa keenam pasar tradisional di Tangerang Selatan mempunyai peranan yang besar dalam meningkatkan pendapatan PD.Pasar. Hal ini karena pasar-pasar tersebut mempunyai penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan seluruh pasar yang di kelola oleh PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. “Iya mengenai pendapatan lebih besar betul. Keenam pasar yang ada di kota tangsel memang pendapatannya lebih besar diantara 22 pasar yang ada di bawah pengelolaan pd.pasar kabupaten.”64
Selaras dengan pernyataan tersebut, Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Tangerang yang membidangi Aset Daerah Muhlis mengatakan, sampai saat ini bupati tidak pernah mengusulkan penyerahan aset Pasar Ciputat, Pasar Jombang dan Pasar Serpong kepada DPRD jadi tidak mungkin ada penyerahan aset pasar ke Pemkot Tangerang Selatan. Menurutnya sampai saat ini ketiga pasar tersebut 64
Wawancara langsung dengan Nurachman Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja pada 19 Seotember 2014.
64
masih dianggap penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Tangerang terbesar dibanding pasar-pasar yang tersebar di Kabupaten Tangerang. Jadi, kemungkinan besar Bupati belum akan menyerahkan aset pasar tersebut.65 Di lain pihak, Sekretaris Komisi B DPRD Tangerang Selatan Abdul Kohar mengatakan, pasar tradisional cukup signifikan untuk menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah) karena mempunyai pendapatan yang cukup besar.66 Selaras dengan ini Kepala Kantor Penanaman Modal Daerah (KPMD) Kota Tangsel Oting Ruhiyat mengatakan, jika pasar diserahkan sebagai aset BUMD Kota Tangerang Selatan, untuk pendapatan sewa kiosnya saja bisa mencapai Rp.1,9 M, belum lagi aset berupa los, sewa kaki lima, kebersihan dan keamanan, serta parkiran yang ada di dalam pasar, potensi pendapatannya bisa sangat menguntungkan jika pengelolaannya bisa dilaksanakan langsung oleh pihak Tangerang Selatan.67 3. Faktor nilai Faktor nilai yaitu nilai-nilai khas yang dipegang oleh masyarakat sekitar.68 Dalam hal ini peneliti tidak menemukan nilai-nilai khas yang di pegang masyarakat dari aset pasar tradisional di Tangerang Selatan.
65
“Sumbang PAD Besar Pemkab Tangerang Mikir Serahkan Tiga Pasar Ke Tangsel,” Detak.co.id, diakses dari http://www.detak.co.id/tangerang/item/524-sumbang-pad-besar-pemkabtangerang-mikir-serahkan-tiga-pasar-ke-tangsel 66 “Pemkot Tangsel Tuntut Penyerahan Aset Pasar”Harian Umum Suara Tangsel, 30 Maret 2012 diakses dari http://appsitangsel.wordpress.com/2012/03/30/pemkot-tangsel-tuntutpenyerahan-aset-pasar-pasar-tradisional-semrawut/ 67 “Aset Belum Diserahkan Program Kerja KPMD Tangsel Terganggu”Kabar6.com, diakses dari http://www.kabar6.com/tangerang-raya/tangerang-selatan/7463-aset-belumdiserahkan-program-kerja-kpmd-tangsel-terganggu.html 68 Kristiyono, Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah, h. 56.
65
4. Faktor Hubungan Antar Manusia Faktor hubungan antar manusia yaitu penyebab yang berasal dari salah persepsi di kalangan elit dari kedua belah pihak yang bermasalah.69 Dalam kasus ini adanya statement-statement dikalangan elit yang cenderung tidak sepaham. Sebagai contoh statement yang disampaikan Sukarya Ketua Pansus Aset DPRD Kota Tangerang Selatan di media massa. Ia menilai Pemerintah Kabupaten Tangerang tidak memiliki kemauan untuk menyerahterimakan aset ke Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Jika Pemkab Tangerang paham dan berniat untuk menyerahterimakan aset, maka sebelum ulang tahun Kota Tangsel aset tersebut sudah diserahterimakan. Dengan belum diserahterimakannya, terkesan Pemkab Tangerang tidak ada kemauan untuk serahterimakan aset ini. Ia menambahkan jika masih ada masalah dalam dokumen aset, serahkan saja dengan permasalahan yang ada.70 Sementara itu di lain pihak Pemkab Tangerang mengatakan sebaliknya, seperti yang dikutip dari pernyataan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar, “Kabupaten Tangerang bukan ingin ngekepin aset daerah yang menjadi hak Kota Tangsel, akan tetapi ditahannya penyerahan aset seperti pasar tradisional agar tidak melanggar aturan dan menyerahkannya bersih tanpa ada masalah lagi dengan pihak ketiga”.71 Dikhawatirkan kalau sampai terjadi perang statement
