KOMITMEN UNTUK MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA YANGORANG TUANYA MENGALAMI PERCERAIAN DISERTAI KEKERASAN
OLEH DEA MAGDALENA 80 2009 803
TUGAS AKHIR Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Mememenuhi Sebagian Dari PersyaratanUntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Progam Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
KOMITMEN UNTUK MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA YANG ORANGTUANYA MENGALAMI PERCERAIAN DISERTAI KEKERASAN
Dea Magdalena Aloysius L. S. Soesilo Christiana Hari Soetjiningsih
Progam Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan komitmen untuk menikah pada individu dewasa yang orangtuanya mengalami perceraian disertai kekerasan.Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data purposive sampling dengan metode observasi partisipan dan wawancara.Partisipan penelitian ini adalah dua orang dewasa yang memenuhi tiga kriteria yang telah di tentukan yaitu dewasa awal, berasal dari keluarga yang bercerai dan sedang menjalin hubungan dating dengan lawan jenisnya.Hasil penelitian ialah deskripsi mengenai komitmen untuk menikah yang terdapat dalam hubungan antara partisipan dan pasangannya.Perceraian orang tua membawa dampak positif dan negatif bagi partisipan.Lebih daripada itu, terdapat perbedaan juga komitmen dari partisipan yang memiliki interaksi dengan orangtua dan partisipan yang sudah tidak lagi dekat dengan orang tua karena perceraian.
Kata Kunci: Komitmen untuk menikah, kekerasan dalam pernikahan, perceraian dalam pernikahan
i
Abstract
The purpose of this study was to describe the commitment to marriage by adult who the parents have experience divorced with violent. The study used a qualitativ method to collect the data by using purposive sampling and the method of participant observation and interviews. The study on commitmen to marriage has been done to two people and met three criteria definited that is early adult, come from divorced families and are in a dating relationship with the partner. The results of the research showed description about commitment to marriage is capable of relationship participants and the partner. Experience parents divorced contributed negative and positivde impacts on participants. Morever, this is differences of commitment from participants have good interactions with parent and participants don't close with their parent because divorce.
Key words: commitment to marriage, violence in marriage, divorce in marriage
ii
1
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Setiap individu yang menjalani kehidupan rumah tangga tentunya mengharapkan rumah tangga yang bahagia, namun tidak semua kehidupan keluarga berjalan seperti yang diharapkan. Seperti yang dikatakan oleh Yusuf (dalam Merrin, 2008) yang mengatakan kalau peristiwa perceraian adalah peristiwa yang tidak diharapkan dalam rumah tangga. Berdasarkan data perkara perceraian yang ditangani Mahkamah Syari’ah dan Peradilan Agama (PA) di seluruh Indonesia selama tahun 2009 terdapat 216.286 perkara perceraian. Angka ini semakin meningkat pada tahun 2010 menjadi 251.208 perkara perceraian dan pada tahun 2011 angka tersebut meningkat menjadi 314.967 perkara perceraian. Menurut Wardoyo (dalam Amelia, 2008) perceraian merupakan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempumakan cinta antara suami istri. Dari berbagai macam penyebab dari perkara perceraian yang diajukan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu penyebab utama dari terjadinya perceraian tersebut. KDRT yang terjadi dapat berbentuk beberapa tindakan kekerasan, diantaranya kekerasan fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran ekonomi. Fenomena ini semakin meningkat dimana menurut Kepala Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah Chatib Rasyid menyatakan, selama 2010, ada lebih dari 130 kasus perceraian karena kasus itu. Sedangkan tahun lalu meningkat menjadi 210 cerai gugat maupun cerai talak akibat adanya tindak KDRT. Sedangkan menurut laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, angka KDRT dari tahun 2001 sampai tercatat 98.564 kekerasan terhadap perempuan, dimana 95% dari KDRT tersebut berakhir pada perceraian. Demikian juga Komnas Anak telah merilis Kompilasi Pantauan Pelanggaran Hak Anak dalam bentuk Kekerasan, bahwa pada tahun 2007 terdapat 5.892 dan pada tahun 2008 terdapat 4.393 bentuk kekerasan terhadap anak, yang berupa kekerasan fisik, seksual, psikis dan aborsi. Perceraian yang terjadi pada pasangan suami istri, apapun alasannya, akan selalu berakibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan altematif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk (Martina Rini, dalam Amelia, 2008).
2
Reaksi emosional terhadap perceraian, biasa terjadi pada anak semua usia, mencakup kesedihan, ketakutan, depresi, amarah, kebingungan, dan kadang kelegaan. Sementara reaksi perilaku anak terhadap perceraian bervariasi tergantung pada karakteristik pribadi dan keluarga yaitu dari tingkat konflik, usia, gender, tabiat anak, reaksi emosional orang tua, dan jumlah waktu bersama masing-masing orangtua. Tetapi akibat langsung yang timbul dari perceraian adalah distress emosional (internalizing disorders) dan masalah perilaku (externalizing disorders) seperti kemarahan, kebencian, kecemasan dan depresi (Hetherington, 2003). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ulpatusalicha (2009) kepada lima orang anak korban perceraian yang berusia antara 8-12 tahun di Desa Pengabuan mendapatkan hasil penelitian bahwa perceraian memiliki lima dampak yaitu sebagian besar anak korban
perceraian
cenderung
tidak
dapat
mengontrol
emosi
mereka
dan
melampiaskannya dengan melakukan hal yang berlawanan dengan peraturan seperti memberontak; lalu menjadi kurang berprestasi, murung dan merasa bersalah karena merasa bahwa dirinya yang menjadi penyebab perceraian; memiliki tingkat motivasi yang kurang bagus; sering merasa iri dengan teman sebaya yang masih memiliki keluarga yang utuh; dan mengalami ketidakstabilan emosi yang membuat menjadi minder, kurang percaya diri bahkan menjadi kehilangan jati diri dan identitas sosialnya (Ulpatusalicha, 2009). Dampak dari perceraian sendiri tidak begitu saja berakhir pada saat anak atau remaja yang sudah mencapai masa keseimbangan (dua tahun setelah perceraian), tetapi perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka hingga beranjak ke usia dewasa awal (Dagun, dalam Merrim, 2002). Telah dilakukan penelitian mengenai dampak dari perceraian terhadap perkembangan seseorang di periode dewasa awal. Salah satu penelitian oleh Huurre, Hanna, & Hillevi (2006) mengemukakan dampak dari perceraian di dalam keluarga akan lebih berpengaruh terhadap dewasa awal khususnya wanita dimana mereka memiliki kecenderungan untuk depresi lebih tinggi dan mengalami psikosomatis, cenderung mengalami nilai lebih rendah di universitas dan cenderung tidak bekerja secara formal, dan memiliki masalah dengan kesehatan seperti kebiasan merokok atau minum alkohol yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang berasal dari keluarga yang masih tinggi. Selain itu dari sisi sosial, wanita yang berasal dari keluarga yang telah bercerai juga
3
memiliki lebih sedikit teman dekat maupun orang yang penting di dalam hidup mereka untuk dapat membantu mereka dalam finansial maupun bersosialisasi. Hal lainnya, wanita akan cenderung memiliki banyak konflik dalam hubungan yang lebih intim dibandingkan dengan laki-laki yang berasal dari keluarga yang bercerai. Hal ini akan membuat wanita merasa paling dirugikan ketika hubungan intim yang dijalani sudah saatnya mencapai ketika pernikahan dimana mereka masih merasa memiliki banyak masalah psikologis mengenai perceraian (Huurre, Hanna, & Hillevi, 2006). Akibat
perceraian
orangtua
terhadap
dewasa
awal
dalam
menjalin
