BAB III OTONOMI DAERAH SEBAGAI WUJUD HUKUM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH
A. Pemerintahan Daerah di Indonesia Pemerintahan daerah dikenal saat ini berasal dari perkembangan praktik pemerintahan di Eropa pada abad ke-11 dan 12. Pada saat itu muncul satuansatuan wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah membentuk suatu lembaga pemerintahan. Pada awalnya satuan-satuan wilayah tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota), county (kabupaten), commune/gementee (desa). Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan genealogis maupun teritorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang pada asalnya bersifat komunal. 39 Pada mulanya satuan-satuan komunitas tersebut terbentuk atas kebutuhan anggotanya sendiri. Untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya mereka membuat lembaga yang diperlukan. Lembaga yang dibentuk mencakup lembaga politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, lembaga yang terbentuk sangat beragam, tergantung pada polamodel tertentu berdasarkan adat istiadat komunitas yang bersangkutan. 40 Dalam perkembangan berikutnya, satuan-satuan komunitas tersebut dimasukkan ke dalam sistem administrasi negara dari suatu negar yang berdaulat. 39
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Grassindo, 2005), hal. 1. 40 Ibid, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
Untuk kepentingan administrasi, satuan-satuan komunitas tersebut lalu ditentukan kategori-kategorinya, batas-batas geografisnya, kewenangannya, dan bentuk kelembagaannya. Melalui keputusan politik, satuan komunitas tersebut lalu dibentuk menjadi unit organisasi formal dalam sistem administrasi negara pada tingkat lokal. Sesuai dengan kepentingan politik negara
yang bersangkutan,
organisasi pemerintahan lokal dipilah menjadi dua, yaitu satuan organisasi perantara dan satuan organisasi dasar. Misalnya di Perancis, satuan organisasi perantara adalah department dan satuan dasarnya adalah commune. Di Indonesia, satuan organisasi perantara adalah provinsi, sedangkan satuan organisasi dasarnya adalah kota, kabupaten, dan desa. 41 Pemerintahan daerah di Indonesia diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Yang diturunkan melalui Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka berlaku sistem pemerintahan daerah secara otonom dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari definisi yang diberikan oleh undang-undang dapat diketahui bahwa sistem pemerintahan daerah di Indonesia menganut otonomi luas. Dimana daerah diberikan
41
kewenangan
untuk
mengurus
diri
sendiri
secara
mandiri
Ibid, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
(menyelenggarakan pemerintahan). Dimana kewenangan pemerintah daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat sangat luas. Dalam pemerintahan daerah Indonesia menganut sistem rumah tangga formal (formale huishoundingsbe-grip). Dalam sistem rumah tangga formal urusan yang menjadi kewenangan daerah tidak ditentukan secara limitatif. Hal ini berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat 5. Pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Pasal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat 2 UU Pemerintahan Daerah yang meliputi: 1. politik luar negeri; 2. pertahanan; 3. keamanan; 4. yustisi; 5. moneter dan fiskal nasional; 6. agama. Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai organ atau alat yang menjalankan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan fungsi eksekutif dengan dibantu oleh DPRD sebagai lembaga yudikatif dalam suatu daerah serta mengatur daerahnya dengan peraturan daerah
Universitas Sumatera Utara
(perda). Sesuai dengan fungsinya pemerintah daerah harus manjalankan amanat UUD 1945 yaitu menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya Tugas dan wewenang kepala daerah menurut Pasal 25 Undang-undang Pemerintahan Daerah adalah: a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. mengajukan rancangan Perda; c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum
untuk
mewakilinya
sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan; dan g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Semasa orde baru hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD tidak seimbang. DPRD sangat kuat karena dapat mengusulkan pengangkatan kepada Presiden serta dapat memberhentikan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh DPRD yang dianggap sebagai representasi rakyat di daerah. DPRD dapat menunjuk kepala daerah yang dianggap layak dan mampu memimpin daerah. Pada tataran konsep, prinsip perwakilan seperti ini sangat bagus dan efektif. Namun melihat kenyataan di Indonesai bahwa sebagian besar orang yang duduk dalam pemerintahan adalah orang yang cenderung menyalahgunakan jabatannya. Seperti halnya dengan pengangkatan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD sarat dengan kepentingan. Bukan sebuah rahasia lagi Kepala daerah yang akan ditunjuk oleh DPRD harus melakukan apa yang “diinginkan” oleh anggota DPRD. Praktek seperti ini akan menimbulkan sebuah budaya korupsi yang melembaga. Pemilihan kepala daerah tidak didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memimpin daerah. Melainkan kemampuan untuk memberikan uang kepada anggota DPRD. Sejalan dengan pngangkatan kepala daerah, DPRD saat itu dapat memberhentikan kepala daerah, melalui mekanisme laporan tanggung jawab secara berkala kepada DPRD. Jika DPRD menolak laporan pertanggungjawaban dari kepala daerah maka DPRD dapat memberhentikan kepala daerah tersebut. Praktek seperti ini juga menimbulkan masalah yaitu praktek korupsi. Seringkali anggota DPRD meminta imbalan kepada kepala daerah agar LPJ yang diberikan tidak ditolak oleh anggota DPRD.
