Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
KEWENANGAN YAYASAN KARYA CIPTA INDONESIA (YKCI) SEBAGAI PERFORMING RIGHT COLLECTING SOCIETY Sulasno 1.
PENDAHULUAN
Perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual1 disingkat HKI atau padanan kata Intellectual Property Rights dewasa ini memegang peranan yang sangat penting dalam praktik pergaulan internasional. Apalagi sejalan dengan globalisasi yang sangat identik dengan free market, free competition dan transparansi memberikan dampak yang cukup besar terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia sehingga dengan demikian merupakan tantangan kepada Indonesia untuk memberikan perlindungan yang memadai atas HKI guna tercipta persaingan yang sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor untuk berinvestasi di Indonesia. Berkaitan dengan bidang yang ada dalam HKI yang menarik dan mendapat perhatian yang semakin meningkat dari Pemerintah Indonesia yaitu perlindungan akan hak cipta. Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 06/82 jo 07/87 jo 12/97 dan yang terbaru nomor 19 tahun 2002 pencipta mempunyai hak untuk mengumumkan dan memproduksi karya ciptanya. Artinya jika seseorang lain berniat untuk menggunakan karya cipta orang lain maka harus meminta izin kepada pemilik/pencipta atau pemegang hak cipta. Berdasarkan UUHC, hak yang dimaksud dalam hal ini adalah hak ekonomi yang berisi beberapa hak yang dilindungi, diantaranya adalah performing right. Performing Right ini berhubungan dengan hak untuk mengumumkan kepada khalayak (public performing) terutama lagu yang didalamnya melibatkan pencipta dan penyanyi dengan kegiatan melalui media broadcast (radio dan televisi), membuat audisi (kaset, compact disk maupun alat lain yang dinyanyikan dalam konser) serta pendistribusian yaitu apa yang disebut mechanical right yaitu memperbanyak
dalam bentuk kaset, compact disk dan lainnya dari sumber alat elektronik. Dikarenakan sebagai bagian dari hak ekonomilah maka di dalam performing right, bagi masyarakat atau orangorang yang memutar lagu untuk kepentingan komersial diharuskan membayar royalty. Menurut Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC), tindakan mengumumkan lagu harus mendapat izin dan mendapat royalti. Salah satu masalah yang paling sulit dan kompleks dalam hal pengelolaan royalti terletak pada upaya menentukan besarnya royalti atau kompensasi ekonomi yang harus dibayar oleh penerima lisensi atau pembeli hak cipta kepada pemilik hak cipta. Untuk dapat menentukan royalti yang optimal dan layak tersebut, pemilik hak cipta perlu melakukan estimasi terhadap nilai riil dari asset kekayaan intelektual yang dimilikinya2. Dalam industri musik, para pelaku ekonominya telah membuat suatu kesepakatan industri mengenai tarif-tarif royalti yang berlaku. Sebagai contoh, royalti untuk hak penggandaan atas suatu lagu (hak mekanikal) ditetapkan sebesar 5,4 % (pro rata) dari harga distributor atas setiap unit album. Sedangkan di sisi lain adanya kesepakatan industri sebagaimana yang terjadi dalam industri musik sulit diterapkan untuk kekayaan intelektual dalam bentuk teknologi/penemuan, karena peranan suatu penemuan terhadap performansi dan harga produk sangat relatif. Untuk performing right sendiri di Indonesia pelaksanaannya sendiri masih terabaikan dalam perlindungan hak cipta, adapun penyebabnya dikarenakan ada hubungannya dengan lembaga Collecting Society (CS).Di Indonesia untuk hak-hak para pencipta lagu, musisi dan penyanyi untuk menerima pembayaran royalti dipegang oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia3 (YKCI/Performing Right Society). 2
1
Ada pelbagai penggunaan istilah Intellectual Property Rights di Indonesia. Mulai dari Hak Milik Intelektual, Hak atas Kekayaan Intelektual disingkat HAKI maupun HaKI. Berdasarkan KepMenKumDang RI No. M.03.PR.07.10 Tahun 2000 telah ditetapkan secara resmi istilah HKI.
144
Helianti Hilman, “Pengelolaan Royalti terhadap komersialisasi Hak Kekayaan Intelektual”, makalah, dalam Seminar Undang-Undang dalam Informasi Umum Perlindungan hukum HKI, FH UGM, Yogyakarta, hal 5. 3 Kedudukan YKCI sebagai sebuah lembaga yang mendapat kuasa dari pencipta lagu. Masih terjadi perdebatan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
Selain sebagai lembaga pemungut royalti, YKCI juga mempunyai tugas sebagai lembaga performing rights4 dalam penggunaan ciptaan, sedangkan peran pengawasan pemerintah 5 dilakukan melalui Dewan Hak Cipta6 terutama mengenai besarnya royalti, perjanjiannya itu sendiri, juga terhadap lembaga penyelesaian perselisihannya. Royalti itu berasal dari pemutaran lagu-lagu di berbagai tempat hiburan yang bersifat komersil, yang dibayarkan hanya kepada yang menjadi anggota yayasan dengan persentase yang besarnya berkisar 22-28% dari jumlah tagihan yang diperoleh7. Selain itu keberadaan YKCI sendiri masih dalam posisi yang lemah dan landasan hukum berdirinya YKCI serta wewenangnya memberi lisensi penggunaan lagu dan memungut royalti sering dipertanyakan bahkan diperdebatkan kehadirannya secara legal, oleh karena tidak ada ketentuan dalam UUHC yang menunjuk lembaga pengumpul royalty di Indonesia adalah YKCI sehingga muncul perseteruan yang sampai dengan sekarang belum ada penyelesaian menyangkut kewenangan dari lembaga pemungut royalti disebabkan ASIRI juga mengklaim berhak dengan dasar belum ada peraturan yang mengatur secara legal mengenai lembaga ini. 4 Performing Rights yaitu hak mengumumkan dalam penggunaan ciptaan dengan dasar pasal 1 butir 1 UUHC 2002. Performing Rights berhubungan dengan hak mengumumkan kepada khalayak terutama untuk kepentingan komersial dimana dalam hal ini pencipta (atau pemegang hak) juga berhak atasnya. 5 Muhammad Djumhana dan R. Djubaidillah, Op.cit, Hal 71 6 Dewan Hak Cipta dalam UUHC 2002 diatur dalam Pasal 48 dengan tugas membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pembimbingan serta untuk pembinaan hak cipta, diatur dalam PP Nomor 14 Tahun 1986 jo PP Nomor 7 Tahun 1989 tentang Dewan Hak Cipta. 7 Metode Penghitungan Royalti yang dilakukan YKCI pernah menjadi masalah yang berakibat pada gugatan yang dilakukan YKCI terhadap sebuah hotel di Jakarta dikarenakan hotel tersebut menolak membayar royalti, lihat juga keberatan ASIRI dalam kasus yang sama, Dedy Kurniadi, dalam “Mengkaji somasi ASIRI terhadap YKCI”, tanggal 03 Agustus 2006, http :// www.goggle.co.id, bandingkan pula dengan kasus perlawanan para pengguna ciptaan terhadap collecting society (sejenis lembaga KCI di Amerika/ASCAP) tahun 1914 dari New York Hotel and Restaurant Association yang berpendapat bahwa lagu yang mereka tampilkan bukanlah untuk kepentingan komersial. Buffalo Broadcasting Co (yang kemudian diikuti oleh 450 pemilik tv lokal) menggugat ASCAP pada tahun 1984 karena adanya perbedaan pendapat dalam standardisasi penghitungan. Fox Broadcasting juga pernah bersengketa dengan ASCAP karena adanya tagihan lanjutan yang ditujukan kepada televisi lokal jaringannya.
