KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO Oleh : Any Rizky Setya P. Latar Belakang Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang tidak akan ada habisnya selama masih ada peradaban. Selama seseorang masih hidup hampir tidak mungkin menghilangkan konflik. Sepanjang sejarah umat manusia konflik menjadi sesuatu yang tidak bisa terpisahkan, baik konflik antarperorangan maupun antarkelompok. Tidak mustahil juga konflik antarkelompok akan berawal dari konflik antarperorangan dengan persoalan kecil dan sederhana yang tidak terselesaikan. Kebanyakan konflik terjadi karena perbedaan pendapat dan sikap yang gagal dikomunikasikan diantara pihak yang berkonflik. Bisa kita bilang konflik merupakan pembentuk proses peradaban yang dinamis. Ketika manajemen konflik berhasil maka konflik akan bersifat konstruktif dan menciptakan sebuah kehidupan baru yang lebih harmonis. Maka sebaliknya ketika manajemen konflik tidak berhasil maka akan menjadi konflik berkepanjangan hingga berkelanjutan dari generasi ke generasi. Seperti disebutkan sebelumnya konflik terjadi karena perbedaan, sampai saat ini masih banyak konflik yang terjadi didasarkan karena perbedaan etnis dan agama. Konflik etnis dan agama bukannya semakin berkurang tetapi ketika konflik muncul justru muncul dengan permasalahan yang lebih kompleks. Seperti di Indonesia misalnya, sedikit sekali hubungan antar etnis yang justru memperkuat rasa persatuannya sebagai satu kesatuan Indonesia. Hingga dalam kehidupan sehari-hari yang muncul justru kecurigaan antar etnis dan agama. Dengan kasus seperti itu ini tentu memerlukan pendekatan khusus dalam resolusi konflik. Resolusi Konflik Pendekatan Etnis dan Agama Perspektif Clem McCartney Dalam pendekatan etnis dan agama Cartney dalam perspektifnya menyebutkan tiga hal yakni Managing, Resolving or Transforming. Untuk menghadapi konflik perlu 1
Approaches To Ethnic And Religious Conflict Resolution: Managing, Resolving Or Transforming dalam The Making of Ethnic and Religious Conflicts in Southeast Asia
1
diketahui terlebih dahulu bagaimana posisi etnis dan agama dalam konflik yang sedang terjadi. Apakah identitas etnis dan agama memang memberikan pengaruh tersendiri terhadap terjadinya konflik. Sebagaimana kita ketahui etnik dan agama menjadi salah satu pembentuk identitas diri seorang individu dan telah menjadi bagian hidupnya. Sehingga ketika identitas diri seorang individu telah banyak terbentuk oleh etnis dan agama maka akan menciptakan pemahaman etnis dan agamanya yang mengakar kuat dan pada tingkatan tertentu hal ini akan menimbulkan kefanatikan berlebih sehingga berpotensi menimbulkan superioriatas dan menganggap etnis atau agama yang berbeda dari mereka memiliki status yang lebih rendah. Kondisi ini tentu akan mengarah pada primordial identitas yang memicu konflik dengan kelompok lain. Dan tindakan kekerasan selalu mendapatkan pembenaran dari kelompok tersebut ketika tindakan dilakukan atas nama agama. Dialog antar pihak berkonflik tidak bisa berjalan untuk menciptakan perdamaian karena mereka sudah saling curiga terlebih dahulu dengan kelompok lain. Mereka takut kehilangan eksistensi etnis dan agamanya ketika harus berasimilasi mencipta perdamaian dengan kelompok lain. Dalam rangka penanganan konflik juga harus mempertimbangkan konflik akan dibawa kemana dan apa yang menjadi tujuan dari resolusi konflik itu sendiri. Apakah pendekatan konflik ini ingin menciptakan homogenisasi, pembangunan terpisah, coeksistensi atau pluralism. Homogenisasi, bisa dilakukan dengan penyatuan seluruh penduduk dalam satu identitas umum misalnya dalam satu kewarganegaraan sehingga bisa menciptakan interaksi antar kelompok. Pembangunan terpisah, yakni pemerintah memisahkan dan menghindarkan kontak antar pihak yang berkonflik untuk kemudian membiarkan setiap kelompok berkembang masing-masing dengan mandiri. Coeksistensi, yakni untuk menunjukkan hubungan baik antar kelompok yang berbeda sehingga ada pengembangan hubungan antar masyarakat yang baik. Pluralisme, yakni menciptakan masyarakat pluralis yang mendorong adanya keragaman sebuah masyarakat dengan positif. Hal ini dilakukan melalui pemberian akses yang sama kepada seluruh kelompok masyarakat terhadap sumber daya maupun kekuasaan. Yash Gai menybeutkan bahwa terdapat dua pilihan cara hubungan antar komunitas yakni konsosialism dan intergrasi. Konsosialism adalah menjadi setiap
2
