KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh JAMILUDIN NIM : 1112032100023
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2016
LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Jamiludin NIM : 1112032100023 Fakultas : Ushuluddin Jurusan/Prodi : Studi Agama-agama Alamat Rumah : Kp. Masjid, Rt/Rw 11/04 Ds. Citumenggung, Pandeglang Telp/HP : 085288683853 Judul Skripsi : Komparasi Konsep Kosmologi dalam Perspektif Buddha dengan Kosmologi Sains Modern Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Univeritas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Univeristas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 07 Nopember 2016
JAMILUDIN
ii
LEMBAR PERSETUJUAN KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh: JAMILUDIN NIM. 1112032100023
Di bawah bimbingan
Dra. Siti Nadroh, M.A NIP. 197207141 99070 3 2006
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438/2016 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 7 Nopember 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Jurusan Studi Agama-agama. Jakarta, 7 Nopember 2016 Sidang Munaqosah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Media Zainul Bahri, MA. NIP: 19751019 200321 1 003
Dra. Halimah Mahmudy, M.Ag. NIP: 19590413 199603 2 001
Anggota Penguji I
Penguji II
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer NIP: 19510304 198203 1 003
Drs. Dadi Darmadi, MA. NIP: 19690707 199503 1 001
Pembimbing
Siti Nadroh, M.Ag NIP: 197207141 99070 3 2006
iv
ABSTRAK JAMILUDIN Komparasi Konsep Kosmologi Dalam Perspektif Buddha dengan Kosmologi Sains Modern Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah penelitian tentang komparasi konsep kosmologi Buddha dengan kosmologi sains modern. Dalam hal ini penulis berusaha mencoba mengkomparasikan antara dua pandangan baik menurut Agama Buddha maupun sains modern dalam melihat proses penciptaan alam semesta. Secara umum berbicara tentang alam semesta merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk terus dilakukan pengkajian, karena mulai dari manusia itu lahir sudah memasuki jagad raya sebagai bagian dari penciptaan alam semesta. Tentu dalam hal agama-agama di sepanjang sejarahnya baik agama samawi maupun ardhi juga di mulai dari penghayatan kepada alam semesta. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena berisi fakta-fakta yang belum banyak diketahui terlebih dalam hal persamaan dan perbedaan tentang konsep kosmologi Buddha dengan kosmologi sains modern dewasa ini. Penelitian ini bercorak penelitian kepustakaan (liblary research), dengan menggunakan metode deskriptif analisis, pengumpulan data dan informasi dari berbagai sumber referensi yang sesuai dengan tema dan permasalahan yang di angkat. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penulis mengambil buku karangan Krhisnanda Wijaya Mukti Wacana Buddha Dharma sebagai sumber utama (primer). Untuk kesempurnaan informasi, penulis juga mengumpulkan buku-buku yang lainnya yang masih ada kaitannya dengan buku utama. Dalam metode analisis dan mengolah data yang ada, penulis berusaha seimbang dalam memberikan argumen filosofi dan ilmiah tanpa berpihak kepada salah satu pola pemikiran, baik itu paham yang mengatakan alam ini diciptakan atau paham alam ini ada dengan sendirinya. Dengan adanya bukti-bukti yang telah teruji dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka dengan sendirinya kebenaran akan diketahui. Konsep kosmologi Buddha dengan sains modern bahwasannya Para pakar ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistim yang berdenyut , yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikian besar sehingga menyebabkan ledakan, yang disebut sebagai "Big bang", yang berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun waktu milyaran tahun. Sekali lagi, Sang Buddha telah memaklumi pengembangan dan penciutan alam semesta. Beliau bersabda:“ Lebih awal atau lebih lambat, ada suatu waktu, sesudah masa waktu yang sangat panjang sekali alam semesta menciut,Tetapi lebih awal atau lebih lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta mulai mengembang lagi.”
v
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan kenikmatan baik jasmani maupun rohani yang tak terhingga kepada kita. Terima kasih kepada Allah SWT atas ridho-Nya serta kasih sayang-Nya selalu tercurah hingga penulis dapat
menyelesikan
skripsi
yang
berjudul
“KOMPARASI
KONSEP
KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN” ini dengan baik. Shalawat serta salam, selalu tercurahkan kepada junjungan Baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya, serta pengikutnya yang tercerahkan di jalan Allah. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, petunjuk, bimbingan, dan motivasi dari berabagai pihak. Penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka sebagai tanda syukur dan pengharagaan yang tulus, penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak dan ibu kedua orang tua tercinta, yang telah mendidik, memeberikan dukungan baik secara moril maupun materil serta do’a demia lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Semoga Allah selalu merahmati kedua orang tuaku yang senatiasa memberi motivasi penulis. 2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., Ketua Jurusan Studi Agama-Agama Dr. Media Zainul Bahri, MA. Sekretaris Jurusan, Ibu Dra. Halimah SM, M.Ag.
vi
3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas wawasan serta pengetahuan dan pencerahan yang diberikan kepada penulis. 4. Ibu Siti Nadroh, MA, selaku “Ibu” Penulis selama menjadi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktunya dan tenaga berbesar hati dan sabar memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis, untuk menghasilkan karya yang terbaik. 5. Ibu Zuwesty Eka Putri, SE, M.Ak yang selalu setia membantu penulis baik dalam suka maupun duka, atas jasa beliaulah penulis bisa menyelesaikan karya skripsi ini. 6. Segenap guru-guru sekaligus “Orang tua” penulis, Bapak Dr. KH. Thobib Al Asyhar, M.Si, Bapak Dr. Malki Ahmad Nasir, MA, Bapak Dr. Faris Pari, M.Fil, Bapak Mohammad Anwar Syarifuddin, S.Ag.,MA, Bapak Arovach Bachtiar, Bpk. Dwi Songgo, ST, MM adalah orang-orang yang senatiasa memberikan motivasi, ilmu, masukan, kritik sarannya yang tak kenal waktu penulis sering “ganggu”, terima kasih atas semuanya yang telah bapak-bapak berikan. 7. Para staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, terima kasih atas pinjaman buku-bukunya. 8. Keluarga besar penulis kakak, adik, paman, bibi, nenek dan semuanya, terima kasih atas doa, motivasi dan segalanya yang telah di berikan buat Aa.
vii
9. Keluarga besar Jurusan Perbandingan Agama angkatan 2012, serta temanteman dari berbagai jurusan lain. Khususnya Jurusan Akidah Filsafat dan Jurusan Tafsir Hadis, penulis tidak bisa sebutkan satu persatu namanya. Namun, tidak mengurangi rasa kebersamaan serta canda tawa, dan pengalaman bersama kalian. 10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, kepada kanda dan yunda, terima kasih atas pengalaman serta sarannya. Dan tidak lupa kepada keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat
Fakultas Ushuluddin (KOMFUF). Terima kasih atas
pencerahannya. 11. Keluarga besar Kuliah Kerja Nyata (KKN) Satria Janari 2015 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaky, Zae, Reza, Wendy, Rizal, Jazi, Imas, Rika, Dini, Devi, Alice, Dianty, Rara, Jauza, dan Kiki yang sempat sama-sama mengukir abdi karya nan nyata. 12. Keluarga
besar
Praja
Muda
Karana
(PRAMUKA)
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman yang luar biasa, penulis ucapkan terima kasih banyak. 13. Keluarga besar Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Ciputat yang terus mengajariku untuk terus mengabadikan diri lewat tulisan-tulisan hingga berbuah karya. 14. Keluargaku di Lentera Sastra (LENSA) Bang Oliq, Eza, dan Nila yang terus s’lalu menyemangatiku bukan sekedar di dunia sastra namun pada semua aspek kehidupan.
viii
15. Keluarga besar Remaja Islam Masjid (RISMA) Al Hidayah, yang telah banyak memberikan doa, suportnya agar terus semangat pantang menyerah.
ix
MOTO HIDUP
"SABAR ADALAH CAHAYA”
x
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi MOTO HIDUP .................................................................................................... x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................. 16 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 16 D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 17 E. Konsep Teoritis ................................................................................... 22 F. Metodologi Penelitian ......................................................................... 25 G. Sistematika Penulisan.......................................................................... 29 BAB II KOSMOLOGI DALAM BUDDHA ..................................................... 31 A. Asal Mula Alam Semesta .................................................................... 31 B. Proses Penciptaan Alam Semesta........................................................ 36 C. Siklus dan Luas Alam Semesta .......................................................... 38 D. Hukum Paticca Samupada................................................................... 46 BAB III KOSMOLOGI DALAM SAINS MODERN ...................................... 53 A. Asal Mula Alam Semesta .................................................................... 53 B. Proses Penciptaan Alam Semesta........................................................ 63 C. Siklus dan Luas Alam Semesta ........................................................... 65
xi
BAB IV KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN ....................................................... 68 A. Asal Mula Alam Semesta .................................................................... 68 B. Proses Penciptaan Alam ...................................................................... 74 C. Siklus dan Luas Alam Semesta ........................................................... 78 D. Pandangan Islam Tentang Kosmologi ................................................ 82 BAB V PENUTUP ............................................................................................... 86 A. Kesimpulan ......................................................................................... 86 B. Saran.................................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia memang selalu memiliki rasa ingin tahu
dengan keadaan
lingkungan alam sekitarnya. Sejak masa yang tak terhitung manusia berusaha mencari-cari jawaban atas pertanyaan mendasar: darimana asal tempat kita berada? Darimanakah asal bumi? Setelah mengetahui bumi mengelilingi matahari, mereka bertanya darimanakah asal tata surya? Setelah tahu bahwa tata surya adalah bagian dari galaksi, mereka bertanya darimanakah asal alam semesta? Rasa penasaran manusia diungkapkan dengan berusaha membuat model awal dari alam semesta, nampaknya sulit untuk menerima alam semesta yang kita amati apa adanya. Umumnya pengamatan manusia didahului konsep bahwa segala sesuatu harus memiliki awal, sehingga pengamatan terhadap alam semesta selalu dihubungkan dengan awal untuk memuaskan rasa penasaran. Hal inilah yang terjadi bagi mereka yang baru mengenal kosmologi, selalu pertanyaan klasiknya adalah: darimanakah alam semesta berawal? Manusia akan cenderung tidak puas bila dikatakan bahwa alam tak diketahui awalnya. Padahal jika kita berusaha menerima sesuatu hal yang tidak diketahui, tentu kita dapat menilai lebih jernih.1 Bahwasannya bidang ilmu kosmologi ini pada awalnya merupakan kajian agama yang berupaya mencari jawaban atas asal-usul alam semesta, manusia dan tuhan, yang melahirkan apa yang disebut dengan filsafat alam semesta yang lebih bersifat metafisika2 sebelum akhirnya berkembang menjadi kosmologi modern
1
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, (tp, tt), h.
123-124. 2
Metafisika adalah salah satu cabang Filsafat yang mempelajari dan memahami penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada. Sebenarnya disiplin filsafat metafisika telah di
1
yang menggabungkan observasi dan pendekatan matematis untuk menjelaskan alam semesta secara menyeluruh.3 Filsafat alam dalam banyak manifestasinya dilaksanakan, sebagaimana telah kita lihat jauh-jauh hari sebelum Aristoteles memberikan kontribusinya yang penting. Kita melihatnya dalam peradaban Mesir dan di kalangan filsuf Pra Sokrates. Tetapi, sejauh yang diketahui, tidak ada seorang pun di tempat dan waktu itu berusaha mendefinisikan segala sesuatu yang mencerminkan apa yang kita anggap sebagai filsafat alam. Mereka hanya sekedar menulis tentang berbagai macam topik dan topik ini jatuh ke tangan para sejarawan modern yang memutuskan apakah yang mereka tulis dikategorikan sebagai filsafat alam. Karena ilmu pengobatan tidak dikeluarkan dalam Mesir kuno atau di Yunani pada abad keenam dan kelima Sebelum Masehi, tampaknya tepat memasukannya ke dalam domain filsafat alam, dan barangkali bahkan ilmu magic juga, meskipun ilmu magic lebih menjadi bagian dari filsafat alam di Mesir kuno ketimbang di Yunani pada zamannya Pra Sokrates. 4 Bagaimana Aritoteles mendefinisikan dan memahami filsafat alam? Kita telah melihat bahwa dengan mendefinisikannya dan menyebut satu persatu mulai semenjak jaman Yunani Kuno. Mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aaristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah metafisika. Aristoteles menyebut sesuatu yang mengkaji hal-hal yang sifatnya diluar fisika sebagai filsafat pertama (prote philosophia) untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika. Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang setelah fisika” metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi, ber-metafisika membutuhkan energy intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya. Artikel diakses pada tanggal 14 Juni 2016 dari https://parapsikolog.wordpress.com/arti-metafisika/ 3 Berbicara problematika kosmologi sesungguhnya telah di bahas sejak jaman Yunani kuno yang di pelopori oleh Thales. Thales merupakan filsuf alam pertama yang membicarakan asal mula (arche, inti sari) alam. Thales beranggapan bahwa asal mula alam adalah air yang diikuti oleh Anaximander dan Anaximenes. Semua semua filsuf itu merupakan filsuf yang berasal dari mazhab filsuf alam Ionia. Lihat Lois Kattsoff, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), h. 263 4 Edward Grant, A History of Natural Philosopy (Yogyakarta: Penerbit Mitra Sejati , 2011), h. 52.
2
cakupan subjek di mana diterapkan (dalam Meteorology), ia membatasi skupnya. Ini terlihat nyata dari pembagiannya terhadap ilmu pengetahuan teoritis ke dalam metafisika, matematika dan filsafat alam, atau fisika. Jelas, ia memikirkan metafisika dan matematika sebagai hal yang nyata dari filsafat alam. Materi subjeknya adalah dengan entitas yang tidak mengalami perubahan, sementara esensi filsafat alam adalah memperlakukan secara menyeluruh benda-benda yang mengalami perubahan dan pergerakan. Tetapi, apakah Aristoteles benar-benar memaksudkan semua benda pada perubahan dan pergearakan? Jika demikian, filsafat alam secara virtual akan mencakup setiap disiplin yang memperlakukan beberapa aspek dunia fisik, setiap bagian dari sub-divisi darinya berlangsung perubahan dan pergerakan.5 Oleh karena itu, ilmu pengobatan berkaitan dengan perubahan dalam tubuh manusia, sepertinya tepat untuk berkesimpulan bahwa Aristoteles memasukan ilmu pengobatan sebagai bagian dari filsafat alam. Tetapi ini tampaknya tidak mungkin. Di bagian pembukaan Meteorologi-nya (dikutip beberapa paragraf sebelumnya), Aristoteles bermaksud menyebutkan atau menyinggung semua subjek yang membentuk bagian dari program risetnya. Kita bisa menduga hal ini dari perkataanya bahwa saat studi tentang binatang dan planet diselesikan, “kita mungkin mengatakan keseluruhan dari pemahaman orisinil kita akan dilaksanakan.” Tak ada sebutan ilmu pengobatan dalam “pemahaman original” yang disebutkan, meski ia sering kali mempergunakan contoh-contoh ilmu pengobatan dan merupakan anak dari seorang dokter. 6
5 6
Edward Grant, A History of Natural Philosopy, h. 52. Edward Grant, A History of Natural Philosopy, h. 53
3
Sebagai tambahan bagi pengecualian ilmu pengobatan dari filsafat Alam, Aristoteles juga mengecualikan ilmu pengetahuan yang bersifat matematis atau eksak, seperti optic, harmoni dan astronomi. Beberapa baris sebelumnya Aristoteles menjelaskan bahwa saat seorang ahli matematika memperlakukan benda-benda celestial, ia tidak “memperlakukannya sebagai batas dari sebuah alami; ia juga tidak mempertimbangkan atribut yang ada [yaitu, bentuk benda celestial] sebagaimana atribut benda-benda tersebut. Itulah sebabnya ia memisahkan mereka; karena dalam pemikiran mereka terpisah dari pergerakan, dan ini tidak ada pengaruhnya, pun juga setiap hasil kelirunya jika mereka terpisah.” Sebagaimana yang telah terlihat, Aristoteles menganggap optik, astronomi dan harmoni sebagai “cabang yang lebih alam dari matematika,” dan oleh karenanya tampak lebih matematis ketimbang filsafat alam. Ilmu pengetahuan ini merupakan “konversi dari geometri. Jika Geometri mempelajari garis-garis alam, tetapi bukan qua natural, bukannya qua matematis.” Bagi Aristoteles, ilmu pengetahuan matematis yang bersifat eksak berada diantara filsafat alam dan matematika murni, barangkali lebih dekat pada matematika murni ketimbang pada filsafat alam. Tetapi, ilmu pengetahuan eksak secara keseluruhan tidak masuk baik dalam filsafat alam maupun matematika meski relevan terhadap keduanya. Karena keduanya dipandang berada di antara dua disiplin ilmu, ilmu pengetahuan eksak muncul untuk dikenal sebagai ilmu pengetahuan tengah (scientae mediae) selama Abad Pertengahan.7 Dalam sejarah perjalanan umat manusia, telah muncul berbagai pandangan mengenai dunia ini, ada yang melihatnya secara positif, ada pula yang negatif, ada
7
Edward Grant, A History of Natural Philosopy, 53-54
4
yang mengakui keberadaannya, ada pula yang menolaknya. Buddhisme misalnya, memandang dunia dan pengalaman manusia di dalamnya sebagai ilusi atau khayalan saja, satu-satunya yang nyata adalah realitas ilahi.8 Kehidupan manusia berlangsung dalam suatu ruang yang sering di sebut dengan dunia atau alam semesta. Dalam dunia inilah manusia menjalani eksistensinya dengan segala pengalaman yang diperolehnya. Akan tetapi, manusia tidak hanya sekedar hidup seperti makhluk hidup lainya. Ia memiliki inteligensi yang cukup untuk mengenali dirinya sebagai manusia serta lingkungan di sekitarnya. Intelegensi ini memungkinkan manusia merealisasikan keinginanya untuk mengetahui segala sesuatu (drive to understand). Dalam perkembangan selanjutnya, manusia juga ingin mengetahui makna keberadaanya di dunia. Keingintahuan ini pada akhirnya menghasilkan pengetahuan, baik mengenai dirinya sendiri maupun mengenai dunia yang dia hidup di dalamnya. 9 Pandangan kosmologis manusia-manusia religius tidaklah sembarangan atau dangkal. Mereka memperlihatkan orientasi kehidupan, pengandaianpengandaian dan cara-cara untuk menafsirkan eksistensi suatu pandangan dunia yang membentuk pengertian manusia tentang dirinya dan tempatnya dalam kosmos. Ada banyak pandangan religius terhadap dunia dalam tradisi-tradisi keagamaan umat manusia.10
8
Siti Anisah, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya (Skripsi S1 Ilmu Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang , 2008), h. 1. 9 Siti Anisah, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha, h. 1. 10 Siti Anisah, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha, h. 2.
5
Dalam konsepsinya tentang penciptaan alam semesta 11 ini faham Buddhisme mengenal konsep Paticca Samupadda, yang menjadi pijakan dalam memandang hukum alam semesta ini. Perkataan Paticca Samupadda artinya muncul bersamaan. Jadi, perkataan Paticca Samupadda artinya kurang lebih yaitu muncul bersamaan karena syarat berantai, atau terjemahan yang sering terlihat dalam
buku-buku,
yaitu
pokok
permulaan
sebab
akibat
yang
saling
bergantungan.12 Prinsip dari ajaran hukum Paticca Samupadda diberikan dalam empat rumus atau formula pendek yang berbunyi sebagi berikut; pertama, imasming sati idang hoti (dengan adanya ini maka terjadilah itu), kedua, imassuppada idang uppajjati (dengan timbulnya ini, maka timbullah itu), ketiga,imasming asati idang na hoti (dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu) dan keempat,imassa nirodha idang nirujjati (dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu).13 Arus sebab akibat. Dengan cara ini kita dapat menyelidiki segala sesuatunya di dunia ini hingga yang terkecil sekalipun ke atas dan ke bawah oleh karena alam semesta ini dikuasai oleh hukum Paticca Samupadda atau hukum
11
Dr. K.N. Jayatilleke dari Universitas Ceylon mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : "Konsepsi tentang Kosmos (= Alam Semesta) menurut Buddhisme, pada masa-masa awal dari perkembangannya, itu secara essensial, sama dengan konsepsi modern tentang alam semesta. Didalam teks berbahasa Pali, yang sampai di tangan kita, secara aksaranya diceriterakan, terdapat ratusan ribu matahari-matahari, bulan-bulan, bumi-bumi, dan dunia-dunia yang lebih tinggi, yang membentuk sistem dunia tingkatan minor (= kecil); terdapat seratus ribu kali jumlah sistem dunia tingkatan minor, yang membentuk sistem dunia tingkatan medium (= tengah-tengah); dan terdapat seratus ribu kali sistem dunia tingkatan medium yang membentuk sistem dunia tingkatan mayor (= besar). Didalam terminologi modern, itu tampaknya, apabila satu sistem dunia minor (= culanika loke dhatu), adalah sama dengan sebuah galaxy, yang melalui telescope yang paling baik, dapat kita lihat terdapat kira-kira ratusan juta dunia (matahari, bulan-bulan, dan sebagainya) didalamnya, maka dapat kita renungkan bahwa konsepsi Buddhis tentang sistem dunia-dunia, itu mempunyai kesamaan yang besar dengan keterangan dari ilmu pengetahuan modern. Lihat Buddhadasa P. Kirthisinghe, Alam Semesta dan Kosmologi, (tp, tt), h. 1 12 Hamdan Taufiqurrohman, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studi atas Pemikiran Sri Dhammananda, h. 19. 13 Hamdan Taufiqurrohman, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studi atas Pemikiran Sri Dhammananda, h. 19.
