MOTIVASI MAHASISWA UNTUK MENIKAH PADA MASA STUDI (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Motivasi Mahasiswa Muslim S1- Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta Untuk Menikah Pada Masa Studi)
SKRIPSI Dibawah Bimbingan Ahmad Zuber, S.Sos, DEA Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Kesarjanaan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi
Disusun Oleh :
Muhsin Burhani D0303042
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN
Disetujui oleh Dosen Pembimbing Untuk Dipertahankan Dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing
AHMAD ZUBER, S.Sos, DEA NIP. 132 206 591
PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari
: Sabtu
Tanggal
: 19 April 2008
Panitia Ujian Skripsi :
1. Drs, Bambang Wiratsasongko NIP. 131 124 615
(……………………………..) Ketua
2. Drs. Bambang Santoso NIP. 130 283 607
(……………………………. ) Sekretaris
3. Ahmad Zuber, S.Sos, DEA NIP. 132 206 591
(……………………………..) Penguji
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
Dekan,
Drs. H. Supriyadi SN., SU NIP. 130 936 617
MOTTO
· Sesungguhnya
sesudah
kesulitan
akan
datang
kemudahan
(Al Insyiroh : 6) · Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan menfaat bagi manusia (Al Hadits) · Perkawinan adalah salah satu sunnahku. Barangsiapa tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk umatku (Al Hadits) · Sebaiknya kita berdoa kepada Allah untuk sesuatu yang kita sukai, namun apabila yang kita sukai itu ternyata Allah tidak mengkabulkan kita harus meninggalkan yang kita sukai itu kita mestinya mengalihkan pilihan dan keridlaan kita kepada Allah dan jangan pernah menentang apa yang Allah sukai (Ulama) · Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus (Thomas Carlyle) · Hidup adalah sebuah pilihan yang dalam setiap perjalanannya ada rintangan dan hambatan serta menyulitkan tetapi hidup harus terus berjalan karena kita sudah terlanjur hidup (Penulis)
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini aku persembahkan untuk :
Bapak dan Ibu. Sungguh karya ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cucuran keringat, air mata dan segenap keikhlasan yang engkau berikan dalam kasih sayang dan perhatianmu. Adik dan Kakakku. Hanya ucapan terima kasih yang bisa aku haturkan, sungguh segala dorongan dan pengertiaan yang engkau berikan selalu membuatku ingin seperti engkau. Almameterku Ini adalah sebuah episode hidup dalam perjalanan kita semua yang semestinya kita bersama memanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengkaji dan mendalami ilmu yang ada.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan petunjuk dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul : “MOTIVASI MAHASISWA UNTUK MENIKAH PADA MASA STUDI (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Motivasi Mahasiswa Muslim S1 Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta Untuk Menikah Pada Masa Studi)”. Skripsi ini disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan skripsi ini dalam prosesnya tidak lepas dari dukungan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya yang baik. Ucapan terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada : 1. Drs. H. Supriyadi SN., SU selaku Dekan FISIP UNS. 2. Dra.Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi FISIP UNS. 3. Ahmad Zuber, S.Sos, DEA selaku Dosen Pembimbing Skripsi ini yang dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, petunjuk dan motivasi dalam menyelesaikan Skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu atas jerih payahnya selama ini dalam memberikan bantuan moril dan materiil hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini.
5. Adik-adik dan Kakakku yang selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk dapat menyelesaikan Skripsi ini. 6. Teman-temanku : Erfan, Yoyok, Yusuf, Falah, Esti dan Niken yang selalu membantu setiap kesulitan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini khususnya, umumnya dalam menjalani kuliah 4,5 tahun ini hingga penulis merasa tidak berjalan sendirian. 7. Teman-teman Sosiologi 2003 yang sama-sama berjuang dalam rangka menyelesaikan kuliah. 8. Khusus teruntuk yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan cintanya untukku. Kita akan sampai pada tujuan kita… 9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam memberikan masukan serta pikiran sehingga dalam penulisan ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis membuka diri terhadap segala kritik maupun saran yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga Skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca semua. Wallahu a`lamu bi showab. Wassalam.
Boyolali,
Maret 2008
Penulis
ABSTRAKSI
Muhsin Burhani, D 03003042, “Motivasi Mahasiswa Untuk Menikah Pada Masa Studi, (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Motivasi Mahasiswa Muslim S1 Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta Untuk Menikah Pada Masa Studi)”, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008, 139 halaman. Penelitian ini berjudul “Motivasi Mahasiswa Untuk Menikah Pada Masa Studi, (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Motivasi Mahasiswa Muslim S1 Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta Untuk Menikah Pada Masa Studi)”. Peneliti tertarik untuk mengangkat tema ini karena hampir di setiap kampus terdapat mahasiswa-mahasiswi ada yang menikah pada masa studi. Tentunya, mahasiswa yang memutuskan menikah akan dihadapkan pada suatu kondisi dimana mereka seharusnya berkonsentrasi pada kegiatan akademiknya, karena statusnya sebagai mahasiswa harus dapat mengatur waktu, tenaga dan pikiran mereka juga harus berkonsentrasi mengurus keluarga. Dari fakta tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa dalam memutuskan atau melakukan tindakan berupa menikah pada masa studi tersebut tentunya memiliki alasan yang kuat, yang kemudian menjadi motivasi yang mendorong mereka untuk menikah pada masa studi. Di Universitas Sebelas Maret sendiri mahasiswa yang memutuskan menikah pada masa studi ada banyak, tetapi sampai saat ini belum ada data resmi dari pihak UNS secara pasti. Namun demikian peneliti berusaha menemukan informan yang dapat dijadikan sumber dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 5 orang, 3 orang mahasiswa dan 2 orang mahasiswi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Aksi dari Talcot Parsons dan teori Kapilaritas Sosial dari Arsene Dumont serta teori motivasi dari Psikologi. Teori motivasi, terutama dari Federick Herzberg mengenai teori Hygiene-Motivator dan A.H. Maslow mengenai teori Hierarki Kebutuhan Manusia. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik observasi dan indepth interview terhadap informan. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling. Strategi pengambilan sampel ini dimaksudkan untuk dapat menangkap/menggambarkan tema sentral dari penelitian ini melalui informasi yang saling mendukung dari berbagai tipe informan. Fokus dari penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang beragama Islam, mengambil S1-Reguler, yang masih aktif kuliah dan telah menikah pada masa studi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi terbagi menjadi dua kategori yang pembagiannya didasarkan pada teori Hygiene-Motivator, yaitu : 1) Motivasi yang berasal dari dalam diri mahasiswa (Intrinsik) 2) Motivasi yang datang dari luar diri mahasiswa (Ekstrinsik).
Motivasi yang berasal dari dalam diri mahasiswa atau motivasi intrinsik terlihat pada : a) Keinginan agar terhindar dari perbuatan dosa (zina) b) Merasa cukup umur dan telah wajib menikah c) Kecocokan dan saling membutuhkan d) Kebutuhan seksual e) Sebagai semangat hidup Sedangkan motivasi yang datang dari luar diri mahasiswa atau motivasi ekstrinsik terlihat pada : a) Adanya bimbingan dari orang lain b) Keluarga mendukung c) Keadaan Pada Diri Pasangan d) Lingkungan masyarakat setempat.
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………....... i HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………….......... ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………........ iii HALAMAN MOTTO ………………………………………………...….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………….……...……….. v KATA PENGANTAR ………………………………………...………….. vi DAFTAR ISI ……………………………………………..…………...….. viii DAFTAR TABEL …………………………………………..………...….. xi ABSTRAKSI …………………………………………….……………….. xii BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
A.
Latar Belakang Masalah ……………………..…….….….
1
B.
Perumusan Masalah ………………………………..….….
6
C.
Tujuan Penelitian …………………………..………….….
7
D.
Manfaat Penelitian ……………………………….........…
7
E.
Tinjauan Pustaka …………………………………..……..
7
1.
Motivasi …………………………………………..…..
2.
Mahasiswa …………………………………….….….. 13
3.
Menikah ………………………………………..….…. 17
F.
Landasan Teori …………………………………….…..… 22
G.
Kerangka Alur Pikir ……………………………………… 37
H.
Metode Penelitian ………………………………………… 40 1. Jenis Penelitian …………………..……………………. 40 2. Lokasi Penelitian ………………………………………. 40 3. Sumber Data ………………………………………...… 41
7
4. Teknik Pengambilan Data …………………………….. 41 5. Teknik Pengambilan Sampel ………………….……… 43 6. Validitas Data …………………………………………. 44 7. Teknik Analisis Data ………………………………..… 46 BAB II
DESKRIPSI LOKASI ………………………………….……… 48 A. Sejarah Berdirinya Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta………………………...
48 B. Visi, Misi dan Tujuan Universitas Sebelas Maret Surakarta ………….………….… 55 C. Kondisi Geografis dan Demografis Universitas Sebelas Maret Surakarta………………………. 57 BAB III KARAKTERISTIK INFORMAN ……………………….…… 64 A. Profil Informan Mahasiswa Yang Telah Menikah
Pada Masa Studi …………………………………………… 64 B. Pernikahan Pada Masa Kuliah Di Kalangan Mahasiswa ….. 71 BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA TENTANG MOTIVASI MAHASISWA UNTUK MENIKAH PADA MASA STUDI …………………………………………. 83 A. Motivasi Mahasiswa Untuk Menikah Pada Masa Studi …… 83 1. Motivasi Yang Berasal Dari Dalam Diri Mahasiswa (Motivasi Intrinsik) …………………………………… 85 2. Motivasi Yang Berasal Dari Luar Diri Mahasiswa (Motivasi Ekstrinsik) …………………………………. 106 B. Analisis Data Dengan Teori Motivasi ……………………. 118 1. Teori Hygiene-Motivator …………………………….. 118 2. Teori Hierarki Kebutuhan Manusia …………………... 120
C. Analisis Data Dengan Teori Sosial ……………………….. 122 BAB V PENUTUP …………………………………………………… 123 A. Kesimpulan …………………………………………...…. 128 1.
Kesimpulan
Empiris
………………………………….
Teoritis
……………………………..…...
128 2.
Kesimpulan 130
3.
Kesimpulan Metodologis …………………………..… 134
B. Saran ……………………………………………………… 137 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 138 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel II.1
Rekapitulasi Laporan Mahasiswa Aktif Semester Agustus 2007 – Januari 2008
Tabel II.2
58
Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Aktif S1 Reguler Semester Agustus 2007 – Januari 2008
60-
63 Tabel III.1
Matriks Profil Informan
70
Tabel III.2
Urutan Waktu Menikah Informan
73
Tabel IV.1
Matriks Motivasi Mahasiswa Untuk Menikah Pada Masa Studi
117
116-
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lembaga sosial yang sangat penting dalam masyarakat. Setidaknya ini menjadi alasan pokok dimana dalam hal ini memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan serta menjaga keutuhan masyarakat. Sebagai lembaga sosial, tentunya keluarga akan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Untuk membentuk keluarga dibutuhkan suatu proses yang disebut perkawinan, dimana perkawinan adalah suatu pola sosial yang disetujui dengan cara, dimana dua orang atau lebih membentuk keluarga. Menurut Horton dan Hunt, perkawinan tidak hanya mencakup hak dan kewajiban untuk melahirkan dan membesarkan anak, tetapi juga seperangkat kewajiban dan hak istimewa yang mempengaruhi banyak orang atau masyarakat. Arti sesungguhnya perkawinan adalah penerimaan status baru dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan akan status baru oleh orang lain (Horton&Hunt dalam Aminudin dan Sobari , 1996 : 270). Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Tak dapat disangsikan lagi bahwa lembaga
perkawinan telah ada sejak kelahiran manusia yang pertama. Mungkin yang berbeda hanyalah formalitasnya saja. Suatu ikatan keluarga ditandai atau didahului dengan suatu perkawinan, dimana hal ini sebagai syarat mutlak untuk terbentuknya keluarga. Tanpa didahului perkawinan dua orang yaitu laki-laki dan perempuan tinggal didalam satu rumah belum berhak disebut sebagai satu keluarga. Jadi faktor yang paling penting adalah adanya ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan. Ikatan itu didahului oleh perkawinan. Hal inilah yang menjadi dasar terbentuknya keluarga. Dalam hal ini, terdapat tahap-tahap yang biasa dilalui oleh pasangan yang akan menikah seperti yang dikemukakan oleh Abu Ahmadi dalam Psikologi Sosial, yaitu : 1. Tahap perkenalan 2. Tahap perpacaran 3. Tahap pertunangan 4. Tahap perkawinan Ada empat tahap yang biasanya dilalui oleh sepasang muda-mudi sampai terbentuknya keluarga. Perlu diketahui bahwa tahap-tahap itu sifatnya umum, bukan berarti setiap keluarga pasti melalui empat tahap untuk sampai pada suatu keluarga. Ada yang perkenalan langsung ke perkawinan seperti pada zaman dahulu, tetapi ada juga secara penuh dari tahap I sampai pada tahap IV. Masingmasing keluarga mempunyai keunikan sendiri-sendiri dan ini bersifat individual. (Abu Ahmadi, 1991 : 243). Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa pernikahan merupakan jalan atau proses untuk membentuk keluarga. Apabila sebuah perkawinan sudah terwujud maka tugas-tugas atau fungsi-fungsi keluarga harus dipenuhi. Jika pemenuhan fungsi keluarga tidak tercapai akan menimbulkan disintegrasi dalam keluarga.
Jika kita melihat dalam dunia pendidikan, hampir di setiap perguruan tinggi terdapat sejumlah mahasiswa yang telah menikah. Tetapi sejauh ini belum ada data yang pasti mengenai hal ini. Sebenarnya ini adalah fenomena yang patut kita telusuri, karena kita mengetahui bahwa antara pendidikan dan menikah adalah dua hal yang berbeda. Dimana pendidikan merupakan prioritas untuk mengejar cita-cita serta orientasi untuk dapat menunjukkan prestasi akademik sedangkan pernikahan/perkawinan mempunyai tujuan dalam kehidupan untuk membentuk masyarakat yang berinteraksi serta
mempunyai orientasi untuk
menunjukkan kewajiban sebagai suami terhadap istri serta anak-anak dan jika istri mempunyai kewajiban terhadap suami serta memelihara anak secara maksimal. Pernikahan pada mahasiswa dapat dikatakan merupakan pernikahan dini atau menikah muda, hal ini memiliki dampak negatif baik dari segi fisik maupun dari segi mental. Edi Nur Hasmi, seorang psikolog dan juga Direktur Remaja dan Kesehatan Reproduksi BKKBN mengatakan bahwa kestabilan emosi biasanya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada usia inilah seseorang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, biasa dikatakan baru berhenti pada usia 19 tahun. Batasan secara psikologis seseorang dikatakan mulai memasuki masa kedewasaan adalah usia 20 – 24 tahun, yang dikatakan sebagai dewasa muda atau Lead Edolesen. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi gejolak remaja ke dewasa stabil. Maka kalau pernikahan dilakukan dibawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang mencari jati dirinya. Akibatnya secara mental adalah depresi
berat
yang
menyerang
(www.bkkbn.go.id/hqweb/map123dampak.html).
pasangan
muda
ini
Masalah perkawinan bukan hanya sekedar masalah pribadi dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan, akan tetapi itu adalah merupakan salah satu masalah keagamaan yang cukup sensitif dan erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang. Sebagai suatu masalah keagamaan, hampir setiap agama di dunia ini mempunyai peraturan sendiri tentang perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan ajaran-ajaran agama yang di anut oleh mereka yang melangsungkan perkawinan. Islam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah apapun dalam kehidupan dunia ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu masalah yang tidak disentuh nilai-nilai keislaman, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin). Sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, Islam juga mengatur tentang masalah perkawinan ini, dimana butuh persiapan-persiapan yang matang dalam rangka membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Disamping itu Islam memang merupakan agama yang paling mengerti kebutuhan jiwa manusia, termasuk kebutuhan biologis manusia. Tidak pernah Islam melarang pemeluknya untuk menyalurkan syahwat biologisnya yang merupakan fitrah mereka sebagai manusia, asal sesuai dengan syariat yang menghalalkannya. Sedangkan tempat penyaluran fitrah tersebut adalah hanya dengan dengan menikah,
dengannya
seorang
muslim
akan
bisa
menyelaraskan
dan
menyeimbangkan dua kekuatan yang ada pada dirinya yaitu kekuatan biologis dan
kekuatan ruhani. Dan menikah adalah jalan untuk menyempurnakan ruhani seseorang dan rangka menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan ruhani Menurut Junaedi, masalah perkawinan dalam Islam telah diatur sedemikian rupa bagi umatnya. Baik mengenai persiapan menikah, syarat dan rukun nikah maupun pembinaan dalam rumah tangga nantinya. Sebagai sebuah ajaran dalam Islam, hukum menikah adalah sunnah yang dikuatkan dengan hadits Nabi SAW tentang ini “Perkawinan adalah salah satu sunnahku. Barangsiapa tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk umatku”. Atau anjuran Nabi SAW bagi para pemuda melalui haditsnya, yaitu :”Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu (punya bekal dan biaya) hendaknya kawin, sebab kawin akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Kalau belum mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa akan menjadi perisai baginya” (Dedi Junaedi, 2000 : 11). Dari hal diatas kita mengetahui bahwasanya menikah adalah anjuran dalam agama serta merupakan proses sosial
yang harus dijalani. Juga
berhubungan dengan persiapan akan menikah, dimana butuh persiapan yang matang baik secara fisik, moral atau material. Bukan hanya sekedar fisik saja yang sudah siap tetapi ada hal lain yang lebih penting yaitu materi yang mana dalam hal ini butuh kemampuan dalam mencukupi kebutuhan, bukan hanya kebutuhan perorangan (pribadi) tetapi mencukupi kebutuhan keluarganya. Bagaimanapun juga, menikah adalah suatu proses yang panjang, dimana seseorang akan mempunyai status baru yaitu laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Tentunya ada suatu dorongan yang kuat (motivasi) dalam
pengambilan keputusan untuk menikah khususnya bagi mahasiswa, karena kita mengetahui bahwa tugas utamanya adalah belajar agar nantinya setelah menyelesaikan kuliahnya dapat menerapkan ilmunya, bekerja pada bidangnya serta mampu mencukupi kebutuhan. Tetapi yang terjadi adalah keputusan untuk menikah di masa studi (kuliah) yang mana secara materi kita memandang secara umum belum cukup, karena untuk kuliah serta mencukupi kebutuhannya masih tergantung pada orang tua. Di kalangan Mahasiswa UNS sendiri terdapat mahasiswa S1 yang telah menikah pada saat masa studi (kuliah). Jumlah mahasiswa yang telah menikah di UNS sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti, karena dalam pengumpulan data statistiknya kurang lengkap serta dari mahasiswanya sendiri kadang tidak mengakui (malu) terhadap status barunya itu. Keinginan untuk mengetahui faktor-faktor yang memotivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi (kuliah) inilah yang menurut peneliti menarik untuk di teliti dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, adalah : “Faktor-faktor apakah yang memotivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi?”
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang memotivasi atau mendorong mahasiswa untuk menikah pada masa studi, baik yang berasal dari dalam individu maupun dari luar individu. 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang mahasiswa hadapi setelah menikah pada masa studi.
D. Manfaat Penelitian 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan ilmu Sosiologi pada khususnya. 2) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi mahasiswa yang ingin menikah saat pada masa studi.
E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Motivasi Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai motivasi yang mendorong mahasiswa untuk menikah, sehingga perlu pemahaman mendasar terlebih dahulu mengenai konsep-konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini, variabel atau konsep utama yang kemudian menjiwai penelitian ini adalah variabel motivasi.
Ada beberapa proposisi yang dikemukakan oleh A.H Maslow tentang perilaku manusia, yaitu : 1. Manusia merupakan makhluk sosial yang serba berkeinginan (Man is a wanting being). Ia senantiasa menginginkan sesuatu dan ia senantiasa menginginkan lebih banyak. 2. Sebuah kebutuhan yang dipenuhi bukanlah sebuah motivator perilaku. Hanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, memotivasi perilaku. Jadi hanya dengan kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi menyebabkan timbulnya kekuatan-kekuatan besar atas apa yang dilakukan oleh seorang individu. 3. Kebutuhan motivasi diatur dalam suatu seri tingkatan, suatu hierarki menurut pentingnya masing-masing kebutuhan (Winardi, 2001:11-12). Sebelum mendefinisikan konsep motivasi, terlebih dahulu kita melihat hierarki kebutuhan menurut Abraham Maslow, dimana ia membedakan atau mengkategorikan kebutuhan manusia kedalam lima hal, yaitu : 1) Kebutuhan Fisiologis Yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang kehidupan manusia seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. 2) Kebutuhan Akan Rasa Aman Yaitu kebutuhan untuk terbebas dari bahaya fisik dan rasa takut akan kehilangan harta benda, pekerjaan dan sebagainya. 3) Kebutuhan Afiliasi Yaitu karena manusia adalah makhluk sosial, maka mereka membutuhkan pergaulan dengan orang lain. 4) Kebutuhan Penghargaan Yaitu jenis kebutuhan ini menghasilkan kepuasan seperti kuasa, status dan keyakinan akan diri sendiri. 5) Kebutuhan Akan Perwujudan Diri Yaitu kebutuhan untuk menjadi orang yang dicita-citakan dan mencapai sesuatu yang didambakan. Dalam hal ini, teori hierarki kebutuhan adalah pandangan bahwa kebutuhan-kebutuhan pada tingkat tertentu harus sebagian besar dipenuhi terlebih dahulu, sebelum kebutuhan pada tingkat tertentu yang lebih tinggi terpenuhi (Abraham Maslow dalam Frank G. Gouble,1987 : 124).
Faktor yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pemahaman dan pandangan seseorang terhadap sesuatu adalah motivasi. Pada dasarnya semua tingkah laku manusianya didalamnya terkandung motivasi. Dengan kata lain, hampir semua perilaku sadar mempunyai motivasi, dorongan atau sebab. Motivasi atau sebab merupakan suatu keinginan atau dorongan yang ada dalam diri manusia untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Walaupun tingkah laku masyarakat bersifat sangat luas, kompleks serta dipengaruhi
oleh berbagi faktor perubahan, namun dapat diuraikan sebagai
tanggungjawab induvidu secara total dalam memberikan motivasi. Dengan kata lain, seluruh perilaku masyarakat yang rasional (sadar) disebabkan oleh : kita berlaku seperti apa adanya karena mempunyai kekuatan untuk cepat-cepat memberikan motivasi dalam setiap masalah atau bentuk aksi. Dari sudut pandang yang lebih mendasar, kelakuan secara aktual hanya merupakan langkah menengah dalam suatu mata rantai proses kejadian. Kekuatan motivasi mendorong pada sejumlah urusan atau bentuk perilaku, dan harus diarahkan sampai akhir. Pengaruhnya, seluruh masyarakat, apakah mereka rasional atau tidak rasional, sadar atau tidak sadar, berlaku apa adanya untuk memuaskan berbagai kekuatan motivasi. Dalam diagram, bentuk urutan tingkah laku manusia ini dapat diringkas sebagai berikut : Kepuasan kekuatan Kekuatan
motivasi
kelakuan
akhir Penggerak / motivasi
(Abraham H. Maslow, 1992 :8).
Menurut Parsons, motivasi merupakan keinginan, hasrat dan tenaga yang menggerakkan individu untuk melakukan suatu tindakan. Keinginan, kebutuhan dan tujuan tidak dapat terlepas dari motivasi dalam diri seseorang itulah yang dinamakan motivasi. Dan dalam hal ini Parsons menjelaskan bahwa seseorang melakukan suatu tindakan berdasar atas orientasi motivasional dan orientasi nilai (Parsons dalam Johnson, 1996 : 114). Motivasi sebagai proses psikologis timbul karena adanya faktor dalam diri seseorang dan faktor dari luar. Faktor dari dalam diri seseorang berupa kepribadian yang menyangkut masa depan, sedangkan faktor dari luar dapat ditimbulkan dari berbagai sumber, bisa karena pengaruh atau faktor-faktor lain yang sangat kompleks. Motivasi adalah keadaan dalam diri individu yang memunculkan, mengarahkan dan mempertahankan perilaku. Dengan kata lain menurut Kartini Kartono adalah dorongan terhadap seseorang agar mau melaksanakan sesuatu. Dengan dorongan (driving force) disini dimaksudkan desakan yang alami untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup. Sedangkan Muslimin, motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda antara yang satu dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat motivasi, serta kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan motivasi/dorongan bagi mereka untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang ia kehendaki.
