KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Paradigma Adopsi Inovasi Paradigma lama kebijakan pembangunan selama ini mengalami distorsi terhadap pluralitas bangsa dengan melakukan perencanaan program pembangunan dari atas (top down planning) dan menggunakan pola penyeragaman dalam strategi pembangunan masyarakat yang bersifat instruktif. Hal ini berlaku pada kegiatan penelitian dan transfer inovasi teknologi. Penyuluhan harus dilaksanakan sesuai dengan juklak dan juknisnya sehingga masyarakat hanya berperan sebagai obyek pembangunan. Usaha di atas secara teknis seringkali mengalami kegagalan. Transfer teknologi dari stasiun penelitian ke lahan petani seringkali hanya diadopsi sebagian atau bahkan tidak diadopsi sama sekali oleh petani. Para petani umumnya memiliki sumber daya yang terbatas, dengan kondisi sosio-ekonomi atau budaya yang berbeda dengan kondisi di stasiun percobaan inovasi teknologi. Pola pertanian ladang berpindah, menanam jenis umbi-umbian seperti ubi jalar (betatas), keladi, ubi kayu dan kini wortel adalah “budaya” pertanian masyarakat Papua Barat yang sulit diintroduksi dengan pola pertanian atau inovasi baru lainnya. Ubi jalar dan keladi, selain merupakan makanan pokok bagi masyarakat Papua Barat juga memiliki nilainilai yang dipercayai untuk kehidupan mereka. Introduksi tanaman pertanian yang baru seperti kentang, wortel, jagung, jeruk, buncis, bawang, kol, kacang tanah dilakukan oleh missi keagamaan dan Pemerintah, namun tidak jarang mendapat penolakan dari masyarakat setempat (Widjojo dan Yogaswara, 1995:93). Model difusi dan adopsi inovasi telah dikritik oleh Downs, Mohr dan Gonzales (Jahi, 1988:41) sebagai model yang sarat dengan nilai melalui asumsi bahwa inovasi tersebut baik dan adopsi ialah sesuatu yang dengan sendirinya diinginkan. Dalam hal ini pertanian bukan hanya sekadar mata pencaharian, melainkan cara hidup masyarakat. Kegiatan pertanian mengandung makna hubungan antara petani dengan tanahnya, dan dalam hubungan tersebut melibatkan kepercayaan dan cara hidup petani (Mead, 1960:179). Dipertegas oleh Gonzales (Jahi, 1988:43) bahwa penolakan suatu inovasi tidak selamanya boleh dianggap sebagai gejala keterbelakangan (konservatif), tetapi penolakan ini malah menunjukkan kekreatifan penduduk setempat. 64
Pola pertanian tersebut di atas yang kurang dipahami oleh peneliti dan penyuluh. Susanto (1985:13), Fujisaka (1993:271), Pretty (1995:320) menemukan penyebab para petani menolak teknologi inovasi adalah: (1) Teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak menjawab masalah yang dihadapi petani sasaran; (2) Teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan dengan teknologi lokal yang sudah ada; (3) Inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, norma budaya, pranata sosial dan kebiasaan masyarakat setempat; (4) Penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai; (5) Sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat, tidak informatif dan tidak dimengerti; dan (6) Ketidak-pedulian petani terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu dan telah merasa puas dengan apa yang dirasakan saat ini. Masyarakat Papua Barat, cepat atau lambat pasti mengalami perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yaitu perubahan yang terencana sehingga masyarakat tersebut meningkat kesejahteraannya. Berbagai studi tentang masyarakat dan pembangunan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang sering disebut inovasi memiliki peran yang besar terhadap perubahan sosial budaya di masyarakat (ESCAP, 1984:3; Rogers, 1983:12).
Namun demikian, teknologi sendiri tidak dapat
merubah masyarakat tanpa peran serta lembaga-lembaga sosial budaya. Penerimaan inovasi menyangkut kesiapan, kebutuhan, dan manfaat inovasi tersebut bagi masyarakat setempat (Savitri, 1997:26-27). Pola Pengaruh dalam Keputusan Adopsi Inovasi Menurut Rogers (1983:164), proses pengambilan keputusan adopsi inovasi adalah suatu proses mental sejak seseorang individu atau organisasi mulai dari pertama kali menyadari adanya suatu inovasi, membentuk sikap terhadap inovasi tersebut, memutuskan untuk menolak atau menerima, mengimplementasikan suatu ide baru, dan membuat konfirmasi atas keputusannya menerima atau menolak inovasi. Mental itu sendiri, menurut Koentjaraningrat (2004:5-8), adalah salah satu wujud dari kebudayaan yang paling abstrak, namun dapat dilihat dari perilaku (wujud ke-2) dan karya (wujud ke-3) manusia itu sendiri.
