KESIAPAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN PELANGGARAN PIDANA PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 20141 OLEH : BASRIEF ARIEF2
I. PENDAHULUAN Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.3 Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disamping itu, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat.4 1
Disampaikan dalam Acara Rakornas dalam rangka Pemantapan Pelaksanaan Pemilu Pilpres Tahun 2014 , yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri bertempat di Sentul International Convention Center Bogor, tanggal 02 Juni 2014. 2 Jaksa Agung Republik Indonesia 3 Lihat Bagian menimbang huruf b UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 4 Lihat penjelasan UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
2
Kejaksaan bertekad untuk mensukseskan Pemilu tahun 2014 dengan bersama komponen bangsa lain untuk mengatasi setiap permasalahan yang terjadi pada pemilu 2014, peran Kejaksaan sebenarnya tidak hanya terbatas pada penanganan perkara tindak pidana pemilu semata melainkan juga dalam perkara perselisihan hasil pemilu yang ditangani oleh bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, juga tidak kalah penting adalah untuk melakukan deteksi dini terhadap setiap ancaman, gangguan dan hambatan yang terjadi selama proses pemilu berlangsung dengan fungsi intelijen yustisial. Hal tersebut telah dilakukan pada saat pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD yang sudah diselenggarakan5, begitupun dengan PILPRES tahun 2014 ini, Kejaksaan telah siap untuk bersanding bersama komponen bangsa lain guna mengawal dan mensukseskan Pilpres 2014. Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai penanganan tindak pidana pemilu pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh Kejaksaan menyangkut sistem yang telah dibangun Kejaksaan untuk pelaksanaan pemilu 2014 serta kesiapan sumber daya manusia/personil Kejaksaan dalam menangani perkara tindak pidana pemilu. Untuk itu makalah singkat ini mengambil judul “KESIAPAN KEJAKSAAN DALAM
PENANGANAN
PELANGGARAN
PIDANA
PEMILU
PILPRES
TAHUN 2014”, yang merupakan pernyataan sekaligus penegasan bahwa Kejaksaan mempunyai komitmen yang kuat untuk bersama-sama dengan komponen bangsa lain untuk mensukseskan Pilpres tahun 2014. II.
HUKUM ACARA DAN TINDAK PIDANA PEMILU PILPRES TAHUN 2014 Potensi konflik horizontal menjelang Pilpres 2014 lebih tinggi dibanding Pilpres 2009 sehingga perlu diantisipasi lebih awal 6 karena seluruh kontestan baru dan tidak ada yang incumbent.Untuk itu diperlukan langklah-langkah seperti :
5
Kejaksaan telah menangani 137 perkara tindak pidana pemilu DPD dan DPR dan DPRD. Selengkapnya lihat http://www.antaranews.com/berita/432152/peneliti-potensi-konflik-jelangpilpres-2014-tinggi, diunduh tanggal 07 Mei 2014 6
3
1.
masing-masing calon dapat mengikuti proses pemilihan dengan cara jauh dari kecurangan.
2.
masing-masing calon saat menang atau kalah tidak perlu berlebihan dalam bersikap, karena akan membangkitkan emosi bagi salah satunya
3.
proses yang fair dan independen dalam proses pencoblosan juga perlu diperhitungkan kalangan penyelenggara pemilu hingga lapisan bawah.
4.
penelusuran daftar pemilih tetap (DPT) hingga daftar pemilih tambahan (DPTb) calon pemilih dalam Pilpres 2014 perlu dilakukan secara teliti, sehingga tidak menimbulkan konflik horizontal.
5.
keamanan penyimpanan surat suara serta kredibilitas panitia "ad hoc" KPU (PPS, PPK, KPPS) perlu menjadi evaluasi utama untuk pemungutan suara pada Pilpres mendatang.Jangan sampai ada lagi surat suara yang tertukar atau bahkan sudah ada yang tercoblos baik oleh anggota KPPS maupun tim sukses tertentu.
6.
potensi konflik akibat kecurangan kelompok tertentu dapat diminimalisasi apabila fungsi penegakannya dilakukan secara tegas. Dimana "Bawaslu harus dipercaya oleh masyarakat untuk menindak setiap kecurangan.
7.
