Seri Pembelajaran PATTIRO:
Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia Oleh: Ahmad Rofik1 Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia Implementasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah berlangsung empat tahun. Pencapaian rata-‐rata kepatuhan dasar pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) baru mencapai 48,27%. 2 Rendahnya pencapaian ini bukan hanya terjadi pada pemerintah daerah, khususnya kabupaten yang baru mencapai 170 dari 399 kabupaten (42,61%), namun juga pada lembaga negara setingkat Kementerian/LSN/LPP yang baru tercapai 41 dari 129 lembaga (31,78%). Padahal terbentuknya PPID pada badan publik ini baru tahap awal dari upaya mewujudkan transparansi penyelenggaraan negara. Selain itu, baru sebagian kecil PPID yang sudah berfungsi optimal. Salah satu indikasinya adalah pelaksanaan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 188.52/1797/SC/2012 Tahun 2012 tentang Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah hanya dilaksanakan oleh 123 dari 434 (28,3%) kabupaten/kota yang memiliki website pada tahun 2014. 3 Padahal transparansi dimaksudkan agar mampu mengungkit: (a) peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, pelaku bisnis dan industri, (b) efisiensi terutama biaya administrasi baik yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder, (c) partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik secara demokratis, (d) kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemerintah. Pengalaman PATTIRO dalam mengelola program Community Access to Information (CATI) menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis manfaat dari pelaksanaan Undang-‐Undang KIP bagi masyarakat yaitu: (a) kemudahan mengakses informasi publik4 , (b) masyarakat
1
Program Develompment Unit PATTIRO
2
Sumber: Dit. Komunikasi Publik – Ditjen IKP, 23 September 2014.
3
Penabulu Aliiance (2014), Kajian Warga atas Informasi Anggaran Daerah: Studi Pelaksanaan Insturksi Menteri Dalam Negeri nomor 188.52/179/SJ/2012 tentang Tranparansi Pengelolaan Anggaran Daerah
4
Penerapan aplikasi Sistem Informasi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Provinsi NTB (http://ntbprov.sip-‐ppid.net/index.php/document), Kementerian Dalam Negeri (http://ppid.kemendagri.go.id/document)
1
memperoleh manfaat perbaikan pelayanan publik 5 , (c) mencegah terjadinya praktek penyimpangan dan korupsi pada penyelenggaraan pelayanan publik.6 Derajat manfaat yang diperoleh masyarakat juga dipengaruhi oleh efektifitas pendekatan kolaboratif (colaborative engagement) antara masyarakat dengan badan publik. Informasi publik yang diterima masyarakat akan memunculkan respon berupa tuntutan perbaikan pelayanan publik dan pengawasan penyelenggaraannya. Selanjutnya, feed back badan publiklah yang menentukan apakah masyarakat akan mendapatkan manfaat atau justru sebaliknya. Jika badan publik responsif, maka tanggapan masyarakat akan digunakan untuk mengevaluasi praktik penyelenggaraan pelayanan. Sebaliknya, jika badan publik menutup diri, maka proses bargaining dan saling menekan antara masyarakat dengan badan publik akan terjadi. Perubahan Pada Tingkat Masyarakat Pada penguatan sistem transparansi, PATTIRO juga memfokuskan agar masyarakat mampu mendapatkan manfaat dari akses informasi. Penguatan kelompok masyarakat melalui pengorganisasian masyarakat yang dikenal dengan community center dipilih sebagai strategi untuk memberikan tekanan kepada badan publik (penyelenggara urusan negara) agar transparan terhadap informasi yang dikuasai. Penguatan CC dalam menggunakan hak untuk tahu (right to know) untuk memanfaatkan informasi menjadi materi (amunisi) advokasi perbaikan pelayanan publik maupun mengkonversi menjadi manfaat langsung. Tahap peningkatan kemampuan CC meliputi beberapa level yaitu (a) CC mampu mengidentifikasi permasalahan pelayanan di sekitar untuk dikonversi menjadi jenis informasi yang dibutuhkan, (b) CC mampu mengajukan permintaan informasi, (c) CC mendapatkan informasi yang diminta dan didiskusikan menjadi materi untuk advokasi (dan tindak lanjut lainnya), (d) CC mengajukan komplain/usulan perbaikan pelayanan publik pada unit layanan, sekaligus menyampaikan informasi komplain kepada badan 5
Pengalaman di Puskesmas Kabupaten Manokwari. Dinas pendidikan Lombok Barat juga mengakomodasi usulan CC tentang penanganan siswa miskin yang putus sekolah, bahwa siswa miskin putus sekolah dapat melanjutkan pendidikannya karena pada tahun ajaran baru 2014 mendapatkan tambahan uang saku Rp. 1.000.000,-‐ per siswa per tahun.
