KEPUSTAKAAN Alchian, A,, H. Demsetz. 1972. Production, Information Costs, and Economic Organization. Am. Econ. Rev.62:777-95. Andersons, Terry L. 1982. The New Resource Economics: Am. J. Agr. Old Ideas and new Applications. Econ., 64:928-34.
, and Peter J. Hi11.1976. The Role of Private Property in the History of American Agriculture, 1776-1976. Am. J. Agr. Econ. 58:93745.
Anon.
1991a. Tarip Upah Tahun 1991. KPH Pati.
Perum Perhutani
.KPH1991b. Tarip Upah Tahun 19'91. Perum Perhutani Cepu. . 1989a. Laporan Akhir Program Perhutanan Sosial
Kerjasama antara Tahap I Tahun 1986-1988. Departemen Kehutanan dengan The Ford Foundation, Jakarta.
.
1989b. Rencana Pengaturan Kelestarian iiutan Kelas Perusahaan Jati, Tahun 1989-98, KPH Pati.
-.
1989c. Kanwil. Dep.
.
-
Statistik Kehutanan Jawa Kehutanan Jawa Tengah.
Tengah.
1987b. Program Pengembangan Perhutanan Sosial (Social Forestry) di Indonesia-
1986. Proceedings of the Conference on Common Property Resource Management. National Academy Press, Washington, DC. 1985-88a. Kabupaten Patf dalam Angka. Statistik Kabupaten Pati.
Kantor
.
Kantor
.
Kantor
1985-88b. Kabupaten Blora dalam Angka. Statistik Kabupaten Blora.
1985-88c. Kabupaten Kudus dalam Angka. Statistik Kabupaten Kudus.
.
1984. Hasil Perumusan Lokakarya Social Forestry dalam Rangka Kerjasama Perum Perhutani-Yayasan Ford, aakarta
.
1983. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Kelas Perusahaan Jati, Tahun 1983-92, KPH Cepu.
.
1978.
Proceeding of the Eight World Congress.
Barzel, Yoram. 1989. Economic Analysis of Property Rigths. Cambridge University Press, Cambridge. Batie, Sandra S. 1984. Alternative Views of Property Rights: Implications for Agricultural use of Natural Resources. Am. J. Agr. Econ. 66:814-818. Becker, Gary S. Behavior. Chicago.
1976. The Economic Approach to Human The University of Chicago Press. .
Binswanger, Hans. P. and Mark R. Rosenzweig. 1979. Contractual Arrangements, Employment and Wages in Rural Labor Markets: a critical Review. ADC, NY. Pelaksanaan Program Bratamihardja, Mulyadi. 1987. Social Forestry (Perhutanan Sosial) di Perum Perhutani. Dalam: Prosiding Lokakarya Perhutanan Sosial di Madiun, November, Ditjen. Pengusahaan Hutan, Jakarta. Bromley, Daniel W. 1988. Property Rights and the Environment: Natural Resource Policy in Transition. A Series of Lectures. The Ministry for the Environment New Zealand, Wellington.
.
Institutional 64:83444.
1982. Land and Water Problems: An J. Agr. Econ. Perpective. Am.
Castle, Emery N., Maurice M. Kelso, Joe B. Stevens, and Hebert H. Stoevener. 1981. Natural Resource Economics, 1964-75. A Survey of Agricultural Economics Literature. Lee E. Martin (Ed). University of Minnesota Press: 393-467. Chang, Arthur H. 1988. Adapting Natural Resources Management to Changing Societal Needs through Evolving Property Rights. Rev. Soc. Economy, XLVI:46-60.
Coase, Ronald. 1960. The Problem of Social Cost. J. Law Econ. 3(1960):1-44. Cowen, Tyler. 1985. Public Goods Definitions and their Institusional Context: A Critique of Public Goods Theory. Rev. Soc. Econ., 43(1985):53-63. Darmosoehardjo, Djokonomo. 1985. Pengamanan Perum Perhutani. Perum Perhutani, Jakarta.
Hutan
Demsetz, Harold (1967). Toward a Theory of Property Rights. Am. Econ. Rev. 57:347-59. Ditjen Pengusahaan Hutan. 1986. Permasalahan Perhutanan Sosial di Indonesia. Jakarta. 1985. The Agroecological Mythology Dove, Michael R. of the Javanese and the Political Economy of Indonesia. East-West Ceyter, Honolulu. Fisher, R. J. 1989. Indigenous Systems of Common Property Forest Management in Nepal. Working Paper No. 18, EWC, Hawaii. Gayfer, Julian. 1986. The Success of Vanuatu's Local Supply Plantation Programme in Meeting the Needs of the Nation and its Communities. Social Forestry Network, Paper 2a, ODI, London. Gibbs, Christopher J. N., and Daniel W. Bromley. 1989. Institutional Arrangements for Management of Rural Resources: Common-Property Regimes. Gunawan, Memed dan Effendi Pasandaran. 1989. Alokasi Masukan dalam Sistem Sakap. dalam Pasandaran, Effendi, et al, (Peny). Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Prosiding Patanas, Pusat PAE, Balitbang Pertanian, Bogor.
.
1989. Faktor-Faktor yang Menentukan Pengalihan Hak Penggunaan Lahan Di Pedesaan. dalam Pasandaran, Effendi , et al, (Peny) Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Prosiding Patanas, Pusat PAE, Balitbang Pertanian, Bogor. Hayami, Yujiro. '1988. Toward a New Paradigm of Land Reform : a View from the Philippines. Paper
presented at the IRRI Thursday seminar. Manila Philippines.
IRRI,
Hernanto, Fadholi. 1990. Prospek Pola Kredit pada Proyek Perhutanan Sosial sebagai Upaya Pelestarian Hutan Mangrove dan Pengembangan Sistem Usahatani Kawasan Pesisir Pantai Utara Jawa, Studi Kasus di KPH Purwakarta. Prosiding Seminar I1 Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. PSP-IPB, Bogor. Hochman, Harold M. , and James D. Rogers. 1969. Pareto Amer. Econ. Rev., Optimal ~edistribution. 59(1969):542-558. Husein, Firdaus. 1990. Studi Pembinaan KTH dan Pendapatan Anggota KTH pada Program Perhutanan Prosiding Sosial di RPH Cepukan KPH Ngawi. Seminar I1 Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. PSP-IPB, Bogor. Izac, A. -M. N. 1986. Resource Policies, Property Rights and Conflicts of Interests. Aust. J. Agr. Econ., 30(1):23-37. Jodha, N. S. 1986. Common Property Resources and Rural Poor in Dry Regions of India. Econ. and Political Weekly XXI:1169-81.
.
1985a. Population Growth and the Decline of Common Property Resources in Rajasthan, India. Population and Development Review 11:247-64.
.
198513. Market Forces and Erosion of Common Property Resources. Proceeding of the International Workshop, ICRISAT Center, India, p. 263-77.
.
1988 Making Economic Welfare Just, Richard E. Analysis Useful in the Policy Process: Implications of the Public Choice Literature. Am. J. Agr. Econ. 70:448-53. 1982. Policy.
, Darrell L. Hueth, and Andrew Schmitz. Applied Welfare Economics and Public Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliff, NJ.
Laporan Penyelenggara Kartasubrata, Junus. 1989. Seminar Koordinator Pelaksana. Dalam: Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. PSP-Fak. Kehutanan, IPB, Bogor.
.
1986. Partisipasi Rakyat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di Jawa. Studi Kehutanan Sosial di Daerah Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, dan Hutan Konservasi. Tesis Doktor, IPB, Bogor. Kasryno, Faisal., Makali., Chaerul Saleh., Aladin Nasution., Rudolf S. Sinaga. 1982. Institutional Change and its Effects on Income Distribution and Employment in Rural Area: Case Study in Four Villages in West Java, Indonesia. Agro Economic Survey-Rural Dynamic Study, Bogor, Indonesia. Krisnamurthi, Y. Bayu. 1991. Keragaan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Pendapatan Petani di Wilayah Pelaksanaan Proyek Perhutanan Sosial. Studi Kasus pada Kesatuan Pemangkuan Hutan di Jawa Tengah. Tesis Magister, tidak dipublikasi. Lin, Man. 1976. Foundations of McGraw-Hill Book Coy., MY.
Social Research.
Lipton, Michael. 1977. Why poor People stay poor. Australian National University Press, Canberra. Manurung, E. G. T. 1989. Analisis Biaya-Manfaat Pilot Proyek Perhutanan Sosial dan Analisis Optimalisasi Usahatani Tumpangsari di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Kiara Payung, KPH Cianjur, Jawa Barat. Fak. Pascasarjana IPB, Bogor. Muthia, Irsa. 1989. Peran Serta Wanita dalam Perhutanan Sosial. Studi Kasus Desa Kalinusu Kecamatan Bumi Ayu Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Perhutanan Sosial di Jawa. PSP-Fak. Kahutanan IPB, Bogor. Marzali, Amri. Perhutanan Sosial: Suatu Tinjauan dari Perspektif Pengembangan Lembaga. Makalah pada Seminar Hasil-hasil Penelitian Perhutanan Sosial, Tanggal 16-17 Februari 1990, di IPB, Bogor. (Tidak dipublikasikan). Nasendi, B. D. 1989. Perhutanan Sosial sebagai Konsep Induk. Tumbuh I(8).
'
.
1987. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan dengan Program Perhutanan Sosial. Dalam: Prosiding Lokakarya Perhutanan Sosial di Madiun, November, Ditjen. Pengusahaan Hutan, Jakarta.
. 1978. Analisa Konsumsi Sumberdaya Energi Pedesaan khususnya Kayu Bakar di Daerah Aliran Sungai Citanduy Jawa Barat. Tesis Hagister Sains, IPB, Bogor. Nasution, Aladin dan Handewi S. Rachman. Kontrak Usahatani Bawang Merah Di Desa Sumberrejo, Jawa Timur. dalam Pasandaran, Effendi, et al, (Peny). Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkem bangan Teknologi Pertanian. Prosiding Patanas, Pusat PAE, ~alitbangPertanian, Bogor. Pakpahan, Agus. 1989. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi fla1a~ Pasandaran , Effendi , et a&, (Peny). Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Prosiding Patanas, Pusat PAE, Balitbang Pertanian, Bogor.
.
'
Palupi, S r i . 1989. Pengaruh Program Perhutanan Sosial terhadap Peranan Wanita dalam Ekonomi Rumahtangga, Studi Kasus di RPH Ngantepan BKPH Getas KPH Ngawi. QEd&?!l: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. PSP-Fak. Kehutanan, IPB, Bogor. Perhutani. 1991. Laporan Perkembangan Program Perhutanan Sosial Triwulan IV Tahun 1990. Perm Perhutani Unit I Jawa Tengah. 1990a. Laporan Perkembangan Program Perhutani. Perum Perhutanan Sosial Triwulan IV Tahun 1989. Perhutani Unit I Jawa Tengah.
.
1990b. Proceeding Expose Program Perhutanan Sosial Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Semarang
.
..
1 9 9 0 ~ . Pedoman Agroforestry dalam Program Perhutanan Sosial. PHT-62 Seri 39 Produksi, Perum Perhutani, Jakarta. 1989a. Laporan Perkembangan Program Perhutanan Sosial Triwulan I11 dan IV Tahun 1989. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
1989b. Laporan Perkembangan Program Perhutanan Sosial Triwulan I11 dan IV Tahun 1989. Perum Perhutani Unit I1 Jawa Timur. 1989c. Laporan Perkembangan Program Perhutanan Sosial Triwulan I11 dan IV Tahun 1989. Perum Perhutani Unit 111 Jawa Barat.
.
1989d. Pedoman Perencanaan Perhutanan Sosial. Jakarta.
. . 1988b. Sosial.
1988a. Hutan Tanaman. nan
Program
Petunjuk Pelaksanaan Penjarangan Perum Perhutani, Jakarta.
Pedoman Pelaksanaan Program PerhutaJakarta.
Kumpulan Surat Keputusan Bidang 1980. Produksi Perum Perhutani, Jakarta. Pindyck, Robert. S. and Daniel 1. Rubinfeld. 1978. Econometric Models and Economic Forecasts. HcGrawHill Book Coy., NY. Prahasto, Hendro. 1987. Aspek Sosial Ekonomi beberapa Disampaikan Kegiatan Pengusahaan Hutan di Jawa. dalam Diskusi Hasil Penelitian Hasil Hutan, 24-25 Februari, 1987, Balitbang Kehutanan. Ratnawati, Anny. 1989. Evaluasi Proyek Perhutanan Sosial di Tingkat Petani dan Analisa Optimalisasi Lahan Usahatani Tumpangsari di RPH Hangjuang KPH Sukabumi Jawa Barat. Dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. PSPFak. Kehutanan, IPB, Bogor. Rochani, Achmad. 1989. Evaluasi Proyek Perhutanan Sosidl di Tingkat Petani dan Analisa Optimalisasi Lahan Usahatani Tumpangsari di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Wgantepan KPH Ngawi Jawa Timur. pa 1am : Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. PSP-Fak. Kehutanan, IPB, Bogor. Runge, Charlisle Ford. 1984. Strategic InterdepenAm. J. Agr. dence in Models of Property Rights. Econ. 66:807-13.
Rury, Diana. 1989. Pemenuhan Kebutuhan Makanan Ternak dan Peningkatan Pendapatan Petani Ternak dengan Program Perhutanan Sosial di Desa Kutukan Kec. Dalam: Randublatung Kab. Blora Jawa Timur. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. PSP-Fak. Kehutanan, IPB, Bogor. Ruttan, Vernon W. 1979. Induced Institutional change. In: Binswanger Hans P. and Vernon W. Ruttan (Ed.). Induced Innovation: Technology, Institution, and Development, the Johns Hopkins University Press., London. p.327-57. Saragih, Bungaran, Jen Tatuh, Raymundo Fonollera. 1988. Technological Change in Indonesian Agriculture. Paper presented to the Seventeenth Pacific Trade and Development Conference, July, Bali, Indonesia. Schmid, A. A. 1987. Property, Power and Public Choice. Proeger, New York. Seymour, Frances. dan Larry A. Fisher. 1987. Pelaksanaan Program Perhutanan Sosial di Asia Tenggara. Dalam: Prosiding Lokakarya Perhutanan di Madiun, November 1987, Ditjen. Sosial Pengusahaan Hutan, Jakarta. Shepherd, Gill. 1985. Social Forestry in 1985: learnt and Topics to be addressed. Forestry Network, Winter ODI.
Lesson Social
Analisis Pendapatan, Sinaga, Alusdin S.M.T. 1990. Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga Pesanggem Proyek Perhutanan Sosial di RPH Banteran, KPH Banyumas. Dalant: Prosiding Seminar Hasil penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. FPSFak. Kehutanan, IPB, Bogor. Soerjono, R. ke-VIII Republik Bogor.
1978. Hasil Kongres Kehutanan Sedunia ditinjau dari Kebijakan Pemerintah Indonesia. Lembaga Penelitian Hutan,
Sunderlin, William, D. Pemerataan Sosial dan Usaha Reboisasi di empat ~ o k a s i Perhutanan ~ o s i a l di Jawa. Makalah pada Seminar Hasil-hasil Penelitian Perhutanan Sosial, Tanggal 16-17 Februari 1990, di IPB, Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Swanson, Earl R. 1978. classification of Agricultural Policies: Objectives, Instruments, and Performance Indicators. Series E, Agricultural Economics. Tan, Mely G. 1980. Masalah Perencanaan Penelitian. Dalam: Koentjaraningrat (Ed). 1980. Metodemetode Penelitian Masyarakat. Gramedia, Jakarta. Tatuh, Jen. 1988. Kajian Ekonomik Komponen Agro forestry dalam Program Pengembangan Model Farm dalam Rangka Pengembangan Wilayah Hulu Daerah Aliran Sungai Citanduy. USESE, Ciamis. Thomson, James T., David H. Feeny, and Ronald J. Oakerson. 1985. Institutional Dynamics: The Evolution and Dissolution of Common Property Resource Management. f;n Proceedings of the Conference on Common Property Resource Management. National Academy Press: 391-423. Tim Peneliti Social Forestry Indonesia. Summary Report Studi Kasus Social Forestry di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Tana Toraja. Kerjasama Perum PerhutaniYayasan Ford. Vitaliano, Peter. 1983. Cooperative Enterprise: an Alternative Conceptual Basis for Analyzing a Complex Institution. Am. J. Agr. Econ. 65:1078- 83. Wijayanto, Nurheni. 1989. Studi Pengaruh Model Agroforestry terhadap Pertumbuhan Tanaman Jati (Tectona grandis) di RPH Klompok, BKPH Pucung, KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. D m : Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perhutanan Sosial di Jawa. Pusat Studi Pembangunan Fakultas Kehutanan IPB.
LAMPIRAN A:
TABEL
Tingkat Biaya Lapangan Perhutanan Sosial dan Tumpang sari
Tabel Lampiran Al.
(Dalam ribuan rupiah) Jenis Komponen Biaya
Tahun
Perhutanan Sosial
Tumpang Sari
54.7 1.7
54.7 1.7
109.4 3.4
109.4
Bahan tanaman I-~ e rbatanq) Tanaman pokok Penyulaman tanaman pokok
1
Tanaman lain Penyulaman tanaman lain
1
2
2
3.4
U ~ a htenaaa keria fner hektar) Persiapan lahan s/d tanam
1
~enyulamantanaman
2
Pemangkasan tanaman sela
1 2 3
4 5 Babad tanaman liar (wiwil)
3
5 Mendangir (asm. = gebrus)
3 4 5
Pangkas tanaman tepi
1 2
Sumber:
Diturunkan dari Anon (1991a, b) dan dokumen-dokumen anggaran KPH Pati dan Cepu
.
192 (Lanjutan Tabel Lampiran Al) Jenis Kebutuhan
Tahun
Tunjuk polet dan penjarangan I Bahan dan lain-lain pupuka
1 2 3 4
5
Gubug kerja (tempat penyuluhan dan supervisi)
1
Pembinaan Pesanggem (KTH)
1 2
-
-
a~ermasuksubsidi suku bunga.
Perhutanan Sosial
Tumpang Sari
Tabel Lampiran A 2 .
Persentase Tumbuh Tanaman pada Andil Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial berusia dua Tahun
KPH Pati
KPH Cepu
-
Perhutanan Sosial
Tumpang sari
-
Perhutanan Sosial
Tumpang Sari
Tabel Lampiran
A3.
Distribusi Biaya Lapangan menurut Tipe Kontrak untuk periode lima Tahun
(Ribuan rupiah per hektar) Nominal
Jumlah
Perhutanan Sosial
Tumpang Sari
845.6
717.2
Terdiskonto Perhutanan Sosial
1115.0
Tumpang Sari
818.1
LAMPIRAN B:
TEKS
Teks Lampiran B1.
Dasar Hukum dan ~erjanjian Kontrak Perhutanan Sosial (Perhutani, 1 9 9 0 ~ ) (Kutipan)
DasaxHukum
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI PERUSAHAAN UMUM KEHUTANAN NEGARA (PERUM PERHUTANI) NONOMR: 671/KPTS/DIR/1990 TENTANG PEDOMAN AGROFORESTRY DALAM PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL Menimbang : Bahwa untuk kepentingan dinas perlu ditetapkan Pedoman Agroforestry dalam Perhutanan Sosial. Mengingat :
1. 2. 3.
4. 5. 6.
7. 8. 9.
Undang-undang No. 19 Prp Tahun 1960; Undang-undang No. 5 Tahun 1967; Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 1963; Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1986; Keputusan Presiden R.I. No. 147/M Tahun 1987 yo No. 50/M 1989; SK Henteri Kehutanan No, 53/Kpts-II/ 1987; SK Direksi P e r m Perhutani No. 8 8 0 / Perum Perhutani/XI/74; SK Direksi Perum Perhutani No. 602/ ~pts/Dir/l988; SK Direksi Perum Perhutani No. 397/ Dir/1989.
MEMUTUSKAN Menetapkan: PERTAMA : Pedoman Agroforestry dalam Program Perhutanan Sosial yang merupakan lampiran dari Surat Keputusan ini. KEDUA
:
Keputusan ini berlaku mulai tanggal hari ditetapkan dengan ketentuan, bahwa segala sesuatu akan diubah dan diatur kembali sebagaimana msetinya apabila kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan di dalam penetapan ini. DITETAPKAN DI: JAKARTA PADA TANGGAL : 6 JUNI 1990 DIREKSI PERUM PERHUTAN1 Direktur Utama WARDONO SALEH NIP. 080 011 978
'
SALINAN Surat Keputusan ini disampaikan Kepada Yth 1. Segenap Anggota Direksi Perum Perhutani 2. Sdr. Kepala SPI Perum Perhutani 3. Sdr. Kepala Unit I Jawa Tengah di Semarang 4. Sdr. Kepala Unit I1 Jawa Timur di Surabaya 5. Sdr. Kepala Unit I11 Jawa Barat di Bandung Lam~iran LAMPIRAN 4 Perjanjian ini dibuat pada hari tanggal bulan tahun oleh dan antara : 1. PERUSAHAAN UMUM KEHUTANAN NEGARA (PERUH PERHUTANI) ber-alamat di Gedung Manggala Wana Bakti Blok IV Lantai 4 Jln. Gatot Subroto Senayan, Jakarta. Dalam ha1 ini diwakili Administratur Perum Perhutani/KKPH berdasarkan kuasa dari Direktur Utama dan karena itu bertindak untuk dan atas nama Perum Perhutani, selanjutnya disebut PIHAK PERTAXA. 2. Kartu Tanda Penduduk (KTP) No. ber-alamat di selaku Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) yang bertindak baik untuk diri sendiri maupun mengatas namakan masing-masing anggota KTH tersebut (nama-nama, tanda tangan dan foto terlampir), selanjutnya disebut PZHAK KEDUA.
...
...
...,
...
...........
.....
...
...
Kedua belah pihak menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut : PIHAK PERTAHA menguasai kawasan hutan tersebut di bawah ini: P e t a k L u a s D e s a Kecamatan Kabupaten Propinsi dan berkeinginan agar kawasan hutan milik negara (Perum Perhutani) tersebut dapat digarqp dan ditanami sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini, berdasarkan pada Surat Perintah Tanam (SPT) Administratur Perum Perhutani/Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH) tanggal No PIHAK KEDUA yang tergabung dalam KTH menyatakan keinginan dan kesanggupannya untuk menggarap kawasan hutan negara tersebut di atas, sesuai dengan Surat Per janjian ini. Berdasarkan hal-ha1 tersebut di atas kedua belah pihak telah sepakat untuk melaksa-
-
............................ ............................ ............................ ............................ ........................... . ............................
-
...
...
...
...
nakan kerjasama ini dengan ketentuan sebagaimana tercantum di bawah ini: Pasal 1 Pengertian-pengertian Dasar Dalam perjanjian ini yang dimaksud dengan : a. Agroforestry dalam Perhutanan Sosial adalah: Sistem tanam untuk mendapatkan hasil produksi terbaik (optimal) pada suatu lahan garapan, dengan menanam jenis-jenis tanaman kehutanan dan pertanian (termasuk jenis tanaman pangan, pakan, kayu bakar dan hortikultur). b. Tanaman pokok kehutanan adalah : tanaman kehutanan yang ditentukan berdasarkan ketetapan dalam Rencana Perusahaan daerah yang bersangkutan. c. Tanaman tepi adalah: tanaman yang ditanam di sekeliling bidang tanaman, tepi jalan angkutan, jalan pemeriksaan, alur, jurang, mata air dan batas dengan desa. d. Tanaman pengisi adalah : tanaman yang ditanam dengan tujuan guna membantu mengurangi segi-segi kurang baik dari budidaya tanaman sejenis, ditanam pada larikan tanaman pokok. e. Tanaman sela adalah : tanaman yang ditanam dengan tujuan mengendalikan hanyutan tanah (erosi) dan menambah kesuburan tanah, ditanam di antara larikan tanaman pokok kehutanan. f. Tanaman pagar adalah tanaman yang ditanam di sekeliling bidang tanaman dengan jenis-jenis tertentu, yang berfungsi sebagai pelindung/pagar dari bahaya ganggian ternak dan lain-lain. g. Tanaman sisipan adalah : tanaman yang ditanam pada larikan tanaman sela, dengan jenis tertentu dan jarak tertentu. Pasal 2 Hak Garap 1. PIHAK PERTAMA dengan ini memberikan hak garap kepada
PIHAK KEDUA untuk melaksanakan penanaman sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini, pada bidang kawasan hutan tersebut di atas. 2. PIHAK PERTAMA menetapkan luas bagian garapan (andil) untuk digarap atau dikerjakan oleh PIHAK KEDUA. 3. PIHAK KEDUA setuju untuk tidak mengadakan tukar menukar bagian garapan (andil) yang telah ditetapkan atau pengalihan hak garapan dalam segala bentuk, antara sesama anggota KTH maupun dengan pihak lain,
dengan dalih apapun juga, kecuali kepada para ahli warisnya masing-masing sesuai hukum yang berlaku, dan dengan persetujuan/musyawarah seluruh anggota KTH serta dengan persetujuan oleh PIHAX PERTAMA. 4. PIHAK KEDUA mengakui bahwa lahan garapan tersebut adalah tanah negara yang dikelola Perum Perhutani dan tidak akan melakukan tuntutan untuk menjadikan menjadi tanah milik. 5. PIHAK KEDUA tidak akan melakukan penanaman tanaman tahunan kecuali yang telah disetujui dan telah disediakan bibitnya oleh PIHAK PERTAMA. Pasal 3 Ketentuan-ketentuan Pola Agroforestry Dalam Program Perhutanan Sosial 1. Jenis tanaman, jenis tanaman pokok kehutanan : jenis tanaman tepi jenis tanaman sela jenis tanaman pengisi jenis tanaman sisipan jenis tanaman pagar jenis-jenis tanaman pertanian : 2. Di kanan dan kiri jalur (larikan) tanaman pokok kehutanan selebar masing-masing 25 (dua puluh lima) cm harus bebas dari tanaman pertanian. 3. Tanaman pertanian (semusim dan hortikultura) tidak diperbolehkan mengganggu tanaman pokok atau menimbulkan kerusakan tanah.
.................... ..................... ..................... ..................... ..................... ..................... ....................
Pasal 4 Hak PIHAK PERTAMA PIHAK PERTAMA-berhak untuk: 1. Hemiliki semua jenis kayu tanaman kehutanan/keras. 2. Hemiliki hasil hutan ikutan/non kayu sesuai dengan peraturan yang berlaku. 3. Bersama-sama dengan PTHAK KEDUA menentukan jenisjenis tanaman pertanian. 4. Bersama-sama dengan PIHAK KEDUA menentukan cara penanaman dan pemeliharaan tanaman semusim. 5. Menghentikan dan mencabut secara sepihak hak garap PIHAK KEDUA yang melalaikan kewajibannya dan melanggar ketentuan yang berlaku baik sebagai akibat tindakan sendiri-sendiri maupun secara kelompok. 6. Memberikan bagian garapan yang telah dicabut seperti disebut pada butir 5 kepada pihak lain, setelah meminta pertimbangan kepada Pengurus KTH yang berkepentingan.
Pasal 5 Kewajiban PIHAK PERTAMA PIHAK PERTAMA berkewajiban untuk: 1. Menyediakan semua bibit tanaman kecuali bibit tanaman pertanian semusim. 2. Membimbing dan membina secara rutin KTH demi kelancaran dan peningkatan usaha tani dan keberhasilan tanaman kehutanan, yang menyangkut masalah teknis dan non teknis. 3. Memberikan uang kontrak sebesar Rp (...........) 4. Turut menjaga keselamatan kerja para penggarap selama bekerja di lahan garapan dalam masa kontrak. 5. Mengawasi proses berjalannya kegiatan tanaman di lapangan. Pasal 6 Hak PIHAK KEDUA
...
PIHAK KEDUA berhak atas: 1. Hasil tanaman pertanian seiusim, selama masa berlakunya perjanjian ini. 2. Pengelolaan dan pemilikan hasil tanaman buah-buahan tersebut dalam kontrak sepanjang perjanjian ini berlaku, kecuali bahwa pohonnya (kayunya) menjadi milik PIHAK PERTAMA. Untuk jenis-jenis tertentu (misal : cengkeh, kopi ) yang telah mempunyai aturan tersendiri dalam pembagian hasilnya, maka digunakan aturan yang telah disepakati. 4. Pelayanan sebagai akibat kewajiban PIHAK PERTAMA sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Psl. 5 Pasal 7 Kewajiban PIHAK KEDUA PIHAK KEDUA berkewajiban untuk: 1. Memulai penggarapan tanah setelah diterimanya Surat Perintah Kerja (SPK), yang dikeluarkan oleh Administratur/KKPH. 2. Menanam dan memelihara tanaman kehutanan dan pertanian, sesuai dengan petunjuk PIHAK PERTAMA. 3. Mentaati dan menjalankan petunjuk-petunjuk tehnis dari PIHAK PERTAMA yang tidak tercantum dalam perjanjian ini, tetapi berkaitan langsung dengan pelaksanaan perjanjian ini. 4. Turut menjaga dan memelihara keamanan hutan baik di lokasi maupun di sekitarnya.
Pasal 8 Penilaian Kedua belah pihak sepakat bahwa berlangsungnya hubungan kerja menurut perjanjian ini ditentukan oleh penilaian PIHAK KEDUA oleh PIHAK PERTAMA. 1. Penilaian Prestasi: a.
Apabila prosentase tumbuh tanaman kehutanan kurang dari 50% (lima puluh prosen) pada masa satu tahun pertama, maka P I W PERTAMA berhak menghentikan penggarapan/membatalkan kontrak perjanjian dengan PIHAK KEDUA. b. Apabila prosentase tumbuh tanaman hutan berkisar antara 50% (lima puluh prosen) sampai 75% (tujuh puluh lima prosen), maka PIHAK KEDUA berhak melanjutkan penggarapan lahan/andilnya dengan syarat yang ditetapkan oleh PIHAK PERTAMA. c. Apabila prosentase tumbuh tanaman kehutanan lebih besar dari 75% (tujuh puluh lima prosen), maka PIHAK K E W A berhak melanjutkan penggarapan lahan/ andilnya dengan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Penilaianan jangka panjang.
...
Pasal 9 Perjanjiah Masa Kontrak 1. Masa berlakunya perjanjian ini terhitung sejak ditanda tangani dan berlaku sampai dengan tanggal 2. Atas usul kedua belah pihak, perjanjian ini dapat diperpanjang, dengan syarat bahwa : a. PIHAK KEDUA telah dan akan tetap mentaati peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA. b. Tanaman kehutanan yang dikerjakan PIHAK KEDUA memenuhi Pasal 8 ayat b dan c. 3. PIHAK PERTAMA menyatakan kepuasan/ketidak puasan pada pihak 11, maka hak garapan dapat dilanjutkan/ dihentikan, yang ditinjau kembali oleh pihak Pertama setiap 2 tahun sekali setelah panen tanaman pertanian.
...
Pasal 10 Santunan Kecelakaan dan Kematian 1. Apabila terjadi kecelakaan yang menimpa PIHAK KEDUA
disaat PIHAK KEDUA bekerja di lokasi tanaman dalam masa kontrak, PIHAK PERTAMA berkewajiban memberikan
santunan kecelakaan sewajarnya berpedoman pada peraturan yang berlaku di Perum Perhutani. 2. Apabila terjadi kematian yang menimpa PIHAK KEDUA disaat bekerja di lokasi tanaman dalam masa kontrak, PIHAK PERTAMA berkewajiban memberikan santunan kematian kepada ahli waris yang bersangkutan sesuai peraturan yang berlaku di Perum Perhutani. Pasal 11 Bencana Alam Kerusakan tanaman akibat bencana alam atau serangan hama diselesaikan oleh kedua b l a h pihak atas dasar musyawarah. Pasal 12 Perselisihan Apabila terjadi perselisihan antar PIHAK PERTAMA dengan PIHAK KEDUA diusahakan supaya dapat diselesaikan secara musyawarah, jika persoalan tersebut tidak dapat terselesaikan dengan cara ini maka akan diselesaikan melalui saluran hukum. Pasal 13 Ketentuan Penutup 1. Apabila terdapat kekeliruan atau hal-ha1 yang belum
diatur dalam perjanjian ini, maka kedua belah pihak akan membetulkan kekeliruan tersebut atau mengatur hal-ha1 yang belum diatur itu. 2. Segala pembiayaan yang timbul sebagai akibat dalam pembuatan perjanjian ini dibebankan pada PIHAK PERTAMA Demikian perjanjian ini dibuat dengan sesungguhnya oleh kedua b l a h pihak dengan disaksikan oleh Saksi-saksi tersebut di bawah ini.
.
PIHAK PERTAMA
PIHAK KEDUA KTH.................
KETUA KHT SAKSI-SAKSI :
Teks Lampiran B2.
Lampiran
Karakteristik Bio-Fisik dan Demografik
ini
menyajikan
karakteristik bio-fisik
deskripsi
tentang
dan demografik dari KPH dan
BKPH Contoh, dengan maksud untuk memberikan gambaran mengehai
situasi
di
sekitar
permasalahan
hubungan
antara sumber daya hutan dengan penduduk di sekitarnya. Sebagian dari demografik
yang
data
bio-fisik
diperlukan
tidak
dan
seluruh data
tersedia
menurut
referensi wilayah BKPH, sehingga harus dihimpun dari wilayah kecamatan.
Oleh karena wilayah dari satu BKPH
laencakup lebih dari satu ,unit kecamatan, data deskriptif yang ditampilkan dihimpun dari kecamatan-kecamatan yang terliput oleh BKPH Contoh.
Daftar nama kecamatan-
kecamatan, dan kabupaten, yang dicakup oleh BKPH-BKPH Contoh di dua KPH adalah sebagai berikut. meliputi
kecamatan-kecamatan
Hargorejo,
KPH Pati Tlogowungu,
Gunungwungkal, Cluwak, Tayu, Dukuhseti (di Kabupaten Pati), dan Jekulo (Kabupaten Kudus).
KPH Cepu meliputi
kecamatan-kecamatan Randublatung, Kedungtuban, Sambong, dan Cepu (Kabupaten Blora). Data dalam Tabel B2.1
[halaman 209) memperlihatkan
distribusi kawasan hutan menurut jenisnya di seluruh Jawa dan dalam wilayah manajemen hutan unit I Jawa
Tengah.
Nampak bahwa luas hutan produksi tidak terbagi
merata di antara ketiga unit, dan di unit I Jawa Tengah relatif lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata dari dua unit lain.
Hal ini berarti bahwa ketersediaan
setiap tahun luas lahan hutan permudaan di Jawa Tengah juga relatif lebih kecil, sehingga derajat urgensi dari pertimbangan kepentingan penduduk
sekitar
hutan,
di
dalam manajemen hutan, mungkin juga lebih tinggi.
A
L
i
Wilayah Kabupaten Pati terletak pada ketinggian antara 1 hingga 380 meter, sedangkan Kabupaten Baora antara 30 hingga 250 meter (di atas permukaan Laut). Kisaran ketinggian ini sangat memadai bagi pengusahaan tanaman
jati yang tumbuh dan berproduksi
baik pada
lokasi dengan letak ketinggian tidak lebih daripada 200 meter.
Topografi dari wilayah kecamatan-kecamatan yang
dicakup
oleh
BKPH
contoh
pada
kedua
KPH
Contoh,
umumnya bergelombang sampai berbukit. Jenis tanah yang terdapat dalam wilayah Kabupaten Pati umumnya Latosol, ~luvial, Red-Yellow mediteran, Regosol dan Hidromer. di
mana
jenis
Bagian Utara wilayah kabupaten,
terletak BKPH-BKPH
Latosol,
Aluvial,
Contoh,
dan
didominasi
Red-Yellow
oleh
mediteran.
Wilayah
Kabupaten
Blora
sebagian
besarnya
memiliki
jenis tanah Grumosol, dan sebagian kecil wilayahnya berjenis tanah mediteran.
Kecamatan-kecamatan dalam
BKPH Contoh didominasi oleh jenis tanah Grumosol. Iklim di kedua kabupaten tergolong sedang.
Data
tahun 1988 dan 1989 menunjukkan rata-rata intensitas curah hujan di dua kabupaten berbeda. tahun ini rata-rata
Dalam tahun-
curah hujan dan hari hujan di
Kabupaten Pati dan Cepu berturut-turut 2453 (mm) dan 104 (hh), 1979 (mm) dan 102 (hh).
Tabel B2.1.
Jenis Penggunaan
Hutan Produksi Hutan Lindung dan Suaka Alam Lain-lain
Distribusi Luas Hutan menurut Jenis Penggunaan di Jawa dan Unit I Jawa Tengah (1000 hektar) seluruha Jawa
Jawa Tengah
2018.5 (67.3) 874.7 (22.7) 95.0 (9.8)
569.7 (87.9) 3.3 (4-1) 76.7 (8.0)
Persentase Jawa Tengah
28.2 0.4 80.7
Jumlah
a ~ n g k adalam tanda ( )
adalah persen
Sumber : Perhutani (1980b); Anon (1989~).
Dari deskripsi mengenai karakteristik tanah dan iklim di atas ini diduga bahwa antara kedua KPH Contoh terdapat perbedaan kondisi agroklimat yang nyata. Atas dasar
ini
disimpulkan
bahwa
kondisi
agroklimat
merupakan salah satu faktor yang menjelaskan adanya perbedaan dalam performa kehutanan dan produksi tanaman pertanian, di lahan Andil, antara kedua KPH Contoh.
Tabel B2.2.
Distribusi Luas Kawasan KPH Contoh menurut Jenis Penggunaannya (dalam ribuan hektar)
Jenis Penggunaan
KPH patia (1987)
KPH Cepu (1983)
Hutan Jati Hutan Non-Jati Hutan Lindung
Jumlah
aAngka dalam tanda ( ) adalah persentase Sumber : Diolah dari Anon (1989d; 1983)
Veaetasi Hutan Berdasarkan
kondisi
tanah,
iklim,
dan
letak
ketinggian, KPH Pati dan Cepu digolongkan sebagai Kelas Perusahaan Jati.
Karakteristik faktor-faktor lingkung-
an tumbuh ini dinyatakan dalam angka bonita, yakni indikator perf orma tumbuh (dan produksi ) tanaman kayu
.
Data yang tersedia menunjukkan bahwa bagian terbesar dari KPH Contoh berbonita 3 atau lebih, yakni berturutturut 58 dan 81 persen dari luas KPH Pati dan ~ e p u (Anon, 1989d; 1983). disyaratkan
bahwa
Dalam pedoman bidang produksi, tanaman
jati
(Tectona
grandis)
diusahakan pada lahan berbonita 3 ke atas (Anon, 1980). Dominasi dari tanaman jati dalam kehutanan di KPH Pati dan Cepu dapat dilihat dalam Tabel B2.3 213).
Komposisi
vegetasi
ini
(halaman
diperkirakan
akan
mengalami perobahan, yakni semakin condong pada jenisjenis non-jati, sejalan dengan perobahan kondisi biofisik.
Dari data yang terkumpul (Tabel B2.3, halaman
213) ternyata bahwa 51.4 persen luas' Andil Perhutanan Sosial dan Tumpang Sari contoh bertanaman pokok jenis non-jati, dengan bonita rata-rata 2.7.
Contoh dengan
tanaman pokok jati mencakup luas 48.6
persen dengan
rata-rata bonita 2.8.
(Tabel B2.3, halaman 213).
Dari jenis-jenis non-jati mungkin tidak semuanya akan memiliki prospek yang sama di masa mendatang, meskipun semuanya tergolong berdaur lebih pendek
(7
hingga 60 tahun), dibandingkan dengan daur jati (70 hingga
80
tahun).
Sebagai
misal,
tanaman
sengon
(Albizia falcataria), di beberapa lokasi, menampakkan ge jala "kerakusanttdalam penyerapan unsur hara tanah. Sonokeling
(Dalbergia latifolia),
sekalipun
berdaur
lebih pan jang (40 hingga 60 tahun) daripada sengon (7 hingga 10 tahun), memiliki nilai ekonomik lebih tinggi dan tidak menampakkan kecenderungan penyerapan unsur hara
tanah
secara
eksesif.
Gambaran
di
atas
ini
menunjukkan bahwa, dari segi pemilihan jenis tanaman (pokok), tersedia berbagai alternatif jati. aspek
yang
masih
memerlukan
kajian
ialah
Aspekprospek
permintaan akan komoditi-komoditi dari alternatif jati.
Bertanian Situasi pertanian digambarkan dengan menampilkan data mengenai komposisi (areal) pertanaman.
Tabel B2.2
(halaman 210) memperlihatkan distribusi lahan pertanian menurut tipe penggunaannya.
Lahan untuk pertanian, di
kedua KPH Contoh, menduduki proporsi terbesar (ratarata 56.5%),
sedangkan lahan hutan
dan
perkebunan,
berturut-turut, hanya 23.1 dan 1.4 persen.
Berdasarkan
alokasi lahan menurut jenis komoditi yang diusahakan, ,padi dan dominan, persen
jagung
masing-masing
dari
lahan
halaman 215). lahan
merupakan
Andil
komoditi-komoditi
menggunakan
pertanian
yang
Kecenderungan ini yang
digarap
52.7
ada juga
oleh
dan
yang 28.8
(Tabel B2.5, tampak
Pesanggem
pada
contoh.
Jagung diusahakan oleh kebanyakan Pesanggem contoh di lahan Andil, berikut kacang tanah, dan ubi kayu (Tabel B2.5,
halaman 215).
Di lahan non-Andil, persentase
Pesanggem contoh yang mengusahakan tanaman
ubikayu
adalah paling tinggi, berikut jagung.
Tabel B2.3.
Persentase Luas Andil Contoh menurut Jenis Tanaman Pokok ~ a t i ~
Non- Jati
Perhutanan Sosial
34.9 (3.1)
28.2 (2.9)
Tumpang Sari
13.7 (2.6)
23.2 (2.4)
Jumlah
48.6 (2.9)
51.4 (2.7)
a ~ n g k adalam tanda ( ) rata-rata bonita. Sumber: Data primer dan sekunder (Anon, 1989d; 1983)
Perbedaan berikut.
komposisi
dapat
dijelaskan
sebagai
Pemilihan jenis tanaman untuk lahan non-Andil
sepenuhnya sedangkan
ini
ditentukan di
lahan
oleh
Andil,
preferensi turut
Pesanggem,
dipengaruhi
oleh
anjuran-anjuran, atau ketentuan dari Perhutani, yang condong pada jenis-jenis tanaman yang kurang menyaingi tanaman pokok kayu dalam penyerapan unsur hara tanah. Jenis-jenis tanaman kacang-kacangan cenderung menaikkan kesuburan tanah, sedangkan ubi kayu cenderung intensif dalam pengusangan unsur hara tanah.
Tabel B2.4.
Distribusi Lahan menurut jenis Penggunaannya di KPH Pati dan Cepu (1988) (Dalam ~ e r s e n ) ~
KPH
Sawah
Tegalan
Hutan
Cepu
29.2 (2895.6)
25.0 (2529.3)
41.8 (5684.3)
Rata32.1 rata (2556.9)
24.4 (2021.2)
23.1 (2973.5)
Perkebunan Lain-lain
. (0)
4.0 (286.1)
1.4 19.0 (198.7) ( 1347.9)
a ~ n g k adalam tanda ( ) adalah nilai absolut Sumber: Diolah dari Anon (1985-8Ba,b,c)
Selain tanaman pangan, khususnya di lahan Andil Perhutanan Sosial, ditanami pula tanaman buah-buahan yang hasilnya dipetik oleh Pesanggem, sedangkan bagian kayu
dari
jenis
pepohonan
menjadi
hak
Perhutani.
Jenis-jenis yang paling banyak diusahakan ialah nangka, mangga, dan disamping itu juga nanas.
Tanaman buah-
buahan di lahan Andil dimaksudkan sebagai pengganti sumber pendapatan tanaman pangan setelah produktivitasnya
mengalami
kemerosotan
karena
pengaruh
naungan
tanaman kayu yang makin intensif.
Tabel B2.5.
Banyaknya Pesanggem Contoh menurut beberapa jenis Tanaman Semusim Utama yang diusahakan di Lahan Andil (Dalam p e r ~ e n ) ~
Tipe Kontrak
Padi
Jagung
Ubi
Kayu
Kacang Tanah
n
17.9
240
Pati PS TS Cepu PS TS Rata-rata Agregat
10.4
46.7
18.8
a~ersentasedari jumlah contoh dalam tipe kontrak bersangkutan.
Data kebutuhan
di
atas
akan
ini
lahan,
memberikan
oleh
pangan masih cukup tinggi.
petunjuk
penduduk,
untuk
bahwa tanaman
Di lain fihak, vegetasi
hutan perlu dipertahankan dari konversi untuk tanaman semusim,
karena
pentingnya
terkandung di dalamnya.
fungsi
pelestarian
yang
Dalam situasi seperti ini,
peranan Tumpang sari dan (terutama) Perhutanan Sosial cukup
penting,
yakni
dalam
memenuhi
sebagian
dari
permintaan penduduk akan produk-produk tanaman pangan.
Tabel B2.6.
Banyaknya Pesanggem Contoh menurut beberapa jenis Tanaman Semusim Utama yang diusahakan di Lahan Non-Andil (Dalam p e r ~ e n ) ~
Tipe Kontrak
Padi
Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari
Jagung
Ubi Kayu
Kacang Tanah
n
5.3 20.0
75 30
2.7 3.3
17.3 10.0
12.0
Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari
3.9
17.1 20.6
17.1 17.2
3.9 6.9
76 29
Rata-rata Agregat
2.9
16.7
17.1
7.1
210
33.3
a~ersentasedari jumlah contoh dalam tipe kontrak bersangkutan.
Karakteristik Demourafik Bagian pertama sub-bab ini menampilkan gambaran mengenai
perbandingan
antara
penduduk
dan
produksi
tanaman pangan utama sebagai indikator permintaan dan penawaran komoditi bersangkutan, khususnya dari lahan pertanian
saja.
Bagian
kedua
menampilkan
situasi
perekonomian Pesanggem contoh. Dalam kurun waktu 5 tahun (1985-89), pertumbuhan penduduk di kedua KPH contoh rata-rata hanya sebesar 1.1 persen.
Tingkat pertumbuhan penduduk di KPH Pati
lebih rendah daripada di KPH Cepu.
Hal ini mungkin
sekali dipengaruhi oleh tingginya migrasi masuk di KPH Cepu. (Tabel B2.7, halaman 218). Data hasil pengolahan mengungkapkan bahwa hanya luas panen padi sawah yang mengalami penciutan, dalam kurun waktu 5 tahun itu, yakni rata-rata 2.5 persen per tahun.
Luas panen padi gogo, jagung, ubi kayu dan
beberapa jenis kacang-kacangan mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 9.7
persen.
Penciutan luas panen
padi sawah mungkin disebabkan oleh pengalihan fungsi lahan sawah, sedangkan peningkatan luas panen komoditi yang lain oleh peningkatan dalam frekuensi penanaman, dengan digunakannya varitas berumur pendek, khususnya dari jenis kacang-kacangan dan jagung.
Di sisi lain, ternyata bahwa taraf produksi dari semua komoditi meningkat lebih besar daripada peningkatan (penciutan) luas panen. tivitas
lahan
mengalami
B3.1, halaman 220).
Itulah sebabnya, produkpositif
pertumbuhan
(Tabel
Peningkatan produktivitas ubikayu
mungkin disebabkan oleh adanya penggunaan pupuk.
Tabel B2.7.
Tingkat Pertumbuhan Penduduk dan Migrasi KPH Pati dan Cepu (1985-88) (Dalam persen) Pertumbuhan Migrasi
Pertumbuhan Penduduk
Sumber: Diolah dari Anon (1985-88a,b,c)
Pembandingan antara data pertumbuhan penduduk (Tabel B2.7) tanaman pangan kesimpulan
dengan
data
(Tabel B3.1,
bahwa
penawaran
pertumbuhan
produktivitas
halaman 220) memberikan tanaman
lebih cepat daripada permintaan.
pangan
bertumbuh
Sekalipun begitu,
kenyataan mengenai tekanan penduduk pada lahan hutan,
antara lain untuk produksi pangan, rnemberi petunjuk bahwa peningkatan penawaran ini tidak efektif dalam memenuhi
permintaan
kesenjangan
ini
secara
bersumber
pertanian yang timpang.
merata. dari
Diduga
distribusi
bahwa
produksi
Teks Lampiran B3.
Deskripsi Perekonomian Pesadggem Contoh
Situasi perekonomian Pesanggem (contoh) digambarkan dengan data tentang jumlah anggota keluarga dan Tabel B3.2
pemilikan aset dalam bentuk lahan garapan.
(halaman 221) menunjukkan bahwa bagian terbesar contoh menggarap lahan Andil kurang daripada 0.251 hektar, dan terkonsentrasi pada katagori luas 0.150 hektar.
hingga 0.250
Dalam ha1 pemilikan lahan kering non-Andil,
distribusi contoh menurut katagori luas lahan di KPH Pati,
hampir
merata,
sedangkan
di
KPH Cepu
lebih
terkonsentrasi pada katagori luas kurang daripada 0.150
Tabel B3.1.
Tingkat Pertumbuhan Produktivitas Lahan beberapa Komoditi Pangan di KPH Pati dan Cepu (1985-89)
KPH
Padi Sawah
Padi Gogo
Jagung
Ubi Kayu
Kacangkacangan
Pati
36.2
29.7
6.7
11.4
38.8
24.6
Cepu
7.7
.
12.3
11.2
11.8
10.8
Sumber : Diolah dari Anon (1985-88a,b,c)
Ratarata
Tabel B3.2.
Distribusi Pesanggem Contoh menurut Katagori Luas Lahan Garapan (Dalam p e r ~ e n ) ~ Katagori Luas (Ha)
Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari
-
nu Non And Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari a~ersentaseterhadap jumlah contoh dalam tipe kontrak bersangkutan. Angka dalam tanda ( ) rata-rata luas lahan.
Tabel B3.3.
Jumlah Anggota Keluarga dan ratarata Luas Lahan Garapan
Lahan Andil Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari
0.185
0.168
0.156
0.191
0.278
0.306
0.324
0.241
Lahan Kerina Won-Andil Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari
0.265
0.254
0.297
0.380
0.188
0.217
0.085
0.291
Lahan Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari
Saws
0.038
0.033
0.013
0.157
hektar.
Data pada baris terakhir dalam Tabel B3.2
(halaman 221) menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (65 persen) menggarap sawah kurang dari 0.150 hektar. Dari
seluruh
contoh
38.3
dan
35.8
persennya,
berturut-turut di KPH Pati dan Cepu, tidak memiliki lahan kering garapan non-Andil, 75.2 dan 42.5 persennya tidak memiliki sawah garapan.
Tabel B3.3
(halaman 222)
memperlihatkan secara deskriptif hubungan antara jumlah anggota keluarga Pesanggem contoh dengan
luas lahan
garapan. Data dalam Tabel B3.3 (halaman 222) memperlihatkan bahwa
rata-rata
luas
lahan
garapan
per
kelompok
katagori jumlah anggota keluarga hampir identik. ini berarti
bahwa rata-rata
Hal
luas lahan garapan per
anggota keluarga tidak identik.
Rata-rata luas lahan
garapan
berturut-turut
per
anggota
keluarga,
dalam
katagori jumlah anggota 3 atau kurang, 4 hingga 6, dan 7 atau lebih, adalah 0.198, 0.103 dan 0.048 hektar.
Distribusi luas lahan menurut katagori jumlah anggota keluarga, antara tipe kontrak maupun antara KPH contoh, tidak.memper1ihatkan perbedaan yang menyolok. Rata-rata
jumlah anggota per keluarga contoh 5
orang, berkisar antara 2 hingga 10 orang.
Dari jumlah
ini, rata-rata 3 orang (atau 69.7 persen) yang aktif
bekerja sebagai pencari nafkah
(Tabel B3.4
(halaman
.
224) )
Sebagian besar Pesanggem contoh (52.5%) memperoleh pendapatan dari bertani saja, sebagai sumber Wndapatan utamanya, berikut sebanyak 23.5 persen mendapatkan dari kegiatan bertani 225).
Data
dan
dalam
berburuh
Tabel
(Tabel B3.5,
B3.6
halaman
(halaman 226)
tidak
memperlihatkan indikasi kuat adanya hubungan berarti antara banyaknya anggota nafkah jumlah
dengan
jenis
anggota
Tabel B3.4.
keluarga yang baker ja nencari
pekerjaan,
keluarga,
dan
sumber
pendapatan,
jumlah
lahan
yang
Rata-rata jumlah Anggota Keluarga per Pesanggem Contoh dan Persentase yang ikut bekerja
KPH
Jumlah Anggotaa
Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari
4 (2
Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari
6 (2
5 (2
4
Bekerja ( % )
- 10) -
(2 -
9)
10) 10)
-
a ~ n g k adalam tanda ( ) adalah kisaran.
dimiliki mencari
.
Dengan nafkah
kata
tidak
lain,
intensitas
menunjukkan
kegiatan
indikasi
adanya
perbedaan yang nyata menurut jumlah anggota keluarga maupun
pemilikan
lahan.
ini
Hal
dapat
diartikan
sebagai indikasi bahwa pemanfaatan tenaga kerja antar responden masih dalam kisaran yang sama, dan utilitas marjinal dari waktu luang masih relatif rendah.
Tabel B3.5.
Distribusi Pesanggem Contoh menurut Jenis Pekerjaan Sumber Pendapatan Keluarga Tani Saja
KPH
Tani dan Berburuh
Tani, Dagang Dagang Dl1
n
Pati Perhutanan Sosial Tumpang Sari
49.1 46.7
14.3 35.0
36.6
90
18.3
30
Cepu Perhutanan Sosial Tumpang Sari
57.8 53.3
22.4 26.7
19.8
90
20.0
30
24.0
240
---
Jumlah
-
-
52.5
-
-
23.5
Tabel 83.6.
Persentase Anggota Keluarga Contoh yang bekerja dan Luas Lahan yang dimiliki
Jenis Pekerjaan
Jumlah Anggota
Beker ja
Jumlah Lahan (Ha)
(a)
Tani Saja
5
69.7
0.681
Tani dan Berburuh
5
67.2
0.582
Tani, Dagang dan Lain-lain
4
65.8
0.735
Beberapa kesimpulan yang
dapat diturunkan dari
gambaran di atas ini adalah sebagai berikut. tingginya
persentase responden dengan
Pertama,
sumber nafkah
bertani dan berburuh, dan dengan pemilikan lahan kurang dari
0.750
hektar,
menunjukkan bahwa
taraf
ekonomi
penduduk (sekitar hutan) masih relatif rendah.
Sektor
ekonomi primer masih mendominasi perekonomiannya. Kedua, berdiam keluarga
jika
dalam (33.7
diasumsikan
kawasan
hutan
juta penduduk
bahwa terdiri dibagi
penduduk
yang
dari
juta
6
5.6
anggota
per
keluarga), jumlah kebutuhan lahan dengan sistem Tumpang Sari atau Perhutanan Sosial untuk menyerap keluarga sebanyak ini ialah 1.05
juta hektar (0.25 hektar per
keluarga), yakni selama daur tanaman.
Angka ini lebih
rendah daripada jumlah persediaan potensial yaitu 7.2 juta hektar (asumsi daur tanaman 80 tahun). apabila daya serap tidak cukup berarti
Namun,
selama daur
tanaman, misalkan hanya 10 tahun, jumlah yang tersedia selama periode ini (dari 1.8
juta hektar luas hutan
dataran rendah) hanya 225 ribu hektar.
Dengan demikian
nampak bahwa efektivitas daya serap tenaga kerja oleh sumber daya lahan hutan melalui sistem Tumpang Sari atau
Perhutanan
Sosial
sangat
tergantung
pada
panjangnya periode produktif lahan hutan bagi penduduk sekitar hutan.
Teks Lampiran B4.
Penjelasan tentang Aplikasi Model Logit dalam ~nalisisKecenderungan Pilihan Pesanggem
Deskrinsi Model Model logit dibangun berdasarkan fungsi peluang logistik kumulatif. pilihan
bersifat
Untuk kasus dengan alternatif
dikotomus
digunakan
mode1
logit
binari, dan untuk pilihan lebih daripada dua digunakan model pilihan ganda (multiple choice model).
Asumsi
mengenai alternatif pilihan Pesanggem mengartikan bahwa yang relevan dalam analisis ini ialah model
logit
binari, dengan asumsi alternatif-alternatif pilihan bersifat saling meniadakan (mutually exclusive; Pindyck and Rubinfeld, 1978). Bentuk
persamaan
untuk
fungsi
peluang
binari
adalah:
di mana Pi menyatakan peluang seseorang akan membuat suatu pilihan tertentu, berdasarkan informasi mengenai (nilai) peubah Xi. Untuk pekerjaan estimasi, bentuk fungsi (B4.1) ditransformasikan
dengan
cara
berikut.
Persamaan
(B4.1) ditulis kembali sebagai,
(B4.2)
(l+e'Z1)Pi
1, maka
=
e-zi=(l-Pi)/Pi,
sehingga dapat dinyatakan sebagai,
eZi=pi/(l-pi
)
Dengan mensubstitusikan Zi dengan (a + AX^),
diperoleh
Setelah pengenaan logaritma diperoleh,
sehingga teknik analisis regresi telah dapat diterapkan dalam proses estimasi parameter. Fungsi
(84.4)
memiliki
nilai
min'imum dan maksimum, yaitu OSPill. analisis nilai
ekstrim
peubah
dependen
Dalam pekerjaan
(0,l) dapat dikenakan pada
peubah dependen, yaitu nilai
1 untuk satu pilihan
tertentu, misalnya "yaH, dan nilai 0 untuk pilihan
.
lainnya, misalnya '*tidak1* Dalam kasus ini, estimasi
langsung model (84.4) akan menghadapi kesulitan karena logaritma atas nilai-nilai Pi/(l-Pi) yang tak terhinqga atau sama dengan dapat
0
tidak terdifinisikan.
diatasi
dengan
teknik
Kesulitan ini
partisi,
yaitu
pengelampokkan contoh pengamatan untuk setiap nilai peubah independen (Xi), dan selanjutnya nilai parameter dapat diestimasi dengan teknik regresi OLS (kuadrat terkecil biasa). efisiensi
dalam
Salah satu kondisi untuk mencapai estimasi
parameter
ialah
setiap
kelompok partisi memiliki banyaknya pengamatan dalam ukuran cukup besar. jika model
Kondisi ini sangat sulit dipenuhi
dibangun dengan peubah
independen yang
banyak, dan ukuran contoh tidak cukup besar. Teknik
partisi
memiliki
keberatan-keberatan,
selain karena mengandung konsekuensi biaya besar, juga karena kebanyakan studi sosial ekonomi menggunakan data kontinu bukan data diskrit.
Dalam kasus ini, pekerjaan
partisi dapat memasukkan bias yang disebabkan oleh adanya potensi persoalan kesalahan dalam peubah-peubah (errors-in-variabJes; Pindyck and Rubifeld, 1975). Adanya
karakteristik
kontinutas
daSam
peubah-
peubah menganjurkan agar, dalam konteks studi ekonomi dan sosial, seyogianya pekerjaan estimasi suatu model logit, dengan
seperangkat peubah-peubah
independen,
dibatasi hanya mengandung satu pilihan. dapat
dilakukan
dengan
maximum-likelihood. konsekuensi biaya
menerapkan
Estimasi model
teknik
Keberatannya analisis yang
bisa
analisis
hanya
pada
besar,
karena
kadang-kadang menghendaki ukuran contoh besar (Pindyck and Rubeinfeld, 1976). Penelitian ini menggunakan pendekatan yang sama dengan Gunawan (1989), yang menerapkan teknik analisis OLS dalam mengestimasi model (B4.4).
yang
memungkinkan
penerapan
Dua kualifikasi
teknik OLS
ialah:
(i)
transformasi model logit (B4.4) berbentuk linier dalam parmeternya; dan (ii) nilai peubah Pi tidak berciri dikotomi ( 0 atau 1) melainkan O
Gdnawan (1989) mengaplikasikan model logit dalam analisis peluang pemilik lahan untuk menyakapkan dan menyewakan
atau menggarap
sendiri
lahannya.
Nilai
peubah Pi yang digunakannya ialah proporsi luas Lahan yang disakapkan atau disewakan, dari luas lahan total. Dengan asumsi bahwa keputusan Pesanggem, bertahan di
dalam
dengan
atau
curahan
penelitian
ini
melepaskan tenaga
ikatan
kerja
menggunakan
kontrak
model
proporsi
konsisten
logit
dalam
curahan
tenaga
kerja
di
lahan
Andil
sebagai
peubah
dependennya.
Secara ideal, perhitungan proporsi curahan tenaga kerja, ini sebaiknya menggunakan curahan tenaga kerja total Data ini tidak dikumpulkan
aktual sebagai basisnya.
karena sumber daya yang tersedia tidak cukup untuk mengimbangi keterbatasan dari teknik pengumpulan data wawancara untuk mendapatkan data curahan tenaga kerja total dengan taraf akurasi yang memadai, dari populasi dengan konpleks
karakteristik dan
kegiatan
bervariasi
ekonomi
sepanjang
yang
tahun.
sangat Sebagai
alternatif pengganti, digunakan proxy proporsi curahan tenaga kerja di lahan Andil. pengamatan
Pi=l,
Untuk menghindari nilai
perhitungan
proxy,
curahan
tenaga
kerja di lahan Andil, menggunakan taraf tertinggi dari curahan tenaga kerja di lahan kering non-Andil sebagai basisnya, di mana angka tertinggi ini harus lebih besar daripada taraf curahan maksimum di lahan Andil.
Angka
yang diperoleh, dengan jalan ini, identik dengan indeks curahan tenaga kerja di lahan Andil. Peubah-peubah
independen
yang
dihipotesakan
mempengaruhi pilihan Pesanggem dicantumkan daxam Tabel B4.1.
Analisis model
logit diaplikasikan pada
dua
kelompok contoh, yaitu agregat (n=240), dan contoh dari Perhutanan
Sosial
berusia
5
tahun
(n=60).
Dari
kelompok contoh yang disebut terakhir ini, separohnya (n=30) berasal aktual
telah
Sosial
pada
dari
populasi
melepaskan tahun
ke-5.
pengujian hipotesis,
Pesanggem yang
ikatan
kontrak
Selain untuk
secara
Perhutanan kepentingan
analisis dengan contoh
agregat
juga dimaksudkan sebagai kontrol bagi kelompok contoh Perhutanan Sosial berusia 5 tahun, dalam ha1 hasil analisis.
Daftar
Peubah
yang
dimasukkan
ke
dalam
Analisis Model Logit adalah sebagai berikut: 1.
Rasio residu net0 dari lahan non-Andil:Andil,
2.
Luas Andil (Ha),
3.
Jumlah lahan garapan non-Andil (Ha),
4.
Jumlah lahan garapan non-Andil (peubah nomor 3) per jumlah anggota keluarga,
5.
Umur Pesanggem,
6.
Peubah boneka tipe kontrak (D=l Perhutanan Sosial; D=O Tumpang Sari)
7.
Usia kontrak (tahun),
8.
Peubah boneka KPH (Pati D=l;
9.
Peubah boneka indikator faktor alam D1=0 selain normal),
Cepu, D=O), ( ~ l = lnormal;
10.
Peubah boneka indikator taraf ekonomi ( 0 2 - 0 bertani dan berburuh saja; D2=1 selain itu, yakni bertani, dan/atau berburuh, juga pegawai, pedaqang dll.)
11.
Peubah dependen: curahan tenaga kerja di lahan Andil, dinyatakan dalam angka persentase taraf curahan terhadap taraf curahan tenaga kerja basis.
Teks Lampiran BS.
Deskripsi Model Logistik
Fungsi model logistik digunakan dalam analisis mengenai faktor-faktor yang diduga mempengaruhi variasi dalam persentase tumbuh tanaman pokok.
Bentuk fungsi
logistik ialah:
Dengan mengenakan logaritma pada fungsi ini, diperoleh
di mana parameternya telah berbentuk linier, sehingga teknik analisis OLS dapat diaplikasikan dalam pekerjaan estimasi.
Dari persamaan di atas nampak bahwa untuk
nilai X=O, nilai Y tidak terdefinisikan. dekati
0,
Y juga mendekati
0.
Untuk
X
men-
Oleh karena itu, titik
(0,O) dapat dianggap sebagai titik awal dari fungsi ini.
Model logistik antara lain digunakan dalam esti-
masi model pertumbuhan penduduk.
Dengan asumsi bahwa
pertumbuhan (persentase tumbuh) tanaman mengikuti pola pertumbuhan yang sama, antara lain adanya ciri asimptotik, dipilih untuk digunakan dalam analisis mengenai variasi dalam tingkat pertumbuhan tanaman pokok (kayu).
Teks Lampiran B6.
Hipotesis tentang Hubungan antara Biaya ~upervisidan Pengawasan dengan Taraf Residu Net0
Asumsi-asumsi yang mendasari konsepsi biaya supervisi dan pengawasan ialah:
(i) Berdasarkan perhitung-
an, ada suatu taraf kuantitas tenaga kerja (L*) yang harus dicurahkan oleh Pesanggem untuk mencapai suatu taraf
output
(tanaman
kayu)
ditetapkan .oleh Perhutani.
tertentu
yang
telah
Taraf kuantitas tenaga
kerja L* ini disepakati dalam perjanjian kontrak; (ii) Ada
insentif bagi Pesanggem untuk, secara sefihak,
mengurangi curahan tenaga kerja hingga mencapai Ls Pengurangan lebih lanjut, di bawah taraf Ls,
(Ls
tidak akan dilakukan selama diperkirakannya bahwa ha1 itu
dapat
dideteksi
dengan
mudah
oleh
Perhutani
sehingga lebih llmudah'lpula baginya untuk mengenakan pinalti;
(iii) Ada ekspektasi oleh Perhutani bahwa
Pesanggem akan mengurangi curahan tenaga kerja dari taraf yang disepakati, sehingga ada insentif baginya untuk
melaksanakan
supervisi
dan
pengawasan
atas
kegiatan Pesanggem. Dengan kegiatan ini, diharapkan dapat menekan pengurangan curahan tenaga kerja sehingga taraf aktualnya (La) mendekati taraf yang disepakati L*.
Penggunaan sumber daya dalam kegiatan inilah yang
disebut sebagai biaya supervisi dan pengawasan
(8).
Persamaan residu net0 (Perhutani) dapat dinyatakan sebagail:
di mana
7
adalah proporsi lahan Andil yang digarap oleh
Pesanggem untuk produksi tanaman pertanian (O
efektif
(dL/dB>O).
Sepanjang
curahan
tenaga kerja aktual berada dalam kisaran Ls
taraf residu neto R (GR/GB>O).
Untuk setiap kenaikan
biaya supervisi dan pengawasan selanjutnya, perobahan dalam
taraf
(6R/6BI)),
residu
net0
bisa
karena dua sebab:
negatif
atau
tetap
(i) kenaikan tersebut
tidak efektif lagi (dLa/dB=O);
dan (ii) merosotnya
efisiensi kegiatan supervisi dan pengawasan sebagai akibat mengecilnya peluang kesesuaian antara ekspektasi dan realisasi
(aktual) curahan tenaga kerja.
Situasi
kedua (ii) ini cenderung menggejala di lokasi-lokasi di mana pengaruh faktor alam terhadap taraf output sangat besar.
Berdasarkan argumen ini dapat disimpulkan bahwa
l ~ i a d o ~ sdari i persamaan 2.4
( halaman 3 8 )
hubungan antara taraf residu net0 supervisi dan
(R) dengan biaya
(B) mengikuti
pengawasan
bentuk
non-
linier, yaitu:
SR/GB>O, dan ~ R ~ / ~ ~ B < o
Kegiatan supervisi dan pengawasan juga berhubungan dengan unsur-unsur
kontrak
lainnya.
Salah satu di
antaranya ialah yang berhubungan dengan usaha untuk menekan penyimpangan dalam kegiatan silvikultur aktual dari
standar
yang
telah
ditetapkan oleh
Perhutani.
Contohnya, dalam hubungan dengan ketentuan jarak tanam dan pembatasan jenis tanaman tumpang sari. pangan
dalam
hal-ha1
ini
relatif
mudah
Penyimdideteksi,
sehingga pengenaan pinalti dapat dilakukan secara lebih sesuai.
Akan tetapi karena dalam kenyataan pinalti
dalam bentuk pencabutan hak garapan Andil tidak "mudahn dikenakan,
kegiatan
supervisi
dan
pengawasan
tetap
berarti setidak-tidaknya untuk menekan penyimpangan.
LAMPIRAN
C:
GAMBAR
Gambar Lampiran C1.
Bagan Hierarki Unit-Unit ~rganisasiPerum Perhutani
I
I I
UNIT I11 (JAWA BARAT)
UNIT I1 (JAWA TIMUR)
UNIT I (JAWA TENGAH)
KPH-KPH
RPH-RPH (RESORT POLISI HUTAN)
----------
----------
ANDIL-ANDIL
ANDIL-ANDIL
Keterangan:
KTH ialah Kelompok Tani Hutan, beranggota para Pesanggem; Andil ialah bidang lahan hutan yang menjadi hak garapan Pesanggem.