65
Proses keputusan untuk mengadopsi atau menolak sesuatu inovasi bukanlah suatu keputusan yang mendadak. Keputusan tersebut merupakan keputusan yang terjadi setelah melewati suatu proses yang panjang dan berbagai tahapan. Pengambilan keputusan adopsi inovasi oleh individu umumnya bersifat opsional atau pilihan.
Proses pengambilan
keputusan adopsi inovasi opsional oleh individu umumnya lebih singkat dibanding oleh kelompok atau suatu lembaga. Menurut Rogers (1983:211-232), pengambilan keputusan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor: (1) Saluran komunikasi (interpersonal dan media massa); (2) Kondisi sebelumnya (cara lama, kebutuhan belajar, keinovatifan, norma dari sistem sosial); (3) Karakteristik unit pengadopsi (sosial, ekonomi, budaya; variabel kepribadian; perilaku komunikasi); (4) Karakteristik inovasi (keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan dicoba, dan, kemudahan diamati). Pengaruh Kondisi Adopter terhadap Tahap Pengetahuan Adopsi Soedijanto (2004:3-4) mengatakan bahwa dahulu penyuluh pertanian menghadapi petani produsen tetapi sekarang menghadapi petani pengusaha (agribisnis) yang memiliki budaya berlainan dengan petani produsen. Penyuluh bukanlah proses transfer teknologi, tetapi proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat. Menyuluh bukannya “mengajar cara bertani” melainkan “mengajar petani”. Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran yaitu timbulnya proses belajar dari petani, bukan proses mengajar yang dilakukan oleh penyuluh. Dengan kata lain, diperlukan perubahan pola pendekatan baru dari yang bersifat menggurui (teaching) ke pola saling belajar bersama (learning) antara petani dengan intitusi penelitian dan pembangunan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Cornwall et al. (1994:98-117), yang mengatakan bahwa kunci penerapan pendekatan partisipatif pada berbagai konsteks haruslah pendekatan yang lebih strategis, lebih lentur dan lebih manusiawi. Proses adopsi inovasi menurut Gonzales (Jahi, 1988:38) adalah mengikuti hirarkhi efek belajar yaitu: Belajar – Merasakan – Bertindak. Kondisi adopter sebelum inovasi berlangsung, misalnya kebutuhan akan pengetahuan pertanian, nilai-nilai budaya, dan pengalaman penyuluhan yang pernah mereka terima akan mempengaruhi proses adopsi inovasi, yaitu pada tahap pengetahuan atau perkenalan suatu inovasi. Petani tidak akan mau belajar kalau tidak membutuhkan perubahan perilaku pada usaha taninya. Petani sebagai warga belajar membutuhkan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang akan merubah perilaku untuk memajukan usaha taninya, itulah yang 66
disebut kebutuhan belajar. Aspek pengetahuan disebut pula sebagai aspek kognitif karena untuk mengembangkan kemampuan daya nalar peserta pelajar. Aspek sikap disebut pula aspek afektif karena untuk mengembangkan sikap, budi pekerti dan ahlak sesuai dengan norma-norma, keyakinan dan kepercayaan yang berlaku atau diajarkan oleh agama, adat istiadat peserta belajar. Aspek keterampilan yang disebut pula dengan aspek psikomotorik, yaitu aspek untuk mengembangkan ketrampilan, gerak jasmani atau keahlian tertentu yang sifatnya dapat diamati secara empiris. Kebutuhan belajar dalam proses adopsi inovasi dipengaruhi oleh karakteristik dari adopter itu sendiri. Karateristik terdiri dari kondisi sosial dan ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasinya. Petani yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, berempati, dan akses informasi yang besar akan lebih cepat mengadopsi inovasi. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada masyarakat sering terjadi penolakan.