Universitas Sumatera Utara
Seiring dengan semangat reformasi masyarakat menuntut diadakannya perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ke dua pada 18 Agustus 2000 dilakukan amandemen dengan merubah ketentuan mengenai pemerintahan daerah pada Pasal 18. Amandemen ini merubah sistem pemerintahan daerah secara menyeluruh.
B. Desentralisasi sebagai Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Organisasi yang besar dan kompleks seperti negara Indonesia tak akan efisien jika semua kewenangan politik dan administrasi diletakkan pada puncak hirarki organisasi/ pemerintah pusat, karena pemerintah pusat akan menanggung beban yang berat. Juga tidak cukup hanya jika hanya dilimpahkan secara dekonsentrasi kepada pejabat di beberapa wilayah negara. Agar kewenangan tersebut dapat diimplementasikan secara efisien dan akuntabel, maka sebagian kewenangan politik dan administrasi perlu diserahkan pada jenjang organisasi yang lebih rendah. Penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi pada jenjang organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Jadi, desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang organisasi di bawahnya (pemerintah daerah). Dua kewenangan tersebut (politik dan administrasi) diserahkan kepada pemerintah daerah. 42 Henry Maddick menjelaskan, desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang/ fungsi-fungsi tertentu kepada daerah otonom. Rondinelli, Nellis, dan Chema mengemukakan, desentralisasi
42
Hanif Nurcholis, Op. cit, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
merupakan penciptaan atau penguatan, baik keuangan maupun hukum, pada unitunit pemerintahan subnasional yang penyelenggaraannya secara substansial berada di luar kontrol langsung pemerintah pusat. 43 Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan (einheidstaat). Hubungan dan mekanisme antara pemerintah pusat dan daerah merupakan conditio sine qua non dalam negara yang berbentuk kesatuan seperti Negara Republik Indonesia. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah RI No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Negara Republik
Indonesia
sebagai
pemerintahannya menganut
negara
kesatuan
dalam
penyelenggaraan
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Penyelenggaran asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom untuk dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat secara bertanggung jawab menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 44 Sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dalam organisasi, termasuk organisasi negara. Menurut M. Faltas, terdapat dua kategori dalam pengambilan keputusan,
yaitu
keputusan politik
dan keputusan
administratif. Keputusan politik sering disebut juga dengan keputusan alokasi,
43
Ibid, hal. 3-4. Priyanto Susiloadi, Konsep dan Isu Desentralisasi dalam Manajemen Pemerintahan di Indonesia, http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp3_2_priyanto.pdf. diakses pada tanggal 12 April 2010. 44
Universitas Sumatera Utara
sedangkan keputusan administratif sering pula disebut dengan keputusan pelaksanaan. 45 Dua jenis pengambilan keputusan tersebut dalam struktur organisasi dapat bervariasi: 1. Keputusan alokasi dan keputusan pelaksanaan dilakukan pada puncak hirarki secara terpusat. Inilah yang disebut dengan sentralisasi penuh. 2. Keputusan alokasi diambil pada puncak organisasi, sedangkan keputusan pelaksanaan dilakukan pada jenjang-jenjang yang lebih rendah. Inilah yang disebut dengan dekonsentrasi. 3. Keputusan alokasi dan keputusan pelaksanaan semuanya diserahkan sepenuhnya pada jenjang-jenjang organisasi yang lebih rendah. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. 46 JHA Logemann menyebut butir 2 dan 3 sebagai desentralisasi. Logemann memasukkan dekonsentrasi dalam desentralisasi. Dengan demikian, desentralisasi mempunyai arti yang luas. Logemann membagi desentralisasi menjadu dua macam, yaitu: 47 1. Dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan (ambtelijke decentalisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintah. Misalnya pelimpahan menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/ walikota dan seterusnya secara berjenjang. Desentralisasi semacam ini rakyat atau lembaga perwakilan rakyat daerah tidak ikut campur atau dibawa-bawa. 2. Desentralisasi ketatanegaraan atau staatkundige decentralisatie yang sering juga disebut sebagai desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoerheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam 45
Ibid, hal. 3 Ibid 47 Ibid, hal. 4 46
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing. Desentralisasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Desentralisasi teritorial (territorial decentralisatie), yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie), batas pengaturannya adalah daerah. Desentralisasi teritorial mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang menerima penyerahan b. Desentralisasi fungsional (funcionale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi. Bayu Surianingrat membagi desentralisasi atas: 48 a. Desentralisasi jabatan (ambtelijk decentralicatie), yaitu pemudaran kekuasaan, atau lebih tepat pelimpahan kekuasaan dari atasan kepada bawahannya dalam rangka kepegawaian untuk meningkatkan kelancaran pekerjaan. Oleh karena itu, desentralisasi itu disebut juga dekonsentrasi. b. Desentralisasi kenegaraan (statkundige decentralisatie), yaitu penyerahan kekuasan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Di dalam desentralisasi ini, rakyat secara langsung mempunyai kesempatan untuk turut serta (participation) dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya. Ada yang menganggap bahwa desentralisasi sebagai pengakuan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu pada badan-badan dan golongan di tingkat bawahan. Amrah Muslimin membdakan pengakuan adanya hak itu dalam tiga macam desentralisasi, yaitu: 49 1. Desentralisasi politik sebagai pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan-badan politik di daerahdaerah, yang dipilih oleh rakyat daerah-daerah tertentu. 2. Desentralisasi fungsional sebagai pengakuan adanya hak pada golongangolongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, umpamanya mengurus kepentingan perairan bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (Subak di Bali), dan 3. Desentralisasi kebudayaan yang mengakui adanya hak pada golongangolongan kecil (minoriteit) menyelenggarakan kebudayaan sendiri (mengatur pendidikan, agama, dan lain-lain).