hubungan dating juga terlihat pada sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh K. Sager (2009) mendapatkan hasil bahwa dampak dari perceraian orangtua pada dewasa awal dalam hubungan romantis mereka yaitu mereka mempunyai kepercayaan yang menurun dalam hubungan romantis pribadi mereka. Weigel dan Lewis (dalam Arizqa, Wisnu, 2004) menemukan sepertiga dari dewasa awal mempunyai sikap pesimis terhadap pernikahan dan perceraian dan berusaha untuk menghindari keduanya. Studi ini mengidentifikasikan penyebabnya karena subjek takut akan pernikahan dan ketakutan untuk perceraian dalam pernikahan tersebut. Hasil menunjukkan bahwa 42% pria tidak pernah menikah atau hidup bersama lebih dari 6 bulan, dibandingkan 6% dari kelompok pembanding. Hal ini di dukung oleh Amato, Laura, Alan (1995) yang menemukan bahwa dewasa awal yang memiliki pengalaman orangtua yang bercerai memiliki komitmen yang lemah terhadap keinginan untuk pernikahan seumur hidup. Selain itu, Weigel (dalam Arizqa, Wisnu, 2004) mengatakan bahwa dewasa awal dari orang tua yang bercerai akan lebih mungkin untuk mengingat pesan lebih negatif dari keluarga asal mereka, sebaliknya orang dari keluarga utuh mengingat pesan yang lebih positif. Selain itu anak-anak dari keluarga yang bercerai akan cenderung berpikir bahwa mereka cenderung kecil kemungkinannya untuk memiliki pernikahan yang panjang dan sukses dan berpikir bahwa perceraian orangtua mereka lebih dapat diterima. Temuan ini menunjukkan anak-anak dari keluarga perceraian cenderung percaya bahwa mereka memiliki kontrol yang kurang terhadap hasil hubungan mereka yang merupakan hasil dari sugesti kepercayaan diri yang rendah. Meskipun mereka ingin untuk menikah dan memiliki kepercayaan pada cinta yang romantik, dua pertiga dari responden khawatir tentang kemungkinan pecahnya pernikahan mereka sendiri di masa
4
depan (Wallerstein & Blakeslee, 1989, seperti dikutip Sager, 2009). Selain itu hasil lainnya yaitu subjek wanita berulang kali menyebutkan perasaan rentang untuk takut disakiti dalam hubungan romantik (seperti dikutip dalam Sager, 2009). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan di Indonesia (Arizqa, Wisnu, 2011) didapatkan hasil tiga subjek dewasa awal yang berasal dari keluarga yang bercerai masih dapat berinteraksi dengan baik dan sehat terhadap lingkungannya, dapat mengatur emosi dengan baik dan dapat mengatasi dampak dari perceraian orangtua mereka. Tetapi hasil berbeda dari dua subjek lainnya dimana yang satu memiliki sifat yang tertutup dan kurang tertarik untuk berinteraksi dengan orang lain, cenderung pemalu dan kurang percaya diri, terkadang cepat merasa putus asa dan stress ketika mengalami kegagalan, dan sempat jatuh ke dunia narkotika, tetapi masih dapat memberikan perhatikan dan kasih sayang terhadap orang lain. Sementara satu subjek lagi mempunyai cara pandang negatif terhadap dirinya sendiri, tidak mempunyai semangat dan keinginan kuat untuk bangkit dari keterpurukan atas dampak perceraian orang tuanya, menjadi emosional serta menyalahkan keadaan dan tidak mempunyai rasa tanggung jawab serta menjadi takut untuk menjalin hubungan intim dengan lawan jenis. Terdapat sebuah hasil penelitian berbeda yang mengemukakan bahwa dampak dari perceraian sebenamya tergantung dari konflik yang terjadi dalam keluarga ketika memutuskan untuk bercerai, bersifat berat atau ringan, dan juga bergantung kepada kedekatan dari anak terhadap kedua orangtua setelah memutuskan untuk bercerai. Hal ini akan berpengaruh secara signifikan terhadap penyesuaian diri dewasa awal khususnya mengenai kepuasan dalam hidup, depresi, kecemasan, stress dan konsep diri di dalam memandang dunia, tetapi tidak dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Konflik dan perceraian memiliki pengaruh negatif terhadap penyesuaian diri tetapi hal ini dapat dibantu dengan hubungan yang baik dengan kedua orangtua (Richardson & Marita, 2001). Dari berbagai hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa perceraian memiliki pengaruh yang berbeda terhadap dewasa awal, bisa berdampak positif maupun negatif, tergantung dari keluarga tersebut memberikan pengertian terhadap anak mereka. Tetapi beda halnya ketika perceraian orangtua tersebut terjadi karena adanya kekerasan di dalam rumah tangga terhadap pasangan maupun anak yang menjadi korban. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat
5
menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya. Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, emosional, maupun seksual. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman traumatis bagi anak-anak yang akan membawa dampak ke depannya bagi kehidupan mereka. Kekerasan dalam bentuk apapun, psikologis, fisik atau seksual akan membawa pengaruh yang buruk terhadap anak tersebut (Putri, 2008). Anak-anak yang sering mengalami kekerasan di dalam keluarganya bisa secara tidak langsung menjadi permodelan agresi verbal atau fisik yang mengajarkan bahwa perbedaan pendapat lebih dapat diselesaikan melalui konflik atau kekerasan dibandingkan diskusi sehingga mereka juga mengikuti cara orangtuanya dengan melakukan kekerasan dalam hubungan dating. Hal ini terjadi karena anak-anak dari keluarga dengan konflik tinggi yang disertai kekerasan mungkin tidak belajar keterampilan sosial seperti negosiasi dan kompromi yang sebenamya diperlukan ketika menjalin hubungan di masa dewasa awal (Amato, Laura, Alan, 1986). Seorang individu dewasa mengalami hambatan untuk berkomitmen
ketika
mereka memiliki kenangan yang tidak baik mengenai keluarga mereka dimana terdapat KDRT di dalamnya. Hal ini dikarenakan karena individu bisa saja takut untuk harus berkomitmen dengan pasangannya dan menjadi takut untuk harus berkorban dan berkomitmen hingga ke pernikahan karena mereka takut untuk tersakiti atau takut untuk mengalami seperti apa yang telah dialami oleh kedua orang tua mereka. Kejadian yang dialami oleh individu dalam perceraian orangtuanya bisa membuat ia mendapatkan dampak negatif dari lingkungan sekitar yang terkadang juga cenderung belum bisa menerima perceraian tersebut. Ia juga bisa cenderung untuk defensif dan tidak ingin hal tersebut terulangi lagi sehingga mungkin ia akan memiliki prinsip dan pendirian yang ia bangun. Hal ini akan membuat seorang individu berusaha untuk dominan di dalam hubungannya agar tidak tersakiti dan mengalami kekerasan seperti yang terjadi di dalam keluarganya. Apabila hal ini tidak tertangani dengan baik maka bisa jadi justru individu tersebut yang bisa melakukan kekerasan atau menjadi tidak berkomitmen di dalam hubungan yang sedang ia jalani tersebut (dalam Merrim, 2008). Padahal untuk menuju ke tahap pernikahan itu individu harus memutuskan apakah mereka mau untuk berkomitmen dan melanjutkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius yaitu
6
pernikahan. Oleh sebab itu peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih dalam lagi mengenai komitmen untuk menikah, cara menyelesaikan masalah dan dampak dari perceraian disertai KDRT.
TINJAUAN PUSTAKA
Komitmen Untuk Menikah Komitmen untuk menikah adalah pengalaman subjektif dimana seorang individu ingin tetap mempertahankan hubungan mereka dalam masa sulit ataupun masa senang, merasa secara moral harus bertahan, dan merasa terbatasi agar tetap berada segera menuju ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan (Johnson, John, Ted, 1999).Selain itu Johnson, John, Ted (1999) juga mengatakan bahwa ketika seorang individu mengambil keputusan untuk melanjutkan hubungan berpacaran menuju ke pernikahan maka individu tersebut harus mempersiapkan diri untuk menuju ke komitmen untuk pernikahan. Komitmen inilah yang akan menjadi dasar bagi pasangan untuk menikah dan akan menjadi faktor penentu untuk keberlangsungan pernikahan tersebut. Johnson, John, Ted (1999) membagi komitmen untuk menikah menjadi tiga dimensi yaitu : a. Komitmen Personal (Personal Commitment) Komitmen personal mengandung arti sejauh mana seseorang ingin bertahan dalam hubungannya yang dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu seseorang mungkin ingin melanjutkan hubungan sampai-sampai ia tertarik pada pasangannya, fungsi dari daya tarik untuk hubungan, dan identitas hubungan. b. Komitmen Moral (Moral Commitment) Komitmen moral adalah perasaan bahwa seseorang secara moral berkewajiban untuk melanjutkan hubungan, entah seseorang benar-benar ingin atau tidak.Ada tiga komponen utama dari komitmen moral.Pertama, seseorang dapat memegang nilai-nilai mengenai moralitas pemutusan sebuah hubungan. Kedua yaitu perasaan bertanggung jawab secara pribadi terhadap orang lain. Ketiga, seseorang mungkin merasa berkewajiban untuk melanjutkan hubungan tertentu karena menghargai nilai umum konsistensi (general consistency values).
7
c. Komitmen Struktural (Structural Commitment) Komitmen struktural yaitu keinginan bertahan dalam suatu hubungan karena adanya faktor penahan dalam hubungan tersebut yang menghambatnya untuk meninggalkan hubungan.Ada empat komponen dalam komitmen struktural yaitu pertama altematif. Keterbegantungan pada hubungan adalah salah satu dari keadaan altematif apakah sebuah hubungan akan berakhir atau tidak. Kedua yaitu mengenai tekanan sosial yaitu hambatan datang ketika individu berusaha mengantisipiasi tanggapan dari orang-orang yang ada dalam lingkungan ataupun jaringan mereka yang mungkin setuju atau tidak setuju mengenai mengakhiri hubungan tersebut.Ketiga, prosedur perceraian atau pemisahan yaitu kesulitan untuk bisa mengakhiri sebuah hubungan.Terakhir yaitu investasi yang telah ditanamkan selama hubungan berlangsung dan tidak dapat diambil kembali (irretrievable investments).
