Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Keragaan Agronomi dan Ekonomi Sistem Usahatani Jagung Hibrida di Sulawesi Selatan Hadijah, AD1) dan Zulkifli Zaini2)
1)Peneliti
Balai Penelitian Tanaman Serealia dan 2) Peneliti Puslitbangtan
Abstrak Sistem produksi jagung sangat beragam tergantung agroekosistem, pola tanam dan pilihan manajement pengelolaan yang selanjutnya rekomendasi pemupukan jagung masih bersifat nasional. Untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan jagung hibrida spesifik lokasi diadakan penelitian yaitu mengevaluasi kelayakan agronomi dan ekonomi pemupukan hara spesifik lokasi berdasarkan perangkat lunak nutrient manager di Kabupaten Bone yang merupakan salah satu wilayah pengembangan jagung yang terluas di Sulawesi Selatan. Dari 27 kecamatan di Kabupaten Bone dipilih Kecamatan Dua BoccoE mewakili lahan tadah hujan. Survei dilakukan dengan wawancara dengan pemuka masyarakat sebagai key informan dan petani jagung 20 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem produksi jagung pada lahan sawah tadah hujan dengan indeks pertanaman 3 x pertahun (50 %) dan pada lahan kering 2 x pertahun (70 %), varietas jagung hibrida yang ditanam petani adalah BISI 2 (50 %), Jaya Sulawesi (40 %) dan SHS-2 (10 %). Produksi rata-rata diperoleh petani pada musim hujan 7,82 - 7,83 t/ha, musim kemarau 5,80 - 5,91 t/ha. Secara finansial keuntungan yang diperoleh petani pada musim hujan rata-rata Rp.8.686.958,-/ha sedang pada musim kemarau rata-rata Rp.6.729.366,-/ha. Secara ekonomis usahatani jagung hibrida baik diusahakan dan dikembangkan pada wilayah yang potensil untuk jagung karena menguntungkan petani. Kata Kunci: Keragaan, jagung hibrida, kelayakan usahatani
internasional. Untuk mengimbangi permintaan pasar, maka perlu adanya upaya dalam pengembangan jagung baik produksi maupun produktivitasnya secara meluas ditingkat petani melalui sekolah lapang SLPTT dengan penerapan teknologi pemupukan dan penggunaan varietas hibrida. Dalam lima tahun terakhir, dengan semakin gencarnya promosi penjualan benih hibrida jagung, menyebabkan di beberapa sentra produksi, penggunaan hibrida jagung telah mencapai 70% dari areal pertanaman (Kasryno et al., 2007). Perubahan teknik produksi jagung, dari jagung varietas komposit ke jagung varietas hibrida, juga merubah manajemen pengelolaan tanaman seperti penggunaan pupuk nitrogen (N) yang lebih tinggi, jarak tanam yang lebih rapat, penanaman benih tunggal, dan peningkatan penggunaan herbisida.
Pendahuluan Dalam perekonomian nasional, jagung merupakan komoditas kedua terpenting setelah padi. Walaupun produksi jagung meningkat dengan laju rata-rata 7,6% selama kurun waktu 2004-2008, tetapi produksi jagung masih belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk bahan baku industri pakan, makanan, dan minuman yang meningkat sekitar 10%/tahun. Dengan demikian, produksi jagung mempengaruhi kinerja industri peternakan yang merupakan sumber utama protein masyarakat. Ditinjau dari sumberdaya lahan dan ketersediaan teknologi, terutama varietas unggul, Indonesia memiliki peluang untuk berswasembada jagung dan bahkan berpeluang pula menjadi pemasok di pasar dunia mengingat makin meningkatnya permintaan dan makin menipisnya volume jagung di pasar 627
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan provinsi penghasil jagung terbesar di wilayah Indonesia Timur. Dalam periode 2001-2007, luas areal pertanaman jagung di Sulawesi Selatan meningkat dengan laju pertumbuhan 5,84%/tahun, produksi jagung meningkat 1,56%/tahun, dan produktivitas meningkat 0,98%/tahun (Tabel 1). Rendahnya peningkatan produktivitas mengindikasikan bahwa penerapan teknologi ditingkat petani masih rendah sehingga produktivitas jagung yang diperoleh masih rendah (3,26 t/ha) dibandingkan potensi hasil yang telah dihasilkan oleh balai penelitian (varietas komposit berkisar 7 – 8 t/ha, hibrida berkisar 9 – 12 t/ha). Rendahnya produktivitas yang dicapai ditingkat petani karena teknologi yang digunakan belum memadai terutama penggunaan pupuk dan varietas unggul baru/hibrida. Pemupukan merupakan suatu cara untuk meningkatkan produksi, efisiensi pemupukan mutlak diperlukan dalam budidaya jagung karena hal tersebut sangat menentukan produktivitas tanaman dan pendapatan yang akan diperoleh.
