BAB I PENDAHULUAN
I. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak era reformasi bergulir pada tahun 1998 lalu, Indonesia telah melaksanakan 3 (tiga) kali pemilu untuk memilih anggota legislatif yaitu tahun 1999,2004 dan 2009 serta dua kali pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004 dan 2009. Pemilu berikutnya akan berlangsung tahun 2014 ini dengan menggunakan landasan yuridis yang baru yaitu UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Landasan yuridis ini sangat penting bagi upaya penguata demokrasi di Indonesia, sehingga pasca masa transisi demokrasi. Terhadap pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU. No. 10 Tahun 2008 ini mengatur berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pemilu yaitu seperti tentang penyusunan daftar pemilih yang sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dengan memberikan ruang yang lebih bebas kepada rakyat. Salah satu aturan yang penting adalah terkait dengan tidak perlunya lagi kartu pemilih dalam memberikan suaranya di TPS, tetapi cukup dengan KTP. Namun demikian pemilih harus terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap yang disusun KPU. Dalam proses penyusunan daftar pemilih, masyarakat diberikan kesempatan 2 (dua) kali untuk memberikan tanggapan, sehingga diharapkan dapat memberikan ruang yang luas untuk koreksi. Namun hal itu pun sangat tergantung
1
2
kepada profesionalisme aparat KPU itu sendiri. Daftar pemilih disusun berdasarkan basis RT, sehingga lebih mudah untuk melakukan pengawasan. Hal lain yang diatur adalah terkait dengan sistem pemilu khususnya sistem pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD yaitu sistem proporsional terbuka. Secara prinsipil, sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu 2009 adalah sistem pemilu yang lebih demokratis berdasarkan kebutuhan peningkatan derajat keterwakilan dan kondisi geopolitik Indonesia. Oleh karena itu pemilu 2009 harus dilaksanakan efektif dan efisien.berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Materi penting lainnya dalam UU No. 10 tahun 2008 adalah tentang penghitungan suara yang berusaha mencerminkan rasa keadilan terhadap partai politik yang memperoleh suara yang signifikan. Meskipun materi ini menjadi satusatunya materi yang diambil keputusannya melalui pemungutan suara di Rapat Paripurna, tetapi hal tersebut sudah menjadi kesepakatan dan pemahaman dari fraksifraksi di DPR maupun Pemerintah bahwa substansinya partai politik yang memperoleh suara signifikan harus memperoleh kursi yang proporsional dalam koridor sistem pemilu proporsional terbuka. Dasar penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU khususnya untuk menetapkan perolehan kursi setiap partai politik di DPR adalah perolehan suara sah secara nasional untuk setiap partai politik. Aturan baru yang diarahkan untuk menciptakan multi partai sederhana secara alamiah adalah parliamentary threshold (PT) sebesar 2,5% dari suara sah nasional secara keseluruhan.