6
CC Kabupaten Flotim berhasil melakukan advokasi agar dana Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang potong di SD Inpres Lewoneda Desa Kemutu Kecamatan Ile Mandiri dikembalikan pada siswa bersangkutan. Sebelumnya, dana BSM dipotong oleh sekolah dan akan digunakanakan biaya administrasi, pemerataan siswa lainnya yang tidak mendapat BSM, biaya komite sekolah dan seragam. Disamping pembatalan pemotongan BSM juga ada komitmen dari pihak sekolah mengenai pengelolaan dana BSM yang lebih transparan. Perubahan perilaku tersebut terutama dihasilkan dari kesadaran CC untuk berinteraksi dengan unit-‐unit layanan
2
publik atau mengkonversi menjadi manfaat langsung;, (e) CC berinisiatif membangun dialog reguler dengan penyelenggara pelayanan. Secara sederhana milestone/ tahapannya seperti dalam skema berikut.
Kebutuhan masyarakat akan informasi publik cenderung mengarah kepada jenis informasi yang mampu mengungkit peningkatan kesejahteraan melalui perbaikan pelayanan publik. Pada tingkat tertentu, masyarakat mulai membutuhkan jenis informasi yang mengungkit partisipasi dalam pembuatan keputusan publik. Sementara pada kelompok warga yang telah terpenuhi pelayanan dasarnya, mulai membutuhkan jenis informasi yang mengungkit akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan Pada Tingkat Penyedia Layanan Pembelajaran lain berkaitan dengan efektifitas fungsi Pejabat Pegelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi: (a) komitmen pimpinan daerah, (b) kapasitas PPID dalam memahami peraturan perundangan terkait KIP, (c) keterampilan PPID dalam mengelola dan melayani permohonan informasi publik, (d) dukungan sarana pendukung untuk pengelolaan dan pelayanan informasi publik. Partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak untuk mengetahui informasi publik juga dipengaruhi efektifitas Komisi Informasi baik pada tingkat nasional maupun provinsi. Jika masyarakat keberatan atas penolakan badan publik terhadap informasi yang diminta, 3
maka mereka berhak mengajukan sengkata melalui komisi informasi. Keputusan badan publik untuk menutup informasi bisa diuji melalui komisi informasi di tingkat pusat atau provinsi. Pada tataran keberfungsian PPID, program CATI melakukan pendampingan langsung kepada PPID dalam proses pengelolaan dan pelayanan informasi. Pendampingan dilakukan secara intensif dan mandiri oleh staf program CATI PATTIRO di tiap wilayahnya. Dalam melakukan pendampingan ini Level keberfungsian PPID secara sederhana dikategorisasikan menurut empat tingkatan yaitu: (0) PPID Utama belum terbentuk; (1) PPID Utama terbentuk namun belum menyusun regulasi; (2) PPID terbentuk dan sudah menyusun regulasi tentang sistem informasi dan dokumentasi; (3) PPID memberikan pelayanan informasi publik; (4) PPID mampu mengelola informasi publik secara baik, tabel berikut. Tabel Tingkat Kualitas Berfungsinya PPID Nilai
Tingkat Kualitas Fungsi PPID Utama
4
PPID mampu mengelola informasi publik secara baik
3
PPID memberikan pelayanan informasi publik
2
PPID Utama dan regulasi tentang sistem informasi dan dokumentasi terbentuk
1
PPID Utama terbentuk
0.