48
Bayu Surianingrat, Desa dan Kelurahan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, (Jakarta: Metro Pos, 1980), hal. 28-29. 49 Dalam Ateng Syafruddin, Kapsel Hakikat dan Otonomi Daerah dan desa dalam Pembanguan Daerah, (Yogyakarta: Citramedia, 2006), hal. 73-74.
Universitas Sumatera Utara
C. Konsep Otonomi Daerah dalam Desentralisasi Adanya pemerintahan daerah, dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas dan Centrum yang artinya pusat. Dengan demikian, maka desentralisasi yang berasal dari sentralisasi mendapat awalan de berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat, tapi hanya menjauh dari pusat.50 Sejarah perkembangan pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah berdirinya Republik Indonesia. Belanda yang menjajah Indonesia telah banyak mempengaruhi budaya, sistem hukum, sistem politik, dan sistam ketatanegaraan Indonesia, sedangkan Belanda sendiri mendapat pengaruh kuat dari sistem politik, sistem hukum, dan sistem ketatanegaraan Prancis karena bangsa Prancis dalambeebrapa tahun telah menjajah bangsa Belanda. Alderfer menyatakan bahwa pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan sistem tradisional yang sangat dipengaruhi oleh sistem Prancis, akibat terlalu lama dijajah Belanda, yang dahulunya merupakan wiayah dari kekaisaran Prancis terutama di bawah penguasaan Gubernur Jenderal Daendels. 51 Salah satu persamaan sistem feodalisme di Prancis dan di pulau Jawa (Indonesia pada umumnya) adalah sistem apanage yang memberikan kewajibankewajiban tertentu para pejabat lokal kepada raja, atau para petani penggarap kepada para pejabat lokal. Oleh karena itu, dalam sistem feodalisme di daerahdaerah Indonesia dikenal istilah tanah lungguh, tanah bengkok, tanah garapan.
50
R. D. H. Kusumahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal. 12 51 Harold F. Alderfer, Local Government in Developing Countries, (New York: Mc Graw-Hill Book Company, 1964), hal. 83-84.
Universitas Sumatera Utara
Keterikatan pejabat-pejabat lokal kepada tanah lungguh atau apanage menyebabkan kesetiaan mutlak para pejabat lokal harus diserahkan kepada raja atau sultan karena raja (pemilik tanah itu) menggaji para pejabat lokal dengan tanah-tanah apanage tersebut. Karena pejabat lokal, umumnya kerabat raja, tidak dapat menggarap tanah apanage, maka mereka menyerahkan tanah itu kepada rakyat untuk digarap dengan imbalan menyerahkan sebagian hasil panen dan kewajiban kerja rodi (panen). Sistem ini disebarluaskan dan dilembagakan Belanda di luar Jawa. Dengan demikian sejarah pemerintahan Indonesia selalu terikat pada kepentingan pemerintah pusat (raja). Pemerintah daerah di Indonesia tidak mengenal budaya legislatif, segala sesuatu terpusat pada raja, oleh karena itu, sejarah pemerintahan di Indonesia dan daerah (khususnya) membuktikan bahwa terjadiya penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, kepincangan-kepincangan diakibatkan oleh terlalu dominannya eksekutif (kekuasaan raja, pemerintah pusat). Salah satu cara menghindari penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kepincangan-kepincangan dalam penyelenggaraan negara adalah pemberian otonomi kepada daerah. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 dan Undangundang Nomor 5 Tahun 1974 menggariskan bahwa maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakat; menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, pemberian otonomi daerah memiliki empat tujuan. Pertama, dari aspek politik pemberian otonomi daerah bertujuan untuk mengikutsertakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam program-program pembangunan baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional tentang demokratisasi. Kedua, dari aspek
manajemen
pemerintahan,
pemberian
otonomi
daerah
bertujuan
meningkatan daya guna dan hasil guna menyelenggaraan pemerintahan utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan
dalam
berbagai
kebutuhan
masyarakat.
