Seminar Nasional Serealia, 2013
KERAGAAN AGRONOMI VARIETAS JAGUNG HIBRIDA PADA LOKASI SL-PTT JAGUNG DI KABUPATEN TAKALAR Amir Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
ABSTRAK Pengkajian dilaksanakan pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan pada empat lokasi SLPTT di Kabupaten Takalar, yaitu Banyuanyara, Paddinging, Salaka, dan Pallantikang pada MK I Mei-Agustus 2010. Pengkajian disusun dalam rancangan acak kelompok, empat varietas jagung hibrida sebagai perlakuan dan tiga petani responden sebagai ulangan. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan adalah NPK 15:15:15 400 kg/ha dan Urea 270 kg/ha. Pemupukan dilakukan dua kali, pada umur 10 HST dengan takaran 150 kg/ha NPK 15:15:15 + 120 kg/ha Urea dan pemupukan kedua pada umur 35 HST dengan takaran 250 kg/ha NPK 15:15:15 + 150 kg/ha Urea. Varietas yang ditanam adalah Bima 3, NK 22, Bisi 816, dan Pioneer 21. Teknologi produksi yang digunakan adalah pengolahan tanah sempurna dengan terlebih dahulu membuat bedengan sebelum tanam. Penanaman dilakukan secara tugal di atas bedengan dengan jarak tanam 70 x 40 cm, dua biji/lubang. Di antara bedengan dibuat saluran irigasi untuk penairan tanaman. Sistem pengairan dilakukan dengan pompanisasi sebanyak 5-6 kali hingga panen. Pengendalian hama penggerek batang dilakukan dengan aplikasi Furadan dengan dosis 20 kg/ha, dan pengendalian penyakit bulai dilakukan dengan mencampur benih dengan Saromil 2 g/kg benih. Pengendalian gulma dilakukan dengan menyemprot herbisida kontak pada umur 25 HST, tergantung keadaan gulma. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, tinggi tongkol, panjang tongkol, biomas dan produksi pipilan kering. Dari empat lokasi SL-PTT varietas Bima 3 memberikan hasil pipilan kering tertinggi dengan rata-rata 9,9 t/ha, disusul varietas Bisi 816 (9,3 t/ha), Pioneer 21 (7,6 t/ha), dan NK 22 (7,3 t/ha). Kata kunci: hibrida, sawah tadah hujan, SL-PTT
PENDAHULUAN Tanaman jagung selain sebagai komoditas strategis pada daerah yang kekurangan pangan juga digunakan sebagai pakan ternak. Komoditas ini termasuk tanaman C4 yang berumah satu (monoecious) yaitu bunga jantan dan bunga betina berada pada satu pohon dan merupakan satu-satunya tanaman biji-bijian yang terpisah antara bunga jantan dan betina (Belfield dan Brown 2008 Dalam http://sustainablemovement.wordpress.com 2011). Bunga jantan (staminate) berbentuk malai terletak di ujung batang dan bunga betina (tepistila) berbentuk tongkol terletak dipertengahan batang (Subandi 2008 Dalam Anonim 2012). Pengembangan jagung secara nasional didominasi agroekosistem lahan kering. Namun pengembangan jagung akhir-akhir ini di Sulawesi Selatan didominasi agroekosistem lahan sawah
231
Amir: Keragaan Agronomi Varietas Jagung Hibrida ……
tadah hujan setelah padi rendengan. Luas lahan sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan tercatat 239.171 ha (Anonim 2007). Pengembangan jagung pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan dipacu lebih luas dengan adanya program SL-PTT
jagung
secara
nasional pada
agroekosistem tersebut setelah padi. Program ini bertujuan meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani jagung dengan dukungan sejumlah inovasi teknologi. Pada prinsipnya ada dua komponen teknologi yang diterapkan dalam SL-PTT jagung yaitu komponen teknologi dasar dan komponen teknologi piihan (Zubachtirodin et al. 2009). Introduksi varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida merupakan salah satu komponen teknologi dasar yang mendapat respon tercepat ditingkat petani. Varietas jagung hibrida multi nasional mendominasi sentra pengembangan jagung di Kabupaten Takalar pada khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Luas panen tanaman jagung di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 tercatat 299.669 ha dengan produksi pipilan kering 1.395.744 ton atau tingkat produktivitas 4,7 t/ha (BPS 2010). Program pendampingan oleh BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Sulawesi Selatan terhadap inovasi teknologi di lokasi SL-PTT merupakan upaya pemerintah mempercepat alur distribusi teknologi kepengguna (petani).
