KOMUNIKASI PETANI PADA PELATIHAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM (CDCCAA) DI KECAMATAN PANGURAGAN KABUPATEN CIREBON
AFNIDA SHOFFATI NOORFAJRIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Petani pada Pelatihan Adaptasi Perubahan Iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016
Afnida Shoffati Noorfajria NIM I352130091
RINGKASAN
AFNIDA SHOFFATI NOORFAJRIA. Komunikasi Petani pada Pelatihan Adaptasi Perubahan Iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan RESFA FITRI Perubahan iklim merupakan permasalahan global yang terjadi saat ini, dan salah satu dari banyaknya permasalahan yang diakibatkan perubahan iklim adalah masalah pertanian. Petani memiliki kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai panduan dalam kegiatan pertanian. Namun, adanya perubahan iklim membuat mereka harus mampu beradaptasi dengan pola pertanian baru. Mereka diwajibkan untuk mengetahui terlebih dahulu musim tanam yang tepat untuk menghindari gagal panen nanti. Petani juga harus mampu melaksanakan kegiatan mitigasi dan adaptasi agar dapat menangani dampak perubahan iklim pada lahan pertaniannya. Meskipun demikian, para petani yang paling rentan terhadap masalah ini justru tidak memiliki pengetahuan terhadap perubahan iklim, padahal, petani sangat membutuhkan pengetahuan tersebut agar dapat berdaptasi dan terus melakukan usaha taninya meskipun pada musim kemarau. Untuk alasan tersebut Kementerian Pertanian bekerja sama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency) membuat program pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan adaptasi petani dalam menghadapi perubahan iklim bernama CDCCAA (Capacity Development for Climate Change Adaptation in Agriculture and Other Relevant Sectors). Akan tetapi, suatu program tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada komunikasi yang baik juga. Petani harus mengerti betapa pentingnya kegiatan mitigasi dan adaptasi, dan seberapa bahayanya perubahan iklim pada sektor pertanian, sehingga, jika petani sudah memiliki pengetahuan tersebut, diharapkan dapat merubah persepsi dan sikap petani terhadap perubahan iklim, sehingga petani ikut serta dalam kegiatan adaptasi. Selain hal tersebut, untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani, penyuluh juga harus tahu apa kebutuhan petani lokal, dan apa permasalahan ilkim pada daerah tersebut, sehingga selain meningkatkan kapasitas adaptif, petani diharapkan menjadi berdaya dan mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku komunikasi pada program yang diindikasikan oleh pengetahuan petani tentang perubahan iklim, sikap petani menghadapi perubahan iklim dan kecenderungan petani untuk bertindak setelah pelatihan. Berdasarkan survei dari 50 peserta pelatihan di Kabupaten Cirebon Kecamatan Panguragan, dan analisis SEM diketahui bahwa karakteristik individu berpengaruh signifikan terhadap proses komunikasi program pelatihan CDCCAA, dan faktor kosmopolitas berpengaruh signifikan juga pada perilaku petani terhadap risiko iklim perubahan. Selain itu, proses komunikasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku risiko perubahan iklim, dan penilaian dari pelatihan program tidak berpengaruh secara signifikan juga terhadap proses komunikasi. Kata kunci: adaptasi, perilaku komunikasi, perubahan iklim
SUMMARY
AFNIDA SHOFFATI NOORFAJRIA. Communication of Farmers Training Adaptation to Climate Change (CDCCAA) in District Panguragan Cirebon. Supervised by DJUARA P. LUBIS and RESFA FITRI Climate change is a global problem that occurs at this time, and one of the many problems caused by climate change is the problem of agriculture. Farmers have local wisdom passed down from generation to generation as a guide in farming activities. However, the existence of climate change makes them must be able to adapt to new agricultural patterns. They are required to know in advance the appropriate planting season in order to avoid crop failure later. Farmers also need to be able to implement the mitigation and adaptation activities to could handle the impact of climate change on agricultural land. Nonetheless, the farmers who are figure most susceptible to this problem are precisely not to have such knowledge, actually, farmers really need this knowledge to be able to adapt and continue to do his farming business although in the dry season. For these reasons the Ministry of Agriculture in collaboration with JICA (Japan International Cooperation Agency) create a training program that is devoted to improving the adaptability of farmers in the face of climate change named CDCCAA (Capacity Development for Climate Change Adaptation in Agriculture and Other Relevant Sectors). However, a program will not run properly if there is not good communication as well. Farmers should understand the importance of mitigation and adaptation activities, and how dangerous climate change in the agricultural sector, so that, if farmers already have such knowledge, is expected to change the perception and attitude of farmers to climate change, so that the farmers participating in the activities of adaptation. In addition, to increase the adaptive capacity of farmers, agricultural extension must also know what the needs of local farmers, and what climate problems in those area, so that besides to increasing the adaptive capacity, farmers are expected to become empowered and independent. The present study was aimed to evaluate the factors that influence of the communications programs that are indicated by the farmers' knowledge about climate change, the attitude of farmers facing climate change and the farmers tendency to act after the training. Based on the survey of 50 trainees in the Panguragan Subdistrict Cirebon Regency, and SEM analysis it is known that the individual characteristics significantly influence the communication process CDCCAA training program, and cosmopolity factors have also significant influence on the behavior of farmers against the risk of climate change. In addition, the communication process not significantly influence with attitudes to climate change risk, and assessment of training rogram not significantly influence with communication process also. Keywords: adaptation, behavior of communication, climate change
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMUNIKASI PETANI PADA PELATIHAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM (CDCCAA) DI KECAMATAN PANGURAGAN KABUPATEN CIREBON
AFNIDA SHOFFATI NOORFAJRIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi
Judul Tesis
: Komunikasi Petani pada Pelatiban Adaptasi Perubaban Iklim
Nama
: Afnida�Sboffati�Noorfajria
NIM
: 1352130091 '
(CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon
Disetujui oleb Komisi Pembimbin:g-
;,
sfa Fitri MPl St Anggota
'
"
Diketahui
o leh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Tanggal Ujian: 5 Januari 2016
Tanggal Lulus:
'1 5 FEB 20 'I 5
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga laporan penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai dengan Mei 2015 berjudul Komunikasi Pada Pelatihan Petani Terhadap Adaptasi Kerentanan Perubahan Iklim (Program CDCCAA di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon). Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada Ibu, adik, serta segenap keluarga atas do‟a dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Djuara P Lubis,MS dan Dr Ir Resfa Fitri,MPl ST selaku pembimbing tugas akhir, serta Dr Ir Ninuk Purnaningsih,MSi yang telah memberikan saran kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf pengajar, serta rekan-rekan Pasca Sarjana Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Rasa hormat, penulis sampaikan kepada para petani Desa Panguragan, Desa Kalianyar, serta para penyuluh di BP3K Panguragan yang telah memberikan rasa kekeluargaan dan kepercayaan kepada penulis untuk bersama-sama berdiskusi mengenai permasalahan perubahan iklim pada sektor pertanian, dan bantuannya dalam proses penelitian. Terima kasih juga kepada JICA dan Direktorat Pengelolaan Air dan Irigasi, Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian pada programnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2016 Afnida Shoffati Noorfajria
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Fakta Mengenai Perubahan Iklim dan Penyebabnya Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian di Indonesia Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Kerentanan Terhadap Perubahan Iklim Pengembangan Masyarakat Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Terhadap Perubahan Iklim Komunikasi risiko adaptasi kerentanan perubahan iklim Pelatihan Program Capacity Development for Climate Change Adaptation in Agriculture and other Relevants Sectors (CDCCAA) Kerangka Berpikir dan Hipotesis Definisi Operasional 3 METODE Lokasi dan Waktu Populasi Penelitian Rancangan Penelitian Data dan Instrumentasi Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pengumpulan Data Analisis Data 4 DESKRIPSI UMUM Deskripsi Desa Kalianyar dan Desa Panguragan Deskripsi Pelatihan CDCCAA Deskripsi Responden 5 PERILAKU KOMUNIKASI SAAT PELATIHAN PROGRAM CDCCAA DAN HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA dan Hubungannya Dengan Karakteristik Individu Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA dan Hubungannya Dengan Penilaian Terhadap Pelatihan Program 6 PERILAKU TERHADAP RISIKO PERUBAHAN IKLIM PELATIHAN PROGRAM CDCCAA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
1 1 5 5 6 6 6 6 7 8 10 12 13 15 21 22 24 29 29 29 30 30 31 32 33 33 33 35 40 43
43 44 45 48
Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program CDCCAA Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program CDCCAA dan Hubungannya Dengan Kekosmopolitan Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program CDCCAA dan Hubungannya Dengan Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program 7 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
48 51 54
61 61 62 63 67 74
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Komunikasi risiko dan adaptasi perubahan iklim Komunikasi perubahan iklim yang efektif Definisi operasional variabel perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA Definisi operasional variabel perilaku komunikasi petani pelatihan program CDCCAA Definisi operasional variabel karakteristik individu Definisi operasional variabel penilaian terhadap pelatihan program CDCCAA Definisi operasional variabel kekosmopolitan Deskripsi Desa Kalianyar dan Desa Panguragan tahun 2015 Karakteristik individu responden program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Jumlah dalam persen responden menurut perilaku komunikasi pada pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Nilai outer loading variabel X1 (karakteristik individu) Penilaian terhadap pembicara menurut peserta saat pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Penilaian terhadap fasilitas menurut peserta saat pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Nilai outer loading variabel X2 (penilaian terhadap program) Sebaran jawaban kognitif responden program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Prosentase skor afektif dan kecenderungan bertindak responden program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Kekosmopolitan responden program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Nilai outer loading variabel X3 (kekosmopolitan) Nilai outer loading variabel Y1 (perilaku komunikasi saat pelatihan) Nilai outer loading variabel Y2 (perilaku terhadap risiko perubahan iklim) Nilai koefisien, nilai t hitung, keputusan signifikansi antar variabel
17 18 25
18 25
25 26 27 28 34 40 43 44 45 46 47 48 49 51 54 55 56 59
DAFTAR GAMBAR 1
2 3
Kerangka berpikir komunikasi petani pada pelatihan adaptasi perubahan iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon. Model PLS komunikasi petani pada pelatihan adaptasi perubahan iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon. Model bootsrap komunikasi petani pada pelatihan adaptasi perubahan iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon.
23
57 59
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Uji Validitas dan Reliabilitas Analisa SEM dengan menggunakan software statistik SMART PLS Dokumentasi Penelitian
66 67 70
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi alam yang sangat luar biasa. Dengan iklimnya yang tropis, kondisi Indonesia berpotensi untuk memiliki sumber daya pertanian yang baik, dan hal tersebutlah yang menjadi keunggulan di Indonesia sebagai negara agraris. Akan tetapi, teknologi serta pembangunan yang semakin banyak justru menjadi bumerang bagi pelakunya, hal tersebut disebabkan karena pengembangan teknologi dan pembangunan tersebut tidak disertai dengan penjagaan alam dan penanggulangan dampak yang benar. Adanya campur tangan pihak asing, dan terjadi modernisasi tanpa pemeliharaan yang baik pada alam serta ditambah juga pertambahan penduduk yang juga berarti bertambahnya keinginginan manusia, maka terjadilah kerusakan lingkungan yang berakibat pula pada perubahan iklim. Menurut Bjorkman (2007), perubahan iklim terjadi karena banyaknya kerusakan di muka bumi. Kerusakannya terutama terjadi melalui produksi gas rumah kaca, yaitu gas yang memiliki efek yang sama dengan atap sebuah rumah kaca. Gas-gas itu memungkinkan sinar matahari menembus atmosfer bumi sehingga menghangatkan bumi, tetapi gas-gas ini mencegah pemantulan kembali sebagian udara panas ke ruang angkasa. Akibatnya, bumi dan atmosfer, perlahanlahan memanas. Gas rumah kaca utama yang terus meningkat adalah karbon dioksida. Gas ini adalah salah satu gas yang secara alamiah keluar ketika manusia menghembuskan napas, juga dihasilkan dari pembakaran batu bara, atau kayu, atau dari penggunaan kendaraan berbahan bakar bensin dan solar. Sebagian dari karbon dioksida ini dapat diserap kembali, antara lain melalui proses fotosintesis yang merupakan bagian dari proses pertumbuhan tanaman atau pohon. Namun, kini kebanyakan negara memproduksi karbon dioksida secara jauh lebih cepat ketimbang kecepatan penyerapannya oleh tanaman atau pohon, sehingga konsentrasinya di atmosfer meningkat secara bertahap. Berubahnya iklim dapat dilihat pada Laporan Keempat dari Intergovernmental Panel on Climate Change Assessment Report 4/AR4 IPCC akhir tahun 2007 . Laporan ini menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem fisik dan biologis alam. Laporan kelompok kerja yang bertanggung jawab atas pengetahuan dan teknologi (Scientific & Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi akan naik sebesar 1.8–4ºC, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm. Dalam data IPCC pada tahun sebelumnya, yaitu 2001 disebutkan bahwa dari tahun 18501899, 2001-2005 peningkatan suhu sebesar 0,76°C dan peningkatan air laut diperkirakan sebesar 1.8 mm pada periode 1961 sampai 2003 (Mochamad 2013). Perubahan iklim bukan saja merusak keseimbangan alam, dan berakibat pada bencana alam, erosi, kekeringan lahan dan sungai ataupun banjir yang semakin sering, perubahan iklim juga merupakan penyebab bertambahnya kemiskinan di Indonesia. Perubahan iklim telah merubah segala sektor, terutama
2
pertanian, terjadinya penguapan yang semakin banyak membuat curah hujan juga semakin meningkat yang dapat mengakibatkan banjir dan sekaligus menyebabkan kekeringan di tempat lain, hal tersebut pula yang merubah pola tanam serta keberhasilan panen para petani. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut dan kondisi alam semakin terpuruk, maka Indonesia akan mengalami rawan pangan (Lal 2013). Perubahan iklim ini juga sudah menjadi permasalahan lintas negara. Pada pertemuan negara-negara anggota PBB di Kyoto, Jepang pada Desember 1997, dan menghasilkan Protokol Kyoto. Protokol tersebut berisi bahwa negara-negara yang telah meratifikasinya bersepakat untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida dan gas rumah kaca (GKR). Indonesia sendiri menandatangani ratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004 dan Indonesia akan mendapatkan dana untuk melakukan proyek yang dapat mengurangi gas rumah kaca yang telah banyak disumbangkan oleh negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Jepang, setra negara-negara di Eropa (Wardhana 2010), padahal perubahan iklim tidak disebabkan oleh Indonesia saja, dan dengan meratifikasi protokol tersebut, Indonesia mejadi negara yang harus menanggung penaggulangan risiko perubahan iklim, padahal permasalahan perubahan iklim merupakan permasalahan global, dan sudah seharusnya semua negara bekerja sama untuk menaggulanginya, tidak hanya dibebankan pada negara yang memiliki hutan yang luas saja. Kerusakan alam dan perubahan iklim akan berdampak paling tinggi pada komunitas masyarakat yang paling miskin dan justru tidak memiliki sumbangsih terhadap perubahan iklim tersebut. Hal ini dikarenakan mereka tidak dapat melakukan upaya untuk mencegah adanya dampak dari perubahan iklim karena tidak ada kemampuan. Para buruh tani, penduduk atau suku yang asli pada suatu daerah, penduduk yang tinggal di tepi pantai, merupakan beberapa contoh para komunitas yang sangat rentan pada perubahan iklim. Mereka hanya bisa beradaptasi untuk menghadapinya. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan suatu proses yang masyarakat memiliki kemampuan dari dalam dirinya sendiri dalam menghadapi ketidak pastian (iklim) dimasa datang (Word Bank, 2008 dalam Handoko, Sugiarto dan Syaukat, 2008). Menurut Mochamad (2013), apa yang terjadi pada dunia saat ini adalah akibat dari perubahan iklim yang tentunya bagi negara-negara yang rentan menjadikan dirinya dalam situasi dan kondisi yang sama dalam menempatkan adaptasi sebagai aspek yang penting dan mendesak (priority and urgent). Dalam hal ini masyarakat mampu mengembangkan cara-cara tertentu yang dapat mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian dan perubahan secara tepat pada aktivitas mereka. Hal ini dapat berupa penyesuaian teknologi hingga perubahan tingkah laku individual, seperti perubahan jenis tanaman ketika ketersediaan air mulai menipis (Handoko et al. 2008). Setiap individu dituntut untuk dapat beradaptasi dan mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana alam akibat perubahan iklim. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa orang hanya akan mengubah sikap mereka terhadap hal yang ilmiah seperti perubahan iklim ketika pemahaman ilmiah dan informasi sudah secara luas dikomunikasikan (Boon 2013). Hal tersebut sangat relevan dengan progam pemerintah, yaitu program CDCCAA (Capacity Development for
3
Climate Change Adaptation in Agriculture and Other Relevant Sectors) yang ditujukan untuk mengkomunikasikan dampak perubahan iklim serta peningkatan kapasitas adaptif terutama pada sektor irigasi pada petani dan merubah persepsi petani terhadap perub iklim, karena dari beberapa dampak perubahan iklim, masalah pengairan pada lahan pertanian harus segera diatasi, dan Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah lumbung padi di Jawa Barat, sehingga program tersebut merupakan kegiatan prioritas di Kabupaten Cirebon. Akan tetapi, kegiatan atau program tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada komunikasi yang baik juga. Petani harus mengerti betapa pentingnya kegiatan mitigasi dan adaptasi, dan seberapa bahayanya perubahan iklim pada sektor pertanian, sehingga, jika petani sudah memiliki pengetahuan tersebut, diharapkan dapat merubah persepsi dan sikap petani terhadap perubahan iklim, sehingga ikut serta dalam kegiatan adaptasi. Selain hal tersebut, untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani, penyuluh juga harus tahu apa kebutuhan petani lokal, dan apa permasalahan ilkim pada daerah tersebut, sehingga selain meningkatkan kapasitas adaptif, petani diharapkan menjadi berdaya dan mandiri. Namun tidaklah mudah untuk mengkomunikasikan risiko dari perubahan iklim, karena informasi perubahan iklim adalah informasi yang tidak menentu, dalam artian, dapat terjadi kapan saja, bisa sangat cepat, maupun sangat lambat, sehingga dibutuhkan strategi komunikasi yang baik dalam menyampaikan pesannya. Peneliti, yang lebih mengerti secara teknis mengenai perubahan iklim dan bagaimana cara beradaptasi harus merubah terminologi dan strategi komunikasi untuk kejasama yang lebih baik (baik petani maupun non petani), serta meyakinkan bahwa penduduk mengerti mengenai isu perubahan iklim, dimana peneliti mengembangkan tingat ketahanan dari adanya perubahan cuaca berdasarkan strategi mitigasi dan adaptasi (Buys et al. 2011) dan penyuluh sebagai penyampai pesan langsung ke petani tidak hanya menyampaikan informasi mengenai risiko perubahan iklim saja kepada petani, namun juga harus bisa menginspirasi petani untuk berbuat sesuatu terhadap masalah tersebut. Menurut Bray et al. (2011) faktor yang mempengaruhi bagaimana risiko ditafsirkan, mencakup karakteristik individu serta persepsi seseorang dan cara mengkomunikasikannya akan memberikan pengaruh terhadap pemahaman yang sistematis tentang kerentanan pada individu, dengan demikian karakteristik yang dimiliki setiap orang akan mempengaruhi persepsi, sikap, pengetahuan serta tindakan yang berbeda ketika diberikan informasi dari penyuluh. Hal tersebut juga didukung oleh Lieske et al. (2013) yang menyatakan bahwa persepsi terhadap perubahan iklim juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah latar belakang sosial, orientasi budaya, watak dan perilaku, dimana faktor-faktor tersebut menyulitkan dalam penyusunan bahan penyampaian komunikasi risiko (Slovic 1987; Cole, 2005 dalam Lieske et al. 2013). Setiap orang juga merespon secara berbeda terhadap penyajian informasi yang berbeda, dibedakan oleh pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain, namun pada praktiknya, komunikator risiko sering terlalu bergantung pada teknis pendapat ahli tentang apa yang harus dikomunikasikan daripada langsung menilai persepsi khalayak yang mereka tuju. Dengan alasan tersebut dibutuhkan penilaian petani terhadap program yang akan mereka terima, dan sejauh mana penilaian tersebut berpengaruh pada komunikasi pada saat pelatihan berlangsung.
4
Penelitian Pittman et al. (2011) menyatakan bahwa ketidakmampuan untuk mengatur dan bekerja sama dapat menjadi hambatan besar untuk adaptasi. Beradaptasi dengan kondisi ekonomi, iklim dan sosial masih cukup menantang dan sulit tercapai dalam kasus-kasus tertentu, irigasi telah secara signifikan mengurangi eksposur terhadap kekeringan dan variabilitas curah hujan namun dikarenakan faktor ekonomi, kelembagaan dan kondisi sosial, dan nilai-nilai lokal, mengakibatkan pertanian irigasi belum dikembangkan secara maksimal. Sulitnya beradaptasi membuat persepsi petani memandang perubahan iklim sebagai sesuatu yang tidak penting untuk ditanggulagi. Perilaku petani juga merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk melihat bagaimana komunikasi perubahan iklim dilakukan. Menurut Hallam, Bowden dan Kasprzyk (2012), dalam menjalani hidup sehari-hari, petani umumnya akan melakukan apa yang mereka selalu lakukan, apa impuls yang memberitahu untuk mereka lakukan, atau mengikuti apa yang petani lain lakukan, bahkan ketika hal tersebut mungkin bukan pilihan yang paling menguntungkan bagi mereka, petani tidak melakukan analisis biaya manfaat yang rumit ketika dihadapkan dengan pilihan. Prendergast et al (2008) dalam Hallam, Bowden dan Kasprzyk (2012) berfokus pada tiga pendorong utama perilaku yaitu faktor eksternal (keuangan dan biaya usaha), faktor internal (kebiasaan dan proses kognitif) dan faktor sosial (perilaku yang dipelajari, nilai-nilai pribadi dan sosial, dinamika kelompok, dan komitmen sosial). Beberapa perbedaan faktor penentu perilaku tersebut, seharusnya menentukan pula bagaimana pesan dan kebijakan perubahan iklim disampaikan, karena tidak semua petani memiliki pola pikir dan status ekonomi yang sama sehingga dapat langsung mempraktikan teori yang telah disampaikan (OECD 2012). Masalah-masalah yang terjadi tersebut, diduga merupakan perbedaan persepsi mengenai perubahan iklim, sehingga pelatihan merupakan salah satu inisiasi cara untuk menanggulangi risiko dari perubahan iklim, dibutuhkan juga analisis komunikasi program pelatihan, untuk melihat seberapa jauh pengetahuan, sikap petani, serta perubahan perilaku petani, serta tindakan apa yang dilakukan setelah mengikuti pelatihan dari materi yang sudah diberikan oleh penyuluh, dan seperti apa penyuluh mengemas pesan,untuk membentuk persepsi petani mengenai perubahan iklim, karena menurut Somerville dan Hassol (2011), komunikasi perubahan iklim yang efektif tidak harus berupa ceramah ataupun perkuliahan, namun sebuah percakapan dimana seseorang benar-benar meningkat rasa kepeduliannya. Wirth, et al. (2014) juga menyatakan bahwa komunikasi yang efektif pada perubahan iklim ditandai dengan meningkatnya kesadaran, meningkatnya pengetahuan, memotivasi untuk melakukan tindakan. Diduga, pelatihan tidak diset sebelumnya untuk merubah perilaku dan persepsi mengenai perubahan iklim dari masyarakat petani, sehingga dibutuhkan penelitian untuk melihat bagaimana perilaku komunikasi saat pelatihan dan adakah hubungannya dengan karakteristik individu dari petani. Penelitian ini juga akan menganalisis evaluasi dari program pelatihan dengan melihat penilaian petani terhadap pembicara dan fasilitas yang ada pada pelatihan, apakah penilaian tersebut berhubungan dengan karakteristik individu dan perilaku komunikasi saat pelatihan serta adakah hubungan tingkat kekosmopolitan terhadap perilaku
5
komunikasi pada saat pelatihan tersebut, dan bagaimana faktor-faktor tersebut berpengaruh pada perilaku terhadap risiko perubahan iklim yang dilihat dari tindakan yang akan dilakukan petani bersama pemerintah setelah adanya pelatihan tersebut untuk upaya meningkatkan hasil pertanian serta memperbaiki sistem irigasi meskipun terdapat ancaman bahaya dari perubahan iklim. Perumusan Masalah Informasi mengenai perubahan iklim merupakan informasi yang tidak pasti (bersifat prediksi), sehingga sulit untuk mengkomunikasikannya. Selama ini perubahan iklim juga hanya dikomunikasikan pada kalangan akademisi, padahal petani di Indonesia membutuhkan informasi mengenai perubahan iklim, permasalahan utama dari penelitian ini adalah bagaimana mengkomunikasikan informasi dari risko perubahan iklim kepada petani, dimana informasi perubahan iklim merupakan informasi yang sulit dipahami oleh petani. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimana perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA pada petani? b. Apakah karakteristik individu berhubungan dengan perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA? c. Apakah perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA berhubungan dengan karakteristik individu dan penilaian pelatihan program? d. Apakah perilaku terhadap risiko perubahan iklim pada pelatihan berhubungan dengan perilaku komunikasi saat pelatihan program dan tingkat kekosmopolitan? Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana komunikasi pelatihan adaptasi perubahan iklim pada petani dapat berkontribusi dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap pertanian dengan membentuk persepsi perubahan iklim pada petani. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: a. Mendeskripsikan perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA pada petani. b. Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA. c. Menganalisis hubungan perilaku komunikasi saat pelatihan program CDCCAA dengan penilaian pelatihan program. d. Menganalisis hubungan perilaku terhadap risiko perubahan iklim pada pelatihan dengan perilaku komunikasi saat pelatihan program dan tingkat kekosmopolitan.
