Kepemimpinan Dan Pembelajaran Aparatur Pemerintahan Daerah: Kunci Penting Mencapai Tujuan Otonomi Daerah Oleh. Haris Faozan
Pendahuluan
Usia kemerdekaan republik ini menjelang 60 tahun, suatu usia kemerdekaan yang cukup matang mestinya. Di dalam sidang pertama rapat besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan: “…Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita!…Di dalam Indonesia merdeka itulah kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia meredeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas inilah, baru kita leluasa menyusun masyarkat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat sehat, kekal dan abadi”. Gema kemerdekaan 17 Agustus 1945 bagi lebih dari 200 juta penduduk Indonesia terdengar sayup-sayup. Pekik kemerdekaan berubah menjadi jerit dan tangis kesengsaraan. Kegembiraan terhapus oleh rasa lapar, derajat martabat bangsa ini tertindas oleh rendahnya pendidikan. Para pendiri bangsa ini mungkin menangis melihat kepiluan yang diderita oleh anak-anak bangsa. Apabila kita telusuri desa demi desa, daerah demi daerah, pulau demi pulau di belahan nusantara ini hingga detik ini, kita melihat dengan jelas tentang gambaran masyarakat Indonesia secara umum. Taraf ekonomi yang masih jauh dari cukup, tingkat kesehatan yang tidak layak untuk dibilang cukup, dan tingkat pendidikan yang masih jauh dari memadai1 merupakan fakta tak terbantahkan. Lantas, apalah lacur bila demikian? Siapa harus disalahkan? Siapa harus bertanggungjawab terhadap penderitaan ini? Tuntutan reformasi tahun 1998 belum membuahkan hasil yang dapat dibanggakan. Proses reformasi Indonesia masih dalam taraf pencarian bentuk yang tak kunjung ditemukan. Dan dalam kurun waktu yang sama, proses reformasi telah menelan ongkos yang tidak sedikit. Materi, tenaga, pikiran, darah, dan nyawa telah dikorbankan. Tetapi apa hasilnya dan kapan dapat dipetik, merupakan dua pertanyaan yang perlu dijawab dengan tepat.
1
Tulisan ini merupakan salah satu tulisan dalam buku MENDOBRAK BUDAYA LAMA ORGANISASI BIROKRASI: Menanamkan Budaya Baru Berbasis Kinerja (Haris Faozan, 2003). Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
1
Para pendiri bangsa menitipkan bangsa dan negara ini kepada kita, kepada seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali. Para pendiri bangsa menitipkan amanah kepada kita agar melanjutkan perjuangan mereka yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam arti seluas-luasnya. Otonomi daerah yang dicanangkan dengan UU No. 22 Tahun 1999, barangkali merupakan representasi keinginan untuk menggapai tujuan bangsa ini. Jelas sangat dipahami bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah bukan sematamata di pundak pemerintah daerah, melainkan berada pada pundak seluruh komponen masyarakat daerah. Pertanyaannya adalah: Apakah hal ini disadari oleh para pimpinan Pemdadan para anggota dewan daerah? Apakah mereka memahami dan memiliki strategi untuk mengelola seluruh sumber daya daerahnya secara optimal? Tampaknya dua hal tersebut perlu dikaji secara mendalam, apalagi munculnya konflik internal pemerintahan daerah –eksekutif dan legislatif—belum kunjung mereda. Paper ini bertujuan untuk memberikan resolusi mendasar mencapai tujuan otonomi daerah melalui kepemimpinan pemerintah daerah, dimana di dalamnya akan memfokuskan kepada dua hal esensial, yaitu peran dan kapabilitas pimpinan Pemda dan menumbuhkan learning culture sumber daya manusia aparatur Pemda. Kedua hal tersebut merupakan dua faktor penting dalam seri kepemimpinan Pemda dalam rangka mencapai tujuan otonomi daerah. Isi paper akan dimulai dengan pembahasan mengenai tantangan peran pimpinan Pemda di era kini. Paper akan dilanjutkan dengan bahasan mengenai tuntutan kapabilitas bagi para pimpinan Pemda untuk memberdayakan SDM aparaturnya, dan membudayakan learning di kalangan SDM aparatur Pemda. Dan terakhir, paper akan ditutup dengan catatan akhir.