Introduksi
VUB jagung hibrida varietas Bima ke lokasi SL-PTT bertujuan mensosialisasikan jagung hibrida nasional yang berdaya hasil tinggi dan bersifat stay green. Pertanaman varietas jagung hibrida nasional dan multi nasional disandingkan pada beberapa lokasi SL-PTT jagung di kabupaten Takalar. Potensi hasil
jagung hibrida yang dikaji antara 9,0 – 11,0 t/ha namun
pencapaian produksi ditingkat petani masih bervariasi. Fluktuasi produktivitas jagung ditingkat petani disebabkan belum menerapkan secara menyeluruh teknik budidaya jagung sesuai rekomendasi anjuran termasuk dosis dan waktu pemupukan. Ada yang melakukan pemupukan tanpa ditimbun dan hanya menggunakan pupuk Urea. Dampak dari hal tersebut menyebabkan penampilan agronomis tanaman jagung dilapangan bervariasi. Penampilan agronomis tanaman selain dibentuk secara genetis juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh tanaman. Tehnik budidaya jagung yang sesuai rekomendasi anjuran dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Penampilan penotipe tanaman jagung hibrida multi nasional yang eksis dipetani (NK 22, Bisi 816 dan Pioneer 21) di sentra jagung kabupaten Takalar dibandingkan dengan jagung hibrida nasional (Bima 3). Komoditas jagung hibrida multi nasional ditanam berdampingan dengan jagung hibrida varietas Bima 3 dalam bentuk demfarm dan displai. Teknologi produksi dilakukan dengan olah tanah sempurna dan terlebih dahulu dibuat bedengan
232
Seminar Nasional Serealia, 2013
dengan traktor tangan sebelum tanam dalam kawasan SL-PTT. Tujuan pengkajian ini untuk melihat penampilan agronomis dan hasil pipilan kering beberapa varietas jagung hibrida multinasional dan nasional di lokasi SL-PTT jagung di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
METODOLOGI Pengkajian terhadap penampilan agronomi jagung hibrida pada sentra jagung kabupaten Takalar dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan milik petani dalam kawasan SL-PTT. Pengkajian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK), empat varietas jagung hibrida (Bima 3, NK 22, Bisi 816, Pioneer 21) sebagai perlakuan yang ditanam tiga orang petani setiap lokasi sebagai ulangan. Pengkajian dilaksanakan pada MK.1
di Banyuanyara, Paddinging, Salaka dan Pallantikang dalam bentuk
partisipatif yang berlangsung dari bulan Mei hingga Agustus 2011. Teknologi budidaya jagung dilaksanakan secara olah tanah sempurna dan dibuatkan bedengan terlebih dahulu sebelum tanam. Jarak tanam yang digunakan adalah 70 x 40 cm, 2 tanaman/lubang. Dosis dan jenis pupuk yang digunakan yaitu 400 kg/ha
NPK
(15:15:15) + 121,5 kg/ha N. Pemupukan dilakukan 2(dua) kali pada umur 10 HST (hari setelah tanam) dengan dosis 150 kg/ha NPK (15:15:15) + 54 kg/ha N dan pada umur 35 HST dengan dosis 250 kg/ha NPK 15:15:15 + 67,5 kg/ha N. Jarak lubang pupuk dari tanaman 5-7 cm dan lubang pupuk ditutup kembali pemupukan.
