WARTAZOA Vol. 26 No. 4 Th. 2016 Hlm. 151-162 DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v26i4.1402
Pengendalian Vektor pada Penyakit Zoonotik Virus Arbo di Indonesia (Vector Control of Zoonotic Arbovirus Disease in Indonesia) Fitrine Ekawasti dan E Martindah Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114
[email protected] (Diterima 14 Maret 2016 – Direvisi 20 September 2016 – Disetujui 6 Desember 2016) ABSTRACT Zoonotic Arbovirus diseases which are caused by the genus of Flavivirus, Alphavirus, and Bunyavirus, are transmitted through potential vectors. These diseases are commonly occurred, especially in tropical countries, including Indonesia. They can affect the economic development because of the high morbidity and mortality. This paper describes the incidence of zoonotic Arbovirus in Indonesia and the strategy to control its vector. Factors that support the occurrence of zoonotic Arbovirus diseases are environmental, demographic and behavioral changes, as well as advanced technology, transportation and global trade. These diseases would not occur without the role of vectors. Vector control can be carried out effectively through longitudinal surveillance to identify types of potential vectors in the area and to prevent the increased incidence of the diseases. Key words: Zoonotic, Arbovirus, vector, control ABSTRAK Penyakit zoonosis virus Arbo disebabkan oleh genus virus Flavi, virus Alpha dan virus Bunya, disebarkan melalui vektor potensial. Penyakit ini sering terjadi khususnya di negara beriklim tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini dapat mempengaruhi perkembangan perekonomian karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tulisan ini menelaah kejadian penyakit zoonosis virus Arbo di Indonesia dan cara pengendalian vektornya. Faktor pendukung kejadian penyakit zoonosis virus Arbo adalah perubahan lingkungan, perubahan demografi dan perilaku manusia, serta kemajuan teknologi, transportasi dan perdagangan global. Penyakit ini tidak akan muncul tanpa peran dari vektor. Pengendalian vektor dapat dilakukan secara efektif melalui surveilans longitudinal untuk mengidentifikasi jenis vektor potensial yang ada di suatu daerah dan untuk mencegah meningkatnya kejadian penyakit zoonosis virus Arbo. Kata kunci: Zoonosis, virus Arbo, vektor, pengendalian
PENDAHULUAN Penyakit zoonotik merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya, dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan jamur yang menimbulkan tingkat kesakitan dan kematian (Katare & Kumar 2010). Perubahan lingkungan mempengaruhi dunia peternakan sehingga berdampak pada meningkatnya penyakit zoonotik. Kejadian penyakit zoonotik virus Arbo telah mendapat perhatian cukup besar dari dunia internasional karena dengan prevalensi dan mortalitas yang tinggi dapat mempengaruhi perkembangan perekonomian suatu negara (Naipospos 2005) serta memiliki potensi epidemi (Morse et al. 2012; Santos & Monteiro 2013). Penyakit zoonotik yang disebabkan oleh virus Arbo sering terjadi, khususnya di negara beriklim tropis termasuk Indonesia. Penyakit ini cenderung terus muncul kembali. Menurut Gubler (2009) sejak 30 tahun yang lalu, kejadian penyakit vector-borne diseases virus Arbo pada manusia dan hewan terus
mengalami peningkatan transmisi epidemik dan perluasan cakupan geografis dari 11 kasus pada tahun 1993 menjadi 313 kasus di tahun 2012 (Rosenberg et al. 2013). Penyakit yang disebabkan oleh virus Arbo telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat dan hewan secara signifikan (Myint 2015) dan diprediksi akan menjadi hotspot penyakit zoonotik dan vectorborne pathogen di Indonesia (Rosenberg et al. 2013). Penyebaran penyakit virus Arbo membutuhkan interaksi antara vektor kompeten, induk semang vertebrata dan lingkungan. Oleh karena itu, vektor yang kompeten perlu diketahui agar dinamika transmisi dan potensi munculnya penyakit ini dapat diidentifikasi (Weaver & Reisen 2010; Ochieng et al. 2013). Vektor adalah hewan avertebrata yang bertindak sebagai penular agen penyakit dari induk semang satu ke induk semang lain yang rentan. Vektor digolongkan menjadi dua, yaitu vektor mekanik dan biologi. Vektor mekanik yaitu hewan avertebrata yang menularkan penyakit dimana agen penyakit tidak mengalami perubahan, sedangkan pada vektor biologik/potensial, agen
151
WARTAZOA Vol. 26 No. 4 Th. 2016 Hlm. 151-162
penyakitnya mengalami perkembangbiakan dari satu tahap ke tahap berikutnya (Wijayanti 2008). Pengawasan vektor merupakan salah satu cara untuk mendeteksi aktivitas virus di dalam tubuh vektor sehingga potensi kejadian penyakit di masa yang akan datang dapat diketahui (Hall et al. 2012). Tulisan ini menelaah tentang kejadian penyakit zoonotik virus Arbo serta pengendalian vektornya. PENYAKIT ZOONOTIK VIRUS ARBO Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan infeksi virus Arbo mencapai sekitar 30% dari semua penyakit menular yang muncul dalam dekade terakhir (Jones et al. 2008). Arbovirus (virus Arbo) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada sekelompok virus dari berbagai family, yang ditularkan oleh vektor arthropoda. Kata virus Arbo merupakan singkatan kata dari arthropod-borne virus (ARthropod BOrne virus: Arbovirus) yang dapat bertahan di alam. Lebih dari 130 virus Arbo diketahui menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu genus Flavivirus, Alphavirus dan Bunyavirus (Kean et al. 2015). Penyakit zoonotik virus Arbo disebabkan oleh berbagai macam virus RNA, menular dari hewan kepada manusia melalui vektor arthropoda. Di dalam tubuh vektor, virus menginfeksi dan mereplikasi diri pada kelenjar air liur sehingga menyebabkan viremia, dimana virus berada dalam aliran darah vektor (Gubler 2009). Vektor arthropoda menularkan virus pada saat menggigit sehingga virus masuk ke sistem peredaran darah manusia atau induk semang lainnya. Penyebaran penyakit virus Arbo sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, perubahan linkungan dan faktor sosial demografi (Achmadi 2008). Masalah sosial dan demografi, kepadatan populasi hewan maupun penduduk, tingginya frekuensi lalu lintas manusia (domestik maupun internasional), tingginya populasi vektor, lemahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, meningkatnya deforestasi, terjadinya alih fungsi lahan dan hilangnya biodiversiti juga merupakan faktor yang dapat menentukan kejadian penyakit zoonotik virus Arbo baik yang baru muncul maupun yang muncul kembali (Gould & Higgs 2009; Weaver & Reisen 2010). FAKTOR PENDUKUNG TERJADINYA PENYAKIT ZOONOTIK VIRUS ARBO Perubahan lingkungan/ekosistem Siklus transmisi virus Arbo dipengaruhi oleh tiga faktor penting yaitu virus Arbo, arthropoda dan vertebrata. Sebagai prasyarat agar virus, vektor arthropoda dan induk semang vertebrata bersirkulasi
152
secara terus menerus maka semua faktor harus ada dalam jumlah yang cukup pada waktu dan di tempat yang sama (Lambrechts & Scott 2009; Pfeffer & Dobler 2009). Perubahan iklim memiliki pengaruh terhadap munculnya penyakit menular. Pada umumnya, proses penularan penyakit-penyakit zoonotik virus Arbo memerlukan vektor yang sangat peka terhadap perubahan iklim, misalnya penyakit West Nile dan Japanese encephalitis (Zell et al. 2008). Perubahan iklim, perubahan suhu udara, kelembaban dan curah hujan (efek dari pemanasan global) dapat memicu terjadinya peningkatan populasi berbagai spesies vektor. Kelembaban udara memberi korelasi terbesar terhadap kejadian penyakit yang disebarkan oleh vektor sehingga kelembaban udara ditetapkan sebagai faktor kritis bagi penyakit virus Arbo. Salah satu contoh vektor yang sensitif terhadap kelembaban adalah nyamuk (Michael & Woodruff 2008; Fidayanto et al. 2013). Munculnya penyakit zoonotik baik yang baru maupun yang muncul kembali mengindikasikan adanya interaksi yang kompleks antara manusia dan hewan diikuti dengan kerusakan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem akan berpengaruh terhadap munculnya penyakit baru (Graham et al. 2008). Beberapa virus Arbo mengalami evolusi dan diversifikasi di daerah tropis sehingga lebih invasif dan menjadi strain yang mematikan (Dash et al. 2013). Perubahan demografi dan perilaku manusia Akhir-akhir ini, penyakit sering terjadi di daerah tropis di mana terdapat keanekaragaman hayati satwa dengan kepadatan populasi manusia yang terus meningkat (Jones et al. 2008). Perilaku manusia sangat mempengaruhi lingkungan termasuk perubahan penggunaan lahan seperti penggundulan hutan, perubahan tata kota, pertambangan atau eksploitasi minyak. Aktivitas tersebut berkontribusi terhadap perubahan demografis, pola zoonotik, urbanisasi, perdagangan, impor hewan eksotis, transportasi hewan lintas batas, praktek pertanian dan mempengaruhi patogenesis secara langsung atau tidak langsung seperti resistensi antibiotik dan imunodefisiensi (Karesh et al. 2012). Tingginya mobilitas hewan dan manusia memungkinkan terjadinya penularan penyakit. Induk semang vertebrata termasuk manusia memiliki peranan sebagai media importasi dan dapat mempertahankan amplifikasi beberapa virus Arbo. Pada umumnya, ada dua mekanisme yang penting pada importasi, yaitu importasi vertebrata (manusia dan hewan) dan importasi arthropoda (Luhulima 2008). Namun, arthropoda dapat ikut bersama manusia dan hewan ketika proses importasi.
