KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Farhan Bestyardi NIM: 109048000055
Pembimbing
NIP. 196911211994031001
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435H/2014M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 Januari 2014
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Januari 2014
iii
ABSTRAK
FARHAN BESTYARDI. NIM 109048000055. KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434H/2013M. penelitian ini menganalisis kewenangan pemerintah pusat dalam pembatalan peraturan daerah dan menganalisis produk hukum atau lembaga yang memiliki wewenang terhadap pembatalan peraturan daerah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis kasus kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dalam pembatalan peraturan daerah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada normanorma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat ahli, makalah-makalah dan lainnya. Dalam studi kepustakaan, penulis menganalisis permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah. Dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan pembatalan peraturan daerah hanya dengan peraturan presiden. Namun dalam pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 menyatakan bahwa perda dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Kata Kunci
: Peraturan Daerah, Pembatalan, Pengawasan, Mendagri, Peraturan Presiden
Pembimbing
: Drs. H. Asep Syarifuddin, S.H., M.H.
Daftar Pustaka
: Tahun 1983 s.d Tahun 2013
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, dengan berkah rahmat, nikmat serta
anugerah-Nya
“KEWENANGAN
penulis
dapat
PEMERINTAH
menyelesaikan PUSAT
skripsi
TERHADAP
dengan
judul
PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH.”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada suri tauladan umat, Nabi besar kita Muhammad SAW, yang telah memberikan pengaruh besar terhadap umat manusia, beliaulah yang telah merubah umat manusia dari zaman kelam menuju zaman yang berakhlak dan beradab. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Drs. H. Asep Syarifuddin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan arahan selama saya menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah diberikan untuk membimbing saya. 4. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Fajri Hidayat dan Ibunda Titin Nuraeni, yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta memberikan bantuan baik moril juga materiil dalam penyusunan skripsi ini. 5. Kakak-kakak dan adik saya yang memberikan semangat dan kebersamaan ketika di rumah untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 7. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan semasa kuliah di Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yaitu Abiyudin, Arif, Roma, Maulana, Muchtar, Saddam, Zaki, Gagat, Ihsan, Imam Machdi, Zakim, Agung, Syamsul, Daus, Aldo dan seluruh mahasiswa UIN Jakarta Khususnya prodi Ilmu Hukum 2009, PSM dan HMI terima kasih atas bantuan, motivasi, dan saransarannya selama penulis menimba ilmu.
vi
8. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amin). Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb. Jakarta, Januari 2014
Farhan Bestyardi
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii ABSTRAK .............................................................................................................iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v DAFTAR ISI....................................................................................................... viii LAMPIRAN ............................................................................................................ x
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7 D. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................................. 9 E. Kerangka Konseptual........................................................................ 10 F. Metode Penelitian ............................................................................. 11 G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 14
BAB II
PEMBENTUKAN, FUNGSI DAN MUATAN PERATURAN DAERAH .............................................................................................. 16 A. Pengertian Peraturan Daerah ............................................................ 16 B. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Daerah ................................... 23
viii
C. Pembentukan Peraturan Daerah dan Kedudukannya ........................ 25 BAB III KEWENANGAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH ....... 31 A. Tinjauan Umum Keputusan Menteri ................................................ 31 B. Tinjauan Umum Peraturan Presiden ................................................. 36 C. Bentuk Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ............................. 40 D. Pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia ..................................... 47 E. Pengujian Peraturan Daerah Oleh Mahkamah Agung ...................... 52 BAB IV KEWENANGAN PENGAWASAN
PEMERINTAH DAN
PUSAT
PEMBATALAN
DALAM
PERATURAN
DAERAH .............................................................................................. 55 A. Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dalam Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah.. ......................................................... 55 B. Analisis Hubungan Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dengan Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Peraturan Daerah.. .............. 59 C. Analisis Peraturan Presiden dalam Pembatalan Peraturan Daerah .. 67 D. Produk Hukum/Lembaga Yang Berwenang Dalam Pembatalan Peraturan Daerah ............................................................................. 70 BAB V
PENUTUP ............................................................................................ 75 A. Kesimpulan ....................................................................................... 75 B. Saran ................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) disebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Dan pada ayat 6 disebutkan bahwa “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Penjelasan Pasal 18 UUD NRI 1945 menerangkan bahwa karena Negara Indonesia itu adalah suatu negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang juga berbentuk negara. Wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi kabupaten/kota. Daerah-daerah itu bersifat otonom, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.1 Keberhasilan otonomi daerah bergantung pada pemerintahan daerah yang didalamnya terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD) dan Kepala Daerah dan perangkat daerah serta masyarakatnya, juga ketentuanketentuan peraturan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan sarana dan prasarana serta dana/pembiayaan yang terbatas secara efisien, efektif dan professional. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu 1
C.S.T Kansil, Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Hukum Administratif Daerah, Cet-12, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 3
1
2
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan atau pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global,2 dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah (selanjutnya disebut perda) ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Subtansi atau materi muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah dan subtansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.3 Perda ini jika dilihat dari muatannya memiliki fleksibilitas yang sangat sempit karena dilarang bertentangan dengan peraturan diatasnya yang bersifat nasional yang sangat banyak jumlahnya. Dalam hal pembentukan perda, DPRD dan Gubernur atau
2
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Cet-2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) h. 37 3
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 37
3
Bupati/Walikota berhak memberikan rancangan peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/Walikota. Program penyusunan perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah (selanjutnya disebut Prolegda), sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi perda. Ada berbagai jenis perda yang ditetapkan oleh pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h.
Pajak Daerah; Retribusi Daerah; Tata Ruang Wilayah Daerah; APBD; Rencana Program Jangka Menengah Daerah; Perangkat Daerah; Pemerintahan Desa; Pengaturan umum lainnya 4 Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar
kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Disamping pemerintahan daerah merupakan subsistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan 4
S. Bambang Setyadi, Pembentukan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol, 5 Nomor 2, 2007) h. 2
4
perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan perda dibuat oleh pemerintah daerah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, dan sudah banyak pula perda yang telah dibatalkan, karena perda-perda tersebut dianggap bermasalah dan berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah-daerah serta juga membebani masyarakat dan lingkungan.5 Terkait dengan banyaknya perda yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, sebagai instrumen hukum negara, dalam logika deduktif tertutup perangkat hukum sudah dibuat mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesaian konflik peraturan ini dilakukan lewat pengujian peraturan perundang-undangan tersebut. Perda yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dikenal dua model kewenangan pengawasan, yaitu judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah.6
5
Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Cet-1, (Jakarta: HuMa, Seri Pengembangan Wacana, Nomor 1, 2002) h. 16 6
Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945, Cet-1 (Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007) h.76-77
5
Disini penulis akan membahas lebih banyak tentang model pengujian yang kedua yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau yang lebih dikenal dengan istilah executive review. Dalam hal pengawasan terhadap daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi perintah bahwa perda yang dibuat oleh DPRD bersama kepala daerah agar disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Terkait dengan pembatalan perda, Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa : “Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” Kemudian Pasal 145 ayat (2) menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.” Ayat (3) menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Dalam hal ini, terdapat permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah adalah masalah bentuk hukum pembatalan perda. Bentuk hukum pembatalan perda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah adalah dengan Peraturan Presiden. Namun
banyak dalam pembatalan perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan Keputusan/Peraturan
Menteri
Kepmendagri/Permendagri).
Dalam
Dengan
Negeri
demikian,
(selanjutnya
pembatalan
perda
disebut melalui
Kepmendagri/Permendagri merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu
6
terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan perda harus dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Kepmendagri sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya terdapat masalah lain dalam hal pembatalan perda ini yakni, dalam pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 yang menyatakan bahwa perda tentang APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Mendagri) yang sekarang banyak menggunakan Kepmendagri/Permendagri. Tentu saja hal ini bertentangan dengan pasal sebelumnya, yakni pasal 145 ayat (3) yang memberikan wewenang pembatalan perda hanyalah dengan menggunakan Peraturan Presiden. Karena permasalahan yang terdapat pada saat ini, penulis serius untuk mengkaji dan menganalisis terkait permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya. Dalam permasalahan ini penulis lebih fokus meneliti pada kewenangan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri dalam pengawasan dan pembatalan peraturan-peraturan daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi ini dengan judul “KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH”
7
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penelitian skripsi ini, penulis membatasi penelitian hanya membahas mengenai kewenangan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri dalam memutuskan pembatalan peraturanperaturan daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan didalam kewenangan pemerintah pusat terhadap pembatalan peraturan daerah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam memutuskan keputusan terhadap pembatalan peraturan-peraturan daerah di Indonesia? b. Bagaimanakah penerapan pasal 145 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan Perda Ditetapkan dengan Peraturan Presiden? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis kewenangan pemerintah pusat dalam pembatalan perda. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:
8
a. Untuk menganalisa bagaimana kewenangan yang dimiliki Menteri Dalam Negeri untuk memutuskan keputusan terhadap pembatalan perda. b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pasal 145 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah bahwa pembatalan Perda Ditetapkan dengan Peraturan Presiden. 2. Manfaat Penelitian Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Manfaat Teoritis 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai analisis yang dilakukan terhadap pemerintah pusat dalam pembatalan peraturan daerah yang ditinjau dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Memperkaya khazanah penelitian ilmiah dan ilmu hukum Kelembagaan Negara. b. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu : 1) Bagi Akademis Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang kelak dapat diterapkan dalam dunia nyata sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila
9
dan UUD 1945 serta dalam kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat internasional. 2) Bagi Masyarakat Umum Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk mengetahui tata cara pembatalan peraturan daerah sesuai dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3) Bagi Pemerintah Dapat memberikan masukan kepada pemerintah pusat agar memahami sejauh mana kewenangan-kewenangannya dalam pembatalan perda. D. Tinjauan Kajian Terdahulu Dalam penelitian atau pembuatan skripsi terkadang ada tema yang berkaitan dengan penelitian yang kita jalankan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan penelitian lain, Yaitu: Skripsi yang dibuat oleh Yance Arizona yang berjudul Disparitas Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat dan Mahkamah Agung, Fakultas Hukum Andalas 2007. Skripsi ini menganalisis perbandingan pengujian dan pembatalan peraturan daerah oleh pemerintah pusat dan Mahkamah Agung, perbedaan penelitian Yance Arizona dengan penulis terletak pada materi yang dikaji, dimana penulis lebih fokus menganalisis tentang kewenangan pemerintah pusat dalam membatalkan peraturan daerah.