69
Ibid., h. 56 “Ini Alasan Pemkab Tangerang Tidak Serahkan Aset Ke Pemkot Tangsel,” TangselOke.com, 9 September 2013 diakses dari http://tangseloke.com/news/2013/09/09/inialasan-pemkab-tangerang-tidak-serahkan-aset-ke-pemkot-tangsel/ 71 “Pemkab Akan Putus Kontrak 3 Pasar di Tangsel,” HarianTangerang.com, 11 Desember 2013 diakses dari http://hariantangerang.com/news/2013/12/pemkab-akan-putuskontrak-3-pasar-di-tangsel 70
66
yang terjadi antara kedua elit pemerintahan akan menghambat peyelesaian serah terima aset. 5. Faktor Data Faktor data yaitu permasalahan yang disebabkan oleh data yang berkaitan dengan kelengkapan aset-aset yang akan diserah-terimakan.72 Pemerintah Kabupaten Tangerang saat ini masih terbatas data, bukan hanya asetnya saja tetapi juga personel dan dokumen kelengkapan pasar-pasar yang berada di wilayah Kota Tangerang Selatan. Pemerintah Kabupaten sempat mencari sertifikat dari pasar-pasar tradisional ternyata baru menemukan 6 sertifikat dari total 22 pasar, yang berada di Tangerang Selatan baru 1 (satu) yang ditemukan. Kemudian adanya ketidaksesuaian antara yang tercatat di PD.Pasar dengan yang tercatat di bidang aset Kabupaten Tangerang. Data dalam buku PD.Pasar yang tercatat sebagai aset hanya ruang kantor kepala dan tanah pasar adalah lahan sewa, akan tetapi di aset Kabupaten Tangerang dicatat sebagai aset daerah.73 Data yang Pemerintah Kabupaten miliki sangat minim dan meminta kepada PD.Pasar untuk menyiapkan data, dokumen, perjanjian yang dimiliki baik yang sudah, sedang atau pun akan diproses. Kemungkinan kejadian seperti ini dapat terjadi karena keteledoran dari birokrasi Kabupaten Tangerang dalam melakukan inventarisasi pada aset-asetnya atau bahkan terjadi kesengajaan untuk memanipulasi data sehingga menghambat proses penyerahan aset kepada Kota Tangerang Selatan.
72
Kristiyono, Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah, h. 56. Notulensi rapat tentang perkembangan serah terima aset pasar tradisional pada 4 Juni 2014 di DPPKAD Tangerang Selatan. 73
67
PD.Pasar pun berharap dalam penyerahannya nanti sumber daya manusianya juga diserahkan berikut aset pasarnya karena akan membebani PD.Pasar jika sumber daya manusianya tidak ikut diserahkan. PD.Pasar menganggap jika dilakukan penyerahan maka pendapatan akan berkurang dan jika sumber daya manusianya tidak diserahkan maka beban pengeluaran akan tetap. Hal ini juga sesuai dengan UU Pembentukan Tangerang Selatan yang juga mengaruskan penyerahan data, personel dan aset. “Kita mengharapkan juga jika ada serah terima nantinya pegawai kita juga ikut diserahkan biar ga jadi beban buat kitanya nanti. Kan misalnya kita udah dikurangin nih pendapatan kita dari pasar yang di serahin, masa beban kita tetap. Kan juga spirit dari undang-undang 51 itu kan kalo memang harus diserahkan itu beserta personel yang ada didalamnya kan.”74
PD.Pasar juga menjelaskan bahwa adanya permasalahan di beberapa pasar yang terkait dengan tanah di pasar-pasar yang berada di Tangerang Selatan. Permasalahan tersebut diantaranya:75 1. Tanah Pasar Bintaro 2600 m2 saat ini (bertamabah) karena ada badan jalan yang terkonstruksi menjadi pasar. 2. Pasar Cimanggis (Ciputat Permai) diklaim oleh pemilik (1200 m2) sertifikat masih oleh yang bersangkutan. 3. Berita acara penyerahan dari PT. Lestari sampai saat ini tidak ditemukan. (tahun 73) 4. Lahan Pasar Gedung Hijau sebagian sudah berdiri puskesmas oleh Pemkot Tangerang Selatan.
74
Wawancara langsung dengan Nurachman Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja pada 19 Seotember 2014. 75 Notulensi rapat tentang perkembangan serah terima aset pasar tradisional pada 4 Juni 2014 di DPPKAD Tangerang Selatan.
