MENGUJI KETERKAITAN PASAR JAGUNG DI SULAWESI SELATAN Helmy Syamsuri STIE YPUP Makassar Abstract Corn is the one of several main commodity of farming in South Sulawesi. South Sulawesi as the fourth Indonesian producer of corn doesn’t success if there is no farmer with success corn farming system and also there is no marketer with success in marketing of this product. The good marketing and the perfect market information create good market opportunity and access for farmer in producer area. As a consequence of that, the present of high market integration between producer area and consumer area become important. Through with the prices variable used to test level of market integration between Gowa, Bantaeng, Bone, Enrekang as producer areas and Makassar as a consumer area. Keywords: Corn, Market Integration, Market Information, Price.
PENDAHULUAN Dua puluhan tahun yang lalu, jagung bukan termasuk komoditi yang menarik. Di bidang tanaman pangan, energi dan perhatian kita banyak terkuras untuk memikirkan tanaman padi atau beras. Swasembada beras menjadi ukuran yang begitu tinggi bagi pemerintah mulai di tingkat pusat hingga ke daerah. Dalam tiga atau lima tahun terakhir, jagung mencuri perhatian banyak pihak. Namun yang menjadi meningkat permintaannya adalah jagung sebagai salah satu bahan pakan ternak. Dengan meningkatnya industri peternakan maka permintaan jagung juga semakin meningkat. Selain itu, preferensi konsumen yang mengarah kepraktisan, maka industri makanan jadi juga meningkat pesat, termasuk yang menggunakan jagung sebagai bahan bakunya. Namun yang lebih menarik lagi, berkembangnya teknologi sumber energi alternatif melengkapi atau mengkonversi sumber energi konvensional yang telah lama digunakan. Di Amerika Serikat dan negara maju lainnya dalam beberapa tahun terakhir berkembang teknologi etanol yang salah satu bahan bakunya adalah jagung. Industri etanol di AS telah mengkonsumsi 14 persen dari total produksi jagung AS di tahun 2005, dan diperkirakan di tahun 2008 konsumsi jagung untuk bahan baku etanol sebesar dua kali lipat dari ekspor jagung AS yang berada di kisaran 50 juta ton pertahun (Dinnen, 2007 dan Baker & Zahniser, 2007). Dengan kondisi ini menjadikan pasar jagung dunia menjadi berubah. AS sebagai negara yang menguasai 63 persen pangsa ekspor jagung dunia lebih menfokuskan kebutuhan jagungnya untuk pasar dalam negeri. Akibatnya harga jagung dunia bergejolak. Berbagai kondisi inilah yang menjadikan jagung dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi menarik. Dampaknya harga jagung dalam negeri menjadi bergejolak, mengikuti suplaidemand yang terus bergerak. Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra produksi jagung nasional memperoleh dampak atas kondisi tersebut. Pergerakan harga menjadi perhatian bagi berbagai pihak mulai dari hulu hingga hilir dalam ekonomi jagung nasional maupun daerah.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari tulisan ini adalah melihat bagaimana keterkaitan harga di tingkat tertentu berpengaruh terhadap harga jagung di tingkat produsen jagung di Sulawesi Selatan. Didasari bahwa sentra produsen jagung di Sulawesi Selatan berada di beberapa kabupaten. Tingkatan pemasaran selanjutnya berada di sentra konsumen atau sentra grosir untuk pemasaran selanjutnya. Untuk tahapan ini dipilih Makassar sebagai titik pemasaran lanjutan dari sentra produksi jagung di kabupaten yang ada, karena diketahui Makassar sebagai ibukota propinsi yang berpenduduk terbanyak di Sulawesi Selatan, wilayah sentra industri pakan dan makanan olahan, serta memiliki pelabuhan dan bandara udara sebagai pintu gerbang keluar masuknya barang. Dengan demikian, secara rinci tujuan tulisan ini adalah: (1) Mengetahui pergerakan harga jagung pada Kabupaten Gowa, Bantaeng, Bone, Enrekang dan Makassar, dan (2) Menguji keterkaitan jangka pendek dan jangka panjang pasar jagung antara Kabupaten Gowa, Bantaeng, Bone dan Bulukumba terhadap pasar jagung Makassar. SULAWESI SELATAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI JAGUNG Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi jagung di Indonesia. Dari data tahun 2001 hingga 2007, rata-rata produksi jagung Sulawesi Selatan mencapai sekitar 688 ribu ton, atau dengan pangsa produksi 6,20 persen. Karena itu posisi Sulawesi Selatan berada di urutan keempat sebagai produsen utama jagung nasional. Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan produsen pertama dan kedua, dimana gabungan kedua propinsi ini menguasai sekitar 52,78 yang berarti melebihi dari setengah produksi nasional. Artinya sampai saat ini pulau Jawa masih menjadi sentra produksi jagung nasional. Dari table 1 diperoleh bahwa dari sepuluh propinsi utama produsen jagung nasional, hampir semua propinsi di pulau Jawa termasuk didalamnya. Sedangkan propinsi dari pulau Sulawesi, selain Sulawesi Selatan termasuk pula Gorontalo dan Sulawesi Utara. Artinya cita-cita Gubernur dari propinsi di Sulawesi yang dimotori Gubernur Fadel Muhammad untuk menjadikan sentra jagung nasional di luar Jawa tidaklah sekedar angan-angan, melainkan dengan potensi yang dimilikinya hal tersebut bisa tercapai.
Tabel 1 Sentra Produksi Utama Jagung Nasional Tahun 2001-2007 No
Lokasi
Ribu Ton
Pangsa
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Rerata
%
1 Jawa Timur
3,530
3,692
4,182
4,134
4,399
4,011
4,228
4,025
36.25
2 Jawa Tengah
1,554
1,506
1,926
1,836
2,191
1,856
1,974
1,835
16.53
3 Lampung
1,123
989
1,088
1,217
1,439
1,184
1,225
1,181
10.63
4 Sulawesi Selatan
500
643
640
661
706
696
970
688
6.20
5 Sumatera Utara
634
641
687
713
735
682
678
682
6.14
6 NTT
553
581
583
623
552
583
573
578
5.21
7 Jawa Barat
361
464
444
549
587
573
615
513
4.62
8 Gorontalo
82
61
184
251
400
416
544
277
2.49
9 D.I.Yogyakarta
188
171
204
212
249
224
243
213
1.92
10 Sulawesi Utara
150
117
145
150
195
243
406
201
1.81
Lainnya
657
702
793
866
1,070
1,141
1,142
910
8.20
Total
9,332
9,567
10,876
11,212
12,523
11,609
12,598
11,103
100.00
Sumber: www.deptan.go.id. Dan Diperta SulSel, berbagai tahun (diolah)
KERANGKA TEORITIS Dalam sistem pemasaran, keterkaitan pasar merupakan hal yang penting. Keterkaitan menggambarkan mengalirnya suatu produk atau komoditi pertanian dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Bila tidak terjadi hal demikian berarti tidak terjadi kegiatan pemasaran produk antara kedua daerah tersebut. Untuk menguji ada tidaknya keterkaitan pasar suatu komoditi dapat diuji melalui adanya perbedaan harga dari kedua titik (misalnya antara sentra produksi dan sentra konsumsi) dan harga kedua titik tersebut bergerak bersama (Behura dan Charan, 1998). Pasar yang tidak memiliki keterkaitan menurut Behura dan Charan (1998) kemungkinan disebabkan oleh penyampaian informasi harga yang tidak akurat. Informasi yang asimetris ini akan mengakibatkan keputusan pemasaran menjadi keliru dan berkontribusi terhadap perpindahan produk yang tidak efisien. Salah satu metode untuk menguji keterkaitan pasar adalah model atau prosedur Ravallion (the Ravallion procedure). Menurut Ravallion (1986), model keterkaitan pasar ini dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar produksi dipengaruhi oleh harga di pasar konsumsi dengan mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dan harga pada saat ini. Ravallion mengembangkan model integrasi pasar yang selanjutnya dikembangkan oleh Heytens
(1986). Model dimulai dengan membangun kesenjangan bersebaran autoregresi (Autoregressive Distributed Lag) antara setiap harga mata dagangan suatu tempat dengan tingkat harga pasar acuan setempat: (Pit - Pit-1 ) = (i - 1)(Pit-1 - Pjt-1) + i0 (Pjt - Pjt-1) + (i + i0 + i1- 1) Pjt-1 + iXt + it .........