10
E. Kerangka Konseptual Kerangka konsepsional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubunganhubungan dalam fakta tersebut.7 Penulisan skripsi ini mengunakan definisi operasional dan teori sebagai berikut : 1. Peraturan Daerah Peraturan daerah adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota yang dibentuk oleh DPRD dengan Kepala Daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota. 2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Keputusan Menteri Dalam Negeri merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 3. Peraturan Presiden Peraturan presiden merupakan sebuah pengaturan yang dilakukan presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR, yang merupakan bagian dari tugas dan fungsi pemerintahan
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 132
11
4. Teori Hans Kelsen Norma-norma hukum berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm). 8 5. Teori Hans Nawiasky Norma hukum suatu Negara berkelompok-kelompok dan pengelompokan hukum dalam suatu Negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu: a) Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) b) Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara) c) Formell Gesetz (Undang-undang „formal‟) d) Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)9
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam 8
Hans Kelsen, lihat Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 41 9 Hans Nawiasky, lihat Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 44-45
12
peraturan perundang-udangan, literatur, pendapat ahli, makalah-makalah dan hasil penelitian yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam memberikan putusan pembatalan peraturan daerah. Sumber data yang dikumpulkan berupa data sekunder yaitu data yang telah dalam keadaan siap pakai bentuknya dan isinya telah disusun oleh penulis terlebih dahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.10 Contohnya seperti artikel ilmiah dan bahan-bahan dari internet. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam
skripsi ini dengan tipe penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach) dan Pendekatan Kasus (Case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach), diterapkan guna memahami bagaimana pembatalan peraturan daerah sesuai dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pendekatan Kasus (Case approach) diterapkan dalam mengamati telaah beberapa kasus pembatalan perda yang dibatalkan dengan peraturan perundangan yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Serta beberapa kasus yang relevan dengan isu hukum yang telah di pecahkan.
10
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT . Raja Grafindo, 1994) h. 37
13
3. Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuanketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat.11 Bahan hukum yang digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel12 yang berkaitan dengan penelitian ini, yang memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah bukubuku, skripsi, tesis, dan disertasi serta artikel ilmiah dan tulisan di internet mengenai pembatalan peraturan daerah. 11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52
14
c. Bahan non-hukum Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,13 seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan lain-lain. 4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam
penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana kewenangan pemerintah pusat terhadap pembatalan peraturan daerah.
G. Sistematika Penelitian Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masingmasing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelaskan ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2012. Adapun urutan dan tata letak masing masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52
15
BAB I :
Pendahuluan, memuat: Latar Belakang, dilanjutkan dengan Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
Tinjauan Umum Peraturan Daerah. Bab ini membahas Pengertian, Fungsi, Materi Muatan, Pembentukan dan Kedudukan Perda Dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan.
BAB III :
Tinjauan Umum tentang Fungsi, Muatan, dan Kedudukan Keputusan Menteri dan Peraturan Presiden, dan Membahas Bentuk Pengawasan Peraturan Daerah.
BAB IV :
Analisa Yuridis Terhadap Kepmendagri dan Peraturan Presiden terhadap Pembatalan Perda. Juga Membahas Produk Hukum yang Berwenang Pembatalan Peraturan Daerah di Indonesia.
BAB V :
Penutup. Dalam bab penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.
16
BAB II PEMBENTUKAN, FUNGSI DAN MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Pengertian Peraturan Daerah 1. Pengertian Peraturan Daerah Perda merupakan peraturan yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Dibentuknya perda merupakan salah satu rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.14 Perda yang dibuat oleh satu daerah, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah.15 Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat dua pengertian tentang perda, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.
14
B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, Cet-2 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010) h. 156 15
Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Cet-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005) h. 131
16
17
Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Dari segi pembentukan, perda ini menyerupai pembentukan undangundang, yaitu suatu produk hukum yang dibuat oleh presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (Selanjutnya disebut DPR). Dari segi materi dan wilayah berlakunya, undang-undang itu mengatur semua urusan publik baik bersifat kenegaraan maupun pemerintahan dan berlaku secara nasional, sedangkan materi perda hanya berkenaan dengan administrasi atau pemerintahan dan hanya berlaku pada wilayah tertentu atau bersifat lokal. Materi muatan perda mencakup semua urusan rumah tangga daerah baik dalam rangka otonomi maupun atas dasar pembantuan, baik yang bersifat wajib maupun pilihan sebagaimana ditentukan dalam pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Materi muatan perda itu sangat banyak dan setiap saat dapat berkembang seiring dengan perkembangan zaman. 16
16
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet-1 (Jakarta: PT Pustaka Mandiri, 2010) h. 103
18
2. Landasan Filosofis, Sosilogis, Yuridis dan Politis Peraturan Daerah Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indosesia, perda dalam pembentukannya tunduk pada asas maupun teknik dalam penyusunan perundang-undangan yang telah ditentukan. Hal yang sangat penting dalam
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
diantaranya
adalah
menyangkut tentang landasannya. Landasan yang dimaksud disini adalah pijakan, alasan atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus dibuat. Menurut Bagir Manan ada 4 Landasan yang digunakan dalam menyusun perundang-undangan agar menghasilkan perundang-undangan yang tangguh dan berkualitas.17 a. Landasan Filosofis Yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar suatu rencana atau draft peraturan negara. Suatu rumusan perundang-undangan harus mendapat pembenaran (recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup maysarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita keadilan (idée der grerecthsigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der eedelijkheid).18
17
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legal Drafting Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2009) h. 13 18
Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Cet-1, (Yogyakarta: UII Press, 2005) h. 33
19
Setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai dalam kehidupan kenegaraan. Menurut Sooly Lubis, landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu rancangan atau draft peraturan negara.19 Peraturan
hukum
(peraturan
perundang-undangan)
merupakan
pembadanan dari norma hukum/kaidah hukum dan merupakan sarana yang paling lengkap untuk mengutarakan apa yang dikehendaki oleh norma hukum. Peraturan hukum menggunakan sarana untuk menampilkan norrma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat, dengan menggunakan konsepkonsep/pengertian-pengertian untuk menyampaikan kehendaknya.20 Dengan
demikian
perundang-undangan
dikatakan
mempunyai
landasan filosofis (filosofis grondflag) apabila rumusannya mendapat pembenaran yang dikaji secara filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi induk dari landasan filosofis ini adalah Pancasila sebagai suatu sistem nilai nasional bagi sistem kehidupan bernegara.
19
M. Sooly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Cet-1, (Bandung: Mandar Maju, 1989) h. 7 20
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Cet-1, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 17
20
b. Landasan Sosiologis Yakni satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup. Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat.21 Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan (peraturan daerah), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan.22 Sebagai contoh dibidang perikanan, salah satu instrument pengaturan adalah perizinan perikanan. Dalam hubungan ini dibuatlah perda untuk menghindari terjadinya penangkapan ikan yang melebihi penangkapan semestinya, demikian pula penggunaan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dapat merusak sumber daya perikanan, sedangkan hal ini tidak dikehendaki oleh masyarakat. Karenanya perlu dihindari dengan membuat peraturan daerah tentang izin usaha perikanan. Peraturan daerah tersebut mengatur berbagai hal agar sumber daya perikanan tetap dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, dan bahkan melalui pengaturan tersebut diharapkan dapat lebih menguntungkan 21
Rosyidi Ranggawidjaja, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010) h. 21 22
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Cet-1,(Jakarta: Kencana, 2010) h.25
21
masyarakat dan negara melalui usaha perikanan yang dalam ketentuannya juga mengatur mengenai pungutan retribusi izin usaha perikanan. Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dengan melihat kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka penyusunan suatu perundang-undangan maka tidak begitu banyak lagi pengarahan institusi kekuasaan dalam melaksanakannya. c. Landasan yuridis Landasan yuridis atau landasan hukum yang menjadi landasan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, adalah peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan menjadi dasar kewenangan. Dari sini akan diketahui, apakah seorang pejabat atau badan mempunyai kewenangan membentuk peraturan itu atau apakah urusan yang diatur itu berada dibawah kewenangan mengatur badan itu, serta apakah materi muatan yang akan diatur menjadi kompetensi mengatur dari jenis peraturan yang akan dirancang.23 Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/dasar
hukum
untuk
pembentukan
suatu
perundang-undangan.