Fitrine Ekawasti dan E Martindah: Pengendalian Vektor pada Penyakit Zoonotik Virus Arbo di Indonesia
Kemajuan teknologi, transportasi dan perdagangan global Perubahan ekonomi global dan kemajuan teknologi telah dipercepat oleh perkembangan transportasi sehingga meningkatkan mobilitas dan perdagangan global yang dapat mengakibatkan vektor dan induk semang mudah tersebar ke seluruh dunia (Karesh et al. 2012; Santos & Monteiro 2013). Vektor nyamuk yang mengandung virus dapat terbawa melalui transportasi (Forman et al. 2008). Kondisi seperti ini membuka peluang penyebaran penyakit ke berbagai reservoir dan mempercepat kejadian penyakit zoonotik virus Arbo di suatu negara. Hal ini dapat terjadi bersamaan dengan adaptasi virus untuk bereplikasi pada vektor nyamuk yang sangat penting dalam meningkatkan transmisi. Jenis spesies vektor (nyamuk) yang menyebarkan penyakit di wilayah geografis yang berbeda sangat bervariasi. Di Eropa, empat spesies nyamuk yang dianggap dominan sebagai penyebar virus Arbo, yaitu Culex pipiens, Cx. torrentium, Cx. modestus dan Coquillettidia richardii (Gould & Higgs 2009; Cutler et al. 2010). MEKANISME TRANSMISI VIRUS ARBO Penyakit zoonotik virus Arbo dapat menyebar karena peran vektor potensial dalam penularannya. Nyamuk berperan sebagai vektor potensial dalam melanjutkan proses siklus hidup virus dan memindahkannya dari induk semang penderita ke induk semang rentan tanpa menyebabkan penyakit pada tubuh nyamuk (Forman et al. 2008). Transmisi virus berlangsung melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi oleh virus Arbo. Nyamuk yang terinfeksi oleh virus Arbo dapat mentransmisikan virus sepanjang nyamuk tersebut tetap terinfeksi. Mulai dari midgut ke kelenjar liur, berbagai organ nyamuk dan sel telah terbukti terinfeksi virus Arbo seperti trakea, otot, kardia serta kepala dan nyamuk betina yang terinfeksi juga dapat menyalurkan virus kepada generasi berikutnya melalui transovarian. Nyamuk anautogenous betina perlu makan darah dari induk semang vertebrata untuk proses produksinya. Oleh karena itu, nyamuk betina jenis ini dapat bertindak sebagai vektor (Reiter 2010; Kean et al. 2015). Induk semang yang terinfeksi virus Arbo seperti virus Dengue selanjutnya menjadi sumber virus bagi nyamuk lain ketika menghisap darah induk semang
tersebut. Transmisi didahului oleh replikasi biologis virus di dalam tubuh vektor arthropoda (Pfeffer & Dobler 2009; Hall et al. 2012). Virus yang masuk ke tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk selanjutnya beredar dalam sirkulasi darah sampai timbul gejala seperti demam. Periode di mana virus beredar dalam sirkulasi darah induk semang disebut sebagai periode viremia. Apabila nyamuk yang belum terinfeksi menghisap darah induk semang dalam fase viremia, maka virus akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan berkembang selama 8-10 hari sebelum virus Arbo siap ditularkan kepada induk semang lain. Virus di dalam darah selama fase viremia akan diperbanyak pada jaringan vektor arthropoda potensial dengan meningkatkan titer virus dalam kelenjar air liur, kemudian menggigit induk semang dengan memindahkan virus melalui air liur (Preiser 2010; Weaver & Reisen 2010). Rentang waktu yang di perlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan terutama temperatur sekitar. Virus dalam darah yang diisap juga masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya, virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk di dalam kelenjar air liurnya. Setelah nyamuk betina mencerna makanan darah yang terinfeksi, maka perlu masa inkubasi ekstrinsik 5-10 hari sebelum virus dilepaskan dalam air liur. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum nyamuk menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dipindahkan dari nyamuk ke induk semang lain (Glass 2005). Ilustrasi skema penularan penyakit zoonotik virus Arbo (Gambar 1) menunjukkan bahwa unggas/hewan liar yang terinfeksi harus berinteraksi terlebih dahulu dengan vektor agar dapat menularkan virus Arbo ke hewan lain dan atau manusia (Michael & Woodruff 2008; Bahri & Syafriati 2011). Pada kasus tersebut menunjukkan bahwa air liur dari vektor arthropoda dapat memainkan peran penting dalam mekanisme transmisi patogen (Darpel et al. 2011). Sebagai contoh, virus West Nile (Schneider et al. 2006) dapat menular melalui air liur vektor arthropodanya dan tergantung pada konsentrasi virus di air liur. Hal ini melibatkan modulasi kekebalan-respon, yang berperan mengatur sitokin antivirus tertentu. Efek ini diperkirakan dipengaruhi oleh komponen air liur serangga respon kekebalan tubuh mamalia (Schneider & Higgs 2008).