kelompok identitas sebagai dasar representasi dalam pemilihan dan pelaksanaan pemerintahan. Kemudian integrasi yakni penyatuan dan memperlakukan seluruh penduduk dengan cara yang sama tanpa terkecuali sekalipun kaum minoritas. Namun dalam bukunya The Right of Minority Yash Gai berpandangan lebih memilih jalan integrasi. Karena integrasi ini akan menciptkan sebuah komunitas masyarakat yang sudah saling berinteraksi akan terhindar dari ketegangan karena perbedaan identitas kelompok. Namun sebaliknya jika jalan konsosialime yang dilakukan, ketegangan antar etnis masih memiliki peluang besar untuk terjadi mengingat cara ini mendasarkan pada perbedaan etnis yang akhirnya semakin mendorong pembentukan kubu-kubu identitas masyarakat. Ketidakadilan, ketimpangan dan pengingkaran hak asasi manusia semakin meningkatkan kekhawatiran dalam konflik identitas etnis dan agama. Untuk saat ini dalam menghadapi hubungan antar komunitas yang semakin kompleks diperlukan pemahaman lebih. Kaum minoritas harus tetap diperlakukan setara dan tidak membutnya merasa termajinalisasi dari bagian masyarakat. Untuk menghadapi hal ini beberapa hal yang biasanya dilakukan diantaranya adalah Pertama, Memaknai kembali identitas secara lebih luas, identitas dapat kita artika sebagai sesuatu yang melekat pada diri seorang individu atau kelompok. Dalam konteks ini kita membicarakan identitas etnis dan agama. Identitas akan menjadi pemicu konflik antar kelompok berbeda jika terpelihara dengan baik. Mereka yang fanatic dan menutup diri dari perkembangan budaya dan agama akan lebih sulit menerima keberadaan pihak lain yang berbeda dengan dirinya. Berbeda halnya dengan mereka yang identitas pribadinya tetap terjaga tetapi tetap memiliki rasa toleran pada kelompok yang berbeda karena senantitasa terbuka pada pandangan-pandangan yang berbeda darinya. Kedua, Kontak atau Segregasi, kontak yakni mendukung adanya interaksi antar kelompok yang berkonflik, kontak akan memberikan kesempatan dan stimulus saling terlibat dan pemahaman antar kelompok berbeda yang akhirnya diharapkan dapat mengubah perilaku dan juga sikap. Sebaliknya jika yang dilakukan segresi, segresi atau pemisahan merupakan cara paling minim risiko untuk mengatasi konflik antar kelompok, namun sayangnya caranya tidak menyelesaikan sampai akar permasalah ia hanya menghindarkan konflik, ketegangan antar pihak tidak terjawab. Maka dalam konteks ini kontak bisa menjadi pilihan yang lebih baik akan tetapi membutuhkan pengorbanan dan proses yang panjang untuk
3
menciptakan keharmonisan antar kelompok dalam jangka panjang. Bisa terlihat dari integrasi etnis pada kebijakan pemerintah dan partisipasi multiras dalam organisasi akar rumput ternyata memberikan dampak positif yakni hilangnya ketegangan anta kelompok. Ketiga, Mengahadapi masa lalu, hal ini bisa dilakukan dengan rekonsiliasi setelah terjadi kesalahan yang dilakukan masyarakat di masa lalu yang sempat merusak hubungan kelompok tersebut. Melalui rekonsiliasi masyarakat yang ada saat ini akan dibentuk dengan satu visi bersama untuk masa depan. Keempat, Kontribusi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Kuasi-organisasi pemerintah, dalam penyelesaian konflik etnis dan agama LSM mendapat kepercayaan lebih dari masyarakat, LSM mempunyai otoritas yang tidak dimiliki oleh pemerintah, dimana ia lebih mempunyai kebebasan dan fleksibel untuk menerapkan program baru. Kelima, Peran Media, seperti kita tahu media mempunyai sangat besar dalam mengarahkan opini publik melalui informasi yang ia sampaikan. Keenam, Dampak proyek infrastruktur, kerjasama dalam pembangun infarstuktur yang rusak akan membantu menstimulus interaksi yang saling membutuhkan sesama. Peran pemerintah dan kebijakan publik dalam menghadapi konflik juga mempunyai pengaruh. Namun konflik antar masayarak tidak menerima begitu saja intervensi negara berbeda dengan intervensi yang diberikan oleh LSM misalnya. Konflik memang tidak akan selesai jika tidak ada kemauan sendiri dari pihak terkait untuk mengakiri konflik. Pemerintah hanya bisa menciptakan program kebijakan yang akan mendorong terjadinya integrasi. Meninjau Pedekatan Etnis dan Agama Clem McCartney Terhadap Pemecahan Konflik di Indonesia Perspektif Franz Magnis Suseno Dalam sebuah tulisannya yang menjadi latar belakang konflik etnis dan agama di Indonesia sangatlah kompleks mulai dari budaya kekerasana hingga sebuah peristiwa sejarah yang sulit. Seringkali setiap permasalahan kecil dapat dengan mudah menjadi pertumpahan darah dengan melibatkan komunitas masing-masing. Kemudian jika kampung dari pihak yang berperang secara kebetulan berasal dari etnis atau agama yang berbeda, maka akan dapat kita saksikan perang antar etnis atau agama atau antar penduduk pendatang dengan penduduk asli. Bahayanya ketika etnis dan/atau agama yang terlibat, akan terbentuk sebuah mekanisme solidaritas yang dapat berubah menjadi
