KERANGKA ACUAN FGD “OUTLOOK” PERUMAH SAKITAN INDONESIA TAHUN 2017 – 2020 DAN PERAN PERSI 1. LATAR BELAKANG Pendahuluan Selama 3 tahun berlangsungnya program JKN, penerapan sistem akreditasi rumah sakit versi 2012, serta mulai berlakunya MEA – Masyarakat Ekonomi ASEAN, telah terjadi perubahan signifikan dalam model manajemen dan pelayanan rumah sakit dibanding 5 tahun yang lampau. Model pembayaran “fee for service” bergeser ke arah pembayaran “prospective” akibat dorongan JKN. Terjadi beberapa kali perubahan tarif INA CBG dan regulasi pelaksanaannya, yang mendorong perumahsakitan Indonesia secara dinamis merubah pola manajemennya, sebagai bagian dari adaptasi demi sustainabilitas dan pertumbuhan rumah sakit. Beberapa regulasi turunan Undang-Undang yang berkaitan dengan SJSN bidang kesehatan, belum dipenuhi sesuai amanah undang-undang, dan beberapa regulasi masih ditafsirkan kontradiksi oleh sekelompok orang, misalnya klausul tentang iur biaya dan penerapan pola tarif pembayaran rumah sakit. Pada saat jumlah penduduk berjumlah 255.461.700 jiwa ditahun 2015, terdaftar fakir miskin orang tak mampu sebanyak 96,4 juta yang berhak memperoleh bantuan APBN untuk membayar iuran JKN, disebut PBI. Diantara PBI tersebut, terdapat lansia berusia > 60 tahun, yang pada tahun 2015 berjumlah 21,6 juta dan diproyeksi akan berjumlah 40,9 juta ditahun 2030. Sumber: BPS-2015. Selama dua tahun pertama reformasi jaminan kesehatan dilaksanakan, jumlah iuran yang dikelola BPJS Kesehatan adalah sebesar Rp.93.768 triliun. Pada periode tersebut sumber pendapatan BPJS Kesehatan yang paling dominan adalah berasal dari PBI dan PNS, TNI, Polri dan pensiunan beserta keluarganya. Keduanya teratur diterima karena keduanya bersumber pada APBN. Sumber iuran lainnya adalah dari peserta pekerja/karyawa (buruh) atau Pekerja Penerima Upah/PPU, dan dari Pekerja Bukan Penerima Upah/mandiri. Jumlah peserta JKN per tanggal 10 Februari 2017 sebanyak 174.324.644 peserta , sekitar 69 persen dari proyeksi penduduk Indonesia tahun 2017.
Kategori PBI APBN PBI APBD PPU PNS PPU TNI PPU POLRI PPU BUMN PPU SWASTA PBPU PEKERJA MANDIRI PBPU BUKAN PEKERJA
Jumlah Keterangan 54% 92.117.829 9% 16.016.383 8% 13.308.239 1% 1.561.416 1% 1.225.067 1% 1.266.948 14% 23.607.441 12% 19.998.541 3% 5.060.573 171.324.644
Dilihat dari komposisi peserta, maka peserta PBI APBN masih mendominasi sebesar 54 %, sedangkan peserta PPU BUMN dan PBPU bukan pekerja relatif rendah partisipasi kepesertaannya. Menurut BPS, proyeksi penduduk Indonesia tahun 2020 sebanyak 271,1 juta jiwa, yang berarti masih ada target penambahan peserta sekitar 100 juta hingga tahun 2020. BPJS Kesehatan menggunakan upaya persuasif dan menggunakan kewenangan sebagai pengelola untuk meningkatkan jumlah peserta dan kepatuhannya. Dilihat dari sisi utilitas, maka pengguna manfaat program JKN terbesar adalah kelompok PBPU . Dengan manfaat pelayanan tingkat lanjutan dilakukan di kelas III, II dan I serta empat type rumah sakit, klaim rasio diantara empat kelompok peserta, rasio klaim tertinggi adalah PBPU/mandiri yang pernah mencapai >400%, kemudian 85% pada PNS, TNI, Polri dan pensiunannya serta keluarga, 85 % PPU dan 75% klaim rasio pada fakir miskin/PBI. Hal ini menunjukkan terjadinya adverse selection,