dengan ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) yang juga mengklaim berhak dalam mengumpulkan royalty terhadap perusahaan rekaman yang masuk ke dalam anggotanya. Berdasarkan uraian di atas, dalam hal ini permasalahan yang akan diteliti adalah : 1. Bagaimanakah kewenangan YKCI sebagai Performing Right Collecting Society di Indonesia dalam UUHC 2002 ? 2. Bagaimanakah status hukum akan keberadaan YKCI sebagai Performing Right Collecting Society di Indonesia dilihat secara praktek ? 2.
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Perundang-undangan Hak Cipta Di Indonesia Hak Cipta pertama kali diusulkan oleh Prof. St. Moh. Syah pada kongres kebudayaan di Bandung sebagai pengganti dari hak pengarang (AuteursRechts dalam Auteurswet 1912) yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya, Dikarenakan istilah hak pengarang tersebut memberikan kesan “penyempitan” arti, seolah hanya hak daripada pengarang saja yang ada kaitannya dengan karang mengarang saja, sedangkan Hak Cipta lebih luas dan mencakup juga tentang karang mengarang. Adapun dasar hukum Hak Cipta berawal dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1987 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 dan terakhir dengan UndangUndang Nomor 19 tahun 2002 pada tanggal 29 Juli 2002 dengan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 85, dalam penulisan selanjutnya penulis menggunakan UUHC untuk menyebut Undang-Undang mengenai Hak Cipta. 2.2. Essensi Hak Cipta Hak Cipta berasal dari bahasa Inggris copyright yang dalam terjemahannya (to) copy berarti menggandakan dan right berarti hak. Dengan demikian secara bahasa, copyright pada prinsipnya adalah hak untuk menggandakan atau menyebarluaskan suatu hasil karya. Istilah copyright diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai hak cipta. Hak cipta (lambang internasional: ©) adalah hak eksklusif Pencipta 145
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Hak Cipta pada dasarnya ada atau lahir bersamaan dengan lahirnya suatu karya cipta/ciptaan, Tidak ada suatu kewajiban apapun untuk mendapatkan hak cipta. Undang-Undang mengakui dan pengakuan itu diberikan dengan diberikannya perlindungan hukum. Jadi, sejak suatu ide diwujudkan dalam suatu bentuk yang nyata dalam arti dapat dilihat, didengar, dibaca oleh orang lain, disitu sudah ada hak cipta. Ketentuan pendaftaran adalah merupakan suatu fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dalam hal mendapatkan anggapan hukum sebagai pencipta, sebelum terbukti sebaliknya 8. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 pasal 1 angka 1 : “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencipta menurut pasal 1 angka 1 UUHC 2002 yaitu : “Seseorang atau beberapa orang yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Jika tidak terbukti sebaliknya yang dianggap sebagai pencipta adalah9 : a. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal; atau b. orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan. Adapun hak-hak yang dimiliki pencipta yaitu :
Hak ekonomi (economic rights) yaitu hak untuk mengumumkan, memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan/memperbanyak ciptaannya dan hak ekonomi inilah yang dapat dialihkan kepada orang lain/badan lain, terdiri dari : hak reproduksi, hak adaptasi, hak distribusi, hak pertunjukkan, hak penyiaran, hak program kabel, dan hak pinjam masyarakat; Hak moral (moral rights) yaitu hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat orang yang tanpa persetujuannnya : a. meniadakan nama pencipta, b. mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya, c. mengganti atau mengubah nama pencipta, d. mengubah isi ciptaan. Hak moral ini tidak dapat dialihkan kepada orang/badan lain karena pencipta tetap melekat pada ciptaannya sehingga terdapat hubungan yang erat antara pencipta dengan ciptaannya; 2.3. Jenis-jenis Ciptaan yang dilindungi dan Jangka Waktu Perlindungan Pasal 12 Undang-Undang Hak Cipta Indonesia tahun 2002 menetapkan ciptaan10 yang termasuk dilindungi oleh hukum Hak Cipta di Indonesia. Pasal 12 menetapkan karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dilindungi adalah : a. Buku, program computer, pamplet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis yang lain; b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Adapun jangka waktu perlindungan Hak Cipta dibagi dalam tiga kelompok yaitu : Kelompok pertama : a. Buku, pamphlet, dan semua hasil karya tulis lainnya;b. ceramah,
8
Priharniwati, “UU Hak Cipta di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 2/1997, Hal 48-49 9 Pasal 5 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
146
10
Ciptaan menurut Pasal 1 angka 3 UUHC adalah setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan ilmu pengetahuan; d. ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan;, e. drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomime; f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase seni terapan yang merupakan seni kerajinan tangan; g. arsitektur; h. peta; i. seni batik. Jangka waktu perlindungan selama hidup pencipta dan berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelompok kedua, a. program computer; b. sinematografi; c. rekaman suara; d. karya siaran. Jangka waktu perlindungan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Kelompok ketiga, ciptaan yang masa perlindungan hukumnya tidak terlalu lama yaitu 25 tahun sejak pertama kali diumumkan : a. fotografi; b. saduran, bunga rampai dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan; c. susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku sejak pertama kali diterbitkan. 2.4. Pendaftaran hak cipta di Indonesia Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran[2]. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
