KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Di antara kemajemukan ekonomi serta suku (yang dimunculkan dalam adat istiadat pergaulan dan pola pemukiman berkelompok), ternyata didapati adanya solidaritas yang muncul ketika seseorang mendapat bencana di dalam desa itu sendiri. Solidaritas ini muncul dalam suatu bentuk hubungan-hubungan pertukaran (resiprositas). Resiprositas tersebut berfungsi efektif untuk mengintensifkan hubungan sosial yang diwujudkan dengan adanya jaringan sosial bersifat luas dan tidak terbatas dalam desa tersebut. Sedangkan hubungan sosial menjadi landasan penting bagi kelangsungan pertukaran sumber daya. Namun demikian, pertukaran yang dapat menjadi faktor integrasi tersebut, tidak terlalu tampak dalam ha1 pengaturan bersama terhadap pemanfaatan sumber agraria (lahan pertanian). Pengaturan yang ada tampak dalam kegiatan penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian serta aturan hubungan kerja pertanian. Aturan penguasaan seperti kepemilikan (pemilikan tertinggi dipegang suku Bugis di kedua lokasi penelitian) dan cara memperoleh (terbanyak dengan cara membuka lahan sendiri pada suku Kaili Taa dan Kulawi dan membeli dari suku Bugis), sewa menyewa yang dikenal dengan istilah
bapajak (banyak dilakukan suku Bugis di kedua lokasi penelitian), sakap menyakap (dilakukan oleh semua suku dengan menggarap lahan milik kerabat dekat), hak pakai (di Sintuwu dilakukan oleh suku Kulawi dan Kaili Taa pada TNLL dan beberapa tanah guntai; di Berdikari oleh suku Kulawi (di areal HPT) dan Bugis (tanah guntai), serta berbagai pengaturan terhadap Taman Nasional Lore Lindu serta Hutan Produksi Terbatas yang peluang pemanfaatannya banyak diberikan kepada semua suku di Sintuwu dan suku tertentu di Berdikari.
Sedangkan aturan pengusahaan menyangkut peruntukkan tanah (untuk pekarangan, kebun dan sawah), pergilirantanaman, serta penggunaan teknologi. Sementara aturan hubungan kerja pertanian menyangkut hubungan kerja dalam kegiatan bapetak (secara ekslusif dilakukan suku Kaili Taa dan Kulawi di Sintuwu, dan terbanyak suku Kulawi disamping sedikit dari suku Bugis di Berdikari), bapalus (hanya dilakukan oleh suku Kaili Taa dan Kulawi baik di Sintuwu dan Berdikari), pembagian kerja (tidak mengenal pembagian umur dan jenis kelamin) serta hubungan dengan pedagang dan pelepas uang (dikedua lokasi penelitian didominasi oleh suku Cina dan Bugis). Sejauhmana pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria ini bekerja di tengah warga yang memiliki kemajemukan suku ? Dari berbagai pengaturan pemanfaatan terhadap sumber-sumber agraria tersebut dapat dilihat bahwa pola pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang dijalankan menunjukkan adanya ketidak teraturan. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai ketentuan yang berbeda dalam suatu aktifitas kelembagaan agraria yang dijalankan. Pengaturan tersebut hanya melibatkan kelompok sosial tertentu yang ingin melibatkan diri, karena bagi mereka harapan kelangsungan hidup (survive) bergantung di dalamnya. Perbedaan status ekonomi telah menjadi jurang pemisah. Jaringan sosial yang terdiri dari jaringan kerabat dan jaringan campuran ,
kerabat dan tetangga, menjadi landasan kuat terjalinnya hubungan sosial lewat mekanisme penyelenggaraan kelembagaan agraria yang ada tersebut. Hal ini tampak dalam pemilihan tenaga kerja, lokasi usaha pertanian serta pemberian izin menggarap dan mengolah lahan pertanian. Namun jaringan kekerabatan yang telah menjangkau luar desa, akhirnya mengaburkan batas-batas teritorial dan sebaliknya memperkuat masyarakat dari segi geneologis.