68
5. Pasar Ciputat tanahnya habis kurang lebih 2000m2 digunakan oleh 148 kepala keluarga. 6. Luas Pasar jombang di IMB sebelumnya 8000 m2 saat ini hanya 6000m2. Pihak Pemkot Tangerang Selatan mengaku kesulitan apabila ada aset yang diserahkan itu dokumen-dokumen kelengkapannya tidak jelas. Karena dari pengalaman terkait aset yang sudah diserahkan adanya masalah baru yang timbul misalnya gedung kelurahan atau gedung sekolah yang diakui oleh ahli waris terkait ketidakjelasan kepemilikannya. C. Dampak Terkendalanya Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan Pemekaran daerah Tangerang Selatan yang sudah berjalan lima tahun lebih sampai saat ini masih meninggalkan permasalahan dalam serah terima aset daerah. Salah satu yang menjadi perhatian publik adalah belum diserahkannya pasar-pasar tradisional yang berada di Tangerang Selatan yang menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial yang dirasakan oleh masyarakat. Belum diserahkannya aset-aset pasar tradisional dari pihak Kabupaten Tangerang ke pihak Pemkot Tangerang Selatan membuat pengelolaan pasar tradisional menjadi kurang optimal dan menimbulkan banyak dampak yang dirasakan masyarakat. Selain Pemkot Tangerang Selatan tidak mendapatkan pemasukan yang dihasilkan oleh pasar-pasar tradisional yang dapat dijadikan pendapatan asli daerah (PAD), permasalahan lain juga timbul di sekitaran pasar tradisional. Karena terjadi perkumpulan masa yang melakukan aktifitas keramaian dari transaksi jual-beli di pasar, dapat dilihat dari kondisi di pasar-pasar tersebut
69
menimbulkan berbagai dampak sosial seperti masalah kesemrawutan, kemacetan dan penumpukan sampah. “Betul pasti berdampak, dalam permasalahan belum diserahkannya aset-aset pasar tradisional dari pikah kabupaten ke pihak pemkot memang menimbulkan banyak dampak yang dirasakan, pengelolaan pasar tradisional juga kurang maksimal. Selain pemkot tangsel tidak mendapatkan pemasukan dari pasar-pasar tersebut ya, kalo yang kita bisa lihat sendiri dari pasar-pasar itu khususnya ya, karena disitu terjadi perkumpulan masa yang melakukan aktifitas keramaian atau kerumunan dari transaksi jual-beli disitu timbul berbagai permasalahan sosial seperti masalah sampahnya, kemacetannya, keruwetannya itukan efek-efek dari permasalahan ini.”76
Pemkot Tangerang Selatan kesulitan dalam melakukan penataan secara optimal dari kesemrawutan pasar-pasar tradisional, sebagai contoh Pemkot kesulitan dalam penataan pedagang kaki lima (PKL) yang membuat keruwetan dan kemacetan di pasar-pasar tradisional. Ketika Pemkot Tangerang Selatan ingin melakukan penertiban, penataan, perbaikan dan revitalisasi pasar tradisional, menjadi terkendala dikarenakan pasar-pasar tersebut belum tercatat sebagai aset milik Tangerang Selatan yang belum diserah-terimakan dari Kabupaten Tangerang. Hal ini mengakibatkan pembangunan Kota Tangerang Selatan menjadi terhambat. “Disini juga karena asetnya yang belum kita kuasai secara legalitas sehingga banyak terjadi hambatan hambatan ketika kita pihak Pemkot Tangsel ingin menjalankan peraturan-peraturan yang sudah ada, karena itukan jelas masih belum aset kita kan. Misalnya kita ingin melakukan revitalisasi, kita mau perbaiki, kita mau rapihkan dan melakukan penataan itu kan harus tercatat dulu di aset kita. Namun pada kenyataannya itu kan belum tercatat sebagai aset milik kita sehingga kita tidak bisa bergerak secara leluasa yakan. Revitalisasi aset-aset tersebut kan bagian dari tata ruang kota ya mas, Setiap daerah kan mempunyai pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek itu seperti apa nantinya, daerah ini akan seperti apa gitukan, kedepannya akan menjadi seperti apa. Nah itu pasti akan berpengaruh disitu juga pastinya dimana dengan
76
Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014.
70
adanya permasalahan aset khususnya aset pasar, pembangunan tersebut menjadi terganggu prosesnya.”77
Permasalahan sampah juga menjadi akibat yang ditimbulkan dari kurang maksimalnya pengelolaan pasar tradisional di Tangerang Selatan. Tumpukan sampah yang juga menimbulkan bau tidak sedap menjadi pemandangan setiap harinya di sekitar pasar-pasar tradisional. Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman (DKPP) Tangerang Selatan Yepi Suherman mengakui pengelolaan sampah di wilayah hasil pemekaran Kabupaten Tangerang itu belum maksimal. Hal ini bisa dilihat dari masih sedikitnya sampah yang terangkut setiap harinya. Dari 600 ton sampah per hari, hanya 20 persen atau 120 ton yang bisa diangkut. 40 persen sampah berasal dari pasar dan sisanya sampah rumah tangga. Ada empat pasar tradisional yang menjadi penyumbang sampah terbesar di Tangerang Selatan, yaitu Pasar Ciputat, Jombang, Cimanggis, dan Serpong. Untuk armada pengangkut sampah, Tangerang Selatan mengandalkan 29 truk pengangkut dan 30 mobil pick up. Daya angkut kendaraan itu hanya 5-8 m3 sampah sekali angkut.78 Retribusi sampah yang dihasilkan pasar tradisional juga dinilai minim karena terkendala aset yang masih dikelola oleh pihak Kabupaten Tangerang. Padahal, kalau di kelola Pemkot Tangerang Selatan potensinya cukup besar untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yepi, mengatakan retribusi dari pengelolaan sampah di tiga Pasar Tradisional yang saat ini masih dikelola PD Pasar Niaga