Landasan yuridis pada pembentukan perda yakni mengacu pada pasal 18 UUD NRI 1945 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah
23
Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, (Jakarta: Perca, 2005) h. 64
22
untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya demi menjalankan otonomi dan tugas pembatuan. d. Landasan Politis Landasan politis adalah garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya
bagi
sebuah
kebijakan
dan
pengarahan
ketatalaksanaan
pemerintahan negara.24 Landasan merupakan “ruh” yang mengarahkan kebijakan untuk memberi proteksi struktural dan kemasyarakatan guna mencegah kemungkinan kekacauan sistem pada kebijakan publik dan kegelisahan dalam masyarakat, baik dalam lingkup daerah maupun dalm lingkup nasional.25 Hukum sebagai produk politik merupakan anggapan yang benar. Norma peraturan perundang-undangan harus berlandaskan pada haluan politik pemerintahan yang termuat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah (Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasioal (Propenas) sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di laksanakan selama pemerintahannya ke depan. Ini berarti memberi pengarahan dalam pembuatan
24
Jimly Asshiddiqie & M Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2012) h. 172 25
Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Perca, 2005) h. 69-70
23
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. B. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Daerah 1. Fungsi Peraturan Daerah Fungsi perda merupakan fungsi yang bersifat atribusi yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama pasal 136, dan juga merupakan fungsi delegasian dari peraturan perundang-undangan
yang
lebih
tinggi.
Fungsi
perda
adalah
untuk
menyelenggarakan pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan dalam rangka penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun fungsi peraturan daerah ini, sebagai berikut: a. Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. b. Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut Maria Farida Indrati S yang dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi disini adalah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat.26
26
Maria Farida Indrati Soeprapto Buku I. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 232
24
2. Materi Muatan Peraturan Daerah Materi muatan perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi muatan undang-undang, atau keputusan presiden, karena perda merupakan peraturan pelaksana undang-undang dan keputusan presiden.27 Dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian dalam pasal 138 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa materi muatan perda itu mengandung beberapa asas sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Pengayoman Kemanusiaan Kebangsaan Kekeluargaan Kenusantaraan Bineka tunggal ika Keadilan Kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Ketertiban dan kepastian hukum dan atau Keseimbangan, keselarasan dan keserasian
27
HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 132
25
Selanjutnya dalam ayat (2) menjelaskan bahwa selain asas yang disebutkan di atas, perda dapat memuat asas yang lain asalkan sesuai dengan substansi perda yang bersangkutan. C. Pembentukan Peraturan Daerah dan Kedudukannya 1. Pembentukan Peraturan Daerah Pembentukan perda sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa perencanaan penyusunan perda dilakukan dalam Prolegda dengan judul Rancangan Peraturan Daerah (Selanjutnya disebut raperda), dan tahapan sebagai berikut: 1) Penyusunan Prolegda a. Penyusunan prolegda dilaksanakan oleh DPRD dan pemerintah daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun (prolegda dilakukan setiap tahun sebelum penetapan raperda tentang APBD) b. Penyusunan
prolegda
antara
DPRD
dan
pemerintah
daerah
dikoordinasikan oleh DPRD melalui alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. c. Penyusunan prolegda di lingkungan DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi yang lebih lanjut diatur dengan peraturan DPRD, begitu pula penyusunan di lingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum yang lebih lanjut diatur dengan peraturan kepala daerah.
26
d. Hasil penyusunan disepakati menjadi Prolegda dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD dan ditetapkan dengan keputusan DPRD. 2) Penyusunan raperda a. Raperda berasal dari DPRD atau kepala daerah dimana raperda tersebut disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. b. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi raperda yang berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi, dan yang berasal dari kepala daerah dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. c. Penyusunan raperda yang berasal dari kepala daerah lebih lanjut diatur dengan peraturan presiden dan raperda dapat juga diajukan oleh anggota komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi28 yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan DPRD. d. Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat pimpinan DPRD kepada kepala daerah, dan yang disiapkan oleh kepala daerah disampaikan dengan surat pengantar kepala daerah kepada pimpinan DPRD. 28
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah, Cet-1, (Yogyakarta: Pusat Studi FH UII, 2005) h. 71
27
e. Apabila dalam satu masa sidang DPRD dan kepala daerah menyampaikan raperda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah raperda dari DPRD
sedangkan
raperda
dari
kepala
daerah
dijadikan
untuk
dipersandingkan. 3) Pembahasan dan penetapan raperda a. Pembahasan raperda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilaksanakan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD. b. Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas oleh DPRD dan kepala daerah sedangkan raperda yang sedang dibahas dapat ditarik hanya dengan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah. c. Raperda yang telah disetujui bersama, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah. d. Raperda ditetapkan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan kepala daerah, jika tidak ditandatangani dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui bersama, maka raperda tersebut sah menjadi peraturan daerah.
28
Lalu dalam hal penetapan perda H.A.W. Wijaya menambahkan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
29
Selanjutnya menurut Nomensen
Sinamo menjelaskan peraturan daerah dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
Kejelasan tujuan Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat Kesesuaian antara jenis Dapat dilaksanakan Kedayagunaan dan kehasilgunaan Kejelasan rumusan dan Keterbukaan30
2. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan Secara materiil, kedudukan perda dalam peraturan perundang-undangan nasional selalu menempati kedudukan yang strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi secara formal kedudukan perda belum diakui dalam hierarki peraturan perundang-undangan baik pada masa awal kemerdekaan maupun pada era demokrasi terpimpin. Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan.
29
HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU 32 2004, Cet-2, (Jakarta: PT Raja Grrafindo Persada, 2005) h. 244 30
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Pustaka Mandiri, 2010) h. 102
29
Dalam undang-undang ini belum dikenal perda dalam hierarki, justru peraturan menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang berada dibawah peraturan pemerintah. Hal ini dapat dimengerti, mengingat Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 menganut sistem parlementer, sehingga presiden hanya bertindak sebagai kepala negara dan tidak mempunyai wewenang untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.31 Dalam sistem hukum nasional, tata urutan perundang-undangan secara positiefrechttelijk lebih lanjut diatur dalam Tap MPRS Nomor X/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia.32 Tetapi didalamnya perda tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan. Kedudukan perda dalam jenis dan hierarki perundang-undangan mulai dikenal/diakui setelah ditetapkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.33 Dalam pasal 2 dirumuskan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan hukum dibawahnya, yang meliputi: (1) UUD 1945, (2) Tap MPR, (3) Undang-undang, (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, (5) Peraturan Pemerintah, (6) Keputusan Presiden, (7) Peraturan Daerah. Dalam pasal 31
Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I. Ilmu Perundang-undangan (Proses dan Teknik Pembentukannya),Cet-1, (Yogyakarta: Kansius, 2007) h. 71 32
Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baruvan Hoeve, 2006) h. 54 33
Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baruvan Hoeve, 2006) h. 24
30
3 butir 7 dirumuskan bahwa perda merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan yang dibentuk oleh DPRD bersama kepala daerah. Pasca perubahan UUD NRI 1945 dan setelah Tap MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, kedudukan perda secara formal dalam peraturan perundang-undangan nasional menempati posisi kuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya setelah dirubahnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disini perda menjadi dua bentuk pertama, perda provinsi dan kedua perda kabupaten/kota. Dalam pasal 7 ayat (1), perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah Peraturan Presiden. Perda
merupakan
jenis
peraturan
perundang-undangan
yang
pembentukannya melibatkan lembaga perwakilan. Itu sebabnya jenis perda tersebut mempunyai keistimewaan dalam hal materi muatannya. Perda mempunyai keistimewaan karena dapat memuat ketentuan pidana dalam materi muatannya. Perda juga merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang jenis dan kedudukannya diatur dalam UUD NRI 1945.34 34
2011) h. 13
Ahmad Yani, Pembentukan Undang-undang Dan Perda, Cet-1, ( Jakarta: Rajawali Pers,
31
BAB III KEWENANGAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH
A. Tinjauan Umum Keputusan Menteri 1. Dasar Hukum dan Fungsi Keputusan Menteri Jabatan Menteri Negara menurut ketentuan Pasal 17 UUD NRI 1945 itu haruslah diisi berdasarkan merit sistem. Itulah konsekuensi dari pilihan sistem pemerintahan presidensil yang dianut dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian kekuasaan para Menteri Negara bersifat meritokratis (meritocracy), sehingga dalam memimpin kementerian yang menjadi tugasnya, para menteri itu pula diharapkan bekerja menurut standar yang bersifat meritokratis.35 Berkenaan dengan tugas menteri dibidangnya, salah satunya dapat menerbitkan keputusan/peraturan menteri guna memberikan payung hukum dalam melaksanakan pemerintahan. Oleh karena itu, menurut Maria Farida S, ada empat fungsi dan dasar diterbitkannya keputusan menteri adalah sebagai berikut: a. Menyelenggarakan peraturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dibidangnya. b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan presiden. Fungsi ini merupakan delegasian berdasarkan ketentuan pasal 17 UUD NRI 1945 perubahan yang menentukan bahwa: 1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. 2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden 3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. 35
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cet-2, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) h.176
31
32
c. Menyelenggarakan peraturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang secara tegas menyebutkannya. d. Menyelengarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutkannya.36 Keputusan menteri ini merupakan salah satu instrument hukum, sehingga keberadaan Keputusan Menteri masih sangat diperlukan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan diatasnya yang secara tegas mendelegasikan.37 2. Materi Muatan Keputusan Menteri Materi muatan berkaitan erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan pendelegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma peraturan menteri harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugasnya menteri atau kementeriannya yang berasal dari pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.38 Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan tersebut. A.Hamid S. Attamimi membagi sepuluh materi muatan peraturan perundang-undangan, yakni:
36
Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 225-227 37
Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Cet1, (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2, 2004) h. 120 38
Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Cet1, (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2, 2004) h.124
33
a. b. c. d. e. f. g. h.
Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Yang mengatur hak-hak asasi manusia Yang mengatur hak dan kewajiban warga Negara Yang mengatur pembagian kekuasaan Negara Yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tinggi negara Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara Yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan i. Yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undangundang. 39 Dalam konteks ini, A. Hamid S. Attamimi mempertegas bahwa perincian
butir-butir diatas menunjukkan pena-pena penguji (testpennen) untuk menguji apakah suatu materi peraturan perundang-undangan negara termasuk materi muatan atau tidak. Berkenaan dengan materi muatan keputusan menteri, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
tidak
ditegaskan
secara
implisit
mengenai
materi
muatannya. Akan tetapi menurut Maria Farida Indrati Soeprapti, materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Keputusan Menteri yakni merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi muatan undang-undang atau Keputusan Presiden, karena peraturan perundang-
39
A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Cet-1, (Jakarta: Disertasi Doktor UI, 1990) h. 218-219
34
undangan lainnya merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang dan Keputusan Presiden.40 Telah dijelaskan diatas, bahwa fungsi Keputusan Menteri adalah dalam rangka menyelenggaarakan ketentuan Pasal 17 ayat 1 UUD NRI 1945, Undangundang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden sehingga materi muatan Keputusan Menteri harus bersumber dan berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, baik bersumber dari delegasi maupun atribusi. 3. Kedudukan Keputusan Menteri Dalam Hierarki Perundang-undangan Jika dilihat eksistensi atau kedudukan Keputusan/Peraturan Menteri dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini, tentunya ada sedikit penegasan dan pengakuan Keputusan/Peraturan menteri. Dalam rumusan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarki terdiri dari UUD NRI 1945, Tap MPR, Undangundang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota. Artinya bila hanya menelaah pasal tersebut, maka akan menimbulkan beberapa penafsiran yang salah satunya menyatakan bahwa Keputusan/Peraturan Menteri itu tidak diakui dan tidak masuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
40
Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 243
35
Oleh karenanya harus ditelaah dan dikaji lebih mendalam rumusan yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa: 1)
2)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Kemudian sebagai pendukung argumentasi dalam pasal di atas, maka jenis
peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan pasal 7 ayat 1 yakni salah satunya peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri sebagaimana tertera pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari penjelasan pasal 8 di atas, dapat disimpulkan bahwa, Menteri dapat membentuk suatu peraturan perundangundangan yang disebut Keputusan Menteri/Peraturan Menteri, sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan adanya rumusan “sepanjang diperintah oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi” dalam pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka Menteri hanya dapat membentuk Keputusan/Peraturan Menteri apabila undang-
36
undang,
Peraturan
Pemerintah,
atau
Peraturan
Presiden
secara
tegas
memerintahkan (menetapkan). Dari kajian teori dan ilmu perundang-undangan ketentuan tersebut telah membatasi kewenangan menteri dalam melaksanakan fungsi pemerintahan yang diembannya, sebagai penyelenggara sebagian bidang pemerintahan yang diberikan oleh Presiden, serta menerapkan kembali kebiasaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sistem parlementer.41 B. Tinjauan Umum Peraturan Presiden 1. Fungsi dan Dasar Hukum Pembentukan Peraturan/Keputusan Presiden Pembentukan Peraturan Presiden yang berfungsi pengaturan yang dilakukan presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR, yang merupakan bagian dari tugas dan fungsi pemerintahan. Peraturan Presiden tersebut dapat berupa (i) pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan pemerintah dan (ii) pengaturan hal-hal lain yang tidak termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan negara tersebut di atas.42 Menurut Maria Farida Indrati S, fungsi Peraturan Presiden yang berisi pengaturan adalah: a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. 41
Maria Farida Indrati Soeprapto, Jenis Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundangundangan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, (Jakarta: Makalah Biro Hukum dan Organisasi Dept. Kehutanan RI, 2005) h. 9 42
A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Cet-1, (Jakarta: Disertasi Doktor UI, 1990) h. 235
37
Fungsi ini merupakan suatu kewenangan atribusi dari UUD NRI 1945 kepada Presiden, dan sesuai dengan pendapat dari G. Jellinek bahwa di dalam kekuasaan pemerintahan itu termasuk pula fungsi mengatur dan memutus. Fungsi ini dapat dilaksanakan dengan membentuk suatu peraturan perundangundangan, di dalam hal ini adalah pembentukan suatu Keputusan Presiden (baik bersifat mengatur atau menetapkan). Keputusan Presiden dalam melaksanakan fungsi yang pertama ini merupakan Keputusan Presiden yang mandiri, yaitu Keputusan Presiden yang merupakan sisa dari peraturan perundang-undangan yang tertentu batas lingkupnya yaitu undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan presiden yang merupakan pengaturan delegasian. b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutkannya. c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam peraturan pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya. Kedua fungsi tersebut (a dan b) merupakan fungsi Peraturan Presiden yang merupakan fungsi delegasian dari peraturan pemerintah dan sekaligus undang-undang yang dilaksanakannya. Fungsi Peraturan Presiden disini merupakan fungsi yang berdasarkan stufentheorie, dimana suatu peraturan yang di bawah itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi di atasnya. Peraturan Presiden disini merupakan peraturan yang bersifat delegasian/limpahan yang kewenanganya terletak/diatur dalam undangundang dan peraturan pemerintah, sehingga Keputusan Presiden di sini hanya mengatur lebih lanjut saja, tidak membentuk suatu kebijakan baru.43 2. Materi Muatan Keputusan/Peraturan Presiden Materi muatan dari Keputusan/Peraturan Presiden ini harus dilihat dari dua segi sesuai dengan fungsi Keputusan/Peraturan Presiden tersebut. Keputusan/Peraturan Presiden adalah pengaturan yang dibuat oleh Presiden sebagai penyelenggaraan fungsi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dalam 43
Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 223-225
38
pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945, dimana fungsi ini merupakan atribusi dari UUD NRI 1945, sedangkan fungsi dari keputusan presiden lainnya adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dari peraturan pemerintah baik yang secara tegas-tegas memintanya ataupun yang secara tidak tegas-tegas, dimana fungsi disini merupakan delegasi dari peraturan pemerintah yang melaksanakan suatu undang-undang. Berdasarkan kedua fungsi tersebut maka materi muatan suatu keputusan presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan undang-undang dan peraturan pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Dalam hal luas dan batas lingkupnya, kewenangann yang bersifat atribusi, yaitu dalam membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan kewenangan yang sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang berasal dari delegasi undang-undang atau peraturan pemerintahnya.44 Materi muatan Keputusan/Peraturan Presiden menurut pasal 13 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, dijelaskan bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan
oleh
undang-undang
atau
materi
untuk
melaksanakan
penyelenggaraan pemerintah.