Ketiga,
dari
aspek
kemasyarakatan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk tidak terlalu banyak bergantung kepada pemerintah dalam proses pertumbuhan daerahnya sehingga daerah memiliki daya saing yang kuat. Keempat, dari aspek ekonomi pembangunan, pemberian otonomi daerah bertujuan menyukseskan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat. 52 Tujuan pemberian otonomi daerah dapat tercapai apabila didasarkan pada prinsip-prinsip yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan secara optimal oleh penyelenggara Negara baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/ kota. Karena dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip otonomi daerah. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan penyelenggara Negara dalam melaksanakan otonomi daerah. 52
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, (Jakarta: Djambatan, 2007), hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
Pertama, penyelenggaraan
berdasarkan pemerintahan
Undang-undang di
daerah
Nomor
hanya
5
Tahun
mengenal
satu
1974 garis
pertanggungjawaban, yaitu bertanggungjawab kepada presiden dan tidak kepada DPR Daerah. Hal ini tercermin dalam tingkat susunan hierarki pemerintahan menjadi pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota. Kedudukan keduanya sebagai daerah otonom dan daerah administratif. Ada beberapa implikasi dari kedudukan pemerintah daerah seperti yang diuraikan di atas: 53 1. Pemerintah daerah sebagai pembantu dan perpanjangan dari pemeirntah pusat; 2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat subordinal, bukan kemitraan. 3. Peranan dan posisi pemerintah daerah kabupaten/ kota menjadi lemah karena terjadi tarik menarik kekuasaan, terutama dalam menghimpun sumber daya yang maksimal. Tiga implikasi dari keduduka n pemerintah di atas menyebabkan hal-hal sebagai berikut: 54 1. Pengertian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini tentu tidak lazim dan tidak tepat dalam koteks makna dan tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi territorial. Pemberian otonomi daerah kepada daerah tidak hanya mengandung unsur administrasi birokrasi, tetapi juga mengandung unsur politik. 53 54
Ibid, hal. 93-94. Ibid, hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian kewajiban sebagai manifestasi pengertian pemberian otonomi daerah sebagai hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya serta konsekuensi pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya. Apabila persepsi tentang makna otonomi daerah sebagai kewajiban dipandang tepat, maka kedudukan pemerintah daerah hanya sebagai penerima kewajiban yang berhak memperoleh imbalan. Pemerintah daerah akan selalu bergantung terus kepada pemerintah pusat. 3. Hambatan utama pelaksanaan pemberian otonomi daerah terkesan sangat kuat oleh kecenderungan sifat ego sentralistik dari para pelaku birokrasi dan elit yang mempunyai akses lebih dominan terhadap sumber daya dibanding penentu kebijakan, baik di tingkat pusat, maupun di daerah propinsi. Kedua, berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 18 yang mengatur pemerintahan daerah, daerah Indonesia tidak bersifat staat; wilayah Indonesia dibagi dalam bentuk daerah yang dapat berubah berupa daerah otonom dan atau bersifat administratif. Baik dalam Pasal 18 maupun penjelasannya tidak secara tegas ditentukan jumlah daerah otonomi sehingga memberi keleluasaan kepada pembuat undang-undang untuk merumuskan, menentukan, dan memutuskan halhal berikut: 55 1. Banyaknya tingkat daerah otonom yang akan dibentuk dan disusun 2. Prinsip otonomi daerah yang akan dianut 3. Titik berat otonomi daerah yang akan diletakkan
55
Ibid, hal. 95
Universitas Sumatera Utara
4. Imbangan kedudukan antara asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi 5. Tata cara penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah bawahannya menjadi urusan rumah tangga sendiri. Apabila pemahaman Pasal 1 ayat 1 (Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik) digabungkan dengan Pasal 18 beserta penjelasannya, maka dapat dikatakan bahwa republik Indonesia adalah Negara kesatuan yang disentralisasikan. Dalam Negara kesatuan yang disentralisasikan, pemerintah pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom. Ketiga, otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dengan pelaksanaan
asas
desentralisasi
dilakukan
bersama-sama
dengan
asas
dekonsentrasi. Prinsip yang dikehendaki Undang-undang Nomor 5 Tahun 197 merupakan koreksi atas prinsip-prinsip sebelumnya terutama menyangkut otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap dapat membahayakan keutuhan Negara kesatuan. Ada tiga esensi dasar otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, yaitu: 56 1. Otonomi tersebut harus menjamin kestabilan politik dan kesatuan nasional. 2. Harus dapat menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dengan daerah. 3. Harus menjamin pembangunan daerah
56
Dharma Setyawan Salam, Op. cit, hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadialn berdasarkan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila dahulu prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab lebih berkonotasi kewajiban daripada hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota didasarkan atas desentralisasi dalam mewujudkan otonomi yang luas 57, nyata 58, dan bertanggung jawab. 59 Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan juga Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru (UU No. 32 Tahun 2004) dalam kerangka asas desentralisasi adalah sebagai berikut: 60
57
Yaitu daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 58 Yaitu keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. 59 Yaitu perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiba yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. 60 Ibid, hal. 100-101.