77
Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014. 78 “Hanya 20 Persen Sampah Tangerang Selatan Terangkut,” Tempo.co.id, 4 Juni 2014 diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2014/06/04/083582343/Hanya-20-Persen-SampahTangerang-Selatan-Terangkut
71
Kerta Rahaja Kabupaten Tangerang, sangat minim. retribusi yang diterima pihaknya dari tiga pasar yakni Pasar Serpong, Pasar Ciputat dan Pasar Cimanggis tidak lebih dari Rp. 18,1 juta perbulannya. Rinciannya, Pasar Serpong Rp. 10 juta per bulan, Pasar Ciputat Rp. 4,5 juta per bulan dan Pasar Cimanggis Rp. 3,6 juta per bulan. Setiap harinya, sebanyak 1.800 meter kubik sampah dihasilkan dari pasar tradisional. Pasar tradisional itu dikelola oleh PD Pasar Kerta Rahaja Kabupaten Tangerang karena belum diserahkan sebagai aset Pemkot Tangerang Selatan pasca pemekaran 2008 lalu. Pihaknya hanya mengangkut sampah-sampah di pasar tersebut ke Tempat Pembuangan Akhir di Cipeucang. Sedangkan, yang menarik retribusi merupakan petugas dari PD Pasar Niaga Kerta Rahaja dan DKPP menerima uang hasil retribusi melalui transfer dari PD Pasar. 79 Dilain pihak, PD.Pasar mengklaim bahwa permasalahan dalam pengelolaan sampah pasar-pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan adalah kesalahan dari Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman (DKPP) Tangerang Selatan. Karena jika pengelolaan sampah ada di bawah pengelolaan PD.Pasar yang dapat bekerja sama dengan pihak swasta, maka permasalahan penumpukan sampah tersebut bisa diatasi. “Sebenernya ya mas untuk masalah penumpukan sampah yang ada di pasar-pasar itu kalo kita yang mengelola sebenernya ga akan itu terjadi penumpukanpenumpukan, kita gampang aja sebenernya kerjasama sama swasta untuk hal sampah gitu ya beres tp ini kan sekarang yg kelola sampahnya DKPP Tangsel kalo numpuk gitu ya mungkin ada kekurangan apa gitu disana armada pengangkut atau apa.”80
79
“Tiga Pasar Belum Diserahkan ke Tangsel,” DetakSerang.com, 25 Oktober 2013 diakses dari http://www.detakserang.com/tangerang-selatan/item/254-tiga-pasar-belum-diserahkan-ke-tangsel 80 Wawancara langsung dengan Nurachman Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang pada 19 September 2014.
72
Belum tertanganinya sampah-sampah secara optimal yang dikarenakan belum diserahkannya aset pasar dari Kabupaten Tangerang juga mengakibatkan gagalnya Kota Tangerang Selatan mendapatkan Adipura di April tahun 2014 ini. Kegagalan mendapatkan Adipura dikarenakan masih banyaknya sampah yang menumpuk di pasar-pasar tradisional dan beberapa akses jalan utama. Dalam permasalahan ini dampak yang dirasakan tidak hanya oleh Kota Tangerang Selatan, melainkan pihak Kabupaten Tangerang juga merasakan dampak dari terkendalanya serah terima aset tersebut. Dalam pengelolaan dari aset pasar di Kota Tangerang Selatan, menjadikan koordinasi yang kurang optimal antara pihak-pihak yang berkegiatan di pasar-pasar tersebut dengan PD.Pasar. Hal ini dikarenakan lokasi pasar di Kota Tangerang Selatan dan PD.Pasar di Kabupaten Tangerang. Selanjutnya Kabupaten Tangerang mendapatkan penilaian jelek dari masyarakat karena dianggap serakah dan tidak mempunyai niatan untuk menyerahkan aset kepada Kota Tangerang Selatan. Ditambah kondisi beberapa pasar yang kumuh dinilai pihak Kabupaten Tangerang tidak serius dalam mengelola pasar-pasar tersebut. “Ya seperti kita ketahui bersama dan juga banyak di beritakan oleh media cetak maupun media online yang ditimbulkan adalah permasalahan penumpukan sampah dan kemacetan setaip harinya, pemkab disini juga banyak yang menilai tidak mempunyai niatan untuk menyerahkan pasar seperti yang di beritakan yang padahal kita juga sedang melakukan kajian terhadap permasalahan yang ada disana sebelum diserahkan. Yang jelas dampak lainnnya yaitu koordinasinya kurang optimal antara masyarakat yang melakukan aktifitasnya di pasar-pasar tersebut dengan pihak pd.pasar karena lokasi pasar-pasar tersebut berada di Kota Tangsel dan pd pasar di kabupaten.”81 “Penilaian masyarakat terhadap kami pd.pasar juga jelek sih ya karna ada beberapa kondisi pasar yg jelek seperti tidak terurus. Kaya tadi yg saya bilang 81
Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah Kabupaten Tangerang pada 19 Agustus 2014.