Peran Kepemimpinan Pemda Di Era Kini Semakin Menantang
Dengan mengikuti perkembangan sementara implementasi otonomi daerah di Indonesia, sekilas tergambar bahwasanya sebagian besar pengambil keputusan di daerah --para pimpinan pemerintah daerah— kurang memiliki pemikiran dan perencanaan stratejik yang komprehensif dan matang. Tidak sedikit Pemda kabupaten/kota dan propinsi di seluruh Indonesia yang masih membutuhkan tenaga para konsultan untuk menentukan “program mana yang strategis dan tidak strategis’. Lebih fatal lagi, Pemda-pemda kabupaten/kota dan propinsi tersebut menyerahkan penyusunan perencanaan strategiknya kepada konsultan-konsultan yang mereka bayar. Mau dijadikan apa daerahdaerah mereka? Apa dan bagaimana peran para pimpinan Pemda di situ? Apakah ini ilustrasi karakter sebagian besar pimpinan pemerintahan daerah Indonesia pada umumnya? Ataukah hal ini disebabkan oleh hasil belajar para pimpinan Pemda yang kurang optimal? Atau apakah masalah-masalah dalam otonomi daerah terlalu sulit dipecahkan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan hati-hati dan seksama, serta membutuhkan waktu, pemikiran, serta biaya yang tidak sedikit untuk melakukan kajian secara memadai. Dalam konteks mencapai tujuan otonomi daerah, maka para pimpinan Pemda tidak lagi patut menerapkan teori negara eksploitatif atau pemangsa yang senantiasa melihat
2
peluang memperoleh keuntungan dan memfokuskan pada pergulatan transfer-transfer kekayaan yang dibuat serba mungkin oleh eksistensi kewenangannya. Dalam suasana tuntutan reformasi disegala bidang, penerapan teori tersebut sangat tidak manusiawi meskipun para pelakunya adalah para manusia juga. Selain itu, dalam suasana reformasi segala bidang dewasa ini, para pimpinan pemerintah –pusat dan daerah-- juga tidak semestinya menerapkan: 1. The autonomous-state approach, memandang negara sebagai kekuatan yang terpisah dan independen dalam masyarakat. 2. The interest group approach, memandang negara hanya sebagai medium bagi kelompok-kelompok kepentingan ekonomi dan pergerakan sosial yang memperebutkan porsi kebijakan publik dan alokasi yang dihasilkan fiscal reward di antara yang lain. 3. The self-seeking bureaucrats approach. Yang secara langsung menyerang konsepsi ‘benevolent state’ dari paradigma kegagalan pasar dengan asumsi bahwa pegawai-pegawai pemerintah berperilaku dalam kerangka asumsi homo economicus. Berbagai literatur kepemimpinan (leadership) menggarisbawahi bahwa kepemimpinan memegang peranan penting bagi maju-mundurnya sebuah organisasi. Dalam salah satu artikelnya Senge (1996) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan sejati yang inovatif dan adaptif adalah perusahaan-perusahaan yang mengenal bahwasanya lingkungan kepemimpinan yang sehat membutuhkan tiga jenis pemimpin yaitu local line leaders, internal networkers, dan executive leaders. Ketiganya memiliki peran esensi masingmasing, dimana sinergisme diantara mereka akan menghasilkan kreativitas dan inovasi bagi perusahaannya2. Pendapat tersebut bagi para pimpinan instansi Pemda semestinya menjadi bahan renungan yang perlu diresapi meskipun pernyataan tersebut konteksnya bagi pimpinan perusahaan (company’s leaders) bukan diperuntukkan bagi mereka. Para pimpinan instansi Pemda semestinya menyadari dan peduli bahwa applied sciences yang selama ini dioptimalkan oleh sektor bisnis telah memasuki ke dalam sektor publik atau pemerintah3. Tetapi meskipun demikian, tampaknya apa yang telah dipelajari dalam berbagai diklat pimpinan (baik Tingkat I, II, maupun III) dalam prakteknya belum menunjukkan perubahan yang signifikan dikalangan instansi Pemda. Senge4 dalam Fifth Discipline (1990) menyatakan bahwa dalam diri seorang pimpinan semestinya memiliki tiga peran sekaligus, yaitu sebagai designer, teacher, dan steward, dimana masing-masing peran membutuhkan keahlian (skills) yang berbeda, yaitu building shared vision, surfacing and challenging mental models, dan engaging in systems thinking. Bagi pimpinan pemerintah daerah, tampaknya sangat berat untuk mencoba mengaplikasikan apa yang diamanatkan oleh Senge. Namun demikian perlu dipahami bahwa paradigma manajemen senantiasa mengalami perkembangan. 2
Terminologi perusahaan dalam pendapat tersebut dapat dikonotasikan dengan organisasi apa saja, instansi pemerintah daerah/pusat atau nirlaba. 3 Kita bisa mengamati dari kurikulum yang dibangun untuk diklat jabatan PNS (Diklatpim Tk. I, II, dan III) 4 Senge diberi gelar oleh the Harvard Business Review sebagai one of the new gurus’ of management thinking.