153
WARTAZOA Vol. 26 No. 4 Th. 2016 Hlm. 151-162
Hewan 1
Vektor
(A) (B) Vektor (C)
Hewan 2 Manusia
: Induk semang 1 dan induk semang 2; : Vektor (arthropoda); : Induk semang akhir (end host); (A) Hewan 1 mengandung virus Arbo digigit oleh vektor nyamuk dan ditularkan ke hewan 2; (B) Hewan 1 mengandung virus Arbo yang digigit oleh vektor nyamuk dan ditularkan langsung ke manusia; (C) Hewan 1 mengandung virus Arbo yang digigit oleh vektor nyamuk dan ditularkan ke hewan 2, kemudian hewan 2 digigit oleh vektor nyamuk dan ditularkan ke manusia Gambar 1. Penularan penyakit zoonotik virus Arbo melalui vektor potensial Sumber: Michael & Woodruff (2008); Bahri & Syafriati (2011) yang dimodifikasi
VEKTOR PENYAKIT ZOONOTIK VIRUS ARBO Virus Arbo ditularkan dari mamalia yang mereka tumpangi oleh vektor arthropoda (kutu, serangga) yang menjadi produktif oleh infeksi virus (Darpel et al. 2011). Nyamuk merupakan serangga vektor utama penyebab berbagai penyakit tropis penting di Indonesia. Nyamuk dalam siklus hidupnya dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembaban sehingga dapat berkembang dengan pesat dan berpotensi menyebarkan penyakit (Gould & Higgs 2009; Reiter 2010). Beberapa spesies nyamuk merupakan vektor penyakit virus Arbo di alam. Berikut mosquito-borne arboviruses sebagai vektor penyakit virus Arbo (Tabel 1). Beberapa genus nyamuk diantaranya adalah Anopheles, Culex, Aedes, Armigeres. Dua spesies dari genus Aedes telah dikenal sebagai vektor Dengue dan Chikungunya, yaitu Aedes aegypti dan A. albopictus, sedangkan beberapa spesies dari genus Culex, Armigeres, Mansonia dan Aedes lainnya telah terkonfirmasi sebagai vektor filariasis, Japanese encephalitis (JE) dan West Nile (Sutaryo 2004; IVRCRD 2013). Vektor penyakit zoonotik virus Arbo dapat bertindak sebagai vektor patogen, termasuk Flavivirus
154
(Flaviviridae) seperti virus Dengue (DENV), Yellow Fever virus (YFV), West Nile virus (WNV); Alphavirus (Togaviridae) seperti Chikungunya virus (CHIKV), O'nyong-nyong virus (ONNV), Semliki Forest virus (SFV), Sindbis virus (SINV) dan Bunyavirus (Bunyaviridae) seperti Rift Valley Fever virus (RVFV). Semua virus Arbo ini ditularkan oleh spesies Aedes termasuk Aedes aegypti dan A. albopictus serta Culex sp, dengan pengecualian ONNV yang merupakan satusatunya virus Arbo ditularkan oleh nyamuk Anopheles dan lebih khusus vektor malaria di Afrika A. gambiae (Kean et al. 2015). Nyamuk Culex sp. banyak dikenal masyarakat dan banyak terdapat di Indonesia (Sholichah 2009). Nyamuk Culex sp lebih suka air segar, biasanya berkembang biak pada genangan air yang banyak ditumbuhi tanaman seperti di sawah dan saluran irigasi, selokan yang dangkal atau kolam yang sudah tidak terpakai (Sendow & Bahri 2005). Siklus hidup nyamuk memerlukan waktu untuk berkembang biak selama kurang lebih sebulan sehingga pengairan di sawah menjadi hal yang menguntungkan bagi perkembang biakan nyamuk Culex sp (Tiroumourougane et al. 2002; Paramarta et al. 2009). Nyamuk A. aegypti lebih memilih wadah air atau genangan air sebagai habitat larvanya (Gupta et al. 2012), nyamuk A. vigilax, A. camptorynchus suka dengan air asin. Culex annulirostri meletakkan telurnya di permukaan air dan menetas dalam beberapa hari. Ketika suhu turun di bawah ambang batas sekitar 18°C, C. annulirostri menjadi tidak aktif dan menjadi dewasa pada musim dingin. Sebaliknya, A. vigilax menetas setelah peristiwa banjir dan bertelur pada musim dingin. Siklus hidup ini menyebabkan mekanisme survival yang berbeda untuk virus ketika transmisi terganggu oleh cuaca dingin (Glass 2005). Aedes sp adalah genus nyamuk yang ditemukan di daerah tropik dan subtropik dan menjadi sangat berarti sebagai pembawa penyakit di masyarakat dibanyak tempat atau negara karena kedekatannya dengan manusia. Pada umumnya, nyamuk Aedes sp beraktivitas pada pagi hari antara jam 7.00-10.00 dan sore hari jam 16.00-19.00. Nyamuk ini jarak terbangnya pendek, hanya sekitar kurang dari 200 m. Telur-telurnya tahan terhadap suasana kering. Sebagai contoh nyamuk A. albopictus (indigenous) berasal dari Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik Barat dan pulaupulau di Samudera Hindia, yang telah menyebar ke Afrika, daerah Timur Tengah, Eropa dan Amerika. Salah satu perbedaan utama antara spesies adalah bahwa A. albopictus mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan suhu dingin dan menjadi aktif selama musim dingin serta dapat berkembang biak
Fitrine Ekawasti dan E Martindah: Pengendalian Vektor pada Penyakit Zoonotik Virus Arbo di Indonesia
Tabel 1. Jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit virus Arbo Virus Arbo
Vektor utama
Reservoir utama
Wilayah endemik
Virus Dengue
Aedes
Primata, Manusia
Afrika, Asia, Amerika Selatan, Pasifik
Virus West Nile
Culex
Burung
Eropa, Amerika Utara, Afrika, Asia
Virus Yellow Fever
Aedes
Primata, manusia
Afrika, Amerika Selatan
Virus Japanese encephalitis
Culex
Burung, babi
Asia
Virus St. Louis encephalitis
Culex
Burung
Amerika
Virus Chikungunya
Aedes
Primata, kalelawar, rodensia
Afrika, Asia
Virus Venezuelan equine vencephalitis
Culex, Aedes
Rodensia
Amerika
Virus Ross River
Culex, Aedes
Nyamuk
Australia, New Zealand
Virus Eastern equine encephalitis
Culex, Aedes
Burung, rodensia
Amerika
Virus Western equine encephalitis
Culex
Burung
Amerika
Virus O’nyong-onyong
Anopheles
Nyamuk
Afrika Timur
Virus Rift Valley Fever
Culex, Aedes
Domba, sapi
Afrika, Asia
Virus Murray Valey encephalitis
Culex
Burung
Australia, New Guini
Anopheles, Aedes
Nyamuk
Afrika
Virus La Crosse encephalitis
Aedes
Tupai, bajing
Amerika Utara
Virus Sindbis
Culex
Burung
Eropa, Afrika, Asia
Tersebar luas
Tersebar luas
Amerika
Virus Orungo
Virus Vesicular stomatitis Sumber: Conway et al. (2014) yang dimodifikasi
terus-menerus dan bertahan pada suhu rata-rata di atas 10°C (Paupy et al. 2009). Namun, A. albopictus peka terhadap perubahan suhu dan kelembaban yang ada di sekitar. Kemampuan nyamuk bertahan hidup mengalami penurunan pada kondisi kering (Bangs et al. 2006; Fidayanto et al. 2013). Populasi nyamuk akan menurun pada musim kering dengan suhu rendah, sebaliknya akan berkembang biak dengan cepat pada waktu suhu meningkat dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi (Suriptiastuti 2007). Jangkauan geografis infeksi virus yang dibawa nyamuk akan terus meluas ke daerah baru. Penyebaran infeksi dari Afrika dan Asia ke benua lain karena luasnya pergerakan perdagangan, pertumbuhan penduduk di daerah berisiko tinggi, globalisasi vektor, urbanisasi, perubahan iklim, serta evolusi virus (Weaver & Reisen 2010; Rezza 2014). KEJADIAN PENYAKIT ZOONOTIK VIRUS ARBO DI INDONESIA Indonesia memiliki iklim tropis yang rentan terhadap kejadian zoonotik virus Arbo. Beberapa penyakit zoonotik virus Arbo diantaranya penyakit West Nile virus, Yellow fever, Murray valley, Japanese
encephalitis, Encephalitis equine, Chik fever, Rift valley virus serta beberapa Tick-borne diseases, Tickborne encephalitis dan Hemorrhagic fever (Conway et al. 2014). Kejadian zoonotik virus Arbo di Indonesia sudah dilaporkan yaitu pada kasus penyakit West Nile virus (Nasronudin 2013) dan Japanese encephalitis (Sendow & Bahri 2005). West Nile Penyakit West Nile (WN) merupakan salah satu penyakit viral dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Penyakit ini dapat menyerang hewan seperti kuda dan unggas, bersifat zoonotik, ditularkan melalui nyamuk (Gould & Higgs 2009). Di bidang veteriner, virus WN termasuk jenis patogen yang cukup penting dapat menyebabkan non-suppurative encephalomyelitis (Weissenbock et al. 2010). Virus West Nile termasuk serogrup Japanese encephalitis dari keluarga Flaviviridae dan merupakan salah satu dari 13 penyakit virus Arbo yang dapat menyebar paling luas (Gyure 2009; Reiter 2010). Virus WN dianggap sebagai ancaman serius bagi kesehatan masyarakat karena morbiditas dan mortilitasnya terus meningkat (Colpitts et al. 2012; Sambri et al. 2013).