44
Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kansius, 2007) h. 224
39
3. Kedudukan Peraturan Presiden Dalam rangka melaksanakan undang-undang, Presiden sebagai kepala pemerintahan tentu haruslah diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas. Presiden harus memiliki keleluasaan untuk mengatur sendiri kebijakan yang akan ditetapkan dalam rangka melaksanakan undang-undang itu. Prinsip yang berkenaan dengan ruang gerak inilah yang dalam konsep hukum administrasi Negara disebut sebagai freies ermessen. Presiden dianggap sudah seyogyanya dapat menetukan sendiri norma-norma aturan kebijakan atau policy rules (beleidsregels) yang diperlukan untuk menjalankan undang-undang.45 Oleh karena itu, Presiden sebaiknya tetap dimungkinkan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang, dan sekaligus menetapkan peraturan kebijakan atau beleidsregels (policy rules) yang disebut dengan nomeklatur Peraturan Presiden.46 Maka dari pengertian Peraturan Presiden yang telah dijelaskan, Peraturan Presiden dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana Peraturan Presiden berada di atas perda dan di bawah Peraturan Pemerintah. Artinya, Peraturan Presiden di sini terikat oleh hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
45
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003) h. 275 46
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003) h. 176
40
C. Bentuk Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah Secara umum pengertian pengawasan dapat diartikan sebagai proses menentukan apa yang harus dikerjakan, kemudian dilakukan koreksi atau pembenahan dengan maksud hasil yang ingin dicapai tadi sesuai dengan apa yang telah direncanakan terdahulu. George R. Ferry menitikberatkan pengawasan pada tingkat evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana, maka dilkukan pada akhir suatu kegiatan setelah kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu. 47 Sedangkan definisi yang diberikan oleh Henry Farol dapat diketahui hakekat pengawasan adalah suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan dengan rencana yang telah ditentukan. Dengan pengawasan itu akan dapat ditemukan kesalahan-kesalahan yang kemudian dapat diperbaiki dan yang lebih penting lagi jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali. 48 Berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya pembentukan peraturan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, selama ini dikenal adanya pengawasan preventif dan represif, adapun penjelasan kedua pengawasan tersebut adalah:
47
Moh Hasyim, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif Dalam Negara Hukum Pancasila, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Iustum” Nomor 6 Vol. 3, 1996) h.65 48
Moh Hasyim, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif Dalam Negara Hukum Pancasila, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Iustum” Nomor 6 Vol. 3, 1996) h.65
41
1. Pengawasan Preventif Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku (voordat een besluit of regeling in werking kan treden).49 Pengawasan preventif ini berbentuk memberi pengesahan atau tidak memberi pengesahan. Sesuai dengan sifatnya, pengawasan preventif dilakukan sesudah keputusan daerah ditetapkan, tetapi sebelum keputusan itu mulai berlaku. Irawan Soejito menegaskan bahwa pengawasan preventif ini hanya dilakukan terhadap keputusan kepala daerah dan peraturan daerah, yang berisi atau mengatur materi-materi tertentu. Ada beberapa bentuk pengawasan preventif ini
yaitu
pengesahan
pembebasan/dispensasi
(goedkeuring), (ontheffing),
persetujuan
pemberian
(toestemming
kuasa
vooraf),
(machtiging)
dan
pernyataan tidak keberatan (verklaring van geen bezwaar).50 Berdasarkan pemahaman tentang pengawasan preventif di atas, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Darah, telah dijabarkan mengenai pengawasan preventif rancangan peraturan daerah propinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota antara lain:
49
Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h.78 50
Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 85
42
a. Pengawasan Preventif Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Dalam rumusan pasal 185 ayat 1-4, dikatakan: 1. Raperda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. 2. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. 3. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi perda dan peraturan gubernur. 4. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, gubernur bersarna DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. b. Pengawasan Preventif Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Ketentuan mengenai pengawasan preventif raperda kabupaten/kota, diatur dalam beberapa rumusan pasal yang termuat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni pasal 186, 187, 188 dan 189, adapun jelasnya rumusan pasal-pasal di atas adalah: Pasal 186 ayat 1-4 menyatakan: 1. Rancangan perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
43
2. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan perda kabupaten/kota dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, bupati/walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi perda dan peraturan Bupati/Walikota. 4. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, bupati/walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi. Kemudian pasal 187 ayat 1-4 menyatakan: 1. Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 181 ayat (3) tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD. 2. Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota. 3. Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD tidak rnengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan perda tentang APBD. 4. Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri atau gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah.
44
Dari pelaksanaan pengawasan preventif rancangan peraturan daerah propinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota di atas juga berlaku pasal 188 yang menyatakan proses penetapan raperda tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD menjadi perda dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, Pasal 186, dan pasal. 187. Kemudian pasal 189 menjelaskan juga proses penetapan raperda tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang daerah menjadi perda, berlaku pasal 185 dan pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak dan retribusi daerah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang. 2. Pengawasan Represif Pengawasan represif dilakukan setelah keputusan atau peraturan perundang-undangan diberlakukan atau berkenaan dengan keputusan-keputusan organ lebih rendah yang telah mempunyai kekuatan hukum.51 Pengawasan represif adalah pembatalan atau penangguhan terhadap pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tingkat atasnya.52 Pengawasan represif ini berwujud: a) Mempertangguhkan berlakunya suatu 51
Ridwan. Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 79 52
Misdayanti dan Kartasapoetra, Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, Cet-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993) h. 29
45
peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah, b) Membatalkan suatu peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah.53 Pembatalan dilakukan jika peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tertentu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.54 Dengan demikian, menurut Irawan Soejito pengawasan represif dapat dijalankan terhadap: a. Semua peraturan daerah, baik yang tidak/belum disahkan maupun peraturan daerah yang tidak memerlukan pengesahan. b. Semua keputusan kepala daerah, termasuk keputusan kepala daerah yang berisi: 1. Keputusan pemberian pengesahan 2. Keputusan penolakan pengesahan 3. Keputusan pembatalan 4. Keputusan yang telah disahkan 5. Keputusan untuk melakukan suatu tindak hukum 6. Dan lain-lain.55 a. Pengawasan Represif Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota: Salah satu kewenangan pemerintah terhadap pembatalan peraturan daerah, telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mekanismenya diatur dalam Pasal 145, yaitu sebagai berikut:
53
Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 51 54
Ridwan. Dimensi Hukum Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 79 55
Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 52
46
1. Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. 2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah. 3. Keputusan pembatalan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 4. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut perda dimaksud. 5. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. 6. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan ;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 7. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perda dimaksud dinyatakan berlaku. Proses pembatalan perda sesuai dengan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini, penulis mengambarkannya dengan sebuah skema yang penulis lampirkan pada lembar lampiran halaman x.
47
D. Pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia 1. Sejarah Pengawasan Peraturan Daerah Sebelum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah Pada awal kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18. Lalu dibentuklah UndangUndang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah. Di masa ini belum ada pemerintah daerah, yang ada adalah Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Demikian pula belum ada daerah otonom, karena suasananya adalah permulaan kemerdekaan.56 b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai pengawasan perda hanya dijelaskan bahwa perda tidak boleh mengatur yang sudah diatur oleh undang-undang, peraturan pemerintah dan perda yang lebih tinggi tingkatannya, dan perda juga tidak boleh bertentangan dengannya, hal ini diatur pada pasal 28. Pengawasan perda dalam undang-undang ini tidak
56
Bayu Surianingrat, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu Analisa, Jilid I, Cet-1, (Jakarta: Dewaruci Press, 1980) h. 30
48
didukung dengan pengawasan dari pemerintah, perda dilarang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tetapi tidak ada lembaga yang mengujinya. c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1945 terbentuklah undang-undang ini. Pada undang-undang ini pelaksanaan pengawasan suatu perda tidak dijelaskan secara eksplisit, yang disebutkan didalamnya adalah Keputusan DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah apabila bertentangan dengan kepentingan umum, undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dibatalkan oleh Mendagri atau penguasa lain yang ditunjuk dan bagi lain-lain daerah Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, ketentuan ini tertera pada pasal 64. d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali pada dasar Hukum Undang-Undang Dasar 1945. Lalu dibentuklah undang-undang ini, dipicu lemahnya posisi kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
49
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dalam undang-undang ini pengawasan perda tidak dijelaskan secara eksplisit, pada pasal 80 disebutkan: Keputusan-keputusan Pemerintah Daerah jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Perda yang lebih tinggi tingkatannya, dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Mendagri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain daerah. e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Pada undang-undang ini disebutkan dengan jelas bahwa pengawasan represif perda atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau perda tingkat atasnya ditangguhkan keberlakuannya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang (Kepala Daerah). Apabila Gubernur Kepala Daerah tidak menangguhkan atau membatalkan perda atau Keputusan Kepala Daerah, maka penangguhannya dan atau pembatalannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pengaturan mengenai pembentukan dan pengawasan peraturan daerah menjelang perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menghasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengawasan preventif terhadap perda tidak lagi dimasukkan pada undang-undang ini, akibatnya perda tidak perlu
50
pengesahan oleh pemerintah pusat. Dan pengawasan represif dicantumkan pada pasal 113 dan pasal 114. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perda disampaikan kepada pemerintah, apabila perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi ataupun peraturan perundangan yang lain maka pemerintah membatalkan perda tersebut. 2. Peraturan-peraturan Daerah Yang Dibatalkan Setelah Berlakunya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengawasan terhadap perda dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Mendagri. Dalam undang-undang ini memberikan Mendagri kewenangan membatalkan perda, sesuai pada pasal 185, pasal 186, pasal 188 dan pasal 189. Berikut contoh Kepmendagri/Permendagri membatalkan perda: a. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 277 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 14 Tahun 2002 tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak atas Perusahaan Pengguna Tenaga Kerja Warga Negara Asing Mendagri membatalkan perda Kabupaten Lampung Selatan tersebut karena perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Didalam perda ini mengatur pungutan terhadap perpanjangan izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang di dalamnya
51
mengatur setiap Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP) diwajibkan membayar Pungutan sebesar US$ 100 (seratus dolar Amerika) per orang per bulan, ketentuan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Perpanjangan izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing merupakan pungutan pusat berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. b. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 214 Tahun 2008 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Pariwisata Pembatalan perda yang ditetapkan pada tanggal 6 Agustus 2008 ini diputuskan oleh Mendagri. Di dalam perda ini mengatur izin usaha pariwisata berlaku selama kegiatan usaha dan setelah kegiatan usaha berakhir. Tentu ketetapan ini bertentangan dengan Pasal 103 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Bahwa pasal 103 menjelaskan izin usaha pariwisata berlaku selama kegiatan usaha masih dijalankan, ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
52
c. Keputusan Menteri Dalam Nomor 194 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Nomor 53 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Perfilman dan Penggunaan Sistem Distribusi Antena Parabola (TV Kabel) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan, Mendagri membatalkan perda ini karena bertentangan dengan undang-undang tersebut. Perda ini mengatur ketentuan retribusi dikenakan berkala untuk masa berlakunya izin, lalu izin usaha penjualan dan penyewaan rekaman video, usaha penayangan rekaman video, pertunjukan film, penayangan pemutaran film anak-anak dalam perda ini tidak dimasukan dalam kategori izin usaha perfilman. Perda ini bertentangan dengan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan bahwa pemberian izin usaha sistem distribusi dengan menggunakan antena parabola merupakan kewenangan Pemerintah Pusat bukanlah Pemerintah Daerah. E. Pengujian Peraturan Daerah Oleh Mahkamah Agung Selain dari pelaksanaan dua bentuk peraturan perundangan yang mengawasi perda tersebut (Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri) terdapat pula pengawasan oleh Mahkamah Agung (judicial review). Pengujian peraturan
53
perundang-undangan dibawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
57
Berkaitan dengan hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: a) Peraturan Pemerintah b) Peraturan Presiden c) Peraturan Daerah Provinsi d) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas terkandung dalam Pasal 24A Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, Pasal 11 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menjelaskan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, jika: a) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil) b) Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil) Maka dalam hal ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Dalam menjalankan kewenangannya ini,
57
Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konpres, 2005) h. 6
54
Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan dapat diajukan sekelompok masyarakat atau perorangan atas berlakunya suatu perda yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke Mahkamah Agung baik secara langsung ataupun melalui Pengadilan Negeri sesuai wilayah hukum tempat pemohon untuk mendapatkan putusan. Dengan demikian, menurut jimly, produk legislatif di daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berupa peraturan daaerah sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu Kepala Daerah dan DPRD yang keduanya dipilih melalui Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah, tidak dapat dibatalkan secara sepihak dari pemerintah pusat begitu saja.58 Maka harus ada pihak ketiga sebagai lembaga yudikatif yang membatalkan perda tersebut.