khususnya pada peserta PBPU yang ikut secara mandiri, dimana sebagian besar peserta adalah kelompok orang yang memerlukan layanan kesehatan secara rutin. Dalam tahun 2015 dilaporkan sebanyak 100,6 juta memanfaatkan FKTP (Puskesmas/dokter praktek perorangan/klinik pratama); 39,8 juta memanfaatkan poliklinik rawat jalan rumah sakit; dan 6,3 juta pemanfaatan rawat inap. Seperti diungkapkan diatas, bahwa selama dua tahun pertama, sebanyak 73% dari pada biaya pelayanan kesehatan digunakan untuk pembiayaan 1.923 FKRTL senilai Rp. 79.371 triliun, dan dibayarkan kepada FKTP berupa kapitasi sebesar Rp.18.891 triliun. Fakta lain adalah pada tahun 2015, sebanyak 23,90% biaya pelayanan kesehatan digunakan untuk membiayai penyakit katastropik yang terdiri dari Penyakit Jantung (13%), Gagal Ginjal Kronik (7%), Kanker (4%); Stroke (2%); Thalasemia (0.7%); Haemofilia (0.2%); dan Leukemia (0.3%). Kendala besar yang dihadapi BPJS Kesehatan dari sisi kepesertaan adalah meningkatkan kolektibilitas iuran, khususnya pada peserta PBPU mandiri, yang saat ini baru mencapai tingkat kolektibilitas sekitar 60 %, dan di sisi lain BPJS Kesehatan berusaha mencegah “adverse selection” khususnya pada peserta PBPU Mandiri dengan cara meningkatkan jumlah peserta yang relatif sehat. Kendala dalam percepatan pertumbuhan peserta , khususnya PPU adalah kekhawatiran pemberi kerja untuk merubah skema manfaat jaminan kesehatan karyawan, khususnya yang menganggap memiliki standar “lebih baik” dibanding manfaat sesuai hak BPJS Kesehatan. Kekhawatiran pembengkakan biaya jaminan kesehatan karena anggaran ganda membayar iuran BPJS Kesehatan dan masih menanggung biaya jaminan kesehatan yang lalu. Akibatnya beberapa memilih untuk menunda pendaftaran peserta ke BPJS Kesehatan, walau dengan resiko melanggar regulasi. Landskap Rumah Sakit Indonesia Ada 2.627 rumah sakit di Indonesia, yang terdiri dari 2.070 rumah sakit umum dan 557 rumah sakit khusus (data Rumah Sakit Online – Januari 2017). Dari jumlah itu 1.939 (73,8 %) rumah sakit dan 14 rumah sakit D Pratama yang bermitra dengan BPJS Kesehatan. Dibanding jumlah rumah sakit pada tahun 2016, sebanyak 2.045 rumah sakit, maka dalam kurun waktu singkat terjadi pertumbuhan sebanyak 582 rumah sakit. Pada tahun 2015 tercatat hanya ada 1.952 rumah sakit, yang berarti pertumbuhan rumah sakit baru sangat pesat dalam kurun waktu setahun terakhir. Sebagai akibat pertumbuhan rumah sakit yang cepat, namun terkonsentrasi di kota besar, maka kompetisi antar rumah sakit makin ketat, meskipun ada sisi positifnya dimana selalu ada upaya perbaikan fasilitas dan mutu layanan untuk merebut pangsa pasar. Hal ini juga menunjukkan bahwa investasi rumah sakit di Indonesia masih menarik bagi investor, sedangkan pemerintah berkewajiban mendirikan dan meningkatkan kompetensi rumah sakit di daerah-daerah tertentu sebagai bagian dari pola rujukan nasional.