Bawaslu perlu mendapat penguatan dalam menindak kasus pidana pemilu melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Hal itu juga perlu didukung dengan Undang-Undang (UU) pemilu yang mendukungnya.
8.
Kasus pidana pemilu yang tidak banyak ditindaklanjuti Sentra Gakkumdu juga memengaruhi tingkat konflik horizontal menjelang Pilpres 2014.
Seperti kita ketahui bahwa Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum Presiden dan wakil presiden mengalami gugatan di Mahkamah Konstitusi.Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 atas nama
pemohon Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.I.D, M.Si dkk dengan amar putusan yang intinya : 1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
4
Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924)
bertentangan
dengan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945; 2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3. Amar
putusan
dalam
penyelenggaraanpemilihan
angka umum
1
tersebut tahun
di
2019
atas dan
berlaku
untuk
pemilihan
umum
seterusnya; Kemudian persoalan
ambang batas pencalonan presiden (presidential
treshold) dalam UU tentang Pemilu Presiden Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Yusril Izha Mahendra terkait dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam UU tentang Pemilu Presiden dan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019. Terhadap dua gugatan tersebut, MK berpegang pada putusan sebelumnya. MK memutuskan bahwa pemilu serentak tetap dilangsungkan pada 2019 dan ambang batas pencalonan presiden diserahkan kepada pembentuk UU sebagai kebijakan hukum yang terbuka. Dengan demikian, persyaratan untuk partai politik atau gabungan partai politik dalam mengajukan pasangan capres dan cawapres pada pemilu presiden 9 Juli 2014 tetap harus memperoleh minimal 20 persen kursi DPR atau mendapat suara sah secara nasional 25 persen dalam pemilu legislatif 9 April 2014. Persoalan gugatan di mahkamah konstitusi tersebut tidak ada yang mempersoalkan persoalan hukum acara pelanggaran pidana pilpres maupun jenis pelanggaran pidana pemilunya. II.A. TINDAK PIDANA PILPRES TAHUN 2014 Ada 58 pasal yang mengatur pelanggaran pidana pilpres yang diatur mulai dari pasal 202 sampai dengan pasal 259 Undang-undang nomor 42 tahun 2008
5
tentang pemilihan Presiden dan wakil presiden. Bentuk-bentuk pelanggaran pidana pilpres diantaranya adalah: 1. Pasal 202 : “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 2. Pasal 203 :” Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 3. Pasal 204 : “Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran Pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). 4. Pasal 205: “Setiap anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam melaksanakan verifikasi kebenaran dan kelengkapan administrasi Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Berdasarkan delik pada pelanggaran dan kejahatan tindak pidana pemilu diatas maka yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana pemilu terbagi dalam beberapa kategori yaitu : 1. Kategori pertama adalah penyelenggara Pemilu yang terdiri dari anggota KPU, anggota KPU provinsi, anggota KPU Kabupaten/kota, anggota Bawaslu,
6
anggota panwaslu provinsi, anggota panwaslu kabupaten/kota, anggota panwas Kecamatan dan petugas pelaksana lapangan lainnya. 2. Kategori kedua adalah peserta pemilu yang terdiri dari calon Presiden dan wakil Presiden 3. Kategori ketiga adalah pejabat tertentu yang dalam hal ini dapat berarti Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/Pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa dan Badan lainnya yang anggarannya bersumber dari keuangan negara. 4. Kategori keempat adalah masyarakat pemilih yang terdiri dari pelaksana survei/hitungan cepat, umum/setiap orang. 5. Kategori kelima adalah profesi yang terdiri dari media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang dan distributor Beberapa karakteristik delik pelanggaran pidana pemilu presiden dalam UU Nomor 42 tentang PILPRES yaitu : 1. bersifat kumulatif yaitu pidana penjara/kurungan dan denda 2. Mengenal hukuman minimal baik pidana penjara/kurungan maupun denda, ini berbeda dengan undang-undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 3. Mengenal daluarsa perkara terhadap pelanggaran yang berakibat pada perolehan hasil suara. B. Hukum Acara Pelanggaran pidana Pilpres tahun 2014 Penyelesaian pelanggaran pemilu presiden dan wakil presiden Menurut UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam pasal 190 yang intinya adalah : 1. Pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu/Panwaslu sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan
pelaksanaan pemilu.