3
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdapat ketentuan adanya Parliamentary Threshold sebesar 2,5 % dari suara sah nasional. Dengan adanya ketentuan parliamentary threshold, partai politik untuk dapat duduk di parlemen maka harus mencapai angka 2,5 % dari suara sah nasional, dengan begitu maka partai politik tersebut berhak untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Pada penentuan perolehan kursi DPR menggunakan sistem sisa suara terbesar (largest remainder) varian hare dengan syarat. Penentuan kursi partai dilakukan setelah ada pengurangan suara dari parta-partai yang tidak memenuhi Parliamentary Threshold dan sisa kursi yang belum habis dibagi pada penghitungan pertama disebuah daerah pemilihan diberikan kepada partai yang mendapat suara lebih dari 50% BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Apabila masih terdapat sisa kursi di sebuah daerah pemilihan tetapi perolehan suara sisa partai tidak mencapai 50% BPP maka suara partai diakumulasikan ditingkat provinsi untuk dibuat bilangan pembagi pemilih yang baru untuk menetukan partai yang berhak mendapat kursi. Implikasi dari penghitungan perolehan kursi tersebut adalah pada penghitungan perolehan suara partai di DPR, partai-partai besar akan diuntungkan dan partai-partai kecil dan menengah akan dirugikan. Hal ini dikarenakan penentuan perolehan jumlah kursi didasarkan atas hasil penghitungan seluruh
4
suara sah dari setiap partai politik setelah dikurangi perolehan suara partai-partai yang tidak memenuhi Parliamentary Threshold sebesar 2,5%. Adanya pengurangan tersebut menegaskan bahwa dengan Parliamentary Threshold ini partai-partai besar akan diprioritaskan untuk memperoleh kursi DPR berdasarkan perolehan suara sahnya terlebih dahulu dari pada partai-partai kecil dan menengah yang hanya akan memperoleh kursi sisa, itupun jika terdapat sisa kursi. Dengan demikian Penerapan PT dapat menjadi disintensif bagi para elit politik, sebab mereka terpaksa harus serius terhadap perkembangan dan pertumbuhan partai, bagi mereka memperbesar eksistensi parpol jauh lebih penting ketimbang memperebutkan 1-2 kursi diparlemen. Parliamentary
Threshold
(PT)
dapat
menjadi
jembatan
untuk
menghadirkan parpol besar dan kuat dikemudian hari sekaligus akan tercipta penyederhanaan partai. Parliamentary Threshold (PT) dinilai akan lebih efektif dalam menyederhanakan partai secara natural dan tidak melanggar hak berserikat yang dimiliki setiap warga negara Indonesia. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar partai politik dibentuk tidak hanya sekedar untuk ikut pemilu tapi partai politik dibuat supaya fungsi-fungsi partai politik dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga partai politik dapat menjadi wahana dan sarana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan rakyat pun akan kembali menghormati dan menghargai partai politik karena sesungguhnya demokrasi tidak akan ada tanpa partai politik.
5
Mencermati kondisi tersebut tentunya bahwa peluang penyederhanaan partai politik pada suatu negara yang bersistem pemilu proporsional melalui Electoral threshold dan Parliamentary Threshold akan kurang berhasil. Sebab sistem pemilu yang digunakan tidak memiliki dukungan terhadap upaya penyederhanaan partai politik, justru malah sebaliknya, yaitu berpotensi mempermudah fragmentasi partai dan memperbanyak jumlah partai politik. Fragmentasi partai ini terjadi karena dalam sistem proporsional sering dikombinasikan dengan sistem daftar sehingga memicu konflik internal dalam suatu partai anggotanya cenderung akan memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru untuk memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui pemilu, sehingga kurang menggalang kekompakan dalam tubuh partai. Dari hal inilah akhirnya jumlah partai politik akan semakin bertambah, sebab pengecualian ketentuan electoral treshold dalam Undang-undang pun memperbolehkan untuk mengikuti pemilu berikutnya asalkan memiliki
kursi
perkembangannya
di
DPR
dari
hasil
banyak
pula
partai
pemilu lama
sebelumnya. mengubah
Lalu namanya
dalam atau
menambahkan satu kata di belakang nama partai sebelumnya, seperti terjadi pada partai keadilan yang berubah nama menjadi partai keadilan sejahtera, atau Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) metamorfosis dari Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Artinya partai yang tidak memenuhi Electoral threshold tetap ikut pemilu berikutnya dengan karakter partai serta pengurus partainya tidak
6