dengan tanah setelah
Pengendalian penggerek batang dan tongkol dilakukan dengan cara
aplikasi Furadan 3G melalui pucuk tanaman dengan dosis 10 kg/ha yang diaplikasikan pada umur tanaman 30 HST. Parameter yang diamati adalah: tinggi tanaman, tinggi tongkol, panjang tongkol, produksi jagung pipilan kering, dan bobot jerami.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengkajian terhadap penampilan pertumbuhan dan hasil pipilan kering jagung hibrida dibeberapa lokasi SL-PTT jagung di kabupaten Takalar (Tabel 1). Varietas Bisi 816 menunjukkan tinggi tanaman tertinggi di lokasi Banyuanyara (193,30 cm), Salaka (194,06 cm) dan Pallantikang (213,43 cm) Tabel 1. Sedang di lokasi Paddinging varietas Bima 3 menunjukkan tinggi tanaman tertinggi (196,00 cm) namun tidak berbeda dengan varietas Bisi 816 (190,66 cm). Di lokasi Banyuanyara, Salaka dan Pallantikang varietas Bisi 816 memberikan tinggi tongkol tertinggi (98,07 cm; 97,77 cm dan 118,80 cm) namun tidak berbeda nyata dengan varietas Bima 3 dilokasi Banyuanyara dan Salaka (87,50 dan 92,97 cm) Tabel 1. Dilokasi Banyuanyara varietas
233
Amir: Keragaan Agronomi Varietas Jagung Hibrida ……
Bima 3 memberikan panjang tongkol terpanjang (18,46 cm) namun tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan varietas Pioneer 21 dengan panjang tongkol terpendek (14,56 cm). Di lokasi Pallantikang varietas Bima 3 memberikan panjang tongkol terpanjang (17,6 cm) dan berbeda nyata dengan varietas lainnya. Dilokasi Paddinging dan Salaka varietas Bisi 816 memberikan panjang tongkol terpanjang berturut - turut ( 17,4 cm dan 18,1 cm ),
namun tidak berbeda nyata
dengan varietas lainnya, kecuali dengan varietas Pioneer 21 di Paddinging (14,1 cm) dan varietas NK 22 (16,7 cm) serta Pioneer 21 (16,2 cm) di Salaka. Panjang tongkol merupakan salah satu komponen hasil yang turut berperan menentukan tinggi rendahnya produksi jagung pipilan kering. Selain sebagai komponen hasil, tongkol yang telah dipipil bijinya menyisakan janggel jagung yang dapat dibuat pakan ternak ruminansia. Besarnya janggel jagung yang tersedia berdasarkan pengalaman sekitar 20% dari bobot tongkol kering (Subandi, 2005). Sifat agronomi tanaman memberikan kontribusi besar terhadap kemampuan menghasilkan produksi biji pipilan kering suatu varietas jagung (Bahar et al. 1992).