3
Sementara itu, Sandra Hale (1996) dalam risetnya menyimpulkan bahwa hanya organisasi-organisasi pembelajar-lah (learning organizations) yang mampu mencapai kinerja tinggi (high performance organization). Indikator kinerja tinggi dirinci kedalam 10 kriteria, yaitu: 1) inovasi (innovation) 2) berani mengambil resiko (risk taking) 3) pelatihan dan penggunaan alat-alat yang tepat (training and the right tools) 4) komunikasi (communication) 5) pengukuran kinerja (work measurement) 6) misi yang terfokus (a focused mission) 7) kerja tim (team work) 8) partisipasi pegawai(employee participation) 9) pemberian penghargaan dan kepuasaan (reward and recognition) 10) terdapatnya para pemimpin yang mampu memberdayakan pegawainya (enabling leaders) Dari 10 kriteria tersebut apabila dikaitkan dengan pendapat Senge tentang lingkungan kepemimpinan yang sehat di atas, sangat jelas terlihat bahwa ketiga jenis pemimpin yang dimaksudkan Senge --yaitu local line leaders, internal networkers, dan executive leaders— memiliki peran penting dalam mencapai sebuah organisasi yang berkinerja tinggi. Uraian tersebut secara singkat menggarisbawahi bahwasanya tanpa adanya peran maksimal dari setiap jenis/jenjang pimpinan di instansi Pemdayang telah dipadukan secara solid, tampaknya mustahil mampu membawa instansinya mencapai predikat high performance organization. Kapabilitas Pimpinan untuk Memberdayakan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemda Merupakan Prioritas. Dalam situasi perubahan dunia yang sulit diprediksi dewasa ini, peran pemerintah di seluruh dunia --dalam menghadapi tantangan masa depan suatu bangsa-- mengalami perubahan dramatis. Demikian halnya dengan seluruh Pemda di Indonesia, peran mereka kini dituntut berubah mengikuti perkembangan perubahan yang bergulir. Semakin ringankah perannya? Jelas tidak! Masyarakat daerah pun mengalami perubahan dalam bersikap, berpikir, dan bertindak. Hal ini seiring dengan beranjak dewasanya usia sebuah bangsa, sejalan dengan terus berkembangnya pola pikir masyarakat kita, dan senapas dengan perubahan global yang tiada henti menghasut warga masyarakat kita untuk memperoleh persembahan berarti dari para abdinya, yaitu para aparatur pemerintah daerahnya. Banyaknya keterbatasan yang membebani Pemdabukan saatnya lagi dijadikan alasan bagi rendahnya kinerja mereka. Mengapa? Karena masyarakat tidak tahu menahu dengan keterbatasan tersebut. Yang masyarakat tahu adalah bahwa Pemdabertanggungjawab untuk memperbaiki keadaan dan menciptakan perbaikan sosial (social betterment) di daerahnya. Fakta demikian tentu tidaklah berlebihan, karena pemerintah daerahlah yang mempunyai kekuasaan untuk mengeksplorasi dan
4
mengeksploitasi segala sumber daya di daerahnya. Dalam konteks ini selain diperlukan kapabilitas para pimpinan Pemda yang memadai, juga dituntut tersedianya sumber daya manusia aparatur Pemda yang handal. Dengan demikian mereka akan mampu mengelola seluruh potensi sumber daya daerah secara maksimal. Yang menjadi pertanyaan adalah “apakah sumber daya manusia aparatur daerah memiliki kapabilitas untuk mengelola seluruh potensi sumber daya daerah secara maksimal sehingga mampu memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat daerah tersebut?” Sehubungan dengan hal itu, jelas bahwa peran pimpinan untuk memberdayakan sumber daya manusia