berubah. Ketentuan inipula yang menyebabkan perkembangan partai politik peserta pemilu dari tahun 2004 ke pemilu 2009 justru semakin bertambah. Tampak terdapat perbedaan pada pemilihan umum legislatif pada tahun 2009 selain cara pemilihannya yang berubah dari pencoblosan menjadi penyontrengan yaitu penetapan perolehan suara pada pemilihan umum anggota DPR RI. Untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, partai politik harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5 % dari jumlah suara sah secara nasional. Penetapan perolehan suara ini menggunakan konsep ambang batas minimal yang juga dikenal dengan Parliamentary Threshold. merupakan salah satu pola penyederhanaan partai politik melalui peraturan perundangundangan. Parliamentary Threshold diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dengan ketentuan ini, Parpol yang tak beroleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus. Kemudian, Pasal 202 ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa konsep parliamentary threshold tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebagai suatu konsep yang baru dalam pemilihan umum anggota DPR, parliamentary threshold menuai banyak pro dan kontra. Pihak yang pro menyatakan bahwa konsep
ini merupakan konsep
yang bagus untuk
menyederhanakan partai politik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai di Indonesia yang dianggap
7
tidak cocok bila disandingkan bersama. Scott Mainwaring yang melakukan studi perbandingan
politik
negara-negara
berkembang
tentang
hubungan
presidensialisme, multipartai dan demokrasi pada tahun 1993 juga menyatakan bahwa sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai.1. Kombinasi kedua sistem ini mengakibatkan sulitnya membangun koalisi antarpartai politik dan hal ini tentu saja dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan pihak yang kontra melihat aturan parliamentary threshold tidak adil bagi partai politik baru dan hanya menguntungkan partai politik besar. Hal ini bisa dilihat menjelang pemilihan umum tahun 2009 dimana koalisi 10 partai politik peserta pemilu mengajukan uji materi Pasal 202 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 kepada Mahkamah Konstitusi. Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, Partai Golkar mengusulkan kenaikan parliamentary threshold menjadi 5 % karena 5 % dianggap cukup ideal untuk sistem kepartaian di Indonesia dan baik untuk penyederhanaan partai politik Usulan Partai Golkar pun memperoleh respon yang berbeda dari berbagai partai politik yang ada di Indonesia. Ada partai yang menyetujui usulan ini dengan alasan yang sama dan ada partai yang menolak usulan ini karena dikhawatirkan kenaikan perliamentaryu threshold akan menyebabkan semakin banyak suara yang akan hilang dalam pemilu dan menurut partai politik lain, penyederhanaan partai politik tidak harus dengan cara kenaikan parliamentary threshold.
1
Scott Mainwaring.1997. Presidential Institutions and Democratic Politics : Comparing Regional and National Contexts. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Hal. 264
8
Dan berdasarkan latar belakang diatas
maka penulis tertarik untuk
mengangkat judul : “Konsep dan Penerapan Parliamentary Threshold Dalam Rangka Pengisian Jabatan Anggota DPR RI Sebagai Pelaksanaan UU No 10 Tahun 2008 ”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana konsep dasar sistem Parliamentary Threshold dan penerapan Parliamentary Threshold dalam pemilihan umum anggota DPR RI?
2.
Apakah dampak Parliamentary Threshold terhadap sistem kepartian dan sistem pemeritahan di Indonesia?
1.3 Ruang lingkup Masalah Pada penulisan karya ilmiah skripsi perlu ditegaskan tentang pembahasan, untuk menghindari agar uraian yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Adapun pembahasan terhadap permasalahan dalam skripsi ini terbatas pada : Pertama, membahas mengenai konsep dasar dan penerapan sistem parlemantary threshold didalam pelaksanaan Pemilu diindonesia.
9
kedua membahas mengenai apakah penerapan parlemantary threshold dalam pemilu di Indonesia yang diatur didalam Undang- undang no 10 tahun 2008 tidak melanggar hak- hak yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
1.4 Tujuan Penelitian Bahwa sudah merupakan suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa untuk dapat menunjukkan kemampuannya dalam menyelesaikan suatu karya tulis yang bersifat ilmiah atas dasar tersebut, penulisan skripsi ini bertujuan : 1.4.1 Tujuan Umum Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis terhadap sistem Pemilu di Indonesia yang diatur dalam Undang- Undang no 10 tahun 2008, khususnya dalam penerapan sistem parlemantary threshold dalam pemilihananggoat legislative/DPR RI
1.4.2 Tujuan Khusus a. Untuk memahami pelaksanaan sistem pemilihan umum yang digunakan
di
Indonesia
terkait
dengan
penggunaan
sistem
Parliamentary Threshold. b. Untuk mengetahui dampak- dampak dari pelaksanaaan parlemantary threshold dalam sistem Pemilu di Indonesia.
