Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
KONDISI HEMATOLOGIS INDUK DOMBA BUNTING YANG DISUPEROVULASI SEBELUM PERKAWINAN DAN DIBERIKAN EKSTRAK TEMULAWAK PLUS SELAMA PERIODE KEBUNTINGAN (Hematological Condition of Superovulated Sheep Prior to Mating and Administration of Temulawak during Pregnancy) ANDRIYANTO, R. ARIF, GANJAR, M. DARJAT dan W. MANALU Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor
ABSTRACT This experiment was designed to study the combination effects of temulawak extract plus and superovulation (to improve endogenous secretion of pregnancy hormones) on hematological parameters of sheep during pregnancy and lamb birthweight. Sixteen adult dams were groupped into 4 treatments i.e, the sheep without temulawak extract plus and without superovulation administration (control), sheep without temulawak extract plus administration with superovulation given (treatment 1), sheep with temulawak extract plus administration without superovulation (treatment 2), and sheep with temulawak extract plus and superovulation administration (treatment 3). Temulawak extract plus was administered every week during pregnancy with a dosage of 1 mg/bw. Result showed that superovulated sheep with and without administration of temulawak extract plus had higher number of red blood cells, hemoglobin value, hematocrit percentage, and lamb birth weight compared to control. Neutrophil and neutrophil to lymphocyte ratio increased in superovulated sheep with or without temulawak extract plus administration. It was concluded that the increasing litter size in superovulated sheep did not decrease red blood cells parameters but increased stress indictors (N/L) during pregnancy. Key Words: Temulawak, Red Blood Cells, White Blood Cells, Sheep ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kombinasi pemberian ekstrak temulawak plus dan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan pada kondisi hematologis induk serta bobot lahir anak. Sebanyak 16 ekor domba betina dewasa kelamin dikelompokkan menjadi 4 kelompok perlakuan, yaitu domba yang tidak diberikan formulasi ekstrak temulawak plus dan tanpa perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan (kontrol), domba yang diberikan formulasi ekstrak temulawak plus tanpa diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan (perlakuan 1), domba tanpa diberikan formulasi ekstrak temulawak plus tetapi diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan (perlakuan 2), dan domba yang diberikan formulasi ekstrak temulawak plus dan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan (perlakuan 3). Ekstrak temulawak diberikan setiap minggu selama kebuntingan dengan dosis 1 mg/kg bb. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah darah merah, nilai hemoglobin, persentase hematokrit, dan bobot lahir pada kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus serta kelompok domba yang hanya diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan saja mengalami peningkatan dibandingkan dengan kelompok domba yang diberikan ekstrak temulawak plus dan kelompok domba kontrol (P < 0,05). Persentase netrofil dan rasio netrofil terhadap limfosit (N/L) mengalami peningkatan pada domba yang disuperovulasi baik yang diberi atau yang tidak diberi ekstrak temulawak plus. Kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah peningkatan jumlah anak per induk pada perlakuan superovulasi baik dengan maupun tanpa pemberian ekstrak temulawak plus tidak menggangu parameter darah merah, tetapi menunjukkan indikasi peningkatan cekaman. Kata Kunci: Temulawak Plus, Darah Merah, Darah Putih, Domba
500
