Komitmen Deforestasi Nol Menimbulkan Tantangan Serius Bagi Industri Minyak Sawit Raksasa Oleh: Mrinalini Erkenswick Watsa 22 Mei 2014 Versi original dalam Bahasa Inggris: http://news.mongabay.com/2014/0522-watsa-balikpapan-zero-deforestation.html Tidak ada yang dapat manandingi kenikmatan mencolek satu sendok penuh selai hazelnut, Nutella, daripada mencermati daftar bahan yang tertera dikemasannya. Tepat di bagian depan dan tengah dalam daftar tersebut terdapat minyak sawit yang mana produksinya secara langsung membahayakan kelangsungan hidup orangutan diantara ribuan spesies lainnya. Berbagai upaya untuk mengatur produksi minyak sawit berjalan baik dan pada akhir tahun 2013, beberapa anggota penting yang berasal dari industri makanan mengadopsi komitmen deforestasi nol dalam praktek produksi mereka. Beberapa bulan berikutnya, media mengembar-gemborkan berita ini sebagai suatu kemajuan yang belum pernah terjadi dalam perdebatan minyak sawit. Langkah menuju deforestasi nol Minyak sawit yang diperoleh dari nampaknya mendapat perhatian yang buah sawit Afrika (Elaeis guineensis). baik, namun pertanyaannya adalah Sumber foto: Rhett Butler berapa lama perusahaan-perusahaan tersebut dapat bertahan lama? Sebuah proposal yang kontroversial untuk membangun kilang minyak di kawasan kaya margasatwa terjadi di Teluk Balikpapan, Indonesia. Pulau Kalimantan menghadapi tantangan, baik yang dialami oleh perusahaan minyak sawit maupun para penggiat konservasi lingkungan mengenai deforestasi nol.
Teluk Balikpapan: Fokus Permasalahan Wilmar International Limited, perusahaan agribisnis yang berbasis di Singapura, merupakan salah satu perusahaan terbesar di Asia, mengelola lebih dari 400 anak perusahaan di dunia. Cabang utamanya di Indonesia yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia (PT-WINA), menyediakan layanan penyulingan minyak goreng. Minyak sawit merupakan produk terbesar Wilmar dan merupakan perusahaan terbesar dalam perdagangan komoditas ini. Dengan produksi lebih dari 37 juta metrik ton setiap tahunnya, minyak sawit merupakan minyak nabati terlaris didunia. “Saat ini, minyak sawit memiliki kegunaan sangat beragam hingga kita tidak menyadari keberadaannya dalam kehidupan kita” pernyataan dalam Roundtable on The Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah kelompok kerja yang bertugas untuk melakukan seritifikasi produksi, perdagangan, dan konsumsi minyak sawit di seluruh dunia. Setelah pertemuan produsen dan konsumen minyak sawit pertama di Kuala Lumpur pada tahun 2003, RSPO telah menggandeng 1.491 anggota termasuk petani sawit bersertifikat, pabrik kelapa sawit, dan rantai pasok afiliasi.
