KETERPILIHAN DAN PEMERINTAHAN BERKELANJUTAN Taliziduhu Ndraha, Kybernolog 1 PEMERINTAHAN BERKELANJUTAN Dari perspektif Kybernologi, konsep “pemerintahan berkelanjutan” (sustainable governance) sejajar dengan konsep “pembangunan berkelanjutan” (sustainable development), namun jauh lebih luas. Seperti terlihat pada Gambar 1, pembangunan termasuk dalam subkultur ekonomi (SKE), satu di antara tiga subkultur masyarakat. ----------------------------------------------------------------------------| | | janji vote,trust,hope monev kinerja | | -------------------------------------------| | | penepatan | | mandat,ke- | | SKK | | | | 2 | | hormatan | | 5 | | | SUMBER| | 1 | | | | | SUMBER | | DPR DPD | | | | | | MEWAKILI MEWAKILI | | | | | | KONSTITUEN PELANGGAN | | | berva| | | | | | | riasi | | PEMILU | | | | | | | | | | | | | | | | | SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR | | EKONOMI-------KEKUASAAN------SOSIAL-------KEKUASAAN------| | (SKE) (SKK) (SKS) (SKK) | | | | | | | | | | | | pemba| | | | | | | ngunan | | | | | | | | | | | | | | | | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | | | -------------------------------------------| | 3 nilai jawaban | | 4 6 | | | ---------------------------------MASYARAKAT----------------------------------
Gambar 1 Pemerintahan (Governance): Interaksi Antar SKE, SKK, dan SKS Angka-angka Menunjukkan Rute Pemerintahan
Menurut Teori Governance, salah satu syarat sekaligus dimensi kinerja governance berkualitas good, adalah keberlanjutan interaksi sebagai kumulasi keselarasan, keseimbangan, keserasian, dan dinamika antar subkulturnya. Keberlanjutan di sini ibarat perjalanan lokomotif yang berbeda namun meluncur pada satu rel, yaitu rel
yang sama menuju terminal bersama. Lokomotif adalah rezim terpilih, rel adalah kesepakatan (ikrar) bersama, terminal adalah tujuan bersama jangka panjang, bukan hanya program 100 hari atau lima tahunan. Dilihat dari sudut formal, pemerintahan berkelanjutan merupakan konsekuensi logik dan dampak politik UU 25/04 tentang SPPN dan UU 17/07 tentang RPJPN/D. Menurut dua UU itu, kegiatan dan perilaku rezim terpilih harus berorientasi jangka panjang 20 tahunan. “Memerintah adalah memandang sejauh mungkin ke depan,” demikian Filsafat Pemerintahan. Orientasi jangka panjang ini kemudian dideduksi menjadi orientasi jangka menengah lima tahunan, lalu orientasi tahunan. Orientasi jangka panjang, rel, rezim, dan tujuan bersama jangka panjang, sebagai berikjut (Gambar 2) R1 R2 R3 R4 O---5---|---5---|---5---|---5-->20 rel (runway) jangka panjang | | | | R1 O-------|-------|-------|------>20 | | | | R2 O-------|-------|-------|------>20 | | | | R3 O-------|-------|-------|------>20 | | | | R4 O-------K1------K2------K3----->20 | K4 R rezim 5 tahunan; O orientasi 20 ke depan K1234 = kinerja R1R2R3R4 selama 20 tahun (expected output, bulat) 0 – 20 rel (landasan) jangka panjang Gambar 2 Orientasi Jangka Panjang Pemerintahan Berkelanjutan
Prosedur politik yang perlu ditempuh demikian: 1 Visi Presiden/Kepala Daerah yang semula sekedar syarat pencalonan dan kemudian menjadi bahan kampanye buat rezim lima tahunan, ditransform berkualitas ganda, menjadi visi Bangsa/Daerah dan visi jangka panjang 20 tahunan. Sebab, yang berdaulat/otonom itu bukan Presiden/Kepala Daerah melainkan Bangsa/Daerah! (Teori Visi lihat Bab II Kybernologi dan Pembangunan, 2008) 2 Agar visi itu berkualitas ganda, semua kekuatan sosialpolitik nasional/setempat (lokal) perlu memufakati dan berjanji (commited) setia pada visi itu, dalam bentuk ikrar, perjanjian, sumpah, melalui musyawarah atau cara lain yang setara 3 Pembentukan common commitment (platform) tersebut memang
sangat sulit, mengingat sistem kepartian politik Indonesia (yang sentralistik) tidak kompatibel dengan sistem pemerintahan yang desentralistik. Namun, inilah ujian awal berkualitas tidaknya pilihan, serta bukti efektif tidaknya pemilu dan pilkada 4 Visi berkualitas ganda itu dijadikan visi pembangunan Bangsa/Daerah dan dijadikan bagian integral tiap dokumen pembangunan 5 Berdasarkan visi itu, disusun RPJPN/D, dengan tujuan pembangunan jangka panjang yang objektif, komprehensif, sistemik, dan bulat. 6 Pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang seperti di atas, dibabak empat tahap lima tahunan, rezim yang kemudian melanjutkan dan mengoreksi kinerja rezim tahap sebelumnya, dan seterusnya, sehingga pada akhir tahap keempat, tercapai tujuan jangka panjang yang diharapkan sebulat-bulatnya (Gambar 3) ---------->5----------| | | | | | | R1 | R2 | | | | KE RPJP | | | 20 TAHUN <-----------20-----------|-----------10 BERIKUTNYA | | | | | | | R4 | R3 | | | | | | | ----------15<---------Gambar 3 Tujuan Jangka Panjang
7 Berdasarkan pembabakan di atas, segera dibuat RPJMN/D lima tahunan pertama, lengkap dengan tujuan yang pencapaiannya mutatis mutandis dibabak lima tahap tahunan 8 Berdasarkan pembabakan RPJMN/D, disusun RAPBN/D atau RKPP/D tahunan, dengan program dan kegiatan-kegiatannya 9 Rezim apa (siapa) pun yang terpilih pada periode lima tahun sesudah rezim lima tahunan pertama, harus berjalan pada rel (common platform) jangka panjang 20 tahunan yang telah disepakati bersama 10 Setiap rezim lima tahunan pada tiap tahap pembangunan jangka panjang itu, wajib berorientasi jangka panjang ke depan, tidak hanya sebatas masajabatannya yang lima tahunan 11 Dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan external dan internal, rezim lima tahunan terkait menyusun strategi pencapaian tujuan
RPJMN/D, sehingga RPJMN/D dapat juga disebut RENSTRANAS/DA 12 RPJP mengandung pendidikan politik yang sehat. Dengan adanya rel jangka panjang yang kokoh, dan setiap rezim berjanji akan berjalan pada rel yang sama, maka setiap orang yang merasa terpanggil untuk tampil di panggung politik sepanjang rel 20 tahun itu, beroleh kesempatan yang sama dan peluang yang luas untuk bersiap sedini mungkin dan membangun citra, menapakkan jejak, sehingga bila tiba saatnya ia bisa maju tanpa mengeluarkan biaya kampanye yang sangat besar, karena jejak dan citra itulah kampanye yang sesungguhnya. 13 Karena beban pembuatan tiga dokumen pembangunan itu terlalu berat bagi Daerah tertinggal dan yang terkebelakang, dan buat pertama kalinya pula, maka pembuatan dokumen-dokumen itu layak mendapat bimbingan dari Pemerintah 14 Masakerja RPJPD tidak bergantung pada masakerja RPJPN, kecuali bila pada suatu saat pemilu dan semua pilkada berlangsung serentak 15 Setiap rezim tidak hanya berorientasi jangka panjang tetapi juga lebihlebih lagi harus berorientasi perubahan dan pembaharuan. Gairah sebuah rezim untuk maju lagi dalam pemilihan berikutnya guna memperebutkan masajabatan kedua sebagai imbalan “keberhasilan” masajabatan pertama, atau untuk menuntaskan janji sisa masajabatan pertama itu, sungguh tidak etik dan tidak rasional. Sebab tiap masajabatan itu di atas panggung (setting) tertentu menuntut pengorbanan dan (sudah) ada imbalannya sendiri. Masajabatan kedua itu nyaris selalu berisiko tinggi mengingat tidak adanya masajabatan ketiga. Orang dengan mudah menuding sang pejabat tidak peduli lagi karena nothing to lose! (lihat Bab II dan Bab III Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008). Jadi walaupun masajabatan tiap rezim hanya lima tahun, rezim yang bersangkutan wajib berorientasi jangka panjang 20 tahunan. 2 KETERPILIHAN DAN KETAKTERPILIHAN MENGAPA BUKAN KEMENANGAN DAN KEKALAHAN? Di atas terlintas konsep rezim terpilih. Konsep ini dapat dijelaskan dengan menggunakan sebuah analogi.Dalam masyarakat, khususnya dunia olahraga terdapat perlombaan, kontes, persaingan, pertandingan, perlawanan, perjudian dan permusuhan. Dari Teori Atlit Bisnis (Business Athlete) dapat direkonstruksi kualitas, nilai, dan norma tujuh macam kegiatan di Tabel 1.