melakukan
pengawasan
terhadap
setiap
tahapan
7
2. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. 3. Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3
hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. 4. Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran dan dapat diperpanjang selama 5 hari apabila dianggap perlu. 5. Berdasarkan kajian tersebut,
Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah
temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi: 1. Pelanggaran pemilu yang bersifat administratif diteruskan kepada KPU, KPU propinsi dan KPU kabupaten/kota 2. Pelanggaran yang mengandung unsur pidana kemudian meneruskannya kepada instansi penyidik kepolisian negara republik Indonesia Penanganan Pelanggaran pidana pemilu presiden dan wakil presiden adalah sebagai berikut : 1. diproses melalui pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum yang ditangani oleh hakim khusus. Pengaturan lebih jauh mengenai hakim khusus tersebut akan diatur melalui Peraturan MA. Kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara. 2.
Dalam jangka waktu 14 hari setelah laporan dari Bawaslu, penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).
3. Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada
8
penyidik Kepolisian disertai dengan petunjuk
untuk melengkapi berkas
bersangkutan. 4. Perbaikan
berkas
oleh
penyidik
maksimal
3 hari untuk kemudian
dikembalikan kepada PU. 5. Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. 6. Tujuh hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Kepada pihak yang tidak menerima putusan PN tersebut memiliki kesempatan banding ke Pengadilan Tinggi. 7. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima. 8. PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding
sebagaimana dimaksud paling lama 7 hari setelah permohonan
banding diterima. 9. Putusan
banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan
mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain. 10. Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan
putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana
dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa. 11. Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat
mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan
pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. 12. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU,
KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah
menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan.
9
Dalam mekanisme penyelesaian pelanggaran pidana pemilu ini beberapa permasalahan ditemukan yaitu: UU nomor 42 tahun 2008 tidak mengatur mengenai Sentra Penegakan Hukum Terpadu (GAKUMDU) sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 8 tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimana
Penegakan Hukum Terpadu (GAKUMDU)
Sentra
merupakan forum bersama antara
Pengawas Pemilu, Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia, dimana mempunyai fungsi dan tanggung jawab yaitu7; 1. Sebagai forum koordinasi antar pihak dalam proses tindak pidana Pemilu; 2. Pelaksanaan pola pelanggaran pidana Pemilu; 3. Sebagai pusat data dan informasi tentang pelanggaran pidana Pemilu; 4. Pertukaran data dan/atau informasi; 5. Peningkatan kompetensi dalam penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu; 6. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu. Walaupun tidak diatur dalam UU Pilpres, akan tetapi Nota kesepakatan bersama
Badan Pengawas Pemilihan Umum RI, Kepolisian Negara RI dan
Kejaksaan RI nomor Kep-005/A/JA/01/2013 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam prakteknya Gakumdu akan menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat
mendesak
terkait
indikasi
pelanggaran
pidana
pemilu
dengan
pemahaman yang sama terhadap peristiwa atau laporan indikasi terjadinya tindak pidana pemilu mengingat limitasi waktu yang sempit. Di dalam pengalaman pemilu sebelumnya koordinasi ini sangat penting dan menyelesaikan
7
Selengkapnya lihat
Nota kesepakatan bersama
Badan Pengawas Pemilihan Umum RI,
Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan RI nomor Kep-005/A/JA/01/2013 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu.