2.6. Perkecualian dan batasan hak cipta Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta. Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14– 18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurangkurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri. 2.7. Royalti dan Collecting Society Royalti dapat diartikan sebagai “payment to an auhor, etc for every copy of a book sold, etc”11. Menurut Black, royalti adalah : “Compensation for the use o property, usually copyrighted material or natural resources, expressed as percentage of receipts from using
11
Oxford University, Oxford Learner’s Pocket Dictionary with Illustrations, Oxford University Press, Hal. 391
147
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
the property or as an account per unit produced”12. Sehingga dapat disimpulkan bahwa royalti berhubungan dengan pembagian bagian keuntungan berupa persentase dari penggunaan HKI dalam hal ini adalah hak cipta yang diperoleh pencipta atau pemegang hak cipta atas ijin yang diberikan kepada pihak lain oleh pencipta atau pemegang hak cipta atas penggunaan suatu ciptaan. Untuk mengadministrasi royalti ciptaanciptaan lagu, di Indonesia dan juga di negaranegara lain didirikan lembaga-lembaga untuk menjembatani para pencipta lagu dengan para pemakai lagu (users) untuk mengurusi dan mengadministrasi pemakaian lagu dan menyelesaikan kewajiban user membayar royalti, disebut juga dengan Collecting Society. Pola pemungutan yang berlaku umum pada lembaga ini adalah blanket licences atas seluruh ciptaan yang dikelola. Dengan blanket licences, collecting society melisensikan penggunaan keseluruhan ciptaan yang terdapat dalam catalog dalam waktu yang diperjanjikan dan dalam jumlah yang ditentukan berdasarkan standar tertentu. Dengan cara ini pengguna ciptaan (contohnya restoran) membayar lisensi dalam jumlah tertentu dalam suatu periode berdasarkan standar tertentu. Secara umum tugas collecting society adalah mengadministrasikan hak cipta, memastikan diberikannya lisensi dan pembayarannya, serta mendistribusikan royalti kepada pencipta. Di Indonesia lembaga yang melakukan pekerjaan ini adalah Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). Lembaga ini didirikan atas prakarsa beberapa beberapa orang yang bersimpati dan berkecimpung di bidang musik dan didukung oleh pemerintah (Tim Kepres 34 dan Departemen Kehakiman). Tugas dari YKCI adalah mengumpulkan royalti (termasuk memungut royalti performing rights) untuk para pencipta lagu dari users dan mendistribusikannya kepada pencipta lagu yang berhak. Telah bergabung pada YKCI sekitar 840 pencipta lagu Indonesia yang mendaftarkan sebanyak lebih dari 24.000 ciptaan lagu Indonesia. Jenis-jenis lagu yang terdaftar meliputi semua jenis pop, jazz hingga dangdut.
Selain pencipta negeri sendiri, dengan berafiliasinya YKCI dengan 158 lembaga sejenis di 86 negara-negara di dunia ini, YKCI juga mewakili Indonesia. Hal ini dimungkinkan dengan adanya perjanjian kerja sama resiprokal yang dirintis sejak Januari 1991 dengan lembaga pencipta di Belanda yang bernama BUMA STEMRA. Tugas yang diberikan oleh para pencipta berdasarkan kuasa tertulis adalah atas nama mereka memberikan izin kepada semua pihak yang ingin menggunakan lagu, khususnya untuk kegiatan mengumumkan dan memperbanyak (walaupun yang terakhir ini terbatas). Untuk memperoleh izin YKCI, para users membayar royalti untuk penggunaan 1 (satu) tahun di muka. Setelah membayar YKCI akan menerbitkan SERTIFIKAT LISENSI PENGGUNAAN MUSIK (SLPM) yang memperbolehkan user untuk menggunakan lagu apa saja dalam kegiatan usahanya dan membebaskan user dari segala macam tuntutan/gugatan para pencipta yang tergabung pada YKCI. Setiap bulan Maret suatu tahun tertentu YKCI mendistribusikan royalti kepada pencipta lagu yang lagunya digunakan selama kurun waktu pemantauan bulan Januari hingga Desember tahun sebelumnya. Royalti harus dibayar karena lagu adalah suatu karya intelektual manusia yang mendapat perlindungan hukum. Jika pihak lain ingin menggunakannya sepatutnya minta izin kepada pencipta. Pembayaran royalti merupakan konsekuensi dari menggunakan jasa/karya orang lain13. Adanya lembaga pemungut royalti ini telah dikenal sejak hampir seabad lalu. American Society of Composers, Authors and Publishers (ASCAP) berdiri pada tahun 1913 untuk mengutip royalti dari kafe dan restoran di New York. Organisasi sejenis tumbuh hampir di seluruh dunia yang kemudian menggabungkan diri di bawah Cisac (the Confederation of Societies of Authors and Composers) sebagai konfederasi internasional organisasi sejenis. Dengan menggabungkan diri di bawah suatu konfederasi internasional, maka pemungutan royalti dapat dilakukan di seluruh dunia. YKCI sendiri tergabung dibawah Cisac sebagai anggota biasa (ordinary member) dengan nomor kode
12
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co, St.Paul, Minnesota, 1990, Hal 1330
148
13
Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual – suatu pengantar, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006, Hal 120
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
109 (list member of Cisac termuat pada www.cisac.org). 3.
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kewenangan YKCI sebagai Performing Right Collecting Society di Indonesia dalam UUHC 2002. 2. Untuk mengetahui status hukum akan keberadaan YKCI sebagai Performing Right Collecting Society di Indonesia dilihat secara praktek. Adapun kegunaaan atau manfaat penelitian yang dapat diharapkan sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadapi pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai hukum hak cipta. 2. Kegunaan Praktis Penellitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam penerapan kebijakan, pembuatan aturan bagi pemerintah dan perlindungan yang memadai bagi pencipta, penyanyi maupun users atau pengguna. 4.