Standar klasifikasi dan perijinan rumah sakit diatur melalui Permenkes 56 tahun 2014, sayangnya bila ditelusur lebih mendalam, belum semua klasifikasi yang ditentukan sesuai dengan kompetensi rumah sakit, karena ada banyak faktor yang berpengaruh, antara lain faktor politis, mobilitas dan mutasi dokter spesialis khususnya di daerah yang kurang strategis, sulitnya mencari profesional kesehatan dan faktor-faktor lainnya. Jumlah rumah sakit terakreditasi sampai awal Februari 2017, sebanyak 867 rumah sakit, termasuk 356 rumah sakit yang lulus perdana. Masih banyak rumah sakit yang belum terakreditasi, sebagai bukti standarisasi mutu layanan dan manajemen. Berdasarkan data itu dapat disimpulkan bahwa tantangan standarisasi mutu pelayanan rumah sakit di Indonesia masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah, KARS dan PERSI bersama seluruh asosiasi perumah sakitan di dalamnya. Berdasarkan rasio kecukupan tempat tidur perawatan, secara nasional, dengan rasio 1 TT untuk 1000 penduduk, maka jumlah tempat tidur sudah memadai, namun bila dilihat secara detail, akan terlihat konsentrasi rumah-rumah sakit di kota besar. Demikian juga dengan rumah sakit type A dan B sebagai pelayanan tersier dalam sistem rujukan belumlah merata. Permasalahan tersebut diatas semakin komplek dengan di berlakukannya pasar bebas Asean (MEA). Dimana kesiapan Rumah Sakit di Indonesia sangat mungkin belum sepenuhnya bisa menjawab tuntutan dan tantangan dari pasar bebas Asean (MEA) tersebut. Kesiapan manajemen Rumah Sakit, kompetensi tenaga kesehatan, peralatan medis, service yang mumpuni, serta dukungan dari pemerintah yang masih belum maksimal menjadi hambatan tersendiri bagi Rumah Sakit di Indonesia untuk bersaing di wilayah regional Asean. Posisi rumah sakit Indonesia belum dibedakan jelas, antara rumah sakit publik – nirlaba, sebagai lembaga layanan publik, yang berkewajiban memenuhi pelayanan kesehatan tingkat sekunder dan tersier seluruh masyarakat, dengan rumah sakit privat sebagai entitas industri untuk menggali pendapatan sebesarbesarnya atas investasi pemodal. Belum ada perbedaan signifikan dari sisi kebijakan pemerintah antara dua kelompok entitas itu, yang mendorong pertumbuhan rumah sakit. Rumah sakit nirlaba seharusnya mendapat insentif berdasar kebijakan pemerintah, sebagai kompensasi bila ada kebijakan pengendalian tarif pelayanan. Dengan regulasi tata kelola obat melalui e-catalog, dimana hanya ada satu pemenang untuk penyediaan obat tertentu disuatu wilayah, menimbulkan permasalahan baru dalam hal ketersediaan obat, walaupun pemerintah telah berhasil menurunkan dan mengendalikan harga obat, khususnya obat generik dan obat fornas.
BPJS Kesehatan sebagai pembeli pelayanan kesehatan terbesar Dengan jumlah peserta lebih dari 171 juta, dan akan terus bertambah sampai tercapai jaminan semesta (universal coverage), maka BPJS Kesehatan menjadi pembeli pelayanan terbesar. Namun dengan terjadi defisit akibat pembayaran kapitasi dan klaim lebih besar dari pendapatan premi, maka dilakukan upaya penyelarasan melalui regulasi pelayanan dan regulasi tarif. Persepsi rumah sakit terhadap tari INA CBG sangat beragam, sebagian besar menganggap cukup baik, namun ada rumah sakit yang menganggap tarif INA CBG yang berlaku saat ini sesuai PMK 64 tahun 2017 belum memenuhi harapan. Memang secara obyektif harus diakui masih ada beberapa grouping tarif yang belum sempurna dan sesuai dengan pola pelayanan di Indonesia pada umumnya, dan pengaruh “hospital based rate” belum terakomodir secara baik dalam perhitungan tarif INA CBG. Selama dua tahun awal JKN, biaya manfaat jaminan pelayanan kesehatan berjumlah Rp.108,038 triliun. Dalam tahun 2014 - 2015, program JKN mengalami mismatch antara pendapatan premi dan pembayaran klaim sekitar Rp 3,3 Triliun (2014) dan sekitar Rp 5,85 Triliun (2015). Dari jumlah pembayaran manfaat tersebut, sebesar Rp.79.371 triliun atau 73% digunakan membayar dengan tarif INA CBG kepada 1.923 Rumah Sakit yang melayani pasien JKN. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan tersebut terdiri dari milik Pemda Provinsi 123, Kabupaten/Kota: 555, milik pemerintah Pusat Kementerian, TNI dan Polri sebanyak 187 buah dan rumah sakit milik swasta, BUMN dan BUMD sebanyak 1.058. Sisanya dibayarkan dalam bentuk kapitasi sebesar Rp.18.891 triliun setara 17,3 persen kepada 20.304 FKTP yaitu Puskesmas, klinik swasta dan 33.213 dokter praktek serta 12.693 dokter gigi. BPJS Kesehatan juga membayar manfaat lainnya berupa non-CBG dan kapitasi sebesar Rp.9.763 triliun atau 9 persen. Proporsi pembayaran biaya manfaat pelayanan 2014 dan 2015, digambarkan berikut: (Prof.Budi Hidayat):
FKRTL menyerap lebih 73% biaya kesehatan. [Apakah FKTP inferior; apa terjadi over-referral?]