73
untuk melakukan revitalisasi sudah diniatkan tapi karna sekarang masih jadi permasalahan kaya gini kan juga mending nanti-nanti dulu liat keputusannya kaya gimana. Apa diserahkan apa tetap dibawah pengelolaan kita.”82
D. Proses Penyelesaian Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan dari Kabupaten Tangerang Dalam menyikapi permasalah terkendalanya serah-terima aset pasar tradisional yang sampai saat ini belum dilaksanakan, Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah membentuk panitia khusus (pansus) yang mengurusi masalah aset daerah dan melakukan koordinasi dengan Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk serta PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang untuk membahas permasalahan dan kelanjutan serah-terima aset pasar tradisional yang berada di wilayah Kota Tangerang Selatan. Hal ini dilakukan untuk membahas berbagai permasalahan yang ada dan mencari jalan keluar terbaik guna menyelesaikan serah-terima aset-aset pasar tradisional. Sementara ini data yang berkaitan dengan pasar-pasar tersebut harus segera dilengkapi lalu kemudian akan dilakukan joint opname (kerjasama perawatan), dan mapping permasalahan, mengenai sumber daya manusia akan dicari jalan keluarnya. “Untuk penyelesaiannya sih kami dari pihak tangsel sudah membentuk panitia khusus (pansus) yang mengurus masalah aset, kami pun selalu berkoordinasi dengan pihak kabupaten sebagai daerah induk kami dan pd pasar kabupaten yah dan dalam permasalahan ini, fasilitasi dari pihak provinsi sepertinya ngga ada setahu saya. Kami melakukan pertemuan hanya pihak-pihak terkait saja untuk membahas permasalahan dalam kelanjutan serah terima aset ini khususnya untuk pasar tradisional dan pdam yah.” 83
Dalam penyelesaiannya serah-terima aset pasar ini akan diterbitkan 2 Peraturan Daerah, yaitu Perda pencabutan dan Perda penyerahan. Setelah
82
Wawancara langsung dengan Nurachman Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang pada 19 September 2014. 83 Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014.
74
melakukan koordinasi dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang membahas kelanjutan serah terima aset dengan berbagai masalah dan kiranya bagaimana jalan keluar yang harus diambil pihak Kabupaten Tangerang harus melakukan mekanisme Perda dengan mengeluarkan Perda pencabutannya terlebih dahulu lalu kemudian dilanjutkan dengan Perda serah-terimanya ke pihak Tangerang Selatan. Ketika Pemkab Tangerang membahas permasalahan ini dibutuhkan data-data yang akan disampaikan ke DPRD, yang berarti data yang dibutuhkan harus valid. Sehingga ketika dilakukan serah-terima tidak menimbulkan permasalahan baru. “Setelah melakukan koordinasi dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang membahas kelanjutan serah terima aset dengan berbagai masalah dan kiranya bagaimana jalan keluar yang harus diambil mereka harus melakukan mekanisme perda dengan mengeluarkan perda penghapusannya dulu lalu dilanjutkan dengan perda serah terimanya ke pihak tangsel. Ketika mereka membahas itukan harus ada data-data yang disampaikan ke legislatifnya ya, itu berarti kan data-datanya harus valid, mungkin saat ini pihak kabupaten juga sedang melakukan kajian dulu kan sebelum diserahkan ke kami (tangsel) atau diajukan ke dewan untuk penghapusannya gitu kan yah.” 84
Pihak Kabupaten Tangerang juga sampai saat ini sedang melakukan kajian terhadap permasalahan serah-terima aset pasar. Ketika Pemerintah Kabupaten akan menyerahkan apakah sesuai dengan dokumen awal atau sesuai eksisting, aset yang akan dicabut dengan yang akan diserahkan harus sama. Maka bersama PD.Pasar, Pemerintah Kabupaten Tangerang sedang melengkapi seluruh data dan dokumen yang diperlukan, setelah itu akan dilakukan mapping permasalahan. Sebelum diajukan ke DPRD untuk persetujuan pencabutan dan serah-terimanya. Perkembangan terakhir semua aset pasar yang berada di wilayah Tangerang Selatan sedang dilakukan inventarisasi yang jika sudah selesai dan lengkap datadata yang dibutuhkan maka draftnya akan di bahas di DPRD dan dirapatkan. Jika 84
Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014.