Tabel 1 Tujuh Macam Kegiatan Olahraga ------------------------------------------------------------------------KONSEP KUALITAS NILAI NORMA (IMBALAN)* ------------------------------------------------------------------------perlombaan kejuaraan juara 1, juara 2, dst piala, hadiah (interval) kontes (contest)
keterpilihan
terpilih atau tidak terpilih (nominal)
mahkota, kehormatan
persaingan
keunggulan kemajuan
unggul atau tertinggal (ordinal)
keuntungan bisnis
pertandingan
kemenangan
menang, seri, kalah (ordinal)
piala, hadiah
perlawanan
kekuatan
kuat atau lemah (nominal)
penaklukan
perjudian
ketepatan tebakan & bidikan
menang, kalah
the winner takes all (taruhan)
permusuhan
kehidupan survivabilitas
hidup atau mati (nominal)
the winner takes all (yg dianggap musuh dimangsa) ------------------------------------------------------------------------* yang berlaku sekarang (Gambar 1)
Jika sistem dan budaya politik yang berlaku sekarang di Indonesia, meletakkan norma pemilu pada “penaklukan” dan “the winner takes all,” dengan nilai “kalah-menang,” maka itu berarti pemilu dikonsepsikan sebagai perjudian. Kesannya memang seperti itu. Parpol yang jagoan atau kadernya terpilih memosisikan dirinya sebagai “the winner,” dan berhak untuk “takes all,” disusul dengan koehandel dan transaksi lainnya. Jika pemilu ditempatkan dalam ruang menang-kalah, dengan imbalan “the winner takes all,” maka fokus perhatian terpusat pada tujuan tidak pada proses, dan oleh karena imbalan sangat menggiurkan, maka “tujuan menghalalkan segala cara,” terlebih buat Indonesia yang terkesan bukan negara hukum melainkan negara peraturan. Nilai menang-kalah itu pada gilirannya menumbuhkan benih kultus individu (pemujaan dan pendewaan tokoh warrior) dengan topeng “Never change the winning team.” Jika itu terjadi, maka nilai “indispensable” tinggal selangkah lagi. “Kalau bukan dia,” “untung ada dia,” “hanya dia,” “tidak ada yang lain,” “karena dia bisa itu, pasti dia bisa ini,” dan seterusnya. Dari sudut konsep, pemilu sesungguhnya berada di dalam ruang kontes (contest), dengan keterpilihan, terpilih atau tidak terpilih, mahkota dan kehormatan sebagai kualitas, nilai, dan normanya.
Kendatipun di atas (Tabel 1) berpolitik dianalogikan dengan berolahraga, ada perbedaan tajam antara politik, dalam hal ini demokrasi, dengan atletik. Dua bidang itu memang memiliki aturan main, namun dalam dunia demokrasi, keterpilihan bergantung pada pemilih (pelanggan), sedangkan dalam dunia olahraga, kemenangan ditentukan oleh kedahsyatan olahragawannya (komoditi). Bagaimana menyelaraskan dua sudut pendekatan ini? Sudah barang tentu, hal itu ditentukan oleh pertimbangan, bahwa di satu sisi perilaku suatu komoditi bisa membentuk atau mengubah perilaku pelanggan dan membuka pasar, sedangkan di sisi lain pelanggan memesan atau menuntut tersedianya komoditi baru. Dengan perkataan lain, komoditi dengan pelanggannya terpadu di dalam kesepakatan (ikrar) bersama jangka panjang tersebut di atas. Pada tingkat nasional jangka panjang, apa yang layak disepakati? 3 BHINNEKA TUNGGAL IKA Seperti dikemukakan di atas, pertama dan utama adalah mutlak adanya kesepakatan (commitment) bersama nasional yang bersifat otonom (berdaulat) jangka panjang yang mengikat semua fihak yang berbeda-beda, berbentuk norma dengan sanksi (risiko) yang jelas bagi setiap pelanggarannya, sebagai landasan perjuangan bersama (common platform) ibarat rel bagi setiap rezim manapun yang memegang kekuasaan pemerintahan pada suatu masakerja. Kesepakatan yang dimaksud dapat disebut dengan istilah ikrar, konsensus, atau komitmen nasional tentang beberapa isu fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara, berkualitas ideologi, bukan dogma. Sebenarnya GBHN dulu, andaikata tidak disakralisasi, bisa berfungsi sebagai konsensus tersebut. Seruan SBY yang oleh media dirumuskan: “Kompetisi Usai, Saatnya Bersatu” (Kompas 210809), disusul berbagai move politik berbentuk kunjung-kunjungan, terasa hanya retorik belaka jika tidak didahului dengan dan dilandaskan pada proses pembangunan-kembali (revitalisasi) kesepakatan nasional berisi nilai-nilai kemerdekaan yang nampaknya sudah musnah dilahap oleh rezim otoriter dan kemudian terpukul oleh sikap pragmatisme politik 10 tahun terakhir. Eduard C. Lindeman menempatkan E Pluribus Unum (Through Diversity Toward Unity) sebagai proposisi pertama demokrasi sebagai “way of life.” Ia mengakhiri uraian tentang proposisi itu dengan: “The democratic discipline permits a wide range of loyalties. In a monocracy, only one channel for loyalty is provided, namely loyalty to the all-powerful state.” Semboyan “persatuan dan kesatuan” amat berbahaya jika didefinisikan hanya oleh rezim yang berkuasa, terlebih jika disakralisasikan, sehingga barangsiapa yang berbeda dengan definisinya dianggap berkhianat dan harus ditindas. Kesepakatan itu bisa terjadi dan terwujud bilamana proposisi kedua “Ideals Can
Never Be More Than Partially Realized,” digunakan. Dalam hubungan itu, kesepakatan adalah “an act of understanding based upon respect for each other’s differences. It may be said that, in consenting, individuals attain to truth about themselves.” Untuk Indonesia, ikrar nasional itu sudah jelas, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.(Bab 17 Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2008; Bab I Kybernologi dan Pengharapan, 2009). Berangkat dari naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Negara Indonesia berfungsi sebagai alat di tangan Bangsa Indonesia untuk mencapai tujuannya sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, langkah demi langkah, setahap demi setahap. Sebagai alat, negara tidak memiliki tujuan sendiri. Mengingat tahap yang telah ditempuh bukan lagi tujuan tetapi sudah menjadi sejarah, maka ungkapan sakti “For a fighting nation there is no journey’s end,” adalah tepat menuntun ke depan. Bagai Dewa Janus, sejarah itu bermuka dua, kenyataan dan harapan. Bhinneka (kenyataan) Tunggal Ika.