Total biaya 2014: Rp 46.51 T
Total Biaya 2015: Rp 61.528T
BHidayat 15/05/2015
8
Tantangan maupun peluang yang di hadapi oleh Rumah Sakit di Indonesia semakin beragam, manakala kebijakan makro SJSN dan JKN di isuekan akan berubah. Memang benar dengan adanya JKN beberapa Rumah Sakit mendapatkan penghasilan operasional yang cukup signifikan. Bila disandingkan dengan pasar bebas Asean, (MEA) yang juga membuka peluang bagi para investor, baik lokal maupun asing, untuk berinvestasi dalam industri perumahsakitan di Indonesia, maka investor yang berani mengambil risiko pada era JKN adalah yang berhasil dengan menyulap tantangan JKN sebagai peluang. Dengan strategi yang jitu, peluang memenuhi kebutuhan 257 juta penduduk dengan sebaran usia dan potensi pertumbuhan kemampuan ekonomi, merupakan potensi usaha bagi investor dari dalam maupun luar negeri. Kemitraan Pemerintah dengan Swasta juga harusnya menjadi salahsatu peluang dalam pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia, dengan jaminan upaya investasi pihak swasta di daerah yang ditetapkan pemerintah, akan dimanfaatkan sepenuhnya dan memberikan imbal usaha yang wajar selain misi filantropis. Terdapat kecenderungan, untuk merumuskan postioning usaha yang membimbing pada strategy focus pada kebutuhan segmen kebutuhan pasar. Mengingat besarnya dan luasnya kebutuhan pelayanan kesehatan sejak diberlakukannya wajib JKN, maka masih terbuka untuk kemungkinan melakukan bauran proporsi layanan sesuai positioning masing-masing. CoB berpotensi membuat tatanan baru pelayanan RS di era JKN Dengan adanya Peraturan BPJS Kesehatan No 4 tahun 2016 tentang Petunjuk Tehnis Penyelenggaraan Koordinasi Manfaat dalam Program JKN, dimana antara lain tercantum peluang CoB dengan BPJS Kesehatan sebagai penanggung pertama dan Asuransi Kesehatan Komersial sebagai pembayar pertama, maka diperkirakan akan menggairahkan rumah sakit untuk meningkatkan investasinya dalam fasilitas dan peralatan.
Bila skema ini dilaksanakan, melengkapi skema CoB pola “Indemnity”, yang hanya bisa dipakai pada kasus naik kelas perawatan, maka secara tidak langsung akan terjadi berbagai varian pola “managed care” selain pola BPJS Kesehatan. Dengan Asuransi Kesehatan sebagai pembayar pertama, maka akan terjadi kesepakatan pola kerjasama rumah sakit dengan asuransi kesehatan komersial, yang mungkin beda standar dengan pola BPJS Kesehatan. Meski demikian, harus dipahami bahwa pola manfaat BPJS Kesehatan tidak lebih “inferior” dibanding skema manfaat yang diberikan asuransi kesehatan. Namun dengan adanya fleksibilitas pola dan standar managed care dari asuransi kesehatan komersial yang ber CoB dengan BPJS Kesehatan, maka keinginan peserta dapat lebih terakomodir, tentu saja dengan konsekwensi besaran premi tambahan. Dengan skema CoB managed care, maka akan mengambil segmen pasar tertentu yang masih “enggan” dengan pola manfaat standar BPJS Kesehatan. Rumah sakit juga akan diuntungkan, khususnya yang memiliki sasaran kelompok menengah atas, karena dapat meningkatkan standar fasilitas layanannya secara optimal, BPJS Kesehatan diuntungkan dengan membayar klaim sesuai standar RS type C, dan asuransi kesehatan komersial akan mendapat segmen pasar tertentu dari