Sejauh ini perangkat aturan pemanfataan sumber-sumber agraria tersebut cukup mengikat dan dipatuhi masyarakat. Begitu efektifnya aturan tersebut bekerja sehingga pengaturan tersebut telah melembaga didalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ketegangan sosial sedang dialami masyarakat akibat ketimpangan dalarn struktur kepemilikan tanah. Tanah-tanah guntai milik pegawai pemerintah telah rnenjadi sumber ketegangan tersebut, sehingga tindakan penyerobotan pernah terjadi. Mengingat tanah guntai mengambil persentase cukup besar dari keseluruhan kepemilikan tanah di kedua desa penelitian, maka yang tejadi hanyalah peluang melakukan usaha tani tanpa disertai hak kepemilikan. Ketegangan sosial secara vertikal juga sedang terjadi antara pemerintah dan masyarakat terhadap status hutan. Hal ini diakibatkan adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai hutan TNLL. Bagi masyarakat lokal, hutan yang ada dalam kekuasaan mereka dilandasi ketentuan dari sejarah penetapan tahun 1949. Namun bagi pemerintah hutan dikuasai negara berpatokan pada UUD 1945 Pasal33:3, Pasal2 No. 5 Tahun 1960 UUPA, serta Pasal5 UU No. 5 tahun 1967 UUPK.
Pola pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria memiliki beberapa implikasi antara lain; (1) Akses masyarakat terhadap hutan TNLL dan HPT, (2) lkatan terhadap tanah, (3) Diversifikasi tanaman, (4) Diversifikasi pekerjaan, dan (5) Teknologi lokal. Faktor-faktor penyebab implikasi tersebut adalah sebagai akibat dari kegiatan akumulasi tanah untuk warisan dan tanah guntai, kebutuhan subsistensi dan komersialisasi tanaman, persepsi yang salah terhadap status hutan, peluang pemanfaatan hutan secara resmi oleh pemerintahan desa dengan hak pakai, tekanan penduduk terhadap tanah, keterdesakan ekonomi, serta latar belakang struktural masyarakat.
Dari keseluruhan implikasi tersebut terhadap keberlanjutan kehidupan masyarakat dan alam, yaitu : 1)
Aspek ekonomi, berarti menjamin kelangsungan pangan dan surplus masyarakat saat itu.
2)
Aspek sosial, lahan dan hasilnya dapat dipergunakan untuk investasi in-
material. 3)
Aspek lingkungan, untuk jangka panjang lebih kepada terjadinya kerusakan lingkungan dan mengancam keberlangsungan alam itu sendiri serta masyarakat yang berada di sekitamya.
Saran 1)
Pihak pemerintah khususnya yang berada pada jajaran Tingkat I Provinsi Sulawesi Tengah sebagai pengambil kebijakan, hendaknya membatasi diri dalam mengakumulasi tanah. Memang pada saat pengambilan tanah, lokasi tersebut belum terisi atau dipadati penduduk. Prediksi ke depan terhadap akibat pertambahan penduduk hams dilakukan sebelum mengambil tiindakan tersebut.
2)
Tanah-tanah guntai baik yang dikuasai pemerintah maupun perorangan yang pada kenyataannya hanya ditelantarkan, sebaiknya didata dengan seksama dan diredistribusi kepada para masyarakat yang tidak memiliki ataupun memiliki tanah namun dalam luasan yang kecil. Hal ini dilakukan selain mengurangi ketimpangan dalam struktur kepemlikan tanah juga guna mengurangi akses masyarakat terhadap TNLL dan HPT yang mulai mengalami kerusakan.
3)
Berkaitan dengan point 2, hendaknya sebelum kegiatan pembaharuan agraria tersebut (redistribusi) dilaksanakan lakukanlah penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya arti tanah terutama sebagai faktor
produksi. Kegiatan ini dilakukan untuk mengantisipasi penjualan tanah hasil redistribusi tersebut, karena pada dasarnya menjual tanah telah menjadi karakter yang sulit hilang pada kelompok sosial tertentu terutama dari suku Kaili umumnya. Selain itu dalam kegiatan tersebut lakukan penyadaran akan arti pentingnya menabung sebagai suatu cara untuk mengantisipasi biaya pesta (ceremonial fund) dikemudian hari. 4.
Khususnya kepada pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan baik dijajaran Tiingkat I dan II, serta pemerintahan terkait lainnya untuk segera mengambil tindakan penetapan zonasi terhadap TNLL. Hal ini terutama terhadap daerah penyangga (buffer zone) sebagai daerah dimana fauna, flora, dan manusia hidup bersama dalam keselarasan. Sebelumnya masyarakat haws disadarkan akan perannya sebagai pelindung sumbersumber agraria yang ada.
5.
Lakukan sosialisasi perundang-undangan tentang hak menguasai negara terhadap hutan (UUD 1945 Pasal33:3, Pasal2 No. 5 Tahun 1960 UUPA, serta Pasal 5 UU No. 5 tahun 1967 UUPK) kepada masyarakat sekitar hutan oleh instansi pemerintah terkait.