10
berbagai permasalahan dan “kebuntuan” dalam menangani setiap laporan dugaan terjadinya pelanggaran pidana pemilu. Yang perlu diperhatikan dan dicermati adalah hukum acara tindak pidana pemilu harus dipatuhi oleh semua pihak karena merupakan syarat formil yang harus dipenuhi dalam suatu pemeriksaan atau pemberkasan. Sehingga apabila syarat formil mengenai batas waktu penanganan terlewati maka dapat dianggap daluwarsa dan cacat formil yang akan rentan „digugat‟ keabsahannya. III. Peran serta Kejaksaan menghadapi pemilu tahun 2014 Kejaksaan Republik Indonesia membuat kerjasama dengan instansi lain untuk mensukseskan pemilu 2014, diantaranya : 1. Nota Kesepakatan bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum RI, Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan RI nomor Kep-005/A/JA/01/2013 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu). 2. Nota Kesepahaman Bersama Nomor Kep-107/A/JA/07/2013 tanggal 22 Juli 2013 dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk pemanfaatan sarana Video Conference di 31 Kantor Kejaksaan Tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia guna penyelesaian dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu Beberapa upaya Kejaksaan dalam mendukung pelaksanaan Pemilu 2014 : 1. Telah diterbitkan buku ”Pedoman Penanganan Tindak Pidana Pemilu” berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :SE012/A/JA/04/2013 tanggal 26 April 2013; 2. Pengarahan Jaksa Agung Republik Indonesia melalui media Teleconference tanggal 27 Juni 2013 terkait pemilu 2014; 3. Instruksi Jaksa Agung nomor 11/Insja/JA/11/2013 tanggal 29 November 2013 tentang
Pelaksanaan Hasil Rapat Kerja Kejaksaan RI tahun 2013 yang
mengamanatkan kenetralan pegawai Kejaksaan dalam pemilu 2014 dan ikut berperan aktif dalam mensukseskan pemilu 2014; 4. Peran
intelijen
diarahkan
untuk
melaksanakan
dan
berperan
aktif
mensukseskan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 2 tahun 2013 tentang
11
Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri, hal ini telah ditekankan dalam surat nomor :B-85/E/EJP/03/2013 tanggal 21 Maret 2013 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia; 5. Disamping itu Kejaksaan juga telah menyiapkan personil Jaksa untuk menangani berbagai persoalan yang akan muncul dalam proses pemilihan umum tahun 2014, terkait dengan tindak pidana pemilu telah disiapkan Jaksa selaku penuntut umum yang akan dikoordinir melalui bidang pidum dan yang terkait dengan sengketa pemilu telah disiapkan Jaksa Pengacara Negara yang akan dikoordinir
oleh bidang Datun serta kesiapan agen Intelijen sebagai
peran aktif Kejaksaan dalam menghadapi pemilu 2014 yang dikoordinir oleh bidang Intelijen. 6. Saat ini sudah mulai dilakukan pelatihan untuk Jaksa pemilu tahun 2014 di Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia Sistem penanganan perkara pemilu TAHUN 2014 melalui Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :SE-012/A/JA/04/2013 tanggal 26 april 2013 telah menegaskan : 1. Untuk Jaksa Pemilu tidak ada jaksa khusus yang menangani berdasarkan penunjukan dari Jaksa Agung RI, penunjukannya diserahkan kepada Kepala Kejaksaan tinggi , hal ini telah dinyatakan dalam Surat Edaran JAMPIDUM nomor :B-1086/E/Ejp/04/2013 tanggal 12 April 2013 2. Batas waktu yang singkat dalam proses penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana pemilu maka dilakukan koordinasi yang efektif dengan penyidik, pengadilan maupun Panwaslu/Bawaslu setempat. 3. Penegasan putusan banding adalah putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali 4. Pelimpahan perkara menggunakan acara pemeriksaan biasa (APB) atau acara pemeriksaan singkat ( APS) tergantung dari bobot perkaranya. 5. SOP penanganan pemilu berpedoman pada prosedur Gakumdu sesuai surat nomor :B-1086/E/EJP/04/2013 tanggal 12 April 2013.
12
6. Penuntutan tetap berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung nomor SE013/A/JA/12/2011 tentang pedoman Tuntutan Pidana perkara tindak Pidana umum dan terhadap perkara yang menarik perhatian masyarakat tetap berlaku PK Ting sesuai dengan surat JAMPIDUM nomor B-16/E/Ejp/03/2002 tanggal 11 maret 2002. 7. Pengalaman
dalam
menangani
perkara
tindak
pidana
pemilu
pada
penyelenggaraan pemilu sebelumnya, permasalahan ada yang dikoordinasikan secara nasional, yaitu penegak hukum ditingkat pusat dan Bawaslu namun ada permasalahan ditingkat daerah baik propinsi maupun kabupaten melalui panwaslu/penegak hukum setempat dengan koordinasi yang efektif. Sedangkan untuk Kesiapan personil dalam penanganan perkara pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014 dan Pemilu Presiden 2014 telah dilaksanakan : 1. Diklat tindak pidana pemilu yang melibatkan para Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) dan Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) seluruh Indonesia. 2. Telah ditunjuk Jaksa yang akan menangani pelanggaran Pidana Pemilu oleh Kepala Kejaksaan Tinggi baik yang akan menangani perkara tindak pidana pemilu di tingkat Kejati maupun Kejaksaan Negeri. Seperti telah disampikan diatas bahwa tugas Kejaksaan tidak terbatas pada penanganan tindak pidana pemilu, untuk itu sekilas kami sampaikan untuk bidang datun, Kejaksaan menangani perkara mewakili pemerintah/KPU untuk perselisihan hasil pemilu yang biasanya terjadi antara KPU versus Peserta Pemilu. Kemudian peran intelijen Kejaksaan dalam mensukseskan pemilu 2014 melalui upaya : 1. Pertama, pembentukan posko pemantau Pemilu tahun 2014 sesuai surat JAM Intelijen
Nomor :
B-019/D/Dsp.1/01/2014
Tanggal
10
Januari
2014.