58
Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konpres, 2005) h. 37
55
BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DALAM PENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERDA
A. Kewenangan Mendagri Dalam Pengawasan dan Pembatalan Perda Dalam hal pengawasan perda, Mendagri memiliki kewenangan untuk mengawasi perda, seperti yang tertera pada Pasal 185 ayat (1-5) Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa: 1) Raperda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. 2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. 3) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur. 4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersarna DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. 5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri rnembatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
55
56
Dari pasal di atas dapat dilihat bahwa ada 2 (dua) macam peraturan yang dibahas dalam pasal tersebut yakni, raperda provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Dalam hal ini penulis akan membahas raperda tentang APBD sesuai dengan pembatasan masalah skripsi ini, bahwa hanya membahas tentang perda saja, dan tidak membahas peraturan kepala daerah. Proses raperda tentang APBD untuk provinsi ini diawasi oleh Mendagri. Dalam ayat (1-2) dijelaskan bahwa Mendagri berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur tetapi belum ditetapkan oleh Gubernur, dimana Gubernur sebelum menetapkan raperda ini untuk disampaikan kepada mendagri untuk di evaluasi. Ini adalah bentuk pengawasan preventif yang dimiliki oleh Mendagri. Pengawasan preventif lainnya dalam pasal ini terdapat pada ayat (3-4) yakni, Mendagri mengevaluasi raperda apakah perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lalu apabila hasil evaluasi raperda ini sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka selanjutnya Gubernur berwenang untuk menetapkan raperda tersebut menjadi perda. Pengawasan preventif ini dilakukan sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku (voordat een besluit of regeling in werking kan treden).59
59
Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h.78
57
Akan tetapi apabila hasil evaluasi menyatakan raperda ini bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur diperintahkan untuk melakukan penyempurnaan dari hasil evaluasi tersebut. Sampai pada ayat (4) ini pengawasan yang dilakukan Mendagri adalah pengawasan preventif. Selanjutnya pada ayat (5) dijelaskan bahwa apabila Gubernur tidak melakukan penyempurnaan dari hasil evaluasi yang diberikan oleh Mendagri, namun Gubernur tetap menetapkan raperda tersebut menjadi sebuah perda, maka dalam pasal ini memberikan wewenang kepada Mendagri untuk membatalkan perda tersebut. Dari sini dapat diketahui bahwa Pasal 185 ayat (5) ini sangat jelas memberikan kepada Mendagri wewenang untuk melakukan pengawasan represif, dimana Mendagri berwenang untuk membatalkan perda yang sudah ditetapkan oleh Gubernur. Pengawasan represif ini sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Irawan Soejito sebelumnya bahwa pengawasan represif ini berwujud: a) Mempertangguhkan berlakunya suatu peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah, b) Membatalkan suatu peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah.60 Pengawasan preventif dan pengawasan represif yang dimiliki oleh Mendagri menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini berlanjut pada pasal selanjutnya yakni, pasal 188 dan 189 disebutkan bahwa:
60
Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 51
58
Pasal 188 Proses penetapan rancangan Perda tentang Perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan, APBD menjadi Perda dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, Pasal 186, dan Pasal. 187. Pasal 189 Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang. Dari kedua pasal tersebut dijelaskan perda tentang perubahan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah menjelaskan bahwa Mendagripun mempunyai kewenangan pengawasan dan pembatalan terhadap peraturan daerah tersebut, dimana prosesnya sesuai dengan pasal 185, pasal 186 dan pasal 187 untuk perda tentang perubahan APBD, dan pasal 185 dan pasal 186 untuk perda tentang pajak, retribusi dan tata ruang daerah. Dari penjelasan yang telah dijelaskan di atas, penulis menyimpulkan bahwa kewenangan mendagri terhadap pengawasan dan pembatalan perda menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pengawasan sebelum penetapan (preventif) 1. Pengawasan terhadap Raperda tentang APBD yang tertuang dalam pasal 185 ayat (1-4)
59
2. Pengawasan terhadap Raperda tentang Perubahan APBD yang tertuang dalam pasal 188 3. Pengawasan terhadap Raperda tentang Pajak, Retribusi dan Tata Ruang daerah yang tertuang pada pasal 189 Pembatalan perda (represif) 1. Pembatalan perda tentang APBD yang tertuang dalam pasal 185 ayat (5) 2. Pembatalan perda tentang Perubahan APBD yang tertuang dalam pasal 188 3. Pembatalan perda tentang Pajak, Retribusi dan Tata Ruang daerah yang tertuang pada pasal 189 B. Analisis Hubungan Kewenangan Mendagri dengan Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Perda Untuk pernyataan pembatalan perda menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki pernyataan yang sama dengan pasal 145 yang sebelumnya telah dibahas, yaitu “bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Namun alasan menggunakan ukuran tersebut adalah dalam rangka preventif. Namun kemudian bila mencermati ayat selanjutnya, pengawasan preventif memiliki kemampuan untuk berubah menjadi pengawasan represif, sehingga pasal tersebut memberikan dua bentuk kewenangan pengawasan sekaligus kepada Mendagri, yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Selanjutnya yang menjadi persoalan adalah
60
ketentuan pada pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 itu bertentangan dengan ketentuan pada pasal 145 ayat (3 dan 7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan sebagai berikut: Ayat 3 Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat 7 Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Ketentuan pada pasal 145 tersebut menjelaskan bahwa perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi keputusan pembatalannya melalui Peraturan Presiden. Lalu ditegaskan kembali pada ayat 7, bahwa pembatalan perda yang tidak diputuskan melalui Peraturan Presiden perda tersebut dinyatakan berlaku dan sah mejadi perda. Sesuai dengan penjelasan di atas bahwa pembatalan perda pada pasal 145 tersebut karena bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini sama halnya dengan ketentuan pada pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 dimana pembatalan perda tersebut karena bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari persamaan ketentuan ini jelas pembatalan suatu perda adalah karena bertentangan
61
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.61 Akan tetapi pada pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 menjelaskan bahwa pembatalan perda dilakukan oleh Mendagri yang pada saat ini sering dilaksanakan melalui Kepmendagri/Permendagri. Ini sangatlah bertentangan dengan pasal 145 ayat (7) yang seharusnya pembatalan perda tersebut dilakukan melalui Peraturan Presiden. Ditambah lagi bahwa pembatalan perda yang tanpa menggunakan Peraturan Presiden, maka perda tersebut dinyatakan berlaku. Permasalahan mengenai pembatalan perda ini membuktikan bahwa pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini terdapat perbedaan dalam hal wewenang pembatalan perda. Menurut Nomensen Sinamo sebuah peraturan perundang-undangan haruslah mengandung asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
Kejelasan tujuan Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat Kesesuaian antara jenis Dapat dilaksanakan Kedayagunaan dan kehasilgunaan Kejelasan rumusan dan Keterbukaan62 Dalam undang-undang ini, menurut penulis terjadi ketidaktaatan asas antara
unsur yang satu dengan yang lainnya. Dimana kejelasan bentuk produk hukum 61
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 37 62 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Pustaka Mandiri, 2010) h. 102
62
mengenai pembatalan perda ini terjadi pertentangan antara Peraturan Presiden ataukah Kepmendagri/Permendagri yang memiliki kewenangan terhadap pembatalan tersebut. Kemudian perihal perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Mengenai pengawasan perda tentang pajak dan retribusi daerah inipun dijelaskan pada pasal 157 sebagai berikut: 1)
2)
3)
4)
5) 6)
7)
Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh Bupati/Walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.