6
Manfaat Penelitian a. Mengetahui tingkat pemahaman petani tentang dampak perubahan iklim. b. Mengetahui bagaimana petani beradaptasi terhadap perubahan iklim. c. Mengetahui evaluasi program sehingga dapat digunakan instansi terkait untuk mengembangkan strategi komunikasi perubahan iklim yang lebih efektif. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup wilayah kajian penelitian yang dilakukan meliputi petani di Desa Kalianyar dan Desa Panguragan, Kabupaten Cirebon yang yang mengikuti pelatihan program CDCCAA. Ruang lingkup peubah yang dibahas terbatas pada peubah bebas yang merupakan karakteristik individu (umur, pendidikan formal, pengalaman bertani, pengalaman memakai irigasi, jarak domisili petani dengan tempat pelatihan, luas lahan garapan, pekerjaan utama, pekerjaan tambahan) dan penilaian petani terhadap pelatihan program CDCCAA (kapabilitas sumber kesesuaian materi program dengan kebutuhan petani, ketepatan waktu penyampaian materi, fasilitas pelatihan). Pada peubah terikat yaitu perilaku komunikasi petani saat pelatihan program CDCCAA (frekuensi bertanya pada saat pelatihan berlangsung, frekuensi petani mencari informasi mengenai program CDCCAA, frekuensi petani menghadiri pelatihan program CDCCAA, keinginan petani berpartisipasi pada program CDCCAA) dan perilaku terhadap risiko perubahan iklim pada pelatihan program CDCCAA (kognitif, afektif, kecenderungan bertindak setelah pelatihan, dimana variabel-variabel tersebut merupakan persepsi petani terhadap perubahan iklim).
2 TINJAUAN PUSTAKA
Fakta Mengenai Perubahan Iklim dan Penyebabnya Perubahan iklim merupakan permasalahan di dunia saat ini. Mochamad (2013) menyatakan beberapa fakta mengenai perubahan iklim. Laporan terbaru yang dikeluarkan IPCC, Assessment Report ke lima yang dirilis 2013, menyebutkan di akhir abad 21 peningkatan suhu permukaan global diproyeksikan melebihi 1.5-2°C relatif terhadap tahun 1850-1900 pada sebagian besar scenario. Peningkatan suhu akan terus terjadi bahkan setelah tahun 2100. Peningkatan GRK (Gas Rumah Kaca) juga menyebabkan kawasan belahan bumi utara pada periode 1983 – 2012 menjadi periode 30 tahunan terhangat dalam periode 1400 tahun terakhir. Laju peningkatan tinggi muka air laut terus meningkat sejak pertengahan abad ke-19. Tinggi muka air laut global telah meningkat 0.19 meter dalam rentang periode 1901-2010. Selama abad ke-21 mendatang laju peningkatan tinggi muka air laut akan terus meningkat melewati hasil observasi antara tahun 1971-2010 sebagai dampak pemanasan lautan dan mencairnya glasier serta lapisan es di permukaan bumi.
7
Tahun 1998, 1997 dan 1995 merupakan tahun terpanas dalam dekade dan abad terpanas. Berdasarkan data iklim yang disampaikan oleh Pusat Data Iklim Nasional Amerika Serikat, pada akhir abad ke 20 ini bumi mengalami pemanasan sebesar 0.25°C setiap tahun (Pearce 2003 dalam Mochamad 2013 ). Data yang dimuat dalam OFDA/CRED International Disaster Database (2007, dalam Mochamad 2013), menyebut bahwa tahun 1990-an merupakan periode dimana terdapat sepuluh bencana terbesar di Indonesia sepanjang periode tahun 1907 dan 2007. Sebagian besar bencana tersebut sangat terkait dengan iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan penyakit. Total kerugian ekonomi mencapai kurang lebih 26 milyar dimana 70% dikontribusikan oleh iklim (Mochamad 2013). Penelitian Lal (2013) juga menyebutkan bahwa, salah satu tantangan keamanan pangan adalah pada perubahan iklim, karena perubahan iklim mebuat tanah terdegradasi oleh erosi dan ketidak seimbangan unsur tanah. Ketersedian air juga menurun, belum lagi jika penduduk bertambah banyak serta adanya persaingan lahan untuk bidang non pertanian, dengan alasan tersebut, maka dibutuhkan kebijakan dari pemerintah agar perubahan iklim tidak menimbulkan krisis pangan. Khusus mengenai Indonesia, disebutkan bahwa kawasan Selatan akan mengalami penurunan curah hujan dan sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Ancaman kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya pula akan menjadi faktor pendorong kebakaran hutan yang selama ini telah menghilangkan jutaan hektar lahan hutan. Menurut Irawan (2006), frekuensi kejadian El-Nino cenderung meningkat dengan durasi yang semakin panjang, tingkat anomali iklim yang semakin besar, dan siklus kejadian yang semakin pendek. Anomali iklim tersebut menyebabkan penurunan curah hujan dan ketersediaan air irigasi yang selanjutnya berimplikasi para penurunan produksi pangan sebesar 3.06% untuk setiap kejadian El-Nino Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian di Indonesia Perubahan iklim merupakan hal yang dapat berdampak besar pada bidang pertanian. Menurut Banlitbang Pertanian (2011) secara umum, perubahan iklim akan berdampak terhadap penciutan dan degradasi (penurunan fungsi) sumberdaya lahan, air dan infrastruktur terutama irigasi, yang menyebabkan terjadinya ancaman kekeringan atau banjir. Salah satu contohnya adalah tingkat kerusakan jaringan irigasi yang cukup tinggi. Diperkirakan saat ini jaringan irigasi yang tidak berfungsi dengan baik mencapai 70%,sehingga mengurangi efisiensi penggunaan air (Ditjen PLA 2007 dalam Banlitbang Pertanian 2011). Perubahan pola curah hujan juga menyebabkan penurunan ketersediaan air pada waduk, terutama di Jawa. Sebagai contoh, selama 10 tahun rata-rata volume aliran air dari DAS Citarum yang masuk ke waduk menurun dari 5.7 milyar m3 menjadi 4.9 milyar m3 per tahun (Bappenas 2009 dalam Banlitbang Pertanian 2011). Kondisi tersebut berimplikasi terhadap turunnya kemampuan waduk Jatiluhur mengairi sawah di Pantura Jawa. Kondisi yang sama ditemui pada waduk lain di Jawa, seperti Gajahmungkur dan Kedung Ombo. Data menunjukkan, tingkat kerentanan lahan pertanian terhadap kekeringan cukup bervariasi antar-wilayah, terutama
8
lahan sawah di beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa. Dari 5.14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha di antaranya sangat rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan. Kekeringan yang lebih luas terjadi pada tahuntahun El Nino, dimana rata-rata luas wilayah pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada periode 1989-2006 lebih dari 2.000 ha per kabupaten, antara lain di Pantai Utara Jawa Barat, terutama Kabupaten Indramayu, sebagian Pantai Utara Nanggroe Aceh Darusalam, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, dan Lombok. Selain kekeringan, di tempat lain, dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan banjir pada lahan pertanian, serta longsor pada daerah pertanian di dataran tinggi. Hal ini diakibatkan oleh pola curah hujan yang berubah. Imbasnya adalah pada tanaman pangan yang sifatnya sangat peka terhadap air (tidak boleh terlalu banyak maupun terlalu sedikit), hal tersebut dapat berdampak pada berkurangnya produksi saat panen, bahkan kegagalan panen maupun kerusakan lahan pertanian. Menurut Banlitbang Pertanian (2011) pergeseran pola hujan mempengaruhi sumberdaya dan infrastruktur pertanian yang menyebabkan bergesernya waktu tanam, musim, dan pola tanam, serta degradasi lahan. Adanya kecenderungan pemendekan musim hujan dan peningkatan curah hujan di Bagian Selatan Jawa dan Bali mengakibatkan perubahan awal dan durasi musim tanam, sehingga mempengaruhi indeks penanaman (IP), luas areal tanam, awal waktu tanam dan pola tanam. Mundurnya awal musim hujan selama 30 hari dapat menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebanyak 6.5% dan di Bali mencapai 11% dari kondisi normal. Sebaliknya, di Bagian Utara Sumatera dan Kalimantan ada kecenderungan perpanjangan musim hujan dengan intensitas yang lebih rendah, yang mengakibatkan pemanjangan musim tanam dan peningkatan IP. Namun produktivitas lahan di Sumatera dan Kalimantan tidak sebaik di Jawa. Selain permasalahan-permasalahan tersebut, terdapat dampak perubahan iklim yang berimbas pada menurunnya produktifitas ternak, meskipun belum dilakukan lebih lanjut, namun kekeringan dapat mengurangi pakan alami pada ternak. Selain itu, kelembaban udara yang berubah juga membuat hama dan virus pada tanaman berkembang dengan baik. Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Berbagai hasil penelitian di bidang perubahan iklim, mengindikasikan bahwa perubahan iklim dan dampaknya sedang terjadi di Indonesia, indikasi tersebut terlihat dengan adanya kenaikan temperatur permukaan air laut, perubahan pola musim hujan, kenaikan muka air laut dan semakin tingginya frekuensi kejadian perubahan iklim yang bersifat ekstrim. Selain itu, perubahan iklim juga memberikan dampak yang nyata dengan makin tingginya angka bencana alam, perubahan pola penyebaran beberapa penyakit, perubahan pola tanam dan pola panen yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kerentanan tersebut telah mulai mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat yang jika tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan akan mengganggu pencapaian tujuan pembangunan.
9
Hal ini mendorong kita untuk beradaptasi secara bijaksana terhadap perubahan iklim, sehingga kita dapat menyesuaikan diri dan memperkuat ketahanan dalam mengamankan tujuan-tujuan pembangunan nasional. Bjorkman (2007) menyatakan kenaikan muka air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau dan menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia. Musim tanam dan panen yang tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang yang menyengsarakan. Banjir melanda sebagian besar jalan raya di berbagai kota besar di pesisir. Air laut menyusup ke delta sungai, menghancurkan sumber nafkah pengusaha ikan. Anak-anak menderita kurang gizi akut. Itu bukan berita perubahan iklim kita yang biasa. Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan karbondioksida, yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global. Bangsa Indonesia juga akan menjadi korban utama perubahan iklim, dan bila kita tidak segera belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini, jutaan rakyat akan menanggung akibat buruknya. Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka. Dalam laporannya, Bjorkman (2007) mengutarakan beberapa ancaman utama perubahan iklim terhadap rakyat miskin, antara lain: 1. Sumber nafkah - Pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa masyarakat paling miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkah di bidang pertanian atau perikanan sehingga sumber-sumber pendapatan mereka sangat dipengaruhi oleh iklim. Apakah itu di perkotaan ataukah di pedesaan mereka pun umumnya tinggal di daerah pinggiran yang rentan terhadap kemarau panjang, misalnya, atau terhadap banjir dan longsor. Terlalu banyak atau terlalu sedikit air merupakan ancaman utama perubahan iklim. Dan ketika bencana melanda mereka nyaris tidak memiliki apapun untuk menghadapinya. 2. Kesehatan - Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota, sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakit-penyakit yang menular lewat air seperti diare dan kolera. Suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah dengue. 3. Ketahanan pangan - Wilayah-wilayah termiskin juga cenderung mengalami rawan pangan. Beberapa wilayah sudah amat rentan terhadap berubah-ubahnya iklim. Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di Nusa Tenggara Timur, misalnya,sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah di seluruh provinsi ini.
10
4. Air - Pola curah hujan yang berubah-ubah juga mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Di wilayah pesisir, kesulitan air tanah disertai kenaikan muka air laut juga akan memungkinkan air laut menyusup ke sumbersumber air bersih. Sejauh ini, perhatian terhadap perubahan iklim terutama difokuskan pada „mitigasi‟ dan utamanya pada upaya-upaya untuk menurunkan karbon dioksida. Semua tindakan ini penting, tetapi bagi masyarakat termiskin, yang hanya punya andil kecil saja terhadap emisi gas tersebut, prioritas yang paling mendesak adalah menemukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi lingkungan hidup yang baru ini yaitu beradaptasi. Meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah „adaptasi‟, banyak yang telah berpengalaman dalam „adaptasi‟ ini. Orang-orang yang tinggal di daerah yang rawan banjir, misalnya, sejak dulu sudah membangun rumah panggung. Para petani di wilayah yang sering mengalami kemarau panjang sudah belajar untuk melakukan diversifikasi pada sumber pendapatan mereka, misalnya dengan menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan dan dengan mengoptimalkan penggunaan air yang sulit didapat, atau bahkan berimigrasi sementara untuk mencari kerja di tempat lain. Yang masih perlu dilakukan sekarang ini adalah mengevaluasi dan membangun di atas kearifan tradisional yang sudah ada itu untuk membantu rakyat melindungi dan mengurangi kerentanan sumber-sumber nafkah mereka (Bjorkman, 2007). Kerentanan Terhadap Perubahan Iklim Dalam literatur perubahan iklim, kerentanan dianggap fungsi paparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif dari sistem (Yohe dan Tol 2002; Smit dan Pilifosova 2003; Turner et al. 2003; Ford dan Smit 2004; Luers 2005; Smit dan Wandel 2006; Muda et al. 2010 dalam Spence dan Pidgeon 2009). Paparan mengacu pada sifat stimulus dan sejauh mana sistem ini tidak dilindungi dari efek stimulus ini, yang merupakan refleksi dari karakteristik hunian, atau sensitivitas, sistem (Downing 2003; Smit dan Pilifosova 2003; Smit dan Wandel 2006 dalam Spence dan Pidgeon 2009). Karakteristik hunian dilihat dari sosial, politik, ekonomi, budaya, kelembagaan dan kondisi lingkungan yang menentukan sensitivitas atau kemampuan sistem untuk merespon stimulus (Smit dan Wandel 2006 dalam Spence dan Pidgeon 2009). Sedangkan menurut Daze, et al. (2009) kerentanan terhadap perubahan iklim didefinisikan sebagai derajat yang mana sistem rentan terhadap, atau tidak bisa menghadapi, berbagai dampak buruk perubahan iklim, termasuk keberagaman iklim dan iklim ekstrim. Kerentanan adalah sebuah fungsi karakter, ukuran kekuatan, dan laju keberagaman iklim yang mana sistem terpapar, sensitivitasnya, dan kemampuan adapatifnya. Untuk memastikan program pembangunan bisa mengurangi kerentanan manusia terhadap perubahan iklim, kita harus memahami siapa yang rentan terhadap dampak perubahan iklim tersebut dan mengapa. Kemudian, kita harus menerapkan informasi ini dengan merancang, mengimplementasikan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan. Mochamad (2013) menyampaikan bahwa tentang kerentanan itu sendiri, faktor-faktor yang mempengaruhinya tidaklah semata faktor iklim, namun juga pengaruh faktor non iklim lainnya sangat besar, seperti tingkat kesehatan,
11
pendidikan, sosial ekonomi dan lingkungan yang kesemuanya dibentuk oleh proses politik dan ekonomi (Kelly and Adger 2000; O‟Brien et al. 2004 dalam Mochamad 2013). Apa yang menjadi penekanan terhadap faktor-faktor non iklim, mencerminkan betapa urgensinya aspek sosial dan lingkungan dimana ekonomi yang berkembang dapat tumbuh secara berkelanjutan. Terganggunya keseimbangan ini sangat berpengaruh terhadap kuat atau rendahnya kehidupan sosial, lingkungan dan ekonomi dari ancaman dan dampak perubahan iklim. Pada dimensi sosial dan fisik, respon antisipasi perubahan iklim harus mencakup keduanya. Antisipasi melalui adaptasi bertujuan untuk meningkatkan atau memperkuat pembangunan manusianya. Tujuan ini lebih ditekankan pada aspek ketahanan ekonomi dari masyarakatnya. Tujuan berikutnya adalah membangun kapasitas atau kemampuan untuk merespon melalui kegiatan membangun ketahanan dan mengelola risiko bencana akibat iklim. Terakhir, menekan dampak yang ditimbulkan (OECD 2009 dalam Mochamad 2013). Secara struktural dan kelembagaan, kapasitas menghadapi perubahan iklim mengakui pandangan struktural yang menjelaskan struktur sosial, ekonomi dan politik serta institusi yang berperan dalam pembuatan keputusan (Pelling 1997; Adger 1999 dalam Mochamad 2013). Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Hinkel (2010) yang menyatakan bahwa kerentanan merupakan hal yang harus diperhatikan dalam hal kebijakan dan penelitian mengenai perubahan iklim. Perubahan iklim akan berimbas kepada komunitas masyarakat yang termiskin, mereka tidak dapat merubah keadaan dan mengurangi dampak perubahan iklim, namun mereka dapat beradaptasi untuk dapat bertahan dalam kondisi yang telah berubah. Menurut Rivera dan Wamsler (2014), adaptasi serta pendidikan perubahan iklim telah menjadi hal yang mendesak dalam mengatasi meningkatnya risiko perubahan iklim. Pernyataan tersebut didukung oleh Mochamad (2013) yang menyatakan bahwa untuk menanggulangi risiko perubahan iklim, maka dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh antara adaptasi perubahan iklim dan prosedur serta system penanggulangan bencana melalui kemampuan untuk mengidentifikasi praktek pengurangan risiko dan dampak bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim. Dengan demikian proyek adaptasi sepatutnya turut dalam memberikan pemikiran dan konsepnya mengenai penanggulangan bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim dan menyusun strategi kampanye dan pendidikan mengenai perubahan iklim dan penanggulangan bencana di daerah masing-masing. Adaptasi dengan cakupan dan skala yang luas sudah jelas di luar jangkauan apa yang selama ini kita anggap sebagai masalah-masalah lingkungan. Seluruh departemen dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim di dalam semua program mereka, berkenaan persoalan-persoalan besar seperti ketahanan pangan, pemeliharaan jalan raya, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun, ini bukanlah tugas pemerintah pusat belaka, tetapi harus menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga-lembaga non-pemerintah, serta pihak swasta. Indonesia juga harus mampu mengandalkan bantuan internasional, bukan saja untuk mitigasi tetapi juga pada berbagai tindakan yang akan dibutuhkan untuk membantu masyarakat termiskin menghadapi akibat dari berbagai kondisi cuaca yang makin tidak menentu dan makin ekstrem. Pemanasan
12
global merupakan tanggung jawab global. Namun, bagaimanapun, satu-satunya cara bagi kita semua untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah dengan beralih ke bentuk-bentuk pembangunan yang lebih berkelanjutan, belajar untuk hidup dengan cara-cara yang menghargai dan serasi dengan lingkungan hidup kita. Mulai dari desa yang paling terpencil hingga ke perkotaan yang paling modern kita semua merupakan satu kesatuan sistem alam yang kompleks, dan rentan terhadap berbagai kekuatan alam. Begitu iklim berubah, manusia harus berubah pula dengan cepat (Bjorkman 2007). Pengembangan Masyarakat Program pelatihan CDCCAA merupakan program pemberdayaan masyarakat pada tingkat akar rumput, yaitu pada masyarakat petani, dimana petani diharapkan dapat meningkatkan kapasitas adaptifnya untuk menghadapi perubahan iklim. Menurut Ife dan Tesoriero (2006) pengembangan masyarakat seharusnya mempertimbangkan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, karena anggota masyarakat memiliki pengalaman dari masyarakat tersebut tentang kebutuhan akan masalah-masalahnya, kekuatan dan kelebihannya, dan ciri-ciri khasnya. Pada dasarnya, masyarakat lokallah sebenarnya menjadi “ahli”, karena masyarakat lokal memiliki pengetahuan, kearifan dan keahlian, dan peran pekerja masyarakat adalah untuk mendengar dan belajar dari masyarakat akan kebutuhan mereka. Pemahaman tentang pemberdayaan petani merupakan suatu strategi yang menitikberatkan pada bagaimana memberikan peran yang proporsional agar petani dapat berperan secara aktif dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Untuk upaya tersebut diperlukan proses pendidikan untuk mengubah sikap petani, dan untuk membangkitkan kegairahan dan hasrat serta kepercayaan akan kemampuan sendiri, dapat meningkatkan kemampuan swadaya (self help) perorangan dan kelompok untuk memperbaiki nasib sendiri. Petani hendaknya berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program pembangunan pertanian karena petani memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program, petani lebih termotivasi untuk bekerja sama dalam program jika ikut bertanggung-jawab di dalamnya, petani sendiri lah yang berhak mengambil keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai dan banyaknya permasalahan pembangunan pertanian, tidak mungkin dipecahkan secara perorangan. Partisipasi kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat dibutuhkan. Strategi pembangunan pertanian memerlukan partisipasi masyarakat petani dalam perencanaan dan pengelolaannya karena berbagai pertimbangan yaitu meningkatkan integrasi, meningkatkan hasil dan merangsang penerimaan yang lebih besar terhadap kriteria hasil, membantu menghadapi permasalahan nyata dari kesenjangan tanggapan terhadap perasaan, kebutuhan, masalah, dan pandangan komunitas lokal, membawa kualitas hasil (output) lebih tinggi dan berkualitas, meningkatkan jumlah dan ketepatan informasi, dan memberikan operasi yang lebih ekonomis dengan penggunaan lebih banyak sumberdaya manusia lokal dan membatasi transportasi dan manajemen yang mahal (Claude dan Zamor 1985 dalam Anantanyu 2011).
13
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Terhadap Perubahan Iklim Karakteristik Petani Karakteristik personal merupakan merupakan hal-hal yang melekat pada individu. Menurut Rogers (2003) terdapat kategori dari karakteristik penerima pesan inovasi, Rogers (2003) menyatakan bahwa terdapat indikasi bahwa umur yang lebih muda dapat mempengaruhi penerimaan pesan. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Rachmawati (2009) yang menyatakan bahwa umur petani merupakan faktor yang berhubungan dengan efektivitas komunikasi karena umur menggambarkan pengalaman seseorang yang menyebabkan adanya perbedaan dalam pengetahuan, sikap dan tindakan. Umur akan sejalan dengan pengetahuan dan pengalaman yang sesuai dengan pertumbuhan alamiah. Umur yang lebih tua tampaknya cenderung lebih berhati-hati sehingga terkesan kurang responsif atau lambat. Sebenarnya bukan berarti tidak mau menerima pesan atau perubahan tetapi petani yang berumur tua mempunyai pertimbangan praktis seperti kesehatan, kekuatan fisik yang kurang mendukung atau ingin menikmati masa tua individu yang memiliki pendidikan formal lebih tinggi serta terpelajar juga lebih dapat menerima pesan inovasi, selain umur, menurut Lieske el al. (2013) jenis kelamin juga dapat menentukan respon terhadap penyajian informasi. Status ekonomi juga mempengaruhi penerimaan pesan, pada penelitian ini, status ekonomi diindikasikan pada luas lahan yang digarap, pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan, karena luas lahan garapan akan mempengauhi jumlah penghasilan yang didapat oleh petani. Selain untuk melihat tingkat pendapatan, informasi mengenai pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan juga perlu dicari untuk melihat seberapa besar petani yang benar-benar menekuni bidang pertanian. Rogers (2003) menambahkan, bahwa individu yang memiliki unit yang lebih besar (dalam penelitian ini adalah luas lahan yang lebih besar), lebih dapat menerima pesan inovasi karena penerimaan pesan inovasi selalu beriringan dengan faktor kemakmuran, serta kelas sosial penerima pesan. Pengalaman bertani, menurut Tamba (2007) dalam Syatir (2014) petani yang memiliki pengalaman bertani lebih lama akan lebih memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan dalam mengelola usaha taninya sendiri serta dapat mempertanggungjawabkan hasilnya. Pada penelitian ini, responden juga merupakan petani pengguna irigasi, maka diperlukan informasi pengalaman penggunaan irigasi dalam melakukan usaha tani, karena seperti halnya pengalaman dalam bertani, pengalaman memakai irigasi juga akan membuat petani memiliki wewenang dalam mengelola jaringan irigasi. Penilaian Petani Terhadap Pelatihan Pada penelitian ini, penilaian petani pada pelatihan akan dilakukan pada beberapa hal, yaitu kredibilitas sumber, kesesuaian materi program dengan kebutuhan, ketepatan waktu penyampaian materi dan fasilitas pelatihan. Menurut Mors, et al. (2010), kredibilitas mengacu pada keahlian yang dirasakan oleh penerima pesan dan kepercayaan terhadap sumber, kredibilitas juga merupakan sejauh mana sumber dianggap mampu membuat pernyataan yang benar, sehingga dirasakan kejujuran, integritas serta kepercayaan dari penerima pesan, sehingga kredibilitas sumber sangat mempengaruhi efektivitas dari pesan.