(harapan), Semboyan yang dideklarasikan pada tgl 17 Agustus 1950 oleh Presiden Soekarno itu (PP 66/51), mirip dengan E Pluribus Unum di atas. Mirip bentuknya, tetapi berbeda penafsiran dan penerapannya di Indonesia. Jika di Amerika “unum” diartikan kesebangsaan sebagai hasil proses “melting pot” ratusan tahunan berbagai budaya heterogen sedunia yang tumpah ruah di Amerika, di Indonesia “tunggal ika” diartikan sebagai bentuk negara dengan harga mati, yaitu negara kesatuan. Apakah di Indonesia terjadi “melting pot?” Nampaknya, sementara bentuk negara dengan berbagai cara seolah terjaga, keSEBANGSAan (bukan ke-“Bangsa”-an) sebagai “way of life” bersama berbagai kepercayaan dan budaya yang berbeda-beda (“bhinneka”), justru semakin jauh dan samar! Jadi sangatlah berbahaya jika ajakan, tawaran, atau basa-basi untuk “bersatu” di atas bermaksud mempersempit atau meniadakan ruangan bagi fihak yang takterpilih dan memosisikan diri pada fihak oposisional. Sama berbahayanya apabila kekuatankekuatan yang seharusnya mengambil sikap oposisional terjebak bujukan atau tergiur oleh kekuasaan, sehingga pintu ke arah monokrasi terbuka lebar-lebar. Sementara ikrar bersama komprehensif itu belum ada, kesepakatan formal secara nasional jangka panjang di bidang pembangunan (ruang SKE Gambar 1) sesungguhnya telah dibuat melalui UU 25/04 tentang SPPN dan UU 17/07 tentang RPJP, serta Perda serupa di Daerah. Konsekuensi kesepakatan ruang SKE ini ke ruang SKK mendorong terbentuknya ikrar bersama jangka panjang di segala bidang, melalui reformasi politik (Bab II Kybernologi dan Pembangunan, 2008), di pusat sampai daerah. Gambar 2 menunjukkan, agar setiap rezim bergerak pada rel yang sama, dituntut kesepakatan awal antar semua kekuatan sosialpolitik sejak R1 ke depan. Misalnya ikrar untuk berusaha sekonsisten mungkin mengurangi
kesenjangan vertikal antar lapisan masyarakat dan mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah, sehingga pada suatu saat di depan terbentuk kesebangsaan Indonesia dalam rangka mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika. Ikrar atau kesepakatan awal inilah yang berfungsi sebagai rel jangka panjang pemerintahan Indonesia ke depan dan mengikat setiap rezim terpilih yang berbeda satu dengan yang lainnya, yang berjalan pada rel tersebut. 4 REFORMASI POLITIK Tekad rezim terpilih untuk menuntaskan reformasi birokrasi pada tahun 2011, disambut dengan gembira. Tetapi tunggu dulu. Ekonomi, politik, demokrasi, dan birokrasi itu terletak di mana? Politik dan birokrasi itu terdapat di ruang SKK, ekonomi di ruang SKE, sedangkan demokrasi berada di ruang SKS, dengan catatan bahwa birokrasi adalah alat kekuasaan (politik, Rute 2, 4, dan 6), SKS fungsi mengontrol SKK (Rute 1 dan 5), sedangkan SKE berfungsi membentuk nilai ----------------------------------------------------------------------------| | | janji vote,trust,hope monev kinerja | | -------------------------------------------| | | penepatan | | tuntutan | | SKK | | | | 2 | | 1 | | 5 | | | SUMBER| | | | | | | SUMBER | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR | | EKONOMI-------KEKUASAAN------SOSIAL-------KEKUASAAN------| | (SKE) (SKK) (SKS) (SKK) | | | | | | | | | | | | pemba| | | | | | | ngunan | | | | | | | | | | | | | | | | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | | | -------------------------------------------| | 3 nilai jawaban | | 4 6 | | | ---------------------------------MASYARAKAT----------------------------------
Gambar 4 Pemerintahan (Governance): Fungsi-fungsi Sebkultur Angka-angka Menunjukkan Rute Pemerintahan
Premises di atas menunjukkan bahwa
1. Kinerja ekonomi (SKE) bergantung pada kebijakan SKK dan implementasinya (Rute 2), bukan sebaliknya 2. Reformasi birokrasi bergantung pada reformasi politik (internal SKK) 3. Reformasi politik bergantung pada kontrol SKS (Rute 1) di hulu 4. Demokrasi bergantung pada pertanggungjawaban SKK kepada SKS (Rute 6) 5. Pertanggungjawaban SKK bergantung pada kontrol SKS di hilir (Rute 5) 6. Kepercayaan dan harapan SKS terhadap SKK bergantung pada pelayanan SKK kepada SKS (Rute 4) 7. Nilai yang dihimpun SKK dari SKE (Rute 3) bergantung pada birokrasi Sepuluh tahun terakhir, reformasi politik itu tidak terlihat. Enerji reformasi habis untuk transaksi internal kekuasaan dan formalitas. Struktur dan kultur politik masih seperti sediakala. Tenaga-tenaga muda yang memiliki idealisme belum muncul di permukaan. Reformasi politik mengalami kebuntuan manakala idealisme terperangkap di dalam ruang dogmatik, yaitu ideologi yang disakralisasikan. 5 FUNGSI KONTESTAN TERPILIH Fungsi utama kontestan terpilih kompatibel dengan fungsi utama kontestan takterpilih. Satu. Sampel atau yang mewakili populasi. Dalam hubungan ini, keterpilihan sejalan dengan keterwakilan. Keterpilihannya bergantung pada pemilih atau pelanggan, bukan pada komoditi yang ditawarkan atau menawarkan diri. Di sini, pengalaman pelanggan di masa lalu menjadi bahan pertimbangan yang penting Dua. Fungsi ini bersifat alami bagi setiap sistem kehidupan. Setiap organisme hidup memiliki atau membutuhkan kepala sebagai pengendali. Di dalam masyarakat dengan lingkungan yang berubah cepat apalagi kalau perubahannya tidak menentu, diperlukan lokomitif atau kapan serbacuaca yang sanggup membawa penumpang melalui iklim seburuk apapun Tiga. Fungsi mengontrol sumber-sumber dan meredistribusi nilai ke dalam masyarakat merupakan fungsi eksistensial kekuasaan politik. Redistribusi nilai meliputi semua jenis pelayanan, baik pelayanan civil maupun pelayanan publik. Di dalamnya termasuk substansi fungsi pemberdayaan, tetapi melihat cara, strategi dan prosedurnya, fungsi ini lebih bersifat pembangunan nilai, jadi masuk ruang SKE. Empat. Pemangku nilai-nilai kekuasaan. Kekuasaan (power) berisi sejumlah nilai yang bervariasi. Misalnya kewenangan (authority), perintah (order), kekuatan (force),