Wilmar telah menjadi anggota RSPO bersertifikat sejak tahun 2005. Daya tarik produksi minyak sawit Wilmar terletak pada produktivitasnya. Sebuah perkebunan kelapa sawit dapat menghasilkan enam sampai sepuluh kali minyak sawit dibandingkan dengan perkebunan kacang kedelai, bunga matahari, atau rapeseed. Sementara minyak sawit menduduki 4,8 % dari perkebunan minyak dunia, volume minyak sawit yang dihasilkan adalah 34,7 % dari minyak nabati. Teluk Balikpapan berada di area konsesi seluas 149,8 hektar milik PT-WINA yang ditumbuhi oleh hutan mangrove dan hutan sekunder, dan diusulkan menjadi kilang minyak sawit. Produksi minyak sawit di daerah-daerah lain di Indonesia telah menggeser keberadaan hutan menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit sehingga meningkatkan laju deforestasi dan sangat mengancam kehidupan hewan liar seperti orangutan (Pongo sp.), bekantan (Nasalis larvatus), gajah sumatra (Elpehas maximus sumatranus), dan beruang madu (Helarctos malayanus). Kenyataannya, empat spesies monyet telah kehilangan sepersepuluh habitat mereka di Kalimantan selama satu dekade ini akibat deforestasi oleh penanaman kelapa sawit. “Konsensi ini merupakan kunci penting sebagai koridor yang menghubungkan arah timur-barat ekosistem pantai dengan Hutan Lindung Sungai Wain dan menghubungkan arah utara-selatan populasi utama bekantan,” terang Stanislav Lhota, seorang peneliti dari Universitas Life Scences Ceko di Praha, yang telah bekerja di Teluk Balikpapan selama lebih dari tujuh tahun. Rencana pembangunan PT-WINA di wilayah Teluk Balikpapan berada dibawah pengawasan ketat para konservasi. Akhir Januari 2014, PT-WINA mengumumkan tujuan pembangunan kilang minyak sawit di area konsensi. Pertimbangan utama para ahli konservasi adalah adopsi kebijakan deforestasi nol yang dilakukan oleh WIMAR baru-baru ini. Awal tahun 2014, kurang dari satu tahun, lebih dari setengah minyak sawit dunia yang diperdagangkan di pasar internasional telah terikat dengan komitmen deforestasi nol. Golden Agri Resources, perusahaan minyak sawit terbesar kedua di dunia, memperpenjang komitmen deforestasi nol untuk seluruh produksi minyak sawit hingga akhir bulan Maret tahun ini dan turut diikuti oleh Wilmar, perusahaan terbesar minyak sawit dunia tahun 2013. Perusahaan-perusahaan besar lainnya juga berkomitmen untuk tidak menggunakan minyak sawit yang berasal dari hasil deforestasi, termasuk Cargill, Proctor & Gamble, Orkla, Safeway, General Mills, dan Colgate-Palmolive. Dengan demikian, kilang minyak sawit yang diusulkan oleh PT WINA akan segera mengikuti pendekatan deforestasi nol dan termasuk salah satu uji coba pertama dalam praktek kebijakan baru ini. Namun, deforestasi nol tidak berarti “tanpa deforestasi”, melainkan mematuhi peraturan yang ketat. Sebagai contoh, persyaratan yang paling penting bagi suatu perusahaan saat menjalankan deforestasi nol ketika menebang hutan di wilayah konsesi, perusahaan harus melakukan penilaian ekosistem terlebih dahulu untuk menentukan apakah terdapat area yang memiliki nilai konservasi yang tinggi (High Conservation Value, HCV) atau memiliki karbon stok yang tinggi. “Tidak ada persyaratan khusus bagi para anggota didalam RSPO untuk melakukan penilaian HCV jika melakukan aktivitas non perkebunan,” kata Simon Siburat, koordinator Group Sustainability untuk Grup Wilmar, menekankan bahwa WILMAR tetap melakukan penilaian HCV oleh tim asesor bersertifikat. Hutan HCV ditetapkan berdasarkan standar yang diatur oleh Forest Stewardship Council. Setiap kawasan hutan dievaluasi berdasarkan enam kriteria, termasuk keberadaan satwa langka atau terancam, keanekaragaman hayati yang tinggi atau endemik, dan bahkan kebudayaan penduduk lokal.
Dalam kasus permasalahan Teluk Balikpapan, PT WINA merekrut PT ReMark.Asia, yang telah terakreditasi RSPO, untuk melakukan penilaian HCV. Selesai diawal tahun 2014, penilaian HCV telah selesai dilakukan dan disimpulkan bahwa hanya 22 hektar dari 150 hektar hutan adalah HCV. Hasil evaluasi diumumkan ke masyarakat selama pertemuan pada akhir bulan Januari. Dalam kebijakannya, Wilmar berkomitmen untuk berkomunikasi dengan stakeholder seperti komunitas setempat dan lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi konservasi yang bekerja di area yang diusulkan untuk deforestasi. Lhota mengatakan bahwa beberapa organisasi yang mengikuti pertemuan tersebut dikirimi undangan beberapa hari sebelum pertemuan dimulai dan pertemuan dilaksanakan jauh dari kota, sehingga menurunkan partisipasi peserta. Protes besar dari berbagai LSM mendesak PT-WINA untuk melakukan pertemuan ulang pada akhir bulan Februari 2014, dengan pemberitahuan yang cukup kepada pihak yang bersangkutan.