METODE PENELITIAN
4.1. Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif atau doktrinal, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang disebut penelitian kepustakaan (library research) yang dijadikan sasaran dalam penelitian hukum ini yaitu norm14. Adapun pelaksanaan dari penelitian ini berupa menemukan hukum bagi suatu perkara in concreto. Penelitian ini mensyaratkan sudah diselesaikannya inventarisasi hukum positif yang berlaku in-abstraco. Dalam penelitian hukum jenis ini norma hukum in-abstaco diperlukan untuk berfungsi sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal facts) dipakai sebagai premise minor. Melalui proses sillogisme akan diperoleh sebuah conclusion (kesimpulan) berupa hukum positif in-concreto yang dicari. 14
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum – sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1996, Hal 30-31
4.2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral sentral penelitian. Adapun pendekatan analitis maksudnya adalah analitis terhadap bahan hukum dengan mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik. 4.3. Bahan Hukum Bahan hukum yang dipergunakan dalam wujud bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tersier. Dalam penelitian ini dengan merujuk pada Soekanto dan Mamudji15 penggunaan Bahan Hukum Primer yang merupakan bahan hukum yang mengikat, terdiri dari : 1. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945; 2. Peraturan dasar, yaitu : a. Batang tubuh UUD 1945; b. Ketetapanketetapan MPR; 3. Peraturan Perundangundangan. Dalam bahan hukum sekunder yang merupakan penjelasan dari bahan hukum primer terdiri dari : 1. Rancangan Undang-undang, 2. hasil-hasil penelitian, 3. hasil karya dari kalangan hukum. Sedangkan bahan hukum tersier yang merupakan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder terdiri dari 1. kamus hukum yaitu Black Law Dictionary dan 2. Kamus Inggris Oxford. 4.3. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan dan artikel akan diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi selanjutnya analisis dilakukan secara kualitatif 15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit PT. Rajawali Press, 2003, Hal 10
149
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
yang mampu menjawab permasalahan yang diteliti, dengan bertumpu pada tipe penelitian, tujuan penelitian serta sifat data yang terkumpul dalam penelitian. Menurut Soekanto 16 metode kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang utuh, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. 5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tinjauan mengenai Performing Right dalam Hak Cipta Hak Cipta pada dasarnya ada atau lahir bersamaan dengan lahirnya suatu karya cipta/ciptaan, Tidak ada suatu kewajiban apapun untuk mendapatkan hak cipta. Undang-Undang mengakui dan pengakuan itu diberikan dengan diberikannya perlindungan hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 pasal 1 butir 1 : “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. Mengacu kepada Pasal tersebut maka terdapat 2 hak eksklusif yang dilindungi dibawah hak cipta yaitu hak mengumumkan dan hak memperbanyak.Hak mengumumkan atau Performing Rights dalam hal ini adalah hak untuk mengumumkan dalam penggunaan ciptaan dengan dasar pasal 1 butir 1 UUHC 2002. Performing Rights berhubungan dengan hak mengumumkan kepada khalayak terutama untuk kepentingan komersial dimana dalam hal ini pencipta (atau pemegang hak) juga berhak atasnya. Melihat pada hak-hak yang dimiliki pencipta, hak mengumumkan atau performing right masuk dalam Hak ekonomi (economic rights) yaitu hak untuk mengumumkan, memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan/memperbanyak ciptaannya dan hak ekonomi inilah yang dapat dialihkan kepada orang lain/badan lain, terdiri dari : hak 16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1986, Hal 250
150
reproduksi, hak adaptasi, hak distribusi, hak pertunjukkan, hak penyiaran, hak program kabel, dan hak pinjam masyarakat. Di sisi lain ada hak pencipta lain yaitu Hak moral (moral rights) yaitu hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat orang yang tanpa persetujuannnya : a. meniadakan nama pencipta, b. mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya, c. mengganti atau mengubah nama pencipta, d. mengubah isi ciptaan. Hak moral ini tidak dapat dialihkan kepada orang/badan lain karena pencipta tetap melekat pada ciptaannya sehingga terdapat hubungan yang erat antara pencipta dengan ciptaannya. Tidak sedikit pelaku usaha yang belum mengetahui apa sebenarnya substansi dari hak mengumumkan itu. Mengacu kepada Pasal 1 butir 1 UU 19 tahun 2002 maka terdapat 2 hak eksklusif yang dilindungi dibawah hak cipta yaitu hak mengumumkan dan hak memperbanyak. Secara umum masyarakat sangat mengenal hak memperbanyak yaitu hak menggandakan ciptaan. Dalam ciptaan musik atau lagu mengenal kaset, compact disc (cd) sebagai media penggandaan. Dengan membeli kaset maka membeli hak memperbanyak (mechanical right). Dengan beredarnya kaset bajakan maka terjadilah pelanggaran hak memperbanyak atas suatu ciptaan. Menikmati lagu dari kaset yang dibeli tentu telah menjadi hak dari si pembeli. Namun ternyata hak si pembeli tersebut tidak meliputi hak mengumumkannya kepada khalayak terutama untuk kepentingan komersial. Kegiatan mengumumkan ciptaan musik tersebut ternyata telah memasuki wilayah hak eksklusif lainnya yaitu hak mengumumkan. Pencipta (atau pemegang hak) telah menerima hasil dari mechanical rights namun ternyata masih berhak atas hak mengumumkan (performing rights). 5.2. Sistem pengaturan Royalti untuk Lagu Pada umumnya pelaku bisnis musik di Indonesia menghitung royalty dari Harga Dasar atau dengan Base Price atau PPD (Publish Price to Dealer). Perhitungan untuk mendapatkan Harga Dasar tersebut adalah sbb: Harga Retail X (100% - Diskon yang di tentukan oleh distributor/label) = Base Price Angka diskon tersebut dalam pelaksanaannya akan bervariasi, masing masing label/distributor memiliki angka berbeda dengan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