Rekomendasi pemupukan jagung masih bersifat nasional, belum mempertimbangkan status hara tanah, atau sesuai kebutu-han tanaman. Konsep mengenai pemupukan hara spesifik lokasi baru dikembangkan untuk padi lahan sawah irigasi yang saat ini menjadi salah satu komponen teknologi dalam pendekatan Pengelolaan sumberdaya dan Tanaman Terpadu (PTT) padi. Di Amerika Serikat konsep ini telah dikembangkan sebagai dasar pemupu -kan jagung dengan memperhitungkan potensi hasil dan senjang hasil sebagai dasar dalam rekomendasi spesifik lokasi. Suatu pendekatan baru mengenai rekomendasi pupuk telah dikemukakan dalam model QUEFTS yang dikembangkan pada pertanaman jagung di Afrika Timur (Janssen et. al., 1999) yang kemudian dimodifikasi menjadi pendekatan pengelolaan hara spesifik lokasi untuk tanaman padi (Dobermann et. al., 2002; Witt et. al., 2002.) Pendekatan ini mencoba untuk mengkuantifikasi kebutuhan hara N, P, dan K secara simultan berdasarkan target hasil yang dapat dicapai.
Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas jagung di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rataan Laju Pertumb(%)
Luas panen (ha) 191.960 205.909 213.818 199.310 210.336 206.387 262.214 212.847
Produksi (ton) 60.358 68.148 87.650 78.147 73.154 74.672 97.037 77.023
Produktivitas (t/ha) 2,69 3,21 3,04 3,44 3,42 3,33 3,70 3,26
5,84
1,56
0,98
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Provinsi Sulawesi Selatan (Data sekunder setelah diolah)
628
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Konsumsi pupuk dalam sistem produksi jagung berkaitan erat dengan kondisi agro-ekologi dan kebutuhan tanaman. Adopsi jagung varietas hibrida berdaya hasil tinggi, secara umum telah memacu petani untuk meningkatkan produksinya mirip de-ngan revolusi hijau pada tanaman padi. Provinsi Sulawesi Selatan secara administratif terdiri dari 21 kabupaten, salah satu kabupaten yang potensial untuk tanaman jagung baik pada lahan sawah tadah hujan maupun lahan kering yaitu Kabupaten Bone. Kabupaten Bone secara administratif terdiri dari 27 kecamatan dengan luas persawahan 88.449 ha dan tegalan/ladang 120.524 ha yang merupakan areal potensial untuk tanaman pangan khususnya jagung pada setiap kecamatan. Rataan produktivitas jagung di Sulawesi Selatan 3,26 t/ha dan di Kabupaten Bone baru mencapai 2,69 t/ha. Dalam kondisi demikian terdapat senjang hasil yang cukup berarti antara produktivitas di tingkat provinsi dan kabupaten sebesar 0,57 t/ha. Senjang hasil antara produktivitas di tingkat provinsi dan hasil penelitian dan potensi hasil jagung hibrida sangat banyak berkisar 5 - 6 ton/ha. Oleh karena itu perlu ditelusuri penyebab rendahnya produksi baik dari segi keragaan agronomisnya maupun dari segi ekonomi yang berdampak terhadap pendapatan petani.