Area konsesi PT WINA, salah satu wilayah keanekaragaman hayati yang tersisa di Teluk Balikpapan. Wilayah ini diklasifikasikan sebagai semak belukar yang terdegradasi dalam penilaian HCV. Foto oleh: Gabriella Fredriksson
Gabriella Frederiksson, seorang saintis yang mempelajari beruang madu selama 10 tahun di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) yang bersebelahan dengan area konsesi PT-WINA, hadir dalam pertemuan bulan Februari tersebut. Dalam wawancara dengan mongabay.com, Gabriella menceritakan bahwa pelaksanaan penilaian semacam ini dilakukan buruk untuk lahan seluas 27 hektar yang telah mengalami deforestasi di wilayah Teluk Balikpapan sebelum komitmen deforestasi diumumkan.
“Mereka mempresentasikan hasil penilaiannya pada bulan April 2013, dan kami beranggapan bahwa penilaian tersebut sangat lemah,” jelas Frederiksson. Semenjak saat itu, ReMark.Asia melakukan penilaian HCV diwilayah konsesi 149,8 hektar yang direncanakan menjadi tempat kilang baru. “Pada pertemuan ini, mereka berusaha menggunakan hasil temuan tersebut untuk membenarkan rencana pengembangan baru yang tidak ingin mereka paparkan,” tambah Frederiksson, menjelaskan pertemuan yang tegang tersebut. Pertemuan tersebut dihentikan lebih awal karena dinilai tidak efektif dan evaluasi area yang belum rampung. Lhota dan Frederikkson dengan tegas menolak hasil evaluasi bahwa hanya 22 hektar dari 150 hektar hutan (atau sekitar 14 %) yang memiliki HCV tinggi. Lhota dan Frederikkson mengklaim berdasarkan pengalaman mereka selama bertahun-tahun bahwa anyak spesies yang terancam punah bergantung di wilayah ini untuk bertahan hidup.
“Area konsesi Wilmar sangat penting sebagai penyangga (buffering) dari pengaruh manusia,” ungkap Lhota kepada mongabay.com. “Wilmar berencana untuk menggunakan konsesinya untuk mengembangkan kilang minyak sawit yang besar, yang akan menghancurkan hutan di area seluas 149,8 hektar. Hal ini akan berdampak pada hutan yang berada disebelahnya sekaligus menyebabkan kerusakan serius bagi ekosisten laut sekitar.” Hewan-hewan yang terkena dampak pengembangan wilayah konsesi tergolong hewan langka dan paling terancam punah. “Bekantan merupakan hewan yang terkena dampak paling besar akibat kerusakan mangrove dan hutan” jelas Frederikkson. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Lhota pada tahun 2007 dan 2012, terdapat tiga kelompok bekantan (kira-kira berjumlah 34 hewan) yang hidup didalam area konsesi dan lima kelompok lainnya menggunakan area konsesi sebagai jalan untuk menghubungkan area jelajah dari utara dan selatan. IUCN Red List mendaftarkan monyet ini, yang dikenal dengan hidung bulatnya, sebagai spesies terancam punah (Endangered). “Sekitar delapan kelompok (berjumlah 87 individu) akan terkena dampak baik berupa kehilangan habitat maupun terisolasi,” ungkap Lhota. “Perkembangan area ini akan membuka peluang kontak langsung antara hewan liar dengan manusia. Total beantan yang hidup diwilayah ini berkisar antara 100-200 ekor (sebanyak 10% dari populasi keseluruhan yang ada di Teluk Balikpapan) akan dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung akibat kehadiran Wilmar.” “Orangutan memiliki area jelajah yang luas dan juga ditemukan di daerah tersebut, meskipun tidak secara permanen” lapor Frederikkson. Ia juga mengetahui bahwa sarang orangutan dan beruang madu ditemukan dalam area konsesi PT-WINA. “Hal ini menyebabkan gelombang protes dan kritik akibat kesalahan hasil evaluasi HCV, manipulasi data, dan laporan yang “meremehkan” total luas wilayah HCV sebesar 87 persen,” kata Lhota. Lhota menambahkan bahwa pemerintah daerah telah menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak sah dan perlu adanya evaluasi ulang.