6
“bergantungan pada ini, dan timbullah itu”. Tidak ada perhentian atau sela-sela sedikitpun dalam proses ini. Rangkaian kejadian itu berlangsung terus menerus, yang satu menimbulkan yang lain. Bagaikan sebuah gelombang menyebabkan timbulnya gelombang berikutnya, demikian pula arus sebab-akibat ini mengalir terus yang tiada henti-hentinya. Inti dari hukum Paticca Samupadda ini bahwa tidak ada sesuatu yang timbul tanpa menimbulkan akibat selanjutnya. 14 Kosmologi, ilmu tentang sejarah, struktur, dan cara kerja alam semesta secara keseluruhan, telah berkembang selama ribuan tahun dalam beberapa bentuk: bersifat mitologi dan religius, mistis dan filosofis, bersifat astronomis. Orang-orang Babilon dan Mesir kuno yang membangun sistem mereka dari campuran mitos kuno, percaya bahwa kosmos merupakan sebuah kotak, dengan bumi terletak di dasarnya. Gunung-gunung di penjuru bumi menopang langit yang ada di atasnya. Sungai Nil, yang mengalir di tengah-tengah bumi, merupakan cabang dari sungai yang lebih besar yang mengalir di sekitar bumi. Di sungai ini berlayarlah perahu dewa matahari, yang melakukan perjalanan hariannya. Konsep Mesopotamia menganggap alam semesta berbentuk kubah yang berisi cakram datar bumi yang dikelilingi oleh air. Air juga membentuk langit di atas kubah; di situlah tinggal para dewa, matahari dan benda-benda angkasa lainnya. Mereka muncul setiap hari dan mengatur semua yang terjadi di atas bumi. Lintasan mereka yang tertaur di langit dipercaya dalam menentukan nasib manusia.15 Selama masa keemasan Yunani konsep kosmis menjadi bersifat matematis, dengan menggunakan bentuk-bentuk geomatris untuk menujukan 14
Hamdan Taufiqurrohman, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studiatas Pemikiran Sri Dhammananda, h. 20 15 Howard R. Turner, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction, terj., Zulfahmi Andri, Sains Islam Yang Mengagumkan: Sebuah Catatan abad Pertengahan (Bandung: Nuansa, 2004), cet. I, h. 47
7
empat unsur; api, air, udara, tanah, serta saripati benda-benda langit, dengan suatu sfera yang melingkupi seluruh alam semesta. Dengan mempertimbangkan berbagai fenomena mitos dan fisikal yang disebutkan oleh pendahulunya sebagai kelahiran perkembangan, dan pengaturan kosmos. Aritoteles menggolongkan segala yang dapat ia terima ke dalam sistem masuk akal namun kaku tentang mekanika kosmis. Ia menganggap kosmos sebagai suatu sistem cangkang konsentris yang bersisi benda-benda langit, sfera-sfera ini merupakan bendabenda fisik nyata, yang terusun secara konsentris dan berotasi, satu di dalam yang lainya, maisng-masing sfera meneruskan gerakannya ke sfera berkitunya di bawahnya. Gerakan ketujuh planet diteruskan melalui sfera paling atas oleh penggerak yang tak bergerak, yang berakitan dengan sfera seperti layaknya jiwa bagi tubuh. Secara kesleuruhan, kosmologi Yunani klasik diilhami dengan keyakinan pada hukum-hukum dasar tentang keteraturan dan harmoni.16 Sementara itu orang-orang Cina telah berhasil mengembangkan versi sendiri tentang kosmos. Pengikut Tao pada tahun keenam hingga keempat sebelum masehi mendefinisikan dan menggambarkan dua prinsip, yin dan yang, kekuatan wanita dan pria aktif dan pasif, yang dihasilkan oleh materi dan energi dan bertanggung jawab dalam menjaga alam semesta melalui interaksi. Salah satu konsep Cina tentang struktur kosmis menyertakan kubah hemisfera (langit) yang di bawahnya terdapat bidang yang cembung (bumi). Belakangan muncul teori tentang sfera langit, alam semesta sferoid; kemudian masih disusul oleh teori ruang kosong dan teori ruang tak terbatas, tanpa bentuk atau materi, yang di dalamnya angin menggerakan benda-benda langit. Kosmologi Cina yang awal
16
Siti Nurjanah, Kosmologi dan Sains dalam Islam, h. 9.
8
seperti kosmologi kuni di Barat, menguraikan fenomena yang terlihat menyerupai ide astrofisika yang ada di masa kita, misalnya benda primordial yang bergerak membentuk spiral di angkasa dan angin kosmis yang „bertiup‟ menggelombang dari matahari.17 Kristen awal, yang menyerupai nenek moyang Timur Dekat sebelum mereka, menggambarkan bumi yang datar yang berbeda di antara bawah tanah dan benda-benda angkasa. Sementara itu, ide tentang cangkang sferis konsentris yang berisi tujuh planet yang bergerak mendapatkan popolaritasnya; ciri Platonis dan Aristoteliannya dijernihkan oleh astronom Helensitik Ptolemeus. Kebanyakan dari konsep kosmologi Kristen dan Nepolatonik yang awal menambahkan makhluk malaikat yang bertanggung jawab terhadap pergerakan planet-planet dalam cangkang ini. Dinamo ilahi tersebut tetap menjadi ikon kosmik selama berabad-abad. Namun demikian, pada saat peradaban Islam mulai mapan, kaum muslimin mulai mengembangkan skema kosmologi yang cukup kompleks dan canggih untuk masuk sebagai fakta empiris kejadian-kejadian angkasa yang sesungguhnya dapat diamati, seperti detail variasi dalam jalur planet-planet.18 Di masa Kristen Abad Pertengahan, hampir seluruh aktivitas intelektual diarahkan untuk memahami ciptaan, bentuk, dan pengaturan kosmos yang ditarik terutama dari keyakinan religius atau tahayul. Konsep-konsep yang didasarkan pada penalaran semata mempunyai risiko di tuding sebagai bid‟ah oleh gereja. Namun demikian, dalam mengamati alam kosmos, filosof ilmuan Muslim awal mengambil sebagian besar dari tubuh pengetahuan yang mereka peroleh dari
17 18
Siti Nurjanah, Kosmologi dan Sains dalam Islam, 8-9. Siti Nurjanah, Kosmologi dan Sains dalam Islam, 9.
9
Yunani Klasik, warisan intelektual yang sedikit diketahui oleh Eropa Barat kala itu.19 Begitupula dalam melihat konsep kosmologi yang mana setiap pemahaman atau ajaran dalam suatu agama yang ada di dunia, memiliki perbedaan dalam hal cara atau proses penafsiran terlebih dalam hal proses terjadinya penciptaan alam semesta. Berbicara keselarasan antara konsep kosmologi dengan sains modern bahwasanya para ahli kosmologi menganut suatu teori yang menyatakan bahwa pembentukan alam semesta diawali oleh suatu peritstiwa ledakan dahsyat yang lebih dikenal dengan sebutan teori Big Bang. Dalam teori Big Bang dinyatakan bahwa pada awalnya alam semesta berada dalam kondisi yang sangat panas dan padat. Kemudian, selama kurang lebih miliaran tahun yang lalu terjadilah proses pengembangan dan penyusutan alam semesta secara terus menerus sampai saat ini. Teori Big Bang ini pada awalnya hanya diyakini oleh beberapa ahli kosmologi saja karena belum memiliki suatu evidensi yang jelas.20 Namun seiring berjalannya waktu, Teori Big Bang ini makin diyakini oleh para ilmuan sebagai suatu teori yang paling merepresentasikan proses awal terbentuknya alam semesta karena adanya suatu penemuan yang dapat memperkuat teori ini, yaitu mengenai penemuan radiasi latar gelombang mikrokosmis pada tahun 1964, yang dianggap oleh ahli kosmologi sebagai “produk dari fenomena ledakan dahsyat”. Selain itu, ada pula hasil pengamatan Edwin Hubble (Astronom AS) pada tahun 1929 yang menyatakan bahwa galaksi-galaksi bergerak saling menjauh dengan kecepatan yang tinggi sehingga jarak antar 19 20
Siti Nurjanah, Kosmologi dan Sains dalam Islam, 9. Frenandy, Buddhisme dan Sains (Bandung : Penerbit PVVD, 2012), h. 95
10
galaksi-galaksi bertambah setiap saat. Penemuan ini menujukan alam semesta tidaklah statis, melainkan mengembang.21 ini menyatakan bahwa alam semesta merupakan
serangkaian
pengembangan,
penciutan,
pengaturan,
dan
penghancuran berupa ledakan besar (Big Bang) yang berlangsung secara terus menerus tanpa akhir. Dengan kata lain, ini adalah suatu rangkaian fenomena yang tidak berujung pangkal yang kemudian di sebut teori “pulsating” dari alam semesta. Sang Buddha telah mengajarkan hal yang sama 2500 tahun yang lalu. Beliau ungkapkan dalam Bhayaberava Sutta (Sutta ke 4 dari Majjhima Nikaya): “Ketika pikiranku yang terkonsentrasi dengan demikian termurnikan, tidak tercela, mengatasi semua kekotoran, dapat diarahkan, mudah diarahkan, serta tenang, Aku memusatkanya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu, dua, ….. ratusan, ribuan, banyak kalpa dari penyusutan dunia, banyak kalpa pengembangan dan penyusutan dunia.”22 Dari sini bisa dilihat bahwa proses penyusutan dan pengerutan tersebut berlangsung sangat lama. Yang di maksud dengan “kalpa” adalah satuan waktu India kuno yang berlangsung selama miliaran tahun. Ada beberapa versi perhitungan kalpa, tetapi yang lazim dipakai adalah bahwa satu kalpa memakan waktu sekitar 139.600.000 ( seratus tiga puluh sembilan juta enam ratus ribu) tahun. Sains juga telah mengungkapkan akan banyaknya galaksi dan dunia lain. Secara mengaggumkan, Buddha juga telah mengajarkan hal yang sama seperti tertuang dalam Anada Sutta (Angutara Nikaya III, 8, 80): “Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika-lokadharu (tata surya kecil) ? … Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sumeru, seribu Jambudvipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana … Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi-culanika-lokadhatu).” 21 22
Frenandy, Buddhisme dan Sains, h. 96 Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 9-10
11
Lebih lanjut, Buddha mengatakan dalam sutta yang sama: “Ananda, seribu kali sahassi-culanika-lokadhatu dinamakan Dvisahassimajjhimanika-lokadhatu. Ananda, seribu kali Dvisahassi-majjhimanika-lokadhatu dinamakan Tisahassi-Mahasashassi-Lokadhatu. Ananda, bilamana Sang Tathagatamau, maka Ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi-mahasahassi-lokadhtu, ataupun melebihi itu lagi.”23 Sesuai dengan kutipan di atas, maka di dalam sebuah DvisahassiMajjhimanika-lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi-Mahasahassi-lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semsesta bukan hanya terbatas pada satu miliard tata surya saja, melainkan lebih dari itu. Ajaran ini benar-benar sesuai dengan kosmologi modern begitupun dengan sains modern.24 Pada masa abad ke-17, ahli matematika Perancis bernama Rene Des Cartes25 membatasi lingkup penelitian sains pada hal-hal yang bersifat materi (res
23
Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 11 Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 11 25 Lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596, meninggal di Stockhol, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun, juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literature berbahasa Latin, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la methode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641). Rene Descartes sering disebut sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes lahir di La Haye Touraine-Perancis dari sebuah keluarga borjuis. Ayah Descartes adalah ketua Parlemen Inggris dan memiliki tanah yang cukup luas (borjuis). Ketika ayah Descartes meninggal dan menerima warisan ayahnya, ia menjual tanah warisan itu, dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Dia bersekolah di Universitas Jesuit di La Fleche dari tahun 1604-1612, yang tampaknya telah memberikan dasar-dasar matematika modern walapun sebenarnya pendidikan di bidang hukum. Pada tahun 1612, dia pergi ke Paris, namun kehidupan sosial di sana dia anggap membosankan, dan kemudian dia mengasingkan diri ke daerah terpencil di Perancis untuk menekuni Geometri, nama daerah terpencil itu Faubourg. Teman-temannya menemukan dia di tempat perasingan yang ia tinggali, maka untuk lebih menyembunyikan diri, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi tentara Belanda (1617). Ketika Belanda dalam keadaan damai, dia tampak menikmati meditasinya tanpa gangguan selama dua tahun. Tetapi, meletusnya Perang Tiga Puluh Tahun mendorongnya untuk mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria (1619). Di Bavaria inilah selama musim dingin 1619-1620, dia mendapatkan pengalaman yang dituangkannya ke dalam buku Discours de la Methode (Russel, 2007:733). Descartes, kadang di panggil “Penemu Filsafat Modern”, adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah filsafat barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang di kenal sebagai rasinalisme continental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18. Pemikirannya membuat revolusi falsafi di Eropa karena pendekatan pemikirannya bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berfikir. Ini juga membuktikan keterbatasan manusia dalam berfikir dan mengakui sesuatu yang di luar kemampuan pemikiran manusia. Karena itu, ia membedakan 24
12
estensa), oleh karena itu hal-hal yang berhubungan dengan pikiran (res cogitans) berada di luar batas persepsi organ indera. Di tahun 1905 Albert Einstein mendobrak rintangan tiga dimensi dalam sains dan membawa lingkup sains ke luar dari paradigma tiga dimensi dan batas Des Cartes. Ini mengoptimalkan kemampuan manusia untuk mewujudkan pandangan yang lebih realistik terhadap alam fenomena dan fenomena alam melalui metode ilmiah. Sains modern di abad ke-20 berkembang setelah rintangan dimensional dilampaui oleh para ilmuan seperti Albert Einstein, Erwin Schordinger, Louis de Broglie, Paul Dirac, Werner Heisenbert, Richard Feynman, Murray Gellman, Sir Arthur Eddington, dan Stephen Hawakins. Sebagaimana kita ketahui, perkembangan sains modern didasarkan atas teori relativitas, mekanika kuantum dan prinsip ketidakpastian. Kemudian prinsip-prinsip sain tersebut menghancurkan paradigma klasik yang membagi alam menjadi materi dan non-materi.26 Pada tahun 1989, Arya Walopa Rahula27 juga mengingatkan bahwa kehidupan sehari-hari dikelilingi oleh sains. Ia mengatakan: “Kita hampir menjadi
“fikiran” dan “fisik”. Pada akhirnya, kita mengakui keberadaan kita karena adanya alam fikir. Dalam bahasa latin kalimat ini adalah cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je penese donc je suis. Keduanya artinya adalah: “Aku berfikir maka aku ada”. (Ing: I think, therefore I am) Atau, I Think, therefore I exist. Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta system koordinat Kartesius, yang memengaruhi perkembangan kalkulus modern. Ia juga pernah menulis buku sekitar tahun 1629 yang berjudul Rules for the Direction of the Mind yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplet dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Desecartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Desecartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajakan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti ptik, meteorology, matematika, dan berbagai cabang ilmu lainya. Sedikitnya ada lima ide Desecartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa: (a) pandangan mekanisnya mengenai alam semesta; (b) sikapnya yang positif terhadap penjajakan ilmiah; (c) tekanan yang, diletakannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan; (d) pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptic; dan (e) penitikpusatan perhatian terhadap epistemologi. Artikel di akses pada tanggal 06 Oktober 2016 dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Rene _Desecartes 26 Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 95 27 Ia lahir pada tahun 1907 di Walapola, sebuah desa kecil di bagian selatan Sri Lanka. Pada tiga belas, ia memamsuki Sangha. Convered Sinhala pendidikannya, Pali, Sansekerta,
13
budak dari sains dan teknologi; dan tak lama lagi kita akan mulai memujanya.” Beliau lebih lanjut berkomentar: “Pertanda awal adalah bahwa banyak orang akan cenderung mencari dukungan dari sains untuk membuktikan kebenaran agamanya.” Begitu pula dalam hal konsep penciptaan alam semesta, Kendati banyak sekali persamaan antara sains dan agamanya.” 28 Umat Buddha percaya bahwa dunia di ciptakan pada suatu waktu, tetapi dunia telah terbentuk jutaan kali setiap detik dan alam terus demikian dengan sendirinya dan akan berakhir dengan sendirinya. Menurut ajaran Buddha sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur, dan hilang di alam semesta dalam siklus yang berpenghujung. Saat ini para ilmuan, sejarawan, astronom, biologis, botanis, antropologis, dan pemikir besar telah menyumbangkan pandangan baru yang luas tentang asal dunia. Penemuan dan pengetahuan terakhir ini sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Buddha. Keyakinan Buddha menjadi ajaran yang relevan dengan perkembangan sains dan teknologi.29 Gambaran alam semesta seperti yang diungkapkan oleh pengetahuan modern sekarang ini sudah dikemukakan oleh Buddha, tanpa bantuan teleskop.
Buddhisme, sejarah dan filsafat. Ia belajar di Vidyalankara Pirivena dan di University of Ceylon, di mana ia berhubungan dengan E. F. C. W. Adikaram dan tokoh-tokoh lainya. Setelah masa tugasnya di Sorbonne, ia menjadi Wakil Rektor Vidyodaya University. Dia mencatat tidak hanya untuk pengetahua, tetapi juga karena pandangan yang kuat sosialis, serta keyakinannya bahwa para bhikkhu memiliki kewajiban untuk berperan dalam membimbing kesadaranpolitik rakyat. Bukunya Bhikshuvakage Urumaya (Heritage dari Bhikkhu) adalah suara yang kuat dalam gerakan Buddha Nasionalis yang menyebabkan 1.956 kemenangan pemilu of Solomon Bandaranaike. Dia telah meninggalkan Vidyadoya University di tahun 1969, karena perbedaan politik dengan pememrintah hari. Setelah itu, ia kemabli ke Barat dan bekerja di banyak intstitusi akademik di Eropa. Dia kembali ke Sri Lanka selama hari-hari terkahrinya, dan tinggal di kuil dekat Parlemen Baru di Kotte, sampai kematiannya. adalah seorang Sri Lanka biksu, sarjana dan penulis. Pada tahun 1964, ia menjadi Profesor Sejarah dan Agama di Northwestern University, sehingga menjadi bhikkhu pertama yang memegang kursi professor di dunia Barat. Dia juga pernah menjabat sebagai Wakil Rektor di kemudian Vidyodaya University (saat ini dikenal sebagai Universitas Sri Jayewardenepura). Dia telah banyak menulis tentang Buddhisme dalam bahasa Inggris, Perancis dan Sinhala. Dia menulis buku Apa Buddha Diajarkan tentang Buddhisme Theravada. 28 Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 97 29 Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 97
14
Dalam Abhibhu-sutta, Buddha menjelaskan, “Sejauh bulan dan matahari bergerak dalam garis edarnya dan sejauh pancaran sinarnya mencapai segala arah, sejauh itulah luas sistem seribu tata-surya alam semesta. Di dalamnya terdapat seribu bulan, seribu matahari, seribu poros Simeru – gunung dari segala gunung, seribu bumi Jambudipa, seribu Aparogoyana di barat, seribu Uttara-kuru di utara, seribu Pubbavideha di timur, empat ribu samudera raya, empat ribu Maharaja, seribu surga Catummaharajika, seribu surga Tavatimsaseribu surga Yama, seribu surga Tusita, seribu surga Nimmanarati, seribu surga Paranimmita-vasavati, dan seribu tata-surya alam semesta kecil. Sebuah sistem kelipatan seribu dari ukuran tersebut dinamakan sejuta tata-surya alam semesta madya. Sebuah sistem kelipatan seribu ukuran ini dinamakan semiliar tata-surya dalam semesta raya”.30 Kalau kita mempertimbangkan kondisi masyarakat pada ribuan tahun lalu yang masih terbelenggu oleh dongeng dan mitos, maka ajaran Buddha akan semakin mengagumkan karena pandangan Buddha sudah sangat jauh ke depan.31 Setelah melihat gambaran kerangka kosmologi dalam Buddhisme dan sains modern, penulis tertarik untuk melakukan analisis lebih jauh, sekaligus mengkomparasi antara kosmologi Buddha dan sains modern, apakah diantara keduanya terdapat persamaan dan perbedaanya. Di sini penulis akhirnya mengambil judul pembahasan skripsi ini yaitu “KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN”.