alasan yang berbagai macam. Ada pula yang menghitung biaya Sticker PPN dan ASIRI dalam perhitungan Base Price. Karena biaya atas Sticker PPN tersebut dapat mereka sertakan pada saat mereka membayar pajak. Namun angka diskon tersebut akan berkisar antara 25%-30%. Diskon sebesar 25% tersebut adalah merupakan hak dari Agen/Wholesaler yang pada umumnya kemudian diambil oleh para retailer sebesar lebih kurang 20%. Dari sebuah kontrak rekaman bisa mendapatkan RoyaltyArtis. Royalty ini adalah hak yang di dapat dari hasil kerja keras dan jasa performance yang di rekam di Master Rekaman yang kemudian digandakan dalam bentuk Kaset dan CD. Persentasi atas Royalty Artis yang akan menjadi hak artis sangat bergantung pada kemampuan aris untuk bargain dengan pihak label/Bos Rekaman. Pada umumnya Royalti Artis akan berkisar antara 1% 10% namun semua akan kembali bergantung kepada bargaining power. Dan pada akhirnya artis juga yang akan memutuskan untuk menerima hasil tawar menawar tersebut. Dalam hal ini artis harus tahu harga yang pantas untuk jerih payah dan karya. Dalam pelaksanaannya Royalty Artis bisa hingga 20% dari Base Price akan tetapi pasti ada kompensasi dan resiko yang berbeda pula misalkan, si Artis sudah terkenal dan juga harus produksi album sendiri atau bahkan dengan produksivideopula. Dalam hal pembayaran royalty biasanya dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian rekaman dengan pihak label dengan menerima pembayaran Royalty Artis di muka (advance payment). Besarnya pembayaran tersebut sangat bergantung dari hasil bargain atau kesepakatan dengan pihak label mengenai jumlah copy Kaset dan CD yang di perhitungkan untuk itu selanjutnya membuat kesepakatan dengan pihak label untuk menentukan termin pembayaran yang harus di lakukan oleh pihak label selanjutnya. Dengan catatan pihak label juga harus memberikan laporan penjualan bulanan secara berkala. Melihat dari uraian di atas ternyata cara berhitung untuk royalty ini di seluruh dunia sangat beragam, seperti memakai standar harga durasi lagu, harga standar industri, maupun standar persentase. Di Indonesia khususnya YKCI mengadopsi standar persentase sesuai standar Internasional, yakni sebesar 5,4% untuk sebuah
media album rekaman terjual untuk berapapun jumlah lagu yang terdapat di dalam album tersebut. 5.3. Peran YKCI sebagai Performing Right Collecting Society Berdasar uraian tersebut di atas tentu lebih mudah bagi pencipta untuk menghitung pemasukannya dari penggandaan ciptaan. Sebaliknya tentunya tidak mudah untuk menagih performing right mengingat pengumuman bisa terjadi dimana saja dan kapan saja diluar sepengetahuan si pencipta. Di bidang lagu, hak mengumumkan bisa dijabarkan menjadi hak menyanyikan atau mempertunjukkan lagu di tempat umum, memperdengarkan di tempat hiburan, menyiarkan lagu lewat televisi atau radio dan menggunakan lagu sebagai ring tone atau ring back tone telepon genggam. Menurut UndangUndang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC), tindakan mengumumkan lagu harus mendapat izin dan membayar royalty. Meskipun UUHC mencantumkan ancaman penjara dan denda cukup berat, kenyataannya ketentuan tersebut tidak berdaya guna menjerat orangorang yang menggunakan (mengumumkan) lagu untuk kepentingan komersial dan tanpa izin17.Di titik inilah sejarah lembaga sejenis KCI dimulai. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa dapat dibayangkan betapa sulitnya para pencipta lagu untuk meminta royalty dan sebaliknya betapa repotnya para pengusaha atau pengguna karya cipta lagu apabila harus mengurus izin dari kurang lebih 2.253 para pencipta lagu. Oleh karena itu diperlukan lembaga bersama untuk mewakili pencipta dalam menagih royalti performing right atau yang disebut sebagai collection societies. Collecting Society diperlukan untuk mengadministrasi royalti yang berhubungan dengan pembagian keuntungan berupa persentase dari penggunaan hak cipta yang diperoleh pencipta atau pemegang hak cipta atas ijin yang diberikan kepada pihak lain oleh pencipta atau pemegang hak cipta atas penggunaan suatu ciptaan lagu, di Indonesia dan juga di negara-negara lain didirikan lembagalembaga untuk menjembatani para pencipta lagu 17
Otto Hasibuan, “Perlunya Collecting Society”, http://www.goggle.co.id, diakses tanggal 01 Pebruari 2008
151
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
dengan para pemakai lagu (users) untuk mengurusi dan mengadministrasi pemakaian lagu dan menyelesaikan kewajiban user membayar royalti. Bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura maupun Malaysia, perkembangan sistem perlindungan bagi para pencipta lagu di Indonesia masih tertinggal sangat jauh, baik dari segi penghormatan terhadap karya cipta lagu maupun jumlah penghimpunan dan atau pengumpulan royaltinya. Hal ini dapat diliat dari jumlah royalty yang dapat dihimpun dan atau dikumpulkan oleh kedua negara tetangga tersebut kurang lebih 100 milyar setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan KCI yang setiap tahunnya baru dapat mengumpulkan royalty sebesar 10 milyar. Eksistensi YKCI yang merupakan badan administrasi kolektif sebagai lembaga pemungut royalty lagu dan musik di Indonesia didirikan berdasar akta Notaris No. 42 tertanggal 12 Juni 1990 melalui akte yang dikeluarkan notaris Abdul Latief yang selanjutnya YKCI tunduk pada UU No. 28/2004 jo UU No. 16/2001 tentang Yayasan. Yayasan ini mengimplementasikan aturan-aturan yang terdapat dalam UUHC khususnya dalam pemungutan royalty bagi pencipta lagu dan musik, dengan dasar surat kuasa dari pemberi kuasa, yaitu jutaan pencipta melodi dan lirik lagu beserta penerbit musik Indonesia dan asing yang karyanya dimainkan di seluruh dunia serta dasar nota kesepahaman antara YKCI dengan pemerintah mengenai penerapan hak cipta. Fungsi YKCI adalah sebagai pihak yang mewakili pencipta untuk melaksanakan hak ekonomi terutama hak untuk mengumumkan ciptaan sesuai yang diatur dalam pasal 2 UUHC. Dalam situsnya (www.kci.or.id), disebutkan bahwa sesuai perjanjian dengan BUMA STEMRA, YKCI adalah “the organization given the right to manage the performing rights of world repertoire”. Buma adalah anggota Komite Asia Pasifik Confederation International Societies of Composers and Song Writers (CISAC). Hubungan hukum antara YKCI dengan pencipta lagu adalah berdasar perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 17921819 KUHPerdata dengan kekhususan YKCI sebagai pihak dalam perjanjian YKCI. Dengan demikian YKCI memiliki hak dan kewajiban seperti layaknya seorang pencipta yang diatur 152