Peta evaluasi HCV yang dilakukan oleh Re.Mark Asia di wilayah konsesi PT-WINA. Wilayah yang memiliki nilai konservasi tinggi ditandai dengan warna merah
Selain kesalahan dalam evaluasi HCV yang dikemukakan oleh para ahli konservasi di area tersebut, Lhota juga menyarankan beberapa alasan lain untuk menentang pembangunan kilang minyak sawit di Teluk Balikpapan, termasuk dampak jasa lingkungan terkait dengan perlindungan DAS hilir.
Menurut Lhota, Teluk Balikpapan memiliki nilai konservasi tinggi dan merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hayati yang tersisa di sepanjang pantai Kalimantan Timur." Teluk tersebut terdiri atas terumbu karang, padang lamun, mangrove, hutan hujan dipterokarpa dan karst, dengan lebih dari 100 spesies mamalia, hampir 300 jenis burung, dan lebih dari 1000 jenis pohon.
Bekantan (Nasalis larvatus) adalah hewan yang umum terancam keberadaannya akibat kegiatan deforestasi terkait produksi minyak sawit. Foto oleh: Petr Čolas
Teluk Balikpapan merepresentasikan sebuah sistem air tertutup. Lhota mendeskripsikan sistem tersebut hanya mengalami sedikit pertukaran dengan air laut sehingga hampir semua sedimen dan limbah industry akan terakumulasi di Teluk tersebut. Lhota juga mengklaim bahwa erosi yang akan terjadi dapat mencapai tujuh ton per hektar per tahun dibawah kondisi deforestasi, yang telah menciptakan hingga satu sampai tiga meter sedimentasi per tahun di beberapa tempat. Masuknya sedimen dapat membunuh terumbu karang dan padang lamun, yang pada akhirnya dapat menyebabkan menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan lokal yang menjadi kegiatan ekonomi utama di Teluk Balikpapan. “Hal ini menjadi sangat penting untuk diketahui bahwa perhatian kita tidak hanya di wilayah seluas 149,8 hektar saja, namun masalah yang penting adalah dampak dari perkembangan wilayah ini terhadap seluruh ekosistem Teluk Balikpapan, termasuk hutan yang berada disekitarnya dan ekosistem laut.”
Evaluasi HCV: Ancaman atau Berkat? The Forest Trust (TFT) adalah organisasi nirlaba yang memiliki misi untuk membantu perusahaan dalam menyediakan “produk yang bertanggungjawab” yang memperhitungkan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. LSM menjadi pemain utama dalam membantu perusahaan besar dalam efisiensi dan efektivitas operasi untuk memperoleh dan menggunakan minyak sawit hanya dari kilang yang 100 persen telah mendapat verifikasi. TFT juga membantu Wilmar dalam mencapai kebijakan deforestasi nol. "Kami sepakat bahwa evaluasi HCV akan dilakukan sesuai dengan persyaratan HCV Resources Network," kata Scott Poynton, Direktur Eksekutif TFT, tentang berbagai upaya kelompok TFT dan Wilmar untuk memastikan bahwa deforestasi nol sebagai prioritas utama. "Jaringan ini bertujuan untuk menguraikan praktek global yang terbaik dalam menyelesaikan evaluasi HCV dan para stakeholder membantu mengawasi implementasinya."