Orangtua yang Bercerai Dengan Kekerasan Perceraian adalah puncak dari proses penyesuaian perkawinan yang buruk yang terjadi bila suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang tepat (Hurlock, 2002). Pendapat lain dikemukakan oleh Su’adah (dalam Arizqa, Wisnu 2011), menyatakan bahwa perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami-istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan kewajiban masing-masing. Jika dilihat dari sisi hukum yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 pasal 38 tentang perkawinan mengatakan bahwa putusnya perkawinan dapat karena kematian salah satu pihak, perceraian, dan keputusan pengadilan. Perceraian dapat terjadi karena banyak hal yaitu salah satunya adalah kekerasan di dalam rumah tangga. Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang KDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Marianne James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology (dalam Doordje, 2010), menegaskan bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti
8
terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan emosi.Sementara menurut Hughes dan Barad (dalam Doordje, 2010) mengemukakan bahwa angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat menimulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya. Sebuah studi yang dilakukan terhadap anak-anak Australia, (dalam Putri, 2008) sebanyak 22 anak dari usia 6 sampai 11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami KDRT mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bahwa rata- rata, memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi. Konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif. Tetapi menurut Rosenbaum dan O'Leary (dalam Putri, 2008) tidak semua anak yang hidup kesehariannya dalam hubungan yang penuh kekerasanakan mengulangi pengalaman itu tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut.
Dewasa Awal Menurut Erikson, masa dewasa awal berada pada tahap Intimacy vs Isolation, pada masa ini individu menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk relasi intimasi dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebagai penemuan terhadap diri sendiri pada orang lain, tanpa harus kehilangan diri sendiri (Santrock, 2003). Sementara menumt Hurlock (2002) salah satu ciri dewasa yang menonjol yaitu masa dewasa sebagai masa komitmen dimana individu dewasa akan mulai menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru, meskipun pola-pola hidup, tanggungjawab dan komitmen-komitmen baru ini mungkin akan berubah juga, tetapi pola-pola ini menjadi landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggungjawab dan komitmen-komitmen di kemudian hari. Tugas perkembangan menumt Rosdahl & Kowalski (dalam Amelia, 2008) pada masa dewasa awal yaitu usia 20-30 tahun yaitu mengembangkan hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk persahabatan baru dan hubungan yang intim dan mampu memberikan dukungan dan
9
pengertian yang kemudian mengarahkan ke jenjang pernikahan. Komitmen Untuk Menikah Pada Individu Dewasa yang Berasal Dari Keluarga yang Bercerai Karena KDRT Perceraian merupakan salah satu keputusan penting dalam perjalanan hidup manusia.Fenomena ini semakin meningkat dimana menurut Kepala Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah Chatib Rasyid menyatakan, selama 2010, ada lebih dari 130 kasus perceraian karena kasus itu. Sedangkan tahun lalu meningkat menjadi 210 cerai gugat maupun cerai talak akibat adanya tindak KDRT. Dampak negatif dari perceraian yaitu beberapa tahun setelah perceraian dalam membuat anak tetap bisa menyimpan rasa sedih dan rasa marah yang tidak dapat mereka ungkapkan dengan mudah, lalu akan berpengaruh ke prestasi belajar, kesulitan dalam penyesuaian sosial serta harga diri yang rendah. Selanjutnya besarnya dampak ini tergantung
dari
bagaimana
orangtua
menjalin
komunikasi
dengan
anak
tersebut.Sementara dampak positifnya yaitu anak korban perceraian bisa memiliki pengalaman traumatik dapat menjadikan anak menjadi tangguh, berkepribadian matang. Akan tetapi hal ini berbeda dengan anak yang mengalami kekerasan dari perceraian orangtuanya dimana anak bisa secara tidak langsung menjadi permodelan agresi verbal atau fisik yang mengajarkan bahwa perbedaan pendapat lebih dapat diselesaikan melalui konflik atau kekerasan dibandingkan diskusi sehingga mereka juga mengikuti cara orangtuanya dengan melakukan kekerasan dalam hubungan dating.Hal ini terjadi karena anak-anak dari keluarga dengan konflik tinggi yang disertai kekerasan mungkin tidak belajar keterampilan sosial seperti negosiasi dan kompromi yang sebenamya diperlukan ketika menjalin hubungan di masa dewasa awal (Amato, Laura, Alan, 1986). Kekerasan yang ia dapatkan bisa membuatnya menjadi orang yang takut untuk menjalin sebuah komitmen ke tahap yang lebh serius karena mereka takut mengalami perceraian dan kekerasan seperti yang dialami oleh orangtua mereka. Mereka juga bisa menjadi takut untuk berkorban dan cenderung untuk defensif dalam mengambil solusi karena mereka tidak ingin hubungan tersebut melukai diri mereka nantinya. Selain itu, mereka juga akan belajar bahwa dampak dari penyebab kekerasan rumah tangga tersebut seperti kaum wanita yang lebih lemah yang membuat seseorang akan berusaha untuk menjadi lebih dominan atau lebih mandiri agar tidak bisa disakiti atau diremehkan oleh
10
lawan jenisnya di dalam pernikahannya nanti (dalam Meerrim, 2008). METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk memahami fenomena yang ada di dalam penelitian ini secara mendalam.Pengambilan data dilakukan menggunakan wawancara dan observasi.Untuk pengujian keabsahan data, penguji menggunakan triangulasi sumber data dengan menggunakan informan yang merupakan orang terdekat dengan partisipan. Selain itu peneliti juga menggunakan member check dengan partisipan penelitian untuk memastikan kesesuaian data yang diperoleh dengan data yang diberikan oleh sumber informasi menanyakan kembali ke partisipan dalam jangka waktu enam bulan berikutnya.
Partisipan Penelitian Penelitian ini melibatkan dua orang dewasa yang berada dalam usia dewasa awal (20-30 tahun), dan berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya bercerai karena kekerasan rumah tangga serta individu tersebut sedang menjalin hubungan dating dengan lawan jenisnya. Partisipan dipilih secara purposive, berdasarkan kesesuaian karakteristik dengan tujuan penelitian dengan jumlah 2 orang. Partisipan pertama (P1) adalah seorang laki-laki berusia 24 tahun yang berdomisi di Solo, Jawa Tengah.Kedua orangtua dari partisipan bercerai sewaktu partisipan berada di SMA dikarenakan KDRT yaitu tidak diberikan nafkah atau mengalami kesulitan keuangan selama dua tahun lebih serta bapaknya yang memiliki selingkuhan dan sempat terjadi pertengkaran besar di dalam keluarganya. Masalah di dalam keluarganya sempat membuat perhatian di dalam lingkungan rumah ketika mamanya memergoki papanya berselingkuh hingga terjadi pertengkaran dan pemukulan antara mama, papa, dan selingkuhannya. Kejadian ini membuat ia menjadi tidak nyaman untuk sering berkumpul dengan pemuda di sekitar rumahnya. Ia memerlukan waktu sekitar dua hingga tiga tahun untuk bisa menerima perceraian dari kedua orangtuanya. Ia sempat mengalami hambatan ketika mau memperkenalkan pasangannya kepada orangtuanya yaitu mamanya, tetapi sembari beberapa kali pertemuan dan usaha akhirnya membuat mamanya bisa menerima pasangannya saat ini. Bahkan sering kali setiap pertengkaran di antara ia dan pasangannya melibatkan
11
mamanya sebagai pemberi solusi di antara mereka. Saat ini ia sedang menjalin hubungan hingga tahap pertunangan dengan pasangannya. Hambatan yang terjadi dalam kehidupannya adalah saat ini ia masih berkutat di dalam tugas akhir yang belum selesai sehingga ia belum bisa mencari pekerjaan dan belum bisa menikahi pasangannya tersebut. Partisipan kedua (P2) adalah seorang perempuan berusia 24 tahun yang berdomisili di Jakarta.Ia sudah harus mengalami perceraian orangtuanya di saat ia menempuh pendidikan di sekolah dasar. Perceraian diantara kedua orangtuanya terjadi karena mamanya yang selingkuh, suka pergi ke diskotik, papanya yang berjudi dan main perempuan, selain itu kedua orang tuanya yang berantem di depannya, hingga kekerasan rumah tangga yang terjadi diantara papa dan mamanya dan mamanya yang juga sering memukulinya sebagai pelampiasan kemarahan. Kejadian di masa kecilnya membuat ia tumbuh menjadi seorang wanita yang ingin melakukan semuanya sendiri dan tidak meminta bantuan orang lain. Ia juga cenderung diam dan tidak bercerita soal privasi kepada orang lain karena ia merasa sulit untuk bisa percaya dengan orang lain. Iapernah menjalin beberapa kali hubungan spesial dengan pasangannya. Tetapi iapernah mengalami pengalaman buruk ketika ditolak oleh keluarga pasangannya hanya karena ia berasal dari keluarga yang broken home. Hal ini membuatnya ingin membuktikan kepada orang lain dan pasangannya kelak kalau ia akan bisa sukses dan berdiri di kakinya sendiri sehingga orang dapat melihat dirinya saja tanpa harus melihat keluarganya. Namun sering kali ia merasa sedih karena ia merasa orangtuanya dan mantan pasangannya yang dulu yang sering menghancurkan impian yang ia buat untuk mereka. Saat ini ia sedang menjalin hubungan selama tujuh bulan dengan pasangannya yang sekarang. Ia merasa pasangannya sekarang adalah orang yang berbeda dengan pasangannya yang terdahulu dan ia berharap kalau pasangannya yang sekarang bisa menjadi pasangannya yang terakhir dan dapat menjalin hubungan yang serius hingga tahap yang berikutnya.