Hal ini menurut Spicer (Pono, 1990:8) dapat disebabkan adanya
ketidaksesuaian dengan keadaan sosial budaya setempat. Terdapat kesenjangan nilai atau sistem. Timbul ketakutan bahwa masuknya teknologi baru tersebut akan memasukkan nilai-nilai asing yang memiliki standar nilai yang berbeda dan tujuan yang berbeda. Dijelaskan oleh Krober dan Kluckhon (Pono, 1990:9) bahwa kebudayaan adalah cara hidup yang diikuti oleh komunitas termasuk semua prosedur kemasyarakatan yang sudah terpola. Kebudayaan dari suatu suku bangsa merupakan kumpulan dari kepercayaan dan prosedur yang terpola pula. Sesuai dengan wujud kedua dari kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2004:5-8), yaitu aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud ini sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari
manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain, yang dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Tiga wujud kebudayaan (1) abstrak (ide, gagasan, nilai, norma, pengetahuan, peraturan dsb.); (2) sistem sosial; dan (3) benda-benda hasil karya, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan 67
alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya. Nilai-nilai budaya yang dianggap penting karena merupakan aset budaya yang dapat dipakai untuk menunjang pembangunan menurut Koentjaraningrat (2004:34-36) adalah: (1) Nilai budaya yang berorientasi ke masa depan; (2) Nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam; (3) Nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya manusia, dan (4) Nilai budaya tentang pandangan terhadap sesama manusia. Pola pengaruh antara kebutuhan belajar, nilai-nilai budaya, dan sikap adopter terhadap penyuluhan selama ini dengan adopsi inovasi tahap pengetahuan terlihat pada Gambar 1. Tahap pengetahuan
Kondisi Adopter Kebutuhan belajar
Karakteristik Adopter Sosial ekonomi
Nilai-nilai budaya
Kepribadian (Sistem nilai)
Sikap terhadap penyuluhan
Perilaku komunikasi
Gambar 1.
Pengaruh Kondisi dan Karakteristik Adopter terhadap Tahap Pengetahuan Adopsi Inovasi
Pengaruh Faktor-faktor Kekuatan Masyarakat dalam Adopsi Inovasi Faktor-faktor kekuatan masyarakat petani dalam penelitian ini akan dijadikan peubahpeubah independen yang mempengaruhi proses adopsi inovasi (variabel dependen). Terdapat tiga jenis kekuatan dalam masyarakat yaitu:
(1) Kekuatan pendorong, (2)
Kekuatan bertahan, dan (3) Kekuatan pengganggu. Kekuatan pendorong adalah nilai-nilai sosial budaya dalam bentuk instrumen yang akan mendorong kemajuan suatu individu, kelompok dan masyarakat. Termasuk dalam nilai-nilai sosial budaya yang mendorong dalam penelitian ini adalah: (1) Empati, (2) Rasionalitas, (3) Sikap mau ambil risiko, (4) Optimis, (5) Keinovatifan, dan (6) Sikap terhadap perubahan.
68
Sebaliknya kekuatan bertahan adalah nilai-nilai sosial budaya yang mempertahankan sesuatu yang ada dalam kehidupan masyarakat. Biasanya, kekuatan ini dicerminkan oleh rasa menentang setiap inovasi baru atau inovasi tertentu yang diduga akan menimbulkan perubahan terhadap sesuatu yang selama ini telah dimiliki dan dipertahankan, atau disebut nilai-nilai sosial budaya terbelakang. Termasuk dalam nilai-nilai sosial budaya yang bertahan dalam penelitian ini adalah antitesis dari nilai-nilai sosial budaya maju seperti: (1) Antipati, (2) Emosional, (3) Sikap tidak mau ambil risiko, (4) Pesimis, (5) Pasif, dan (6) Konservatif. Faktor kekuatan pengganggu dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang menghambat kecepatan proses adopsi dan difusi inovasi. Rogers (1983), menyatakan atribut atau ciri-ciri inovasi yang mengganggu proses adopsi inovasi adalah: (1) Keuntungan relatif, (2) Kesesuaian, (3) Kerumitan, (4) Bisa dicoba,
(5) Mudah diamati,
dan (6) Ketersediaan alat atau bahan inovasi tersebut di lingkungan petani. Atribut inovasi akan berpengaruh terhadap tahap persuasif adopsi inovasi. Ketiga kekuatan (pendorong, bertahan, dan pengganggu) tersebut berkembang dalam aktivitas keseharian pada suku pedalaman Arfak seperti kegiatan bercocok tanam ubi-ubian, sebagai mata pencaharian utama dan bahan makanan pokok masyarakat pedalaman di Papua Barat. Bertani dengan cara menggunakan pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki secara turun temurun adalah ciri masyarakat yang tinggal di pedalaman yang jauh akses dari dataran rendah atau perkotaan. Saluran komunikasi sangat berperan dalam proses adopsi inovasi tersebut, mulai dari tahap pengetahuan sampai dengan tahap adopsi. Penelitian ini akan dilihat ketiga faktor kekuatan sosial budaya dalam aktivitas bercocok tanam ubi jalar. Hasil pengamatan nilai-nilai sosial budaya melalui pengukuran (skor) akan memperoleh nilai-nilai budaya yang perlu dikembangkan yaitu nilai-nilai budaya yang esensial dan pelengkap (Gambar 2).
