Keynote Speech Seminar MAPEKI Bandung, 4 November 2015 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Om Suastiastu Namo Budaya Yth: 1. Prof.
Dr.
Ir.
Anita
Firmanti,
MT,
Kepala
Badang
Pengembangan
SDM,
Kementertian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang mewakili Bapak Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia, sekaligus sebagai Ketua Umum Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia periode 2012-2015. 2. Prof. Dr. Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 3. Prof. Dr. Bambang Subiyanto, M.Agr. Deputi Bidang Jasa Ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 4. Prof. Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr. Kepala Pusat Penelitian Biomaterial – LIPI, sekaligus sebagai pengarah panitia Seminar Mapeki dan Iwors, 5. Para Ketua Umum Mapeki terdahulu, dan 6. Para peserta yang berbahagia. Pertama sekali saya sampaikan permohonan maaf Ibu Menteri, karena jadwal Beliau yang luar biasa penuh, Beliau tidak bisa hadir pada acara ini, dan menugaskan saya untuk mewakili. Saya tentu saja bersyukur mendapat kesempatan ini. Ini adalah kali ketiga saya memberi sambutan pada Seminar MAPEKI. Yang terdahulu sebagai Kepala Pusat Litbang. Saya bersyukur masih punya kesempatan bertemu dengan teman-teman lama, dan berkenalan dengan teman-teman baru dari kalangan peneliti kayu Indonesia dan luar negeri. Selanjutnya, saya juga ingin mengungkapkan salut dan penghargaan kepada MAPEKI atas prestasinya maupun atas kemampuannya untuk menjaga organisasinya tetap eksis dan aktif. Saya rasa tidak banyak organisasi yang demikian. Bahkan partai saja bubar datang dan pergi, pecah atau berganti nama. MAPEKI tentu lebih baik daripada sebuah partai. Ibu, Bapak dan Saudara-Saudara yang saya hormati, Portfolio saya selaku Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, mungkin sedikit jauh dari penelitian kayu. Ditjen kami lebih berkaitan dengan produksi, penata-
1
usahaan, industri kayu dan pemasaran kayu. Ijinkan saya sharing beberapa hal mengenai hal-hal tersebut pada kesempatan yang berbahagia ini. Perihal produksi kayu Kayu tidak akan pernah lepas dari basic list kebutuhan manusia. Meskipun diciptakan berbagai material menyerupai dan dimaksudkan menggantikan kayu, tetapi kayu tidak tergantikan. Oleh sebab itu, Kementerian LHK tetap menempatkan peningkatan produksi kayu sebagai salah satu target strategis. Target produksi ialah 35,2 juta m3, 9,2 juta m3 (RENSTRA, 2015: 5,7 juta m3) dari RKT hutan alam, 26 juta m3 (RENSTRA 2015: 32 juta m3) dari hutan tanaman, belum termasuk yang diharapkan dari hutan rakyat. Dalam hal produksi dari hutan alam, volume produksi memang relatif kecil dan jauh dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Kita harus mencari pendekatan dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas hutan alam dan di sini kiprah peneliti sangat diharapkan.
Juga jauh di bawah
kapasitas terpasang industri kayu yang mencapai 81 juta m . 3
Sebuah teknik yang disebut dengan Silvikultur Intensif, sudah terbukti meningkatkan produktifitas hutan bekas tebangan secara signifikan. Akan tetapi teknik ini, yang menerapkan manipulasi lingkungan, penggunaan jenis unggul dan menajemen hama-penyakit terpadu, cukup mahal. Pemerintah sedang menjajagi skema yang memungkinkan pendekatan ini diterapkan agar secara finansial lebih viable bagi perusahaan. Untuk hutan tanaman, penelitian bioteknologi dan pemuliaan tentu sangat penting. Di sini peran peneliti kayu semestinya cukup penting, antara lain dalam menentukan kriteria atau parameter kualitas kayu yang dikehendaki atau dijadikan target. Perihal Industri kayu Industri kayu Indonesia, kecuali pulp, kertas dan furniture, sering dilabeli sunset industri. Di sini peran peneliti dan teknologi sangat-sangat penting. Sebuah industri yang tidak didukung inovasi secara nyata dan kontinyu, cepat atau lambat akan sunset. Bahkan industri mobil bisa sunset, karena keterlambatan menyesuaikan dengan kemajuan teknologi dan tuntutan konsumen.