75
di dalam rapat tersebut telah disetujui, maka dari Pihak Kabupaten Tangerang akan segera melakukan serah terima aset pasar tradisional tersebut ke pihak Kota Tangerang Selatan. “Kami juga terus berkoordinasi membahas penyelesaian masalah bersama di perusahaan daerah tersebut. Kalau sudah selesai dibahas kan pastinya nanti ada serah terima. Tetapi saya tidak tahu persis ya kapan akan di serahkannya itu kan nanti keputusan pimpinan dan pengumpulan data-data yang diperlukan. Perkembangan terakhir semua aset pasar yang berada di wilayah Tangerang Selatan sudah di inventarisasi yang sebentar lagi draft nya akan di bahas di dewan dan dirapatkan. Kalau dewan setuju nanti kita pemda juga akan langsung menyerahkan.”85
Pemerintah Kabupaten Tangerang menjanjikan permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan akan selesai di akhir tahun 2014 dengan catatan kontrak-kontrak yang ada dengan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang itu sudah selesai. Mengenai kontrak dengan pihak ketiga, yang sedang dilakukan oleh pihak Kabupaten Tangerang adalah mereview ulang kontrak tersebut agar diselesaikan oleh PD.Pasar, begitu kontrak itu selesai dengan PD.Pasar Kabupaten Tangerang aset pasar semuanya akan diserahkan kepada Kota Tangerang Selatan. Hal ini dilakukan supaya dalam penyerahan aset pasar tradisional tidak melanggar aturan dan bersih tanpa ada masalah lagi dengan pihak ketiga. Untuk itu pihak Kabupaten Tangerang akan memutus kontrak pasar di Kota Tangerang Selatan itu dengan pihak ketiga sebelum diserahkan. Untuk menghindari kedepannya tidak ada masalah hukum perdata, gugat menggugat antara pengelola baru dan pengelola lama dengan PD.Pasar Kabupaten Tangerang dan Pemkot Tangerang Selatan. Terlebih, Pemkab Tangerang saat ini tengah melakukan evaluasi pasar tradisional yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang. 85
Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah Kabupaten Tangerang pada 19 Agustus 2014.
76
“Yang sedang kami lakukan saat ini adalah mereview ulang kontrak tersebut agar diselesaikan oleh pd pasar secepat-cepatnya pak. Begitu kontrak itu selesai dengan pd pasar kabupaten tangerang itu semuanya akan kita serahkan kepada kota tangerang selatan, Sekali lagi saya ulangi pak untuk pd pasar dalam waktu dekat akan kita serahkan dengan catatan kontrak-kontrak yang ada dengan pd pasar kabupaten tangerang itu sudah selesai semua nih tuntas kontraknya. Dalam penyerahan aset seperti pasar tradisional agar tidak melanggar aturan dan menyerahkannya bersih tanpa ada masalah lagi dengan pihak ketiga. Untuk itu kami akan memutus kontrak tiga pasar di Kota Tangsel itu dengan pihak ketiga sebelum diserahkan. Terlebih, Pemkab Tangerang saat ini tengah melakukan evaluasi pasar tradisional yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang. Jadi kedepannya tidak ada masalah hukum perdata gugat menggugat antara pengelola baru dengan pengelola lama dengan pd pasar kabupaten tangerang dan pemkot tangerang selatan itu yang kita hindari. Yak akhir tahun ini juga akan selesai itu bisa diserahkan, akhir tahun kalo sudah tidak ada masalah. Terimakasih” 86
Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga telah melakukan koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan berkirim surat untuk memfasilitasi persoalan-persoalan mengenai serah terima aset daerah antara Pemkot Tangerang Selatan dan Pemkab Tangerang, terutama mengenai pasar ini. Dalam hal ini BPK siap untuk memfasilitasi permasalahan aset di Tangerang Selatan. Sehingga harapannya kekhawatiran pihak Kabupaten Tangerang dalam persoalan kontrak dengan pihak ketiga, dapat didiskusikan dan diselesaikan bersama. Karena kalau hanya mengandalkan pihak Kabupaten dengan pengelola yang sekarang tidak akan selesai-selesai permasalahan aset pasar ini. “Tadi saya sudah bisik-bisik ke pak zaki bahwa hasil penemuan BPK bahwa apa yang menjadikan ke khawatiran dari pihak pemkab kabupaten tangerang, kita sudah minta, di undang-undang 51 pembentukan Kota Tangerang Selatan yang memfasilitasi untuk serah terima aset itu adalah provinsi Banten, Gubernur dalam hal ini. Tapi di satu sisi kita juga melihat ke khawatiran dari BPK, sehingga kita juga sudah berkirim surat kepada BPK dan BPK juga sudah memberikan balasan kepada kami bahwa mereka siap untuk memfasilitasi persoalan-persoalan mengenai serah terima aset daerah antara pemkot tangsel dan pemkab tangerang, terutama mengenai pasar ini. Jadi harapannya kekhawatiran pak bupati tadi persoalan dengan pihak ketiga, kita duduk bareng sama-sama bisa selesai. Harapan saya sebagai pemimpin tangsel sih ya secepatnya jangan menunggu akhir tahun. Makanya kita minta nanti difasilitasi oleh BPK, jadi difasilitasi oleh 86
Keterangan Ahmed Zaki Iskandar dalam acara fun bike dan talk show interaktif “Pemimpin Muda Membangun Tangerang pada 11 Mei 2014.