155
WARTAZOA Vol. 26 No. 4 Th. 2016 Hlm. 151-162
Mekanisme penularan virus West Nile Flavivirus ini ditemukan di daerah beriklim sedang dan tropis di dunia. Nyamuk bertindak sebagai vektor yang menonjol dalam penyebaran virus West Nile. Satu spesies nyamuk menjadi vektor yang kompeten untuk virus West Nile, dimana harus ada reseptor yang sesuai pada lapisan sel-sel endotel usus bagian tengah nyamuk yang memungkinkan virus menyerang dan memperbanyak diri dalam sel. Sebagai tambahan, virus harus mampu untuk meloncat ke usus tengah dan kemudian melakukan penetrasi dan memperbanyak diri dalam kelenjar air liur (Richards et al. 2007; Anderson et al. 2008). Terdapat lebih dari 60 spesies nyamuk yang dapat menularkan virus WN. Sebagian besar vektor nyamuk yang kompeten berasal dari beberapa spesies dari genus Culex (Culex pipiens, C. nigrapalpus, C. quinquefasciatus dan C. restuans, C. modestus), Aedes vexan dan Ochlerotatus spp (Golding et al. 2012; IVRCRD 2013). Di Amerika Utara dan Eropa, ditemukan nyamuk penular utamanya dari genus Culex, yaitu Culex pipiens complex yang ornithopilic dan berdasarkan hasil penelitian Ikawati et al. (2014) Aedes spp juga berpotensi sebagai vektor virus WN. Penularan infeksi virus West Nile disebarkan oleh vektor nyamuk Culex spp dipengaruhi oleh adanya perubahan iklim dan migrasi burung dari negara tertular (Gould & Higgs 2009). Penyebaran epidemiologis virus WN terkait dengan adaptasi virus yang cepat dalam menginfeksi vektor nyamuk lokal dan manusia sebagai induk semang terakhir. Risiko infeksinya terus meningkat karena terjadi amplifikasi virus di lingkungan (Kramer et al. 2008). Virus WN memiliki inang yang beragam, serta dapat bereplikasi pada burung, reptil, amfibi, mamalia, nyamuk dan kutu. Reservoir virus WN pada burung lebih rentan, terutama famili corvidae (gagak). Pada kuda dan manusia kejadiannya insidentil sebab mamalia tidak mengembangkan virus yang cukup dalam aliran darah untuk menyebarkan penyakit WN (OIE 2011). Menurut Kilpatrick (2011) pola makan vektor C. pipiens dan C. tarsalis di California telah berubah, tidak hanya menghisap darah burung/unggas, tetapi sudah menggigit dan menghisap darah mamalia. Hal ini terjadi pada akhir musim panas ketika burung bermigrasi. Oleh karena itu, epidemik pada manusia banyak terjadi pada akhir musim panas, sebaliknya pada awal musim panas epidemik penyakit WN terjadi pada spesies burung/unggas. Virus WN bersifat ornithophilic, dimana virus ini memperbanyak diri pada nyamuk dan menularkannya kepada unggas, termasuk unggas yang bermigrasi atau pendatang sehingga secara geografis penyebaran virus WN lebih luas.
156
Burung yang bermigrasi dianggap sebagai sumber penularan virus WN, dengan diisolasinya virus tersebut dari burung yang sehat atau burung mati dan pola penyebarannya mengikuti rute migrasi burung tersebut. Dengan kata lain, burung yang bermigrasi berperan sebagai kendaraan bagi penyebaran virus WN (Owen et al. 2006; Botha et al. 2008). Virus dapat bertahan selama musim dingin dan siklus infeksi virus pada burung dapat bertahan bertahun-tahun. Burung-burung yang terinfeksi bermigrasi ke Utara dan menularkan virus sepanjang musim semi. Tingkat dan durasi viremia bervariasi pada tiap spesies. Virus di daerah endemik dipertahankan dalam siklus enzootik pada nyamuk dan burung. Ketika kondisi lingkungan mendukung, virus melakukan amplifikasi yang tinggi, sejumlah vektor (nyamuk yang menggigit burung dan mamalia) menjadi terinfeksi di akhir musim panas serta dapat menyebarkan virus ke manusia, kuda dan induk semang lainnya. Migrasi burung dapat membawa virus WN ke daerah baru. Pada beberapa burung, viremia dapat bertahan selama lebih dari tiga bulan dan dapat melepaskan virus melalui sekresi oral dan kloaka, maupun menularkan virus secara langsung. Penelitian yang dilakukan pada kalkun dan ayam yang terinfeksi menunjukkan bahwa feses dapat mengekskresikan virus selama beberapa hari. Virus ini juga terdapat di kulit angsa dan darah yang menempel pada bulu gagak (akibat kanibalisme) dan pekerja pemilih bulu. Karnivora dan reptil seperti kucing dan buaya juga dapat terinfeksi dengan memakan jaringan yang mengandung virus. Manusia dan kuda merupakan dead end dan tidak menularkan virus ke nyamuk (CFSPH 2009). Penyebaran virus WN juga telah dilaporkan berasal dari daerah endemik Japanese Encephalitis virus, dimana sebagian besar dari kasus encephalitis akut dapat dikaitkan dengan munculnya virus WN (Khan et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa beberapa jenis penyakit virus Arbo dapat dibawa oleh vektor dan berasal dari tempat yang sama. Infeksi virus West Nile di Indonesia Masuknya virus WN ke Indonesia diperkirakan bermula dari migrasi burung yang berasal dari negara terinfeksi. Indonesia banyak kedatangan burung migran yang berasal dari negara Asia bagian Utara, Barat Daya, Asia Barat dan Australia. Oleh karena itu, perlu diwaspadai kemungkinan munculnya wabah penyakit WN. Gigitan nyamuk yang mengandung virus WN merupakan kunci utama bagi penularan infeksi WN. Vektor virus WN menurut Turell et al. (2000), antara lain C. pipens, A. japonicus, A. sollicitans, A. taeniorchynchus dan A. vexans. Nyamuk dari genus Culex sp merupakan nyamuk yang kedua paling banyak
Fitrine Ekawasti dan E Martindah: Pengendalian Vektor pada Penyakit Zoonotik Virus Arbo di Indonesia
tersebar di Indonesia setelah genus Aedes (Luhulima 2008). Infeksi virus WN pada hewan di Indonesia belum pernah dilaporkan dan diteliti, baik kasus klinis maupun data serologisnya (Sendow & Noor 2005). Meskipun demikian, kasus encefalitis dan meningitis pada manusia telah banyak ditemukan di beberapa rumah sakit, tetapi data serologis tidak menunjukkan adanya penyakit WN (Gautama 2005). Pada tahun 2013 penyakit WN dilaporkan muncul di Indonesia sebagai emerging zoonotik virus Arbo (Nasronudin 2013). Myint (2015) melaporkan bahwa berdasarkan hasil uji phylogenetic, virus WN yang didokumentasikan di Indonesia, memiliki kedekatan hubungan dengan strain Uganda dibandingkan dengan strain Australia. Sementara pergerakan transportasi antara Indonesia dan Australia lebih sering terjadi dari pada antara Afrika dan Indonesia. Dengan adanya kejadian ini, menunjukkan bahwa pengelompokan virus WN dapat dijadikan indikator pergerakan penyebaran zoonotik virus Arbo, meskipun tidak ada korelasi antara geografi dan distribusi virus (Monini et al. 2010). Japanese encephalitis Japanese encephalitis (JE) disebabkan oleh virus genus Flavivirus dari famili Flaviviridae yang merupakan penyakit zoonotik yang dapat menyebabkan radang otak pada hewan dan manusia, ditularkan oleh vektor (gigitan nyamuk) (Tsai 2000). Penyakit JE merupakan salah satu penyebab utama kejadian viral encephalitis di dunia dan endemik di Asia (Lopez et al. 2015). Distribusi geografis JE semakin meningkat sehingga klasifikasi penyakitnya banyak bermunculan (Mackkezie et al. 2002). Mekanisme penularan virus Japanese encephalitis Beberapa faktor penentu kejadian penyakit JE di Indonesia karena interaksi induk semang dengan vektor (Liu et al. 2010). Penyebaran virus JE sangat tergantung oleh beberapa faktor, antara lain binatang perantara seperti babi, kera, burung dan vektor (nyamuk). Mekanisme penularan virus JE pada manusia dapat terjadi karena adanya vektor potensial nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang seharusnya bersifat zoofilik (menggigit hewan), namun populasinya meningkat tajam sehingga nyamuk ini juga menggigit manusia yang ada di sekitarnya. Selain itu, babi yang menderita viraemia (mengandung virus JE) jumlahnya banyak sehingga virus di alam meningkat dan mudah ditularkan kepada manusia melalui vektor nyamuk (Solomon et al. 2000). Diperkirakan kematian infeksi JE pada manusia mencapai 60%. Menurut Kari et al.