30 31
Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha Dharma, h. 264-265 Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha Dharma, h. 264-265
15
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk melakukan proses penelitian, agar penelitian yang dilakukan tidak keluar dari jalur pembahasan maka peneliti membatasinya dalam hal sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan Buddha dan Sains Modern mengenai konsep Kosmologi atau proses penciptaan alam semesta dan seluruh isinya. 2. Bagaimana komparasi antara Konsep Kosmologi Dalam Pandangan Buddha dengan Kosmologi Sains Modern dewasa ini. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan ini adalah: 1. Mengetahui Proses terjadinya kosmologi atau proses penciptaan alam semesta menurut prespektif Buddha dengan kosmologi sains modern dewasa ini. 2. Mengetahui komparasi antara Konsep Kosmologi Dalam Pandangan Buddha dengan kosmologi sains modern dewasa ini. Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi tiga sisi: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dalam kosmologi agama-agama dan sains modern dewasa ini, sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia akademis. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam studi agama-agama yang khususnya berkaitan dengan konsep kosmologi atau penciptaan alam semesta menurut perspektif agama Buddha.
16
b. Bagi Lembaga Pendidikan Sebagai masukan yang membangun guna meningkatakan kualitas sumber keilmuan yang ada, termasuk untuk para pelajar dan pendidik yang ada didalamnya. 3. Manfaat Akademis Dengan manfaat akademis ini, yaitu sebagai prasyarat untuk meraih gelar sarjana. D. Tinjauan Pustaka Berdasarkan hasil pengamatan dan studi di Perpustakaan telah ditemukan beberapa
penelitian sebelumnya. Adapun review studi terdahulu yang penulis
kaji adalah: 1. Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan. Karya ini ditulis oleh Hamdan Taufiqurrohman Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. Skripsi tersebut lebih menjelaskan respon Sri Dhammananda dalam mengatasi krisis lingkungan telah menjadi refleksi kritisnya dalam mengupayakan kestabilan kehidupan alam semesta. Mencari solusi dari penyebab permasalahan krisis lingkungan telah ditawarkan oleh Sri Dhammananda
dalam
bab-bab
pembahasan
skripsinya.
Dengan
masih
mengedepankan unsur moralitas dan doktrin agama Buddha yang sangat dekat dengan alam semesta. Pun dengan kembali kepada ajaran Sang Buddha dan mengamalkannya
adalah
menjadi
solusi-solusi
yang
di
tawarkan
Sri
Dhammananda dengan juga masih berupaya menjaga jarak dengan perkembangan dunia yang semakin maju sehingga krisis lingkungan dapat di antisipasi dengan baik, ketika arah pemikiran manusia berubah dan mengedepankan kebutuhan bagi
17
sesamanya bukan hanya kebutuhan dirinya sendiri. Melihat dari judul karya di atas penulis mengambil beberapa data yang memang berkaitan dengan tema yang penulis bahas yaitu komparasi konsep kosmologi Buddha dengan kosmologi sains modern, dimana keduanya sama-sama membahas tentang alam semesta, meski yang menjadi pembahasan karya Hamdan lebih terfokus pada Respon agama Buddha terhadap krisis lingkungan, namun dalam hal ini tentu ketika berbicara lingkungan, hal tersebut juga nyatanya tidak terlepas dari pembahasan alam semesta, maka dari itu penulis mengambil beberapa data dari karya Hamdan karena memang pembahasannya terdapat kesamaan sehingga penulis bisa mendapatkan sumber data tambahan. Yang membedakan karya Hamdan dengan karya penulis tentunya adalah karya Hamdan pembahasannya lebih kepada lingkungan menurut pendapat atau pandangan Sri Dhammananda, sedangkan karya penulis lebih terfokus kepada bagaimana proses penciptaan alam semesta itu terjadi baik menurut Buddha maupun sains modern. 2. Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam Dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya. Karya ini ditulis oleh Siti Anisah Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang 2008. Skripsi tersebut lebih menjelaskan dalam agama Islam asal mula alam semesta dahulunya adalah suatu yang padu, langit dan bumi adalah subyek dari kata saifat fatq keduanya lalu terpisah (fataqa) satu sama lain. Dengan kata lain segala sesuatu termasuk langit dan bumi pada saat itu belumlah diciptakan juga terkandung dalam titik tunggal ini meledak sangat dahsyat, sehingga menyebabkan materi-materi yang terkandung terpisah (fataqa) dan dalam rangkian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan keseluruhan alam terebntuk. Jika menurut pandangan Buddha bahwasannya seluruh alam ini
18
adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan lain yang berurutan. Melihat judul karya di atas yaitu Konsep kosmologi dalam agama Islam dan Buddha serta implikasinya dalam kehidupan pemeluknya, telah jelas bahwa saudari Siti disana memaparkan dari apa yang namanya konsep penciptaan alam semesta menurut agama Islam dan Buddha yang mana diantara keduanya menurut Siti ada beberapa kesamaan dan perbedaan dalam melihat proses penciptaan alam semesta itu sendiri. Begitu pula dalam hal ini penulis juga sangat tertarik untuk bisa mengambil beberapa data dari apa yang yang telah saudari Siti jelaskan dan paparkan dalam skripsinya. Yang membedakan karya Siti dengan penulis tentunya adalah karya Siti lebih terfokus pada proses penciptaan alam semesta menurut Islam dan Buddha dan sejauh mana implikasi dari proses alam semesta tersebut di lihat dari masing-masing penganutnya yaitu antara agama Islam dan Buddha itu sendiri. Sedangkan karya penulis lebih terfokus kepada bagaimana proses penciptaan alam semesta itu terjadi baik menurut Buddha maupun sains modern, meski ada beberapa kesamaan terlebih dalam hal pemaparan kosmologi Buddhanya, namun dalam hal ini karya penulis membahas secara lebih mendalam. 3. Bencana Alam Dalam Pandangan Bikku Agama Buddha (Studi Kasus di Vihara Dhammacakka Jaya Jakarta). Karya ini di tulis oleh Kiki Agustini Jurusan Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Skripsi tersebut lebih menjelaskan bagaimana pandangan Bikku Buddha di Vihara Dhammacakka
19
Jaya Jakarta tentang proses terjadinya bencana alam, bahwasannya Bencana menurut Buddhis adalah akbiat dari proses alam yang tidak kekal (Gempa) dan dari Gempa tersebut menimbulkan gelombang Tsunami yang besar dan menelan korba Ratusan ribu jiwa makhluk. Sedangkan menurut hukum fisika mengatur kerja alam yaitu siklus hujan, namun karena manusia banyak menebang pohon sembarang, membuang sampah sembarang sehingga berakibat banjir. Contoh lainya adalah musim yang kacau yang di sebabkan oleh pemanasan global yang juga diakibatkan oleh manusia. Ciri alam adalah selalu seimbang, sehingga ketika alam tidak seimbang, sehigga ketika alam tidak seimbang lagi (rusak) disebabkan manusia, maka terjadilah fenomena alam yang tidak biasa sehigga mungkin menjadi bencana bagi manusia. Dalam melihat judul karya di atas yaitu bencana alam dalam pandangan bikkhu agama Buddha, telah jelas juga bahwa disana saudari Kiki menjelaskan bagaimana bencana alam menurut pandangan bikkhu agama Buddha yang banyak menjelaksan bencana alam itu sendiri banyak di sebabkan oleh kelalaian tangan manusia itu sendiri, sehingga terjadilah bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Tentu jika melihat karya tersebut, memang masih ada keterikatan dengan alam semesta itu sendiri, dan dalam hal ini penulis kembali mengambil beberapa sumber data dari skripsi karya saudari Kiki. Yang membedakan karya Kiki dengan karya penulis tentunya karya Kiki lebih terfokus pada pembahasan tentang bencana alam menurut pandangan bikkhu agama Buddha sedangkan karya penulis lebih membahas kepada proses penciptaan alam semesta menurut Buddha dan sains modern. 4. Filsafat Matematika : Landasan Ilmu Matematika dalam Alam Semesta. Karya ini di tulis oleh Diah Purwanti Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN
20
Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Skripsi tersebut lebih menjelaskan bagaimana Alam Semesta dilihat dari landasan Ilmu Matematika, bahwasannya alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Langit dan bumi merupakan satu padu kemudian Allah memisahkan antara keduanya (teori big bang ). Kronologi Allah menciptakan alam semesta dalam enam masa; dua masa menciptakan langit, dua masa untuk menciptakan bumi, dua masa untuk memberkahi bumi, dan dijadikan segala sesuatu yang hidup. Allah mewujudkan sesuatu dari tiada (creates ex nihillo) akan tetapi wujudnya itu secara terus menerus atau kekal. Melihat judul di atas yaitu Filsafat Matematika: Landasan ilmu matematika dan alam semesta, telah jelas bahwa saudari Diah memberikan pemaparan tentang bagaimana alam semesta di lihat dari landasan ilmu matematika, tentu dalam hal ini karya Diah masih ada keterkaitan dengan karya penulis tentang proses penciptaan alam semesta, dengan demikian kembali penulis mengambil beberapa sumber data dari karya Diah itu sendiri. Yang membedakan karya Diah dengan karya penulis tentunya Karya diah lebih membahas kepada bagaimana proses penciptaan alam semesta di lihat dari landasan ilmu matematika, sedangkan karya penulis lebih kepada bagaimana proses penciptaan alam semesta menurut Buddha dan sains modern. Dengan melihat karya-karya sebelumnya, di sini penulis mendapatkan beberapa tambahan sumber data, sehingga meski terdapat beberapa kesamaan dari apa-apa yang di bahas oleh penulis lain sebelumnya, tentunya masih ada beberapa hal yang belum di bahas secara mendalam, sehingga bagi penulis hal ini perlu untuk di lanjutkan dalam penelitiannya, hingga yang membedakan skripsi ini dengan karya-karya diatas bahwasannya skripsi ini lebih menjelaskan tentang
21
pandangan agama Buddha terhadap konsep kosmologi atau proses penciptaan alam semesta beserta komparasinya dengan kosmologi sains modern dewasa ini, sehingga bagi penulis tema ini sangat layak untuk dijadikan skripsi. E. Konsep Teoritis Dalam menganalisis masalah-masalah yang terdapat dalam skripsi ini, maka diperlukan adanya gambaran yang obyektif terhadap masalah pokok tersebut. Untuk itu, dibutuhkan adanya suatu konsep yang bersifat teoritis mengenai hal-hal yang berakitan dengan Komparasi Konsep Kosmologi Buddha dengan Kosmologi Sains Modern. 1. Komparasi Komparasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbandingan. 32 Penelitian
komparasi
adalah
penelitian
yang
dilakukan
untuk
membandingkan suatu variabel (objek penelitian), antara subjek yang berbeda atau waktu yang berbeda dan menemukan hubungan sebab akibatnya.33 dalam pembahasannya tentang komparasi konsep kosmologi buddha dengan sains modern, penulis berusaha untuk mencari persamaan dan perbedaan dinatara keduanya, apakah memang ada persamaan dari masing-masing prosesnya atau memang berbeda, dalam hal ini penulis berusaha untuk memberikan paparan lebih jelas terkait mengenai konsep kosmologi buddha dengan sains modern itu sendiri. 2. Konsep Konsep adalah abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Istilah 32
Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/komparasi Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h. 56 33
22
konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam The classical theory of concept menyatakan bahwa
konsep
merupakan
penyusun
utama
dalam
pembentukan
pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atu simbol. Konsep dinyatakan juga sebagai bagian dari pengetahuan yang dibangun dari berbagai macam kharakteristik.34 3. Kosmologi Kosmologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu cabang astronomi yang menyelidiki asal usul, struktur, dan hubungan ruang dan waktu dari alam semesta; ilmu tentang asal usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dengan jagat raya; ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan.35 4. Buddha Buddha dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah agama yang di ajarkan oleh Shidarta Gautama.36 Buddha berarti seorang yang telah mencapai Penerangan atau Pencerahan Sempurna dan Sadar akan Kebenaran Kosmos serta Alam Semesta. “Hyang Buddha” adalah seorang yang telah yang telah mencapai Penerangan Luhur, cakap dan bijak menunaikan karya-karya kebijakan dan memperoleh Kebijaksanaan
34
Artikel di akses pada tanggal 14 April 2016 dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Konsep Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/kosmologi 36 Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/Buddha. 35
23
Kebenaran mengenai Nirvana serta mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum parinirvana.37 5. Teori Teori menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi; penyelidikan eksperimental yang mampu menhasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi.38 Teori juga merupakan serangkaian bagian variabel, defenisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan
menentukan
hubungan
antar
variabel,
dengan
maksud
menjelaskan fenomena alamiah.39 6. Sains Sains menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu pengetahuan pada umumnya; pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, teramsuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam; pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya. 40
37
Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha (Jakarta : FKUB DKI Jakarta dan Yayasan Avalokitesvara, 2007), h. 38. 38 Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/teori 39 Artikel di akses pada tanggal 14 April 2916 dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori 40 Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/sains
24
7. Modern Modern menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah masa atau zaman yang ditandai dengan kemajuan peradaban manusia (penemuan baru bidang teknologi dan sebagainya); 41 F. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian digunakan dalam setiap kegiatan atau penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk menemukan data yang valid, dan analisa yang logis rasional. Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: a.
Jenis Penelitian Penelitian Kepustakaan (Library Research)42 adalah segala usaha yang
dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang di teliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik cetak maupun elektronik.43 Dengan metode ini penulis menghimpun, membaca, meneliti dan mengkaji beberapa literature yang
41
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/modern Penelitian pustka atau bisa dikatakan studi pustaka atau dengan kata lain literature, telah banyak disamakan dengan istilah: kajian teori, studi literatur. Bagian ini banyak menguraikan landasan-landasan berpikir yang mendukung penyelesaian masalah dari penelitian yang bersangkutan. Kajian pustaka ini (liblary research), merupakan salah satu kegiatan penelitian yang mencakup tentang; memilih teori-teori hasil penelitian, mengidentifikasi hasil literatur, menganalisis dokumen dan menerapkan hasil analisis sebagai landasan teori. Lihat. M. Subana dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 77 43 Artikel di akses pada tanggal 23 Agustus 2016 dari http://perkuliahan.com.apapengertian-studi-kepustakaan/ 42
25
ada kaitanya dengan masalah yang akan di bahas dan hubungan dengan skripsi ini.44 b.
Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis, deskriptif
adalah pemaparan suatu (seperti istilah) dengan kata-kata secara jelas dan terperinci.45 Sedangkan analisis adalah penyelidikan terhadap suatu persitiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab atau duduk perkaranya).46 Pengertian analisis juga berarti memecahkan atau menguraikan suatu keadaan atau masalah keadaaan beberapa bagian atau dibandingkan dengan yang lain. Jadi deskriptif analisis adalah pemaparan yang jelas dari fakta yang ada. Dari defenisi di atas, metode deskriptif analisis berarti sebuah cara atau teknik penelitian dengan menggambarkan suatu pengetahuan dengan tulisan ataupun ucapan dan kemudian membaginya ke dalam beberapa bagian untuk lebih lanjutnya diadakan penyelidikan kritis dari pengujian untuk medapatkan hasil yang benar.
44
Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian. Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang peneliti dapat memperoleh informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau yang ada kaitannya dengan penelitiaanya. Dan penelitianpenelitan yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat memanfaatkan semua informasi dari pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya. Untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat yang tepat guna memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat, dan dimanfaatkan (Roth 1986). Seorang peneliti hendaknya mengenal atau tidak merasa asing dilingkungan perpustakaan sebab dengan mengenal situasi perpustakaan, peneliti akan dengan mudah menemukan apa yang diperlukan. Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan peneliti mengetahui sumber-sumber informasi tersebut, misalnya kartu catalog, refernsi umum dan khusus, buku-buku pedoman, buku petunjuk, laporan-laporan penelitian, tesis, disertasi, jurnal, ensiklopedia, dan bahan-bahan khusus lain. Dengan demikian peneliti akan memperoleh informasi dan sumber yang tepat dalam watu yang singkat. Artikel di akses pada tanggal 23 Agustus 2016 dari http://perkuliahan.com.apa-pengertian-studi-kepustakaan/ 45 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 288. 46 Ananda Santoso, dan A.R. Al-Hanif, Kamus Umum Bahasa Indoensia (Surabaya: Aluimni, t.t) h. 22.
26
c.
Sumber Data Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi
mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data skunder. 1.
Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus menyelesikan
permasalahan
yang
sedang
ditanganinya.
Data
dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek penelitian. Dalam hal ini peneliti menetukan data primer merujuk pada buku yang menjadi sumber utama dalam menetukan judul penelitian yaitu buku Wacana Buddha Dharma karya Krishnanda Wijaya Mukti. 2.
Data skunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data skunder adalah literatur, artikel, jurnal, serta situs di interent yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.47 Dalam hal ini peneliti menetukan ada beberapa data skunder yang digunakan diantaranya yaitu Buku Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha. Karya Kiki Agustini, Buku Agama Di Dunia Karya Mukti. A Ali, Skripsi Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya Karya Siti Anisah, Buku Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama Karya Ian G. Barbour, Buku Buku Pedoman Umat Buddha Karya Budiman Sudharma, Buku Kosmologi Studi
47
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 137.
27
Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta Karya Fabian H. Chandra, Buku Buddhisme dan Sains Karya Frenandy, Buku Metodologi Penelitian Kualitatif Karya Haris Herdiansyah, Buku Kamus Umum Bahasa Indonesia Karya W.J.S, Poerwadarminta, Buku Kamus Umum Bahasa Indoensia Karya Ananda Santoso dan A.R Al-HaniF, Buku Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D Karya Sugiyono, Skripsi Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studi atas Pemikiran Sri Dhammananda Karya HamdanTaufiqurrohman, Buku Sains Modern dan Buddhisme Karya Ivan Taniputera. d.
Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian kepustakaan ini dikumpulkan dengan cara studi
dokumentasi, yaitu dengan cara melihat atau menganalisis dokumen atau media tertulis untuk mendapatkan gambaran terkait tema yang diangkat secara jelas dan rinci.48 e.
Analisa Data Langkah-langkah yang penulis tempuh untuk sampai kepada analisis data,
sebagai berikut: Pertama, penulis menghimpun butir-butir data yang relevan dengan masalah-masalah yang tercakup dalam kajian skripsi ini dari sumber primer dan skunder. Kedua, mengklasifikasikan data ke dalam sejumlah pembahasan.
Ketiga,
langkah
berikutnya
adalah
mendeskripsikan
dan
menganalisis data secara kritis dalam pembahasan masing-masing agar masalah yang dibicarakan jelas. Dengan demikian digunakan pula metode komparasi, yaitu membandingkan kedua pandangan atau konsep dalam hal menyikapi kosmologi 48
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 143.
28
atau proses penciptaan alam semesta. Dari perbandingan tersebut diharapkan dapat ditemukan perbedaan dan persamaan yang pada akhirnya akan di ketahui implikasinya dalam memahami konsep kosmologi Buddha itu sendiri serta relevansinya dengan teori sains modern dewasa ini. f.
Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017. G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membagi proposal ini menjadi lima bab dan setiap babnya dibagi lagi atas sub bab. Adapun sistematika penulisan ini diuraikan sebagai berikut : BAB I Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. BAB II Menjelaskan tentang konsep Kosmologi dalam Buddha yang terdiri dari: Asal Mula Alam Semesta, Proses Penciptaan Alam, Siklus dan Luas Alam Semesta, Alam-alam Kehidupan, Hukum Paticca Samupada. BAB III Menjelaskan tentang konsep Kosmologi dalam Sains Modern yang terdiri dari: Asal Mula Alam Semesta, Proses Penciptaan Alam, Siklus dan Luas Alam Semesta. BAB IV Merupakan inti dari pembahasan proposal skripsi ini tentang Relevansi konsep Kosmologi Buddha dengan Kosmologi Sains Modern yang terdiri dari:
29
Asal Mula Alam Semesta, Proses Penciptaan Alam, Siklus dan Luas Alam Semesta, dan Pandangan Islam Tentang Kosmologi. BAB V Penutup. Sebagai bab terakhir dalam penelitian ini, maka bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian. Adapun isi dalam bab ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah di sajikan pada awal hingga akhir penelitian.
30
BAB II KONSEP KOSMOLOGI DALAM BUDDHA A. Asal Mula Alam Semesta Awalnya, Sang Buddha tidak membahas berbagai spekulasi tentang kosmologi (ilmu alam semesta) dan kosmogonik (ilmu asal-usul alam semesta) yang di kedepankan oleh para cendekia. Beliau tidak ingin menuruti spekulasispekulasi yang tidak jelas maksud dan logikanya, di sisi lain Beliau telah pernah berjuang sangat keras bergelut dengan pertanyaan yang lebih penting mengenai penderitaan hidup (dukkha) dan jalan untuk terbebas dari penderitaan. Bagaimanapun, di kemudian hari, literatur Buddhisme memberikan gambaran dan penjelasan yang terperinci mengenai kosmos, dikarenakan hal ini memainkan peranan dalam perjuangan mencapai kebebasan. Sang Buddha berpendapat, bahwa alam semesta, yang disebut Beliau sebagai Samsara, adalah tanpa awal, Beliau bersabda: “Tak dapat ditentukan awal dari alam semesta. Titik terjauh dari kehidupan, berpindah dari kelahiran, terikat oleh ketidaktahuan dan keinginan, tidaklah dapat diketahui.” (Samyutta Nikaya II : 178).1 Para pakar ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistem yang berdenyut, yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikian
besar sehingga menyebabkan ledakan, yang disebut sebagi “Big
Bang”, yang berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun waktu miliaran tahun. Sekali lagi, sang Buddha telah memaklumi pengembangan dan penciutan alam semesta. Beliau bersabda: 1
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11.