77
BPK. Apalagi kami pemkot tangsel sedang sorotan luar biasa persoalan hukum. Sehingga kami pun tidak mau salah melangkah. Kami mebuat kebijakan, kami berkirim surat dan Alhamdulillah surat jawabannya sudah ada dari BPK dan kami sudah bertelfon langsung dengan kepala BPK nya “siap bu wali. kapan pak bupati dan bu wali siap kita akan membantu untuk memfasilitasi agar tidak ada jangan ada salah secara aturan dan ketentuan tentunya.”87
Harapan besar dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan adalah secepatnya serah terima aset pasar tradisional ini dapat dilaksanakan, dan permasalahan yang ditimbulkan dapat segera diselesaikan dengan baik. Karena saat ini Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga sedang menjadi sorotan publik mengenai persoalan hukum, sehingga tidak ingin salah melangkah dalam mengambil kebijakan.
87
Keterangan Airin Rachmi Diany dalam acara fun bike dan talk show interaktif “Pemimpin Muda Membangun Tangerang” pada 11 Mei 2014.
78
BAB V PENUTUP
Pembentukan daerah otonom baru melalui pemekaran wilayah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Akan tetapi dalam perjalanannya, daerah hasil pemekaran masih saja dihadapkan dengan permasalahan yang mengakibatkan kurang optimalnya pelayanan kepada masyarakat. Sebagai contoh permasalahan pembagian dan penyerahan aset pasar tradisional yang berada di Kota Tangerang Selatan sebagai daerah hasil pemekaran. Walaupun sudah berdiri sejak 2008, sampai saat ini di tahun 2014 aset tersebut belum juga diserahkan oleh pihak Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk. Mengingat bahwa ada tiga tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor penyebab, mengetahui dampak dan mengetahui penyelesaian permasalahan serah-terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan, maka dalam bab terakhir ini berisi kesimpulan guna memenuhi tujuan dari penelitian ini. Peneliti juga memberikan saran yang diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan penyelesaian permasalahan yang terjadi. A. KESIMPULAN Berdasarkan analisis dari penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
79
1. Penyebab permasalahan dalam serah terima aset pasar tradisional di Tangerang Selatan terdiri dari beberapa faktor diantaranya: Faktor struktural, berasal dari Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan dan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 25 Tentang Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang dan PD.Pasar masih terikat kontrak kerjasama dengan pihak swasta. Faktor kepentingan, yaitu adanya kepentingan dalam pengelolaan keenam aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan yang dianggap berpotensi menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar. Faktor hubungan antar manusia, adanya ketidak sepahaman antara elit kedua pemerintahan,
disatu
menyerahkan
aset
sisi
pasar
pihak
Kabupaten
Tangerang
tetapi
diselesaikan
terlebih
akan dahulu
permasalahannya, disisi lain pihak Tangerang Selatan menilai tidak ada niatan Kabupaten Tangerang untuk menyerahkan aset dan menuntut agar segera diserahkan beserta permasalahan yang ada. Faktor data, adanya keterbatasan data dan dokumen kelengkapan aset pasar tradisional di pihak Kabupaten Tangerang dan ketidaksesuaian yang tercatat sebagai aset di PD.Pasar dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang. 2. Dampak yang diakibatkan dari belum diserah-terimakan aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan adalah Pemerintah Kota Tangerang Selatan tidak mendapatkan pemasukan atau pendapatan
80
yang berasal dari badan usaha pasar tradisional. Disamping itu timbulnya permasalahan seperti kesemrawutan di sekitaran pasar-pasar tradisional dengan tidak tertatanya pedadang kaki lima (PKL) yang mengakibatkan kemacetan dan penumpukan sampah yang kadang tidak terangkut oleh petugas kebersihan yang menjadi salah satu indikator kegagalan Kota Tangerang Selatan meraih adipura di tahun 2014. Selain itu, Pemerintah Kota Tangerang Selatan terkendala untuk melakukan penataan dan revitalisasi pasar-pasar tradisional karena belum tercatat sebagai aset daerah Tangerang Selatan. 3. Dalam penyelesaian permasalahan serah-terima aset pasar tradisional, Pemerintah Kota Tangerang membentuk panitia khusus (pansus) yang mengurusi masalah aset daerah dan melakukan koordinasi dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang diwakili oleh pihak terkait yaitu dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang dan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang untuk membahas berbagai permasalahan yang ada dan mencari jalan keluar terbaik dalam menyelesaikan serah-terima aset pasar tradisional di Tangerang Selatan. Pihak Kabupaten Tangerang sedang melakukan kajian dan mengumpulkan data dan dokumen kelengkapan aset pasar yang kemudian akan diserahkan ke DPRD untuk persetujuan dan dikeluarkan Perda pencabutan dan Perda penyerahan. Dalam hal keterkaitan dengan pihak ketiga, Pemerintah Kabupaten Tangerang melakukan review ulang terhadap perjanjian tersebut sebelum
81
diserahkan untuk menghindari permasalahan dikemudian hari. Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memfasilitasi permasalahan dalam serah terima aset yang berada di Tangerang Selatan. B. SARAN Peneliti menyarankan agar Pemerintah Kota Tangerang Selatan meminta pihak Provinsi Banten untuk memfasilitasi permasalahan serah-terima aset-aset yang belum diserahkan dari pihak Kabupaten Tangerang. Seharusnya pihak Provinsi Banten juga sudah melakukan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam serah terima aset di Kota Tangerang Selatan sebab permasalahan ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Karena mengacu kepada Undang-Undang Nomor 51 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan dijelaskan paling lambat penyerahan aset daerah adalah lima tahun, apabila itu tidak dilaksanakan oleh pihak Kabupaten Tangerang, Gubernur Banten selaku wakil pemerintah wajib menyelesaikannya.