paksaan (coercion), kekerasan (violence), pemusnahan (death), yang diharapkan hanya alat untuk mencapai tujuan bersama jangka panjang, dan tidak untuk menempuh jalan pintas. Lima. Kekuasaan sebagai subkultur berfungsi sebagai implementor (penyelenggara, pengguna) nilai-nilai kekuasaan di atas. Biasanya, ketika implementasi dilakukan, pertimbangan politik sedemikian dominan sehingga pertimbangan lainnya menepi. Akhirnya dari kinerjanya orang berkesimpulan, “power tends to corrupt,” dan tanpa kontrol pelanggan, kekuasaan menjadi sumber korupsi itu sendiri. Enam, implementor sistem nilai dasar pemerintahan. Tiap rezim terpilih datang dan pergi selang lima tahunan, dengan watak dan perilaku yang berbeda-beda. Dalam hubungan itu, kontestan terpilih adalah implementor 12 nilai dasar pemerintahan sebagai berikut. 1. Vooruit zien (memandang sejauh mungkin ke depan) 2. Conducting (membangun kinerja bersama melalui perilaku aktor yang berbeda-beda) 3. Coordinating (membangun kinerja masing-masing yang berbeda-beda melalui kesepakatan bersama yang mengikat) 4. Peace-making (membangun harmoni dan kebersamaan) 5. Residue-caring (mengelola “sampah,” “sisa,” “yang beda,” “yang salah,” “yang kalah,” dan “yang terbuang”) 6. Turbulence-serving (mengelola ledakan yang dianggap mendadak atau di luar kemampuan, force majeure) 7. Fries Ermessen (keberanian bertindak demi keselamatan, jika perlu di luar aturan, untuk kemudian mempertanggungjawabkannya) 8. Generalist and Specialist Function (knowing less and less about more and more, and more and more about less and less) 9. Omnipresence (terasa hadir di mana-mana) 10. Responsibility (menjawab dengan jelas dan jujur, men(t)anggung risiko secara pribadi menurut Etika Otonom) 11. Magnanimous-thinking (-mind, berpemikiran besar dan kuat menerobos zaman, membuat sejarah) 12. Distinguished statesmanship (kenegarawan-utamaan, selama memangku masajabatan publik, berdiri di atas semua kepentingan, tidak memihak, impartial, lawannya salesmanship) (selengkapnya: Bab II Garis-Garis Besar Program Pembelajaran Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009). Dengan 12 nilai tersebut, keberlanjutan keutuhan pemerintahan diharapkan dapat terjaga. Bila disepakati bersama, sistem nilai itu
berfungsi sebagai tolak-ukur dan tolok-ukur pemerintahan. Dengan adanya alat-ukur itu, monev dan kontrol pemerintahan dapat dilakukan. Tujuh. Sejauh ini kondisi lingkungan politik sedemikian rupa sehingga rezim lima tahunan yang bertarung di dalamnya terperangkap pada sikap pragmatik. Sampai sekarang manajemen pemerintahan dan perilaku para pejabat masih berorientasi masajabatan lima tahunan. Berputar-putar dan maju ditempat. Idealisme nyaris lumpuh. Walaupun menurut Lindeman, “ideals can never be more than partially realized,” namun sejarah menunjukkan bahwa lokomotifnya adalah pikiran-pikiran (ideals) besar dan kuat. Oleh sebab itu, rezim terpilih harus berorientasi jangka panjang dan berfungsi mendinamikkan pemerintahan. Pendinamikan pemerintahan dilakukan dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang efektif di bidang bisnis adalah penggunaan nilai atletik dalam pemerintahan. Graham Winter dan Christopher Hamilton, Business Athlete (Vision Publishing, Sydney, 1992), menerapkan kualitas Jiwa Atlit (Athletics) di dalam bisnis menjadi Atlit Bisnis. Kualitas Athletics bisa ditransformasi langsung menjadi Atlit Pemerintahan, atau tidak langsung, yaitu melalui Atlit Bisnis, dan dari Atlit Bisnis ke Atlit Pemerintahan dengan menggunakan metodologi Kybernologi. Kualitas Jiwa Atlit disarikan dalam Teori Budaya Organisasi (2005,190) sebagai berikut: 1. Dalam dunia olahraga, pesaing bukanlah musuh yang harus dimusnahkan melainkan lawan yang harus dihormati 2. Olahraga, kompetisi, atau pertandingan, diselenggarakan atas dasar standar dan aturan main yang sama yang disepakati dan ditaati bersama 3. Nilai kejuaraan seorang atlit atas lawannya dalam sebuah perlombaan atau pertandingan, semakin tinggi dengan semakin imbangnya kekuatan, tetapi semakin rendah bila sebaliknya 4. Komitmen yang kuat dan prestasi tertinggi lawan merupakan motivasi utama olahraga 5. Prestasi bukan hasil tetapi proses 6. Mempertahankan prestasi jauh lebih sulit ketimbang merebutnya 7. Kegagalan mencapai prestasi tertinggi bukanlah kekalahan melainkan keberhasilan yang tertunda 8. Kebesaran seorang atlit terletak pada sportsmanship dan sportivenessnya dalam menerima kenyataan 9. Atletik bebas politik dan bersifat universal Kualitas Atlit Bisnis diuraikan oleh Winter dan Hamilton dalam buku tersebut, yang tidak dapat diuraikan di sini lebih lanjut. Intinya ialah dayadorong dari dalam dan dayatarik dari luar pelaku. Nampaknya kualitas Athletics an sich kurang begitu terkait dengan penonton atau pelanggan. Tetapi tatkala kualitas itu diaplikasikan pada ruang
bisnis, supaya pelaku bisnis berkarakter atlit, pelanggan menjadi penting, bahkan terpenting. Metodologi inilah yang digunakan oleh Kybernologi Tabel 2 Dari Kualitas Atletik ke Atlit Pemerintahan ------------------------------------------------------------------------------KUALITAS ATLETIK ATLIT PEMERINTAHAN -----> ATLIT POLITIK ------------------------------------------------------------------------------1. Dalam dunia olahraga, Oposisi adalah controller, reference bagi rezim pesaing bukanlah musuh yang sedang berkuasa. Pejabat harus berusaha unyang harus dimusnahkan tuk mewariskan kinerja yang good bagi penerusnya melainkan lawan yang agar pada gilirannya ia menjadi reference. Komharus dihormati pas 150409h4 “Lebih baik DPR dipimpin oposisi.” 2. Nilai kejuaraan seorang atlit atas lawannya dalam sebuah perlombaan atau pertandingan, semakin tinggi dengan semakin imbangnya kekuatan, tetapi semakin rendah bila sebaliknya
“Menang” dalam politik membangkitkan naluri primitif manusia merampas fihak yang kalah. Akibatnya ”pemenang” kehilangan referensi. Seorang yg ”tiada tanding, tiada banding,” pada gilirannya menjadi narsis lalu mengalami kemerosotan nilai. Budaya mayoritas, partai tunggal, dan otokrasi mengandung daya-rusak (kanibalisme) berkelanjutan
3. Olahraga, perlombaan, atau pertandingan, selalu didasarkan pada aturan main yang disepakati bersama bagi semua peserta, petarung atau kontestan, dan ditaati dengan penuh kehormatan (fair play)
Para petarung politik juga wajib menjunjung tinggi aturan main yang sama itu. Jadi seorang incumbent (pejabat publik) tidak layak terjun di dalam kegiatan partial dengan menggunakan incumbency-nya, karena yang lain tidak punya. Walaupun ia mencutikan diri, pada saat ia aktif kembali ia bisa menggunakan incumbency-nya memaksakan kehendaknya. Semakin tinggi posisi seorang pejabat publik, semakin tidak terpisahkan pribadi dengan incumbencynya. Sehebat apapun seorang pejabat, pada saat masajabatannya habis, zaman sudah berubah sementara ia relatif tidak berkesempatan belajar. Inilah dasar etik suatu asas pemerintahan baru: pembatasan masajabatan menjadi hanya satu term saja; selesai satu masajabatan, seorang pejabat tidak boleh dipilih kembali dalam jabatan yang sama dengan alasan apapun, alias tidak ada masajabatan kedua!