melihat areal panen, produksi dan produktivitasnya selain itu merupakan wilayah pengembangan tanaman jagung hibrida pada lahan sawah tadah hujan dengan topografi datar. Data primer dilaksanakanm dengan mengadakan survei intensif pada lokasi yang telah dipilih tersebut. Survei awal yaitu dengan mengadakan wawancara dengan pemuka masyarakat sebagai informasi kunci (key informan) dan dilanjutkan dengan wawancara dengan 20 orang petani sebagai responden. Data primer yang telah dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara sederhana dengan menghitung nilai rata-rata : biaya, produksi, keuntungan serta permasalahan yang dihadapi petani.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Petani Responden Umumnya petani yang bertanam jagung di Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone adalah laki-laki dengan umur berkisar 25 – 65 tahun, berpendidikan sebagaian besar tingkat Sekolah Dasar (90%) dan selebihnya SLTA (10 %) dengan pengalaman bertanam jagung kurang dari 5 tahun yang jumlahnya terbanyak (80 %) dan selebihnya (20%) dengan pengalaman berkisar 6 – 10 tahun. Generasi muda yang berpengalaman kurang dari lima tahun mulai bertanam jagung hibrida karena tertarik dengan produksi tinggi dibanding varietas jagung komposit (Tabel 2). Lahan yang digarap untuk usahatani jagung umumnya hak milik dan sebagian oleh penyakap/bagi hasil dengan pola tanam utama adalah jagung terus menerus (70 %) dan sebagian kecil dengan pola tanam padi – jagung dan padi-jagung-jagung. Rata-rata luas garapan yang dikelola petani untuk tanaman jagung seluas 0,88 ha.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan secara bertahap yaitu dengan pengumpulan data sekunder dan primer. Dari data sekunder tingkat Provinsi Sulawesi Selatan dipilih Kabupaten Bone, kemudian dipilih Kecamatan Dua Boccoe sebagai lokasi survei karena dianggap dapat mewakili secara umum Kabupaten Bone dengan 629
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 2. Karakteristik petani responden di Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. 2010 Kecamatan Dua Boccoe (n = 20)
Karakteristik
Jumlah
%
Laki-laki
20
100
Wanita
0
0
25-35
3
15
36-45
12
60
46-55
2
10
56-65
3
15
> 65
0
0
SD
18
90
SLTP
0
-
SLTA
2
10
0-5
16
80
6-10
4
20
11-15
0
0
16-20
0
0
> 20
0
0
Padi gogo-jagung
3
15
Padi gogo-jagung-jagung
3
15
Jagung terus menerus
14
70
Jenis kelamin
Umur (tahun)
Pendidikan
Pengalaman sebagai petani (tahun)
Pola tanam utama
Rataan luas lahan garapan (ha)
0,88
Keragaan Agronomi Jagung Hibrida 630
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Sistem produksi jagung.
diperoleh baik dari pengusaha maupun dari Dinas Pertanian, antara lain: N32, Cap Kuda, Nusantara 1, Jaya 1(Jaya Sulawesi) dan Bisi 2 (Tabel 4). Menurut pengalaman petani yang paling bagus adalah BISI 2 karena penampilan tanaman kuat dan produksi tinggi dibanding yang lainnya.
Di Kabupaten Bone khususnya di Kecamatan Dua Boccoe jagung umumnya ditanam pada lahan sawah tadah hujan dengan indeks pertanaman yang terbanyak 3 x pertahun (55 %) (Tabel 3). Tabel 3. Sistem produksi jagung di Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone,Provinsi Sulawesi Selatan, 2010 Uraian
Jumlah
Tabel 4. Penggunaan varietas jagung hibrida ditingkat petani di Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan,2010
%
Sistem produksi : Lahan kering
0
0
Lahan sawah tadah hujan
20
100
1 x pertahun
3
15
2 x pertahun
6
30
3 x pertahun
11
55
Uraian Varietas, MH
Indeks pertanaman
Luas tanam jagung/KK (ha) Musim (MH)
Hujan
0,90
Musim (MK)
Kemarau
0,86
Jumlah
%
P-21 Bisi-2 C-8 SHS-2 Jaya Sulawesi Varietas, MK
0 10 0 2 8
0 50 0 10 40
SHS-2 Bisi-2 Jaya Sulawesi Sumber benih Kios/Pedagang Kelompok Tani Benih (kg/ha) MH
2 10 8
10 50 40
10 10
50 50
MK
Benih dan varietas unggul baru Di tingkat petani varietas jagung hibrida yang banyak ditanam di Kecamatan Dua Boccoe adalah BISI 2 ( 50 %), Jaya Sulawesi (40 %) dan SHS -2 (10 %), baik pada waktu tanam musim hujan maupun musim kemarau. Benih diperoleh petani yaitu dengan membeli dikios/pedagang (50 %) dan dari kelompok Tani (50%), lain halnya di. Berdasarkan pengalaman petani pada awal mereka mulai tanam jagung hibrida (2004/2005) beragam tergantung dari promosi atau bantuan yang
Harga benih (Rp/kg)
16,50 17,25 37.500
Penyiapan Lahan, Waktu tanam dan populasi tanaman. Di Kecamatan Dua Boccoe umumnya petani menanam jagung pada musim hujan bulan Desember dan panen bulan Maret, untuk musim kemarau bulan April/Mei dan panen Juli/Agustus dan untuk tanam berikutnya pada bulan September dan panen November/ Desember jika hujan turun dan mencukupi. 631
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Persiapan lahan untuk ditanami jagung umumnya tanpa olah tanah (TOT) atau olah tanah minimum (OTM) dengan herbisida baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Jumlah biaya yang dikeluarkan oleh petani pada musim hujan sejumlah Rp 144.800,- dan pada musim kemarau sejumlah Rp 117.300,-/ ha. Rata-rata petani menanam benih jagung 1 biji/lubang dengan jarak tanam bervariasi sehingga populasi tanaman bervariasi. Dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm (Legowo 2) diperoleh populasi 66.666 tanaman/ha (Tabel 5).