14
Mors, et al. (2010), menyatakan bahwa ketidakpuasan seseorang akan informasi akan berakibat pada gagalnya masyarakat untuk memahami sehingga tidak mempertimbangkan pesan inovasi, sehingga penilaian kesesuaian materi dengan kebutuhan akan mempengaruhi penerima pesan untuk menangkap pesan dari penyuluh dalam menyampaikan materi. Ketepatan waktu dalam menyampaikan materi berkaitan dengan durasi penyuluh dalam menyampaikan pesan. Menurut Karyatiwinangun (2011) dalam Syatir (2014), durasi merupakan lamanya waktu yang digunakan untuk mengakses pesan atau informasi. Durasi penyuluh dalam menyampaikan pesan seharusnya tepat waktu agar petani dapat menyerap informasi dengan baik. Pada saat mendengarkan suatu informasi, tidak hanya kredibilitas penyuluh serta karakter individu saja yang mempengaruhi efektivitas komunikasi, tetapi juga dari segi lingkungan dimana pesan informasi disampaikan. Menurut Aronson, Wilson dan Akert (2005) pesan dapat saja tidak masuk ke jalur pemikiran utama, padahal jika pesan masuk ke dalam jalur pemikiran utama dapat merubah sikap lebih lama, sedangkan jalur pemikiran luar hanya merubah sikap hanya sementara. Fakor fisik ruangan yang kurang nyaman, suara penyampai pesan yang kurang keras karena tidak ada pengeras suara, serta tidak adanya fasilitas yang dibutuhkan agar penyampaian pesan menjadi efektif. Perilaku Komunikasi Petani saat Pelatihan Komunikasi merupakan kunci utama dari efektivitas program. Komunikasi yang baik dapat membuat seseorang memiliki keinginan atau motivasi untuk melakukan sesuatu hal. Menurut Sardiman (2006) motivasi merupakan daya penggerak dari dalam untuk melakukan kegaiatan untuk mencapai tujuan. Keinginan atau motivasi tersebut juga bersinergi dengan aktivitas komunikasi dari petani pada pelatihan program tersebut, antara lain adalah frekuensi menghadiri pelatihan program, frekuensi bertanya pada saat pelatihan, serta frekuensi mencari informasi program. Menurut Agustini (2009) frekuensi itu sendiri merupakan salah satu cara untuk menyatakan suatu keterdedahan pesan. Penelitian Syatir (2014) memperkuat hal tersebut karena frekuensi mengakses informasi dapat diartikan berapa sering masyarakat menggunakan sumber informasi untuk kepentingan usaha taninya sebagai indikator dari keterdedahan sumber informasi. Kekosmopolitan Menurut Kurniawati (2010), sifat kekosmopolit merupakan tingkat keterbukaan responden dalam bidang ekonomi atau kewirausahaan berkaitan dengan hubungan dengan orang lain, yaitu frekuensi responden berinteraksi dengan berkunjung keluar desa, konsultasi dengan pendamping, konsultasi dengan pendamping, konsultasi dengan tokoh masyarakat, tukar-menukar informasi, mencari informasi melalui radio, televisi atau media cetak. Menurut Rogers (2003) dalam penelitian Kurniawati (2010) menyatakan sifat kekosmopolit individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan mereka dengan orang lain dalam komunitasnya, yaitu memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang tinggi, lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih banyak menggunakan media massa dan lebih banyak memiliki hubungan dengan orang lain dan juga lembaga yang ada di luar komunitasnya, contohnya adalah banyaknya interaksi dengan penyuluh dan interaksi dengan tokoh masyarakat.
15
Menurut penelitian Simanjuntak (2014) kekosmopolitan adalah keterbukaan seseorang pada informasi melalui kunjungan lainnya untuk mendapatkan berbagai sumber informasi. Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Simanjuntak (2014) mengemukakan bahwa orang yang memiliki sifat kekosmopolitan yang tinggi, biasanya mencari informasi dari sumber di luar lingkungannya, dengan demikian, seseorang yang mempunyai pergaulan luas dan mempunyai kecepatan pencarian informasi yang diperlukan, berarti ia adalah seorang yang kosmopolit.Sebaliknya, orang yang kurang kosmopolit, cenderung tergantung pada tetangga atau temantemannya dalam lingkungan yang sama yang diandalkan sebagai sumber informasi. Pada penelitian Hapsari (2012), tingkat kekosmopolitan adalah tingkat keterbukaan responden berkaitan hubungan dengan orang lain, yaitu frekuensi responden berintraksi dengan berkunjung keluar desa, konsultasi dengan penyuluh, konsultasi dengan tokoh masyarakat, tukar menukar informasi, mencari informasi melalui media komunikasi. Rogers (2003) menyatakan bahwa kekosmopolitan merupakan bagian dari perilaku berkomunikasi dari individu, dan kekosmopolitan tersebut merupakan derajat dimana indidvidu mengorientasikan dirinya kepada sistem sosial diluar lingkungannya. Komunikasi Risiko Adaptasi Kerentanan Perubahan Iklim Seperti yang kita ketahui sebelumnya, bahwa isu lingkungan saat ini yang sedang disorot oleh seluruh dunia adalah perubahan iklim, namun meskipun sedang marak dibahas, menurut Mors et al. (2010) tingkat pengetahuan dan kepedulian masyarakat masih rendah. Dengan alasan tersebut, maka dibutuhkan komunikasi yang bertujuan agar tercipta kepedulian dan pengetahuan yang lebih terhadap isu tersebut. Hal tesebut diperkuat oleh Wirth et al. (2014) yang menyatakan bahwa meskipun pengetahuan mengenai pengaruh perubahan iklim dan adaptasi serta kerentanannya sudah banyak dipelajari oleh para peneliti, namun tidak banyak menyebabkan tindakan adaptasi yang cukup baik oleh pembuat kebijakan, para pelaku bisnis ataupun masyarakat umum. Bagaimana informasi tersebut disampaikan merupakan hal yang sangat penting untuk memotivasi dan mendukung tindakan adaptasi. Hal tersebut juga dapat dikarenakan perubahan iklim merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan sulit untuk dikomunikasikan serta dipahami oleh masyarakat awam (Akerlof et al. 2012; Roeser 2012; Moser 2010; CRED 2009 dalam Wirth et al. 2014). Selain itu, berbagai macam kepentingan masyarakat membuat tindakan adaptasi bukanlah merupakan tindakan yang tidak mendesak untuk dilakukan oleh masyarakat. Ditambah lagi karena kurangnya kesadaran masyarakat, atau lebih buruk adalah kesalahpahaman mengenai perubahan iklim, dapat mengurangi keinginan masyarakat untuk berpartisipasi atau melakukan upaya dukungan adaptasi (Seacrest et al. 2000; Lorenzoni et al. 2007; Jude 2008 dalam Bray et al. 2011). Dengan alasan tersebut, dibutuhkan komunikasi yang baik agar dapat mengkomunikasikan risiko adanya perubahan iklim. Menurut Morton et al. (2010), ketidakpastian iklim merupakan tantangan besar dalam mengkomunikasikan perubahan iklim. Karena itu, pengelolaan ketidakpastian
16
merupakan isu utama bagi mereka yang terlibat dalam proses komunikasi perubahan iklim. Komunikasi risiko juga merupakan hal yang rumit untuk disampaikan karena menyangkut dengan persepsi seseorang secara psikologi (Bray et al. 2011). Akan tetapi, Buys et al. (2011) menyatakan bahwa hal yang paling utama untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat adalah memberikan persepsi mengenai resiko dan pengertian mengenai perubahan iklim. Persepsi merupakan proses-proses yang digunakan untuk mencoba memahami sesuatu (Baron, Byrne 2003). Pernyataan tersebut didukung oleh Bray et al. (2011) yang menyatakan persepsi terhadap resiko merupakan alat yang manjur untuk menginformasikan bagaimana cara untuk mengkomunikasikan saran dari para ilmuwan untuk mengatur hubungan untuk pembangunan dari strategi adaptasi untuk masyarakat. Persepsi risiko terhadap perubahan iklim sangat bergantung pada kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di mana orang mengalami risiko, dan persepsi mempengaruhi perilaku (Patt dan Schröter 2008 dalam Karrer 2012), Selain memperhatikan persepsi risiko pada individu, identifikasi hambatan kognitif dan perubahan perilaku juga dianggap penting untuk keberhasilan strategi penyampai pesan lingkungan. Strategi mana yang paling efektif dalam mendorong perilaku pro lingkungan tergantung pada hambatan tertentu yang menghambat individu untuk bertindak pro lingkungan (Steg dan Vlek 2008 dalam Karrer 2012). Menurut penelitian Arbuckle, Morton dan Hobbs (2013), perubahan perilaku manusia diperlukan untuk mengurangi kontribusi penyebab perubahan iklim, dan dukungan untuk tindakan dari pemerintah sebaiknya merupakan tindakan yang menyebabkan perubahan-perubahan pada tingkah laku. Persepsi kerentanan dan kekhawatiran-kekhawatiran tentang dampak perubahan iklim terhadap mata pencaharian pertanian menjadi faktor penting untuk dukungan petani untuk adaptif atau melakukan tindakan mitigasi (Howden et al. 2007 dalam Arbuckle, Morton dan Hobbs 2013). Sikap dapat menjadi prediktor kuat dari perilaku atau penerimaan ide (Ajzen 1991;. Dietz et al 2005 dalam Arbuckle, Morton dan Hobbs 2013). Studi konservasi pertanian pada praktek adopsi telah menemukan hubungan positif antara kesadaran masalah lingkungan, sikap terhadap solusi potensial, dan kemauan untuk mengadopsi solusi tersebut (Prokopy et al. 2008 dalam Arbuckle, Morton dan Hobbs 2013). Selain itu, ketika terdapat situasi yang dapat dianggap sebagai masalah, sikap dan tindakan yang bersifat memperbaiki, lebih prediktif untuk perubahan perilaku (McCown 2005 dalam Arbuckle, Morton dan Hobbs 2013). Keyakinan tentang perubahan iklim dan penyebabnya harus logis dalam mempengaruhi sikap terhadap mengatasi tindakan adaptif dan mitigasi. Keyakinan umumnya dikonseptualisasikan sebagai pemahaman tentang keadaan hal di dunia, atau perkiraan realitas sebagai individu mempersepsikan hal tersebut berdasarkan akumulasi pengetahuan (Dietz et al 2005;. Wyer dan Albarracin 2005 dalam Arbuckle, Morton dan Hobbs 2013). Pada gilirannya, keyakinan mempengaruhi pembentukan sikap terhadap obyek atau tindakan (Kruglanski dan Stroebe 2005 dalam Arbuckle, Morton dan Hobbs 2013) dan keputusan perilaku (McCown 2005 dalam Arbuckle, Morton dan Hobbs 2013). Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai komunikasi risiko perubahan iklim, maka dapat dilihat pada Tabel 1.
17
Tabel 1 Komunikasi risiko dan adaptasi perubahan iklim Penulis Buys et al. (2011)
Lieske et al. (2013)
Lieske et al. (2013)
Komunikasi risiko dan adaptasi perubahan iklim Komunikasi risiko lingkungan terhadap perubahan iklim merupakan hal yang menantang untuk disampaikan karena (i) jauhnya jarak ruang dan waktu (risiko) membuat orang tidak peduli dan tidak mau berkonstribusi (Leiserowitz 2005, 2006; Meijnders et al. 2001), (ii) ilmu pengetahuan masyarakat yang sedikit sedangkan perubahan iklim adalah permasalahan yang kompleks (Sterman dan Sweeney 2002), (iii) masih adanya kepercayaan dan sistem sosial mengenai perubahan iklim (anggapan perubahan iklim adalah hal yang alami, bukan karena manusia). Strategi komunikasi risiko hanya akan berhasil ketika mereka (masyarakat) diinformasikan oleh pemahaman yang menyeluruh akan apa yang mereka yakini (Sterman 2011). Bentuk dan sifat komunikasi juga untuk mengakomodasi "keadaan psikologis" dari penerima yang dimaksud. Masyarakat umum tidak mungkin langsung menerima strategi adaptasi (dalam “fase keputusan”) tanpa terlebih dahulu melewati "fase deteksi" Pelletier dan Sharp 2008).
Lieske et al. (2013)
Informasi pada komunikasi risiko harus disesuaikan dengan orang yang akan dituju (khalayak) dalam hal kesiapan dan niat untuk beradaptasi (Pelletier dan Sharp 2008). Marx et al. (2007) Produk dari komunikas risiko lebih dipahami oleh orang yang memiliki pengalaman Plough & Krimsky Komunikasi risiko, dalam bentuk sederhananya, yaitu (1987) dalam Cox berusaha untuk menginformasikan kepada individu yang (2010) berpotensi terkena dampak tentang keberadaan, sifat, tingkat keparahan, atau penerimaan risiko. Wirth et al. (2014) Mengkomunikasikan adaptasi perubahan iklim merupakan instrument yang penting untuk memotivasi untuk mengambil aksi dari adaptasi. Komunikasi adaptasi yang berhasil tergantung pada informasinya dan bagaimana pesan itu disampaikan Berdasarkan Tabel 1 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi risiko perubahan iklim adalah informasi yang disampaikan kepada individu atau kelompok masyarakat terutama masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk mendapatkan dampak perubahan iklim karena adanya kesenjangan informasi atau perbedaan persepsi antara para ahli dan masyarakat awam yang disebabkanoleh sesuatu yang baru (dalam hal ini adalah pengetahuan mengenai perubahan iklim), sehingga masyarakat terutama masyarakat petani memiliki kemampuan kerja, informasi dan perilaku sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh ahli.
18
Pada intinya, komunikasi risiko perubahan iklim bertujuan untuk menaikan kapasitas adaptif dari masyarakat, sehingga kerentanan terhadap perubahan iklim akan berkurang. Kapasitas adaptif sendiri mengacu pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keterpaparan yang membatasi kerusakan, memanfaatkan peluang dan mengatasi dampak (Wheaton dan MacIver 1999; Bryant et al, 2000; Yohe dan Tol 2002; Smit dan Pilifosova 2003; Füssel dan Klein 2006; Smit dan Wandel 2006 dalam Spence & Pidgeon 2009). Kapasitas adaptif dipengaruhi oleh ekonomi kekayaan, teknologi, informasi, infrastruktur, pengetahuan dan keterampilan, modal sosial dan lembaga-lembaga di tingkat lokal dan tingkat regional (dan nasional) yang dinamis setiap waktu dan berinteraksi dengan proses sosial-ekonomi dan politik yang lebih luas (Watts dan Bohle 1993; Adger 2000, 2003; Smit dan Pilifosova 2001, 2003; Klein dan Smith 2003; Smit dan Wandel 2006; Belliveau et al. 2006 dalam Spence & Pidgeon 2009). Untuk mencapai keberhasilan komunikasi risiko perubahan iklim, maka Wirth et al. (2014) menyatakan definisi kerja untuk keberhasilan komunikasi adaptasi dengan berdasarkan empat kriteria, yaitu: 1. Meningkatkan kesadaran dampak perubahan iklim, kerentanan dan kebutuhan adaptasi, 2. Peningkatan pengetahuan meningkatkan kapasitas adaptif,
tentang
pilihan-pilihan
adaptasi,
sehingga
3. Memotivasi untuk mengambil tindakan adaptasi, sehingga memberikan kontribusi untuk perubahan perilaku, 4. Bantuan untuk mencapai penerimaan atas tindakan adaptasi lain dengan konsekuensi yang mungkin negatif (misalnya, penerimaan untuk bangunan bendungan yang juga menghalangi pandangan sungai). Keberhasilan dari komunikasi risiko perubahan iklim juga didukung dengan komunikasi yang efektif. Untuk lebih memahami komunikasi yang efektif, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komunikasi perubahan iklim yang efektif Penulis Komunikasi efektif Mors, et al. Komunikasi yang bertujuan untuk membujuk orang dianggap efektif (2010) ketika mereka mengubah pendapat mereka sebagai akibat dari komunikasi, dan komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dapat dianggap efektif ketika orang menganggap informasi yang diberikan adalah informasi yang berharga dan dapat membentuk pendapat mereka sendiri
19
Tabel 2 Komunikasi perubahan iklim yang efektif (lanjutan) Penulis Komunikasi efektif Wirth, et al. Komunikasi yang efektif pada perubahan iklim ditandai dengan (2014) meningkatnya kesadaran, meningkatnya pengetahuan, memotivasi untuk melakukan tindakan Boon Komunikasi yang efektif mengenai ilmu perubahan iklim tidak hanya (2013) untuk memastikan bahwa orang memahami dampak perubahan iklim, tetapi juga untuk mendorong tindakan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Dengan melihat Tabel 2, dapat disimpulkan, komunikasi perubahan iklim akan efektif jika terdapat perubahan sikap dan persepsi serta meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan, disebabkan oleh informasi yang telah disampaikan, serta hasil dari komunikasi tersebut dapat mengispirasi masyarakat untuk melakukan sesuatu terhadap permasalahan atau paparan risiko perubahan iklim yang mereka hadapi. Pengetahuan itu sendiri menurut penelitian Awaliah (2012) merupakan kesan di dalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca indera. Pengetahuan terdiri dari sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktuwaktu sebagai alat penyesuaian diri maupun lingkungannya sedangkan sikap dapat diartikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungaan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap juga adalah kecenderungan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki kosekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu atau seseorang yang ditunjukkan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang (Van den Ban dan Hawkins 1999 dalam Awaliah 2012). Hamidi (2010) juga menyatakan bahwa komunikasi dapat dikatakan efektif jika pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh komunikan, komunikan bersikap atau berperilaku seperti yang dikehendaki oleh komunikator dan ada kesesuaian antar komponen. Jika komunikasi diharapkan efektif maka pesanpesannya perlu dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai atau merupakan kebutuhan komunikan. Menarik perhatian, dalam arti baru dan tidak biasa. Simbol yang digunakan hendaknya mudah dipahami, meliputi bahasa, istilah, kata-kata atau kalimatnya. Jika komunikator menganjurkan menggunakan sesuatu, maka hendaknya sesuatu tersebut mudah didapat dengan menggunakan cara tertentu, termasuk tentang tempatnya (Schramm 1973 dalam Hamidi 2010). Selain pesan harus memenuhi kualifikasi tertentu agar komunikasi efektif, komponen komunikator pun juga harus memiliki kualifikasi karakter tertentu. Komunikator yang efektif memmpunyai karakter atau ethos yang meliputi good sense (pikiran yang baik), good moral character (akhlak yang baik), dan good will (maksud yang baik) (Aristoteles 1954 dalam Hamidi 2010). Hovland dan Weiss (1951) dalam Hamidi (2010) menyebut ethos dengan kredibilitas komunikator yang terdiri dari expertise dan trustworthiness (komunikator yang mempunyai keahlian dan dapat dipercaya.
20
Dipandang dari komponen komunikan, komunikasi yang efektif akan terjadi jika komunikan mengalami internalisasi, identifikasi diri dan ketundukan (Kelman 1975 dalam Hamidi 2010). Komunikan mengalami proses internalisasi, jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai yang dianut. Komunikan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat, pesan yang disampaikan memiliki rasionalitas yang dapat diterima.internalisasi bisa terjadi jika komunikan memiliki ethos atau kredibilitas (ahli dan dapat dipercaya), karenanya komunikasi bisa efektif. Identifikasi terjadi pada komunikan, jika komunikan merasa puas dengan meniru atau mengambil pikiran atau perilaku dari orang atau kelompok lain (komunikator). Identifikasi akan terjadi pada diri komunikan jika komunikatornya memiliki daya tarik (attractivennes). Ketaatan pada diri komunikan akan terjadi, jika komunikan yakin akan mengalami kepuasan, mengalami reaksi yang menyenangkan, memperoleh reward atau balasan positif dan terhindar dari punishment (keadaan, kondisi yang tidak enak) dari komunikator, jika menerima atau menggunakan isi pesannya (Hamidi 2010). Menurut Wirth et al. (2014) terdapat delapan faktor paling penting untuk memotivasi orang untuk melakukan adaptasi yaitu info dari web, melihat film tentang adaptasi, membaca di media masa, membaca publikasi, menghadiri workshop atau event, melalui handphone, melalui kompetisi (contoh: desa paling bersih), dan laporan dari penelitian. Akan tetapi, terlepas darimana sumber yang didapat seseorang agar termotivasi untuk melakukan adaptasi, terdapat faktor dari pesan, agar informasi tersebut menjadi komunikasi yang efektif dan lebih mudah diterima yaitu jika pesan memiliki kalimat yang sederhana (perubahan iklim merupakan hal yang rumit disampaikan, maka kalimat yang sederhana akan mempermudah penerima pesan untuk menangkap arti dari sumber pesan), teks teknis sedikit (tidak banyak menggunakan kata-kata atau bahasa yang rumit untuk dimengerti), dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam penyampaian pesan, juga terdapat hambatan kognitif utama yang mencegah individu terlibat dalam tindakan pro-lingkungan, yaitu (Tasquier, Pongiglione, Levrini 2014): a. Tidak individual, tetapi kolektif, artinya adalah permasalahan perubahan iklim dianggap sebagai masalah yang kolektif, sehingga membuat individu memberikan pembenaran kepada diri sendiri jika mereka tidak melakukan tindakan untuk adaptasi, dan beranggapan hanya pelaku utama saja (penyebab terbesar terjadinya perubahan iklim) yang seharusnya melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi. b. Terlalu besar atau terlalu kecil, artinya adalah pengetahuan mengenai efek perubahan iklim pada seseorang bisa jadi terlalu kecil (sedikit) dan hal tersebut membuat individu merasa efek perubahan iklim tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari mereka (merasa pengetahuan itu tidak penting) atau bisa jadi terlalu besar, sehingga individu tersebut sangat merasa ketakutan dan tidak berdaya sehingga justru mengabaikan masalah untuk menghindari rasa takut dan rasa bersalah. c. Terlalu jauh, artinya adalah isu perubahan iklim dipandang sebagai masalah yang jauh, yang tidak akan mempengaruhi generasi sekarang sehingga bisa diabaikan, dan individu juga akan berpikir mengapa mereka harus membayar
21
atau melakukan sesuatu yang dampaknya hanya dinikmati di masa depan (bukan sekarang). Jenis solusi tidak hanya mempertimbangkan perbaikan teknis di lapangan untuk mengatasi permasalahan sosial dan perubahan lingkungan, tetapi solusi juga termasuk membuat konsep komunikasi yang efektif dan penggunaan paparan informasi serta tanggapan dari orang-orang terhadap dampak perubahan iklim saat ini sebagai cara untuk merenungkan dan mempertimbangkan kembali norma sosial dan nilai-nilai sosial yang mendasari permasalahan yang ada (Wise et al. 2013). Pelatihan Program Capacity Development for Climate Change Adaptation in Agriculture and other Relevants Sectors (CDCCAA) Perubahan iklim merupakan hal yang sangat berpengaruh pada sektor pertanian, sehingga dibutuhkan penanganan adaptasi agar dampak peubahan iklim dapat segera diitangani. Untuk meningkatkan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim pada petugas, penyuluh dan petani, maka Kementerian Pertanian bekerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency) menyusun program dengan judul Capacity Development for Climate Change Adaptation in Agriculture and other Relevants Sectors (CDCCAA). Petani akan mengikuti kegiatan training of farmer (TOF) yang dilaksanakan selama lima hari. Kegiatan yang dilakukan meliputi pelatihan dari penyuluh, forum grup diskusi, games dan kunjungan ke BMKG Jatiwangi, Kabupaten Majalengka dan ke proyek pembangunan Waduk Jati Gede di Kabupaten Sumedang, dimana waduk tersebut jika sudah beroperasi aliran airnya akan membantu Kabupaten Cirebon untuk mengatasi kekeringan. Pelatihan yang diberikan kepada petani meliputi materi mengenai informasi cuaca dan iklim untuk pertanian, mitigasi, adaptasi dan antisipasi perubahan iklim, pengelolaan lahan dan air, konservasi sumber daya air, pengantar kalender tanam, pembuatan pupuk organik, pelatihan pembuatan perakngkap terhadap tikus perusak padi dan penguatan kelembagaan petani. Menurut Slamet (2003) dalam Marliati et al. (2008) program penyuluhan pembangunan yang efektif dan efisien dapat dikembangkan oleh tenaga-tenaga profesional di bidang penyuluhan pembangunan. Hal ini hanya memungkinkan apabila program penyuluhan diwadahi oleh sistem kelembagaan penyuluhan yang jelas dan pelaksanaanya didukung oleh tenaga-tenaga yang kompeten di bidang penyuluhan. Pelatihan untuk petani, selain penyuluh harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai apa yang disampaikannya, penyuluh juga harus dapat menyampaikan pesan dengan baik, karena audiens yang penyuluh hadapi adalah petani yang berumur dewasa dan memiliki pengalaman di lapangan, dan yang diharapkan dari pelatihan atau pendidikan yang ditujukan kepada orang dewasa tersebut adalah (Fazel 2013) menstransformasi pengetahuan yang didapat kedalam ketrampilan sesuai dengan apa yang didapat, dimana inti dari pembelajaran kepada orang dewasa berada pada pemusatan pada orang yang diberikan pengetahuan, berdasarkan pengalaman, serta terdapat hubungan antara pengajar dan orang yang diberi pengetahuan. Menurut Sirodjuddin (2003), Naja (2006), Adi (2005) dan Robani (2006) dalam Suwardi (2011), program pemberdayaan atau pembelajaran masyarakat
22
harus lebih menekankan aspek pemberdayaan, dilaksanakan secara multi disiplin, menciptakan kondisi pembelajaran yang lebih kondusif dalam konteks pemberdayaan masyarakat serta memberikan pengalaman langsung pada masyarakat agar mampu berpikir dalam memecahkan masalahnya. Suwardi (2011) juga menambahkan bahwa pelaksanaan penguatan kapasitas perlu dilaksanakan secara sistemik oleh seluruh fasilitator dengan memperhatikan pengembangan skala usaha, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Hal yang telah disebutkan di atas sangat dibutuhkan pada pelatihan CDCCAA, karena sasaran program adalah petani yang sudah dewasa yang telah memiliki pengalaman, sehingga membutuhkan para penyuluh yang handal dan proses pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan, agar dapat diterima oleh petani dan hasil dari pelatihan diharapkan dapat menguatkan kapasitas adaptif petani untuk menghadapi perubahan iklim. Kerangka Berpikir dan Hipotesis Kerangka Berpikir Perubahan iklim yang terjadi dan membuat perubahan lingkungan dapat ditanggulangi dengan cara beradaptasi. Cara beradaptasi tersebut menuntut masyarakat melakukan sesuatu agar keseimbangan alam tetap terjaga. Sumberdaya manusia pada hakikatnya memiliki kemampuan agar adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilaksanakan. Kegiatan adaptasi, serta peningkatan adaptif dari petani dapat dilaksanakan jika komunikasi yang dilakukan penyuluh merupakan komunikasi yang efektif agar merubah sikap serta meningkatkan pengetahuan, kecenderungan bertindak setelah pelatihan, sehingga merubah persepsi mengenai perubahan iklim dari petani. Keefektifitasan komunikasi risiko perubahan iklim diukur dengan melihat karakteristik individu, penilaian petani terhadap pelatihan program, komunikasi saat pelatihan dan kekosmopolitan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka secara skematis kerangka berpikir penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.