63
8)
Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan dengan disertai alasan penolakan. 9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan. 10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh Gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Dari pasal 157 ayat (1-10) ini menjelaskan kewenangan pengawasan perda
dilakukan oleh Mendagri dan Gubernur yang berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Pengawasan ini merupakan pengawasan terhadap raperda tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebelum ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota dengan kata lain pengawasan ini merupakan pengawasan preventif. Pengawasan preventif ini sesuai dengan pengawasan preventif perda tentang pajak dan retribusi daerah yang ada pada pasal 189 Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam pasal 189 menjelaskan bahwa proses pengawasan pajak dan retribusi daerah sama dengan proses pada pasal sebelumnya yaitu 185 dan 186. Akan tetapi, apabila diteliti kembali, disini terdapat kejanggalan pada pasal selanjutnya, yaitu pada pasal 158 ayat (1-9) bahwa:
1) Peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. 2) Dalam hal peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri
64
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasanalasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.
Jika dilihat pada pasal 158 di atas menjelaskan bahwa pembatalan perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah diputuskan dengan menggunakan Peraturan Presiden. Berkaitan dengan ketentuan pada pasal 189 Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang proses pengawasannya sesuai dengan pasal 185 dan pasal 186 yang menjelaskan bahwa pembatalan perda tersebut dilakukan
65
oleh Mendagri yang pada saat ini sering dilaksanakan melalui Kepmendagri. Tentu hal ini bertentangan dengan pasal 158 ayat (5) dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang pembatalan perda haruslah diputuskan dengan Peraturan Presiden bukan Kepmendagri/Permendagri, ditambah lagi apabila pembatalan perda dilakukan tanpa Peraturan Presiden, maka perda tersebut dinyatakan berlaku. Perbedaan wewenang dalam pembatalan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi ini terjadi kembali. Dimana pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 189 yang menyatakan pembatalan perda dilakukan oleh Mendagri bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 158 yang menyatakan pembatalan perda menggunakan Peraturan Presiden. Ini berarti terjadi ketidakselarasan antar undang-undang yang berbeda namun membahas muatan materi yang sama. Keberadaan pengawasan perda di atas serasa kurang lengkap bila tidak menyertakan ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yakni pada pasal 37 ayat (4) menyebutkan bahwa: Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri. Pasal 37 ayat (4) di atas ditulis bahwa pembatalan perda dilakukan dengan menggunakan Peraturan Presiden berdasarkan usulan menteri. Artinya, ketentuan
66
pada pasal ini selaras dengan ketentuan pada pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 158 ayat (5) Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjelaskan bahwa pembatalan perda menggunakan Peraturan Presiden. Kemudian Jimly Asshiddiqie berpendapat dalam hal Keputusan/Peraturan Menteri sebagai pertimbangan bahwa untuk hadirnya sebuah Keputusan/Peraturan Menteri adalah apabila materi yang dianggap terlalu teknis dan bersifat sektoral, Presiden dapat pula memerintahkan Menteri yang terkait untuk mengaturnya atas nama pemerintah dalam bentuk Peraturan Menteri.63 Sedangkan pengujian terhadap perda bukanlah materi yang dianggap terlalu teknis, karena subtansi atau materi muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah64 demi menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kemudian yang menjadi pertimbangan adalah tidak dimungkinkannya apabila jenis perundang-undangan yang tegas disebutkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan melalui pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut dibatalkan melalui peraturan perundang-undangan jenis lainnya yang tidak disebutkan dalam hierarki perundangan tersebut. Dimana keberadaan Keputusan/Peraturan Menteri tidak ada
63
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 221 64 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 37
67
dalam hierarki pasal tersebut, Keputusan Menteri hanya ada pada pasal selanjutnya yaitu pasal 8 ayat (1) yang tidak termasuk dalam hierarki. Dalam pertimbangan yang harus diingat bahwa Locale Wet atau perda dibuat guna melaksanakan undang-undang, wet atau gesetz.65 Apalagi dari segi pembuatannya, sudah semestinya kedudukan perda ini, baik tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota, dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti sama-sama merupakan produk hukum lembaga legislatif.66 Maka dari itu, pembatalannya haruslah dengan peraturan perundangan yang kedudukannya lebih tinggi.
C. Analisis Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Perda Peraturan Presiden yang dibuat oleh presiden mengandung dua makna. pertama, Peraturan Presiden dibuat oleh presiden atas inisiatif dan prakarsa sendiri untuk melaksanakan undang-undang sehingga kedudukannya sederajat dengan Peraturan Pemerintah. Kedua, maksud pembuatan Peraturan Presiden ditujukan untuk mengatur materi muatan yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah sehingga kedudukannya menjadi jelas berada di bawah Peraturan Pemerintah.67 Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden berlaku secara nasional di seluruh wilayah
65
Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Jakarta: Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, 2007) h. 66 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 356-357 67 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008) h. 114
68
Indonesia.68 Sedangkan perda pemberlakuannya terbatas pada daerah tertentu yang mengeluarkannya sebagai bagian dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya dalam rangka otonomi daerah seluas-luasnya sesuai dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dari itu posisi hierarki perda dibawah Peraturan Presiden. Peraturan Presiden dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan pembatalan perda (represif) seperti yang disebutkan dalam pasal 145 ayat (3) bahwa: Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada pasal ini membuktikan bahwa pembatalan perda adalah menggunakan Peraturan Presiden. Dan selanjutnya diperkuat kembali dengan ayat (7) yang menyatakan bahwa perda yang dibatalkan tanpa melalui peraturan presiden dinyatakan menjadi perda yang sah berlaku. Hal ini selaras dengan pendapat Maria Farida yang menyatakan bahwa materi muatan suatu Keputusan/Peraturan Presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan undang-undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari undang-undang dan Peraturan Pemerintah.69
68
B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008) h. 118 69
Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 224
69
Lalu dalam hal luas dan batas lingkupnya, kewenangann yang bersifat atribusi, yaitu dalam membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan kewenangan yang sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang berasal dari delegasi undang-undang atau Peraturan Pemerintahnya.70
Pendapat
yang
telah
disampaikan oleh Maria Farida itu memberikan pengertian bahwa materi yang ada pada Peraturan Presiden bersifat atribusi dari undang-undang ini kembali menguatkan bahwa bentuk produk hukum yang lebih pantas untuk membatalkan suatu perda adalah Peraturan Presiden. Kewenangan pembatalan perda melalui Peraturan Presiden terdapat pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yakni pada pasal 37 ayat (4) menjelaskan bahwa perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan menteri terkait. Selanjutnya dalam ketentuan pajak dan atribusi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Atribusi Daerah, yakni pada pasal 158 ayat (1-9) juga disebutkan bahwa pembatalan perda hanya dengan menggunakan Peraturan Presiden. Maka dalam undang-undang menegaskan kembali bahwa bentuk peraturan presidenlah yang mempunyai kekuatan hukum untuk membatalkan perda tentang pajak daerah dan atribusi daerah tersebut.