Perkebunan Kelapa Sawit di Sabah, Malaysia. Foto oleh: Rhett Butler
Boris Saraber, Senior Manajer Asia Utara untuk TFT, menegaskan bahwa Pak Dwi, asesor HCV yang berpengalaman dan kredibel dari PT-Re.Mark Asia, melakukan evaluasi HCV di area konsesi Teluk Balikpapan. Meskipun beberapa perkembangan telah terjadi di lokasi, Saraber menyatakan bahwa hal tersebut terjadi sebelum komitmen deforestasi nol Wilmar pada bulan Desember 2013. "Sejak saat itu jalan khusus telah dibuka oleh Pemerintah [dalam area konsesi]. Wilmar dan TFT telah memulai proses penilaian HCV atas situs dan akan pergi ke lapangan untuk segera melakukan pengujian," Saraber mengatakan pada mongabay.com. "Selama periode ini, Wilmar tidak melakukan setiap perkembangan baru." Menurut Saraber, Teluk Balikpapan bukanlah sebagai area pertama uji coba yang mengikuti kebijakan deforestasi nol. "Banyak usaha-usaha yang sedang berlangsung di Malaysia, Indonesia dan Afrika bertujuan untuk memahami isu-isu di lapangan baik operasi Wilmar dan juga para pemasoknya," tegas Saraber. TFT mengatakan mereka akan menghubungi sejumlah organisasi lokal dan masyarakat, termasuk ahli konservasi seperti Stanislav Lhota, untuk mendapatkan banyak masukan terkait kegiatan pengembangan di wilayah konsesi.
Saraber dan Poynton setuju bahwa evaluasi HCV berkaitan dengan kelalaian manusia, khususnya di tahap awal seperti ini, seperti perusahaan besar mencoba untuk menerapkan kebijakan yang rumit di berbagai pemangku kepentingan dalam rantai pasok mereka. "The HCV Network mencoba untuk menekan risiko seperti terlalu banyak waktu luang atau praktek yang buruk dengan mengundang asesor terakreditasi. Seharusnya terdapat proses evaluasi yang dilakukan oleh kelompok untuk meninjau laporan yang akan diterbitkan," tegas Poynton. "Karena itu, kita telah melihat laporan penilaian HCV di Indonesia yang jelas-jelas tidak mengikuti aturan HCV Network. Jadi, sama seperti sistem manusia apa pun, ada kemungkinan hal-hal yang akan dilakukan berjalan kurang baik." Simon Siburat, mewakili WILMAR, melaporkan bahwa penilaian HCV telah dikirim untuk dilakukannya penilaian secara kelompok oleh LSM dan para ahli konservasi.
Area konsesi PT-WINA dilihat melalui citra satelit. Garis putih di sebelah kanan menunjukkan pencegahan perluasan kebakaran, dan area deforestasi yang jelas terlihat dalam konsesi terlihat. Gambar milik: Google Earth.
“Konsultasi yang bersifat independen telah dilakukan oleh TFT dengan menggandeng komunitas dan stakeholder selama bulan April 2014 tambahnya,” tambahnya. Kesulitan-kesulitan utama yang ditemui nampaknya menghalangi komunikasi antara perusahaan minyak sawit dan warga sekitar, persis seperti yang dicemaskan oleh para ahli konservasi sebagai konsekuensi kebijakan deforestasi nol. Lhota dan kawan-kawan mengkhawatirkan bahwa kebijakan HCV seperti itu dapat melegitimasi deforestasi, dengan menggunakan standar penilaian yang kurang valid, dan tidak menyediakan alternatif untuk banding. “Bagian yang menjadi persyaratan Wilmar adalah membentuk posko pengaduan dan tim Wilmar sedang dalam tahap untuk mewujudkan itu,” tegas Poynton. Poynton menekankan bahwa gagasan stakeholder lokal sangat penting dalam proses ini. "Saat ini, pendekatan yang dilakukan adalah jika seseorang memiliki keluhan, seperti dalam kasus ini, maka tim Wilmar akan bertemu dengan mereka dan merumuskan bersama cara untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan cara yang positif ... [Kami ] sangat percaya bahwa cara terbaik untuk menyelesaikan keluhan tersebut adalah mencari jalan keluar secara bersama-sama. Kami percaya bahwa kita dapat melakukan ini dengan Wilmar dan LSM yang peduli dalam hal ini juga dan itu adalah pendekatan yang kami lakukan. "