Universitas Sumatera Utara
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. 3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas. 4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatna kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya beraku ketentuan peraturan daerah otonom. 6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. 7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya
sebagai
wilayah
administrasi
untuk
melaksanakan
Universitas Sumatera Utara
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. 8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia
dengan
kewajiban
melaporkan
pelaksanaan
dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugasinya. Banyak faktor variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak sedikit pula pakar yang mengidentifikasi faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Widjaya mengatakan, ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu: 61 1. Variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/ keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan
ekonomi,
kemampuan
demografi,
serta
kemampuan
organisasi dan administrasi. 2. Variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya. 3. Variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan keamanan serta penghayatan agama.
61
HAW. Widjaya, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
Dengan bahasa yang berbeda, Riwu Kaho mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dan sangat menentukan penyelenggaraan otonomi daerah antara lain dengan: 62 1. Sumber daya manusia dan kemampuan aparatur serta partisipasi masyarakat. 2. Keuangan yang stabil, terutama pendapatan asli daerah. 3. Peralatan yang lengkap. 4. Organisasi dan manajemen yang baik. Banyak faktor variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak sedikit pula pakar yang mengidentifikasi faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Widjaya mengatakan, ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu: 63 Menurut Smith, faktor yang dapat memprediksi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah fungsi atau tugas pemerintahan, kemampuan pemungutan pajak daerah, bidang tugas administrasi, jumlah pelimpahan wewenang, besarnya anggaran belanja, wilayah, ketergantungan keuangan, dan personil. 64 Menurut Widjaya ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu: 65 a. variabel
pokok,
yang
terdiri
dari
kemampuan
pendapatan
asli
daerah/keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, 62
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), hal. 60 dan 246. 63 HAW. Widjaya, Op. cit, hal. 39. 64 Brian Smith C, dalam International Review if Administrative Sciences, Vol. XLV, 1979, hal. 214-222. 65 HAW Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
kemampuan
ekonomi,
kemampuan
demografi,
serta
kemampuan
organisasi dan administrasi; b. variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya; dan c. variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan serta penghayatan agama.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERANAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBINAAN SERTA PENGAWASAN KOPERASI DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH
A. Eksistensi Koperasi di Indonesia Dikaitkan dengan Otonomi Daerah Reformasi menuntut adanya pelurusan persepsi dan paradigma tentang koperasi agar koperasi dapat berperan secara efektif sesuai dengan cita-cita dan misi reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid telah membuka peluang bagi penataan kembali sektor koperasi pada waktu pembentukan pemerintahannya bulan Oktober 1999. Dikatakan bahwa: Koperasi adalah urusan masyarakat dan masalah koperasi hendaknya diselesaikan oleh masyarakat sendiri. 66 Terkait dengan itu, maka Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah yang sebelumnya mempunyai wewenang besar dengan fungsi pengaturan dan fungsi pembangunan diubah statusnya menjadi Kantor Menteri Negara dengan wewenang terbatas pada fiingsi pengaturan. Sementara itu peran operasionalnya menjadi sangat berkurang dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam hal ini, maka yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana eksistensi koperasi dalam hubungannya dengan otonomi daerah.
66
Penguatan Koperasi Melalui Pembaruan Undang-Undang Koperasi, Februari 2001, Lokakarya Nasional Penguatan Koperasi Melalui Pembaruan Undang-Undang Koperasi dan Kebijakan Pelatihan Koperasi, Kerjasama antara Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM dengan LSP21
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah mengatur kedudukan dan peran pemerintah dan tidak ada kaitan struktural dengan gerakan koperasi sebagai lembaga masyarakat yang otonom. Undang-undang sebagai sistem hukum yang mengatur secara nasional memberikan dasar bagi peran dan wewenang pemerintah sebagai kesatuan dan pembagian kerja antara Pusat dan Daerah adalah wilayah dan ruang dari UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini berarti hanya ada satu undang-undang perkoperasian yang eksistensinya sebagai dasar hukum dan pedoman kebijakan pemerintah di pusat dan daerah di bidang perkoperasian. Dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah, maka eksistensi koperasi dalam hubungannya dengan otonomi daerah tetap eksis sebagai pelaku ekonomi dan penggerak ekonomi rakyat. Sementara itu peran pemerintah akan berkurang dan yang masih ada yaitu fungsi pengaturan tetapi terbatas pada pendaftaran/pemberian dan pencabutan hak badan hukum, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Adapun fungsi promosi/pembangunannnya menjadi proporsional (Pusat dan Daerah) meliputi: penciptaan iklim yang kondusif bagi perkembangan koperasi, aistensi dan fasilitasi, koordinasi bantuan luar negeri dan penyediaan sarana-sarana pendukung. Dalam fungsi pembangunan ini termasuk adanya fasilitasi mengenai perpajakan (pajak penghasilan), perbankan beserta lembaga penjaminan dan asuransi, pendidikan/pelatihan dan insentif lainnya. 67
67
http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2028/eksistensi_koperasi.pdf. Diakses tanggal 23 Januari 2011.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan yang ditempuh dalam menyikapi perubahan saat ini yang mendorong lebih kuatnya pelaksanaan otonomi daerah adalah menciptakan lingkungan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan Pusat untuk pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM, mengembangkan usaha di bidang jasa keuangan dengan mengembangkan lembaga kredit, pada koperasi kredit dan koperasi
simpan
pinjam;
melakukan
kerjasama
antar
koperasi
dalam
mengembangkan potensi usaha yang ada untuk bersaing dengan pelaku usaha, baik dari dalam negeri maupun luar negeri apalagi dalam era pasar bebas.