Analisis Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara melalui mendengarkan hasil rekaman lalu mengetik verbatim wawancara kata per kata. Peneliti
12
juga mengetik hasil observasi lapangan yang didapatkan saat pengambilan data berlangsung.Selanjutnya, dilakukan pengodean pada verbatim wawancara lalu dilakukan metode analisis data yaitu penentuan tema serta makna dibalik setiap kalimat yang diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal maupun non verbal.Makna tersebut ditambahkan pada bagian kiri verbatim.Setelah itu makna tersebut dikelompokkan menjadi tema-tema khusus yang berkaitan dengan variabel penelitian.Peneliti lalu mengelompokkan data berdasarkan tema dan membandingkan partisipan pertama, kedua.
HASIL
Terdapat beberapa tema hasil analisis data yaitu : penerimaan atas perceraian orangtua, dampak akan perceraian orangtua, komitmen dengan hubungan dan pasangan, problem solving dalam menghadapi masalah, persepsi mengenai pernikahan, persepsi mengenai perceraian, hambatan dalam hubungan bersama pasangan.
Penerimaan atas perceraian orangtua Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu
P1 Memerlukan waktu dua tahun.
P2 Masih tidak bisa menerima, bertanya, dan berharap bisa bersama.
Kedua partisipan awalnya sulit menerima akan perceraian kedua orangtuanya. P1 mengeluarkan reaksi kesedihan yang mendalam dan melakukan pelarian dengan mabuk, menjadi lebih sensitif dan emosional sehingga sering marah-marah sendiri, kurang tidur, serta stres karena memikirkan perceraian dari kedua orangtuanya. “...kadang jarang makan, sampai kurang tidur, sampai stress pun, sampai stress, mabuk sama teman-teman gitu pernah. Intinya pas waktu proses perceraian itu, saya itu sering marah-marah sendiri... ” Reaksi berbeda terjadi pada partisipan kedua dimana perceraian membuatnya menjadi lebih suka bermain game online, atau bermain keluar dan menjadi orang yang tidak mudah untuk percaya, termasuk terhadap kedua orangtuanya karena partisipan merasa kedua orangtuanya sudah tidak menyediakan tempat buat dirinya.
13
“Aku jadi gak bisa percaya, menurutku ehm mereka gak ada ambil andil sama sekali di hidupku... ” P1 melalui proses selama dua tahun untuk bisa menerima perceraian dari kedua orangtuanya. Hal ini menjadi lebih mudah karena ibunya menceritakan mengenai permasalahan dan keadaan keluarga mereka, serta ikut meminta saran yang terbaik, apakah harus bercerai atau tidak. Hal ini membuat dia ikut merasakan yang dirasakan oleh ibunya sehingga ikut mendukung apa yang akan diputuskan oleh ibunya. Walaupun akhirnya dia menjadi menyesal karena merasa tidak ada peningkatan didalam perekonomian, malah terjadi penurunan terhadap masing-masing keluarga baru dari kedua orangtuanya. Hal yang berbeda terjadi dengan P2 yang masih belum bisa menerima perceraian kedua orangtuanya dan masih mengharapkan orangtuanya untuk bisa kembali bersama lagi.Hal ini terjadi karena dia masih terus bertanya-tanya mengapa perceraian tersebut harus terjadi dan sebenamya masih mengharapkan kedua orangtuanya dapat bersatu lagi. Proses tersebut menjadi lebih sulit dikarenakan dia tidak diikutsertakan ataupun tidak mengetahui mengenai keadaan orangtuanya dan ibu partisipan juga tidak mau menjawab hingga saat ini mengapa perceraian tersebut harus terjadi.
Dampak akan perceraian kedua orangtuanya Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu P1
P2
Kondisi depresif, minder, menjauh Tinggal kelas, merasa asing dengan orang dari pegaulan
tuanya.
Lega melihat ibunya tidak lagi Senang karena tidak melihat orangtuanya bersedih dan tersakiti.
berantem dan mengalami kekerasan
Dampak dari perceraian terhadap P2 yaitu mengalami perasaan drop hingga lebih memilih untuk sering bermain diluar rumah daripada belajar sehingga tidak naik kelas sewaktu di SD. Hal ini terjadi karena dia merasa kalau orangtuanya sudah sibuk dengan keluarga mereka dan tidak ada tempat baginya diantara mereka karena ia merasa kalau orangtuanya tidak mengalami apa yang ia rasakan.
14
Hal yang berbeda dengan P1 dimana perceraian orangtuanya mengakibatkan perubahan sikap yang menjadi mudah marah dengan lingkungan sekitar.P1 juga menjadi menjauh dari pergaulannya karena merasa malu dengan perekonomian keluarganya yang menjadi menurun dan akibat peristiwa pertengkaran waktu dulu diantara kedua orangtuanya sehingga lebih suka tertutup dan tidak suka menceritakan mengenai masalah pribadi dengan kedua orangtuanya. “...sering marah-marah sendiri. Sampai kadang ada teman yang ajak bercanda, tanggapan saya itu malah gak senang gitu, saya malah bilang kamu nantangin saya gitu, malah saya yang ajak ribut gitu. ” Hal yang sama juga terjadi kepada P2 yang cenderung memilih diam ketika bersama dengan teman-temannya dan tidak suka untuk menceritakan menjadi hal pribadi kepada orang lain. Dari sisi hubungan dengan orangtua, P1 masih memiliki komunikasi yang dekat dengan ibunya dan ayahnya walaupun kedekatannya terhadap bapaknya lebih berkurang dibandingkan yang dulu. Sementara P2 malah merasa kalau kedua orangtuanya hanya menjadi beban dan hanya sekedar balas budi sehingga ia ingin segera melepaskan diri dari kedua orangtuanya karena dia merasa kalau dia sudah tidak ada tempat lagi di kehidupan kedua orangtuanya. “...ngomong sama mereka itu gak ada gunannya , menurutku mereka sudahseperti orang asing yang gak perlu tan tentang apa yang aku rasain, aku alami itu gak perlu tau.” Dampak lainnya yaitu mengenai hal keuangan dirasakan oleh P1 karena terlalu banyak uang yang dihabiskan ketika ada persoalan dan juga pengeluaran untuk mengurus perceraian sehingga akhirnya perekonomiannya menjadi menurun dan tidak kunjung membaik walaupun sudah memiliki pasangan yang baru. Kesulitan ekonomi yang dirasakan oleh dia membuat ia menjadi minder untuk bergaul dan membuat hambatan juga dalam hubungan dengan pasangannya saat ini. Dibalik semua dampak negatif yang ada, masih terdapat dampak positif dimana P2 merasa senang karena sudah tidak harus melihat kedua orangtuanya lagi berantem dan tidak harus lagi mengalami kekerasaan sedangkan P1 juga merasa lega karena melihat ibunya yang sudah tidak lagi bersedih dan tersakiti lagi.