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENDAHULUAN Indonesia tercatat sebagai negara dengan konsumsi protein hewani paling rendah di Asia Tenggara. Konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia baru mencapai 3,4 g/orang/hari, yang berasal dari daging 2,1 g, telur 0,74 g, dan susu 0,36 g (KEMENTAN, 2010). Selama ini konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia hanya sebesar 56,67% dari standar yang ditetapkan Food and Agriculture Organization (FAO), yaitu sebesar 6 g/orang/hari (RIFAI, 2011). Keadaan ini memang sangat memprihatinkan mengingat negara Indonesia memiliki potensi peternakan dan pertanian yang seharusnya mampu menghasilkan ternak guna pemenuhan kebutuhan protein hewani dalam negeri. Selama ini, kebutuhan protein hewani asal ternak, terutama daging dan susu, masih dipenuhi melalui impor dari luar negeri (KEMENTAN, 2010). Kendala utama yang dihadapi oleh dunia peternakan di Indonesia ialah populasi induk produktif yang rendah, daya reproduksi dan produksi yang rendah (KEMENTAN, 2010) dan anak-anak yang dihasilkanpun tidak tumbuh dengan optimum (MANALU et al., 1996; ADRIANI et al., 2004). Akibatnya, anak yang dihasilkan tersebut untuk mencapai bobot pasar membutuhkan waktu pemeliharaan yang lebih lama. Masalah lainnya adalah tumbuh kembang anak dalam kandungan tidak optimum, bobot lahir di bawah normal, dan produksi susu induk yang tidak mencukupi sehingga banyak anak yang dilahirkan akhirnya mati sebelum mencapai umur penyapihan atau umur dipasarkan (MANALU et al., 1995; MEGE et al., 2007). Penelitian sebelumnya pada domba dan kambing telah berhasil memperbaiki kualitas anak yang dilahirkan dengan mengoptimalkan fungsi ovarium sebagai pabrik penghasil hormon endogen kebuntingan (MANALU et al., 1995; MANALU dan SUMARYADI, 1996). Penelitian tersebut juga telah berhasil memperbaiki kondisi hormonal induk selama kebuntingan dengan cara meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum dalam ovarium induk (MANALU dan SUMARYADI, 1995; ADRIANI et al., 2007; MEGE et al., 2007;
ANDRIYANTO dan MANALU, 2010). Peningkatan jumlah folikel dan korpus luteum tersebut dapat dilakukan dengan pemberian Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) atau superovulasi (MANALU dan SUMARYADI, 1995). Selain untuk menghasilkan ovulasi sel telur yang lebih banyak (NOWSHARI dan ALI, 2005; CORTES et al., 2006; TOPOLEANU et al., 2008; RAHMAN et al., 2008; COELLO et al., 2008), superovulasi juga mampu memperbaiki sekresi endogen hormon kebuntingan melalui peningkatan jumlah folikel dan korpus luteum (SUMARYADI dan MANALU, 1995; MANALU et al., 1996; MANALU et al., 1997; MANALU et al., 2000; DE FEU et al., 2008; DUPRAS et al., 2010). Peningkatan sekresi endogen hormonhormon kebuntingan memberikan hasil akhir perbaikan pertumbuhan embrio dan fetus selama di kandungan (SUMARYADI dan MANALU, 1995; ADRIANI et al., 2007), tumbuh kembang kelenjar susu (SUMARYADI dan MANALU, 1995; MANALU et al., 1996; MANALU et al., 1997; MANALU et al., 2000; DEMENTRIO et al., 2009). Akibat dari perbaikan-perbaikan tersebut bobot lahir menjadi lebih baik dan ketersediaan susu induk tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga peningkatan tumbuh kembang serta daya hidup anak sebelum penyapihan menjadi jauh lebih baik (MANALU et al., 1997; MANALU dan SUMARYADI 1998; SUMARYADI dan MANALU, 2001). Namun, ada fenomena yang menarik dalam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu domba yang memiliki anak 3 mempunyai bobot lahir yang relatif kecil dibandingkan dengan domba beranak 1 atau 2. Secara empiris temulawak (Curcuma xanthoriza) sudah banyak digunakan untuk memperbaiki kondisi tubuh (LEE et al., 2008). Xanthorizol yang terdapat dalam temulawak memiliki khasiat meningkatkan nafsu makan (CHOI et al., 2004) sehingga secara tidak langsung kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dengan optimal. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan ekstrak temulawak plus untuk memperbaiki kondisi fisiologis domba bunting yang diperbaiki sekresi endogen hormon kebuntingannya sehingga domba-domba yang memiliki anak lebih banyak akan memiliki bobot lahir dan kualitas yang lebih baik.