31
“Lebih awal atau lebih lambat, ada suatu waktu, sesudah masa waktu yang sangat panjang sekali alam semesta menciut, tetapi lebih awal atau lebih lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta mulai mengembang lagi” (Digha Nikaya III : 84)2 Penemuan teleskop konvensional dan teleskop radio belakangan kemudian, telah memungkinkan para ahli astronomi untuk mengetahui tidak saja asal dan sifat alam dari alam semesta, tapi juga susunannya. Diketahui sekarang, bahwa alam semesta terdiri dari sekian miliar bintang, planet, asteroid dan komet. Semua benda langit tersebut berkelompok dalam bentuk cakram atau spiral yang disebut galaksi. Planet bumi kita hanya satu titik kecil yang terdapat pada suatu galaksi yang diberi nama Bimasakti (Inggris: Milky Way). Bimasakti atau Milky Way terdiri atas kurang lebih 100 miliar bintang dengan jarak ujung ke ujung 60.000 tahun
cahaya. Telah diketahui pula bahwa galaksi-galaksi di dalam
semesta ini tersusun berkelompok. Kelompok galaksi dimana Bimasakti kita berada terdiri dari dua lusin galaksi; kelompok lain, kelompok Virgo misalnya terdiri dari ribuan galaksi.3 Dibalik kenyataan; bahwa tata surya, galaksi, dan kelompok galaksi baru diketahui di dunia Barat setelah penemuan peralatan canggih; maka ternyata kitab suci agama Buddha telah banyak menyebutkan hal tersebut ribuan tahun sebelumnya. Penganut agama Buddha sejak zaman dahulu telah menggambarkan galaksi sebagai berbentuk spiral. Istilah dalam bahasa Pali untuk galaksi adalah cakkavala; yang berasal dari kata “cakka”, yang berarti cakram/roda. Sang Buddha secara sangat jelas dan tepat menggambarkan kelompok-kelompok galaksi, yang oleh para ilmuan baru ditemukan. Beliau menyebutnya sebagai
2 3
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11. Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11-12.
32
sistim dunia (loka dhatu) dan menambahkan perbedaan dalam ukurannya: sistim dunia ribuan-lipat, sistim dunia puluhan ribu-lipat, sistim dunia besar, dan seterusnya. Beliau menyebutkan sistem dunia terdiri dari ribuan matahari dan planet, walau sebenarnya oleh para ahli astronomi menyebutnya sebagai jutaan.4 “Sejauh matahari-matahari dan bulan-bulan berputar, bersinar dan memancarkan sinarnya ke angkasa, sejauh itu pula sistim dunia ribuanlipat. Didalamnya terdapat ribuan matahari, ribuan bulan.” (Anguttara Nikaya I : 227) Dahulu, dalam waktu yang sangat lama, manusia tidak dapat membayangkan luas alam semesta baik dalam satuan waktu maupun ruang untuk dapat memahami asal dan luas alam semesta. Pemikiran saat itu terbatas serta terikat kepemahaman dunia semesta. Di dalam Bible misalnya, dipahami bahwa seluruh alam semesta diciptakan dalam enam hari dan penciptaan itu terjadi barulah beberapa ribu tahun lalu.5 Saat ini, para ilmuan astronomi menghitung bintang dalam satuan ribuan miliar dan mengukur jarak alam semesta dalam satuan tahun cahaya; satu tahun cahaya adalah jarak yang dapat di tempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun. Manusia zaman dahulu jelas tidak dapat membayangkan dimensi seperti itu. Sang Buddha, adalah pengecualian. Kebijaksanaan-Nya, yang tak terbatas, dapat memahami konsep dari alam semesta yang tak terbatas. Beliau menyebut adanya: “Daerah gelap, hitam, kelam diantara sistim-sitim dunia, sedemikian rupa hingga cahaya matahari dan bulan sekalipun tak dapat mencapainya” (Majjhima Nikaya : 120)6 Waktu yang diperlukan untuk terbentuk dan hancurnya suatu sistim dunia sangatlah panjang; diperlukan sangat banyak kappa (sebagai satuan waktu) untuk 4
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12. Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12. 6 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12. 5
33
itu. Sewaktu sang Buddha ditanya tentang panjang kurun waktu satu kappa, Beliau menjawab: “Sangat panjang kurun waktu satu kappa. Tak dapat diperhitungkan dengan tahun, abad ataupun ribuan abad”. “Bila demikian, Guru, dapatkah dengan menggunakan permumpamaan?” “Dapat. Bayangkan bongkahan suatu gunung besar, tanpa retak, tanpa celah, padat, berkukuran panjang I mil, lebar I mil dan tingginya juga I mil. Lalu bayangkan setiap seratus tahun ada seorang datang menggosoknya dengan sepotong sutra Benares. Maka, akan lebih cepat bukit itu habis tergosok dari pada suatu masa kappa berlalu. Pula ketahuilah, lebih dari satu, lebih dari ribuan, lebih dari ratusan ribu kappa, sebenarnya telah berlalu”. (Samyuta Nikaya II : 181)7 Disini terlihat, betapa sang Buddha menggunakan perumpamaan seperti diuraikan diatas untuk memberi gambaran tentang “jarak ruang dalam satuan waktu”; sama halnya para ahli astronomi saat ini menggambarkan “jarak-jarak di angkasa luar dengan menggunakan satuan tahun cahaya”. 8 Namun, sang Buddha menyebut tentang asal dan perluasan alam semesta hanya sepintas lalu. Beliau tidak menganggap, bahwa berteori dan berspekulasi tentang hal tersebut, adalah lebih penting dibanding masalah utama kita, yakni mengakhiri penderitaan dan mencapai kebahagiaan Nibbana (Sansekerta: Nirwana). Ketika seseoang sekali waktu mendesak Sang Buddha untuk menjawab pertanyaan tentang luasanya alam semesta, sang Buddha membandingkan keadaan orang tersebut sebagai seorang yang terkena panah beracun, namun menolak diobati dan dicabuti anak panah tersebut, sebelum orang tersebut mengetahui secara jelas siapa yang melepaskan anak panah tersebut. Sang Buddha, lalu bersabda:
7 8
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 13. Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 13.
34
“Menjalani hidup yang suci tak dikatakan tergantung apakah alam semesta ini berbatas atau tidak, atau keduanya atau tidak keduanya. Sebab apakah alam semesta ini, berbatas atau tidak; tetaplah ada kelahiran, tetap ada usia lanjut, tetap ada kematian, kesedihan, penyesalan, penderitaan, keperihan dan keputusasaan; dan untuk mengatasi semua itulah semua yang Saya ajarkan” (Majjhima Nikaya I : 430)9 Sangat jelas, dengan hanya berbekal pengetahuan tentang bagaimana alam semesta terjadi, kita tidak akan dapat mengatasi penderitaan, pula tidak akan dapat mengembangkan kemurahan hati, kebajikan dan cinta kasih. Buat sang Buddha pertanyaan menyangkut hal-hal ini jauh lebih penting daripada spekulasi tentang asal mula alam semesta.10 Walau demikian, konsep sang Buddha tentang alam semesta yang sangat tepat dan maju, menyebabkan kita bertanya dalam diri; bagaimana bisa Beliau mengetahui semua itu. Bagaimana mungkin seorang mengetahui tentang berkelompoknya bima sakti dan bahwa bima sakti itu berbentuk spiral, jauh sebelum penemuan
teleskop? Bagaimana Dia, yang hidup di zaman lampau
demikian menghayati ke-takterbatasan waktu dan ruang? Jawaban satu-satunya yang mungkin ialah karena, Beliau, sebagai yang disebut oleh Beliau sendiri, adalah Buddha yang telah mencapai Pencerahan (Inggeris: enlightenment). BatinNya demikian sempurna, bebas dari prasangka dan kekhayalan yang biasanya mengotori batin orang biasa, pengetahuannya telah berkembang di luar kemampuan manusia biasa. Sang Buddha menyatakan diri-Nya sebagai “pengenal alam semesta” (lokavidu) (Majjhima Nikaya I : 337), dan pernyataan Beliau memang terbukti kebenarannya.11
9
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 14. Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 14. 11 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 14 10
35
B. Proses Penciptaan Alam Semesta Sutra lain yang banyak menggambarkan alam semesta adalah Avatamsaka Sutra yang berbahasa Sanskerta. Berikut ini terdapat beberapa kutipan Avatamsaka Sutra bab 4 yang berkaitan dengan kosmologi Buddhis: “Putera-putera Buddha, sistim-sistim dunia (galaksi) tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat-sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa di antaranya bulat bentuknya, beberapa di antaranya segi empat bentuknya, beberapa di antaranya tidak bulat dan tidak pula segiempat. Ada perbedaan [bentuk] yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti pusaran, beberapa seperti gunung kilatan cahaya, beberapa seperti pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti makhluk hidup, beberapa seperti Buddha….” 12 Penjelasan di atas menggambarkan terdapat berbagai bentuk sistem dunia (yang mungkin dapat disamakan dengan galaksi). Menurut hasil pengamatan, beberapa galaksi seperti galaksi Bima Sakti kita dan Andromeda berbentuk spiral (pusaran), beberapa seperti galaksi M47 dan M89 berbentuk elips (bulat), beberapa berbentuk tidak beraturan (tidak bulat dan tidak segiempat) seperti galaksi Awan Magellan dan M82, dan beberapa lainnya berbentuk seperti makhluk hidup misalnya Nebula Kepala Kuda. “Terdapat beberapa sistim dunia, Terbentuk dari permata, Kokoh dan terhancurkan, Bernaung di atas bunga teratai nan berharga.” “Beberapa di antaranya terbentuk dari berkas cahaya murni, Yang asalnya tak dikenal, Semuanya merupakan berkas-berkas cahaya, Bernaung di ruang kosong.” “Beberapa di antaranya terbentuk dari cahaya murni, Dan juga bernaung pada pancaran-pancaran cahaya, Diselubungi oleh awan cahaya, Tempat di mana para Bodhisattva berdiam.” Ini menjelaskan komposisi galaksi di alam semesta: ada yang terdiri atas materi (yang digambarkan seperti permata), ada yang terdiri dari sinar kosmis
12
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 17
36
(yang digambarkan sebagai berkas cahaya), dan ada yang diselubungi awan gas nebula (yang digambarkan sebagai awan cahaya). 13 “Putera-putera Buddha, jika dijelaskan secara singkat, terdapat sepuluh penyebab dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya sistem dunia, baik yang telah berlangsung, sedang berlangsung, atau akan berlangsung. Apakah sepuluh hal itu? Kesepuluh hal itu adalah: 1) Karena kekuatan gaib para Buddha 2) Terbentuk secara alami oleh hukum alam 3) Karena akumulasi karma para makhluk 4) Karena apa yang telah direalisasi oleh para Bodhisattva yang mengembangkan kemaha-tahuan. 5) Karena akar kebajikan yang diakumulasi baik oleh para Bodhisattva dan semua makhluk. 6) Karena kekuatan ikrar para Bodhisattva yang memurnikan dunia-dunia itu. 7) Karena para Bodhisattva telah menyempurnakan praktek kebajikan dengan pantang mundur. 8) Karena kekuatan kebebasan para Bodhisattva dalam kebajikan murni. 9) Karena kekuatan independen yang mengalir dari akar kebajikan semua Buddha dan saat pencerahan semua Buddha. 10) Karena kekuatan independen ikrar Bodhisattva Kebajikan Universal.” Kutipan di atas menjelaskan penyebab terbentuknya galaksi yang salah satunya disebabkan oleh bekerjanya hukum alam sesuai dengan teori kosmologi modern, sedangkan penyebab lainnya merupakan hasil dari perbuatan (karma)
13
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 18.
37
atau kebajikan makhluk hidup apakah makhluk biasa, seorang Bodhisattva (calon Buddha), ataupun seorang Buddha.14 Berikut ini terdapat beberapa kutipan dari Avatamsaka Sutra bab 5: “Sistem Dunia Tepian Bunga, Adalah sama dengan jagad raya, Perhiasannya sungguh murni, Berada dengan damai di ruang angkasa.” Ini menyiratkan bahwa benda-benda langit di alam semesta berada dalam ruang angkasa tanpa ada sesuatu yang menahannya di tempatnya (tidak seperti kepercayaan orang Yunani yang meyakini Atlas memangkul bumi di atas punggungnya). “Dalam setiap sistem dunia itu, Terdapat dunia-dunia yang banyaknya tak terbayangkan, Beberapa diantaranya sedang tercipta, Beberapa di antaranya sedang menuju kemusnahannya, Beberapa di antaranya bahkan telah musnah.” Menurut kosmologi Buddhis, dunia-dunia (dalam istilah astronomi mungkin bisa disamakan dengan planet atau benda langit lainnya) di alam semesta ada yang sedang terbentuk, ada yang sedang berproses menuju kehancuran, dan ada yang sudah hancur seperti pada kutipan di atas. C. Siklus Dan Luas Alam Semesta Alam semesta memiliki luas yang tidak terkira dan apa yang ada di dalamnya pun tidak terhitung jumlahnya. Namun semua yang terkandung di dalam alam semesta memiliki dasar penyusun yang sama. Dalam Buddhisme, ada tiga komponen yang menyusun hakekat alam semesta, yaitu Citta, Cetasika, dan Rupa. Rupa secara mudah dapat diartikan sebagai materi atau jasmani (sebutan untuk makhluk). Sedangkan Citta dan Cetasika sebenarnya merupakan bagian dari Nama atau secara mudah dapat disebut batin. Nama secara rinci terdiri dari unsur perasaan (Vedana), pencerapan (Sanna), bentuk-bentuk pikiran (Sankhara), 14
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma, h. 19
38
ketiganya termasuk dalam kelompok Cetasika, dan kesadaran (Vinnana), yaitu Citta.15 Dalam Ananda Vagga, Anguttara Nikaya, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda tentang luasnya alam semesta sebagai berikut: “Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika lokadhatu (tata surya kecil)?” “Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu gunung Sineru, seribu Jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavideha, empat ribu maha samudera, empat ribu maharaja, seribu Catummaharajika, seribu Tavatimsa, seribu Yama, seribu Tusita, seribu Nimmanarati,seribu Paranimmitavassavati, dan seribu alam Brahma. Inilah Ananda, yang dianamakan seribu tata surya kecil (Sahasi culanika lokadhatu). Ananda, seribu kali Sahasi culanika lokadhatu dinamakan Dvisahassa majjhimanika lokadhatu, seribu kali Dvisahassa majjhimanika lokadhatu dinamakan Tisahassi Mahasahassi lokadhatu. Ananda, bilamana Sang Tathagata (sebutan yang digunakan Buddha untuk menunjuk pada diri-Nya sendiri) mau, maka Ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi Mahasahassi lokadhatu ataupun melebihi itu lagi.” Di sini Buddha menjelaskan terdapat sistem tata surya yang disebut seribu tata surya di mana terdapat seribu matahari, seribu bulan, dan seribu bumi di mana dapat ditemukan gunung Sineru sebagai pusat bumi, Jambudipa (benua di sebelah selatan), Aparayojana (benua di sebelah barat), Uttarakuru (benua di sebelah utara), dan Pubbavideha (benua di sebelah timur) dengan empat maha samudera yang mengelilingnya. Di masing-masing benua terdapat penguasanya masingmasing sehingga dikatakan terdapat empat ribu maharaja dalam seribu tata surya tersebut. Selanjutnya dalam seribu tata surya terdapat seribu alam surga yang diliputi nafsu inderawi (alam Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita,
15
Dawai, Alam Semesta Dalam Buddhisme (Surabaya: Penerbit Vihara Dhammadipa, 2007), h. 5
39
Nimmnarati, Paranimmitavassavati) dan seribu alam surga yang tidak diliputi nafsu inderawi (alam Brahma). Tentu saja alam semesta lebih luas dari sekedar seribu tata surya karena Buddha menyebut sampai adanya 1.000 x 1.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya bahkan melebihi itu lagi di mana suara seorang Buddha dapat diperdengarkan melebihi jangkauan semiliar tata surya. Dari penjelasan ini kita dapat mengatakan bahwa kemungkinan terdapat kehidupan lain di alam semesta selain kehidupan manusia di bumi kita ini. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan bahwa terdapat empat ribu maharaja di seribu bumi dalam seribu tata surya, yang menggambarkan bahwa masing-masing bumi (atau lebih tepat disebut planet yang memiliki kehidupan) dalam seribu tata surya tersebut memiliki makhluk hidup yang dipimpin oleh para pemimpin mereka masing-masing. Kemungkinan kisah-kisah alien dan UFO yang beredar selama ini juga tersisip suatu kebenaran. Ketika seseorang mempelajari kosmologi bahwasannya pasti selalu muncul pertanyaan-pertanyaan klasik yang berawal dari ketidak tahuan. Pertanyaan klasik tersebut diantaranya: Berapakah luas alam semesta? Apakah alam semesta memiliki awal atau akhir? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dinilai dengan angka (berdasarkan spekulasi yang belum pasti akurat ), misalnya katakanlah alam semesta berawal dari 1000 tahun yang lalu? Atau 6000 tahun yang lalu? Sejuta tahun yang lalu? Semiliar tahun yang lalu? Satu triliun yang lalu? Atau yang lebih panjang lagi satu
40
googol (10100 = Satu dengan 100 nol dibelakangnya), atau alam semesta tak berawal?16 Lantas kapan bumi terbentuk? Bumi telah banyak kali hancur dan terbentuk kembali, siklus dari hancur, lalu tebentuk, hingga hancur kembali disebut satu siklus dunia yang di Tipitaka disebut maha kappa lamanya satu maha kappa digambarkan pada buku Sutta Pitaka sbb: Para Bikkhu, jika ada sebuah batu cadas, panjang satu mil, lebar satu mil, tinggi satu mil tanpa ada retak atau cacat dan setiap seratus tahun. 1 MAHA KAPPA = 4 ASANKHEYYA KAPPA 1 ASANKHEYYA KAPPA = 20 ANTARA KAPA Menurut pendapat para ilmu-wan jaman sekarang ini, diperkirakan usia alam semesta yang kita huni sekarang ini kurang lebih empat setengah miliaran tahun, usia alam semesta ini cukup banyak berbeda dengan teori genesis yang menganggap bahwa umur alam semesta diciptakan enam ribu tahun yang lalu, bagaimana menurut pandangan agama Buddha?17 Menurut Tipitaka alam semesta ini melalu satu proses pembentukan dan kehancuran yang berulang-ulang dan berawal dari asal mula waktu yang awalnya yang tak terpikirkan. Proses berulang tersebut sudah setua usia waktu itu sendiri yang tak terbayangkan. Pembentukan yang terakhir adalah alam semsesta yang kita huni ini. Awal pembentukannya telah berlangsung selama lebih dari satu Asankheyya kappa yang lampau. Assankheyya berarti tak terhitung sedangkan kappa berarti siklus dunia maksudnya yaitu masa terbentuknya bumi, hancur dan terbentuk kembali. Makhluk hidup menempati bumi hanya selama 1 asankheyya kappa. Antara kappa adalah jarak waktu umur manusia rata-rata 10 tahun naik
16 17
Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 1. Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 2.
41
hingga umur manusia rata-rata menjadi panjang sekali (tak terhitung) dan kemudian turun lagi menjadi 10 tahun.18 Kalau menurut Kitab Suci Tipitaka Pali empat Asankheyya kappa sama dengan satu maha kappa dan satu asankheyya sama dengan dua puluh Antarakappa, berarti satu maha kappa sama dengan delapam puluh Antarakappa, (satu Antara-kappa adalah selang waktu umur rata-rata manusia sepuluh tahun, naik menjadi tak terhitung dan turun kembali menjadi rata-rata sepuluh tahun).19 Sedangkan lamanya mahakappa adalah waktu yang diperlukan untuk menghabiskan sebuah bukit cadas yang berukuran lebar, panjang, dan dalamnya satu mil, yang mulus tanpa cacat dengan gosokan sutra yang paling halus setiap seratus tahun sekali, apabila batu cadas itu habis maka belum satu kappa terlampaui. Pernyataan yang ada dalam kitab suci ini tidak membantu kita memperkirakan lamanya satu kappa secara riil. Tetapi ada cara membuat perkiraan umur bumi berdasarkan kalkulasi sederhana, yaitu: Anggaplah batu cadas akan habis tergosok setebal 1 mm setelah 10.000 kali gosokan, jika demikian maka batu karang setebal 1 mil yang digosok berputar selama 100 tahun sekali lamanya adalah, 1,6 km x 1000 m x 1000 mm
x 10.000 gosokan x 100 tahun =
1.600.000.000.000 tahun di bagi 2 atau Lebih dari 800 miliar tahun. Tetapi menurut pendapat seorang pakar ada pendekatan lain yang membuat kita dapat menghitung secara matematis sederhana berapa lamanya satu kappa, metode ini agak berbeda dengan metode diatas dan jumlah total hasil perhitungannya lebih banyak, yaitu dengan perumpamaan biji mustard, ( manual 18 19
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 2 Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 3
42
of Abhidamma hal. 246). Biji mustard berukuran lebih kecil daripada biji ketumbar dan lebih besar daripada biji wijen. Apabila ada mustard sebanyak satu mil kubik dan setiap seratus tahun diambli sebutir maka setelah biji mustard itu habis maka kurang lebih satu kappa telah berlalu, anggaplah diameter biji mustard sebanyak satu mil kubik adalah, Satu mil = 1.600.000 mm = 1,6 x 106 Satu mil kubik = (1,6 x 106)3 = 4, 096 x 108 Anggap saja ukuran biji mustard adalah 2 mm x 2 mm x 2 mm = 8 mm3 Maka banyakanya biji mustard dalam satu mil kubik adalah, 4,096 x 1018 mm3 dibagi 8 mm3 = 5.12 x 1017 butir. Bila diambil satu butir setiap sertus tahun maka lamanya maha kappa adalah + 5.12 x 1017 x 100 tahun = 5.12 x 1019 Dan satu asankheyya adalah, 5.12 x 1019 tahun dibagi empat yaitu 1.28 x 1019 tahun Atau 12.800.000.000.000.000.000 tahun (dua belas juta delapan ratus ribu triliun tahun). Walaupun kedua metode diatas memiliki jumlah waktu yang sangat berbeda, tetapi persamaan kedua metode diatas yaitu, sama-sama lama sekali. Umur alam semesta lebih dari dari satu asankheyya kappa, mengapa berbeda demikian banyak beda dengan pendapat ahli fisika?20
20
Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h.5.