82
DAFTAR PUSTAKA Buku: Djanuri, M. Aries, dkk., Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Universitas Terbuka, 2010. Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers, 2003. Fathurahman, Pupuh. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011. Hadi, Syamsul, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Harrison, Lisa. Metode Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, 2007. Kristiyono, Nanang. “Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang; Analisis terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya.” Tesis Magister Ilmu Politik, Universitas Dipinegoro Semarang, 2008. Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 146. Marbun, B.N. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010. Mariana, Dede. dan Caroline Paskarina, Demokrasi & Politik Desentralisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2006. Mubarak, M. Zaki, dkk., Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, 2007. Pruit, Dean G. dan Jeffrey Z Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Ratnawati, Tri. Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Rojak, Abdul, dkk., Sejarah Berdirinya Kota Tangerang Selatan. Tangsel: Green Komunika, 2010.
xi
Setiadi, Elly M, dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya). Jakarta: Kencana, 2010. Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Subakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 2010. Widjaja, HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2005. Koran/Internet: “Airin Minta Aset, Zaki Butuh Proses,” Satelit News, 4 September 2013 diakses dari http://satelitnews.co.id/?p=22160 Arief, Kurniawan T. Pemekaran Wilayah: Menimbulkan Masalah Baru. artikel diakses dari http://kompasiana.com/post/read/528530/2/pemekaran-wilayah-dankemiskinan-baru-bag2.html “Aset Belum Diserahkan Program Kerja KPMD Tangsel Terganggu”Kabar6.com, diakses dari http://www.kabar6.com/tangerang-raya/tangerang-selatan/7463-asetbelum-diserahkan-program-kerja-kpmd-tangsel-terganggu.html “Hanya 20 Persen Sampah Tangerang Selatan Terangkut,” Tempo.co.id, 4 Juni 2014 diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2014/06/04/083582343/Hanya-20-PersenSampah-Tangerang-Selatan-Terangkut Harmantyo, Djoko. Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola Perkembangan
Wilayah
di
Indonesia.
artikel
diakses
dari
http://geografi.ui.ac.id/portal/sivitas-geografi/dosen/makalah-seminar/4962/ “Ini Alasan Pemkab Tangerang Tidak Serahkan Aset Ke Pemkot Tangsel,” TangselOke.com, 9 September 2013 diakses dari http://tangseloke.com/news/2013/09/09/ini-alasan-pemkab-tangerangtidak-serahkan-aset-ke-pemkot-tangsel/
xii
“Pemkab Akan Putus Kontrak 3 Pasar di Tangsel,” HarianTangerang.com, 11 Desember 2013 diakses dari http://hariantangerang.com/news/2013/12/pemkab-akan-putus-kontrak-3pasar-di-tangsel “Pemkot Tangsel Tuntut Penyerahan Aset Pasar”Harian Umum Suara Tangsel, 30 Maret 2012 diakses dari http://appsitangsel.wordpress.com/2012/03/30/pemkot-tangsel-tuntutpenyerahan-aset-pasar-pasar-tradisional-semrawut/ “Pemkot Tunggu Surat Bupati Zaki Soal Aset Pasar,” Tangsel Pos, 13 Desember 2013. “Sumbang PAD Besar Pemkab Tangerang Mikir Serahkan Tiga Pasar Ke Tangsel,” Detak.co.id, diakses dari http://www.detak.co.id/tangerang/item/524-sumbang-pad-besar-pemkabtangerang-mikir-serahkan-tiga-pasar-ke-tangsel “Tiga Pasar Belum Diserahkan ke Tangsel,” DetakSerang.com, 25 Oktober 2013 diakses dari http://www.detakserang.com/tangerang-selatan/item/254-tigapasar-belum-di-serahkan-ke-tangsel Website Resmi Kabupaten Tangerang. tangerangkab.go.id Website Resmi Kota Tangerang Selatan. tangerangselatankota.go.id Dokumentasi: Dokumentasi fun bike dan talk show interaktif “Pemimpin Muda Membangun Tangerang pada 11 Mei 2014. Notulensi rapat tentang perkembangan serah terima aset pasar tradisional pada 4 Juni 2014 di DPPKAD Tangerang Selatan. Peraturan: Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah
xiii
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara
Pemerintah,
Pemerinyahan
Provinsi,
dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan Wawancara: Wawancara langsung dengan Nurachman Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja pada 19 September 2014. Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Daerah DPPKAD Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014. Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah BPKAD Kabupaten Tangerang pada 19 agustus 2014.
xiv