501
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
MATERI DAN METODE Tahap persiapan Penelitian ini menggunakan domba betina yang telah mencapai dewasa kelamin yang berumur sekitar 15 bulan dengan bobot badan 22 sampai dengan 25 kg. Sebanyak 16 ekor domba betina dikelompokkan ke dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan, yaitu domba yang tidak diberikan formulasi ekstrak temulawak plus dan tanpa perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan (kontrol), domba yang diberikan formulasi ekstrak temulawak plus tanpa diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan (perlakuan 1), domba tanpa diberikan formulasi ekstrak temulawak plus tetapi diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan (perlakuan 2), dan domba yang diberikan formulasi ekstrak temulawak plus dan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan (perlakuan 3). Tahap pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian terdiri atas dua tahapan, yaitu sinkronisasi siklus estrus dan induksi perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dengan pemberian hormon PMSG atau superovulasi. Sinkronisasi berahi dilakukan dengan penyuntikan hormon prostaglandin (PGF2α) pada hari ke-1 dan 11 dengan dosis 10 mg/ekor domba (Lutalyse® Pharmacia, Jerman). Sementara itu, hormon PMSG disuntikkan bersamaan penyuntikan hormon prostaglandin yang ke-2 dengan dosis 200 IU/ekor domba (PG600® Intervet, Belanda). Dalam kisaran waktu 24 sampai dengan 36 jam setelah penyuntikan prostaglandin yang ke-2, domba-domba percobaan telah berahi dan siap untuk dikawinkan dengan domba jantan yang telah diseleksi. Ekstrak temulawak diberikan setiap minggu selama kebuntingan dengan dosis 1 mg/kg bb (sudah dikalibrasikan dari manusia ke domba). Pengambilan data dan parameter yang diamati Parameter yang diamati di dalam penelitian ini meliputi parameter kodisi fisiologis induk domba selama kebuntingan dan kualitas
502
bakalan yang dihasilkan. Parameter kodisi fisiologis induk domba selama kebuntingan terdiri atas gambaran darah merah dan gambaran diferensial darah putih. Sementara itu, parameter kualitas bakalan yang dihasilkan yang meliputi jumlah anak yang dilahirkan, rasio anak per induk, bobot lahir anak, total bobot lahir anak per induk, jumlah anak yang disapih, bobot sapih, total bobot sapih, dan kematian anak sampai penyapihan. Pengambilan sampel darah dilakukan pada hari ke-0 (sebelum domba dikawinkan), pada bulan ke-1, 2, 3, 4 dan 5 selama kebuntingan. Pengambilan sampel dilakukan pada vena jugularis menggunakan spuit sebanyak 3 ml, kemudian darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang mengandung antikoagulan etil diamin tetra acetic acid (EDTA) untuk memperoleh whole blood. Kemudian sampel darah tersebut digunakan untuk mengukur data hematologis yang terdiri atas jumlah eritrosit dengan metode hemostimeter, kadar hemoglobin dengan metode Sahli dan nilai hematokrit dengan metode mikrokapiler. Sementara itu, analisis diferensial darah putih meliputi jumlah limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, serta basofilnya dengan menggunakan metode preparat ulas yang diwarnai dengan Giemsa. Selanjutnya, parameter kualitas bakalan didasarkan penghitungan pada bobot lahir dan lepas sapih, jumlah anak yang dilahirkan serta kematian anak pada sampai penyapihan. Analisis data Data yang diperoleh dievaluasi dengan analysis of variance (ANOVA). Jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan parameter rata-rata gambaran darah merah selama periode kebuntingan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Jumlah eritrosit pada kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus serta kelompok domba yang hanya diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan saja mengalami
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Tabel 1. Rata-rata gambaran darah merah domba penelitian selama periode kebuntingan Jumlah eritrosit (106/mm3)
Hematokrit (%)
Hb (gram%)
Kontrol
11,43 ± 1,38a
23,64 ± 1,09a
12,64 ± 0,96a
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan
14,72 ± 0,75c
27,02 ± 0,97c
14,44 ± 0,73c
b
b
13,36 ± 1,22b
27,55 ± 0,94c
15,10 ± 0,84d
Perlakuan
Temulawak
12,77 ± 1,80
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan Temulawak
15,38 ± 0,75c
24,77 ± 1,69
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
peningkatan dibandingkan dengan kelompok domba yang diberikan ekstrak temulawak plus dan kelompok domba kontrol (P < 0,05). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada persentase hematokrit (P < 0,05). Sementara itu, nilai hemoglobin tertinggi terdapat pada kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan temulawak diikuti oleh kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan, kelompok domba yang diberikan ekstrak temulawak plus. Kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus serta kelompok domba yang hanya diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan memiliki jumlah anak di dalam kandungan yang lebih banyak. Konsekuensi jumlah anak di dalam kandungan yang lebih banyak tentunya membutuhkan nutrisi dan oksigen yang lebih banyak pula (LOPEZ et al., 2005). Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 1) pada kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus serta kelompok domba yang hanya mendapatkan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan memiliki jumlah eritrosit, hematokrit, dan hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan domba kontrol. Ini berarti bahwa pertambahan jumlah anak yang di kandung diiringi pertambahan jumlah eritrosit, hematokrit, dan hemoglobin sebagai respons homeostasis tubuh terhadap perubahan tersebut. Sementara itu, rata-rata gambaran diferensial darah putih domba penelitian selama periode kebuntingan disajikan pada Tabel 2. Secara umum, setiap parameter gambaran diferensial darah putih tidak mengalami kenaikan atau penurunan yang berarti, kecuali pada persentase netrofil.