(2006) manifestasi klinis JE sulit dibedakan dengan encefalitis lainnya. Virus ini ditularkan oleh puluhan spesies nyamuk dan C. tritaeniorhynchus diketahui sebagai vektor utama. Vektor nyamuk C. tritaeniorhynchus, C. gelidus dan C. fuscocephala dalam berkembang biak memerlukan air yang tergenang tenang pada suatu tempat seperti sawah, selokan dan tempat yang dapat menampung air kotor, seperti ban bekas, kaleng dan sebagainya (Paramarta et al. 2009). Virus JE berkaitan erat dengan WNV, dalam siklus enzootic melibatkan burung air dan utamanya nyamuk spesies Culex. Namun, hewan lain seperti babi telah terbukti berperan sebagai amplifikasi induk semang dan berkontribusi pada peningkatan risiko penyakit untuk manusia dan kuda (Lindahl et al. 2012). Perluasan virus JE tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan populasi manusia, penggunaan lahan untuk sawah, irigasi dan peternakan babi (Erlanger et al. 2009). Infeksi virus Japanese encephalitis di Indonesia Keberadaan JE pada manusia di Indonesia telah diungkapkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan serologis (Sendow & Bahri 2005). Kasus JE di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1999 berdasarkan pemeriksaan secara serologis pada 12 serum manusia yang menderita viral encephalitis dan yang paling rawan terkena infeksi JE adalah kelompok usia anak-anak. Sebaran kasusnya relatif luas karena ditemukan di hampir seluruh provinsi di Indonesia yaitu di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggra Timur dan Papua (Gautama 2005; Ompusunggu et al. 2008). Berdasarkan laporan hasil surveilans berbasis rumah sakit di enam provinsi pada tahun 2005-2006, disimpulkan bahwa JE telah endemis di Indonesia dengan persentase positif antibodi terhadap JE antara 1,8 hingga 17,9% (Ompusunggu et al. 2008). Pulau Bali merupakan salah satu daerah endemis JE, terutama di musim hujan (Kari et al. 2006; Liu et al. 2010). Kasus JE pada manusia di Indonesia telah ditemukan di 17 provinsi hingga tahun 2006. Hasil penelitian Ompusunggu et al. (2015) menyatakan bahwa pada tahun 2012 ditemukan 14,2% (103/726) babi terinfeksi virus JE di 12 provinsi yang meliputi 15 kabupaten di Indonesia. Jenis kelamin dan umur babi tidak berhubungan dengan besarnya angka infeksi pada babi. Angka infeksi pada babi berbeda menurut lingkungan, dimana tertinggi adalah di sekitar danau/setu dan terendah di sekitar pantai. Virus JE, vektor dan hewan reservoir sudah ada di berbagai wilayah Indonesia. Salah satu metode pencegahan penyakit JE dapat dilakukan dengan pengendalian vektor yaitu dengan mengontrol populasi nyamuk (Sendow & Bahri 2005). Matondang et al. (2013)
157
WARTAZOA Vol. 26 No. 4 Th. 2016 Hlm. 151-162
menyarankan agar JE pada manusia dikontrol sehingga penyebarannya di wilayah Indonesia dapat diketahui dan dapat diantisipasi pengendaliannya. DAMPAK INFEKSI VIRUS ARBO Kasus penyakit virus Arbo menurut Silitonga (2012), cenderung muncul mengelompok sehingga berpotensi terjadi wabah. Risiko penyebarannya dapat melintasi batas wilayah negara sehingga dapat mengancam kehidupan manusia, menyebabkan kematian dan berdampak buruk pada sistem kehidupan dan perekonomian bangsa. Penyakit virus Arbo dapat menimbulkan demam parah yang berkembang menjadi gangguan fisik atau kognitif jangka panjang. Meskipun sebagian besar infeksi virus Arbo tidak menunjukkan gejala, namun manifestasi klinis dapat terjadi mulai dari demam ringan sampai ensefalitis parah bahkan fatal (Dominigues 2009). PENGENDALIAN PENYAKIT ZOONOTIK VIRUS ARBO Faktor penyebab timbulnya masalah penyakit zoonotik virus Arbo adalah belum terputusnya rantai penularan penyakit oleh vektor nyamuk, oleh karena itu pengendalian nyamuk dewasa sangat penting (Samsuddin 2008). Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan mengontrol sumber penyakit secara aktif dan penyidikan epidemiologi melalui petugas surveilans. Penyebaran infeksi virus Arbo dapat dikontrol secara efektif dengan menggunakan vaksin, namun vaksin yang beredar untuk penyakit yang disebabkan virus Arbo sangat terbatas (Hall et al. 2012; Karesh et al. 2012). Pencegahan penyakit zoonotik virus Arbo sangat tergantung pada pengendalian vektornya, karena tanpa perantara vektor virus tidak dapat menular (Paramarta et al. 2009). Menurut Dash et al. (2013), dalam mengendalikan penyakit virus Arbo harus dilakukan dengan memahami karakteristik vektor arthropoda yang merupakan faktor utama dalam penyebaran virus. Pengendalian vektor Strategi dalam pengendalian vektor terutama dilakukan pada cara transmisinya (Bangs et al. 2006; Fidayanto et al. 2013), serta harus memperhatikan interaksi antara manusia dan hewan dengan ekosistem serta manajemen lingkungannya (Wang & Crameri 2014). Pengendalian vektor nyamuk merupakan hal utama untuk memberantas atau setidaknya mengurangi kejadian penyakit yang disebabkan oleh virus Arbo (WHO 2009).
158
Sifat-sifat (karakteristik) vektor sangat penting untuk dipahami agar pengendaliannya dapat dilakukan secara efektif tanpa merusak ekosistem. Setiap vektor mempunyai karakteristik yang spesifik seperti siklus hidup yang berbeda-beda, mulai dari telur, larva (nimfa) dan dewasa, serta sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang epidemiologi vektor sangat penting. Penanggulangan dan pencegahannya lebih banyak difokuskan pada pemutusan rantai penularan melalui pengendalian nyamuk vektor. Memutus daur hidup vektor dapat menurunkan atau menekan populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan kesehatan masyarakat (Boesri et al. 2015). Pengendalian vektor secara aktif Pengendalian populasi dan penyebaran vektor dapat dilakukan sebagai upaya memutus rantai penularan virus Arbo dengan pemberantasan/ pembasmian sarang nyamuk dan menjaga kebersihan lingkungan untuk mengeliminasi media perkembangbiakan nyamuk. Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pemberantasan jentik berkala (PJB) pada dasarnya dicanangkan untuk mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. Program ini terbukti efektif untuk dilaksanakan karena murah dan bisa dilombakan untuk meraih predikat daerah terbersih dengan budaya hidup bergotong royong sehingga penyakit lainpun ikut berkurang (Nurmaini 2003; Chahaya 2011). Pengendalian vektor (nyamuk) dengan memutus siklus hidupnya dapat pula dilakukan secara kimiawi dan bilogis dari fase larva hingga dewasa (Bangs et al. 2006; Fidayanto et al. 2013). Pengendalian nyamuk secara kimiawi dan biologis Pengasapan (fogging) Pengasapan atau fogging dilakukan untuk memberantas sarang nyamuk dan nyamuk dewasa dengan menggunakan jenis insektisida misalnya, golongan organofospat atau pyrethroid sintetik (Supartha 2008). Namun, dilaporkan telah terjadi resistensi pada beberapa insektisida sehingga penggunaan insektisida kimia untuk pengendalian vektor menjadi tidak optimal (Norris & Norris 2011; Vontas et al. 2012). Repelen yaitu bahan kimia atau non-kimia yang berkhasiat mencegah nyamuk hinggap dan menggigit. Bahan tersebut memblokir fungsi sensori pada nyamuk. Jika digunakan dengan benar, repelen bermanfaat untuk memberikan perlindungan pada individu pemakainya dari gigitan nyamuk selama jangka waktu tertentu (Kardinan 2007).