Pengelolaan hara dan air Petani dalam mengelola tanamannya sebagian besar menggunakan pupuk organik yang berasal dari kotoran ayam. Kotoran ayam lebih mudah diperoleh dibanding kotoran sapi oleh karena petani dapat membeli dengan murah dari pedagang pengumpul desa yang membawa jagung ke Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten tersebut merupakan daerah penghasil telur ayam sehingga jagung dari Kabupaten Bone banyak dibawa kesana dan sekembalinya pedagang memuat kotoran ayam yang nantinya dijual kepetani. Di Kecamatan Dua Boccoe,harga pakan ditingkat petani adalah rata-rata Rp.94,75/kg
Tabel 5. Jarak tanam, populasi dan biaya tanam jagung di Kecamatan Dua BoccoE, Kabupaten Bone, Provinsi SulawesiSelatan.2010 Uraian
Jumlah (n =20)
%
Jumlah benih/lubang 1 benih/lubang
20
100
2 benih/lubang
0
0
(40x20)x80cm (legowo 2)
5
25
75 x 20 cm
7
35
60 x 25 cm
0
0
70 x 40 cm
8
40
70 x 20 cm
0
0
Jarak tanam
Populasi tan./ha (40x25)x75cm (legowo 2)
0
(40x20)x80cm (legowo 2)
62.500
75 x 20 cm
66.666
70 x 40 cm
35.714
Biaya tanam (Rp/ha)
326.255 632
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
dengan takaran yang digunakan rata-rata 3.680 kg/ha. Pupuk kandang tersebut diberikan pada lubang tanam setelah benih jagung ditanam (Tabel 6).
dilakukan oleh sebagian besar petani (70 %) dan ada yang mencocor di sekitar tanaman (30%), frekuensi pemberian pupuk 2 kali, yaitu umur tanaman rata-rata 12 hst dan
Tabel 6. Penggunaan pupuk organik pada tanaman jagung di Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.2010 Uraian
Jumlah (n=20)
%
Ya
17
85
Tidak
3
15
Kotoran sapi
0
0
Kotoran ayam
20
100
Mudah
17
85
Sukar
3
15
Pemberian pupuk organik
Bentuk pukan
Ketersediaan
Takaran (kg/ha)
3.680
Harga pukan sampai di lahan (Rp/kg)
94,75
Harga pukan (Rp/ha)
348.680
Biaya aplikasi pukan (Rp/ ha)
130.000
Penggunaan pupuk anorganik/kimia pada tanaman jagung di Kecamatan Dua Boccoe dengan menggunakan Urea 347,50 kg/ ha, SP-36 57,50 kg/ha, Ponska 67,50 kg/ha, selain itu ada yang menggunakan ZA 12,50 kg/ ha. Jumlah biaya yang dikeluarkan petani untuk pupuk kimia tersebut sejumlah Rp 694.597,-/ha dengan biaya aplikasi Rp 200.250,-/ha,- (Tabel 7). Pemberian pupuk anorganik dengan cara ditugal disamping lubang tanaman oleh
umur 31,5 hst (25 %)(Tabel 8). Umumnya petani menanam jagung dengan mengandalkan air hujan dan sisa tanaman dijadikan sebagai mulsa untuk mencegah penguapan pada musim kemarau. Pengendalian hama, penyakit dan gulma. Berdasarkan informasi dari petani bahwa hama yang sering menyerang tanaman jagung di Kecamatan Dua Boccoe adalah belalang, penggerek tongkol. Kemudian penyakit