4. Komitmen yang kuat dan prestasi tertinggi lawan merupakan motivasi utama olahraga
“Bersumpah,” bukan “disumpah.” Tujuan tidak membenarkan cara mencapainya. Parpol yg sehat ialah parpol yang tidak memanfaatkan incumbent sbg vote-getter, walaupun cuti, karena kehormatan, fasilitas, gaji, dsb, diberikan oleh seluruh rakyat, bukan (hanya) oleh parpol yang mendukung atau didukung oleh incumbent ybs(Kompas 16040902)
5. Prestasi bukan hasil tetapi proses
Keterpilihan tidak dirayakan, karena orang yang terpilih belum bekerja, bahkan berutang janji dan modal, jadi apanya yang dipestakan? Apapun hasil, jika prosesnya dapat dipertanggungjawabkan secara etika otonom, pelanggan
percaya, pelaku pemerintahan dipercaya 6. Mempertahankan prestasi jauh lebih sulit ketimbang merebutnya
Biaya mempertahankan kekuasaan atau keunggulan dengan segala cara lebih baik digunakan untuk belajar dari kesalahan atau kekalahan, dan mebutnya kembali pada kesempatan berikutnya
7. Kegagalan mencapai prestasi tertinggi bukanlah kekalahan melainkan keberhasilan yang tertunda
Nilai ini membangun visi jangka panjang pemerintahan, dijiwai dengan sikap positif menanggapi setiap masalah. Peluang merebut keberhasilan yg tertunda itu terletak dalam visi jangka panjang (UU 25/04 dan UU 17/07)
8. Kebesaran seorang atlit terletak pada sportsmanship dan sportivenessnya menerima kenyataan, dan tidak semata-mata pada legalitas
Hal ini menyangkut Etika Politik. Berkaitan dgn butir 3 di atas. Parpol tidak etik jika mengclaim kinerja kadernya (incumbent) di struktur supra sebagai kinerjanya, sebagaimana juga tidak etik jika sang kader mengclaim berjasa, sebab atas setiap pikiran dan tindakannya ia telah mendapat imbalan. Lalu manatah jasanya? Legalitas itu politik, sportmanship lebih tinggi ketimbang legalitas kemenangan. Legalitas bukan asas pemerintahan
9. Atletik khususnya dan Begitu seseorang terpilih atau diangkat menjadi olahraga umumnya tidak pejabat publik, maka selama masajabatannya ia mengenal perbatasan mengabdi kepada publik (bangsa), dan tidak kepapolitik, bersifat da parpol yang mengusung atau diusungnya. Ia universal berubah dari politisi menjadi negarawan -------------------------------------------------------------------------------
dalam mentransformasikan kualitas Athletics ke dalam ruang pemerintahan, agar pelaku pemerintahan berkarakter atlit. Aplikasi tentatif kualitas Atletik ke dalam dunia pemerintahan disarikan seperti Tabel 2. Nilai-nilai atlit politik diharapkan menjadi kekuatan pendinamik pemerintahan ke depan (ref. Bab IV Garis-Garis Besar Program Pembelajaran Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009). Delapan. Fungsi pertanggungjawaban kepada SKS. Fungsi ini berakar dalam fungsi 4 dan 5. Melalui dua fungsi itu, pada umumnya pertanggungjawaban SKK kepada SKS didasarkan pada aturan-aturan formal belaka. Tanpa aturan negara (pemerintah) yang berlaku (sah, formal) tidak ada kesalahan, kejahatan atau pelanggaran. Sebaliknya perilaku dan tindakan SKK yang oleh SKK ditafsirkan berdasar aturan negara yang berlaku, walaupun melanggar rasa keadilan masyarakat, dianggap sahsah saja. Seharusnya, pertanggungjawaban SKK bukan hanya pertanggungjawaban menurut aturan negara, tetapi terlebih pertanggungjawaban menurut rasa keadilan masyarakat. Aturan negara yang tidak mengandung rasa keadilan masyarakat harus diubah.
Sembilan. Fungsi pengelolaan feedback (feedforward). Pada hakikatnya, setiap perilaku merupakan feedback dari suatu keadaan, peristiwa atau kejadian. Kontestan terpilih biasanya memilah feedback menjadi masukan positif dan masukan negatif. Yang positif dijadikan bahan pembuatan kebijakan, pelakunya dijadikan rekanan projek, sedangkan yang negatif dianggap sampah dan pelakunya dimata-matai atau dicurigai. Maka “Anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Seharusnya feedback negatif dijadikan masukan untuk mengintrospeksi dan mengoreksi diri, walaupun ternyata tidak terbukti. Sepuluh. Pentingnya referensi (reference). Psikologi Sosial menjelaskan fungsi reference dan pentingnya referent di dalam masyarakat. “Reference group” didefinisikan sebagai “a group with which an individual identifies and whose values he accepts as guiding principles,” sementara “referent” adalah “the object or event to which a term or symbol refers.” Dalam Logika “referent” berarti “the first term in a proposition to which succeeding terms relate.” Teknik ujicoba menurut Metodologi memerlukan “control group” (tanpa perlakuan) di samping “test group” (mendapat perlakuan). Anak dalam keluarga yang ortunya tidak mampu menjalankan fungsi reference, mencari referensi di luar rumah atau di jalanan. Demikian juga warga masyarakat. Pada hakikatnya setiap orang memerlukan referensi. Demikian juga setiap unitkerja. Namun sayang sekali, begitu seseorang berkuasa, pada saat sebuah unitkerja memosisikan dirinya di dalam ruang kekuasaan, ia merasa tidak lagi memerlukan referensi, karena dia beranggapan bahwa dirinyalah referensi itu. “Bukankah saya pemenang pemilu?” “Bukankah jabatan saya anugerah dewata?” Oleh sebab itu “Saya pasti bisa,” bahkan “Lebih baik dan lebih cepat!” Pada perspektif Kybernologi, setiap kelompok kekuasaan bukanlah “control group” atau “reference,” melainkan “test group,” kelompok yang sedang diuji, dicoba, atau yang janji-janjinya hendak dibuktikan oleh “control group” atau “reference group.” Mereka yang menyebut dirinya pemenang pemilu, dan memasuki ruang kekuasaan, sesungguhnya adalah petaruh dan petarung selama lima tahun di arena (berkuasa). Diperlukan referensi ibarat kamus atau ensiklopedi yang mendefinisikan setiap kejadian agar bisa dimonev dengan cepat, tepat dan akurat. Referensi harus baik dan benar, diakui oleh semua fihak! Persoalannya sekarang ialah, siapakah dan lembaga manakah yang berfungsi sebagai “reference group” atau “control group” bagi kekuasaan (SKK) di dalam masyarakat? Jawabannya: mereka yang takterpilih dan memosisikan diri sebagai oposisi! Gambar 5 menunjukkan bahwa agar seorang mantan bisa berfungsi sebagai referensi positif bagi pejabat yang menggantikannya, dan dapat pula menjalankan kepemimpinan informalnya, selama dan semasih menjabat ia harus mewariskan kinerja yang kelak dalam sejarah tercatat dengan tinta emas.