aparatur Pemda merupakan tuntutan utama yang sangat mendesak. Tanpa kepemilikan knowledge and skills yang memadai dari para SDM aparatur Pemda musykil kiranya jika mereka mampu mengelola seluruh potensi daerah yang ada, untuk mengetahui potensi tersebut saja, tampaknya diragukan. Pada bagian sebelumnya telah diuraikan beberapa kelompok masalah yang pada umumnya terjadi di pemerintah –Pusat dan Daerah. Data di bawah ini, mungkin dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan tambahan untuk meraba-raba jawaban pertanyaan di atas. Tabel 1 PNS Berdasarkan Tingkat Pendidikan 31 Maret 1997 TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH
%
SD
434.921
10.62
SLTP
254.224
6.21
SLTA
2.460.521
60.10
D1-D3
419.086
10.24
S1
515.522
12.59
S2
8.006
0.20
S3
2.066
0.08
TOTAL 4.094.346 100 Sumber: Tjiptoherijanto, P. (1999:165). Sumber Daya Manusia Aparatur Negara pada Era Krisis Ekonomi dan Reformasi. (Data disederhanakan) Dalam hubungannya dengan otonomi daerah yang tengah menghangat, sumber daya manusia aparatur Pemda dituntut lebih efisien, efektif, professional, inovatif, akuntabel, bersih, dan memiliki komitmen tinggi dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Dalam hubungannya dengan masyarakat, maka kemampuan yang mereka miliki diorientasikan juga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah daerah. Mungkin benar apa yang dinyatakan oleh Prof. Awaloedin Djamin, bahwa untuk meningkatkan kapasitas masyarakat perlu
5
terlebih dahulu meningkatkan kapasitas sumber daya manusia aparatur pemerintahnya (1994).
Membudayakan Learning Di Kalangan Sdm Aparatur
Pergeseran paradigma administrasi publik dewasa ini telah mendorong pemerintahan negara-negara dunia untuk melakukan berbagai upaya penyesuaian. Penyesuaian dalam konteks ini dimanifestasikan melalui beragam pembaharuan, yang dilabeli dengan beraneka nama –reformasi, revitalisasi, rekayasa ulang, restrukturisasi, atau revolusi5— yang tujuannya tidak lain adalah menuju suatu kondisi yang lebih baik. Pembaharuan seperti itu juga terjadi di Indonesia, dimana struktur pemerintahan secara politis mengalami perubahan. Hierarki kekuasaan yang semula sentralisasi bergeser menuju desentralisasi yang diharapkan dapat mencapai keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara lebih optimal. Untuk mencapai kondisi tersebut tentu membutuhkan kerja yang jauh lebih keras dan cerdik serta komitmen yang sangat kuat. Oleh karenanya, pada situasi dan kondisi seperti ini dibutuhkan manajer-manajer atau pimpinan-pimpinan Pemda yang efektif, yang mampu mengelola semua sumberdaya (resources) yang dimiliki secara optimal sekaligus mampu melihat peluang-peluang strategis –baik pada tingkat nasional maupun internasional-- untuk kemajuan unit atau organisasinya. Dalam konteks ini, Susantho (2000) menyarankan agar sasaran pemberdayaan SDM pemerintahan dalam jangka pendek dan jangka panjang diperhitungkan secara cermat dalam rangka peningkatan kapasitas ‘moral ‘ mereka (lihat gambar 1.1.). Sebagaimana dapat dilihat pada gambar tersebut, bahwa sasaran pemberdayaan SDM pemerintahan dalam jangka pendek adalah untuk meningkatkan keterampilan manajerial atau kepemimpinan (managerial/leadership skills) melalui pelatihan (training) dan pembelajaran (learning) guna menumbuhkan mereka sebagai agen perubahan (change agent).