15
Komitmen dengan hubungan dan pasangan Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu P1
P2
Komitmen Personal ↑
Komitmen Personal ↑
Komitmen Moral ↑
Komitmen Moral ↓
Komitmen Struktural ↑
Komitmen Struktural ↓
Dalam menjalin hubungan, awalnya P1 dan pasangannya saat ini merupakan selingkuhannya yang akhirnya dipilih karena P1 merasa kalau pasangannya merupakan orang yang tepat untuk dirinya. Dalam menjalani hubungan mereka, sempat terjadi masalah dimana terjadi pertengkaran dan membuatnya putus dengan pasangannya dan memilih cewek lain walaupun akhirnya dia kembali menjalin hubungan dengan pasangannya. Hal ini sempat membuat terjadi pertengkaran karena P1 yang berselingkuh.Tetapi akhirnya masalah menjadi terselesaikan karena bantuan dari ibunya yang ikut menjadi penengah.Setelah tiga tahun akhirnya hubungan yang dijalani menjadi berkembang dan mengenal kedua orang tuanya hingga akhirnya muncul rasa ingin berkomitmen ke tahap yang lebih tinggi yaitu pertunangan. Hal yang berbeda terjadi pada P2 yang sudah lama berteman dulu sebelum akhirnya menjalin hubungan dengan pasangannya.Selain itu, pasangannya sudah banyak melakukan pengorbanan dan penantian di awal dari hubungan mereka. Menurut P2, penting untuk adanya sebuah komitmen dalam hubungannya agar mengetahui tujuan dari membangun hubungan tersebut. Saat ini dia menjalani hubungan jarak jauh dengan pasangannya dan mereka menjalaninya dengan kunci kepercayaan dan komunikasi diantara keduanya. Selain itu dia juga menerapkan prinsip timbal balik yaitu ia akan melakukan apa aja yang dilakukan juga oleh pasangannya tersebut. “...kalau kamu boleh jalan sama teman cewekmu, berarti aku juga boleh.” P2 merasa tertarik untuk menjalin hubungan dengan pasangannya karena ia merasa kalau pasangannya adalah pendengar yang baik di saat dia memiliki masalah maka ia akan menghibur, menyemangati, menemani, dan mencari solusi mereka. Selain itu pasangannya juga selalu menjaga komunikasi baik bertemu langsung ataupun menjalani LDR, pasangannya menunjukkan sikap dan perhatian yang sama.
16
Hal yang sama juga dirasakan oleh P1 juga tertarik dengan sifat pasangannya yang baik hati dan mengerti dia apa adanya dan juga merasa kalau pasangannya yang sekarang merupakan pasangan yang lebih baik hatinya dibandingkan yang dulu. P1 merasa puas dengan pasangannya saat ini dan merasa sudah mengenal pasangannya saat ini yang memiliki sifat yang baik dan telah menuntun hidupnya dan saling mengerti di saat susah dan senang bersama bersama seperti layaknya suami istri. P1 juga sudah merasakan kenyamanan dan klik dengan pasangannya. “Ya dari segi hubungan sudah lama, selain itu saya juga kan udah merasa nyaman, daripada nyari yang baru kan, mending yang lama ajalah, udah klik kan, jadi gak usah cari lagi lah, udah cukup.” Hal yang sama juga dirasakan oleh P2 yang merasa nyaman dan percaya dengan pasangannya untuk bisa menceritakan masalah pribadi yaitu mengenai keluarganya. “Karena ngerasanya nyaman sih sama dia... Kalau, jadi ya rasanya bedanya aja sama dia sih, jadi ya cerita sama dia.” Di dalam hubungan yang dijalani oleh P2 lebih banyak pasangannya yang melakukan pengorbanan seperti memutuskan pacamya untuk menunggu dia putus dari pasangannya, selain itu juga pengorbanan dari pasangannya untuk datang menemuinya untuk menyatakan cinta dan juga ketika orangtuanya sakit sehingga pasangannya menemani selama beberapa hari dan menguatkan dirinya untuk merasa yakin akan pasangannya yang saat ini. Menurut P2, pengorbanan yang dilakukan oleh pasangannya seperti datang untuk menyampaikan cinta merupakan sebuah tes yang dilakukan untuk menguji pasangannya. P2 merasa kalau sebuah tes itu penting didalam sebuah hubungan untuk bisa melihat apakah seseorang benar-benar sayang dan serius didalam hubungan yang telah dijalani. “...gak mungkin donk kalau orang benar-benar sayang, gak mungkin donk dia gak benar-benar datang, kalau dia gak serius ngapain dia datang.” Saat P2 sudah merasa yakin dengan pasangannya dan tidak ingin lagi mencari yang lainnya. “Seriusnya, ya kita sama-sama emang gak man cari yang lain. Udah ini aja yang terakhir.” Pengorbanan didalam hubungan juga dialami oleh P1 di saat orangtua yaitu ibunya tidak menyetujui hubungan dan pasangan yang telah dipilih oleh P1. Pada waktu
17
itu dia mengomunikasikan masalah ini dengan pasangannya dan meminta pasangannya untuk bekerja sama dan saling berkorban. Awalnya sempat ada keraguan dari pasangannya ketika mengetahui orangtuanya tidak setuju.Tetapi dia berusaha meyakinkan pasangannya dan mengatakan kalau mereka sudah berpacaran cukup lama dan saat ini mereka hanya harus mencari jalan keluar untuk masalah ini. “Kita itu kan pacaran udah lumayan lama kan, jadi intinya kita itu kan harus kerja sama biar hati, eh ya intinya kerja sama biar untuk membuka hati orangtua saya kayak gitu.” Pasangan P1 melakukan pengorbanan dengan merendahkan hatinya untuk mau membuka diri terhadap orangtua dari partisipan dan berusaha menunjukkan kalau pasangannya memang merupakan orang yang baik dan tepat untuk partisipan sehingga orangtuanya dapat mengenali sifat pasangannya dan akhirnya setuju dengan hubungan yang dijalani.P1 sendiri juga melakukan pengorbanan dengan bersikap diam dengan orangtua sampai tidak diberikan keuangan sampai akhirnya berusaha untuk mengenalkan pasangannya kepada orangtuanya.
Problem solvingdalam menghadapi masalah Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu P1 Mengalah,
menyelesaikan
P2 tanpa Diam dan memendam.
kekerasan Orangtua sering menasehati, membantu
Tidak melibatkan orang lain dalam masalah atau mencari solusi.
Dalam menyelesaikan masalah, P2 cenderung diam dan menyimpan masalahnya sendiri serta tidak melibatkan orang lain daripada harus mengungkapkan perasaannya karena P2 tidak percaya pada orang lain sehingga P2 cenderung menjaga jarak dengan orang yang berselisih paham dengannya. Dalam menjalani hubungan, P2 juga cenderung tidak suka menunjukkan sikap kalau ia marah dan hanya diam saja dan menjawab tidak ada apa-apa ketika ditanya. P2 lebih suka diam dan memendam apa yang ia rasakan karena ia merasa belum tentu orang merasakan apa yang ia rasakan dan mengerti bagaimana rasanya berada di posisi seperti dirinya seperti yang dilakukan oleh orangtuanya semenjak mereka bercerai.
18
“...Jadi selama ini kadang menurutku buat apa diceritain ke orang lain kalau orang lainnya belum benar-benar, belum benar-benar berada di posisiku jadi mereka gak kan belum tentu mengerti.” P2 memiliki pasangan yang cenderungakan membujuk ketika masalah terjadi yang membuatnya menjadi diam atau marah dan akhirnya dia akan mencarikan solusi untuk masalah yang sedang terjadi. Ketika masalah tersebut sudah berlalu, maka P2 cenderung menghindari karena tidak ingin membahas masalah yang telah lewat. Apapun masalah yang terjadi di dalam hubungan P2 dan pasangannya, mereka berusaha untuk tidak melibatkan orang lain dalam masalah ataupun mencari solusi, sehingga hanya mereka berdua saja yang menjalani hubungan tersebut dan mencari penyelesaian dari setiap masalah yang ada. Hal ini berbeda dengan P1 yang lebih suka untuk mengalah daripada bertengkar atau memiliki masalah dengan orang lain. Menurut P1, akan lebih baik ketika bisa menyelesaikan masalah tanpa harus menggunakan kekerasan, menantang, atau menghadapi orang yang bermasalah dengannya atau menghindari dan dibawa tidur. Sikap ini juga diterapkan oleh P1 dalam menjalin hubungan dengan pasangannya, di saat dia merasa kalau pasangannya berubah dan menjadi lebih mengatur kendali dan perhitungan mengenai keuangan, P1 akan cenderung mengomunikasikan setiap masalah yang terjadi dan cenderung mengalah karena pasangannya memberikan alasan untuk kebaikan dari hubungan mereka. Dia juga akan berusaha untuk jujur terhadap apa yang ia rasakan, atau masalah yang terjadi di dalam hubungannya. Hal ini cenderung beberapa kali dilakukan saat menghadapi masalah dengan orangtua maupun ketika putus dan sempat menjalin kasih dengan orang lain yang akhirnya kembali memilih pasangannya yang sekarang. Selain itu P1 sering melibatkan orangtua yaitu ibunya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi diantara P1 dan pasangannya.Ibunya sering menasehatinya untuk tidak menyakiti hati pasangannya dan selalu berusaha untuk menjaga hubungan yang telah terjalin dan juga dengan keluarga pasangannya dan jangan pernah mengulangi kesalahan dari bapaknya yang melakukan perselingkuhan sehingga P1 selalu berusaha untuk menjaga hubungannya dan merasakan rasa takut kalau harus mengkhianati pasangannya. “...nak, saya sendiri kan sudah pernah mengalami yang namanya cerai, jadi jangan sampai kalian itu putus gara-gara hal sepele kayak gini. Jangan
19
mengulangi keadaan seperti saya ini...” Persepsi mengenai pernikahan Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu P1
P2
Takut tidak bisa memenuhi kebutuhan Masih takut mendengar pernikahan, tetapi meyakini kalau rejeki akan datang tidak dengan sendirinya.
ingin
membahas
pernikahan
kecuali dia yang pertama membahas.