10
1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Bermanfaat dalam perkembangan ilmu hukum dan kajian akedemik
khususnya
mengenai
sistem
pemilu
dan
pelaksanaan
parlemantary threshold diIndonesia. b. Manfaat Praktis Bemanafaat bagi pemerintah sebagai bahan dalam memberikan solusi dan jalan keluar diatas permasalahan yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan Pemilu dan sistem parlemantary threshold dindonesia
1.6 Landasan Teoritis Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.2 Dalam hubungan antara negara hukum dan kedaulatan rakyat, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara yang notabene sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah tetap harus mematuhi hukum yang secara legal formal hukum itu dibuat oleh pemerintah. Pemerintah sebagai legislator dalam konteks Indonesia yaitu DPR yang dibantu presiden dalam membuat peraturan yang jangkauan pengaturannya 2
hlm 76
Ni’matul Huda, 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
11
meliputi secara nasional, disisi lain pemerintah harus juga mematuhi peraturan tersebut dalam pelaksanaan pemerintahan di negara ini baik tingkat pusat maupun daerah. Jadi pemerintah sebagai legislator yang salah satu tujuannya dalam menjalankan pemerintahan yaitu kesejahteraan rakyatnya disamping itu sebagai wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dalam membuat aturan hukum juga harus sesuai dengan kehendak ( aspirasi ) rakyat, sehingga kedaulatan rakyat yang dijalankan pemerintah yang pelaksanaannya melalui aturan (hukum) saling keterkaitan keduanya demi kemajuan bangsa ini. Begitu eratnya hubungan antar paham negara hukum dengan kerakyatan sehingga ada sebutan negara hukum yang demokratis. Scheltema memandang kedaulatan rakyat ( democratie beginsel ) sebagai salah satu dari empat asas negara hukum, selain rechtszekerheidbeginsel, gelijkheid beginsel, dan het beginsel van de dienendeoverheid, dalam kaitannya dengan negara hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum, selain masalah kesejahteraan rakyat.3 Di negara – negara Eropa Kontinental, konsepsi negara hukum mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama perkembangan terhadap asas legalitas yang semula diartikan sebagai pemerintahan berdasarkan
Undang
–
Undang
kemudian
berkembang
menjadi
pemerintahan berdasarkan hukum, terjadinya perkembangan tersebut
3
Ibid, hlm 77
12
merupakan konsekuensi dari perkembangan konsepsi negara hukum materiil sehingga pemerintah diserahi tugas dan tanggung jawab yang semakin berat dan besar untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. 4 Akibat dari penyerahan tugas dan wewenang yang diberikan kepada negara tersebut yaitu negara dalam praktek penyelenggaraan pemerintahannya mempunyai kebebasan yang luas dalam artian untuk menuju cita kemakmuran rakyatnya, dalam hal inilah arti penting adanya hukum dimana dalam konteks hubungan hukum dengan pemerintahan mempunyai misi untuk mencegah kesewenangan negara terhadap rakyatnya, karena sesuai ungkapan bahwa kekuasaan cenderung untuk korup maka kekuasaan negara yang besar dan luas tersebut harus sesuai dengan rambu – rambu hukum. Dalam artian hukum disini juga harus sesuai dengan kehendak rakyatnya, bukannya hukum untuk melegitimasi kekuasan negara yang korup. Salah satu asas dalam negara hukum adalah asas legalitas, yaitu bahwa tanpa adanya dasar aturan ( Undang – Undang ) yang mengatur lebih dulu tentang suatu hal maka dalam konteks penyelenggaran pemerintahan, pemerintah tidak berwenang untuk melakukan tugas dan wewenangnya bahkan menyalahi aturan yang telah ada. Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum, gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk Undang – Undang dan
4
Ibid
13
berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan lebih banyak memperhatikan kepentingan rakyatnya.5 Negara hukum sendiri menuntut agar penyelenggaraan negara oleh pemerintah harus didasarkan atas Undang – Undang sekaligus dengan memberikan jaminan terhadap hak dasar rakyat yang tertuang dalam UUD. Menurut Sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar – pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif. 6 Secara