B. Peranan Pemerintah terhadap Pembinaan Koperasi Pembinaan terhadap koperasi sangat tergantung kepada responsivitas Pemerintah Daerah dalam memberikan alokasi anggaran dan mengaktifkan kegiatan yang terkait dengan ekonomi kerakyatan ini. Namun upaya mewujudkan harapan tersebut seringkali masih menemui kendala karena konflik kepentingan diantara para stake-holders di daerah dan karena penentuan prioritas pembangunan di daerah yang keliru. Sebagai misal, dana yang berasal dari APBD sekarang ini lebih banyak tersedot untuk pengeluaran rutin pegawai daripada untuk belanja modal yang bermanfaat bagi pelaku ekonomi kerakyatan. Angka rata-rata nasional menunjukkan bahwa 69% belanja APBD tersedot untuk belanja aparatur yang meliputi gaji, honorarium, belanja perjalanan dinas, dan sebagainya. Di masa mendatang para pejabat daerah perlu meningkatkan sisi belanja modal
Universitas Sumatera Utara
yang langsung bermanfaat bagi rakyat, termasuk diantaranya untuk pembinaan koperasi. 68 Rendahnya produktivitas koperasi selama ini lebih disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia di bidang manajemen, organisasi yang kurang profesional, penguasaan teknologi dan pemasaran yang lemah, serta rendahnya kualitas kewirausahaan dari para manajer koperasi. Masalah pengembangan juga bertambah rumit karena kebanyakan koperasi kurang difasilitasi dengan akses terhadap permodalan, informasi, pasar, teknologi dan faktorfaktor penunjang bisnis lainnya. Oleh sebab itu, komitmen terhadap fasilitasi dan pemberdayaan juga harus diwujudkan dengan perangkat kelembagaan yang khusus dimaksudkan bagi koperasi. Saat ini jajaran Pemda sering menganggap bahwa pembinaan dan pemberdayaan koperasi hanya akan menyedot dana dan tidak menghasilkan tambahan pendapatan seperti halnya sektor-sektor industri besar yang membayar pajak dan retribusi relatif lebih tinggi. Pola pemikiran ini harus diubah sehingga harus ada satuan teknis yang khusus menangani koperasi serta alokasi anggaran yang memadai untuk program pembinaan. Berdasarkan ketentuan dalam PP No. 38/2007 tentang Pembagian Kewenangan Antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, telah ditegaskan bahwa koperasi merupakan salah satu dari 26 urusan wajib yang harus diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah daerah. Demikian juga, ketentuan dalam PP No. 41/2007 tentang Struktur Organisasi dan Tata-Kerja Pemerintah Daerah telah mengatur bahwa urusan koperasi hendaknya dikelola oleh sebuah 68
http://www.kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/Akuntabilitas%20Anggaran%20Publik. pdf. Diakses tanggal 23 Januari 2011.
Universitas Sumatera Utara
satuan direktif yang berbentuk dinas. Tetapi banyak daerah yang belum menempatkan pembinaan koperasi dan ke dalam Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) dalam bentuk dinas yang kuat. Sebagian masih dijadikan satu dalam urusan Bagian, Badan atau UPT tertentu. Kebanyakan daerah menempatkan urusan ini dalam Dinas Perindagkop (Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi) dengan prioritas urusan koperasi yang lebih rendah daripada urusan-urusan lainnya. Dalam rencana jangka menengah, pihak pemerintah daerah hendaknya bisa memperbarui komitmen terhadap koperasi dengan menempatkannya ke dalam dinas khusus yang disertai dengan prioritas pendanaan dari APBD yang mencukupi. Ini harus dilakukan mengingat betapa pentingnya posisi koperasi dalam peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah dan masih banyaknya hambatan struktural maupun hambatan manajerial bagi kelompok pelaku usaha ini. Betapapun, komitmen harus diwujudkan dalam bentuk affirmative action atau tindakan keberpihakan. Yang dimaksud dalam hal ini ialah bahwa pemerintah memang harus melindungi koperasi yang kebanyakan merupakan kelompok usaha yang masih lemah dan mengalami banyak hambatan untuk bersaing dengan usaha-usaha berskala besar. Tentu saja Dinas Koperasi di daerah juga harus paham kapan saatnya melakukan exit strategy apabila koperasi sudah dapat berkembang secara mandiri dan tidak tergantung kepada fasilitasi pihak Pemda.