Motivasi adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan kekuatan (energy) yang mengarah pada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidakseimbangan. Oleh karena itu tidak akan ada motivasi, jika tidak dirasakan rangsangan-rangsangan terhadap hal semacam diatas yang akan menumbuhkan motivasi, dan motivasi yang telah tumbuh memang dapat menjadikan motor dan dorongan untuk mencapai
tujuan
pemenuhan
kebutuhan
atau
pencapaian
keseimbangan
(www.wikipedia.org/wiki/Motivasi). Sedangkan Wahjo Soemidjo memberikan arti motivasi yaitu suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. (Wahjo Soemidjo, 1985 : 174). Menurut Berelson dan Steiner dalam Wahjo Soemidjo menjelaskan motivasi itu pada dasarnya merupakan teknologi yang memberikan makna daya dorong, keinginan, kebutuhan dan kemauan. Hal tersebut didasari karena perilaku seseorang, dimana perilaku seseorang itu karena adanya daya dorongan untuk mencapai kebutuhan, keinginan dan kepuasan (Berelson dan Steiner dalam Wahjo Soemidjo, 1985 : 178). Kebutuhan, keinginan dan kepuasan seseorang dapat digambarkan sebagai berikut : 1) Kebutuhan yang timbul pada diri seseorang dan kebutuhan mengandung arti luas seperti kebutuhan fisik, makan dan sebagainya. 2) Apabila dalam diri seseorang timbul suatu kebutuhan tertentu, kebutuhan tersebut akan menyebabkan lahirnya daya dorong tertentu.
3) Akibat daya dorong, lahirlah keinginan dalam diri seseorang. 4) Lahirnya keinginan dalam diri seseorang akan menyebabkan timbulnya suatu sebab. 5) Akibat sebab yang timbul, lahirlah ketegangan. 6) Ketegangan yang timbul itu sendiri juga akan menjadikan sebab timbulnya sesuatu. 7) Sesuatu yang timbul akibat adanya ketegangan dalam diri seseorang tersebut disebut “perilaku”. 8) Perilaku yang ditampilkan seseorang, timbul karena mengharapkan adanya kepuasan yang dapat dinikmati (Wahjo Soemidjo, 1985 : 178179). Menurut Harold Koontz dalam Malayu S.P Hasibuan, motivasi mengacu pada dorongan atau usaha untuk memuaskan kebutuhan atau suatu tujuan. Juga Wayne F. Cascio mengungkapkan motivasi sebagai kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya. Misal : rasa haus, lapar dan bermasyarakat. Sedangkan American Encyclopedia menyebutkan motivasi sebagai kecenderungan (suatu sifat yang merupakan pertentangan) dalam diri seseorang yang membangkitkan topangan dan mengarahkan tindak-tanduknya. Motivasi meliputi faktor kebutuhan biologis dan emosional yang hanya dapat diduga dari pengamatan tingkah laku manusia (Malayu S.P Hasibuan, 1996 : 9596). Dari beberapa pengertian diatas, maka jelaslah bahwa tingkah laku yang timbul pada diri seseoarang didorong oleh adanya berbagai kebutuhan. Dimana kebutuhan tersebut didorong oleh adanya keinginan yang hendak dicapai. Sedangkan perilaku yang diwujudkan tersebut merupakan alat untuk mencapai tujuannya. Untuk mencapai tujuan tersebut pada dasarnya tindakan seseorang itu harus selalu berorientasi pada motivasi dan nilai yang ada dalam masyarakat. Demikian pula halnya dengan sikap dan tindakan mahasiswa muslim S-1 Reguler
yang memutuskan untuk menikah pada masa studi (kuliah) sehingga tercapai tujuan yang dimaksud oleh mahasiswa tersebut yang berorientasi pada motivasi.
2. Mahasiswa Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mahasiswa memiliki pengertian berupa orang atau setiap orang yang terdaftar secara resmi dan belajar di suatu Perguruan Tinggi (Drs. Sulchan Yasyin, 1997 :329). Sedangkan dalam Buku Pedoman Universitas Sebelas Maret, yang dimaksud mahasiswa adalah mereka (peserta didik) yang terdaftar secara sah pada salah satu program studi yang diselenggarakan oleh suatu Perguruan Tinggi, dalam hal ini Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kemudian jika dilihat dari segi usia, maka menurut Syamsu Yusuf dalam Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja disebutkan bahwa masa usia mahasiswa sebenarnya berumur sekita 18,0 sampai 25,0 tahun. Mereka dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai pada masa dewasa awal atau dewasa madya. Dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini adalah pemantapan pendirian hidup. Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta mempunyai hak dan kewajiban serta larangan dalam melaksanakan kegiatan menuntut ilmu di kampus ini yang ada dalam buku pedoman Universitas Sebelas Maret. Sehingga mahasiswa tidak seenaknya dalam masa studi baik itu dalam upaya mentaati/melaksanakan kewajiban yang berlaku maupun mengambil apa yang
menjadi haknya serta berusaha menghindarkan dari perbuatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. a. Mengenai hak dan kewajiban mahasiswa yang tertuang dalam tata tertib kehidupan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yaitu : 1) Mahasiswa mempunyai hak : 1) Menuntut menggunakan kebebasan akademik secara bertanggung jawab untuk mengkaji ilmu, teknologi dan seni sesuai dengan norma dan susila yang berlaku dalam lingkungan masyarakat akademik. 2) Memperoleh pengajaran sebaik-baiknya dan layanan bidang akademik sesuai dengan minat dan bakat , kegemaran dan kemampuan. 3) Memanfaatkan fasilitas Universitas dalam rangka kelancaran proses belajar. 4) Mendapat bimbingan dari dosen yang bertanggung jawab atas program studi yang diikuti dalam penyelesaian studinya. 5) Memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi yang diikuti serta hasilnya. 6) Menyelesaikan studi lebih awal dari jadwal yang telah ditetapkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. 7) Memperoleh layanan kesejahteraan sesuai peraturan peraturan perundangan yang berlaku.
8) Memanfaatkan sumber daya Universitas melalui perwakilanperwakilan/organisasi
kemahasiswaan
untuk
mengurus
dan
mengatur kesejahteraan, minat, bakat, penalaran dan tata kehidupan masayarakat. 9) Pindah ke Perguruan Tinggi lain dan Program Studi lain, di lingkungan
Universitas,
bilamana
memenuhi
persyaratan
penerimaan mahasiswa pada Perguruan Tinggi atau Program Studi yang diinginkan dan bilamana daya tampung Perguruan Tinggi atau Program Studi yang bersangkutan memungkinkan. 10) Ikut serta dalam kegiatan organisasi mahasiswa Universitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 11) Memperoleh pelayanan khusus bilamana menyandang cacat, sesuai dengan kemampuan Universitas. 2) Setiap Mahasiswa berkewajiban : 1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi mahasiswa yang dibebas tugaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. 3. Mempergunakan masa belajar di Universitas dengan sebaikbaiknya. 4. Berdisiplin,
bersikap
jujur,
bersemangat
perbuatan tercela. 5. Menjaga kewajiban dan nama baik Universitas.
dan
menghindari
6. Menghormati dan menghargai semua pihak demi terbinanya suasana hidup kekeluargaan sebagai pengamalan Pancasila dan UUD 1945. 7. Bertenggang rasa dan mengahargai pendapat orang lain. 8. Bersikap dan bertingkah laku terhormat sesuai martabatnya. 9. Menghargai dan menghormati kepada tenaga kependidikan. 10. Berusaha mengembangkan seluruh kemampuan yang dimiliki agar dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. 11. Menjaga kesehatan dirinya dan keseimbangan lingkungan. 12. Mematuhi semua peraturan/ketentuan yang berlaku di Universitas. 13. Memelihara dan meningkatkan mutu lingkungan hidup di kampus. 14. Menghargai dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni. 15. Menghargai dan menjunjung tinggi kebudayaan nasionl; dan 16. Berpakaian sopan dan tertib sesuai dengan ketentuan berlaku di Universitas. b. Mengenai Larangan mahasiswa yang tertuang dalam tata tertib kehidupan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yaitu : a. Melalaikan kewajibannya sebagaimana seperti tersebut dalam hak dan kewajiban mahasiswa. b. Mengganggu penyelenggaraan pendidikan, penalaran, minat, bakat, karier dan kesejahteraan mahasiswa.
c. Melanggar etika akademik seperti ; plagiarisme, menyontek, memalsu nilai, memalsu tanda tangan, memalsu cap, memalsu ijazah dan/atau perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Melakukan tindakan tidak terpuji yang dapat merusak martabat dan wibawa Universitas. e. Mengatasnamakan Universitas tanpa mandat atau izin Rektor dan atau pejabat yang berwenang. f. Menjadikan kampus sebagai ajang
pertarungan kelompok,
kepentingan politik dan/atau yang berbau SARA. g. Menginap, kecuali ada izin dari Universitas dan atau fakultas yang berkaitan dengan kegiatan proses belajar mengajar. h. Merokok di ruang kuliah, perpustakaan, laboratorium, kantor dan tempat lain pada saat proses belajar mangajar berlangsung.
3. Menikah Menurut Junaedi, kata nikah atau ziwaj adalah bahasa Arab yang dalam bahasa Indonesia diartikan “kawin”. Sedangkan menurut istilah yang disepakati, nikah atau perkawinan adalah akad nikah yang ditetapkan oleh syara bahwa seorang
suami
dapat
memanfaatkan
dan
bersenang-senang
dengan
kehormatan/kemaluan seorang istri dan seluruh tubuhnya (Dedi Junaedi, 2001 :3). Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya. Perkawinan adalah suatu pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga. Perkawinan tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkannya, tetapi juga seperangkat kewajiban dan hak istimewa yang mempengaruhi banyak orang atau masyarakat. Arti sesungguhnya perkawinan adalah penerimaan status baru dengan sederetan hak dan kewajiban
yang baru serta pengakuan akan status baru oleh orang lain
(Horton dan Hunt dalam Aminudin dan Sobari, 1996 : 270). Sosiolog Soerjono Soekanto memberikan pengertian perkawinan yaitu ikatan yang sah dan resmi antara seorang pria dengan seorang wanita, yang menimbulkan
hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban
antar
mereka
maupun
keturunannya. Dari berbagai pengertian perkawinan yang telah disebutkan, dapat ditarik hakekat perkawinan yang mana mengandung satu unsur yang
merupakan
kesamaan dari semua pendapat, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dengan wanita yang diakui secara sah oleh masyarakat, hukum maupun agama dan mengandung seperangkat hak dan kewajiban suami istri dalam peranan baru yang dijalani, serta bertujuan membentuk keluarga.
Menurut Mac Iver dan Page dalam Soerjono Soekanto, istilah lembaga sosial diartikan sebagai tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan yang dinamakan asosiasi (Soerjono Soekanto, 1990 : 198). Keluarga merupakan salah satu contoh lembaga sosial yang
paling
sederhana. Ada beberapa pengertian mengenai keluarga yang dapat dirumuskan sarinya yaitu sebagai berikut : 1. Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. 2. Hubungan sosial diantara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan atau adopsi. 3. Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggungjawab. 4. Fungsi keluarga adalah merawat, memelihara dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial (Khairuddin, 1985 : 9). Burgess dan Locke juga mengemukakan terdapatnya empat karakteristik keluarga yang terdapat pada semua keluarga dan juga untuk membedakan keluarga dengan kelompok sosial lainnya, yaitu : 1) Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah dan adopsi. Pertalian antara suami dan istri adalah perkawinan, hubungan antara orang tua dan anak adalah darah dan ada kalanya adopsi. 2) Anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga atau jika mereka bertempat tinggal rumah tangga tersebut adalah rumah mereka. 3) Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara perempuan. 4) Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan yang diperoleh pada hakekatnya dari kebudayaan umum (Khairuddin, 1985 : 12-13).
Pernikahan adalah cara atau proses untuk membentuk keluarga. Hal ini juga disebutkan Mac Iver dan Page dalam ciri-ciri umum keluarga, yaitu : 1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan. 2) Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara. 3) Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan. 4) Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhankebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak. 5) Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga (Khairuddin, 1985 : 12). Dalam ajaran agama Islam sendiri, menikah adalah suatu bentuk pelaksanaan ajaran, maka sudah selayaknya pemeluk agama islam ini (muslim) mematuhi apa-apa yang telah di syariatkan (diatur). Perkawinan dikatakan sebagai sunnatullah ini merupakan kebutuhan yang diminati oleh setiap naluri manusia dan dianggap oleh islam sebagai ikatan yang kokoh, karena itu perkawinan hendaknya dianggap sakral dan dimaksudkan membina rumah tangga bahagia yang abadi selamanya, tidak hanya untuk sementara waktu. Mengutip Firman Allah SWT yang terdapat dalam Surat An-Nur ayat 32 yang artinya :”Dan, kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantaramu, dan orang-orang yang (layak) kawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” Ini merupakan bentuk perintah serta ajaran dalam Islam. Anjuran ini bukan hanya sekedar tanpa batas atau ketentuan, karena nantinya dalam perjalanan rumah tangganya dibutuhkan bekal serta materi yang setidaknya perlu disiapkan lebih awal agar nantinya bisa mapan.
Dalam pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan: ”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah bunyi definisi perkawinan yang sekaligus disebutkan tujuannya. Sebagai sunnatullah yang hanya diberikan kepada manusia, perkawinan ini bukan semata-mata anjuran dan perintah yang tidak memiliki arti dan manfaat sama sekali. Tetapi sebaliknya, perkawinan merupakan realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan berakal dalam penyaluran naluri seks yang telah ada sejak lahir. Disamping itu banyak manfaat baik yang bersifat psikis maupun fisik yang diperoleh dalam perkawinan sebagai tujuan pelaksanaanya, yang disini tujuan perkawinan dalam Islam adalah : 1)
Untuk memperoleh ketenangan hidup
2)
Untuk menjaga kehormatan diri dan pandangan mata.
3)
Untuk mendapatkan keturunan. Disisi lain menyebutkan tujuan perkawinan dalam islam, dimana
perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya adalah : ·
Pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya seseorang dapat menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak kawin bagaikan seekor burung tanpa sarang. Perkawinan merupakan perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang di belantara kehidupan; orang dapat
menemukan pasangan hidup yang akan berbagi dalam kesenangan dan penderitaan. ·
Gairah seksual merupakan keinginan yang kuat dan juga penting. Setiap orang harus mempunyai pasangan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dalam lingkungan yang aman dan tenang. Orang harus menikmati kepuasan seksual dengan cara benar dan wajar. Orang-orang yang tidak mau kawin seringkali menderita ketidakteraturan baik secara fisik maupun psikologis. Ketidakteraturan semacam itu dan juga persoalan-persoalan tertentu merupakan akibat langsung dari penolakan kaum muda terhadap perkawinan.
·
Reproduksi atau sebagai wadah untuk melangsungkan keturunan. Melalui perkawinan, perkembangbiakan manusia akan berlanjut. Anak-anak adalah hasil dari perkawinan dan merupakan faktor-faktor penting dan memantapkan fondasi keluarga dan juga merupakan sumber kebahagiaan sejati bagi orang tua (www.irib.co.id).
F. LANDASAN TEORI Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi. Obyek dalam sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Namun sangat sukar untuk dapat merumuskan suatu definisi yang dapat mengemukakan
seluruh pengertian, sifat dan hakekat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat. Menurut Soerjono Soekanto sosiologi merupakan ilmu yang obyeknya adalah masyarakat, yang dilihat dari hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Bentuk umum dari proses sosial tersebuta adalah interaksi sosial, oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar perorangan, antar kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soerjono Soekanto, 1990:67). Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur lapisan serta berbagai gejala sosial lainnnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini fenomena sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong tejadinya hubungan sosial, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses tersebut (Abudin Nata, 2002). Secara umum obyek penelitian dari sosiologi adalah masyarakat. Mac Iver dan Page menyatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah (Soerjono Soekanto, 1982 : 22). Sedangkan menurut Soekanto (1982), masyarakat memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut : ·
Manusia yang hidup bersama. Didalam ilmu sosial tidak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah
·
· ·
manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritik, angka minimnya adalah dua orang yang hidup bersama. Bercampur untuk waktu yang lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda mati. Oleh karena itu berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginankeinginan untuk menyampaikan kesan-kesan dan perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, maka timbullah sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan. Mereka merupakan suatu sistem yang hidup bersama. Hidup bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota merasa dirinya terikat satu sama lain (Soerjono Soekanto, 1982 : 23).
Dalam Sosiologi terdapat beberapa paradigma, yaitu suatu pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (Ritzer, 1992:8). Ada tiga paradigma dalam Sosiologi, yaitu Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial dan Paradigma Perilaku Sosial. 1. Paradigma Fakta Sosial Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial menjadi pokok persoalan penyelidikan dalam sosiologi. Fakta sosial dinyatakan sebagai sesuatu (things) yang berbeda dengan ide. Fakta sosial menurut Durkheim dibagi atas dua macam, yaitu dalam bentuk material (barang/sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi dan merupakan bagian dari dunia nyata) dan dalam bentuk non material (sesuatu yang dianggap nyata/eksternal). 2. Paradigma Definisi Sosial Merujuk dari pada pendapat Max Weber bahwa individuindividu dan tindakan sosial merupakan unsur konstitutif dari kenyataan sosial, yaitu sebagai fakta yang hanya mungkin terjadi oleh kehendak, motivasi individu dan tidakan sosial. Maksud individu, makna simbolik dan tafsir individu atas tindakan serta kenyataan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan kenyataan sosial bagi setiap varian teori dalam paradigma ini. 3. Paradigma Perilaku Sosial Paradigma ini menganggap bahwa pokok persoalan dari dua paradigma sebelumnya telah mengabaikan perilaku manusia beserta kemungkinan perulangannya yang konkret dan realistis. Secara umum
penjelasan Skinner berusaha menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviouris kedalam aliran sosiologi. Dari tiga paradigma yang ada dalam Sosiologi, paradigma yang akan digunakan sebagai bahan acuan penelitian ini adalah paradigma Definisi Sosial. secara definitif Weber merumuskan Sosiologi sebagai suatu ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasar, pertama konsep tindakan sosial, kedua konsep penafsiran dan pemahaman (Ritzer dalam Alimandan, 1985 : 44). Walaupun demikian kita tidak dapat terlepas dari paradigma fakta sosial, dimana fakta sosial terdiri atas kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societes), sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan menurut Peter Blau ada dua tipe dasar fakta sosial yaitu nilainilai umum (common values) dan norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam sub kultur (Ritzer dalam Alimandan, 1985 : 19). Dari paradigma fakta sosial dapat diketahui bahwa seseorang tidak dapat lepas dari nilai-nilai serta norma-norma yang berkembang pada dirinya meskipun hal itu kecil, karena secara nyata individu hidup dalam suatu pranata sosial yang banyak sehingga memungkinkan individu mengambil atau menerapkan norma dan nilai-nilai yang ada untuk dipakai dalam kehidupannya. Sehingga paradigma ini berpengaruh dalam penelitian ini. Tetapi dalam penelitian ini, yang dimaksudkan adalah suatu bentuk nyata dari tindakan individu untuk menentukan arah hidupnya dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi tujuan hidupnya serta apa yang menjadi
pemahaman dan penafsiran dari masing-masing individu terhadap nilai-nilai yang ada. Sehingga kiranya paradigma definisi sosial yang benar-benar cocok digunakan dalam penelitian ini. Dalam paradigma definisi sosial, tindakan sosial yang dimaksudkan Weber adalah dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan yang dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran dalam penelitian Sosiologi, yaitu : 1) Tindakan manusia yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata. 2) Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya bersifat subyektif. 3) Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. 4) Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. 5) Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu (Ritzer dalam Alimandan, 1985 : 45). Selain dari ciri-ciri tersebut diatas tindakan sosial masih mempunyai ciriciri lain. Tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan pada waktu sekarang, waktu lalu dan waktu yang akan datang. Rasionalisme merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan. Pembedaan pokok yang diberikan
adalah antara tindakan rasional dan tindakan non rasional. Singkatnya tindakan rasional menurut Weber, berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah untuk dipahami. Bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behaviour) saja, dia tidak akan yakin bahwa perbuatan itu mempunyai arti subyektif dan diarahkan kepada orang lain. Peneliti sosiologi harus mencoba menginterpretasikan tindakan si aktor. Dalam artian yang mendasar, sosiolog harus memahami motif dari si aktor. Atas dasar rasional tindakan sosial, Weber membedakannya dalam empat tipe, yaitu : a. Zwerk Rational Yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang paling rasional, maka mudah memahami tindakannya itu. b. Werkratonal Action Dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu yang paling tepat ataukah yang lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini memang antar tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar dibedakan. Namun tindakan ini rasional karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggung jawabkan untuk dipahami. c. Affektual Action Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepurapuraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami, kurang atau tidak rasional. d. Traditional Action Tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja (Ritzer dalam Alimandan, 1985 : 40-41). Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar, karena itu tidak termasuk dalam jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasran penelitian sosiologi. Namun
demikian pada waktu tertentu kedua tipe tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan yang penuh arti sehingga dapat dipertanggung jawabkan untuk dipahami ( Ritzer dalam Alimandan, 1985 : 41). Didalam paradigma definisi sosial terdapat tiga teori yaitu teori aksi (Action Theory), teori fenomenologi (Phenomenology) dan teori interaksionisme simbolik (Simbolic Interaksionism). Berdasarkan judul dalam penelitian ini yaitu tentang motivasi mahasiswa muslim S-1 reguler untuk menikah pada masa studi, maka teori yang digunakan adalah teori aksi. Ada beberapa asumsi fundamental teori aksi yang dikemukakan oleh Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parsons sebagai berikut : 1) Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai obyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. 2) Sebagai obyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan. 3) Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. 4) Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat diubah dengan sendirinya. 5) Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya. 6) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan. 7) Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri vicarious experience (Ritzer dalam Alimandan, 2003 :46). Parsons memilih istilah action dan bukan behaviour, karena menurutnya mempunyai konotasi berbeda. Behaviour
secara tidak langsung menyatakan
kesesuaian secara mekanik antar pelaku (respon) dengan rangsangan (stimulus). Sedangkan istilah action menyatakan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan individu sendiri. Menurutnya, suatu teori yang
menghilangkan sifat-sifat humanisme (kemanusiaan) dan mengabaikan sifat subyektif tindakan manusia tidak termasuk ke dalam teori aksi ini. Parsons sebagai salah satu pengikut paradigma definisi sosial, pada awal ketertarikannya pada sosiologi mengembangkan teori aksi yang di kalangan ahli sosiologi mendapat perhatian yang luas. Parsons menyusun unit-unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut : 1) Adanya individu selaku aktor. 2) Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu. 3) Aktor mempunyai alternatif, cara, alat serta teknik untuk mencapai tujuannya. 4) Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu, misalnya jenis kelamin dan tradisi. 5) Aktor berada dibawah kendala nilai-nilai dasar, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Contohnya kendala kebudayaan (Ritzer dalam Alimandan, 2003 : 48-49). Aktor
mengejar
tujuan
didalam
situasi
dimana
norma-norma
mengarahkannya dalam memilih alternatif serta cara dan arah untuk mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan inilah yang disebut Parsons dengan voluntarism. Singkatnya voluntarism adalah kemampuan individu untuk melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya. Aktor merupakan pelaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih alternatif suatu tindakan, terdapat suatu pengalaman subyektif yang dapat dimengerti karena dialami bersama secara meluas, dapat dilihat oleh obyek.
Rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspekaspek subyektif perilaku dapat dinilai obyektif. Sebagai aktor, mahasiswa merupakan individu yang memiliki tugas utama yaitu belajar untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dalam bidang akdemik. Namun demikian, kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan akademik di bangku perkuliahan serta berbagai kegiatan di kampus bukanlah satu-satunya kebutuhan setiap mahasiswa. Akan tetapi sebagai manusia biasa yang membutuhkan seseorang dan menyalurkan hasrat seksualnya tentu akan berpengaruh pada tugas utama mereka yaitu sebagai mahasiswa. Dengan melihat skema unit dasar tindakan sosial dengan karakteristiknya tersebut, dapat diketahui bahwa mahasiswa telah menetapkan atau menentukan suatu alat untuk mencapai tujuannya berupa kebutuhan-kebutuhan selain yang bersifat akademik, dari berbagai alternatif atau pilihan alat-alat, cara dan sebagainya, yaitu memutuskan menikah pada masa studi (kuliah). Mahasiswa sebagai aktor berhadapan dengan kondisi situasional yang membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan, kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan individu. Namun keadaan semacam itu selalu berubah melalui perubahan situasi. Seperti yang dikemukakan oleh Parsons, dalam memuaskan kebutuhan manusia mampu mengambil keputusan tetapi juga dirintangi oleh norma-norma serta kondisikondisi situasional (Poloma, 1987 : 192).
Dalam hubungannya dengan mahasiswa yang memutuskan menikah pada masa studi, kondisi situasional mereka sebagai pelajar, yang mana kebutuhan dasarnya yang kemudian menjadi suatu norma, berupa kewajiban mereka mencurahkan sebagian besar waktunya untuk kegiatan belajar atau kegiatan akademik lainnya, harus mereka bagi untuk keluarga (suami/istri) karena telah memutuskan hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang secara otomatis berbeda dengan status utama mereka yaitu sebagai mahasiswa serta berorientasi lain pula. Sehingga kalau diperhatikan hal ini merupakan suatu yang kontradiktif. Mahasiswa sebagai aktor berada dibawah kendali dari nilai-nilai, normanorma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Maksudnya adalah bahwa aktor dalam berbuat atau dalam melakukan sesuatu itu mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk memilih alternatif tindakan yang ada. Sehubungan dengan hal tersebut, Parsons menyatakan bahwa orientasi orang dalam bertindak itu terdiri dua elemen dasar yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan untuk bertindak, untuk memperbesar kepuasan mengurangi kekecewaan. Sedangkan orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normative yang mengendalikan individu (alat dan tujuan) serta prioritas sehubungan adanya kebutuhan tujuan yang berbeda (Johnson dalam M.Z Lawang, 1986 : 114). Inti pemikiran Parsons adalah bahwa (1) tindakan itu diarahkan pada tujuannnya (memiliki suatu tujuan), (2) tindakan terjadi dalam suatu situasi, dimana elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh
yang bertindak itu sebagai alat menuju tujuan itu dan, (3) secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penemuan alat-alat dan tujuan (Johnson dalam M.Z Lawang, 1986 : 106). Setiap individu mempunyai kebebasan untuk memilih berbagai alternatif tindakan untuk mencapai tujuannya. Demikian juga setiap individu mempunyai kebebasan untuk memutuskan menikah pada masa studi dalam usaha memenuhi kebutuhan sebagai tujuannya. Hal ini juuga berlaku pada mahasiswa dalam memutuskan untuk menikah pada masa studi sebagai sebuah status baru selain status utama atau tugas utama mereka sebagai mahasiswa, untuk mencapai tujuantujuannya. Kesimpulan utama yang dapat ditarik dalam hal ini adalah bahwa suatu tindakan merupakan suatu proses dimana aktor terlibat di dalam pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemuanya itu dibatasi oleh kemungkinankemungkinan oleh system kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial. Di dalam menghadapi situasi yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu dalam dirinya berupa kemauan untuk memenuhi kebutuhannya. Penelitian ini adalah mengenai motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi, untuk itu perlu kita pahami terlebih dahulu mengenai motivasi itu sendiri. Motivasi sebagai proses psikologi hakikatnya adalah daya penggerak yang datang dari dalam maupun dari luar seseorang yang menyebabkan orang tersebut berperilaku secara khusus yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu,
faktor motivasi sangatlah berpengaruh pada tindakan seseorang. Perilaku itu tidak lepas dari motif yang mendasarinya. Dorongan itu menyebabkan seseorang untuk berusaha mencapai tujuantujuan baik secara sadar maupun tidak sadar. Dorongan itu pula yang menyebabkan seseorang berperilaku yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan dan menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh orang tersebut. Oleh karena itu motivasi mahasiswa merupakan daya dorong yang berupa keinginan sehingga mahasiswa bersedia mengambil suatu tindakan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Parsons menjelaskan bahwa orientasi orang dalam bertindak terdiri dari dua elemen dasar yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan untuk bertindak, untuk memperbesar kepuasan mengurangi kekecewaan. Sedangkan orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan individu (alat dan tujuan) serta prioritas sehubungan adanya kebutuhan tujuan yang berbeda. Berikut ini dimensi-dimensi yang terdapat dalam orientasi motivasional : 1. Dimensi Kognitif Merupakan dimensi yang pada dasarnya menunjuk pada pengetahuan oran yang bertindak itu mengenai situasinya, khususnya kalau dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. 2. Dimensi Katetik Dimensi ini menunjuk pada reaksi afektif atau emosional dari orang yang bertindak itu terhadap situasi atau berbagai aspek didalamnya. 3. Dimensi Evaluatif Dimensi ini menunjuk pada dasar pilihan antara orientasi kognitif dan katetik secara alternative (Johnson dalam M.Z Lawang, 1986 : 114-115). Orientasi motivasional dan orientasi nilai merupakan dasar tindakan individu yang mengacu pada cara menyeimbangkan kepuasan dalam memenuhi
kebutuhannya dengan tujuan tertentu, dimana hal itu disebabkan oleh nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Sehingga setiap kebutuhan manusia dapat menjadi motivasi untuk melakukan/memutuskan sesuatu yang mampu dilakukan. Dari dua pendekatan diatas, jika diterapkan dalam penelitian ini maka tindakan mahasiswa dalam mengambil keputusan untuk menikah pada masa studi studi mempunyai tujuan dan motivasi. Diantaranya untuk menghindarkan dari dosa akibat zina, mendapatkan keturunan, memperoleh pendamping hidup, menjaga kehormatan dirinya dan sebagainya. Dalam penelitian ini perlu dilihat pula dari teori-teori lain yang penting, bukan hanya dari teori Sosiologi yang nantinya juga bisa dipakai untuk menganalisa hasil penelitian ini. Pertama dari teori sosial tentang pertambahan penduduk khususnya teori kapilaritas sosial yang dikembangkan oleh Arsene Dumont (Perancis) dan yang kedua dari teori Psikologi terkait dengan motivasi yaitu teori hiygiene-motivator yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Dari teori sosial yang berkaitan dengan penelitian ini adalah teori kapilaritas sosial oleh Arsene Dumont yang mengatakan bahwa individu itu seperti minyak dalam sumbu lampu yang selalu ingin mencapai tempat yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan sebagai perumpamaan setiap orang mempunyai keinginan untuk mencapai kedudukan tinggi di dalam masyarakat, yaitu meningkatkan statusnya (Drs. Saidihardjo, 1974 : 20). Berkaitan dengan penelitian ini maka apabila seseorang semakin tinggi statusnya yang berarti pula aktivitas hidupnya sangat tinggi akan berbanding terbalik dengan memproduksi anak (tingkat kelahiran) turun dengan cepat.
Keinginan untuk terus meningkatkan kemakmuran dan usaha mempertahankan tingkatan kemakmuran yang telah dicapai menyebabkan orang berusaha untuk mencegah bertambahnya keluarga secara berlebih-lebihan. Jika dilihat dari teori kapilaritas sosial (Arsene Dumont) tentang semakin tingginya aktivitas seseorang akan berpengaruh pada turunnya angka kelahiran dengan cepat, maka dalam penelitian ini hanya sebagai faktor yang mendukung bukan sebagai faktor penentu. Juga dalam teori ini seseorang selalu ingin mencapai status sosial yang tinggi dan saling berlomba yang kemudian berpengaruh pada kekurangsukaan seseorang memproduksi anak, merupakan suatu bentuk yang bersifat umum sehingga lebih khusus dalam penelitian ini individu menentukan sendiri apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mahasiswa yang menikah pada masa studi pada mulanya (sebelum menikah) sangat banyak aktivitas yang dijalankan mulai dari kegiatan akademik sampai diluar itu seperti organisasi dan sebagainya yang banyak menyita waktu, tetapi setelah mereka menikah aktivitas itu dikurangi dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapi seperti tidak lagi aktif di organisasi. Mereka lebih memfokuskan diri pada kegiatan mengurus rumah tangga dan pekerjaan. Teori ini nantinya akan dianalisis berdasarakan hasil dari penelitian ini, apakah nantinya cocok dan saling menguatkan ataukah ditentang karena bertolak belakang dengan hasil penelitian ini. Terlepas dari cocok dan tidaknya teori kapilaritas sosial dipakai dalam penelitian ini sekiranya teori ini dapat menjadi acuan untuk dikembangkan dan dijadikan referensi tambahan.
Sedangkan dalam Psikologi terkait dengan motivasi maka terdapat teori yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu teori Hygiene-Motivator. Ilmuwan yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi yaitu Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam k e h i d u p a n n y a . Dalam teori Hygiene-Motivator, Herzberg menyatakan bahwa ternyata yang
mengarahkan
perilaku
bukan
hanya
motivasi
intrinsik
(motivasi
diri/motivator), tapi juga motivasi ekstrinsik (hygiene). Motivasi intrinsik berasal dari dalam diri sendiri, sedangkan motivasi ekstrinsik bersumber dari kondisi di luar individu. Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik. Berdasarkan teori Motivasi-Hygiene yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg, motivasi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Motivasi intrinsik, yaitu berbagai dorongan yang berasal dari dalam individu. 2. Motivasi ekstrinsik, yaitu berbagai dorongan yang berasal dari luar diri individu.
G. KERANGKA ALUR PIKIR Mahasiswa menikah pada masa studi adalah suatu pemenuhan kebutuhan secara seksual serta penerimaan status baru dalam masyarakat yang dilakukan oleh sebagian mahasiswa. Status baru ini tentu akan menyita banyak waktu, tenaga dan pikiran, sehingga mahasiswa yang telah menikah ini harus dapat mengatur waktu, tenaga serta pikiran agar kedua status itu (mahasiswa dan suami/istri) dapat berjalan dengan selaras, serasi dan tidak saling menggangu satu sama lainnya, atau dengan kata lain status yang satu tidak mengganggu status yang lainnya. Mahasiswa merupakan sebuah status sekaligus suatu pekerjaan seseorang dimana dengan status ini seseorang dituntut untuk dapat memanfaatkan waktu yang mereka miliki untuk menimba ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, khususnya di bangku perkuliahan maupun diluar jam kuliah. Hal ini selain disebabkan oleh
adanya tuntutan dari masyarakat luas, bahwa mahasiswa
diharapkan nantinya akan menjadi sarjana yang memiliki pengetahuan dan kompetensi yang tinggi, juga karena dengan hal tersebut akan dapat lebih mempercepat masa studinya seperti yang selalu diharapkan dari para orang tua mahasiswa tersebut.
Dalam penelitian ini, permasalahan utama yang akan dikaji adalah mengenai motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi. Berbagai motivasi tersebut perlu diketahui karena hal tersebut kemudian menjadi dasar atau alasan untuk kemudian mahasiswa-mahasiswa tersebut memutuskan untuk menikah pada masa studi. Padahal sebagaimana yang telah diungkapkan diatas, bahwa menikah ini butuh persiapan yang matang dari segi materi (ekonomi) dan moral, juga dapat menghambat atau mengganggu proses pencapaian tujuan dari pekerjaan utama mereka yaitu sebagai mahasiswa, apabila mereka tidak dapat mengatur tenaga, waktu dan pikiran yang mereka miliki dengan baik. Kemudian setiap mahasiswa juga beragama yang dalam penelitian ini adalah pemeluk agama Islam, dimana terdapat aturan-aturan yang dipakai sebagai pegangan dalam menjalani kehidupannya. Sehingga dalam memutuskan menikah di masa studinya, tentunya ada pertimbangan yang menyangkut agama khususnya Islam. Bukan seperti orang pada umumnya. Motivasi disini dari asalnya terbagi dalam dua bentuk, yaitu motivasi instrinsik yang merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu yang berasal dari dalam individu itu sendiri. Sedangkan yang kedua adalah motivasi ekstrinsik, yaitu berbagai dorongan untuk melakukan suatu hal yang berasal dari luar individu tersebut. Dari uraian tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan yang kemudian menjadi sebuah kerangka alur pikir yang nantinya akan dipakai dalam penelitian ini, yaitu :
1. Motivasi Yaitu berbagai faktor yang mendorong seorang mahasiswa untuk menikah pada masa studi, baik yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar diri mahasiswa tersebut. 2. Mahasiswa Yaitu setiap orang yang sedang belajar dan terdaftar secara resmi di Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Menikah Yaitu suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dengan wanita yang diakui secara sah oleh masyarakat, hukum maupun agama dan mengandung seperangkat hak dan kewajiban suami istri dalam peranan baru yang dijalani, serta bertujuan membentuk keluarga, dimana aktor dalam hal ini adalah mahasiswa muslim S1 Reguler di UNS. Secara singkat dapat digambarkan kerangka alur pikir dibawah ini :
MAHASISWA
MOTIVASI
INTERNAL
EKSTERNAL
MENIKAH PADA MASA STUDI
(Kerangka Alur Pikir)
F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan, maka dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif sendiri bermaksud untuk memberikan uraian mengenai suatu gejala berdasarkan pada indikator-indikator yang dia jadikan dasar dari ada tidaknya suatu gejala yang diteliti (Y. Slamet, 2006 : 7). Jenis penelitian ini akan lebih mampu mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi yang penuh nuansa yang lebih berharga dari sekedar pernyataan jumlah atau frekuensi dalam bentuk angka. Menurut Bogdan dan Taylor, jenis penelitian kualitatif ini merupakan proses penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, dan dari pendekatan ini dapat diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik/menyeluruh (Moleong, 2002 : 3). 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan pertimbangan yang memungkinkan penelitian ini terlaksana yakni : ·
Diharapkan sampel Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta dapat mewakili secara representatif dari karakteristik populasi penelitian.
·
Pada mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta terdapat pernikahan pada masa studi khususnya pada mahasiswa S-1 reguler.
·
Pertimbangan waktu, tenaga, biaya dan kemungkinan untuk pengurusan ijin tidak terlalu sulit.
3. Sumber Data a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh langsung dari informan yang didapat melalui teknik wawancara. b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari sumber tertulis, dengan tujuan untuk menambah atau melengkapi hasil penelitian ini. Data sekunder dapat berupa kepustakaan, serta data-data lain yang bersifat menunjang. 4. Teknik Pengambilan Data Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1) Observasi Teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis, yang dilakukan melalui pengamatan secara terus menerus melalui pengamatan langsung terhadap obyek penelitian. Dengan pengamatan langsung ini dapat mengkaji, menangkap dan mengungkapkan fenomena-fenomena yang ada hubungannya dengan penelitian secara nyata dan mendalam. 2) Wawancara Mendalam (In-Depth Interview) Menurut J. Moleong wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, dilaksanakan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan
dan yang di wawancarai yang memberikan jawaban jawaban atas pertanyaan tersebut (Lexy J. Moleong, 2002 : 135). Wawancara dengan mahasiswa muslim S-1 reguler dengan tujuan menangkap realitas yang sebenarnya mengenai motivasi mereka menikah pada masa studi. Dalam wawancara ini menggunakan petunjuk umum wawancara (interview guide). Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok-pokok ini dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Petunjuk wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat tercakup seluruhnya.anaan wawanacara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan informan dalam konteks wawancara yang sesungguhnya. 3) Dokumentasi Teknik pengumpulan data ini adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. Dengan cara mengadakan pencatatan data dari dokumen yang ada dan menghimpun data yang ada (foto-foto). Lincoln dan Guba membedakan antar dokumen dan record. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bukan untuk meramalkan (Moleong, 2002 : 161).
5. Teknik Pengambilan Sampel a) Populasi dan Sampel Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah mahasiswa muslim S1 Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menikah. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Sampel ini diambil dari anggota populasi yang diketahui peneliti yang dapat menjadi sumber infomasi data yang diinginkan dan diperlukan dalam penelitian ini, yaitu mahasiswa muslim S1 Reguler yang telah menikah. b) Teknik Sampling Dalam penelitian ini menggunakan Purpossive sampling yaitu teknik penentuan sample untuk tujuan-tujuan tertentu saja. Sampel ditentukan berdasarkan pada ciri-ciri tertentu yang dianggap mempunyai hubungan erat dengan populasi. Peneliti dengan sengaja menentukan anggota sampelnya berdasarkan kemampuannya dan pengetahuaanya tentang keadaan populasi. Pengertian sengaja (purposive) disini adalah bahwa peneliti telah menentukan informan dengan anggapan/pendapatnya (judgement) sendiri sebagai sampel penelitiannya peneliti mengetahui persis siapa yang akan dipilih sebagai sampel. Dengan teknik ini diharapkan data dapat dicari dan dikumpulkan dari sumber pada orang-orang yang dianggap mengetahui dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mengetahui permasalahan secara mendalam lebih tahu, sehingga semakin lama akan diperoleh data yang semakin banyak dan lengkap sesuai dengan keperluan penelitian.
Dalam penelitian ini sampel dipilih berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Jadi dalam hal ini peneliti dengan sengaja menentukan anggota sampelnya berdasarkan kemampuan dan pengetahuannya tentang keadaan populasi. Adapun besar sampel yang diambil untuk dijadikan informan disesuaikan dengan kebutuhan. Penelitian ini jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 5 Orang yaitu sebagai berikut : 1. AB adalah Mahasiswa FKIP Kimia 2. FK adalah Mahasiswi FKIP Kimia 3. RM adalah Mahasiswi FISIP Komunikasi 4. DN adalah Mahasiswa FISIP Sosiologi 5. LM adalah Mahasiswa Fakultas Pertanian Agronomi 6. Validitas Data Validitas membuktikan bahwa apa yang diamati sesuai dengan apa yang ada dalam dunia kenyataan dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan memang sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam penelitian ini untuk mengusahakan hal tersebut maka dilakukan sebagai berikut : a. Triangulasi Triangulasi
adalah
teknik
pemerikasaan
keabsahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai permbanding terhadap data. Terdapat empat macam triangulasi yaitu pemeriksaan yang menggunakan sumber, metode, penyidik dan teori (Moleong, 2002 : 178).
Dalam penelitian ini validitas data yang digunakan adalah adalah triangulasi data atau yang juga disebut dengan triangulasi sumber, yaitu dengan beberapa
sumber
yang
berbeda.
Triangulasi
dengan
sumber
berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan : a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara. b) Membandingkan apa yang diketahui orang didepan umum dengan apa yang diketahui pribadi. c) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang terjadi sepanjang waktu. d) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada dan orang pemerintahan. e) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang bersangkutan. b. Mengadakan Member Check Merupakan salah satu cara yang penting pada akhir wawancara maupun juga pada saat penelitian berlangsung. Peneliti disini mengulangi dalam garis besarnya apa yang telah dikatakan oleh informan dengan maksud agar dapat memperbaiki apabila ada kekeliruan atau menambah yang masih kurang. Atau peneliti memeriksa hasil wawancara untuk mendapat pengertian yang tepat atau
melihat kekurangan-kekurangan yang mungkin untuk lebih mematapkan (H.B Soetopo,2002 : 32) 7. Teknik Analisis Data Analisa data yang digunakan adalah anlisa model interaktif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Ketiga hal tersebut adalah : a. Reduksi data Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data (kasar) yang ada pada penelitian. Hal ini dimulai dari sebelum pengumpulan pelaksanaan penelitian pada saat pengumpulan data berlangsung. Reduksi data berupa pembuatan singkatan, coding, memusatkan tema dan membuat batas-batas permasalahan. b. Penyajian Data Adalah
suatu
rakitan
organisasi
informasi
yang
memungkinkan
kesimpulan penelitian dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang akan terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan suatu analisa atau suatu tindakan lain berdasarkan tindakan tersebut. Susunan penyjian data yang baik dan jelas sistematikanya akan banyak menoilong peneliti sendiri. c. Penarikan Kesimpulan Dalam awal pengumpulan data, peneliti sudah mulai mengerti apa arti halhal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola pertanyaan-pertanyaan, konfigurasikonfigurasi yang mugkin dan arahan sebab akibat. Kesimpulan yang perlu diverifikasi dapat berupa pengulangan yang menyeluruh cepat sebagai pemikiran kedua yang melintas dalam pemikiran
peneliti pada waktu menulis dengan melihat kembali sebentar pada field notes (HB Sutopo, 2002: 34-37).
Skema dari Interaktif Model of Analisys
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan simpulan / Verifikasi jjjj (HB. Sutopo, 2002 : 96)
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. Sejarah Berdirinya Universitas Sebelas Maret Surakarta Universitas Sebelas Maret yang diresmikan pada tanggal 11 Maret 1976 dengan surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 10 Tahun 1976, tanggal 8 Maret 1976 yang semula bernama Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret disingkat UNS merupakan penyatuan dari lima unsur Perguruan Tinggi yang ada di Surakarta pada waktu itu. Lima Perguruan Tinggi tersebut adalah : 1. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surakarta. 2. Sekolah Tingggi Olahraga (STO) Negeri Surakarta. 3. Akademi Administasi Niaga (AAN) Surakarta yang sudah diintegrasikan ke dalam AAN Negeri Yogyakarta. 4. Universitas Gabungan Surakarta (UGS) merupakan gabungan beberapa Unversitas swasta di Surakarta yaitu Universitas Islam Indonesia cabang Surakarta, Universitas 17 Agustus cabang Surakarta, Universitas Cokroaminoto, Universitas Nasional Sarawati Surakarta. 5. Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional (PTPN) Veteran cabang Surakarta. Pada saat kelahirannya, Universitas Sebelas Maret terdiri dari 9 Fakultas, yaitu : 1. Fakultas Ilmu Pendidikan 2. Fakultas Keguruan
3. Fakultas Sastra Budaya 4. Fakultas Sosial Politik 5. Fakultas Hukum 6. Fakultas Ekonomi 7. Fakultas Kedokteran 8. Fakultas Pertanian 9. Fakultas Teknik Semua kegiatan, baik kegiatan akademik maupun administrasi pada saat itu tersebar di beberapa tempat di wilayah Surakarta, antara lain : 1. Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan, Fakultas Sosial Politik berada di Kampus Pabelan menempati bekas gedung
IKIP Negeri
Surakarta dan bekas gedung STO Manahan. 2. Fakultas Pertanian bertempat di Hadiwijayan Surakarta selanjutnya di kampus Pabelan. 3. Fakultas Hukum bertempat di Pagelaran Keraton Surakarta. 4. Fakultas Teknik berada di Jl. Slamet Riyadi No. 24 (satu halaman dengan Kantor Agraria pada waktu itu). 5. Fakultas Ekonomi,Fakultas Sastra Budaya di Jl. Urip Sumohardjo No. 110 menempati bekas gedung IKIP Negeri. 6. Fakultas Kedokteran di Jl. Kolonel Sutarto, menempati bekas gedung PTPN Veteran. 7. Adapun Kantor Pimpinan Universitas beserta Kantor Administrasi Universitas berada di Pagelaran Keraton Surakarta.