Persentase netrofil pada kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus serta kelompok domba yang hanya diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan saja mengalami peningkatan dibandingkan dengan kelompok domba yang diberikan ekstrak temulawak plus. Sementara itu, urutan rasio N/L (netrofil per limfosit) dari yang tertinggi ke yang terendah adalah kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus, domba yang hanya diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan saja, domba yang diberikan ekstrak temulawak plus saja, dan domba kontrol. Rasio N/L biasanya digunakan sebagai indikator terhadap cekaman atau stres yang dialami oleh hewan (KANAN, 2000). Pada kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus dan domba yang hanya diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan saja memiliki cekaman stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok domba kontrol. Hal ini terjadi sebagai akibat dari pemenuhan nutrisi anak yang dikandung pada kelompok tersebut yang lebih banyak. Dengan kata lain, telah terjadi cekaman metabolik pada domba yang mempunyai jumlah anak di dalam kandungan yang lebih banyak dibandingkan dengan domba bunting dengan jumlah anak yang sedikit. Cekaman pada hewan merupakan respons biologi yang ditimbulkan ketika individu mengalami ancaman terhadap keseimbangannya atau homeostasis tubuh (MOBERG dan MENCH, 2000). Cekaman dapat disebabkan antara lain oleh transportasi hewan, beban metabolik yang terlampau tinggi dan (MOBERG dan MENCH,
503
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
504
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
2000). Cekaman dapat disebabkan antara lain oleh transportasi hewan, beban metabolik yang terlampau tinggi dan perubahan lingkungan (PHILLIPS, 2002). Selanjutnya, jumlah anak yang dilahirkan, rasio anak per induk, rataan bobot lahir, total bobot lahir per induk, dan total bobot lahir dari 4 ekor induk disajikan pada Tabel 3. Hasil pengamatan data jumlah anak yang dilahirkan, rasio anak per induk, rataan bobot lahir, total bobot lahir per induk, total bobot lahir dari 4 ekor induk pada kelompok domba yang diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus serta kelompok domba yang hanya diberikan perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan saja lebih baik dibandingkan dengan kelompok domba yang hanya diberikan ekstrak temulawak plus saja dan domba kontrol (P < 0,05). Pada periode lahir sampai dengan penyapihan, anak domba rentan terhadap penyakit dan kematian. Bakalan domba yang bertahan hidup sampai dengan penyapihan hanya domba yang memiliki performans yang baik, bobot lahir yang tinggi, dan kecukupan akan susu induk (SUMARYADI dan MANALU, 1995). Pada penelitian ini penambahan ekstrak temulawak plus terbukti mampu meningkatkan kualitas anak yang dilahirkan. Pemberian ekstrak temulawak plus pun secara tidak lansung juga memberikan pengaruh perbaikan
pada pemenuhan nutrisi dan oksigen yang lebih banyak. Xanthorizol yang terdapat dalam temulawak memiliki khasiat meningkatkan nafsu makan (CHOI et al., 2004) sehingga secara tidak langsung kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dengan optimal. Pemenuhan kebutuhan nutrisi akan menjaga fungsi faal tubuh berjalan sebagaimana mestinya (homeostasis) dan tumbuh kembang tubuh menjadi lebih optimal. Selain itu, kurkumin yang terdapat dalam temulawak memiliki manfaat sebagai hepatoprotektor dan berperan dalam menstimulasi pembentukan sel darah merah (LEE et al., 2008). Kombinasi perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan ekstrak temulawak plus ini telah terbukti sebagai salah satu alternatif terobosan solusi bagi peternak dalam penyediaan bakalan bermutu pada waktu yang singkat dengan kualitas dan produktivitas yang tinggi, serta adaptif terhadap lingkungan tropika lembab Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia masih belum mampu memenuhi permintaan bakalan dan harus mengeluarkan devisa negara untuk mengimpor bakalan dari luar negeri (KEMENTAN, 2010). Bahkan, pada tahun 2009 menurut Direktur Budidaya Ternak Ruminansia, Departemen Pertanian RI menyatakan bahwa impor sapi bakalan yang masuk ke Indonesia mencapai 1,1 juta ekor (KOMPAS, 2010).