23
Karakteristik Individu (X1)
Jenis kelamin (X1,1) Umur (X1,2) Pendidikan formal (X1,3) Pengalaman bertani (X1,4) Pengalaman memakai irigasi (X1,5) Jarak domisili petani dengan tempat pelatihan (X1,6) Luas lahan garapan (X1,7) Pekerjaan utama (X1,8) Pekerjaan tambahan (X1,9)
Perilaku Komunikasi saat pelatihan program CDCCAA (Y1) Frekuensi bertanya saat pelatihan (Y1,1) Frekuensi mencari informasi mengenai program (Y1,2) Frekuensi menghadiri pelatihan (Y1,3) Keinginan berpartisipasi pada program (Y1,4)
H1,1
Perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA (Y2)
H1,3
Kognitif (Y2,1) Afektif (Y2,3) Kecenderungan bertindak (Y2,3)
Penilaian terhadap pelatihan program CDCCAA (X2) Kapabilitas sumber (X2,1) Kesesuaian materi program dengan kebutuhan (X2,2) Ketepatan waktu penyampaian materi (X2,3) Fasilitas pelatihan (X2,4)
H1,2
Kekosmopolitan (X3) Frekuensi keluar kampung (X3,1) Frekuensi mendengar radio (X3,2) Frekuensi melihat tv (X3,3) Frekuensi bertemu tokoh (X3,4) Keaktifan di organisasi poktan dan gapoktan (X3,5) Keanggotaan dalam organisasi (X3,6) Sumber info yang didapat (X3,7)
H1,4
Gambar 1 Kerangka berpikir komunikasi petani pada pelatihan adaptasi perubahan iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon.
24
Hipotesis: Dari kerangka berpikir diatas, maka dapat disusun hipotesis penelitian meliputi: 1. 2. 3.
4.
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan perilaku komunikasi pelatihan program CDCCAA. Terdapat hubungan nyata antara penilaian petani terhadap pelatihan program CDCCAA dengan perilaku komunikasi pelatihan program CDCCAA. Terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi pelatihan program CDCCAA dengan perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA. Terdapat hubungan nyata antara kekosmopolitan dengan perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA. Definisi Operasional
Definisi operasional memberikan batasan atau arti suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk meneliti untuk mengukur variabel tersebut (Silalahi 2012). Pada rancangan penelitian dengan variabel terikat efektifitas komunikasi risiko perubahan iklim pada pelatihan program CDCCAA: (1) Perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA (Y2). Komunikasi risiko adaptasi perubahan iklim merupakan informasi yang diberikan kepada petani yang mendapat program CDCCAA dan menjadi efektif jika informasi tersebut tidak hanya menambah pengetahuan serta kesadaran pada petani, namun juga menginspirasi untuk melakukan tidakan adaptasi untuk mengantisipasi bahaya perubahan iklim. Pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa efektifitas komunikasi merupakan meningkatnya kapasitas adaptif, dan meningkatnya kognitif petani, serta merubah sikap petani. Variabel dapat dilihat pada Tabel 3.
25
Tabel 3 Definisi operasional variabel perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA Peubah perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA (Y2) Kognitif (Y2,1)
Definisi operasional
Skala pengukuran
Pengetahuan serta pemahaman petani mengenai materi yang disampaikan pada pelatihan
Diukur dengan skala ratio, berdasarkan nilai dari jawaban pilihan ganda dan pertanyaan terbuka dari peserta pelatihan Diukur dengan skala ordinal, 1) sangat tidak setuju, 2) tidak setuju, 3) netral, 4) setuju, 5) sangat setuju Diukur dengan skala ordinal, 1) sangat tidak setuju, 2) tidak setuju, 3) netral, 4) setuju, 5) sangat setuju
Afektif (Y2,2)
Sikap dan minat petani setelah mengikuti pelatihan program
Kecenderungan bertindak (Y2,3)
Kelanjutan kegiatan yang dilakukan petani bekerjasama dengan pemerintah pasca pelatihan dalam mempraktikan materi yang sudah didapat dalam melakukan usaha taninya
(2) Perilaku komunikasi petani pelatihan program CDCCAA (Y1) merupakan interaksi komunikasi yang terjadi pada petani peserta program pada saat pelatihan. Variabel dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Definisi operasional variabel perilaku komunikasi petani pelatihan program CDCCAA Perilaku komunikasi pelatihan program CDCCAA (Y1) Frekuensi bertanya saat pelatihan (Y1,1) Frekuensi mencari informasi mengenai program (Y1,2)
Definisi operasional
Banyaknya petani bertanya pada saat pelatihan
Skala pengukuran
Diukur dengan skala ratio, dihitung berdasarkan jumlah petani bertanya pada pelatihan. Banyaknya petani mencari Diukur dengan skala ratio, informasi mengenai program Diukur dengan satuan sebelum dilaksanakan menit pelatihan
26
Tabel 4 Definisi operasional variabel perilaku komunikasi petani pelatihan program CDCCAA (lanjutan) Perilaku komunikasi pelatihan program CDCCAA (Y1) Frekuensi menghadiri pelatihan (Y1,3) Keinginan berpartisipasi pada program (Y1,4)
Definisi operasional
Skala pengukuran
Banyaknya petani datang pada saat pelatihan
Diukur dengan skala ratio, dihitung berdasarkan jumlah petani datang pada pelatihan. Dorongan yang timbul dari Diukur dengan skala diri petani untuk mengikuti ordinal, pelatihan program 1) tidak ingin, 2) cukup CDCCAA ingin, 3) sangat ingin
(3) Karakteristik individu (X1), merupakan hal-hal yang melekat pada suatu individu. Dalam penelitian ini, definisi operasional karakteristik individu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Definisi operasional variabel karakteristik individu Peubah karakteristik individu (X1) Jenis kelamin (X1,1) Umur (X1,2)
Pendidikan (X1,3)
Pengalaman bertani (X1,4) Pengalaman memakai irigasi (X1,5)
Definisi operasional
Perbedaan struktur biologis manusia Satuan usia responden yang dihitung sejak lahir sampai pada penelitian dilakukan. Tingkat responden mendapatkan atau mengikuti proses belajar yang pernah dicapai Lamanya petani melakukan kegiatan bertani Lamanya petani menggunakan jaringan irigasi dalam melakukan kegiatan pertanian
Skala pengukuran
Diukur dengan skala nominal Diukur dengan skala ratio Satuan tahun
Diukur dengan skal ordinal dinyatakan dengan tingkat responden mengikuti pendidikan (tidak sekolah, SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana) Diukur dengan skala ratio Satuan tahun Diukur dengan skala ratio Satuan tahun
27
Tabel 5 Definisi operasional variabel karakteristik individu (lanjutan) Peubah karakteristik individu (X1)
Definisi operasional
Skala pengukuran
Jarak domisili petani dengan tempat pelatihan (X1,6)
Diukur dengan skala ratio Satuan meter
Luas lahan garapan (X1,7)
Jarak tempat tinggal petani yang mengikuti program pelatihan terhadap tempat pelatihan diadakan Besarnya lahan yang dikerjakan oleh petani
Pekerjaan utama (X1,8) Pekerjaan tambahan (X1,9)
Mata pencaharian petani yang lebih dominan dilakukan Mata pencaharian disamping mata pencaharian utama
Diukur dengan skala ratio dengan satuan hektar (Ha) Diukur dengan skala nominal Diukur dengan skala nominal
(4) Penilaian terhadap pelatihan program CDCCAA (X2), merupakan penilaian petani pada saat program pelatihan diadakan. Definisi operasional dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Definisi operasional variabel penilaian terhadap pelatihan program CDCCAA Peubah penilaian petani terhadap Pelatihan Program CDCCAA (X2)
Definisi operasional
Penilaian pada kapabilitas sumber (X2,1)
Penilaian petani terhadap kapabilitas penyuluh pada saat penyampaian materi ketika pelatihan
Penilaian kesesuaian materi program dengan kebutuhan petani (X )
Penilaian petani terhadap kesesuaian materi yang disampaikan penyuluh pada saat pelatihan dibandingkan dengan kebutuhan petani di lapangan
2,2
Skala pengukuran
Diukur dengan skala ordinal, 1) sangat tidak setuju, 2) tidak setuju, 3) netral, 4) setuju, 5) sangat setuju Diukur dengan skala ordinal, 1) sangat tidak setuju, 2) tidak setuju, 3) netral, 4) setuju, 5) sangat setuju
28
Tabel 6 Definisi operasional variabel penilaian terhadap pelatihan program CDCCAA (lanjutan) Peubah penilaian petani terhadap Pelatihan Program CDCCAA (X2)
Definisi operasional
Penilaian ketepatan waktu penyampaian materi (X )
Penilaian petani terhadap kesesuaian waktu penyuluh saat menyampaikan materi
Penilaian fasilitas pelatihan (X2,4)
Penilaian petani terhadap fasilitas yang ada pada saat pelatihan
2,3
Skala pengukuran
Diukur dengan skala ordinal, 1) sangat tidak setuju, 2) tidak setuju, 3) netral, 4) setuju, 5) sangat setuju Diukur dengan skala ordinal, 1) sangat tidak setuju, 2) tidak setuju, 3) netral, 4) setuju, 5) sangat setuju
(5) Kekosmopolitan (X3) merupakan tingkat keterbukaan petani dalam mendapatkan informasi dari luar lingkungannya. Pada variabel kekosmopolitan, terdapat indikator sebagai berikut: Tabel 7 Definisi operasional variabel kekosmopolitan Kekosmopolitan (X3)
Definisi operasional
Skala pengukuran
Frekuensi keluar kampung (X3,1)
Banyaknya petani keluar dari kampungnya untuk mendapat informasi pertanian dalam 1 bulan Seringnya petani mendengar radio untuk mendapat informasi pertanian dalam 1 bulan
Diukur dengan skala ratio, dihitung berdasarkan banyaknya petani keluar kampung dalam 1 bulan Diukur dengan skala ratio, dihitung berdasarkan banyaknya petani mendengar radio untuk mendapat informasi pertanian dalam 1 minggu dan jam/hari Diukur dengan skala ratio, dihitung berdasarkan banyaknya petani melihat tv untuk mendapat informasi pertanian dalam 1 minggu dan jam/hari
Frekuensi mendengar radio (X3,2) Frekuensi melihat tv (X3,3)
Seringnya petani melihat tv untuk mendapat informasi pertanian dalam 1 bulan
29
Tabel 7 Definisi operasional variabel kekosmopolitan (lanjutan) Kekosmopolitan (X )
Definisi operasional
Skala pengukuran
Frekuensi bertemu tokoh (X3,4)
Banyaknya petani bertemu dengan tokoh untuk mendapat informasi tentang pertanian dalam 1 bulan
Keaktifan di organisasi poktan dan gapoktan (X3,5)
Seringnya petani datang pada pertemuan kelompok tani dan pertemuan gabungan kelompok tani Posisi petani dalam organisasi
Diukur dengan skala ratio, dihitung berdasarkan banyaknya petani bertemu tokoh untuk mendapat informasi pertanian dalam 1 bulan Diukur dengan skala ratio, dihitung berdasarkan banyaknya petani datang pada pertemuan poktan dan gapoktan dalam 1 bulan Diukur dengan skala nominal
3
Keanggotaan dalam organisasi poktan dan gapoktan (X3,6) Sumber info yg didapat (X3,7)
Sumber informasi yang didapat oleh petani mengenai perubahan iklim
Diukur dengan skala nominal
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2015 di Desa Panguragan dan Desa Kalianyar, Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih karena daerah tersebut merupakan salah satu daerah lumbung padi di Jawa Barat, namun terdapat banyak jaringan irigasi yang rusak, sehingga daerah tersebut dipilih oleh Kementrian Pertanian dan JICA sebagai salah satu daerah yang akan dilaksanakan program CDCCAA (Capacity Development for Climate Change Adaptation in Agriculture and Other Relevant Sectors). Selain hal tersebut, Kecamatan Panguragan merupakan kecamatan dengan permasalahan iklim yang cukup berdampak pada sektor pertanian. Pada saat musim hujan, kecamatan tersebut sering mengalami banjir, dan ketika musim kemarau, sering mengalami kekeringan. Populasi Penelitian Populasi penelitian diambil dengan cara purposive sampling, dimana semua responden merupakan peserta pelatihan Training of Farmers CDCCAA (Capacity Development for Climate Change Adaptation in Agriculture and Other Relevant Sectors) di Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon.
30
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah deskriptif korelasional yang diharapkan secara kuantitatif dapat melihat hubungan dan pengaruh antara peubah-peubah penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Peubah bebas yang terdiri atas karakteristik individu (X1), yaitu jenis kelamin (X1,1), umur (X1,2), pendidikan formal (X1,3), pengalaman bertani (X1,4), pengalaman memakai irigasi (X1,5), jarak domisili petani dengan tempat pelatihan (X 1,6), luas lahan garapan (X1,7), pekerjaan utama (X1,8), pekerjaan tambahan (X1,9). Peubah bebas yang lain yaitu penilaian petani terhadap pelatihan program CDCCAA (X2) dengan indikator kapabilitas sumber (X2,1), kesesuaian materi program dengan kebutuhan petani (X2,2), ketepatan waktu penyampaian materi (X2,3), fasilitas pelatihan (X2,4) dan kekosmopolitan (X3) dengan indikator frekuensi keluar kampung (X3,1), frekuensi mendengar radio (X3,2), frekuensi melihat tv (X3,3), frekuensi bertemu tokoh (X3,4), keaktifan di organisasi poktan dan gapoktan (X3,5), keanggotaan dalam organisasi (X3,6), sumber info yg didapat (X3,7). Pada peubah terikat, teridiri dari perilaku komunikasi petani pelatihan program CDCCAA (Y1) terdiri dari frekuensi bertanya saat pelatihan (Y1,1), frekuensi mencari informasi mengenai program (Y1,2), frekuensi menghadiri pelatihan (Y1,3), keinginan berpartisipasi pada program (Y1,4) dan perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA (Y2) yang terdiri dari kognitif (Y2,1), afektif (Y2,2), dan kecenderungan bertindak (Y2,3). Wawancara secara mendalam yang dilakukan kepada responden pelatihan juga dilakukan untuk melengkapi data kualitatif, sehingga diharapkan hasil dari wawancara tersebut dapat membandingkan atau mendungkung analisa dari data kuantitatif dengan kenyataan di lapangan.
Data dan Instrumentasi Data Dalam rencana penelitian ini ada dua jenis data yang diambil, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kuantitatif, yaitu data yang berkaitan dengan karakteristik inidividu, penilaian terhadap pelatihan program CDCCAA, dan proses komunikasi saat pelatihan program CDCCAA yang didapat dari kuesioner. Selain itu, juga dikumpulkan data kualitatif yang diperoleh dari catatan lapangan yang merupakan hasil wawancara terhadap peserta pelatihan dan penyuluh untuk mendukung data kuantitatif yang diperoleh, serta observasi lapangan untuk memperoleh gambaran wilayah, situasi dan kondisi lokasi penelitian dan pengamatan langsung ketika pelatihan dilaksanakan. Data sekunder meliputi kondisi umum wilayah penelitian dan data yang relevan dengan penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari kantor BP3K lokasi penelitian.
31
Instrumentasi Pengumpulan data yang dilakukan memerlukan alat bantu kuesioner berupa daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah dalam penelitian. Sebelum pengambilan data dengan menggunakan kuesioner, dilakukan uji kusioner terlebih dahulu pada 10 responden di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon. Kuesioner terdiri dari pertanyaan mengenai karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman bertani, pengalaman memakai irigasi, jarak domisili petani dengan tempat pelatihan, luas lahan garapan, pekerjaan utama, pekerjaan tambahan), penilaian petani terhadap pelatihan program CDCCAA (kapabilitas sumber, kesesuaian materi program dengan kebutuhan, ketepatan waktu penyampaian materi, fasilitas pelatihan), kekosmopolitan (frekuensi keluar kampung, frekuensi mendengar radio, frekuensi melihat tv, frekuensi bertemu tokoh, keaktifan di organisasi poktan dan gapoktan, keanggotaan dalam organisasi, sumber info yg didapat) dan efektifitas komunikasi risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA (kognitif, afektif dan tindakan setelah pelatihan). Dilakukan juga pengamatan langsung selama progam pelatihan dilaksanakan (participant observation) untuk melengkapi data kualitatif. Pada saat pelatihan, dilaksanakan pre test dan post test kepada peserta, namun dirasa pertanyaan dalam pre test dan post test tersebut kurang mewakili materi yang disampaiakan pada saat pelatihan, sehingga hasilnya tidak digunakan dalam analisis data. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Dalam ilmu sosial, validitas dan realibilitas harus ditentukan karena penelian sosial sangat kompleks dan majemuk dan saling berkaitan.Validitas dan reliabilitas instrumen penelitian ditentukan dengan melakukan uji coba kuesioner. Uji coba kuesioner dilakukan terhadap petani yang mengikuti pelatihan CDCCAA di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Validitas Instrumen Menurut Idrus (2009), metode yang sering digunakan untuk mengukur variabilitas adalah Pearson correlation, dengan formula sebagai berikut: n
(Xij - Xi)(tj - t ) j 1
𝑟𝑖 = n
n
j 1
j 1
(Xij - Xi) 2 (tj - t ) 2 Keterangan: Xij = skor responden ke –j pada butir pertanyaan i Xi = rata-rata skor butir pertanyaan i tj = total skor seluruh pertanyaan untuk responden ke –j 𝑡 = rata-rata total skor
32
ri = korelasi antara butir pertanyaan ke-i dengan total skor Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan SPSS, maka didapat nilai koefisian validitas di atas nilai 0,3, dan terdapat juga nilai validitas dibawah 0,3 sebanyak 4 item pertanyaan. Menurut Idrus 2009, validitas merujuk pada kemampuan suatu item dalam mengukur suatu aspek tertentu, biasanya harga validitas ditunjukan dengan besarnya harga korelasi. Umumnya satu item dinyatakan valid jika memiliki harga di atas 0,3, meskipun demikian, ada juga pakar yang menyatakan bahwa harga validitas item dapat sebesar 0,25. Kedua harga ini dapat saja digunakan sebagai patokan untuk menyatakan valid atau tidaknya suatu item tertentu, dengan demikian, item pertanyaan yang tidak memenuhi nilai validitas akan dihapus. Reliabilitas Instrumen Untuk mengoptimalkan hasil penelitian, selain melakukan validitas data, maka harus dilakukan realibilitas. Realibilitas dihitung untuk mengetahui apakah instrumen memiliki ketepatan. Menurut Rakhmat (2005) dalam Syatir (2014), suatu alat dikatakan memiliki realibilitas apabila digunakan berkali-kali oleh peneliti yang sama atau peneliti lain tetap memberikan hasil yang sama. Untuk mencapai rebilitas alat ukur yang maksimal maka akan dilakukan penyempurnaan instrument melalui pengujian terhadap 10 responden dengan menggunakan rumus Cronbach Alpha (Riduan 2004 dalam Syatir 2014). Menurut Triton (2005) dalam Syatir (2014) metode Cronbach Alpha dapat diukur dengan berdasarkan skala Cronbach Alpha 0 samapai 1, jika skala tersebut dikelompokan dalam lima kelas, dapat diperoleh hasil sebagai berikut: a. Nilai 0,00 hingga 0,20 berarti kurang reliable. b. Nilai 0,21 hingga 0,40 berarti agak reliable. c. Nilai 0,42 hingga 0,60 berarti cukup reliable. d. Nilai 0,61 hingga 0,80 berarti reliable. e. Nilai 0,81 hingga 1,00 berarti sangat reliable. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan SPSS, didapat nilai reliable dari masing-masing variabel, yaitu 0.50 hingga 0.890, dengan demikian instumen penelitian dapat dikatakan cukup reliable untuk digunakan untuk penelitian. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara sensus terhadap responden yang merupakan seluruh petani peserta training of farmer pada program CDCCAA di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat (jumlah peserta keseluruhan adalah 50 orang), dengan cara mengajukan pertanyaan kepada responden dengan menggunakan kuesioner dan didukung oleh wawancara
33
mendalam (indepth interview) kepada peserta dan penyuluh serta catatan di lapangan sebagai data kualitatif. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis SEM (Structural Equation Modeling) dengan menggunakan software SmartPLS (Partial Least Squares). SEM bagi peneliti ilmu sosial memberikan kemampuan untuk melakukan analisis jalur (path) dengan analisis variabel laten (Ghozali 2008). Menurut Latan 2013, SEM merupakan teknik analis yang baik untuk peneliti sosial, karena dalam SEM dapat meneliti variabel laten, atau unobserved variables, yaitu variabel yang tidak dapat diukur atau diobservasi secara langsung, tetapi melalui indikator atau manifest variabelnya. Contohnya adalah variabel kecenderungan bertindak, variabel tersebut tidak dapat diukur secara langsung dan merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga untuk mengukur variabel tersebut, diperlukan indikator-indikator berupa seperangkat pertanyaan kuesioner dengan skala tertentu. Lebih spesifik, SEM memampukan peneliti untuk (Latan 2013): a. Membangun model penelitian dengan banyak variabel. b. Dapat meneliti variabel atau konstruk yang tidak teramati atau tidak dapat diukur secara langsung (unobserved variables). c. Menguji kesalahan pengukuran (measurement error) untuk variabel atau konstruk yang teramati (observed variables). d. Mengkonfirmasi teori sesuai dengan data penelitian (Confirmatory Factor Analysis). Untuk analisis SEM pada penelitian ini, menggunakan model indikator reflektif, dimana model indikator reflektif umumnya memandang konstruk sebagai faktor yang menimbulkan sesuatu yang kita amati, sehinggga indikatornya bersifat reflektif (Ghozali 2008). Menurut Ghozali (2008), model indikator reflektif harus memiliki internal konsistensi, oleh karena semua ukuran indikator diasumsikan semua valid indikator yang mengukur satu konstruk, sehingga menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah makna atau arti dari konstruk.