Fitrine Ekawasti dan E Martindah: Pengendalian Vektor pada Penyakit Zoonotik Virus Arbo di Indonesia
Teknik serangga mandul
Penyidikan epidemiologi vektor
Pemberantasan nyamuk dewasa dengan cara biologis dapat dilakukan dengan teknik serangga mandul. Teknik serangga mandul merupakan salah satu teknik pengendalian vektor secara genetik dengan cara mensterilkan atau memandulkan serangga sasaran kemudian dilepaskan ke alam supaya terjadi perkawinan di alam dan memperoleh keturunan steril sehinga dapat menurunkan populasi (Setiyaningsih et al. 2015). Proses sterilisasi dapat menggunakan sinar gamma Co-60. Teknik ini merupakan pengendalian vektor yang potensial, ramah lingkungan, efektif dan spesies spesifik (Yadav et al. 2010).
Menurut Daszak et al. (2004) penyakit zoonotik virus Arbo sulit untuk diprediksi, karena penyakit bisa muncul dari sumber yang tidak diduga sebelumnya dan variasi pola penyebaran, serta cara penularannya pun tidak sepenuhnya dapat diketahui. Meskipun demikian, meningkatnya kejadian penyakit zoonotik virus Arbo di masa depan perlu diantisipasi. Bangs et al. (2006) dan Fidayanto et al. (2013) menyatakan hal sebaliknya bahwa penyidikan epidemiologi vektor dapat dilakukan dengan surveilans sehingga jenis vektor yang terdapat pada suatu daerah dapat diidentifikasi dan deteksi virus pada populasi vektor dapat dijadikan indikator atau peringatan dini untuk melakukan tindakan yang tepat dalam mencegah wabah. Oleh karena itu, program pengawasan perlu dirancang dengan menyediakan sistem pemetaan distribusi penyakit. Informasi yang diperoleh akan bermanfaat untuk menilai risiko dan mengidentifikasi spesies vektor yang menjadi target pengendalian (Hall et al. 2012). Pengendalian vektor dengan surveilans akan menghasilkan data untuk mengidentifikasi jenis vektor yang tersebar sehingga penyakit virus Arbo tertentu dapat diprediksi. Dengan demikian, dapat dilakukan pemberantasan dan pengendalian vektor secara terprogram dan efektif, serta tetap menjaga kelestarian ekosistemnya.
Pemberantasan jentik Pemberantasan jentik nyamuk dengan cara sederhana diharapkan dapat dilakukan oleh masyarakat. Cara berikut dapat mengurangi densitas vektor nyamuk, yaitu (1) Pemeliharaan saluran irigasi, bagian tepi saluran tidak boleh ada kantong-kantong air sehingga air dapat mengalir dengan lancar; (2) Padi harus ditanam serentak sehingga densitas Anopheles aconitus terbatas pada periode pendek yaitu pada minggu keempat hingga minggu keenam setelah musim tanam. Perkembangan jentik hingga dewasa membutuhkan air, maka pengeringan sawah berkala merupakan cara pengendalian jentik yang dapat dilakukan oleh petani. Perkembangan dari telur hingga menjadi nyamuk diperlukan waktu 13-16 hari, karenanya pengeringan cukup dilakukan di persawahan, yang dilakukan setiap 10 hari sekali selama dua hari (Nurmaini 2003). Pemberantasan jentik nyamuk secara kimiawi dapat dilakukan dengan abatisasi, yaitu pemberian abate (larvasida) berupa butiran pasir temefos 1%. Program abatisasi dapat mengurangi populasi jentik nyamuk di perairan (Bangs et al. 2006; Fidayanto et al. 2013). Cara ini terbukti ampuh untuk memberantas jentik nyamuk selama 8-12 minggu. Abatisasi sebaiknya dilakukan selektif sesuai dengan pola curah hujan yang terjadi pada tahun tersebut. Pengendalian jentik secara biologi dilakukan dengan menggunakan predator (binatang pemangsa serangga). Parasit yang berfungsi sebagai biokontrol jentik nyamuk disebar dengan tujuan untuk menurunkan populasi serangga secara alami tanpa mengganggu lingkungan, selain itu juga dengan ikan pemakan jentik (Zen 2012). Penebaran ikan pemakan jentik pada perairan tidak harus berupa ikan kecil tetapi dapat berupa ikan yang bernilai ekonomi misalnya ikan mujair, ikan nila (Nurmaini 2003; Kasfili et al. 2014), ikan mas dan ikan lele (Wihartyas 2015).
KESIMPULAN Penyakit virus Arbo dapat mengancam kesehatan manusia. Keberhasilan pencegahan/ penyebarannya sangat tergantung pada pengendalian vektor potensial. Data epidemiologi vektor melalui surveilans studi longitudinal untuk mengidentifikasi jenis vektor potensial yang ada di suatu daerah sangat penting sehingga pengendaliannya dapat dilakukan tanpa merusak ekosistem sekitar dan dilakukan secara terprogram dan efektif. DAFTAR PUSTAKA Achmadi UF. 2008. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta (Indonesia): UI Press. Anderson JF, Main AJ, Delroux K, Fikrig E. 2008. Extrinsic incubation periods for horizontal and vertical transmission of West Nile virus by Culex pipiens pipiens (Diptera: Culicidae). J Med Entomol. 45:445451. Bahri S, Syafriati T. 2011. Mewaspadai munculnya beberapa penyakit hewan menular stategis di Indonesia terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Wartazoa. 21:25-39.