C. Peranan Pemerintah terhadap Pengawasan Koperasi Ada berbagai jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu: 1. Berdasarkan Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Dasar 1945
Universitas Sumatera Utara
Untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selanjutnya keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan diatur berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1973 dengan tugas dan kewajiban memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hasil pemeriksaan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila suatu pemeriksaan menggunakan hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara, maka Badan Pemeriksa Keuangan memberikan masukan kepada pemerintah. 2. Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1984 Kepres ini adalah mengenai Susunan Organisasi Departemen. Pada setiap Departemen disamping terbagi dalam Direktorat Jenderal menurut kebutuhan ada jabatan Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal. Tugas pengawasan dalam setiap Departemen ditangani oleh Inspektur Jenderal, berlanjut pada tingkat Propinsi pengawasannya ditangani oleh Inspektur Wilayah Propinsi (Irwilprop) dan pada tingkat Kabupaten/ Kotamadya pengawasannya ditangani oleh Inspektur Wilayah Kabupaten/Kotamadya (Irwilkab / Irwilkod). 3. Berdasarkan Instruksi Presiden nomor 5 tahun 1983. a. Pengawasan Atasan Langsung. Semua pimpinan di setiap satuan organisasi pemerintah menciptakan pengawasan melekat dan meningkatkan pengawasan di lingkungan tugasnya masing-masing. Pengawasan melekat melalui penggarisan
Universitas Sumatera Utara
struktur organisasi yang jelas mengenai tugas dan fungsinya. Rincian kebijaksaan dibuat secara tertulis sebagai pegangan bawahan. Rencana kerja
dibuat
dengan
menggambarkan
kegiatan
yang
harus
dilaksanakan. Prosedur kerja dibuat secara jelas sebagai petunjuk pelaksanaan kerja dari atasan kepada bawahan. Setiap hasil kerja dicatat dan dibuat laporan sebagai pertanggung jawaban pelaksanaan tugas kepada atasannya. Pembinaan personil secara terus menerus agar dalam melaksanakan tugasnya tidak bertentangan dengan maksud dan tujuannya. Dalam mewujudkan pengawasan melekat diatur dengan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1989 yang ditindak lanjuti dengan Keputusan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
nomor
93/Menpan/1989. b. Pengawasan Fungsional. Kebijaksanaan pengawasan fungsional digariskan oleh Presiden dengan menugaskan kepada wakil Presiden untuk terus menerus memimpin
dan
mengikuti
pelaksanaan
pengawasan.
Dalam
pengawasan fungsional Menko Ekuin Wasbang ditunjuk sebagai koordinator pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen dan Inspektorat Wilayah Propinsi. Kegiatan pengawasan fungsional dilakukan berdasarkan Rencana Program Kerja Pengawasan Tahunan yang disusun oleh BPKP menurut petunjuk dari Menko Ekuin Wasbang. Pelaksanaannya dilakukan secara berjenjang yaitu aparat pengawasan fungsional melaksanakan pengawasan
Universitas Sumatera Utara
menurut petunjuk dari Menteri yang dikoordinir oleh BPKP dan hasilnya dibahas dalam koordinasi Menko Ekuin Wasbang sebagai bahan materi penyusunan Rencana Program Kerja Pengawasan Tahunan yang disusun berdasarkan prioritas. 4. Pengawasan Masyarakat. Pengawasan masyarakat dilaksanakan dengan memperhatikan temuantemuan yang disampaikan oleh masyarakat melalui kotak pos 5000 yangdisediakan oleh wakil Presiden sebagai upaya menampung keluhan dan saran-saran dari masyarakat mengenai perilaku pejabat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Keluhan dan saran dari masyarakat tersebut ditindak lanjuti, oleh Wakil Presiden dilacak dan diteruskan
kepada
Menteri
menurut
bidangnya
untuk
diadakan
pemeriksaan dilapangan apakah informasi dari masyarakat tersebut benarbenar terjadi. Disamping pengawasan masyarakat yang ditampung melalui kotak pos 5000, pengawasan masyarakat juga dapat berupa informasi dari beritaberita yang ditulis di media cetak yaitu surat kabar, majalah dan sebagainya. Dikaitkan dengan pengawasan terhadap lembaga koperasi, Pasal 21 Undang-undang nomor 25 tahun 1992, ditegaskan bahwa perangkat organisasi Koperasi terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas. Selanjutnya mengenai pengawas diatur dalam Pasal 38, 39 dan 40. Pasal 38 menegaskan bahwa Pengawas dipilih dari/ dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Pengawas bertanggung jawab kepada Rapat
Universitas Sumatera Utara