69
Kekuatan Pendorong (+)
Kekuatan Bertahan (-)
Empati
Antipati
Rasionalitas
Irasionalitas Sikap tdk mau ambil resiko
Sikap mau ambil risiko Optimis
NilaiEsensial Budaya Pelengkap
Pesimis
Keinovatifan
Pasif
Sikap positif terhadap perubahan
Konservatif
Kekuatan Pengganggu (+/-)
Adopsi Inovasi
Keuntungan relatif Kesesuaian Kerumitan Kemungkinan dicoba Ketersediaan Kemudahan diamati Gambar 2. Pengaruh Faktor-faktor Kekuatan (Sosial Budaya) terhadap Adopsi Inovasi
Kegagalan oleh pengetahuan dan teknologi modern selama ini, telah kembali melirik keberadaan pengetahuan lokal. Muncul suatu pandangan baru yang lebih mengarah ke usaha serius untuk menyuarakan norma, nilai dan pengetahuan ekologi petani, serta strategi petani dalam menghadapi permasalahannya. Adanya usaha perpaduan, saling melengkapi antara pengetahuan – teknologi lokal dengan modern menghasilkan beberapa peluang yaitu (1) Sistem pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah saling melengkapi; (2) Kedua sistem pengetahuan tersebut selaras, menggunakan istilah berbeda untuk hal yang sama; (3) Dua pandangan tersebut saling bertentangan, ini merupakan tantangan yang akan diteliti dalam penelitian ini; dan (4) Pengetahuan lokal tersebut dapat disempurnakan dan dilengkapi dengan gagasan pengetahuan modern. Keterpaduan inilah menghasilkan teknologi tepat guna bagi petani lokal. Cara ini umumnya mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi daripada memberikan rekomendasi dalam bentuk satuan paket teknologi. Terlepas dari ditolaknya paket teknologi tersebut, ternyata para petani juga tertarik pada bagian tertentu dari paket teknologi. Ketertarikan tersebut akan dilanjutkan dengan uji coba dan jika hasilnya seperti yang diharapkan barulah diadopsi (Chambers, 1988:181-190; 70
Fujisaka, 1993:137-152). Para petani seringkali memodifikasi inovasi anjuran tersebut untuk disesuaikan dengan keperluan
dan
keterbatasan
mereka.
Upaya
untuk
memecahkan permasalahan di tingkat petani, banyak ahli menganjurkan suatu penelitian dan pendekatan pembangunan alternatif untuk memperkuat kemampuan uji coba petani (Clarke, 1991:217; den Biggelaar, 1991:25; Anderson dan Sinclair, 1993:345; Ruddell et al., 1997:200). Kebutuhan Belajar (X1): ▪ ▪ ▪
Pengetahuan Ketrampilan Sikap mental
Saluran (X6): ▪
Komunikasi
Interpersonal M di
Orientasi Nilai Budaya (X2): ▪ ▪
Hakikat hidup Hakikat karya manusia
▪
Persepsi manusia terhadap waktu
▪ ▪
Pandangan manusia thdp alam Hakikat hubungan manusia dgn sesamanya
Tahap Pengetahuan (Y1)
(Y2)
Tahap Keputusan (Adopsi) (Y3)
Atribut Inovasi (X5):
Sikap terhadap Penyuluhan (X3): ▪ ▪ ▪
Tahap Persuasif
▪ ▪ ▪ ▪ ▪ ▪
Materi Metode Kehadiran
Keuntungan relatif Kesesuaian Kerumitan Kemungkinan dicoba Kemudahan diamati Kemudahan diperoleh
Karakteristik Petani (X4): ▪ ▪ ▪
Sosial ekonomi Individu/Sistem nilai Komunikasi
Gambar 3. Kerangka Berpikir dan Hubungan saling Pengaruh Peubah Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor perilaku budaya masyarakat Papua Barat atau khususnya Suku Pedalaman Arfak sangat berperan dalam proses adopsi inovasi. Lebih jelas kerangka berpikir dan pengaruh antar peubah dalam penelitian ini tampak pada Gambar 3. Hipotesis Penelitian Penelitian ini selain mengungkap informasi yang bersifat kuantitatif melalui pengujian hipotesis, juga tidak kurang pentingnya informasi yang bersifat kualitatif tentang pengetahuan dan teknologi lokal sebagai peubah penunjang dalam mengungkap fenomena71
fenomena pengaruh sosial budaya dalam penelitian. Beberapa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Terdapat hubungan yang nyata saling mempengaruhi antara kebutuhan belajar, nilainilai budaya, sikap terhadap penyuluhan, dan karakteristik masyarakat petani Arfak terhadap tahap pengetahuan adopsi inovasi; (2) Atribut inovasi yang diterima masyarakat petani Arfak secara nyata berpengaruh terhadap tahap persuasif adopsi inovasi; (3) Saluran komunikasi inovasi yang dimiliki masyarakat petani Arfak secara nyata berpengaruh terhadap tahapan adopsi inovasi (tahap pengetahuan, tahap persuasif, dan tahap keputusan).
72