43
Bermacam metode para ahli dalam memperhitungkan usia masih terus disempurnakan, sebagai contoh Metode perhitungan para ahli menggunakan teknik paruh waktu karbon isotop C14 untuk memperhitungan umur fosil, metode ini memiliki kelemahan yaitu diantaranya, metode ini hanya mengharapkan penemuan fosil-fosil yang ada, padahal mungkin saja fosil-fosil yang lebih tua telah lenyap atau belum ditemukan sehingga para ilmuan menganggap sejarah makhluk hidup hanya berdasarkan penemuan fosil yang ada dan umurnya hanya berdasarkan usia fosil tertua yang ditemukan, faktor presisi, peralatan, dan tekhnologi
yang digunakan merupakan variabel
tambahan yang harus
diperhitungkan, tekhnik radio isotop karbon C14 hanya akurat dalam mengukur usia fosil yang tidak lebih dari 65.000 tahun.21 Untuk mengukur usia bumi digunakan teknik radio isotop unsur Uraniaum, dan uranimu tertua yang ditemukan berusia 4,5 miliar tahun. Kendala demikian juga ada dalam memperhitungkan umur alam semesta yang didasarkan pada pengukuran spektrum gelombang cahaya (berdasarkan spektrum redshift atau geser merah) dari atau gelombang elektro magnetik yang sampai ke bumi, hal ini membuktikan bahwa perhitungan para ahli hanya berdasarkan apa yang ada, dan yang diterima oleh bumi. Padahal beberapa banyak gelombang cahaya dan gelombang elektro magnetik yang tidak sampai ke bum, atau gelombang tersebut telah sampai ke bumi lama sebelumnya, pada saat teknologi belum berkembang seperti sekarang ini.22 Sejak
zaman
Copernicus
(yang
terkenal
dengan
bukunya
de
revolutionibus) pandangan revolusioner bahwa bumi mengelilingi matahari timbul 21 22
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h.6 Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h.6
44
seiring dengan penemuan teleskop (pandangan ini mengalahkan pandangan Eropa sebelumnya yang berdasarkan pandangan filsuf Yunani Aristoteles yang mendominasi dunia selama dua mellenia yang beranggapan bahwa matahari mengelilingi bumi). Pandangan ini belakangan berkembang menjadi lebih jauh, pada awal abad ini para ahli menganggap galaksi andromedia adalah kabut saja bukan galaksi yang terdiri dari miliaran tatasurya. Pandangan ini berubah setelah dibuat teleskop yang lebih besar seperti yang ada di Mt. Palmoar misalnya, kesimpulannya, keterbatasan teknologi menciptakan kendala.23 Pandangan dan teori mengenai alam semesta berubah seiring derap kemajuan teknologi, setelah penemuan radio teleskop, terlebih setelah di munculkannya teleskop hubble (teleskop yang ditempatkan di angaksa luar sehingga tidak terhalang olegh atmosfir bumi) para ahli menganggap bahwa benda luar angkasa terjauh adalah Quasar (Quasi Stellar Radio).24 Metode yang digunakan oleh Sang Buddha dan para Bhikkhunyya sangat berbeda, yaitu dengan abhinna (kemampuan adi kodrati). “Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari napsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tak dapat digoncangkan, ia meningkatkan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan mengenai pubbenivasanusati nana”. (D.I,81). Pubbenivasanusatinana yaitu kemampuan untuk mengingat kelahiran yang lampau), dengan jalan inilah siklus pembentukan dan kehancuran bumi yang terjadi berulang-ulang bisa diketahui.25 Terlepas dari pendapat mengenai metode mana yang lebih tepat, yang jelas pendapat para ahli akan bergeser ke arah umur alam semesta yang lebih tua 23
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 7. Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 7. 25 Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 7. 24
45
bukan ke arah umur alam semesta yang lebih muda seperti dalam teori genesis. Belakangan timbul pendapat yang mengatakan bahwa umur bumi bukan 4,5 miliar tahun seperti pendapat sebelumnya tetapi umur bumi adalah 5 miliar tahun.26 D. Hukum Paticca Samupada Dalam Kitab Suci Tipitaka banyak dituliskan saat-saat ketika Bodhisattva Siddharta Gotama berhasil memahami Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada),27 sehingga akhirnya Beliau berhasil mencapai Penerangan Sempurna (Samma-sambuddha). Akan tetapi hal yang terpenting adalah proses pemahaman hukum itu sendiri yang terjadi sesaat sebelum pencapaian Penerangan Sempurna. Para Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna mereka melalui proses ini.28 Sang Buddha Gotama menerangkan hukum ini dalam suatu rangkaian yang terjadi atas dua belas mata rantai, yaitu kondisi-kondisi dan sebab musabab yang saling bergantungan dari penderitaan manusia serta pengakhirannya. Rumusan keseluruhan hukum ini telah diringkaskan sebagai berikut:
26
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 8. Konsep sebab dan akibat (patticasamuppada) agama Buddha telah menjadikan versi penciptaan alam semesta agama Buddha adalah versi yang unik. Bagi agama Buddha, tiada permulaan kepada penciptaan alam semesta, tiada doktrin yang disebut sebagai Sebab Utama atau Tuhan yang bertindak memberikan kekuasaan-Nya untuk menghasilkan penciptaan alam semesta. Setiap objek dan fenomena yang berlaku adalah hasil daripada kesan hubungan objek dan fenomena lain (simbiosis antara objek). Sebagai contoh, sebatang pohon tumbuh karena adanya tanah, air dan udara yang mana kesemua ini adalah rantaian luar yang membantu proses pertumbuhan pohon tersebut. Proses perangkaian yang berlaku dalam penciptaan alam semesta ini akan senantiasa wujud dan kekal. Sebab dan akibat (patticasamuppada) adalah sebuah magnum opus kepada agama Buddha. Justeru, konsep ini adalah asas yang menjadi pegangan kepada agama Buddha dalam menjelaskan asas teori kejadian alam semesta. Di samping itu, konsep sebab dan akibat (patticasamuppada) turut dibincangan dalam ruang lingkum dharma dan ia sesuai dengan imej agama Buddha yang gemar untuk mengaitkan semua doktrik kepercayaannya dengan dharma. Secara asas formula sebab dan akibat (patticasamuppada) adalah: Apabila ini wujud , wujud juga yang lain karena ia berasal daripada yang pertama dan menumbuhkan yang lain. Apabila ini tidak wujud, tiada juga wujud yang lain karena berhentinya ia, berhenti juga yang lain (Ames, 2003: 287). Lihat Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt), h. 1373. 28 Mettacittena, Kebebasan Mutlak Dalam Buddha Dhamma, (Jakarta: Madyantika, 1985), h. 1 27
46
„Imasmim sati idam hot; imasuppada idam upajjati. Imasmim asati idam nan hoti; imassa nirodha imam nirujjhati.‟ „Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbulah itu. Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu.‟29 Dengan memahami seluruh fenomena kehidupan ini, agama Buddha memandangnya sebagai suatu lingkaran dari kehidupan, yang tak diketahui permulaan dan akhrinya. Dengan demikian masalah „sebab pertama‟ (causa prima) bukan menjadi masalah dalam filsafat agama Buddha. Tidak dapat dipikirkan akhir roda tumimbal –lahir; tidak dapat dipikirkan asal mula makhluk-makhluk yang karena diliputi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh keinginan rendah (tanha) mengembara kesana kemari. (Samyuta Nikaya, II. 178-193).30 Sehubungan dengan masalah asal mula sebab pertama (causa prima) ini, Sang Buddha Gotama mengajarkan bahwa asal mula alam semesta tidak dapat dipikirkan. Alam semesta ini bergerak menurut proses pembentukan (samvattana) dan penghancuran (vivattana) yang berlangsung terus menerus. Di pihak lain dalam Paticcasamuppada itu diperlihatkan pula berhentinya segala rangkaian peristiwa fenomena kehidupan itu dapat dicapai oleh mereka yang telah memiliki Pandangan Terang (Kebijaksanaan Sempurna). Paticcasamuppada ini adalah untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, dimana tidak ada sesuatu itu timbul tanpa sebab. Bila kita mempelajari Hukum Paticcasamuppada ini dengan sungguh-sungguh, kita akan terbebas dari pandangan salah dan dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya. 31 Konsep sebab dan akibat (patticasamuppada) adalah prinsip melahirkan sesuatu yang lain. Dengan adanya sebab pertama, melahirkan akibat yang
29
Mettacittena, Kebebasan Mutlak Dalam Buddha Dhamma, h. 1 Mettacittena, Kebebasan Mutlak Dalam Buddha Dhamma, h. 1 31 Mettacittena, Kebebasan Mutlak Dalam Buddha Dhamma, h. 1 30
47
pertama, tanpa sebab yang pertama tidak mungkin akibat yang pertama muncul. Di samping, prinsip ini menggambarkan semua fenomena yang berlaku di alam semesta saling bergantungan (karanahetu), telah ditetapkan bahwa sesuatu fenomena tidak akan boleh bergerak ataukah lagi muncul secara keseorangan (singularity) tanpa ada ketetapan lain yang menyokong ia muncul. Fenomena hanya berlaku karena adanya kombinasi ketetapan yang menyokong kepada kemunculan sesuatu fenomena tersebut. Juga sebaliknya, jika kombinasi ketetapan ini sudah tidak lagi mampu bertahan, akan menghentikan fenomena tersebut. Patticasamuppada adalah cara yang logik untuk memahami alam semesta karena selaras dengan kehendak sains yang mana fenomena yang berlaku adalah hasil hubungan yang konsisten antara semua unsur alam semesta.32 Selain pengaruh luar yang memanikan peranan dalam sebab dan akibat, pengaruh idea atau dalaman juga memainkan pernanan dalam proses sebab dan akibat. Ini dijelaskan oleh Takakusu (1947) sebagai dharma-dhatu yaitu merujuk pada alam prinsip atau elemen kepada elemen (dalam filsafat Plato disebut sebagai alam idea). Dharma-dhatu merupakan puncak kepada semua teori sebab dan akibat karena agama Buddha tidak sama sebagaimana sains Barat yang hanya meletakan sebab berasal sebab berasal dari tindakan fisikal saja. Agama Buddha mempercayai sebab dan tindakan juga berasal daripada simpanan idea, tidak hanya berasal dari tindakan sesuatu yang bersifat fisikal. Bermakna agama Buddha meyakini bahwa unsur dalaman juga mempengaruhi konsep sebab dan akibat. Dharma-dhatu menjadi penyebab kepada semua kewujuduan fenomena
32
Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt). h. 1373
48
alam semesta atau boleh juga dikatakan sebagai penyebab kepada segala pengaruh tindakan yang dilakukan oleh makhluk dan kewujudan.33 Berdasarkan beberapa pendapat diatas, menujukan konsep sebab dan akibat (Patticasamuppada) terjelma melaui kualitas luaran dan juga kualitas dalaman sesuatu fenomena. Kualitas luaran adalah tanah liat, kayu, roda, tali, air dan pekerja yang mana kesemua kualitas luaran ini akan bekerjasama untuk menghasilkan sebuah belanga. Manakala kualitas dalaman digelar sebagai idea sebab dan akibat itu kebodohan, kehendak, tujuan kepada sebab dan akibat tersebut dan pendorong kepada Sesutu penciptaan yang dijadikan. Kualitas dalaman adalah faktor pendorong kepada faktor luaran untuk menjadikan sesuatu fenomena. Ibarat kualitas dalaman ini adalah pemikiran kepada tukang pembuat belanga yang memikirkan cara bagaimana menghasilkan belanga. 34 Agama Buddha akan mengaitkannya dengan etika manusia yang menjadi asas kepada proses sebab dan akibat berlaku. Jika pengaruh luar dikaitkan dengan fisikal luaran alam semesta yang bekerjasama menggerakan alam semesta, pengaruh dalaman atau dhrama-dhatu adalah pengaruh sikap etika makhluk yang sudah menjadi buruk dan kebodohan yang menjadi asas berlakunya sebab dan akibat. Oleh sebab itu, kepentingan konsep sebab dan akibat (patticasamuppada) dikaitkan dengan dharma yang berkaitan dengan etika moral. Sebagaimana yang dikatakan Sakyamuni:
33
Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, h. 1373-1374. 34 Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, h. 1374
49
Wahai sami, sesiapa yang memahami konsep patticasamupadda akan memahami dhamma, orang yang memahami dhamma akan dapat memahami patticasamupadda.35 Penjelasan di atas yang saling menyamakan konsep patticasamuppada dan dharma karena kedua-duanya adalah doktrin penting. Sebagai contoh Empat Kebenaran Mulia adalah berkaitan dengan penderitaan, sebab penderitaan, menghentikan penderitaan dan jalan yang membawa kepada kebebasan dari penderitaan. Manakala penderitaan, kesengsaraan dan sebagainya adalah pengaruh dalaman
yang
memainkan
(patticasamuppada).
peranan
Hubungan
dalam
antara
proses
dhrama,
sebab sebab
dan dan
akibat akibat
(patticasamuppada) seperti air dan empangan. Air yang melalui empangan mempunyai potensi untuk memghasilkan tenaga elektrik, proses pengaliran air telah menghilangkan potensina sebagai air kepada agen penyalur aliran elektrik. Begitu juga dengan kewujudan dhrama yang mempunyai pelbagai potensi bergantung kepada keadaan.36 Menjelaskan sebab dan akibat (patticasamupadda), Akira (1990: 179-181) telah membuat enam klasifikasi potensi sebab dan akibat, iaitu: 1. Karanahetu adalah penyebab yang menjadi sebab kewujudan yang lain iaitu merujuk kepada sebab yang penting. Dengan kata lain, semua dharma membantu dalam menghasilkan dharma yang lain. 2. Sahabhuhetu atau penyebab serentak adalah dharma yang berkhidmat secara serentak menjadi sebab dan akibat, bergantungan dan bergabung antara satu dengan yang lain. Seperti tanah, air, api dan angin secara
35
Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, h. 1374 36 Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, h. 1374
50
serentaknya muncul dalam molekul dan menghasilkan tenaga atau fenomena. 3. Sabhagahetu atau penyebab yang sama. Biji benih padi hanya akan menghasilkan tunas padi dan tidak mungkin menghasilkan tunas durian. 4. Samprayuktakahetu atau penyebab yang seiring (concomitant cuase) adalah deskriptif hubungan yang seiring antara minda (citta) dan fakulti mental (caitasika) atau otak. Katogeri ini dilihat sebagai fasiliti dan pengguna fasiliti mesti sama untuk menghasilkan natijah yang harmoni. Kereta tugasnya adalah membawa pemandu, tetapi pemandu mahu menggunakan kereta untuk mengadun kek. Maka wujud kesan yang bercelaru dan tidak-seimbang. 5. Sarvatragahetu iaitu alam semesta tidak semestinya bersifat harmoni dan seimbang, kuasa kekacauan juga boleh menjana sebab dan akibat, tetapi dalam bentuk keburukan. Sebagai contoh fenomena bencana alam semesta, agama Buddha melihat sebab kejadian bencana adalah kerana adanya kekotoran moral manusia yang menghasilkan akibat buruk iaitu kemusnahan (samsara). 6. Vipakahetu atau penyebab penghasilan yang merujuk kepada sebab dan akibat adalah dua jenis yang berlainan. Sebagai contoh penyebab yang baik menghasilkan kesan yang baik. Penyebab yang buruk mendatangkan kesengsaraan. Sebab yang baik atau sebab yang buruk akan menghasilkan hukuman atau penghasilan (vipakaphala) bergantung kepada baik atau buruknya sebab. Dalam konteks ini, keseronokan atau penderitaan adalah penghasilan yang timbul apabila perbuatan dilakukan (vipakahetu).
51
Penderitaan atau samsara tidak sahaja merujuk kepada moral manusia tetapi juga adalah sistem kitaran atau agen penciptaan yang sentiasa berputar dalam alam semesta. Demikian itu, alam semesta bersifat dinamik dan proses penciptaan alam semesta tiada pengakhiran, berubah, kuasa yang bersifat bergantungan antara satu sama lain, faktor yang tidak abadi, statik, tidak luput, pembentukan sendiri atau kehendak sendiri. Sistem yang merencana kelangsungan alam semesta adalah samsara yang mana sifatnya kekal abadi. Penekanan agama Buddha kepada pemahaman konsep samsara adalah sangat penting, yang mana kegagalan memahaminya akan terjatuh kepada kesengsaraan dan keseronokan duniawi dan tidak akan dapat melarikan diri dari kitaran karma. Bagi agama Buddha punca kesengsaraan adalah kebodohan yang melanda manusia itu sendiri. Kejahilan
ini
di
warisi
dari
kehidupan
sebelum
ini.37
37
Terikatnya seluruh entiti alam semesta dengan samsara dan karma, menjadikan konsep sebab dan akibat (patticasamupadda) mempunyai signifikan sebagai asas penciptaan alam semesta dan asas doktrin kelahiran semula yang membelengu kewujudan makhluk tanpa jalan keluar kerana ikatan ini tidak boleh terurai melainkan dengan pencapaian tahap kerohanian yang tinggi (nirvana). Kesinambungan kelahiran semula yang tiada pengakhiran disebabkan samsara yang sentiasa wujud dan tidak berakhir sehingga memberi kesan pada kitaran yang wujud dalam proses proses sebab dan akibat (patticasamupadda). Agama Buddha memiliki teori asas penciptaan yang unik kerana peranan penciptaan difahami dalam konteks sebab dan akibat (patticasamupadda). Setelah ditelusuri dengan detil, kepercayaan kepada peranan sebab dan akibat ini berasaskan kepada kepercayaan samsara yang menjadi tunjang dan agen kepada proses penciptaan alam semesta yang mana mempengaruhi konsep sebab dan akibat (patticasamupadda).Lihat Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt), h.1375
52
BAB III KOSMOLOGI DALAM SAINS MODERN A. Asal Mula Alam Semesta Sejak zaman dahulu telah banyak orang yang ingin menerangkan proses terjadinya alam semesta. Tentu sebuah penyelidikan terkait hal itu sudah pernah di kerjakan oleh orang-orang Yunani kuno dan penyelidikan itu berkembang terus hingga kini dengan menggunakan peralatan dan pengetahuan yang tinggi. 1. Pandangan Yunani Kuno Tiap-tiap bangsa, betapa juga biadabnya, mempunyai dongeng dan takhayul. Ada yang terjadi daripada kisah perintang hari, keluar dari mulut orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi daripada muslihat mempertakuti anak-anak, supaya ia jangan nakal. Ada pula yang timbul karena keajaiban alam, yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang menyangka alam ini penuh dengan dewa-dewa serta biduanda dan bidadarinya yang bermacam-macam namanya. Demikianlah lama kelamaan timbul berbagai fantasi, cetakan pikiran, yang menjadi barang peradaban manusia bermula.1 Fantasi itu tidak ada batasnya, sebab ia tidak bersangkut dengan yang lahir. Keadaanya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, fantasi itu menjadi pangkal juga daripada perasaan yang indah-indah, pangkal daripada seni, pangkal daripada “pengetahuan” yang ajaib-ajaib. Fantasi membawa orang yang meminangnya ke awang-awang. Keluar daripada bumi dan alam tempat ia berdiri.