Sejak keluarnya Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1980 tentang PokokPokok Organisasi Universitas/Institut Negeri, Universitas Sebelas Maret menyesuaikan organisasinya. Di samping itu, Universitas Sebelas Maret terus membenahi diri dengan membangun gedung-gedung Administrasi Pusat serta gedung-gedung perkuliahan di atas tanah yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Surakarta seluas 60 Ha di Kompleks Wilayah Kentingan, sebagaimana ditempati sekarang ini. Mengingat perkembangan jumlah mahasiswa yang cepat dan terbatasnya serta tersebarnya fasilitas yang diperlukan untuk kelancaran proses belajar mengajar, dirasakan sangat mendesak terwujudnya kesatuan dan persatuan potensi Universitas Sebelas Maret. Untuk keperluan itu, Universitas Sebelas Maret segera membentuk Tim Penyusun Rencana Induk Pengembangan yang segera melaksanakan tugasnya sehingga tersusunlah Rencana Induk Pengembangan (RIP) Universitas Sebelas Maret 10 tahun (1980-1990). Untuk tahun-tahun selanjutnya disusun RIP UNS tahun 1991-2000 oleh Tim RIP dengan SK Rektor No. 76/PT40.H/A/90
tanggal
23
April
1990
dengan
perubahan
dan
penyempurnaannya. Dengan RIP sebagai pedoman dasar, maka langkah-langkah perencanaan dan pengembangan lebih lanjut dapat disusun dan dilaksanakan. RIP dijabarkan dalam Rencana Tahunan dengan mengacu pada Memo Program Koordinatif yang dikeluarkan oleh Dirjen DIKTI. Dengan terbitnya Surat Keputusan Republik Indonesia No. 55 tahun 1982 tanggal 7 September 1982 tantang Susunan Organisasi Universitas Sebelas Maret Surakarta adalah sebagai berikut :
1. Rektor dan Pembantu Rektor 2. Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan 3. Biro Administrasi Umum 4. Fakultas Sastra 5. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pandidikan 6. Fakultas Hukum 7. Fakultas Ekonomi 8. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 9. Fakultas Kedokteran 10. Fakultas Teknik 11. Pusat Penelitian 12. Pusat Pengabdian pada Masyarakat Secara berangsur, mulai tahun 1980 Kantor Pusat Universitas Sebelas Maret dan kedelapan fakultas mulai pindah atau menempati lokasi Kampus Kentingan Surakarta, dimulai dari Fakultas Tekini, Fakultas Pertanian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Fakultas Hukum, Fakultas Kedokteran dan terakhir Fakultas Sastra, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Perlu diketahui Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan merupakan penggabungan dua fakultas yang ada, yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dn Fakultas Keguruan (FKG) dan merupakan pelaksanaan Keputusan Presiden RI No. 55 tahun 1982. sedangkan Pusat Pengabdian pada Masyarakat sampai saat ini masih menempati gedung di Jl. Urip Sumohardjo 110 Mesen Surakarta.
Dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0141/O/1983 tentang organisasi dan Tata Kerja Universitas Sebelas Maret, Struktur Organisasi Universitas Sebelas Maret menjadi sebagai berikut : 1. Rektor dan Pembantu Rektor 2. Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan 3. Biro Administrasi Umum 4. Fakultas : a. Sastra b. Keguruan dan Ilmu Pendidikan c. Hukum d. Ekonomi e. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik f. Kedokteran g. Pertanian h. Teknik 5. Pusat Penelitian 6. Pusat Pengabdian pada Masyarakat 7. Puslitbangjari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Belajar Mandir) 8. Unit Pelaksana Teknis : a. Perpustakaan b. Komputer c. Unit Program Pengenalan Lapangan
Dengan terbitnya Surat Kepusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0441/O/1992 tanggal 12 November 1992 tentang Statuta Universitas Sebelas Maret
dan
Keputusan
Menteri
Pendidikan
dan
Kebudayaan
RI
No.
129/PT40.H/O/1993 Organisasi dan Tata Kerja Universitas Sebelas Maret, Struktur Organisasi Universitas Sebelas Maret menjadi sebagai berikut : 1. Rektor dan Pembantu Rektor 2. Biro Administrasi Akademik 3. Biro Administrasi Umum dan Keuangan 4. Biro Administrasi Kemahasiswaan 5. Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi 6. Fakultas : a. Fakultas Sastra b. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan c. Fakultas Hukum d. Fakultas Ekonomi e. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik f. Fakultas Kedokteran g. Fakultas Pertanian h. Fakultas Teknik 7. Lembaga Penelitian 8. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat 9. Unit Pelaksana Teknis a. Perpustakaan
b. Komputer c. Unit Program Pengenalan Lapangan d. Pelayanan dan Pengembangan Bahasa e. UNS Press f. Laboratorium Sentral Berdasarkan Keputusan Mendikbud RI No. 0297/O/1996, tanggal 1 Oktober 1996, telah dibuka fakultas baru di UNS, yaitu Fakultas MIPA, dan dengan SK Rektor No. 161/J27/KM/1997, tanggal 27 Mei 1997, telah dibentuk UPT baru yaitu UPT Pembinaan Olahraga dan Seni Mahasiswa (PORSIMA), serta SK Rektor No. 207/J27/PP/1997 tanggal 7 Juli 1997 telah didirikan Lembaga Pengembangan Kewirausahaan sehingga saat ini Struktur Organisasi Universitas Sebelas Maret menjadi sebagai berikut : 1. Rektor dan Pembantu Rektor 2. Biro Administrasi Akademik 3. Biro Administrasi Umum dan Keuangan 4. Biro Administrasi Kemahasiswaan 5. Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi 6. Fakultas : a. Fakultas Sastra b. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan c. Fakultas Hukum d. Fakultas Ekonomi e. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
f. Fakultas Kedokteran g. Fakultas Pertanian h. Fakultas Teknik i. Fakultas MIPA 7. Lembaga Penelitian 8. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat 9. Unit Pelaksana Teknis a. Perpustakaan b. Komputer c. Unit Program Pengenalan Lapangan d. Pelayanan dan Pengembangan Bahasa e. UNS Press f. Laboratorium MIPA Pusat g. Pembinaan Olahraga dan Seni Mahasiswa (PORSIMA)
B. Visi, Misi dan Tujuan Universitas Sebelas Maret Surakarta a. Visi Universitas Sebelas Maret menjadi Pusat Pengembangan Ilmu, Teknologi, dan Seni yang Unggul di Tingkat Internasional dengan Berlandaskan pada Nilai-Nilai Luhur Budaya Nasional
b. Misi 1) Menyelenggarakan
pendidikan
dan
pengajaran
yang
menuntut
pengembangan diri dosen dan mendorong kemandirian mahasiswa dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. 2) Menyelenggarakan penelitian yang mengarah pada penemuan baru di bidang ilmu, teknologi, dan seni. 3) Menyelenggarakan
kegiatan
pengabdian
pada
masyarakat
yang
berorientasi pada upaya pemberdayaan masyarakat. c. Tujuan 1) Menciptakan lingkungan yang mendorong setiap warga kampus mau belajar guna mengembangkan kemampuan diri secara optimal; 2) Menghasilkan lulusan yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi luhur; cerdas, terampil, dan mandiri; serta sehat jasmani, rohani, dan sosial; 3) Melahirkan temuan-temuan baru di bidang ilmu, teknologi, dan seni yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam masyarakat dan untuk membangun kehidupan yang lebih baik; 4) Mendiseminasikan hasil pendidikan dan pengajaran serta penelitian kepada masyarakat sehingga terjadi tranformasi secara terus menerus menuju kehidupan yang lebih modern; 5) Menggali dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya nasional sebagai salah satu landasan berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan, baik di dalam maupun di luar kampus;
6) Mengembangkan pranata kehidupan
yang lebih beradab menuju
terciptanya masyarakat yang makin cerdas, terampil, mandiri, demokratis, damai, dan religius; 7) Mendukung
terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berdaulat, bersatu, adil, dan makmur; 8) Menjadikan Universitas Sebelas Maret perguruan tinggi yang unggul di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2015.
C. Kondisi Geografis dan Demografis Universitas Sebelas Maret Surakarta Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berpusat di Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta ini berdiri di atas tanah seluas 60 Ha. Seperti yang telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, bahwa pada saat ini Universitas Sebelas Surakarta telah memiliki 9 (sembilan) fakultas, ditambah Program Pasca Sarjana dan sebagian proses kegiatan akademik dan administrasi berpusat di Kompleks Kentingan, yakni di Jalan Ir. Sutami 36 A Surakarta. Mengenai jumlah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta tiap fakultas dapat dilihat pada Tabel II. 1 pada halaman berikut :
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa selain menyelenggarakan pendidikan pada program Strata 1 baik itu Reguler maupun Non-Reguler, Universitas Sebelas Maret juga menyelenggarakan Program Pasca Sarjana, Diploma III/IV serta Diploma II (PGSD/PGTK) yang mana dari kesluruhan program tersebut pada saat ini jumlah seluruh Mahasiswa yang terdaftar dan berstatus sebagai Mahasiswa aktif berjumlah 29.180 orang. Setiap fakultas diatas kemudian terbagi dalam jurusan-jurusan dan atau program-program studi. Mengenai pembagian jumlah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret berdasarkan jurusan atau program studi dapat dilihat dari Tabel No. 2 yaitu :
BAB III KARAKTERISTIK INFORMAN
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai karakteristik informan dilihat dari profil informan dan pernikahan pada masa studi di kalangan mahasiswa. Profil informan mengungkap tentang profil individu informan yang menikah pada masa studi baik itu dari keluarga maupun sisi kehidupan informan itu sendiri. Sedangkan pernikahan pada masa studi di kalangan mahasiswa mengungkap tentang beberapa hal yang berkaitan dengan keputusan informan untuk menikah pada masa studi ketika dia seseorang masih berstatus mahasiswa.
A. PROFIL INFORMAN MAHASISWA YANG TELAH MENIKAH PADA MASA STUDI Dalam penelitian ini, penulis telah mewawancarai sebanyak 5 orang informan. Di lapangan penulis belum menemui data yang pasti mengenai jumlah Mahasiswa yang menikah. Tetapi dengan menggunakan metode penelitian yang dipilih, penulis sebenarnya mengetahui masih ada mahasiswa lain yang menikah pada masa studi. Adapun profil dari kelima informan tersebut yang telah penulis wawancarai yaitu : 2. DN Informan ini adalah seorang mahasiswa FISIP jurusan Sosiologi angkatan 2004 (Semester VII) yang masih aktif kuliah pada jurusannya. DN selama kuliah aktif dalam organisasi kampus yaitu LKI, sehingga dalam masa kuliahnya
disibukkan dengan berbagai kegiatan baik kuliah maupun aktif dalam kegiatan organisasi. DN berasal dari keluarga yang sangat kecukupan, karena Orangtuanya (Bapak) bekerja sebagai staf di Bank. DN mempunyai 2 saudara yaitu kakak perempuannya (telah bekerja) dan adik perempuannya (SMA). Keluarga DN adalah muslim, hal ini dilihat dari informan sendiri yang memaparkan kehidupan keluarganya. DN memutuskan menikah pada semester III (tiga) akhir dengan berbagai pertimbangan serta konsekuensinya. Orang tua DN sampai pada saat ini tidak setuju dengan keputusan DN menikah pada masa studi sehingga DN hanya menikah siri (tidak ada catatan sipil/KUA), karena orangtuanya hanya ingin DN lulus kuliah dahulu baru menikah. Membentuk keluarga (menikah) butuh persiapan yang matang terutama dalam hal ekonomi sehingga sebelum menikah DN juga telah bekerja sambilan, yaitu dengan membuka rental komputer. Pekerjaan ini ia jalani pada awal semester III (sebelum menikah) sampai sekarang, walaupun belum bisa maksimal yang penting sudah berusaha mencukupi kebutuhan keluarga. 2. AB Informan ini adalah seorang mahasiswa FKIP jurusan Pendidikan Kimia angkatan 2002 (Semester XI) yang masih aktif kuliah di jurusannya, bahkan masih mengambil teori walaupun sudah semester tua. AB selama kuliah aktif dalam berbagai organisasi khususnya keagamaan yaitu SKI, KAMMI, HMJ dan
JN UKMI. Ia aktif dalam organisasi ini sebelum menikah, tetapi setelah menikah hanya aktif di JN UKMI. AB berasal dari keluarga yang kecukupan, karena kedua orangtuanya bekerja sebagai guru (PNS). AB mempunyai 4 saudara yaitu kakak perempuan (telah menikah) dan adiknya yang masih SMA, SMP dan SD. Keluarga AB menganut agama Islam semuanya. AB memutuskan menikah pada semester IX (sembilan) akhir dengan berbagai alasan serta pertimbangan yang matang. Orang tua AB pada awalnya kurang setuju terhadap keputusannya karena seperti harapan orangtua pada umumnya ingin anaknya lulus, bekerja baru menikah, tetapi dengan berbagai penjelasan akhirnya orangtua AB dapat memahami keputusannya. Sebelum menikah AB telah bekerja sambilan yaitu dengan mangadakan les privat di daerahnya, menjadi sales sabun kesehatan, mengajar di sekolah. Kemudian setelah AB menikah pekerjaan yang masih dijalankan yaitu mengajar di sekolah serta usaha dengan istri membuka rental komputer dan menjual pulsa (seluler). Saat diwawancarai, informan sedang menunggu kelahiran anaknya (istri hamil 9 bulan) sehingga AB harus mempersiapkan segala sesuatunya agar nanti bisa tenang dalam menghadapi kelahiran bayinya. 3. RM Informan ini adalah mahasiswi FISIP jurusan Komunikasi angkatan 2003 (IX) yang tinggal mengerjakan skripsinya. Selama kuliah RM
aktif dalam
berbagai kegiatan yaitu BEM, Visi, HMI, dsb. Tetapi setelah RM menikah semua organisasi yang telah diikuti ditinggalkan semua demi mengurus keluarga. RM berasal dari keluarga yang kecukupan, mempunyai 2 saudara yang telah menikah semuanya. Saudaranya menikah pada waktu duduk dibangku SMA, karena dia sekolah lingkungan pondok pesantren dan kebanyakan orang Madura seumurannya telah ada tunangannya. Dalam urusan agama, keluarga RM menganut agama Islam semuanya jika dilihat dari pengungkapannya karena keluarga besarnya adalah pengurus pondok pesantern. RM mengambil keputusan untuk menikah setelah bertunangan dengan pasangannya selama 1 tahun, yang sebelumnya dari orang tua dan pamannya menyuruh untuk segera menikah saja karena hal itu (pacaran) tidak baik menurut agama. Sehingga RM mengambil keputusan menikah pada semester VIII dengan berbagai pertimbangan termasuk dari keluarga. Orang tuanya secara otomatis tidak keberatan dengan keputusan RM menikah walaupun masih berstatus mahasiswa yang terpenting keduanya dapat berjalan. RM telah terbiasa bekerja sambilan baik sebelum menikah atau malahan sesudahnya yaitu menjadi marketing di sebuah radio swasta. Kemudian setelah RM menikah, pekerjaannya menjadi marketing tetap dijalani ditambah usaha produksi makanan kecil yang dikerjakan dirumahnya. Saat ini RM telah mempunyai anak yang berumur 6 bulan, sehingga segala urusan yang lebih diutamakan adalah mengurus anak terlebih dahulu baru yang lain.
4. FK Informan ini adalah mahasiswi FKIP jurusan Pendidikan Kimia angkatan 2004 (VII) yang masih mengambil teori, juga baru saja melaksanakan PPL. Di kampus FK tidak ikut dalam sebuah organisasi, tetapi di masyarakat mengikuti yaitu Nurul Ummahat. Kemudian setelah menikah aktif di kegiatan PKK. FK berasal dari keluarga yang kecukupan, mempunyai 1 saudara. Dalam hal beragama keluarga FK adalah muslim semuanya. FK sendiri berjilbab besar yang menandai dia seorang muslimah. Keputusan FK untuk menikah di ambil ketika masih semester II dengan berbagai alasan yang matang. Orang tua FK pada awalnya kurang setuju dengan keputusannya karena dinilai masih terlalu muda untuk ukurannya, tetapi dengan segala pemahaman dan pertimbangan-pertimbangan akhirnya diluluskan juga keputusannya menikah. FK terbilang sudah bekerja sambilan sebelum menikah sehingga setelah menikah pun dia tidak kaget karena ekonomi makin mantap yang didapat dari suami, kerja sendiri dan dari oerang tuanya yang masih memberi walau sedikit. Pekerjaan yang dijalani adalah memberikan les privat (karena dia anak FKIP). 5. LM Informan ini adalah mahasiswa Fakultas Pertanian jurusan Agronomi angkatan 2004 (Semester VII) yang masih aktif pada jurusannya (masih mengambil teori). Selama ini LM tidak pernah ikut aktif dalam kegiatan organisasi hanya ikut berpartipasi dalam SKI saja (kegiatan agama).
LM berasal dari keluarga yang kecukupan dalam hal materi, mempunyai 2 saudara (adiknya). Dalam hal agama keluarga LM adalah menganut agama Islam semuanya. Keputusan menikah diambil setelah lama mengenal istrinya yaitu semenjak SMA tetapi karena keadaan yang belum mendukung serta persiapannya maka baru pada semester III bisa melangsungkan pernikahan. Orang tua sebenarnya telah mengetahui keputusan LM untuk menikah dan setuju tetapi untuk lebih meyakinkan maka diberikan pemahaman-pemahaman agar lebih yakin. Sebelum menikah LM telah bekerja sambilan walaupun hanya sekedarnya tetapi setelah menikah LM lebih giat lagi dalam usaha mencari nafkah dengan berwiraswasta, sehingga dapat tercukupi kebutuhan keluarganya sendiri. Dari pemaparan di atas mengenai profil mahasiswa yang menikah pada masa studi, maka dapat dibuat suatu kesimpulan sistematis yang tertuang dalam matriks berikut :
Tabel III.1 Matriks Profil Informan
Informan Umur Semester
Aktif
Pendapat
Menikah Kuliah Orang Tua Saat
Pekerjaan
Pekerjaan
Sebelum
Setelah
Menikah
Menikah
Menikah DN
21
III
Aktif,
Tidak
Rental
Rental
masih
Setuju
Komputer
Komputer
Aktif,
Setuju
Mengajar,
Mengajar,
masih
Setelah Ada
Sales,
Berwiraswa
ambil
Pemahaman
Usaha
sta
ambil teori AB
24
IX
teori RM
LM
22
21
VI
III
ternak
Aktif,
Sangat
tinggal
Setuju,
dan Usaha
skripsi
malahan
Makanan
Mendukung
Kecil
Aktif,
Setuju,
masih
malahan
ambil
mendukung
Marketing
Marketing
Wiraswasta
Wiraswasta
Les Privat
Les Privat
teori FK
21
II
Aktif,
Setuju
masih
setelah ada
ambil
Pemahaman
teori
B. PERNIKAHAN MAHASISWA
PADA
MASA
KULIAH
DI
KALANGAN
1. Pendapat Orang Tua Informan Mengenai Keputusan Mahasiswa Untuk Menikah Pada Masa Studi Mahasiswa menikah bukanlah hal yang mudah, karena bukan merupakan hal umum dilakukan. Sebagai umumnya mahasiswa yaitu mereka rajin kuliah, aktif dalam organisasi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan (kampus) akademik. Seperti halnya dengan orang tua, yang mengharapkan anaknya yang kuliah (mahasiswa) dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik, bekerja kemudian baru berpikir menikah. Melihat kenyataan yang ada orangtua kadang tidak setuju ketika anaknya memutuskan menikah, tetapi dengan pemahaman dari informan sendiri hal itu bisa diatasi. Orangtua yang kurang setuju terhadap anaknya yang menikah pada masa studi (kuliah) lebih disebabkan masalah klasik yaitu harus kuliah dahulu selesai baru boleh menikah, seperti yang diungkapkan DN mengenai pendapat orangtuanya saat memutuskan menikah : “Dari orangtua saya sendiri tidak setuju saat saya akan menikah, alasannya saya harus nyelesain kuliah baru kawin. Tetapi orangtua dari pihak istri saya setuju sehingga saya nikah sirri dulu baru nanti kalo saya dan istri lulus menikah resmi gitu”.(DN, 8 Nopember 2007). Berbeda dengan AB yang pada awalnya orangtuanya kurang setuju tetapi dengan pemahaman dan penjelasan yang panjang akhirnya bisa menerima : “Orangtua pada awalnya kurang sepakat dengan keputusan saya, tetapi setelah diberi pemahaman dengan keadaan yang ada dan diberi penjelasan ya akhirnya setuju, dari saya sendiri tidak memaksa orangtua harus setuju tapi karena ini telah dikomunikasikan dan diberi penjelasan yang akhirnya bisa luluh juga” (AB, 23 Nopember 2007). Sama halnya dengan AB, FK juga mengungkapkan hal yang intinya sama :
“Awalnya orang tua belum menyetujui, tetapi akhirnya merestui juga dengan banyak pertimbangan dan pemikiran” (FK, 4 Desember 2007). Tetapi berbeda dengan RM yang secara otomatis mendapat restu dari orangtuanya : “Orangtua malah yang menyuruh, karena kami sudah tunangan dulu dan kami sudah sama-sama bekerja jadi yah nikah deh dan malah sekarang dah punya anak”(RM, 22 Desember 2007). Jadi pada dasarnya orangtua dapat memahami jika anaknya menikah pada masa studi, yang terpenting diberikan pemahaman dan pertimbangan yang jelas agar dapat direstui untuk menikah. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya orang tua informan kurang setuju dengan keputusan anknya yang masih berstatus mahasiswa menikah, tetapi adanya komunikasi, pemahamanpemahaman serta penjelasan yang ada pada akhirnya orang tua luluh dan merestui keputusan informan menikah pada masa studi. 2. Urutan Waktu Menikah Masing-masing Informan Jika
dilihat dari waktu menikah masing-masing informan berbeda
tergantung dari kondisi kesiapannya baik secara materi (pekerjaan), mental, dan sebagainya. Tetapi jika diurutkan yang paling muda dalam usia menikahnya yaitu FK, seperti penuturannya : “Aku nikah pada pertengahan semester dua, jadi pada saat itu umurku 19 tahun aku dah nikah” (FK, 4 Desember 2007) Lain halnya yang diungkapkan LM : “Saya nikah pada semester tiga awal padahal masih sibuk-sibuknya kuliah tapi ya gak apa-apa saya udah pengen kok dari dulu…” (LM, 9 Desember 2007). Sama seperti LM, DN juga menikah pada semester yang sama : “Aku kawin pada semester tiga akhir waktu itu calonku habis ujian di SMA-nya” (DN, 8 Nopember 2007).
Kalau RM beda lagi : “Pas nikah tu aku semester enam akhir udah mau ke tujuh” (RM, 22 Nopember 2007). AB lebih tua lagi umur menikahnya diantara informan yang lain : “Saya nikah semester sembilan akhir” (AB, 23 Nopember 2007). Dari pemaparan diatas dapat dibuat tabel mengenai urutan waktu menikah dari masing-masing informan, yaitu sebagai berikut : Tabel III.2 Urutan Waktu Menikah Informan No.
Informan
1. 2. 3. 4. 5.
FK LM DN RM AB
Semester Informan Menikah II (dua) III (tiga) III (tiga) VI (enam) IX (sembilan)
Umur Informan Saat Menikah 19 tahun 20 tahun 20 tahun 21 tahun 23 tahun
3. Ada Atau Tidaknya Pikiran Untuk Menikah Sebelumnya Pada awalnya setiap informan tidak ada pikiran untuk menikah pada masa kuliah karena mereka sadar hal ini akan menggangu dalam kegiatannya di kampus. Tetapi seiring dengan pembelajaran yang diterima baik melalui media maupun orang-orang disekitarnya juga lingkungannya maka cara berpikirnya pun berubah juga. Seperti diungkapakan RM berikut ini : “Dahulu aku gak pernah berpikir nikah pada masa kuliah malahan aku pengen S2 dulu tapi ya karena aku dah merasa yakin dan mampu ya nikah sekarang aja” (RM, 22 Desember 2007). Hal senada juga diungkapkan FK dan LM : “Saya tidak pernah berpikir menikah saat mahasiswa tapi waktu dan pembelajaran yang buat saya nikah cepet” (FK, 4 Desember 2007)
“Aku pengennya nikah habis kuliah kelar karena aku laki-laki jadi harus bekerja dulu, tetapi semua berubah sekarang aku ingin cepat menikah saja” (LM, 9 Desemeber 2007). Tetapi hal lain diungkapkan AB berbeda : “Dahulu di SMA saya tidak pernah berpikir seperti itu tapi saat dah kuliah itu dimulai semester tiga saya pengen, ya dengan segala kesibukan serta persiapan-persiapan untuk nikah ya saya terpaksa menunda baru kesampaian nikah pada semester sembilan” (AB, 23 Nopember 2007). Dari apa yang telah disampaikan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwasanya informan yang menikah pada masa studi, sebelumnya tidak ada pikiran untuk menikah tetapi dengan perjalanan waktu dengan berbagai pelajaran, norma serta nilai-nilai yang dipelajari sehingga mahasiswa berpikir untuk menikah pada masa studi. 4. Persiapan Informan Sebelum Menikah Untuk menikah dibutuhkan persiapan yang matang, terutama dalam mencukupi kebutuhan yaitu materi tentunya dengan bekerja. Namun dilain pihak tugas sebagai mahasiswa menuntut agar juga bisa meluangkan waktu untuk kuliah dan sebagainya yang berkaitan. Bekerja sambilan menjadi alternatif mereka (informan) karena untuk bekerja sehari penuh maka kuliah akan terbengkelai sehingga mereka yang bekerja sambilan harus pandai-pandai membagi waktu antara keluarga, pekerjaan dan kuliah. Persiapan sebelum menikah dalam hal ini lebih dikhususkan yaitu tentang pekerjaan. Dimana masing-masing informan menguraikan bagaimana nantinya akan mencukupi kebutuhan setelah menikah. Laki-laki (suami) dalam keluarga secara otomatis menjadi tulang punggung ekonomi, walaupun dalam hal ini informan perempuan (istri) ditemukan membantu suaminya semampunya.