159
WARTAZOA Vol. 26 No. 4 Th. 2016 Hlm. 151-162
Bangs MJ, Larasati RP, Corwin AL, Wuryadi S. 2006. Climatic factors associated with epidemic dengue in palembang, Indonesia: Implications of short-term meteorological events on virus transmission. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 37:11031116. Boesri H, Heriyanto B, Susanti L, Handayani SW. 2015. Uji repelen (daya tolak) beberapa ekstrak tumbuhan terhadap gigitan nyamuk Aedes aegypti vektor demam berdarah dengue. Vektora J Vektor Reserv Penyakit. 7:79-84. Botha EM, Markotter W, Wolfaardt M, Paweska JT, Swanepoel R, Palacios G, Nel LH, Venter M. 2008. Genetic determinants of virulence in pathogenic lineage 2 West Nile virus strains. Emerg Infect Dis. 14:222-230. CFSPH. 2009. West Nile virus infection. The Center For Food Security and Public Health. Iowa State University [Internet]. [cited 2016 Jun 9]. Available from: http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/ west_nile_fever.pdf Chahaya I. 2011. Pemberantasan Vektor demam berdarah di Indonesia. Universitas Sumatera Utara [Internet]. [disitasi 8 Februari 2016]. Tersedia dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3715/ 1/fkm-indra c5.pdf Colpitts TM, Conway MJ, Montgomery RR, Fikrig E. 2012. West Nile virus: Biology, transmission, and human infection. Clin Microbiol Rev. 25:635-648. Conway MJ, Colpitts TM, Fikrig E. 2014. Role of the vector in Arbovirus transmission. Annu Rev Virol. 1:71-88. Cutler SR, Rodriguez PL, Finkelstein RR, Abrams SR. 2010. Abscisic acid: emergence of a core signaling network. Annu Rev Plant Biol. 61:651-679. Darpel KE, Langner KFA, Nimtz M, Anthony SJ, Brownlie J, Takamatsu HH, Mellor PS, Mertens PPC. 2011. Saliva proteins of vector Culicoides modify structure and infectivity of bluetongue virus particles. PLoS One. 6:e17545. Dash AP, Bhatia R, Sunyoto T, Mourya DT. 2013. Emerging and re-emerging arboviral diseases in Southeast Asia. J Vector Borne Dis. 50:77-84. Daszak P, Tabor GM, Kilpatrick AM, Epstein J, Plowright R. 2004. Conservation medicine and a new agenda for emerging diseases. Ann NY Acad Sci. 1026:1-11. Davis LE, Beckham JD, Tyler KL. 2008. North American Encephalitic Arboviruses. Neurol Clin. 26:727-757. Dominigues RB. 2009. Treatment of viral encephalitis. Cent Nerv Syst Agents Med Chem. 9:56-62. Erlanger TE, Weiss S, Keiser J, Utzinger J, Wiedenmayer K. 2009. Past, present, and future of Japanese encephalitis. Emerg Infect Dis. 15:1-7. Fidayanto R, Susanto H, Yohanan A, Yudhastuti R. 2013. Model pengendalian demam berdarah dengue. J Kesehatan Masyarakat Nasional. 7:522-528. Forman S, Hungerford N, Yamakawa M, Yanase T, Tsai HJ, Joo YS, Yang DK, Nha JJ. 2008. Climate change
160
impacts and risks for animal health in Asia. Rev Sci Tech. 27:581-97. Gautama K. 2005. Pelaksanaan surveilans JE di Bali. Dalam: Work train surveilans JE di rumah sakit. Jakarta, 1719 Februari 2005. Jakarta (Indonesia): Kementerian Kesehatan. Glass K. 2005. Ecological mechanisms that promote arbovirus survival: A mathematical model of Ross River virus transmission. Trans R Soc Trop Med Hyg. 99:252-260. Golding N, Nunn MA, Medlock JM, Purse BV, Vaux AGC, Schafer SM. 2012. West Nile virus vector Culex modestus established in Southern England. Parasit Vectors. 5:32. Gould EA, Higgs S. 2009. Impact of climate change and other factors on emerging arbovirus diseases. Trans R Soc Trop Med Hyg. 103:109-121. Graham JP, Leibler JH, Price LB, Otte JM, Pfeiffer DU, Tiensin T, Silbergeld EK. 2008. The animal-human interface and infectious disease in industrial food animal production: Rethinking biosecurity and biocontainment. Public Health Rep. 123:282-299. Gubler DJ. 2009. Vector-borne diseases. Rev Sci Tech. 28:583-588. Gupta E, Mohan S, Bajpai M, Choudhary A, Singh G. 2012. Circulation of dengue virus-1 (DENV-1) serotype in Delhi, during 2010-2011 after dengue virus-3 (DENV-3) predominance: A single centre hospitalbased study. J Vector Borne Dis. 49:82-85. Gyure KA. 2009. West Nile virus infections. J Neuropathol Exp Neurol. 68:1053-1060. Hall RA, Blitvich BJ, Cheryl AJ, Stuart DB. 2012. Advances in virus arbo surveillance, detection and diagnosis. J Biomed Biotechnol. 2012:1-2. Hubálek Z. 2008. Mosquito-borne viruses in Europe. Parasitol Res. 103:29-43. Ikawati B, Widiastuti D, Astuti P. 2014. West Nile virus: Epidemiology, classification and molecular basic. Balaba. 10:97-102. IVRCRD. 2013. Strengthening of Japanese encephalits prevalence in Indonesia. Identify project final report, WHO-USAID. Salatiga (Indonesia): Institute of Vector and Reservoir Control Research and Development. Jones KE, Patel NG, Levy MA, Storeygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global trends in emerging infectious diseases. Nature [Internet]. 451:990-993. Kardinan A. 2007. Potensi selasih sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti. J Penelitian Pertanian Tanaman Indonesia. 13:39-42. Karesh WB, Dobson A, Lloyd-Smith JO, Lubroth J, Dixon MA, Bennett M, Aldrich S, Harrington T, Formenty P, Loh EH, et al. 2012. Ecology of zoonoses: Natural and unnatural histories. Lancet. 380:1936-1945. Kari K, Liu W, Gautama K, Mammen MP, Clemens JD, Nisalak A, Subrata K, Kim HK, Xu ZY. 2006. A
Fitrine Ekawasti dan E Martindah: Pengendalian Vektor pada Penyakit Zoonotik Virus Arbo di Indonesia
hospital-based surveillance for Japanese encephalitis in Bali, Indonesia. BMC Med. 4:8. Kasfili JS, Gamaiwarivoni, Kermelita D. 2014. Perbedaan efektivitas ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) dan Nila (Oreochromis niloticus) sebagai predator alami larva nyamuk Aedes sp instar III. J Kesehatan Lingkungan [Internet]. Available from: http:// keslingbengkulu.blogspot.co.id/2014/08/v-behaviorur ldefaultvmlo_81.html Katare M, Kumar M. 2010. Emerging zoonoses and their determinants. Vet World. 3:481-486. Kean J, Rainey SM, McFarlane M, Donald CL, Schnettler E, Kohl A, Pondeville E. 2015. Fighting arbovirus transmission: Natural and engineered control of vector competence in Aedes mosquitoes. Insects. 6:236-278. Khan SA, Prafulla D, Khan AM, Pritom C, Jani B, Pabitra D, Jagadish M. 2011. West Nile virus infection, Assam, India. Emerg Infect Dis. 17:947-48. Kilpatrick MA. 2011. Globalization, land use and the invasion of West Nile virus. Science. 334:323-327. Kramer LD, Styer LM, Ebel GD. 2008. A global perspective on the epidemiology of West Nile virus. Annu Rev Entomol. 53:61-81. Lambrechts L, Scott TW. 2009. Mode of transmission and the evolution of arbovirus virulence in mosquito vectors. Proc R Soc B. 276:1369-1378. Lindahl J, Boqvist S, Ståhl K, Thu HTV, Magnusson U. 2012. Reproductive performance in sows in relation to Japanese encephalitis virus seropositivity in an endemic area. Trop Anim Health Prod. 44:239-245. Liu W, Gibbons RV, Kari K. 2010. Risk factors for Japanese encephalitis: A case-control study. Epidemiol Infect. 138:1292-1297. Lopez AL, Aldaba JG, Roque VG, Tandoc AO, Sy AK, Espino FE, DeQuiroz-Castro M, Jee Y, Ducusin MJ, Fox KK. 2015. Epidemiology of Japanese encephalitis in the Philippines: A systematic review. PLoS Negl Trop Dis. 9:e0003630. Luhulima B. 2008. Perkiraan jumlah genera dan spesies nyamuk di Indonesia. Apninews [Internet]. [disitasi 8 Februari 2016]. Tersedia dari: http://apninews. blogspot.com/ Mackkezie JS, Johansen CH, Ritchie SA, Hurk AF, Hall RA. 2002. Japanese encephalitis in an emerging virus: The emergence and spread of Japanese encephalitis virus in Australasia. Berlin (Germany): SpringerVerlag Berlin Heidelberg. Matondang MQY, Nasronudin, Aksono EB, Lusida MI, Nastri AM, Fajar NS, Jannah LM. 2013. Quick diagnosis of Japanese encephalitis for new diagnosed emerging disease using PCR technique in Surabaya, Indonesia. Indonesia J Trop Infect Dis. 4:42-45. Michael MAJ, Woodruff RE. 2008. Climate change and infectious diseases. In the social ecology of infectious diseases. In: Meyer KH, Pizer HF, editors. The social ecology of infectious diseases. 1st ed. London (UK): Academic Press Elsevier. p. 378-407.