70
Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 224
70
Dari penjelasan yang telah penulis paparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa, Peraturan Presiden mempunyai wewenang dalam hal pengawasan represif atau pembatalan terhadap perda sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, yakni sebagai berikut: 1. Wewenang membatalkan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang tertuang pada pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Pembatalan semua perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang tertuang pada pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah pasal 37. D. Produk Hukum/Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujan dan Pembatalan Perda Dari penjelasan yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat diklasifikasikan pengawasan (preventif) dan pembatalan (represif) yang dimiliki pemerintah pusat terhadap perda berdasarkan dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
71
1. Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri/Permendagri) Pengawasan preventif: a. Pengawasan dalam evaluasi raperda APBD Provinsi sebelum ditetapkan Gubernur, pasal 185 ayat 1-4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah b. Pengawasan raperda tentang Perubahan APBD yang ada dalam pasal 188 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah c. Pengawasan terhadap raperda tentang Perencanaan Tata Ruang Daerah yang tertuang pada pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. d. Pengawasan raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam pengawasan raperda ini terdapat dua ketentuan yang mengatur pengawasan perda tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 189 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 157 Pembatalan (pengawasan represif) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kewenangan pembatalan perda dengan Kepmendagri bertentangan dengan ketentuan pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan dengan jelas bahwa pembatalan perda hanyalah dengan Peraturan Presiden, dan jika pembatalan perda tanpa menggunakan
72
Peraturan Presiden maka perda tersebut dapat berlaku. Dan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah inipun memperkuat Peraturan Presidenlah sebagai bentuk hukum yang sah dalam pembatalan daerah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini terjadi ketidaktaatan asas pada pasal-pasalnya, yakni pada pasal 145 terhadap pasal 185, pasal 188 dan pasal 189. Apa yang disebutkan dalam pasal tersebut sangatlah berbeda. Menurut penulis, apabila Mendagri ingin membatalkan perda melalui Kepmendagri, maka pasal yang terjadi ketidaktaatan asas tersebut haruslah dirubah/direvisi. Hal ini agar keputusan-keputusan yang dikeluarkan Mendagri nantinya mempunyai kepastian dan kekuatan hukum. 2. Peraturan Presiden Pembatalan (pengawasan represif): a. Pembatalan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang tertuang dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. b. Pembatalan semua bentuk perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang di atur dalam Pasal 145 ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
73
tentang Pemerintahan Daerah dan di atur juga dalam pasal 37 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. 3. Gubernur Pengawasan yang dimiliki Gubernur ini merupakan pengawasan preventif dan represif dan hanya kepada perda yang dibentuk oleh kabupaten/kota. Pengawasan preventif Gubernur sebagai berikut: a. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang APBD yang diatur dalam Pasal 186 ayat (1-4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. b. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang tata ruang daerah yang diatur dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. c. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam pasal 157 ayat (2 dan 4-10) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. d. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang Perubahan APBD yang tertuang dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengawasan represif (pembatalan) yang dimiliki gubernur menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ada pada pasal 189,
74
pasal 186 ayat (5), pasal 188 ini pun bertentangan dengan pasal 145 ayat (3) dan ayat (7), termasuk juga bertentangan dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 4. Menteri Keuangan Dalam Pengawasan preventif, Mendagri berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dalam mengawasi raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pengawasan preventif sebagai berikut: a. Pengawasan raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam pasal 157 dan pasal 158 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
75
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Pengawasan represif yang dimiliki Mendagri terdapat pada pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa pembatalan perda dilakukan oleh Mendagri ini bertentangan dengan pasal 145 ayat (7) yang menyebutkan pembatalan perda tersebut dilakukan melalui Peraturan Presiden. Dalam Undangundang ini terjadi ketidaktaatan asas antara pasal yang satu dengan yang lainnya, yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hal kewenangan pembatalan perda. Permasalahan perbedaan wewenang pembatalan perda terjadi juga pada pasal 189 yang menjelaskan pajak dan retribusi daerah dibatalkan oleh Mendagri ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yakni pada pasal 158 ayat (5) dan ayat (9) yang pembatalan perda tentang pajak dan retribusi daerah haruslah diputuskan dengan Peraturan Presiden. 2. Keputusan/Peraturan Menteri yang bersifat teknis dan sektoral tidak bisa membatalkan perda yang subtansi atau materi muatannya penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah demi menjalankan otonomi seluas-luasnya. Dan
75
76
posisi Kepmen/Permen tidak disebutkan dalam hierarki perundang-undangan, sedang perda disebutkan di dalamnya. 3. Produk
hukum/Lembaga
yang
berwenang
mengawasi
(preventif)
dan
membatalkan (represif) terhadap perda, sebagai berikut: e. Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri/Permendagri): Pengawasan preventif Raperda APBD Provinsi dalam pasal 185 ayat (1-4), Raperda Perubahan APBD dalam pasal 188, Raperda Tata Ruang daerah pada pasal 189, Raperda Pajak dan Retribusi Daerah dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah dan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. f. Peraturan Presiden: Pembatalan (represif) perda pajak dan retribusi daerah pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pembatalan semua bentuk perda dalam pasal 145 ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan di atur juga dalam pasal 37 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005. g. Gubernur: Pengawasan preventif raperda APBD kabupaten/kota pasal 186 ayat (1-4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, raperda tata ruang kabupaten/kota dalam pasal 189, raperda pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota dalam pasal 157 ayat (2 dan 4-10) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
77
raperda perubahan APBD kabupaten/kota pasal 188 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. h. Menteri Keuangan (preventif): berkoordinasi dengan Mendagri mengawasi raperda pajak dan retribusi daerah pasal 157 dan pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. B. Saran-saran Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis merasa perlu untuk menyampaikan saran-saran sebagai berikut: 1. Keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pembatalan perda haruslah dirubah kedalam Peraturan Presiden yang mempunyai kedudukan hukum lebih tinggi agar pemerintah daerah dapat menerima pembatalan tersebut dimana pembatalan selain dengan Peraturan Presiden adalah tidak sah. 2. Pertentangan pada pasal 145 dengan pasal 185, pasal 186, pasal 188 dan pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah agar direvisi/diubah demi memperjelas bentuk hukum yang berwenang dalam pembatalan perda. 3. Disarankan kepada pemerintah setelah merevisi/merubah pasal 145 dengan pasal 185, pasal 186, pasal 188 dan pasal 189 agar membuat peraturan pelaksana terkait pembatalan perda, demi memperkuat bentuk hukum yang memiliki kewenangan pembatalan tersebut.
78
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Asshidiqie Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Cet-1. (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. 2003) , Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Reformasi. Cet-2. (Jakarta: Konstitusi Press. 2006)
Negara
Pasca
, Perihal Undang-undang di Indonesia. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006) , Hukum Acara Pengujian Undang-undang. (Jakarta: Konpres, 2005) Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Cet-1, (Yogyakarta: UII Press, 2005) Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia. (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. 2006) Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera. Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah. Cet-1. (Jakarta: Kencana, 2010) Handoyo B. Hestu Cipto. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2008) Jimly Asshiddiqie & M Ali Safaat. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta: Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2012) Kansil C.S.T. Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Hukum Administratif Daerah. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) Latief Abdul. Hukum dan Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah. Cet-1. (Yogyakarta: Pusat Studi FH UII. 2005) Lubis M. Sooly. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Cet-1. (Bandung: Mandar Maju, 1989) 78
79
Marbun B.N. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Cet-2. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010) Misdayanti dan Kartasapoetra. Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah. Cet-2. (Jakarta: Bumi Aksara. 1993) Modoeng Supardan. Teknik Perundang-undangan di Indonesia. (Jakarta: Perca. 2005) Natabaya HAS. Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Cet-1. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006) Ranggawidjaja Rosyidi. Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo. 2010) Rozali Abdullah. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Cet-1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005) Sinamo Nomensen. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Cet-1. (Jakarta: PT Pustaka Mandiri, 2010) Soejito Irawan. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Cet-1. (Jakarta: Bina Aksara. 1983) Soekanto Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet-3. (Jakarta : UI Press, 1986) Soeprapto Maria Farida Indirati. Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan). Cet-1. (Yogyakarta: Kanisius, 2007) , Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan). Cet-5. (Yogyakarta: Kanisius, 2011) Soerjono Soekanto dan Sri mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: PT . Raja Grafindo, 1994) Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945. Cet-1. (Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007)
80
Sunarno Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Cet-1. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Surianingrat Bayu. Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu Analisa, Jilid I. Cet-1. (Jakarta: Dewaruci Press. 1980) W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono. Legal Drafting Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2009) Widjaja HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Cet2. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) Yani Ahmad. Pembentukan Undang-undang Dan Perda. Cet-1. ( Jakarta: Rajawali Pers. 2011) B. Majalah Ilmiah Hasyim, Mohamad, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif dalam Negara Hukum Pancasila, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII. Jurnal hukum “Ius Quia Iustum”Nomor 6, Volume 3, 1996 Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta: Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, 2007 Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII. Jurnal hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Volume 8, 2001 Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Seri Pengembangan Wacana HuMa, Nomor 1, 2002 Setyadi, S. Bambang, Pembentukan Peraturan Daerah, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 5, Nomor 2, 2007
81
Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Dirjen Peraturan peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2, 2004 C. Karya Ilmiah Attamimi, A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I PelitaIV),Jakarta: Disertasi Doktor UI, 1990 Soeprapto, Maria Farida Indrati, Jenis Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, Jakarta: Makalah Biro Hukum dan Organisasi Dept. Kehutanan RI, 2005 D. Website I made Suwandi, Direktur urusan pemerintahan daerah, dirjen otonomi daerah Depdagri, (http://anggaran.wordpress.com/2006/06/07/problem-hukumpengujian-perda/) diakses pada tanggal 7 November 2013 http://khafidsociality.blogspot.com/2011/09/mekanisme-pembatalan-peraturan daerah.html diakses pada tanggal 5 September 2013 http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/category/keputusan-menteri pada tanggal 17 Juli 2013
diakses
E. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
82
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Tap MPRS Nomor X/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
83
Peraturan Pemerintah Kepariwisataan
Nomor
67
Tahun
1996
tentang
Penyelenggaraan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 277 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 14 Tahun 2002 tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak atas Perusahaan Pengguna Tenaga Kerja Warga Negara Asing Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 214 Tahun 2008 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Pariwisata Keputusan Menteri Dalam Nomor 194 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Nomor 53 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Perfilman dan Penggunaan Sistem Distribusi Antena Parabola (TV Kabel) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil
LAMPIRAN
Skema pembatalan perda oleh pemerintah pusat sesuai Pasal 145 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
DPRD Mendagri
PERDA Kepala Daerah
Disampaikan paling lama 7 hari
Perda disetujui bersama dan ditetapkan
PERPRES
Presiden
Ditetapkan paling lama 60 hari sejak Perda diterima Presiden
Kepala Daerah Menghentikan pelaksanaan Perda
Apabila Perda bertentangan dengan peraturan lebih tinggi dan kepentingan umum Perda disampaikan kepada Presiden
DPRD dan Kepala Daerah mencabut Perda tersebut
Penghentian dan pencabutan Perda paling lama 7 hari
x