Informan DN mengungkapkan : “Saya kan masih kuliah, jadi untuk mencari nafkah belum maksimal. Saya membuka rental komputer di daerah kampus, ya lumayan dah dapat uang tapi belum maksimal” (DN, 8 Nopember 2007) LM juga mengungkapkan hal yang sama : “Aku dari dulu sudah bekerja sambilan jadi saat nikah gak ada masalah walaupun disambi kuliah yang penting bisa bagi waktu aja”(LM, 9 Desember 2007). Sedangkan AB mengungkapkan : “Sebelum nikah saya udah biasa bekerja malah sering ninggalin kuliah, ya dari nyales, ngeles privat, mengajar di SMP dan wiraswasta lainnya” (AB, 23 Nopember 2007). Hal lain karena perempuan mengungkapkan : “Walaupun aku perempuan tapi aku juga bekerja karena aku berprinsip saat nikah nanti aku tidak mau membebani suamiku jadi aku juga harus bekerja, aku jadi marketing di MQ sampai sekarang (setelah menikah)” (RM, 22 Nopember 2007). “Karena aku masih kuliah jadi aku persiapan materi gak banyak alias bekerja cuma sekedarnya”(FK, 4 Desember 2007). Masing-masing informan kebanyakan telah terbiasa bekerja sambilan sekedarnya sehingga pada saat memutuskan menikah tidak terkejut karena sudah ada bekal untuk mencukupi kebutuhannya, walaupun ketika masih berstatus mahasiswa. Akan tetapi pekerjaan yang digeluti informan belumlah maksimal karena waktunya masih terbagi dengan statusnya sebagai mahasiswa. 5. Jalan Informan Mengenal Pasangan Menikah tentunya ada suatu proses yang panjang sehingga 2 orang dapat melangsungkan pernikahan, dimana jalan mengenal pasangan berbeda-beda baik waktu mengenal pasangan atau penghubung dari kedua pasangan. Lebih-lebih informan adalah orang yang beragama (Islam) yang tendensi menikah seringkali
menghindari dari dosa jadi dapat dilihat proses menuju jenjang pernikahan tidak seperti pada orang umumnya. Tetapi ada juga yang memakai pacaran dahulu, bertunangan baru menikah. Hal ini diungkapkan RM : “Saya mengenal suami dari temen kuliahku, suamiku kan saudara keponakannya (temanku). Ya jalannnya aku dikenalin aja ma temenku. Temenku itu keponakannya pasanganku ya terus dia (pasangan) main ke kos dan cocok ya dah kami pacaran dulu hampir setahun, terus dia ngajak tunangan dan menikah gitu aja. Ee…malah sekarang dah punya anak” (RM, 22 Nopember 2007). Jalan mengenal pasangan informan lain berbeda, karena proses mengenal pasangan sangat singkat tidak ada pacaran dalam arti mengenal langsung lamaran (ta`aruf) dan menikah. Seperti yang diungkapkan AB : “Saya waktu itu pengen banget nikah, ternyata temenku ngenalin temennya dan dia (pasangan) juga pengen banget segera nikah ya dah kami menganggap sama-sama cocok ya dah jalan satu bulan kami langsung nikah” (AB, 23 Nopember 2007). Sama halnya dengan FK : “Saya belum pernah bertemu pasangan saya sebelumnya, karena saya pengen nikah dan temen saya ngenalin dengan suami saya saat ini, kami merasa sama-sama cocok ya dah kami nikah, waktu kami ta`aruf cuma sebulan” (FK, 4 Desember 2007). DN juga mengungkapkan : “Istriku itu kan adik kelas saya dulu di SMA. Dulu malah saya gak ngerti dia, ya cuma kenal (tahu namanya aja). Setelah dia kelas 3 malah sering nanyaen kabar saya (lewat sms) ya dah aku bilang ma ortunya, disetujui dan akhirnya kami nikah. Tapi masih sirri” (DN, 8 Nopember 2007) Jalan mengenal pasangan dari masing-masing informan berbeda, tetapi dapat dibagi menjadi dua, yaitu memakai pacaran dan langsung menikah melalui ta`aruf dalam waktu singkat. Dari keduanya berbeda jika dilihat dari perkenalan pasangannya sampai akhirnya menikah, jika memakai pacaran tentunya waktu
untuk saling mengenal lebih lama sedangkan jika tidak maka waktu untuk mengenal sangat singkat. 6. Pekerjaan Setelah Informan Menikah Setelah menikah tentunya seorang yang telah menikah lebih giat lagi dalam rangka memenuhi kebutuhan, walaupun tugas sebagai mahasiswa masih tetap dijalankan tetapi konsentrasinya akan terbagi. Para informan mayoritas mengungkapkan bahwa setelah menikah mereka lebih giat (lebih semangat) untuk mencari nafkah, juga muncul ide-ide untuk memperoleh penghasilan seperti yang diungkapkan RM berikut : “Setelah nikah aku juga masih di MQ jadi marketing, ini aku juga ada usaha kecil-kecilan buat roti nanti disetorin ke warung-warung kecil juga kalo ada pesanan. Malah sekarang aku dah punya 3 karyawan…” (RM, 22 Nopember 2007). AB dan DN juga mengungkapkan hal yang hampir sama : “Setelah nikah saya masih tetap ngajar, ini malah saya dah mulai wiraswasta buka rental komputer juga jualan pulsa walaupun modal hutang tapi nanti pasti bisa ngembaliin…” (AB, 23 Nopember 2007). “Setelah nikah aku tetap buka rental komputer, ditambah istriku yang aku modali buat menjual jajanan yang ditawarin ke kos-kos “ (DN, 9 Nopember 2007). Dari apa yang diungkapkan masing-masing informan kita mengetahui adanya ide-ide baru dalam mengembangkan ekonomi rumah tangganya, walaupun masih belum dianggap maksimal karena terbaginya waktu untuk mengurus kuliah. Tetapi setidaknya informan lebih giat dalam berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya dan bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. 7. Prioritas Kepentingan Informan
Mahasiswa yang telah menikah kadang sulit dalam membagi waktu antara pekerjaan, keluarga dan urusan kuliah sehingga harus ada skala prioritas. Informan yang ditemui kebanyakan lebih memprioritaskan keluarga dan pekerjaan dari pada kuliah sehingga hal ini kadang menjadi hambatan dalam penyelesaian studi. Seperti yang diungkapkan DN : “Antara keluarga, pekerjaan dan kuliah aku lebih pentingin keluarga, kerjaan baru kuliah. Aku sering bolos kuliah kalau lagi ada urusan dengan istriku juga pekerjaan” (DN, 8 Nopember 2007). Hal yang sama juga diungkapkan RM : “Sekarang kan aku udah punya anak, jadi anak aku urus dulu baru kalo dah selesai aku bisa ngurus kerjaan atau kuliah. Sekarang kan tinggal skripsi jadi lebih longgar untuk urusan kuliah gitu…” (RM, 22 Nopember 2007). LM juga mengungkapkan tentang hal ini, yaitu : “Sebagai seorang suami saya berusaha bertanggungjawab terhadap keluarga saya, sehingga urusan kuliah lebih sering aku kesampingkan yang penting masalah pekerjaan dan keluarga sudah beres” (LM, 9 Desember 2007). Masing-masing dari informan telah secara terbuka mengungkapkan prioritas kepentingannya, dimana keluarga adalah yang terpenting dibandingkan dengan urusan pekerjaan apalagi kuliah. Walaupun demikian dari dalam diri informan masih ada semangat untuk dapat menyelesaikan kuliahnya (tidak ingin berhenti ditengah jalan). Sehingga dengan berbagai daya dan upaya mereka membagi waktu agar semua kepentingan dapat dijalankan sesulit apapun. 8. Pergaulan dengan teman setelah menikah Mahasiswa yang telah menikah tentunya dalam pergaulannya tidak “sebebas” ketika belum menikah, hal ini juga dirasakan oleh masing-masing informan mengingat tuntutan kebutuhan yang lebih besar serta waktu yang tidak
memungkinkan untuk mereka berinteraksi seperti dahulu. Tetapi teman-temannya menyadari akan hal ini, sehingga satu sama lain tidak ada prasangka yang membuat renggang persahabatan mereka hanya waktu dan keadaan yang tidak memungkinkan. Seperti yang diungkapkanDN : “Teman-teman paham akan hal ini sehingga waktu untuk bersama mereka mungkin hanya sedikit tapi ya tidak apa-apa” (DN, 8 Nopember 2007). AB dan FK juga mengungkapkan hal yang sama : “Sekarang kan saya sudah nikah jadi mereka paham frekuensi untuk bersama juga kurang. Malahan kalau ada tugas temen-temen sering ngerjain tugas saya karena saya harus ngurus keluarga serta pekerjaan” (AB, 23 Nopember 2007) “Setelah saya nikah tidak ikut dalam organisasi lagi karena tidak boleh sama suami sehingga pergaulan dengan teman ya berkurang tapi mereka paham kok dengan kondisi saya saat ini yang tidak seperti dulu yang bebas kemana-mana” (FK, 4 Desember 2007). Dari apa yang diungkapkan informan dapatlah kiranya diambil suatu garis besar tentang adanya perbedaan dalam pergaulan dengan teman-temannya, yaitu adanya batas tertentu mengenai waktu yang mengakibatkan frekuensi bertemu lebih sedikit, karena sudah terbagi dengan keluarga dan pekerjaan. Tetapi temanteman informan telah memahami tentang statusnya sehingga tidak terjadi masalah. Kadang teman-teman informan membantu dalam mengerjakan tugas kuliah. 9. Hambatan setelah menikah Mahasiswa yang telah menikah pada masa studi jika dipandang dari bertambahnya status dan kesibukannya maka kita akan menyimpulkan dalam menjalani kuliahnya (studi) akan ada hambatan-hambatan yang menyebabkan semakin lamanya mereka lulus sarjana. Akan tetapi dalam penelitian ini mayoritas informan menyatakan tidak ada hambatan dalam menyelsaikan studinya walaupun
ada yang berpendapat menghambat. Tetapi menikah bukanlah faktor utama yang menghambat. RM, FK dan LM serta AB mengungkapkan hal yang kurang lebih sama mengenai keputusan menikah menghambat kuliah apa tidak. Seperti RM dan FK: “Setelah menikah saya jadi tambah semangat hidup, kalau masalah kuliah saya jadi semangat tuk cepat lulus aja. Jadi tak ada hambatan yang berarti malahan hal itu mendukung semuanya” (FK, 4 Desember 2007). “Aku kan tinggal skripsi jadi ya secara otomatis gak ada hambatan sama sekali malahan aku jadi lebih semangat pengen cepet lulus agar bisa meraih hal lain yang lebih” (RM, 22 Nopember 2007). AB dan LM agak berbeda : “Saya menikah atau tidak sama aja dalam kuliah karena saya itu males. Tapi kalau dilihat lebih mendalam setelah menikah ada semangat tersendiri karena kalau sudah lulus bisa melakukan hal lain” (AB, 23 Nopember 2007) “Menikah menurut saya gak akan menghambat karena ya dasar saya orangnya gak pandai-pandai amat jadi ya sama aja. Setelah nikah saya pengen cepet lulus aja”(LM, 9 Desember 2007). Lain halnya dengan DN yang masih ambil banyak teori : “Aku seringnya bolos kuliah karena urusan keluarga jadi ini yang menghambat aku setelah nikah karena urusan bertambah. Tapi aku juga pengennya dalam setiap mata kuliah aku usahakan bisa lulus terus”(DN, 8 Nopember 2007). Bertambahnya
status
informan
menjadikan
mereka
ingin
cepat
menyelesaikan kuliahnya, karena mereka berpikir bahwa setelah lulus nantinya akan lebih longgar dalam menjalankan kewajibannya baik bekerja maupun mengurus rumah tangga. Sehingga secara umum tidak ada hambatan yang berarti bagi informan setelah menikah malahan ada tambahan semangat untuk cepat lulus kuliah.
10. Manfaat atau Kebaikan Memutuskan Menikah Pada Masa Studi
Selain disebutkan hal yang mungkin menghambat tentunya memutuskan menikah pada masa studi ada manfaat atau kebaikannya, karena mereka (informan) tidak sembarangan dalam menentukan keputusannya. Seperti yang diungkapkan oleh DN : “Setelah menikah saya merasa lebih dewasa dalam hidup ini karena ada suatu tanggungjawab yang besar yang ada dipundak saya, maka saya akan berusaha semaksimal baik dalam keluarga, kuliah maupun pekerjaan” (DN, 8 Nopember 2007). Lain halnya dengan RM yang lebih komplek meyebutkan manfaat atau kebaikannya : “Setelah nikah aku merasa lebih bahagia, senang udah ada pasangan hidup yang sama-sama ngerti juga udah mampu membentuk satu keuarga kecil dengan hadirnya anak jadi ya hidup lebih bermakna aja” (RM, 22 Nopember 2007). Tentunya informan dapat mengambil manfaat/kebaikan setelah mereka memutuskan menikah, dimana dengan bertambahnya status mereka maka akan lebih tanggung jawab terhadap apa yang menjadi keputusannya. Mereka lebih bisa mengungkapkan kebaikannya dari pada keburukannya, sehingga hal ini menjadi kesimpulan bahwa setelah mereka menikah hidup lebih bermakna dan lebih bertanggungjawab. 11. Tepat Tidaknya Informan Menikah Pada Masa Studi Hal yang paling utama dalam memutuskan menikah pada masa studi adalah tepat atau tidaknya menikah baik waktu maupun keadaan diri individu (mahasiswa). Semua informan menyatakan bahwa mereka tepat menikah pada masa studi karena mereka memutuskan hal ini tidak sembarangan dan sudah mengerti konsekuensi yang akan mereka hadapi. Saat mengalami hambatan pun mereka tidak lantas merasa menyesal, tetapi mereka sadar bahwa hambatan
(masalah) adalah bumbu kehidupan mereka. Sehingga keberanian menikah pada usia muda menuntut mereka berbuat lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa yang belum menikah. Berikut penuturan AB dan RM : “Sangat tepat, sebenarnya pengennya menikah dulu-dulu tetapi karena ada suatu yang menghambat baru bisa sekarang” (AB, 23 Nopember 2007). “Tepat sekarang untuk menikah karena aku merasa lebih kaya ide-ide dalam kehidupan juga sudah menemukan pasangan hidup yang tepat jadi semua bisa mendukung” (RM, 22 Nopember 2007). Keputusan menikah pada masa studi menurut apa yang diungkapkan informan secara garis besar tepat, malahan mereka beranggapan adanya penyesalan karena tidak menikah cepat. Sehingga hal ini membuktikan bahwa mereka (informan) menikah tidak ada penyesalan karena bertambahnya status yang berarti bertambah pula tanggung jawab yang dipikulnya. Jadi hal apapun yang akan terjadi pada diri seseorang harus dijalani agar nantinya tidak menyesal, perlu adanya pertimbangan-pertimbangan dan persiapanpersiapan yang matang. Begitu juga dengan menjalani sebuah pernikahan hambatan atau masalah yang terjadi adalah wajar jika disikapi dengan wajar pula sehingga tidak menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam keluarga tetapi merupakan bumbu kehidupan. Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan dikalangan mahasiswa, di mana masing-masing item telah jelas disebutkan yang terpenting adalah segalanya merupakan pilihan seseorang untuk melakukan tindakan yang juga akan ditanggung sendiri nantinya apa yang menjadi resikonya sehingga tidak akan ada penyesalan dalam memutuskan apa yang diperbuat.
BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA MENGENAI MOTIVASI MAHASISWA UNTUK MENIKAH PADA MASA STUDI
A. MOTIVASI MAHASISWA MENIKAH PADA MASA STUDI Memutuskan menikah menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji, yaitu ketika kita menjumpai orang-orang yang menikah berasal dari kalangan mahasiswa yang masih aktif kuliah. Hal ini dikatakan sebagai suatu hal yang menarik, karena sebagaimana lazimnya setiap mahasiswa pasti akan senantiasa menginginkan kelulusan dengan waktu relatif cepat dengan nilai yang tidak mengecewakan serta fokus kepada kuliahnya. Dengan memutuskan menikah pada masa studi, seorang mahasiswa akan dihadapkan pada suatu kondisi dimana mereka harus dapat membagi dan mengatur waktu, tenaga dan pikiran mereka dengan baik supaya kegiatan kuliah mereka tidak terpengaruh dengan mengurus keluarga atau pekerjaannya. Jika kemudian mereka kurang dapat mengatur kehidupan serta sumber daya yang dimiliki dengan baik, maka pernikahan ini sangat potensial mengganggu proses belajar mereka, yang pada akhirnya dapat menghambat studi mereka atau malah memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Tentu saja mahasiswa yang memutuskan menikah pada masa studi dengan latar belakang berbagai resiko, selalu di dorong oleh motivasi-motivasi tertentu. Dan melalui menikah ini dapat dijadikan media untuk memperbesar (berupa pemenuhan berbagai kebutuhan dan keinginan) serta mengurangi kekecewaan.
Demikian pula para mahasiswa yang memutuskan menikah pada masa studi tentu saja memiliki alasan yang kemudian menjadi motivasi bagi mereka untuk menikah pada masa studi (kuliah). Ilmuwan yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi yaitu Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam k e h i d u p a n n y a . Dalam teori Hygiene-Motivator, Herzberg menyatakan bahwa ternyata yang
mengarahkan
perilaku
bukan
hanya
motivasi
intrinsik
(motivasi
diri/motivator), tapi juga motivasi ekstrinsik (higiene). Motivasi intrinsik berasal dari dalam diri sendiri, sedangkan motivasi ekstrinsik bersumber dari kondisi di luar individu. Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik. Berdasarkan teori Motivasi-Higiene yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg, motivasi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Motivasi intrinsik, yaitu berbagai dorongan yang berasal dari dalam individu. 2. Motivasi ekstrinsik, yaitu berbagai dorongan yang berasal dari luar diri individu.
1. Motivasi Yang Datang Dari Dalam Diri Mahasiswa (Intrinsik) Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam penelitian tentang motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi ini ditemukan suatu fakta bahwa berdasarkan teori Model Dua Faktor (Teori Motivator-Higiene), motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi terbagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik (berbagai dorongan yang berasal dari dalam diri mahasiswa) dan motivasi ekstrinsik (berbagai dorongan yang berasal dari luar diri mahasiswa). Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik disini adalah berbagai dorongan atau tekanan yang berasal dari dalam diri mahasiswa yang berbentuk keinginan kuat untuk menikah pada masa studi (kuliah). Dorongan itu berupa tuntutan pemenuhan kebutuhannya, baik yang bersifat konkret maupun abstrak. Adapun yang termasuk dorongan atau motivasi intrinsik dalam hal ini adalah sebagai berikut : a. Keinginan terhindar dari perbuatan dosa (zina) Alasan ini menjadi menjadi faktor pendorong yang paling utama dan yang paling banyak dijadikan landasan dari mahasiswa yang menikah pada masa studi (kuliah). Pada umumnya, mahasiswa yang menikah dalam penelitian ini adalah mereka yang dalam beragama dalam kategori taat, dimana dalam agama sendiri
(khususnya Islam) sangat mengatur setiap aspek kehidupan. Dalam hal ini yaitu tentang pergaulan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, dimana ada aturanaturan tertentu yang seharusnya tidak dilanggar jika tidak ingin mendapatkan ganjaran (dosa). Pada dasarnya praktek kehidupan yang dijalani oleh masing-masing informan adalah cerminan dari agama Islam sendiri yang mengatur sangat ketat tentang masalah ini. Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa aturan yang menyangkut pergaulan laki-laki dan perempuan serta batasan-batasannya, yaitu : 1) Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya. Dalam ayat Al Quran telah disebutkan : “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemauannya...” (QS An-Nur: 30 - 31) 2) Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat (ragu-ragu) , dan menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat, supaya mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Dalam satu Hadits-nya Nabi Muhammad SAW bersabda : “Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua perkara itu terdapat syubhat (keraguan) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya, dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh
3)
4)
5)
6)
7)
8)
melewati pagar itu. Ketahuilah sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkannya.” (HR. Bukhari). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya mampu menjaga kesucian jiwa, dan mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT berfirman : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur : 33) Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu kecuali dengan izin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan.” Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj (menampakkan perhiasaanya), sebagaimana dalam Al Quran disebutkan : “Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan mengandung) yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj)” (QS. An-Nur : 60). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) ke dadanya.” (QS An Nuur: 31). “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS Al Ahzab: 59). Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya.” Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah tengah kaum wanita, sama halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria. Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian
belakang dari shaf shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahramnya. Wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-mahramnya. 9) Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau jalan jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya. (www.gaulislam.com/tinjauan-fiqh-pernikahan -dini). Dari hal ini, masing-masing informan menyatakan bahwa motivasi yang utama dalam melakukan pernikahan pada saat mahasiswa adalah agar terhindar dari perbuatan zina, sehingga jalan terbaik adalah menikah dini (pada saat masa studi). Sebagai contoh DN yang menyadari hal ini sebagai motivasi utamanya dalam melakukan pernikahan pada masa studi, dimana pada saat itu sebagaimana mahasiswa pada umumnya menyadari akan adanya hubungan antar jenis yang mungkin tidak ada batasnya (dalam arti pergaulan antara laki-laki dan perempuan). Dengan jalan inilah DN merasa nyaman dalam bergaul karena sudah memiliki pendamping yang akan memaksa membatasi ruang gerak dari DN sendiri. Pada jaman modern sekarang ini jalan untuk terjerumus dalam jurang perzinaan akan sangat mudah jika tidak ada kontrol, dimana DN merasa istrinya sekarang ini adalah kontrolnya dalam menjalani pergaulan di kampus. Temantemannya juga paham akan hal ini sehingga sebisa mungkin teman-temannya membatasi pergaulannya dengan DN (terutama perempuan) agar tidak terjadi fitnah.