1
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986),
h. 1
53
Dengan fantasi itu ia dapat menyatukan ruhnya dengan alam sekitarnya. Ia merasa dirinya bagian daripada alam. Fantasi yang sampai sana disebut ekstase.2 Orang yang mengadakan fantasi tidak ingin mencari kebenaran buah fantasinya, karena kesenangan ruhnya adalah terletak dalam fantasi itu. Tetapi orang kemudian yang mempusakai fantasi itu ada yang ingin hendak mengetahui kebenarannya lebih jauh. Diantaranya ada yang tidak lekas percaya, ada yang bersifat kritis, suka membanding dan menguji. Demikianlah, dari fantasi itu timbul lama-kelamaan keinginan akan kebenaran.3 Dongeng dan takhayul yang dipusakakan dari nenek moyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, yang menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah banyak, ditambah dengan pengalaman tiap-tiap angkatan baru. Semuanya itu masuk ke dalam pembendaharaan peradaban bangsa, yang disebut kultur. Semuanya itu menjadi pimpinan bagi angkatan kemudian menempuh jalan penghidupan. Sebab itu “kata” atau “nasehat” orang tua-tua sangat diindahkan.4 Dongeng dan takhayul serta adat-istiadat itu berpengaruh kemudian atas cara orang memeluk agamanya. Agama yang datang kemudian mendapati alam ini penuh dengan berbagai kepercayaan. Kepercayaan alam itu tak mudah membongkarnya dengan seketika saja. Ia bertahan. Itulah sebabnya, maka agama yang begitu murni dasarnya dalam masyarakat banyak bercampur dengan barang pusaka hidup yang tersebut itu. Sebab itu tak salah orang mengatakan, bahwa cara orang memahamkan agamanya banyak terpegaruh oleh keadaan hidupnya.5 2
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 1 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 1 4 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 1-2 5 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 2 3
54
Juga orang Grik dahulunya mempunyai dongeng dan takahyul. Tetapi yang ajaib pada mereka itu ialah, bahwa angan-angan yang indah-indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja, dengan tiada mengharapkan keuntungan daripada itu. Ingin tahu menjadi ujud sendirinya bagi mereka.6 Berhadapan senantiasa dengan alam yang begitu luas, yang sangat bagus dan ajaib tampaknya pada malam hari, timbul di hatinya keinginan hendak mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya, darimana datangnya alam ini, betapa jadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya. Demikianlah beratus tahun alam besar itu menjadi soal pertanyaan, yang memikat ahli-ahli pikir Grik.7 Tetapi kemudian di sebelah soal alam besar itu, yang berada di luar dirinya, terdapat olehnya soal alam kecil, yang berada di dalam dirinya. Alam ini tiada terlihat dengan mata, melainkan dapat dirasai adanya. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya: apa ujud lahirku? Apa kewajiban hidupku?, betapa seharusnya sikapku, dan di mana kudapat bahagia? Begitulah jadinya soal alam dalam pikiran: Di sebelah soal kosmologi (kosmos = alam besar) timbul keinsafan dalam hati tentang kewajiban hidup soal etik.8 Pada waktu dahulu, orang Yunani mengira bahwa bumi dan langit sangat dekat, dan bumi adalah sangat kecil bila dibandingkan dengan langit. Mereka
6
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 2 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 2 8 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 2-3 7
55
beranggapan bahwa bumi itu diatur oleh para Dewa, diantaranya, Dewa Zeus9 sebagai Dewa Guntur, dan Dewa Helios10 sebagai Dewa Matahari. Anggapan itu makin lama, makin tidak lagi diikuti oleh masyarakat, karena pengamatan yang lebih teliti oleh orang-orang di jamannya. Pyhtagoras yang hidup 2500 tahun yang lalu menyatakan bahwa bumi seperti bola yang tanpa ujung dan pangkal. Sedangkan Aritoteles berpendapat bahwa di atas bumi terdapat delapan langit yang terdiri dari Kristal kaca tembus cahaya. Langit bulan yang beredar pada bumi dianggap terikat pada bumi merupakan langit yang terdekat. Kemudian diatasnya terdapat langit mercurius dan venus, diatasnya lagi terdapat langit matahari, langit mars, langit yupiter, dan langit satrunus. Sedangkan bintang-bintang terdapat pada langit kedelapan.11
9
Adalah raja para dewa dalam mitologi Yunani. Dalam Theogonia karya Hesiodos, Zeus disebut sebagai “Ayah para Dewa dan manusia”. Zeus tinggal tinggal di Gunung Olimpus. Zeus adalah dewa langit dan petir. Simbolnya adalah petir, elang, banteng, dan pohon ek. Zeus sering digambarkan oleh seniman Yunani dalam posisi berdiri dengan tangan memegang petir atau duduk di tahtanya. Zeus juga dikenal di Romawi Kuno dan India Kuno. Dalam bahasa latin disebut lopiter sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut Dyus-pita. Zeus adalah anak dari Kronos dan Rea, dan merupakan yang termuda diantara saudara-saudaranya. Zeus menikah dengan adik perempuannya, Hera yang menjadi dewi pernikahan. Zeus tereknal karena hubungannya dengan banyak wanita dan memiliki banyak anak. Anak-anaknya antara lain Athena, Apollo, Artemis, Hermes, Ares, Hebe, Hefaistos, Persefon, Dionisos, Perseus, Herakles, Helene, Minos, dan Mousai. Zeus membagi dunia menjadi tiga dan membagi dunia-dunia tersebut dengan kedua saudaranya, Poseidon yang menjadi dewa penguasa lautan, dan Hades yang menjadi dewa penguasa dunia bawah (alam kematian). Pendapat lain mengatakan bahwa pembagian tersebut dilakukan berdasarkan undian yang dilakukan tiga dewa tersebut. Zeus dikaitkan dengan dewa Jupiter dari mitologi Romawi, dewa Amun dari mitologi Mesir, dewa Tinia dari Mitologi Etruska, dan dewa Indra dari mitologi Hindu. Zeus, bersama Dionisos, dihubungkan dengan dewa Sabazius dari Frigia, yang dikenal sebagai Sabazius di Romawi. Artikel di akses pada tanggal 25 Agustus 2016 dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Zeus/ 10 Adalah dewa Matahari dalam mitologi Yunani. Ia personifikasi dari Matahari. Helios adalah putra dari Titann Hiperon dan Theia dan kakak dari Eos (fajar), dan Selene (bulan). Helios digambarkan sebagai seorang dewa dengan mahkota cahaya Matahari yang bersinar. Setiap pagi ia terbang melintasi langit dengan keretanya yang dijalankan oleh empat ekor kuda, dan kembali ke Kerajaan Emas, istananya yang dibangun oleh Hefaistos/Hephaestus, setelah seharian melintasi langit. Terkadang dia didefinisikan dengan Apollo. Persamaan dari Helios di mitologi Romawi adalah Sol, nama latin Matahari. Artikel di akses pada tanggal 25 Agustus 2016 dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Helios 11
Soendjojo Dirjosoemarto, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta 2001), h. 12
(Jakarta: Pusat
56
Ptolomeus seorang ahli filsafat Yunani lain yang hidup 100 tahun segtelah Aritoteles menyusun teori baru mengenai kosmos dan ia mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa benda-benda langit itu semua beredar mengelilingi bumi pada ruang yang kosong.12 2. Pandangan Lebih Maju Dari Yunani Copernicus lahir Torum-Polandia (1473-1543) setelah bertahun-tahun menyelidiki bintang dan planet-planet, ia menarik kesimpulan bahwa hanya bulan saja yang benar mengelilingi bumi, sedangkan planet lain tidak, tetapi semuanya beredar mengelilingi matahari. Galileo Galilei yang pada jamannya telah ditemukan teleskop sebagai alat yang sangat penting bagi pengamatan benda-benda langit. Pada tanggal 7 Januari 1610 dengan menggunakan teleskop menemukan bahawa Jupiter bukan hanya sebuah titik cahaya kecil, melainkan berupa sebuah bola besar dengan 4 buah pinggirannya. Ia menemukan jalur hitam di permukaan bulan di duga laut atau samudra. Dia juga membenarkan teori Copernicus, maka dia di hukum (dipenjara) oleh pengadilan gereja sampai meninggal.13 3. Pandangan Modern Terhadap Asal Usul Alam Semesta Tentu saja para sarjana mempunyai kelebihan cara berfikir dari para filsuf Yunani, para sarjana lebih mementingkan riset, percobaan, perhitungan, perbandingan dan penelitian yang cermat dibantu dengan alat-alat yang modern, sedangkan para filsuf mengutamakan pikiran saja sebagai sentral mengetahui
12
Siti Anisah, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupanj Pemeluknya, h. 18 13 Soendjojo Dirjosoemarto, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, h. 13
57
segala sesuatu. Oleh karena itu para sarjana lebih ilmiah dari filsafat, tetap pendapatnya tidak mutlak benar.14 Ada dua golongan besar materi yang memperkirakan terjadinya tata surya. a. Tata surya berasal dari matahari yang sebagian materinya terlepas dan menjadi planet-planet serta satelit. Teori yang mendukung teori ini adalah: 1. Teori Pasang Surut, yang dikemukakan oleh Jeans. Teori ini menyatakan bahwa ada bintang besar yang mendekati matahari, sehingga timbul efek pasang pada kabut matahari, akibat daya tarik bintang tadi, sebagian masa matahari tertarik dan lepas dari matahari yang selanjutnya mendingin dan terbentuk planet-planet dan satelit-satelit tata surya. 2. Teori Bintang Kembar, yang menyatakan bahwa matahari merupakan bintang kembar, kemudian satu bintang meledak dan pecahnya mendingin membentuk planet dan satelit, karena semua terpengaruh oleh gravitasi matahari, maka planet itu beredar mengelilingi matahari.15 b. Tata surya berasal dari kabut asap atau nebula, oleh Imanuel Kant dan Pierre Simon De Laplace. Menyatakan bahwa di angkasa berisi berbagai macam gas. Gas-gas yang masanya besar menarik gas-gas yang ada di sekelilingnya, bagian kecil itu menyatukan dirinya sehingga membentuk kabut yang besar yang selanjutnya menjadi matahari. Akibat tumbukan antara bola-bola gas tadi menyebabkan kabut itu menjadi panas dan berputar. Kabut itu selanjutnya mendingin dan mengakibatkan perputarannya menjadi lebih cepat. Kabut itu juga mengalami pemampatan dan penyusutan yang menambah cepatnya
14
Musthafa K.S, Alam Semesta dan Kehancuranya menurut Al-Qur‟an dan Ilmu Pengetahuan (Bandung: PT al-Maarif, Bandung 1980, h 25 15 Soendjojo Dirjosoemarto, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, h. 14
58
perputaran kabut itu, di tempat perputaran yang paling cepat, yaitu di bagian khatulistiwa bola kabut itu terlontarkan bola-bola gas yang kemudian mendingin dan mebentuk planet. Menurut teori ini, karena perputarannya maka nebula yang berputar itu menjadi pipih seperti piringan yang di kenal sebagai kabut pilin. Inti kabut pilin itu merupakan bagian yang paling panas yaitu matahari, dan bagian di luar mendingin sehingga berkondensasi menjadi planet-planet. Teori ini kemudian diperbaiki oleh Hoyle dan Hannes Alfven (1950) yang menjelaskan perlambatan perputaran matahari, yaitu karena medan magnetik yang menghubungkan matahari dengan piringan gas yang berputar bersamanya memindahkan momen sudut putar dari matahari ke planet-planet, sehingga kecepatan perputaran planet bertambah, sedang kecepatan matahari berkurang. Mengenai terjadinya alam semesta, George Ganow berpendapat pada saat-saat permulaan dari timbulnya alam semesta ini adalah bahwa semua masa (benda-benda) yang akan membentuk alam semesta seperti galaksigalaksi, semua nebula, gas-gas, matahari, bintang-bintang, seluruh planet dan satelit serta zat-zat kosmos lainya, berkumpul menjadi satu di bawah tekanan yang maha tinggi dan sangat kuat, sehingga menyebabkannya pecah dan runtuh berantakan (collase). Hal ini yang disebut meledak berkeping-keping. Kepingan-kepingan itu akhirnya menjadi bintang-bintang, matahari, planet-
59
planet, satelit-satelit, galaksi, nebula dan benda-benda semesta lainya bertaburan memenuhi ruang kosong. 16 Dengan anggapan dasar bahwa hanya satu macam hukum alam yang berlaku untuk seluruh alam semesta, maka tata surya sebagai satu bagian alam semesta dalam skala kecil dianggap mewakili alam semesta yang maha besar, untuk mengajukan hipotesis-hipotesis yang sejalan dengan terjadinya alam semesta. Dari kosmologi yang telah maju dikemukakan teori tentang terjadinya alam semesta, dimana teori-teori itu dapat dikelompokan menjadi tiga teori utama. Sejak tahun 1940-an alam semesta telah diterangkan dengan 3 teori. Ketiganya telah sepakat mengenai satu azas yang sama, bahwa alam semesta memuai ketiga teori itu adalah: 1. Teori Big Bang Gagasan big bang didasarkan pada alam semesta, yang berasal dari keadaan panas dan padat yang mengalami ledakan dahsyat dan mengembang. Semua galaksi di alam semesta akan memuai dan menjauhi pusat ledakan. Pada teori big bang, alam semesta berasal dari ledakan sebuah konsentrasi materi tunggal beberapa tahun lalu yang secara terus menerus berekspansi sehingga pada keadaan yang lebih dingin. Beberapa helium yang ditemui dalam bintang-bintang sekarang kemungkinan berasal dari reaksi nuklir dalam bola api kosmik yang padat. 17
16
Kurdi Ismail Haji ZA, Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Al-Quur‟an (Jakarta: Pustaka Amani, Jakarta, 1996), h 19 17 Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006), h. 49
60
2. Teori Keadaan Tetap (steady state theory) Meskipun model big bang (dentuman besar) merupakan hipotesis yang paling mungkin dalam mendiskusikan asal-usul alam semesta, tetapi teori lain juga telah diusulkan, misalnya teori keadaan tetap, yang diusulkan pada tahun 1948 oleh H Bondi T Gol, dan F Hoyle dari Univeristas Cambridge, menurut teori ini, alam semesta tidak ada awalnya dan tidak akan berakhir. Alam semesta ini akan terlihat seperti sekarang. Materi secara terus menerus datang berbentuk atom-atom hydrogen dalam angkasa yang berbentuk galaksi baru dan mengganti galaksi lama yang menjauhi kita dalam ekspansinya.18 Berdasarkan asumsi tersebut Bondi dan Gold menganggap sesuatu di alam semesta ini kelihatannya tetap sama meskipun galaksi-galaksi saling menjauh satu dengan yang lain. Hal itu diduga karena materi di alam semesta dapat terbentuk terus menerus dalam ruang kosong dengan kecepatan yang cukup untuk mengganti materi yang berpindah. Pendapat ini ditunjang oleh kenyataan bahwa tiap-tiap galaksi terbentuk (lahir), tumbuh, menjadi tua dan akhirnya mati pada saat bintang-bintang yang mendukung galaksi itu berevolusi mencapai keadaan bajang putih atau disebut juga katai putih. Dengan terbentuknya materi-materi baru, maka menurut teori ini, alam semesta tak terhingga besarnya dan tak terhingga tuanya atau dengan kata lain tanpa awal dan tanpa akhir. 19
18
Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, h. 50-51 Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya, h. 22-23 19
61
3. Teori Osilasi (Oscillating Theory) Teori osilasi menduga bahwa alam semesta tidak ada awal dan tidak ada akhirnya. Dalam model osilasi dikemukakan bahwa sekarang alam semesta tidak constatant, melainkan berekspansi yang dimulai dengan dentuman besar (big bang), kemudian beberapa waktu yang datang gravitasi mengatasi efek ekspansi ini sehingga alam semesta akan mulai mengempis (callapse) akhirnya mencapai titik koalis (gabungan) asal, dimana temperature dan tekanan yang tinggi akan memecahkan semua materi ke dalam partikel-partikel elementer (dasar) sehingga terjadi dentuman baru dan ekspansi mulai lagi.20 Untuk
dapat
menerima
model-model
kosmologi yang telah
dikemukakan oleh para ahli, para astronomi terus melakukan pengujian terhadap model-model tadi, atau berusaha memberikan penjelasan yang lebih mudah diterima oleh akal pikiran manusia. Hal itu disebabkan oleh pembuktian model-model kosmologi tidak dapat dinantikan sampai terjadi perubahan pada masa mendatang yang relativ lama. 21
B. Proses Penciptaan Alam Semesta Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan oleh para ahli astronomi. Alasannya adalah penerimaan umum atas gagasan bahwa alam semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuan beranggapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi
20
Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya, h. 23 21 Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya, h. 23
62
dan tidak mempunyai awal. Tidak ada momen “penciptaan”, yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya muncul.22 Gagasan “keberadaan abadi” ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di Yunani kuno, menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagad raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filasafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawai dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemunduran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan luas diantara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap Filsafat Yunani kuno. Imanuel Kant-lah yang pada masa pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas, betapapun mustahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus mempertahankan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada awal abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal bahwa tidak pernah ada momen ketika jagad raya diciptakan secara luas diterima. Pandangan ini dibawa ke abad-20 melalui karya-karya matrialis dialektik seperti Karl Marx dan Friedrich Engels.23 Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sangat sesuai dengan athesime. Tidak sulit melihat alasannya. Untuk meyakini bahwa alam semesta
22
Andre Linde, The Self-Reproducing Inflationary Universe, Vol 271 (t,t, Scientific American, 1994), h. 48. 23 Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran (Skripsi S1 Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2008), h. 22.
63
mempunyai permulaan, bisa berarti bahwa ia diciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk menghindari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa “alam semesta ada selamanya”, meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apapun untuk membuat klaim seperti itu. Georges Poltizer, yang mendukung dan mempertahankan gagasan ini dalam buku-bukunya yang diterbitkan pada awal abad ke-20, adalah pendukung setia Marxsime dan Matrealisme.24 Dengan mempercayai kebenaran model “jagad raya tanpa batas”, Poltizer menolak gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fondamentaux de Philosophie ketika dia menulis: alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagad raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa diterima sains.25 Poltizer menganggap sains berada di pihaknya dalam pembelaannya terhadap gagasan alam semesta tanpa batas. Kenyataanya, sains merupakan bukti bahwa jagad raya sungguh-sunggu mempunyai permulaan. Dan seperti yang dinyatakan Poltizer sendiri, jika ada penciptaan maka harus ada penciptannya. 26 Lain halnya dengan penciptaan alam semesta dari ketiadaan, dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua bagian jagad raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua
24
Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran, h. 22. George Poltizer, Principes Fondamentaux de Philosophie, (t,t, Edition Sociales, Paris 1954), h. 84. 26 Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran, h. 23. 25
64
bagian jagad raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa yang
memberikan perintah? Selain menjelaskan alam semesta, model
Dentuman Besar mempunyai impilkasi penting lain. Seperti yang ditunjukan dalam kutipan dari Anthony Flew di atas, ilmu alam telah membuktikan pandangan yang selama ini hanya didukung oleh sumber-sumber agama.27 C. Siklus dan Luas Alam Semesta Seabad yang lalu, para ilmuan yakin bahwa seluruh alam semesta berada dalam galaksi kita, Bima Sakti. Namun, selama abad ke-20, kemajuan penting di bidang astronomi fisika, dan teknologi menyingkapkan betapa luasnya alam semesta itu. Misalnya, berapa dekade belakangan ini, para astronom menyadari bahwa mereka tidak tahu apa isi lebih dari 90 persen alam semesta ini. Tidak hanya itu temuan-temuan yang mengarah ke kesimpulan itu telah membuat para ilmuan meragukan pemahaman mereka sendiri tentang dasar-dasar ilmu fisika. Tentu saja, keraguan seperti itu bukanlah hal baru.28 Misalnya, menjelang akhir abad ke-19, para fisikawan mengamati keganjilan pada kecepatan cahaya. Mereka mendapati bahwa dari sudut pandang pengamat, cahaya selalu sama kecepatannya tidak soal seberapa cepat si pengamat itu bergerak. Tetapi, itu tampaknya tidak masuk akal. Problem ini terjawab pada tahun 1905 melalui teori relativitas khusus Albert Einstein, yang memperlihatkan bahwa jarak (panjang), waktu, dan massa tidak bersifat mutlak. Lalu, pada tahun 1907, setelah mendapat gagasan baru yang ia sebut “pikiran paling membahagiakandalam hidup saya”, Einstein mulai mengembangkan teori
27
Harun Yahya, Al-Quran dan Sains: Memahami Metodologi Bimbingan Al-Quran bagi Sains, (Bandung: Dzikra, 2007), h. 81 28 Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lpin/102009286
65
relativitas umum, yang ia terbitkan pada tahun 1916. Dalam karya yang revolusioner ini, Einstein menjelaskan kaitan antara gravitasi, ruang, serta waktu, dan mempertajam penjelasan Issac Newton tentang fisika.29 Untuk mengukur luas langit atau alam semesta para ahli astronomi menggunakan satuan cahaya. Kecepatan cahaya dalam I detik adalah 300.000 km. jarak dari bumi ke bulan 450.000 km ditempuh cahaya dalam waktu 1, 5 detik. Jarak dari bumi ke matahari 149 juta km di tempuh cahaya dalam waktu 8 menit. Perhitungan kecepatan cahaya yang digunakan untuk mengukur luas langit atau alam semesta: PERHITUNGAN KECEPATAN CAHAYA Kecepatan cahaya = 300.000 km/s Jarak 1 menit cahaya = 300.000 x 60 = 18.000.000 km Jarak 1 jam cahaya = 60 x 18.000.000 = 1.080.000.000 km Jarak 1 hari cahaya = 24 x 1.080.000.000 = 25.920.000.000 km Jarak 1 tahun cahaya = 360 x 25.920.000.000 = 9.331.200.000.000 Kecepatan cahaya 1 tahun adalah adalah 9.331,2 Triliun Bintang Terdekat ke bumi berjarak 4,3 TH/C Bintang terjauh 14 Miliar TH/C Konon menurut para ahli astronomi jarak bintang terjauh yang dapat dilihat dengan peneropong bintang Huble dewasa ini adalah 14 Miliar tahun cahaya. Sulit bagi kita untuk mebayangkannya. Cahaya yang memiliki kecepatan
29
Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lpin/102009286
66
300.000 km/detik jika dipancarkan dari bumi ini diperkirakan baru sampai ketepian alam semesta setelah 14 Miliar tahun.30 Ilmu astronomi menggambarkan struktur bintang di langit sebagai berikut. Matahari adalah bintang terdekat kepada kita. Matahari dikelilingi oleh Sembilan buah planet yang berkeliling di sekitar matahari. Sembilan planet berikut asteroid dan komet yang berdedar di sekitar matahari termasuk dalam keluarga matahari. Keluarga matahari bersama dua ratus miliar bintang lainya yang setara atau bahkan lebih besar dari matarhi berkumpul dalam suatu keluarga yang disebut galaksi. Matahari kita ini berada dalam salah satu dari lengan galaksi bima sakti (Milky Way). Galaksi bima sakit dengan beberapa galaksi lain diantaranya adromeda membentuk sebuah kelompok galaksi yang disebut cluster ribuan cluster ini akan membentuk satu kelompok yang disebut super cluster. Super cluster yang berisi ribuan cluster ini bertebaran di dalam semesta membentuk jagad raya yang maha luas.31
30
Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://www.fadhliza.com/2008/12/renungan/perhitungan-kecepatan-cahaya.html 31 Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://www.fadhliza.com/2008/12/renungan/perhitungan-kecepatan-cahaya.html
67
BAB IV KOMPARASI KOSMOLOGI BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN A. Asal Mula Alam Semesta Konsep dasar asal mula alam semesta menurut Buddha dan sains modern memiliki beberapa kesamaan. Bahwasannya asal mula alam semesta menurut pendapat Sang Buddha, bahwa alam semesta, yang disebut Beliau sebagai Samsara, adalah tanpa awal, Beliau bersabda: “Tak dapat ditentukan awal dari alam semesta. Titik terjauh dari kehidupan, berpindah dari kelahiran, terikat oleh ketidaktahuan dan keinginan, tidaklah dapat diketahui.” (Samyutta Nikaya II : 178).1 Dalam pendapat lain Beliau bersabda: “Ketika pikiran terkonsentrasiku, dengan demikian termurnikan, tidak tercela mengatasi semua kekotoran, dapat diarahkan, mudah diarahkan, serta aku memusatkannya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu, dua, … ratusan, ribuan, banyak kalpa dari penyusutan dunia, banyak kalpa dari pengembangan dari penyusutan dunia” (Bhayaberava sutta, sutta ke-4 Majjhimanikaya) Dari sini dapat dipahami bahwa proses penyusutan dan pengerutan tersebut berlangsung sangat lama yang mana yang di maksud kalpa adalah satuan waktu India kuno yang berlangsung selama miliaran tahun. Menurut ajaran Buddha seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu Ia disebut sankhata dharma yang berarti ada yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang selalu dalam keadaan menjadi keadaan lain yang sangat berurutan.