633
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 7. Penggunaan pupuk kimia pada tanaman jagung di Kecamatan Dua BoccoE KabupatenBone, Provinsi Sulawesi Selatan. 2010 Uraian
Jumlah (kg/ha)
Biaya (Rp/ha)
Urea
347,50
451.750
SP-36
57,50
109.135
0
0
Ponska
67,50
117.150
ZA
12,50
16.562,50
Pemupukan
KCl
Biaya pupuk (Rp/ha)
694.597
Biaya aplikasi (Rp/ha)
200.250
Tabel 8. Cara, frekuensi, dan takaran pemberian pupuk kimia pada tanaman jagung di Kecamatan Dua Bocc0E, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.2010 Uraian
Jumlah(n=20)
%
Ditugal di samping lubang tanaman
14
70
Ditugal di samping lubang tanaman, kemudian ditutup
0
0
Dicocor
6
30
1 kali
0
0
2 kali
20
100
12
-
31,5
-
Cara pemberian pupuk
Frekuensi pemberian pupuk urea
Waktu pemberian pupuk urea Pemberian I (HST) Pupuk susulan (HST) Takaran pupuk urea Pemberian I (kg/ha)
338,23
Pupuk susulan (kg/ha)
146,75
yang sering muncul adalah bercak daun dan busuk pelepah. Untuk mengantisipasi hal tersebut disarankan petani melakukan pengendalian termasuk gulma, hama dan penyakit. Dalam pengendalian hama penyakit petani mengeluarkan biaya sebesar Rp 148.525,-/ha dan untuk gulma sejumlah Rp 136.000,-/ha.
Panen dan produksi jagung hibrida. Produksi jagung hibrida yang diperoleh pada musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau yaitu rata-rata 7,82 t/ha dan 5,92 t/ha. Akan tetapi har-ga jagung lebih murah pada waktu hasil panen musim hujan yaitu Rp.1.535,-/kg dibanding pada hasil panen mu634
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
sim kemarau yaitu Rp 1.720,-/kg . Terjadinya perbedaan harga yang cukup besar disebabkan kadar air yang masih tinggi, serta kebutuhan petani mendesak dan tidak tersedianya tempat penyimpanan hasil dalam skala luas. Keragaan Ekonomi Jagung Hibrida
Sistem
dapat diketahui bahwa total biaya produksi yang dikeluarkan sejumlah Rp 3.524.130,-/ha dengan penerimaan sejumlah Rp 12.012.910,/ha sehingga diperoleh keuntungan sejumlah Rp 8.488.780,-/ha pada hasil panen musim hujan. Sedang keuntungan yang diperoleh pada hasil panen musim kemarau sejumlah Rp 6.907.620,-/ha. Selanjutnya untuk mengetahui secara ekonomis usahatani jagung menguntungkan yaitu dengan hasil analisis R/C rasio diperoleh nilainya lebih besar dari satu (>1), jadi terlihat bahwa usahatani jagung hibrida yang diusahakan pada musim hujan dan musim kemarau adalah menguntungkan petani (Tabel 9).