Tabel 3. Jumlah anak yang dilahirkan, rasio anak per induk, rataan bobot lahir, total bobot lahir per induk, dan total bobot lahir dari 4 ekor induk Kontrol
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan
Temulawak
Perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan dan Temulawak
6
10
7
11
Rasio anak per induk
1,5
2,5
1,75
2,75
Rataan bobot lahir (kg/ekor)
3,17 ± 0,12a
3,65 ± 0,14b
3,19 ± 0,16a
3,57 ± 0,19b
Total bobot lahir per induk (kg)
4,76
9,13
5,58
9,82
Total bobot lahir dari 4 ekor induk (kg)
19,02
36,5
22,33
39,27
Parameter Jumlah anak yang dilahirkan (ekor)
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
505
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah peningkatan jumlah anak per induk pada perlakuan superovulasi baik dengan maupun tanpa pemberian ekstrak temulawak plus tidak mengganggu parameter darah merah, tetapi menunjukkan indikasi peningkatan cekaman. DAFTAR PUSTAKA ADRIANI, K. SUTAMA, A. SUDONO dan W. MANALU. 2004. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing Peranakan Etawah. Animal Production 6(2): 86 – 94. ADRIANI, K. SUTAMA, A. SUDONO dan W. MANALU. 2007. Prenatal growth in uterus of does by superovulation. Hayati J. Biosci. 14(2): 44 – 48. ANDRIYANTO dan W. MANALU. 2010. Prospek penerapan teknologi perbaikan sekresi endogen hormon kebuntingan pada domba skala peternakan rakyat. Prosiding Seminar Peranan Teknologi Reproduksi Hewan dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional. Bogor, 6 – 7 Oktober 2010. Bagian Reproduksi dan Kebidanan Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. hlm. 125 – 127.
DE FEU, M.A., J. PATTON, A.C.O. EVANS ,P. LONERGAN and S.T. BUTLER. 2008. The effect of strain of Holstein–Friesian cow on size of ovarian structures, periovulatory circulating steroid concentrations, and embryo quality following superovulation. Theriogenol. 70(7): 1101 – 1110. DITJENNAK. 2007. Percepatan Swasembada Daging 2010. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. DUPRAS, R., J. DUPRAS and Y. CHORFI. 2010. Estradiol-17β concentrations in blood and milk during superovulatory treatment in dairy cows. Reproduction, Fertility, & Development 22 (1): 245 – 245. KANNAN, T.H. 2000. Transportation of goats: Effects on physiological stress responsses and live weight loss: J. Anim. Sci. 78: 1450 – 1457. KEMENTAN. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan Kementrian Pertanian RI, Jakarta. KOMPAS. 2010. Tata lagi impor sapi, swasembada daging masih butuh waktu tiga tahun lagi. Artikel bisnis dan keuangan. Selasa, 26 Januari 2010. hlm. 16. LEE, Y.L., S.J. SEOK, R. YAYA and H.J. KWAN. 2008. Antibacterial activity of xanthorizol isolated from Curcuma xanthoriza Roxb. against foodborne pathogens. J. Food Protection. 71(9): 1926 – 1930.
CHOI, M.A., S.H. KIM, W.Y. CHUNG, J.K. HWANG and K.K. PARK. 2004. Xanthorizol, a natural from Curcuma xanthoriza, has an antimetastatic potential in experimental lung metastatic model. Biochemical and biophysical communication. 326(1): 210 – 217.
LOPEZ, V., G. BULNES, G. GARCIA, DOMINGUEZ and COCERO. 2005. The effects of previous ovarian status on ovulation rate and early embryo development in response to superovulatory FSH treatments in sheep. Theriogenol. 63(7): 1973 – 1983.