dalam pasal 2 UUHC, namun terbatas dalam hak mengumumkan. Hubungan hukum antara YKCI dengan pemakai (user) berdasar pada perjanjian lisensi yang telah dilakukan berdasar kesepakatan kedua belah pihak sesuai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata dan asas kebebasan berkontrak pasal 1338 KUHPerdata. Lembaga collecting society belum tegas diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selama ini, yang banyak dikenal masyarakat adalah YKCI. Tetapi Yayasan ini belum sepenuhnya bisa menjalankan fungsi sebagai collecting society. Masih ada perdebatan mengenai keabsahan wewenang YKCI memungut royalti. Eksistensi YKCI telah diakui sebagai suatu lembaga collecting society sejak awal berdirinya dan hingga kini telah memiliki anggota lokal yang mencapai lebih dari 2300 orang. Ini masih ditambah lagi dengan keanggotaan YKCI dari CISAC (Confederation of Societies of Authors and Composers/Organisasi Induk Performing Right sedunia) yang beranggotakan lebih dari 111 negara membuat karya cipta lagu milik para pencipta lagu Indonesia juga terdaftar di 111 negara anggota CISAC tersebut serta mendapatkan pengakuan maupun penghargaan atas karya ciptanya dalam bentuk royalty. Ini berarti dalam skala internasional, status dan kedudukan KCI telah diakui sebagai satu-satunya organ/lembaga yang mewakili para pencipta lagu di Indonesia sekaligus dipercaya oleh pencipta lagu asing. Dengan demikian keanggotaan YKCI dari luar mencapai dua juta orang. Dalam sistem keanggotaan, YKCI menggunakan sistem personal sukarela dan bukan diwakilkan dalam bentuk perkumpulan. Sehingga hubungan hukum yang terjadi adalah bersifat keperdataan. Selain itu, menurutnya selama menjadi anggota dan telah memberikan kuasa kepada YKCI untuk menarik royalti, pencipta lagu tidak bisa berhubungan dengan lembaga sejenis untuk menarik royaltinya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemungutan royalti ganda ke satu tempat oleh dua lembaga collecting society atas suatu ciptaan yang sama. Seperti diuraikan di atas, YKCI bekerja atas dasar pemberian kuasa dalam bentuk perjanjian dari pencipta lagu yang menjadi anggota YKCI dimana pemberian kuasa tersebut dimaksudkan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
untuk menarik royalti dari pengguna. Sehingga sudah pasti YKCI tidak akan memungut royalti dari pencipta lagu yang bukan merupakan anggota YKCI. Berdasarkan catatan hukumonline, pengakuan Pemerintah terhadap YKCI sebagai collecting society secara tak langsung tergambar dari Perjanjian Kerjasama Antara Direktorat Hak Cipta, Paten dan Merek Ditjen HKI dengan YKCI pada 23 September 1998. Kala itu, YKCI diwakili oleh Rinto Harahap, sedangkan Ditjen HKI diwakili S. Kayatmo. Tugas yang diberikan oleh para pencipta berdasarkan kuasa tertulis adalah atas nama mereka memberikan izin kepada semua pihak yang ingin menggunakan lagu, khususnya untuk kegiatan mengumumkan dan memperbanyak (walaupun yang terakhir ini terbatas). Untuk memperoleh izin YKCI, para users membayar royalti untuk penggunaan 1 (satu) tahun di muka. Setelah membayar YKCI akan menerbitkan SERTIFIKAT LISENSI PENGGUNAAN MUSIK (SLPM) yang memperbolehkan user untuk menggunakan lagu apa saja dalam kegiatan usahanya dan membebaskan user dari segala macam tuntutan/gugatan para pencipta yang tergabung pada YKCI. Setiap bulan Maret suatu tahun tertentu YKCI mendistribusikan royalti kepada pencipta lagu yang lagunya digunakan selama kurun waktu pemantauan bulan Januari hingga Desember tahun sebelumnya. Royalti harus dibayar karena lagu adalah suatu karya intelektual manusia yang mendapat perlindungan hukum. Jika pihak lain ingin menggunakannya sepatutnya minta izin kepada pencipta. Pembayaran royalti merupakan konsekuensi dari menggunakan jasa/karya orang lain18. Abdul Bari mengatakan 19 bahwa peran KCI tetap dapat dipertahankan sepanjang lembaga collecting society belum terbentuk. Sehingga sah-sah saja YKCI melakukan pungutan royalti. “Hanya saja kewenangan KCI tersebut dan besar penghitungan royaltinya harus tertuang jelas kepada kesepakatan perdata antara pencipta (yang diwakili oleh YKCI) dengan pengguna sesuai dengan pasal 45 ayat 4 UU Hak Cipta. 5.4. Kewenangan YKCI menurut Hukum
Berbicara mengenai istilah kewenangan yang banyak disebut dalam Hukum Administrasi Negara, menurut Bagir Manan 20 istilah kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang di dalamnya sekaligus terkandung hak dan kewajiban. Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht), wewenang hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam negara hukum, wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. P. Nikolai21 menyatakan bahwa kewenangan merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Menurut R.J.H.M. Huisman22, kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang tidak hanya kepada organ pemerintahan tetapi juga kepada pegawai atau badan khusus atau badan hukum privat. Perihal bagaimana memperoleh wewenang pemerintahan, secara teoritik kewenangan diperoleh melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat. Menurut H.D. Van Wijk Willem, atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lain. Mandat adalah ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya sedangkan menurut Stroink dan Steenbek, ada dua cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mandat tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang, tidak terjadi perubahan wewenang apapun. Contoh : Menteri dan pegawai, Menteri mempunyai wewenang 20
18
Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual – suatu pengantar, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2006, Hal 120 19 Wawancara dengan Dirjen HKI
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, Hal 73 21 Ridwan HR, Op.cit 22 Ibid, Hal 74
153
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama mentri, sementara secara yuridis wewenang dan liability tetap ada pada organ kementrian. Pegawai memutuskan secara faktual sedangkan menteri secara yuridis. Berkaitan dengan lembaga collecting society belum secara tegas diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Tidak ada satu pasalpun dalam UUHC 2002 yang menyebutkan penunjukkan pengelolaan performing right collecting society di Indonesia sehingga berdasar pada essensi dari kewenangan sebagaimana diuraikan di atas tidak ada hak dan kewajiban bagi pencipta lagu untuk masuk ke dalam anggota YKCI maupun mengenai pengelolaan royalti begitupun sebaliknya. Akan tetapi selama ini, yang banyak dikenal masyarakat adalah YKCI. YKCI sendiri pun belum sepenuhnya bisa menjalankan fungsi sebagai collecting society. Masih ada perdebatan mengenai keabsahan wewenang YKCI memungut royalti 23. Dalam prakteknya eksistensi YKCI telah diakui sebagai suatu lembaga collecting society sejak awal berdirinya dan hingga kini telah memiliki anggota lokal yang mencapai lebih dari 2300 orang. Ini masih ditambah lagi dengan keanggotaan YKCI Confederation of Societies of Authors and Composers, sehingga keanggotaan YKCI dari luar mencapai dua juta orang. Selain pencipta negeri sendiri, dengan berafiliasinya YKCI dengan 158 lembaga sejenis di 86 negara-negara di dunia ini, YKCI juga mewakili Indonesia. Hal ini dimungkinkan dengan adanya perjanjian kerja sama resiprokal yang dirintis sejak Januari 1991 dengan lembaga pencipta di Belanda yang bernama BUMA STEMRA.