(1)
dimana: Pit Pit-1 Pjt Pjt-1 Xt
= = = = =
Harga di tingkat pasar pengecer ke -i pada waktu t ( i= 2,...,N) kesenjangan (lag) harga di tingkat pasar pengecer ke - i Harga di tingkat pasar acuan pada waktu t Harga di tingkat pasar acuan ke-j pada waktu t-1 Faktor musiman dan peubah lain yang relevan di pasar i pada waktu t (dengan koleksi peubah yang sama semua pasar dan pada semua waktu)
Persamaan (1) menyatakan bahwa perubahan harga di suatu tempat adalah fungsi dari perubahan dalam selisih harga dengan pasar acuan waktu sebelumnya, perubahan harga pasar acuan pada waktu yang sama dan ciri-ciri pasar setempat. Untuk memudahkan penggunaan dan interpretasi hasil, maka persamaan di atas disederhanakan hingga menjadi : Pit = b1Pit-1 + b2 (Pjt - Pjt-1) + b3 Pjt-1 + et .......………. … (2) Persamaan (2) menunjukkan bagaimana harga di suatu pasar (pasar j) mempengaruhi pembentukan harga di pasar lain (pasar i), dengan mempertimbangkan pengaruh harga yang lalu dengan harga saat ini. Koefisien b2 untuk mengukur bagaimana perubahan harga di tingkat pasar acuan (Pj) diteruskan kepada harga di pasar ke-i. Keseimbangan jangka pendek dicapai jika koefisien b2 = 1, maka perubahan harga yang terjadi bersifat netral dalam proporsional persentase. Sedangkan untuk mengetahui indeks keterkaitan pasar (IMC = Index of Market Connection) adalah pembagian seperti dibawah ini:
IMC
b1 b3
.......................................................…… (3) Jika harga yang terjadi di pasar acuan pada waktu sebelumnya (Pjt-1) merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di pasar ke-i pada waktu tertentu, maka kedua pasar tersebut terhubungkan dengan baik. Hal ini juga berarti jika IMC < 1 maka terdapat tingkat integrasi pasar jangka panjang yang relatif tinggi antara harga di tingkat pasar ke-i dengan harga di tingkat pasar akhir. Jika IMC = 0 berarti harga di tingkat pasar ke-i pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga yang diterima pedagang pada pasar ke-i sekarang. Jika IMC > 1 dan nyata, maka antara pasar acuan dengan pasar ke-i tidak terpadu. Hal ini berarti harga di pasar acuan dengan pasar ke-i tidak saling mempengaruhi. Pada kondisi normal nilai IMC positif dan nilai 1 antara 0 dan -1. Secara umum keseimbangan jangka panjang dicapai jika nilai IMC semakin mendekati
nol, artinya semakin tinggi tingkat integrasi pasarnya. Dengan kata lain harga di pasar acuan dengan pasar ke-i saling mempengaruhi. Sedangkan untuk melihat keterkaitan jangka pendek, digunakan koefisien b2. Semakin mendekati satu pada nilai koefisien b2, maka derajat asosiasinya semakin tinggi. Dua pasar dikatakan memiliki keterkaitan secara sempurna dalam jangka pendek apabila nilai koefisien korelasinya sama dengan satu. HASIL DAN PEMBAHASAN PERGERAKAN HARGA JAGUNG Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga jagung di Kabupaten Gowa (HJG), Bantaeng (HJB), Bone (HJO), Enrekang (HJE) dan Makassar (HJM) dengan rentang waktu rata-rata bulanan dari tahun 2003 hingga 2007. Pada Gambar 1 diperlihatkan pergerakan harga jagung pada keempat kabupaten sentra dan Makassar. Peningkatan rata-rata harga bulanan dari kelima daerah tersebut berkisar antara 0,74 hingga 2,19 persen pertahun. Pada tahun 2003 hingga awal 2004, perbedaan antara harga di daerah produsen terhadap harga jagung di Makassar cukup besar. Perbedaan harga ini pernah terjadi dimana harga di daerah produsen sebesar Rp 750/kg sedangkan harga di Makassar sebesar Rp 1500/kg. Namun setelah waktu itu yaitu antara 2004 hingga 2006 perbedaan harga di daerah produsen dengan harga di makassar lebih kecil. Sedangkan periode akhir 2006 sampai 2007 terjadi kesenjangan harga cukup besar baik antar daerah pasar produsen, maupun antara daerah produsen dengan Makassar. Selain itu pula, terjadi fluktuasi harga yang cukup tinggi antar bulanan pada masing-masing daerah produksi dan Makassar. Seperti misalnya dari awal hingga pertengahan tahun 2007, harga berkisar dan bergerak antara Rp 1000/kg hingga Rp 2500/kg. Kisaran harga yang tinggi ini menjadikan petani dan pelaku pasar jagung menghadapi risiko usaha yang lebih besar. Dan kondisi seperti ini biasanya terjadi keterkaitan pasar yang lemah antara pasar produsen dengan pasar lanjutannya atau pasar konsumen.