COELLO, M.J., R. GONZALEZ, C. CRESPO, M. GOMENDIO and E.R.S. ROLDAN. 2008. Superovulation and in vitro oocyte maturation in three species of mice (Mus musculus, Mus spretus and Mus spicilegus. Theriogenol. 70(6): 1004 – 1013.
MANALU, W., M.Y. SUMARYADI and N. KUSUMORINI. 1995. The effects of fetal number on maternal serum progesterone and estradiol of ewe during pregnancy. Bull. Anim. Sci. Special Edition pp. 237 – 241.
CORTES, M.A.C., C.S. TORRES, J.C.V. CHAGOYÁN, H.M.S. GÓMEZ, G.G. FARIÑA and M.A.M. RÍOS. 2006. Rat embryo quality and production efficiency are dependent on gonadotrophin dose in superovulatory treatments. Laboratory Animals 40(1): 87 – 95.
MANALU, W. dan M.Y. SUMARYADI. 1995. Hubungan antara konsentrasi progesteron and estradiol dalam serum induk selama kebuntingan dengan total massa fetus pada akhir kebuntingan. Pros. Seminar Nasional Sain dan Teknologi Peternakan. Balitnak, Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 57 – 62.
DEMETRIO, D.G.B., A. MAGALHAES and K. KING. 2009. Differences in embryo production between lactating and non-lactating holstein donor cows. Reproduction, Fertility, & Development 21(1): 168 – 175.
MANALU, W. dan M.Y. SUMARYADI. 1996. Pengaruh peningkatan sekresi progesteron selama periode kebuntingan dalam merangsang pertumbuhan fetus domba. J. Il. Pert. Indon. 6(2): 51 – 57.
506
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
MANALU, W., M.Y. SUMARYADI and N. KUSUMORINI. 1996. Effect of fetal number on concentrations of circulating maternal serum progesterone and estradiol of does during late pregnancy. Small Ruminant Research 23: 117 – 124. MANALU, W., M.Y. SUMARYADI, SUDJATMOGO dan A.S. SATYANINGTYAS. 1997. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan pada produksi susu selama satu periode laktasi pada domba yang menerima dua tingkat pemberian pakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Jilid II. Bogor, 18 – 19 November 1997. Puslitbang Peternakan. hlm. 417 – 423. MANALU, W. dan M.Y. SUMARYADI. 1998. Pengaruh superovulasi terhadap aktivitas sisi ovari pada domba ekor tipis. Biosfera (6):1 – 5. MANALU, W., M.Y. SUMARYADI, SUDJATMOGO and A.S. SATYANINGTYAS. 2000. Effect of superovulation prior to mating on milk production performance during lactation in ewes. J. Dairy Sci. 83: 477 – 483. MEGE, R.A., S.H. NASUTION, N. KUSUMORINI dan W. MANALU. 2007. Pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta babi dengan superovulasi. Hayati J. Biosc. 14(1). MOBERG, G.P. and J.A. MENCH. 2000. The Biology of Animal Stress. London, UK. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.
NOWSHARI, M.A. and S.A. ALI. 2005. Effect of season and gonadotropins on the superovulatory response in camel (Camelus dromedaries). Theriogenol. 64(7): 1526 – 1535. PHILLIPS, C. 2002. Cattle Behaviour and Welfare. UK. Blackwell Publishing. RAHMAN, A.N.M.A., R.B. ABDULLAH and W.E. WAN-KHADIJAH. 2008. Estrus synchronization and superovulation in Goats: Review. J. Biol. Sci. 8(7): 1129 – 1137. RIFAI, M. 2011. Aneh.. impor daging besar konsumsi rendah. http://www.economyokezone.com (12 Maret 2011). SUMARYADI, M.Y. and W. MANALU. 1995. The effects of corpora luteal number on serum progesterone and estradiol of ewes during luteal phase of estrous cycle and pregnancy. Bull. Anim. Sci., Special Edition: 231 – 235. SUMARYADI, M.Y. and W. MANALU. 2001. The profiles of weekly progesterone and estradiol concentrations during pregnancy in ewes: 2. their correlations with mammary growth indicates at parturition. Indonesian J. Tropical Agric. 10(1). TOPOLEANU, I., D. NADOLU and S. ZAMFIRESCU. 2008. Ovulatory response to superovulation different treatment in Goats. Analele SNBC 8(2): 142 – 147.
507