tokoh berkepeberkepe- PEMIMPIN terpilih mimpinan MASA JA-->MASYARAKAT----------->INFORMAL----------->KEPALA---------->BATAN------| mimpinan tersaring formal & BERAKHIR | | informal informal | | | | | | PEMIMtidak terpilih (lagi), mantan | | ---------PIN IN- <-------------------------------| | | FORMAL kembali ke dalam masyarakat | | | | | | | | | | | | | | referensi, | | ----------------| mempengaruhi |-----| | | | | PEMIMrezim lain yang terpilih | | PIN<--------------------------------------------FORMAL naik ke singgasana kekuasaan
Gambar 5 Proses Kepemimpinan
Sebelas. Rezim terpilih adalah lembaga kepemimpinan formal. Sejauh ini sistem kepemimpinan Indonesia masih berorientasi ketokohan. Di samping itu kepemimpinan formal dinilai jauh lebih tinggi ketimbang kepemimpinan informal. Teori Kepemimpinan Informal dipandang tepat digunakan untuk menerangkan betapa mutlaknya fungsi kontrol kekuasaan itu di dalam masyarakat. Setiap masyarakat memiliki seseorang yang memiliki kelebihan ketimbang orang lain, memiliki kualitas sedemikian rupa sehingga dalam lingkungan tertentu orang tadi mampu mempengaruhi orang lain atau lingkungannya. Ia disebut berkepemimpinan. Karena kepemimpinannya itu bersifat sosial dan tidak diatur secara formal, kepemimpinannya disebut kepemimpinan informal dan pemangkunya pemimpin informal. Melalui pemilihan (election) atau penyaringan (selection), menurut standar dan prosedur yang telah disepakati bersama, pemimpin informal terpilih atau tersaring menjadi kepala selama periode tertentu, misalnya 5 tahun. Menjadi pejabat atau “yang terhormat.” Mengepalai suatu daerah (negara), mengepalai suatu organisasi, atau terpilih menjadi anggota dewan yang terhormat, komisi atau panitia. Kepemimpinan informalnya bertambah dengan atau berubah menjadi kepemimpinan formal, karena ada kekuasaan politik di dalamnya. Jadi selama menjabat kekuasaan, pejabat bisa memiliki dua macam kepemimpinan yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal, dan bisa juga hanya kepemimpinan formal. Kepemimpinan informal tidak digunakan sehingga melemah dan kabur. Pada ujung tahun kelima, jika beruntung pada akhir tahun kesepuluh, berakhirlah masa jabatannya. Bagaimana dengan kepemimpinannya? Pejabat yang selama menjabat hanya memiliki kepemimpinan formal, ia menjadi bukan siapa-siapa
lagi, sudah habis. Tetapi pejabat yang selama menjabat menggunakan dua-duanya, ketika pensiun atau tidak terpilih lagi, masih memiliki kepemimpinan informal. Kepemimpinan informal ini yang menjadi bekal baginya dalam menjalani sisa hidupnya di dalam masyarakat. Apa artinya kembali ke dalam masyarakat? Bagi banyak orang, pensiun atau berakhirnya masajabatan diterima dengan ucapan syukur purnawira, purnakarya. Selama menjabat mungkin ia sudah menyiapkan “lahan” lain untuk berkarya: menjadi Widyaiswara, mendirikan yayasan pendidikan, dan sebagainya. Beberapa orang mengalami post power syndrom (PPS), jatuh sakit, menjadi bukan siapa-siapa. Kendatipun uang pensiun kecil, yang lain menerima masa pascajabatan itu sebagai kesempatan untuk istrahat, menikmati sisa hidup apa adanya. Dari perspektif Kybernologi “kembali ke dalam masyarakat” itu bervisi lain. “Kembalinya mantan pejabat ke dalam masyarakat” harus berarti “bertemu” dengan pemimpin formal baru yang terpilih atau diangkat menggantikannya menjadi kepala buat lima tahun berikut. Jika kepemimpinan sang mantan sudah habis, ia jatuh dalam pelukan PPS. Tetapi bilamana ia masih memiliki kepemimpinan informal, ia tetap berharga dan sisa hidupnya tetap berguna. Supaya tatkala kembali ke dalam masyarakat, sang mantan tidak mengalami PPS tersebut, melainkan tetap “terbilang,” (tetap eksis, tetap “ada,” tetap berperan aktif), semasih dan semasa menjabat ia harus tetap menjalankan dan mengembangkan kepemimpinan informal di samping kepemimpinan formal, sehingga ketika masajabatan kepemimpinan formal berakhir, ia masih sanggup dan berkesempatan menjalankan kepemimpinan informal itu. Ia kembali menjadi pemimpin masyarakat sampai akhir hayatnya, dan mewariskan kepemimpinannya itu kepada generasi berikutnya dalam bentuk contoh, teladan, dan ajaran turuntemurun. Bukan hanya itu. Dalam governance yang baik dan sehat, kepemimpinan informal itu berfungsi sebagai referensi dan tempat bertanya bagi kepemimpinan formal dalam arti yang seluas-luasnya, ibarat hubungan abadi antara senior dengan yunior di dalam masyarakat akademik dan komunitas prajurit. Duabelas. Menjadi atlit pemerintahan dan atlit politik saja tidak cukup. Masih diperlukan kualitas lain yang merupakan pucuk dan tajuk semua kualitas pemerintahan di semua tingkat administratif, yaitu kedewasaan (maturity) pada tingkat pribadi, dan kenegarawanan (statesmanship) pada tingkat statal dan global. Melihat perilaku para anggopta DPR yang ada, memang diperlukan lembaga yang berfungsi sebagai dewan orang tua-tua yang memiliki kedewasaan dan kematangan berpikir, bertindak dan bertanggungjawab, dilambangkan dengan konsep senat, senator (dari Latin senāt(us), senate, “an assembling or council, having the highest deliberating functions”). Para pimpinan negara dan partai mempertunjukkan perilaku politisi, bukan negarawan. Oleh sebab itu dibutuhkan tokoh-tokoh yang memiliki
kualitas kenegarawanan, bukan sekedar politisi. Seorang pejabat publik yang berkampanye atas nama parpol yang mendukung atau didukungnya, kendatipun cuti, bukan negarawan, melainkan politisi belaka. Kualitas kenegarawanan ini dibahas panjang lebar dalam Bagian Dua Bab X Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise (2006) dan Bab XIV Kybernologi dan Pengharapan (2009). Dalam sumber yang disebut belakangan, kenegarawanan atau lengkapnya DISTINGUISHED STATESMANSHIP disebut sebagai nilai keduabelas kepamongprajaan. Di sana dinyatakan bahwa kenegarawanan “exhibits great wisdom and ability in dealing with important public issues.” Menjadi negarawan berarti memosisikan diri di atas semua kepentingan partial. Seorang statesman berfungsi sebagai referensi bagi semua fihak, baik yang terpilih maupun yang tidak. Ia merayakan saat pengembalian (penyerahan) jabatan (mandat) ketimbang saat memangku jabatan (pelantikan), menyatakan secara terbuka pengunduran diri dari “kendaraan yang mengusungnya” begitu terpilih menjadi pejabat publik, memaknai uang bukan solusi tetapi beban (karena harus dipertanggungjawabkan), menggunakan Etika Otonom dan bukan Etika Heteronom (Bagian Dua Bab X Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006). Seorang statesman tidak pernah merasa berjasa, karena tindakan apapun yang dilakukannya telah mendapat imbalan dari bangsa, negara dan masyarakat. Sudah dibayar dengan vote, walau ia belum bekerja. Tetapi sebaliknya ia selalu merasa berhutang, karena ia telah berjanji kepada dirinya sendiri dan kepada masyarakat, dan ia berusaha menepatinya, serta memikul sendiri tanggungjawabnya. Seorang negarawan tidak mengclaim kinerjanya sebagai kinerja partai yang mengusung atau didukungnya, karena selama menjabat ia digaji dan mendapat fasilitas serta kehormatan, bukan dari partai tetapi dari seluruh bangsanya. Selama masa jabatannya, seorang negarawan tidak melakukan perbuatan yang menguntungkan hanya satu fihak, walau cuti sekalipun, sebab cuti itu hanya akal-akalan. Pada saat seorang pejabat yang sedang cuti kampanye, walaupun ia menggunakan kendaraan umum dan mengenakan kaus oblong, pengaruhnya sebagai pemangku kekuasaan politik tetap terasa, ia mendapat pengawalan, perlindungan dan perlakuan sebagai seorang pejabat. Seorang negarawan tidak menggunakan contoh kesalahan orang atau bangsa lain untuk membenarkan diri sendiri (“don’t take the example of others as an excuse for your wrongdoing,” lih. Effendi Gazali dalam Kompas 070509h06 tentang Kompas 220409 soal “jangan galak-galak”). Dalam kenyataannya, khususnya pemimpin formal (politisi, pejabat atau birokrat), untuk mencapai kualitas seorang negarawan, adalah semustahil seekor unta lolos dari lubang jarum. Kesempatan untuk menjadi negarawan itu terbuka lebih lebar dan lebih lama bagi bagi seorang pemimpin informal ketimbang bagi pemimpin formal.