Mengenai pernikahan, P1 sudah mencapai tahap pertunangan dengan pasangannya dan ingin segera melanjutkan ke jenjang yang lebih serius serta membangun bisnis keluarganya yang nantinya akan menjadi bisnis bersama. P1 sudah mengenal lebih jauh masing-masing keluarga sudah menganggapnya seperti keluarga dan sudah merasa nyaman karena dia senang dengan keluarga pasangannya yang baik, sopan santun dan bisa menghargai orang lain. Terkadang P1 sering merasa down dan tidak fokus karena ia takut kalau nantinya sebagai seorang kepala keluarga tidak bisa memberikan penghasilan dan tidak bisa membahagiakan orangtuanya dan pasangannya. Walaupun terdapat perasaan takut, tetapi dia meyakini akan kepercayaan yang terdapat di masyarakat kalau rejeki akan datang dengan sendirinya ketika masuk ke dalam sebuah pernikahan tanpa harus memikirkan mengenai hari esok. Hal ini berbeda dengan P2 yang masih takut untuk mendengar kata pernikahan dan cenderung diam setiap temannya bertanya mengenai pernikahan. Dia juga memberitahu hal ini kepada pasangannya dan mereka akan cenderung untuk tidak membahas pernikahan kecuali P2 yang memulainya. Saat ini dia mulai merasa nyaman dengan pasangannya dan rasa takutnya perlahan mulai hilang. “...itu agak menakutkan, kalau sama dia, dia gak bahas, dia baru akan bakal ngebahas kalau aku yang bahas, jadi aku ya rasanya nyaman sih sama dia. Udah mulai pelan-pelan takutnya hilang.” Perasaan takut tersebut muncul karena melihat orangtuanya yang gampang memutuskan untuk menikah dan menganggap pernikahan itu gampang tetapi berakhir dengan perceraian. Selain itu P2 pernah memiliki pengalaman ketika putus dengan pasangannya terdahulu karena keluarganya tidak setuju dengan dirinya yang berasal dari keluarga yang
20
bercerai dan takut kalau akan menurun ke keturunannya nanti.
“...orangtuanya gak setuju sama aku karena akunya broken home. Itu benarbenar memukul banget yah karena akunya, memang sih untuk rata-rata orang broken home itu adalah sesuatu yang, apa ya, menurut mereka orang tua yang broken home yang sifatnya jelek, pasti akan nurun ke anaknya... ” Menurut
P2,
pernikahan
adalah
sesuatu
yang
tidak
mudah
karena
menggabungkan dua keluarga menjadi satu, sehingga dia tidak akan berkata mengenai pernikahan sebelum dia menjadi orang yang sukses dan bisa menunjukkan kalau dia berbeda dengan kedua orangtuanya yang telah bercerai. Ini membuat P2 belum berani untuk memperkenalkan diri kepada keluarga pasangannya karena merasa belum saatnya dan takut kalau orangtua dari pasangannya tidak bisa menerima dirinya apa adanya yang berasal dari keluarga yang bercerai.
Persepsi mengenai perceraian Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu P1
P2
Percerian hanya merugiakan anak dan Perceraian adalah jalan keluar untuk membuat kesulitan ekonomi.
suami istri yang tidak bisa saling berbagi dan saling menghargai.
Mengenai perceraian, P2 memiliki pemikiran ketika sepasang suami istri yang tidak bisa saling berbagi dan saling menghargai, mungkin perceraian adalah jalan keluar yang terbaik untuk hubungan tersebut.Selain itu, sebagai suami harus bisa menghargai istrinya yang telah berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik karena hal itu bukan merupakan sebuah pekerjaan yang mudah dan tidak seharusnya seorang suami yang baik itu memukul istrinya. P2 sendiri sering mengalami kekerasaan yang dilakukan oleh ibunya terhadap dirinya dan P2 juga melihat ibunya yang sering terkena tindakan kekerasan olehayahnya. Hal ini membuatnya memiliki prinsip untuk melakukan segala sesuatu sendiri dan tidak bergantung dengan orang lain sehingga bisa lebih dihargai oleh orang lain. “Jadi orang lain yang lebih menghargai karena aku nsaha sendiri, gakbergantung sama orang lain.”
21
Selain itu kekerasan yang terjadi dalam keluarganya juga membuat P2 merasa takut kalau nantinya akan mendapatkan kekerasan juga bersama pasangannya ketika menikah nanti tetapi P2 cenderung akan bersikap tegas untuk melaporkan tindak kekerasan tersebut apabila sampai terjadi. “...kalau pacaran sama married itu beda. Nah takutnya pacaran itu begini,istilah nanti eh dianya malah mukul...” Dampak dari kekerasan yang dialami oleh dirinya akibat perlakuan dari ibunya membuatnya tidak akan melakukan hal tersebut kepada anaknya kelak karena P2 menganggap kalau seorang anak kecil itu cukup untuk diberitahu dan diajarkan, tanpa harus memakai kekerasaan karena itu rasanya akan sakit. Berbeda dengan P2, Ibu dari partisipan PI sendiri juga sering memberikan nasehat dan perumpamaan mengenai sebuah pernikahan yang pasti akan ada persoalan tetapi ibunya berharap kalau anaknya tidak mengulangi kesalahan seperti yang telah diperbuat oleh kedua orangtuanya sehingga hal ini dijadikan pelajaran olehnya untuk tidak mengulangi apa yang telah terjadi dalam keluarganya. “Ya intinya, orangtua saya itu selalu memberikan nasehat kepada sayalah,jangan mengulangin kesalahan yang saya lakukan dulu sampai bercerai.” Sementara P1 menganggap kalau perceraian itu hanya akan merugikan anak dan membuat kesulitan ekonomi setelah dari perceraian tersebut yang nantinya juga akan berdampak pada anak, mengingat biaya dari perceraian yang menghabiskan uang yang tidak sedikit. Pasangan dari P1 juga memiliki sikap yang sama untuk tidak menyukai perceraian di dalam rumah tangga.
Hambatan dalam hubungan bersama pasangan Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu P1 Belum lulus dan belum bekerja.
P2 Perbedaan visi misi ke depan
Bingung untuk menentukan wali dalam Adanya trauma mengenai visi misi dan pernikahan
mimpi bersama pasangan.
Hambatan yang dialami oleh P1 dalam hubungan bersama dengan pasangannya yaitu P1 belum lulus dari perkuliahan yang membuatnya belum bisa untuk lanjut ke
22
jenjang berikutnya bersama dengan pasangannya. Hal ini membuatnya terkadangbingung dan buntu karena belum bisa memikirkan mengenai nanti kedepannya.Tetapi dia berusaha untuk mengatasi hambatan ini dengan meyakinkan pasangannya kalau P1 serius dengan hubungan yang telah dijalani sehingga diharapkan untuk bisa bersabar untuknya hingga bekerja untuk bisa menafkahi keluarganya nanti. Hambatan lainnya yaitu kebingungan untuk menentukan wali didalam pernikahan P1 dan pasangannya, mengingat kedua orangtua baik ayah tiri ataupun ayah kandung merupakan orang yang punya andil masing-masing sementara keduanya memiliki hubungan yang tidak harmonis. “Bapak saya tiri sama bapak saya kandung itu sampai sekarang itu belum bisa baikan lho, belum pernah ketemuan, kalau ketemuan itu bisa gelut, bisa bertengkar.Saya bingungnya sampai sekarang itu disitu tadi.” Berbeda dengan P1, P2 cenderung memiliki hambatan selain dari ketakutan untuk mendengar kata pernikahan yang perlahan mulai menghilang. Selain itu P2 juga memiliki perbedaan pendapat mengenai visi dan misi kedepan dimana dia ingin membuat rencana masa depannya sendiri tanpa berpegang pada orang lain karena P2 memiliki rasa ketakutan kalau impiannya akan kembali dihancurkan sama seperti kedua orangtuanya dan seperti pasangannya yang terdahulu. “...tetapi ternyata malah mereka gak mendukung, malah mereka sendiri yang menghancurkan.” Walaupun pasangannya mencoba untuk meyakinkan, tetapi P2 tetap merasa hal itu perlu untuk menjadi patokan bagi dirinya agar tahu harus melakukan apa untuk visi misi kedepannya nanti.