4 DESKRIPSI UMUM
Deskripsi Desa Kalianyar dan Desa Panguragan Panguragan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Arjawinangun. Kecamatan Panguragan berbatasan dengan Kecamatan Gegesik di bagian utara dan barat, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Surangenggala, dan di sebelah
34
selatan berbatasan dengan Kecamatan Arjawinangun dan Klangenan. Untuk melihat lebih rinci mengenai deskripsi desa, dapat dilihat pada Tabel 8: Tabel 8 Deskripsi Desa Kalianyar dan Desa Panguragan tahun 2015 Deskripsi
Desa
Kalianyar Panguragan Luas wilayah 166.58 650 Luas sawah 138.21 344 Komoditas Padi Padi Jumlah penduduk 5547 6482 Jumlah kepala keluarga 1570 2401 Jumlah laki-laki 2769 3101 Jumlah perempuan 2578 3381 Jumlah petani 746 1095 Jumlah buruh tani 1181 1600 (Sumber: Kantor Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, 2015) Daerah penelitian merupakan daerah yang baik untuk menanam padi, namun sangat disayangkan, ketika penelitian dilaksanakan, kedua desa tersebut mengalami kekeringan, karena, menurut petani, saat ini, baru menyebar benih saja sudah tidak mendapat air, sehingga petani menjadi ragu, akan melanjutkan usaha taninya dalam menanam padi atau tidak, karena mereka takut akan kekeringan yang membuat rugi. Pada faktanya di lapangan, menurut Kepala Dinas TANBUNNAKHUT Kabupaten Cirebon, air yang mengalir ke Cirebon, merupakan aliran air yang melewati Indramayu atau Kuningan, ketika musim hujan dan banjir, air limpahan dari Indramayu dan Kuningan dilimpahkan ke Cirebon sehingga berpotensi banjir pada Cirebon. Akan tetapi, pada musim kemarau, Cirebon tidak mendapat air karena sudah habis dipakai di Indramayu atau Kuningan. Jika air dari Indramayu dialirkan 9 m3, sampai di Cirebon hanya 3 kubik, jadi jika dari Indramayu hanya dialirkan 3 m3, di Cirebon, airnya sudah tidak tersisa lagi untuk digunakan pada lahan pertanian. Hal tersebut menunjukan bahwa pada daerah tersebut, sangat dirasa adanya perubahan iklim, karena, dulu bertani sangatlah mudah, air melimpah dan tersedia, hama juga dimakan oleh musuh alaminya, namun sekarang dengan penggunaan bahan kimia yang berlebihan, akan merusak ekosistem, sehingga hama tidak ada musuh alaminya lagi, apalagi hama juga dibasmi dengan bahan kimia, sehingga bahan tanaman pangan makin bahaya untuk konsumsi. Sekarang ini, bertani bukanlah sebuah budaya lagi, namun hanya seperti mengejar target produksi, sehingga tidak mempedulikan hal-hal yang sudah diwariskan para leluhur dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Ketika ada kegagalan panen dan petani mengalami kerugian, petani melaporkan kepada penyuluh pendampingnya agar dilaporkan ke dinas pusat dan harapannya mendapat ganti rugi untuk menutup biaya yang sudah dikeluarkan saat berusaha tani, namun sangat disayangkan, uang untuk menutup biaya tersebut justru tidak sampai ke tangan petani karena disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga penyuluh menolak untuk menindaklanjuti laporan tersebut
35
karena takut ketika uang ganti rugi disalurkan dari pusat, tidak sampai kepada petani yang justru merugi dan berhak mendapatkannya. Menurut salah satu responden, dulu, ketika responden masih kecil, pada saat panen, merupakan hal yang sangat menyenangkan, banyak orang yang berkumpul, bahu membahu untuk memanen padi, diadakan juga wayang kulit, dan syukuran besar-besaran karena panen yang melimpah (masyarakat setempat mengenalnya dengan Mapag Sri), namun sekarang, budaya panen tidak seramai dulu, banyak petani yang meninggalkan usaha bertaninya dan beralih ke usaha mengumpulkan besi dan plastik, karena dirasa usaha mengumpulkan besi dan plastik tersebut lebih menguntungkan dan lebih pasti penghasilannya dibanding bertani. “Bertani sekarang seperti main judi, ada air syukur, tidak ada air ya jadi rugi, bahkan Saya pernah mengalami kerugian total sebanyak 1,4 miliyar karena tidak mendapat air, dan berimbas pada gagal panen, jadi banyak petani yang khawatir, daripada nantinya rugi karena tidak mendapat air saat menanam, lebih baik tidak dimulai dari awal” (Peserta CDCCAA, 24 Mei 2015). Deskripsi Pelatihan CDCCAA Perubahan iklim yang dirasakan saat ini telah berdampak banyak pada sektor pertanian. Petani harus melakukan adaptasi dan antisipasi untuk menghadapi dampak perubahan iklim, dengan alasan tersebut JICA dan Kementerian Pertanian membuat sebuah program pelatihan yang ditujukan untuk petani agar meningkatkan kapasitas petani untuk melakukan adaptasi pada perubahan iklim, program tersebut adalah program CDCCAA (Capacity Development for Climate Change Adaptation in Agriculture and other Relevants Sectors). Tempat dilaksanakan program tersebut, dipilih lokasi percontohan di 4 provinsi di Indonesia. Jawa Timur berlokasi di Pasuruhan, Jawa Tengah berlokasi di Demak, Sulawesi Tengah berlokasi di Jeneponto, dan Jawa Barat berlokasi di Cirebon. Lokasi di Cirebon sendiri dibagi menjadi tiga tempat, yaitu di Kecamatan Gegesik, Kecamatan Gunung Jati dan Kecamatan Panguragan. Pelatihan di Panguragan, dimulai pada hari Senin 9 Maret 2015 hingga 13 Maret 2015 bertempat di BP3K (Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon. Pada hari pertama, sebelum pelatihan tersebut dimulai, para peserta diberi pengarahan serta dibagi dalam 5 kelompok Dilanjutkan dengan pembentukan kontrak belajar , dengan peraturan jam belajar dimulai pukul 8 dan diakhiri pukul 13, serta diselingi oleh istirahat pukul 10. Para peserta juga tidak boleh terlambat, tidak boleh merokok di kelas, mematikan bunyi handphone, menjaga kebersihan kelas, dan tidak boleh bercanda berlebihan ketika diadakannya pelatihan. Pre test juga dilakukan sebelum dilaksanakannya pelatihan, dan post test setelah pelatihan selesai, hal tersebut dilakukan untuk memudahkan penyuluh dalam mengukur pengetahuan peserta sebelum dan sesudah pelatihan, apakah ada peningkatan atau tidak. Dalam lima hari pelatihan tersebut, terdapat dua materi sekaligus yang disampaikan dalam satu hari , dimana setiap materi disampaikan oleh satu atau
36
dua orang penyuluh dan dilanjutkan diskusi per kelompok yang sudah dibagi sebelumnya, kemudian hasil dari diskusi tersebut dipresentasikan oleh perwakilan kelompok. Diskusi peserta bertemakan materi yang diberikan oleh penyuluh sebelumnya, sehingga penyuluh atau pemateri dapat mengetahui apakah materi yang telah disampaikan dapat dimengerti oleh peserta atau tidak. Materi yang disampaikan oleh penyuluh dirasa sangat tepat untuk menghadapi permasalahan petani saat ini, yaitu perubahan iklim dan kekeringan yang sekarang banyak terjadi. Materi yang pertama kali disampaikan adalah materi mengenai mitigasi, adaptasi dan antisipasi perubahan iklim. Peserta disuguhi materi berupa gambaran dari mitigasi, adaptasi dan antisipasi perubahan iklim, bagaimana cara melaksanakannya, disertai data-data yang menunjukan adanya perubahan iklim serta gambar-gambar yang mendukung. Pemateri menyampaikan, petani saat ini harus siap dalam menghadapi perubahan iklim. Berdasarkan data yang ada, perubahan iklim sudah terjadi, sehingga, mau tidak mau, petani harus dapat beradaptasi dengan kondisi tersebut, jika tidak, petani akan selalu mengalami kerugian. Selain diberi gambaran teknis mengenai mitigasi, adaptasi dan antisipasi perubahan iklim, petani juga praktik bagaimana menghitung kalender tanam. Selain diajarkan bagaimana menghitung kalender tanam secara manual, penyuluh juga memberi materi dengan internet, serta menunjukan langsung bagaimana caranya membuka web KATAM, dan menghimbau petani agar dapat mengakses internet, atau setidaknya dapat menggunakan sms untuk mendapatkan informasi karena Badan Litbang Pertanian sudah menyediakan informasi mengenai kalender tanam, serta berbagai macam hal yang sudah diperinci mengenai karakteristik pertanian setiap kecamatan di seluruh Indonesia. Akan tetapi, sangat disangkan, banyak penyuluh lainnya yang tidak paham dengan internet dan teknologi informasi masa kini, sehingga membuat petani juga agak enggan untuk mengakses informasi dari internet. Materi kedua yang disampaikan pada hari pertama adalah penguatan kelembagaan. Pemateri menyampaikan, bahwa untuk menghadapi perubahan iklim, petani tidak hanya membutuhkan hal-hal yang teknis di lapangan saja, namun juga harus menguatkan hubungan antar petani dengan kelembagaan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) Mitra Cai. Dikarenakan P3A di Kecamatan Panguragan belum berjalan dengan baik, maka pemateri menyampaikan ciri P3A yang baik. Pemateri juga menekankan kepada peserta bahwa P3A sangat diperlukan untuk mengatur kebutuhan air di sawah sehingga tidak terjadi konflik antar petani yang memperebutkan air pada masa kekeringan. Pada setiap awal kelas dimulai, penyuluh selalu mereview materi sebelumnya,sehingga peserta selalu mengingat materi yang sudah diberikan pada hari sebelumnya. Setelah materi hari sebelumnya diulas kembali, dan disertai sesi tanya jawab, maka pelatihan dapat diteruskan dengan materi selanjutnya. Materi pertama hari kedua adalah konservasi sumber daya air dan pengelolaan jaringan irigasi. Mengingat kekeringan yang sedang terjadi saat ini, seharusnya materi tersebut menjadi materi yang sangat menarik bagi petani, namun sayangnya, pemateri menyampaikan slide presentasinya dengan padat tulisan, untuk petani
37
yang kebanyakan tidak memiliki pendidikan yang tinggi, materi tersebut cukup membosankan dan membuat mengantuk. Bahkan banyak petani yang menyeletuk bahwa materi tersebut, petani sudah mengetahuinya, yang diinginkan adalah bagaimana langkah teknisnya agar menanggulangi kekeringan yang sudah terjadi, dan bagaimana agar air sampai ke sawah mereka, meskipun demikian, pertanyaan petani terjawab pada akhir presentasi pemateri. Sangat disayangkan, pada materi ini, pemateri kurang memahami apa yang disampaikannya. Untuk mengusir rasa kantuk dan bosan, penyuluh melakukan ice breaking kepada petani, karena para petani cepat merasa bosan jika harus dijejali banyak materi di kelas. Pada materi ke dua, petani lebih merasa antusias karena materi sangat teksnis dan solutif, serta berkaitan langsung dengan apa yang mereka alami di lapangan, yaitu mengenai pengelolaan lahan yang dijabarkan dari pengelolaan pupuk hingga pengelolaan air terutama pada tanaman padi. Materi tersebut mencakup faktor-faktor apa yang menentukan pembagian air, faktor-faktor apa yang menentukan giliran air, serta bagaimana pembagian air ke petak sawah yang baik. Penyuluh yang menyampaikan materi terlihat sangat menguasai apa yang disampaikan dan tidak terpaku pada slide presentasinya, interaksi pun terbangun antara komunikator dan audiens. Pada hari ketiga, tidak dimulai seperti hari-hari sebelumnya. Mengerti akan kejenuhan petani, ketua BP3K Panguragan turun langsung untuk memberi semangat kepada petani. Beliau memberikan motivasi kepada petani untuk terus semangat dalam mengikuti pelatihan, karena Panguragan adalah salah satu harapan Cirebon karena komoditas utamanya adalah padi, namun Panguragan juga memilik permasalahan yang lebih dibanding Kecamatan yang lain, ketika musim kering sangat kekeringan sampai terjadi perebutan air, ketika musim hujan kebanjiran, dan pasca kebanjiran tanaman gagal panen karena banyaknya hama, jika petaninya tidak segera beradaptasi, gagal panen akan semakin sering terjadi,dan hal tersebut akan berimbas pada hal lainnya Hari ke tiga pelatihan juga cukup spesial dan menggugah antusias peserta, karena penyuluh mempraktikan dua paket materi dengan sangat baik. Materi yang pertama adalah pengembangan agribisnis dengan penggunaan limbah cair organik untuk dijadikan pupuk (POC). POC (pupuk organik cair) dirasa sangat mampu mengurangi emisi gas rumah kaca, karena tidak melepas gas metan, serta baik untuk kesuburan tanah, tidak membuat residu dan tidak membuat tanah kehilangan unsur alaminya, sehingga POC sangat ramah lingkungan. Hasil tanaman dengan menggunakan POC pun sudah terbukti baik, meskipun bulir padi yang dihasilkan tidak sebanyak pupuk kimia, namun padi hasil dari menggunakan POC, bulirnya lebih besar dan lebih berisi dibanding dengan pupuk kimia. Hal ini sudah dibuktikan sendiri oleh salah satu peserta pelatihan yang sudah mempraktikan sendiri pada sawahnya. Pemateri juga menyampaikan dengan video tentang pembuatan MOL (mikroorganisme lokal) dan hal tersebut sangat efektif menyedot perhatian peserta untuk memperhatikannya, terlihat peserta langsung diam dan fokus ke depan . Bahan-bahan yang digunakan juga mudah didapat, yaitu dengan memanfaatkan limbah peternakan dan sampah rumah tanggas, yang biasanya hanya disepelekan dan dibuang begitu saja menjadi sangat bernilai jika dibuat POC.
38
Setelah diskusi dan presentasi oleh peserta, materi dilanjutkan oleh penyuluh lainnya yang membahas tentang pertanian organik. Setelah materi disampaikan, penyuluh meminta per kelompok mengeluarkan tanah yang dibawa dari sawahnya (pada hari ke dua pelatihan, penyuluh meminta petani per kelompok untuk membawa tanah sawahnya untuk dijadikan sampel percobaan pada hari ke tiga). Penyuluh masuk ke ruangan dengan membawa beberapa sampel pupuk dan alat indikator tingkat organik sederhana yang menggunakan lampu dan dibuat sendiri. Petani pun sangat antusias, bahkan ada yang sampai merangsek ke depan, karena tidak terlihat dari belakang. Tanah yang sudah dibawa tersebut kemudian dilihat kadar mineral dan organiknya dan dibandingkan dengan POC dan MOL. Ternyata yang paling terang menyala lampunya adalah POC dan MOL karena di dalamnya terkandung banyak mineral sehingga menhgantar listrik dengan sangat baik, dan tanah yang dibawa oleh petani, lampunya sangat redup, hal itu berindikasi bahwa tanah tersebut hanya sedikit mengandung bahan organik. Dengan metode praktik, petani jauh lebih menangkap materi jika dibanding penyampaian materi dengan presentasi slide, dan petani juga mengerti mengapa sawah mereka tidak begitu subur lagi, hal tersebut dikarenakan tanah sudah menjadi jenuh dan kehilangan unsur organiknya karena terlalu memakai banyak pupuk kimia. Selain diadakan di dalam ruangan, pada hari ke 4 pelatihan, diadakan kunjungan lapangan. Kunjungan lapangan direncanakan ke BMKG Jatiwangi, Majalengka dan ke proyek pembuatan waduk Jati Gede, Sumedang. Pada hari sebelum keberangkatan, peserta diberikan pengarahan mengenai apa saja yang harus ditanyakan dan diperhatikan pada saat kunjungan lapang.Di stasiun klimatologi petani diminta untuk membuat daftar nama alat, apa fungsinya, serta satuan ukur alat tersebut, dan di proyek Waduk Jatigede, petani diminta untuk mencari tahu dimana lokasi, kapan mulai pembangunan, kapan mulai beroperasi, kendala selama pembangunan waduk serta jangkauan air jika sudah beroperasi. Tidak semata-mata mencari tahu, hasil dari kumjungan lapang tersebut dibuat laporan dan dipresentasikan pada hari selanjutnya. Menurut kepala BP3K Panguragan, waduk Jati Gede merupakan harapan kabupaten Cirebon, terutama kecamatan panguragan, karena jika waduk tersebut sudah jadi, maka kecamatan panguragan merupakan salah satu kecamatan yang mendapat dampak positifnya, yaitu tersedianya air, ketika sedang musim kemarau. Seampainya di BMKG Majalengka, peserta dibagi menjadi 2 kelompok. Ada kelompok yang dipersilahkan untuk ke lapangan terlebih dahulu, untuk melihat alat-alat pengukur klimat, dan dijelaskan oleh petugas mengenai apa nama alatnya, apa fungsinya, bagaimana cara kerjanya, serta apa satuan ukurnya. Peserta sangat antusias untuk bertanya, mendengar, mencatat, serta memfoto alat, bahkan ada beberapa yang merekam penjelasan dengan handphone mereka. Petugas juga menjelaskan beberapa grafik persebaran pola curah hujan, peta curah hujan, cuaca ekstrim, dan sebagainya. Kelompok lainnya dipersilahkan untuk masuk ke ruangan untuk diberi penjelasan mengenai pentingnya informasi cuaca dan iklim, terutama untuk pertanian. Penyaji materi dari BMKG, meskipun menjelaskan dengan slide, namun lebih cenderung sharing dan berdialog dengan petani, apakah ada yang
39
dikeluhkan petani mengenai cuaca akhir-akhir ini, atau bulan-bulan apa saja yang sampai ekstrim kekeringannya, terdapat juga prediksi iklim pada bulan-bulan mendatang di kecamatan Panguragan, agar petani dapat bersegera mengantisipasi jika curah hujan kurang memenuhi untuk usaha tani mereka pada bulan tersebut. Petani juga banyak yang bertanya serta menyampaikan uneg-uneg mengenai kekeringan dan banjir yang sering terjadi. Kunjungan ke 2 dilakukan di pembangunan Waduk Jatigede, Sumedang. Proyek ini belum selesai, namun output dari waduk ini nantinya adalah untuk irigasi, penyedia air, PLTA, pengendalian banjir dan tempat wisata. Akan tetapi dalam pembangunannya, masih banyak terkendala masalah teknis dan sosial. Pada permasalahan sosial, ternyata masih ada desa yang belum dibebaskan, sehingga masih tidak boleh dialiri air. Sesi pertama adalah di kelas. Penjelasan dilakukan oleh pihak infrastruktur waduk, yang mempresentasikan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan waduk. Slide banyak terdapat gambar yang menarik, namun karena sudah siang dan mungkin kelelahan, ada beberapa peserta yang mengantuk, meskipun masih ada juga yang antusias untuk mendengar dan mencatat. Istilah yang disampaikan juga tidak mudah dimengerti, sehingga peserta banyak juga yang terlihat kurang memperhatikan. Meskipun demikian, pada saat tanya jawab, banyak peserta yang antusias untuk bertanya dan ada juga yang berani mengemukakan apa yang dirasakannya. “Bantu kami, para petani ini, para orang kecil ini terutama di kecamatan Panguragan agar dapat melaksanakan swasembada pangan, sesuai dengan target Presiden, dengan cara pengairan yang baik dan tidak selalu terjadi kekeringan” (Peserta CDCCAA, 12 Maret 2015). Setelah sesi di kelas, kunjungan dilanjutkan di lapangan dan melihat langsung, pembangunan waduk jati gede, meski sudah dimulai dari 1963, namun belum selesai juga karena masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Sayangnya hanya sedikit sekali peserta yang mengikuti penjelasan, hal tersebut dapat dikarenakan pemandangan yang indah, sehingga peserta lupa tujuan utama datang ke waduk dan justru foto-foto sendiri. Hari ke 5, merupakan hari terkahir pelatihan. Seperti biasanya, petani diberikan review materi hari sebelumnya, dan diminta untuk mempresentasikan laporan hasil kunjungan lapangnya, dan baru diberi materi hari ke 5. Materi pertama yang disampaikan adalah Trap Barier System (TBS), yaitu sistem perangkat sederhana untuk menangkap tikus. Pemateri menghimbau para petani, agar segera menangani tikus-tikus di sawah, karena sehebat apapun teknologinya, kalau masih ada tikus, hal itu akan menjadi percuma. Selain di kelas, petani mengunjungi langsung sawah di Desa dukuh, Kecamatan Kapetakan yang sudah menerapkan TBS pada sawahnya. Petani disambut langsung oleh Kuwu Desa Dukuh dan Camat Kapetakan yang menjelaskan apa yang sudah dilakukan pada sawahnya.Camat Kapetakan berkata, bahwa tikus harus dikendalikan, agar hasil panen banyak dan tidak rusak, apalagi di Panguragan dan Kapetakan lahan sawahnya sangat luas. Kuwu Desa Dukuh mengatakan bahwa untuk membuat TBS, dalam 5 hektar membutuhkan 10 juta,
40
namun jangan dilihat dari modalnya yang besar, tapi lihatlah hasil dan keuntungannya, hasil panen akan benar-benar lebih melimpah. Setelah diselang dengan istirahat untuk Sholat Jum‟at, petani kembali ke BP3K Panguragan untuk mendiskusikan rencana tindak lanjut (RTL) setelah pelatihan, agar pelatihan tersebut tidak hanya teori saja, tetapi tindakan apa yang harus dilakukan segera. Setelah penyampaian RTL, ada dua orang petani yang menyampaikan pesan dan kesan, selama pelatihan, yang menyatakan bahwa mereka sangat bersyukur dan berterimakasih diadakan pelatihan ini, , pelatihan ini sangat mudah dipelajari dan sangat berguna bagi para petani, dan mereka sangat berharap bahwa ada pelatihan lagi yang berkelanjutan dari pelatihan tersebut. Deskripsi Responden Responden pelatihan pada program CDCCAA di Kecamatan Panguragan terdiri dari 50 orang peserta pelatihan. Peserta pelatihan merupakan petani yang dipilih langsung oleh penyuluh dari dua desa yang berbeda, yaitu, 25 peserta dari Desa Kalianyar dan 25 peserta dari Desa Panguragan, dari dari 50 peserta, 44 terdiri dari peserta laki-laki, dan 6 orang lainnya peserta perempuan dari Kelompok Wanita Tani. Peserta pelatihan tersebut dipilih berdasarkan kemauan belajar dan potensi yang dimiliki oleh petani tersebut, dengan tujuan untuk menyampaikan kepada petani lain yang tidak mengikuti pelatihan. Peserta pelatihan memiliki latar belakang umur, pendidikan serta status lahan yang berbeda-beda, namun para petani masih dalam komoditas yang sama, yaitu padi, mengingat Kecamatan Panguragan merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Barat. Karakteristik individu merupakan hal yang ada pada tiap individu responden. Pada penelitian ini, karaktertistik individu dibedakan dari umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman bertani, pengalaman memakai irigasi, jarak rumah ke pelatihan, luas lahan garapan, kepemilikan lahan, jenis lahan yang dimiliki, serta pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan peserta dan pasangannya (suami dan istri). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik peserta program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Karakteristik responden Jumlah (orang) Presentase (%) Umur (tahun) Dewasa muda (23-38) 17 34 Dewasa pertengahan (39-54) 23 46 Dewasa tua (55-70) 10 20 Jenis Kelamin Laki-laki 44 88 Perempuan 6 12 Pendidikan Tidak sekolah 2 4 SD 20 40 SMP 13 26 SMA 10 20 S1 5 10
41
Tabel 9 Karakteristik peserta program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 (lanjutan) Karakteristik responden Pengalaman bertani (tahun)
Pengalaman memakai irigasi Jarak rumah ke pelatihan (km)
Luas lahan garapan (ha)
Kepemilikan lalan
Jenis lahan yang dimiliki Pekerjaan utama (kepala keluarga) Pekerjaan tambahan (kepala keluarga) Pekerjaan utama (istri) Pekerjaan tambahan (istri)
Total (n)
Baru (1-10) Sedang (>10-20) Lama (>20) Baru (1-10) Sedang (10-20) Lama (>20) Dekat (<0.5 - ≤1) Jauh (>1 - ≤ 2) Sangat jauh (lebih dari 2) Sempit (0.25 - 0.5) Sedang (1 – 2) Luas (lebih dari 2) Sewa Milik sendiri Milik sendiri dan diolah sendiri Sawah Sawah dan kolam Petani Selain petani Tidak ada Petani Selain petani Petani Selain petani Tidak ada Petani Selain petani
Jumlah (orang) 37 8 5 38 7 5 26 10 14
Presentase (%) 74 16 10 76 14 10 52 20 28
11 29 10 41 3 6
22 58 20 82 6 12
47 3 36 14 22 10 18 10 40 38 5 7 50
94 6 72 28 44 20 36 20 80 70 10 14 100
Dari Tabel 9, dapat dilihat bahwa proporsi umur responden berkisar 23 hingga 65 tahun, dengan kisaran umur paling banyak adalah dewasa pertengahan (39 hingga 54 tahun), yaitu 46%, menurut Dinas Kependudukan usia produktif adalah 15 hingga 64 tahun, dan responden paling banyak berumur 35 tahun sehingga dapat dikatakan usia responden sebagian besar adalah usia produktif. Pada jenis kelamin responden, peserta pelatihan didominasi oleh peserta laki-laki, yaitu 88%, dan lainnya adalah peserta perempuan. Pemilihan proporsi peserta berdasarkan jenis kelamin ditentukan oleh penyuluh, hal tersebut dikarenakan pekerjaan petani lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, dan perempuan biasanya tidak langsung mengolah sawah, melainkan pekerjaan lain yang berkaitan dengan pertanian, misalnya menjemur gabah.