Lihatlah industri mobil di
Detroit, Michigan. Bahkan kota Detroit dinyatakan bangkrut akibat ambruknya industri mobil. Kita juga lihat sejumlah industri telekomunikasi yang redup lalu hilang, misalnya Nokia yang pernah begitu merajalela. Juga Sony yang pernah menjadi brand sangat bergengsi. Jadi riset dan teknologi adalah nyawa dari sebuah industri.
2
Demikian pula halnya industri kayu. Industri kayu kita sunset karena kurang beranjak dari fokus menghasilkan low-end produk, khususnya kayu lapis.
Kita
semestinya mengarahkan pemanfaatan kayu kita untuk menghasilkan high-end produk. Yang tidak terlalu menekankan volume atau kuantitas, tetapi lebih pada nilai atau kualitas. Ini berkaitan juga dengan perihal value added. Harap diingat, ketika tahun 80an kita menggenjot industri kayu, khususnya plywood, antara lain dengan kebijakan subsidi tidak langsung berupa pelarangan ekspor kayu bulat, tujuannya tiada lain menghasilkan dan menahan value added sebanyak-banyaknya di dalam negeri. Akan tetapi, value added hanya akan besar, bila bahan baku diolah menjadi produk akhir yang melibatkan proses panjang, dengan tepat menggunakan teknologi. Tadi saya sebutkan perihal high end produk. Value added akan besar apabila bahan baku kita olah menjadi high end produk. Kalau kayu bagus-bagus hanya kita belah menjadi lumber atau kayu gergajian, atau kupas kemudian jadikan plywood, apalagi bukan fancy plywood, ya proses produksinya tidak terlalu memerlukan teknologi, dan value yang kita tambahkan ke dalam produk akhir tidak seberapa. Terlebih lagi dengan kebijakan subsidi tidak langsung dengan pelarangan ekspor bahan baku tadi. Maka industri kita terbentuk tidak kompetitif dan akhirnya sunset. Di sini peran peneliti sangat-sangat vital. Peneliti harus membantu inovasi dan diversifikasi produk, membantu menghasilkan barang modal atau bahan substitusi import. Salah satu barang substitusi import yang ditunggu-tunggu diketemukan ialah perekat misalnya. Tanpa dukungan inovasi, industri kayu kita memang akan sunset. Harus disadari bahwa negara lain sangat gesit melakukan pengembangan. Memanfaatkan kayu untuk menghasilkan produk-produk tradisional sangatlah ketinggalan jaman. Karena kayu terlalu bernilai kalau hanya sekedar untuk menghasilkan plywood. Ada yang mengatakan sangat primitif. Perihal Pemasaran Tadi saya sebutkan soal pelarangan eksport dan subsidi. Pelarangan ekspor log, meskipun maksudnya untuk mendukung industri dalam negeri, tetapi sangat berdampak negatif kepada sektor hulu. Pelarangan ekspor menyebabkan distorsi pasar, dan harga kayu bulat dalam negeri sangat rendah. Harga yang rendah menyebabkan sektor hulu yang memproduksi kayu bulat kembang-kempis. Berdasarkan hasil monitoring : IUPHHK-HA:
Dari total 267 UM, hanya 173 yang aktif melakukan kegiatan
operasional, sebanyak 76 mati suri dan perlu didorong, dan 18 meninggalkan areal kerja. 3
IUPHHK-HT: dari 280 unit, sebanyak 252 sudah dievaluasi. Dari 252 tersebut hanya 63 yang layak dilanjutkan, 81 masih layak tetapi dengan beberapa syarat, 93 bisa dilanjutkan tetapi harus diawasi, 15 perlu dievaluasi (28 belum dievaluasi).
Salah satu penyebab utama ialah harga jual kayu bulat tidak menutupi biaya produksi yang kian meningkat sehubungan dengan jarak yang semakin jauh, harga bahan bakar, upah buruh yang kian meningkat, dan lain-lain. Selain itu juga ada faktor ekonomi biaya tinggi. Redupnya sektor hulu sangat merisaukan, dan bahkan berbahaya bagi sektor hilir. Apabila IUPHHK bangkrut, maka kayu akan langka. Oleh sebab itu, Kementerian LHK berjuang untuk meninjau kembali kebijakan pelarangan ekspor log tersebut. Kita juga melakukan deregulasi perijinan agar memudahkan pengusaha penghasil kayu menerapkan strateginya. Kita tidak lagi pisahkan antara ijin HA dan ijin HT. Intinya, pelaku usaha punya fleksibilitas bagian mana yang akan dikelola sebagai TPTI, bagian mana sebagai HTI, atau SILIN.