1
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11.
68
69
Dalam memahami pengembangan dan penciutan alam semesta Belaiu Bersabda: “Lebih awal atau lebih lambat, ada suatu waktu, sesudah masa waktu yang sangat panjang sekali alam semesta menciut, tetapi lebih awal atau lebih lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta mulai mengembang lagi” (Digha Nikaya III : 84)2 Dalam memandang tata surya, galaksi, dan kelompok galaksi kitab suci Agama Buddha telah menyebutkan hal tersebut ribuan tahun bahkan sebelum dunia Barat menemukan peralatan canggih untuk mengetahuinya. Penganut agama Buddha sejak zaman dahulu telah menggambarkan galaksi sebagai berbentuk spiral. Istilah dalam bahasa Pali untuk galaksi adalah cakkavala yang berasal dari kata cakka, yang berarti cakram/roda. Sang Buddha secara sangat jelas dan tepat menggambarkan kelompok-kelompok galaksi, yang oleh para ilmuan baru ditemukan. Beliau menyebutnya sebagai sistim dunia (loka dhatu) dan menambahkan perbedaan dalam ukurannya: sistim dunia ribuan-lipat, sistim dunia puluhan ribu-lipat, sistim dunia besar, dan seterusnya. Beliau menyebutkan sistim dunia terdiri dari ribuan matahari dan palnet, walau sebenarnya oleh para ahli astronomi menyebutnya sebagai jutaan.3 “Sejauh matahari-matahari dan bulan-bulan berputar, bersinar dan memancarkan sinarnya ke angkasa, sejauh itu pula sistim dunia ribuanlipat. Didalamnya terdapat ribuan matahari, ribuan bulan.” (Anguttara Nikaya I : 227) Dahulu, dalam waktu yang sangat lama, manusia tidak dapat membayangkan luas alam semesta baik dalam satuan waktu maupun ruang untuk dapat memahami asal dan luas alam semesta. Pemikiran saat itu terbatas serta
2 3
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11. Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12.
70
terikat kepemahaman dunia semesta. Didalama bible misalnya, dipahami bahwa seluruh alam semesta diciptakan dalam enam hari dan penciptaan itu terjadi barulah beberapa ribu tahun lalu.4 Demikianlah asal mula alam semesta menurut Buddha. Sedangkan asal mula alam semesta menurut sains modern kita tahu bahwa para pakar ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistem yang berdenyut, yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikian besar sehingga menyebabkan ledakan, yang disebut sebagi “Big Bang”, yang berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun waktu miliaran tahun.5 Penemuan teleskop konvensional dan teleskop radio belakangan kemudian, telah memungkinkan para ahli astronomi untuk mengetahui tidak saja asal dan sifat alam dari alam semesta, tapi juga susunannya. Diketahui sekarang, bahwa alam semesta terdiri dari sekian miliar bintang, planet, asteroid dan komet. Semua benda langit tersebut berkelompok dalam bentuk cakram atau spiral yang disebut galaksi. Planet bumi kita hanya satu titik kecil yang terdapat pada suatu galaksi yang diberi nama Bimasakti (Inggris: Milky Way). Bimasakti atau Milky Way terdiri atas kurang lebih 100 miliar bintang dengan jarak ujung ke ujung 60.000 tahun
cahaya. Telah diketahui pula bahwa galaksi-galaksi di dalam
semesta ini tersusun berkelompok. Kelompok galaksi dimana Bimasakti kita
4 5
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12. Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11.
71
berada terdiri dari dua lusin galaksi; kelompok lain, kelompok Virgo misalnya terdiri dari ribuan galaksi.6 Mengenai terjadinya alam semesta, George Ganow berpendapat pada saat-saat permulaan dari timbulnya alam semesta ini adalah bahwa semua masa (benda-benda) yang akan membentuk alam semesta seperti galaksigalaksi, semua nebula, gas-gas, matahari, bintang-bintang, seluruh planet dan satelit serta zat-zat kosmos lainya, berkumpul menjadi satu di bawah tekanan yang maha tinggi dan sangat kuat, sehingga menyebabkannya pecah dan runtuh berantakan (collase). Hal ini yang di sebut meledak berkeping-keping. Kepingan-kepingan itu akhirnya menjadi bintang-bintang, matahari, planetplanet, satelit-satelit, galaksi, nebula dan benda-benda semesta lainya bertaburan memenuhi ruang kosong. 7 Dengan anggapan dasar bahwa hanya satu macam hukum alam yang berlaku untuk seluruh alam semesta, maka tata surya sebagai satu bagian alam semesta dalam skala kecil dianggap mewakili alam semesta yang maha besar, untuk mengajukan hipotesis-hipotesis yang sejalan dengan terjadinya alam semesta. Dari kosmologi yang telah maju dikemukakan teori tentang terjadinya alam semesta, dimana teori-teori itu dapat di kelom pokan menjadi tiga teori utama. Sejak tahun 1940-an alam semesta telah diterangkan dengan 3 teori. Ketiganya telah sepakat mengenai satu azas yang sama, bahwa alam semesta memuai ketiga teori itu adalah:
6
7
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11-12. Kurdi Ismail Haji ZA, Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Al-Quur’an (Jakarta:
Pustaka Amani, Jakarta, 1996), h 19
72
1. Teori Big Bang Gagasan Big Bang didasarkan pada alam semesta, yang berasal dari keadaan panas dan padat yang mengalami ledakan dahsyat dan mengembang. Semua galaksi di alam semesta akan memuai dan menjauhi pusat ledakan. Pada teori Big Bang, alam semesta berasal dari ledakan sebuah konsentrasi materi tunggal beberapa tahun lalu yang secara terus menerus berekrpansi sehingga pada keadaan yang lebih dingin. Beberapa helium yang ditemui dalam bintang-bintang sekarang kemungkinan berasal dari reaksi nuklir dalam bola api kosmik yang padat.8 2. Teori Keadaan Tetap (steady state theory) Meskipun model Big Bang (dentuman besar) merupakan hipotesis yang paling mungkin dalam mendiskusikan asal-usul alam semesta, tetapi teori lain juga telah di usulkan, misalnya teori keadaan tetap, yang diusulkan pada tahun 1948 oleh H Bondi T Gol, dan F Hoyle dari univeristas Cambridge, menurut teori ini, alam semesta tidak ada awalnya dan tidak akan berakhir. Alam semesta ini akan terlihat seperti sekarang. Materi secara terus menerus datang berbentuk atom-atom hydrogen dalam angkasa yang berbentuk galaksi baru dan mengganti galaksi lama yang menjauhi kita dalam ekspansinya.9 Berdasarkan asumsi tersebut Bondi dan Gold menganggap sesuatu di alam semesta ini kelihatannya tetap sama meskipun galaksi-galaksi saling menjauh satu dengan yang lain. Hal itu diduga karena materi di alam semesta dapat terbentuk terus menerus dalam ruang kosong dengan kecepatan yang 8
Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006), h. 49 9 Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, h. 50-51
73
cukup untuk mengganti materi yang berpindah. Pendapat ini ditunjang oleh kenyataan bahwa tiap-tiap galaksi terbentuk (lahir), tumbuh, menjadi tua dan akhirnya mati pada saat bintang-bintang yang mendukung galaksi itu berevolusi mencapai keadaan bajang putih atau disebut juga katai putih. Dengan terbentuknya materi-materi baru, maka menurut teori ini, alam semesta tak terhingga besarnya dan tak terhingga tuanya atau dengan kata lain tanpa awal dan tanpa akhir. 10
3. Teori Osilasi (Oscillating Theory) Teori osilasi menduga bahwa alam semesta tidak ada awal dan tidak ada akhirnya. Dalam model osilasi dikemukakan bahwa sekarang alam semesta tidak constatant, melainkan berekspansi yang dimulai dengan dentuman besar (Bing Bang), kemudian beberapa waktu yang datang gravitasi mengatasi efek ekspansi ini sehingga alam semesta akan mulai mengempis (callapse) akhirnya mencapai titik koalis (gabungan) asal, dimana temperature dan tekanan yang tinggi akan memecahkan semua materi ke dalam partikel-partikel elementer (dasar) sehingga terjadi dentuman baru dan ekspansi mulai lagi.11 Untuk
dapat
menerima
model-model
kosmologi
yang
telah
dikemukakan oleh para ahli, para astronomi terus melakukan pengujian terhadap model-model tadi, atau berusaha memberikan penjelasan yang lebih mudah diterima oleh akal pikiran manusia. Hal itu disebabkan oleh
10
Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupanj Pemeluknya, h. 22-23 11 Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupanj Pemeluknya, h. 23
74
pembuktian model-model kosmologi tidak dapat dinantikan sampai terjadi perubahan pada masa mendatang yang relativ lama. 12
B. Proses Penciptaan Alam Konsep dasar proses penciptaan alam semesta menurut Buddha dan Sains modern memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan, Sutra lain yang banyak menggambarkan alam semesta adalah Avatamsaka Sutra yang berbahasa Sanskerta. Berikut ini terdapat beberapa kutipan Avatamsaka Sutra bab 4 yang berkaitan dengan kosmologi Buddhis: “Putera-putera Buddha, sistim-sistim dunia (galaksi) tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat-sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa di antaranya bulat bentuknya, beberapa di antaranya segi empat bentuknya, beberapa di antaranya tidak bulat dan tidak pula segiempat. Ada perbedaan [bentuk] yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti pusaran, beberapa seperti gunung kilatan cahaya, beberapa seperti pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti makhluk hidup, beberapa seperti Buddha….” 13 Penjelasan di atas menggambarkan terdapat berbagai bentuk sistem dunia (yang mungkin dapat disamakan dengan galaksi). Menurut hasil pengamatan, beberapa galaksi seperti galaksi Bima Sakti kita dan Andromeda berbentuk spiral (pusaran), beberapa seperti galaksi M47 dan M89 berbentuk elips (bulat), beberapa berbentuk tidak beraturan (tidak bulat dan tidak segiempat) seperti galaksi Awan Magellan dan M82, dan beberapa lainnya berbentuk seperti makhluk hidup misalnya Nebula Kepala Kuda. “Terdapat beberapa sistim dunia, Terbentuk dari permata, Kokoh dan terhancurkan, Bernaung di atas bunga teratai nan berharga.” “Beberapa di antaranya terbentuk dari berkas cahaya murni, Yang asalnya tak dikenal, Semuanya merupakan berkas-berkas cahaya, Bernaung di ruang 12
Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupanj Pemeluknya, h. 23 13 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma, h. 14
75
kosong.” “Beberapa di antaranya terbentuk dari cahaya murni, Dan juga bernaung pada pancaran-pancaran cahaya, Diselubungi oleh awan cahaya, Tempat di mana para Bodhisattva berdiam.” Ini menjelaskan komposisi galaksi di alam semesta: ada yang terdiri atas materi (yang digambarkan seperti permata), ada yang terdiri dari sinar kosmis (yang digambarkan sebagai berkas cahaya), dan ada yang diselubungi awan gas nebula (yang digambarkan sebagai awan cahaya). 14 “Putera-putera Buddha, jika dijelaskan secara singkat, terdapat sepuluh penyebab dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya sistim dunia, baik yang telah berlangsung, sedang berlangsung, atau akan berlangsung. Apakah sepuluh hal itu? Kesepuluh hal itu adalah: 1) Karena kekuatan gaib para Buddha 2) Terbentuk secara alami oleh hukum alam 3) Karena akumulasi karma para makhluk 4) Karena apa yang telah direalisasi oleh para Bodhisattva yang mengembangkan kemaha-tahuan. 5) Karena akar kebajikan yang diakumulasi baik oleh para Bodhisattva dan semua makhluk. 6) Karena kekuatan ikrar para Bodhisattva yang memurnikan dunia-dunia itu. 7) Karena para Bodhisattva telah menyempurnakan praktek kebajikan dengan pantang mundur. 8) Karena kekuatan kebebasan para Bodhisattva dalam kebajikan murni. 9) Karena kekuatan independen yang mengalir dari akar kebajikan semua
14
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma, h. 18
76
Buddha dan saat pencerahan semua Buddha. 10) Karena kekuatan independen ikrar Bodhisattva Kebajikan Universal.” Kutipan di atas menjelaskan penyebab terbentuknya galaksi yang salah satunya disebabkan oleh bekerjanya hukum alam sesuai dengan teori kosmologi modern, sedangkan penyebab lainnya merupakan hasil dari perbuatan (karma) atau kebajikan makhluk hidup apakah makhluk biasa, seorang Bodhisattva (calon Buddha), ataupun seorang Buddha.15 Demikianlah proses penciptaan alam semesta menurut Buddha. Sedangkan proses penciptaan alam semesta menurut sains modern bahwasannya gagasan “keberadaan abadi” ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di Yunani kuno, menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagad raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filasafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawai dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemunduran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialismse kembali mendapatkan penerimaan luas diantara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap Filsafat Yunani kuno. Imanuel Kant-lah yang pada masa pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas, betapapun mustahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus mempertahankan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada awal abad ke-19,
15
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 19
77
gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal bahwa tidak pernah ada momen ketika jagad raya diciptakan secara luas diterima. Pandangan ini dibawa ke abad-20 melalui karya-karya matrialis dialektik seperti Karl Marx dan Friedrich Engels.16 Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sangat sesuai dengan atesime. Tidak sulit melihat alasannya. Untuk meyakini bahwa alam semesta mempunyai permulaan, bisa berarti bahwa ia diciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk menghindari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa “alam semesta ada selamanya”, meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apapun untuk membuat klaim seperti itu. Georges Poltizer, yang mendukung dan mempertahankan gagasan ini dalam buku-bukunya yang diterbitkan pada awal abad ke-20, adalah pendukung setia Marxsime dan Matrealisme.17 Dengan mempercayai kebenaran model “jagad raya tanpa batas”, Poltizer menolak gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fondamentaux de Philosophie ketika dia menulis: alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagad raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa diterima sains.18
16
Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran (Skripsi S1 Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2008), h. 22. 17 Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran, h. 22. 18 George Poltizer, Principes Fondamentaux de Philosophie, (t,t, Edition Sociales, Paris 1954), h. 84.
78
C. Siklus dan Luas Alam Semesta Konsep dasar siklus dan luas alam semesta menurut Buddha dan sains modern memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan, dalam pandangan Buddha bahwasannya siklus dan luas alam semesta menurut Tipitaka alam semesta ini melalu satu proses pembentukan dan kehancuran yang berulang-ulang dan berawal dari asal mula waktu yang awalnya yang tak terpikirkan. Proses berulang tersebut sudah setua usia waktu itu sendiri yang tak terbayangkan. Pembentukan yang terakhir adalah alam semsesta yang kita huni ini. Awal pembentukannya telah berlangsung selama lebih dari satu Asankheyya kappa yang lampau. Assankheyya berarti tak terhitung sedangkan kappa
berarti siklus dunia
maksudnya yaitu masa terbentuknya bumi, hancur dan terbentuk kembali. Makhluk hidup menempati bumi hanya selama 1 asankheyya kappa. Antara kappa adalah jarak waktu umur manusia rata-rata 10 tahun naik hingga umur manusia rata-rata menjadi panjang sekali (tak terhitung) dan kemudian turun lagi menjadi 10 tahun.19 Kalau menurut Kitab Suci Tipitaka Pali empat Asankheyya kappa sama dengan satu maha kappa dan satu asankheyya sama dengan dua puluh Antarakappa, berarti satu maha kappa sama dengan delapam puluh Antarakappa, (satu Antara-kappa adalah selang waktu umur rata-rata manusia sepuluh tahun, naik menjadi tak terhitung dan turun kembali menjadi rata-rata sepuluh tahun).20 Sedangkan lamanya mahakappa adalah waktu yang diperlukan untuk menghabiskan sebuah bukit cadas yang berukuran lebar, panjang, dan dalamnya satu mil, yang mulus tanpa cacat dengan gosokan sutra yang paling halus setiap 19 20
Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 2. Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 3.
79
seratus tahun sekali, apabila batu cadas itu habis maka belum satu kappa terlampaui. Pernyataan yang ada dalam kitab suci ini tidak membantu kita memperkirakan lamanya satu kappa secara riil. Tetapi ada cara membuat perkiraan umur bumi berdasarkan kalkulasi sederhana, yaitu: Anggaplah batu cadas akan habis tergosok setebal 1 mm setelah 10.000 kali gosokan, jika demikian maka batu karang setebal 1 mil yang digosok berputar selama 100 tahun sekali lamanya adalah, 1,6 km x 1000 m x 1000 mm
x 10.000 gosokan x 100 tahun =
1.600.000.000.000 tahun di bagi 2 atau Lebih dari 800 miliar tahun. Tetapi menurut pendapat seorang pakar ada pendekatan lain yang membuat kita dapat menghitung secara matematis sederhana berapa lamanya satu kappa, metode ini agak berbeda dengan metode diatas dan jumlah total hasil perhitungannya lebih banyak, yaitu dengan perumpamaan biji mustard, ( manual of Abhidamma hal. 246). Biji mustard berukuran lebih kecil daripada biji ketumbar dan lebih besar daripada biji wijen. Apabila ada mustard sebanyak satu mil kubik dan setiap seratus tahun diambli sebutir maka setelah biji mustard itu habis maka kurang lebih satu kappa telah berlalu, anggaplah diameter biji mustard sebanyak satu mil kubik adalah, Satu mil = 1.600.000 mm = 1,6 x 106 Satu mil kubik = (1,6 x 106)3 = 4, 096 x 108 Anggap saja ukuran biji mustard adalah 2 mm x 2 mm x 2 mm = 8 mm3 Maka banyakanya biji mustard dalam satu mil kubik adalah, 4,096 x 1018 mm3 dibagi 8 mm3 = 5.12 x 1017 butir.