PPID Utama belum terbentuk
Asistensi transparansi badan publik oleh PATTIRO yang selama ini diorientasikan pada pendekatan akuntabilitas administratif, tidak cukup lagi memenuhi tuntutan masyarakat dan perkembangan teknologi informasi. Kepastian akses informasi yang bersumber pada penyelenggaraan suatu otoritas publik mulai mendapatkan tantangan baru. Komunitas warga/masyarakat mulai mengembangkan argumen hak atas informasi sebagai hak-‐hak universal yang melekat pada setiap orang (hak asasi). Pendekatan ini dikenal dengan rezim hak atas informasi. Negara tak boleh menghalang-‐halangi setiap orang untuk mendapatkan informasi tersebut sepanjang tidak mengancam hak-‐hak orang lain. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dalam pengelolaan negara yang berkorelasi terhadap hubungan antara negara dan masyarakat, informasi juga diposisikan sebagai barang publik, terutama pada informasi yang terkait dengan pelayanan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pendekatan yang dikenal dengan rezim ekonomi ini meyakini bahwa penyediaan akses terhadap informasi merupakan prasyarat untuk mencapai alokasi sumber daya publik yang lebih efisien dan mendekati kebutuhan masyarakat. Penyediaan sistem dan infrastruktur yang dikenal dengan Open Data telah 4
menempatkan akses terhadap data tanpa harus melalui proses permintaan terlebih dahulu. Data yang diperoleh dalam versi masinal dapat diolah kembali oleh pengguna sehingga menginspirasi komunitas lokal dapat mengembangkan inisiatif mereka untuk meperbaiki kualitas pelayanan publik melalui skema-‐skema kolaboratif. ICT Untuk Transparansi Pembelajaran dengan pemerintah daerah dalam mengelola PPID juga telah menginspirasi PATTIRO untuk mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Publik (SIP) PPID yang sudah diterapkan di Provinsi NTB, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Malang, Sumba Barat Daya, Ngada, Timor Tengah Utara dan juga di tingkat nasional pada Kementerian Dalam Negeri. Melalui aplikasi ini, permohonan informasi dapat dilakukan secara online sehingga menghemat waktu dan biaya. Publik dapat mengakses secara langsung informasi yang sudah dinyatakan terbuka dalam Daftar Informasi Publik (DIP). Pemerintah Daerah juga merasakan manfaat pengelolaan informasi dan pelayanan informasi publik yang lebih mudah, hemat dan efisien. Pengelolaan dokumen diintegrasikan dengan pelayanan informasi baik secara offline maupun online, update Daftar Informasi Publik (DIP) secara otomatis, konektifitas data antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD: dinas/kantor/badan), pembuatan laporan rekap secara otomotis, serta keterhubungan dengan sistem pelaporan pelayanan informasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Arah percepatan pelaksanaan UU KIP pada pemerintah daerah juga didukung oleh pemerintah pusat yang memiliki keterkaitan langsung antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Komisi Informasi Pusat, dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Pada level tertentu, UKP4 memiliki tingkat pengaruh yang lebih intensif kepada kementerian dan lembaga pemerintah pusat. Sementara Kementerian Dalam Negeri cukup intensif mendorong pelaksanaan peraturan pada pemerintah daerah. Keterbukaan Informasi dan Open Goverment Partnership Keterlibatan masyarakat sipil pada level nasional telah mengungkit praktik transparansi di Indonesia dalam inisiatif global OGP. Pada tahun 2012, Survey Open Budget Index (OBI) menempatkan Indonesia sebagai peringkat kedua di Asia setelah Korea Selatan dalam transparansi dokumen keuangan negara. Walapun berhasil pencapaian tingkat tranparansi yang tinggi namun tidak secara langsung berdampak pada perbaikan indeks anti korupsi. Skema anti korupsi sejatinya dibangun melalui kerangka logis partisipasi publik secara kolaboratif oleh warga dan sektor privat dalam penyelenggaraan urusan negara. Partisipasi kolaboratif ini tidak saja berhenti pada diakomodasinya aspirasi dalam 5
pembuatan keputusan, namun sampai pelaksanaan dan monitoring pembangunan melalui keterlibatan secara kolaboratif atas sumberdaya yang dimiliki antar pihak tersebut. Harus diakui bahwa tatanan pemerintahan terbuka yang diharapkan dari inisiatif global OGP ini baru pada tahap awal. Resistensi dari kalangan masyarakat sipil terutama terkait kesetaraan atas keterlibatan (partisipasi) mengemuka pada masa awal. Bahkan dalam agenda-‐agenda OGP Indonesia masih belum seimbang posisi pemerintahan dan masyarakat sipil. Beberapa kalangan bahkan memandang OGP lebih sebagai open data saja, padahal hal itu hanya salah satu infrastruktur bagi terciptanya pemerintahan yang terbuka. Dalam perkembangannya resistensi tersebut mulai berganti dengan rasa kepemilikan bersama atas agenda OGP Indonesia. Indonesia juga belum menemukan pola OGP ini pada tingkat sub nasional (provinsi/kabupaten/kota). OGP semestinya menjadi pengungkit bagi terciptanya pemerintahan terbuka yang berdampak pada upaya perbaikan pelayanan publik untuk peningkatan kesejahteraan. Upaya-‐upaya inovasi harus ditumbuhkan baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah. Inovasi-‐inovasi tersebut juga penting untuk direplikasi dan di-‐scalling up baik pada tingkat nasional maupun internasional.
6