23
Ada beberapa contoh kasus yang dapat dicontohkan :1. KCI mendapatkan somasi terbuka melalui harian Kompas (10 Juli 2006). Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) telah menolak pemungutan royalti yang dilakukan KCI dan meminta agar KCI menghentikan pemungutan royalti dimaksud. Bentuk perlawanan ASIRI yaitu menggugat eksistensi KCI sebagai lembaga pemungut royalti hak mengumumkan (performing right);2. Beberapa restoran dan hotel menolak untuk membayar royalti kepada KCI yang kemudian berujung kepada gugatan KCI terhadap sebuah hotel di Jakarta. Beberapa restoran dan hotel keberatan dengan metode penghitungan yang dilakukan KCI sebagai alasan penolakan mereka. 3. 10 perusahaan rekaman menggugat PMH terhadap YKCI karena merasa hak-haknya dilanggar dalam pemungutan royalty lagu terhadap operator telekomunikasi.
154
Meskipun YKCI dikatakan sebagai sebuah lembaga yang punya atensi serius terhadap nasib para pencipta lagu, dengan mengumpulkan royalty serta menyalurkannya kepada yang berhak bukan berarti tanpa masalah. Hal-hal tersebut dapat diinventarisir sebagai berikut : pertama, masih ada kekurangpuasan yang dilontarkan oleh anggota YKCI perihal kurangnya transparansi dalam pelaporan hasil dari perolehan royalty, masalah pembagian royalty sebesar 6 % dari keuntungan yang memicu pro dan kontra maupun kurangnya transparansi menyangkut dari personil yang duduk di kepengurusan YKCI. Belum lagi somasi terbuka yang dilayangkan oleh ASIRI melalui harian Kompas (10 Juli 2006). Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) telah menolak pemungutan royalti yang dilakukan KCI dan meminta agar KCI menghentikan pemungutan royalti dimaksud. Bentuk perlawanan ASIRI yaitu menggugat eksistensi KCI sebagai lembaga pemungut royalti hak mengumumkan (performing right). Sebelumnya beberapa restoran dan hotel menolak untuk membayar royalti kepada KCI yang kemudian berujung kepada gugatan KCI terhadap sebuah hotel di Jakarta. Kontroversi hubungan KCI dengan pengguna ciptaan musik agaknya akan terus berlanjut. Beberapa restoran dan hotel keberatan dengan metode penghitungan yang dilakukan KCI sebagai alasan penolakan mereka. Menurut Otto Hasibuan 24 lembaga collecting society seperti YKCI memang diperlukan untuk mewakili pencipta mengelola hak mengumumkan akan tetapi karena keberadaan YKCI yang sama sekali tidak diatur oleh UUHC dan pemerintah pun tidak bertindak untuk membentuk lembaga collecting society yang kuat dan berwibawa maka jelas upaya perlindungan hak cipta hanya bersifat setengahsetengah. Oleh karena itu tugas pemerintahlah untuk menegakan hak cipta dan kalau kemudian berdiri collecting society yang dilaksanakan di kalangan pencipta, kalangan pemegan sound recording/produser rekaman, maka kinerja lembaga itu tidak boleh lepas dari tanggung jawab pemerintah demi tegaknya hak cipta dan terlindunginya hak-hak ekonomi pencipta dan pemegang hak terkait. Adapun cara yang dapat dilakukan dalam jangka panjang adalah dengan 24
Otto Hasibuan, “Perlunya Collecting Society”, Loc.cit
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
memperbaharui UUHC dengan mengatur collecting society dan menyempurnakan pengaturan hak ekonomi pencipta. Teori mengenai kewenangan yang diuraikan sebelumnya juga memperkuat pendapat bahwa tidak terdapat atribusi, mandat maupun delegasi yang diberikan kepada YKCI dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsinya yang berhubungan dengan pemberian, perolehan serta pelimpahan baik berdasar undang-undang, datang dari pemerintah maupun organisasi pemerintahan dalam bentuk ijin. Kenyataan yang terjadi adalah hanya sebatas pada MoU yang dilakukan oleh para pihak, bukan berasal dari perintah undang-undang. Akan tetapi berdasarkan pada aspek kebutuhan dari para pihak yang diwakili dalam hal ini oleh YKCI kemudian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan juga nilai-nilai yang ada di masyarakat maka keberadaan YKCI sebagai collecting society, berdasarkan fakta bahwa YKCI diakui dan berkembang, status hukumnya dapat dibenarkan berdasarkan atas asas manfaat atas nilai ekonomis yang dipergunakan oleh pihakpihak untuk kepentingan komersial yang dapat diterima pencipta lagu dan asas kebutuhan dari para users untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak atas karya ciptanya dengan catatan bahwa kesemuanya perlu di cover melalui mekanisme perjanjian yang dapat menguntungkan para pihak yang terlibat. Memperhatikan uraian di atas dengan demikian dapat dilihat ada beberapa kendala yang dialami oleh YKCI dalam penerapan Performing Right yaitu : Pertama, masalah Penjualan Kaset/CD versus Performing Rights. Perbedaan pendapat antara kedua lembaga ini adalah mengenai pemutaran lagu,pameran dan penjualan di toko kaset yang dianggap sebagai bentuk pengumuman. Dapat diduga KCI mengacu kepada Pasal 1 butir 5 UU Hak Cipta yang mencantumkan kegiatan pameran dan penjualan sebagai salah satu bentuk pengumuman. Hal ini memang dapat mengundang perlawanan mengingat proses pameran dan penjualan kaset/cd tidak lain adalah kelanjutan dari hak menggandakan (mechanical rights). Adapun mechanical rights sendiri tidak akan berjalan tanpa adanya penjualan, disebabkan oleh dasar pertimbangan bahwa kaset/cd adalah sebagai media