Monini M, Falcone E, Busani L, Romi R, Ruggeri FM. 2010. West Nile virus: Characteristics of an african virus adapting to the third millennium world. Open Virol J. 4:42-51. Morse SS, Mazet JAK, Woolhouse M, Parrish CR, Carroll D, Karesh WB, Zambrana-Torrelio C, Lipkin WI, Daszak P. 2012. Prediction and prevention of the next pandemic zoonosis. Lancet. 380:1956-1965. Myint KSA. 2015. Detecting emerging vector-borne zoonotic pathogens in Indonesia. Jakarta (Indonesia): Alertasia Foundation. Naipospos TSP. 2005. Kebijakan penanggulangan penyakit zoonotik berdasarkan prioritas departemen pertanian. Dalam: Prosiding Lokakarya nasional Penyakit Zoonotik. Bogor, 15 September 2005. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 23-27. Nasronudin. 2013. Kini saatnya Indonesia mewaspadai penyakit virus West Nile. Kompas:14. Norris LC, Norris DE. 2011. Insecticide resistance in Culex quinquefasciatus mosquitoes after the introduction of insecticide-treated bed nets in Macha, Zambia. J Vector Ecol. 36:411-420. Nurmaini. 2003. Mentifikasi vektor dan Pengendalian nyamuk Anopheles aconitus secara sederhana. Medan (Indonesia): USU Digital Library. Ochieng C, Lutomiah J, Makio A, Koka H, Chepkorir E, Yalwala S, Mutisya J, Musila L, Khamadi S, Richardson J, et al. 2013. Mosquito-borne arbovirus surveillance at selected sites in diverse ecological zones of Kenya; 2007-2012. Virol J. 10:140. OIE. 2011. West Nile fever. Paris (France): Office International des Epizootic. Ompusunggu S, Hills SL, Maha MS, Moniaga VA, Susilarini NK, Widjaya A, Sasmito A, Suwandono A, Sedyaningsih ER, Jacobson JA. 2008. Confirmation of Japanese encephalitis as an endemic human disease through sentinel surveillance in Indonesia. Am J Trop Med Hyg. 79:963-970. Ompusunggu S, Maha MS, Dewi RM, Subangkit. 2015. Infeksi Japanese encephalitis pada babi di beberapa provinsi Indonesia tahun 2012. Media Litbangkes. 25:1-8. Owen J, Moore F, Panella N, Edwards E, Bru R, Hughes M, Komar N. 2006. Migrating birds as dispersal vehicles for West Nile virus. Ecohealth. 3:79-85. Paramarta IGE, Kari IK, Hapsara S. 2009. Faktor risiko lingkungan pada pasien Japanese encephalitis. Sari Pediatri. 10:308-313. Paupy C, Delatte H, Bagny L, Corbel V, Fontenille D. 2009. Aedes albopictus, an arbovirus vector: From the darkness to the light. Microbes Infect. 11:1177-1185. Pfeffer M, Dobler G. 2009. Was kommt nach BluetongueEuropa im Fadenkreuz exotischer Arboviren. Berl Münch Tierärztl Wochenschr. 122:458-466. Preiser W. 2010. Tropical virus not only in the tropics. treatment, epidemiology and diagnosis of tropical viral infections. Pharm Unserer Zeit. 39:34-40.
161
WARTAZOA Vol. 26 No. 4 Th. 2016 Hlm. 151-162
Reiter P. 2010. West Nile virus in Europe: Understanding the present to gauge the future. Eur Commun Dis Bull. 15:19508. Rezza G. 2014. Dengue and chikungunya: Long-distance spread and outbreaks in naïve areas. Pathog Glob Health. 108:349-355. Richards SL, Mores CN, Lord CC, Tabachnick WJ. 2007. Impact of extrinsic incubation temperature and virus exposure on vector competence of Culex pipiens quinquefasciatus say (Diptera: Culicidae) for West Nile virus. Vector-borne Zoonotic Dis. 7:629-636. Rosenberg R, Johansson MA, Powers AM, Miller BR. 2013. Search strategy has influenced the discovery rate of human viruses. Proc Natl Acad Sci USA. 110:1396113964. Sambri V, Capobianchi M, Charrel R, Fyodorova M, Gaibani P, Gould E, Niedrig M, Papa A, Pierro A, Rossini G, et al. 2013. West Nile virus in Europe: Emergence, epidemiology, diagnosis, treatment, and prevention. Clin Microbiol Infect. 19:699-704. Samsudin. 2008. Virus patogen serangga: Bio-insektisida ramah lingkungan [Internet]. Tersedia dari: http://lembagapertaniansehat/developusefulinnovation forfamersrubrik Santos R, Monteiro S. 2013. Epidemiolgy, control and prevention of emerging zoonotic viruses. In: Cook N, editor. Viruses in food and water. Risks, surveillance and control. Oxford (UK): Woodhead Publishing. p. 442-457. Schneider BS, Higgs S. 2008. The enhancement of arbovirus transmission and disease by mosquito saliva is associated with modulation of the host immune response. Trans R Soc Trop Med Hyg. 102:400-408. Schneider BS, Soong L, Girard YA, Campbell G, Mason P, Higgs S. 2006. Potentiation of West Nile encephalitis by mosquito feeding. Viral Immunol. 19:74-82. Sendow I, Bahri S. 2005. Perkembangan Japanese encephalitis di Indonesia. Wartazoa. 15:111-118. Sendow I, Noor SM. 2005. Virus West Nile sebagai salah satu penyakit emerging zoonotik. Dalam: Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonotik. Bogor, 15 September 2005. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 474-476. Setiyaningsih R, Agustini M, Rahayu A. 2015. Pengaruh pelepasan nyamuk jantan mandul terhadap fertilitas dan perubahan morfologi telur. Penyakit, Vektora J Vektor Reserv. 7:71-78. Sholichah Z. 2009. Ancaman dari nyamuk Culex sp yang terabaikan. Balaba. 5:21–23. Silitonga M. 2012. Pengendalian penyakit-penyakit infeksius emerging dan re-emerging. Jakarta (Indonesia): NPOSrveillance and Response WHO Indonesia. Solomon T, Dung NM, Kneen R. 2000. Japanese encephalitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 68:405415.
162
Supartha IW. 2008. Pengendalian terpadu vektor virus demam berdarah dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). Denpasar (Indonesia): Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Suriptiastuti. 2007. Re-emergensi chikungunya: Epidemiologi dan peran vektor pada penyebaran penyakit. Universa Med. 26:101-110. Sutaryo. 2004. Dengue. Yogyakarta (Indonesia): Penerbit Medika, Fakultas Kedokteran UGM. Tiroumourougane SV, Raghava P, Srinivasan S. 2002. Japanese viral encephalitis. Postgrad Med J. 78:205215. Tsai TF. 2000. New initiatives for the control of Japanese encephalitis by vaccination: Minutes of a WHO/CVI meeting, Bangkok, Thailand, 13-15 October 1998. Vaccine. 18:1-25. Turell MJ, O’Guinn M, Oliver J. 2000. Potential for New York mosquitoes to transmit West Nile virus. Am J Trop Med Hyg. 62:413-414. Vontas J, Kioulos E, Pavlidi N, Morou E, della Torre A, Ranson H. 2012. Insecticide resistance in the major dengue vectors Aedes albopictus and Aedes aegypti. Pestic Biochem Physiol. 104:126-131. Wang LF, Crameri G. 2014. Emerging zoonotic viral diseases. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 33:569-581. Weaver SC, Reisen WK. 2010. Present and future arboviral threats. Antiviral Res. 85:328-345. Weissenbock H, Hubalek Z, Baakonyi T, Nowotny. 2010. Zoonotic mosquito-borne flaviviruses: Worldwide presence of agents with proven pathogenicity and potential candidates of future emerging diseases. Vet Microbiol. 140:271-280. WHO. 2009. Progress and prospects for the use of genetically modified mosquitoes to inhibit disease transmission. Geneva (Switzerland): World Health Organization. Wihartyas F. 2015. Efektivitas pemberian ikan Mas (Cyprinus carpio) dalam menurunkan jumlah jentik dan persepsi masyarakatnya (Studi Kasus di RW 06 Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang) [Skripsi]. [Semarang, (Indonesia)]: Universitas Negeri Semarang. Wijayanti K. 2008. Penyakit-penyakit yang meningkat kasusnya akibat perubahan iklim global. J Med Rev. 21. Yadav K, Dhiman S, Baruah I, Singh L. 2010. Effect of gamma radiation on survival and fertility of male Anopheles stephensi Liston, irradiated as pharate adults. J Ecobiotechnology. 2. Zell R, Krumbholz A, Wutzler P. 2008. Impact of global warming on viral diseases: What is the evidence? Curr Opin Biotechnol. 19:652-660. Zen S. 2012. Biokontrol jentik nyamuk Aedes aegypti dengan predator ikan pemakan jentik. J Pendidikan Biol. 3:110.