PEMBAHASAN
Kedua partisipan sama-sama memiliki dampak akan perceraian kedua orangtuanya perasaan stres, sedih, tertekan ketika pertama kali mengetahui perceraian kedua orangtuanya. Kondisi depresif ini ditunjukkan melalui perilaku tidak nafsu makan, lebih mudah untuk emosi atau marah, minder dan menjauh dari lingkungan sekitar serta mencari pelarian untuk perasaan yang dialami, seperti mabuk ataupun bermain game online. Perasaan akan kesepian juga sering kali dialihkan menjadi mencari pergaulan lain dengan lebih senang bermain dan akhirnya tidak terlalu fokus terhadap pendidikan yang
23
sedang dijalani. Konsisten dengan hasil penelitian oleh Ulpatusalicha (2009) mengenai dampak perceraian terhadap anak hasil korban perceraian yang akhirnya mengalami ketidakstabilan emosi yang membuat menjadi minder, kurang percaya diri, dan terkadang melampiaskannya dengan melakukan hal yang berlawanan dengan peraturan yang ada di sekitar mereka. Hal ini juga sejalan dengan penelitian oleh Huurre, Hanna, & Hillevi (2006) dimana juga ditemukan bahwa anak yang merupakan korban dari keluarga yang bercerai akan cenderung memiliki teman dekat yang sedikit yang dapat membantu mereka karena mereka akan cenderung untuk menutup diri mereka dan tidak suka membicarakan mengenai hal pribadi. Akan tetapi terdapat perbedaan diantara kedua partisipan dalam hal menjalin hubungan
dengan
pasangannya.Hal
ini
terlihat
dari
persepsi
mengenai
pernikahan diantara kedua partisipan. Satu partisipan cenderung takut akan kata pernikahan dan juga perceraian dalam hubungan yang sedang dijalani. Sementara partisipan yang lainnya cenderung bersikap netral akan hubungan yang sedang dijalani. Hal yang berbeda ini terjadi mungkin bisa dilihat dari perbedaan adanya hubungan yang baik dengan kedua orangtua (Richardson & Marita, 2001). Karena hal tersebut juga yang membuat adanya perbedaan penerimaan atas perceraian orangtua dimana partisipan yang memiliki hubungan yang baik dengan kedua orangtua sudah bisa menerima perceraian orangtua dan hanya memerlukan waktu dua tahun untuk melewati proses yang sulit sementara partisipan yang satu hingga saat ini masih belum bisa menerima dan terkadang masih berharap kalau kedua orangtuanya bisa tetap bersama. Hal ini membuatnya mengalami hubungan yang buruk dan bahkan menganggap kedua orangtuanya merupakan orang yang asing. Perbedaan dari sisi hubungan baik yang masih terjalin antara anak dan kedua orangtua, serta proses perceraian yang melibatkan pendapat dari sang anak bisa merupakan faktor penting yang membedakan mengenai reaksi didalam hubungan bersama dengan pasangan saat ini. Akan tetapi, sama-sama terlihat persepsi mengenai perceraian dimana adanya ketakutan dari kedua partisipan untuk penyebab dari perceraian kedua orangtuanya tersebut.Di satu sisi, penyebab dari sisi keuangan serta perselingkuhan, membuat partisipan juga merasa takut kalau nantinya tidak bisa membahagiakan
pasangannya
dan
orangtuanya.Serta adanya
ketakutan
untuk
24
berselingkuh ataupun mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh kedua orangtuanya. Selain itu penyebab perceraian yang disertai oleh kekerasaan rumah tangga juga membuat partisipan menjadi takut kalau ia akan menghadapi pernikahan yang nantinya juga akan mengalami hal yang serupa seperti yang dialami oleh kedua orangtuanya. Hal ini diakibatkan karena dewasa awal dari kedua orangtua yang bercerai akan lebih mungkin untuk mengingat pesan yang lebih negatif daripada positif dari orangtua mereka (Weigel, dalam Arizqa, Wisnu, 2004). Dampak perceraian yang lebih kompleks terlihat ketika ada faktor kekerasan didalamnya ntah itu secara fisik, psikologis, seksual maupun penelataran ekonomi (Putri, 2008). Hal ini akan membawa pengaruh yang buruk terhadap anak yang pernahmengalami kekerasaan khususnya fisik karena rasa sakit yang didapatkan oleh anak tersebut akan membuatnya memiliki prinsip sendiri yang merupakan benteng bagi dirinya agar tidak mengalami hal yang serupa seperti kedua orangtuanya, seperti misalnya ingin melakukan semuanya sendiri dan tidak ingin bergantung dengan orang lain agar bisa dihargai oleh orang lain. Prinsip yang dipegang teguh oleh ini akan bisa menimbulkan konflik yang tinggi karena kurangnya keterampilan sosial seperti negosiasi dan kompromi (Amato, Laura, Alan, 1995), tetapi lebih cenderung untuk mempertahankan prinsipnya dan akhirnya membuat pasangannya yang harus lebih banyak mengalah di dalam hubungan yang sedang dijalani tersebut. Dampak yang dirasakan ini pun akan berdampak ketika seseorang menjalin komitmen dengan pasangannya di kemudian hari. Dewasa awal yang berasal dari keluarga yang bercerai akan cenderung merasa senang ketika mereka akhirnyamendapatkan seseorang yang mereka merasa tertarik oleh sifat dan sikap pasangannya dan identitas hubungan yang sedang dijalani (menurut Kuhn & McPartland, dalam Johnson, dkk 1999). Kuatnya daya tarik yang dirasakan oleh seseorang terhadap pasangannya akan menentukan seberapa besar rasa ia ingin bertahan dan berkomitmen terhadap hubungan yang sedang dijalani. Hal ini terlihat dari kedua partisipan yang sudah merasa yakin dan mantap dengan pilihan mereka saat ini, berkomitmen dan tidak ingin mencari yang lain lagi serta berharap pasangan mereka saat ini adalah pasangan mereka yang terakhir. Kedua partisipan sama-sama merasakan kepuasan terhadap hubungan yang sedang dijalani dan merasa sudah menemukan orang yang terbaik dibandingkan oleh pasangan mereka yang terdahulu dimana pasangan mereka yang sekarang
25
merupakan pasangan yang bisa menerima diri mereka apa adanya, memiliki sifat menuntun hidup mereka, melindungi, dan membuat mereka merasa nyaman dan percaya untuk menceritakan setiap persoalan pribadi yang mereka rasakan. Mengenai komitmen moral, terdapat perbedaan diantara partisipan yang satu lebih memiliki komitmen moral dibandingkan partisipan yang lainnya.Hal ini terlihat dari komitmen yang dibangun sudah mencapai tahap pertunangan yang membuat partisipan secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap pasangannya saat ini sehingga partisipan memiliki beban secara moral untuk harus mengatasi hambatan yang ada agar dapat naik ke jenjang yang lebih serius lagi. Sementara partisipan yang satunya sering mengalami hal yang menyakitkan dengan pasangan yang sebelumnya seperti impian yang telah dihancurkan serta trauma akibat orangtua yang tidak mengijinkan membuat partisipan menjadi ragu untuk menaruh visi misi bersama dan saling bertanggung jawab dan mengambil jalan tengah yaitu menjalani semuanya seperti biasa dahulu. Hal ini dilakukan karena partisipan takut kalau hal yang dulu ia lakukan dengan menaruh impian terhadap orang lain dan akhirnya tidak mendapatkan balasan dan membuat dirinya harus merasa terluka seperti yang dilakukan oleh kedua orangtuanya juga. Hal ini juga dikatakan oleh pasangan P2 yang mengatakan bahwa ia tidak ingin memaksa P2 untuk membahas lebih banyak mengenai pernikahan karena P2 masih merasakan takut untuk menjalani hingga ke tahap tersebut hingga untuk saat ini merasa belum saling mengenai keluarga masing- masing pihak karena adanya rasa takut dan trauma atas peristiwa yang pernah terjadi. Selain itu hambatan dalam hubungan juga dirasakan oleh P1yang walaupun sudah mencapai tahap pertunangan tetapi hambatan dalam hubungan mereka membuat P1 sulit untuk melanjutkan ke tahap yang lebih tinggi.Hal ini juga dikemukakan oleh pasangan P1 yang sebenarnya mengkhawatirkan mengenai P1 yang masih belum selesai berkuliah, belum bekerja, dan masih takut kalau tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka nanti serta belum adanya biaya untuk mempersiapkan sebuah pesta pernikahan.Selain itu konflik internal keluarga membuat P1 dan pasangannya bingung untuk menentukan wali di pernikahan mereka.Tetapi pasangan P1 mencoba untuk memahami danmenunggu mengingat banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan dan lamanya hubungan yang telah di bangun selama ini. Lalu jika dilihat dari sisi komitmen struktural maka terdapat kesamaan dari kedua
26
partisipan dimana pasangan mereka merupakan pihak yang lebih banyak berinvestasi atau
melakukan
pengorbanan
di
dalam
hubungan
yang
sedang
mereka
jalani.Pengorbanan baik dalam hal pembuktian rasa sayang, ataupun menunjukkan keseriusan kepada orangtua, serta pengorbanan untuk mengalah ketika sedang berkonflik membuat hubungan yang ada menjadi lebih berkomitmen. Faktor dari keterlibatan orangtua di dalam hubungan merupakan faktor yang penting didalam komitmen struktural dimana ketika salah satu partisipan sering melibatkan orangtua dalam menyelesaikan setiap permasalahan, maka akan semakin kuat pihak yang tidak setuju jikalau hubungan komitmen yang sudah terjalin harus berakhir. Ditambah lagi dengan pengalaman akan perceraian orangtua membuat tanggapan orang dari lingkungan sekitar lebih memperingatkan dan memberikan nasehat agar hal tersebut tidak terjadi lagi. Tetapi hal yang berbeda bisa terjadi ketika pihak orang yang ada didalam komitmen yaitu orangtua menjadi pihak yang tidak setuju dikarenakan pandangan mengenai anak yang berasal dari keluarga yang bercerai itu tidak baik, maka hal ini akan menjadi hambatan untuk bisa melanjutkan komitmen yang sedang dijalani seperti yang pernah dialami oleh salah satu partisipan yang lainnya. Hal ini terkadang membuat seorang anak dari keluarga yang bercerai akan berusaha untuk sukses dan lepas dari sosok kedua orangtuanya agar orang-orang dapat melihat diri mereka sendiri yang berbeda daripada kedua orangtuanya tersebut. Apapun yang terjadi ketiga komitmen ini saling berhubungan dan memberikan andil satu sama lainnya. Ketika seseorang mereka yakin dan puas akan sebuah hubungan maka akan tercipta rasa kebergantungan terhadap hubungan dan membuat semakin sedikitnya altematif untuk membuat komitmen harus berakhir. Pengalaman yang pernah dirasakan dari keluarga yang bercerai akan membuat seseorang menjadi lebih berpikir lagi berkomitmen untuk menikah karena mereka sudah mengetahui dampak yang terjadi baik dari sisi finansial, psikologis, maupun fisik apabila ada kekerasan didalamnya.