42
Pendidikan formal dapat mencerminkan pengetahuan dan perilaku seseorang. Menurut Rogers (2003), pendidikan juga akan mempengaruhi seseorang untuk menerima inovasi. Pendidikan formal responden paling banyak adalah pendidikan sekolah dasar saja (40%), dan berdasar wawancara, ada beberapa orang yang tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya, hanya beberapa tahun saja, kemudian putus sekolah karena harus bekerja dan tidak memiliki biaya untuk meneruskan pendidikan. Pengalaman bertani dan pengalaman memakai irigasi memiliki hasil yang hampir sama, rata-rata, responden memiliki pengalaman satu hingga sepuluh tahun. Hal tersebut juga berkaitan dengan umur responden didominasi oleh umur 35 tahun, sehingga pengalaman menjadi petani masih tidak begitu lama. Lamanya pengalaman bertani juga berkaitan dengan pekerjaan dari responden. Terlihat pada tabel 10, ada beberapa responden yang pekerjaan utamanya bukanlah sebagai petani. Desa diadakan tempat pelatihan memang merupakan daerah pengumpul rongsok besi yang cukup besar, sehingga kebanyakan petani beralih profesi menjadi pengumpul rongsok dan menjadi pekerjaan yang lebih dominan dibanding menjadi petani, ditambah lagi dengan kondisi kekeringan sekarang ini, hal tersebut membuat petani mencari pekerjaan lain yang dapat menguntungkan. Jarak domisili responden ke tempat pelatihan sangat bervariasi, namun yang terbanyak adalah jarak yang dekat, karena penyuluh memang memilih para petani yang berdomisili di dekat tempat pelatihan diadakan agar petani tidak malas untuk mengikuti pelatihan. Hal tersebut sesuai dengan kenyataannya, meski pelatihan diadakan pagi hari, yaitu pukul 8, tidak ada peserta yang terlambat, baik yang berdomisili jauh maupun dekat, semua disiplin sesuai dengan waktu yang ditentukan, peserta juga tidak ada yang membolos satu haripun, semuanya mengikuti pelatihan dengan baik. Luas lahan yang dimiliki petani berpengaruh pada jumlah produktifitas, sehingga semakin besar sawah yang dimiliki, maka petani juga ingin memperbaiki kualitas sawahnya karena jika sawah tidak memiliki kualitas yang baik, maka semakin besar pula kerugian yang diterima, hal tersebut didukung oleh Rogers (2003) yang menyatakan, bila seseorang memiliki jumlah unit sawah yang lebih besar, maka akan lebih dapat menerima inovasi. Pada responden, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden hanya memiliki sawah seluas satu hingga dua hektar, dan kebanyakan dari mereka menyewa sawah tersebut, sehingga jika ada gagal panen, mereka yang menyewa lebih berisiko dibanding jika memiliki sawah itu sendiri, karena mereka jauh lebih merugi, karena harus tetap membayar uang sewa kepada pemilik sawah. Kebanyakan dari petani juga hanya memiliki usaha bertani di sawah saja, dan hanya 6% saja yang memiliki sawah sekaligus kolam untuk budidaya ikan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada peserta, semua responden menunjukan sikap yang positif terhadap pelatihan. Para peserta sangat menyukai diadakan pelatihan, serta mendukung rencana tindak lanjut yang sudah dirumuskan pada akhir pelatihan. Menurut salah satu responden, terlepas dari siapa yang bicara, petani ingin tahu ilmu yang sebenarnya, karena mereka ingin
43
membandingkan antara ilmu di lapangan dan ilmu dari literatur, karena selama ini, terkadang banyak petani yang menjadi merasa lebih tahu dari penyuluhnya.
5 PERILAKU KOMUNIKASI SAAT PELATIHAN PROGRAM CDCCAA DAN HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA Komunikasi merupakan hal utama yang harus diperhatikan saat pelatihan, karena pada pelatihan tersebut, banyak interaksi yang terjadi antara peserta pelatihan dan penyuluh, maupun interaksi antar peserta. Pada proses komunikasi pelatihan, baik penyuluh maupun peserta dituntut untuk aktif agar ilmu dapat disampaikan dengan baik oleh penyuluh dan dapat diterima dengan baik juga oleh peserta. Pada proses komunikasi saat pelatihan program CDCCAA, akan dilihat seberapa banyak peserta bertanya pada saat pelatihan, banyaknya petani mencari tahu informasi sebelum pelatihan, motivasi apa yang membuat petani ingin mengikuti pelatihan tersebut, dan seberapa besar keinginan petani mengikuti pelatihan. Tabel 10 Jumlah dalam persentase responden menurut perilaku komunikasi pada pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Perilaku komunikasi petani saat pelatihan Bertanya pada saat pelatihan
Mencari informasi sebelum pelatihan Motivasi
Keinginan mengikuti pelatihan Total (n)
Jumlah (orang) Tidak pernah (0) 9 Jarang (1-2 ) 29 Sering (lebih dari 2) 12 Tidak pernah (0) 18 Jarang (1-2 ) 25 Sering (lebih dari 2) 7 Uang yang diberikan 0 Mengikuti teman 0 Disarankan 0 penyuluh Ingin mendapat ilmu 50 Tidak ingin 0 Cukup ingin 0 Sangat ingin 50 50
Presentase (%) 18 58 24 36 40 14 0 0 0 100 0 0 100 100
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa terjadi komunikasi peserta dengan penyuluh pada saat peserta bertanya pada pelatihan. Jumlah peserta paling banyak bertanya hanya 1 hingga 2 kali saja saat pelatihan, yaitu sebesar 58 %, jumlah peserta yang sering bertanya 24%, sedangkan yang tidak bertanya sama sekali
44
pada saat pelatihan hanya 18%. Jumlah tersebut menunjukan antusias dari peserta yang besar dalam mengikuti pelatihan, dan hal tersebut juga didukung oleh jumlah banyaknya peserta yang mencari informasi sebelum diadakannya pelatihan, meskipun didominasi oleh peserta yang jarang mencari tahu, yaitu 40%, namun jumlah tersebut lebih banyak dibanding dengan peserta yang tidak mencari informasi sama sekali (36%). Pada motivasi dan besarnya keinginan juga menunjukan hasil yang sama besarnya. Seluruh peserta menjawab bahwa keinginan mereka untuk mengikuti pelatihan adalah benar-benar karena ingin mendapatkan ilmu dari pelatihan, dan besarnya keinginan untuk mengikuti pelatihan, seluruh peserta menjawab sangat ingin untuk mengikuti pelatihan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena pelatihan yang akan disampaikan merupakan hal yang berkaitan langsung dengan petani dalam menangani lahan sawahnya yang sudah mulai tidak subur dan sering mengalami kekeringan, dibuktikan ketika wawancara, banyak petani yang masih membaca bahan ajar, dan ketika pelatihan dilaksanakan, semua petani disiplin dan tidak ada yang terlambat untuk dating ke tempat pelatihan tersebut. Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA dan Hubungannya Dengan Karakteristik Individu Dari seluruh variable yang ada, setelah dianalisis dengan menggunakan metode SEM, terdapat nilai outer loading yang merupakan nilai kecermatan korelasi suatu variabel terhadap variabel lainnya (misal kecermatan variabel X 1,2 terhadap X1), dan variabel yang paling berpengaruh adalah umur, dengan outer loading sebesar 0.736 dan luas lahan, dengan outer loading 0.864, sehingga dapat dikatakan, variabel laten yang mampu menjelaskan variabel konstruk karakteristik individu adalah umur dan luas lahan. Hal ini dapat terjadi karena umur mempengaruhi kedewasaan dan pola berpikir seseorang serta pengalaman dalam melakukan usaha bertani, sehingga mempengaruhi proses komunikasi pada saat pelatihan, dibuktikan pada saat pelatihan, peserta yang banyak bertanya adalah peserta yang sudah berumur, sedangkan peserta yang masih dapat dikatakan dewasa muda agak pasif pada saat pelatihan. Luas lahan juga sangat berpengaruh pada proses komunikasi, karena semakin luas lahan yang dimiliki, maka semakin banyak responden mencari tahu dan bertanya pada saat pelatihan, sehingga banyak interaksi yang terjadi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Nilai outer loading variabel X1 (karakteristik individu) Variabel X1 (karakteristik individu) Jenis kelamin (X1,1) Umur (X1,2) Pendidikan formal (X1,3) Pengalaman bertani (X1,4) Pengalaman memakai irigasi (X1,5)
Nilai outer loading 0.429 0.736 0.143 0.031 0.051
45
Tabel 11 Nilai outer loading variabel X1 (karakteristik individu) (lanjutan) Variabel X1 (karakteristik individu) Jarak domisili petani dengan tempat pelatihan (X1,6) Luas lahan garapan (X1,7) Pekerjaan utama (X1,8) Pekerjaan tambahan (X1,9)
Nilai outer loading -0.012 0.864 0.175 -0.175
Untuk kevalidan atau kebaikan model SEM, maka nilai outer loading yang kurang dari 0.5 harus dikeluarkan dari model, sehingga yang akan dimasukan dalam model SEM adalah variabel umur dan luas lahan garapan, sekaligus, kedua variabel tersebut merupakan variabel yang paling berpengaruh. Dari analisis statistik, disimpulkan bahwa karakteristik responden (X1) signifikan berpengaruh terhadap proses komunikasi pada saat pelatihan (Y1) dengan pengaruh yang positif artinya jika karakteristik responden (X1) naik maka komunikasi pada saat pelatihan (Y1) akan naik. Jika dilihat pada hipotesis 1 pada kerangka berpikir, maka analisis tersebut menjawab, bahwa terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan proses komunikasi pelatihan program CDCCAA. Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program CDCCAA dan Hubungannya Dengan Penilaian Terhadap Pelatihan Program Penilaian terhadap pelatihan program dibagi menjadi dua bagian, yaitu penilaian terhadap pembicara pada saat pelatihan dan penilaian terhadap fasilitas yang ada pada pelatihan. Untuk penilaian pembicara, dari 10 pembicara, dipilih 3 pembicara yang paling mendominasi pada pelatihan. Hal yang dinilai dari pembicara tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 Tabel 12 Penilaian terhadap pembicara menurut peserta saat pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan
Setuju Tidak setuju (%) (%) Pembicara menyampaikan materi dengan baik. 88 12 Materi yang disampaikan pembicara mudah dipahami 70 30 Cara penyampaian materi pada saat pelatihan baik. 86 14 Permainan yang disampaikan menarik. 64 36 Pembicara menjawab dengan baik ketika ada pertanyaan. 82 18 Materi yang diberikan pada pelatihan , sesuai dengan kebutuhan petani. 80 20 Pembicara menyampaikan materi tepat waktu sesuai dengan jadwal. 94 6 Waktu yang digunakan pembicara dalam menyampaikan materi sudah cukup. 84 16
46
Tabel 12 menunjukan penilaian petani terhadap pembicara ketika program pelatihan dilaksanakan, dapat dilihat dari tabel tersebut 64% hingga 94% petani menilai setuju pada indikator penilaian pembicara, dengan jumlah petani tertinggi menyetujui pembicara menyampaikan materi tepat waktu sesuai dengan jadwal. Sesuai dengan kondisi pada saat pelatihan diadakan, pembicara atau penyuluh memberikan materi sesuai dengan jadwal waktu yang sudah disetujui oleh penyuluh dan petani di awal pelatihan, ketika pembuatan kontrak belajar pelatihan, sedangkan indikator penilaian yang memiliki jawaban setuju petani paling rendah adalah permainan yang disampaikan pada saat pelatihan. Dibuktikan ketika di lapangan, permainan yang disampaikan penyuluh untuk mencairkan suasana dirasa cukup kurang, sehingga petani menilai cukup kurang pada indikator permainan. Selain dilakukan penilaian pada pembicara, dilakukan juga penilaian pada fasilitas saat pelatihan dilaksanakan. Penilaian fasilitas meliputi penilaian bahan ajar, ruangan tempat pelatihan dilaksanakan, serta penilaian fasilitas secara keseluruhan. Untuk lebih jelasnya, penilaian fasiliitas pelatihan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Penilaian terhadap fasilitas menurut peserta saat pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 No 1 2 3
Pernyataan Bahan ajar yang dibagikan pada saat pelatihan mudah dipelajari. Ruangan tempat pelatihan adalah ruangan yang nyaman dan sesuai untuk tempat pelatihan. Terdapat fasilitas yang memadai.
Setuju (%)
Tidak setuju (%)
86
14
76 74
24 26
Dapat dilihat pada Tabel 13, bahwa 74 % hingga 86 % petani menjawab setuju pada pernyataan tersebut. Saat pelatihan, ada beberapa fasilitas yang dirasa kurang memadai, contohnya adalah fasilitas ruangan. Fasilitas ruangan dirasa kurang karena terlalu sempit untuk menampung 50 peserta, sehingga peserta kurang dapat berkonsentrasi jika hari sudah menjelang siang, karena udaranya yang panas, sehingga hanya 76% petani yang menjawab setuju bahwa ruangan tempat pelatihan dirasa nyaman, sedangkan 86% petani setuju bahwa bahan ajar yang dibagikan pada pelatihan mudah dipelajari, terbukti pada saat dilakukan wawancara kepada peserta, banyak yang masih membaca bahan ajar yang dibagikan saat pelatihan setelah pelatihan selesai dilaksanakan. Dilakukan juga penilaian terhadap tiga dari sepuluh pembicara pada pelatihan. Ketiga pembicara tersebut dipilih karena dirasa memiliki kredibilitas yang lebih dibanding pembicara yang lain. Setelah dianalisis, ternyata petani paling banyak menyukai pembicara yang pertama ketika menyampaikan materi. Penilaian pembicara pertama paling tinggi dapat dikarenakan penguasaan materi, cara penyampaian yang menyenangkan serta kredibilitas dari pembicara itu sendiri, mengingat pembicara merupaka kepala POPT (Pengendali Organisme
47
Pengganggu Tanaman), sehingga responden memberikan nilai tertinggi kepada pembicara pertama. Akan tetapi pada pembicara kedua dan pembicara ketiga juga tidak jauh berbeda dengan pembica pertama. Hal tersebut membuktikan bahwa ketiga pembicara memiliki kredibilitas yang tinggi, sehingga para peserta memberikan penilaian yang baik. “Pembicaranya enak, kalau bisa tiap tahun ada dan jadi agenda rutin, meskipun kadang-kadang ada yang membingungkan, ketika sudah siang dan capek, karena materinya banyak serta dipadatkan, sehari dua materi, dua diskusi, dua presentasi” (Peserta CDCCAA, 22 Mei 2015). Pada analisis SEM, dilihat dari nilai outer loading, maka variabel yang dapat menjelaskan konstruk penilaian terhadap program adalah kapabilitas sumber, kesesuaian materi program dengan kebutuhan, ketepatan waktu penyampaian materi, dan fasilitas pelatihan, dengan nilai outer loading terbesar ada pada penilaian terhadap kesesuaian materi program dengan kebutuhan, yaitu sebesar 0.834. Tabel 14 Nilai outer loading variabel X2 (penilaian terhadap program) Variabel X2 (penilaian terhadap program) Kapabilitas sumber (X2,1) Kesesuaian materi program dengan kebutuhan (X2,2) Ketepatan waktu penyampaian materi (X2,3) Fasilitas pelatihan (X2,4)
Nilai outer loading 0.860 0.834 0.709 0.629
Pada Tabel 14 nilai outer loading dari variabel X2 lebih besar dari 0.5, sehingga dapat dimasukan kedalam model SEM. Akan tetapi, dari segi hubungan dengan proses komunikasi (variabel Y1), penilaian terhadap program (variabel X2) tidak signifikan berpengaruh, yaitu hanya sebesar 0.1414 Meski berpengaruh, namun hanya sedikit saja pengaruhnya, sehingga dapat dikatakan tidak signifikan (t-thitung lebih kecil dari 1.96). Hal tersebut dapat disebabkan penilaian responden kepada pembicara cenderung penilaian yang homogen, sehingga perilaku komunikasi pada pelatihan tidak berubah secara signifikan. Pada perilaku komunikasi pada pelatihan itu sendiri, jawaban responden untuk berpartisipasi pada pelatihan, memiliki jawaban yang sama, yaitu ingin memiliki ilmu dan tingkat keinginannya tinggi dalam mengikuti pelatihan, sehingga membuat hasil analisa tidak signifikan berpengaruh. Faktanya, berdasarkan wawancara, banyak petani menginginkan pelatihan diadakan lagi karena mereka membutuhkan ilmunya, dan petani juga memiliki motivasi yang tinggi untuk datang ke pelatihan, dibuktikan dengan petani yang tidak pernah absen dan selalu datang tepat waktu ke tempat pelatihan.
48
6 PERILAKU TERHADAP RISIKO PERUBAHAN IKLIM PELATIHAN PROGRAM CDCCAA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program CDCCAA Perilaku terhadap risiko perubahan iklim dapat dilihat dari kognitif, afektif dan kecenderungan bertindak. Dari segi kognitif, responden diberi 15 pertanyaan pilihan ganda, berkaitan dengan materi pada saat pelatihan, dengan demikian dapat diketahui sejauh mana pengetahuan dari responden mengenai pelatihan yang telah disampaikan. Pada afektif dan kecenderungan bertindak, peserta diberi pernyataan mengenai perubahan iklim dan rencana tindak lanjut dari program, kemudian responden diminta untuk menjawab sesuai dengan tingkat kesetujuannya pada pernyataan-pernyataan tersebut. Untuk hasil dari kognitif, dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran jawaban kognitif responden program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Jumlah jawaban benar 0-5 6-10 11-15 Rata-rata jawaban
Jumlah (orang) 7 20 23
Persentase (%) 14 40 46 9.94
Dari hasil jawaban responden mengenai kognitif, rata-rata jawaban dari responden adalah 9.94. Jika dilihat dari rata-rata nilai tersebut, cukup jauh dari angka 15 (jumlah soal), sehingga dapat disimpulkan rata-rata pengetahuan responden tidak terlalu tinggi, namun, jika dilihat pada sebaran jawaban, jumlah terbanyak ada pada rentang 11 hingga 15, yaitu sebanyak 46% responden. Menurut salah satu peserta pelatihan, terkadang memang terdapat bahasa yang kurang dimengerti oleh petani, misalnya penggunaan istilah asing, selain itu, ilmu mengenai adaptasi perubahan iklim juga merupakan ilmu yang baru untuk petani, sehingga jika tidak dijelaskan dengan bahasa yang sederhana, maka petani tidak mengerti apa yang disampaikan oleh penyuluh. Penggunaan internet untuk mengakses kalender tanam, serta SMS kalender tanam juga diajarkan penyuluh kepada petani, namun sayangnya, petani memiliki keterbatasan untuk mengakses kalender tanam dengan menggunakan internet maupun handphone, sehingga ilmu yang didapat hanya dari penyuluh saja. “Sebenarnya bahasa dari penyuluh dirancang untuk mudah dimengerti, namun banyak petani yang tingkat pendidikannya rendah sehingga susah mengerti. Bahasa dirasa terlalu tinggi untuk petani dengan pendidikan rendah” (Peserta CDCCAA, 24 mei 2015).
49
Untuk hasil dari jawaban tingkat kesetujuan pada pernyataan afektif dan kecenderungan bertindak, dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Penilaian afektif dan kecenderungan bertindak responden program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Penilaian Afektif Kecenderungan bertindak
Setuju (%) 93.86 97.00
Tidak Setuju (%) 6.14 3.00
Dari Tabel 16 diketahui bahwa 93.86% petani setuju dengan sikap yang dapat mengurangi perubahan iklim, dan 97% petani setuju dengan kegiatan dari hasil rencana tindak lanjut yang sudah direncanakan pada akhir pelatihan. Hal tersebut terbukti pada saat wawancara kepada responden, sebagian besar dari responden sudah melaksanakan rencana tindak lanjut, khususnya pada pembuatan pupuk organik cair, bahkan ada seorang petani yang sudah sadar akan bahaya pupuk kimia untuk kesuburan tanah, sehingga petani tersebut sudah membuat pupuk organik cair sebelum dilaksanakan penelitian, bahkan berencana untuk membuat produk pertanian organik. Meskipun dari segi afektif dan kecenderungan banyak petani untuk setuju untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim, namun kenyataan di lapangan masih banyak petani yang tidak mengikuti anjuran penyuluh, salah satu contohnya adalah kecenderungan petani membakar jerami lebih besar dibanding menebarnya di sawah, padahal petani tahu bahwa membakar jerami tidak baik untuk lingkungan dan berdampak lebih lanjut pada perubahan iklim, namun petani terkendala oleh modal dan tenaga untuk menyebar jerami. Petani juga tahu bahwa jerami, manfaat jika jerami disebar di sawah, selain untuk pupuk dan mengurangi residu bakar, juga sebagai tempat resapan air, namun karena tidak mau repot dan tidak mampu membayar tenaga untuk menyebar, maka petani mengambil jalan praktis untuk membakar jerami. “Untuk jerami karena tidak ada tenaga jadi dibakar, padahal kalau ada tenaga pengennya dibikin kompos dan pupuk. Dibakar juga terpaksa, padahal petani sudah sadar kalau bakar jerami itu tidak boleh” (Penyuluh, 4 Juni 2015). Selain membakar jerami, rata-rata responden juga masih menggunakan pupuk kimia, menggunakan bibit yang umurnya panjang (padahal diharapkan petani menggunakan bibit yang umurnya pendek sehingga panen menjadi lebih cepat), dan masih menggunakan pola tanam yang lama dan tidak memperhatikan kalender tanam yang sudah diajarkan oleh penyuluh, sehingga ketika masa tanam kedua, petani sudah kehabisan air karena tidak adanya hujan. Meski ada keinginan untuk berupah, namun masih butuh banyak waktu bagi petani untuk berpikir serta menyiapkan modal serta tenaga untuk merealisasikan rencana tindak lanjut. Penyuluh juga mengatakan, meskipun saat ini petani sudah tahu bahwa pola tanam berubah, namun sayangnya, petani langsung mau berubah, karena ketika diberi informasi, petani tidak langsung menerapkan informasi tersebut, petani butuh waktu berpikir untuk memutuskan akan menerapkan informasi yang disarankan penyuluh atau tidak.
50
Menurut responden, mereka sangat ingin mengikuti anjuran penyuluh pada saat pelatihan. Penyuluh sendiri sudah membicarakan rencana tindak lanjut, sayangnya pelatihan yang diadakan tidak sampai memfasilitasi rencana tindak lanjut tersebut, dan hanya membantu pembangunan saluran irigasi pada Desa Panguragan, sedangkan petani terkendala modal dan sumber daya manusia. Bahkan menurut penyuluh, jumlah petani sangat berkurang, karena banyak pemuda yang lebih senang bekerja di kota dan menjadi pemulung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada saat panen pada musim itu pun (bulan April hingga Mei 2015) sangat kekurangan tenaga kerja, panen menjadi terlambat, akibatnya banyak padi sudah terlanjur tidak bias dipanen, akibat lainnya adalah massa tanam kedua juga mundur, karena hal tersebutlah yang membuat rencana tindak lanjut dari pelatihan, tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan sesegera mungkin, padahal sudah banyak kerugian yang dirasakan oleh petani karena adanya perubahan iklim. Petani merasa, pemerintah kurang tanggap dengan masalah kekeringan ini. Selama ini, sebenarnya pemerintah memberikan bantuan kepada petani, namun hanya sebatas benih dan pupuk, dan petani merasa kualitas benih dan pupuk kurang baik, sehingga sekarang ini petani mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk membangun TBS (Trap Barier System) untuk mengatasi pertumbuhan tikus yang semakin besar dan mengatasi kekeringan. “Pemerintah hanya memberi pupuk, mau di tolak gimana, orang dikasih, tapi kok kalau diterima mutunya nggak bagus, hal tersebut terjadi juga pada benih padi. Kami sih inginnya pemerintah harus memberi TBS dan mengatasi masalah pengairan di Panguragan, karena masalah pengairan dapat menjadi konflik jika tidak diatasi, air di sawah sering kekeringan dan petani menjadi kuwalahan, tetapi pemerintah kurang tanggap” (Peserta CDCCAA, 22 Mei 2015). Menurut salah satu responden, perubahan iklim itu membuat berkurangnya curah hujan, maka dari itu petani menggunakan pola pengairan penghematan, akibatnya hasil kurang maksimal, jika air sedikit maka rumput akan tumbuh subur, sehingga menyerap tenaga kerja yang banyak untuk membersihkan rumput liar tersebut dan membuat biaya meningkat. Selama ini, para petani memakai pompa yang menyedot air dari sungai ke sawah, namun jika kondisinya terus menerus kekeringan, dan tidak ada air sama sekali untuk sawah, serta organisasi P3A Mitra Cai juga belum berjalan dengan baik di desa tersebut, sehingga pembagian air juga kurang terkoodinir dengan baik, maka banyak konflik yang terjadi di desa tersebut karena berebut air untuk sawah mereka. “Dulu tahun 2011, Saya sampai bawa golok dan perang dengan petani dari desa sebelah karena rebutan air. Sawah kami memang sama-sama kering, tapi Saya merasa dicurangi karena jatah air saya diambil oleh petani tersebut, karena Saya merasa, saat itu giliran Saya mendapat air” (Peserta CDCCAA, 24 Mei 2015).