yuridis,
asas
legalitas dapat
diperoleh dari suatu
badan/pejabat administrasi melalui atributif ( legislator ), baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, di Indonesia asas legalitas yang berupa atributif di tingkat pusat diperoleh dari MPR berupa UUD dan dari DPR yang bekerja sama dengan pemerintah berupa Undang – Undang, sedangkan atributif yang diperoleh dari pemerintahan di tingkat daerah yang bersumber dari DPRD dan Pemerintahan Daerah adalah peraturan daerah. 7 Beberapa wewenang di atas berasal dari pembuat Undang – Undang asli yaitu wakil rakyat di parlemen dan dari sinilah penyerahan wewenang kepada badan/pejabat administrasi di praktek penyelenggaraan pemerintahan yang mana wewenang ini sah secara yuridis dan mengikat
5
Ibid, hlm 78 Ibid 7 Ibid, hlm 79 6
14
secara umum karena Undang – Undang tersebut telah disetujui oleh wakil rakyat. Ada perbedaan pandangan tentang cita –cita kenegaraan dalam UUD 1945 di salah satu pihak menyatakan cita kenegaraan ini adalah kekeluargaan yang oleh Soepomo disebut Integralistik, sementara di pihak lain cita kenegaraan ini adalah demokrasi karena adanya jaminan HAM di dalam UUD 1945. Bila ingin meneliti apakah sebenarnya cita kenegaraan Indonesia tentunya kita harus mengetahui sejarah dari pembentukan dasar negara yang tertuang dalam Konstitusi yaitu UUD 1945. 1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Morin L. Cohhen dan Kent memberikan definisi tentang penelitian hukum, yaitu sebagai berikut : “ legal research is an esensial component of legal practice. It is proses off finding the law that the fovers an activity and materials that explain or analys that law. The resources give the lawyer the knowledge with wich orovide accurate and insightful advise to the draf affective document or devent their client right in court" 8
Artinya: Penelitia hukum adalah suatu komponen dari praktek hukum yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu kegiatan dan menjelaskan substansi atau anlisis huku. Dalam hal ini penelitian hukum memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk membantu suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak- hak klennya di pengadilan.
Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, “Legal Research”, 7 ed, West Group, St Pail Minn. Virginia, hlm 1 8
15
Penelitian skripsi yang berjudul “Penerapan Undang- undang no 10 tahun 2008 dan Penerapan Parlemantary Threshold Dalam Rangka Pengisian Jabatan Anggota DPR-RI” ini dilakukan dengan penelitian hukum yuridis normarif. Metode penelitian nrmatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma- norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan, konvensi internasional dan putusan- putusan pengadilan. Didalam penulisan skripsi ini dilakukan dalam beberapa pendekatan yaitu: 1) Statue approach ( pendekatan perundang- undangan), maksudnya pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari paraturanperaturan perundang- undangan yang berkaitan dengan penelitian; 2) Analitical& Conseptual approach (pendekatan analisis konsep hukum), maksudnya adalah dengan pendekatan tersebut dapat dicari pembenaran atas suatu asas- asas yang dapat dipergunakan didalam penelitia b. Sumber Bahan Hukum Sumber data disini adalah berupa bahan-bahan yang ada kaitannya dengan penulian skripsi. a.Sumber data Primer yaitu menggunakan Undang- undang dan peraturan hukum. b.Sumber bahan hukum sekunder yaitu data yang diambil dari bahan bacaan yang ada dan dari buku-buku yang lain sepanjang berhubungan dengan masalah yang dibahas. c. Teknik Pengolahan bahan hukum dan Analisis Bahan Hukum Setelah semua data dikumpulkan maka langkah selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis secara kualilatif yaitu data yang bersangkutan
16
dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya tetapi tetap bertumpu dengan isinya, dan tanpa dihitung jumlah dan frekuensi dari seluruh data yang diperoleh dengan kata lain tanpa menggunakan angka-angka.