Tabel 1. Rataan tinggi tanaman, tinggi tongkol, panjang tongkol, produksi dan berat jerami dilokasi SL-PTT jagung Kabupaten Takalar, 2011. Varietas Bima 3 NK 22 Bisi 816 Pioneer 21 KK (%) Bima 3 NK 22 Bisi 816 Pioneer 21 KK (%) Bima 3 NK 22 Bisi 816 Pioneer 21 KK (%) Bima 3 NK 22 Bisi 816 Pioneer 21 KK (%)
Lokasi (desa) Banyuanyara
Paddinging
Salaka
Pallantikang
Tinggi Tanaman (cm) 163,5 c 182,1 b 193,3 a 193,0 a 3,0 196,7 a 178,1 c 190,6 ab 185,9 bc 2,6 186,0 ab 179,4 bc 194,1 a 172,7 c 2,4 184,9 b 173,1 c 213,4 a 190,0 b 1,7
Tinggi Tongkol (cm) 87.5 ab 76.7 b 98.1 a 86.1 b 6,2 92.5 a 78.2 b 88.5 a 92.6 a 3,2 92.9 a 77.5 b 97.7 a 72.9 b 5,7 79.6 b 83.9 b 118.8 a 76.0 b 4,9
Panjang Tongkol (cm) 18,5 a 17,1 a 17,2 a 14,5 b 4,5 16,5 a 16,8 a 17,4 a 14,1 b 4,7 17,6 ab 16,7 bc 18,1 a 16,2 c 3,3 17,6 a 16,7 b 15,4 c 15,7 c 1,6
Produksi (t/ha) 9,9 a 7,6 c 9,1 ab 7,8 bc 7,4 10,3 a 7,9 c 9,5 ab 8,7 bc 8,9 10,2 a 7,3 b 10,1 a 7,1 b 8,8 9,2 a 6,6 b 8,7 ab 7,0 b 14,6
Biomas/ jerami (t/ha) 14.6 a 13.3 a 13.7 a 11.1 b 5,7 14.4 a 12.3 b 13.3 ab 13.5 ab 5,1 14.6 a 13.0 ab 14.4 a 11.9 b 6,4 14.4 a 11.6 b 12.8 ab 13.2 ab 8,2
Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan pada taraf 0,05.
234
Seminar Nasional Serealia, 2013
Hasil jagung pipilan kering di semua lokasi SL-PTT menunjukkan varietas Bima 3 memberikan produksi jagung pipilan kering tertinggi namun berfluktuasi disetiap lokasi. Di desa Banyuanyara produksi varietas Bima 3 sebesar 9,9 t/ha namun tidak berbeda nyata dengan varietas Bisi 816 (9,1 t/ha) dan lebih tinggi dari varietas NK 22 (7,6 t/ha) dan Pioneer 21 (7,8 t/ha). Di desa Paddinging varietas Bima 3 memberikan produksi 10,3 t/ha dan tidak berbeda dengan varietas Bisi 816 (9,5 t/ha) namun lebih tinggi dari varietas NK 22 (7,9 t/ha) dan varietas Pioneer 21 (8,7 t/ha). Di desa Salaka produksi varietas Bima 3 sebesar (10,2 t/ha) dan tidak berbeda dengan varietas Bisi 816 (10,1 t/ha) namun lebih tinggi dari produksi varietas NK 22 (7,3 t/ha) dan Pioneer 21 (7,1 t/ha). Di desa Pallantikang produksi varietas Bima 3 sebesar (9,2 t/ha) dan tidak berbeda nyata dengan varietas Bisi 816 (8,7 t/ha) namun
berbeda dengan
varietas NK 22 (6,6 t/ha) dan Pioneer 21 (7,1 t/ha) (Tabel 1). Terhadap parameter bobot jerami, varietas Bima 3 memberikan bobot jerami tertinggi disemua lokasi (14,6 t/ha) di Banyuanyara, namun tidak berbeda nyata dengan NK 22 (13,3 t/ha) dan Bisi 816 (13,7 t/ha) tetapi berbeda nyata dengan Pioneer 21 (11,1 t/ha) sebagai bobot biomas terendah. Di Paddinging varietas Bima 3 mempunyai bobot biomas (14,4 t/ha), namun tidak berbeda nyata dengan Bisi 816 (13,3 t/ha) dan Pioneer 21 (13,5 t/ha) tetapi nyata berbeda dengan NK 22 dengan bobot biomas terendah (12,3 t/ha). Di Salaka varietas Bima 3 memiliki bobot biomas (14,6 t/ha) namun tidak berbeda nyata dengan Bisi 816 (14,4 t/ha) dan NK 22 (13,0 t/ha) tetapi berbeda nyata dengan Pioneer 21 (11,9 t/ha). Di Pallantikang varietas Bima 3 memiliki bobot biomas (14,4 t/ha) namun tidak berbeda nyata dengan Bisi 816 (12,8 t/ha) dan Pioneer 21 (13,2 t/ha) tetapi nyata berbeda dengan NK 22 dengan bobot biomas terendah (11,6 t/ha) (Tabel 1). Biomas tersebut