51
Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program CDCCAA dan Hubungannya Dengan Kekosmopolitan Menurut Rogers (2003), seseorang yang cepat mengadopsi sebuah inovasi memiliki partisipasi sosial yang lebih dan memiliki jaringan sosial yang lebih banyak dibanding dengan seseorang yang mengadopsi inovasi secara lambat. Rogers juga menambahkan bahwa hubungan dengan agen perubahan (pada hal ini adalah penyuluh), serta keterdedahan media massa akan mempengaruhi seseorang mengadopsi suatu inovasi, dengan demikian kekosmopolitan responden perlu dianalisis untuk mengetahui apakah hal tersebut berhubungan atau mempengaruhi perilaku terhadap risiko perubahan iklim. Untuk melihat tingkat kekosmopolitan responden, dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Kekosmopolitan responden program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 Indikator kekosmopolitan Banyaknya keluar desa (1 Bulan) Seringnya mendengar radio (1 Minggu) Lama mendengar radio (Jam/ Hari)
Tidak pernah 1-3 kali Lebih dari 3 kali Tidak pernah 1-3 kali Lebih dari 3 kali Tidak pernah
1-3 jam Lebih dari 3 jam Siaran radio yang biasa Tidak pernah didengar Hiburan Berita Pengajian Seringnya menonton televisi Tidak pernah (1 Minggu) 1-3 kali Lebih dari 3 kali Lama menonton televisi Tidak pernah (jam/ hari) 1-3 jam Lebih dari 3 jam Siaran televisi yang biasa Tidak pernah dilihat Hiburan Berita Pengajian Seringnya bertemu Tidak pernah penyuluh (1 Bulan) 1-3 kali Lebih dari 3 kali Seringnya bertemu Tidak pernah penyuluh (1 Bulan) 1-3 kali Lebih dari 3 kali
Jumlah (orang) 5 28 17 24 14 12 25 19 6 25 6 17 2 0 9 41 0 32 18 0 22 28 0 2 29 19 2 29 19
Presentase (%) 10 56 34 48 28 24 50 38 12 50 12 34 4 0 18 82 0 64 36 0 44 56 0 4 58 38 4 58 38
52
Tabel 17 Kekosmopolitan responden program pelatihan CDCCAA di Kecamatan Panguragan tahun 2015 (lanjutan) Indikator kekosmopolitan Pertemuan kelompok tani (kepala keluarga) 1Bulan Keanggotaan pada kelompok tani (kepala keluarga) Pertemuan pengajian (kepala keluarga) (1 Bulan) Keanggotaan pada pengajian (kepala keluarga) Pertemuan kelompok tani (istri) (1 Bulan) Keanggotaan pada kelompok tani (istri) Pertemuan pengajian (istri) (1 Bulan) Keanggotaan pada pengajian (istri) Mendapat informasi perubahan iklim
Total (n)
Tidak pernah 1-3 kali Lebih dari 3 kali Anggota biasa Pengurus harian Tidak pernah 1-3 kali Lebih dari 3 kali Anggota biasa Pengurus harian Tidak pernah 1-3 kali Lebih dari 3 kali Bukan anggota Anggota biasa Pengurus harian Tidak pernah 1-3 kali Lebih dari 3 kali Anggota biasa Pengurus harian Televisi Radio Petani lainnya Penyuluh Lain-lain
Jumlah (orang) 13 34 3 42 8 27 14 9 48 2 41 7 2 39 9 2 33 7 10 49 1 21 2 3 23 1 50
Presentase (%) 26 68 6 84 16 54 28 18 96 4 82 14 4 78 18 4 66 14 20 98 2 42 4 6 46 2 100
Dari Tabel 17, dapat dilihat beberapa indikator yang menunjukan tingkat kekosmopolitan dari responden. Banyaknya responden keluar dari desa menunjukan bahwa kebanyakan responden sering keluar dari desa beberapa kali dalam satu bulan. Mereka mengaku, keluar desa untuk keperluan menjual hasil rongsok besinya ke kota, bahkan, untuk skala yang besar lagi, ada yang menjual hasil rongsoknya ke Jakarta, karena di Jakarta, hasil jualnya jauh lebih besar. Untuk keterdedahan terhadap media massa, dipilih radio dan televisi sebagai indikatornya. Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa pendengar radio lebih sedikit dari penonton televisi, dan petani juga menonton televisi ketika malam saja, ketika setelah pulang dari sawah. Akan tetapi, pada responden pendengar radio, banyak yang mengatakan bahwa mereka sangat suka mendengar berita dari radio dibanding di televisi, karena dirasa lebih informatif, misalnya
53
siaran pedesaan yang membahas mengenai pertanian di Kecamatan Panguragan, sehingga mereka lebih tahu, berita apa yang sedang ramai dibicarakan pada daerah mereka sendiri. Meskipun demikian, responden yang menonton berita di televisi menunjukan angka yang cukup banyak, yaitu 56%, dengan demikian dapat disimpulkan rata-rata responden memiliki keinginan untuk mencari ilmu dan informasi dari berita dari radio dan televisi. Responden juga sering bertemu dengan penyuluh, karena penyuluh pada daerah tersebut sering mengontrol sawah para petani pada wilayan binaannya, namun yang diinformasikan pada Tabel 17 adalah seringnya responden bertemu penyuluh pada pertemuan rutin yang diadakan penyuluh untuk membicarakan permasalahan di sawah. Pertemuan tersebut juga dapat dilihat pada intensitas datangnya petani (bapak) pada perkumpulan kelompok tani, dan petani wanita (ibu) pada perkumpulan KWT (Kelompok Wanita Tani) yang diadakan satu minggu sekali. Untuk perkumpulan KWT, ternyata tidak semua istri dari petani berprofesi sebagai petani juga. Ada beberapa dari istri petani berprofesi sebagai guru, PNS, pedagang di warung atau ibu rumah tangga saja, sehingga banyak yang tidak menjadi anggota KWT. Dari beberapa responden, ternyata ada beberapa peserta pelatihan yang merupakan pengurus harian dari kelompok tani, ada sekretaris, bendahara, dan juga ketua dari kelompok tani dan juga KWT. Dilihat pada saat pelatihan, para pengurus harian cukup mendominasi pada saat berdiskusi maupun presentasi. Pengurus harian lebih aktif dalam bertanya dan meskipun dalam presentasi tiaptiap kelompok diminta untuk bergantian dalam mempresentasikan hasil diskusinya, pengurus harian tetap terlihat lebih menonjol dibanding peserta lainnya yang hanya merupakan anggota biasa. Selain pertemuan kelompok tani, interaksi juga terjadi pada pengajian yang diadakan di desa ketika malam Jum‟at. Pada pengajian, selain mengaji, juga membicarakan permasalahan-permasalahan yang ada di desa, sehingga memperkuat kekerabatan antar penduduk desa tersebut. Untuk pengajian, hanya sedikit responden yang merupakan pengurus harian. Dari Tabel 17 tersebut juga diketahui bahwa responden, kebanyakan mengetahui informasi perubahan iklim dari penyuluh, dan televisi, sebagian kecil dari radio dan hanya satu orang yang mendapat informasi perubahan iklim dari internet. Hal tersebut membuktikan bahwa penyuluh sangat berperan penting untuk menyebarkan informasi mengenai perubahan iklim. Setelah dianalisis dengan SEM, maka diketahui, variabel yang mampu menjelaskan kekosmopolitan adalah frekuensi keluar kampung (outer loading sebesar 0.665), frekuensi melihat televisi (outer loading sebesar 0.701), frekuensi bertemu tokoh (outer loading sebesar 0.779) dan sumber informasi (outer loading sebesar 0.528). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 18.
54
Tabel 18 Nilai outer loading variabel X3 (kekosmopolitan) Variabel X3 (kekosmopolitan) Frekuensi keluar kampung (X3,1) Frekuensi mendengar radio (X3,2) Frekuensi melihat tv (X3,3) Frekuensi bertemu tokoh (X3,4) Keaktifan di organisasi poktan dan gapoktan (X3,5) Keanggotaan dalam organisasi (X3,6) Sumber info yang didapat (X3,7)
Nilai outer loading 0.665 -0.053 0.701 0.779 -0.068 0.214 0.528
Dari Tabel 18 dapat diketahui nilai outer loading dari kekosmopolitan, dari beberapa nilai outer loading yang kurang dari 0.5, untuk kebaikan model SEM, maka variabel dengan nilai kurang dari 0.5 tidak dimasukan dalam model. Outer loading tertinggi adalah frekuensi bertemu tokoh, hal ini berarti peran penyuluh sangat mempengaruhi tingkat kekosmopolitan petani serta semakin banyak petani bertemu dengan tokoh atau penyuluh, maka akan mempengaruhi perilaku petani terhadap perubahan iklim, begitu juga dengan frekuensi melihat televisi dan frekuensi keluar kampung, semakin banyak petani menonton televisi (khususnya berita), maka petani akan semakin terdedah oleh informasi, dan jika petani keluar kampung, petani akan berinteraksi dengan banyak orang dan saling bertukar infomasi. Sumber informasi yang didapat juga menunjukan outer loading yang tinggi, hal ini membuktikan bahwa semakin beraga sumber info petani mengenai perubahan iklim maka akan berpengaruh pada perilaku petani dalam menghadapi perubahan iklim. Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa kekosmopolitan (X3) signifikan berpengaruh terhadap perilaku terhadap risiko perubahan iklim (Y2) dengan pengaruh yang positif artinya jika kekosmopolitan (X3) naik maka perilaku terhadap risiko perubahan iklim (Y2) akan naik. Hal tersebut menjawab hipotesis bahwa terdapat hubungan nyata antara kekosmopolitan dengan perilaku terhadap risiko perubahan iklim pelatihan program CDCCAA. Berubahnya perilaku terhadap risiko perubahan iklim berkaitan dengan efektifitas komunikasi perubahan iklim, sehingga dapat disimpulkan, bahwa tingkat kekosmopolitan responden berhubungan dengan efektivitas komunikasi perubahan iklim. Perilaku Terhadap Risiko Perubahan Iklim Pelatihan Program CDCCAA dan Hubungannya Dengan Perilaku Komunikasi Saat Pelatihan Program Seperti yang telah diketahui dan dibahas pada Bab 5, proses komunikasi peserta pelatihan program dilihat dari frekuensi responden menghadiri pelatihan, frekuensi responden bertanya saat pelatihan, frekuensi mencari informasi mengenai program dan keinginan berpartisipasi pada program. Pada frekuensi responden menghadiri pelatihan, ternyata semua responden mengikuti seluruh kegiatan yang ada pada pelatihan, sehingga frekuensi responden menghadiri pelatihan adalah sama. Begitu pula dengan jawaban dari keinginan berpartisipasi
55
pada program, ternyata semua responden menjawab dengan jawaban yang sama, sehingga dua variabel tersebut tidak dapat diuji hubungannya dengan variabel yang lain. Pada perilaku terhadap perubahan iklim, diketahui bahwa afektif dan kecenderungan bertindak responden menjawab tingkat kesetujuan sebesar lebih dari 80%, dengan demikian, rata-rata responden sudah setuju bahwa perubahan iklim berpengaruh pada usaha tani mereka, dan setuju bahwa teori yang disampaikan pada pelatihan merupakan teori yang harus dipraktikan pada sawah jika ingin mengurangi dampak perubahan iklim dan meningkatkan hasil pertaniannya, meskipun pada kenyataannya, tidak semua responden mempraktikan teori pada saat pelatihan. Walaupun keinginan mempraktikan teori itu besar, namun kemampuan petani terbatas pada tidak adanya modal dan sumber daya manusia yang mengerjakan. Perilaku terhadap risiko perubahan iklim kemuadian dianalisis, apakah berhubungan nyata dengan proses komunikasi saat pelatihan. Setelah dianalisis dengan metode SEM, didapat nilai outer loading lebih dari 0.5, hal tersebut menunjukan kekuatan korelasi variabel terhadap variabel inti cukup tinggi. Tabel 19 Nilai outer loading variabel Y1 (perilaku komunikasi saat pelatihan) Variabel Y1 (perilaku komunikasi saat pelatihan) Frekuensi bertanya saat pelatihan (Y )
Nilai outer loading 0.954
1,1
Frekuensi mencari informasi mengenai program (Y ) 1,2
Frekuensi menghadiri pelatihan (Y )
0.515 tidak dimasukan
1,3
Keinginan berpartisipasi pada program (Y ) 1,4
tidak dimasukan
Pada Tabel 19 diketahui bahwa nilai outer loading terbesar adalah frekuensi bertanya saat pelatihan. Pada analisis perilaku komunikasi saat pelatihan, variabel frekuensi menghadiri pelatihan (Y1,3) dan keinginan berpartisipasi pada program (Y1,4) tidak dimasukan dalam analisis, karena jawaban dari semua responden sama, petani mengikuti seluruh proses pelatihan dan memiliki motivasi yang sama pada saat mengikuti pelatihan. Sedangkan pada variabel perilaku risiko perubahan iklim (Y 2), semua outer loading memenuhi syarat untuk dimasukan kedalam model PLS, yaitu dengan nilai lebih dari 0.5, sehingga dapat dikatakan, variabel frekuensi bertanaya saat pelatihan dan variabel frekuansi mencari informasi mengenai program merupakan variabel yang dapat menjelaskan perilaku komunikasi saat pelatihan. Nilai outer loading perilaku terhadap risiko perubahan iklim yang dapat dilihat pada Tabel 20, menunjukan bahwa variabel yang mampu menjelaskan konstruk dari perilaku terhadap risiko perubahan iklim adalah kognitif, afektif dan kecenderungan bertindak.
56
Tabel 20 Nilai outer loading variabel Y2 (perilaku terhadap risiko perubahan iklim) Variabel (Y2) perilaku terhadap risiko perubahan iklim
Nilai outer loading
Kognitif (Y )
0.520
Afektif (Y )
0.818
2,1
2,2
Kecenderungan bertindak (Y ) 2,3
0.831
Pada analisa data dapat disimpulkan bahwa hubungan atau pengaruh proses komunikasi terhadap perilaku terhadap risiko perubahan iklim tidak terlalu signifikan, yaitu hanya sebesar 0.0733 (dikarenakan t-thitung lebih kecil dari 1.96 (t-tabel) dengan alpha 5%). Dapat disimpulkan bahwa belum cukup bukti data untuk menyatakan hubungan signifikan antara perilaku komunikasi pada saat pelatihan dengan perilaku terhadap perubahan iklim. Hal tersebut dapat terjadi karena responden memiliki banyak jawaban yang sama pada veriabel proses komunikasi (Y1), sehingga tidak banyak mempengaruhi perilaku terhadap perubahan iklim (Y2). Kenyataannya di lapangan, responden memang memiliki semangat, serta keinginan yang tinggi dalam mengikuti pelatihan, dibuktikan dengan kehadiran penuh dan tidak ada yang terlambat, serta keaktifan ketika pelatihan, bahkan banyak rata-rata responden menyatakan keinginan untuk diadakan program lanjutan agar pelatihan tidak hanya sebatas teori di kelas. Salah satu keunggulan analisis statistik dengan metode analisis SEM adalah dapat membuat model persamaan struktural yang digunakan untuk memberikan gambaran analisis data, sehingga peneliti dapat mengkonfirmasi apakah model yang dibangun dari variabel secara teoritis sesuai dengan data empirisnya. Untuk melihat nilai koefisien korelasi, maka dapt dilihat pada model PLS (Partial Least Square) pada Gambar 2. Pada Gambar 2 dapat dilihat nilai outer loading dari tiap-tiap variabel serta nilai koefisien yang menunjukan nilai korelasi antar variabel. Nilai R2 juga diketahui dari model tersebut, nilai R2 dari Y1 adalah 0.161 dan R2 dari Y2 adalah 0.085. Nilai R2 dapat menginterpretasikan keragaman yang dapat dijelaskan oleh satu variabel kepada variabel lainnya.
57 frek bertanya saat pelatihan
frek mencari informasi ttg ptogram
umur kognitif afektif
Luas lahan Perilaku komunikasi saat pelatihan (Y1)
Karakteristik individu (X1)
kapabilitas
Perilaku thp risk perub iklim (Y2)
Kcnderungan bertindak
Kekosmopolitan (X3)
kesesuaian ketepatan fasilitas
Penilaian thdp program (X2) frek keluar kampung
frek frek brtm mlht tv tokoh
Smbr info yg didapat
Gambar 2 Model PLS komunikasi petani pada pelatihan adaptasi perubahan iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon. Pada Gambar 2 juga diketahui bahwa pada karakter individu (X1), variabel yang dapat menjelaskan adalah umur dan luas lahan garapan, jika melihat pada umur para petani, kebanyakan dari petani tersebut adalah berumur 39 hingga 54 tahun, sedangkan umur petani yang berusia kurang dari 30 atau 35 tahun, masih sangat sedikit, hal tersebut membuktikan bahwa pertanian sudah mulai kurang diminati oleh para pemuda di Desa Panguragan dan Desa Kalianyar, rata-rata dari petani juga menyewa lahan dan hanya sedikit yang memiliki sawah sendiri. Diduga, ketika petani tersebut mengolah sawah atau lahan garapan namun bukan milik sendiri, maka petani tersebut tidak memperhatikan kelestarian alam atau kesuburan tanah itu sendiri, karena hanya memperhatikan hasil dari panen yang ditargetkan banyak menghasilkan, terlihat juga pada saat pelatihan diadakan, yang banyak mencari tahu dan bertanya adalah petani yang memiliki lahan sendiri dan lahan garapan yang lebih luas dibanding lahan garapan petani lainnya. Variabel yang dapat menjelaskan penilaian pada pelatihan (X2) adalah kapabilitas sumber, kesesuaian materi, ketepatan waktu serta penilaian fasilitas pada pelatihan. Penilaian tersebut berdasarkan apa yang dirasakan oleh petani pada saat pelatihan, petani merasa pembicara yang dinilai sudah cukup baik dalam menyampaikan materi, meskipun kenyataannya di lapangan, dari sepuluh pembicara, ada beberapa pembicara yang dinilai kurang menarik dan kurang dapat dimengerti oleh petani, meskipun materi yang disampaikan sebenarnya dibutuhkan oleh petani. Petani menilai kurang mudah dimengerti karena pembicara hanya menjelaskan teori-teori tanpa aplikasi, sedangkan pembicara yang dirasa cukup baik dalam menyampaikan materi dan mendapat antusias dari petani adalah penyampaian materi menggunakan alat peraga dan video. Model outer loading juga menunjukan bahwa variabel kekosmopolitan yang dapat dijelaskan oleh frekuensi keluar kampung, frekuensi melihat televisi, frekuensi bertemu tokoh, dan sumber info peubahan iklim. Beberapa petani mengatakan bahwa mereka keluar kampung karena ingin menjual hasil plastik dan besi bekasnya ke kota, ada juga yang mengaku untuk bekerja menjadi kuli di luar
58
desa, namun ada juga beberapa petani yang keluar desa karena undangan pelatihan pertanian di luar desa, dan yang keluar dari desa karena undangan pelatihan petani yang menjabat sebagai ketua kelompok tani atau ketua gabungan kelompok tani, dimana saat pelatihan dilaksanakan, petani tersebut juga lebih banyak bertanya dan mencari tahu tentang materi yang diberikan, bahkan ada juga petani yang sering keluar desa karena pelatihan di tempat lain dan petani tersebut juga memiliki lahan garapan yang luas, sudah membuat TBS (Trap Barier System) sebelum diajarkan di pelatihan. Petani tersebut juga sudah menyadari bahwa perubahan iklim telah merubah banyak hal di sektor pertanian, dan dibutuhkan penanggulangan, sehingga beliau tidak pernah membakar jerami. Petani juga sebelumnya mendapat informasi perubahan iklim paling banyak dari penyuluh, namun ternyata ada satu orang petani yang mendapat informasi perubahan iklim dari internet dan petani tersebut juga merupakan salah satu petani yang sudah peduli dengan kesuburan tanahnya jangka panjang dengan menggunakan pupuk organik cair pada sawahnya, dan petani tersebut mengaku, meski persiapannya cukup banyak dan lebih rumit jika dibanding menggunakan pupuk kimia saja, namun beliau mengakui bahwa dengan pupuk organik cair, hasilnya jauh lebih baik dari segi kualitas dibanding dengan tanaman dengan pupuk kimia. “Sawah saya cukup luas, jika hasil panen dimakan semua oleh tikus, maka saya akan banyak merugi, sehingga saya sudah membuat TBS sebelum diadakan pelatihan, penyuluh juga sebelumnya sudah menghimbau untuk membuat pupuk organik cair, namun hanya beberapa saja yang mau melaksanakannya, dan hasil dari pupuk organik cair cukup memuaskan, meski tidak sebanyak bulir padi pupuk kimia, namun bulir padi lebih besar, dan tanaman lebih tahan terhadap hama” (Peserta CDCCAA, 5 Juni 2015). Pada perilaku petani terhadap perubahan iklim, tidak semua petani dapat menjelaskan apa itu perubahan iklim dan risiko perubahan iklim pada pertanian, namun para petani merasakan bahwa ada yang berubah pada kondisi alam dan hal tersebut berpengaruh pada usaha taninya. Hanya ada beberapa petani yang memang benar-benar mengerti apa itu perubahan iklim, apa yang menyebabkan perubahan iklim terjadi dan bagaimana cara menurangi risiko perubahan iklim pada pertanian dan menerapkan teori yang sudah disampaikan pada usaha taninya. Meskipun demikian, petani yang belum mengerti apa itu perubahan iklim dan bagaimana cara mengatasinya mengaku mendukung jika pemerintah mengadakan tindak lanjut dari program pelatihan, dan para petani juga sangat antusias jika diikutsertakan kembali pada pelatihan berkaitan dengan perubahan iklim. Setelah diketahui nilai koefisien korelasi dari Gambar 2, maka untuk mengetahui pengaruh (jika suatu variabel mempengaruhi variabel yang lain, maka sudah pasti terdapat hubungan pada antar variabel tersebut) maka dilakukan analisis bootsrap untuk mengetahui koefisien t hitung. Model bootsrap dapat dilihat pada Gambar 3.
59
frek bertanya saat pelatihan
frek mencari informasi ttg ptogram
umur kognitif afektif
Luas lahan Perilaku komunikasi saat pelatihan (Y1)
Karakteristik individu (X1)
kapabilitas
Perilaku thp risk perub iklim (Y2)
Kcnderungan bertindak
Kekosmopolitan (X3)
kesesuaian ketepatan fasilitas
Penilaian thdp program (X2) frek keluar kampung
frek frek brtm mlht tv tokoh
Smbr info yg didapat
Gambar 3 Model bootsrap komunikasi petani pada pelatihan adaptasi perubahan iklim (CDCCAA) di Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon. Gambar 3 merupakan model bootsrap, dan model tersebut menunjukan nilai t hitung dari tiap-tiap variabel terhadap variabel latennya, serta nilai t hitung antar variabel, t hitung digunakan untuk melihat signifikansi dari pengaruh antar variabel. Untuk melihat perbandingan koefisien, t hitung dan keputusan signifikansi, dapat dilihat dari Tabel 21. Tabel 21 Nilai koefisien, nilai t hitung, keputusan signifikansi antar variabel Uji koefisien Karakteristik individu (X1)---perilaku komunikasi saat pelatihan (Y1) Penilaian Pelatihan (X2)---perilaku komunikasi saat pelatihan (Y1) Kekosmopolitan(X3)--Perilaku terhadap perubahan iklim (Y2) Perilaku komunikasi saat pelatihan (Y1)--Perilaku terhadap perubahan iklim (Y2) a
Koefisien korelasi
T-hitung
0.372
3.445
Signifikan berpengaruh
0.143
0.650
Tidak signfiikan berpengaruh
0.282
3.705
Signifikan berpengaruh
0.073
0.354
Tidak signfikan berpengaruh
Keputusana
Kaidah keputusan diukur pada t tabel = 1.96 pada taraf uji 5%, signifikan jika T-hitung > T-tabel
60
Pada Tabel 21, dapat dilihat nilai koefisien korelasi dan signifikasi antar variabel. Signifikan berpengaruh jika nilai t hitung lebih besar dari t tabel (alpha5%) yaitu1.96. Dari Tabel 21 dan Gambar 2 juga diketahui bahwa semua variabel berkorelasi positif dilihat pada model PLS yang menunjukan korelasi angka yang positif. Karakteristik individu ternyata berpengaruh signifikan terhadap proses komunikasi pada pelatihan program. Hal tersebut didukung oleh penelitian Mors et al (2010) yang menyatakan bahwa tidak semua orang mengerti mengenai perubahan iklim maupun bagaimana cara mengatasinya, hal tersebut tergantung pada latar belakang yang melekat pada individu masing-masing, sehingga tidak semua orang dapat mengevaluasi informasi yang didapat dan memanfaatkannya. Pada penilaian pelatihan terhadap perilaku komunikasi saat pelatihan, setelah dianalisis dengan SEM, ternyata belum memiliki cukup bukti untuk dikatakan signifikan, hal ini bisa saja terjadi karena penilaian dari peserta pelatihan kepada penyuluh maupun fasilitas yang cukup homogen, peserta pelatihan menilai penyuluh dengan nilai yang rata-rata hampir sama, sehingga membuat penilaian pada program belum dapat dikatakan berpengaruh pada proses komunikasi. Penilaian dari peserta yang menyatakan kepuasan pada kemampuan penyuluh dalam menyampaikan informasi dapat mengindikasikan adanya perubahan sikap serta kecenderungan bertindak petani yang mendukung adanya kegiatan perubahan iklim, karena terdapat penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ketidakpuasan seseorang akan penyampaian informasi akan berakibat pada gagalnya masyarakat untuk memahami sehingga tidak mempertimbangkan penggunaan informasi tersebut (Mors et al 2010). Analisis pengaruh yang tidak signifikan juga terdapat pada variabel perilaku komunikasi pada saat pelatihan terhadap variabel perilaku risiko perubahan iklim. Hasil yang tidak signifikan tersebut dapat terjadi karena ada beberapa variabel dari perilaku komunikasi saat pelatihan yang dihilangkan karena para peserta memiliki jawaban yang semuanya sama, yaitu pada frekuensi datang pada pelatihan dan motivasi peserta yang pada kenyataan di lapangan, seluruh peserta datang setiap hari dan tepat waktu pada jam yang telah ditentukan, serta memiliki motivasi yang sama, yaitu menginginkan ilmu dari pelatihan. Kekosmopolitan ternyata berpengaruh signifikan terhadap perilaku risiko perubahan iklim, hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Rogers (2003) yang menyatakan bahwa kekosmopolitan merupakan bagian dari perilaku berkomunikasi dari individu dan menurut Simanjuntak (2014) kekosmopolitan adalah keterbukaan seseorang pada informasi melalui kunjungan lainnya untuk mendapatkan berbagai sumber informasi, sehingga dapat dikatakan, semakin seseorang terdedah oleh informasi perubahan iklim, maka akan semakin mengerti bagaimana menyikapi adanya perubahan iklim tersebut. Dari seluruh analisis data tersebut dan dilihat kondisi di lapangan saat pelatihan maupun setelah dilaksanakan pelatihan dapat disimpulkan bahwa program pelatihan CDCCAA cukup berhasil mengkomunikasikan risiko perubahan iklim dan cara mengatasinya pada masyarakat petani, meskipun belum semua melaksanakan kegiatan adaptasi yang disarankan oleh penyuluh, namun para petani tetap berusaha untuk melaksanakan kegiatan mitigasi dan adaptasi.