DN sendiri juga tipe orang yang tidak meleburkan diri dalam pergaulan yang bebas bukan islami, dalam arti paham seberapa batasan dalam pergaulannya dengan lawan jenis. Selama ini dia aktif di LKI FISIP dimana jika dilihat pergaulannya akan sangat berbeda dibandingkan mahasiswa lain di luar organisasi tersebut terutama dalam pergaulan dengan lawan jenis. Seperti yang diungkapkan oleh DN : “Jadi mahasiswa adalah sebuah tanggungjawab yang besar, tetapi setidaknya menjaga agar tidak terjerumus dalam jurang perzinaan melalui hasrat, pandangan atau malahan melakukan perbuatan zina adalah dosa. Sehingga saya merasa jalan ini (menikah) adalah yang terbaik agar lebih bisa menjaga diri dari hal-hal yang mengganggu saya nantinya. Ini adalah motivasi yang mendasar pada diri saya, karena saya pikir lebih baik menentukan keputusan nikah sekarang daripada berlarut-larut nanti malah akan menambah dosa. Disamping itu saya aktif di LKI jadi ada batas-batas tertentu dalam pergaulan dengan lawan jenis dan saya sebelumnya juga paham tentang aturan ini, sehingga saya lebih merasa terkontrol dalam bergaul. Apapun itu, keputusan ini (menikah) menjadikan saya lebih bisa menjaga kesucian jiwa agar tidak terjebak dalam zina baik hati, mata maupun perbuatan (DN, 8 Nopember 2007). Keinginan agar terhindar dari dosa akibat zina mata, hati atau perbuatan adalah suatu bentuk praktek orang yang baragama khususnya Islam sehingga tidak salah mereka menempatkan motivasi ini yang pertama karena mereka sadar bahwa orang yang seumurannya pasti untuk masalah gejolak dan kontrol diri dalam masalah ini sangat banyak gangguannya sehingga jalan yang dihalalkan harus di tempuh yaitu menikah. LM menyatakan hal yang kurang lebih sama, bahwa motivasinya yang utama untuk menikah pada masa studi adalah agar terhindar dari perzinaan yang akan mengakibatkan dosa, sehingga dia merasa menikah pada masa studi adalah suatu jalan agar tehindar dari zina. Dia menyadari akan banyaknya bahaya atau
akibat dari pergaulan dengan lawan jenis apabila tidak dibatasi (dalam hal ini LM menganggap istri adalah satu bentuk kontrol juga) sehingga untuk lebih mempertahankan diri dari godaan tersebut (perempuan), ia melakukan nikah dini pada semester III. Dengan segala kesibukan dan pekerjaannya ia yakin bisa menjalaninya walaupun hal ini disadari akan menambah tanggung jawabnya (karena mempunyai dua status) yaitu disamping menjadi mahasiswa sebagai tugas utamanya, dia juga sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab mencari nafkah bagi keluarganya. Tetapi semua itu dijalani dengan penuh semangat karena ini adalah pilihan yang harus dijalaninya. Dia mengumpamakan jika tidak menikah cepat nanti akan terjadi hal yang akan menjerumuskan dosa, karena dia telah lama kenal dengan istrinya sekarang (sejak SMA) jadi hal ini juga menjadi tambahan motivasi untuk menyegerakan menikah walaupun masih kuliah. Dia merasa ada suatu ganjalan jika dia terusterusan membiarkan keadaan semula (dalam pacaran), walaupun bukan seperti pacaran pada umumnya tetapi melihat dari kenyataan yang ada serta merasa pekewuh dengan orang tua pasangannya maka lebih baik menikah. Tetapi dia menyatakan bahwa yang menjadi motivasi utamanya menikah pada semester III adalah agar terhindar dari dosa (menghalalkan hubungan dari perzinaan) karena telah lama saling kenal dengan pasangannya. Seperti ungkapan LM berikut ini : “Saya menikah pada saat kuliah itu karena pilihan saya sendiri, yang mana saya merasa amat berdosa jika berlarut-larut tidak segera menikah, walaupun saya tidak seperti kebanyakan orang yang pacaran tetapi karena saya udah kenal lama dengan pasangan saya ya lebih baik menyegerakan saja dari pada terjadi hal yang tidak-tidak. Yang lebih utama adalah menghalalkan hubungan ini agar tidak dicatat dalam perbuatan dosa karena berzina, jadi ya saya menikmati aja keputusan saya ini. Orang pasti
akan mengira betapa beratnya hidup yang saya jalani tetapi saya merasa lebih nyaman dalam keadaan ini“ (LM, 9 Desember 2007). Jadi memang motivasi ini menjadi faktor utama dalam melakukan pernikahan pada masa studi di dalam penelitian ini, karena mereka (informan) mengerti akan aturan-aturan agama khususnya Islam, sehingga hal ini meyakinkan juga dalam mengambil keputusan menikah yaitu terhindar dari perbuatan dosa akibat zina baik mata, hati, pikiran, perbuatan dan sebagainya. Dari uraian di atas dapatlah di tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya mahasiswa-mahasiswa tersebut termotivasi atau terdorong untuk menikah pada masa studi sambil tetap melanjutkan kuliahnya karena mereka memilki suatu kesadaran akan nilai-nilai agama dari pengetahuan serta pemahaman yang mereka dapatkan dari orang tua, guru/ustadz, dan lingkungan.
b. Merasa cocok dengan pasangannya dan saling membutuhkan Pernikahan adalah suatu proses yang panjang baik dalam mencari/memilih pasangan maupun dalam rangka menjalani pernikahan tersebut, sehingga dibutuhkan suatu pedoman atau kaidah dalam menentukan hal tersebut. Dalam hal ini yang utama adalah kaidah agama, dimana Islam mengatur hal ini dalam rangka memilih jodoh (pasangan), seperti yang disabdakan Nabi Muhammad dalam Hadits-nya : “Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridlai agama dan akhlaqnya, hendaklah kamu nikahkan dia. Kalau engkau tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas”. “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya atau karena agamanya. Akan tetapi, pilihlah berdasarkan agamanya agar selamatlah dirimu”.
Dari hal diatas juga menjadi motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi, di mana dalam mengambil keputusan untuk menikah sangat memperhatikan keadaan pasangannya. Dalam agama Islam sendiri hal yang paling menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan adalah masalah agama, seberapa besar ketaatan serta keyakinan pasangan dalam menjalankan peraturan agama. Hal ini dapat dilihat kesehariannya, sehingga nantinya pada saat menjalani kehidupan rumah tangga dapat tercipta suatu keluarga yang Islami, hal itu yang menjadi harapannya. Kecocokan dan saling membutuhkan adalah dua hal yang bilamana dalam memilih pasangan tepat melalui berbagai kriteria yang dipilih oleh seseorang yang menikah, baik itu laki-laki maupun perempuan. Apalagi seorang perempuan, hendaknya memilih pasangan hidupnya adalah laki-laki yang dianggap terbaik, tentu saja kriteria yang dimaksud bertujuan agar nanti dalam menjalani kehidupan keluarga mampu menjadi panutan dan pemimpin karena ia nantinya yang menjadi kepala keluarga. Seperti RM yang memilih pasangannya bukan sekedarnya tetapi melalui kriteria tertentu yang di anggap baik olehnya. Sebagai perempuan, ia memilih laki-laki yang bertanggungjawab baik itu terhadap keluarga, pekerjaan maupun agamanya. Sebagai seorang yang taat beragama ia tidak segan-segan mempertimbangkan pasangannya kepada orang tua dan pamannya yang dipandang orang yang lebih pengalaman dan lebih agamis karena pamannya seorang kyai yang mengajar di pondok. Seperti apa yang diungkapkannya : “Saya menentukan pasangan bukan sembarangan ya…Dia (pasangan) harus tanggungjawab tehadap keluarga, pekerjaan dan agamanya. Sebagai
orang yang dibesarkan dalam lingkungan yang beragama sudah menjadi harga mati jika saya menikah pasangan saya harus seiman dan tentunya sudah bekerja karena suami saya nanti harus dapat memenuhi kebutuhan keluarga walaupun mutlak bukan hanya tanggungjawab suami saya saja nantinya. Sehingga saya merasa cocok dengan pasangan saya setelah setahun kami tunangan dan juga kami kebetulan satu profesi yaitu sebagai marketing ya…itu lebih bisa dijadikan alasan kecocokan saya dengan pasangan saya. Dan motivasi saling membutuhkan juga bisa dimasukkan karena saya sudah bekerja walau masih kuliah, suami saya sudah bekerja juga dan pengen sama nikah jadi ya bisa dikatakan saling membutuhkan, karena orang kan nantinya juga akan menikah saya pun juga demikian. Dari semuanya saya memutuskan nikah” (RM, 22 Nopember 2007). RM merasa ada kecocokan dengan pasangannya berdasarkan apa yang telah dijalaninya selama tunangan, karena sebelum menikah dia tunangan dulu selama setahun (atau dalam arti pacaran). Karena sudah merasa cocok dan juga ada rasa saling membutuhkan untuk dapat membentuk keluarga maka dia tidak lagi mengurungkan niatnya untuk menikah dengan pasangannya. Pasangannya dipandang RM sebagai orang yang taat beragama berdasarkan apa yang dilihat keseharian pasangannya, juga sebelum menikah pasangannya (suaminya sekarang) telah umroh ke tanah suci Mekkah jadi hal ini pula yang membuatnya semakin yakin untuk segera menikah tanpa menunggu kuliah selesai. Dalam bidang pekerjaan juga sama sesuai dengan harapan RM yang menilai suaminya bertanggungjawab dalam urusan pekerjaan, karena suaminya juga marketing sejak lulus D III di mebel sebuah perusahaan. Jadi RM menilai profesi yang dijalani sama dan kemungkinan besar akan saling memahami dan mengerti jika sewaktu-waktu ada masalah dengan pekerjaannya. Dua hal inilah yang nilai RM sebagai motivasinya menikah pada masa studi yaitu kecocokan dan saling membutuhkan.
AB juga menyatakan hal yang sama mengenai motivasinya menikah pada masa studi, bahwa ia merasa kalau pilihan yang dijatuhkan pada pasangannya adalah adanya kecocokan antara dia dan pasangannya. Karena nantinya akan jadi pendidik dan pengasuh serta ibu dari keturunannya. Faktor yang utama adalah mengenai agamanya (pasangannya), dimana dia sebagai seorang muslim yang baik tentunya berusaha untuk melaksanakan apa yang menjadi kaidah dalam agama. Hal ini juga menyangkut keluarganya (kecocokan) menurut keluarganya, karena AB ingin menghadirkan seorang figur muslimah di dalam keluarganya sehingga yang paling utama adalah memilih pasangan yang benar-benar mampu memberikan tauladan dalam kehidupan keluarga (orang tua dan adik-adik AB) menurut kaidah-kaidah agama Islam yang benar. Seperti yang diungkapkannya berikut ini : “Saya merasa ada kecocokan pada diri saya dan pasangan saya, karena tujuan awal saya memilih dia (istrinya sekarang) adalah sebagai figur dalam keluarga saya. Saya ingin dalam keluarga saya ada tauladan yang baik agar bisa ditiru oleh adik-adik dan orangtua saya. Dia nantinya juga akan menjadi pendidik sekaligus ibu bagi anak-anak saya sehingga saya merasa dia adalah cocok bagi saya” (AB, 23 Nopember 2007). Motivasi ini menjadi bagian penting tersendiri bagi mahasiswa yang menikah, karena mereka tidak mau pada suatu saat menyesal dengan keadaan pasangannya apalagi sampai bercerai. Sehingga kecocokan dan adanya saling membutuhkan adalah dua hal yang akan memotivasi mereka menikah pada masa studi. Terlebih mereka adalah orang-orang yang mempunyai jiwa agama yang kuat sehingga dalam memilih dan memutuskan siapa yang akan jadi pasangannya
tentu sudah terpikirkan ciri-ciri (karakteristik) pasangan yang dipilih yang dikaitkan dengan kaidah agama Islam.
c. Cukup umur dan merasa telah wajib menikah Usia pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun, sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara fisiologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan. Secara psikis pun mulai matang. Sementara laki-laki, pada saat itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan social (www.pikiran--rakyat.com/cetak/0804/hikmah/lainnya/04.htm 8 agustus 2004). Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah. Sabda Nabi Muhammad SAW : “Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh seorang pemuda jika ingin menikah, yaitu : §
Kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman pengetahuan yang berkaitan dengan urusan pernikahan.
§
Kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan.
§
Kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki. Sehingga hal ini sudah menjadi bagian penting (keharusan) jika akan menikah. Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah
dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai berikut : Ø Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah. Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut
(menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik. Ø Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya. Ø Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syaratsyaratnya, yaitu: ü Kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat
dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman : “Dan (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al Mu`minun : 8) ü Kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan nikah harus diwujudkan, khususnya kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit (www.gaulislam.com/tinjauan-fiqh-pernikahan -dini). Dari beberapa pemaparan dasar di atas dapatlah kiranya menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk menikah pada masa studi yang berarti memang segala sesuatunya telah direncanakan. Dalam penelitian ini juga ditemukan informan yang mengungkapkan menikah adalah karena merasa telah cukup umur dan merasa wajib menikah. Seperti RM, yang telah berumur 21 tahun menganggap bahwa dia telah merasa cukup umur jika menikah, disamping itu selama ini dia telah mampu mencukupi kebutuhan sendiri dengan bekerja di bagian Marketing sehingga jika dirunut dalam kaidah agama dia telah wajib menikah. Seperti yang diungkapkannya : “Saya menikah pada umur 21 tahun dan saya merasa pantas serta cukup umur untuk melakukan nikah walaupun masih kuliah, disamping itu masalah pekerjaan saya juga sudah punya walaupun sedikit tapi saya berpikir Allah akan melapangkan rezeki jika telah menikah. Ya saya berkeyakinan itu aja, juga sudah ada tunangannya ngapain ditunda-tunda
lebih cepat lebih baik, sehingga saya dalam mengkategorikan secara pribadi telah wajib menikah” (RM, 22 Nopember 2007). Menurut pemaparan yang disampaikan RM adalah masalah pengakuan dirinya yang merasa telah cukup umur dan wajib menikah sehingga jalan satusatunya adalah menikah, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan nantinya juga tidak terlalu dipikir karena dia sebagai perempuan yang bukan sepenuhnya mencukupi kebutuhan tetapi suaminya yang nantinya mencukupi walaupun RM juga bekerja. AB juga menyatakan hal yang kurang lebih sama dalam mengungkapkan motivasinya menikah yaitu dia telah merasa cukup umur, karena dia menikah pada usia 23 yang artinya dianggap wajar jika seumurannya menikah. Untuk masalah keyakinan akan wajibnya dia menikah saat itu karena dalam pikirannya sudah ingin menikah yaitu pada semester III akan tetapi baru kesampaian pada semester IX, walaupun dia merasa tugasnya sebagai mahasiswa masih berat karena masih mengambil teori yang banyak tetapi itu bukan menjadi halangan dirinya menikah. Dengan berbekal keyakinan bahwa dia telah wajib menikah dan merasa cukup umur maka dia tidak mau menunda-nunda keputusannya menikah, walaupun dia menyadari akan semakin bertambahnya tanggung jawab yang ia pikul karena disamping sebagai mahasiswa dengan segudang kegiatan kampus dia juga akan dikenai tanggung jawab sebagai kepala keluarga dalam mencari nafkah, apalagi pada saat dilakukan wawancara ini dia menunggu kelahiran anak pertamanya.
Kurang lebih petikan wawancaranya dengan AB demikian : “Saya memutuskan menikah karena jika saya melihat keadaan diri pribadi sudah mengkategorikan wajib menikah, disamping secara fisik sudah siap dilain pihak masalah mencukupi kebutuhan toh kalau ada usaha pasti selalu ada jalan yang diberikan Allah. Sedangkan masalah umur saya merasa lebih dari pantas karena banyak juga orang-orang yang menikah umurannya dibawah saya jadi ini bukan masalah. Malahan semuanya menjadikan motivasi bagi saya untuk menikah. Walaupun status mahasiswa masih melekat pada diri saya tapi itu bukan halangan untuk menikah yang penting antara keduanya yaitu nikah dan kuliah dapat berjalan baik semua” (AB, 23 Nopember 2007). Sebuah keberanian tersendiri dari informan yang memutuskan menikah padahal jika kita lihat dari kacamata kita maka AB masih belum wajib menikah karena yang lebih utama adalah menuntut ilmu di bangku kuliah. AB merasa bahwa apa yang menjadi keputusannya tentu menghadirkan konsekuensikonsekuensi logis yang mungkin akan menghambat dalam perjalanan hidupnya tetapi itu dihadapinya dengan penuh kedewasaan dan pemikiran yang matang. Sehingga adanya keyakinan sudah merasa wajib menikah dan cukup umur adalah sebuah motivasi intrinsik yang mampu menjadi bagian penting dalam kehidupan informan khususnya mengenai keputusannya menikah pada masa studi. Walaupun demikian perlu kita garis bawahi akan pentingnya konsekuensi dari apa yang akan kita perbuat agar disaat mendatang tidak terjadi penyesalan.
d. Kebutuhan seksual Motivasi ini juga menjadi bagian penting bagi mahasiswa untuk memutuskan menikah pada masa studi, di mana manusia secara kodrat manusia mempunyai dua kebutuhan yaitu selain harus memenuhi kebutuhan jasmani maka kebutuhan ruhani juga sangat penting untuk dipenuhi.
Dari segi pemunculannya dalam bentuk aktivitas, antara keduanya sangat berbeda. Kalau kebutuhan jasmani, dorongan kemunculannya internal tubuh manusia itu sendiri, seperti orang ingin makan atau minum, karena perutnya lapar atau tenggorokannya haus, artinya tubuh manusia merasakan untuk dipenuhinya kebutuhan tersebut. Tapi berbeda dengan naluri, naluri baru akan muncul pemenuhannya jikalau, ada rangsangan dari ekstern tubuh manusia, bisa berupa fakta, fenomena, gambaran, persepsi tentang sesuatu yang merangsang naluri. Salah satu kebutuhan naluri, adalah kebutuhan naluri untuk suka terhadap lawan jenis. Naluri tidak harus dipenuhi, tapi jikalau tidak dipenuhi manusia akan resah, sampai terpenuhinya naluri tersebut. Untuk itulah, untuk memenuhi kebutuhan naluri seksual, atau suka terhadap lawan jenis, Islam tidak mengekang atau melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan naluri tersebut. Sebagai Sang Khalik, Allah tahu benar bahwa kebutuhan tersebut jika tidak dipenuhi akan menimbulkan keresahan, maka kebutuhan itu harus dipenuhi agar timbul ketentraman atau ketenangan hati, Allah berfirman yang artinya :"Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya" (QS. Al-A'raf 189) juga di surat yang lain ada yang artinya "Dan termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan bagi kalian isteri-isteri dari
diri
kalian
agar
kalian
cocok
dan
tenteram
kepadanya" (QS. Ar-Ruum ayat21) Dengan demikian syariat nikah atau kawin, bagi yang sudah mampu adalah untuk menentramkan jiwa manusia, sehingga tidak resah atau salah dalam
pemenuhan kebutuhan seksnya. Karena dengan menikah atau beristeri atau bersuami maka akan ada tempat curahan hati, curahan perasaan, yang tentu saja dengan orang yang telah kita pilih sesuai dengan ketetapan hati kita memilih calon suami/isteri. Adapun kebutuhan seksual bagi seseorang sangat penting sebagaimana makanan pada diri seseorang. Pada penelitian ini juga ditemukan informan yang mengaku bahwa motivasinya menikah pada masa studi adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual. Dimana seseorang pada masa itu perkembangan secara fisik dan reproduksi sudah dapat dikatakan matang serta berfungi dengan baik. Seperti yang diungkapkan DN berikut : “Bagi saya menikah akan memenuhi kebutuhan seksual saya karena itu juga sangat penting dan wajar bagi seorang yang seumuran saya, nafsu yang besar harus disalurkan pada jalan yang halal yaitu satu-satunya dengan menikah karena tidak ada jalan lain. Sehingga ini menjadi motivasi tersendiri bagi saya yang bisa dikatakan menjadi solusi” (DN, 8 Nopember 2007). Bagi DN menikah adalah jalan satu-satunya yang dihalalkan khususnya dalam agama Islam karena dia seorang yang bisa dikatakan taat beragama sehingga kaidah-kaidah agama dia laksanakan secara maksimal dan sekuat tenaga dia. Kebutuhan seksual dia artikan sebagai nafsu yang baginya sudah sangat besar sehingga mau tidak mau akan menjadi satu kebutuhan yang mendesak dan harus dicari jalan keluarnya. Tetapi disisi lain bisa juga kebutuhan seksual hanya sebagai bentuk yang teah diberikan oleh Allah yang semestinya manusia menempatkannya pada tempat yang layak tidak menjadi hal yang sangat mendesak untuk dipenuhi walaupun
dalam informan ini menjadikan kebutuhan seksual ini menjadi motivasinya, seperti apa yang diungkapkan oleh RM berikut ini : “Pemenuhan kebutuhan seksual adalah penting tetapi bukan sangat mendesak tetapi saya beranggapan harusnya apa yang telah diberikan oleh Allah kita gunakan semestinya tidak malah dipermainkan dengan hal-hal yang dilarang agama sehingga kebutuhan seksual ini dapat menjadi motivasi bagi saya sebagai wujud syukur apa yang telah diberikan-Nya untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya yaitu dengan jalan menikah” (RM, 23 Desember 2007). Apa yang diungkapkan oleh RM merupakan suatu bentuk motivasi yang dalam dirinya sebagai wujud syukur dengan apa yang telah diberikan Allah terhadap dia dengan cara menggunakan sebaik-baiknya. Tentunya dengan jalan menikah kebutuhan seksual itu dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya karena dalam kehidupan ini menikah adalah satu-satunya bentuk untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya yang resmi diakui oleh masyarakat khususnya Indonesia dan juga dalam ajaran Islam.
e. Sebagai semangat dalam hidup Pada dasarnya mahasiswa dalam melaksanakan studi ingin cepat menyelesaikannya dan nilai yang baik, tetapi kadang muncul suatu maslah yang membuat rencana awal untuk cepat selesai kuliah menjadi berantakan karena faktor-faktor tertentu yang dianggap menghambat dalam perjalanan studinya. Seperti halnya LM mengungkapkan keinginannya : “Sebagai mahasiswa tentunya saya sangat berharap kuliahnya selesai cepat dengan hasil tidak mengecewakan, karena selain biaya yang nggak murah saya ingin melakukan hal lain sesudahnya” (LM, 4 Desember 2007).
Harapan demikian juga dikemukakan oleh FK : “Orang kan lumrah jika berpikir bahwa dalam studinya pengen cepat selesai kalau bisa dengan nilai yang memuaskan atau ya kalau tidak bisa ya yang penting IPK lebih dari 3” (FK, 9 Desember 2007). Apa yang disampaikan kedua informan tersebut wajar adanya karena perjalanan manusia tidak hanya berkutat pada masalah belajar (kuliah) saja dan tidak melakukan hal lain yang diharapkan seperti bekerja mencukupi kebutuhan dan sebagainya. Sehingga apa yang didapatkan di bangku kuliah dapat menjadi bekal yang paling tidak meningkatkan kualitas ijazahnya, setingkat S1. Tetapi disisi lain seringkali kita jumpai mahasiswa yang tetap tenangtenang saja dengan status yang disandangnya, kadang sudah semester tua masih tetap ke kampus karena belum selesai kuliahnya. Hal ini yang tidak menjadi keinginan dari informan, dimana motivasi mereka menikah pada masa studi agar dalam menyelesaikan kuliah dapat lebih cepat karena ada semangat tersendiri yaitu ingin segera melakukan hal lain. Disamping itu jika telah lulus kuliah maka dapat lebih konsentrasi dalam mencukupi kebutuhan keluarga, tidak seperti keadaan sekarang yang dalam mencari nafkah belum maksimal karena harus kuliah. Satu motivasi yang tentunya patut menjadi pertimbangan bagi mahasiswa untuk menikah pada masa studi, sebagai semangat hidup terutama untuk menyelesaikan kuliahnya seperti yang diungkapkan oleh FK berikut : “Motivasi saya menikah pada masa studi tak luput dari keinginan saya menjadikan hal itu sebagai semangat hidup terutama dalam menyelesaikan kuliah, karena jika saya tidak menikah tanggung jawab itu seakan tidak berat (cepat selesaikan kuliah) ya kemudian saya berpikir lebih baik menikah sekarang” (FK, 9 Desember 2007).
Apa yang diungkapkan FK tadi adalah bentuk harapan bagi setiap mahasiswa tetapi FK mempunyai tambahan semangat dalam dalam upaya menyelesaikan kuliahnya dengan cepat yaitu dengan jalan menikah karena tanggung jawabnya semakin besar. Lain halnya dengan AB yang mengungkapkan tentang keputusannya menikah : “Menikah atau tidak menikah saat masih kuliah mungkin tidak berpengaruh banget bagi saya dalam menyelesaikan studi karena saya ini orangnya males, tetapi saya pikir ada juga motivasi untuk tetap semangat hidup terlebih menyelesaikan kuliah ini karena saya pikir setelah menyelesaikan kuliah dapat lebih longgar dan bisa melakukan hal lain yang lebih bisa meningkatkan pendapatan keluarga” (AB, 23 Nopember 2007). AB mengakui bahwa dirinya malas dalam menjalankan studinya tetapi paling tidak yang dapat ditangkap dengan apa yang diungkapkannya adalah adanya semangat tersendiri baginya jika menikah pada masa studi sehingga ia bisa cepat menyelesaikan kuliahnya dan setelah itu meningkatkan pendapatannya dengan bekerja maksimal karena waktunya tidak terbagi dengan kegiatan kuliah lagi. Semangat hidup adalah suatu yang sangat perlu bagi seseorang karena darinya lebih membawa pada dampak yang positif di setiap apa yang dikerjakannya dan menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerjanya dalam bentuk yang variatif. Meskipun kadang kita menyadari bahwa manusia tidak selamanya akan semangat terus tetapi adanya satu pelajaran berharga bahwa semangat hidup menjadi motivasi tersendiri bagi seorang dalam penelitian ini untuk menikah pada masa studi.