diperuntukkan sebagai pakan ternak terutama dimusim paceklik yaitu ketersediaan pakan ternak sangat sullit. Jerami jagung digunakan sebagai pakan ternak yang secara kuantitas harus diimbangi kualitas kandungan gizi berupa total nutrien tercerna (TNT), kecernaan bahan kering in vitro dan kecernaan bahan organik invitro (Subandi et al. 1988). Produktivitas dan pendapatan usahatani ternak sangat ditentukan oleh kecukupan penyediaan pakan, sumber atau cara memperoleh pakan menentukan tinggi rendahnya biaya produksi ternak, 60 – 80 % biaya usahatani ternak dipergunakan untuk pakan (Hardiyanto et al. dalam Subandi 2005). Varietas Bima 3 memberikan rata – rata hasil jerami jagung tertinggi (14,5 t/ha) di 4 (empat) lokasi dibanding ratarata hasil jerami varietas NK 22 (12,5 t/ha), varietas Bisi 816 (13,6 t/ha) dan varietas Pioneer 21 (12,4 t/ha). Salah satu keunggulan varietas Bima 3 dibanding varietas lainnya (NK 22, Bisi 816 dan Pioneer 21)
235
adalah bersifat stay green, sehingga
Amir: Keragaan Agronomi Varietas Jagung Hibrida ……
meskipun kelobot sudah kering jerami/biomas tetap hijau. Namun demikian bobot jerami dari varietas yang dipanen cepat mengalami penyusutan akibat kondisi kering menjelang panen (Tabel 2). Pengelolaan air bagi tanaman jagung perlu mempertimbangkan pola curah hujan di wilayah sasaran dan pola pemakaian air serta kebutuhan air tanaman (Moentono 1993). Diantara faktor lingkungan yang banyak mempengaruhi produktivitas jagung adalah ketersediaan air. Curah hujan dominan pengaruhnya terhadap produksi pipilan kering terutama pada ekosistem lahan kering (Moentono, 1993). Curah dan hari hujan di empat lokasi penanaman jagung diwakili dua stasiun penakar curah hujan. Curah hujan dilokasi kegiatan selama pengkajian berlangsung (Tabel 2). Data tersebut memperlihatkan bahwa dalam rentang waktu satu tahun selama kegiatan berlangsung terdapat jumlah curah hujan 2.083 mm dan rata-rata 208,3 mm/tahun serta jumlah hari hujan 113 hari/tahun di Salaka dan
Pallantikang. Sedang di Paddinging dan
Banyuanyara jumlah curah hujan sebesar 1.883 mm dan rata-rata 171,2 mm/tahun serta jumlah hari hujan 125 hari/tahun (Tabel 2). Jumlah hari hujan yang baik untuk tanaman jagung bervariasi antara 120 – 300 hari/tahun (Montono 1993). Dengan demikian dibeberapa daerah jagung dapat ditanam dua kali, namun ditempat lain cuma satu kali.
Pemanfaatan curah hujan di daerah subtropis menjadi penting dalam
budidaya jagung. Di Indonesia jagung dapat ditanam sepanjang musim asalkan curah hujan tersedia minimal 650 mm/tahun (Moentono 1993). Penanaman jagung pada musim kemarau memerlukan pengairan (Dale 1977 dalam Moentono 1993). Jagung bukanlah tanaman yang memerlukan banyak air, namun bila terjadi defisiensi perlu segera diairi. Laju pemakaian air tanaman jagung dipengaruhi oleh waktu yaitu maksimum 6 mm/hari, namun bila tingkat ketersediaan air cukup jumlah pemakaian air dapat ditingkatkan menjadi 7,6 mm/hari (Moentono 1993). Pengelolaan dan pengaturan tata air yang baik, lahan dapat dikelola dengan baik dan menghasilkan berbagai jenis produk pertanian termasuk jagung (Hilman et al. 2004 dan Kristijono 2004 dalam Subekti dan Jafri 2011).