Yang penting, kualitas hutan yang
dikelola bagus, produktifitas meningkat. Perihal Legaltias Kayu Saudara-saudara semua tentu sudah akrab dengan istilah illegal logging dan illegal timber trade.
Indonesia pernah dilekatkan dengan stigma sebagai sumber kayu
illegal. Illegal logging memang sangat marak, merampok uang negara, menyisakan kerusakan hutan dan menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Pendekatan keras dengan penangkapan, pengadilan terbukti tidak membawa efek jera atau efek pencegahan yang berarti. Sangat jarang kita dengar illegal logger yang dipenjarakan. Kalaupun ada hanya pelaku lapangan. Oleh sebab itu, kita kemudian membangun sebuah sistem yang mencegah kayu-kayu atau produk kayu illegal sampai kepada pembeli. Sistem itu ialah SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Kita mensyaratkan, semua kayu atau produk kayu yang keluar dari Indonesia harus ber SLK. Tentu Saudara-saudara belakangan mengikuti pemberitaan perihal SVLK di media massa, seakan ada perseturuan antara Kemnterian LHK di satu pihak, dan Kementerian Perdagangan dan asosiasi mebel di pihak lain. Ijinkan saya meluruskan persoalan. Kementerian LHK memang tidak akan pernah mundur atau menarik SVLK, karena kita merasa hanya itu jalan yang tersisa untuk mengatasi illegal logging. Saya berharap teman-teman peneliti juga berpihak kepada legalitas kayu. 4
Apakah SVLK memberatkan. Akan memberatkan bagi pelaku usaha yang terbiasa tidak taat aturan, bahkan tidak berijin. SVLK bukan sebuah regulasi baru, melainkan sebuah sistem yang memastikan pelaku usaha kayu menerapkan dan taat kepada hukum yang berlaku. SVLK disusun bersama-sama dengan stakeholders termasuk asosiasi dan pengusaha. Penerapannya sangat transparan dan bebas moral hazard. Sebuah perusahaan disertifikasi oleh lembaga sertifikasi independent yang diakreditasi KAN. Dalam seluruh pelaksanaan kita dimonitor oleh JPIK (Jaringan Pemantau Independent Kehutanan) yang berupa konsorsium LSM. Penerbitan V-LK dilakukan melalui sebuah
sistem
on-line
yang
terkoneksi
dengan
INATRADE
(Kementerian
Perdagangan) dan INSW (Bea Cukai). Apakah SVLK menganggu ekspor. Data menyatakan sebaliknya. Sejak diberlakukan tahun 2014, terjadi peningkatan nilai ekspor sangat signifikan. Tertimoni sebagian pelaku usaha juga mendukung. Memang menjadi pertanyaan, mengapa ada diantara anak bangsa ini yang menentang SVLK. Satu hal lagi. Cepat atau lambat pasar dunia akan menuntut sertifikasi legalitas. Maka itu sekarang Myanmar, Vietnam, dan saingan utama kita, Malaysia, juga sedang mengikuti Indonesia. Kalau kita yang sudah memulai sejak 10 tahun lalu membangun sebuah sistem komprehensif, tiba-tiba mencampakkannya, bukankah itu berarti menyerahkan sebuah keunggulan begitu saja kepada pesaing-pesaing tadi. Terus terang kadang saya berfikir, jangan-jangan memang ada di antara kita yang tidak sadar telah dipengaruhi atau disusupi oleh pesaing dari negara lain. Perihal legalitas kayu, mungkin agak jauh dari penelitian kayu. Tetapi sebagai insan peneliti yang obyektif dan hanya memihak kepada kebenaran, saya sangat berharap teman-teman peneliti juga memahami perihal ini dan mendukung upaya-upaya kami. Bagaimanapun juga tetap ada kaitannya. Kalau hutan kita dihancurkan oleh illegal logging, kayunya habis, lalu peneliti kayu akan kehilangan kepentingannya. Iya kan. Bapak dan Ibu sekalian. Masih ada beberapa hal yang bisa saya share. Akan tetapi lebih baik saya akhiri disini sebelum terlalu jauh menggiring Saudara-saudara melenceng dari tema seminar. Baiklah saya akhiri, terimakasih atas perhatian Saudara. Wass. Wr. Wb. 5
Om santih, santih, santih, Om. Direktur Jenderal PHPL, IB Putera Parthama, PhD.
6