2.
Motivasi Yang Datang Dari Luar Diri Mahasiswa (Ekstrinsik) Selain karena didorong oleh faktor-faktor internal (motivasi intrinsik),
mahasiswa memutuskan menikah pada masa studi (kuliah) juga didorong oleh faktor-faktor eksternal (motivasi ekstrinsik), yaitu berbagai dorongan yang berasal dari luar diri mahasiswa. Dimana motivasi ekstrinsik ini berasa dari orang lain dan juga lingkungannya. Adapun yang menjadi motivasi ekstrinsik tersebut adalah : a.
Ada bimbingan dari orang lain Manusia tidak dapat lepas dari orang lain karena manusia memiliki sifat
sosial yang mana membutuhkan orang lain dalam menghadapi kehidupannya. Motivasi ini menjadi bagian tersendiri dalam menentukan keputusan seorang dalam menikah, dimana mereka sadar akan perlunya bimbingan dari orang yang di anggap lebih mengerti, paham serta mumpuni untuk memberikan pengertian kepada informan. Bimbingan dari orang lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah dari saudara ayah/ibu mereka (paman) dan dari guru ngaji mereka (sering disebut Murobi). Mereka (informan) merasa lebih mantap dan yakin jika telah diberikan bimbingan oleh pamannya, karena mereka adalah saudara dekatnya yang lebih mengerti perihal ini. Seperti yang dikemukakan RM berikut ini : “Aku menentukan keputusan menikah ini tidak sendiri ada orang lain yang memotivasi aku memberikan bimbingan ke aku, dia pamanku. Aku yakin ini adalah jalan terbaik, karena pamanku termasuk kyai gitu…jadi aku merasa lebih yakin dan memang benar apa yang diperintahkan yaitu aku gak usah lama-lama pacaran (walau udah tunangan) tetapi tetap aja itu bukan sesuatu yang dihalalkan, sehingga aku ya nikah aja” (RM, 22 Nopember 2007).
RM merasa yakin dengan kapasitas pamannya yang dianggap lebih tahu dan pengalaman dalam masalah yang dihadapi, yaitu ketika harus memutuskan menikah. Bukan hanya memberikan bimbingan dan pengarahan saja tetapi disisi lain malah mendorong agar cepat melangsungkan pernikahan karena jika ditundatunda akan terjadi hal yang dipandang kurang baik di mata masyarakat. Sehingga dengan segala keyakinan dan terutama bimbingan serta dorongan dari pamannya, RM menikah setelah setahun melakukan pertunangan. Bahkan seringkali dia merasa menyesal karena tidak cepat-cepat menikah supaya dapat melakukan hal lain yang berhubungan dengan kehidupannya. Lain halnya dengan AB yang mendapat dorongan dari Murobi-nya, yaitu guru ngaji yang selama ini dia ikuti. Dimana dalam kelompok pengajian yang diikuti, dia menimba ilmu dalam bidang agama, sehingga dia akan memahami yang benar dan yang salah menurut agama (yaitu Islam). Lebih khusus lagi yaitu masalah penikahan yang mana Islam sangat mengatur masalah ini mulai dari menata diri (mempersiapkan diri) untuk menikah baik ilmu, fisik serta materi kemudian memilih pasangan
serta bagaimana nantinya menjalani kehidupan
keluarga yang Islami. Dalam kelompok kecil tersebut ada rasa kedekatan antara guru dan murid karena disamping anggotanya relatif sedikit juga frekuensi untuk bertemu sering yaitu paling tidak sekali dalam seminggu bertemu. Sehingga setiap permasalahan yang dihadapi oleh santrinya (murid) seorang murobi mengetahui, bukan itu saja tetapi murobi berusaha memberikan bimbingan agar muridnya dapat diarahkan dengan sebaik-baiknya.
AB juga mengaku mendapat arahan dan dorongan dari murobi-nya, dimana murobi berusaha memberikan bimbingan sesuai dengan kaidah yang benar dalam menghadapi masalah. Terutama dalam pernikahan yang sebetulnya keinginan menikah sudah ada sejak semester III tetapi dengan berbagai keadaan dan pertimbangan baru terlaksana pada semester IX. AB merasa makin mantap ketika murobi-nya memberikan sesuatu yang bermanfaat serta menilai pasangan yang dipilih oleh AB adalah sudah tepat sehingga dia tidak ragu lagi untuk segera melangsungkan pernikahan yang menurut apa yang dituturkan dari mulai ta`aruf sampai akhirnya menikah hanya selama sebulan. AB mengungkapkan : “Saya memutuskan menikah karena dorongan dari murobi saya yang selalu memberikan dorongan baik berupa manfaat maupun keutamaan seseorang menikah di usia muda. Dibalik itu semua beliau (murobi) adalah orang yang sangat saya kagumi ilmunya (agama) sehingga saya merasa bangga jika beliau memerintahkan saya untuk segera menikah” (AB, 23 Nopember 2007). Keputusan menikah yang dilakukan AB atas dorongan murobi-nya sebagai suatu kebanggaan telah diberikan petuah-petuah yang mampu membangkitkan keinginannya untuk segera melangsunkan pernikahan. Jadi motivasi AB juga dipengaruhi oleh murobi-nya yang dalam hal ini sebagai orang lain (motivasi ekstrinsik) karena bukan murni kemauannya sendiri.
b.
Keluarga mendukung Sebagai bagian dari kehidupan keluarga memegang peranan penting dalam
kehidupan seseorang yang mana dari sini kehidupan bermula, mulai dari anak, remaja, pemuda dan dewasa. Semua dilalui dengan berbagai tahapan serta proses
pematangan sehingga dapat dikatakan seluruh kehidupan seseorang tidak akan lepas dari yang bernama keluarga. Seperti halnya masalah pernikahan yang merupakan salah satu bagian yang penting bagi seseorang dalam membentuk kehidupan baru, dimana jika kita melihat secara umum di masyarakat tentunya orang tua tidak ingin anaknya menikah pada saat anaknya dipandang belum mampu secara materi, tetapi disisi lain berbeda dengan apa yang ditemui pada penelitian ini. Keluarga malah mendukung dalam rencana informan, sehingga malah menjadi tambahan motivasinya. Seperti yang diungkapkan RM berikut : “Keluarga sudah tahu kalau aku lagi deket ma cowok dan aku disuruh memutuskan segera saja melangsungkan pernikahan, tetapi saya menunda dulu kami tunangan dulu setahun kemudian baru kami menikah. Sehingga disini faktor keluarga menjadi tambahan motivasi bagi aku untuk menikah pada masa studi”(RM, 22 Nopember 2007). Dari apa yang diungkapkan RM dapat dikatakan status mahasiswa bukan halangan bagi seseorang untuk mendapat restu atau malah dukungan/dorongan untuk menikah pada studi. Sehingga dalam menjalani kehidupan yang baru (berkeluarga) juga sangat didukung dalam arti bahwa kehidupannya ada control dari orang tua bahkan kadang ada tambahan dana (sokongan) untuk kebutuhan sehari-hari. Begitu juga dengan LM yang merasa keluarga adalah bagian penting baginya dalam memutuskan menikah pada masa studi. Keinginannya untuk menikah walaupun masih berstatus mahasiswa dikatakan tanpa ada hambatan yang berarti karena faktor keluarga yang mendukung secara penuh keputusannya. Seperti yang diungkapkan LM yaitu :
“Saya merasa keluarga menjadi bagian penting dalam keputusan saya menikah, karena secara penuh mereka mendukung keputusan saya menikah pada saat saya masih berstatus mahasiswa walau bagaimana pun sehingga ini menjadi tambahan motivasi bagi saya”(LM, 9 Desember 2007). Kenyataan ini menunjukkan bahwa orang tua tidak selamanya mutlak menentukan sebuah keputusan bagi anaknya untuk menghadapi situasi sehingga mungkin orang tua berpikir lain tentang hal ini, semisal umur anak yang dikatakan sudah dewasa, masalah mencukupi kebutuhan dapat dibantu
olehnya dan
sebagainya. c.
Keadaan Pada Diri Pasangan Bahwasanya seseorang yang ingin menikah, tentunya mempunyai kriteria
tersendiri terhadap pasangan yang akan dipilih menjadi pendamping hidupnya nanti. Demikian halnya dengan mahasiswa yang memutuskan menikah pada masa studi, dimana keadaan yang ada pada diri pasangan sangat berpengaruh terhadap keputusan yang hal ini menjadi satu motivasi. Seperti yang disebutkan Abu Ahmadi dalam Psikologi Sosial bahwasanya ada suatu kriteria atau pedoman yang dipakai untuk pemilihan jodoh atau pasangan, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor biologi : kesehatan, ras, umur,warna rambut/kulit dan sebagainya. Faktor intelgensia : kecerdasan. Faktor temperamen dan karakter. Faktor agama. Faktor kebangsaan. Faktor ekonomi. Faktor asal-usul (Abu Ahmadi, 1991: 244).
Masing-masing orang berbeda dalam menetukan kriterianya, jika kita melihat pemilihan jodoh untuk orang Jawa maka ada pedoman tertentu, yaitu ; 1. Bibit : asal usul/keturunan, orang tuanya berpenyakit menurun atau tidak. 2. Bebet : namanya didalam masyarakat, pernah mendapat nama tercemar dari masyarakat atau tidak, dan sebagainya. 3. Bobot : kedudukannya dalam masyarakat, misalnya jabatan, status sosial, kekayaan dan sebagainya (Abu Ahmadi, 1991 : 244-245). Sedangkan dalam aturan Islam telah disebutkan pula melalui Hadits Nabi SAW yang berintikan : “Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridlai agama dan akhlaqnya, hendaklah kamu nikahkan dia. Kalau engkau tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas” juga Hadits yang berbunyi :“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya atau karena agamanya. Akan tetapi, pilihlah berdasarkan agamanya agar selamatlah dirimu”. Dari beberapa pedoman yang telah disebutkan diatas, bahwasanya dalam penelitian ini secara garis besar juga memakai pedoman tersebut. Mereka memandang memilih pasangan bukan sembarangan, karena nantinya akan menjadi pendamping hidup dan berharap bias selama-lamanya. Seperti yang diungkapkan RM berikut ini : “Saya menentukan pasangan bukan sembarangan ya…Dia (pasangan) harus tanggungjawab tehadap keluarga, pekerjaan dan agamanya. Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan yang beragama sudah menjadi harga mati jika saya menikah pasangan saya harus seiman dan tentunya sudah bekerja karena suami saya nanti harus dapat memenuhi kebutuhan keluarga walaupun mutlak bukan hanya tanggungjawab suami saya saja nantinya. Dari hal itu saya berkeinginan menikah dengannya, juga bias dikatakan memotivasi saya menikah dengannya” (RM, 22 Nopember 2007).
Dilihat dari apa yang diungkapkan RM, maka kita dapat menyimpulkan bahwa peran agama menjadi sangat penting bagi pasangannya. Sedangkan faktor lain yang mendukung juga yaitu masalah tanggung jawab terhadap pekerjaan serta keluarga. Dilain pihak peneliti menyimpulkan bahwa pasangan RM (suami) termasuk orang yang kaya, karena berdasarkan ceritanya sebelum tunangan lebih dahulu beribadah umroh ke atanah suci Mekkah. Juga dilihat dari keberadaan rumahnya termasuk mewah dengan berbagai perabotan yang ada dan ada mobil terparkir di garasi rumahnya. Sedangkan
FK
berbeda
dalam
menjatuhkan
pilihannya
kepada
pasangannya, yaitu seperti pengungkapannya : “Saya memilih pasangan (suami saya sekarang) lebih pada faktor tanggung jawab pekerjaan, karena tahu sendiri saya masih kuliah sehingga suami saya harus menanggung semua kebutuhan keluarga. Tetapi faktor agama juga sangat penting bagi saya, karena dia (pasangan) nantinya yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga kami. Hal imilah yang kemudian menjadi motivasi bagi saya untuk menikah dengannya” (FK, 4 Desember 2007). Bagi FK, karena dia masih berstatus mahasiswa untuk memilih pasangan yang diutamakan adalah pekerjaan. Hal ini wajar karena nantinya jika telah menjalani kehidupan rumah tangga maka segala kebutuhan menjadi tanggung jawab suami karena FK masih sibuk terhadap kuliahnya. Lain halnya dengan AB sebagai seorang laki-laki untuk memilih pasangannya : “Tujuan awal saya memilih pasangan saya saat ini (isteri) adalah sebagai figur dalam keluarga saya. Saya ingin dalam keluarga saya ada tauladan yang baik agar bisa ditiru oleh adik-adik dan orangtua saya. Dia nantinya juga akan menjadi pendidik sekaligus ibu bagi anak-anak saya. Bagi saya yang terpenting adalah ilmu yang dimiliki berkaitan dengan agama, masalah yang lainnya bukan sebagai faktor utama tetapi juga mendukung
yaitu masalah pengalaman hidup (dia umurnya lebih tua dari AB), masalah pengalaman pekerjaan (pasangan pernah menjadi TKI, perawat dan, dsb), dan bagi saya dia cantik… Ini menjadikan motivasi bagi saya untuk menikahi pasangan saya dan berharap lebih cepat” (AB, 23 Nopember 2007). Apa yang disampaikan AB adalah suatu bentuk pemilihan jodoh yang sangat kompleks, sehingga ia merasa bahagia menjalani kehidupan keluarga bersama dengan pasangan pilihannya. Dalam hal ini AB menerapkan berbagai faktor yang menjadi kriteria dia dalam memilih pasangannya. Dari berbagai pengungkapan informan dapatlah kita ketahui bahwa memilih pasangan (keadaan pada pasangan) menjadi bagian penting sebagai motivasi mereka untuk menikah pada masa studi, karena mereka menikah bukan untuk waktu yang pendek tetapi berusaha selalu setia dengan pasangannya sehingga harus benar-benar selektif.
d.
Lingkungan Masyarakat Setempat Manusia tidak dapat lepas dari lingkungan di sekitarnya dimana seseorang
akan mendapatkan suatu kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat serta kebudayaan yang sangat berpengaruh pada dirinya. Karena seseorang dalam masa-masa tertentu hidup dan bergumul dalam satu ruang dan waktu yang sadar atau tidak telah dijiwai menjadi nilai-nilai dan norma yang berpengaruh pada setiap perilaku dan tindakannya. Demikian juga dengan pernikahan yang dalam penelitian ini ditemukan masalah umur pernikahan seseorang yang sudah menjadi budaya pada masyarakatnya. Sehingga mau tidak mau harus mengikuti apa yang telah menjadi budaya tersebut, seperti RM misalnya. Dia adalah berasal dari Madura yang
disana sudah menjadi kebiasaan bagi seorang perempuan seumurannya telah mempunyai tunangan bahkan telah menikah, seperti kakaknya yang pada umuran setingkat kelas II SMA telah dijodohkan kemudian menikah dan sekarang telah mempunyai anak. Hal demikian menjadi sebuah motivasi tersendiri bagi RM untuk menikah walaupun masih dalam masa studi (mahasiswa), dia tidak mau dikatakan dalam masyarakatnya seorang yang tidak patuh pada nilai-nilai yang ada sehingga diamengambil keputusan untuk menikah. Dari hasil wawancaranya demikian : “Aku kan berasal dari Madura yang notabene perempuan seumuranku sudah dijodoh-jodohin atau ditunangin gitu, kakakku juga begitu malahan pada waktu itu dia ditunangin saat masih di kelas II SMA gitu. Jadi ini juga bisa dikatakan sebagai motivasi bagiku untuk menikah dimana aku merasa telah diikat nilai-nilai kemaduraan untuk menikah muda walaupun tahu sendiri aku masih berstatus mahasiswa tapi nggak apa-apa ini sudah aku pertimbangkan matang sebelumnya dan sekarang pun aku nggak maslah dengan ini semuanya” (RM, 22 Nopember 2007). Jadi faktor lingkungan masyarakat setempat sangat berpengaruh ketika seseorang memutuskan menikah dan menjadi faktor pendorong seperti apa yang diungkapkan diatas. Di lain pihak mereka harus mematuhi nilai-nilai dan normanorma yang telah ada sehingga tidak ada jalan lain selain mematuhi. Apa yang telah diungkapkan RM juga terjadi pada LM akan tetapi bukan semata-mata budaya pada masyarakat yang telah berkembang namun setidaknya faktor yang berpengaruh adalah lingkungan. LM adalah seorang yang taat dalam agama dan juga hidup diantara orang-orang yang taat beragama. Dalam kelompoknya yang kecil (kelompok orang-orang yang mengkaji ilmu agama Islam), LM sebelumnya adalah orang yang belum menikah sehingga dengan segala macam dorongan, himbauan serta petunjuk dari kelompok yang dikutinya
ia terbawa untuk cepat melaksanakan pernikahan. Sedangkan anggota pada kelompok LM semuanya telah menikah, sehingga dia memutuskan menikah. Disini dapat dikatakan faktor lingkungan menjadi bagian penting bagi LM untuk memutuskan menikah pada masa studi. Walaupun intensitasnya tidak setiap hari dengan orang-orang di kelompoknya akan tetapi lingkungannya (kelompok) sangat mempengaruhi. Seperti LM mengungkapkan : “Saya kan ikut semacam kajian pada kelompok kecil di tempat saya tinggal, dari anggota kelompok tersebut saya pada saat itu adalah satusatunya orang yang belum menikah. Dengan segala macam himbauan, dorongan dan petunjuk dari kelompok yang saya ikuti akhirnya saya berani memutuskan menikah. Dapat dikatakan saya memutuskan ini juga dari hasil masukan dan dorongan orang-orang yang ada pada kelompok saya” (LM, 9 Desember 2007). LM menerima nilai-nilai yang dipahaminya dari kelompok kajian yang diikutinya, dia menyadari akan statusnya sebagai satu-satunya orang yang belum menikah di kelompoknya sehingga hal ini mendorong dia menikah pada masa studi jika dilihat dari motivasi ekstrinsiknya. Dari uraian di atas mengenai motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi dapat dibuat matriks pada halaman berikutnya :
Tabel IV.1 Matriks Motivasi Mahasiswa Untuk Menikah Pada Masa Studi No.
Informan
Motivasi Intrinsik
1.
DN
-
Ekstrinsik
Keinginan agar terhindar dari perbuatan zina (agama)
-
Kebutuhan nafsu
yang
sehingga dengan
seksual begitu
harus jalan
karena besar
disalurkan yang
halal
(menikah) -
Keyakinan
hidup
lebih
tertata dan terkontrol 2.
AB
-
Merasa telah wajib menikah
-
Menghindarkan
dari
dosa
(perbuatan zina) -
Sebagai
semangat
-
Bimbingan dari Guru Ngaji (Murobi)
dalam
Keadaan
Pada
Diri
Pasangan
hidup
3.
RM
-
Kebutuhan seksual
-
Keinginan agar terhindar dari
-
Bimbingan dari Paman
dosa (Perintah agama)
-
Orang tua (keluarga)
-
Saling membutuhkan
-
Merasa telah wajib menikah,
mendukung. -
Keadaan
Pada
Diri
karena telah cukup umur dan cukup materi
Pasangan -
Lingkungan masyarakat
setempat
(Orang
Madura
seumurannya mayoritas telah bertunangan (atau menikah). 4.
LM
-
Menghindarkan
dari
dosa
(zina) -
-
Keluarga mendukung
-
Lingkungan
Merasa telah cocok dengan
masyarakat setempat.
pasangannya
5.
FK
-
Kebutuhan seksual
-
Menghindarkan
dari
dosa
-
(zina) juga perintah agama -
Sebagai hidup
semangat
dalam
Bimbingan dari Ustadz (murobi)
-
Keadaan Pasangan
Pada
Diri
B. ANALISIS DATA DENGAN TEORI MOTIVASI A. Teori Hygiene – Motivator Salah satu teori motivasi yang dikembangkan oleh Federick Herzberg yang mengacu pada perilaku manusia, dimana yang faktor yang berpengaruh adalah berasal dari dalam diri seseorang atau yang disebut Intrinsik dan yang berasal dari luar individu atau yang disebut Ekstrinsik. Kedua faktor tersebut menjadi bagian pokok dalam penelitian ini, yaitu dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa memutuskan menikah pada masa studi dipengaruhi oleh dua faktor tersebut, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Dari faktor intrinsik atau motivasi intrinsik ditemukan bahwa mahasiswa memutuskan menikah pada masa studi adalah didorong oleh berbagai hal, yaitu sebagai berikut : 1. Keinginan agar terhindar dari perbuatan dosa akibat zina. 2. Merasa cukup umur dan telah wajib menikah 3. Kecocokan dan saling membutuhkan 4. Kebutuhan seksual 5. Sebagai semangat hidup Kemudian jika dilihat dari faktor ektrinsiknya atau motivasi ekstrinsiknya ditemukan bahwa mahasiswa memutuskan menikah pada masa studi didorong oleh berbagai hal, yaitu sebagai berikut : 1. Adanya bimbingan dari orang lain 2. Keluarga mendukung
3. Keadaan Pada Diri Pasangan 4. Lingkungan masyarakat setempat Dari kedua motivasi tersebut dalam teori ini dilihat seberapa besar pengaruh terkuat tentang keputusan mahasiswa untuk menikah pada masa studi, apakah itu yang berasal dari dalam diri mahasiswa (Intrinsik) ataukah yang berasal dari luar diri mahasiwa (Ekstrinsik). Dalam penelitian ini, mayoritas informan lebih terpengaruh oleh dirinya sendiri (Intrinsik) dari pada yang berada diluar individu (Ekstrinsik). Hal ini terbukti ketika jelas-jelas informan menyatakan bahwa keputusannya menikah cenderung dipengaruhi keinginan pribadi, sedangkan faktor dari luar sekedar sebagai pendukung bukan sebagai motivasi utama. Karena para informan merasa bahwa nantinya yang akan menjalani kehidupan berkeluarga adalah dirinya sendiri sehingga informan merasa harus lebih menguatkan motivasi pribadinya dari pada motivasi dari luar. Namun demikian kita tidak bisa mengesampingkan adanya motivasi dari luar individu (Ekstrinsik), karena hal itu juga mendukung bagi keputusan mahasiswa untuk menikah pada masa studi. tetapi yang terlihat dalam penelitian ini faktor atau motivasi dalam diri individu (Intrinsik) lebih kuat dari pada faktor atau motivasi dari luar individu (Ekstrinsik).
B. Teori Hierarki Kebutuhan Manusia Teori ini dikembangkan oleh Abraham Maslow dimana ia mengemukakan tentang tingkat kebutuhan manusia yang harus dipenuhi sehingga dalam kehidupannya manusia mampu menjalankannya secara wajar dan bersahaja tidak akan timbul kekecewaan dan ketidakpuasan. Dalam teori ini ada lima kebutuhan manusia, yaitu : 1. Kebutuhan Fisiologis 2. Kebutuhan Akan Rasa Aman 3. Kebutuhan Afiliasi 4. Kebutuhan Penghargaan 5. Kebutuhan Akan Perwujudan Diri Dari kelima hal tersebut dalam penelitian ini paling tidak ditemukan 4 kebutuhan yang terpenuhi ketika mahasiswa memutuskan menikah pada masa studi, dimana keempat hal tesebut adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan Akan Rasa Aman Seorang yang menikah pastilah mengharapkan akan adanya rasa aman baik itu secara fisik maupun dari rasa takut yang akan terjadi dalam kehidupannya. Hal ini ditunjukkan ketika Mahasiswa menikah berarti ia telah memenuhi satu kebutuhannya terhindar dari ketakutan karena ia merasa ada yang melindungi serta menjaga dari mara bahaya. Tidak demikian halnya dengan seorang yang masih sendiri, karena ia masih diliputi rasa takut dengan tidak adanya seorang yang mampu menjaga dan memperhatikannya.