Pembentukan ini tidak hanya di tingkat pusat Kejaksaan Agung RI, tetapi juga sampai ke Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri.
13
2. Kedua, Intelijen Kejaksaan diminta untuk memberikan informasi dan data yang akurat kepada pimpinan. Informasi dan data akurat ini dibutuhkan untuk menentukan langkah-langkah kebijakan penegakan hukum di bidang Pemilu. 3. Ketiga,
Intelijen
kejaksaan
diwajibkan
untuk
dapat
mendeteksi
dan
mengidentifikasikan kerawanan dan potensi-potensi gangguan keamanan dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. 4. Keempat, intelijen Kejaksaan memberikan dukungan terhadap bidang PIDUM dalam penyelesaian pelanggaran tindak pidana Pemilu dan bidang DATUN dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dan perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi. IV.
PENUTUP Hukum acara dalam penanganan pelanggaran pidana pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 memiliki keterbatasan waktu. Untuk itu dibutuhkan ketaatan terutama dari Bawaslu/Panwaslu maupun Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim untuk memperhatikan syarat formil tersebut karena menyangkut keabsahan dari proses pemeriksaan menyangkut cacat formil dan daluarsa. Sedangkan untuk kategori tindak pidana pemilu hanya terkategori menjadi
pelanggaran pemilu, berbeda dengan pemilu legislatif yang
mengkategorisasikan menjadi pelanggaran dan kejahatan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilu yang merupakan hajatan politik dalam pelaksaan penegakan hukum dimungkinkan akan terjadi intervensi politik dalam menegakan hukum tindak pidana pemilu. Untuk itu Kejaksaan dalam posisi netral dan kepada Jaksa diminta untuk bertindak profesional serta menjaga integritas dalam
menangani perkara pelanggaran pidana
pemilu. Harapan terbesar dari penegakan hukum pelanggaran pidana pemilu yang adil, transparan dan menjamin kepastian hukum adalah terciptanya iklim kondusif yang akan membawa bangsa dan negara memiliki pemimpin
14
yang amanah dan sanggup membuat masyarakat makmur dan sejahtera. Kejaksaan ingin menjadi salah satu kontributor untuk mewujudkan cita mulia tersebut. Amin.
Jakarta, 03 Juni 2014
15
DAFTAR REFERENSI UU Nomor 8 tahun 2012 tentang tentang Pemiilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :SE-012/A/JA/04/2013 tanggal 26 april 2013 Surat Edaran JAMPIDUM nomor :B-1086/E/Ejp/04/2013 tanggal 12 April 2013 SOP penanganan pemilu surat nomor :B-1086/E/EJP/04/2013 tanggal 12 April 2013. Surat Edaran Jaksa Agung nomor SE-013/A/JA/12/2011 tentang pedoman Tuntutan Pidana perkara tindak Pidana umum surat JAMPIDUM nomor B-16/E/Ejp/03/2002 tanggal 11 maret 2002. Sumber Lain http://news.liputan6.com/read/748800/mencermati-berbagai-masalah-pemilu2014,diunduh tanggal 15 Januari 2014 http://kpuindragirihulu.wordpress.com/2013/10/27/memahami-uu-no-08-tahun2012-tentang-pemilu-dpr-dpd-dan-dprd/, di unduh tanggal 15 januari 2014 http://www.antaranews.com/berita/432152/peneliti-potensi-konflik-jelangpilpres-2014-tinggi, diunduh tanggal 07 Mei 2014