4
gerakan dengan dampak secara nasional. Hingga akhirnya tidak sedikit konfli yang tidak tuntas diselesaikan dan berdampak berkepanjangan antar generasi. Dalam perspektif Magnis Suseno untuk menghadapi konflik etnis dan agama adalah lebih mengedepankan kontak dan komunikasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Pedekatan etnis dan agama yang dilakukan oleh Cartney jika kita baca paparannya lebih banyak didasarkan pada kasus di negara dengan masalah yang tidak sekompleks masalah etnis dan agama di Indonesia apalagi mengingat kondisi demografi Indonesia juga perlu menjadi pertimbangan untuk menghadapi konflik etnis dan agama . Pada dasarnya padangan Cartney dan Magnis Suseno dalam hal ini hampir sama, keduanya lebih mengedepankan komunikasi dan kontak dalam menyelesaikan konflik daripada segregasi yang dianggap sebagai penyelesaian konflik dengan risiko yang minimal tetapi tidak menghasilkan keharmonisan jangka panjang. Menurut Magnis Suseno cara untuk menghadapi konflik etnis dan agama berkepanjangan adalah “keluar dari perangkap”, menurutnya memang tidak ada jalan singkat untuk keluar dari krisis. Masyarakat betul-betul dalam keadaan sakit dan belum menemukan obatnya. Beberapa hal yang diajukannya untuk mengatasi krisis tersebut adalah perlu adanya kondisi makro untuk proses penyembuhan dalam masyarakat Indonesia yang harus di bangun, di sini negara dan seluruh kelompok masyarakat harus diberi tugas. Mereka harus bertindak, baik ditingkat nasional maupun di tingkat daerah. Seperti sudah disebutkan di atas pendapat Cartney nampaknya juga sejalan dengan pendapat Magniz Suseno, Cartney juga mendukung keterlibatan pemerintah dalam melakukan integrasi dengan pembentukan kebijakan-kebijakannya serta menciptakan visi masa depan bersama yang baru antara pihak berkonflik. Selanjutnya adalah harus ada pendidikan umum supaya masyarakat Indonesia belajar untuk hidup bersama secara damai dalam sebuah masyarakat yag plural. Dalam resolusi konflik identitas etnis dan agama Magniz Suseno lebih setuju terbentuknya sebuah masyarakat plural yang masing-masing kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk bersaing tanpa terkecuali pada kelompok minoritas. Kesimpulan
5
Sudah menjadi hukum alam konflik terjadi dalam peradaban manusia, bahkan bisa kita bilang konflik yang menggerakan peradaban menjadi lebih dinamis. Ketika konflik bisa dikelola secara konstruktif maka akan menciptakan sebuah peradaban yang lebih kuat dan maju dan sebaliknya jika pengelolaan konflik gagal dilakukan. Dalam mengatasi masalah konflik identitas etnis dan agama Cartney dan Magniz Suseno sepakat untuk lebih mengedepankan kontak dan komunikasi antara pihak yang berkonflik demi menciptakan perdamaian jangka panjang meskipun tidak mudah juga. Resolusi konflik memang membutuhkan kerja sama dan inisiatif dari semua pihak. Baik pemerintah, badan internasional, para pemimpin etnis masyarakat, pihak ketiga yang berkepentingan dan mendukung dan masyarakat itu sendiri. Perdamaian tidak akan tercapai resolusi ketika pihak yang berkonflik juga tidak memiliki political will untuk berdamai. Dan yang paling penting untuk menciptakan perdamaian jangka panjang masing-masing pihak yang berkonflik juga berkomitmen pada kesepakatan damai yang telah dibuat. Hidup bekerja sama saling mendukung dan terbuka sehingga tidak perlu lagi menunjukkan arogansi agama dan etnis untuk tetap saling menghormati sesama. Daftar Pustaka Asy’ari, Suaidi (Penerjemah). 2003. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS Bart, Fredrik (Ed.). 1988. Kelompok-Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Press Trijono, Lambang (Ed.). 2004. The Making of Ethnic and Religious Conflicts in Southeast Asia: Cases and Resolution. diakses dari www.csps.ugm.ac.id http://www.gatra.com/nusantara-1/kalimatan-1/32931-dialog-kunci-selesaikan-konflikagama.html diakses pada 30 November 2013 http://rumahfilsafat.com/memahami-seluk-beluk-konflik-antar-etnis-bersama-michaele-brown/ diakses pada 30 November 2013
6