Melangkah ke depan Menurut Simon Siburat dari Wilmar,”Tidak ada pengembangan apa pun yang dilakukan oleh Wilmar di area tersebut sebelum kebijakan terpadu diumumkan pada tanggal 5 desember 2013. Langkah masa depan akan dikonsentrasikan pada pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang telah dikembangkan tahun 2007/2008, serta membangun jalan yang menghubungkan fasilitas Wilmar yang ada untuk jalan baru yang dibangun oleh pemerintah daerah di sisi Timur dari wilayah proyek. Jalan ini diharapkan dapat mengurangi dampak terhadap penggunaan fasilitas dermaga, yang mungkin memiliki dampak pada kehidupan laut seperti lumba-lumba." Kasus seperti Teluk Balikpapan dan PT-WINA dapat menjadi contoh antisipasi bagi perusahaan setelah komitmen deforestasi nol yang terjadi dalam enam bulan terakhir. Pelaksanaan kebijakan ini membutuhkan perencanaan yang matang, dengan bantuan kelompok seperti TFT dan RSPO. Faktor pembatas dalam kasus ini adalah waktu. Perusahaan cenderung untuk segera melanjutkan kegiatan bisnis seperti biasa sehingga cenderung melanggar komitmen dan para ahli konservasi, yang secara cermat memantau berbagai kesalahan sistem. Namun demikian, baik ahli konservasi dan perusahaan memainkan peran penting dalam mengidentifikasi masalah-masalah kecil dalam kebijakan deforestasi nol yang diusulkan, untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan ini. Ucapan Terima kasih kepada Faezan Ridwan yang telah memantau sumber berita lokal di Indonesia dan menterjemahkannya Daftar Pustaka :
RSPO Uptake and Production (February 14,2014). Diakses pada tanggal 18 April 2014 PT-Re.Mark Asia. 2014. HCV Final Report on the Unit CPO Refinery, PT WINA, Balikpapan Lhota, S. 2014. Evaluation of the High Conservation Value Forest Assessment report: PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA), Balikpapan Bay Jennings, S., Nussbaum, R., Judd, N., and Evans, T. 2003. The High Conservation Value Forest Toolkit. Proforest. Diakses pada tanggal 30 Maret 2014 Wilmar. 2013. No Peat. No Deforestation. No Exploitation Policy. Diakses pada tanggal 30 Maret 2014
Komentar: Pernyataan dari manajer bidang keberlanjutan Wilmar, menunjukkan bahwa rencana oleh Wilmar terlihat baik, namun sebenarnya bersifat destruktif. Manajer mengklaim bahwa "kegiatan selanjutnya akan dikonsentrasikan pada pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang telah dikembangkan pada tahun 2007/2008" yang berarti bahwa Wilmar tidak berniat untuk merestorasi pesisir, sungai dan hutan bakau hutan, yang telah hancur sejak 2008 (perhatikan bahwa dengan menghancurkan hutan ini, Wilmar melanggar beberapa hukum dan peraturan Indonesia serta beberapa prinsip dan kriteria RSPO). Manajer juga mengklaim bahwa Wilmar akan berkonsentrasi untuk membangun jalan yang menghubungkan fasilitas Wilmar ke jalan baru guna mengurangi dampak penggunaan fasilitas dermaga, yang dapat berdampak pada biota laut seperti lumba-lumba yang kadang sering muncul. Namun pada kenyataannya, membangun jalan akan menjadi lebih berbahaya bagi ekosistem Teluk Balikpapan dari dermaga tersebut. Pembangunan jalan akan menghancurkan “koridor” penting yang menghubungkan
daerah aliran sungai dari Puda dan Sungai Tengah dengan DAS dari Sungai Berenga dan Tempadung. Hal buruk ini akan mempengaruhi semua satwa liar. Wilmar memang harus fokus untuk mengurangi dampak penggunaan dermaga terhadap kehidupan laut, tetapi membangun jalan bukanlah solusi yang tepat karena akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Membangun jalan dan menolak untuk mengembalikan pesisir, sungai dan ekosistem bakau, yang telah dihancurkan oleh Wilmar sejak tahun 2008, pasti akan menimbulkan protes lebih lanjut dan keluhan oleh para ahli konservasionis. Stan Lhota