kalangan peserta BPJS Kesehatan. Peran PERSI PERSI sebagai lembaga payung berbagai asosiasi perumah sakitan di Indonesia, mengambil posisi “Loyalis Kritis”, terhadap kebijakan yang menyangkut perumah sakitan di Indonesia. PERSI akan berupaya agar standar perumahsakitan di Indonesia sejajar dengan rumah-rumah sakit di wilayah regional, ada standarisasi kompetensi dan mutu rumah sakit yang setara di seluruh Indonesia, ada iklim investasi yang baik untuk mendorong perkembangan rumah sakit di Indonesia, baik dalam kualitas dan kuantitas, serta PERSI akan menjadi mediator dan fasilitator untuk menjaga hubungan harmonis antara perumahsakitan Indonesia dengan pemangku kepentingan lainnya. Peran yang akan diambil PERSI adalah sebagai advokat dan fasilitator rumah sakit di Indonesia untuk terus bertumbuh. 2. TUJUAN FGD 1. Merumuskan prospek rumah sakit di Indonesia tahun 2017 – 2020 dalam hal peluang pertumbuhan usaha dan daya tarik investasi baru. 2. Merumuskan peran Persi dalam mendukung perumah sakitan Indonesia 2017 – 2020. 3. Merumuskan sikap PERSI terhadap regulasi pelaksanaan JKN yang ada. 4. Menyusun rekomendasi Persi kepada Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Perumah sakitan Indonesia. 3. WAKTU, AGENDA DAN TEMPAT
Kamis, 23 Februari 2017, pk. 12.00 – 16.00 di Kantor PERSI Pusat, Jakarta. 12.00 sd 13.00 : Registrasi dan makan siang. 13.00 – 13.10 : Pembukaan dan Sambutan Ketua Umum PERSI 13.10 – 13.30 : Pengantar diskusi (Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan). 13.30 – 14.00 : FGD topik 1 – Prospek RS 14.00 – 14.30 : FGD topik 2 – Peran PERSI 14.30 – 15.00 : FGD topik 3 – Sikap PERSI terhadap berbagai regulasi. 15.00 – 15.30 : FGD topik 4 – Rekomendasi PERSI
15.30 – 15.45. : Diskusi dan penyimpulan. 15.45 – 16.00 : Penutup oleh ketua Persi Moderator: Dr. Tonang Dwi Ardyanto, PhD. Drs. Odang Muchtar, MBA, AAAJI-QIP Notulis: Fajaruddin Sihombing, SE, MM dr. Ediansyah, MARS Partua Sitompul, S.Kom
4. Peserta
Pengurus harian PERSI Dewan Penyantun PERSI Akademisi (UI dan UGM) Wakil rumah sakit (RS Pelni, RSJ HK, RSCM) P2 JK - Kemenkes Staf Ahli Menkes DJSN BPJS Kesehatan Mandiri InHealth Kompartemen Manajemen Keperawatan PERSI Kompartemen Manajemen Mutu Klinis PERSI Kompartemen Manajemen Mutu i Kompartemen Manajemen Penunjang
: 4 orang : 2 orang : 3 orang : 3 orang : 3 orang : 1 orang : 2 orang : 3 orang : 2 orang : 2 orang : 2 orang : 2 orang : 2 orang
Kompartemen Hukum . Advokasi dan Mediasi Kompartemen Manajemen Farmasi Rumah Sakit Kompartemen Jaminan Kesehatan Asosiasi perumah sakitan
: 3 orang : 2 orang : 5 orang : 16 orang
Total : 57 peserta 5. Keluaran FGD Kajian umum dan Pernyataan PERSI terhadap situasi serta prospek perumah sakitan di Indonesia tahun 2017 – 2020, dan rekomendasi ke berbagai pihak terkait untuk menjadikan landskap perumah sakitan Indonesia lebih baik.
6. Webinar Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link Registrasi berikut: https://attendee.gotowebinar.com/register/7167260384895114242 Webinar ID: 284-449-739
Arsip diskusi selengkapnya dapat diakses melalui website http://www.pdpersi.co.id/kanalpersi/
Informasi dan kontak: Sekretariat PERSI Pusat +6221 8378 2901-02
Jakarta, 17 Februari 2017.