HJG HJB
2,500
HJO HJE HJM
1,500
1,000
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Rp/kg
2,000
2003
2004
2005
2006
2007
Gambar 1. Rata-rata Harga Jagung Bulanan Kabupaten Sampel Tahun 2003-2007 Sumber: BKPD Sulsel, berbagai tahun (diolah).
UJI KETERKAITAN PASAR JAGUNG Dengan menggunakan model persamaan Ravallion yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka disusun model persamaan keterkaitan pasar jagung antara empat daerah produsen terhadap pasar Makassar. Keempat persamaan terebut adalah (1) pasar Gowa – Makassar, (2) pasar Bantaeng – Makassar, (3) pasar Bone – Makassar, dan (4) pasar Enrekang – Makassar. Hasil regresi keempat persamaan tersebut seperti ditampilkan pada table 2. Tabel 2. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Keterkaitan Harga Jagung Gowa
HJG
Bantaeng HJB Bone
HJO
Enrekang HJE
b0 -253.163 (-0.904) 26.416 (0.181) 248.023 (1.399)*** -180.392 (-1.154)****
b1 b2 0.417 0.758 (-3.397)* (1.863)** 0.895 -0.239 (12.298)* (-1.153)**** 0.644 0.895 (6.442)* (3.429)* 0.892 -0.202 (10.795)* (-0.952)
b3 0.729 (3.045)* 0.080 (0.841) 0.122 (0.913) 0.227 (2.269)*
R2 F hit 0.545 21.918 *
IMC 0.571
0.762 58.751 *
11.182
0.597 27.205 *
5.265
0.736 50.985 *
3.926
Ket: nilai dalam tanda kurung adalah nilai t hitung * signifikan pada taraf uji 5% ** signifikan pada taraf uji 10% *** signifikan pada taraf uji 20% **** signifikan pada taraf uji 30%
Nilai koefisien determinasi R2 keempat persamaan antara 54,5 persen hingga 76,2 persen. Sedangkan nilai F hitung keempat persamaan tersebut semuanya signifikan pada taraf uji 5 persen. Nilai parameter dugaan pada keempat persamaan harga jagung pada umumnya signifikan pada berbagai tingkatan taraf uji dan sesuai dengan tanda yang diharapkan (yaitu positif). Sehingga secara umum dapat dikatakan model keempat persamaan cukup baik. Keterkaitan Jangka Pendek Untuk melihat keterkaitan jangka pendek pasar jagung di tingkat kabupaten dan Makassar yaitu dengan melihat nilai parameter b2. dengan membandingkan keempat kabupaten produsen jagung tersebut, maka yang memiliki keterkaitan jangka pendek yang paling tinggi dengan pasar jagung Makassar adalah jagung dari Kabupaten Bone (0,895), disusul Kabupaten Gowa (0,758). Sedangkan untuk Kabupaten Bantaeng dan Enrekang, karena tanda nilai b2 persamaan HJB dan HJE tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka diduga tidak ada keterkaitan jangka pendek antara pasar jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Enrekang terhadap pasar jagung Makassar. Dengan demikian dengan berubahnya harga jagung di Makassar maka secara langsung mempengaruhi harga jagung di Bone dan Gowa. Bila harga jagung di Makassar meningkat sebesar Rp 100/kg maka masing-masing harga jagung di Bone akan meningkat sebesar Rp 89,5/kg dan harga jagung di Gowa meningkat sebesar Rp 75,8/kg, dengan asumsi faktor lain tidak berubah.
Keterkaitan Jangka Panjang Sedangkan keterkaitan jangka panjang pasar jagung di empat Kabupaten terhadap pasar jagung Makassar yaitu dengan melihat nilai IMC masing-masing. Dari nilai IMC masing-masing maka dapat diduga bahwa pasar jagung di Gowa memiliki integrasi pasar jangka panjang tertinggi dibanding kabupaten lainnya. Karena ketiga Kabupaten lainnya memiliki nilai IMC lebih dari 1 maka dapat diduga bahwa pasar jagung di Kabupaten Bantaeng, Bone dan Enrekang tidak ada keterkaitan dalam jangka panjang terhadap pasar jagung di Makassar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan adanya keterkaitan pasar jangka panjang yang cukup tinggi antara pasar jagung Gowa dengan pasar jagung Makassar, maka perubahan harga jagung di Makassar dalam jangka panjang akan direspon dengan baik dengan perubahan harga jagung di Gowa dalam rentang waktu lebih panjang. KESIMPULAN Dengan menguji keterkaitan pasar antara keempat daerah produsen terhadap daerah Makassar sebagai daerah konsumen atau pasar lanjutan, maka dapat diketahui bagaimana informasi pasar berjalan diantara pasar jagung di Sulawesi Selatan. Dari empat sampel daerah penghasil jagung dapat diperoleh hubungan atau keterkaitan antar pasar berbeda-beda. Dari keempat daerah produsen jagung, hanya pasar jagung di Gowa yang memiliki keterkaitan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan pasar jagung di Makassar. Hal ini berarti informasi harga sebagai salah satu komponen penting dalam pemasaran berjalan dengan sempurna antar kedua tingkatan pasar tersebut. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena jarak kedua daerah tersebut paling dekat dibanding daerah lainnya, sehingga informasi pasar antar daerah Gowa dan Makassar berjalan lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA Angipora,Marius,P.2002.Dasar-Dasar Manajemen.Cetakan Kedua.Edisi Revisi.RajaGrafindo.Jakarta. Baker,A dan S.Zahniser 2007.Ethanol Reshapes the Corn Market. Amber Waves. Volume 5, Pages 66-71. www.ers.usda.gov/amberwaves. Behura,D dan Charan,D.P.1998. Cointegration and market integration: An Application to The Marine Fish Mark. Indian Journal Of Agricultural Economics, Jul-Sep 1998;53,3. BKPD SulSel.Berbagai tahun. Laporan Tahunan. Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Dinneen,B.2007.Ethanol, reducing Greenhouse Gases.Delivered to the National Ethanol Conference, Tucson.Arizona, Februari 20,2007.Academic Research Library.Apr 2007:73, page: 167-170. Diperta Sulsel. Berbagai tahun.Laporan Statistik Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Provinsi Sulawesi Selatan. Gregerius Chandra.2002.Strategi dan Program Pemasaran.Edisi Pertama.Cetakan Pertama.Andi Offset.Yogyakarta. Heytens,M.1986. Testing Market integration.Food Research Institute Studies,20(1):25-41. Indriyo Gitosudarmo,2000.Manajemen Pemasaran.Edisi Pertama,Cetakan Keenam.BPFE.Yogyakarta. Lamb,W.C.,dkk.2001.Pemasaran.Saleba.Jakarta. Kotler Philip,2001.Dasar-Dasar Pemasaran,Edisi Kedua,Cetakan Ketujuh.Intermedia.Jakarta Ravallion,M.1986.Testing Market Integration.American Journall of Agricultural Economics,68(1):102-109. www.deptan.go.id