penggandaan sehingga perlu dan harus dilakukan penjualan di toko kaset. Dalam hal ini perlu tampaknya perlu dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai penerapan UU Hak Cipta terutama dari sisi kepentingan ekonomi si pencipta sendiri. Kedua, perbenturan antara Hak Siar (Broadcasting Right) Lembaga Penyiaran dengan Performing Rights. Patut dipertanyakan penagihan yang dilakukan KCI terhadap Lembaga Penyiaran terutama apabila lagu yang disiarkan telah dibayar broadcasting right nya. Pertanyaan ini mungkin saja timbul atas lagu-lagu rekaman yang telah dibayar lisensi hak siarnya. Broadcasting right itu sendiri pada pokoknya berarti hak untuk menyiarkan yang juga berarti hak untuk mengumumkan. Dengan demikian terdapat kemungkinan KCI mendapat ujian dari lembaga penyiaran terutama untuk mendapatkan penghitungan lisensi sebatas bagi lagu yang belum diperoleh Broadcasting rightnya. Belum lagi ternyata KCI juga coba menagih hotel-hotel berdasarkan keberadaan pesawat televisi di kamar hotel. Perlu pula dikaji secara mendalam apakah performing rights yang telah ditagih ke lembaga penyiaran dapat pula ditagih kembali ke hotel, apalagi apabila melalui televisi berbayar (pay tv). Ketiga, perbenturan antara Ringtone dengan Performing Rights. KCI sendiri mengakui bahwa mereka memungut performing rights bagi pelaku usaha ring tone. Patut dipertanyakan dimanakah aspek “pengumuman” dalam perdagangan ring tone. Pengalaman dalam fakta empiris menemukan bahwa KCI masih ragu dalam men standar kan dasar pemungutannya. Bahkan pencantuman judul lagu di media cetak pun diajukan sebagai bentuk pengumuman. Bukankah Seperti diketahui bahwa pencantuman judul lagu sangat berbeda dengan pengumuman lagu itu sendiri. Dalam hal ini proses perdaganan ring tone atau ring back tone hampir persis dengan proses mechanical rights. Dapat dikatakan bahwa proses transaksi yang terjadi adalah proses penggandaan. Apa yang dipersoalkan ASIRI diatas dapat saja terjadi dalam proses perdagangan ring tone. Kegagalan dalam menentukan standar seperti ini tentu sangat potensial untuk mendapat kan perlawanan dari pelaku usaha. Keempat, perbenturan antara Synchronisation Rights dengan Performing 155
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
Rights. Synchronisation Rights adalah bentuk hak untuk menjadikan suatu ciptaan musik menjadi bahagian yang melekat pada ciptaan film. Musik atau lagu yang dijadikan ilustrasi sebuah film di akuisisi melalui Synchronisation Rights dengan harga tertentu. Bahkan untuk suatu ciptaan film yang terkenal dapat disebut harga sejumlah 100.000 pounds (ann morison 2003). Setelah dibayar Synchronisation Rightsnya maka sebuah lagu akan menjadi bahagian dari sebuah film yang ditayangkan atau diputar di bioskop. Dalam hal ini perbenturannya dengan Performing Right adalah, apakah lagu dalam film tersebut masih dianggap sebagai lagu yang diumumkan atau sebagai bahagian dari sebuah film. 6.
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan hasil uraian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Di dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 maupun dalam pasal-pasal UUHC tidak disebutkan secara tegas-tegas adanya lembaga pemungut royalti atau performing right collecting society di Indonesia sehingga menyangkut kewenangan YKCI berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak diberikan landasannya. Meski dalam prakteknya peran YKCI diakui sebagai lembaga yang memungut royalti, hal tersebut lebih dikarenakan atas dasar pemberian kuasa dari para anggota YKCI atau users dari YKCI. 2. Dengan tidak adanya penunjukkan collecting society dalam UUHC 2002 dapat membuka penafsiran akan keberadaan YKCI dalam praktek. Berdasarkan fakta bahwa YKCI diakui dan berkembang, status hukumnya dapat dibenarkan berdasarkan atas asas manfaat atas nilai ekonomis yang dipergunakan oleh pihak-pihak untuk kepentingan komersial yang dapat diterima pencipta lagu dan asas kebutuhan dari para users untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak atas karya ciptanya dengan catatan bahwa kesemuanya perlu di cover melalui mekanisme perjanjian yang dapat menguntungkan para pihak yang terlibat. 6.2. Saran 156
1. Perlu dipertimbangkan pengaturan mengenai performing right collecting society di Indonesia dalam Undang-Undang Hak Cipta secara jelas menyangkut jumlah lembaga serta wewenangnya. 2. Perlu diperhatikan mekanisme pengaturan dalam pembagian royalti secara jelas antara lembaga pemungut royalti dan pencipta lagu/pemegang hak, serta penyanyi sehingga para pihak dapat terlindungi dengan baik. DAFTAR PUSTAKA a. Daftar Pustaka yang berupa buku : Black, HC, (1990), Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, St. Paul, MN Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah, R, (2003), Hak Milik Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Ditjen HKI, (tanpa tahun), Paket Informasi Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan HAM RI _________, (2001), Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan HAM, Tangerang Lindsey, Tim, dkk, (2006), Hak Kekayaan Intelektual – suatu pengantar, Penerbit PT. Alumni, Bandung Mertokusumo, Sudikno, (1996), Penemuan Hukum – sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta Oxford University, Oxford Learner’s Pocket Dictionary with Illustrations, Oxford University Press, England Ridwan HR, (2002), Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta Soekanto, Soerjono, (1986), Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta ___________________ dan Mamudji, Sri, (2000), Penelitian Hukum Normatif, Penerbit PT. Rajawali Press, Jakarta b. Daftar pustaka yang berupa Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta c. Daftar pustaka yang berupa artikel :
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 4 No. 3, September 2012
Helianti Hilman, “Pengelolaan Royalti terhadap komersialisasi Hak Kekayaan Intelektual”, makalah, dalam Seminar Undang-Undang dan Informasi Umum Perlindungan hukum HKI, FH UGM, Yogyakarta
Kurniady Dedi, “Mengkaji Somasi ASIRI Terhadap Yayasan KCI”, http://www.goggle.co.id, tanggal 03 Agustus 2006 Otto Hasibuan, “Perlunya Collecting Society”, http://www.goggle.co.id, diakses tanggal 01 Pebruari 2008 Priharniwati, “UU Hak Cipta di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 2/1997
157