KESIMPULAN
Jika dilihat dari hasil penelitian yang didapatkan, masing-masing merasakan dampak negatif dari perceraian kedua orangtua mereka, tetapi terdapat beberapa perubahan ketika masih adanya hubungan yang harmonis dan adanya usaha untuk tetap
27
berinteraksi antara anak dan kedua orangtuanya yang dapat meminimalisir dampak negatif yang terjadi akibat dari perceraian kedua orangtua sementara yang satu masih mengganggap orangtuanya adalah orang asing. Selain itu dampak yang ditimbulkan dari perceraian masing-masing memiliki dampak dan ingatan yang buruk dan membekas bagi mereka di saat mereka sedang berkomitmen dalam suatu hubungan dengan orang lain. Ketakutan akan penyebab perceraian kedua orangtua membuat dewasa awal menjadi lebih berhati-hati lagi untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh kedua orangtua mereka terdahulu. Walaupun ada dampak negatif, apabila dewasa awal mendapatkan hubungan yang berkualitas dan pasangan yang berkomitmen serta adanya daya tarik, kepuasan terhadap hubungan, dan pengorbanan yang telah dikeluarkan selama hubungan maka akan membantu dewasa awal untuk melanjutkan komitmen untuk menikah dengan pasangannya saat ini. Ketiga komitmen yaitu personal, moral, dan struktural merupakan komitmen yang saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain dalam seseorang menjalin komitmen dengan orang lain. Terdapat adanya perbedaan yaitu salah satunya komitmen struktural. Ketika sebuah hubungan berjalan dengan adanya campur tangan dari orangtua yang bercerai maka akan cenderung untuk tidak menginginkan anaknya melakukan kesalahan yang sama dan menjadi penengah atau memberikan nasehat di dalam hubungan yang sedang dijalani. Sementara ketika orangtua pasangan tidak bisa menerima dewasa awal yang berasal dari orangtua yang bercerai, maka hal ini akan menjadi hambatan yang perlu untuk diselesaikan untuk bisa membuktikan bahwa tidak semua dewasa awal yang berasal dari keluarga yang bercerai itu memiliki sifat yang buruk seperti citra yang selama ini ada.
SARAN
Melalui penelitian ini diharapkan bagi partisipan untuk dapat mencari bantuan profesional untuk bisa menerima perceraian yang terjadi di antara kedua orangtuanya serta dapat mengatasi hambatan yang ada didalam hubungan mereka, baik secara finansial maupun secara rasa takut untuk membuat komitmen dengan pasangannya. Bagi pihak keluarga, penting untuk tetap menjelaskan apa yang membuat perceraian tersebut
28
terjadi dan penting untuk bisa tetap menjalin hubungan yang baik walaupun akhirnya memiliki keluarga yang baru. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan agar mengkaji lebih lanjut mengenai dukungan support orangtua terhadap dampak perceraian orangtua mengingat adanya perbedaan ketika adanya support dan dukungan orangtua dan tidak adanya dukungan dari kedua orangtua ketika perceraian tersebut terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Amelia, A.T. (2008). Strategi Koping Anak dalam Menghadapi Stres Pasca Trauma Akibat Perceraian Orang Tua. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta:Fakultas Psikologi UMS. Amato, P. R., Laura, S. L., & Alan, B. (1995). Parental divorce, marital conflict, andoffspring well-being during early adulthood. Social Forces, 73, 895-915. Andi, M. (1983). Psikologi orang dewasa. Surabaya: Usaha Nasional. Arizqa, D.P., & Wisnu, S.H. (2011). Kepribadian dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua. Surakarta: Universitas Muhammadiyah. Brooks, J. (2011). The process of parenting. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Doordrje, D.T. (2010). Kekerasan dalam rumah perceraian. Universitas Sam Ratulangi: iYlanado.
tangga
sebagai
alasan
Gross, R. (2013). Psychology: the science of mind and behaviour. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Hurlock, E. B. (2002). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Hetherington, E.M. (2003). Social Support And The Adjustment Of Childern In Divorced And Remarried Families. Childhood 10: 217-236. Huurre, T., & Hanna, J., Hillevi, A. (2006). Long-term psychosocial effects of parental divorce: A follow-up study from adolescence to adulthood. European Archives Psychiatry and Clinical Nueuroscience, 256, 256-263. Johnson, M. P. (in press). Personal, moral and structural commitment to relationships: Experiences of choice and constraint. In W. H. Jones & J. M. Adams (Eds.), Handbook of interpersonal commitment and relationship stability. New York: Plenum.
29
Ihromi, T. O. (2004). Bunga rampai sosiologi keluarga. Jakarta: Yayasan Obor. Johnson, M. P., & John P.C.,; Ted L. Huston. (1999). The tripartite nature of marital commitment personal, moral, and structural reasons to stay married. Journal of Marriage and the Family, 61, 160-177. Margiantari., Heru, & B., Novia, M. (2012). Persepsi terhadap perkawinan pada dewasa muda yang mengalami perceraian. Skripsi yang tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma. Merrim, I. (2008). Persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai. Skripsi (yang tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2005). Human Development (9th Ed). New York: McGrawHill. Putri, L. S. D. (2008). Fungsi hukum pidana dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak. Skripsi (yang tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Rasjidi, L. (1991). Hukum perkawinan dan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
perceraian
di
Malaysia
dan
Richardson, S., & Marita, P.M. (2001). Parental divorce during adolescence and adjustment in early adulthood. San Diego: Libra Publishers. Rusbult, C. E., John, M. M., Christopher, R. A. (1998). The investment model scale: measuring commitment level, satisfaction level, quality of alternatives, and investment size. Personal Relationships, 5, 357-391. Saeroni. (2013). Tantangan dan peluang pengintegrasian UU penghapusan kekerasan rumah tangga dalam sistem peradilan agama di Indonesia. Diakses dari http://saeroni.wordpress.com/2013/Q4/16/tantangan-dan-peluang-penginteg rasian-uu-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-dalam-sistemperadilan-agama-di-indonesia/ pada tanggal 9 September 2013. Sager, K. (2009). Effect of Parental Divorce on Adult Children’s Romantic Journal of Pychology. Vol. 3 Santrock, John W. (2003). Adolescence : perkembangan remaja (Edisi Keenam). Jakarta: Erlangga. Ulpatusalicha. (2009). Dampak perceraian orang tua terhadap perkembangan emosional anak (studi kasus di desa Pangauban Kec. Lekea Indramayu). Skripsiyang tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga.