Kepentingan Dalam Dunia Kedokteran 1. Ektoparasit Patogenisitas. Ketika menggigit, alat penusuk masuk di bawah kulit sehingga sumber darah dapat disadap, pada waktu ini makanan dapat diambil dari pembuluh darah atau dari darah di luar pembuluh. Air liur yang dimasukkan secara berulang dapat mengandung bahan yang merangsang dilatasi kapiler atau memperlambat pembekuan. Beberapa gigitan nyamuk hanya menyebabkan iritasi sedikit saja dan yang lain menyebabkan iritasi yang jelas. Gigiatan biasa diikuti dengan eritem, pembengkakan dan rasa gatal. Lepuh besar dapat timbul dan garukan dapat menyebabkan infeksi sekunder. Kadang-kadang orang memperlihatkan gejala lokal yang hebat dari tipe urtikaria, tuberkuloid dan eksem. Reaksi alergi segera disebabkan karena kerentanan terhadap antigen multipel dari air liur dan reaksi lambat disebabkan oleh toksin yang bekerja lambat.
2. Vektor penyakit a. filariasis di Indonesia 1. Nyamuk Culex quinquefasciatus sebagai vektor filariasis bancrofti tipe urban (Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang). 2. Nyamuk Anopheles farauti, An. punctulatus, Aedes kochi dan Culex bitaeniorhynchus sebagai vektor filariasis bancrofti tipe rural di Irian Jaya. 3. Nyamuk Anopheles barbirosiris sebagai vektor filariasis malayi dan filariasis timori 4. Mansonia uniform is, Ma. Indiana, dan Ma. dives sebagai vektor filariasis malayi sub periodik nokturna di Sumatra, Kalimantan dan Maluku.
b. Vektor malaria di Indonesia 1. Anopheles aconitus, An. sundaicus, An. subpictus, An. maculatus, An. flavirostris, An. (essalatus, A. balabacensis vektor malaria di Jawa. 2. An. barbirostris, An. An. sinensis, An. kochi, An. nigerrimus, An. leucosphyrus, An. aconitus, An. sundaicus, An. subpicfus, An.
annularis dan An. maculatus vektor malaria di Sumatra. 3. An. umbrosus. An. baezai, An. balabacensis vektor malaria di Kalimantan. 4. An. vanus, An. flavirostris, An. subpictus vektor malaria di Sulawesi. 5. An. bancrofti, An. punctulatus, An. farauti, An. koliensis vektor malaria di Irian Jaya.
c. Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Aedes aegypti vektor utamaDBD 2. Aedes albopictus diduga vektor DBD di daerah rural dan suburban.
d. Vektor Japenese encephalitis Culex tritaeniorhynchus, Cx. Gelidus dan Cx. Vishnui sebagai vektor Japenese encephalitis.
Pengendalian Nyamuk (Vektor) Pengendalian vektor bertujuan untuk memutus rantai penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektor penyakit. Ada beberapa cara antara lain dengan insektisida dan tanpa insektisida.
Pengendalian Vektor dengan Insektisida Aplikasi insektisida dapat dilakukan secara residual atau space spraying untuk stadium dewasa (adultisida).
Indoor residual spraying Tujuan penyemprotan adalah menempelkan racun serangga dengan dosis tertentu secara merata pada pennukaan dinding yang disemprot. Dosis dihitung dalam berat bahan aktif racun serangga yang disemprotkan pada setiap m2 permukaan. Racun serangga yang dipakai dalam program pemberantasan malaria saat ini adalah: 1. Bendiocarb 80 WP dengan dosis 0,2 g bahan aktif per m2. 2. Lamdasihalotrin 10 WP dengan dosis 0,025 g bahan aktif per m2
3. Deltametrin 5 WP dengan dosis 0,02 g bahan aktif per m2. Untuk mendapatkan dosis yang telah ditetapkan seperti tersebut di atas, maka hams diperhatikan faktor konsentrasi suspensi. Sesuai dengan ketenruan WHO larutan suspensi optimal yang diperlukan untuk menyemprot I m2 permukaan dinding adalah 40 ml. Dengan demikian konsentrasi (kepekatan) suspensi yang diperlukan adalah:
Dosis (gr) ———— x 100%. 40ml
Contoh penggunaan Bendiocarb: Untuk mendapatkan dosis Bendiocarb 0,2 g/m2, konsentrasi suspense yang diperlukan adalah 0,2 gr X I00% —————— = o,5% 40ml
Alat semprot (spray can) yang dipakai dalam program pemberantasan malaria adalah merek Hudson X-pert dengan volume 8,5 liter. Untuk Bendiocarb dengan kepekatan 0,5% diperlukan Bendiocarb murni 100% sebanyak 8,5 x 1000 ml x 0,5%= 42,5 gram. Oleh karena pada umumnya yang dipakai adalah bentuk formulasi Bendiocarb
80
WP
maka
untuk
memperoleh
Bendiocarb
murni
dibutuhkan :
100 42,5 gr x —— = 53 gram. 80
Dengan mengikuti cara tersebut di atas maka konsentrasi suspensi dari insektisida dalam pemberantasan malaria saat ini yang diperlukan untuk tiap spray can yang volumenya 8,5 liter adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Konsentrasi bahan aktif insektisida dalam suspensi, dan jumlah yang diperlukan dalam bentuk formulasi tiap spray can untuk pemberantasan malaria INSEKTISIDA
KONSENTRASI BAHAN AKTIF DALAM SUSPENSI
1. Bendiocarb 80 WP dosis 0,2 gr/m2 (FICAM 80 WP) 2. Lamdasihalotrin 10 WP dosis 0,025g/m2 (ICON 10 WP) 3. Deltametrin 5 WP dosis 0,02 gr/m2 (KOthrine 5 WP) 4. Etofenproks 20 WP dosis 0,1 gr /m2 (Vectron 20 WP)
0,5%
JUMLAH YANG DIPERLUKAN DALAM BENTUK FORMULASI TIAP SPRAY CAN 53 gram
0,0625%
53 gram
0,05%
85 gram
0,25%
104 gram
Syarat-syarat penyemprotan 1. Cakupan bangunan yang disemprot (coverage). Rumah atau bangunan dalam daerah tersebut harus diusahakan agar semuanya disemprot. Yang dimaksud rumah/bangunan di sini adalah tempat tinggal yang digunakan malam hari untuk tidur termasuk dangau/saung untuk menunggu sawah /ladang, kandang hewan dan tempat-tempat umum yang digunakan malam hari. 2. Cakupan permukaan yang disemprot (completeness) Yang dimaksud cakupan permukaan yang disemprot adalah semua permukaan (dinding, pintu, jendela, almari, dan sebagainya) yang seharusnya disemprot. Misalnya: a. Bila tinggi dinding < 3 meter, seluruhnya disemprot. b. Bila tinggi dinding > 3m, maka yang disemprot hanya setinggi 3 meter. c. Pintu dan jendela yang membuka ke dalam , kedua permukaan harus disemprot. Bila membukanya keluar, yang disemprot hanya bagian dalamnya saja. d. Perabot dalam rumah seperti meja, tempat tidur dan kursi harus disemprot bagian bawahnya, sedangkan lemari disemprot bagian
belakang dan bawahnya. e. Rumah panggung yang tingginya dari permukaan tanah lebih dari 1 meter dan ada ruang di bawahnya, maka bagian bawah rumah tersebut harus disemprot. f.
Rumah / bangunan yang mempunyai teras yang biasanya digunakan untuk duduk- duduk di malam hari, dinding dan langitlangitnya setinggi 3 meter harus juga disemprot.
g. Bagian atap yang menonjol di kanan dan kiri rumah, kadangkadang juga di bagian belakang yang tingginya kurang dari 3 meter harus disemprot pula. Catalan. Permukaan atau dinding yang terbuat dan kaca tidak perlu disemprot karena nyamuk tidak suka hinggap di kaca yang licin.
3. Pemenuhan dosis (Sufficiency) Dosis racun serangga yang dipakai hams tepat terpenuhi yakni: a. Bendiocarb (Ficam 80 WP) dfosis 0,2 g/m2, atau berkisar 0,180,22 g/m2. b. Lamdasihalotrin (Icon 10 WP) dosis 0,025g/m2, atau berkisar 0,0225-0,0275g/m2 c. Deltametrin (K-Othrine 5 WP) dosis 0,2 g/m2, atau berkisar 0,180,22 gram /m2 d. Etofenproks (Vectron 20 WP) dosis 0,1 gr/m2, atau berkisar 0,090,11 g/m2 4. Ketentuan (Regularity) Waktu pelaksanaan penyemprotan harus teratur dan diperhatikan serta ditaati. Cara menentukan waktu pelaksanaan penyemprotan adalah dengan mempertimbangkan kepadatan vektor. Untuk daerah persawahan yang vektomya An. aconitus penyemprotan dilaksanakan pada bulan Januari-Maret untuk siklus pertama dan bulan Juli-September untuk siklus ke dua. Untuk daerah pantai dengan vektor An. sundaicus penyemprotan hanya dilakukan sekali setahun yakni antara bulan Juli-September. Bila musim kepadatan vektor belum diketahui, maka waktu pelaksanaan penyemprotan adalah 2 bulan sebelum puncak median penderita positif/klinis berdasarkan data 3-5 tahun terakhir di Puskesmas atau kelompok desa dengan tipe epidemiologi yang sama.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan 1. Makanan dan minuman bila perlu dikeluarkan dari rumah selama penyemprotan 2. Perabot rumah tangga seperti kasur, bantal, selimut dan pakaian-pakaian yang bergantungan supaya dikeluarkan dulu.
Space spraying Penanggulang dengan cara space spraying mempunyai efek knock down, oleh karena itu sasarannya vektor yang sedang terbang baik indoor atau outdoor. Ada dua cara space spraying yaitu: (1) sistem panas (thermal fogging) dan (2) sistem dingin (cold fogging).
Thermal fogging Sistem ini menghasilkan fog dengan cara memecahkan tetesan larutan racun serangga oleh dorongan/hantaman gas panas yang berpulsa, sehingga menjadi butiran (droplet) larutan serangga yang sangat kecil dan terkumpul merupakan fog (kabut). Ukuran droplet tersebut berkisar antara 5-100 um. Insektisida yang digunakan dalam sistem thermal fogging biasanya dilarutkan dalam minyak solar atau minyak tanah biasa (kerosene). Malathion (OMS-1) 45% dalam larutan solar secara luas digunakan dalam program pemberantasan vector borne disease dengan sistem thermal fogging dengan dosis 438 gram a.i. (active ingredient) per ha. Malathion 4,8% dalam solar dipersiapkan dengan melarutkan malathion 96% EC ke dalam 19 liter solar. Malathion telah dipergunakan dalam program pemberantasan demam berdarah di Indonesia sejak
tahun
1973.
Sasaran
fogging
adalah
rumah/bangunan
dan
halaman/pekarangan sekitarnya. Waktu operasi pagi hari atau sore hari untuk pengendalian nyamuk Aedes, karena puncak aktivitas menggigit Aedes pagi hari atau sore hari, sedangkan waktu operasi untuk penanggulangan Anopheles dan Culex dilakukan pada malam hari karena aktivitas menggigit nyamuk tersebut di malam had. Kecepatan gerak fogging seperti orang berjalan biasa (2-3 km per jam). Temperatur udara ideal 18°C, maksimum 28°C. Kecepatan angin maksimum 20 km per jam. Fogging di dalam rumah dimulai dari ruangan yang pal;ing belakang. Jendela dan pintu ditutup kecuali pintu depan untuk keluar masuk petugas. Fogging di luar rumah hams dilakukan searah dengan arah
angin dan petugas berjalan mundur. Selama dilakukan thermal fogging semua penghuni hams berada di luar rumah dan baru diperbolehkan masuk 15-30 menit seidah fogging. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan , maka dianjurkan semua makanan, bahan makanan dan tempat penampungan air minum supaya ditutup. Semua binatang piaraan yang berada dalam ruangan supaya dibawa keluar, dan akuarium-akuarium supaya ditutup. Thermal fogging malathion 4-5% dan Fenitrothion 2% (OMS-43) pemah dicoba 1979 untuk menanggulangi kejadian wabah malaria di Banjar Negara (Jawa Tengah) dengan hasil yang sangat memuaskan, namun karena biaya operasinya terlalu tinggi, maka penggunaan insektisida tersebut dengan sistem thermal fogging hanya dilakukan untuk mengatasi kejadian wabah malaria saja. Outdoor Thermal fogging dichlorvos dengan dosis 343 gram a.i. per ha dan Indoor thermal fogging bioresmethrin 0,2% golongan sintetik piretroid dosis 10 gram a.i. per ha pernah digunakan pula untuk menanggulangi wabah DBD.
Space spraying sistem dingin Sistem dingin terkenal pula sebagai sistem ULV (ultra low volume). ULV dimaksudkan sebagai space spraying dengan menggunakan racun serangga yang sedikit atau seefisien mungkin, untuk area yang luas dan tetap efektif terfiadap vektor. Oleh sebab itu pada ULV dipergunakan insektisida dalam konsentrasi yang biasanya cukup tinggi (lebih dari 20%) dengan jangkauan semburan fog yang cukup luas, idealnya 80-100 meter. Keuntungan ULV dibandingkan dengan thermal fogging, polusi udara lebih kecil. Hal ini disebabkan penggunaan insektisida (dosis)lebih kecii dibandingkan operasi thermal fogging (dapat sampai 50%nya). Selain itu bahaya terhadap organisme bukan sasaran lebih rendah, dan tak ada bahaya kebakaran, tak ada gangguan pada kesibukan kota dan keramaian lalu lintas, hal ini disebabkan tidak mengganggu penglihatan. Biaya operasi dan penggunaan bahan-bahan lebih sedikit. Bahan insektisida untuk ULV cold spraying digunakan insektisida golongan organofosfat, carbamat, dan sintetik piretroid, dalam formulasi konsentrasi lebih tinggi dibandingkan untuk pemakaian pada thermal fogging. Pengetahuan mengenai bionomik nyamuk seperti kebiasaan menggigit, waktu menggigit, dan tempat istirahat serta status resistensi nyamuk terhadap insektisida yang akan digunakan sangat penting untuk program pengendalian
vektor. Nyamuk vektor yang mempunyai kebiasaan mengisap darah, dan istirahat di luar rumah tentu saja kurang tepat bila diberantas dengan insektisida residual yang diaplikasikan di dalam rumah. Begitu pula pemakaian kelambu yang dipoles insektisida tidak tepat untuk nyamuk vektor semacam itu. Pemakaian insektisida metode space praying di luar rumah untuk memutuskan rantai penularan dan pemakaian repelen untuk menghindari gigitan dapat dipertimbangkan. Namun pemakaian insektisida tidak mungkin dilakukan terus menerus, sebab selain mahal, dapat mencemari lingkungan dan menyebabkan munculnya
generasi
nyamuk
yang
resisten
terhadap
insektisida
yang
bersangkutan.
Pengendalian Vektor Tanpa Insektisida Pengendalian
vektor
tanpa
insektisida
yang
berfokus
perbaikan
lingkungan seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang terkenal dengan slogan 3 M (Menguras bak mandi sekurang-kurangnya seminggu sekali, menutup rapat tempat penyimpanan air, dan menimbun barang-barang bekas yang dapat menampung air seperti ban bekas, kaleng bekas, botol bekas) digalakkan untuk mengendalikan vektor DBD. Cara ini murah, dan efektif, tetapi memerlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat dan hanya cocok di daerah yang tidak sulit air. Di daerah yang sulit air dan hanya mengandalkan air hujan yang ditampung di bak-bak penampungan yang besar lebih tepat dikendalikan dengan menggunakan Mesocyclop aspericornis. Dengan metode ini selama 15 minggu Container Index (CI) rurun dari 85,7% menjadi 0%, House Index (HI) turun dari 82% menjadi 0% atau angka bebas jentik (ABJ) naik dari 18% menjadi 100%, sementara itu tidak ada kenaikan angka bebas jentik pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan intervensi apa-apa. Di kelompok lain yang menggunakan larvisida kimiawi temefos sand granule (TSG 1%) dosis 1 ppm hanya menurunkan HI dari 88% menjadi 22% setelah pemakaian selama 11 minggu dan setelah itu HI naik lagi (Kusumastuti, 2002). Aplikasi mesocyclop ini berhasil karena tempat penyimpanan air hanya dikuras 6 bulan sekali, sehingga Mesocyclop dapat berkembang biak dengan baik dan memangsa jentik-jentik nyamuk yang baru menetas. Tentu saja cara ini kurang tepat bila digunakan di daerah yang tidak sulit air. Di Thailand telah dicoba pengendalian vektor filariasis berfokus perbaikan
lingkungan sebagai berikut: 1) memperbaiki sistem drainage di perkotaan dengan maksud mengurangi penyebaran filariasis bancrofti tipe urban; 2) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha mencegah timbulnya man-made container breeding site mosquito; 3) menghilangkan tanaman air (Pistia, Eichornia) di rawarawa sangat bermanfaat dalam pengendalian populasi nyamuk Mansonia sp; dan 4) meningkatkan penggunaan polystylene ball sebagai usaha mencegah larva menjadi pupa dan mencegah nyamuk bertelur disitu. Usaha pengendalian tersebut ternyata dapat menurunkan angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9% (Sucharit, 1993 cit. Soeyoko, 2002). Berbagai contoh pengalaman peneliti lain dalam usaha pengendalian vektor yang kelihatannya cukup berhasil dapat dilaporkan sebagai berikut. 1. Ikan Gambussia qffinis dan Poicillia reticulata sebagai predator (pemakan larva nyamuk). 2. Mesocyclops aspericomis sebagai predator larva stadium-1 3. Larva Toxorhynchites sp. sebagai predator larva instar-1,2,3 larva Aedes 4. Endotoksin Bacillus thuringiensis var. israelensis serotip H-14 sebagai biolarvisida terhadap Aedes dan Anopheles. 5. Endotoksin Bacillus sphaericus (strain 1593 dan 2362) sebagai biolarvisida terhadap Culex dan Mansonia. 6. Hormon yang dapat menhhambat pericembangan nyamuk atau Insect Growth Regulator (IGR) seperti dan pyriproxyfen . Methopren telah digunakan untuk pengendalian Culex quinquefasciatus dengan dosis 1,0 mg dalam 1 liter air dapat menghambat pertumbuhannya menjadi dewasa kurang
lebih
selama
21
hari.
Pyriproxyfen
dapat
menghambat
perkembangan nyamuk Culex, Aedes dan Anopheles.
Pertanyaan 1. Jelaskan ciri-ciri spesifik stadium telur, larva, pupa, dan imago nyamuk Anopheles, Culex, Aedes, dan Mansonia. 2. Sebutkan nyamuk-nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis, malaria, demam berdarah, danJapenese encephalitis. 3. Jelaskan tempat perindukan nyamuk Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia. 4. Mengapa pengetahuan bionomik dan status resistensi nyamuk terhadap
insektisida sangat penting untuk memutuskan metode yang tepat dalam pengendalian vektor? 5. Jelaskan aplikasi insektisida metode residual spraying dan space spraying.
Kepustakaan Belding, D.L., 1952. Texbook of Clinical Parasitohgy 2nd ed. Appleton-CenturyCrofts, Inc, New York
DEP KES RI, 1999. Modul Malaria 1-10. Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Jakarta
Kusumawati, A. 2002 Evaluasi Mesocyclops aspericomis untuk pengendalian vektor demam berdarah dengue di Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten Tests S-2 FETP (Pasca Sarjana) UGM
Levine, N.D. 1978 Texbook of Veterinary Parasitology, Edisi Indonesia: Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner, 1994 (Penerjemah: Ashadi,G) Ed: Wardiarto, Gadjah Mada University Press
Rahmah Umniyati, S., Sumarni, S., Umayah 2000 Evaluation of Communitybased Aedes Control Programme by Source Reduction in Perumnas Condong Catur, Yogyakarta, Indonesia, Dengue Bulletin, WHO: 92-96
Soeyoko, 2002. Penyakit Kaki Gadjah (Filariasis limfatik): Permasalahan dan Alternatif Penanggulangannya. Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada I'akultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
WHO, 1972. Vector Control in International Health, Geneva