236
Seminar Nasional Serealia, 2013
Tabel 2. Data curah hujan dan hari hujan di Salaka dan Pallantikang serta Paddinginging dan Banyuanyara selama kegiatan berlangsug, 2011
BULAN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah CH dan HH Rataan CH dan HH
LOKASI Paddinging dan Banyuanyara *) Curah Hujan Hari Hujan 613 21 256 11 480 19 45 16 166 8 40 6 20 2 10 2 9 3 17 13 227 24 1.883 125 171,2 11,4
Salaka dan Pallantikang *) CH HH 485 19 315 8 321 11 261 11 66 2 24 2 12 1 41 41 173 5 385 13 2.083 113 208,3 13,1
Catatan *) = Satu stasiun penakar curah hujan CH = Curah hujan (mm) HH = Hari hujan (Ihari)
Jagung adalah tanaman yang sensitif terhadap cekaman air. Dampak dari cekaman air menyebabkan keseimbangan udara dan air berubah dari aerob menjadi anaerob, sehingga proses metabolisme tanaman terganggu. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman
jagung
terganggu
(Souza
2009
dalam
http://sustainablemovement.
Wordpress.com 2011).
KESIMPULAN Varietas Bisi 816 memiliki tanaman dan tongkol tertinggi di Banyuanyara, Salaka, dan Pallantikang. Di Paddinging, varietas Bima 3 memiliki tinggi tongkol yang tidak berbeda nyata dengan varietas Pioneer 21. Varietas Bisi 816 memberikan tongkol terpanjang di Paddinging dan Salaka, sedang Bima 3 memiliki tongkol terpanjang di Banyuanyara dan Pallantikang. Varietas Bima 3 memberikan hasil pipilan kering tertinggi di semua lokasi SL-PTT, namun tidak berbeda nyata dengan varietas Bisi 816. Varietas Bima 3 memberikan bobot jerami tertinggi namun tidak berbeda nyata dengan varietas Bisi 816.
237
Amir: Keragaan Agronomi Varietas Jagung Hibrida ……
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007. Profil Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Sulawesi Selatan. Bahar, H., S. Zen dan Subandi, 1992. Kontribusi Komponen Hasil dan Karakter Agronomi terhadap Hasil Jagung pada Beberapa Lingkungan. Laporan Penelitian AARP. BPS, 2010. Sulawesi Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18404/4/Chapter%20II.pdf. Tinjauan Pustaka Jagung, diakses 3 April 2012 http://sustainablemovement.wordpress.com, 2011. Anatomi dan Morfologi Tanaman Jagung. Diakses, 9 Mei 2012 http://desa-dasin.blogspot.com/2009/08/esensialitas-air-bagi-pertumbuhan-dan.html, diakses, 13 Juni 2012. Moentono. MD, 1993. Sumber Daya Lingkungan Tumbuh. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 4. Jagung, Sorgum, Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Subandi, 2005. Model Pengembangan Jagung Dalam Manajemen Penyediaan Pakan ke Depan Dalam Kontek Integrasi Tanaman Ternak. Makalah disampaikan pada Seminar Kelembagaan Usahatani Tanaman – Ternak. Yogyakarta, 20-22 September. Subandi, M. Syam dan A. Widjono. 1988. Jagung. Potensi Jagung dan Limbahnya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Subekti, A. Dan Jafri, 2011. Penampilan Karakter Agronomis dan Hasil Beberapa Varietas Jagung pada Lahan Ultisol Singkawang, Kalimantan Barat. Seminar Nasional Serealia. Zubachtirodin, S. Saenong, M.S. Pabbage, M.Azrai, D. Setyorini, S. Kartaatmadja dan Firdaus Kasim, 2009. Pedoman Umum PTT Jagung. ISBN: 978-979-1159-31-9. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
238