2. Kebutuhan Afiliasi Karena manusia sebagai makhluk sosial, maka kehadiran orang lain akan lebih bisa bermanfaat bagi dirinya. Hal ini menjadi bukti bahwa ketika mahasiswa menikah, kebutuhan akan hadirnya orang lain sudah terpenuhi dengan adanya pasangan yang selalu mencintai, menjaga dan memperhatikannya. 3. Kebutuhan Penghargaan Manusia membutuhkan sesuatu yang mampu menjadikan ia berharga di mata orang lain atau masyarakat. Dengan menikah, seorang mahasiswa telah memenuhi kebutuhannya akan penghargaan, dimana seorang yang telah berkeluarga maka statusnya akan bertambah pula, yaitu sebagai suami atau isteri. Dengan hal ini maka akan menambah suatu keyakinan diri dari seseorang dalam hidup bermasyarakat agar tidak dipandang sebelah mata dan menjadi hal yang sepatutnya dihargai masyarakat. 4. Kebutuhan Akan Perwujudan Diri Menikah adalah sebuah kebutuhan yang didambakan oleh setiap orang, dimana ini dipicu oleh kebutuhan untuk mewujudkan dirinya dalam rangka mengejar cita-citanya. Seperti yang terjadi pada mahasiswa, dimana ia menikah pastinya merupakan sebuah dambaan bagi hidupnya, karena dengan menikah maka ia telah memenuhi keinginan dirinya mencapai cita-cita. Dalam hal menikah tentunya mahasiswa mendambakan adanya kehidupan baru yang lebih baik dalam hal ekonomi dan status yang membuatnya telah memenuhi dari kebutuhan akan perwujudan diri ini.
Dari keempat hal diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang memutuskan menikah pada masa studi adalah suatu bentuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia yang mampu memberikan manfaat pada diri mahasiswa itu sendiri. C. ANALISIS DATA DENGAN TEORI SOSIAL A. Teori Aksi Weber sebagai pengemuka eksemplar dari paradigma definisi sosial mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Kedua hal inilah yang menurutnya menjadi pokok persoalan sosiologi. Dimana maksudnya dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Ritzer, 2003 : 38). Bertolak dari hal ini Parsons sebagai pengikut Weber yang utama menyusun skema unit-unit dasar tindakan sosial dengan beberapa karakteristik. Karakteristik dari skema unit-unit dasar tindakan social tersebut dapat digunakan
dalam menganalisa Motivasi Mahasiswa Muslim S1 Reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta Untuk Menikah Pada Studi. Individu selaku aktor yang menjadi salah satu karakteristik dari skema unit-unit dasar tindakan sosial dapat mengacu kepada para mahasiswa yang sudah menikah untuk dapat dikatakan sebagai aktor. Karena merekalah actor atau pelaku dalam motivasi mahasiwa untuk menikah pada masa studi. Mahasiswa selaku aktor melakukan suatu tindakan karena didasari oleh berbagai fenomena dan kenyataan yang mereka ditangkap dari lingkungan sosial, dan kemudian mereka pelajari serta pahami sehingga pada akhirnya menghasilkan suatu tindakan sebagai bentuk tanggapan. Tindakan tersebut dilakukan untuk mendapatkan atau mencapai suatu tujuan tertentu yang dalam hal ini pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu yang berupa kebutuhan seksual, kebutuhan akan semangat hidup, saling membutuhkan, keluarga yang mendukung, orang lain memberikan bimbingan dan terhindar dari dosa serta lingkungannya. Apa yang dikemukakan oleh Talcot Parsons dalam teori aksinya adalah sangat relevan jika kita gunakan sebagai kaca mata untuk melihat hal tersebut diatas. Dimana sama dengan apa yang dikemukakan Parsons bahwa mahasiswa melakukan suatu tindakan sosial atau action karena didasari atau diawali dengan proses pembelajaran dan pemahaman dan bukan sekedar tanggapan (respons) mekanis terhadap suatu rangsangan (stimulus) dan mengarah pada tujuan tertentu. Aktor mempunyai cara, alat serta teknik untuk mencapai tujuan-tujuannya. Mereka yang telah menikah pada masa studi berusaha menjalankan peran dan status mereka sebagai suami/isteri, orang tua dan mahasiswa yang masing-masing
peran dan status tersebut mempunyai tanggung jawab. Tujuan utama mereka sebelum menjadi isteri atau suami dan orang tua adalah sebagai mahasiswa. Bisa dikatakan lulus kuliah adalah tujuan utamanya, jadi walaupun mempunyai tanggung jawab sebagai isteri/suami dan orang tua mereka tetap berusaha untuk lulus kuliah dengan baik. Aktor berada dibawah kendali norma-norma, nilai-nilai dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. RM menikah karena tuntutan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat khususnya Madura yaitu menikah pada usia muda. DN, AB, LM serta RM menikah karena didorong agar terhindar dari dosa dan harus menyalurkan kebutuhan seksualnya pada jalan yang halal yaitu menikah walaupun masih dalam masa studi (mahasiswa). Semua informan menikah dibawah kendali norma-norma, nilai-nilai dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta ingin mencapai suatu tujuan. Menurut Talcot Parsons, orientasi orang dalam bertindak terdiri dari dua elemen dasar yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Sedangkan orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhankebutuhan dan tujuan-tujuan berbeda.
Orientasi motivasional dan orientasi nilai merupakan dasar tindakan individu yang mengacu pada cara menyeimbangkan kepuasan dalam memenuhi kebutuhannya dengan tujuan tertentu, dimana hal itu disebabkan oleh nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Sehingga setiap kebutuhan manusia dapat menjadi motivasi untuk melakukan penikahan. Demikian pula dengan yang terjadi pada mahasiswa yang menikah pada masa studi tersebut, dimana motivasi-motivasi seperti terhindar dari dosa akibat zina, kebutuhan seksual, saling membutuhkan dan kebutuhan akan semangat hidup. Kemudian dari itu semua menjadi faktor pendorong atau sebagai motivator dalam diri mahasiswa untuk melakukan suatu tindakan sosial. Dengan kata lain hal tersebut di latar belakangi oleh pengetahuan mahasiswa selaku aktor yang mengerti akan kondisi dan situasi yang mereka alami untuk kemudian dijadikan dasar dalam mengambil suatu keputusan atau tindakan, atau yang di sebut Talcot Parsons termasuk dalam dimensi kognitif ; yaitu dimensi yang pada dasarnya menunjuk pada pengetahuan orang yang bertindak itu mengenai situasinya. Khususnya jika dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimana sebelumnya Parsons telah membedakan orientasi manusia dalam bertindak menjadi dua kategori, yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai, dan dimensi kognitif tersebut termasuk dalam orientasi motivasional (Parsons dalam Johnson, 1986 : 114-115).
B. Teori Kapilaritas Sosial Berdasarkan teori kapilaritas sosial yang dikemukakan oleh Arsene Dumnont yang menyatakan bahwa individu itu seperti minyak dalam sumbu lampu yang selalu ingin mencapai tempat yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan sebagai perumpamaan setiap orang mempunyai keinginan untuk mencapai kedudukan tinggi di dalam masyarakat, yaitu meningkatkan statusnya (Drs. Saidihardjo, 1974 : 20). Berkaitan dengan penelitian ini maka apabila seseorang semakin tinggi statusnya yang berarti pula aktivitas hidupnya sangat tinggi akan berbanding terbalik dengan memproduksi anak (tingkat kelahiran) turun dengan cepat. Keinginan untuk terus meningkatkan kemakmuran dan usaha mempertahankan tingkatan kemakmuran yang telah dicapai menyebabkan orang berusaha untuk mencegah bertambahnya keluarga secara berlebih-lebihan. Jika dilihat dari teori kapilaritas sosial (Arsene Dumont) tentang semakin tingginya aktivitas seseorang akan berpengaruh pada turunnya angka kelahiran dengan cepat, maka dalam penelitian ini hanya sebagai faktor yang mendukung bukan sebagai faktor penentu. Juga dalam teori ini seseorang selalu ingin mencapai status sosial yang tinggi dan saling berlomba yang kemudian berpengaruh pada kekurangsukaan seseorang memproduksi anak, merupakan suatu bentuk yang bersifat umum sehingga lebih khusus dalam penelitian ini individu menentukan sendiri apa yang menjadi tujuan hidupnya. Ingin mempunyai anak atau tidak dalm waktu yang dekat.
Mahasiswa yang menikah pada masa studi pada mulanya (sebelum menikah) sangat banyak aktivitas yang dijalankan mulai dari kegiatan akademik sampai diluar itu seperti organisasi dan sebagainya yang banyak menyita waktu, tetapi setelah mereka menikah aktivitas itu dikurangi dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapi seperti tidak lagi aktif di organisasi. Mereka lebih memfokuskan diri pada kegiatan mengurus rumah tangga dan pekerjaan. Sehingga dari hal ini dapat dilihat bahwa mereka memutuskan menikah pada masa studi berasal dari kemauannya sendiri setelah nantinya menikah tidak akan banyak melakukan kegiatan diluar kegiatan utamanya yaitu sebagai mahasiswa dan sebagai suami/istri. Hal inilah yang kemudian teori ini kurang berlaku dalam penelitian ini, karena bias kita lihat dari informan yang setelah menikah malahan status ekonominya semakin tinggi dengan kerja keras serta munculnya ide-ide baru. Dalam penelitian ini informan adalah pasangan yang relatif baru sehingga kehadiran anak adalah sesuatu yang sangat diharapkan, sehingga teori yang disampaikan Arsene Dumont bukan pada obyek penelitian ini. Tetapi berlaku ketika pasangan suami istri sudah menjalani kehidupan keluarga yang lama. Dari hal ini kiranya teori kapilaraitas sosial (Arsene Dumont) kurang cocok di berlakukan dalam penelitian ini karena berbagai hal yang tidak mendukung serta ditolak dari hasil yang ditemukan dalam penelitian ini. Berdasarkan obyek yang diteliti bukan suatu bentuk kelompok yang sangat berpengaruh satu sama lain.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Kesimpulan Empiris Pernikahan mahasiswa pada masa studi adalah proses yang panjang untuk memutuskan menikah ketika seseorang masih berstatus mahasiswa. Dalam penelitian ini ketika mahasiswa memutuskan menikah orang tua tidak secara otomatis setuju dengan hal ini, diperlukan pemahaman terhadapnya yang pada akhirnya orang tua menyetujui pula terhadap keputusan mahasiswa untuk menikah pada masa studi. Mahasiswa yang menikah pada awalnya tidak mempunyai pikiran menikah pada saat berstatus mahasiswa, tetapi seiring dengan pengetahuan serta keadaan yang pada akhirnya mereka memutuskan menikah pada masa studi. Ketika mahasiswa memutuskan menikah ada hal yang berbeda walaupun tidak serta merta berubah yaitu masalah kepentingan. Di mana setelah mereka menikah kepentingan yang utama adalah keluarga sehingga kepentingan kuliah kadang harus dikorbankan demi mengurus rumah tanggga. Ini merupakan hambatan bagi mereka tetapi ini bukan suatu alasan yang bararti untuk tidak menyelesaikan kuliah, mereka tetap berkeinginan menyelesaikannya. Pada penelitian ini mereka yang akan menikah terlebih dahulu bekerja walaupun masih belum maksimal dalam mencukupi kebutuhan. Biasanya yang bekerja adalah laki-laki, tetapi perempuan juga tetap bekerja untuk membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga. Meski demikian kadang dari orang tua
masih memberikan sokongan dana tetapi itu kecil hanya ala kadarnya yang bukan mutlak orang tua menanggung semua kebutuhan keluarga. Dalam penelitian ini mereka merasa ada manfaat atau kebaikannya dari pada penyesalan ketika harus memutuskan menikah. Manfaat yang didapat adalah hidup lebih terkontrol, lebih tanggung jawab, lebih bahagia, lebih semangat untuk cepat menyelesaikan kuliah. Selebihnya untuk penyesalan tidak ditemukan malahan mereka merasa tepat ketika memutuskan menikah pada masa studi. Dari penelitian yang telah dilakukan, khususnya mengenai motivasi mahasiswa muslim S1 reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta untuk menikah pada masa studi, dapat ditarik kesimpulan bahwa : Motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi dapat dibedakan menjadi du, yaitu ; a. Motivasi Intrinsik, yaitu berbagai dorongan atau motivasi yang berasal dari dalam diri mahasiswa untuk menikah pada masa studi. Dari hasil penelitian di lapangan, yang tergolong dalam bentuk motivasi internal yang mendorong mahasiswa menikah pada masa studi adalah sebagai berikut : -
Keinginan agar terhindar dari perbuatan dosa (zina).
-
Merasa cukup umur dan telah wajib menikah.
-
Kecocokan dan saling membutuhkan.
-
Kebutuhan seksual.
-
Sebagai semangat hidup.
b. Motivasi Ekstrinsik, yaitu motivasi yang datang dari luar diri mahasiswa untuk menikah pada masa studi. Faktor-faktor yang mendorong mahasiswa untuk menikah pada studi yang berasal dari luar diri mahasiswa atau motivasi ekstrinsik adalah : -
Adanya bimbingan dari orang lain.
-
Keluarga mendukung.
-
Keadaan Pada Diri Pasangan
-
Lingkungan masyarakat setempat.
2. Kesimpulan Teoritis Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan penulis dalam menganalisis permasalahan yang menjadi obyek penelitian ini adalah paradigma definisi sosial. Secara definitif, paradigma ini merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Bagi Max Weber, studi tentang tindakan sosial berarti mencari pengertian subyektif atau motivasi yang terkait dengan tindakan-tindakan sosial. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasar yaitu tindakan sosial dan penafsiran. Max Weber menganjurkan bahwa dalam mempelajari tindakan sosial itu, sebaiknya menggunakan penafsiran dan pemahaman. Sebab seorang peneliti sosiologi dalam mempelajari tindakan seseorang atau actor harus dapat mencoba menginterpretasikannya. Dalam artian harus memahami motif dari tindakan si actor tersebut (Ritzer dalam Alimandan, 1992 : 44-46).
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menginterpretasikan tindakan mahasiswa yang menikah pada masa studi, dalam artian mencoba memahami motivasi yang kemudian mendorong mahasiswa tersebut melakukan tindakan tersebut. Dan dari hasil penelitian didapatkan bahwa motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi tersebut adalah berupa motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri mahasiswa, serta motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi atau berbagai dorongan yang berasal dari luar diri mahasiswa yang dalam hal ini sebagai actor. Pembagian
motivasi
ini
berdasarkan
dari
teori
motivasi
yang
dikembangkan oleh Herzberg yang dikenal dengan teori Hygiene-Motivator, dimana ia membagi motivasi menjadi dua yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dan motivasi yang berasal dari luar (motivasi ekstrinsik). Dari kedua motivasi tersebut dapat juga diketahui motivasi manakah yang paling kuat, apakah motivasi yang berasal dari dalam diri ataukah motivasi yang berasal dari luar. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa motivasi yang berasal dari dalam diri mahasiswa (motivasi intrinsik) lebih besar pengaruhnya ketika informan memutuskan menikah pada masa studi dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar diri mahasiswa (motivasi ekstrinsik). Kemudian pada penelitian ini penulis menggunakan teori aksi. Teori ini dikembangkan oleh Talcot Parsons, di mana dalam hal ini dia memilih action dan bukan behaviour, karena menurutnya memiliki konotasi yang berbeda. Behaviour secara tidak langsung menyatakan kesesuaian secara mekanik antara perilaku (respon) dengan rangsangan (stimulus). Sedangkan istilah action menyatakan
secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu. Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain, juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi serupa. Atau persetujuan secara pasif salam situasi tertentu (Ritzer, 1992 : 44-55). Melihat hasil penelitian ini, diketahui bahwa motivasi yang kemudian mendorong mahasiswa untuk menikah pada masa studi pada dasarnya didasari oleh hasil interpretasi mereka terhadap kondisi diri mereka sendiri maupun lingkungan mereka. Dari hasil interpretasi dan pemahaman mereka tersebut kemudian memunculkan suatu dorongan yang menjadikan motivasi bagi mereka untuk menikah pada masa studi. Artinya, seperti yang dikemukakan oleh Talcot Parsons bahwa pada dasarnya yang dimaksud tindakan sosial atau aksi adalah suatu bentuk implementasi suatu tindakan yang berasal dari suatu pemahaman actor terhadap situasi dan kondisi yang mereka hadapi, baik itu yang berada di dalam maupun di luar (lingkungan) actor tersebut, dan bukan sekedar suatu tanggapan atau respon mekanis terhadap stimulus. Hal tersebut karena
bagi
mahasiswa yang memutuskan untuk menikah pada masa studi, mereka harus memahami dan memikirkan terlebih dahulu berbagai hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tersebut, baik berupa pertimbangan akan konsekuensi yang dapat mereka temui, atau berupa sarana untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dari menikah tersebut.
Kemudian menurut Parsons aktor mengejar tujuan di dalam situasi di mana norma-norma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan arah untuk mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara
atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan actor dalam memilih.
Kemampuan inilah yang disebut Parsons sebagai voluntarism. Singkatnya voluntarism adalah kemampuan individu untuk melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya. Aktor merupakan pelaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih alternatif suatu tindakan, terdapat suatu pengalaman subyektif yang dapat dimengerti karena dialami bersama secara meluas, dapat dilihat sebagai obyek. Rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Dalam hal ini, mahasiswa selaku aktor memutuskan menikah pada masa studi merupakan suatu bentuk penetapan sarana atau alat untuk mengejar tujuan tertentu, yaitu berupa faktor-faktor yang sebelumnya telah mendorongnya untuk menikah pada masa studi. Atau dengan kata lain, tujuan yang hendak dicapai oleh para mahasiswa melalui menikah tersebut adalah berupa usaha pemenuhan berbagai kebutuhan, baik kebutuhan dalam bentuk material maupun non-material, yang kemudian mendorongnya atau menjadi motivasi bagi para mahasiswa untuk menikah pada masa studi. Sehingga dengan demikian, tindakan mahasiswa yang memutuskan untuk menikah pada masa studi merupakan suatu bentuk tindakan sosial untuk mengejar
atau mencapai tujuan tertentu. Dan hal ini sesuai dengan pokok persoalan yang dibahas dalam paradigma definisi sosial, dimana tindakan sosial adalah tindakan yang mengandung suatu makna subyektif. Dari teori sosial yang lain yang dikemukakan oleh Arsene Dumont tentang kapilaritas sosial yang manyatakan bahwa individu itu seperti minyak dalam sumbu lampu yang selalu ingin mencapai tempat yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan sebagai perumpamaan setiap orang mempunyai keinginan untuk mencapai kedudukan tinggi di dalam masyarakat, yaitu meningkatkan statusnya. Didalam penelitian ini kurang bisa diterapkan karena berbagai hal yang kurang mendukung berdasarkan temuan dilapangan. Sedangkan menurut teori hierarki kebutuhan manusia yang dikembangkan oleh A.H. Maslow yang terdiri dari lima macam kebutuhan, ternyata dalam penelitian ini menunjukkan 4 kebutuhan yang sesuai, yaitu kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan afiliasi, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan akan perwujudan diri.
3. Kesimpulan Metodologis Judul penelitian ini adalah mengenai motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi tepatnya pada mahasiswa muslim S1 reguler Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adapun yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah pernikahan pada masa kuliah di kalangan mahasiswa dan motivasinya untuk menikah pada masa studi.
Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yang tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tetapi bertujuan untuk menggambarkan. Alasan memilih pendekatan atau menggunakan jenis penelitian ini karena sesuai dengan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yang menekankan pendeskripsian mengenai motivasi mahasiswa untuk menikah pada masa studi. Agar penelitian ini mampu menangkap informasi kualitatif, maka peneliti sendiri berperan sebagai instrumen pengumpul data dengan cara berinteraksi dengan obyek yang diteliti. Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini, data diperoleh dengan cara peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengamati berbagai peristiwa dan fenomena yang terjadi. Oleh karena itu dalam mengumpulkan data dilapangan peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam (In-depth interview) dan observasi. Kedua hal tersebut dilakukan terutama menyangkut persoalan yang dikaji dan memiliki keterkaitan terhadap apa yang diteliti dalam penelitian ini agar data yang diperoleh dapat maksimal secara kualitas maupun kuantitasnya. Dalam pengambilan sampel, peneliti menggunakan teknik purposive sampling atau sampling bertujuan, yaitu sampel yang ditarik dengan pertimbangan orang tersebut akan dapat menjadi sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah para mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang masih terdaftar dan aktif, yang telah menikah pada massa studi. dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 5 (lima) orang, dengan latar belakang yang bervariasi. Jumlah ini diambil bukan
dengan ukuran tertentu yang sifatnya baku, tetapi peneliti menganggap bahwa data yang diperlukan telah cukup, sehingga pencarian data atau informasi dihentikan pada orang yang ke-5. Untuk menganalisa data yang telah diperoleh, peneliti menggunakan teknik deskriptif analisis, yaitu dengan menggambarkan secara jelas data yang diperoleh dari beberapa informan dalam penelitian ini, dan kemudian melakukan analisa. Dengan
menggunakan
metode penelitian
tersebut, penulis
dapat
memahami secara mendalam tentang motivasi yang melatarbelakangi dan kemudian mendorong mahasiswa untuk menikah pada masa studi. Selain itu, dengan metode ini, penulis menemukan hambatan dalam proses penelitian. Adapun hambatan yang dijumpai dalam penelitian ini adalah karena kurangnya data mengenai mahasiswa yang menikah pada masa studi dan karena ini adalah penelitian yang sensitive sehingga tidak semua mahasiswa yang menikah mau dijadikan informan. Akibat dari keduanya peneliti harus mencari informan lain yang mau memberikan informasi tanpa ada rasa terpaksa dan kemungkinan adanya motivasi-motivasi mahasiswa menikah pada masa studi yang belum diketahui karena kurangnya data.
B. SARAN Dari hasil penelitian tentang motivasi Mahasiswa untuk menikah pada masa studi ini yang terjadi pada mahasiswa muslim S1 Reguler di Universitas Sebelas Maret ini, ada beberapa hal yang dapat dipetik kemudian dijadika suatu saran atau masukan. Adapun saran-saran tersebut ditujukan kepada : 1. Bagi mahasiswa yang ingin menikah hendaknya terlebih dahulu mempersiapkan diri segala sesuatunya dengan baik dari segi materi atau kematangan dan mengetahui konsekuensi apa saja yang nantinya akan dihadapi melalui orang-orang yang telah menikah atau dari orang tuanya serta dari orang lain yang lebih mengerti. Supaya menikah bukan menjadi suatu hambatan untuk menyelesaikan kuliah dan mencapai cita-cita yang lain. 2. Perlu diadakannya suatu bimbingan konseling agar mahasiswa, baik yang telah menikah maupun yang belum menikah memiliki satu tempat atau wadah untuk berbagi jika memiliki masalah. 3. Bagi peneliti lain, sebaiknya mencari sumber data yang lebih luas sehingga menghasilkan data yang lebih dapat diperbandingkan dan dapat lebih dipertanggungjawabkan kevaliditasan datanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Udik. Asyiknya Kuliah, Kerja dan Nikah. Yogyakarta : Pro-U Media. 2006 Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta : PT Rineka Cipta. 1992 Goble, Frank G. Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta : Kanisius. 1987 Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Bina Aksara. 1985 Hasibuan, Malayu S.P. Organisasi dan Motivasi. Jakarta : Bumi Aksara. 1996 Horton, Paul B dan Hunt, Chester L. Sosiologi Jilid I. Surabaya : Erlangga. 1996 Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta :
PT.
Gramedia. 1986 Junaedi, Dedi. Bimbingan Perkawinan .Jakarta : Akademika Pressindo. 2001 Khairudin. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta : Liberty. 2002 Maslow, Abraham. Motivasi dan Perilaku. Semarang : Al Dahara Prize. 1992 Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2002 Poloma, Magaret M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Press. 1987 Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1985 Saidihardjo. Dasar- dasar Kependudukan. Yogyakarta : Bursa Buku Yogyakarta. 1974
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2000 Soemidjo, Wahjo. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta : PT Rineka Cipa. 1985 Sutopo, HB. Metode Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University. 2002 Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2004 Winardi, J. Motivasi & Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2001
Sumber Lain : Buku Pedoman Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Tahun 2005
Sumber Internet : http://id.wikipedia.org/wiki/TEORI_MOTIVASI www.gaulislam.com/tinjauan-fiqh-pernikahan -dini/ www.irib.co.id www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/05/hikmah/utama01.htm www.uns.ac.id