Anggota. Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat sebagai anggota Pengawas ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Pasal 39 menegaskan bahwa Pengawas bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya. Pengawas berwenang meneliti catatan yang ada pada koperasi dan mendapatkan segala keterangan yang diperlukan. Pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga. Pasal 40 menegaskan bahwa Koperasi dapat meminta jasa audit akuntan publik. Dalam pengawasan Koperasi ada dua pengawas yaitu pengawas ekstern dan pengawas intern. Pengawas Ekstern adalah pengawas dari pemerintah dalam hal ini Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Pengawas dari pemerintah bersifat pembinaan administrasi dan pengembangan dalam bentuk penyuluhan dan pendidikan / latihan. Pengawas Intern adalah badan pemeriksa kegiatan pengawasan intern meliputi pengawasan kebijaksanaan pengurus dan kegiatan operasional meliputi keuangan, personil dan hal-hal yang menyangkut pengadaan barang dan lain-lain agar tidak menyimpang dari perencanaan dan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pengawasan, perlu ada standar pedoman, pencocokan kegiatan dengan perencanaan dan perbaikan. Dalam mengawasi persediaan koperasi, Pemeriksa harus memeriksa tentang adanya ketidak cocokan jumlah yang tertulis dalam catatan dengan jumlah fisiknya, yang terjadi karena adanya kebocoran tempat penyimpanan, kesalahan hitung/ ukur/ timbang, kesalahan menulis dan mencatat, pencurian/ kehilangan, barang rusak, susut/ menguap dan sebagainya. 69
69
Sukamdiyo, Manajemen Koperasi, (Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 144-145.
Universitas Sumatera Utara
Selain pengawasan secara internal yang dapat dilakukan oleh badan pengawas yang telah terbentuk dalam lembaga koperasi berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, maka dapat juga dilakukan pengawasa dari luar lembaga koperasi (ektern), yakni oleh pemerintah maupun masyarakat. Berdasarkan pada uraian di atas, dapat diketahui bahwa berdasarkan Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1984, pengawasan, termasuk pengawasan terhadap koperasi, di tingkat Propinsi pengawasannya dapat ditangani oleh Inspektur Wilayah Propinsi (Irwilprop) dan pada tingkat Kabupaten/ Kotamadya pengawasannya ditangani oleh Inspektur Wilayah Kabupaten/Kotamadya (Irwilkab/ Irwilkod). Dengan demikian, pemerintah daerah melalui Inspektur Wilayah Propinsi dan
Inspektur Wilayah Kabupaten/Kotamadya dapat
melakukan pengawasan terhadap koperasi di daerah. Melalui badan-badan tersebut, pemerintah daerah dapat melakukan pengawasan terhadap koperasi untuk memastikan bahwa penyelenggaraan koperasi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga tujuan dibentuknya koperasi
sebagaimana
yang
telah
diamanahkan
oleh
Undang-undang
Perkoperasian dapat terwujud.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kedudukan koperasi di Indonesia tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (1) dengan penjelasannya, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai itu adalah koperasi. Kedudukan koperasi sebagai Badan Hukum kedudukannya diperoleh melalui suatu prosedur hukum koperasi yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan peraturan pelaksanaannya 2. Hukum
administrasi
daerah
merupakan
peraturan-peraturan
yang
mengatur suatu daerah dengan bentuk pelaksanaan yang dilakukan oleh instansi permerintahan daerah. Dikaitkan dengan konsep otonomi, maka hukum administrasi daerah harus merujuk pada kerangka otonomi daerah yang menjadi pilar utama konsep dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. 3. Pembinaan terhadap koperasi sangat tergantung kepada responsivitas Pemerintah
Daerah
dalam
memberikan
alokasi
anggaran
dan
mengaktifkan kegiatan yang terkait dengan lembaga koperasi ini. Sedangkan pengawasan terhadap koperasi dilakukan baik secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan melalui pembentukan
Universitas Sumatera Utara
badan pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 38, 39, dan 40 Undangundang Perkoperasian, sedangkan pengawasan eksternal dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, khususnya pemerintah daerah.
B. Saran Atas kesimpulan tersebut di atas, disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlu untuk meningkatkan perhatian kepada koperasi, sebab koperasi merupakan usaha yang berbasis kerakyatan, sehingga perhatian yang lebih terhadap koperasi akan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pada tingkat menengah, terlebih-terlebih pada tingkat bawah. 2. Konsep otonomi yang saat ini melandasi penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu mendapat pengawasan khusus dari berbagai pihak, khususnya pemerintah, agar jangan sampai terjadi raja-raja baru di daerah yang lebih otoriter dibandingkan dengan sebelum konsep otonomi dimunculkan. 3. Perlu adanya pembentukan lembaga pemerintah di tingkat daerah yang khusus melakukan pembinaan serta pengawasan terhadap koperasi, untuk terciptanya koperasi yang memiliki kualitas baik dan lebih profesional dalam penyelenggaraan operasionalisasinya.
Universitas Sumatera Utara