Tigabelas. Kalau kenegarawanan dan kepemimpinan merupakan spesi kekuatan sosial, maka Etika Pemerintahan merupakan kekuatan mental, kekuatan hati nurani (lubuk hati, hati sanubari, qalbu, insan kamil), hati nurani yang terbuka. Perbedaan dan kaitan antara Etika dengan Moral terletak pada beberapa hal. Pertimbangan Moral berlangsung di dalam dan antar warga masyarakat, sedangkan pertimbangan Etik berlangsung di dalam kalbu sendiri, antar nilai dan norma yang tertanam sebelumnya melalui bakal genetik, bekal pengalaman dan pendidikan. Keputusan etik dibuat berdasarkan pilihan bebas. Etika Pemerintahan adalah Etika Otonom, sanksi terhadap pelanggaran dan reward penaatan norma etik bersumber dari dan ditetapkan dan dipikul oleh diri sendiri, tidak berdasarkan atau bergantung pada perintah dari luar-diri pelaku, sementara sanksi dan reward Moral bergantung pada 1 2 3 4 5 6 ----->apakah------>kualitas--->nilai--->norma--->kesadaran---->pertimbangan---| etika? dasar etik etik etik etik etik otonom | | etika otonom | | | | | | | etika heteronom yg-benar guna tertanam norma mediskusi antar | | yg-baik dlm kuat, lu- nerangi norma dlm kalbu | | yg-wajib hidup as, jelas nurani kebebasan memi| | lih, kesepakatan | | | | 10 9 8 7 | | 11 pertanggungperilaku tindakan keputusan | ----etikalitas<----------jawaban<-------etik<------etik<----------etik<-------| etik | | | | | | | menaati kadar | --kinerjaberprakarsa keetikan sanksi etik* | berjanji* | | | | | ----------merasa malu | | | merasa bersalah | pada pada menyesal | orang diri mohon maaf | lain sendiri mohon ampun | | | janji bertobat | | nazar,sumpah bernazar | perjanpengakuan membayar tebusan | jian credo kesediaan berkorban | commitment selfmengaku bersalah | | commitment mengundurkandiri dari jabatan | | | mengasingkandiri | | agar mengimenyakitidiri | | kat, perlu bersumpah | | disaksikan mengorbankandiri | | | bunuhdiri | ----------*setiap commit| | dikontrol | ment atau janji | ---dibandingkan---harus disertai | kesenjangan ditedievaluasi sanksi yg mengikat | rangkan setulus & | diri sendiri dan --sejujurnya, risi- -------orang lain, dinyako & konsekuensi takan secara terbuka ditanggung sendiri
Gambar 6 Etika Pemerintahan (1 sd 11 Terminal)
masyarakat. Dengan pegangan Moral saja, jika masyarakat permisif, Iblis bisa bercahaya seperti Malaikat, Serigala berbulu Domba, dan Musang berbulu Ayam. Jadi oleh keputusan etik, walau seseorang pelanggar tidak terjerat peraturan formal, karena peraturannya tidak ada, atau “mengingat jasa-jasanya, pelaku diampuni atau dibebaskan, bahkan diberi medali emas,” orang itu terikat atau mengikatkan dirinya dengan norma dan sanksi etik seperti Terminal 10 di Gambar 9. Teori Tanggungjawab (Terminal 10) menurut Herbert J. Spiro terdapat dalam Responsibility in Government (1969). Kunci Etika Pemerintahan terletak pada pertimbangan etik dan pertanggungjawaban etik (Terminal 6 dan Terminal 10 Gambar 6). Referensi: Bab 15 dan Bab 16 Kybernologi 2003; Bagian Pertama Bab 7 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bagian Dua Bab II dan Bab III, dan Bagian Tiga Bab XVI Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab XV Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007; Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008; Bab III dan IV Kybernologi dan Pengharapan (2009). . Empatbelas. Kekuatan rejim terpilih tidak selalu menampakkan diri sebagai kekuatan yang hard, melainkan juga dalam wujud yang soft, halus namun utuh, sepoi menyejukkan, hangat memberi semangat. Omnipresence, satu di antara 12 nilai dasar pemerintahan. Orang terkecil di posisi terendah mustahil bisa merasakan kehadiran kekuasaan di tempat yang tertinggi, tetapi manakala kekuasaan itu berkenan merendahkan hatinya turun ke bawah dan ke bawah, menjadi sesama bagi setiap orang, barulah kehadirannya terasa di mana-mana dan kapan saja. Hal itu terjadi bilamana kekuasaan itu berwujud roh sehingga tidak terbatas oleh waktu dan tempat, terasa hadir di mana-mana, kapan saja, oleh siapa saja, bahkan oleh seorang yang terkecil sekalipun. Ia tidak membatasi diri pada “tupoksi,” melainkan pada asas noblesse oblige. Rezim terpilih pun demikian. Roh di sini adalah image, citra, yang dihadirkan oleh rezim melalui sikap dan perilakunya yang memihak rakyat, masyarakat dan pelanggan, menegakkan kesepakatan atau ikrar bersama tersebut di atas. Kehadiran rezim terpilih seperti ini analog dengan kehadiran entertainment oleh para artis di tengah-tengah masyarakat. Pada saat masyarakat dibohongi dan dikecewakan oleh para politisi, pejabat dan birokrat di masa lalu, perhatian masyarakat beralih ke rekreasi, hiburan, dan referensi lain di luar SKK. Art, liberal art, adalah kekuatan yang berwujud roh juga, dan membawa pesan-pesan universal. Dalam hubungan itu, masyarakat memerlukan rezim sebagai artis politik. Berwujud roh berarti tidak hanya membangun citra (image building) tetapi menjadi hati sedemikian rupa sehingga rezim terpilih itu tidak terlihat sebagai sesuatu yang jauh dan yang asing, tetapi terasa hadir di mana-mana dan kapan saja sebagai bagian dari dan sama dengan “kita.” Ia melihat apa yang “kita” lihat, dan merasakan apa yang “kita” rasakan. Semakin tinggi dan asing kekuasaan
memosisikan dirinya, semakin samar, seragam, kotor dan sampah “kita” terlihat olehnya, semakin terasa kebutuhan akan sahabat yang penuh pengertian, yang siap berfungsi sebagai jembatan antar budaya dan antar frame-of-reference (FOR) yang berlainan, yaitu salingpengertian, empathic understanding, dan pada gilirannya kepedulian. Kekuatan rezim terpilih seharusnya adalah sahabat tiap orang. Ia sahabat bagi setiap orang: “A Friend In Need, Is A Friend Indeed.” Jika rezim terpilih sekarang bisa berubah menjadi sahabat setiap orang, maka ia adalah artis politik yang buat setiap orang yang oleh SKK di masa lalu dianggap sampah, dirazia, diusir, dan digelandang, ia menyanyi sambil melambaikan tangannya: “Just Call My Name And I’ll Be There. Maka rezim terpilihpun terasa hadir di dalam hati setiap manusia. Maka tatkala ia mati, seisi dunia meratap. Limabelas. Kondisi homeostasis di satu fihak menunjukkan kualitas tertib, status quo, seimbang. Tetapi di fihak lain, homeostasis berkepanjangan memadamkan api perubahan dan mengendorkan semangat kamajuan. Keseimbangan tidak boleh statis. Keseimbangan harus dinamis. Diharapkan rezim terpilih berfungsi sebagai kekuatan yang mendorong perubahan dari kondisi homeostasis ke kondisi heterostasis dan dari heterostasis ke homeostasis, demikian terus-menerus, dengan risiko seminimal mungkin. Enambelas. Kontestan berfungsi memangku nilai-nilai sportsmanship, fairplay, dan disiplin. Di satu fihak, dalam masyarakat (governance) rezim terpilih berfungsi sebagai wasit, tetapi pada akhirnya di fihak lain wasitpun dikontrol oleh pelanggan, oleh fihak yang membayar. Sesuai dengan hukum sistem, tidak boleh ada satu komponen sistem yang berjalan tanpa terkontrol. Tujuhbelas. Dalam pelukan bahari, rezim terpilih adalah biduk kertas, perahu layar, atau kapal samudera, diterjang badai didera gelombang (Bab I Kybernologi dan Pengharapan, 2009). Bila badai menerjang dan gelombang mendera, biduk dan kapal yang berjayar bersamanya, terpukul dan terpental. Tetapi justru Jalesveva Jayamahe, “Di Lautan Kita Jaya,” karena laut, yaitu mereka yang takterpilih, bahkan oposisi, tidak hanya menyediakan sumberdaya kebutuhan ekonomi tetapi jauh lebih luhur, laut mengjarkan kearifan universal. Jika terjadi peristiwa alam, yang oleh manusia disebut bencana menimpa, yang terlebih dahulu diselamatkan adalah kaum terlemah, yaitu bayi dan perempuan, orang sakit dan penumpang, ABK kemudian, terakhir sang nakhoda, itupun jika masih ada kesempatan. Keberanian dan kecakapan itu didukung oleh keluhuran budi dan kearifan jiwa, dengan menjunjung tinggi kaidah-kaidah harmoni dan keselarasan dengan alam. Inilah Etika Bahari. Jika tidak, ialah juruselamat, ialah martyr, ialah tumbal, ialah korban, ialah pahlawan, ialah syuhada.