5
Lihat juga H.M.N. Susantho (2000). Reformasi Fase “D”: Critical Path dalam Mengelola SDM (Pemerintahan) Daerah. Paper pada Lokakarya “Capacity Building: Mambangun Kapasitas Sumberdaya Daerah Menyeongsong Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 26-28 Juni 2000. p.3.
6
Gambar 1.1. Sasaran Efektivitas kinerja Sasaran Organisasional Sasaran Individual
Problem Solving/ Resolusi Masalah Pelatihan Keterampilan Manajerial
Performance Oriented Culture
Jangka Pendek
Team Building Pengayaan Style
Jangka Panjang
Sumber: Susantho, H.M.N. (2000). Reformasi Fase “D”: Critical Path dalam Mengelola SDM (Pemerintahan) Daerah. Paper pada Lokakarya “Capacity Building: Mambangun Kapasitas Sumberdaya Daerah Menyeongsong Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 26-28 Juni 2000. p.14.
Barangkali perlu dicermati, bahwasanya pada satu dekade terakhir terdapat pergeseran paradigma yang luar biasa, yaitu dari fokus pelatihan (training) ke fokus pembelajaran (learning) (Marquart & Reynolds, 1994). Sementara itu, Kiechel (1990) melihat bahwasanya learning dan training merupakan dua hal yang berbeda, dimana pada learning orang-orang ditantang untuk berteka-teki, ingin tahu, dan menjabarkan informasi yang diterima sesuai dengan keinginannya, sedangkan pada training para peserta hanya dituntut menjemput informasi yang diberikan (lihat perbedaan di antara keduanya pada table 2) Agar dapat mencapai tujuan seperti itu, tentu ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah tumbuhnya sumberdaya aparatur negara –dimana unsur utamanya adalah PNS—yang memiliki pengetahuan dan kecakapan (knowledge and skills) memadai sesuai dengan jenjang jabatan yang diemban, mulai dari pejabat struktural eselon terendah hingga tertinggi, baik di instansi pusat maupun daerah. Dalam konteks tersebut Pasal 31 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999 menyebutkan: “Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan”.
7
Tabel 2 Training and Learning Contrast TRAINING
LEARNING
z Outside in, done by others z Assumes relative stability z Focuses on knowledge, skills, ability, and job performance
Inside out, seek to do for self Assumes continuous change Focuses on values, attitudes, innovation and outcome accomplishment Helps organizations and individuals learn how to learn and create own solution Emphasizes breakthrough (metanoia) Directly aligned with organization’s vision and requirements for success Formal and informal, long-term future oriented, learner-initiated
z Appropriate for developing basic competence z Emphasizes improvement z Not necessary linked to organization’s mission and strategies z Structured learning experience with short-term focus
Sumber: Marquardt, M.J. & Reynolds, A. (1994). The Global Learning Organization. Richard D. Irwin, Inc.p.38 Selanjutnya di dalam lampiran Keputusan Kepala LAN No. 199/XIII/10/6/2001 (2001:1) disebutkan: “Untuk membentuk sosok PNS seperti tersebut di atas, perlu dilaksankan pembinaan melalui jalur Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang mengarah pada peningkatan: 1. Sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa, negara, dan tanah air. 2. Kompetensi teknis, manajerial, dan /atau kepemimpinannya. 3. Efisiensi, efektivitas, dan kualitas pelaksanaan tugas yang dilakukan dengan semangat kerjasama dan tanggungjawab sesuai dengan lingkungan kerja dan organisasinya. “ Kedua kebijakan tersebut secara implisit menekankan, bahwa setiap PNS yang memangku jabatan, selain harus memiliki kompetensi yang memadai agar dapat melaksanakan tugas secara optimal di lingkungan kerja dan organisasinya, mereka juga harus memiliki semangat dan kemampuan bekerjasama di dalam dan di luar organisasinya, baik dalam tataran regional, nasional maupun internasional. Sehubungan dengan hal itu, maka untuk mampu mencapai tujuan otonomi daerah memerlukan kerja keras dan cerdik, dimana hal tersebut membutuhkan pengetahuan dan keahlian (knowledge and skills) yang senantiasa berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan yang terjadi.