80
Bila diambil satu butir setiap sertus tahun maka lamanya maha kappa adalah + 5.12 x 1017 x 100 tahun = 5.12 x 1019 Dan satu asankheyya adalah, 5.12 x 1019 tahun dibagi empat yaitu 1.28 x 1019 tahun Atau 12.800.000.000.000.000.000 tahun (dua belas juta delapan ratus ribu triliun tahun). Walaupun kedua metode diatas memiliki jumlah waktu yang sangat berbeda, tetapi persamaan kedua metode diatas yaitu, sama-sama lama sekali. Umur alam semesta lebih dari dari satu asankheyya kappa, mengapa berbeda demikian banyak beda dengan pendapat ahli fisika.21 Menurut pandangan sains modern bahwasannya, kita tahu bahwa untuk mengukur luas langit atau alam semesta para ahli astronomi menggunakan satuan cahaya. Kecepatan cahaya dalam I detik adalah 300.000 km. jarak dari bumi ke bulan 450.000 km ditempuh cahaya dalam waktu 1, 5 detik. Jarak dari bumi ke matahari 149 juta km di tempuh cahaya dalam waktu 8 menit. Perhitungan kecepatan cahaya yang digunakan untuk mengukur luas langit atau alam semesta: PERHITUNGAN KECEPATAN CAHAYA Kecepatan cahaya = 300.000 km/s Jarak 1 menit cahaya = 300.000 x 60 = 18.000.000 km Jarak 1 jam cahaya = 60 x 18.000.000 = 1.080.000.000 km Jarak 1 hari cahaya = 24 x 1.080.000.000 = 25.920.000.000 km Jarak 1 tahun cahaya = 360 x 25.920.000.000 = 9.331.200.000.000
21
Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, (tp, tt), h.5.
81
Kecepatan cahaya 1 tahun adalah adalah 9.331,2 Triliun Bintang Terdekat ke bumi berjarak 4,3 TH/C Bintang terjauh 14 Miliar TH/C Konon menurut para ahli astronomi jarak bintang terjauh yang dapat dilihat dengan peneropong bintang Huble dewasa ini adalah 14 Miliar tahun cahaya. Sulit bagi kita untuk mebayangkannya. Cahaya yang memiliki kecepatan 300.000 km/detik jika dipancarkan dari bumi ini diperkirakan baru sampai ketepian alam semesta setelah 14 Miliar tahun.22 Ilmu astronomi menggambarkan struktur bintang di langit sebagai berikut. Matahari adalah bintang terdekat kepada kita. Matahari dikelilingi oleh Sembilan buah planet yang berkeliling di sekitar matahari. Sembilan planet berikut asteroid dan komet yang berdedar di sekitar matahari termasuk dalam keluarga matahari. Keluarga matahari bersama dua ratus miliar bintang lainya yang setara atau bahkan lebih besar dari matarhi berkumpul dalam suatu keluarga yang disebut galaksi. Matahari kita ini berada dalam salah satu dari lengan galaksi bima sakti (Milky Way). Galaksi bima sakit dengan beberapa galaksi lain diantaranya adromeda membentuk sebuah kelompok galaksi yang disebut cluster ribuan cluster ini akan membentuk satu kelompok yang disebut super cluster. Super cluster yang berisi ribuan cluster ini bertebaran di dalam semesta membentuk jagad raya yang maha luas.23
22
Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://www.fadhliza.com/2008/12/renungan/perhitungan-kecepatan-cahaya.html 23 Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://www.fadhliza.com/2008/12/renungan/perhitungan-kecepatan-cahaya.html
82
D. Pandangan Islam Tentang Kosmologi Manusia dan alam sekitarnya sebagai makhluk Tuhan secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai macam perubahan sistem kehidupan tetapi semenjak dahulu kala, kecuali manusia, makhluk hidup yang lain itu menjadi penyebab timbulnya perubahan secara alami yang bercirikan keajegan, keseimbangan dan keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk merubahnya secara berbeda karena perkembangan ilmu dan teknologi yang dikuasai khusunya, serta perkembangan kebudayaan pada umumnya.24 Manusia dalam Al-Quran menurut pandangan seorang Orientalis Dirk Bakker adalah ciptaan dan Tuhan adalah penciptanya,25 manusia adalah makhluk yang istimewa karena dapat mengikuti tuntunan akal dalam hal-hal yang diketahui tuntunan iman dalam hal-hal yang tidak diketahuinya.26 Mengenai penciptaan alam semesta, sebagaimana termaktub dalam AlQuran, surat Ali Imran; 190-191, memberikan informasi tentang penciptaan, struktur dan perkembangan (evolusi) alam semesta adalah salah satu hal untuk mengingat kekuasaan Allah. Sehingga ada empat karakter dalam diri seorang muslim yang berfikir (ulil albab): 1. Mereka yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri, duduk, maupun berbaring (segala aktivitasnya); 2. Dan selalu memikirakan tentang penciptaan langit dan bumi (tak henti menelaah fenomena alam); 24
Moh. Soerjani, Lingkungan Sumber daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan (Jakarta: UI Press, 1987), h. 12 25 Dirk Bakker, Man in the Quran, (Holland: Drukkerij Holland, N. V., 1965), h. 12 26 Al-Syayuthi, Al-maqal fi al-insan, (Mesir: Dirasah Qur‟aniyah Dar al-Ma‟arif, 1966), h. 35
83
3. (bila di jumpainya suatu kekaguman mereka berkata:) “Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau.” 4. (dan dengan kesadaran bahwa pengembaraan intelektualnya mungkin sesaat, mereka senatiasa memohon kepada Allah:) “Dan jauhkanlah kami dari siksa neraka”.27 Kemudian alam semesta bermula juga diterangkan dalam Al-Quran dengan menggambarkan tentang penegasan kepada orang kafir yang tetap tidak mau beriman bahwa antara langit dan bumi adalah suatu yang padu, lalu Allah memisahkan antara keduanya. Dan dari air Allah menjadikan segala sesuatu yang hidup. 28 Al-Quran menyatakan alam semesta datang dari
satu
sumber
materi
dan
energi,
dan
kemudian
Allah
mengembangkannya. Islam mengakui konsep singularti alam semesta (teori Big Bang). Al-Quran secara jelas menyebutkan bahwa alam semesta ini mengembang. Alam semesta ini dinamik dengan segala konsekuensinya. Konsep alam semesta mengembang adalah adalah satu konsep fundamental dalam Kosmologi Modern. Pengembangan alam semesta dibuktikan oleh Allah dengan tanda-tanda kekuasaanNya yaitu dengan menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia mengumpulkan semuanya apabila dikhendakiNya. 29 Banyaknya planet di alam semesta ini memungkinkan bahwa kehidupan bisa terjadi tidak hanya di bumi kita. Ayat tersebut
27
Al-Qur’an, Surat Ali Imran : 190-191 Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya : 30 29 Al-Qur’an, Surat Al-Syura : 29 28
84
secara eksplisit menjelaskan bahwa adanya makhluk di langit (di luar bumi) yang berdiam. Alam semesta ini memang masih lama untuk berkahir menurut prediksi manusia yang memiliki keterbatasan kemampuan memahami qudrah dan iradah Allah, karena masih mengembang. Tapi, bumi dan tata surya kita bisa saja lebih hancur jauh lebih dahulu daripada Alam Semesta. Namun Allah mempertegas bahwa pasti akan terjadi akhir alam semesta yang juga di bicarakan dalam Al-Quran, dengan mengetengahkan betapa dahsyatnya ketika alam semesta berakhir yang lazim disebut dengan kiamat. Peristiwa tersbeut mengindikasikan kembali menjadi satu.
30
bahwa langit dan bumi
Demikian juga Al-Quran bercerita tentang
matahari membengkak sampai menjadi merah dengan temperatur yang luar biasa panasnya. Saking panasnya sehingga semua air yang ada di bumi menggelegak dan menguap. Inilah salah satu proses evolusi bintang, dan matahari kita adalah seperti bintang biasa yang pasti akan mengalami proses mati.31 Kosmologi sesuai dengan namanya, adalah ilmu yang menyelidiki dan mepelajari kosmos (alam semesta) yang biasanya didefinisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan Yang Maha Esa. Berbeda dengan kosmologi modern/barat, kosmologi dalam Islam berbicara bukan hanya satu tatanan kosmos yaitu tatanan fisik tetap juga meliputi tatanan dunia lain yang non fisik. Penelitian kosmologi biasanya diarahkan pada teori penciptaan alam semesta. Pertanyaan bagaimana alam semesta yang 30 31
Al-Qur’an, Surat Al-Qiyamah : 8-9 Al-Qur’an, Surat Al-Takwir : 1,2,6,11,12
85
beraneka ragam ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, padahal ada hokum filosofis yang menyatakan bahwa dari yang satu hanya aka lahir satu juga, adalah pernyataan fundamental dalam kosmologi yang telah mengisi benak para filosof muslim, penelitian ini telah telah melahirkan berbagi teori penciptaan, khusunya teori emanasi (faydh) dan telah diabadikan dalam berbagai karya filosof mereka.32
32
Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosopy, Theologi and Cosmologi, dalam Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi
Tradisi, h. 158-159.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa kesimpulan penting berdasarkan data dan analisis penulis lakukan terhadap penulisan skripsi yang berjudul “Komparasi Konsep Kosmologi Dalam Perspektif Buddha Dengan Kosmologi Sains Modern”, dan sekaligus merupakan jawaban terhadap rumusan masalah yang telah dikemukakan penulis pada Bab I, adapun kesimpulan pembahasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menurut pandangan Buddha seluruh alam semesta ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan lain yang berurutan. Dalam agama Buddha terjadinya alam semesta adalah timbul dari serangkaian sebab akibat. Agama Buddha menganggap bahwa terjadinya alam semesta adalah suatu kebetulan belaka asal mula manusia dan alam, ia mengajarkan absolute determinisme (bahwa hidup manusia sudah ditentukan secara absolut tidak bisa diubah-ubah lagi ). Ajaran agama Buddha betitik tolak dari kenyataan yang dialami oleh manusia dalam hidupnya. Ajarannya tidak dimulai dari prinsip-prinsip yang transcendent, yang mempersoalkan tentang Tuhan dan hubungannnya dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan dimulai dengan menjalankan tentang dukkha yang selalu menyerti hidup manusia dan
86
87
cara membebasakannya dari dukkha tersebut. Ia tidak mempersoalkan tentang Tuhan, melainkan selalu menekankan pada pengikutnya agar mempraktekan sila ke-Tuhanan. Ajaran agama Buddha yang tidak membicarakan ketuhanan dalam asas penciptaan alam semesta dan menggantikannya dengan sebab dan akibat (patticasmupadda) meletakkan agama ini sebagai kelompok agama yang tidak membicarakan ketuhanan atau entiti yang bersifat dengan sifat ketuhanan.
Walaupun
Helmuth
(1970)
menyatakan
agama
Buddha
mempunyai konsep ketuhanan yang berbeda dengan agama-agama lain dan perbedaan ini tidak bermakna agama Buddha tidak mempunyai konsep ketuhanan dalam doktrin utama meraka. Ini kerana agama Buddha cuma tidak terlalu fokus membicarakan mengenai sesuatu realiti yang tidak boleh dilihat (Tuhan), jiwa, kehidupan selepas mati atau asal-usul alam semesta. Bagi penulis, dalam konteks asas teori kejadian alam semesta, agama Buddha adalah agama tidak membicarakan keberadaan Tuhan dalam proses penciptaan dan menggantikannya dengan konsep sebab dan akibat (patticasamupadda). 2. Konsepsi tentang Kosmos (= Alam Semesta) menurut Buddhisme, pada masamasa awal dari perkembangannya, itu secara essensial, sama dengan konsepsi modern tentang alam semesta. Didalam teks berbahasa Pali, yang sampai di tangan kita, secara aksaranya diceriterakan, terdapat ratusan ribu mataharimatahari, bulan-bulan, bumi-bumi, dan dunia-dunia yang lebih tinggi, yang membentuk sistem dunia tingkatan minor (= kecil); terdapat seratus ribu kali jumlah sistem dunia tingkatan minor, yang membentuk sistem dunia tingkatan medium (= tengah-tengah); dan terdapat seratus ribu kali sistem dunia tingkatan medium yang membentuk sistem dunia tingkatan mayor (= besar).
88
Didalam terminologi modern, itu tampaknya, apabila satu sistem dunia minor (= culanika loke dhatu), adalah sama dengan sebuah galaxy, yang melalui telescope yang paling baik, dapat kita lihat terdapat kira-kira ratusan juta dunia (matahari, bulan-bulan, dan sebagainya) didalamnya, maka dapat kita renungkan bahwa konsepsi Buddhis tentang sistem dunia-dunia, itu mempunyai kesamaan yang besar dengan keterangan dari ilmu pengetahuan modern. 3. Konsep kosmologi Buddha dengan sains modern bahwasannya para pakar ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistim yang berdenyut, yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikian besar sehingga menyebabkan ledakan, yang disebut sebagai Big Bang, yang berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun waktu milyaran tahun. Sekali lagi, Sang Buddha telah memaklumi pengembangan dan penciutan alam semesta. Beliau bersabda:“ Lebih awal atau lebih lambat, ada suatu waktu, sesudah masa waktu yang sangat panjang sekali alam semesta menciut,Tetapi lebih awal atau lebih lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta mulai mengembang lagi.” 4. Gagasan Big Bang didasarkan pada alam semesta, yang berasal dari keadaan panas dan padat yang mengalami ledakan dahsyat dan mengembang. Semua galaksi di alam semesta akan memuai dan menjauhi pusat ledakan. Pada teori Big Bang, alam semesta berasal dari ledakan sebuah konsentrasi materi tunggal beberapa tahun lalu yang secara terus menerus berekspansi sehingga
89
pada keadaan yang lebih dingin. Beberapa helium yang ditemui dalam bintang-bintang sekarang kemungkinan berasal dari reaksi nuklir dalam bola api kosmik yang padat. B. Saran Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan dari hasil penelitian ini, yaitu: 1. Karya ini merupakan karya yang terbuka atas kritik dan saran juga perkembangan penelitian selanjutnya. Karena berbicara konsep Kosmologi atau penciptaan alam semesta sangat luas untuk diperbincangkan, begitu juga dalam kajian setiap agama-agama di dunia yang ada, sehingga dengan banyaknya para pengkaji Kosmologi di setiap agama bisa memberikan pencerahan atau wajah baru bagi kajian studi agama-agama khusunya, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. 2. Dalam proses penyelesaian karya ini, penulis mendapatkan kesulitan terutama referensi buku-buku terkhusus yang membahas tentang Kosmologi atau penciptaan alam semesta baik menurut agama Buddha maupun menurut Sains Modern, yang masih sangat jarang di temukan baik di perpustakaan fakultas maupun di tempat buku-buku lainya. Maka saran penulis, fakultas khususnya harus lebih serius memfasilitasi mahasiswanya dengan referensi yang kaya dan berkualitas, begitu jugda dengan dosen-dosen pengajar, penulis sangat berharap agar memperbanyak karya-karya pada jurusan yang di ajarnya, sehingga para mahasisa tidak lagi kesulitan mencari bahan-bahan referensi baik untuk membuat makalah mapun untuk tugas akhir, yaitu skripsi.
90
3. Berbicara buku-buku yang membahas tentang kajian Kosmologi terkhusus dalam agama Buddha yang penulis dapatkan dari penerbit, dirasa sangatlah kurang. Secara tidak langsung hal ini juga menjadi sebuah kendala bagi para penulis juga pengkaji dalam mempaparakan penelitiannya secara lebih rinci dan mendalam.
91
DAFTAR PUSTAKA SUMBER BUKU Agustini, Kiki, Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha. S1 Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Ali, A. Mukti, Agama-Agama D Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Anisah, Siti, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya. S1 Ilmu Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang , 2008. Barbour, Ian G, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama. Bandung: Penerbit Mizan, 2002. Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI Jakarta dan Yayasan Avalokitesvara, 2007. Chandra H. Fabian, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta. (tp, tt). Dawai,
Alam Semesta Dalam Dhammadipa, 2007.
Buddhisme.
Surabaya:
Penerbit
Vihara
DEA, Tjasyono, Hk, Bayong, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006. Dirjosoemarto, Soendjojo, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta 2001. Frenandy, Buddhisme dan Sains. Bandung: Penerbit PVVD, 2012. Gofar, Mohamad, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran. Skripsi S1 Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2008. Herdiansyah, Haris, Metodologi Humanika, 2012.
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba
Indriaty Binti Ismail, Norakmal Azraf Bin Awaludin, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt).
92
Kattsoff, Lois, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995. Linde, Andre, The Self-Reproducing Inflationary Universe, Vol 271. t,t, Scientific American, 1994. Mukti, Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharmadan Ekayana Buddhist Centre Jakarta, 2003. K.S, Musthafa, Alam Semesta dan Kehancuranya menurut Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan. Bandung: PT al-Maarif, Bandung 1980. Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya. Jakarta: Yayasan Dhammadipa, 1992. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2006. Poltizer, George, Principes Fondamentaux de Philosophie. t,t, Edition Sociales, Paris 1954. Santoso, Ananda dan Al-Hanif, A.R, Kamus Umum Bahasa Indoensia. Surabaya: Alumni, 2007. Subana, M dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia, 2001. Sudharma, Budiman, Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI Jakarta dan Yayasan Avalokitesvara, 2007. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2009. Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
PT.
Taufiqurrohman, Hamdan, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studi atas Pemikiran Sri Dhammananda. S1 Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2008. Taniputera, Ivan, Sains Modern dan Buddhisme. Jakarta: Karaniya, 2003. Turner R. Howard, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction, terj., Zulfahmi Andri, Sains Islam Yang Mengagumkan: Sebuah Catatan abad Pertengahan,. Bandung: Nuansa, 2004.
93
Yahya, Harun, Al-Quran dan Sains: Memahami Metodologi Bimbingan Al-Quran bagi Sains. Bandung: Dzikra, 2007. ZA, Haji, Kurdi Ismail, Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Al-Quur’an. Jakarta: Pustaka Amani, Jakarta, 1996.
SUMBER INTERNET Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/komparasi Artikel
di
akses
pada
tanggal
14
April
2016
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Konsep Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/kosmologi Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/Buddha. Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/teori Artikel
di
akses
pada
tanggal
14
April
2916
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/sains Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/modern
dari
DAFTAR PUSTAKA SUMBER BUKU Agustini, Kiki, Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha. S1 Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Ali, A. Mukti, Agama-Agama D Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Anisah, Siti, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya. S1 Ilmu Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang , 2008. Barbour, Ian G, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama. Bandung: Penerbit Mizan, 2002. Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI Jakarta dan Yayasan Avalokitesvara, 2007. Chandra H. Fabian, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta. (tp, tt). Dawai,
Alam Semesta Dalam Dhammadipa, 2007.
Buddhisme.
Surabaya:
Penerbit
Vihara
DEA, Tjasyono, Hk, Bayong, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006. Dirjosoemarto, Soendjojo, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta 2001. Frenandy, Buddhisme dan Sains. Bandung: Penerbit PVVD, 2012. Gofar, Mohamad, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran. Skripsi S1 Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2008. Herdiansyah, Haris, Metodologi Humanika, 2012.
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba
Indriaty Binti Ismail, Norakmal Azraf Bin Awaludin, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt).
91
Kattsoff, Lois, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995. Linde, Andre, The Self-Reproducing Inflationary Universe, Vol 271. t,t, Scientific American, 1994. Mukti, Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharmadan Ekayana Buddhist Centre Jakarta, 2003. K.S, Musthafa, Alam Semesta dan Kehancuranya menurut Al-Qur‟an dan Ilmu Pengetahuan. Bandung: PT al-Maarif, Bandung 1980. Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya. Jakarta: Yayasan Dhammadipa, 1992. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2006. Poltizer, George, Principes Fondamentaux de Philosophie. t,t, Edition Sociales, Paris 1954. Santoso, Ananda dan Al-Hanif, A.R, Kamus Umum Bahasa Indoensia. Surabaya: Alumni, 2007. Subana, M dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia, 2001. Sudharma, Budiman, Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI Jakarta dan Yayasan Avalokitesvara, 2007. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2009. Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
PT.
Taufiqurrohman, Hamdan, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studi atas Pemikiran Sri Dhammananda. S1 Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2008. Taniputera, Ivan, Sains Modern dan Buddhisme. Jakarta: Karaniya, 2003. Turner R. Howard, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction, terj., Zulfahmi Andri, Sains Islam Yang Mengagumkan: Sebuah Catatan abad Pertengahan,. Bandung: Nuansa, 2004.
92
Yahya, Harun, Al-Quran dan Sains: Memahami Metodologi Bimbingan Al-Quran bagi Sains. Bandung: Dzikra, 2007. ZA, Haji, Kurdi Ismail, Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Al-Quur‟an. Jakarta: Pustaka Amani, Jakarta, 1996.
SUMBER INTERNET Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/komparasi Artikel
di
akses
pada
tanggal
14
April
2016
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Konsep Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/kosmologi Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/Buddha. Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/teori Artikel
di
akses
pada
tanggal
14
April
2916
dari
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/sains Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/modern
93