Usahatani
Untuk mengetahui suatu usahatani menguntungkan yaitu dengan menghitung semua biaya-biaya yang dikeluarkan (pembelian sarana produksi dan upah tenaga kerja) dan penerimaan dari nilai hasil produksi yang di-peroleh. Berdasarkan hasil analisis usahatani jagung hibrida di Kecamatan Dua Boccoe
Tabel 9. Analisis finansial usahatani tanaman jagung di musim hujan dan musim kemarau, Kecamatan Dua BoccoE, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. 2010 Uraian
Musim tanam MH
MK
Komponen Biaya (Rp/ha) Saprodi Benih
618.750
618.750
Herbisida Pratanam
144.800
140.300
Kontak/penyiangan
136.000
-
Pupuk organic
384.643
380.585
Pupuk anorganik
694.597
690.850
Pestisida (Rp/ha)
148.525
148.525
2.127.315
1.979.010
1.396.815
1.296.170
3.524.130
3.266.180
Produksi (kg/ha)
7.826
5.915
Harga jagung kering panen (Rp/kg)
1.535
1.720
12.012.910
10.173.800
8.488.780
6.907.620
2,41
2,11
Total saprodi 2. Total tenaga kerja (tanam, memupuk,panen dan b.angkut) Total Biaya Komponen Pendapatan
Penerimaan (Rp/ha/musim) Keuntungan Finansial Keuntungan atas Biaya Tunai (Rp/ha/musim) R/C ratio 635
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Jadi terlihat bahwa usahatani jagung hibrida baik diusahakan dan dikembangkan pada wilayah yang potensial untuk jagung, khususnya di lahan sawah tadah hujan. Untuk pengembangannya diperlukan dukungan pemerintah yaitu penyediaan fasilitas pompa terutama pada musim kemarau, alat pemipil, tempat dan alat pengering serta penyimpanan hasil.
4. Jumlah total biaya yang dikeluarkan petani pada MH lebih tinggi dibanding MK, dan produksi yang diperoleh juga tinggi, namun harga dimusim kemarau lebih tinggi dibanding pada musim hujan. Jumlah keuntungan yang diperoleh petani pada MH sejumlah Rp. 8.488.780,- dan pada MK sejumlah Rp. 6.907.620,5. Besarnya senjang hasil dan keuntungan yang diperoleh antara MH dan MK memerlukan dukungan dari pemerintah seperti penyediaan pompa air pada musim kemerau dan tempat pengeringan dan penyimpanan hasil. Dengan adanya fasilitas tersebut maka jagung dapat dikembangkan pada areal yang lebih luas, sehingga pendapatan petani khususnya dapat meningkat dan masyarakat di pedesaan pada umumnya.
Kesimpulan 1. Pengalaman petani mulai tanam hirida 2004/2005 dan beragam tergantung dari promosi atau bantuan yang diperoleh baik dari pengusaha maupun dari Dinas Pertanian. antara lain: N32, Cap Kuda, Nusantara 1, Jaya 1(Jaya Sulawesi) dan BISI 2. Yang paling bagus dan disukai adalah BISI 2 karena penampilan tanaman kuat dan produksi tinggi dibanding yang lain. 2. Penanaman jagung pada MH dan MK pada lahan yang tanpa diolah (TOT) atau olah tanah minimum (OTM) dengan herbisida, dengan jumlah biji rata-rata 1 buah dengan jarak tan bervariasi. 3. Petani dalam mengelola tanamannya sebagian besar menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam. Selain pupuk kandang petani juga meng-gunakan pupuk anorganik sejumlah 347,50 kg Urea, SP 36 sejumlah 57,50 kg/ha dan Ponska sejumlah 67,0 kg/ha dan juga ada petani yang menggunakan ZA sejumlah 12,50 kg/ha, dengan demikian rata-rata biaya pemupukan dan aplikasinya sejumlah Rp 894.847, -/ha.
Daftar Pustaka Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2008. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Dobermann, A. T. Arkebauer, K.G. Casman, R.A. Drijber, J.L. Lindquist, J.E. Specht, D.T. Walters, H. Yang, D. Miller, D.L. Binder, G. Teichmeier, R.B. Ferguson, and C.S. Wortmann. 2002. Understanding corn yield potential in different environments. P.67-82 In L.S. Murphy (ed.) Fluid focus: the third decade. Proceedings of the 2003 Fluid Forum, Vol. 20. Fluid Fertilizer Foundation, Manhaatan, KS. Janssen BH, Guiking FCT, van der Eijk D, Smaling EMA, Wolf J, van Reuler H. 1999. A system for quantitative eva-
636
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
luation of the fertility of tropical soils (QUEFTS). Geoderma. 46:299-318.
Witt, C., V. Balasubramanian, A. Dobermann and R.J. Buresh. 2002. Nutrient management. p.1-45. In T.H. Fairhurst and C. Witt (ed) Rice: a practical guide to nutrient management. PPI/PPIC, IRRI, Singapore, Manila.
Kasryno, F., E. Pasandaran, Suyamto, dan M.O. Adnyana. 2007. Gambaran umum ekonomi jadung Indonesia. Dalam Buku Jagung. Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal. 474497.
637