Mencapai sesuatu melalui (baca: dengan mengorbankan) diri sendiri. Etika Bahari erat berkait dengan Kepemimpinan Bahari: “getting things done through him- or herself.” Berapakah harga manusia? Bagi para politisi dan pejabat, manusia adalah persentase, hanya statistik, hanya angka-angka. Di tengah laut, ketimbang kapal terbenam karam, muatan kapal, milik saudagar dan barang pedagang, kepentingan partai dan ambisi kekuasaan, dapat dan harus dibuang ke tengah lautan, demi keselamatan kapal dan seluruh penumpang. Inilah Hukum Bahari. Laut dapat diibaratkan alam semesta, kapal diibaratkan Negara, dan isinya adalah adalah bangsa Indonesia yang etnisitasnya heterogen, budayanya majemuk, potensinya pincang, dan laju yang satu dibanding dengan yang lain tidak seimbang. Kesenjangan vertikal dan kesenjangan horizontal. Di atas kapal memang presiden, menteri, politisi dan pejabat yang berkuasa, namun di tengah laut bukan kapalnya, melainkan pelayarannya (kegiatan berlayar) itulah yang terpenting. Dalam hubungan itu, presiden dan menteri, politisi dan pejabat seberkuasa apapun dia, harus menyadari bahwa dia hanyalah satu di antara berbagai-bagai unsur yang diperlukan agar pelayaran terjadi dan berhasil tiba dengan selamat di tujuan. Keselamatan. Inilah Filsafat Bahari (lihat juga Bab X Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007). Oleh sebab itu, sang kapal haruslah kapal serbacuaca. Menghindari laut, mau berlayar di darat, di lautan pasir? Kesiapan puncak penyelamatan di darat ditandai dengan tempat perlindungan bawah tanah, sebuah silo padat logistik dan teknologi bunker, galian jauh ke dalam perut bumi, terbuat dari baja kebal bom, anti peluru, aman berbulan-bulan, dan sangat dirahasiakan. Untuk itu arsiteknya dilenyapkan. Silo, bunker, bagi keselamatan siapa? Politisi dan pejabat! Mau? Delapanbelas. Akhirnya rezim terpilih adalah petaruh dan petarung, bukan stakeholder. Stakeholder adalah bandar, yaitu SKS dalam kapasitasnya sebagai konstituen dan pelanggan. Khususnya Pelanggan. Yang dipertaruhkan oleh petarung adalah segala sesuatu yang diamanatkan oleh SKS kepadanya melalui Rute 1 Gambar 1 di atas. Masa depan bangsa. Jika “bidikan” dan “tebakan” SKK yaitu rezim terpilih, gagal, maka ia harus mengembalikan mandat kepada SKS. Termasuk kehormatan! Aturan mainnya adalah kesepakatan, ikrar bersama jangka panjang. 6 FUNGSI KONTESTAN YANG TAKTERPILIH vs FUNGSI KONTESTAN YANG TERPILIH Kontestan yang takterpilih bukanlah sampah. Bagi kapal apa saja, dia adalah laut, dia adalah samudera. Fungsi kontestan yang takterpilih diuraikan di dalam “Oposisi Perspektif Kybernologi: Kybernologi Politik,” salah satu bab buku ini. Tabel 3
menunjukkan ruang SKS (yang seharusnya terisi dengan nilai-nilai demokrasi). Tabel 3 Fungsi-Fungsi Kontestan Terpilih dan Takterpilih -------------------------------------------------------------------------------KONTESTAN TAKTERPILIH KONTESTAN TERPILIH -------------------------------------------------------------------------------1 Populasi, universal 1 Sampel, yang mewakili 2 Sebuah rel jangka panjang, 2 ”Lokomotif,” ”Kapal serbacuaca” ibarat laut bagi kapal 3 Membangun, mencipta, menambah nilai 3 Mengontrol sumber-sumber dan (SKE) meredistribusi nilai 4 Pemangku kualitas, nilai dan norma 4 Pemangku nilai kekuasaan sebagai terbaik, di luar sistem kekuasaan alat pencapaian tujuan bersama 5 Masyarakat civil, subkultur sosial 5 Subkultur kekuasaan (SKK) (SKS) dalam masyarakat “power tends to corrupt” 6 Sumber dan pemangku-tetap asas dan 6 Implementor lima tahunan sistem sistem nilai dasar pemerintahan nilai dasar pemerintahan 7 Atlit politik 7 Atlit Politik 8 Melakukan monev terhadap SKK 8 Mempertanggungjawabkan hasil monev kepada SKS 9 System’s negative feedback 9 (diharapkan) mengelola feedback control circuit menjadi bahan masukan proses kebijakan 10 Referensi bagi rezim terpilih 10 (diharapkan) sebagai referent Control group, reference group Test group 11 Lembaga kepemimpinan informal 11 Lembaga kepemimpinan formal 12 Statesmanship, sportsmanship 12 (diharapkan) sama 13 Pemangku nilai etika otonom 13 (diharapkan) sama 14 Omnipresence, artis politik 14 Artis politik 15 Penyeimbang antara pusat 15 Penggerak dari posisi homeodengan daerah stasis ke heterostasis 16 Wasit proses kontes (pembuatan 16 Kontestan dan penetapan pilihan) politik 17 Sumber sistem nilai pengorbanan 17 (diharapkan) sama menurut ajaran bahari 18 Stakeholder negara 18 Petaruh dan petarung --------------------------------------------------------------------------------
Bagaimana kondisi ruang itu sekarang? Ruang itu lagi hampa? Seperti benang basah? Mengisi dan menegakkannya merupakan keharusan sejarah (historical necessity). Jika tidak atau terlambat, menjadi beban sejarah. Di dalam masyarakat yang SKS-nya berkapasitas dan berfungsi seperti Tabel 3, baik kontestan terpilih maupun kontestan takterpilih berjalan bersama-sama sepanjang rel bersama jangka panjang. Tanpa benci, tanpa dendam, mengemban fungsi-fungsinya masing-masing, selaras, seimbang, serasi, dinamik, dan berkelanjutan, di dalam sebuah tubuh, yaitu bangsa Indonesia. Supaya hal itu terjadi, langkah berikut harus dilakukan: mengubah mindset, mengubah paradigma, dimulai dari pucuk di atas!
7 MENGUBAH PARADIGMA PERSATUAN DAN KESATUAN Di tahun 60-an, di lingkungan akademik terkenal sebuah ungkapan sinis: “Persatuan Sapulidi” yang terbentuk oleh lilitan tali di pangkalnya. Kesatuan yang terbentuk oleh ikatan seperti itu berorientasi ketokohan. Jika tokohnya rapuh, engineering life dan accounting life-nya habis, lidi-lidinya berantakan. Melalui reformasi ikatan seperti itu bisa berubah menjadi ikatan sebuah rantai berbentuk lingkaran abadi, yang kekuatannya sama dengan kekuatan matarantainya yang terlemah. Itulah ikatan sistem. Maka matarantai terlemah harus diperbaiki dulu atau diganti. Tokoh itu penting, tetapi untuk jangka panjang, sistem jauh lebih penting. Pemilu adalah jualbeli kita membayar kontan tetapi barangnya masih dijanji, bukan janji sistem tetapi janji orang jangan coba-coba menagih sebab yang kita (terlanjur) beli memang janji menagih = mencemari nama baik mau berurusan dengan polisi, jaksa, dan hakim? Pemerintahan berkelanjutan terjadi manakalah fihak terpilih berjalan bersama-sama dengan fihak takterpilih dengan fungsi masing-masing, di dalam sebuah sistem matarantai lingkaran abadi.
0109090519SDG 0209091718SDG 0309090830SDG 0409091130SDG 0409091512SDG