61
Para petani mengakui bahwa mereka sangat ingin melaksanakan kegiatan tindak lanjut, namun terkendala dengan modal yang tidak tersedia. Tidak dapat dipungkiri juga, bahwa usaha bertani saat ini tidak semenarik dulu, banyak petani, terutama petani yang tidak memiliki tanah dan menyewa tanah untuk usaha taninya, memiliki pekerjaan sampingan, bahkan beralih profesi menjadi pedagang, kuli, atau pengumpul barang bekas serta pekerjaan lain yang dirasa memiliki risiko lebih kecil dibanding dengan menjadi petani yang saat ini tidak pasti hasilnya. Antusiasme belajar dari petani juga sangat tinggi, hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh instansi terkait untuk mengadakan pelatihan yang lebih intensif dan dilakukan langsung dengan praktik pada sawah petani. Banyak hal yang harus dibenahi pada pertanian Indonesia, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar pertanian kembali menjadi sektor utama di Indonesia. Petani butuh dilindungi dari perubahan iklim dan kegagalan panen agar kembali berminat untuk melakukan usaha taninya.
7 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Perilaku komunikasi peserta saat pelatihan program CDCCAA pada petani CDCCAA dapat dilihat dari interaksi petani dengan penyuluh maupun interaksi petani dengan petani lainnya. Rata-rata peserta jarang bertanya pada saat pelatihan, maupun pencarian informasi sebelum pelatihan diadakan, meskipun jarang bertanya, motivasi dan keinginan untuk mengikikuti program pelatihan tinggi, dibuktikan dengan peserta pelatihan yang tidak pernah absen dan selalu datang tepat waktu. 2. Karakteristik individu berhubungan nyata dengan perilaku komunikasi pada pelatihan. Hal tersebut membuktikan bahwa karakteristik individu memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan proses komunikasi yang terjadi. Karakteristik individu dapat membentuk kepribadian seseorang dan mempengaruhi pola berpikir seseorang. 3. Pada analisis penilaian pelatihan, data belum cukup bukti untuk menyatakan bahwa penilaian pelatihan berhubungan dengan proses komunikasi. Faktanya, responden memang menilai pelatihan dengan tingkat kesetujuan yang cukup tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan tingkat keinginan responden yang juga tinggi untuk mengikuti pelatihan, sehingga sebenarnya responden memandang pelatihan merupakan sesuatu hal yang penting dan mereka berusaha aktif dalam pelatihan yang merupakan salah satu indikator dari proses komunikasi pada pelatihan, agar mendapatkan ilmu yang disampaikan semaksimal mungkin. 4. Perilaku komunikasi pada pelatihan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku adaptif perubahan iklim, meskipun belum dapat dikatakan berpengaruh signifikan, keadaan di lapangan menyatakan bahwa peserta yang aktif pada saat pelatihan ternyata sudah melakukan banyak perubahan pada sawahnya setelah diadakannya pelatihan. Responden yang lebih aktif bertanya juga lebih menyadari akan adanya bahaya yang mengancam dari perubahan
62
iklim, dan memiliki persepsi sendiri mengenai perubahan iklim. Pada kekomopolitan, dapat dikatakan semakin banyak seseorang memiliki interaksi dengan lingkungan luar dan semakin terdedah oleh media massa, maka akan mempengaruhi bagaimana perilaku serta pengetahuan seseorang, dibuktikan pada analisis data, kekosmopolitan berpengaruh signifikan pada perilaku terhadap perubahan iklim. Saran 1. Pemerintah perlu mengadakan pelatihan lanjutan yang lebih intensif untuk mengurangi dampak perubahan iklim pada pertanian agar petani dapat memiliki persepsi terhadap dampak perubahan iklim pada pertanian, bagaimana hal tersebut dapat terjadi serta bagaimana cara mencegahnya, dan akan lebih baik jika sebelum pelatihan dilaksanakan, petani peserta sudah diset untuk dapat merubah perilaku dan persepsi terhadap perubahan iklim. 2. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk melihat kerentanan terhadap perubahan iklim dan kapasitas adaptif petani terutama petani pengakses irigasi yang diharapkan dapat memberikan saran terhadap program pelatihan selanjutnya serta pelitian lebih lanjut mengenai komunikasi risiko terhadap perubahan iklim dengan menambahkan beberapa variabel-variabel yang berkaitan dengan perilaku komunikasi antara komunikator dengan komunikan. 3. Program pelatihan juga sebaiknya dilanjutkan dengan program dengan praktik, sehingga tidak berhenti hanya sekedar teori di kelas dan dilupakan oleh peserta. penyuluh diharapkan lebih mampu menyampaikan pesan mengenai perubahan iklim pada petani, dengan lebih memperhatikan kebutuhan petani, sehingga petani dapat melaksanakan tindakan adaptasi sesuai dengan kebutuhan prioritasnya.
63
DAFTAR PUSTAKA
Agustini. 2009. Hubungan karakteristik dan motif dengan efek media (kasus ibu rumah tangga pendengar acara pro dokter di Pro 2 LPP RRI Jakarta) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anantanyu S. 2011. Kelembagaan petani: perandan strategi pengembangan kapasitasnya. SEPA. 7(2): 102-109. Arbuckle JG, Lois WM, Jon H. 2013. Farmer beliefs and concerns about climate change and attitudes toward adaptation and mitigation: evidence from Iowa. [Internet]. Netherlands (NL): Springerlink. hlm 1-13; [diunduh 2015 Mar 7]. Tersedia pada: www.springerlink.com. Aronson E, Wilson TD, Akert RM. 2005. Social Psychology. Ed ke-5. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall. Awaliah R. 2012. Efektivitas media komunikasi bagi petani padi di Kecamatan Gandus Kota Palembang (kasus program ketahanan pangan) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Banlitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman umum adaptasi perubahan iklim sektor pertanian. [Internet]. Jakarta (ID): Banlitbang Pertanian. hlm 1-73; [diunduh 2014 Jan 20]. Tersedia pada: www.deptan.go.id/dpi/admin/satlak/pedum-adaptasi.pdf. Baron RA, Byrne D. 2003. Psikologi Komunikasi. Kristiaji W, Medya R, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Bjorkman H. 2007. Sisi lain perubahan iklim, mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. [Internet]. Jakarta(ID): United Nations Development Programme Indonesia. hlm 1-29; [diunduh 2014 Jun 10]. Tersedia pada: http://www.undp.or.id.pdf Boon H. 2013. Teachers and the communication of climate change science: a critical partnership in Australia. 5th World Conference on Educational Sciences-WCES; 2013; Townsville, Australia. Townsville (AU): Elsevier Science. hlm 1006-1019. Bray MN, Pecl GT, Frusher S, Gardner C, Haward M, Hobday AJ, Jennings S, Punt AE, Revill H, Putten IV. 2011. Communicating climate change: climate change risk perceptions and rock lobster fishers, Tasmania. Mar Pol. 36:753759. Buys L, Evonne M, Kimberley VM. 2011. Conceptualising climate change in rural Australia: community perception, attitudes and (in) actions. Reg Environ Chan. 12:237-248. doi: 10.1007/s10113-011-0253-6. Cox, Robert. 2010. Environmental Communication and The Public Sphere. Ed ke2. Pittsburgh (US): Sage Publications. Daze A, Kaia A, Charles E. 2009. Kerentanan terhadap Iklim dan Analisa Kapasitas (edisi 1) [Internet]. CARE dan Uni Eropa. hlm 1-56; [diunduh 2014 Mei 9]. Tersedia pada: http://www.careclimatechange.org_Handbook_ Bahasa.pdf. Fazel P. 2013. Teacher-coach-student coaching model: a vehicle to improve efficiency of adult institution. The 9th International Conference on Cognitive Science. Tehran (IR): Elsevier Science. hlm 384-391.
64
Ghozali I. 2008. Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS). Semarang (ID): UNDIP. Hallam A, Bowden A, Kasprzyk K. 2012. Agriculture and climate change: evidence on influencing farmer behaviours. [Internet]. Edinburgh (SC): Scottish Government. hlm 1-141; [diunduh 2014 Mar 19]. Tersedia pada: http://www.gov.scot/Resource/0040/00406623.pdf. Hamidi. 2010. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang (ID): UMM Pr. Handoko I, Sugiarto, Syaukat. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP. Hapsari DR. 2012. Pemanfaatan informasi oleh petani sayuran (kasus di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hinkel J. 2010. Indicators of vulnerability and adaptive capacity: towards a clarification of the science-policy interface. Glob Environ Chan. 21:198-208. Idrus M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Ed ke-2. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Ife J, Tesoriero F. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Irawan B. 2006. Fenomena anomali iklim El-Nino dan La-Nina: kecenderungan jangka panjang dan pengaruhnya terhadap produksi pangan [catatan penelitian]. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 24(1):28-45. Karrer SL. 2012. Swiss farmers‟ perception of and response to climate change [disertasi]. Zurich (CH): Eth Zurich. Kurniawati D. 2010. Tingkat partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam bidang ekonomi program posdaya (kasus posdaya bina sejahtera Kelurahan Pasir Mulya Kota Bogor) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lal R. 2013. Food security in a changing climate. Ecohydrol & Hydrobiol. 13:8– 21. Latan H. 2013. Structural Equation Modeling, Konsep dan Aplikasi, Menggunakan Program LISREL 8.80. Bandung (ID): Penerbit Alfabeta. Lieske DJ, Tracey W, Lori AR. 2013. Climate change awareness and strategies for communicating the risk of coastal flooding: a Canadian maritime case example. Estuar, Coast, and Shelf Scien. 140:83-94. Marliati, Sumardjo, Pang SA, Prabowo T, Asep S. 2008. Faktor-faktor penentu peningkatan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). J Penyuluh. 4(2): 92-99. Marx SM, Elke UW, Benjamin SO, Anthony L, David HK, Carla R, Jennifer P. 2007. Communication and mental processes: experiential and analytic processing of uncertain climate information. Glob Environ Chan. 17:47-58. Mochamad A. 2013. Merespon perubahan iklim, adaptasi sebuah pilihan yang mendesak dan prioritas. [Internet]. Jakarta (ID): Dewan Nasional Perubahan Iklim. hlm 1-94; [diunduh 2014 Jun 10]. Tersedia pada: http://www. dnpi.go.id.pdf. Mors ET, Mieneke WHW, Naomi E, Dancker DLD. 2010. Effective communication about complex environmental issues: perceived quality of information about carbon dioxide capture and storage (CCS) depends on stakeholder collaboration. Environ Psychol. 30:347-357.
65
Morton TA, Anna R, Dan M, Pamela B. 2011. The future that may (or may not) come: how framing changes responses to uncertainty in climate change communications. Glob Environ Chan. 21:103–109. Niles M, Mark L, Van RH. 2013. Perceptions and responses to climate policy risks among California farmers. Glob Environ Chan. 23: 1752–1760. OECD. 2012. Farmer Behaviour, Agricultural Management and Climate Change. [Internet]. Paris (FR): OECD Publishing. hlm:1-87. [diunduh 2014 Mar 18]. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1787/9789264167650-en. Pittman J, Virginia W, Surendra K, Elaine W. 2011. Vulnerability to climate change in rural Saskatchewan: Case study of the Rural Municipality of Rudy No. 284. Rural Stud. 27: 83-94. Rachmawati N. 2009. Efektivitas komunikasi klinik agribisnis pada prima tani di Kecamata Leuwi Sadeng Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rivera C, Crhistine W. 2014. Integrating climate change adaptation, disaster risk reduction and urban planning: a review of Nicaraguan policies and regulations. Lund University, Sweden. Disaster Risk Reduct. 7:78–90. Rogers E. 2003. Diffusion of Innovation. Ed ke-5. New York (US): Free Pr. Sardiman AM. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta (ID): Grafindo Simanjuntak M. 2014. Tingkat keberdayaan dan strategi pemberdayaan konsumen [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Somerville RCJ, Hassol SJ. 2011. Communicating the sience of climate change. [Internet]. Colorado (US): Climate Communication. hlm 48-53; [diunduh 2015 Mar 3]. Tersedia pada: http://www. climatecommunication.org. Spence A, Nick P. 2009. Framing and communicating climate change: the effects of distance and outcome frame manipulations. Glob Environt Chan. 20:656667. Suwardi S. 2011. Implikasi pelatihan penguatan kapasitas kelompok dalam mengembangkan kemandirian usaha (suatu kasus di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah). J Ilmu Pertan. 8(2): 85-104. Syatir. 2014. Keterdedahan dan pemanfaatan informasi oleh petani sayuran [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tasquier G, Francesca P, Olivia L. 2014. Climate change: an educational proposal integrating the physical and social sciences. 5th World Conference on Educational Sciences-WCES; 2013. Townsville, Australia. Townsville (AU): Elsevier Science. hlm 820-825. Wardhana, WA. 2010. Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi Offset. Wirth V, Andrea P, Tosten G. 2014. Communicating climate change adaptation, state of the art and lessons from ten OECD countries. GAIA. 23(1): 30–39. Wise RM, I Fazey, M Standfford S, SE Park, HC Eakin, ERM Archer VG, B Campbell. 2014. Reconceptualising adaptation to climate change as part of pathways of change and response. Glob Environ Chan. 28:325-336.
66
Lampiran 1 Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas dengan Pearson Corellation No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
15
16 17
18
19 20 21 22
23 24 25 26
Pernyataan Pembicara menyampaikan materi dengan baik. Materi yang disampaikan pembicara sangat mudah dipahami Cara penyampaian materi pada saat pelatihan sangat baik. Permainan yang disampaikan sangat menarik. Pembicara menjawab dengan baik ketika ada pertanyaan. Materi yang diberikan pada pelatihan, sesuai dengan kebutuhan petani. Pembicara menyampaikan materi tepat waktu sesuai dengan jadwal. Waktu yang digunakan pembicara dalam menyampaikan materi sudah cukup. Bahan ajar yang dibagikan pada saat pelatihan mudah dipelajari. Ruangan tempat pelatihan adalah ruangan yang nyaman dan sesuai untuk tempat pelatihan. Terdapat fasilitas yang memadai. Irigasi yang baik dapat memudahkan petani untuk mengairi lahan sawah. Kalender tanam terpadu (KATAM) memudahkan petani dalam melihat informasi mengenai kebutuhan petani di sawah. Informasi cuaca dan iklim dapat memudahkan petani dalam menentukan waktu tanam. Pengelolaan lahan dan air yang baik dapat menguntungkan pertanian di waktu sekarang dan masa depan. Sumber daya air yang baik didapatkan dari kelestaian alam yang terus dijaga. Pengelolaan lahan harus dilaksanakan agar tanah menjadi subur dan tidak terjadi kekeringan. Kelompok tani sangat penting karena mempemudah dalam pencarian informasi untuk meningkatkan hasil pertanian. Perubahan iklim terjadi karena aktivitas manusia. Desa Saya sering mengalami kekeringan, dan hal tersebut diakibatkan oleh perubahan iklim. Kekeringan dapat diatasi dengan membangun irigasi yang baik serta menjaganya. Dengan menjaga lingkungan, serta menggunakan bahan pupuk yang alami, maka kesuburan tanah dapat terjaga. Petani membutuhkan informasi mengenai iklim untuk mengetahui massa tanam yang tepat. Akibat iklim yang tidak menentu, perkiraan massa tanam juga terganggu. Petani harus bisa beradaptasi untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di massa depan. Dampak perubahan iklim harus segera ditangani karena dampak tersebut sangat
Hasil uji Valid 0.839 0.295
Tidak valid
0.708 0.839 0.883 0.776 0.574 0.708 0.612 0.816 0.722 0.566 0.065
0.679
0.566
0.473 0.135
0.500
0.586 0.457 0.142 0.483
0.468 0.313 0.335 0.715
67
27 28
29 30 31
32
33
34
35
36
berpengaruh pada sektor pertanian. Kegiatan mitigasi dan adaptasi dapat mengurangi dampak perubahan iklim Kelompok tani dapat menjembatani para petani untuk dapat berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan adaptasi. Saya tertarik dengan materi yang disampaikan penyuluh. Saya akan mempraktikan materi yang sudah didapatkan dari penyuluh. Saya percaya bahwa materi yang disampaikan penyuluh akan bermanfaat bagi saya untuk mengelola lahan pertanian Saya. Saya akan mengikuti kegiatan adaptasi perubahan iklim dan kegiatan mitigasi sesuai dengan rencana yang sudah disepakati pada pelatihan. Saya tertarik untuk membuat Pupuk organik cair (POC) karena mudah dibuat dan POC meningkatkan hasil pertanian Saya. Membuat Trap Barrier System (TBS), meskipun biaya awal agak mahal, namun sangat menguntungkan karena dapat menangkap tikus yang memakan tanaman padi, sehingga produktivitas panen meningkat, dan Saya tertarik untuk membuat TBS. Saya akan melakukan persemaian sebar culik agar menghindari terlambat tanam untuk musim tanam ke dua. Saya tertarik untuk mengikuti kegiatan P3A Mitra Cai jika sudah aktif nanti.
b. Uji Reliabilitas dengan Cronbach Alpha 1. Penilaian program
2. Penilaian fasilitas
3. Sikap
4. Kecenderungan bertindak
0.306 0.573
0.833 0.628 0.868
0.898
0.124
0.863
0.868
0.852
68
Lampiran 2 Analisa SEM dengan menggunakan software statistik SMART PLS a. Menghitung Outer Loading Peubah-peubah valid jika memiliki outer loading lebih besar dari 0.5. berdasarkan hasil analisis maka peubah-peubah yang memiliki outer loading kurang dari 0.5 dihapuskan. Original Sample (O)
Original Sample (O) X11 <- X1
0.429881
X12 <- X1
0.555358
X12 <- X1
0.73593
X13 <- X1
0.143899
X17 <- X1
0.864338
X14 <- X1
0.031876
X15 <- X1
0.051533
X21 <- X2
0.850025
X16 <- X1
-0.012129
X22 <- X2
0.933761
X17 <- X1
0.784704
X23 <- X2
0.708516
X18 <- X1
0.175476
X24 <- X2
0.62882
X19 <- X1
-0.175476
X21 <- X2
0.853601
X31 <- X3
0.663018
X22 <- X2
0.937892
X33 <- X3
0.700728
X23 <- X2
0.731144
X34 <- X3
0.77856
X24 <- X2
0.617732
X31 <- X3
0.636917
X37 <- X3
0.527757
X32 <- X3
-0.052735
Y11 <- Y1
0.964258
X33 <- X3
0.692684
Y12 <- Y1
0.615498
X34 <- X3
0.766663
Y21 <- Y2
0.519517
X35 <- X3
-0.067762
X36 <- X3
0.213705
Y22 <- Y2
0.817559
X37 <- X3
0.526981
Y23 <- Y2
0.830714
Y11 <- Y1
0.984653
Y12 <- Y1
0.539862
Outer loading setelah dihapus
Y13 <- Y1 Y14 <- Y1 Y21 <- Y2
0.554559
Y22 <- Y2
0.798805
Y23 <- Y2
0.817605
Outer loading model full b. Menghitung Composite Reliability Pada analisis menggunakan SEM dengan SMART PLS, dapat juga menganalisis nilai reliabilitasnya. Pada tabel composite reliability, didapat semua nilai lebih dari 0,6, sehingga dapat dikatakan semua reliable. Composite Reliability X1
0.782614
X2
0.865938
X3
0.765437
Y1
0.783066
Y2
0.774069
69
c. Kebaikan Model Untuk melihat kebaikan dari model yang dihasilkan, maka dapat dilihat dari perhitungan berikut ini: 1. Cross Loading X1
X2
X3
Y1
X12
0.73593
X17
0.864338
X21 X22
Y2
0.209294
0.02793
0.253142
0.11309
-0.13077
0.174725
0.340795
-0.150918
0.017796
0.850025
0.187997
0.093025
0.693517
0.117167
0.933761
0.223981
0.156166
0.551884
X23
0.074755
0.708516
0.234297
-0.021831
0.591719
X24
-0.248796
0.62882
-0.160126
0.056413
0.27997
X31
0.002552
0.196963
0.663018
0.078419
0.120045
X33
0.186224
0.207785
0.700728
0.037719
0.214197
X34
0.22735
0.102906
0.77856
0.116669
0.210519
X37
-0.1104
-0.071943
0.527757
-0.246397
0.182713
Y11
0.365512
0.205863
-0.048607
0.964258
0.128992
Y12
0.218447
-0.090277
0.123495
0.615498
-0.134258
Y21
-0.133148
0.101497
0.168672
0.060703
0.519517
Y22
0.045578
0.52035
0.154747
0.091
0.817559
Y23
-0.021263
0.666986
0.26804
0.022503
0.830714
Nilai cross loading konstruk asli harus lebih besar dibandingkan dengan nilai cross loading terhadap kosntruk lainnya. Pada hasil diatas semua indikator memiliki nilai cross loading yang lebih besar dibandingkan dengan cross loading lainnya. Misalnya untuk X12 memiliki nilai cross loading terhadap indikator asli X1(yang dibold) =0.73593, nilai ini lebih besar dibanidngkan dengan nilai cross loading X12 terhadap X2, X3 atau yang lainnya. 2. Nilai AVE (Average Variance Extracted) AVE X1
0.644337
X2
0.622965
X3
0.453824
Y1
0.654316
Y2
0.542796
Akar AVE
0.802706048 0.789281319 0.673664605 0.808898016 0.736746904
Latent variabel correlations dengan AVE
X1
X2
X3
Y1
X1
1
X2
0.017499
1
X3
0.138536
0.156464
1
Y1
0.374793
0.14986
-0.006053
1
Y2
-0.047425
0.627093
0.28161
0.071599
Y2
1
Latent variabel correlations
Ciri kebaikan model yang lainnya adalah nilai AVE harus lebih besar dibandingkan dengan nilai laten variabel correlations. Pada hasil diatas terlihat nilai AVE untuk semua peubah lebih besar daripada latent variabel correlationsya. Misalnya untuk X1 memiliki nilai AVE = 0.64 nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai laten variabel corelationnya terhadap X2= 0.017, terhadap X3=0.13 atau terhadap Y1= 0.37. 3. R Square R Square Y1
0.161012
Y2
0.084678
70
Rsquare untuk y1= 0.16 artinya keragaman Y1 yang dapat dijelaskan oleh X1 dan X2 hanya 16 % sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain yang tidak ada dalam model. Rsquare untuk Y2=0.08 artinyakergaman nilai Y2 yang dapat dijelaskan oleh Y1 dan X3 hanya 8% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain yang tidak ada dalam model. Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian Pemberian materi oleh Penyuluh
Diskusi kelompok setelah pemberian materi
Presentasi hasil diskusi kelompok diwakilkan oleh salah satu petani
71
Kunjungan lapangan
Penggunaan pompa untuk mengairi sawah karena kekeringan
Kekeringan membuat petani banyak beralih pekerjaan menjadi pengumpul plastik dan besi bekas
Beberapa petani sudah melaksanakan pembuatan pupuk organik cair (POC)
72
RIWAYAT HIDUP Afnida Shoffati Noorfajria lahir di Brebes, Jawa Tengah pada tanggal 17 Agustus 1989 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari ayah Sodikin Machfudz (alm) dan ibu Siti Fatimah. Pendidikan formal Sekolah Menengah Atas ditempuh penulis di SMAN 1 Brebes dan lulus pada tahun 2007 dan di tahun yang sama Penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Selama menempuh pendidikan sarjana, Penulis aktif pada organisasi kampus Badan Eksekutif Mahasiswa FTP dan Agritech Study Club sebagai penanggung jawab Divisi Pengembangan Bahasa Inggris dan Jepang. Penulis lulus dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011 dan setelah lulus, penulis berwirausaha di bidang kuliner hingga sekarang. Pada tahun 2013 Penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di Program Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia. Untuk menunjang perkuliahan, Penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan penulisan jurnal yang diadakan oleh Forum Wacana IPB dan pelatihan penulisan jurnal Elsevier Publishing Campus yang diadakan oleh Elsevier.