8
Choo (1998) mengatakan bahwa setiap organisasi perlu melakukan dua jenis pembelajaran (learning) secara seimbang, yaitu antara exploitative learning dan explorative learning. Dalam exploitative learning, organisasi hanya melakukan sesuatu sebagaimana biasanya, sedangkan dalam explorative leraning, sebuah organisasi terus berusaha menggali berbagai hal baru untuk menambah pengetahuan dan keahlian baru (new knowledge and skills). Menurut Choo (1998) dengan seimbangnya penerapan dua jenis pembelajaran tersebut, suatu organisasi akan eksis dan mampu mengikuti tuntutan persaingan dan perubahan lingkungan. Hal tersebut akan berlaku pula bagi instansi Pemda yang mampu menerapkan dua jenis pembelajaran tersebut secara seimbang.
Catatan Akhir
Dari rangkaian uraian diatas dapat disarikan sebagai berikut: z Pertama, otonomi daerah dicanangkan dalam upaya mencapai hasil-hasil pembangunan secara lebih cepat agar dapat segera dirasakan oleh rakyat. Hal ini tentunya merupakan pekerjaan yang tidak bisa dianggap ringan oleh Pemda sebagai pihak yang mengelola suatu daerah. z Sehubungan dengan hal tersebut, pimpinan Pemda dituntut menjalankan peran yang semestinya sesuai dengan konsep manajemen yang berkembang. Konsep manajemen yang berkembang saat ini adalah organisasi pembelajar (learning organization) dimana seluruh orang-orang yang berada dalam organisasi – instansi Pemda—dituntut mampu menunjukkan kapabilitas sesuai dengan tuntutan lingkungan. Dalam konteks ini para pimpinan Pemda dituntut untuk memfasilitasi/membantu/ mendukung agar seluruh SDM aparatur Pemda mampu berkiprah –berkreasi dan berinovasi—untuk kemajuan instansinya, yang dampak lebih luasnya adalah tercapainya tujuan otonomi daerah. z Dan terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah para pimpinan Pemda dituntut menjalin jejaring strategik dengan lembaga-lembaga lain –Pemda, Pemerintah Pusat, swasta, lembaga-lembaga keuangan—baik dalam tataran regional, nasional, maupun internasional, dalam rangka menyiasati keterbatasan potensi daerah baik SDM, sumber daya alam, maupun berbagai hal lain yang diperkirakan dapat dipenuhi melalui kerjasama dengan pihak-pihak lain.
9
Referensi Bahar, S., Sinaga, N.H., dalam Kusuma, A.B. (eds), (1992), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 29 Mei –19 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta. Choo, C. W. (1998). The Knowing Organization: how organizations use information to construct meaning, create knowledge, and make decisions, New York: Oxford Univ. Press. Djamin, A. (1994). Penyempurnaan Aparatur dan Administrasi Negara RI: Evaluasi Dasawarsa I dan Prospeknya, Yayasan Pembina Manajemen Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Hale, S.P. (1996) High Performance Organization dalam Perry, J.L., Handbook of Public Administration (2nd ed), San Francisco, Jossy-Bass Inc. 1996. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara No. 199/XIII/10/6/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II Kiechel, W. (1990). The Organization that Learn. Fortune 121, No.6, March 12, 1990.pp.133-136 Marquardt, M.J. & Reynolds, A. (1994). The Global Learning Organization. Richard D. Irwin, Inc. Susantho, H.M.N. (2000). Reformasi Fase “D”: Critical Path dalam Mengelola SDM (Pemerintahan) Daerah. Paper pada Lokakarya “Capacity Building: Mambangun Kapasitas Sumberdaya Daerah Menyeongsong Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 26-28 Juni 2000. Tjiptoherijanto, P. (1999). Sumber Daya Manusia Aparatur Negara pada Era Krisis Ekonomi dan Reformasi , dalam Thoha, M (1998) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Senge, P. M., 1996. The Ecology of Leadership, In Leader to Leader, 2 (Fall 1996):1823.
Senge, P.M. (1990),The Fifth Disciplin-The Art and Practice of the Learning Organization, Doubleday, New York.
10